Si Pedang Tumpul Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SUI IN maklum bahwa lawan sudah mengumpulkan tenaga sakti dan siap menyerangnya, maka dia pun mengangkat kedua tangannya lurus ke atas, lantas kedua tangan itu turun membuat gerakan melengkung seperti membentuk lingkaran dan berhenti di depan dada seperti memondong anak, perlahan-lahan kedua tangan itu diturunkan ke kanan kiri tubuh, tergantung lepas dan lurus seperti tidak bertenaga lagi. Dia tersenyum dan berkata,

"Aku telah siap, pangcu. Mulailah!"

Souw Kiat tidak menjawab, melangkah maju sampai dekat di depan wanita itu. Hidungnya mencium keharuman yang keluar dari pakaian Sui In dan dengan cepat dia mematikan penciuman itu supaya tak mengganggu konsentrasinya. Kemudian, sambil mengerahkan tenaga dari bawah pusar, disalurkannya ke seluruh kedua lengannya, dia pun membuat gerakan mendorong dengan kedua tangan terbuka, ke arah dada Sui In. Terdengar angin yang dahsyat menyambar keluar dari kedua tangan itu. Sui In segera menyambutnya dengan dua tangan pula yang diluruskan ke depan, dengan jari terbuka pula.

"Plakkkk…!" Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan melekat, kemudian mulailah keduanya mengerahkan tenaga sakti masing-masing untuk saling dorong dan mengalahkan lawan. Nampaknya kedua orang itu seperti main-main saja, namun semua orang maklum bahwa adu tenaga yang dilakukan secara diam tanpa bergerak ini bahkan lebih berbahaya dari pada adu silat yang penuh pukulan, tendangan, elakan dan tangkisan.

Souw Kiat memang cerdik. Melihat ilmu silat Lili tadi saja, dia tahu bahwa dalam ilmu silat dia bukan tandingan wanita cantik ini. Akan tetapi dia memiliki sinkang yang terkenal kuat, maka dia hendak mencari kemenangan melalui adu tenaga sakti.

Ketika kedua telapak tangannya bertemu dengan kedua tangan wanita itu, mula-mula dia merasa betapa telapak tangan itu lembut, lunak dan hangat. Dia lalu mengerahkan tenaga untuk mendorong, namun begitu bertemu dengan tenaga lunak itu, tenaganya seperti batu yang ditekan ke air, tenggelam! Kemudian telapak tangan yang halus itu menjadi panas sekali.

Souw Kiat cepat-cepat mengerahkan tenaganya untuk melawan hawa panas yang seperti membakar telapak tangannya. Tetapi kedua telapak tangan halus itu makin lama semakin panas dan ada tenaga dorongan yang amat kuat keluar dari tangan itu. Souw Kiat mengerahkan seluruh tenaga untuk bertahan dan tak lama kemudian, dahi dan lehernya sudah penuh keringat, dan dari kepalanya mengepul uap. Merasa betapa kedua kakinya mulai goyah dan kuda-kudanya terbongkar, dia semakin mempertahankan sekuat tenaga.

Walau pun tidak dapat merasakan, namun semua orang yang menyaksikan pertandingan ini dapat melihat perbedaan antara dua orang yang sedang bertanding sinkang itu. Kalau Souw Kiat berpeluh, kepalanya beruap serta mukanya sebentar merah sebentar pucat, maka wanita cantik itu masih tenang saja, nampak santai dan tersenyum mengejek.

Tiba-tiba saja Sui In mengeluarkan bentakan melengking dan tubuh Souw Kiat terangkat ke atas, kedua kakinya naik sampai satu meter dari tanah! Biar pun Souw Kiat berusaha untuk membuat tubuhnya menjadi berat, tetap saja dia tidak mampu menandingi tenaga yang mengangkat tubuhnya itu. Mukanya berubah pucat karena dia berada dalam bahaya maut!

Kalau adu tenaga sinkang ini dilanjutkan maka dia akan terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik dan akan terluka parah, mungkin tewas. Dia berusaha melepaskan kedua tangan dari tangan lawan, akan tetapi dua pasang tangan yang bertemu itu seperti sudah melekat dan tidak dapat dipisahkan lagi!

Tiba-tiba Sui In mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya mendorong dan tubuh Souw Kiat terlempar sampai empat lima meter jauhnya kemudian terbanting keras di atas lantai. Dia menderita nyeri pada pinggul yang terbanting, akan tetapi tidak menderita luka dalam. Tahulah dia bahwa wanita itu selain sakti juga tak mempunyai niat buruk terhadap dirinya yang tadi telah berada di ambang maut. Dia pun bangkit, memberi hormat dengan hati kagum lalu berkata,

"Saya mengaku kalah dan terima kasih atas pengampunan lihiap."

"Hemm, sekarang engkau membolehkan aku menjadi ketua Hek I Kai-pang? Atau masih ada anggota kai-pang lainnya yang merasa tidak suka?" tanya Sui In.

Tidak ada satu orang pun yang berani menjawab. Bahkan mereka harus mengakui bahwa wanita cantik ini jauh lebih lihai dari pada pangcu mereka, dan sudah sepatutnya menjadi ketua baru. Akan tetapi mereka pun tak suka mendukungnya karena Hek I Kai-pang tentu akan menjadi bahan tertawaan para kai-pang yang lain kalau mereka mendengar bahwa Hek I Kai-pang diketuai oleh seorang wanita muda yang cantik.

"Cu-lihiap, saya beserta seluruh anggota Hek I Kai-pang tentu akan suka sekali bila lihiap memimpin kami. Akan tetapi saya khawatir justru Cu-lihiap sendiri yang tidak mau menjadi ketua kami."

Lili bangkit dari tempat duduknya dan menudingkan telunjuk kanannya ke arah Souw Kiat. "Hei, Souw-pangcu, engkau jangan plintat-plintut! Selama ini Hek I Kai-pang dipimpin oleh orang-orang yang tidak becus, sebab itu mudah saja menjadi permainan perkumpulan lain seperti Hwa I Kai-pang. Sekarang suci dengan mudah mengalahkanmu, maka dia berhak menjadi pangcu. Mengapa tadi engkau malah mengatakan bahwa suci tidak mau menjadi ketua? Omongan macam apa itu?"

"Harap ji-wi lihiap (berdua pendekar wanita) tidak salah paham dan suka mendengarkan keterangan kami," kata Souw Kiat. "Hek I Kai-pang sejak puluhan tahun telah mempunyai suatu peraturan tertentu yang sama sekali tidak boleh dilanggar mengenai pengangkatan seorang ketua baru. Selain harus menjadi orang yang ilmu kepandaiannya paling tinggi di antara seluruh anggota, seorang ketua baru terlebih dahulu juga harus melakukan sendiri pekerjaan mengemis selama satu bulan, dan dia hanya boleh mengenakan pakaian warna hitam. Nah, apakah Cu-lihiap suka memenuhi syarat dalam peraturan itu?"

Dua orang wanita itu saling bertukar pandang. Lili tertawa akan tetapi suci-nya cemberut dan mengerutkan alisnya. "Mengemis? Sebulan dan selalu berpakaian hitam? Wah, aku tidak suka melakukan itu, Souw-pangcu!" katanya kemudian. "Akan tetapi aku tetap ingin didukung oleh Hek I Kai-pang dalam pemilihan pemimpin besar kai-pang nanti!"

Kini ketua dan wakil ketua Hek I Kai-pang yang mengerutkan alis dengan bingung. Tiba-tiba Lu Pi memandang kepada ketuanya dengan wajah berseri. "Ahh, hal itu mudah diatur, Souw-toako! Di dalam peraturan kita tidak ada disebut tentang ketua kehormatan, karena itu kita dapat mengangkat Cu-lihiap dan Tang-lihiap sebagai ketua dan wakil ketua kehormatan. Karena tidak ada dalam peraturan, maka mereka tidak terikat oleh peraturan dan persyaratan itu. Dan kelak, pada saat pemilihan, tentu kita bisa mendukung Cu-lihiap sebagai calon pemimpin besar kai-pang karena mereka sudah kita terima sebagai ketua-ketua kehormatan!"

"Bagus sekali! Engkau benar, siauw-te. Nah, ji-wi lihiap sudah mendengar sendiri usul Lu-siauwte yang amat baik. Apakah ji-wi juga setuju dengan usul itu?"

Sui In mengangguk, "Teserah kepada kalian. Bagiku, yang terpenting adalah kelak kalian harus mendukung aku dalam pemilihan pemimpin kai-pang."

Untuk menghormati ketua dan wakil ketua kehormatan itu, Souw-Pangcu dan Lu-Pangcu kemudian mengadakan penyambutan dengan pesta. Dan di dalam kesempatan ini Souw Kiat menceritakan mengenai keadaan kai-pang (perkumpulan pengemis) di empat penjuru dan tentang pemilihan pemimpin besar kai-pang yang akan diadakan sebulan lagi di kota Lok-yang.

Ada empat kai-pang terbesar yang menguasai empat daerah. Di barat adalah Hek I Kai-pang dengan pakaian hitam, di timur Hwa I Kai-pang dengan pakaian kembang-kembang, di selatan terdapat Lam-kiang Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Sungai Selatan) dengan tanda topi butut hitam yang dipakai para anggotanya, dan yang berkuasa di utara adalah Ang-kin Kai-pang yang ditandai dengan sabuk merah di pinggang para anggotanya.

"Sesungguhnya masih banyak perkumpulan pengemis lainnya, akan tetapi mereka semua hanyalah perkumpulan-perkumpulan kecil yang bernaung di bawah panji kekuasaan empat perkumpulan pengemis yang besar itu," Souw Pangcu berhenti sejenak, lalu melanjutkan keterangannya lagi. "Empat perkumpulan besar itulah yang pada bulan depan nanti akan mengadakan pertemuan untuk memilih seorang pemimpin besar kai-pang yang menjadi penasehat dan sesepuh, yang berwenang untuk memutuskan apa bila terdapat pertikaian dan persaingan di antara keempat kai-pang."

"Aku pernah mendengar bahwa sebenarnya seluruh kai-pang sudah mempunyai seorang pemimpin besar yang amat sakti dan bijaksana. Ayahku mengenal baik tokoh ini, apakah sekarang dia tidak lagi memimpin para kai-pang?” tanya Sui In

Souw Pangcu mengangguk-angguk. "Memang benar sekali, Cu-lihiap. Dahulu seluruh kai-pang sudah mempunyai seorang sesepuh yang sakti dan bijaksana, yaitu Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih). Selama masih ada beliau, para kai-pang tidak ada yang berani melakukan penyelewengan. Mereka selalu hidup rukun dan saling bantu dengan kai-pang lainnya. Akan tetapi, semenjak beberapa tahun yang lalu beliau menghilang dan tidak ada seorang pun mengetahui di mana adanya, masih hidup ataukah sudah mati. Dahulu beliau memimpin kami untuk menentang penjajah Mongol dengan gerakan bawah tanah, bahkan membantu pergerakan Kerajaan Beng. Tapi beliau langsung menghilang setelah penjajah Mongol berhasil digulingkan,. Mungkin karena kini rakyat tidak terjajah lagi, negara berada di bawah pemerintahan Kerajaan Beng, bangsa sendiri, sehingga beliau menganggap tak perlu lagi memimpin para kai-pang."

Sui In juga menceritakan rencananya. "Kaisar Thai-cu sendiri yang memerintahkan agar dunia persilatan memilih seorang bengcu (pemimpin rakyat) agar pemerintah lebih mudah mengadakan hubungan dengan para tokoh dunia persilatan. Nah, dalam rangka inilah aku ingin menjadi pemimpin para kai-pang, dan kelak aku hendak mewakili kai-pang di dalam pemilihan bengcu itu dan para kai-pang harus mendukung ayahku sebagai calon bengcu."

Mendengar ini, para pimpinan pengemis itu merasa lega. Ternyata wanita ini sama sekali bukan menginginkan kedudukan ketua Hek I Kai-pang atau pun pemimpin besar kai-pang, melainkan menginginkan kedudukan bengcu untuk ayahnya. Tentu saja hal itu tidak ada sangkut-pautnya secara langsung dengan Hek I Kai-pang, maka dengan hati lega Souw-pangcu menyatakan kesanggupannya untuk membantu dan memberi dukungan.

Karena pemilihan permimpin besar kai-pang masih sebulan lagi, maka Sui In dan Lili pergi meninggalkan perkumpulan itu, memasuki kota Lok-yang dan menghabiskan waktu untuk berpesiar ke seluruh daerah Lok-yang di mana terdapat banyak tempat wisata yang amat indah.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Dataran tandus di kaki pegunungan sebelah dalam Tembok Besar itu merupakan daerah yang amat sunyi. Letaknya di sebelah utara kota Peking. Daerah yang berbukit-bukit dan kadang-kadang diseling gurun pasir dan tandus itu merupakan daerah yang mati. Namun daerah ini merupakan daerah pertempuran besar-besaran ketika pasukan rakyat mengejar tentara Mongol pada akhir perang yang meruntuhkan kekuasaan Mongol,. Banyak prajurit kedua pihak tewas di daerah ini. Juga banyak pula para pengungsi dan penduduk dusun yang ikut pula dibantai di tempat ini.

Biar pun perang itu sudah berlalu selama belasan tahun, namun masih banyak ditemukan rangka-rangka manusia berserakan di situ, juga tengkorak-tengkorak dan bahkan senjata-senjata tajam yang sudah berkarat.

Pada siang hari itu nampak seorang kakek melintasi daerah tandus yang terakhir dan kini dia melepas lelah di hutan pertama, di bawah pohon besar yang amat rindang, berteduh dari terik matahari. Di dalam perjalanan tadi dia memungut sebuah tengkorak yang bersih, dan kini dia duduk di bawah pohon sambil memegangi tengkorak itu dan menghadapkan muka tengkorak kepadanya, dan dia mengajak tengkorak itu bercakap-cakap!

Dia seorang lelaki tua, mungkin usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun. Pakaiannya jelek sekali, sudah robek di sana sini dan penuh tambalan. Akan tetapi anehnya, pakaian yang butut itu terlihat bersih seperti habis dicuci. Kedua kakinya telanjang tanpa alas kaki, celana yang robek dan buntung sebatas lutut itu memperlihatkan betis yang kecil kurus hampir tak berdaging. Kakek ini tubuhnya sedang akan tetapi kurus, kepalanya besar dan mukanya seperti muka singa karena rambut, cambang, kumis serta jenggotnya tebal dan awut-awutan melingkari muka itu.

Rambutnya telah banyak yang putih, demikian pula kumis dan jenggotnya yang dibiarkan tumbuh liar tak terpelihara rapi. Akan tetapi rambut serta kumis jenggotnya halus seperti kapas, juga bersih, tanda bahwa biar pun dia tidak pernah menyisir rambutnya akan tetapi rambut dan kumis jenggot itu sering dicuci bersih. Sepasang matanya seperti mata kanak-kanak, nampak berseri gembira, dan mulutnya yang sudah tidak bergigi lagi itu pun selalu tersenyum, bibirnya merah tanda bahwa dia sehat.

Kurang pantaslah kalau dia dikatakan seorang kakek jembel, karena pakaian dan seluruh tubuhnya nampak sehat dan bersih. Akan tetapi kalau bukan jembel, kenapa pakaiannya penuh tambalan dan robek-robek? Sebuah caping lebar tergantung di punggungnya, baru saja dilepaskan dari atas kepalanya ketika dia menjatuhkan diri duduk di bawah pohon itu. Kini dia bicara kepada tengkorak yang dipegangnya, seperti orang bicara kepada seorang sahabatnya saja.

"Hayo jawablah!" Dia mengulang. "Selagi hidup engkau tentu cerewet bukan main, tetapi mengapa sekarang diam dalam seribu bahasa?" Dia terkekeh. Suara kakek itu lirih dan ringan, seperti suara anak-anak.

"Hayo katakan, apakah engkau dahulu seorang wanita yang cantik jelita ataukah wanita yang buruk rupa? Apakah seorang laki-laki yang jantan perkasa ataukah seorang laki-laki yang lemah berpenyakitan? Apakah engkau dahulu seorang panglima? Ataukah seorang prajurit biasa? Hartawan ataukah pengemis?"

Kalau ada orang lain melihat dan mendengatnya di saat itu, tentu kakek ini akan dianggap seorang yang tidak waras, seorang gila atau setidaknya sinting.

"Coba jawab. Apakah dulu engkau seorang pembesar yang jujur bijaksana atau seorang pembesar yang korup dan penindas rakyat? Seorang hartawan yang dermawan ataukah yang pelit? Apakah engkau seorang pendeta yang arif bijaksana dan penuh kasih sayang, ataukah seorang pendeta munafik yang berpura-pura alim? Ha-ha-ha-ha, apa pun adanya engkau dahulu, sekarang tiada lebih hanya sebuah tengkorak! Mana itu kecantikan atau ketampananmu, mana hartamu, mana kedudukanmu? Ha-ha-ha, sekarang engkau hanya pantas untuk menakut-nakuti anak-anak saja!" Kakek itu tertawa-tawa.

"Heii, tengkorak! Selagi hidup harus ada manfaatnya! Jadilah seperti para pemimpin yang membimbing rakyat dengan bijaksana dan adil menuju ke arah kehidupan yang makmur, seperti para cerdik pandai yang memberi pelajaran yang berguna bagi orang lain, seperti kaum pendekar yang selalu menegakkan dan membela kebenaran dan keadilan, seperti para pendeta yang sungguh-sungguh mengabdi kepada Tuhan, memberi penyuluhan dan bimbingan kepada orang lain ke arah jalan benar. Mereka meninggalkan hasil karya dan nama baik mereka sehingga mati pun tidak perlu menyesal karena telah berjasa semasa hidupnya. Dan engkau, apakah jasamu terhadap orang lain, terhadap negara dan bangsa, dan terutama terhadap Tuhan?"

Kini kakek itu tidak tertawa lagi, melainkan menghela napas panjang. Kemudian terdengar lagi dia berkata, “Kuharap saja engkau dahulu bukan seperti para muda yang tidak jujur, yang suka mengintai orang dan tidak berani muncul secara berterang, tengkorak. Apa bila demikian halnya, maka engkau tak pantas kuajak bicara!" Dia meletakkan tengkorak itu di atas tanah dan pada saat itu dari balik sebatang pohon besar berloncatan keluar seorang pemuda dan seorang gadis.

Tadi mereka bersembunyi sambil mengintai, dan dengan terheran-heran mendengarkan ulah kakek jambel itu. Tapi ucapan terakhir kakek itu yang menyindir mereka yang sedang mengintai sangat mengejutkan mereka, dan keduanya segera berloncatan keluar. Mereka menghampiri kakek itu dan memberi hormat.

"Kakek yang baik, harap maafkan kami yang tadi bersembunyi di sana," kata pemuda itu dengan sikap yang sopan.

Kakek itu terkekeh sambil memandang kepada dua orang muda itu dan hatinya merasa senang. Dia adalah seorang kakek yang sudah banyak makan garam, sudah luas sekali pengalamannya dan dia dapat menilai orang hanya dengan melihat sinar matanya saja.

Pemuda berkulit gelap itu berusia dua puluh satu tahun. Wajahnya tampan dan gagah, dan tubuhnya tinggi tegap. Dahinya lebar, sepasang alis tebal berbentuk golok melindungi sepasang mata yang lebar dan bersinar-sinar. Akan tetapi mata yang bersinar tajam itu amat lembut dan ini saja sudah menyenangkan hati si kakek, apa lagi melihat pemuda itu begitu muncul sudah minta maaf kepadanya!

Gadis yang muncul bersama pemuda itu pun mengagumkan hatinya. Dara itu pun sebaya dengan si pemuda, wajahnya lonjong dengan dagu runcing. Ada setitik tahi lalat menghias dagu kanannya. Matanya juga tajam bersinar, namun lembut. Bibirnya merah segar dan sikapnya halus dan anggun.

"He-he-heh!" kakek jembel itu terkekeh sesudah mengamati wajah kedua orang muda itu. Wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. "Kenapa kalian minta maaf kepadaku? Tempat ini bukan milikku. Siapa saja boleh datang dan pergi. Akan tetapi kenapa kalian main sembunyi-sembunyi? Kalian bukan sepasang kekasih yang melarikan diri dari orang tua kalian, bukan?"

Wajah kedua orang muda-mudi itu berubah kemerahan, akan tetapi keduanya tersenyum dan tidak menjadi marah. Ucapan kakek itu wajar dan sebagai kelakar yang sopan, tidak bermaksud untuk menghina.

"Sama sekali bukan, locianpwe (orang tua gagah)."

"Heii! Kenapa engkau menyebut aku seorang jembel tua dengan sebutan locianpwe! Aku hanya pandai makan dan minta-minta!"

"Harap locianpwe tidak merendahkan diri. Locianpwe tadi dapat mengetahui bahwa kami bersembunyi, hal itu saja sudah menunjukkan bahwa locianpwe memiliki penglihatan dan pendengaran yang tajam sekali," kata pemuda itu.

Kakek itu memandang dengan kagum. "Haii, engkau cerdik juga. Nah, katakan mengapa tadi kalian bersembunyi."

"Kami melihat dan mendengar semua kata-katamu, locianpwe. Kami bersembunyi karena tidak ingin mengganggumu. Ucapan locianpwe kepada tengkorak tadi sangat menyentuh perasaan kami. Akan tetapi, locianpwe, mengapa locianpwe seperti orang yang berputus asa sehingga melihat dunia ini dari segi yang mengecewakan dan menyedihkan belaka? Bukankah masih banyak segi lain yang menggembirakan?"

Tiba-tiba sepasang mata yang lembut dan ramah itu mencorong hingga mengejutkan hati pemuda itu. Lalu kakek itu menarik napas panjang, pandang matanya melembut kembali. "Aihhh, siapakah yang tidak akan merasa kecewa dan bersedih, orang muda? Kalau aku mengenang semua peristiwa yang terjadi selama beberapa tahun ini, sejak perang yang meruntuhkan pemerintah penjajah Mongol. Aihh, sungguh menyedihkan...”

Pemuda itu mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, locianpwe, bukankah peristiwa itu sangat membahagiakan rakyat? Bukankah perang itu yang berhasil melepaskan rakyat dari pada cengkeraman penjajah? Mengapa locianpwe malah merasa kecewa dan sedih? Bukankah sudah selayaknya kalau kita bersyukur, bahkan kalau bisa membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah?"

Untuk sejenak kakek itu menatap wajah pemuda yang bicara dengan sikap penasaran itu, kemudian dia tertawa bergelak sambil memandang ke angkasa. "Ha-ha-ha-ha, lucunya! Engkau memberi kuliah kepadaku tentang perjuangan? Ha-ha-ha, orang muda, ketahuilah bahwa selama perang melawan Mongol, aku selalu berada di garis terdepan!"

Pemuda dan gadis itu langsung memberi hormat. "Kiranya locianpwe seorang pahlawan!" kata gadis itu, baru pertama kali bicara.

"Apakah pahlawan itu? Apa artinya sebutan itu? Kalian tahu, ketika rakyat bergerak dan berjuang melawan penjajah Mongol, aku merasa bangga dan girang bukan main. Hampir dapat dikatakan bahwa semua golongan, tidak peduli dari aliran mana, bersatu padu dan bekerja sama, bahu membahu dalam perjuangan, setiap saat rela berkorban nyawa. Akan tetapi kegembiraan itu hanya sebentar! Aihh, seperti awan tipis tertiup angin saja. Segera terganti kedukaan ketika aku melihat betapa perang itu mengakibatkan jatuhnya korban yang teramat besar. Banyak rakyat jelata yang tidak berdosa menjadi korban, tidak peduli wanita, anak-anak, orang-orang jompo, semua tak terkecuali, banyak yang roboh dibantai orang! Perang itu mengakibatkan banjir darah!"

"Apa anehnya hal itu, locianpwe? Setiap perang tentu saja menjatuhkan banyak korban. Setiap perjuangan tentu saja membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan rakyat tidak sia-sia, locianpwe. Mereka yang tewas di dalam perang itu. baik dia prajurit mau pun rakyat, adalah pahlawan. Darah merekalah yang telah membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah. Kematian merekalah yang mendatangkan kebebasan dan kemakmuran..."

"Kemakmuran siapa, orang muda? Inilah yang menyedihkan hatiku. Kami dahulu dengan senang hati membantu perjuangan yang dipimpin pendekar Cu Goan Ciang yang gagah perkasa, bahkan sampai kini pun, sesudah menjadi Kaisar Thai-cu, kami masih menaruh rasa hormat kepada dia. Dia memang seorang pejuang sejati, seorang pemimpin sejati. Sekarang pun dia menjadi kaisar yang sangat bijaksana, yang tidak mabok kemenangan, tidak mabok kemuliaan dan kesenangan. Dia terus membangun yang rusak oleh perang, dibantu oleh para pejabat yang setia dan bijaksana...”

"Nah, bukankah hal itu menggembirakan sekali, locianpwe?"

"Uhhh, engkau hanya tahu satu tidak tahu selebihnya yang jauh lebih banyak. Aku melihat hal-hal yang menyedihkan sebagai akibat perang, atau menyusul perjuangan yang luhur itu. Kalau dulu semua golongan bersatu padu menyerang penjajah, ehh, sekarang malah terjadi perpecahan di antara kita dengan kita sendiri karena saling berebut! Saling berebut pengaruh, kedudukan dan kekuasaan yang pada hakekatnya saling berebut kesenangan duniawi! Tak mungkin orang-orang memperebutkan pengaruh, kedudukan dan kekuasaan jika di situ tidak terdapat kesenangan! Jadi yang diperebutkan adalah kesenangan! Dalam perebutan ini mereka tidak segan-segan untuk saling serang dan saling bunuh! Bukan itu saja, tetapi lihat keadaan para pembesar! Mereka tidak pantas disebut pemimpin, mereka adalah pembesar yang membesarkan perut sendiri. Mereka melakukan korupsi, mencuri dan menipu uang negara, menindas yang bawah menjilat yang atas, bahkan banyak pula yang lebih tamak dan lebih murka dibandingkan penjajah Mongol sendiri! Dan Kaisar yang bijaksana itu bagaimana mungkin dapat mengetahui semua yang terjadi di antara laksaan orang pejabatnya?”

"Akan tetapi, locianpwe, aku tak setuju dengan pendapat locianpwe! Tidak semua pejabat seperti yang locianpwe katakan tadi! Masih banyak yang merupakan pejabat sejati, yang setia kepada pemerintah, jujur dan tidak mementingkan diri sendiri!" Gadis itu kini berseru penasaran.

"Ha-ha-ha-ha, hanya berapa gelintir orang saja yang seperti itu! Dan... ehh, mengapa aku bicara dan berdebat dengan dua orang muda yang sama sekali tidak kukenal?" Dia pun menepuk kepala sendiri lantas mengomel, akan tetapi sambil tersenyum, "Bu Lee Ki, kau tua bangka pikun. Sekali waktu kau bisa celaka oleh celotehmu sendiri!"

Melihat kakek itu kini mengatupkan bibir kuat-kuat dan duduknya bahkan membelakangi mereka, pemuda itu saling pandang dengan si gadis dan keduanya tersenyum.

"Locianpwe, maafkan kami berdua yang masih muda dan lupa untuk memperkenalkan diri kepada locianpwe. Namaku Sin Wan dan ini adalah sumoi-ku bernama Lim Kui Siang.”

Kakek itu tidak menoleh, masih duduk membelakangi mereka, seperti acuh saja. Sin Wan dan Kui Siang kembali saling pandang. Mereka berdua baru saja meninggalkan guru mereka yang tinggal seorang, yaitu Ciu-sian (Dewa Arak) Tong Kui yang sudah berhasil mengajarkan Sam-sian Sin-ciang kepada dua orang muridnya itu. Selama hampir setahun dua orang murid itu dengan tekun melatih diri dengan ilmu silat baru hasil penggabungan inti sari ilmu-ilmu Tiga Dewa. Sesudah Dewa Arak melihat bahwa dua orang muridnya sudah benar-benar menguasai ilmu silat sakti itu, dia pun menyuruh mereka turun gunung.

"Aku hendak menghabiskan sisa hidupku di sini, menanti uluran tangan maut yang akan membawa aku menyusul dua orang gurumu yang sudah lebih dahulu meninggalkan kita. Kalian pergilah dan pergunakan semua kepandaian yang pernah kalian pelajari dari kami demi keadilan dan kebenaran. Kui Siang, sebaiknya engkau kembali dahulu ke kota raja. Tentu semua harta peninggalan orang tuamu berikut rumahmu masih dirawat baik-baik oleh Ciang-Ciangkun. Dan engkau, Sin Wan, terserah kepadamu hendak ke mana, akan tetapi... biarlah sekarang kuceritakan kepada kalian suatu keinginan hati yang sudah kami sepakati bertiga ketika dua orang gurumu yang lain masih hidup. Kami ingin melihat kalian menjadi suami isteri...”

"Suhu...!" Kui Siang berseru lirih dan mukanya menjadi merah sekali. Ia hanya menunduk. Wajah Sin Wan juga menjadi kemerahan, akan tetapi dia pun tidak berani berkutik, hanya menunduk.

Sejak masih kecil hatinya sudah penuh kasih sayang kepada Kui Siang. Dia menganggap gadis itu seperti adiknya sendiri. Begitu pula Kui Siang yang nampak sayang kepadanya. Mungkin kebersihan hati mereka berdua yang belum sempat membiarkan panah asmara menembus hati mereka. Karena itu mereka menjadi tertegun dan malu begitu Dewa Arak secara terang-terangan menyatakan keinginannya, juga keinginan dua orang guru mereka yang telah tiada.

"Aihhh, Sin Wan dan Kui Siang. Kalian sudah tahu akan watakku. Aku menjunjung tinggi kebebasan setiap orang dan dalam hal perjodohan, tentu saja tidak boleh ada penekanan dari orang lain. Aku hanya memberi tahukan keinginan kami bertiga, hanya mengusulkan saja. Sama sekali tidak akan memaksa, terserah kepada kalian berdua. Hanya aku yakin, kedua orang gurumu yang sudah tiada, juga aku sendiri, akan merasa gembira dan puas sekali kalau kalian dapat menjadi suami isteri. Nah, sekarang pergilah kalian, dan jangan mencari aku di sini karena mungkin aku tidak berada di sini lagi. Kalau aku ingin bertemu dengan kalian, akulah yang akan mencari kalian."

Demikianlah, dua orang murid itu lalu meninggalkan Dewa Arak. Karena dia tidak memiliki tujuan lain, maka Kui Siang pergi ke kota raja, ditemani Sin Wan. Pemuda ini juga tidak mempunyai tujuan. Dia hanya menemani sumoi-nya pulang ke kota raja, baru kemudian dia akan melanjutkan perjalanan, entah ke mana. Mereka sengaja mengambil jalan memutar untuk mencari pengalaman, dan pada hari itu tibalah mereka di hutan dekat daerah tandus itu lantas tertarik oleh ulah kakek tua jembe! yang berbicara dengan sebuah tengkorak.

Sekarang kakek tua jembel itu masih duduk membelakangi mereka. Karena Sin Wan dan Kui Siang menganggap bahwa kakek itu menjadi marah dan tidak mau lagi bicara dengan mereka, maka Sin Wan memberi isyarat dengan matanya kepada sumoi-nya. Kalau orang tua ini tidak lagi mau bicara, mereka pun tidak sepantasnya mengganggunya.

"Maafkan, locianpwe. Kami berdua sudah lancang mengganggu locianpwe dan sekarang kami hendak pergi saja."

Namun baru saja keduanya bangkit berdiri, terdengar kakek itu bertanya tanpa menoleh, "Nanti dulu, katakan dulu siapa guru kalian."

Sin Wan saling pandang dengan Kui Siang. Mereka ragu-ragu. Kakek jembel yang tadinya kelihatan amat ramah itu kini seperti orang yang angkuh. Mereka sudah memperkenalkan diri, akan tetapi kakek itu tidak mengatakan siapa dia, dan kini malah menanyakan nama guru mereka. Padahal mereka tahu benar bahwa tiga orang guru mereka sama sekali tak ingin nama mereka disebut-sebut kalau tidak penting sekali.

Agaknya kakek itu dapat membaca isi hati mereka. "Hemm, jangan kalian menaruh curiga kepadaku. Aku Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki tidak pernah banyak bicara dengan sembarang orang. Katakan dulu siapa guru kalian supaya aku dapat memutuskan untuk melanjutkan percakapan kita ataukah tidak."

Mendengar nama julukan Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Berhati Putih), dua orang muda ini tercengang. Mereka pernah mendengar nama julukan itu disebut oleh Dewa Arak, dan guru mereka itu mengatakan bahwa Pek-sim Lo-kai adalah seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang tidak palsu dan amat dihormatinya.

"Aihh, kiranya locianpwe adalah pemimpin besar seluruh kai-pang!" seru Sin Wan.

"Ketiga orang suhu kami, Sam-sian, pernah menceritakan tentang locianpwe!" kata pula Kui Siang.

Tiba-tiba kakek itu meloncat berdiri sambil membalikkan tubuhnya, menghadapi dua orang muda itu, wajahnya berseri-seri dan senyumnya melebar sehingga matanya menjadi sipit sekali, kemudian dia bahkan tertawa ha-ha-he-he seperti tadi lagi.

"Heh-heh-heh, ternyata kalian adalah murid-murid Sam-sian! Ha-ha-ha, kalau begitu kita bukan orang lain karena Sam-Sian sudah lama kuanggap sebagai sahabat-sahabat yang paling baik! Bagaimana kabarnya dengan mereka bertiga? Apakah Ciu-sian tetap mabok-mabokan dan ugal-ugalan, Kiam-sian masih senang berfilsafat dengan pelajaran To, dan Pek-mau-sian masih suka bersajak?"

Mendengar ucapan ini, terbayanglah di depan mata Kui Siang wajah tiga orang gurunya, terutama Kiam-sian dan Pek-mau-sian, dan semua sikap dan gerak-gerik mereka, dan tak tertahankan lagi, kedua matanya menjadi basah.

Biar pun tadi tersenyum dan matanya menyipit nyaris tertutup, ternyata penglihatan kakek itu tajam sekali. Air mata itu belum sempat jatuh, masih tergenang di pelupuk mata, akan tetapi dia sudah cepat menegur. "Heiiii? Kenapa engkau menangis? Apa yang terjadi dengan Sam-sian?" tanyanya kepada Kui Siang.

Dangan muka ditundukkan karena dia tak ingin memperlihatkan tangisnya, Kui Siang lalu menjawab, "Suhu Kiam-sian dan suhu Pek-mau-sian telah meninggal dunia lebih setahun yang lalu."

Mendengar ini hanya sejenak saja kakek itu tertegun, lalu dia terkekeh lagi. "He-he-heh, enaknya kalian, Kiam-sian dan Pek-mau-sian! Tidak seperti aku yang masih terseok-seok mengikuti langkah kakiku yang sudah mulai lemah terhuyung ini. Heh-heh. Dan di mana sekarang Dewa Arak?"

Cara kakek itu membicarakan Sam-sian menunjukkan bahwa dia memang sahabat karib mereka, maka Sin Wan yang memberi keterangan. "Suhu Ciu-sian menyuruh kami pergi meninggalkannya dan suhu hendak merantau, entah ke mana karena tidak memberi tahu kepada kami berdua."

"Aihh, masih enakan dia dari pada aku. Dia bebas, dan aku? Terikat oleh kaipang-kaipang yang brengsek itu! Dahulu ketika jaman perjuangan, mereka itu demikian setia, demikian gagah perkasa dan bersatu! Sekarang? Muak aku melihatnya. Saling bermusuhan, saling berebutan, bahkan banyak yang kemasukan kaum sesat! Sungguh memalukan. Karena itu lebih baik aku merantau dan menjauhi semua tetek-bengek itu!" Baru sekarang wajah yang biasanya berseri itu nampak digelapkan mendung kemurungan. "Mereka itu munafik semuanya! Segala kebaikan, segala kehormatan, segala keramah tamahan, semuanya itu munafik! Sama dengan bedak gincu saja, untuk menyembunyikan kulit yang buruk."

Dia menghela napas panjang dan memandang wajah Kui Siang. "Tidak ada hubungannya dengan engkau, anak baik. Engkau memiliki wajah yang cantik dan bersih sehingga tidak membutuhkan bedak gincu lagi!"

Diam-diam Sin Wan terkejut. Menurut ketiga gurunya, Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki adalah seorang sakti yang gagah perkasa dan ditakuti, juga disegani oleh kawan dan lawan. Dia lihai akan tetapi berhati lembut, adil dan pandai mengatur sehingga seluruh perkumpulan pengemis dari empat penjuru sudah memilihnya sebagai pemimpin besar yang disebut Thai-pangcu (Ketua Besar) dan ditaati seluruh pimpinan semua perkumpulan pengemis. Akan tetapi sekarang tokoh ini meninggalkan perkumpulan, melarikan diri dari semua hal sehingga membuatnya kecewa dan penasaran.

"Maaf, locianpwe. Sudah berapa lamakah locianpwe meninggalkan kai-pang?"

"Heh-heh-heh, biarlah mereka tahu rasa. Biar mereka memilih sendiri pemimpin mereka, agar pimpinan yang baru itu mampus karena pusing kepala! Aku tak sudi lagi, aku sudah meninggalkan semuanya itu, sudah bertahun-tahun sedikitnya ada tujuh tahun!"

"Akan tetapi, locianpwe. Menurut para guruku, hanya locianpwe seorang yang dipandang oleh seluruh pimpinan kai-pang di empat penjuru, hanya locianpwe yang dapat mengatur dan mengarahkan mereka supaya mereka tetap berjalan di jalan yang benar. Bukankah locianpwe pula yang dahulu memimpin mereka membantu perjuangan menumbangkan pemerintah Mongol? Kenapa locianpwe sekarang malah meninggalkan mereka?"

“Biar! Heh-heh-heh, siapa sudi mengurus orang-orang brengsek itu? Sesudah perjuangan selesai, mereka ikut-ikutan dengan orang-orang sesat untuk memperebutkan harta benda dan kedudukan, menuntut imbalan jasa atas perjuangan menumbangkan penjajah!"

"Maaf, locianpwe, bukankah itu wajar saja? Bukankah mereka yang sudah berjasa dalam perjuangan memang berhak untuk menerima imbalan?" Sin Wan mengejar, hanya untuk memancing pendapat kakek itu karena dia sendiri sudah dapat melihat alangkah sesatnya perbuatan itu.

Sepasang mata itu melotot. "Hehh?! Kau hendak menguji aku atau bersungguh-sungguh? Kalau engkau bersungguh-sungguh, tak pantas engkau menjadi murid Sam-sian, apakah guru-gurumu hanya mengajarkan ilmu pukulan dan tendangan saja dan tidak membuka matamu melihat kenyataan hidup?"

"Maaf, saya mengharapkan petunjuk dan pelajaran yang amat berharga dari locianpwe," kata Sin Wan.

"Hemmm, kalau berjuang namun mengharapkan imbalan jasa, maka itu bukan perjuangan namanya! Makna perjuangan yang luhur, yaitu pengabdian kepada nusa bangsa dengan taruhan nyawa, menjadi pudar sesudah diisi dengan pamrih demi keuntungan diri pribadi. Pejuang-pejuang seperti itu dengan mudah dapat melakukan penyelewengan karena yang dipentingkan adalah pamrihnya. Berjuang hanya mempunyai satu tekad, yaitu menghalau penjajah untuk membebaskan bangsa dan negara dari belenggu kekuasaan Mongol. Itu saja! Tentu saja, sesudah berhasil dilanjutkan dengan mengisi kemerdekaan yang sudah diperoleh dengan pengorbanan harta dan nyawa itu. Dan pengisiannya ini juga merupakan perjuangan yang sama luhurnya, yaitu demi negara dan bangsa, bukan demi penuhnya kantung sendiri, demi keuntungan dan kesenangan diri sendiri! Dan lihatlah, mereka mulai saling bermusuhan seperti segerombolan anjing kelaparan memperebutkan tulang-tulang yang berserakan. Sungguh memalukan...!"

Si Pedang Tumpul Jilid 15

SUI IN maklum bahwa lawan sudah mengumpulkan tenaga sakti dan siap menyerangnya, maka dia pun mengangkat kedua tangannya lurus ke atas, lantas kedua tangan itu turun membuat gerakan melengkung seperti membentuk lingkaran dan berhenti di depan dada seperti memondong anak, perlahan-lahan kedua tangan itu diturunkan ke kanan kiri tubuh, tergantung lepas dan lurus seperti tidak bertenaga lagi. Dia tersenyum dan berkata,

"Aku telah siap, pangcu. Mulailah!"

Souw Kiat tidak menjawab, melangkah maju sampai dekat di depan wanita itu. Hidungnya mencium keharuman yang keluar dari pakaian Sui In dan dengan cepat dia mematikan penciuman itu supaya tak mengganggu konsentrasinya. Kemudian, sambil mengerahkan tenaga dari bawah pusar, disalurkannya ke seluruh kedua lengannya, dia pun membuat gerakan mendorong dengan kedua tangan terbuka, ke arah dada Sui In. Terdengar angin yang dahsyat menyambar keluar dari kedua tangan itu. Sui In segera menyambutnya dengan dua tangan pula yang diluruskan ke depan, dengan jari terbuka pula.

"Plakkkk…!" Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan melekat, kemudian mulailah keduanya mengerahkan tenaga sakti masing-masing untuk saling dorong dan mengalahkan lawan. Nampaknya kedua orang itu seperti main-main saja, namun semua orang maklum bahwa adu tenaga yang dilakukan secara diam tanpa bergerak ini bahkan lebih berbahaya dari pada adu silat yang penuh pukulan, tendangan, elakan dan tangkisan.

Souw Kiat memang cerdik. Melihat ilmu silat Lili tadi saja, dia tahu bahwa dalam ilmu silat dia bukan tandingan wanita cantik ini. Akan tetapi dia memiliki sinkang yang terkenal kuat, maka dia hendak mencari kemenangan melalui adu tenaga sakti.

Ketika kedua telapak tangannya bertemu dengan kedua tangan wanita itu, mula-mula dia merasa betapa telapak tangan itu lembut, lunak dan hangat. Dia lalu mengerahkan tenaga untuk mendorong, namun begitu bertemu dengan tenaga lunak itu, tenaganya seperti batu yang ditekan ke air, tenggelam! Kemudian telapak tangan yang halus itu menjadi panas sekali.

Souw Kiat cepat-cepat mengerahkan tenaganya untuk melawan hawa panas yang seperti membakar telapak tangannya. Tetapi kedua telapak tangan halus itu makin lama semakin panas dan ada tenaga dorongan yang amat kuat keluar dari tangan itu. Souw Kiat mengerahkan seluruh tenaga untuk bertahan dan tak lama kemudian, dahi dan lehernya sudah penuh keringat, dan dari kepalanya mengepul uap. Merasa betapa kedua kakinya mulai goyah dan kuda-kudanya terbongkar, dia semakin mempertahankan sekuat tenaga.

Walau pun tidak dapat merasakan, namun semua orang yang menyaksikan pertandingan ini dapat melihat perbedaan antara dua orang yang sedang bertanding sinkang itu. Kalau Souw Kiat berpeluh, kepalanya beruap serta mukanya sebentar merah sebentar pucat, maka wanita cantik itu masih tenang saja, nampak santai dan tersenyum mengejek.

Tiba-tiba saja Sui In mengeluarkan bentakan melengking dan tubuh Souw Kiat terangkat ke atas, kedua kakinya naik sampai satu meter dari tanah! Biar pun Souw Kiat berusaha untuk membuat tubuhnya menjadi berat, tetap saja dia tidak mampu menandingi tenaga yang mengangkat tubuhnya itu. Mukanya berubah pucat karena dia berada dalam bahaya maut!

Kalau adu tenaga sinkang ini dilanjutkan maka dia akan terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik dan akan terluka parah, mungkin tewas. Dia berusaha melepaskan kedua tangan dari tangan lawan, akan tetapi dua pasang tangan yang bertemu itu seperti sudah melekat dan tidak dapat dipisahkan lagi!

Tiba-tiba Sui In mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya mendorong dan tubuh Souw Kiat terlempar sampai empat lima meter jauhnya kemudian terbanting keras di atas lantai. Dia menderita nyeri pada pinggul yang terbanting, akan tetapi tidak menderita luka dalam. Tahulah dia bahwa wanita itu selain sakti juga tak mempunyai niat buruk terhadap dirinya yang tadi telah berada di ambang maut. Dia pun bangkit, memberi hormat dengan hati kagum lalu berkata,

"Saya mengaku kalah dan terima kasih atas pengampunan lihiap."

"Hemm, sekarang engkau membolehkan aku menjadi ketua Hek I Kai-pang? Atau masih ada anggota kai-pang lainnya yang merasa tidak suka?" tanya Sui In.

Tidak ada satu orang pun yang berani menjawab. Bahkan mereka harus mengakui bahwa wanita cantik ini jauh lebih lihai dari pada pangcu mereka, dan sudah sepatutnya menjadi ketua baru. Akan tetapi mereka pun tak suka mendukungnya karena Hek I Kai-pang tentu akan menjadi bahan tertawaan para kai-pang yang lain kalau mereka mendengar bahwa Hek I Kai-pang diketuai oleh seorang wanita muda yang cantik.

"Cu-lihiap, saya beserta seluruh anggota Hek I Kai-pang tentu akan suka sekali bila lihiap memimpin kami. Akan tetapi saya khawatir justru Cu-lihiap sendiri yang tidak mau menjadi ketua kami."

Lili bangkit dari tempat duduknya dan menudingkan telunjuk kanannya ke arah Souw Kiat. "Hei, Souw-pangcu, engkau jangan plintat-plintut! Selama ini Hek I Kai-pang dipimpin oleh orang-orang yang tidak becus, sebab itu mudah saja menjadi permainan perkumpulan lain seperti Hwa I Kai-pang. Sekarang suci dengan mudah mengalahkanmu, maka dia berhak menjadi pangcu. Mengapa tadi engkau malah mengatakan bahwa suci tidak mau menjadi ketua? Omongan macam apa itu?"

"Harap ji-wi lihiap (berdua pendekar wanita) tidak salah paham dan suka mendengarkan keterangan kami," kata Souw Kiat. "Hek I Kai-pang sejak puluhan tahun telah mempunyai suatu peraturan tertentu yang sama sekali tidak boleh dilanggar mengenai pengangkatan seorang ketua baru. Selain harus menjadi orang yang ilmu kepandaiannya paling tinggi di antara seluruh anggota, seorang ketua baru terlebih dahulu juga harus melakukan sendiri pekerjaan mengemis selama satu bulan, dan dia hanya boleh mengenakan pakaian warna hitam. Nah, apakah Cu-lihiap suka memenuhi syarat dalam peraturan itu?"

Dua orang wanita itu saling bertukar pandang. Lili tertawa akan tetapi suci-nya cemberut dan mengerutkan alisnya. "Mengemis? Sebulan dan selalu berpakaian hitam? Wah, aku tidak suka melakukan itu, Souw-pangcu!" katanya kemudian. "Akan tetapi aku tetap ingin didukung oleh Hek I Kai-pang dalam pemilihan pemimpin besar kai-pang nanti!"

Kini ketua dan wakil ketua Hek I Kai-pang yang mengerutkan alis dengan bingung. Tiba-tiba Lu Pi memandang kepada ketuanya dengan wajah berseri. "Ahh, hal itu mudah diatur, Souw-toako! Di dalam peraturan kita tidak ada disebut tentang ketua kehormatan, karena itu kita dapat mengangkat Cu-lihiap dan Tang-lihiap sebagai ketua dan wakil ketua kehormatan. Karena tidak ada dalam peraturan, maka mereka tidak terikat oleh peraturan dan persyaratan itu. Dan kelak, pada saat pemilihan, tentu kita bisa mendukung Cu-lihiap sebagai calon pemimpin besar kai-pang karena mereka sudah kita terima sebagai ketua-ketua kehormatan!"

"Bagus sekali! Engkau benar, siauw-te. Nah, ji-wi lihiap sudah mendengar sendiri usul Lu-siauwte yang amat baik. Apakah ji-wi juga setuju dengan usul itu?"

Sui In mengangguk, "Teserah kepada kalian. Bagiku, yang terpenting adalah kelak kalian harus mendukung aku dalam pemilihan pemimpin kai-pang."

Untuk menghormati ketua dan wakil ketua kehormatan itu, Souw-Pangcu dan Lu-Pangcu kemudian mengadakan penyambutan dengan pesta. Dan di dalam kesempatan ini Souw Kiat menceritakan mengenai keadaan kai-pang (perkumpulan pengemis) di empat penjuru dan tentang pemilihan pemimpin besar kai-pang yang akan diadakan sebulan lagi di kota Lok-yang.

Ada empat kai-pang terbesar yang menguasai empat daerah. Di barat adalah Hek I Kai-pang dengan pakaian hitam, di timur Hwa I Kai-pang dengan pakaian kembang-kembang, di selatan terdapat Lam-kiang Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Sungai Selatan) dengan tanda topi butut hitam yang dipakai para anggotanya, dan yang berkuasa di utara adalah Ang-kin Kai-pang yang ditandai dengan sabuk merah di pinggang para anggotanya.

"Sesungguhnya masih banyak perkumpulan pengemis lainnya, akan tetapi mereka semua hanyalah perkumpulan-perkumpulan kecil yang bernaung di bawah panji kekuasaan empat perkumpulan pengemis yang besar itu," Souw Pangcu berhenti sejenak, lalu melanjutkan keterangannya lagi. "Empat perkumpulan besar itulah yang pada bulan depan nanti akan mengadakan pertemuan untuk memilih seorang pemimpin besar kai-pang yang menjadi penasehat dan sesepuh, yang berwenang untuk memutuskan apa bila terdapat pertikaian dan persaingan di antara keempat kai-pang."

"Aku pernah mendengar bahwa sebenarnya seluruh kai-pang sudah mempunyai seorang pemimpin besar yang amat sakti dan bijaksana. Ayahku mengenal baik tokoh ini, apakah sekarang dia tidak lagi memimpin para kai-pang?” tanya Sui In

Souw Pangcu mengangguk-angguk. "Memang benar sekali, Cu-lihiap. Dahulu seluruh kai-pang sudah mempunyai seorang sesepuh yang sakti dan bijaksana, yaitu Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih). Selama masih ada beliau, para kai-pang tidak ada yang berani melakukan penyelewengan. Mereka selalu hidup rukun dan saling bantu dengan kai-pang lainnya. Akan tetapi, semenjak beberapa tahun yang lalu beliau menghilang dan tidak ada seorang pun mengetahui di mana adanya, masih hidup ataukah sudah mati. Dahulu beliau memimpin kami untuk menentang penjajah Mongol dengan gerakan bawah tanah, bahkan membantu pergerakan Kerajaan Beng. Tapi beliau langsung menghilang setelah penjajah Mongol berhasil digulingkan,. Mungkin karena kini rakyat tidak terjajah lagi, negara berada di bawah pemerintahan Kerajaan Beng, bangsa sendiri, sehingga beliau menganggap tak perlu lagi memimpin para kai-pang."

Sui In juga menceritakan rencananya. "Kaisar Thai-cu sendiri yang memerintahkan agar dunia persilatan memilih seorang bengcu (pemimpin rakyat) agar pemerintah lebih mudah mengadakan hubungan dengan para tokoh dunia persilatan. Nah, dalam rangka inilah aku ingin menjadi pemimpin para kai-pang, dan kelak aku hendak mewakili kai-pang di dalam pemilihan bengcu itu dan para kai-pang harus mendukung ayahku sebagai calon bengcu."

Mendengar ini, para pimpinan pengemis itu merasa lega. Ternyata wanita ini sama sekali bukan menginginkan kedudukan ketua Hek I Kai-pang atau pun pemimpin besar kai-pang, melainkan menginginkan kedudukan bengcu untuk ayahnya. Tentu saja hal itu tidak ada sangkut-pautnya secara langsung dengan Hek I Kai-pang, maka dengan hati lega Souw-pangcu menyatakan kesanggupannya untuk membantu dan memberi dukungan.

Karena pemilihan permimpin besar kai-pang masih sebulan lagi, maka Sui In dan Lili pergi meninggalkan perkumpulan itu, memasuki kota Lok-yang dan menghabiskan waktu untuk berpesiar ke seluruh daerah Lok-yang di mana terdapat banyak tempat wisata yang amat indah.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Dataran tandus di kaki pegunungan sebelah dalam Tembok Besar itu merupakan daerah yang amat sunyi. Letaknya di sebelah utara kota Peking. Daerah yang berbukit-bukit dan kadang-kadang diseling gurun pasir dan tandus itu merupakan daerah yang mati. Namun daerah ini merupakan daerah pertempuran besar-besaran ketika pasukan rakyat mengejar tentara Mongol pada akhir perang yang meruntuhkan kekuasaan Mongol,. Banyak prajurit kedua pihak tewas di daerah ini. Juga banyak pula para pengungsi dan penduduk dusun yang ikut pula dibantai di tempat ini.

Biar pun perang itu sudah berlalu selama belasan tahun, namun masih banyak ditemukan rangka-rangka manusia berserakan di situ, juga tengkorak-tengkorak dan bahkan senjata-senjata tajam yang sudah berkarat.

Pada siang hari itu nampak seorang kakek melintasi daerah tandus yang terakhir dan kini dia melepas lelah di hutan pertama, di bawah pohon besar yang amat rindang, berteduh dari terik matahari. Di dalam perjalanan tadi dia memungut sebuah tengkorak yang bersih, dan kini dia duduk di bawah pohon sambil memegangi tengkorak itu dan menghadapkan muka tengkorak kepadanya, dan dia mengajak tengkorak itu bercakap-cakap!

Dia seorang lelaki tua, mungkin usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun. Pakaiannya jelek sekali, sudah robek di sana sini dan penuh tambalan. Akan tetapi anehnya, pakaian yang butut itu terlihat bersih seperti habis dicuci. Kedua kakinya telanjang tanpa alas kaki, celana yang robek dan buntung sebatas lutut itu memperlihatkan betis yang kecil kurus hampir tak berdaging. Kakek ini tubuhnya sedang akan tetapi kurus, kepalanya besar dan mukanya seperti muka singa karena rambut, cambang, kumis serta jenggotnya tebal dan awut-awutan melingkari muka itu.

Rambutnya telah banyak yang putih, demikian pula kumis dan jenggotnya yang dibiarkan tumbuh liar tak terpelihara rapi. Akan tetapi rambut serta kumis jenggotnya halus seperti kapas, juga bersih, tanda bahwa biar pun dia tidak pernah menyisir rambutnya akan tetapi rambut dan kumis jenggot itu sering dicuci bersih. Sepasang matanya seperti mata kanak-kanak, nampak berseri gembira, dan mulutnya yang sudah tidak bergigi lagi itu pun selalu tersenyum, bibirnya merah tanda bahwa dia sehat.

Kurang pantaslah kalau dia dikatakan seorang kakek jembel, karena pakaian dan seluruh tubuhnya nampak sehat dan bersih. Akan tetapi kalau bukan jembel, kenapa pakaiannya penuh tambalan dan robek-robek? Sebuah caping lebar tergantung di punggungnya, baru saja dilepaskan dari atas kepalanya ketika dia menjatuhkan diri duduk di bawah pohon itu. Kini dia bicara kepada tengkorak yang dipegangnya, seperti orang bicara kepada seorang sahabatnya saja.

"Hayo jawablah!" Dia mengulang. "Selagi hidup engkau tentu cerewet bukan main, tetapi mengapa sekarang diam dalam seribu bahasa?" Dia terkekeh. Suara kakek itu lirih dan ringan, seperti suara anak-anak.

"Hayo katakan, apakah engkau dahulu seorang wanita yang cantik jelita ataukah wanita yang buruk rupa? Apakah seorang laki-laki yang jantan perkasa ataukah seorang laki-laki yang lemah berpenyakitan? Apakah engkau dahulu seorang panglima? Ataukah seorang prajurit biasa? Hartawan ataukah pengemis?"

Kalau ada orang lain melihat dan mendengatnya di saat itu, tentu kakek ini akan dianggap seorang yang tidak waras, seorang gila atau setidaknya sinting.

"Coba jawab. Apakah dulu engkau seorang pembesar yang jujur bijaksana atau seorang pembesar yang korup dan penindas rakyat? Seorang hartawan yang dermawan ataukah yang pelit? Apakah engkau seorang pendeta yang arif bijaksana dan penuh kasih sayang, ataukah seorang pendeta munafik yang berpura-pura alim? Ha-ha-ha-ha, apa pun adanya engkau dahulu, sekarang tiada lebih hanya sebuah tengkorak! Mana itu kecantikan atau ketampananmu, mana hartamu, mana kedudukanmu? Ha-ha-ha, sekarang engkau hanya pantas untuk menakut-nakuti anak-anak saja!" Kakek itu tertawa-tawa.

"Heii, tengkorak! Selagi hidup harus ada manfaatnya! Jadilah seperti para pemimpin yang membimbing rakyat dengan bijaksana dan adil menuju ke arah kehidupan yang makmur, seperti para cerdik pandai yang memberi pelajaran yang berguna bagi orang lain, seperti kaum pendekar yang selalu menegakkan dan membela kebenaran dan keadilan, seperti para pendeta yang sungguh-sungguh mengabdi kepada Tuhan, memberi penyuluhan dan bimbingan kepada orang lain ke arah jalan benar. Mereka meninggalkan hasil karya dan nama baik mereka sehingga mati pun tidak perlu menyesal karena telah berjasa semasa hidupnya. Dan engkau, apakah jasamu terhadap orang lain, terhadap negara dan bangsa, dan terutama terhadap Tuhan?"

Kini kakek itu tidak tertawa lagi, melainkan menghela napas panjang. Kemudian terdengar lagi dia berkata, “Kuharap saja engkau dahulu bukan seperti para muda yang tidak jujur, yang suka mengintai orang dan tidak berani muncul secara berterang, tengkorak. Apa bila demikian halnya, maka engkau tak pantas kuajak bicara!" Dia meletakkan tengkorak itu di atas tanah dan pada saat itu dari balik sebatang pohon besar berloncatan keluar seorang pemuda dan seorang gadis.

Tadi mereka bersembunyi sambil mengintai, dan dengan terheran-heran mendengarkan ulah kakek jambel itu. Tapi ucapan terakhir kakek itu yang menyindir mereka yang sedang mengintai sangat mengejutkan mereka, dan keduanya segera berloncatan keluar. Mereka menghampiri kakek itu dan memberi hormat.

"Kakek yang baik, harap maafkan kami yang tadi bersembunyi di sana," kata pemuda itu dengan sikap yang sopan.

Kakek itu terkekeh sambil memandang kepada dua orang muda itu dan hatinya merasa senang. Dia adalah seorang kakek yang sudah banyak makan garam, sudah luas sekali pengalamannya dan dia dapat menilai orang hanya dengan melihat sinar matanya saja.

Pemuda berkulit gelap itu berusia dua puluh satu tahun. Wajahnya tampan dan gagah, dan tubuhnya tinggi tegap. Dahinya lebar, sepasang alis tebal berbentuk golok melindungi sepasang mata yang lebar dan bersinar-sinar. Akan tetapi mata yang bersinar tajam itu amat lembut dan ini saja sudah menyenangkan hati si kakek, apa lagi melihat pemuda itu begitu muncul sudah minta maaf kepadanya!

Gadis yang muncul bersama pemuda itu pun mengagumkan hatinya. Dara itu pun sebaya dengan si pemuda, wajahnya lonjong dengan dagu runcing. Ada setitik tahi lalat menghias dagu kanannya. Matanya juga tajam bersinar, namun lembut. Bibirnya merah segar dan sikapnya halus dan anggun.

"He-he-heh!" kakek jembel itu terkekeh sesudah mengamati wajah kedua orang muda itu. Wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. "Kenapa kalian minta maaf kepadaku? Tempat ini bukan milikku. Siapa saja boleh datang dan pergi. Akan tetapi kenapa kalian main sembunyi-sembunyi? Kalian bukan sepasang kekasih yang melarikan diri dari orang tua kalian, bukan?"

Wajah kedua orang muda-mudi itu berubah kemerahan, akan tetapi keduanya tersenyum dan tidak menjadi marah. Ucapan kakek itu wajar dan sebagai kelakar yang sopan, tidak bermaksud untuk menghina.

"Sama sekali bukan, locianpwe (orang tua gagah)."

"Heii! Kenapa engkau menyebut aku seorang jembel tua dengan sebutan locianpwe! Aku hanya pandai makan dan minta-minta!"

"Harap locianpwe tidak merendahkan diri. Locianpwe tadi dapat mengetahui bahwa kami bersembunyi, hal itu saja sudah menunjukkan bahwa locianpwe memiliki penglihatan dan pendengaran yang tajam sekali," kata pemuda itu.

Kakek itu memandang dengan kagum. "Haii, engkau cerdik juga. Nah, katakan mengapa tadi kalian bersembunyi."

"Kami melihat dan mendengar semua kata-katamu, locianpwe. Kami bersembunyi karena tidak ingin mengganggumu. Ucapan locianpwe kepada tengkorak tadi sangat menyentuh perasaan kami. Akan tetapi, locianpwe, mengapa locianpwe seperti orang yang berputus asa sehingga melihat dunia ini dari segi yang mengecewakan dan menyedihkan belaka? Bukankah masih banyak segi lain yang menggembirakan?"

Tiba-tiba sepasang mata yang lembut dan ramah itu mencorong hingga mengejutkan hati pemuda itu. Lalu kakek itu menarik napas panjang, pandang matanya melembut kembali. "Aihhh, siapakah yang tidak akan merasa kecewa dan bersedih, orang muda? Kalau aku mengenang semua peristiwa yang terjadi selama beberapa tahun ini, sejak perang yang meruntuhkan pemerintah penjajah Mongol. Aihh, sungguh menyedihkan...”

Pemuda itu mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, locianpwe, bukankah peristiwa itu sangat membahagiakan rakyat? Bukankah perang itu yang berhasil melepaskan rakyat dari pada cengkeraman penjajah? Mengapa locianpwe malah merasa kecewa dan sedih? Bukankah sudah selayaknya kalau kita bersyukur, bahkan kalau bisa membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah?"

Untuk sejenak kakek itu menatap wajah pemuda yang bicara dengan sikap penasaran itu, kemudian dia tertawa bergelak sambil memandang ke angkasa. "Ha-ha-ha-ha, lucunya! Engkau memberi kuliah kepadaku tentang perjuangan? Ha-ha-ha, orang muda, ketahuilah bahwa selama perang melawan Mongol, aku selalu berada di garis terdepan!"

Pemuda dan gadis itu langsung memberi hormat. "Kiranya locianpwe seorang pahlawan!" kata gadis itu, baru pertama kali bicara.

"Apakah pahlawan itu? Apa artinya sebutan itu? Kalian tahu, ketika rakyat bergerak dan berjuang melawan penjajah Mongol, aku merasa bangga dan girang bukan main. Hampir dapat dikatakan bahwa semua golongan, tidak peduli dari aliran mana, bersatu padu dan bekerja sama, bahu membahu dalam perjuangan, setiap saat rela berkorban nyawa. Akan tetapi kegembiraan itu hanya sebentar! Aihh, seperti awan tipis tertiup angin saja. Segera terganti kedukaan ketika aku melihat betapa perang itu mengakibatkan jatuhnya korban yang teramat besar. Banyak rakyat jelata yang tidak berdosa menjadi korban, tidak peduli wanita, anak-anak, orang-orang jompo, semua tak terkecuali, banyak yang roboh dibantai orang! Perang itu mengakibatkan banjir darah!"

"Apa anehnya hal itu, locianpwe? Setiap perang tentu saja menjatuhkan banyak korban. Setiap perjuangan tentu saja membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan rakyat tidak sia-sia, locianpwe. Mereka yang tewas di dalam perang itu. baik dia prajurit mau pun rakyat, adalah pahlawan. Darah merekalah yang telah membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah. Kematian merekalah yang mendatangkan kebebasan dan kemakmuran..."

"Kemakmuran siapa, orang muda? Inilah yang menyedihkan hatiku. Kami dahulu dengan senang hati membantu perjuangan yang dipimpin pendekar Cu Goan Ciang yang gagah perkasa, bahkan sampai kini pun, sesudah menjadi Kaisar Thai-cu, kami masih menaruh rasa hormat kepada dia. Dia memang seorang pejuang sejati, seorang pemimpin sejati. Sekarang pun dia menjadi kaisar yang sangat bijaksana, yang tidak mabok kemenangan, tidak mabok kemuliaan dan kesenangan. Dia terus membangun yang rusak oleh perang, dibantu oleh para pejabat yang setia dan bijaksana...”

"Nah, bukankah hal itu menggembirakan sekali, locianpwe?"

"Uhhh, engkau hanya tahu satu tidak tahu selebihnya yang jauh lebih banyak. Aku melihat hal-hal yang menyedihkan sebagai akibat perang, atau menyusul perjuangan yang luhur itu. Kalau dulu semua golongan bersatu padu menyerang penjajah, ehh, sekarang malah terjadi perpecahan di antara kita dengan kita sendiri karena saling berebut! Saling berebut pengaruh, kedudukan dan kekuasaan yang pada hakekatnya saling berebut kesenangan duniawi! Tak mungkin orang-orang memperebutkan pengaruh, kedudukan dan kekuasaan jika di situ tidak terdapat kesenangan! Jadi yang diperebutkan adalah kesenangan! Dalam perebutan ini mereka tidak segan-segan untuk saling serang dan saling bunuh! Bukan itu saja, tetapi lihat keadaan para pembesar! Mereka tidak pantas disebut pemimpin, mereka adalah pembesar yang membesarkan perut sendiri. Mereka melakukan korupsi, mencuri dan menipu uang negara, menindas yang bawah menjilat yang atas, bahkan banyak pula yang lebih tamak dan lebih murka dibandingkan penjajah Mongol sendiri! Dan Kaisar yang bijaksana itu bagaimana mungkin dapat mengetahui semua yang terjadi di antara laksaan orang pejabatnya?”

"Akan tetapi, locianpwe, aku tak setuju dengan pendapat locianpwe! Tidak semua pejabat seperti yang locianpwe katakan tadi! Masih banyak yang merupakan pejabat sejati, yang setia kepada pemerintah, jujur dan tidak mementingkan diri sendiri!" Gadis itu kini berseru penasaran.

"Ha-ha-ha-ha, hanya berapa gelintir orang saja yang seperti itu! Dan... ehh, mengapa aku bicara dan berdebat dengan dua orang muda yang sama sekali tidak kukenal?" Dia pun menepuk kepala sendiri lantas mengomel, akan tetapi sambil tersenyum, "Bu Lee Ki, kau tua bangka pikun. Sekali waktu kau bisa celaka oleh celotehmu sendiri!"

Melihat kakek itu kini mengatupkan bibir kuat-kuat dan duduknya bahkan membelakangi mereka, pemuda itu saling pandang dengan si gadis dan keduanya tersenyum.

"Locianpwe, maafkan kami berdua yang masih muda dan lupa untuk memperkenalkan diri kepada locianpwe. Namaku Sin Wan dan ini adalah sumoi-ku bernama Lim Kui Siang.”

Kakek itu tidak menoleh, masih duduk membelakangi mereka, seperti acuh saja. Sin Wan dan Kui Siang kembali saling pandang. Mereka berdua baru saja meninggalkan guru mereka yang tinggal seorang, yaitu Ciu-sian (Dewa Arak) Tong Kui yang sudah berhasil mengajarkan Sam-sian Sin-ciang kepada dua orang muridnya itu. Selama hampir setahun dua orang murid itu dengan tekun melatih diri dengan ilmu silat baru hasil penggabungan inti sari ilmu-ilmu Tiga Dewa. Sesudah Dewa Arak melihat bahwa dua orang muridnya sudah benar-benar menguasai ilmu silat sakti itu, dia pun menyuruh mereka turun gunung.

"Aku hendak menghabiskan sisa hidupku di sini, menanti uluran tangan maut yang akan membawa aku menyusul dua orang gurumu yang sudah lebih dahulu meninggalkan kita. Kalian pergilah dan pergunakan semua kepandaian yang pernah kalian pelajari dari kami demi keadilan dan kebenaran. Kui Siang, sebaiknya engkau kembali dahulu ke kota raja. Tentu semua harta peninggalan orang tuamu berikut rumahmu masih dirawat baik-baik oleh Ciang-Ciangkun. Dan engkau, Sin Wan, terserah kepadamu hendak ke mana, akan tetapi... biarlah sekarang kuceritakan kepada kalian suatu keinginan hati yang sudah kami sepakati bertiga ketika dua orang gurumu yang lain masih hidup. Kami ingin melihat kalian menjadi suami isteri...”

"Suhu...!" Kui Siang berseru lirih dan mukanya menjadi merah sekali. Ia hanya menunduk. Wajah Sin Wan juga menjadi kemerahan, akan tetapi dia pun tidak berani berkutik, hanya menunduk.

Sejak masih kecil hatinya sudah penuh kasih sayang kepada Kui Siang. Dia menganggap gadis itu seperti adiknya sendiri. Begitu pula Kui Siang yang nampak sayang kepadanya. Mungkin kebersihan hati mereka berdua yang belum sempat membiarkan panah asmara menembus hati mereka. Karena itu mereka menjadi tertegun dan malu begitu Dewa Arak secara terang-terangan menyatakan keinginannya, juga keinginan dua orang guru mereka yang telah tiada.

"Aihhh, Sin Wan dan Kui Siang. Kalian sudah tahu akan watakku. Aku menjunjung tinggi kebebasan setiap orang dan dalam hal perjodohan, tentu saja tidak boleh ada penekanan dari orang lain. Aku hanya memberi tahukan keinginan kami bertiga, hanya mengusulkan saja. Sama sekali tidak akan memaksa, terserah kepada kalian berdua. Hanya aku yakin, kedua orang gurumu yang sudah tiada, juga aku sendiri, akan merasa gembira dan puas sekali kalau kalian dapat menjadi suami isteri. Nah, sekarang pergilah kalian, dan jangan mencari aku di sini karena mungkin aku tidak berada di sini lagi. Kalau aku ingin bertemu dengan kalian, akulah yang akan mencari kalian."

Demikianlah, dua orang murid itu lalu meninggalkan Dewa Arak. Karena dia tidak memiliki tujuan lain, maka Kui Siang pergi ke kota raja, ditemani Sin Wan. Pemuda ini juga tidak mempunyai tujuan. Dia hanya menemani sumoi-nya pulang ke kota raja, baru kemudian dia akan melanjutkan perjalanan, entah ke mana. Mereka sengaja mengambil jalan memutar untuk mencari pengalaman, dan pada hari itu tibalah mereka di hutan dekat daerah tandus itu lantas tertarik oleh ulah kakek tua jembe! yang berbicara dengan sebuah tengkorak.

Sekarang kakek tua jembel itu masih duduk membelakangi mereka. Karena Sin Wan dan Kui Siang menganggap bahwa kakek itu menjadi marah dan tidak mau lagi bicara dengan mereka, maka Sin Wan memberi isyarat dengan matanya kepada sumoi-nya. Kalau orang tua ini tidak lagi mau bicara, mereka pun tidak sepantasnya mengganggunya.

"Maafkan, locianpwe. Kami berdua sudah lancang mengganggu locianpwe dan sekarang kami hendak pergi saja."

Namun baru saja keduanya bangkit berdiri, terdengar kakek itu bertanya tanpa menoleh, "Nanti dulu, katakan dulu siapa guru kalian."

Sin Wan saling pandang dengan Kui Siang. Mereka ragu-ragu. Kakek jembel yang tadinya kelihatan amat ramah itu kini seperti orang yang angkuh. Mereka sudah memperkenalkan diri, akan tetapi kakek itu tidak mengatakan siapa dia, dan kini malah menanyakan nama guru mereka. Padahal mereka tahu benar bahwa tiga orang guru mereka sama sekali tak ingin nama mereka disebut-sebut kalau tidak penting sekali.

Agaknya kakek itu dapat membaca isi hati mereka. "Hemm, jangan kalian menaruh curiga kepadaku. Aku Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki tidak pernah banyak bicara dengan sembarang orang. Katakan dulu siapa guru kalian supaya aku dapat memutuskan untuk melanjutkan percakapan kita ataukah tidak."

Mendengar nama julukan Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Berhati Putih), dua orang muda ini tercengang. Mereka pernah mendengar nama julukan itu disebut oleh Dewa Arak, dan guru mereka itu mengatakan bahwa Pek-sim Lo-kai adalah seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang tidak palsu dan amat dihormatinya.

"Aihh, kiranya locianpwe adalah pemimpin besar seluruh kai-pang!" seru Sin Wan.

"Ketiga orang suhu kami, Sam-sian, pernah menceritakan tentang locianpwe!" kata pula Kui Siang.

Tiba-tiba kakek itu meloncat berdiri sambil membalikkan tubuhnya, menghadapi dua orang muda itu, wajahnya berseri-seri dan senyumnya melebar sehingga matanya menjadi sipit sekali, kemudian dia bahkan tertawa ha-ha-he-he seperti tadi lagi.

"Heh-heh-heh, ternyata kalian adalah murid-murid Sam-sian! Ha-ha-ha, kalau begitu kita bukan orang lain karena Sam-Sian sudah lama kuanggap sebagai sahabat-sahabat yang paling baik! Bagaimana kabarnya dengan mereka bertiga? Apakah Ciu-sian tetap mabok-mabokan dan ugal-ugalan, Kiam-sian masih senang berfilsafat dengan pelajaran To, dan Pek-mau-sian masih suka bersajak?"

Mendengar ucapan ini, terbayanglah di depan mata Kui Siang wajah tiga orang gurunya, terutama Kiam-sian dan Pek-mau-sian, dan semua sikap dan gerak-gerik mereka, dan tak tertahankan lagi, kedua matanya menjadi basah.

Biar pun tadi tersenyum dan matanya menyipit nyaris tertutup, ternyata penglihatan kakek itu tajam sekali. Air mata itu belum sempat jatuh, masih tergenang di pelupuk mata, akan tetapi dia sudah cepat menegur. "Heiiii? Kenapa engkau menangis? Apa yang terjadi dengan Sam-sian?" tanyanya kepada Kui Siang.

Dangan muka ditundukkan karena dia tak ingin memperlihatkan tangisnya, Kui Siang lalu menjawab, "Suhu Kiam-sian dan suhu Pek-mau-sian telah meninggal dunia lebih setahun yang lalu."

Mendengar ini hanya sejenak saja kakek itu tertegun, lalu dia terkekeh lagi. "He-he-heh, enaknya kalian, Kiam-sian dan Pek-mau-sian! Tidak seperti aku yang masih terseok-seok mengikuti langkah kakiku yang sudah mulai lemah terhuyung ini. Heh-heh. Dan di mana sekarang Dewa Arak?"

Cara kakek itu membicarakan Sam-sian menunjukkan bahwa dia memang sahabat karib mereka, maka Sin Wan yang memberi keterangan. "Suhu Ciu-sian menyuruh kami pergi meninggalkannya dan suhu hendak merantau, entah ke mana karena tidak memberi tahu kepada kami berdua."

"Aihh, masih enakan dia dari pada aku. Dia bebas, dan aku? Terikat oleh kaipang-kaipang yang brengsek itu! Dahulu ketika jaman perjuangan, mereka itu demikian setia, demikian gagah perkasa dan bersatu! Sekarang? Muak aku melihatnya. Saling bermusuhan, saling berebutan, bahkan banyak yang kemasukan kaum sesat! Sungguh memalukan. Karena itu lebih baik aku merantau dan menjauhi semua tetek-bengek itu!" Baru sekarang wajah yang biasanya berseri itu nampak digelapkan mendung kemurungan. "Mereka itu munafik semuanya! Segala kebaikan, segala kehormatan, segala keramah tamahan, semuanya itu munafik! Sama dengan bedak gincu saja, untuk menyembunyikan kulit yang buruk."

Dia menghela napas panjang dan memandang wajah Kui Siang. "Tidak ada hubungannya dengan engkau, anak baik. Engkau memiliki wajah yang cantik dan bersih sehingga tidak membutuhkan bedak gincu lagi!"

Diam-diam Sin Wan terkejut. Menurut ketiga gurunya, Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki adalah seorang sakti yang gagah perkasa dan ditakuti, juga disegani oleh kawan dan lawan. Dia lihai akan tetapi berhati lembut, adil dan pandai mengatur sehingga seluruh perkumpulan pengemis dari empat penjuru sudah memilihnya sebagai pemimpin besar yang disebut Thai-pangcu (Ketua Besar) dan ditaati seluruh pimpinan semua perkumpulan pengemis. Akan tetapi sekarang tokoh ini meninggalkan perkumpulan, melarikan diri dari semua hal sehingga membuatnya kecewa dan penasaran.

"Maaf, locianpwe. Sudah berapa lamakah locianpwe meninggalkan kai-pang?"

"Heh-heh-heh, biarlah mereka tahu rasa. Biar mereka memilih sendiri pemimpin mereka, agar pimpinan yang baru itu mampus karena pusing kepala! Aku tak sudi lagi, aku sudah meninggalkan semuanya itu, sudah bertahun-tahun sedikitnya ada tujuh tahun!"

"Akan tetapi, locianpwe. Menurut para guruku, hanya locianpwe seorang yang dipandang oleh seluruh pimpinan kai-pang di empat penjuru, hanya locianpwe yang dapat mengatur dan mengarahkan mereka supaya mereka tetap berjalan di jalan yang benar. Bukankah locianpwe pula yang dahulu memimpin mereka membantu perjuangan menumbangkan pemerintah Mongol? Kenapa locianpwe sekarang malah meninggalkan mereka?"

“Biar! Heh-heh-heh, siapa sudi mengurus orang-orang brengsek itu? Sesudah perjuangan selesai, mereka ikut-ikutan dengan orang-orang sesat untuk memperebutkan harta benda dan kedudukan, menuntut imbalan jasa atas perjuangan menumbangkan penjajah!"

"Maaf, locianpwe, bukankah itu wajar saja? Bukankah mereka yang sudah berjasa dalam perjuangan memang berhak untuk menerima imbalan?" Sin Wan mengejar, hanya untuk memancing pendapat kakek itu karena dia sendiri sudah dapat melihat alangkah sesatnya perbuatan itu.

Sepasang mata itu melotot. "Hehh?! Kau hendak menguji aku atau bersungguh-sungguh? Kalau engkau bersungguh-sungguh, tak pantas engkau menjadi murid Sam-sian, apakah guru-gurumu hanya mengajarkan ilmu pukulan dan tendangan saja dan tidak membuka matamu melihat kenyataan hidup?"

"Maaf, saya mengharapkan petunjuk dan pelajaran yang amat berharga dari locianpwe," kata Sin Wan.

"Hemmm, kalau berjuang namun mengharapkan imbalan jasa, maka itu bukan perjuangan namanya! Makna perjuangan yang luhur, yaitu pengabdian kepada nusa bangsa dengan taruhan nyawa, menjadi pudar sesudah diisi dengan pamrih demi keuntungan diri pribadi. Pejuang-pejuang seperti itu dengan mudah dapat melakukan penyelewengan karena yang dipentingkan adalah pamrihnya. Berjuang hanya mempunyai satu tekad, yaitu menghalau penjajah untuk membebaskan bangsa dan negara dari belenggu kekuasaan Mongol. Itu saja! Tentu saja, sesudah berhasil dilanjutkan dengan mengisi kemerdekaan yang sudah diperoleh dengan pengorbanan harta dan nyawa itu. Dan pengisiannya ini juga merupakan perjuangan yang sama luhurnya, yaitu demi negara dan bangsa, bukan demi penuhnya kantung sendiri, demi keuntungan dan kesenangan diri sendiri! Dan lihatlah, mereka mulai saling bermusuhan seperti segerombolan anjing kelaparan memperebutkan tulang-tulang yang berserakan. Sungguh memalukan...!"