Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SIN WAN menarik napas panjang, tidak merasa terhina oleh pengusiran itu sebab dia telah mengenal watak Lili yang keras dan agak aneh. Tanpa banyak cakap lagi dia pun segera menghampiri jendela, membuka daun jendela kemudian melompat keluar dengan gerakan ringan tanpa menimbulkan suara.

Lili berdiri termenung memandang jendela yang kosong, dan tanpa disadarinya dua titik air mata keluar dari pelupuk matanya, jatuh ke atas sepasang pipinya.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Di lembah muara Sungai Kuning yang memuntahkan airnya ke teluk Pohai ada beberapa bukit kecil. Di atas puncak sebuah di antara bukit itu terdapat sebuah rumah gedung yang sangat besar. Inilah tempat tinggal seorang datuk persilatan yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai datuk yang berkuasa di wilayah timur. Datuk ini dijuluki Tung-hai-liong (Naga Lautan Timur) bernama Ouwyang Cin.

Datuk ini berusia enam puluh enam tahun. Tubuhnya gendut bulat, kepalanya botak dan melihat tubuhnya orang tidak akan menyangka bahwa dia adalah seorang ahli silat yang amat lihai.

Tung-hai-liong Ouwyang Cin sebenarnya peranakan Jepang. Ayahnya seorang Cina Han dan ibunya seorang Jepang asli. Akan tetapi sejak kecil dia dididik oleh ayahnya sehingga dia tidak lagi kelihatan sebagai peranakan, melainkan sebagai seorang Han asli, baik dari namanya, cara hidupnya serta kebudayaannya. Hanya ilmu silatnya saja yang tercampur dengan ilmu silat dari Jepang, yang dia pelajari dari para pamannya, yaitu jagoan-jagoan samurai dari Jepang.

Ketika masih muda Tung-hai-liong Ouwyang Cin adalah seorang petualang yang dengan perahu layarnya malang melintang di lautan timur. Namanya terkenal sebagai bajak laut yang amat ditakuti, bahkan dia terkenal sampai ke Jepang karena sering pula membajak di perairan kepulauan Jepang.

Bahkan isterinya pun adalah puteri dari seorang jagoan samurai yang takluk kepadanya, sehingga Ouwyang Cin mengenal banyak jagoan Samurai Jepang. Dia menikah dengan gadis Jepang yang berwatak lembut itu, yang telah melahirkan seorang anak perempuan.

Meski pun Tung-hai-liong Ouwyang Cin seorang bajak laut yang hidup dalam kekerasan, namun ternyata dia amat mencinta isterinya. Ketika puterinya berusia sepuluh tahun dan dia sendiri berusia lima puluh lima tahun, dia melepaskan perahunya dan tinggal di bukit lembah muara Huang-ho, tidak lagi berlayar menjadi bajak laut, akan tetapi mulai dikenal sebagai datuk wilayah timur. Semua bajak laut yang malang melintang di teluk Pohai dan lautan timur, tunduk kepadanya dan menganggap dia sebagai datuk para bajak laut.

Puteri Ouwyang Cin bernama Ouwyang Kim dan kini telah berusia dua puluh tahun. Gadis ini selain cantik jelita dan mungil, wajahnya bulat dan kulitnya halus putih kemerahan, juga sikapnya lembut dan ramah sehingga dia nampak lemah. Namun di balik kelembutannya itu sesungguhnya tersembunyi kekuatan yang amat dahsyat.

Gadis ini lihai bukan main karena semenjak kecil menerima gemblengan ayahnya. Bahkan tingkat kepandaian gadis ini masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian suheng-nya yang bernama Maniyoko, pemuda Jepang yang masih keponakan mendiang ibunya dan juga menjadi murid ayahnya.

Demikianlah keadaan keluarga Tung-hai-liong Ouwyang Cin. Di dalam bangunan besar itu hanya tinggal dia dan isterinya, beserta puterinya dan muridnya itu. Jumlah pelayan jauh lebih banyak karena di sana ada sepuluh orang pelayan untuk mengurusi rumah gedung besar itu berikut empat orang penghuninya.

Setiap hari pekerjaan Ouwyang Cin hanya menerima tamu-tamu, kebanyakan para bajak laut yang berkunjung untuk menghormat dan untuk menyumbangkan sebagian dari hasil bajakan mereka sebagai tanda bahwa mereka mengakui kepemimpinan datuk ini. Selain para bajak laut, banyak pula perampok pantai yang mengakuinya sebagai datuk pimpinan. Waktu selebihnya digunakan Ouwyang Cin untuk mengurus perkebunan, peternakan dan beberapa buah perahu besar beserta para nelayannya yang mencari ikan di sepanjang muara.

Dari hasil semuanya ini, Ouwyang Cin terkenal sebagai seorang yang kaya raya. Dia pun tidak pernah melupakan latihan silat untuk puterinya dan muridnya atau keponakannya, bahkan dia sendiri tak pernah mengendurkan semangatnya untuk berlatih silat karena dia maklum bahwa tanpa latihan kemahiran akan cepat menurun, mengingat bahwa usianya semakin bertambah.

Maniyoko merupakan murid yang baik dan patuh kepada gurunya dan sudah sering kali Ouwyang Cin menyerahkan pekerjaan penting kepada muridnya sebagai wakilnya. Jarang sekali Maniyoko gagal melaksanakan tugas sehingga gurunya menjadi bertambah sayang dan percaya kepadanya.

Secara diam-diam Ouwyang Cin memiliki niat untuk menarik murid yang juga keponakan isterinya ini supaya menjadi calon suami bagi puterinya. Dia melihat dengan jelas betapa Maniyoko mencinta puterinya. Hanya karena sikap Ouwyang Kim yang nampaknya tidak atau belum membalas cinta muridnya itulah yang membuat Ouwyang Cin sampai saat ini masih belum dapat mengambil keputusan. Dia terlampau sayang kepada puterinya untuk memaksanya dalam urusan apa pun juga.

Pada suatu pagi yang cerah, di taman bunga belakang gedung milik keluarga Ouwyang, nampak seorang gadis sedang berlatih silat dengan seorang pemuda. Mereka merupakan pasangan yang amat sedap dipandang mata.

Pemuda itu berusia dua puluh tujuh tahun, wajahnya tampan dan bulat, kulitnya halus putih dan pakaiannya yang ringkas itu rapi dan mewah. Cambangnya hitam tebal tumbuh dari pelipis sampai ke dagu, terpelihara rapi. Melihat pakaian dan rambutnya yang disisir rapi, ada kesan pesolek pada diri pemuda yang kelihatan tampan dan juga gagah karena cambangnya itu. Tubuhnya agak pendek, hanya sedikit lebih tinggi dari pada gadis yang bertubuh mungil dan tidak tergolong tinggi itu.

Gadis itu pun cantik jelita, wajahnya juga berbentuk bulat, kulitnya putih halus kemerahan seperti kulit seorang bayi. Rambut dan alis matanya hitam sekali hingga membuat wajah itu nampak semakin putih saja. Tubuhnya mungil kecil namun padat dan ramping, dan dia nampak lembut dan lemah gemulai dalam gerakan silatnya. Mereka adalah Maniyoko dan Ouwyang Kim.

Mereka sedang berlatih silat tangan kosong dan keduanya bergerak dengan gesit bukan kepalang. Dasar gerakan ilmu silat mereka adalah ilmu silat dari selatan, karena sebelum menjadi bajak laut, dahulu Ouwyang Cin adalah seorang ahli silat dari selatan yang sudah mempelajari bermacam-macam ilmu silat dari berbagai aliran, baik dari Siauw-lim selatan mau pun dari Butong-pai. Namun, ilmu silatnya berkembang dan bercampur dengan aliran lain, bahkan telah dikombinasikan dengan ilmu bela diri dari Jepang.

Dalam latihan itu nampak jelas bahwa gerakan Ouwyang Kim lebih cepat dan ringan, dan gadis ini lebih banyak menyerang dari pada suheng-nya (kakak seperguruannya). Namun gerakan Maniyoko yang mantap dan kokoh dapat membuat pemuda Jepang ini mampu menangkis atau mengelak dari semua serangan lawannya.

Akhirnya dia meloncat ke belakang sambil berseru, "Cukup, sumoi, desakanmu membuat aku repot sekali. Kecepatan gerakanmu benar-benar luar biasa!" pemuda itu memuji dan pandang matanya penuh rasa kagum dan sayang kepada sumoi-nya.

Ouwyang Kim tersenyum. "Aihh, engkau selalu memuji, suheng. Engkau pun sudah maju pesat, kedua tanganmu berat sekali."

"Sumoi, mari kita berlatih pedang. Gerakan di bagian akhir dari ilmu pedang kita sungguh masih terlalu sulit bagiku, belum juga aku mampu melakukannya dengan sempurna."

Pemuda itu lalu mengambil dua batang pedang yang memang sudah dipersiapkan di situ. Biasanya mereka berlatih di dalam ruangan berlatih silat yang cukup luas dan terletak di bagian belakang gedung. Akan tetapi karena pagi hari yang cerah itu amat panas, mereka memilih untuk terlatih di taman, di udara terbuka.

"Ilmu pedang Raja Matahari yang dirangkai ayah memang merupakan ilmu pedang yang sulit, suheng. Ilmu pedang itu diambil dari jurus-jurus pilihan dari semua ilmu pedang yang pernah dipelajari ayah, lalu dicampur dengan ilmu pedang dari Jepang yang menggunakan pedang samurai. Kalau kita belum pernah mempelajari ilmu-ilmu pedang dari ayah, tidak mungkin kita akan mampu menguasai Jit-ong Kiam-sut (Ilmu Pedang Raja Matahari) ini dengan baik. Kita harus tekun dan bagian yang sukar harus kita latih terus menerus."

Mereka lalu berlatih ilmu pedang itu dan dalam hal ilmu yang baru ini, ternyata Ouwyang Kim jauh lebih unggul dan dia lah yang memberi petunjuk-petunjuk kepada suheng-nya. Mereka berhenti berlatih ketika dari taman itu mereka melihat sebuah kereta memasuki pekarangan depan. Mareka tertarik karena yang datang dengan kereta itu bukanlah para bajak atau golongan sesat yang biasa datang menghadap Ouwyang Cin. Melihat muka-muka baru, kedua orang muda ini tertarik dan tanpa bicara mereka menghentikan latihan lalu pergi ke depan untuk melihat siapakah para tamu yang datang berkunjung.

Ternyata kereta itu memuat sebuah peti, ada pun tamunya berjumlah empat orang yang sedang diterima oleh pelayan penjaga yang seperti biasa menanyakan siapa mereka dan apa keperluan mereka datang berkunjung. Pada saat empat orang itu melihat munculnya Maniyoko dan Ouwyang Kim, yang tertua di antara mereka, berusia lima puluh tahun lebih dan bertubuh tinggi kurus, segera menghadapi mereka dan bertanya dengan sikap yang sopan.

"Kami mendengar bahwa locianpwe (orang tua gagah) Ouwyang Cin mempunyai seorang murid laki-laki serta seorang puteri yang keduanya gagah perkasa. Apakah (anda berdua) murid dan puterinya itu?"

Ouwyang Kim yang wataknya pendiam dan halus itu tak menjawab, membiarkan suheng-nya yang menjawab. Maniyoko memandang kepada orang yang bertanya itu dan dia pun berkata dengan suara yang angkuh.

"Benar, Tung-hai-liong Ouwyang Cin adalah guruku, dan aku bernama Maniyoko. Sumoi-ku ini adalah puteri suhu bernama Ouwyang Kim. Siapakah paman dan ada keperluan apa datang berkunjung?"

"Nama saya Coa Kun, seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi (Tiga Belas Setan Tanpa Tanding), bersama tiga orang rekan saya diutus oleh Yang Mulia supaya menghaturkan sedikit bingkisan berikut suratnya kepada locianpwe Tung-hai-liong Ouwyang Cin."

Berbeda dengan Ouwyang Kim yang jarang meningggalkan rumahnya, Maniyoko sudah banyak terjun ke dunia kangouw. Dia mengenal banyak tokoh kangouw, maka tentu saja dia sudah pernah mendengar tentang Bu-tek Cap-sha-kwi. Dia mengamati laki-laki tinggi kurus itu. Melihat pedang yang tergantung di punggungnya, dia pun berkata, "Ahh, kalau begitu tentu kami berhadapan dengan Bu-tek Kiam-mo (Iblis Pedang Tanpa Tanding)!"

"Kongcu mempunyai penglihatan yang tajam sekali!" Bu-tek Kiam-mo memuji.

"Mari, paman, kami akan mengantar paman sekalian menghadap suhu," kata Maniyoko dengan gembira, terlebih lagi mendengar bahwa tokoh kangouw ini diutus oleh seseorang yang disebutnya Yang Mulia. Tentu seorang tokoh besar. Dia segera menyuruh seorang pelayan penjaga untuk memberi laporan kepada gurunya bahwa ada empat orang tamu hendak menghadap diantar oleh dia dan sumoi-nya.

Coa Kun lalu menyuruh tiga orang rekannya untuk menggotong peti yang dimuat di dalam kereta, sedangkan kuda penarik kereta diserahkan kepada pelayan untuk dirawat. Mereka berempat kemudian mengikuti Maniyoko dan Ouwyang Kim memasuki gedung, menuju ke ruangan tamu yang berada di bagian samping kanan.

Di dalam ruangan tamu yang mewah itu telah menanti Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang duduk di kursinya dengan sikap yang agung seperti seorang raja yang hendak menerima orang-orang yang hendak menghadap. Biar pun usianya sudah enam puluh enam tahun, tubuhnya gendut dan kepalanya semakin botak, tetapi sinar mata datuk ini masih nampak mencorong dan berwibawa, seperti pandangan mata seseorang yang merasa yakin akan kekuatannya sendiri.

Bu-tek Kiam-mo Coa Kun juga seorang tokoh besar dalam dunia kangouw, akan tetapi dia maklum bahwa kedudukannya kalah tinggi jika dibandingkan kakek yang duduk di kursi dengan angkuhnya itu, maka dia pun segera memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, diikuti tiga orang rekannya setelah meletakkan peti yang mereka angkut dari dalam kereta tadi.

"Saya Coa Kun beserta tiga orang pembantu datang menghadap locianpwe Ouwyang Cin untuk menyampaikan salam hormat dari Yang Mulia di kota raja," katanya dengan suara lantang.

Ouwyang Cin, juga Maniyoko dan Ouwyang Kim memandang dengan penuh perhatian, karena mereka terkejut dan heran juga mendengar disebutnya Yang Mulia, sebutan yang biasanya hanya diberikan kepada seorang kaisar, raja atau setidaknya pangeran. Akan tetapi tak seorang pun di antara mereka memperlihatkan perasaan heran itu pada wajah mereka.

"Coa Kun, jelaskan siapa yang kau sebut Yang Mulia itu supaya aku mengetahui dengan siapa aku berurusan," suara datuk itu dalam dan parau.

"Saya sendiri tidak tahu siapakah nama pemimpin besar kami itu, locianpwe. Tetapi Yang Mulia mengutus saya menghadap locianpwe, selain menyampaikan salam hormatnya juga untuk mengirim sekedar bingkisan dan sebuah surat kepada locianpwe. Harap locianpwe sudi menerimanya." Coa Kun memberi isyarat kepada tiga orang rekannya, dan mereka pun segera membuka tutup peti itu, memperlihatkan isinya kepada tuan rumah.

Dari tempat duduknya Ouwyang Cin dapat melihat bahwa peti itu berisi barang berharga seperti kain sutera yang mahal, barang ukiran kuno, ada pula lukisan indah dan barang-barang perhiasan dari emas dan perak. Sungguh merupakan bingkisan yang amat besar nilainya. Hatinya merasa senang, akan tetapi ini pun tidak nampak pada wajahnya.

"Berikan surat itu kepadaku," katanya.

Coa Kun mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada Ouwyang Cin. Datuk ini membuka sampulnya lalu mengeluarkan sehelai surat yang ditulis dengan huruf-huruf indah. Sebelum membaca isi surat dia melirik ke arah cap di bawah surat sebagai tanda si pengirim surat, dan sekali ini matanya terbelalak tanpa dapat dia sembunyikan lagi saking kaget dan herannya.

Tentu saja dia mengenal cap kebesaran itu, karena dulu pada waktu mudanya dia sering melihat cap itu, yaitu cap kebesaran dari Kaisar Kerajaan Goan atau Mongol! Kerajaan itu sudah jatuh dua puluh tahun yang lalu, akan tetapi bagaimana sekarang ada seseorang yang memakai cap kebesaran itu dan mengirim bingkisan berharga kepadanya? Segera dibacanya surat itu dan dia menjadi semakin terheran-heran.

Surat itu menerangkan bahwa Kerajaan Goan sekarang tengah menyusun kekuatan untuk bangkit dan berjaya kembali, dan tugas itu diserahkan kepada seorang pangeran bersama seseorang lainnya yang bergerak di bawah tanah, menggunakan kedok dan hanya dikenal dengan sebutan Yang Mulia. Dan sekarang Yang Mulia mengajak Ouwyang Cin supaya membantu gerakannya menjatuhkan Kerajaan Beng, dengan janji bahwa kalau berhasil, maka kelak Ouwyang Cin pasti akan diangkat menjadi raja muda yang menguasai daerah timur!

Ouwyang Cin masih terbelalak, akan tetapi kini wajahnya berseri-seri. Menjadi raja muda! Mana mungkin hal itu bisa terjadi kalau tidak bekerja sama dengan kekuasaan besar yang mempunyai bala tentara kuat seperti bekas kaisar Mongol? Dia kini hanya menjadi datuk golongan sesat! Tentu saja jauh berbeda jika dibandingkan dengan menjadi seorang raja muda! Sudah terbayang di pelupuk matanya betapa dia duduk di singgasana, berpakaian sebagai raja muda tulen, dihadap oleh para pengawal dan disembah oleh seluruh rakyat di wilayah timur!

Bagi Ouwyang Cin, membantu orang-orang Mongol mencoba untuk meruntuhkan Kerajaan Beng bukan berarti memberontak, karena sekarang pun sebagai datuk sesat dia sudah dimusuhi oleh pemerintah. Lagi pula dia seorang peranakan Jepang! Dibacanya sekali lagi isi surat itu dan diliriknya isi peti, kemudian dia mengangguk-angguk dan tersenyum puas.

"Baiklah, Coa Kun. Kami terima bingkisan dari Yang Mulia dengan ucapan terima kasih dan kami setuju untuk bekerja sama, tetapi kami ingin mendengar lebih banyak mengenai rencananya. Kita bicarakan hal itu sambil makan minum, saudara Coa Kun!" Ouwyang Cin dengan gembira lalu menoleh kepada puterinya dan berkata, "Katakan kepada ibumu agar menyiapkan hidangan besar untuk menjamu para tamu kita yang terhormat.”

Ouwyang Kim mengerutkan alisnya, tetapi dia tidak berani membantah dan mengangguk, lantas masuk ke dalam untuk memberi tahu kepada ibunya. Sebagai seorang yang kaya raya, Ouwyang Cin dapat saja membuat pesta setiap hari, karena ternak tinggal potong, bumbu-bumbu sudah sedia, tukang masak pun ada. Segera terjadi kesibukan di dapur, dipimpin oleh Nyonya Ouwyang Cin yang dibantu pula oleh Ouwyang Kim.

"Akim, siapa sih tamu-tamunya maka harus dibuatkan jamuan besar segala?”

"Tamunya adalah salah seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi, ibu, namanya Coa Kun dan julukannya Bu-tek Kiam-mo, julukan yang mengandung kesombongan besar. Akan tetapi bukan karena dia itu berjuluk Setan Pedang Tanpa Tanding maka dia dijamu ayah, tetapi karena dia mengaku sebagai utusan Yang Mulia."

Wanita cantik yang lembut itu memandang kepada puterinya dengan heran. "Yang Mulia? Siapa itu?"

"Aku tidak tahu, ibu. Coa Kun itu menyerahkan surat berikut barang hadiah yang serba mahal. Setelah membaca surat itu, ayah kelihatan senang sekali dan menjamu Coa Kun yang tadinya sama sekali tidak dihormatinya. Jelas bahwa yang mengutusnya itulah yang dihormati ayah, dan aku tidak tahu siapa itu Yang Mulia."

"Sebutan Yang Mulia hanya ditujukan kepada kaisar atau raja, atau orang yang memiliki kedudukan besar. Kalau Kaisar, kiranya tidak mungkin mengirim hadiah dan surat kepada ayahmu. Ahh, aku khawatir..." wanita itu termenung.

"Khawatir apa, ibu?" Ouwyang Kim bertanya.

"Ayahmu hanya mengenal dua orang kaisar, yaitu kaisar Kerajaan Beng yang baru berdiri dua puluh tahun, dan tentu saja kaisar lama, yaitu kaisar Mongol dari Kerajaan Goan yang telah jatuh. Aku khawatir sekali karena aku sudah mendengar bahwa orang-orang Mongol tengah berusaha untuk membangun kembali pemerintah Mongol yang telah jatuh. Jangan-jangan... ayahmu didekati orang-orang Mongol itu untuk membantu mereka memberontak dan mendirikan lagi Kerajaan Mongol."

Gadis itu mengangguk-angguk. "Mungkin sekali, ibu. Akan tetapi, ayah memang seorang petualang yang tidak pantang untuk melakukan apa saja demi keuntungan...," suara gadis itu terdengar penuh kedukaan. Dia mempunyai pendapat yang sama dengan ibunya, yaitu bahwa pekerjaan seperti yang dilakukan ayahnya, menjadi datuk para bajak laut, adalah pekerjaan yang jahat dan tidak baik.

Pada dasarnya ibu gadis itu seorang wanita Jepang, puteri seorang samurai yang berjiwa lembut dan tidak suka melihat perbuatan jahat serta kekerasan sehingga setelah menjadi isteri seorang datuk seperti Tung-hai-liong yang hidupnya penuh dengan kekerasan, dia pun hidup dalam keadaan batin tertekan dan menderita.

"Akan tetapi menjadi pemberontak? Ini sudah keterlaluan, Akim. Pekerjaan itu berbahaya sekali. Bagaimana mungkin menentang pemerintah yang memiliki ratusan ribu pasukan? Sebaiknya kalau ayahmu tidak melibatkan diri dengan pemberontakan."

“Akan tetapi belum tentu surat itu datang dari pemberontak Mongol, ibu."

"Syukurlah kalau begitu. Akan tetapi hatiku terasa tidak enak, Akim. Engkau harus dapat memperoleh keterangan yang jelas. Kalau benar dugaanku bahwa ayahmu didekati kaum pemberontak, kita berdua harus mencegah dan membujuknya. Maniyoko tidak dapat kita harapkan, karena dia selalu mentaati ayahmu sampai mati."

"Ibu, bagaimana andai kata benar demikian dan kita tidak berhasil membujuk ayah? Ibu tahu akan kekerasan hati ayah."

"Kalau begitu kita harus menentangnya! Maksudku, engkau harus menentangnya karena sejak kecil aku tidak suka belajar ilmu silat. Aku tidak suka melihat ayahmu memberontak. Engkau harus berjuang untuk menentang pemberontakan itu sehingga engkau akan dapat mencuci noda karena perbuatan ayahmu. Aku tidak ingin melihat engkau kelak dihukum karena menjadi anak pemberontak. Nah, tidak perlu engkau membantuku di dapur, Akim. Keluarlah dan ikutlah dengan mereka bercakap-cakap. Engkau seorang ahli silat, engkau pantas saja untuk ikut berbincang. Akan tetapi jangan tergesa-gesa mencela ayahmu di depan tamu. Aku ingin engkau mengetahui sepenuhnya siapa Yang Mulia yang mengirim surat kepada ayahmu itu dan bagaimana bunyi suratnya."

Sejak kecil Ouwyang Kim lebih dekat kepada ibunya dari pada ayahnya, kecuali kalau dia sedang berlatih silat. Dia mengangguk, lalu meninggalkan dapur kembali ke ruangan tamu di mana ayahnya masih bercakap-cakap sambil minum arak harum yang membuat lidah mereka lebih lancar berbicara.

Ketika melihat puterinya muncul, Ouwyang Cin tidak menegurnya. Puterinya itu memang tidak dipingit seperti para gadis lainnya, tetapi dibiarkan bebas dan sudah biasa puterinya hadir kalau dia sedang menerima tamu penting.

"Sumoi, apakah engkau tidak membantu subo yang sibuk di dapur?" Maniyoko bertanya, nadanya tidak menegur melainkan halus. Dia selalu bicara halus kepada sumoi-nya itu.

Mulut Ouwyang Kim cemberut. "Suheng, kenapa aku saja yang harus selalu membantu? Kenapa tidak engkau yang sekarang membantu? Aku ingin mendengar percakapan ayah dengan tamu penting ayah, aku ingin sekali tahu, siapa sih yang disebut Yang Mulia itu? Apakah Kaisar atau Raja?"

Bu-tek Kiam-mo Coa Kun mengerutkan alisnya, khawatir melihat gadis cantik yang bebas itu. Sangat berbahaya membuka sebuah rahasia penting kepada seorang gadis seperti ini, pikirnya. Namun agaknya Ouwyang Cin mengerti akan kekhawatiran tamunya, maka dia pun tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha, saudara Coa Kun, harap jangan khawatir. Anakku Ouwyang Kim ini selain dapat dipercaya, juga dia bukanlah seorang gadis lemah. Dan aku tidak biasa menyimpan rahasia terhadap puteriku sendiri. Akim, yang disebut Yang Mulia itu adalah wakil Kaisar Kerajaan Goan...”

"Bukankah Kerajaan Goan itu Kerajaan Mongol, ayah? Dan bukankah Kerajaan Mongol itu sekarang sudah tidak ada lagi?"

"Ha-ha-ha-ha, kau lihat saudara Coa Kun, betapa cerdiknya puteriku ini. Jangan pandang ringan anakku ini! Benar, Akim, akan tetapi kau keliru kalau menyangka bahwa Kerajaan Goan kini sudah tidak ada. Kerajaan itu masih ada, hanya untuk sementara ini menyingkir karena dikalahkan pemberontak dua puluh tahun yang silam. Sekarang sedang menyusun kekuatan dan menawarkan kerja sama dengan ayahmu."

"Aihh, ayah main-main saja. Aku tidak percaya!" kata Ouwyang Kim cemberut.

"Ha-ha-ha, kau bacalah sendiri suratnya!" Ayahnya melemparkan surat itu.

Ouwyang Kim menyambutnya lalu membacanya cepat sekali. Sesudah selesai membaca dia langsung mengembalikan surat itu kepada ayahnya. Dia sudah hafal akan isinya dan bahkan dia telah mengingat-ingat dan mencatat bentuk tulisan yang indah itu.

"Sekarang aku baru percaya, ayah."

"Dan bagaimana pendapatmu?" tanya ayahnya.

Coa Kun menatap tajam wajah gadis itu karena dia ingin sekali mendengar pendapatnya. Bagaimana pun juga dia lebih percaya kepada Maniyoko dari pada terhadap gadis ini.

Ouwyang Kim memandang kepada Coa Kun dan ketiga orang temannya, lantas menoleh kepada ayahnya dan tersenyum. "Aku tidak mempunyai pendapat, ayah. Urusan itu sama sekali tidak menarik hatiku, yang lebih menarik adalah tamu kita ini." Dia pun memandang kepada Coa Kun sambil tersenyum.

"Ehh? Apa maksudmu, Akim? Hal apakah yang menarik pada diri saudara Coa Kun ini?" Ayahnya bertanya heran, menyangka bahwa puterinya tertarik kepada tamu laki-laki yang usianya sudah lima puluhan tahun lebih itu.

"Yang menarik hatiku adalah pedang di punggungnya dan nama julukannya, ayah. Paman Coa Kun, engkau dijuluki orang Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding)! Tanpa Tanding atau tidak terkalahkan, bukan main! Aku jadi ingin sekali minta pelajaran dalam hal ilmu pedang darimu, paman, karena aku yakin bahwa aku akan mendapatkan banyak petunjuk dari seorang jago pedang yang tak pernah terkalahkan."

"Sumoi...," Maniyoko terkejut mendengar ini.

"Aihhh, harap nona jangan main-main dengan pedang...” Bu-tek Kiam-mo berkata sambil tersenyum lebar, ada rasa bangga mendapat pujian seorang gadis cantik, akan tetapi juga perasaan tidak enak karena yang menantangnya mengadu ilmu pedang adalah puteri tuan rumah.

Akan tetapi Tung-hai-liong Ouwyang Cin bahkan tertawa bergelak, hatinya senang sekali. "Apa yang dikatakan puteriku memang benar. Kami sudah lama mendengar nama besar Cap-sha Bu-tek-kwi, dan kebetulan yang kini datang berkunjung adalah seorang di antara mereka yang ahli pedang. Puteriku memang suka sekali mempelajari ilmu pedang, karena itu harap saudara Coa Kun tidak terlampau pelit untuk memberi sekedar petunjuk kepada puteriku agar dapat menambah pengetahuannya yang dangkal dan pengalamannya yang sempit."

Ucapan merendah ini bukan timbul karena kerendahan hati, melainkan karena diam-diam kakek datuk ini pun memandang rendah terhadap tamunya, dan dia yakin puterinya akan mampu menandingi Bu-tek Kiam-mo karena dia tahu akan kelihaian puterinya.

Mendengar ucapan itu Bu-tek Kiam-mo merasa seolah-olah kepalanya jadi membengkak besar dan hatinya yang memang sombong itu menjadi senang sekali. Inilah kesempatan untuk pamer, memperlihatkan kepandaiannya tanpa memberi kesan pamer kepada pihak tuan rumah.

"Tapi pedang adalah benda mati, aku khawatir kalau kesalahan tangan sehingga melukai nona." Kembali dalam ucapan ini terkandung kesombongan, seolah-olah dia sudah yakin akan mengalahkan nona itu dan takut kalau sampai melukainya.

"Ha-ha-ha, dalam pertandingan pedang biasalah kalau ada yang terluka. Akan tetapi kami yakin sekali bahwa saudara Coa Kun akan bermurah hati dan tidak sampai melukai Akim terlampau parah," kata pula Ouwyang Cin.

Mendengar semua ucapan itu, senanglah hati Ouwyang Kim. la memang sengaja mencari akal untuk menantang tamu ayahnya itu, agar dapat membikin malu kepadanya dan untuk melampiaskan hatinya yang dongkol melihat ayahnya dapat terbujuk dalam persekutuan pemberontak dengan orang-orang Mongol.

Melihat ayahnya sudah menyetujui, gadis itu sudah mencabut pedangnya lalu dia berjalan ke tengah ruangan yang luas itu. "Kurasa ruangan ini cukup luas untuk bermain pedang. Suheng, tolong angkut kursi dan meja itu ke tepi agar tempatnya lebih luas."

Ouwyang Cin memberi isyarat supaya Maniyoko melaksanakan permintaan sumoi-nya itu dan dia sendiri memandang kepada Coa Kun dan ketiga orang temannya dengan tertawa. “Marilah, saudara Coa Kun, harap jangan sungkan. Sambil menanti selesainya hidangan, mari engkau memberi petunjuk kepada Akim."

Melihat tempat itu sudah diperluas dengan disingkirkannya meja kursi ke tepi, dan melihat gadis itu sudah siap dengan pedang di tangan, Coa Kun tersenyum dan mengangguk ke arah tuan rumah.

"Kalau memang dikehendaki, baiklah. Mari kita main-main sebentar, nona."

Berkata demikian, tangan kanannya bergerak ke atas kepala dan tiba-tiba saja dia sudah mencabut pedangnya. Gerakannya memang cepat dan pedang itu mengeluarkan cahaya ketika dia menggerakkannya dan dia sudah meloncat ke depan Ouwyang Kim, memasang kuda-kuda yang gagah sekali...

Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 14

SIN WAN menarik napas panjang, tidak merasa terhina oleh pengusiran itu sebab dia telah mengenal watak Lili yang keras dan agak aneh. Tanpa banyak cakap lagi dia pun segera menghampiri jendela, membuka daun jendela kemudian melompat keluar dengan gerakan ringan tanpa menimbulkan suara.

Lili berdiri termenung memandang jendela yang kosong, dan tanpa disadarinya dua titik air mata keluar dari pelupuk matanya, jatuh ke atas sepasang pipinya.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Di lembah muara Sungai Kuning yang memuntahkan airnya ke teluk Pohai ada beberapa bukit kecil. Di atas puncak sebuah di antara bukit itu terdapat sebuah rumah gedung yang sangat besar. Inilah tempat tinggal seorang datuk persilatan yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai datuk yang berkuasa di wilayah timur. Datuk ini dijuluki Tung-hai-liong (Naga Lautan Timur) bernama Ouwyang Cin.

Datuk ini berusia enam puluh enam tahun. Tubuhnya gendut bulat, kepalanya botak dan melihat tubuhnya orang tidak akan menyangka bahwa dia adalah seorang ahli silat yang amat lihai.

Tung-hai-liong Ouwyang Cin sebenarnya peranakan Jepang. Ayahnya seorang Cina Han dan ibunya seorang Jepang asli. Akan tetapi sejak kecil dia dididik oleh ayahnya sehingga dia tidak lagi kelihatan sebagai peranakan, melainkan sebagai seorang Han asli, baik dari namanya, cara hidupnya serta kebudayaannya. Hanya ilmu silatnya saja yang tercampur dengan ilmu silat dari Jepang, yang dia pelajari dari para pamannya, yaitu jagoan-jagoan samurai dari Jepang.

Ketika masih muda Tung-hai-liong Ouwyang Cin adalah seorang petualang yang dengan perahu layarnya malang melintang di lautan timur. Namanya terkenal sebagai bajak laut yang amat ditakuti, bahkan dia terkenal sampai ke Jepang karena sering pula membajak di perairan kepulauan Jepang.

Bahkan isterinya pun adalah puteri dari seorang jagoan samurai yang takluk kepadanya, sehingga Ouwyang Cin mengenal banyak jagoan Samurai Jepang. Dia menikah dengan gadis Jepang yang berwatak lembut itu, yang telah melahirkan seorang anak perempuan.

Meski pun Tung-hai-liong Ouwyang Cin seorang bajak laut yang hidup dalam kekerasan, namun ternyata dia amat mencinta isterinya. Ketika puterinya berusia sepuluh tahun dan dia sendiri berusia lima puluh lima tahun, dia melepaskan perahunya dan tinggal di bukit lembah muara Huang-ho, tidak lagi berlayar menjadi bajak laut, akan tetapi mulai dikenal sebagai datuk wilayah timur. Semua bajak laut yang malang melintang di teluk Pohai dan lautan timur, tunduk kepadanya dan menganggap dia sebagai datuk para bajak laut.

Puteri Ouwyang Cin bernama Ouwyang Kim dan kini telah berusia dua puluh tahun. Gadis ini selain cantik jelita dan mungil, wajahnya bulat dan kulitnya halus putih kemerahan, juga sikapnya lembut dan ramah sehingga dia nampak lemah. Namun di balik kelembutannya itu sesungguhnya tersembunyi kekuatan yang amat dahsyat.

Gadis ini lihai bukan main karena semenjak kecil menerima gemblengan ayahnya. Bahkan tingkat kepandaian gadis ini masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian suheng-nya yang bernama Maniyoko, pemuda Jepang yang masih keponakan mendiang ibunya dan juga menjadi murid ayahnya.

Demikianlah keadaan keluarga Tung-hai-liong Ouwyang Cin. Di dalam bangunan besar itu hanya tinggal dia dan isterinya, beserta puterinya dan muridnya itu. Jumlah pelayan jauh lebih banyak karena di sana ada sepuluh orang pelayan untuk mengurusi rumah gedung besar itu berikut empat orang penghuninya.

Setiap hari pekerjaan Ouwyang Cin hanya menerima tamu-tamu, kebanyakan para bajak laut yang berkunjung untuk menghormat dan untuk menyumbangkan sebagian dari hasil bajakan mereka sebagai tanda bahwa mereka mengakui kepemimpinan datuk ini. Selain para bajak laut, banyak pula perampok pantai yang mengakuinya sebagai datuk pimpinan. Waktu selebihnya digunakan Ouwyang Cin untuk mengurus perkebunan, peternakan dan beberapa buah perahu besar beserta para nelayannya yang mencari ikan di sepanjang muara.

Dari hasil semuanya ini, Ouwyang Cin terkenal sebagai seorang yang kaya raya. Dia pun tidak pernah melupakan latihan silat untuk puterinya dan muridnya atau keponakannya, bahkan dia sendiri tak pernah mengendurkan semangatnya untuk berlatih silat karena dia maklum bahwa tanpa latihan kemahiran akan cepat menurun, mengingat bahwa usianya semakin bertambah.

Maniyoko merupakan murid yang baik dan patuh kepada gurunya dan sudah sering kali Ouwyang Cin menyerahkan pekerjaan penting kepada muridnya sebagai wakilnya. Jarang sekali Maniyoko gagal melaksanakan tugas sehingga gurunya menjadi bertambah sayang dan percaya kepadanya.

Secara diam-diam Ouwyang Cin memiliki niat untuk menarik murid yang juga keponakan isterinya ini supaya menjadi calon suami bagi puterinya. Dia melihat dengan jelas betapa Maniyoko mencinta puterinya. Hanya karena sikap Ouwyang Kim yang nampaknya tidak atau belum membalas cinta muridnya itulah yang membuat Ouwyang Cin sampai saat ini masih belum dapat mengambil keputusan. Dia terlampau sayang kepada puterinya untuk memaksanya dalam urusan apa pun juga.

Pada suatu pagi yang cerah, di taman bunga belakang gedung milik keluarga Ouwyang, nampak seorang gadis sedang berlatih silat dengan seorang pemuda. Mereka merupakan pasangan yang amat sedap dipandang mata.

Pemuda itu berusia dua puluh tujuh tahun, wajahnya tampan dan bulat, kulitnya halus putih dan pakaiannya yang ringkas itu rapi dan mewah. Cambangnya hitam tebal tumbuh dari pelipis sampai ke dagu, terpelihara rapi. Melihat pakaian dan rambutnya yang disisir rapi, ada kesan pesolek pada diri pemuda yang kelihatan tampan dan juga gagah karena cambangnya itu. Tubuhnya agak pendek, hanya sedikit lebih tinggi dari pada gadis yang bertubuh mungil dan tidak tergolong tinggi itu.

Gadis itu pun cantik jelita, wajahnya juga berbentuk bulat, kulitnya putih halus kemerahan seperti kulit seorang bayi. Rambut dan alis matanya hitam sekali hingga membuat wajah itu nampak semakin putih saja. Tubuhnya mungil kecil namun padat dan ramping, dan dia nampak lembut dan lemah gemulai dalam gerakan silatnya. Mereka adalah Maniyoko dan Ouwyang Kim.

Mereka sedang berlatih silat tangan kosong dan keduanya bergerak dengan gesit bukan kepalang. Dasar gerakan ilmu silat mereka adalah ilmu silat dari selatan, karena sebelum menjadi bajak laut, dahulu Ouwyang Cin adalah seorang ahli silat dari selatan yang sudah mempelajari bermacam-macam ilmu silat dari berbagai aliran, baik dari Siauw-lim selatan mau pun dari Butong-pai. Namun, ilmu silatnya berkembang dan bercampur dengan aliran lain, bahkan telah dikombinasikan dengan ilmu bela diri dari Jepang.

Dalam latihan itu nampak jelas bahwa gerakan Ouwyang Kim lebih cepat dan ringan, dan gadis ini lebih banyak menyerang dari pada suheng-nya (kakak seperguruannya). Namun gerakan Maniyoko yang mantap dan kokoh dapat membuat pemuda Jepang ini mampu menangkis atau mengelak dari semua serangan lawannya.

Akhirnya dia meloncat ke belakang sambil berseru, "Cukup, sumoi, desakanmu membuat aku repot sekali. Kecepatan gerakanmu benar-benar luar biasa!" pemuda itu memuji dan pandang matanya penuh rasa kagum dan sayang kepada sumoi-nya.

Ouwyang Kim tersenyum. "Aihh, engkau selalu memuji, suheng. Engkau pun sudah maju pesat, kedua tanganmu berat sekali."

"Sumoi, mari kita berlatih pedang. Gerakan di bagian akhir dari ilmu pedang kita sungguh masih terlalu sulit bagiku, belum juga aku mampu melakukannya dengan sempurna."

Pemuda itu lalu mengambil dua batang pedang yang memang sudah dipersiapkan di situ. Biasanya mereka berlatih di dalam ruangan berlatih silat yang cukup luas dan terletak di bagian belakang gedung. Akan tetapi karena pagi hari yang cerah itu amat panas, mereka memilih untuk terlatih di taman, di udara terbuka.

"Ilmu pedang Raja Matahari yang dirangkai ayah memang merupakan ilmu pedang yang sulit, suheng. Ilmu pedang itu diambil dari jurus-jurus pilihan dari semua ilmu pedang yang pernah dipelajari ayah, lalu dicampur dengan ilmu pedang dari Jepang yang menggunakan pedang samurai. Kalau kita belum pernah mempelajari ilmu-ilmu pedang dari ayah, tidak mungkin kita akan mampu menguasai Jit-ong Kiam-sut (Ilmu Pedang Raja Matahari) ini dengan baik. Kita harus tekun dan bagian yang sukar harus kita latih terus menerus."

Mereka lalu berlatih ilmu pedang itu dan dalam hal ilmu yang baru ini, ternyata Ouwyang Kim jauh lebih unggul dan dia lah yang memberi petunjuk-petunjuk kepada suheng-nya. Mereka berhenti berlatih ketika dari taman itu mereka melihat sebuah kereta memasuki pekarangan depan. Mareka tertarik karena yang datang dengan kereta itu bukanlah para bajak atau golongan sesat yang biasa datang menghadap Ouwyang Cin. Melihat muka-muka baru, kedua orang muda ini tertarik dan tanpa bicara mereka menghentikan latihan lalu pergi ke depan untuk melihat siapakah para tamu yang datang berkunjung.

Ternyata kereta itu memuat sebuah peti, ada pun tamunya berjumlah empat orang yang sedang diterima oleh pelayan penjaga yang seperti biasa menanyakan siapa mereka dan apa keperluan mereka datang berkunjung. Pada saat empat orang itu melihat munculnya Maniyoko dan Ouwyang Kim, yang tertua di antara mereka, berusia lima puluh tahun lebih dan bertubuh tinggi kurus, segera menghadapi mereka dan bertanya dengan sikap yang sopan.

"Kami mendengar bahwa locianpwe (orang tua gagah) Ouwyang Cin mempunyai seorang murid laki-laki serta seorang puteri yang keduanya gagah perkasa. Apakah (anda berdua) murid dan puterinya itu?"

Ouwyang Kim yang wataknya pendiam dan halus itu tak menjawab, membiarkan suheng-nya yang menjawab. Maniyoko memandang kepada orang yang bertanya itu dan dia pun berkata dengan suara yang angkuh.

"Benar, Tung-hai-liong Ouwyang Cin adalah guruku, dan aku bernama Maniyoko. Sumoi-ku ini adalah puteri suhu bernama Ouwyang Kim. Siapakah paman dan ada keperluan apa datang berkunjung?"

"Nama saya Coa Kun, seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi (Tiga Belas Setan Tanpa Tanding), bersama tiga orang rekan saya diutus oleh Yang Mulia supaya menghaturkan sedikit bingkisan berikut suratnya kepada locianpwe Tung-hai-liong Ouwyang Cin."

Berbeda dengan Ouwyang Kim yang jarang meningggalkan rumahnya, Maniyoko sudah banyak terjun ke dunia kangouw. Dia mengenal banyak tokoh kangouw, maka tentu saja dia sudah pernah mendengar tentang Bu-tek Cap-sha-kwi. Dia mengamati laki-laki tinggi kurus itu. Melihat pedang yang tergantung di punggungnya, dia pun berkata, "Ahh, kalau begitu tentu kami berhadapan dengan Bu-tek Kiam-mo (Iblis Pedang Tanpa Tanding)!"

"Kongcu mempunyai penglihatan yang tajam sekali!" Bu-tek Kiam-mo memuji.

"Mari, paman, kami akan mengantar paman sekalian menghadap suhu," kata Maniyoko dengan gembira, terlebih lagi mendengar bahwa tokoh kangouw ini diutus oleh seseorang yang disebutnya Yang Mulia. Tentu seorang tokoh besar. Dia segera menyuruh seorang pelayan penjaga untuk memberi laporan kepada gurunya bahwa ada empat orang tamu hendak menghadap diantar oleh dia dan sumoi-nya.

Coa Kun lalu menyuruh tiga orang rekannya untuk menggotong peti yang dimuat di dalam kereta, sedangkan kuda penarik kereta diserahkan kepada pelayan untuk dirawat. Mereka berempat kemudian mengikuti Maniyoko dan Ouwyang Kim memasuki gedung, menuju ke ruangan tamu yang berada di bagian samping kanan.

Di dalam ruangan tamu yang mewah itu telah menanti Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang duduk di kursinya dengan sikap yang agung seperti seorang raja yang hendak menerima orang-orang yang hendak menghadap. Biar pun usianya sudah enam puluh enam tahun, tubuhnya gendut dan kepalanya semakin botak, tetapi sinar mata datuk ini masih nampak mencorong dan berwibawa, seperti pandangan mata seseorang yang merasa yakin akan kekuatannya sendiri.

Bu-tek Kiam-mo Coa Kun juga seorang tokoh besar dalam dunia kangouw, akan tetapi dia maklum bahwa kedudukannya kalah tinggi jika dibandingkan kakek yang duduk di kursi dengan angkuhnya itu, maka dia pun segera memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, diikuti tiga orang rekannya setelah meletakkan peti yang mereka angkut dari dalam kereta tadi.

"Saya Coa Kun beserta tiga orang pembantu datang menghadap locianpwe Ouwyang Cin untuk menyampaikan salam hormat dari Yang Mulia di kota raja," katanya dengan suara lantang.

Ouwyang Cin, juga Maniyoko dan Ouwyang Kim memandang dengan penuh perhatian, karena mereka terkejut dan heran juga mendengar disebutnya Yang Mulia, sebutan yang biasanya hanya diberikan kepada seorang kaisar, raja atau setidaknya pangeran. Akan tetapi tak seorang pun di antara mereka memperlihatkan perasaan heran itu pada wajah mereka.

"Coa Kun, jelaskan siapa yang kau sebut Yang Mulia itu supaya aku mengetahui dengan siapa aku berurusan," suara datuk itu dalam dan parau.

"Saya sendiri tidak tahu siapakah nama pemimpin besar kami itu, locianpwe. Tetapi Yang Mulia mengutus saya menghadap locianpwe, selain menyampaikan salam hormatnya juga untuk mengirim sekedar bingkisan dan sebuah surat kepada locianpwe. Harap locianpwe sudi menerimanya." Coa Kun memberi isyarat kepada tiga orang rekannya, dan mereka pun segera membuka tutup peti itu, memperlihatkan isinya kepada tuan rumah.

Dari tempat duduknya Ouwyang Cin dapat melihat bahwa peti itu berisi barang berharga seperti kain sutera yang mahal, barang ukiran kuno, ada pula lukisan indah dan barang-barang perhiasan dari emas dan perak. Sungguh merupakan bingkisan yang amat besar nilainya. Hatinya merasa senang, akan tetapi ini pun tidak nampak pada wajahnya.

"Berikan surat itu kepadaku," katanya.

Coa Kun mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada Ouwyang Cin. Datuk ini membuka sampulnya lalu mengeluarkan sehelai surat yang ditulis dengan huruf-huruf indah. Sebelum membaca isi surat dia melirik ke arah cap di bawah surat sebagai tanda si pengirim surat, dan sekali ini matanya terbelalak tanpa dapat dia sembunyikan lagi saking kaget dan herannya.

Tentu saja dia mengenal cap kebesaran itu, karena dulu pada waktu mudanya dia sering melihat cap itu, yaitu cap kebesaran dari Kaisar Kerajaan Goan atau Mongol! Kerajaan itu sudah jatuh dua puluh tahun yang lalu, akan tetapi bagaimana sekarang ada seseorang yang memakai cap kebesaran itu dan mengirim bingkisan berharga kepadanya? Segera dibacanya surat itu dan dia menjadi semakin terheran-heran.

Surat itu menerangkan bahwa Kerajaan Goan sekarang tengah menyusun kekuatan untuk bangkit dan berjaya kembali, dan tugas itu diserahkan kepada seorang pangeran bersama seseorang lainnya yang bergerak di bawah tanah, menggunakan kedok dan hanya dikenal dengan sebutan Yang Mulia. Dan sekarang Yang Mulia mengajak Ouwyang Cin supaya membantu gerakannya menjatuhkan Kerajaan Beng, dengan janji bahwa kalau berhasil, maka kelak Ouwyang Cin pasti akan diangkat menjadi raja muda yang menguasai daerah timur!

Ouwyang Cin masih terbelalak, akan tetapi kini wajahnya berseri-seri. Menjadi raja muda! Mana mungkin hal itu bisa terjadi kalau tidak bekerja sama dengan kekuasaan besar yang mempunyai bala tentara kuat seperti bekas kaisar Mongol? Dia kini hanya menjadi datuk golongan sesat! Tentu saja jauh berbeda jika dibandingkan dengan menjadi seorang raja muda! Sudah terbayang di pelupuk matanya betapa dia duduk di singgasana, berpakaian sebagai raja muda tulen, dihadap oleh para pengawal dan disembah oleh seluruh rakyat di wilayah timur!

Bagi Ouwyang Cin, membantu orang-orang Mongol mencoba untuk meruntuhkan Kerajaan Beng bukan berarti memberontak, karena sekarang pun sebagai datuk sesat dia sudah dimusuhi oleh pemerintah. Lagi pula dia seorang peranakan Jepang! Dibacanya sekali lagi isi surat itu dan diliriknya isi peti, kemudian dia mengangguk-angguk dan tersenyum puas.

"Baiklah, Coa Kun. Kami terima bingkisan dari Yang Mulia dengan ucapan terima kasih dan kami setuju untuk bekerja sama, tetapi kami ingin mendengar lebih banyak mengenai rencananya. Kita bicarakan hal itu sambil makan minum, saudara Coa Kun!" Ouwyang Cin dengan gembira lalu menoleh kepada puterinya dan berkata, "Katakan kepada ibumu agar menyiapkan hidangan besar untuk menjamu para tamu kita yang terhormat.”

Ouwyang Kim mengerutkan alisnya, tetapi dia tidak berani membantah dan mengangguk, lantas masuk ke dalam untuk memberi tahu kepada ibunya. Sebagai seorang yang kaya raya, Ouwyang Cin dapat saja membuat pesta setiap hari, karena ternak tinggal potong, bumbu-bumbu sudah sedia, tukang masak pun ada. Segera terjadi kesibukan di dapur, dipimpin oleh Nyonya Ouwyang Cin yang dibantu pula oleh Ouwyang Kim.

"Akim, siapa sih tamu-tamunya maka harus dibuatkan jamuan besar segala?”

"Tamunya adalah salah seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi, ibu, namanya Coa Kun dan julukannya Bu-tek Kiam-mo, julukan yang mengandung kesombongan besar. Akan tetapi bukan karena dia itu berjuluk Setan Pedang Tanpa Tanding maka dia dijamu ayah, tetapi karena dia mengaku sebagai utusan Yang Mulia."

Wanita cantik yang lembut itu memandang kepada puterinya dengan heran. "Yang Mulia? Siapa itu?"

"Aku tidak tahu, ibu. Coa Kun itu menyerahkan surat berikut barang hadiah yang serba mahal. Setelah membaca surat itu, ayah kelihatan senang sekali dan menjamu Coa Kun yang tadinya sama sekali tidak dihormatinya. Jelas bahwa yang mengutusnya itulah yang dihormati ayah, dan aku tidak tahu siapa itu Yang Mulia."

"Sebutan Yang Mulia hanya ditujukan kepada kaisar atau raja, atau orang yang memiliki kedudukan besar. Kalau Kaisar, kiranya tidak mungkin mengirim hadiah dan surat kepada ayahmu. Ahh, aku khawatir..." wanita itu termenung.

"Khawatir apa, ibu?" Ouwyang Kim bertanya.

"Ayahmu hanya mengenal dua orang kaisar, yaitu kaisar Kerajaan Beng yang baru berdiri dua puluh tahun, dan tentu saja kaisar lama, yaitu kaisar Mongol dari Kerajaan Goan yang telah jatuh. Aku khawatir sekali karena aku sudah mendengar bahwa orang-orang Mongol tengah berusaha untuk membangun kembali pemerintah Mongol yang telah jatuh. Jangan-jangan... ayahmu didekati orang-orang Mongol itu untuk membantu mereka memberontak dan mendirikan lagi Kerajaan Mongol."

Gadis itu mengangguk-angguk. "Mungkin sekali, ibu. Akan tetapi, ayah memang seorang petualang yang tidak pantang untuk melakukan apa saja demi keuntungan...," suara gadis itu terdengar penuh kedukaan. Dia mempunyai pendapat yang sama dengan ibunya, yaitu bahwa pekerjaan seperti yang dilakukan ayahnya, menjadi datuk para bajak laut, adalah pekerjaan yang jahat dan tidak baik.

Pada dasarnya ibu gadis itu seorang wanita Jepang, puteri seorang samurai yang berjiwa lembut dan tidak suka melihat perbuatan jahat serta kekerasan sehingga setelah menjadi isteri seorang datuk seperti Tung-hai-liong yang hidupnya penuh dengan kekerasan, dia pun hidup dalam keadaan batin tertekan dan menderita.

"Akan tetapi menjadi pemberontak? Ini sudah keterlaluan, Akim. Pekerjaan itu berbahaya sekali. Bagaimana mungkin menentang pemerintah yang memiliki ratusan ribu pasukan? Sebaiknya kalau ayahmu tidak melibatkan diri dengan pemberontakan."

“Akan tetapi belum tentu surat itu datang dari pemberontak Mongol, ibu."

"Syukurlah kalau begitu. Akan tetapi hatiku terasa tidak enak, Akim. Engkau harus dapat memperoleh keterangan yang jelas. Kalau benar dugaanku bahwa ayahmu didekati kaum pemberontak, kita berdua harus mencegah dan membujuknya. Maniyoko tidak dapat kita harapkan, karena dia selalu mentaati ayahmu sampai mati."

"Ibu, bagaimana andai kata benar demikian dan kita tidak berhasil membujuk ayah? Ibu tahu akan kekerasan hati ayah."

"Kalau begitu kita harus menentangnya! Maksudku, engkau harus menentangnya karena sejak kecil aku tidak suka belajar ilmu silat. Aku tidak suka melihat ayahmu memberontak. Engkau harus berjuang untuk menentang pemberontakan itu sehingga engkau akan dapat mencuci noda karena perbuatan ayahmu. Aku tidak ingin melihat engkau kelak dihukum karena menjadi anak pemberontak. Nah, tidak perlu engkau membantuku di dapur, Akim. Keluarlah dan ikutlah dengan mereka bercakap-cakap. Engkau seorang ahli silat, engkau pantas saja untuk ikut berbincang. Akan tetapi jangan tergesa-gesa mencela ayahmu di depan tamu. Aku ingin engkau mengetahui sepenuhnya siapa Yang Mulia yang mengirim surat kepada ayahmu itu dan bagaimana bunyi suratnya."

Sejak kecil Ouwyang Kim lebih dekat kepada ibunya dari pada ayahnya, kecuali kalau dia sedang berlatih silat. Dia mengangguk, lalu meninggalkan dapur kembali ke ruangan tamu di mana ayahnya masih bercakap-cakap sambil minum arak harum yang membuat lidah mereka lebih lancar berbicara.

Ketika melihat puterinya muncul, Ouwyang Cin tidak menegurnya. Puterinya itu memang tidak dipingit seperti para gadis lainnya, tetapi dibiarkan bebas dan sudah biasa puterinya hadir kalau dia sedang menerima tamu penting.

"Sumoi, apakah engkau tidak membantu subo yang sibuk di dapur?" Maniyoko bertanya, nadanya tidak menegur melainkan halus. Dia selalu bicara halus kepada sumoi-nya itu.

Mulut Ouwyang Kim cemberut. "Suheng, kenapa aku saja yang harus selalu membantu? Kenapa tidak engkau yang sekarang membantu? Aku ingin mendengar percakapan ayah dengan tamu penting ayah, aku ingin sekali tahu, siapa sih yang disebut Yang Mulia itu? Apakah Kaisar atau Raja?"

Bu-tek Kiam-mo Coa Kun mengerutkan alisnya, khawatir melihat gadis cantik yang bebas itu. Sangat berbahaya membuka sebuah rahasia penting kepada seorang gadis seperti ini, pikirnya. Namun agaknya Ouwyang Cin mengerti akan kekhawatiran tamunya, maka dia pun tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha, saudara Coa Kun, harap jangan khawatir. Anakku Ouwyang Kim ini selain dapat dipercaya, juga dia bukanlah seorang gadis lemah. Dan aku tidak biasa menyimpan rahasia terhadap puteriku sendiri. Akim, yang disebut Yang Mulia itu adalah wakil Kaisar Kerajaan Goan...”

"Bukankah Kerajaan Goan itu Kerajaan Mongol, ayah? Dan bukankah Kerajaan Mongol itu sekarang sudah tidak ada lagi?"

"Ha-ha-ha-ha, kau lihat saudara Coa Kun, betapa cerdiknya puteriku ini. Jangan pandang ringan anakku ini! Benar, Akim, akan tetapi kau keliru kalau menyangka bahwa Kerajaan Goan kini sudah tidak ada. Kerajaan itu masih ada, hanya untuk sementara ini menyingkir karena dikalahkan pemberontak dua puluh tahun yang silam. Sekarang sedang menyusun kekuatan dan menawarkan kerja sama dengan ayahmu."

"Aihh, ayah main-main saja. Aku tidak percaya!" kata Ouwyang Kim cemberut.

"Ha-ha-ha, kau bacalah sendiri suratnya!" Ayahnya melemparkan surat itu.

Ouwyang Kim menyambutnya lalu membacanya cepat sekali. Sesudah selesai membaca dia langsung mengembalikan surat itu kepada ayahnya. Dia sudah hafal akan isinya dan bahkan dia telah mengingat-ingat dan mencatat bentuk tulisan yang indah itu.

"Sekarang aku baru percaya, ayah."

"Dan bagaimana pendapatmu?" tanya ayahnya.

Coa Kun menatap tajam wajah gadis itu karena dia ingin sekali mendengar pendapatnya. Bagaimana pun juga dia lebih percaya kepada Maniyoko dari pada terhadap gadis ini.

Ouwyang Kim memandang kepada Coa Kun dan ketiga orang temannya, lantas menoleh kepada ayahnya dan tersenyum. "Aku tidak mempunyai pendapat, ayah. Urusan itu sama sekali tidak menarik hatiku, yang lebih menarik adalah tamu kita ini." Dia pun memandang kepada Coa Kun sambil tersenyum.

"Ehh? Apa maksudmu, Akim? Hal apakah yang menarik pada diri saudara Coa Kun ini?" Ayahnya bertanya heran, menyangka bahwa puterinya tertarik kepada tamu laki-laki yang usianya sudah lima puluhan tahun lebih itu.

"Yang menarik hatiku adalah pedang di punggungnya dan nama julukannya, ayah. Paman Coa Kun, engkau dijuluki orang Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding)! Tanpa Tanding atau tidak terkalahkan, bukan main! Aku jadi ingin sekali minta pelajaran dalam hal ilmu pedang darimu, paman, karena aku yakin bahwa aku akan mendapatkan banyak petunjuk dari seorang jago pedang yang tak pernah terkalahkan."

"Sumoi...," Maniyoko terkejut mendengar ini.

"Aihhh, harap nona jangan main-main dengan pedang...” Bu-tek Kiam-mo berkata sambil tersenyum lebar, ada rasa bangga mendapat pujian seorang gadis cantik, akan tetapi juga perasaan tidak enak karena yang menantangnya mengadu ilmu pedang adalah puteri tuan rumah.

Akan tetapi Tung-hai-liong Ouwyang Cin bahkan tertawa bergelak, hatinya senang sekali. "Apa yang dikatakan puteriku memang benar. Kami sudah lama mendengar nama besar Cap-sha Bu-tek-kwi, dan kebetulan yang kini datang berkunjung adalah seorang di antara mereka yang ahli pedang. Puteriku memang suka sekali mempelajari ilmu pedang, karena itu harap saudara Coa Kun tidak terlampau pelit untuk memberi sekedar petunjuk kepada puteriku agar dapat menambah pengetahuannya yang dangkal dan pengalamannya yang sempit."

Ucapan merendah ini bukan timbul karena kerendahan hati, melainkan karena diam-diam kakek datuk ini pun memandang rendah terhadap tamunya, dan dia yakin puterinya akan mampu menandingi Bu-tek Kiam-mo karena dia tahu akan kelihaian puterinya.

Mendengar ucapan itu Bu-tek Kiam-mo merasa seolah-olah kepalanya jadi membengkak besar dan hatinya yang memang sombong itu menjadi senang sekali. Inilah kesempatan untuk pamer, memperlihatkan kepandaiannya tanpa memberi kesan pamer kepada pihak tuan rumah.

"Tapi pedang adalah benda mati, aku khawatir kalau kesalahan tangan sehingga melukai nona." Kembali dalam ucapan ini terkandung kesombongan, seolah-olah dia sudah yakin akan mengalahkan nona itu dan takut kalau sampai melukainya.

"Ha-ha-ha, dalam pertandingan pedang biasalah kalau ada yang terluka. Akan tetapi kami yakin sekali bahwa saudara Coa Kun akan bermurah hati dan tidak sampai melukai Akim terlampau parah," kata pula Ouwyang Cin.

Mendengar semua ucapan itu, senanglah hati Ouwyang Kim. la memang sengaja mencari akal untuk menantang tamu ayahnya itu, agar dapat membikin malu kepadanya dan untuk melampiaskan hatinya yang dongkol melihat ayahnya dapat terbujuk dalam persekutuan pemberontak dengan orang-orang Mongol.

Melihat ayahnya sudah menyetujui, gadis itu sudah mencabut pedangnya lalu dia berjalan ke tengah ruangan yang luas itu. "Kurasa ruangan ini cukup luas untuk bermain pedang. Suheng, tolong angkut kursi dan meja itu ke tepi agar tempatnya lebih luas."

Ouwyang Cin memberi isyarat supaya Maniyoko melaksanakan permintaan sumoi-nya itu dan dia sendiri memandang kepada Coa Kun dan ketiga orang temannya dengan tertawa. “Marilah, saudara Coa Kun, harap jangan sungkan. Sambil menanti selesainya hidangan, mari engkau memberi petunjuk kepada Akim."

Melihat tempat itu sudah diperluas dengan disingkirkannya meja kursi ke tepi, dan melihat gadis itu sudah siap dengan pedang di tangan, Coa Kun tersenyum dan mengangguk ke arah tuan rumah.

"Kalau memang dikehendaki, baiklah. Mari kita main-main sebentar, nona."

Berkata demikian, tangan kanannya bergerak ke atas kepala dan tiba-tiba saja dia sudah mencabut pedangnya. Gerakannya memang cepat dan pedang itu mengeluarkan cahaya ketika dia menggerakkannya dan dia sudah meloncat ke depan Ouwyang Kim, memasang kuda-kuda yang gagah sekali...