Dendam Sembilan Iblis Tua Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEK LIONG tersenyum. “Aku tertarik akan urusan itu dan ingin pula melihat perkembangannya, nona. Karena itu aku sengaja membiarkan diriku menjadi tawanan untuk memancing keluarnya para pembunuh itu. Mereka itu hanyalah anak buah, nona dan pasti ada musuh besar yang berdiri di belakang layar.”

“Dan aku telah terburu nafsu membunuh mereka sehingga menggagalkan penyelidikanmu, tai-hiap. Maafkan aku...”

“Sudahlah, nona. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Tanpa merekapun, pasti aku akan dapat bertemu dengan musuh itu karena dia pasti akan melanjutkan usahanya untuk membunuhku.”

“Tapi, bukan engkau saja yang diancamnya, tai-hiap. Menurut surat yang ditulis di baju kakakku, selain engkau, juga Hek-liong-li diancam...”

Pek-liong tersenyum. “Hal itu tidaklah aneh, nona. Memang kami berdua dimusuhi banyak orang dari golongan sesat. Akan tetapi, seperti juga aku, Liong-li dapat menjaga diri sendiri.”

“Suhengku sudah pergi mencari Hek-liong-li. Bukankah ia tinggal di Lok-yang?”

“Hem, siapakah suhengmu itu?”

“Suheng bernama Lu Kong Bu, dan setelah kakakku terbunuh, kami membagi tugas. Aku pergi mencarimu karena lebih dekat, sedangkan suheng pergi mencari Hek-liong-li yang jauh tempat tinggalnya.”

Pek-liong adalah seorang pendekar yang sudah banyak pengalamannya. Mendengar suara gadis itu ketika menyebut nama suhengnya, ada sesuatu yang lain, ada suatu kemesraan dalam sebutan itu dan dia dapat menduga bahwa hubungan antara Bouw Tan dan Lu Kong Bu itu pasti lebih mendalam dari pada hanya seorang suheng dan sumoi.

“Lu Kong Bu itu pergi mencari Hek-liong-li untuk memberitahu bahwa ia terancam oleh pembunuh kakakmu?” tanyanya, menahan rasa geli hatinya. Orang seperti Liong-li tentu saja tidak membutuhkan peringatan lagi.

“Tentu saja. Kami sekeluarga telah mendengar nama besar kalian, dan kami merasa berkewajiban untuk memberitahu. Akan tetapi, karena mengingat bahwa kematian kakakku karena engkau, maka tadi aku bersikap keras dan menangkapmu. Harap maafkan aku tai-hiap.”

“Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Aku perlu bertemu dengan ayahmu untuk menjelaskan persoalan, juga untuk menyelidiki tentang dua orang yang mengaku berjuluk Thian-te Siang-houw ini. Mungkin ayahmu mengenal nama mereka.”

Berangkatlah mereka berdua meninggalkan dua mayat penjahat itu, menuju ke kota Hang-kouw. Keluarga Pouw yang masih dalam suasana berkabung itu, menyambut kedatangan Pek-liong dengan hormat. Untung saja Pek-liong tidak lagi terbelenggu, kalau dia datang dengan kedua tangan terikat tentu Pouw Kiat atau yang dikenal dengan sebutan Pouw-kauwsu (guru silat Pouw) akan marah kepada puterinya.

Setelah diperkenalkan oleh puterinya dan mendengar cerita Bouw Tan tentang dua orang penjahat yang menghadang mereka dan yang mengaku sebagai pembunuh Pouw Bouw Ki, Pouw-kauwsu merasa puas juga. Pembunuh-pembunuh puteranya telah terbalas.

“Paman Pouw, apakah ada permusuhan antara keluargamu dengan mereka yang menamakan diri Thian-te Siang-houw?” Pek-liong bertanya.

“Mereka itu lihai sekali, ayah. Yang bermuka hitam memainkan golok dan yang brewok memainkan tombak. Aku tentu sudah tewas pula di tangan mereka kalau tidak ada Tan-taihiap yang menolongku,” kata Bouw Tan, tentu saja ia malu untuk bercerita kepada ayahnya betapa Pek-liong menolongnya dalam keadaan kedua tangan terbelenggu ke belakang dan ia yang melakukan itu!

“Thian-te Siang-houw...?” Pouw-kauwsu mengingat-ingat. “Aku pernah mendengar nama itu, sepasang tokoh yang pernah mengacau di daerah Lembah Yang-ce. Akan tetapi seingatku, kami belum pernah bermusuhan dengan mereka. Aku lebih percaya bahwa mereka memang salah membunuh orang mengira bahwa anakku adalah engkau, taihiap,” kata guru silat itu. “Memang sungguh menyedihkan nasib puteraku, namun bagaimana juga, kini penasarannya telah terbalas dengan matinya dua orang penjahat itu.”

“Aku akan menyelidiki siapa yang menyuruh Thian-te Siang-houw melakukan pembunuhan itu, paman. Aku merasa yakin bahwa yang menyuruhnya bukan musuh keluargamu, melainkan musuh kami, yaitu aku dan Hek-liong-li.”

“Bagaimana dengan suheng, ayah? Apakah dia belum kembali dari Lok-yang?” tanya Bouw Tan.

“Belum, karena Lok-yang cukup jauh. Dengan adanya Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang akan melakukan penyelidikan, aku yakin hahwa penjahat yang menyuruh bunuh anakku pasti akan terungkap dan tertangkap.”

Pek-liong tidak tinggal lama di situ, lalu berpamit, pulang ke rumahnya dan dia segera menyuruh seorang pembantunya untuk melakukan penyelidikan ke sekitar Lembah Yang-ce, menyelidiki tentang Thian-te Siang-houw, tokoh mana yang baru-baru ini nampak berhubungan dengan dua penjahat yang telah tewas itu.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode dendam sembilan iblis tua karya kho ping hoo

Suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing tinggal di susun Kian-co di luar kota Cin-an. Mereka telah lima tahun menikah dan hidup rukun, mempunyai seorang anak laki-laki yang sudah berusia tiga tahun lebih bernama Song Cu. Song Tek Hin yang pandai ilmu sastera dan silat membuka sebuah perguruan bun (sastera) dan Bu (silat) di mana banyak anak-anak muda belajar dengan pembayaran sekadarnya. Mereka mempunyai sawah ladang dan kehidupan mereka lumayan walaupun tidak kaya.

Dan nama suami isteri ini dihormati orang, karena keduanya merupakan orang-orang yang berwatak lembut dan ramah, juga bukan hanya Song Tek Hin saja yang pandai ilmu silat, bahkan isterinya, Su Hong Ing, tidak kalah oleh suaminya. Wanita ini adalah murid Bu-tong-pai dan memiliki ilmu silat yang cukup lihai.

Song Tek Hin yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun itu bertubuh tegap dan wajahnya tampan, gerak geriknya halus dan biarpun dia pandai ilmu silat namun pakaiannya seperti seorang sasterawan. Isterinya berusia duapuluh empat tahun, cantik manis dengan kulit putih mulus dan senyumnya menawan.

Seperti suaminya, iapun sederhana, tidak kelihatan bahwa ia seorang pendekar wanita yang lihai, dan sikapnya selalu ramah kepada siapapun. Tidak mengherankan apabila suami isteri ini disuka oleh penduduk dusun itu, dan bahkan banyak orang dari kota Cin-an datang ke dusun itu untuk berguru kepada Song Tek Hin.

Pada suatu senja yang cerah dan tenang. Rumah Song Tek Hin sudah sepi karena suami isteri itu mengajar para murid dalam ilmu silat dan baca tulis mulai pagi sampai lewat tengah hari. Di waktu sore dan malamnya mereka berdua tidak mau sibuk mengajar, melainkan mengurus hasil sawah ladang dan beristirahat.

Senja hari itu mereka mengaso di ruangan belakang sambil bermain-main dengan Song Cu, anak tunggal mereka. Dua orang pelayan mereka, seorang wanita setengah tua sedang membersihkan perabot rumah di ruangan depan sedangkan pelayan kedua, suami wanita itu, sedang menyapu kebun belakang.

“Semalam aku bermimpi...” Su Hong Ing berkata akan tetapi segera menahan ucapannya.

Suaminya yang sedang menimang Song Cu memandang isterinya dengan heran. “Kenapa berhenti? Engkau mimpi apakah?”

Su Hong Ing tersenyum dan wanita muda ini memang memiliki daya tarik luar biasa kalau tersenyum. Manis sekali. “Janji dulu engkau tidak akan cemburu.”

“Ehh! Aneh sekali engkau ini. Masa orang mimpi dicemburui?”

Isterinya tersenyum lagi dan melanjutkan. “Aku bermimpi naik perahu di Telaga See-ouw bersamamu, Song Cu tidak ikut. Kita berdua berperahu seperti... seperti...”

“Ha-ha, aku mengerti, seperti kita sedang berbulan madu dahulu, kan?” suaminya menggoda.

Wajah isterinya kemerahan dan mengangguk. “Akan tetapi bukan itu yang penting, koko. Ketika kita berperahu, aku melihat sebuah perahu lain dan ternyata di dalam perahu itu adalah... Pek-liong-eng dan Hek-liong-li...”

Kembali suami itu tertawa mendengar isterinya agak ragu menyebutkan nama pendekar itu. “Ha-ha-ha, engkau sungguh lucu, Ing-moi. Kalau aku cemburu kepada Pek-liong-eng, apakah engkau juga cemburu kepada Hek-liong-li? Kita sama-sama tahu, Ing-moi. Mereka berdua itu bukan hanya bekas kekasih kita, orang-orang yang kita cinta, akan tetapi terutama merekalah yang menyebabkan kita dapat saling jatuh cinta dan menjadi suami isteri, di samping mereka berdua adalah penolong-penolong kita. Karena merekalah maka sampai hari ini kita masih bernapas. Tidak, Ing-moi, sampai matipun aku tidak akan mencemburui engkau dan Pek-liong-eng.”

“Aku mengerti perasaanmu, Hin-ko. Betapapun kita berdua memuja dan mengagumi mereka, mereka itu laksana dua buah bintang yang terlampau tinggi untuk kita, dan akupun sama sekali sudah tidak pernah mengharapkan lagi kepada Pek-liong-eng. Kebahagiannku adalah denganmu, sebagai isterimu. Akan tetapi aku merasa tidak enak hati setelah bermimpi itu, karena dalam mimpi itu, aku melihat perahu mereka terguling, dan ketika kita mendayung perahu kita menghampiri untuk menolong, perahu kita sendiripun terguling.”

“Aih, itu hanya mimpi, Ing-moi. Jangan dipikirkan lagi. Andaikata benar terjadi, kalau hanya perahu mereka terguling saja, dua orang pendekar sakti itu pasti akan mampu menyelamatkan diri.”

“Mudah-mudahan begitu,” kata Su Hong Ing.

Dan suami isteri inipun melamun, terkenang akan pengalaman mereka lima tahun yang lalu. Hong Ing pernah tergila-gila kepada Pek-liong, bahkan ia rela menyerahkan diri kepada pendekar itu dan mereka berdua tenggelam dalam lautan asmara. Akan tetapi, kemudian ternyata bahwa Pek-liong adalah seorang pemuda yang aneh, yang tidak mau terikat oleh pernikahan.

Pek-liong-eng meninggalkannya walau dengan lembut dan mesra, dan demikian pula dengan Song Tek Hin yang pernah terlena dan tergila-gila kepada Hek-liong-li dan mereka berkasih-kasihan. Akan tetapi seperti juga Pek-liong-eng, Hek-liong-li tidak mau terikat pernikahan dan meninggalkannya. Karena patah hati oleh sikap kedua pendekar itu, Song Tek dan Su Hong Ing saling menghibur dan saling jatuh cinta, akhirnya menikah. Selagi mereka melamun, pelayan wanita setengah tua masuk dan melaporkan bahwa di luar datang seorang tamu.

“Siapakah tamu itu?” tanya Tek Hin yang merasa terganggu karena dia dan isterinya sedang santai dan beristirahat. Dia tidak ingin diganggu urusan atau kesibukan pada saat seperti itu.

“Ia seorang wanita tua yang cantik dan pakaiannya indah seperti wanita bangsawan, katanya ada keperluan penting sekali ingin bertemu dengan tuan dan nyonya,” kata pelayan itu. “Ia datang berkereta, kereta indah ditarik dua ekor kuda..."

Tentu saja suami isteri itu merasa heran bukan main. Mereka tidak mempunyai keluarga bangsawan. Su Hong Ing lalu menyerahkan Song Cu kepada pelayannya. “Bawa Song Cu bermain-main di belakang dengan suamimu, kemudian persiapkan air teh di dapur agar kalau kubutuhkan sudah ada.”

Pelayan itu memondong Song Cu dan pergi ke belakang. Suami isteri itu saling pandang, kemudian mereka melangkah keluar menyambut tamu. Ketika tiba di luar, keduanya merasa heran bukan main. Seperti diceritakan pelayan mereka, tamu itu seorang wanita yang cantik dan berpakaian mewah, sukar ditaksir berapa usianya. Ia pesolek dan kelihatannya seperti berusia empat puluhan tahun, senyumnya ramah dan sikapnya lembut. Tentu saja suami isteri itu tergopoh memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada, yang dibalas oleh wanita itu.

“Apakah kalian suami isteri yang bernama Song Tek Hin dan Su Hong Ing?” tamu itu mendahului bertanya, suaranya lembut dan halus seperti sikap seorang wanita bangsawan.

“Benar sekali,” kata Tek Hin. “Siapakah toanio dan ada keperluan apakah mencari kami?”

Tek Hin dan Hong Ing masih terbelalak heran memandang wanita itu. Pakaiannya yang mewah itu serba merah, pantasnya dipakai gadis remaja!

“Kalian tentu masih ingat kepada dua orang sahabat kalian, yaitu Pek-liong-eng Tan Cin Hay dan Hek-liong-li Lie Kim Cu, bukan? Aku adalah sahabat baik mereka yang diutus datang berkunjung.”

Tentu saja suami isteri itu terkejut dan girang bukan main. Mereka segera memberi hormat lagi. “Ahh, maafkan kami yang tidak tahu sehingga menyambut kurang hormat, toanio. Silakan duduk... silakan duduk...” kata suami isteri tu dengan sikap hormat dan gembira. Baru saja mereka membicarakan dua orang pendekar sakti itu dan kini muncul seorang utusannya, seorang sahabat baik mereka.

Akan tetapi wanita cantik berpakaian merah itu menggeleng kepala dan menggoyang tangannya. “Tidak banyak waktu... aku datang diutus mereka untuk menjemput kalian. Mereka dalam ancaman bahaya dan mereka membutuhkan bantuan kalian sekarang juga.”

Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main. Selama lima tahun mereka tidak mendengar berita tentang dua orang pendekar yang mereka kagumi itu, dan sekarang tiba-tiba sepasang pendekar itu mengirim utusan menjemput mereka karena membutuhkan bantuan!

“Apakah yang terjadi dengan mereka?” tanya Song Tek Hin.

“Di mana mereka sekarang?” tanya pula Su Hong Ing.

Wanita itu mengeleng kepala tidak sabar. “Tidak banyak waktu bicara. Nanti saja di kereta kita bicara. Sekarang cepat kalian ikut denganku sebelum terlambat. Pek-liong dan Liong-li amat membutuhkan bantuan kalian!” Wanita itu membalik kan tubuhnya. “Kalau kalian tidak mau membantu, sudahlah aku pergi saja.”

Tentu saja suami isteri itu cepat mencegahnya. “Tunggu, kami mengambil senjata dulu!” kata mereka dan mereka lari ke dalam untuk mengambil sepasang pedang mereka dan memesan kepada pelayan agar menjaga Song Cu baik-baik. Kemudian mereka lari keluar dan ternyata wanita itu sudah duduk di atas kereta sambil memegang kendali kuda.

“Toanio, tunggu...!” seru suami isteri itu dan mereka segera menghampiri kereta.

“Masuklah ke dalam dan tutup semua pintu dan tirai kereta!” kata wanita itu.

Song Tek Hin dan Su Hong Ing mentaati permintaan itu, mereka masuk ke dalam kereta dan menutup daun pintu dan tirai jendela. Kereta itu dilarikan kencang oleh wanita baju merah tadi dan suami isteri itu saling pandang dengan hati tegang, khawatir menduga-duga apa yang terjadi dengan sepasang pendekar yang mereka kagumi. Mereka tidak tahu ke mana kereta dilarikan, hanya tahu bahwa mereka dilarikan cepat keluar dari dusun. Lebih dari sejam lamanya kereta berlari kencang sehingga mereka menjadi tidak sabar.

“Toanio, ke manakah kita pergi?” Song Tek In berteriak mengatasi kegaduhan suara kaki kuda dan roda kereta.

Kereta itu berhenti dan suami isteri itu dengan hati tegang, mengira akan bertemu dengan sepasang suami isteri itu, membuka pintu kereta. Akan tetapi, mereka melihat bahwa mereka berada di tengah hutan yang sunyi! Dan wanita berpakaian merah itu telah turun pula dari atas kereta, dan berdiri sambil bertolak pinggang dan mulutnya senyum-senyum genit.

“Apa artinya ini? Di mana Pek-liong dan Liong-li?” tanya Su Hong Ing alisnya berkerut dan ia mulai curiga.

“Pek-liong dan Liong-li belum berada di sini. Justeru dengan adanya kalian berdua kami mengharapkan mereka akan muncul.”

“Toanio, harap jangan main-main. Jelaskan apa maksudmu. Kami tidak banyak waktu untuk main-main!” Song Tek Hin berkata dengan nada marah pula.

Kini senyum genit itu lenyap dari bibir wanita baju merah. “Siapa main-main dengan kalian? Kalau ingin tahu, sekarang kalian menjadi tawanan kami, mengerti?”

Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main. “Apa pula ini?” bentak Su Hong Ing sambil meraba gagang pedangnya. “Kau kira akan mudah saja menawan kami?”

“Siapakah engkau ini sebenarnya dan mengapa mengaku hendak menawan kami?” bentak pula Song Tek Hing.

Kini wanita itu tertawa, terkekeh-kekeh. “Heh-heh-heh, kalian ini anak-anak masih berbau bawang! Kalian masih hijau maka tidak mengenalku. Dunia persilatan menyebut aku Ang I Sian-li (Dewi Baju Merah), heh-heh-heh!”

Biarpun suami isteri itu belum pernah bertemu dengan datuk ini, namun mereka sudah mendengar namanya dan wajah mereka berubah pucat. Mereka pernah mendengar bahwa Ang I Sian-li adalah seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Setan Tua) yang merupakan datuk-datuk kaum sesat yang amat kejam.

Bahkan mereka pernah mendengar bahwa wanita berpakaian merah itu demikian kejamnya seperti siluman atau iblis betina, kabarnya suka menghisap habis darah bayi untuk memperkuat tubuhnya dan memperdalam ilmu hitamnya! Tanpa banyak cakap lagi, mereka lalu mencabut pedang, maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang datuk sesat yang kejam.

“Kiranya kami berhadapan dengan Ang I Sian-li,” kata Tek Hin, menenangkan hatinya. “Engkau adalah seorang datuk kang-ouw tingkat atas, dan kami tidak pernah memotong jalan hidupmu, kenapa hari ini engkau mengganggu kami?”

“Aku tidak mengganggu, hanya menawan kalian untuk memancing munculnya Pek-liong dan Liong-li. Merekalah musuh kami yang sebenarnya, kalian ini hanya orang-orang yang tidak ada artinya.”

Tentu saja suami isteri itu marah dan tidak sudi ditawan begitu saja. “Iblis betina jahat!” bentak Hong Ing dan ia sudah menggerakkan pedangnya, disusul suaminya yang juga sudah menyerang dengan pedangnya.

Namun Ang I Sian-li hanya tersenyum mengejek dan ia menghadapi serangan suami isteri itu dengan tangan kosong saja! Tubuhnya bergerak cepat, berubah menjadi bayangan merah yang berkelebatan di antara gulungan dua sinar pedang suami isteri itu. Betapapun cepatnya suami isteri itu menggerakkan senjata, mereka tak pernah dapat mengenai tubuh lawan karena ke mana pun mereka menyerang, bayangan merah itu berkelebat lenyap dan berpindah tempat.

“Heh-heh-heh, kalian anak-anak kecil berani melawanku? Biar kalian belajar sepuluh tahun lagi, masih belum dapat menandingiku. Guru-guru besar kalianpun takkan mampu menang dariku. Nah, lepaskan senjata kalian!”

Suami isteri itu tidak perduli. Tek Hin menusukkan pedangnya ke arah lambung lawan dari kiri, sedangkan pada saat yang hampir bersamaan Hong Ing menyabetkan pedangnya ke arah leher wanita baju merah itu. Serangan suami isteri itu sungguh amat berbahaya dan keduanya merupakan serangan maut.

Namun sekali ini Ang I Sian-li tidak mengelak sama sekali, akan tetapi dua buah tangannya bergerak seperti ular, yang kiri menangkap ujung pedang yang menusuk lambung, yang kanan menangkap ujung pedang yang menyabet leher. Dua tangan kosong itu begitu saja menangkap dua batang pedang yang amat tajam dan yang dipegang oleh ahli silat yang sudah cukup lihai dan memiliki sin-kang cukup kuat! Kalau tidak kuat kedua tangan itu, tentu sekali tarik saja tangan itu akan putus berikut lima jarinya!

Suami isteri itu terkejut dan mengerahkan tenaga untuk menarik kembali senjata mereka dan membikin putus tangan lawan. Akan tetapi, betapa pun mereka mengerahkan seluruh tenaga, pedang mereka seperti telah melekat di kedua tangan itu dan sedikitpun tidak dapat ditarik.

Bahkan kini Ang I Sian-li mengerahkan tenaganya dan pedang itu tergetar hebat. Tangan suami isteri yang memegang pedang masing-masing ikut tergetar dan telapak tangan mereka terasa panas sekali. Mereka terkejut dan cepat melepaskan gagang pedang karena merasa tangan mereka seperti terbakar!

“Heh-heh-heh, kalau aku bermaksud membunuhmu, sama mudahnya dengan membalikkan telapak tanganku!” katanya dan sekali jari-jari tangannya mencengkeram, terdengar suara “krek-krek” dan kedua pedang itupun patah-patah! Suami isteri itu terbelalak dan mereka maklum bahwa wanita ini sama sekali bukan tandingan mereka!

“Kalian masih hendak melawan?” Ang I Sian-li bertanya, tersenyum mengejek.

Suami isteri itu saling pandang. Mereka bukan penakut, akan tetapi mereka juga bukan orang nekat yang ingin mati konyol. Di rumah mereka masih ada Song Cu yang amat membutuhkan mereka. Dengan lunglai Tek Hin lalu berkata, suaranya terdengar lantang.

“Ang I Sian-li, kami tidak pernah bermusuhan denganmu, akan tetapi hari ini engkau memaksakan kehendakmu kepada kami. Nah, apa yang harus kami lakukan?”

“Kalau engkau mengutus kami melakukan kejahatan, sampai matipun aku tidak sudi melakukannya!” Kata Su Hong Ing dengan sikap gagah.

Wanita itu tertawa. “Sudah kukatakan, kami tidak akan mengganggumu asal kalian mentaati perintah kami. Nah, Song Tek Hin, engkau yang laki laki sepatutnya menjadi kusir. Biar aku dan isterimu duduk di dalam. Aku akan menunjukkan kemana engkau harus menjalankan kereta, dan jangan sekali-kali bermain gila.”

Suami isteri itu saling pandang, maklum bahwa mereka telah kalah dan tidak ada jalan lain kecuali taat pada saat itu. Tek Hin mengangguk dan diapun lalu naik ke atas kereta, memegang kendali kuda. Hong Ing didorong halus oleh Ang I Sian-li memasuki kereta dan mereka duduk bersanding, menghadap ke depan.

“Engkau mengambil jalan lurus saja dan jangan membelok sebelum kuberitahu,” kata Ang I Sian-li.

“Memasuki kota Cin-an?” tanya Tek Hin dan dalam suaranya terkandung kegembiraan. Dia mempunyai banyak kenalan di kota itu, banyak pula orang gagah di sana dan kalau kereta itu memasuki kota Cin-an yang ramai, dia dapat bersama isterinya meloncat keluar dan kalau wanita itu hendak menangkap mereka, tentu akan banyak kawan membantu. Akan tetapi jawaban Ang I Sian-li melenyapkan harapannya.

“Tidak, sebelum masuk kota, mengambil jalan ke kiri sampai ke tepi Sungai Kuning.”

Perjalanan itu cukup jauh dan Tek Hin sengaja menjalankan kereta itu tidak terlalu cepat karena dia masih mengharapkan dapat bertemu di jalan dengan rombongan orang yang dikenalnya dan yang sekiranya dapat membantunya. Misalnya rombongan piauwsu (pengawal barang kiriman) yang lihai dan yang sudah dikenalnya.

Ang I Sian-li yang duduk bersanding Hong Ing kelihatan mengantuk dan tak lama kemudian, diguncang-guncang oleh kereta, ia tertidur. Dari napasnya yang halus dapat diketahui bahwa wanita ini telah pulas. Tentu saja hal ini tidak pernah lepas dari perhatian Hong Ing. Sejak tadi, ia sering melirik dan memperhatikan wanita itu. Mereka duduk bersanding, dan wanita itu nampaknya tidak memperhatikannya, akan tetapi karena ia tahu betapa lihainya wanita itu, ia tidak berani menyerang secara mendadak.

Kalau saja wanita itu tidak selihai itu, kalau hanya sedikit lebih lihai darinya, dalam keadaan duduk bersanding seperti itu, sekali menggerakkan tangan menotok saja mungkin ia akan dapat membuat wanita itu tidak berdaya. Akan tetapi ia duduk bersanding dengan Ang I Sian-li, seorang di antara Kiu Lo-mo, datuk sesat yang beberapa tingkat lebih tinggi dari tingkatnya.

Akan tetapi sekarang wanita itu tertidur. Dari pernapasannya, tahulah Hong Ing bahwa wanita itu sudah pulas. Betapapun lihainya, kalau sedang pulas tentu tidak akan membela diri, tidak akan mengerahkan sin-kang dan bukankah sekali pukul saja ia akan dapat menewaskannya?

Akan tetapi, iapun tidak ingin membunuh orang tanpa alasan kuat, cukup menotoknya dan membuatnya tidak berdaya saja agar ia dan suaminya dapat terlepas dari bahaya. Beberapa kali, ketika jalan yang tidak rata membuat kereta itu terguncang, ia sengaja melanggar pinggang wanita di sebelahnya dengan sikunya, seperti yang tidak disengaja karena guncangan kereta. Dan wanita itu sama sekali tidak pernah terbangun, bahkan menggerakkan bulu matapun tidak. Agaknya sudah pulas benar, pikir Hong Ing.

Hong Ing mengatupkan bibirnya dan bersiap-siap. Diam-diam ia mengerahkan tenaganya yang akan dijadikan sasaran adalah pundak kiri, yaitu jalan darah kim-ceng-hiat. Kalau jalan darah itu ditotoknya, tentu wanita itu dalam satu-dua detik tak mampu bergerak dan akan disusulnya dengan totokan pada jalan darah hong-hu-hiat di belakang pundak dan ia tentu akan menjadi lemas tak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi.

Setelah mendapat kesempatan baik, selagi jalannya kereta tidak banyak guncangan agar totokannya mengenai tepat, Hong Ing menggerakkan tangan kirirya, diangkatnya ke atas dan dengan jari tangan diluruskan ia menotok ke arah pundak kiri Ang I Sian-li.

“Wuuuuttt... tuukk!” Hong Ing menjerit saking nyerinya. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya seperti menotok baja, bahkan ada tenaga yang membuat tenaga totokannya membalik. Kedua jari itu nyeri sekali, kiut miut rasanya, sampai menusuk jantung, rasanya seperti patah-patah dan seketika menggembung bengkak.

Mendengar jeritan isterinya, Tek Hin menghentikan kereta dan cepat menengok. “Ing-moi, apa yang terjadi?” Dan melihat isterinya memegangi tangan kiri sambil meringis kesakitan, dia memandang kepada Ang I Sian-li dan berkata marah, “Ang I Sian-li, kalau engkau mengganggu isteriku, aku akan mengadu nyawa denganmu!”

Ang I Sian-li tertawa, “Heh-heh, Song Tek Hin. Kalau engkau banyak tingkah, isterimu kubunuh dulu baru engkau. Ketika aku tadi tertidur, ia menotok pundakku dan kini jari tangannya bengkak. Apakah engkau hendak menyalahkan aku?”

Mendengar jawaban ini, Tek Hin memandang isterinya. “Ing-moi, bagaimana dengan tanganmu? Engkau duduk sajalah di sini, biar kuobati tanganmu.”

Ang I Sian-li juga berkata. “Nah, duduk saja engkau di depan dekat suamimu agar aku dapat tidur nyenyak tanpa gangguan.”

Hong Ing pindah duduk di samping suaminya. Tek Hin memeriksa tangan itu dan ternyata dua buah jari itu membengkak dan biru, akan tetapi masih untung tidak sampai patah sehingga tidak berbahaya, walaupun rasanya nyeri bukan main. Setelah mengurut tangan isterinya, Tek Hin melanjutkan perjalanan. Di dalam hati, suami isteri merasa khawatir bukan main. Wanita itu sungguh sakti, dalam keadaan tidur pulas masih mampu melindungi diri seperti itu...

Dendam Sembilan Iblis Tua Jilid 07

PEK LIONG tersenyum. “Aku tertarik akan urusan itu dan ingin pula melihat perkembangannya, nona. Karena itu aku sengaja membiarkan diriku menjadi tawanan untuk memancing keluarnya para pembunuh itu. Mereka itu hanyalah anak buah, nona dan pasti ada musuh besar yang berdiri di belakang layar.”

“Dan aku telah terburu nafsu membunuh mereka sehingga menggagalkan penyelidikanmu, tai-hiap. Maafkan aku...”

“Sudahlah, nona. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Tanpa merekapun, pasti aku akan dapat bertemu dengan musuh itu karena dia pasti akan melanjutkan usahanya untuk membunuhku.”

“Tapi, bukan engkau saja yang diancamnya, tai-hiap. Menurut surat yang ditulis di baju kakakku, selain engkau, juga Hek-liong-li diancam...”

Pek-liong tersenyum. “Hal itu tidaklah aneh, nona. Memang kami berdua dimusuhi banyak orang dari golongan sesat. Akan tetapi, seperti juga aku, Liong-li dapat menjaga diri sendiri.”

“Suhengku sudah pergi mencari Hek-liong-li. Bukankah ia tinggal di Lok-yang?”

“Hem, siapakah suhengmu itu?”

“Suheng bernama Lu Kong Bu, dan setelah kakakku terbunuh, kami membagi tugas. Aku pergi mencarimu karena lebih dekat, sedangkan suheng pergi mencari Hek-liong-li yang jauh tempat tinggalnya.”

Pek-liong adalah seorang pendekar yang sudah banyak pengalamannya. Mendengar suara gadis itu ketika menyebut nama suhengnya, ada sesuatu yang lain, ada suatu kemesraan dalam sebutan itu dan dia dapat menduga bahwa hubungan antara Bouw Tan dan Lu Kong Bu itu pasti lebih mendalam dari pada hanya seorang suheng dan sumoi.

“Lu Kong Bu itu pergi mencari Hek-liong-li untuk memberitahu bahwa ia terancam oleh pembunuh kakakmu?” tanyanya, menahan rasa geli hatinya. Orang seperti Liong-li tentu saja tidak membutuhkan peringatan lagi.

“Tentu saja. Kami sekeluarga telah mendengar nama besar kalian, dan kami merasa berkewajiban untuk memberitahu. Akan tetapi, karena mengingat bahwa kematian kakakku karena engkau, maka tadi aku bersikap keras dan menangkapmu. Harap maafkan aku tai-hiap.”

“Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Aku perlu bertemu dengan ayahmu untuk menjelaskan persoalan, juga untuk menyelidiki tentang dua orang yang mengaku berjuluk Thian-te Siang-houw ini. Mungkin ayahmu mengenal nama mereka.”

Berangkatlah mereka berdua meninggalkan dua mayat penjahat itu, menuju ke kota Hang-kouw. Keluarga Pouw yang masih dalam suasana berkabung itu, menyambut kedatangan Pek-liong dengan hormat. Untung saja Pek-liong tidak lagi terbelenggu, kalau dia datang dengan kedua tangan terikat tentu Pouw Kiat atau yang dikenal dengan sebutan Pouw-kauwsu (guru silat Pouw) akan marah kepada puterinya.

Setelah diperkenalkan oleh puterinya dan mendengar cerita Bouw Tan tentang dua orang penjahat yang menghadang mereka dan yang mengaku sebagai pembunuh Pouw Bouw Ki, Pouw-kauwsu merasa puas juga. Pembunuh-pembunuh puteranya telah terbalas.

“Paman Pouw, apakah ada permusuhan antara keluargamu dengan mereka yang menamakan diri Thian-te Siang-houw?” Pek-liong bertanya.

“Mereka itu lihai sekali, ayah. Yang bermuka hitam memainkan golok dan yang brewok memainkan tombak. Aku tentu sudah tewas pula di tangan mereka kalau tidak ada Tan-taihiap yang menolongku,” kata Bouw Tan, tentu saja ia malu untuk bercerita kepada ayahnya betapa Pek-liong menolongnya dalam keadaan kedua tangan terbelenggu ke belakang dan ia yang melakukan itu!

“Thian-te Siang-houw...?” Pouw-kauwsu mengingat-ingat. “Aku pernah mendengar nama itu, sepasang tokoh yang pernah mengacau di daerah Lembah Yang-ce. Akan tetapi seingatku, kami belum pernah bermusuhan dengan mereka. Aku lebih percaya bahwa mereka memang salah membunuh orang mengira bahwa anakku adalah engkau, taihiap,” kata guru silat itu. “Memang sungguh menyedihkan nasib puteraku, namun bagaimana juga, kini penasarannya telah terbalas dengan matinya dua orang penjahat itu.”

“Aku akan menyelidiki siapa yang menyuruh Thian-te Siang-houw melakukan pembunuhan itu, paman. Aku merasa yakin bahwa yang menyuruhnya bukan musuh keluargamu, melainkan musuh kami, yaitu aku dan Hek-liong-li.”

“Bagaimana dengan suheng, ayah? Apakah dia belum kembali dari Lok-yang?” tanya Bouw Tan.

“Belum, karena Lok-yang cukup jauh. Dengan adanya Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang akan melakukan penyelidikan, aku yakin hahwa penjahat yang menyuruh bunuh anakku pasti akan terungkap dan tertangkap.”

Pek-liong tidak tinggal lama di situ, lalu berpamit, pulang ke rumahnya dan dia segera menyuruh seorang pembantunya untuk melakukan penyelidikan ke sekitar Lembah Yang-ce, menyelidiki tentang Thian-te Siang-houw, tokoh mana yang baru-baru ini nampak berhubungan dengan dua penjahat yang telah tewas itu.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode dendam sembilan iblis tua karya kho ping hoo

Suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing tinggal di susun Kian-co di luar kota Cin-an. Mereka telah lima tahun menikah dan hidup rukun, mempunyai seorang anak laki-laki yang sudah berusia tiga tahun lebih bernama Song Cu. Song Tek Hin yang pandai ilmu sastera dan silat membuka sebuah perguruan bun (sastera) dan Bu (silat) di mana banyak anak-anak muda belajar dengan pembayaran sekadarnya. Mereka mempunyai sawah ladang dan kehidupan mereka lumayan walaupun tidak kaya.

Dan nama suami isteri ini dihormati orang, karena keduanya merupakan orang-orang yang berwatak lembut dan ramah, juga bukan hanya Song Tek Hin saja yang pandai ilmu silat, bahkan isterinya, Su Hong Ing, tidak kalah oleh suaminya. Wanita ini adalah murid Bu-tong-pai dan memiliki ilmu silat yang cukup lihai.

Song Tek Hin yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun itu bertubuh tegap dan wajahnya tampan, gerak geriknya halus dan biarpun dia pandai ilmu silat namun pakaiannya seperti seorang sasterawan. Isterinya berusia duapuluh empat tahun, cantik manis dengan kulit putih mulus dan senyumnya menawan.

Seperti suaminya, iapun sederhana, tidak kelihatan bahwa ia seorang pendekar wanita yang lihai, dan sikapnya selalu ramah kepada siapapun. Tidak mengherankan apabila suami isteri ini disuka oleh penduduk dusun itu, dan bahkan banyak orang dari kota Cin-an datang ke dusun itu untuk berguru kepada Song Tek Hin.

Pada suatu senja yang cerah dan tenang. Rumah Song Tek Hin sudah sepi karena suami isteri itu mengajar para murid dalam ilmu silat dan baca tulis mulai pagi sampai lewat tengah hari. Di waktu sore dan malamnya mereka berdua tidak mau sibuk mengajar, melainkan mengurus hasil sawah ladang dan beristirahat.

Senja hari itu mereka mengaso di ruangan belakang sambil bermain-main dengan Song Cu, anak tunggal mereka. Dua orang pelayan mereka, seorang wanita setengah tua sedang membersihkan perabot rumah di ruangan depan sedangkan pelayan kedua, suami wanita itu, sedang menyapu kebun belakang.

“Semalam aku bermimpi...” Su Hong Ing berkata akan tetapi segera menahan ucapannya.

Suaminya yang sedang menimang Song Cu memandang isterinya dengan heran. “Kenapa berhenti? Engkau mimpi apakah?”

Su Hong Ing tersenyum dan wanita muda ini memang memiliki daya tarik luar biasa kalau tersenyum. Manis sekali. “Janji dulu engkau tidak akan cemburu.”

“Ehh! Aneh sekali engkau ini. Masa orang mimpi dicemburui?”

Isterinya tersenyum lagi dan melanjutkan. “Aku bermimpi naik perahu di Telaga See-ouw bersamamu, Song Cu tidak ikut. Kita berdua berperahu seperti... seperti...”

“Ha-ha, aku mengerti, seperti kita sedang berbulan madu dahulu, kan?” suaminya menggoda.

Wajah isterinya kemerahan dan mengangguk. “Akan tetapi bukan itu yang penting, koko. Ketika kita berperahu, aku melihat sebuah perahu lain dan ternyata di dalam perahu itu adalah... Pek-liong-eng dan Hek-liong-li...”

Kembali suami itu tertawa mendengar isterinya agak ragu menyebutkan nama pendekar itu. “Ha-ha-ha, engkau sungguh lucu, Ing-moi. Kalau aku cemburu kepada Pek-liong-eng, apakah engkau juga cemburu kepada Hek-liong-li? Kita sama-sama tahu, Ing-moi. Mereka berdua itu bukan hanya bekas kekasih kita, orang-orang yang kita cinta, akan tetapi terutama merekalah yang menyebabkan kita dapat saling jatuh cinta dan menjadi suami isteri, di samping mereka berdua adalah penolong-penolong kita. Karena merekalah maka sampai hari ini kita masih bernapas. Tidak, Ing-moi, sampai matipun aku tidak akan mencemburui engkau dan Pek-liong-eng.”

“Aku mengerti perasaanmu, Hin-ko. Betapapun kita berdua memuja dan mengagumi mereka, mereka itu laksana dua buah bintang yang terlampau tinggi untuk kita, dan akupun sama sekali sudah tidak pernah mengharapkan lagi kepada Pek-liong-eng. Kebahagiannku adalah denganmu, sebagai isterimu. Akan tetapi aku merasa tidak enak hati setelah bermimpi itu, karena dalam mimpi itu, aku melihat perahu mereka terguling, dan ketika kita mendayung perahu kita menghampiri untuk menolong, perahu kita sendiripun terguling.”

“Aih, itu hanya mimpi, Ing-moi. Jangan dipikirkan lagi. Andaikata benar terjadi, kalau hanya perahu mereka terguling saja, dua orang pendekar sakti itu pasti akan mampu menyelamatkan diri.”

“Mudah-mudahan begitu,” kata Su Hong Ing.

Dan suami isteri inipun melamun, terkenang akan pengalaman mereka lima tahun yang lalu. Hong Ing pernah tergila-gila kepada Pek-liong, bahkan ia rela menyerahkan diri kepada pendekar itu dan mereka berdua tenggelam dalam lautan asmara. Akan tetapi, kemudian ternyata bahwa Pek-liong adalah seorang pemuda yang aneh, yang tidak mau terikat oleh pernikahan.

Pek-liong-eng meninggalkannya walau dengan lembut dan mesra, dan demikian pula dengan Song Tek Hin yang pernah terlena dan tergila-gila kepada Hek-liong-li dan mereka berkasih-kasihan. Akan tetapi seperti juga Pek-liong-eng, Hek-liong-li tidak mau terikat pernikahan dan meninggalkannya. Karena patah hati oleh sikap kedua pendekar itu, Song Tek dan Su Hong Ing saling menghibur dan saling jatuh cinta, akhirnya menikah. Selagi mereka melamun, pelayan wanita setengah tua masuk dan melaporkan bahwa di luar datang seorang tamu.

“Siapakah tamu itu?” tanya Tek Hin yang merasa terganggu karena dia dan isterinya sedang santai dan beristirahat. Dia tidak ingin diganggu urusan atau kesibukan pada saat seperti itu.

“Ia seorang wanita tua yang cantik dan pakaiannya indah seperti wanita bangsawan, katanya ada keperluan penting sekali ingin bertemu dengan tuan dan nyonya,” kata pelayan itu. “Ia datang berkereta, kereta indah ditarik dua ekor kuda..."

Tentu saja suami isteri itu merasa heran bukan main. Mereka tidak mempunyai keluarga bangsawan. Su Hong Ing lalu menyerahkan Song Cu kepada pelayannya. “Bawa Song Cu bermain-main di belakang dengan suamimu, kemudian persiapkan air teh di dapur agar kalau kubutuhkan sudah ada.”

Pelayan itu memondong Song Cu dan pergi ke belakang. Suami isteri itu saling pandang, kemudian mereka melangkah keluar menyambut tamu. Ketika tiba di luar, keduanya merasa heran bukan main. Seperti diceritakan pelayan mereka, tamu itu seorang wanita yang cantik dan berpakaian mewah, sukar ditaksir berapa usianya. Ia pesolek dan kelihatannya seperti berusia empat puluhan tahun, senyumnya ramah dan sikapnya lembut. Tentu saja suami isteri itu tergopoh memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada, yang dibalas oleh wanita itu.

“Apakah kalian suami isteri yang bernama Song Tek Hin dan Su Hong Ing?” tamu itu mendahului bertanya, suaranya lembut dan halus seperti sikap seorang wanita bangsawan.

“Benar sekali,” kata Tek Hin. “Siapakah toanio dan ada keperluan apakah mencari kami?”

Tek Hin dan Hong Ing masih terbelalak heran memandang wanita itu. Pakaiannya yang mewah itu serba merah, pantasnya dipakai gadis remaja!

“Kalian tentu masih ingat kepada dua orang sahabat kalian, yaitu Pek-liong-eng Tan Cin Hay dan Hek-liong-li Lie Kim Cu, bukan? Aku adalah sahabat baik mereka yang diutus datang berkunjung.”

Tentu saja suami isteri itu terkejut dan girang bukan main. Mereka segera memberi hormat lagi. “Ahh, maafkan kami yang tidak tahu sehingga menyambut kurang hormat, toanio. Silakan duduk... silakan duduk...” kata suami isteri tu dengan sikap hormat dan gembira. Baru saja mereka membicarakan dua orang pendekar sakti itu dan kini muncul seorang utusannya, seorang sahabat baik mereka.

Akan tetapi wanita cantik berpakaian merah itu menggeleng kepala dan menggoyang tangannya. “Tidak banyak waktu... aku datang diutus mereka untuk menjemput kalian. Mereka dalam ancaman bahaya dan mereka membutuhkan bantuan kalian sekarang juga.”

Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main. Selama lima tahun mereka tidak mendengar berita tentang dua orang pendekar yang mereka kagumi itu, dan sekarang tiba-tiba sepasang pendekar itu mengirim utusan menjemput mereka karena membutuhkan bantuan!

“Apakah yang terjadi dengan mereka?” tanya Song Tek Hin.

“Di mana mereka sekarang?” tanya pula Su Hong Ing.

Wanita itu mengeleng kepala tidak sabar. “Tidak banyak waktu bicara. Nanti saja di kereta kita bicara. Sekarang cepat kalian ikut denganku sebelum terlambat. Pek-liong dan Liong-li amat membutuhkan bantuan kalian!” Wanita itu membalik kan tubuhnya. “Kalau kalian tidak mau membantu, sudahlah aku pergi saja.”

Tentu saja suami isteri itu cepat mencegahnya. “Tunggu, kami mengambil senjata dulu!” kata mereka dan mereka lari ke dalam untuk mengambil sepasang pedang mereka dan memesan kepada pelayan agar menjaga Song Cu baik-baik. Kemudian mereka lari keluar dan ternyata wanita itu sudah duduk di atas kereta sambil memegang kendali kuda.

“Toanio, tunggu...!” seru suami isteri itu dan mereka segera menghampiri kereta.

“Masuklah ke dalam dan tutup semua pintu dan tirai kereta!” kata wanita itu.

Song Tek Hin dan Su Hong Ing mentaati permintaan itu, mereka masuk ke dalam kereta dan menutup daun pintu dan tirai jendela. Kereta itu dilarikan kencang oleh wanita baju merah tadi dan suami isteri itu saling pandang dengan hati tegang, khawatir menduga-duga apa yang terjadi dengan sepasang pendekar yang mereka kagumi. Mereka tidak tahu ke mana kereta dilarikan, hanya tahu bahwa mereka dilarikan cepat keluar dari dusun. Lebih dari sejam lamanya kereta berlari kencang sehingga mereka menjadi tidak sabar.

“Toanio, ke manakah kita pergi?” Song Tek In berteriak mengatasi kegaduhan suara kaki kuda dan roda kereta.

Kereta itu berhenti dan suami isteri itu dengan hati tegang, mengira akan bertemu dengan sepasang suami isteri itu, membuka pintu kereta. Akan tetapi, mereka melihat bahwa mereka berada di tengah hutan yang sunyi! Dan wanita berpakaian merah itu telah turun pula dari atas kereta, dan berdiri sambil bertolak pinggang dan mulutnya senyum-senyum genit.

“Apa artinya ini? Di mana Pek-liong dan Liong-li?” tanya Su Hong Ing alisnya berkerut dan ia mulai curiga.

“Pek-liong dan Liong-li belum berada di sini. Justeru dengan adanya kalian berdua kami mengharapkan mereka akan muncul.”

“Toanio, harap jangan main-main. Jelaskan apa maksudmu. Kami tidak banyak waktu untuk main-main!” Song Tek Hin berkata dengan nada marah pula.

Kini senyum genit itu lenyap dari bibir wanita baju merah. “Siapa main-main dengan kalian? Kalau ingin tahu, sekarang kalian menjadi tawanan kami, mengerti?”

Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main. “Apa pula ini?” bentak Su Hong Ing sambil meraba gagang pedangnya. “Kau kira akan mudah saja menawan kami?”

“Siapakah engkau ini sebenarnya dan mengapa mengaku hendak menawan kami?” bentak pula Song Tek Hing.

Kini wanita itu tertawa, terkekeh-kekeh. “Heh-heh-heh, kalian ini anak-anak masih berbau bawang! Kalian masih hijau maka tidak mengenalku. Dunia persilatan menyebut aku Ang I Sian-li (Dewi Baju Merah), heh-heh-heh!”

Biarpun suami isteri itu belum pernah bertemu dengan datuk ini, namun mereka sudah mendengar namanya dan wajah mereka berubah pucat. Mereka pernah mendengar bahwa Ang I Sian-li adalah seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Setan Tua) yang merupakan datuk-datuk kaum sesat yang amat kejam.

Bahkan mereka pernah mendengar bahwa wanita berpakaian merah itu demikian kejamnya seperti siluman atau iblis betina, kabarnya suka menghisap habis darah bayi untuk memperkuat tubuhnya dan memperdalam ilmu hitamnya! Tanpa banyak cakap lagi, mereka lalu mencabut pedang, maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang datuk sesat yang kejam.

“Kiranya kami berhadapan dengan Ang I Sian-li,” kata Tek Hin, menenangkan hatinya. “Engkau adalah seorang datuk kang-ouw tingkat atas, dan kami tidak pernah memotong jalan hidupmu, kenapa hari ini engkau mengganggu kami?”

“Aku tidak mengganggu, hanya menawan kalian untuk memancing munculnya Pek-liong dan Liong-li. Merekalah musuh kami yang sebenarnya, kalian ini hanya orang-orang yang tidak ada artinya.”

Tentu saja suami isteri itu marah dan tidak sudi ditawan begitu saja. “Iblis betina jahat!” bentak Hong Ing dan ia sudah menggerakkan pedangnya, disusul suaminya yang juga sudah menyerang dengan pedangnya.

Namun Ang I Sian-li hanya tersenyum mengejek dan ia menghadapi serangan suami isteri itu dengan tangan kosong saja! Tubuhnya bergerak cepat, berubah menjadi bayangan merah yang berkelebatan di antara gulungan dua sinar pedang suami isteri itu. Betapapun cepatnya suami isteri itu menggerakkan senjata, mereka tak pernah dapat mengenai tubuh lawan karena ke mana pun mereka menyerang, bayangan merah itu berkelebat lenyap dan berpindah tempat.

“Heh-heh-heh, kalian anak-anak kecil berani melawanku? Biar kalian belajar sepuluh tahun lagi, masih belum dapat menandingiku. Guru-guru besar kalianpun takkan mampu menang dariku. Nah, lepaskan senjata kalian!”

Suami isteri itu tidak perduli. Tek Hin menusukkan pedangnya ke arah lambung lawan dari kiri, sedangkan pada saat yang hampir bersamaan Hong Ing menyabetkan pedangnya ke arah leher wanita baju merah itu. Serangan suami isteri itu sungguh amat berbahaya dan keduanya merupakan serangan maut.

Namun sekali ini Ang I Sian-li tidak mengelak sama sekali, akan tetapi dua buah tangannya bergerak seperti ular, yang kiri menangkap ujung pedang yang menusuk lambung, yang kanan menangkap ujung pedang yang menyabet leher. Dua tangan kosong itu begitu saja menangkap dua batang pedang yang amat tajam dan yang dipegang oleh ahli silat yang sudah cukup lihai dan memiliki sin-kang cukup kuat! Kalau tidak kuat kedua tangan itu, tentu sekali tarik saja tangan itu akan putus berikut lima jarinya!

Suami isteri itu terkejut dan mengerahkan tenaga untuk menarik kembali senjata mereka dan membikin putus tangan lawan. Akan tetapi, betapa pun mereka mengerahkan seluruh tenaga, pedang mereka seperti telah melekat di kedua tangan itu dan sedikitpun tidak dapat ditarik.

Bahkan kini Ang I Sian-li mengerahkan tenaganya dan pedang itu tergetar hebat. Tangan suami isteri yang memegang pedang masing-masing ikut tergetar dan telapak tangan mereka terasa panas sekali. Mereka terkejut dan cepat melepaskan gagang pedang karena merasa tangan mereka seperti terbakar!

“Heh-heh-heh, kalau aku bermaksud membunuhmu, sama mudahnya dengan membalikkan telapak tanganku!” katanya dan sekali jari-jari tangannya mencengkeram, terdengar suara “krek-krek” dan kedua pedang itupun patah-patah! Suami isteri itu terbelalak dan mereka maklum bahwa wanita ini sama sekali bukan tandingan mereka!

“Kalian masih hendak melawan?” Ang I Sian-li bertanya, tersenyum mengejek.

Suami isteri itu saling pandang. Mereka bukan penakut, akan tetapi mereka juga bukan orang nekat yang ingin mati konyol. Di rumah mereka masih ada Song Cu yang amat membutuhkan mereka. Dengan lunglai Tek Hin lalu berkata, suaranya terdengar lantang.

“Ang I Sian-li, kami tidak pernah bermusuhan denganmu, akan tetapi hari ini engkau memaksakan kehendakmu kepada kami. Nah, apa yang harus kami lakukan?”

“Kalau engkau mengutus kami melakukan kejahatan, sampai matipun aku tidak sudi melakukannya!” Kata Su Hong Ing dengan sikap gagah.

Wanita itu tertawa. “Sudah kukatakan, kami tidak akan mengganggumu asal kalian mentaati perintah kami. Nah, Song Tek Hin, engkau yang laki laki sepatutnya menjadi kusir. Biar aku dan isterimu duduk di dalam. Aku akan menunjukkan kemana engkau harus menjalankan kereta, dan jangan sekali-kali bermain gila.”

Suami isteri itu saling pandang, maklum bahwa mereka telah kalah dan tidak ada jalan lain kecuali taat pada saat itu. Tek Hin mengangguk dan diapun lalu naik ke atas kereta, memegang kendali kuda. Hong Ing didorong halus oleh Ang I Sian-li memasuki kereta dan mereka duduk bersanding, menghadap ke depan.

“Engkau mengambil jalan lurus saja dan jangan membelok sebelum kuberitahu,” kata Ang I Sian-li.

“Memasuki kota Cin-an?” tanya Tek Hin dan dalam suaranya terkandung kegembiraan. Dia mempunyai banyak kenalan di kota itu, banyak pula orang gagah di sana dan kalau kereta itu memasuki kota Cin-an yang ramai, dia dapat bersama isterinya meloncat keluar dan kalau wanita itu hendak menangkap mereka, tentu akan banyak kawan membantu. Akan tetapi jawaban Ang I Sian-li melenyapkan harapannya.

“Tidak, sebelum masuk kota, mengambil jalan ke kiri sampai ke tepi Sungai Kuning.”

Perjalanan itu cukup jauh dan Tek Hin sengaja menjalankan kereta itu tidak terlalu cepat karena dia masih mengharapkan dapat bertemu di jalan dengan rombongan orang yang dikenalnya dan yang sekiranya dapat membantunya. Misalnya rombongan piauwsu (pengawal barang kiriman) yang lihai dan yang sudah dikenalnya.

Ang I Sian-li yang duduk bersanding Hong Ing kelihatan mengantuk dan tak lama kemudian, diguncang-guncang oleh kereta, ia tertidur. Dari napasnya yang halus dapat diketahui bahwa wanita ini telah pulas. Tentu saja hal ini tidak pernah lepas dari perhatian Hong Ing. Sejak tadi, ia sering melirik dan memperhatikan wanita itu. Mereka duduk bersanding, dan wanita itu nampaknya tidak memperhatikannya, akan tetapi karena ia tahu betapa lihainya wanita itu, ia tidak berani menyerang secara mendadak.

Kalau saja wanita itu tidak selihai itu, kalau hanya sedikit lebih lihai darinya, dalam keadaan duduk bersanding seperti itu, sekali menggerakkan tangan menotok saja mungkin ia akan dapat membuat wanita itu tidak berdaya. Akan tetapi ia duduk bersanding dengan Ang I Sian-li, seorang di antara Kiu Lo-mo, datuk sesat yang beberapa tingkat lebih tinggi dari tingkatnya.

Akan tetapi sekarang wanita itu tertidur. Dari pernapasannya, tahulah Hong Ing bahwa wanita itu sudah pulas. Betapapun lihainya, kalau sedang pulas tentu tidak akan membela diri, tidak akan mengerahkan sin-kang dan bukankah sekali pukul saja ia akan dapat menewaskannya?

Akan tetapi, iapun tidak ingin membunuh orang tanpa alasan kuat, cukup menotoknya dan membuatnya tidak berdaya saja agar ia dan suaminya dapat terlepas dari bahaya. Beberapa kali, ketika jalan yang tidak rata membuat kereta itu terguncang, ia sengaja melanggar pinggang wanita di sebelahnya dengan sikunya, seperti yang tidak disengaja karena guncangan kereta. Dan wanita itu sama sekali tidak pernah terbangun, bahkan menggerakkan bulu matapun tidak. Agaknya sudah pulas benar, pikir Hong Ing.

Hong Ing mengatupkan bibirnya dan bersiap-siap. Diam-diam ia mengerahkan tenaganya yang akan dijadikan sasaran adalah pundak kiri, yaitu jalan darah kim-ceng-hiat. Kalau jalan darah itu ditotoknya, tentu wanita itu dalam satu-dua detik tak mampu bergerak dan akan disusulnya dengan totokan pada jalan darah hong-hu-hiat di belakang pundak dan ia tentu akan menjadi lemas tak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi.

Setelah mendapat kesempatan baik, selagi jalannya kereta tidak banyak guncangan agar totokannya mengenai tepat, Hong Ing menggerakkan tangan kirirya, diangkatnya ke atas dan dengan jari tangan diluruskan ia menotok ke arah pundak kiri Ang I Sian-li.

“Wuuuuttt... tuukk!” Hong Ing menjerit saking nyerinya. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya seperti menotok baja, bahkan ada tenaga yang membuat tenaga totokannya membalik. Kedua jari itu nyeri sekali, kiut miut rasanya, sampai menusuk jantung, rasanya seperti patah-patah dan seketika menggembung bengkak.

Mendengar jeritan isterinya, Tek Hin menghentikan kereta dan cepat menengok. “Ing-moi, apa yang terjadi?” Dan melihat isterinya memegangi tangan kiri sambil meringis kesakitan, dia memandang kepada Ang I Sian-li dan berkata marah, “Ang I Sian-li, kalau engkau mengganggu isteriku, aku akan mengadu nyawa denganmu!”

Ang I Sian-li tertawa, “Heh-heh, Song Tek Hin. Kalau engkau banyak tingkah, isterimu kubunuh dulu baru engkau. Ketika aku tadi tertidur, ia menotok pundakku dan kini jari tangannya bengkak. Apakah engkau hendak menyalahkan aku?”

Mendengar jawaban ini, Tek Hin memandang isterinya. “Ing-moi, bagaimana dengan tanganmu? Engkau duduk sajalah di sini, biar kuobati tanganmu.”

Ang I Sian-li juga berkata. “Nah, duduk saja engkau di depan dekat suamimu agar aku dapat tidur nyenyak tanpa gangguan.”

Hong Ing pindah duduk di samping suaminya. Tek Hin memeriksa tangan itu dan ternyata dua buah jari itu membengkak dan biru, akan tetapi masih untung tidak sampai patah sehingga tidak berbahaya, walaupun rasanya nyeri bukan main. Setelah mengurut tangan isterinya, Tek Hin melanjutkan perjalanan. Di dalam hati, suami isteri merasa khawatir bukan main. Wanita itu sungguh sakti, dalam keadaan tidur pulas masih mampu melindungi diri seperti itu...