Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SEJENAK nona itu memandang penuh selidik, lalu menggelengkan kepala. "Engkau orang aneh. Selama hidup belum pernah aku bertemu dengan seorang manusia aneh semacam kamu!"

"Dan selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan seorang gadis yang cantik dan lihai, juga berbudi mulia sepertimu, nona."

"Heiii! Bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu?"

"Mengetahui apa, nona?"

"Engkau sebut aku nona, dan engkau katakan aku cantik...”

Sin Wan tersenyum. "Ah, itu mudah sekali, nona. Dari bentuk tubuhmu, kulit lengan, dahi dan lehermu, rambutmu, sinar matamu dari balik topeng, kemudian suaramu yang bening dan merdu, maka mudah saja aku mengetahui bahwa engkau adalah seorang gadis muda yang cantik jelita."

"Hemm, ngawur! Engkau tidak pernah melihat wajahku, bagaimana bisa mengatakan aku cantik"

"Tentu saja bisa. Dengan rambut seperti itu, kulit seperti itu, mata seperti itu, tak mungkin nona tidak memiliki kecantikan yang luar biasa."

"Lebih ngawur lagi! Wajahku amat jelek, penuh bekas cacar dan noda hitam, karena itu kusembunyikan di balik topeng."

"Kecantikan bukan hanya karena wajah halus saja, nona. Kecantikan terletak lebih dalam lagi, dan engkau mempunyai semua kecantikan itu. Biar wajahmu penuh cacar dan noda hitam sekali pun, bagiku engkau tetap cantik. Sayang engkau berwatak penakut sehingga tidak berani memperlihatkan wajahmu seperti aku menunjukkan wajahku kepadamu tanpa kusembunyikan. Engkau seperti Si Kedok Hitam saja...”

“Lancang mulut! Aku memakai topeng bukan karena takut!"

Berkata demikian, dia merenggut topeng kain hijau itu terlepas dari depan mukanya dan Sin Wan tertegun, terpesona. Wajah itu berkulit putih mulus, berbentuk bulat dengan alis yang amat hitam seperti digambar. Hidungnya kecil mancung dan mulut itu memiliki bibir yang menggairahkan. Sepasang mata itu pun indah seperti yang sudah dapat diduganya.

"Kenapa engkau bengong?!" Gadis itu membentak.

Sin Wan bagaikan baru tersadar dari mimpi. Dia menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Ternyata engkau bahkan jauh lebih hebat dari pada yang kubayangkan, nona. Tuhan benar-benar telah memberkahimu berlimpah-limpah, dengan segala kecantikan asli, dengan suara merdu, dengan sinar mata indah mencorong seperti bintang, dengan bentuk tubuh mungil... namun kecantikanmu rasanya agak asing bagiku, tidak seperti kecantikan gadis-gadis lain yang pernah kulihat."

Biar pun Sin Wan bukan seorang laki-laki perayu yang pandai menyenangkan hati wanita dengan pujiannya, bahkan kata-katanya sedikit kaku, namun tetap saja gadis itu merasa girang. Wanita mana yang tidak senang akan pujian tentang kecantikannya, apa lagi yang memuji adalah seorang laki-laki yang berkenan di hatinya.

Dan dalam pandangan pertama ketika Sin Wan masih dalam keadaan pingsan, apa lagi setelah dia terpaksa menghidupkan kembali pemuda itu melalui pernapasan dari mulut ke mulut, pemuda itu mendatangkan kesan yang amat mendalam di hati gadis itu.

"Aku memang bukan seorang gadis Han asli, aku keturunan Jepang."

"Aihh, pantas kalau begitu, tubuhmu begini mungil dan alismu begitu hitam!"

"Sudah, simpan sisa pujianmu. Sekarang katakan, siapa engkau dan apa artinya semua peristiwa yang terjadi di rumah itu." Dia menunjuk ke arah rumah gedung yang kelihatan sunyi itu.

"Aku pun bukan orang Han, nona. Ayah ibuku berbangsa Uighur, tapi semenjak kecil aku dididik seperti orang Han. Namaku Sin Wan. Dan kalau boleh aku mengetahui namamu...”

"Namaku Ouwyang Kim," jawab gadis itu dengan singkat.

Sin Wan memandang dengan mata terbelalak. "Ah, kalau begitu nona tentulah puteri dari locianpwe (orang tua gagah) Ouwyang Cin yang berjuluk Tung-hai-liong!"

Ouwyang Kim mengerutkan alisnya dan sinar matanya menyambar tajam penuh selidik. "Bagaimana pula engkau dapat tahu?"

"Mudah sekali, nona Ouwyang! Nama keturunanmu Ouwyang, ilmu silatmu amat dahsyat dan engkau keturunan Jepang. Siapa lagi kalau bukan puteri Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang namanya sudah kudengar di mana-mana?"

Kembali gadis itu mengerutkan alisnya. Tak nyaman rasa hatinya mendengar pemuda itu mengenal nama ayahnya. Dia tahu bahwa nama ayahnya bukanlah nama yang sedap di dunia persilatan, karena ayahnya adalah seorang datuk yang menguasai semua bajak laut dan para perampok di sepanjang pantai.

"Sudahlah, ceritakan apa yang tadi terjadi di sini dan apa maksudmu memasuki tempat ini seperti maling."

Sin Wan memandang penuh selidik dan dia pun meragu. Gadis ini adalah puteri seorang datuk sesat, dan Si Kedok Hitam juga memimpin mata-mata dan pencuri gudang pusaka. Mereka itu masih satu golongan!

Akan tetapi hatinya membantah. Biar pun ayah gadis ini datuk sesat, akan tetapi gadis ini jelas menentang Si Kedok Hitam dan buktinya tadi telah menyelamatkannya. Sesudah dia diselamatkan orang, apakah dia harus tidak percaya kepada penolongnya ini? Tidak, dia harus jujur dan berterus terang karena dari sinar matanya, bicaranya, dan sikapnya, dia tidak percaya kalau gadis seperti ini akan berpihak kepada pemberontak atau penjahat, biar pun ayahnya adalah seorang datuk sesat.

"Nona Ouwyang...”

"Ahh, sudahlah, sebut saja aku Akim dan ceritakan yang jelas."

Sin Wan tersenyum. Tepat penilaiannya. Gadis ini selain lembut hati dan baik budi, juga sangat jujur dan bersahaja. "Baiklah. Akim. Aku adalah seorang penyelidik yang bertugas untuk menentang jaringan mata-mata Mongol yang beraksi di kota raja."

Akim teringat akan nasehat ibunya maka dia mengangguk-angguk. "Bagus, orang Mongol memang penjajah yang harus ditentang dan mereka sudah kalah. Lanjutkan ceritamu, Sin Wan."

Mendengar ucapan itu, semakin senang dan yakinlah hati Sin Wan bahwa kepada gadis ini dia boleh mempercayainya. Ia lalu melanjutkan, "Ketika terjadi pencurian benda-benda pusaka dari gudang pusaka kerajaan, aku pernah melihat Si Kedok Hitam akan tetapi aku gagal menangkapnya karena dia memang ihai. Oleh karena itu, ketika tadi aku melihat seorang siucai yang kucurigai lenyap di lorong itu, aku menduga bahwa dia menghilang di sini dan aku mencurigai rumah ini. Maka, melihat lorong itu sepi, aku lalu meloncati pagar tembok dan masuk ke sini."

"Hemm, pada saat engkau meloncat itulah aku melihatmu, maka aku cepat mengenakan topeng ini dan membayangi engkau."

"Setelah aku mengintai, ternyata rumah ini sunyi dan dapat kau bayangkan betapa girang hatiku ketika aku melihat Si Kedok Hitam tidur mendengkur di sebuah kamar...”

"Kamar rahasia penuh perangkap dan engkau terjeblos!" gadis itu mencela.

Sin Wan tersipu. Harus diakuinya bahwa tadi dia memang terlalu ceroboh. Karena itu dia pun mengangguk. "Aku telah berhati-hati, sama sekali tak mengira akan diserang dengan asap beracun karena dia sendiri tidur di situ. Pada saat aku pening dan sebelum sempat menerjang keluar, si Kedok Hitam itu sudah berhasil menotokku roboh. Aku hanya dapat menghentikan jalan pernapasan dan tidak ingat apa-apa lagi. Maka, ketika aku siuman di sini dan melihat seorang mengenakan topeng, tentu saja aku mengira bahwa engkau Si Kedok Hitam atau paling tidak salah seorang anak buahnya, karena memang dia memiliki anak buah yang mengenakan kedok dengan berbagai warna, dan ada pula yang hijau."

"Hemm, penyelidik macam apa engkau ini, begitu mudah tertawan musuh. Siapa sih yang menyuruhmu melakukan penyelidikan?"

"Aku mendapat kekuasaan dari Kaisar sendiri dan kini aku bekerja sama dengan seorang panglima. Sekarang ceritakan keadaanmu, Akim. Kenapa engkau dapat begitu kebetulan melihat aku melompati pagar tembok dan membayangi sehingga dapat menolongku."

"Hemm, tidak ada yang menarik tentang diriku. Aku meninggalkan tempat tinggal kami di lembah Muara Huang-ho untuk melakukan perantauan. Aku lalu berkunjung ke kota raja karena perantauanku adalah untuk menyusul ayah dan kukira ayah berada di kota raja. Aku mempersiapkan topeng dan selalu mengenakan pakaian hijau karena aku tidak ingin ayah melihatku. Dia akan marah sekali kalau melihat aku menyusulnya. Nah, ketika aku berjalan-jalan, kebetulan aku memasuki lorong itu untuk mencari jejak ayah sehingga aku melihatmu melompati pagar tembok. Aku lalu membayangimu dan ketika aku melompat ke dalam, aku kehilangan bayanganmu dan rumah itu sunyi sekali. Selagi aku mencari ke sana sini, tiba-tiba aku mendengar suara orang tertawa. Dia adalah seorang laki-laki tinggi besar berperut gendut yang memakai kedok hitam, dan dia berdiri di depan sebuah kamar dari mana mengepul asap yang dari baunya aku tahu bahwa asap itu asap beracun. Aku pun dapat menduga apa yang terjadi. Tentu engkau terjebak di kamar itu, maka aku lalu menyerang Si Kedok Hitam itu. Ternyata dia lihai bukan main, akan tetapi tampaknya dia tidak ingin berkelahi terus. Dia melarikan diri dan aku tidak mengejarnya, melainkan cepat memasuki kamar dan membawamu keluar ke sini."

"Dan engkau lalu menyelamatkan nyawaku, Akim. Entah bagaimana aku dapat membalas budimu yang sangat besar itu. Engkau sudah membawaku keluar dari kamar berasap itu, kemudian membebaskan totokanku dan bagaimana engkau bisa mengobatiku sedemikian cepatnya?"

Tiba-tiba saja wajah gadis itu menjadi kemerahan. "Aku... aku… melihat engkau pingsan, dadamu melembung besar dan keras, kaku, pernapasanmu berhenti sama sekali. Kukira engkau sudah mati...”

"Ah, sekarang aku mulai ingat. Sebelum pingsan aku mengambil satu-satunya cara untuk mencegah asap beracun memasuki dadaku. Aku menghentikan jalan pernapasanku tetapi karena tidak tahan aku lalu tidak ingat apa-apa lagi."

Akim mengangguk. "Engkau sudah kaku dan mukamu kebiruan...”

"Agaknya engkau ahli pula dalam pengobatan."

Akim menggeleng kepalanya. Dia seorang gadis yang jujur dan terbuka, akan tetapi sekali ini dia seperti tenggelam dalam perasaan sungkan dan malu apa bila harus menceritakan bagaimana dia tadi menyelamatkan Sin Wan.

"Lalu bagaimana engkau dapat membuat jalan pernapasanku bekerja kembali?"

Sin Wan ingin tahu sekali karena menurut pengetahuannya, jalan pernapasan yang sudah dihentikannya itu, dalam keadaan dia jatuh pingsan, tidak mungkin dapat terbuka sendiri atau bekerja sendiri. Dia sendiri pun tidak akan dapat menolong orang yang keadaannya seperti dia tadi.

"Aku memberimu pernapasan...”

"Ehh? Memberi pernapasan? Bagaimana maksudmu, Akim?"

"Aihh, Sin Wan, kenapa engkau cerewet, sih? Bukankah yang penting aku sudah berhasil membuatmu bernapas kembali?"

"Akim, aku sangat berterima kasih kepadamu. Bukan maksudku untuk menjadi cerewet, akan tetapi aku ingin sekali tahu agar sewaktu-waktu kalau ada peristiwa seperti itu, aku dapat mengobati orang yang keadaannya seperti aku tadi."

Akim termenung. "Sin Wan, terus terang saja, kalau bukan karena engkau kebetulan telah mendatangkan perasaan iba dan percaya padaku, kalau orang lain, sampai mati pun aku tidak akan sudi memberi pengobatan seperti itu, dengan jalan memberi pernapasan."

"Sekali lagi terima kasih, Akim. Akan tetapi aku belum mengerti apa maksudnya memberi pernapasan itu."

“Ya memberi pernapasan, meniupkan napas ke dalam paru-parumu! Bodoh benar sih kau ini!”

Gadis itu nampak jengkel dan mukanya menjadi semakin merah. Biar dia sudah berusia dua puluh tahun, namun Ouwyang Kim belum pernah bergaul dekat dengan pria, bahkan dia merasa jemu dan jengkel melihat suheng-nya, Maniyoko, nampak begitu mencintanya. Bergaul akrab dengan pria pun belum, apa lagi beradu mulut seperti yang dilakukannya ketika meniupkan kehidupan kepada Sin Wan!

"Meniupkan napas ke dalam paru-paruku...? Tapi... tapi... bagaimana caranya?” Sin Wan bertanya dengan jujur dan sungguh-sungguh, tidak dibuat-buat karena memang dia sama sekali tidak pernah membayangkan cara yang mustahil itu.

"Tolol benar, tentu saja aku meniupkan napas ke dalam paru-parumu, melalui mulutmu sambil menutupi hidungmu!" Akim menjawab cepat, akan tetapi sambil dia menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata Sin Wan yang terbelalak dengan mulut terbuka saking kaget dan herannya.

Sejenak suasana menjadi hening. Akim menunduk dan Sin Wan memandang kepadanya dengan bengong, tidak berani berkata apa pun juga karena apa yang dikatakan gadis itu sungguh di luar dugaannya sama sekali.

Sekarang Sin Wan membayangkan betapa mulut yang indah itu tadi meniupkan napas ke dalam dadanya lewat mulutnya. Mulut mereka tadi bertemu entah berapa lama dan entah berapa kali. Walau pun jantungnya berdebar keras dan dia ingin sekali tahu berapa lama dan berapa kali, namun dia tidak memiliki keberanian untuk menanyakannya.

Melihat gadis itu menunduk dan kelihatan malu sekali, dia merasa kasihan. Pantas gadis yang demikian gagah menjadi seperti seorang perawan desa yang malu-malu, kiranya dia memaksa gadis itu menceritakan adegan yang mustahil!

"Ahhh... maafkan aku, Akim... semakin besar jasa dan budimu. Selama hidupku, aku tidak akan pernah melupakannya. Engkau... engkau sungguh teramat baik kepadaku, Akim."

"Cukup, aku bisa menjadi muak kalau tiada hentinya engkau berterima kasih seperti itu. Aku ingin tahu, apakah engkau adalah seorang perwira, atau seorang pejabat pemerintah yang bertugas sebagai penyelidik"

Sin Wan menggeleng kepala. "Bukan sama sekali. Aku tidak akan mau mengikatkan diri dengan jabatan."

"Bagus, aku akan membencimu kalau engkau seorang petugas bayaran. Lalu, mengapa engkau dapat bertugas menentang jaringan mata-mata Mongol dan mendapat kekuasaan dari Kaisar sendiri?"

"Sebenarnya guruku yang mendapat tugas dan kekuasaan itu, akan tetapi karena guruku merasa sudah tua, beliau lalu mewakilkan tugas itu kepadaku. Karena hendak berbakti dan mentaati guruku itulah maka sekarang aku melakukan penyelidikan."

"Ketika engkau menotokku, gerakanmu amat hebat. Siapa sih gurumu itu, Sin Wan?"

"Guruku adalah Sam-sian, sekarang hanya tinggal suhu Ciu-sian saja."

Gadis itu mengangkat kedua tangan ke atas. "Wah, Sam-sian? Ayahku pernah bercerita tentang Sam-sian dan memuji mereka. Jadi engkau adalah murid mereka? Kalau engkau bukan seorang perwira, mengapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau sedang bekerja sama dengan seorang panglima...”

"Celaka, aku sampai melupakan dia!" Sin Wan berseru, "Panglima itu, dia... dia terancam bahaya maut, aku harus cepat menolongnya!" Dia bangkit berdiri.

"Sin Wan, biarkan aku ikut. Aku akan membantumu."

"Tapi...,” Siin Wan meragu.

Gadis itu bertolak pinggang, sikapnya sungguh menantang. "Baru saja engkau berterima kasih berulang-ulang sampai menjemukan, sekarang aku hendak ikut dan membantumu saja engkau melarangku. Begitukah macamnya terima kasihmu itu?" Gadis itu cemberut, membalikkan badan dan meloncat pergi ke atas pagar tembok, terus keluar.

Sesosok bayangan berkelebat di sampingnya dan Sin Wan telah berada di sampingnya, di lorong sempit itu. Hal ini saja membuat Akim menyadari bahwa pemuda murid Sam-sian ini memang hebat, memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa.

"Maafkan aku, Akim. Mari kita pergi bersama.“

Wajah yang tadinya cemberut itu seketika berubah menjadi cerah dan senyumnya yang manis mengembang. "Aku sedang kebingungan seorang diri di kota raja yang besar dan ramai ini, Sin Wan, dan kini mendapatkan seorang teman baik. Mari!"

Diam-diam Sin Wan merasa kagum terhadap gadis puteri datuk timur ini. Seorang gadis yang baik hati, walau pun juga aneh, mengingatkan dia kepada Lili. Hanya bedanya, gadis ini agaknya tidak berhati ganas dan kejam seperti Lili, yang pernah menyiksanya hanya kerana hendak membalas dendam ketika kecil pernah dia tampari pinggulnya.

Dengan gadis seperti Akim ini di dekatnya, dia merasa mendapatkan seorang teman yang bisa diandalkan dan boleh dipercaya. Mereka berdua segera melakukan perjalanan cepat menuju ke rumah Bhok Cun Ki.

Kembali Sin Wan tidak bertemu dengan Bhok Cun Ki dan seperti tadi, yang menyambut kedatangannya adalah Ci Han dan Ci Hwa. Kakak beradik ini terlihat muram dan bingung. Mereka berdua memandang penuh selidik dan kecurigaan ketika melihat seorang gadis cantik berpakaian serba hijau datang bersama Sin Wan. Tadinya mereka mengira bahwa gadis yang datang bersama Sin Wan itu Lili, gadis yang mengancam ayah mereka. Akan tetapi setelah Sin Wan dan Akim datang mendekat, mereka baru melihat bahwa gadis itu adalah seorang asing yang tidak mereka kenal.

"Siapakah enci ini, Wan-toako?" tanya Ci Hwa dengan alis berkerut dan hati merasa tidak senang. Dia merasa kagum kepada Sin Wan bahkan mengharapkan bantuan pemuda ini untuk menyelamatkan ayahnya. Dia tertarik kepada pemuda Uighur ini, maka melihat dia datang bersama seorang gadis cantik, tentu saja hatinya merasa tidak nyaman.

"Ini adalah nona Ouwyang Kim, seorang sahabat. Akim, ini adalah kakak beradik Bhok Ci Han dan Bhok Ci Hwa, putera puteri panglima Bhok. Adik Ci Han dan Ci Hwa, di manakah ayah kalian?"

"Ahh, gawat sekali, toako," jawab Ci Han. "Ayah menerima surat tantangan lagi dan sekali ini dia ditantang untuk bertemu musuhnya di sebelah utara kota raja."

"Dan ayah melarang keras kepada kami agar kami tidak menyusul ke sana. Kami merasa gelisah sekali, toako!" kata Ci Hwa dengan pandang mata penuh harapan agar Sin Wan membela ayahnya.

Mendengar ini, Sin Wan terkejut bukan main. “Kalau begitu, aku harus cepat mencarinya ke sana. Mari kita pergi, Akim!” Tanpa banyak keterangan lagi Sin Wan lalu pergi dengan cepat, diikuti Akim.

Ci Hwa memandang kepada kakaknya, wajahnya semakin muram. "Koko, mari kita pergi menyusul ayah."

"Hwa-moi, ayah tadi sudah memperingatkan kita dengan keras agar kita tidak menyusul ke sana. Ayah tentu akan marah sekali kalau kita melanggarnya."

"Tapi, bagaimana mungkin kita dapat berdiam diri begini saja? Kita harus membela ayah!"

"Sudah ada Wan-toako yang menyusul ke sana, Hwa-moi."

"Justru itulah yang membuat aku penasaran. Kau lihat tadi? Gadis itu adalah orang asing sama sekali dan dia saja boleh ikut Wan-toako menyusul ayah. Kalau seorang gadis asing boleh ke sana, mengapa kita putera puterinya tidak boleh? Kalau engkau tidak mau, biar aku sendiri yang akan menyusul ke sana."

"Hwa-moi, ayah melarang kita karena pihak musuh sungguh berbahaya. Ayah tidak ingin melihat kita celaka, juga ayah menekankan bahwa urusan itu adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri siapa pun juga."

"Tapi gadis yang pergi bersama Wan-toako tadi? Kenapa boleh? Apa dia lebih hebat dan lebih lihai dari pada aku?"

"Aihh, Hwa-moi, kau... agaknya kau... cemburu kepadanya!"

Wajah Ci Hwa berubah merah, akan tetapi dia tidak membantah dan berkata, "Sudahlah, aku mau pergi menyusul sekarang. Kalau engkau mau ikut, itu baik, kalau tidak maka aku akan pergi sendiri. Kalau ayah marah, biar aku yang bertanggung jawab!" Setelah berkata demikian, Ci Hwa bergegas meninggalkan rumah.

Tentu saja Ci Han tidak tega membiarkan adiknya menyusul seorang diri, maka dia pun segera mengejarnya. Biarlah mereka berdua yang akan bertanggung jawab kalau sampai ayah mereka marah.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Bhok Cun Ki telah menerima surat tantangan yang ditulis oleh Cu Sui In. Hari itu dia ikut mencari Lili yang menjadi orang buruan, tetapi tak berhasil. Adalah kedua orang anaknya yang menemukan surat itu. Sehelai surat yang tahu-tahu sudah berada pada daun pintu rumah mereka, tertancap di daun pintu, tertusuk sebatang pisau. Surat itu singkat saja, menantang Bhok Cun Ki untuk mengadu nyawa di hutan sebelah utara kota raja.

Tentu saja kakak beradik itu menjadi marah sekali, akan tetapi mereka tidak tahu siapa yang menyambitkan pisau bersurat itu ke daun pintu rumah mereka. Ketika ayah mereka pulang, mereka memberi tahu mengenai surat itu.

Sesudah membaca surat itu, berubahlah wajah Bhok Cun Ki karena dia masih ingat akan tulisan Cu Sui In, bekas kekasihnya! Surat itu tanpa nama pengirim, akan tetapi dia tahu bahwa sekarang yang menantangnya adalah Sui In sendiri.

Andai kata yang menantangnya itu sumoi dari Sui In, tentu dia takkan mempedulikannya. Akan tetapi sekarang yang mengirim surat tantangan adalah Cu Sui In sendiri! Dia harus pergi menemui bekas kekasihnya itu...

Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 19

SEJENAK nona itu memandang penuh selidik, lalu menggelengkan kepala. "Engkau orang aneh. Selama hidup belum pernah aku bertemu dengan seorang manusia aneh semacam kamu!"

"Dan selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan seorang gadis yang cantik dan lihai, juga berbudi mulia sepertimu, nona."

"Heiii! Bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu?"

"Mengetahui apa, nona?"

"Engkau sebut aku nona, dan engkau katakan aku cantik...”

Sin Wan tersenyum. "Ah, itu mudah sekali, nona. Dari bentuk tubuhmu, kulit lengan, dahi dan lehermu, rambutmu, sinar matamu dari balik topeng, kemudian suaramu yang bening dan merdu, maka mudah saja aku mengetahui bahwa engkau adalah seorang gadis muda yang cantik jelita."

"Hemm, ngawur! Engkau tidak pernah melihat wajahku, bagaimana bisa mengatakan aku cantik"

"Tentu saja bisa. Dengan rambut seperti itu, kulit seperti itu, mata seperti itu, tak mungkin nona tidak memiliki kecantikan yang luar biasa."

"Lebih ngawur lagi! Wajahku amat jelek, penuh bekas cacar dan noda hitam, karena itu kusembunyikan di balik topeng."

"Kecantikan bukan hanya karena wajah halus saja, nona. Kecantikan terletak lebih dalam lagi, dan engkau mempunyai semua kecantikan itu. Biar wajahmu penuh cacar dan noda hitam sekali pun, bagiku engkau tetap cantik. Sayang engkau berwatak penakut sehingga tidak berani memperlihatkan wajahmu seperti aku menunjukkan wajahku kepadamu tanpa kusembunyikan. Engkau seperti Si Kedok Hitam saja...”

“Lancang mulut! Aku memakai topeng bukan karena takut!"

Berkata demikian, dia merenggut topeng kain hijau itu terlepas dari depan mukanya dan Sin Wan tertegun, terpesona. Wajah itu berkulit putih mulus, berbentuk bulat dengan alis yang amat hitam seperti digambar. Hidungnya kecil mancung dan mulut itu memiliki bibir yang menggairahkan. Sepasang mata itu pun indah seperti yang sudah dapat diduganya.

"Kenapa engkau bengong?!" Gadis itu membentak.

Sin Wan bagaikan baru tersadar dari mimpi. Dia menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Ternyata engkau bahkan jauh lebih hebat dari pada yang kubayangkan, nona. Tuhan benar-benar telah memberkahimu berlimpah-limpah, dengan segala kecantikan asli, dengan suara merdu, dengan sinar mata indah mencorong seperti bintang, dengan bentuk tubuh mungil... namun kecantikanmu rasanya agak asing bagiku, tidak seperti kecantikan gadis-gadis lain yang pernah kulihat."

Biar pun Sin Wan bukan seorang laki-laki perayu yang pandai menyenangkan hati wanita dengan pujiannya, bahkan kata-katanya sedikit kaku, namun tetap saja gadis itu merasa girang. Wanita mana yang tidak senang akan pujian tentang kecantikannya, apa lagi yang memuji adalah seorang laki-laki yang berkenan di hatinya.

Dan dalam pandangan pertama ketika Sin Wan masih dalam keadaan pingsan, apa lagi setelah dia terpaksa menghidupkan kembali pemuda itu melalui pernapasan dari mulut ke mulut, pemuda itu mendatangkan kesan yang amat mendalam di hati gadis itu.

"Aku memang bukan seorang gadis Han asli, aku keturunan Jepang."

"Aihh, pantas kalau begitu, tubuhmu begini mungil dan alismu begitu hitam!"

"Sudah, simpan sisa pujianmu. Sekarang katakan, siapa engkau dan apa artinya semua peristiwa yang terjadi di rumah itu." Dia menunjuk ke arah rumah gedung yang kelihatan sunyi itu.

"Aku pun bukan orang Han, nona. Ayah ibuku berbangsa Uighur, tapi semenjak kecil aku dididik seperti orang Han. Namaku Sin Wan. Dan kalau boleh aku mengetahui namamu...”

"Namaku Ouwyang Kim," jawab gadis itu dengan singkat.

Sin Wan memandang dengan mata terbelalak. "Ah, kalau begitu nona tentulah puteri dari locianpwe (orang tua gagah) Ouwyang Cin yang berjuluk Tung-hai-liong!"

Ouwyang Kim mengerutkan alisnya dan sinar matanya menyambar tajam penuh selidik. "Bagaimana pula engkau dapat tahu?"

"Mudah sekali, nona Ouwyang! Nama keturunanmu Ouwyang, ilmu silatmu amat dahsyat dan engkau keturunan Jepang. Siapa lagi kalau bukan puteri Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang namanya sudah kudengar di mana-mana?"

Kembali gadis itu mengerutkan alisnya. Tak nyaman rasa hatinya mendengar pemuda itu mengenal nama ayahnya. Dia tahu bahwa nama ayahnya bukanlah nama yang sedap di dunia persilatan, karena ayahnya adalah seorang datuk yang menguasai semua bajak laut dan para perampok di sepanjang pantai.

"Sudahlah, ceritakan apa yang tadi terjadi di sini dan apa maksudmu memasuki tempat ini seperti maling."

Sin Wan memandang penuh selidik dan dia pun meragu. Gadis ini adalah puteri seorang datuk sesat, dan Si Kedok Hitam juga memimpin mata-mata dan pencuri gudang pusaka. Mereka itu masih satu golongan!

Akan tetapi hatinya membantah. Biar pun ayah gadis ini datuk sesat, akan tetapi gadis ini jelas menentang Si Kedok Hitam dan buktinya tadi telah menyelamatkannya. Sesudah dia diselamatkan orang, apakah dia harus tidak percaya kepada penolongnya ini? Tidak, dia harus jujur dan berterus terang karena dari sinar matanya, bicaranya, dan sikapnya, dia tidak percaya kalau gadis seperti ini akan berpihak kepada pemberontak atau penjahat, biar pun ayahnya adalah seorang datuk sesat.

"Nona Ouwyang...”

"Ahh, sudahlah, sebut saja aku Akim dan ceritakan yang jelas."

Sin Wan tersenyum. Tepat penilaiannya. Gadis ini selain lembut hati dan baik budi, juga sangat jujur dan bersahaja. "Baiklah. Akim. Aku adalah seorang penyelidik yang bertugas untuk menentang jaringan mata-mata Mongol yang beraksi di kota raja."

Akim teringat akan nasehat ibunya maka dia mengangguk-angguk. "Bagus, orang Mongol memang penjajah yang harus ditentang dan mereka sudah kalah. Lanjutkan ceritamu, Sin Wan."

Mendengar ucapan itu, semakin senang dan yakinlah hati Sin Wan bahwa kepada gadis ini dia boleh mempercayainya. Ia lalu melanjutkan, "Ketika terjadi pencurian benda-benda pusaka dari gudang pusaka kerajaan, aku pernah melihat Si Kedok Hitam akan tetapi aku gagal menangkapnya karena dia memang ihai. Oleh karena itu, ketika tadi aku melihat seorang siucai yang kucurigai lenyap di lorong itu, aku menduga bahwa dia menghilang di sini dan aku mencurigai rumah ini. Maka, melihat lorong itu sepi, aku lalu meloncati pagar tembok dan masuk ke sini."

"Hemm, pada saat engkau meloncat itulah aku melihatmu, maka aku cepat mengenakan topeng ini dan membayangi engkau."

"Setelah aku mengintai, ternyata rumah ini sunyi dan dapat kau bayangkan betapa girang hatiku ketika aku melihat Si Kedok Hitam tidur mendengkur di sebuah kamar...”

"Kamar rahasia penuh perangkap dan engkau terjeblos!" gadis itu mencela.

Sin Wan tersipu. Harus diakuinya bahwa tadi dia memang terlalu ceroboh. Karena itu dia pun mengangguk. "Aku telah berhati-hati, sama sekali tak mengira akan diserang dengan asap beracun karena dia sendiri tidur di situ. Pada saat aku pening dan sebelum sempat menerjang keluar, si Kedok Hitam itu sudah berhasil menotokku roboh. Aku hanya dapat menghentikan jalan pernapasan dan tidak ingat apa-apa lagi. Maka, ketika aku siuman di sini dan melihat seorang mengenakan topeng, tentu saja aku mengira bahwa engkau Si Kedok Hitam atau paling tidak salah seorang anak buahnya, karena memang dia memiliki anak buah yang mengenakan kedok dengan berbagai warna, dan ada pula yang hijau."

"Hemm, penyelidik macam apa engkau ini, begitu mudah tertawan musuh. Siapa sih yang menyuruhmu melakukan penyelidikan?"

"Aku mendapat kekuasaan dari Kaisar sendiri dan kini aku bekerja sama dengan seorang panglima. Sekarang ceritakan keadaanmu, Akim. Kenapa engkau dapat begitu kebetulan melihat aku melompati pagar tembok dan membayangi sehingga dapat menolongku."

"Hemm, tidak ada yang menarik tentang diriku. Aku meninggalkan tempat tinggal kami di lembah Muara Huang-ho untuk melakukan perantauan. Aku lalu berkunjung ke kota raja karena perantauanku adalah untuk menyusul ayah dan kukira ayah berada di kota raja. Aku mempersiapkan topeng dan selalu mengenakan pakaian hijau karena aku tidak ingin ayah melihatku. Dia akan marah sekali kalau melihat aku menyusulnya. Nah, ketika aku berjalan-jalan, kebetulan aku memasuki lorong itu untuk mencari jejak ayah sehingga aku melihatmu melompati pagar tembok. Aku lalu membayangimu dan ketika aku melompat ke dalam, aku kehilangan bayanganmu dan rumah itu sunyi sekali. Selagi aku mencari ke sana sini, tiba-tiba aku mendengar suara orang tertawa. Dia adalah seorang laki-laki tinggi besar berperut gendut yang memakai kedok hitam, dan dia berdiri di depan sebuah kamar dari mana mengepul asap yang dari baunya aku tahu bahwa asap itu asap beracun. Aku pun dapat menduga apa yang terjadi. Tentu engkau terjebak di kamar itu, maka aku lalu menyerang Si Kedok Hitam itu. Ternyata dia lihai bukan main, akan tetapi tampaknya dia tidak ingin berkelahi terus. Dia melarikan diri dan aku tidak mengejarnya, melainkan cepat memasuki kamar dan membawamu keluar ke sini."

"Dan engkau lalu menyelamatkan nyawaku, Akim. Entah bagaimana aku dapat membalas budimu yang sangat besar itu. Engkau sudah membawaku keluar dari kamar berasap itu, kemudian membebaskan totokanku dan bagaimana engkau bisa mengobatiku sedemikian cepatnya?"

Tiba-tiba saja wajah gadis itu menjadi kemerahan. "Aku... aku… melihat engkau pingsan, dadamu melembung besar dan keras, kaku, pernapasanmu berhenti sama sekali. Kukira engkau sudah mati...”

"Ah, sekarang aku mulai ingat. Sebelum pingsan aku mengambil satu-satunya cara untuk mencegah asap beracun memasuki dadaku. Aku menghentikan jalan pernapasanku tetapi karena tidak tahan aku lalu tidak ingat apa-apa lagi."

Akim mengangguk. "Engkau sudah kaku dan mukamu kebiruan...”

"Agaknya engkau ahli pula dalam pengobatan."

Akim menggeleng kepalanya. Dia seorang gadis yang jujur dan terbuka, akan tetapi sekali ini dia seperti tenggelam dalam perasaan sungkan dan malu apa bila harus menceritakan bagaimana dia tadi menyelamatkan Sin Wan.

"Lalu bagaimana engkau dapat membuat jalan pernapasanku bekerja kembali?"

Sin Wan ingin tahu sekali karena menurut pengetahuannya, jalan pernapasan yang sudah dihentikannya itu, dalam keadaan dia jatuh pingsan, tidak mungkin dapat terbuka sendiri atau bekerja sendiri. Dia sendiri pun tidak akan dapat menolong orang yang keadaannya seperti dia tadi.

"Aku memberimu pernapasan...”

"Ehh? Memberi pernapasan? Bagaimana maksudmu, Akim?"

"Aihh, Sin Wan, kenapa engkau cerewet, sih? Bukankah yang penting aku sudah berhasil membuatmu bernapas kembali?"

"Akim, aku sangat berterima kasih kepadamu. Bukan maksudku untuk menjadi cerewet, akan tetapi aku ingin sekali tahu agar sewaktu-waktu kalau ada peristiwa seperti itu, aku dapat mengobati orang yang keadaannya seperti aku tadi."

Akim termenung. "Sin Wan, terus terang saja, kalau bukan karena engkau kebetulan telah mendatangkan perasaan iba dan percaya padaku, kalau orang lain, sampai mati pun aku tidak akan sudi memberi pengobatan seperti itu, dengan jalan memberi pernapasan."

"Sekali lagi terima kasih, Akim. Akan tetapi aku belum mengerti apa maksudnya memberi pernapasan itu."

“Ya memberi pernapasan, meniupkan napas ke dalam paru-parumu! Bodoh benar sih kau ini!”

Gadis itu nampak jengkel dan mukanya menjadi semakin merah. Biar dia sudah berusia dua puluh tahun, namun Ouwyang Kim belum pernah bergaul dekat dengan pria, bahkan dia merasa jemu dan jengkel melihat suheng-nya, Maniyoko, nampak begitu mencintanya. Bergaul akrab dengan pria pun belum, apa lagi beradu mulut seperti yang dilakukannya ketika meniupkan kehidupan kepada Sin Wan!

"Meniupkan napas ke dalam paru-paruku...? Tapi... tapi... bagaimana caranya?” Sin Wan bertanya dengan jujur dan sungguh-sungguh, tidak dibuat-buat karena memang dia sama sekali tidak pernah membayangkan cara yang mustahil itu.

"Tolol benar, tentu saja aku meniupkan napas ke dalam paru-parumu, melalui mulutmu sambil menutupi hidungmu!" Akim menjawab cepat, akan tetapi sambil dia menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata Sin Wan yang terbelalak dengan mulut terbuka saking kaget dan herannya.

Sejenak suasana menjadi hening. Akim menunduk dan Sin Wan memandang kepadanya dengan bengong, tidak berani berkata apa pun juga karena apa yang dikatakan gadis itu sungguh di luar dugaannya sama sekali.

Sekarang Sin Wan membayangkan betapa mulut yang indah itu tadi meniupkan napas ke dalam dadanya lewat mulutnya. Mulut mereka tadi bertemu entah berapa lama dan entah berapa kali. Walau pun jantungnya berdebar keras dan dia ingin sekali tahu berapa lama dan berapa kali, namun dia tidak memiliki keberanian untuk menanyakannya.

Melihat gadis itu menunduk dan kelihatan malu sekali, dia merasa kasihan. Pantas gadis yang demikian gagah menjadi seperti seorang perawan desa yang malu-malu, kiranya dia memaksa gadis itu menceritakan adegan yang mustahil!

"Ahhh... maafkan aku, Akim... semakin besar jasa dan budimu. Selama hidupku, aku tidak akan pernah melupakannya. Engkau... engkau sungguh teramat baik kepadaku, Akim."

"Cukup, aku bisa menjadi muak kalau tiada hentinya engkau berterima kasih seperti itu. Aku ingin tahu, apakah engkau adalah seorang perwira, atau seorang pejabat pemerintah yang bertugas sebagai penyelidik"

Sin Wan menggeleng kepala. "Bukan sama sekali. Aku tidak akan mau mengikatkan diri dengan jabatan."

"Bagus, aku akan membencimu kalau engkau seorang petugas bayaran. Lalu, mengapa engkau dapat bertugas menentang jaringan mata-mata Mongol dan mendapat kekuasaan dari Kaisar sendiri?"

"Sebenarnya guruku yang mendapat tugas dan kekuasaan itu, akan tetapi karena guruku merasa sudah tua, beliau lalu mewakilkan tugas itu kepadaku. Karena hendak berbakti dan mentaati guruku itulah maka sekarang aku melakukan penyelidikan."

"Ketika engkau menotokku, gerakanmu amat hebat. Siapa sih gurumu itu, Sin Wan?"

"Guruku adalah Sam-sian, sekarang hanya tinggal suhu Ciu-sian saja."

Gadis itu mengangkat kedua tangan ke atas. "Wah, Sam-sian? Ayahku pernah bercerita tentang Sam-sian dan memuji mereka. Jadi engkau adalah murid mereka? Kalau engkau bukan seorang perwira, mengapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau sedang bekerja sama dengan seorang panglima...”

"Celaka, aku sampai melupakan dia!" Sin Wan berseru, "Panglima itu, dia... dia terancam bahaya maut, aku harus cepat menolongnya!" Dia bangkit berdiri.

"Sin Wan, biarkan aku ikut. Aku akan membantumu."

"Tapi...,” Siin Wan meragu.

Gadis itu bertolak pinggang, sikapnya sungguh menantang. "Baru saja engkau berterima kasih berulang-ulang sampai menjemukan, sekarang aku hendak ikut dan membantumu saja engkau melarangku. Begitukah macamnya terima kasihmu itu?" Gadis itu cemberut, membalikkan badan dan meloncat pergi ke atas pagar tembok, terus keluar.

Sesosok bayangan berkelebat di sampingnya dan Sin Wan telah berada di sampingnya, di lorong sempit itu. Hal ini saja membuat Akim menyadari bahwa pemuda murid Sam-sian ini memang hebat, memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa.

"Maafkan aku, Akim. Mari kita pergi bersama.“

Wajah yang tadinya cemberut itu seketika berubah menjadi cerah dan senyumnya yang manis mengembang. "Aku sedang kebingungan seorang diri di kota raja yang besar dan ramai ini, Sin Wan, dan kini mendapatkan seorang teman baik. Mari!"

Diam-diam Sin Wan merasa kagum terhadap gadis puteri datuk timur ini. Seorang gadis yang baik hati, walau pun juga aneh, mengingatkan dia kepada Lili. Hanya bedanya, gadis ini agaknya tidak berhati ganas dan kejam seperti Lili, yang pernah menyiksanya hanya kerana hendak membalas dendam ketika kecil pernah dia tampari pinggulnya.

Dengan gadis seperti Akim ini di dekatnya, dia merasa mendapatkan seorang teman yang bisa diandalkan dan boleh dipercaya. Mereka berdua segera melakukan perjalanan cepat menuju ke rumah Bhok Cun Ki.

Kembali Sin Wan tidak bertemu dengan Bhok Cun Ki dan seperti tadi, yang menyambut kedatangannya adalah Ci Han dan Ci Hwa. Kakak beradik ini terlihat muram dan bingung. Mereka berdua memandang penuh selidik dan kecurigaan ketika melihat seorang gadis cantik berpakaian serba hijau datang bersama Sin Wan. Tadinya mereka mengira bahwa gadis yang datang bersama Sin Wan itu Lili, gadis yang mengancam ayah mereka. Akan tetapi setelah Sin Wan dan Akim datang mendekat, mereka baru melihat bahwa gadis itu adalah seorang asing yang tidak mereka kenal.

"Siapakah enci ini, Wan-toako?" tanya Ci Hwa dengan alis berkerut dan hati merasa tidak senang. Dia merasa kagum kepada Sin Wan bahkan mengharapkan bantuan pemuda ini untuk menyelamatkan ayahnya. Dia tertarik kepada pemuda Uighur ini, maka melihat dia datang bersama seorang gadis cantik, tentu saja hatinya merasa tidak nyaman.

"Ini adalah nona Ouwyang Kim, seorang sahabat. Akim, ini adalah kakak beradik Bhok Ci Han dan Bhok Ci Hwa, putera puteri panglima Bhok. Adik Ci Han dan Ci Hwa, di manakah ayah kalian?"

"Ahh, gawat sekali, toako," jawab Ci Han. "Ayah menerima surat tantangan lagi dan sekali ini dia ditantang untuk bertemu musuhnya di sebelah utara kota raja."

"Dan ayah melarang keras kepada kami agar kami tidak menyusul ke sana. Kami merasa gelisah sekali, toako!" kata Ci Hwa dengan pandang mata penuh harapan agar Sin Wan membela ayahnya.

Mendengar ini, Sin Wan terkejut bukan main. “Kalau begitu, aku harus cepat mencarinya ke sana. Mari kita pergi, Akim!” Tanpa banyak keterangan lagi Sin Wan lalu pergi dengan cepat, diikuti Akim.

Ci Hwa memandang kepada kakaknya, wajahnya semakin muram. "Koko, mari kita pergi menyusul ayah."

"Hwa-moi, ayah tadi sudah memperingatkan kita dengan keras agar kita tidak menyusul ke sana. Ayah tentu akan marah sekali kalau kita melanggarnya."

"Tapi, bagaimana mungkin kita dapat berdiam diri begini saja? Kita harus membela ayah!"

"Sudah ada Wan-toako yang menyusul ke sana, Hwa-moi."

"Justru itulah yang membuat aku penasaran. Kau lihat tadi? Gadis itu adalah orang asing sama sekali dan dia saja boleh ikut Wan-toako menyusul ayah. Kalau seorang gadis asing boleh ke sana, mengapa kita putera puterinya tidak boleh? Kalau engkau tidak mau, biar aku sendiri yang akan menyusul ke sana."

"Hwa-moi, ayah melarang kita karena pihak musuh sungguh berbahaya. Ayah tidak ingin melihat kita celaka, juga ayah menekankan bahwa urusan itu adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri siapa pun juga."

"Tapi gadis yang pergi bersama Wan-toako tadi? Kenapa boleh? Apa dia lebih hebat dan lebih lihai dari pada aku?"

"Aihh, Hwa-moi, kau... agaknya kau... cemburu kepadanya!"

Wajah Ci Hwa berubah merah, akan tetapi dia tidak membantah dan berkata, "Sudahlah, aku mau pergi menyusul sekarang. Kalau engkau mau ikut, itu baik, kalau tidak maka aku akan pergi sendiri. Kalau ayah marah, biar aku yang bertanggung jawab!" Setelah berkata demikian, Ci Hwa bergegas meninggalkan rumah.

Tentu saja Ci Han tidak tega membiarkan adiknya menyusul seorang diri, maka dia pun segera mengejarnya. Biarlah mereka berdua yang akan bertanggung jawab kalau sampai ayah mereka marah.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Bhok Cun Ki telah menerima surat tantangan yang ditulis oleh Cu Sui In. Hari itu dia ikut mencari Lili yang menjadi orang buruan, tetapi tak berhasil. Adalah kedua orang anaknya yang menemukan surat itu. Sehelai surat yang tahu-tahu sudah berada pada daun pintu rumah mereka, tertancap di daun pintu, tertusuk sebatang pisau. Surat itu singkat saja, menantang Bhok Cun Ki untuk mengadu nyawa di hutan sebelah utara kota raja.

Tentu saja kakak beradik itu menjadi marah sekali, akan tetapi mereka tidak tahu siapa yang menyambitkan pisau bersurat itu ke daun pintu rumah mereka. Ketika ayah mereka pulang, mereka memberi tahu mengenai surat itu.

Sesudah membaca surat itu, berubahlah wajah Bhok Cun Ki karena dia masih ingat akan tulisan Cu Sui In, bekas kekasihnya! Surat itu tanpa nama pengirim, akan tetapi dia tahu bahwa sekarang yang menantangnya adalah Sui In sendiri.

Andai kata yang menantangnya itu sumoi dari Sui In, tentu dia takkan mempedulikannya. Akan tetapi sekarang yang mengirim surat tantangan adalah Cu Sui In sendiri! Dia harus pergi menemui bekas kekasihnya itu...