Si Bayangan Iblis Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PERMAISURI yang sekarang telah berusia empatpuluh tahun lebih itu makin lama semakin berkuasa dan berpengaruh sehingga hampir semua pejabat tinggi tunduk di bawah kekuasaannya. Baik mereka yang setuju atau yang tidak setuju harus mengakui bahwa banyak kemajuan dicapai setelah permaisuri ini memegang kendali pemerintahan. Tentu saja sebagai pelaku di belakang layar karena segala hal masih harus disetujui dan ditandatangani oleh Kaisar Kao Cung. Semua orang di istana tahu belaka bahwa kaisar itu menandatangani apa saja yang disodorkan permaisurinya kepadanya!

Memang, permaisuri dari Kaisar Kao Cung ini adalah seorang wanita yang hebat luar biasa. Sepak terjangnya amat menonjol dan tidak mengherankan kalau kemudian namanya diabadikan dalam sejarah, walaupun di dalam sejarah, keburukannya lebih banyak ditonjolkan dari pada kebaikannya. Hal inipun mudah dimaklumi kalau diingat bahwa penyusun sejarah adalah mereka yang tidak suka kepadanya!

Seorang penyusun sejarah haruslah seorang seniman sejati! Seorang seniman sejati takkan sudi diperalat oleh golongan manapun, karena seorang seniman sejati adalah seorang manusia utuh lahir batin yang hanya mengabdi kepada kebenaran, kepada kekuasaan Tuhan, tidak dipengaruhi penilaian karena menganggap bahwa apa yang ada selalu indah, tidak baik ataupun buruk, tidak ada perhitungan rugi untung bagi dirinya yang bebas!

Riwayat permaisuri ini memang menarik sekali sejak pemunculannya yang pertama di istana kaisar. Agar mengenal latar belakangnya, sebaiknya kalau kita mengikuti pengalamannya. Ketika masih seorang gadis remaja, permaisuri itu bernama Bu Houw yang kemudian disebut juga Bu Cek Thian. Panggilan akrabnya adalah Bi Houw (Houw yang cantik). Ketika usianya masih remaja, kurang lebih tiga belas tahun, ia diangkut dari dusun dan dipilih menjadi seorang dayang di istana. Ketika itu, yang menjadi kaisar adalah ayah dari Kaisar Kao Cung yang sekarang, yaitu Kaisar Thai Cung yang amat terkenal, yang dulu bernama Li Si Bin!

Karena hidup di dalam istana yang megah, serba bersih, dan setiap hari tubuhnya terpelihara baik-baik, juga karena ia diharuskan mempelajari segala seni yang patut dimiliki semua wanita cantik dalam istana, Bi Houw tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita dan pandai membawa diri. Ketika usianya mencapai, enambelas tahun, tidak ada seorang pun dayang di istana yang mampu menyaingi kecantikannya.

Bagaikan setangkai bunga, ia mulai mekar dengan indahnya, semerbak mengharum dan membuat setiap yang disentuhnya menjadi cerah dan hidup. Bahkan para puteri dan selir kaisar merasa kagum dan iri melihat kesegaran gadis remaja dari dusun yang kini pandai membawa diri ini.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Bi Houw sudah melakukan tugasnya, membersihkan sebuah kamar mandi yang biasa dipergunakan oleh permaisuri. Tentu saja sepagi itu ia bekerja membersihkan kamar mandi pribadi permaisuri bukanlah suatu hal yang kebetulan saja. Ia telah memperhitungkan dan memperhatikan kebiasaan Kaisar Thai Cung. Setiap kaisar ini tidur di kamar permaisuri, sudah pasti pada pagi hari seperti itu, Sang Kaisar akan masuk kamar mandi.

Kebiasaan ini sudah diperhatikan benar-benar oleh Bi Houw, dan pada pagi hari itu, ketika seperti tidak disengaja ia telah berada di kamar mandi, ia nampak bersih, segar dan cerah, cantik jelita dan putih kemerahan bagaikan setangkai kuncup mawar yang sedang mekar! Gadis berusia enam belas tahun!

Ketika kaisar memasuki kamar mandi, Bi Houw cepat berlutut dan tidak berani mengangkat muka. Setelah kaisar selesai dengan keperluannya di kamar mandi untuk membuang air kecil dan hendak keluar, dengan terampil sekali Bi Houw berlutut di depannya, dengan muka menunduk sehingga tidak nampak, memegangi dengan kedua tangannya yang mungil sebuah tempayan air yang terisi air hangat yang harum karena dicampur air mawar, menjulurkan kedua tangannya agar Sang Kaisar dengan mudah dapat mencuci tangannya.

Kaisar menunduk dan mencuci tangan. Ketika dia melihat sepasang tangan yang berkulit putih kemerahan, jari-jari tangan yang meruncing dengan kuku yang bersih mengkilap terawat baik, kemudian menunduk pula melihat rambut yang panjang hitam dan halus, yang mengeluarkan keharuman semerbak, melihat kulit leher yang nampak semakin putih mulus kemerahan di antara juntaian rambut, kaisar tertarik dan berkata lembut.

“Dayang, coba kau angkat mukamu, kami hendak melihatnya.”

Bi Houw yang sudah memperhitungkan ini, dan sudah berulang kali ia bergaya di depan cermin, dengan tenang dan lembut mengangkat mukanya, muka yang amat cantik manis bagaikan setangkai bunga baru mekar, dahinya yang halus bagaikan lilin diraut itu dihiasi anak rambut yang lembut sekali melingkar-lingkar, sepasang mata yang redup itu setengah terpejam penuh rasa takut dan malu, dihias bulu mata yang panjang lentik, dilindungi sepasang alis yang hitam kecil panjang seperti dilukis.

Hidung itu mancung kecil dan lucu, dan mulut amat menggairahkan, dengan sepasang bibir tipis merah membasah tanpa gincu, dihias lekuk pipi di kanan kiri yang timbul tenggelam, dagu kecil runcing berlekuk, dan lekuk lengkung dada yang sedang meranum itu membayang di balik baju tipis.

Semua ini merupakan bintik-bintik api yang menggetarkan kehangatan dan di pagi hari yang dingin itu, gairah berahi mulai membara di dalam hati Kaisar Thai Cung. Gairah berahi yang datang tiba-tiba, mendatangkan kekuatan besar yang mendorongnya untuk segera menjulurkan kedua lengannya, memondong gadis remaja itu, mendekap menciuminya, membelai dan membawanya ke atas bangku marmer di dalam kamar mandi itu.

Tanpa banyak cakap lagi, tidak seperti biasanya kalau sang kaisar memerawani seorang dayang yang beruntung menerima anugerah dipilih oleh kaisar, Bi Houw digauli oleh Kaisar Thai Cung di dalam kamar mandi, tanpa upacara lagi! Bi Houw menyambut pria tua itu dengan menggunakan sepenuh kecerdikan dan kepandaiannya yang sudah dipelajarinya terlebih dahulu. Demikian pandainya gadis ini sehingga semua usahanya itu tidak nampak, dan Kaisar Thai Cung pada pagi hari itu memetik kesenangan dan kenikmatan yang jarang dia temukan.

Setelah kaisar meninggalkannya, Bi Houw melamun dengan hati penuh bahagia. Semua rencananya berjalan dengan baik! Kaisar telah menjatuhkan pilihannya kepadanya bahkan telah menganugerahinya dengan hubungan badan itu!

Pada waktu atau jaman itu, kedudukan seorang kaisar amatlah tingginya. Kaisar dianggap sebagai dewa atau bahkan Putera Tuhan yang dijelmakan di dunia untuk memimpin manusia. Oleh karena itu, seorang gadis yang dipilih kaisar seolah-olah mendapatkan keyakinan bahwa bintangnya akan menjadi terang.

Bi Houw membayangkan betapa ia tentu akan diangkat menjadi seorang di antara selir-selir utama yang jumlahnya tujuh puluh dua orang, menggantikan seorang selir yang sudah dianggap membosankan dan akan diturunkan pangkatnya oleh kaisar. Dari selir, ia akan berusaha agar ia dapat terus menanjak naik sehingga akhirnya akan dapat menduduki pangkat permaisuri Pertama atau Kedua. Ada dua orang permaisuri, yaitu permaisusi Istana Timur dan permaisuri Istana Barat. Ia harus berusaha mengangkat dirinya sampai menjadi seorang di antara yang dua ini!

Akan tetapi malang bagi gadis remaja itu, harapannya hampa dan penantiannya sia-sia belaka. Kaisar Thai Cung, pendiri Kerajaan Tang itu, terlalu sibuk dengan urusan pemerintahan, sibuk dengan perkembangan dan kemajuan kerajaannya. Peristiwa yang terjadi di kamar mandi pada pagi hari itu baginya lewat begitu saja dan segera hal itu terlupa olehnya setelah terjadi. Lewat bagaikan angin lalu, karena bagi kaisar yaag mempunyai banyak urusan, yang dianggapnya lebih besar dan lebih penting, maka peristiwa dengan Bi Houw itu kecil dan tidak ada artinya sama sekali. Apakah artinya seorang gadis remaja kecil, seorang dayang bagi seorang kaisar?

Kekecewaan adalah bagian orang yang mengharapkan. Harapan mempunyai buah ganda, yaitu kepuasan dan kekecewaan. Kalau terpenuhi apa yang diharapkan, datanglah kepuasan. Sebaliknya, kalau tidak terpenuhi, datanglah kekecewaan.

Bi Houw yang ambisius dan penuh harapan muluk itu, tentu saja tenggelam ke dalam lautan kekecewaan karena ia sama sekali tidak diperdulikan oleh Kaisar Thai Cung. Bahkan kaisar itu agaknya sudah lupa akan peristiwa yang terjadi di pagi hari dalam kamar mandi permaisuri itu. Betapapun ia memancing dengan kerling dan senyum kalau kebetulan ia bertemu dengan kaisar, Kaisar Thai Cung sama sekali tidak nampak bahwa dia teringat atau mengenalnya!

Di dalam kamarnya, Bi Houw hanya dapat menangis karena sesal dan kecewa. Apa lagi ia sudah terlanjur pamer kepada para dayang lain bahwa ia telah mendapat “anugerah” dari kaisar di pagi hari itu! Ia telah membisikkan kepada para dayang lainnya bahwa sebentar lagi ia akan naik derajatnya dan menjadi seorang di antara Selir Terhormat! Dan kenyataannya sungguh amat pahit, tidak semanis yang dibayangkan dan diharapkannya.

Akan tetapi, gadis remaja ini tidak menjadi putus asa. Maklum bahwa ia tidak dapat mengharapkan kenaikan derajat dari kaisar, iapun segera membuang harapan hampa itu dan matanya mulai mengerling ke arah yang lain lagi. Pangeran Mahkota! Pangeran itu masih seorang pemuda, tampan, gagah dan tentu saja jauh lebih menarik sebagai pria dibandingkan ayahnya, Sang Kaisar. Pangeran Mahkota itulah merupakan orang kedua sesudah kaisar yang paling tinggi kedudukannya di seluruh negeri.

Mulailah Bi Houw mengatur diri, mengatur lagak dan melaburi diri dengan daya pikat yang menarik, dan iapun menggunakan segala daya kecerdikannya untuk menyelidiki dan mempelajari kebiasaan Pangeran Mahkota. Pangeran Mahkota yang kemudian menjadi Kaisar Kao Cung itu adalah seorang pemuda yang tampan dan suka pelesir. Sejak kecil dia memang dimanja dan berkecimpung di dalam kesenangan dan kemewahan. Apa saja yang dikehendakinya tentu terpenuhi!

Sungguh amat merugikan perkembangan jiwa seseorang kalau di waktu kecil dia dimanjakan oleh keadaan. Justeru kepahitan keadaan hidup, seperti jamu merupakan gemblengan yang mematangkan batin. Sebaliknya, kesenangan yang berlimpahan bahkan membius batin dan menumpulkan akal karena jarang dipergunakan untuk mengatasi kesulitan hidup.

Tempat tinggal Pangeran Mahkota merupakan bagian kompleks istana keluarga Kaisar di bagian kiri, bersambung dengan istana induk melalui sebuah jembatan dan taman indah. Di jembatan inipun, seperti juga di jalan masuk ke istana induk dari manapun juga, siang malam dijaga oleh pengawal thai-kam (laki-laki kebiri) demi keselamatan kaisar.

Dengan mempergunakan suapan berupa barang-barang berharga, Bi Houw berhasil menarik kepercayaan seorang pengawal Thai-kam sehingga ia dapat dengan leluasa menggunakan jembatan itu dan diperbolehkan keluar masuk taman yang merupakan perbatasan antara istana induk dan istana Pangeran Mahkota. Padahal, sebagai dayang atau pelayan keluarga kaisar yang bertugas di istana induk, ia tidak dibenarkan untuk melewati jembatan ini dan masuk ke daerah tempat tinggal Pangeran Mahkota.

Bi Houw juga menyelidiki kebiasaan Pangeran Mahkota dan mendengar bahwa satu di antara kebiasaan Pangeran Mahkota adalah duduk termenung di dalam taman mawar yang berdekatan dengan jembatan dan taman penghubung itu. Pangeran Mahkota itu, setelah bosan dan lelah bersenang-senang dengan gadis-gadis cantik bahkan bermain-main dengan wanita-wanita pelacur di luar istana, kadang-kadang suka menyendiri di dalam taman mawar, termenung dan menikmati hawa segar sejuk dan suasana hening.

Dalam keadaan seperti itu, dia selalu menyendiri, tidak mau ditemani pengawal atau dayang. Setelah dayang membawakan minuman dan makanan, biasanya anggur manis dan makanan kecil, dayang lalu diperintahkannya untuk pergi meninggalkannya seorang diri. Dalam keadaan menyendiri itu, Pangeran Mahkota merasa aman tenteram dan kadang-kadang keadaan menyendiri itu dia pergunakan untuk membaca kitab, baik kitab kesusasteraan, catatan sejarah maupun kitab tentang ketatanegaraan yang amat penting baginya.

Pada suatu senja yang indah. Angin semilir lembut mendatangkan hawa yang sejuk segar. Matahari menjelang terbenam, cahayanya sudah lembut lunak dan di langit bagian timur nampak awan terbakar dengan sinar merah dengan latar belakang kebiruan dan di sana-sini nampak awan berpita perak berkilauan.

Pangeran Mahkota memasuki taman mawar sambil membawa kitab yang sudah dibukanya dan dibacanya sambil melangkah perlahan-lahan, menuju ke tengah taman di mana terdapat kolam ikan emas dan bangku yang menjadi tempat yang amat disukainya untuk duduk menyendiri. Memang nyaman sekali duduk di bangku yang halus itu, di dekat kolam di mana ikan-ikan emas merah, kuning dan putih berenang, dengan gaya indah, dikelilingi bunga-bunga mawar yang sedang mekar semerbak mengharum, dengan kupu-kupu yang beterbangan di sekitarnya, pohon-pohon di sana-sini yang mulai disibuki oleh suara burung yang pulang sarang.

Putera Mahkota yang berusia tiga puluhan tahun itu memang tampan dan pada senja itu dia mengenakan pakaian sutera kuning yang longgar dan indah. Ketika dia melangkah lambat menuju ke tengah taman, tiba-tiba dia menurunkan kitabnya dan berhenti melangkah. Dia mendengar suara yang lain dari pada biasanya.

Biasanya, suara yang terdengar di taman itu kalau dia memasukinya hanyalah suara teriakan burung-burung yang beterbangan pulang sarang, sesampainya di pohon mereka ini membuat gaduh dengan suara cecowetan sibuk sekali. Akan tetapi sekali ini, di antara suara burung-burung, dia mendengar suara manusia. Suara wanita yang sedang membaca sajak dengan nyanyian sederhana namun merdu bukan main, agaknya terdengar aneh dan merdu sekali di taman yang sunyi itu.

“...amboi burung murai nan malang, warna bulumu memang indah cemerlang, suaramu memang merdu gemilang, namun sayang... percuma engkau merindukan burung Hong, Raja diantara segala burung, bagimu dia terlampau agung...”

Di taman yang indah itu, dalam suasana yang sunyi dari senja yang mengambang, suara itu terdengar aneh dan merdu sekali. Hati Pangeran Mahkota itu sudah tertarik sekali, dan jantungnya berdebar penuh keinginan tahu siapa gerangan wanita yang dapat bernyanyi semerdu itu di dalam taman mawar pribadinya. Suara itu datang dari arah kiri, maka diapun tidak jadi menuju ke kolam ikan, melainkan ke pondok ungu yang berada di sebelah kiri taman.

Pondok ungu ini adalah pondok kecil di mana dia suka menghibur diri di waktu musim panas, ditemani beberapa orang dayang atau selirnya. Biarpun dia belum memiliki isteri, namun Pangeran Mahkota ini sudah memiliki beberapa orang selir.

Akhirnya Pangeran Mahkota menemukan wanita yang tadi membaca sajak dengan suara nyanyian sederhana namun merdu itu. Ia seorang gadis berpakaian dayang. Seorang di antara para dayang ayahnya! Akan tetapi, sungguh seorang gadis remaja yang bukan main! Hati pangeran itu memang sudah tertarik oleh suara tadi. Kini melihat orangnya, dia terpesona!

Dan memang Bi Houw sudah memperhitungkannya dengan masak-masak, berdasarkan penyelidikannya. Ia mendengar betapa sang pangeran itu seringkali menyatakan rasa muak terhadap para wanita yang mengelilinginya, yang berlomba untuk menarik perhatiannya dengan dandanan yang mewah, dengan riasan muka yang seperti boneka digambar!

Karena itu, dalam kesempatan yang sudah termasuk rencana siasatnya ini, Bi Houw mengenakan pakaian yang sederhana, pakaian dayang yang tidak mewah namun bersih dan rapi. Nampak jelas betapa ia segar dan cerah, karena baru saja ia mandi air dingin yang dicampur air mawar dan seluruh tubuhnya digosoknya keras-keras sehingga baik muka dan tangannya nampak masih kemerahan seperti kulit seorang bayi yang montok dan mungil.

Ketika pangeran menghampiri tempat itu, ia pura-pura tidak tahu dan sedang mengejar kupu-kupu dengan gerakan yang lincah, jenaka dan penuh kelembutan wanita, berjalan berjingkat dengan lenggang lenggok lemah gemulai ia menghampiri seekor kupu-kupu yang hinggap di setangkai bunga.

Melihat ini, Pangeran Mahkota berhenti melangkah, memandang sambil menggagumi gerak pinggul gadis remaja itu ketika berindap menghampiri kupu-kupu itu. Ditangkapnya kupu-kupu itu dengan ibu jari dan telunjuknya, lalu gadis itu duduk di atas bangku, membelakangi Pangeran Mahkota dan terdengar suaranya lirih manja, namun terdengar jelas oleh sang Pangeran.

“Kupu-kupu yang tampan, engkau memang seksi sekali, bersenang-senang dari bunga ke bunga lain, tanpa memperdulikan aku bunga yang kesepian menanggung rindu, haus akan jamahan dan belaianmu. Aih, kupu-kupu, sakit hatiku, ingin rasanya aku merobek sayapmu agar engkau tidak mampu terbang lagi hinggap di bunga-bunga yang lain. Akan tetapi aku tidak tega, kupu-kupu, aku tidak tega, karena aku terlalu mencintaimu! Aih, kupu-kupu, engkau pangeran yang agung sedangkan aku... aku hanya dayang...”

Gadis itu bangkit, melepaskan kupu-kupu itu terbang kegirangan, lalu ia membalik dan... pada saat itu ia melihat Pangeran Mahkota berdiri di depannya.

“Oohhhhh....!” Ia mengeluh ketakutan dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki sang pangeran, memberi hormat sampai dahinya menyentuh tanah. “Ampun, pangeran... ampunkan hamba, karena hamba tidak tahu bahwa paduka berada di sini...” kata Bi Houw dengan suara gemetar namun terdengar amat merdu.

“Murai yang mungil. jangan takut, aku tidak marah kepadamu. Bangkitlah!”

“Hamba hamba tidak berani...” Bi Houw berkata dengan gemetar.

Pangeran Mahkota tersenyum, lalu menjulurkan tangan kanannya, memegang lengan Bi Houw dan menariknya bangkit berdiri. Gadis itu berdiri, tinggi badannya hanya sampai ke pundak pangeran itu dan ia menundukkan mukanya sampai dagunya menekan leher.

Dengan lembut sang pangeran menggunakan ibu jari dan telunjuk kanannya, memegang ujung dagu gadis itu dan menarik dagu itu ke atas agar dia dapat menatap wajah itu. Dan jantungnya berdenyut keras saking girangnya. Sebuah wajah yang amat cantik manis, jelita dan segar! Sejenak dia mengamati wajah yang amat menggairahkan itu biarpun Bi Houw memejamkan kedua matanya.

“Manis, bukalah matamu, aku ingin melihatnya,” bisik sang pangeran.

Dan ketika Bi Houw membuka kedua matanya, pangeran itu seperti melihat sepasang bintang yang mempesonakan! Dari sepasang mata itu memancar cahaya yang demikian lembut, demikian dalam dan demikian menantang, mengandung janji sejuta kemesraan dan kehangatan dan Pangeran Mahkota itupun jatuhlah!

“Engkau cantik jelita... siapakah namamu?”

“Hamba... hamba Bi Houw...”

“Bagaimana engkau bisa berada di sini, pada hal engkau seorang dayang dari induk istana, bukan?”

“Ampunkan hamba, hamba... amat terpesona oleh keindahan mawar di sini, ketika penjaga lengah, hamba menyelinap masuk... Hamba lupa diri ketika berada di sini, Mohon ampun, Pangeran...”

“Bi Houw, engkau tadi mengumpamakan kupu-kupu, pangeran. Siapakah yang kau maksudkan? Dan engkau mengumpamakan dirimu murai kecil, dan siapa pula burung Hong itu? Hayo jawab sejujurnya, baru aku mau mempertimbangkan apakah kelancanganmu ini patut diampuni atau tidak,” kata Pangeran Mahkota sambil tersenyum menggoda.

Bi Houw pura-pura ketakutan. “Ampunkan hamba... ampunkan kelancangan hamba... burung Hong itu... dia adalah pangeran... dan pangeran itu... ah, pangeran itu...”

“Hayo katakan, siapa pangeran itu?! Kalau tidak berterus terang, akan kupanggil pengawal agar engkau dihukum cambuk!” Pangeran Mahkota mengancam sambil tersenyum.

Bi Houw tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan mencium kaki pangeran itu. “Ampunkan hamba, pangeran. Pangeran... pangeran itu... ah, beliau adalah... paduka...! Ampunkan hamba...”

Pangeran Mahkota tertawa bergelak, senang sekali hatinya. “Aku? Jadi akukah yang membuat engkau rindu? Ha-ha-ha, nah, aku sudah berada di sini, hendak kulihat sampai di mana kebenaran pengakuanmu bahwa engkau rindu dan cinta kepadaku!” Dia membungkuk, mengangkat tubuh yang mungil itu, memondongnya dan membawa Bi Houw memasuki pondok ungu!

Bi Houw dengan amat cerdiknya dapat berlagak seperti seorang gadis remaja yang masih hijau, canggung, namun penuh dengan cinta kasih, penuh kemesraan, kehangatan dan kepasrahan. Namun, di balik itu, biarpun secara halus, ia menyambut pernyataan cinta pangeran itu dengan gairah yang panas menggebu, yang membuat Pangeran Mahkota itu merasa bahwa selama hidupnya baru sekali itulah dia bertemu dengan seorang gadis perawan yang membuat dia merasa seorang jantan sejati!

Dan pada senja hari itupun hati Pangeran Mahkota telah jatuh cinta! Dia bukan sekedar iseng, melainkan benar-benar terpikat dan melekat, jatuh cinta secara mendalam kepada Bi Houw atau Bu Houw. Dan semenjak pertemuan yang pertama kali itu, mereka berdua dengan hati-hati seringkali mengadakan pertemuan di taman itu dan menumpahkan perasaan cinta kasih masing-masing dengan penuh kemesraan!

Demikian pandainya Bi Houw membawa diri sehingga Sang Pangeran Mahkota merasa yakin bahwa gadis remaja jelita itu benar-benar mencintanya dengan segenap jiwa raganya, bukan seperti wanita lain yang hanya mengharapkan agar terangkat derajatnya kalau dapat berhubungan dengan dia. Dianggapnya bahwa Bi Houw sebagai seorang wanita, mencinta dia sebagai seorang pria! Dan diapun jatuh benar-benar, dan mengambil keputusan untuk menjadikan Bi Houw sebagai isterinya, bahkan permaisurinya kelak!

Ketika Kaisar Tang Thai Cung meninggal dunia dalam tahun 649, maka diangkatlah Pangeran Mahkota sebagai kaisar baru, dan berjuluk Kaisar Tang Kao Cung. Dan kini terjadilah hal yang amat berbahaya bagi Bi Houw atau Bu Houw. Memang benar bahwa Kaisar Tang Kao Cung yang baru memenuhi janjinya, yaitu dia hendak mengangkat Bu Houw menjadi Permaisuri. Akan tetapi, para pejabat tinggi di istana memperingatkan Kaisar Tang Kao Cung bahwa menurut catatan dalam istana, Bu Houw adalah seorang dayang yang pernah digauli oleh mendiang Kaisar Tang Thai Cung! Tentu saja catatan istana ini ada karena kesalahan Bu Houw sendiri yang memamerkan “kehormatan” atau anugerah yang diterimanya dari Kaisar Tang Thai Cung dahulu ketika ia digauli di dalam kamar mandi Permaisuri di suatu pagi.

Menurut peraturan istana, dayang yang sudah digauli kaisar itu, setelah kaisar meninggal dunia, haruslah melanjutkan kehidupannya sebagai seorang nikouw (pendeta wanita) dalam wihara Buddha selama hidupnya! Pada waktu itu, Agama Buddha sedang berkembang dengan pesat dan diakui oleh pemerintah sehingga memiliki pengaruh yang besar.

Sebagai seorang isteri, walaupun hanya berkedudukan dayang namun sudah digauli kaisar, maka Bu Houw harus pula berkabung dengan cara hidup dalam biara itu sebagai seorang pendeta yang setiap hari hanya berdoa dan tidak boleh berhubungan dengan orang lain apa lagi dengan pria!

Akan tetapi, Kaisar Tang Kao Cung sudah terlalu mencinta Bu Houw sehingga diam-diam kaisar ini memerintahkan agar Bu Houw dilindungi dan diperlakukan dengan hormat dan baik. Bahkan ia dibebaskan dari keharusan menggunduli kepalanya.

Setelah tiga tahun lewat, yaitu waktu yang dianggap sebagai masa berkabung telah habis, secara diam-diam Bu Houw dipindahkan dari dalam wihara ke dalam istana induk dan bertentangan dengan nasihat para menteri, Kaisar Tang Kao Cung memaksakan kehendaknya untuk menikah dengan Bu Houw dan mengangkatnya sebagai Permaisuri!

Nafsu yang menguasai diri manusia ibarat api. Makin diberi umpan, makin diberi jalan, bukan menjadi kenyang dan puas bahkan menjadi semakin murka! Makin diberi semakin kelaparan dan kehausan!

Ketika masih menjadi seorang dayang, Bu Houw bercita-cita untuk diangkat menjadi selir, kemudian cita-citanya meningkat untuk menjadi permaisuri. Biarpun harapannya terhadap mendiang Kaisar Tang Thai Cung gagal, namun ia berhasil baik dalam memikat Pangeran Mahkota sehingga ia berhasil menundukkan pangeran itu dan setelah pangeran itu menjadi Kaisar Tang Kao Cung, iapun terpenuhi cita-citanya dan diangkat menjadi Permaisuri. Apakah ini merupakan tujuan terakhir dari ambisinya? Sudah puaskah nafsu keinginannya?

Jauh dari pada puas! Nafsu takkan pernah mengenal puas, tak pernah mengenal titik tujuan terakhir selama si manusianya masih hidup! Bagaikan api, takkan padam selama bahan yang dibakarnya masih ada.

Setelah diangkat menjadi Permaisuri, Bu Houw hanya merasa puas sementara saja, untuk kemudian nafsunya kembali berkobar untuk mencapai kekuasaan yang tertinggi! Dan agaknya ambisinya inipun mendatangkan harapan karena Kaisar Tang Kao Cung agaknya benar-benar tak berdaya menghadapi permaisurinya ini. Kaisar Tang Kao Cung menjadi jinak dan lunak, tunduk dan taat kepada permaisurinya! Kaisar ini tanpa merasa dijadikan semacam boneka hidup oleh permaisurinya.

Mulailah Bu Houw mencampuri urusan kenegaraan, bahkan ia kini dikenal sebagai Bu Cek Thian, Permaisuri Agung yang berkuasa penuh sesudah Kaisar! Para menteri merasa khawatir sekali, namun tak seorangpun mampu mengingatkan kaisar, dan kekuasaan Bu Cek Thian menjadi semakin besar.

Setelah memperoleh kekuasaan besar dan Kaisar selalu menuruti semua kehendaknya, bahkan mulai mematuhi nasihat-nasihatnya mengenai bidang pemerintahan, Bu Cek Thian tetap saja tidak merasa puas. Ada satu hal yang membuat ia merasa hidupnya tidak lengkap, bahkan merana! Suaminya, Sang Kaisar yang terlampau memanjakan nafsu berahi ketika masih muda, kini menjadi seorang suami yang lemah dan sama sekali tidak dapat menandingi dan memuaskan gairah berahinya yang menggebu dan berkobar.

Hal ini membuat Bu Cek Thian yang sudah tercapai apa yang diharapkannya itu merasa sengsara! Mulailah ia membentuk pasukan pengawal yang terdiri dari para pria kebiri dan juga wanita-wanita perkasa dari orang-orang yang dapat dipercayanya, dan yang sudah bersumpah setia kepadanya. Dengan demikian, maka selain keamanannya selalu terjamin karena selalu ada sekelompok pengawal yang menjaganya, juga melalui para pengawal yang dipercaya ini, ia dapat apa saja secara rahasia karena kelompok pengawal ini menjaga agar rahasianya tidak sampai diketahui orang lain.

Setelah ia melihat kesetiaan dan kecerdikan seorang di antara para dayangnya yang bernama Siangkoan Wang-ji, ia menarik wanita ini sebagai dayang pribadi. Kepada Siangkoan Wang-ji inilah ia menumpahkan semua perasaan dan kekecewaannya, dan atas nasehat dayang setia ini pula Bu Cek Thian mulai melakukan penyelewengan untuk memuaskan gairah berahinya yang bernyala-nyala. yang tak terpuaskan oleh Kaisar Tang Kao Cung, suaminya yang dianggapnya kurang jantan dan loyo.

Melalui Siangkoan Wang-ji sebagai perantara, secara bergiliran, dengan perlindungan kelompok pengawal pribadi, mulailah diselundupkan dua orang perwira istana, kakak beradik yang bernama Thio Jiang Tiong dan Thio I Ci. Mereka adalah dua orang perwira muda yang tampan dan gagah.

Tentu saja dua orang kakak beradik ini merasa seperti kejatuhan rembulan. Mereka tidak berani membuka rahasia dan diam-diam menikmati “anugerah” dari Sang permaisuri itu. Mereka mendapatkan seorang wanita yang matang dan cantik jelita, yang menyambut mereka secara bergiliran dengan gairah yang panas, mereka mendapatkan pula hadiah-hadiah yang berharga dan tentu saja mereka merasa terhormat.

Di samping itu, mereka juga tentu takut sekali kalau sampai rahasia itu ketahuan oleh Kaisar. Maka, tanpa diperintah lagi, untuk mempertahankan kenikmatan dan keuntungan itu, juga untuk menyelamatkan diri, mereka itu menutup mulut dan tidak pernah membocorkan rahasia itu.

Demikianlah riwayat singkat dari Permaisuri Bu Cek Thian yang pada waktu, biarpun tidak secara terbuka dan sah, merupakan orang yang sesungguhnya memegang kendali pemerintahan. Bukan hanya untuk urusan pemerintahan, juga di dalam istana, ialah yang memegang kuasa penuh. Hanya kadang-kadang saja Kaisar Tang Kao Cung memperlihatkan sikap yang sesungguhnya, sikap seorang kaisar dan seorang suami, namun pada akhirnya, dialah yang kalah pengaruh dan tunduk kepada kemauan Sang Permaisuri.

Diri permaisuri itu diliputi penuh rahasia. Para pejabat tinggi yang setia kepada kaisar, mencemaskan keadaan itu, apa lagi setelah akhir-akhir ini timbul pembunuhan-pembunuhan rahasia terhadap beberapa orang pejabat tinggi dan pengeran, para menteri yang setia menjadi semakin gelisah. Akan tetapi, para pejabat tinggi yang “terpakai” oleh Bu Cek Thian, yang dipilih menjadi orang-orang yang dipercaya oleh Sang Permaisuri, tentu saja tidak merasa cemas, bahkan diam-diam mereka merasa girang sekali karena kepercayaan Sang Permaisuri kepada mereka membuat derajat dan kekuasaan mereka terangkat naik.

Demikian besar kekuasaan Bu Cek Thian atas diri kaisar sehingga namanya terkenal di dalam sejarah. Apalagi setelah ia melahirkan seorang putera, kekuasaannya menjadi semakin besar dan Kaisar semakin tunduk kepadanya. Hanya Bu Cek Thian atau Bu Houw atau dahulu disebut Bi Houw yang tahu, siapakah sebenarnya ayah kandung Pangeran Tiong Cung itu!

Tentu saja bagi kaisar sendiri dan umum, menganggap hahwa pangeran itu adalah putera kandung Kaisar Tang Kao Cung! Akan tetapi, sebelum melahirkan pangeran itu, diam-diam Bu Cek Thian yang sudah merasa tidak puas dengan suaminya, telah mengadakan hubungan dengan beberapa orang pria yang diselundupkan secara rahasia dari luar istana bagian puteri.

Bahkan seorang di antara mereka itu, termasuk seorang tukang taman muda she Ma yang kemudian tewas secara aneh karena suatu penyakit perut yang mendadak. Dan melihat betapa hidung pangeran Tiong Cung yang besar itu serupa benar dengan bentuk hidung mendiang penjaga taman Ma, diam-diam Bu Cek Thian sendiri menduga bahwa mungkin tukang taman itulah ayah kandung puteranya yang sebenarnya.

Kalau tadinya masih ada menteri yang suka memperingatkan kaisar terhadap Bu Cek Thian, setelah wanita itu melahirkan putera yang menjadi pangeran mahkota, tentu saja tidak ada lagi yang berani mencela wanita itu di depan kaisar atau siapapun juga. Kekuasaan Bu Cek Thian sebagai lbu Suri amatlah besarnya, dan sekali Ibu Suri ini menudingkan telunjuknya, siapa saja, tidak perduli betapapun besar kedudukannya, akan ditangkap, dihukum buang ataupun dihukum mati!

Ketika terjadi pembunuhan-pembunuban rahasia yang menggelisahkan Kaisar, Bu Cek Thian juga menjadi gelisah dan permaisuri ini yang mengusulkan kepada kaisar untuk mengutus Cian Ciang-kun, yaitu Cian Hui yang terkenal sebagai seorang detektip ulung dan pandai itu, untuk malakukan penyelidikan dan membongkar rahasia pembunuhan yang menggelisahkan itu.

Semua pejabat pemerintah, terutama sekali yang berkedudukan tinggi, menduga-duga siapakah pembunuh misterius itu, dan siapa pula yang berdiri di belakangnya. Memang sukar untuk menduga dan keadaannya membingungkan sekali.

Kalau yang terbunuh itu hanya orang-orang yang dekat dengan kaisar misalnya, tentu akan timbul dugaan bahwa pembunuh misterius dan pengaturnya tentulah orang yang tidak suka kepada kaisar dan orang yang ingin memereteli kekuasaan kaisar dengan menyingkirkan mereka yang membantu kaisar dan yang setia kepada kaisar. Akan tetapi pada kenyataannya, banyak pula pejabat tinggi yang terkenal anti dengan kebijaksanaan kaisar, yang bahkan condong membela dan mendukung kebijaksanaan Ibu Suri atau Permaisuri, juga terbunuh!

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis Episode Si Bayangan Iblis jilid 04 karya kho ping hoo

“Ih, kenapa rumahmu sesunyi ini, Cian Ciang-kun? Engkau seorang pejabat yang penting dan berpengaruh di kota raja, akan tetapi rumahmu yang besar ini amat sunyi. Aku hanya melihat beberapa orang pelayan saja di luar tadi dan di dalamnya begini sunyi dan lengang!” kata “nenek” tua itu yang bukan lain adalah Liong-li yang menyamar sebagai seorang nenek tua ketika memasuki kota raja bersama Cian Hui.

Ucapan itu keluar dari mulutnya ketika ia bersama tuan rumah itu sudah memasuki rumah gedung milik Cian Hui, dan mereka tiba di ruangan dalam, duduk berdua saja menghadapi sebuah meja marmer bundar. Cian Ciang-kun menarik napas panjang, pria berusia empat puluh tahun itu merasa seperti ditusuk jantungnya mendengar ucapan itu.

Ucapan yang amat tepat karena betapa seringnya dia merasakan kesunyian yang mencekam itu apa bila dia berada di dalam rumahnya. Begitu terasa kehilangan besar itu, kehilangan isteri dan anaknya, membuat dia merasa kesepian dan tidak berarti. Hanya kalau dia berada di luar rumahnya, sedang melakukan tugas, dia bebas dari rasa kesepian itu.

Memang hati dan akal pikiran ini selalu membutuhkan sesuatu untuk ditempel atau diikat. Kalau ada sesuatu yang dimiliki, barulah diri merasa ada artinya! Makin penting yang dimilikinya itu, makin berharga, akan semakin besar pula arti diri. Baik yang dimiliki itu berupa kedudukan, nama besar, harta benda, kepercayaan, atau orang-orang yang dicinta, apa saja yang mendatangkan kesenangan, maka hidup seakan-akan baru ada artinya karena membutuhkan dan dibutuhkan!

Inilah sebabnya, ikatan inilah yang mendatangkan rasa kecewa, sakit dan duka kalau kita ditinggalkan sesuatu yang kita miliki dan kita senangi itu, entah itu nama besar, kepopuleran, harta benda, orang yang disenangi, atau apa saja. Si-aku baru berarti dan “hidup” apa bila ada yang ditempeli atau diikatnya. Makin banyak ikatan, akan semakin hidup dan berarti rasanya! Kita lupa bahwa semua yang kita anggap, sebagai milik itu hanyalah aku-akuan saja, hanya sementara saja seolah-olah hanya dipinjamkan dan sekali waktu pasti akan berpisah dari kita.


“Aihh, habis mau bagaimana lagi, Li-hiap? Aku adalah seorang duda, kehilangan anak isteri. Dan untuk keperluanku seorang diri saja, cukup dengan bantuan dua orang pelayan pria dan seorang pelayan wanita yang kau lihat tadi,” kata Cian Hui.

Liong-li tersenyum dan karena ia tersenyum wajar, bukan senyum buatan sebagai pelengkap penyamaran, maka “nenek” itu kini nampak manis sekali! “Cian Ciang-kun, engkau seorang yang pandai dan cerdik, mengapa bicaramu seperti seorang kakek-kakek yang lemah dan putus asa saja? Engkau masih muda, engkau jantan dan gagah menarik, memiliki kedudukan yang baik, tidak kekurangan harta benda, juga berilmu, pandai ilmu silat dan juga menjadi seorang penyelidik yang terkenal. Kalau engkau kehendaki. banyaklah gadis cantik jelita yang ingin dan suka sekali menjadi isterimu. Engkau tinggal pilih saja dan kalau engkau mempunyai seorang isteri lagi, besar harapan engkau mempunyai keturunan dan membangun sebuah keluarga baru di dalam rumahmu ini.”

“Ah, cukuplah, Li-hiap. Apa yang kau ucapkan itu sudah diucapkan pula oleh banyak sahabatku. Dan akupun pernah mencoba untuk memilih-milih seorang wanita sebagai pengganti isteriku. Namun sampai sekarang belum juga berhasil! Kalau bukan ada sesuatu pada dirinya yang tidak kusenangi, atau ada suatu sikapnya yang tidak cocok denganku, tentu ia seorang yang kuanggap terlalu muda bagiku. Ahhh, semua usahaku sia-sia dan aku menjadi putus asa. Biarlah, aku tinggal menduda saja. Dan bagaimana dengan dirimu, Li-hiap? Jangan engkau hanya menasihati aku saja. Lihat dirimu! Engkau seorang yang cantik jelita, berilmu tinggi, kaya raya. Namun engkau tinggal membujang, tidak berumah tangga, tidak bersuami. Padahal mencari seorang wanita seperti engkau ini di dunia hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja! Kalau ada seorang wanita yang sepersepuluhmu saja baiknya, tentu aku sudah menikah lagi!”

“Ih, ngawur! Engkau terlalu memujiku dan merendahkan dirimu sendiri, Ciang-kun. Terus terang saja, akupun amat kagum dan suka padamu. Seperti engkau inilah seorang di antara para pria yang kuanggap hebat untuk dijadikan suami...”

Si Bayangan Iblis Jilid 04

PERMAISURI yang sekarang telah berusia empatpuluh tahun lebih itu makin lama semakin berkuasa dan berpengaruh sehingga hampir semua pejabat tinggi tunduk di bawah kekuasaannya. Baik mereka yang setuju atau yang tidak setuju harus mengakui bahwa banyak kemajuan dicapai setelah permaisuri ini memegang kendali pemerintahan. Tentu saja sebagai pelaku di belakang layar karena segala hal masih harus disetujui dan ditandatangani oleh Kaisar Kao Cung. Semua orang di istana tahu belaka bahwa kaisar itu menandatangani apa saja yang disodorkan permaisurinya kepadanya!

Memang, permaisuri dari Kaisar Kao Cung ini adalah seorang wanita yang hebat luar biasa. Sepak terjangnya amat menonjol dan tidak mengherankan kalau kemudian namanya diabadikan dalam sejarah, walaupun di dalam sejarah, keburukannya lebih banyak ditonjolkan dari pada kebaikannya. Hal inipun mudah dimaklumi kalau diingat bahwa penyusun sejarah adalah mereka yang tidak suka kepadanya!

Seorang penyusun sejarah haruslah seorang seniman sejati! Seorang seniman sejati takkan sudi diperalat oleh golongan manapun, karena seorang seniman sejati adalah seorang manusia utuh lahir batin yang hanya mengabdi kepada kebenaran, kepada kekuasaan Tuhan, tidak dipengaruhi penilaian karena menganggap bahwa apa yang ada selalu indah, tidak baik ataupun buruk, tidak ada perhitungan rugi untung bagi dirinya yang bebas!

Riwayat permaisuri ini memang menarik sekali sejak pemunculannya yang pertama di istana kaisar. Agar mengenal latar belakangnya, sebaiknya kalau kita mengikuti pengalamannya. Ketika masih seorang gadis remaja, permaisuri itu bernama Bu Houw yang kemudian disebut juga Bu Cek Thian. Panggilan akrabnya adalah Bi Houw (Houw yang cantik). Ketika usianya masih remaja, kurang lebih tiga belas tahun, ia diangkut dari dusun dan dipilih menjadi seorang dayang di istana. Ketika itu, yang menjadi kaisar adalah ayah dari Kaisar Kao Cung yang sekarang, yaitu Kaisar Thai Cung yang amat terkenal, yang dulu bernama Li Si Bin!

Karena hidup di dalam istana yang megah, serba bersih, dan setiap hari tubuhnya terpelihara baik-baik, juga karena ia diharuskan mempelajari segala seni yang patut dimiliki semua wanita cantik dalam istana, Bi Houw tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita dan pandai membawa diri. Ketika usianya mencapai, enambelas tahun, tidak ada seorang pun dayang di istana yang mampu menyaingi kecantikannya.

Bagaikan setangkai bunga, ia mulai mekar dengan indahnya, semerbak mengharum dan membuat setiap yang disentuhnya menjadi cerah dan hidup. Bahkan para puteri dan selir kaisar merasa kagum dan iri melihat kesegaran gadis remaja dari dusun yang kini pandai membawa diri ini.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Bi Houw sudah melakukan tugasnya, membersihkan sebuah kamar mandi yang biasa dipergunakan oleh permaisuri. Tentu saja sepagi itu ia bekerja membersihkan kamar mandi pribadi permaisuri bukanlah suatu hal yang kebetulan saja. Ia telah memperhitungkan dan memperhatikan kebiasaan Kaisar Thai Cung. Setiap kaisar ini tidur di kamar permaisuri, sudah pasti pada pagi hari seperti itu, Sang Kaisar akan masuk kamar mandi.

Kebiasaan ini sudah diperhatikan benar-benar oleh Bi Houw, dan pada pagi hari itu, ketika seperti tidak disengaja ia telah berada di kamar mandi, ia nampak bersih, segar dan cerah, cantik jelita dan putih kemerahan bagaikan setangkai kuncup mawar yang sedang mekar! Gadis berusia enam belas tahun!

Ketika kaisar memasuki kamar mandi, Bi Houw cepat berlutut dan tidak berani mengangkat muka. Setelah kaisar selesai dengan keperluannya di kamar mandi untuk membuang air kecil dan hendak keluar, dengan terampil sekali Bi Houw berlutut di depannya, dengan muka menunduk sehingga tidak nampak, memegangi dengan kedua tangannya yang mungil sebuah tempayan air yang terisi air hangat yang harum karena dicampur air mawar, menjulurkan kedua tangannya agar Sang Kaisar dengan mudah dapat mencuci tangannya.

Kaisar menunduk dan mencuci tangan. Ketika dia melihat sepasang tangan yang berkulit putih kemerahan, jari-jari tangan yang meruncing dengan kuku yang bersih mengkilap terawat baik, kemudian menunduk pula melihat rambut yang panjang hitam dan halus, yang mengeluarkan keharuman semerbak, melihat kulit leher yang nampak semakin putih mulus kemerahan di antara juntaian rambut, kaisar tertarik dan berkata lembut.

“Dayang, coba kau angkat mukamu, kami hendak melihatnya.”

Bi Houw yang sudah memperhitungkan ini, dan sudah berulang kali ia bergaya di depan cermin, dengan tenang dan lembut mengangkat mukanya, muka yang amat cantik manis bagaikan setangkai bunga baru mekar, dahinya yang halus bagaikan lilin diraut itu dihiasi anak rambut yang lembut sekali melingkar-lingkar, sepasang mata yang redup itu setengah terpejam penuh rasa takut dan malu, dihias bulu mata yang panjang lentik, dilindungi sepasang alis yang hitam kecil panjang seperti dilukis.

Hidung itu mancung kecil dan lucu, dan mulut amat menggairahkan, dengan sepasang bibir tipis merah membasah tanpa gincu, dihias lekuk pipi di kanan kiri yang timbul tenggelam, dagu kecil runcing berlekuk, dan lekuk lengkung dada yang sedang meranum itu membayang di balik baju tipis.

Semua ini merupakan bintik-bintik api yang menggetarkan kehangatan dan di pagi hari yang dingin itu, gairah berahi mulai membara di dalam hati Kaisar Thai Cung. Gairah berahi yang datang tiba-tiba, mendatangkan kekuatan besar yang mendorongnya untuk segera menjulurkan kedua lengannya, memondong gadis remaja itu, mendekap menciuminya, membelai dan membawanya ke atas bangku marmer di dalam kamar mandi itu.

Tanpa banyak cakap lagi, tidak seperti biasanya kalau sang kaisar memerawani seorang dayang yang beruntung menerima anugerah dipilih oleh kaisar, Bi Houw digauli oleh Kaisar Thai Cung di dalam kamar mandi, tanpa upacara lagi! Bi Houw menyambut pria tua itu dengan menggunakan sepenuh kecerdikan dan kepandaiannya yang sudah dipelajarinya terlebih dahulu. Demikian pandainya gadis ini sehingga semua usahanya itu tidak nampak, dan Kaisar Thai Cung pada pagi hari itu memetik kesenangan dan kenikmatan yang jarang dia temukan.

Setelah kaisar meninggalkannya, Bi Houw melamun dengan hati penuh bahagia. Semua rencananya berjalan dengan baik! Kaisar telah menjatuhkan pilihannya kepadanya bahkan telah menganugerahinya dengan hubungan badan itu!

Pada waktu atau jaman itu, kedudukan seorang kaisar amatlah tingginya. Kaisar dianggap sebagai dewa atau bahkan Putera Tuhan yang dijelmakan di dunia untuk memimpin manusia. Oleh karena itu, seorang gadis yang dipilih kaisar seolah-olah mendapatkan keyakinan bahwa bintangnya akan menjadi terang.

Bi Houw membayangkan betapa ia tentu akan diangkat menjadi seorang di antara selir-selir utama yang jumlahnya tujuh puluh dua orang, menggantikan seorang selir yang sudah dianggap membosankan dan akan diturunkan pangkatnya oleh kaisar. Dari selir, ia akan berusaha agar ia dapat terus menanjak naik sehingga akhirnya akan dapat menduduki pangkat permaisuri Pertama atau Kedua. Ada dua orang permaisuri, yaitu permaisusi Istana Timur dan permaisuri Istana Barat. Ia harus berusaha mengangkat dirinya sampai menjadi seorang di antara yang dua ini!

Akan tetapi malang bagi gadis remaja itu, harapannya hampa dan penantiannya sia-sia belaka. Kaisar Thai Cung, pendiri Kerajaan Tang itu, terlalu sibuk dengan urusan pemerintahan, sibuk dengan perkembangan dan kemajuan kerajaannya. Peristiwa yang terjadi di kamar mandi pada pagi hari itu baginya lewat begitu saja dan segera hal itu terlupa olehnya setelah terjadi. Lewat bagaikan angin lalu, karena bagi kaisar yaag mempunyai banyak urusan, yang dianggapnya lebih besar dan lebih penting, maka peristiwa dengan Bi Houw itu kecil dan tidak ada artinya sama sekali. Apakah artinya seorang gadis remaja kecil, seorang dayang bagi seorang kaisar?

Kekecewaan adalah bagian orang yang mengharapkan. Harapan mempunyai buah ganda, yaitu kepuasan dan kekecewaan. Kalau terpenuhi apa yang diharapkan, datanglah kepuasan. Sebaliknya, kalau tidak terpenuhi, datanglah kekecewaan.

Bi Houw yang ambisius dan penuh harapan muluk itu, tentu saja tenggelam ke dalam lautan kekecewaan karena ia sama sekali tidak diperdulikan oleh Kaisar Thai Cung. Bahkan kaisar itu agaknya sudah lupa akan peristiwa yang terjadi di pagi hari dalam kamar mandi permaisuri itu. Betapapun ia memancing dengan kerling dan senyum kalau kebetulan ia bertemu dengan kaisar, Kaisar Thai Cung sama sekali tidak nampak bahwa dia teringat atau mengenalnya!

Di dalam kamarnya, Bi Houw hanya dapat menangis karena sesal dan kecewa. Apa lagi ia sudah terlanjur pamer kepada para dayang lain bahwa ia telah mendapat “anugerah” dari kaisar di pagi hari itu! Ia telah membisikkan kepada para dayang lainnya bahwa sebentar lagi ia akan naik derajatnya dan menjadi seorang di antara Selir Terhormat! Dan kenyataannya sungguh amat pahit, tidak semanis yang dibayangkan dan diharapkannya.

Akan tetapi, gadis remaja ini tidak menjadi putus asa. Maklum bahwa ia tidak dapat mengharapkan kenaikan derajat dari kaisar, iapun segera membuang harapan hampa itu dan matanya mulai mengerling ke arah yang lain lagi. Pangeran Mahkota! Pangeran itu masih seorang pemuda, tampan, gagah dan tentu saja jauh lebih menarik sebagai pria dibandingkan ayahnya, Sang Kaisar. Pangeran Mahkota itulah merupakan orang kedua sesudah kaisar yang paling tinggi kedudukannya di seluruh negeri.

Mulailah Bi Houw mengatur diri, mengatur lagak dan melaburi diri dengan daya pikat yang menarik, dan iapun menggunakan segala daya kecerdikannya untuk menyelidiki dan mempelajari kebiasaan Pangeran Mahkota. Pangeran Mahkota yang kemudian menjadi Kaisar Kao Cung itu adalah seorang pemuda yang tampan dan suka pelesir. Sejak kecil dia memang dimanja dan berkecimpung di dalam kesenangan dan kemewahan. Apa saja yang dikehendakinya tentu terpenuhi!

Sungguh amat merugikan perkembangan jiwa seseorang kalau di waktu kecil dia dimanjakan oleh keadaan. Justeru kepahitan keadaan hidup, seperti jamu merupakan gemblengan yang mematangkan batin. Sebaliknya, kesenangan yang berlimpahan bahkan membius batin dan menumpulkan akal karena jarang dipergunakan untuk mengatasi kesulitan hidup.

Tempat tinggal Pangeran Mahkota merupakan bagian kompleks istana keluarga Kaisar di bagian kiri, bersambung dengan istana induk melalui sebuah jembatan dan taman indah. Di jembatan inipun, seperti juga di jalan masuk ke istana induk dari manapun juga, siang malam dijaga oleh pengawal thai-kam (laki-laki kebiri) demi keselamatan kaisar.

Dengan mempergunakan suapan berupa barang-barang berharga, Bi Houw berhasil menarik kepercayaan seorang pengawal Thai-kam sehingga ia dapat dengan leluasa menggunakan jembatan itu dan diperbolehkan keluar masuk taman yang merupakan perbatasan antara istana induk dan istana Pangeran Mahkota. Padahal, sebagai dayang atau pelayan keluarga kaisar yang bertugas di istana induk, ia tidak dibenarkan untuk melewati jembatan ini dan masuk ke daerah tempat tinggal Pangeran Mahkota.

Bi Houw juga menyelidiki kebiasaan Pangeran Mahkota dan mendengar bahwa satu di antara kebiasaan Pangeran Mahkota adalah duduk termenung di dalam taman mawar yang berdekatan dengan jembatan dan taman penghubung itu. Pangeran Mahkota itu, setelah bosan dan lelah bersenang-senang dengan gadis-gadis cantik bahkan bermain-main dengan wanita-wanita pelacur di luar istana, kadang-kadang suka menyendiri di dalam taman mawar, termenung dan menikmati hawa segar sejuk dan suasana hening.

Dalam keadaan seperti itu, dia selalu menyendiri, tidak mau ditemani pengawal atau dayang. Setelah dayang membawakan minuman dan makanan, biasanya anggur manis dan makanan kecil, dayang lalu diperintahkannya untuk pergi meninggalkannya seorang diri. Dalam keadaan menyendiri itu, Pangeran Mahkota merasa aman tenteram dan kadang-kadang keadaan menyendiri itu dia pergunakan untuk membaca kitab, baik kitab kesusasteraan, catatan sejarah maupun kitab tentang ketatanegaraan yang amat penting baginya.

Pada suatu senja yang indah. Angin semilir lembut mendatangkan hawa yang sejuk segar. Matahari menjelang terbenam, cahayanya sudah lembut lunak dan di langit bagian timur nampak awan terbakar dengan sinar merah dengan latar belakang kebiruan dan di sana-sini nampak awan berpita perak berkilauan.

Pangeran Mahkota memasuki taman mawar sambil membawa kitab yang sudah dibukanya dan dibacanya sambil melangkah perlahan-lahan, menuju ke tengah taman di mana terdapat kolam ikan emas dan bangku yang menjadi tempat yang amat disukainya untuk duduk menyendiri. Memang nyaman sekali duduk di bangku yang halus itu, di dekat kolam di mana ikan-ikan emas merah, kuning dan putih berenang, dengan gaya indah, dikelilingi bunga-bunga mawar yang sedang mekar semerbak mengharum, dengan kupu-kupu yang beterbangan di sekitarnya, pohon-pohon di sana-sini yang mulai disibuki oleh suara burung yang pulang sarang.

Putera Mahkota yang berusia tiga puluhan tahun itu memang tampan dan pada senja itu dia mengenakan pakaian sutera kuning yang longgar dan indah. Ketika dia melangkah lambat menuju ke tengah taman, tiba-tiba dia menurunkan kitabnya dan berhenti melangkah. Dia mendengar suara yang lain dari pada biasanya.

Biasanya, suara yang terdengar di taman itu kalau dia memasukinya hanyalah suara teriakan burung-burung yang beterbangan pulang sarang, sesampainya di pohon mereka ini membuat gaduh dengan suara cecowetan sibuk sekali. Akan tetapi sekali ini, di antara suara burung-burung, dia mendengar suara manusia. Suara wanita yang sedang membaca sajak dengan nyanyian sederhana namun merdu bukan main, agaknya terdengar aneh dan merdu sekali di taman yang sunyi itu.

“...amboi burung murai nan malang, warna bulumu memang indah cemerlang, suaramu memang merdu gemilang, namun sayang... percuma engkau merindukan burung Hong, Raja diantara segala burung, bagimu dia terlampau agung...”

Di taman yang indah itu, dalam suasana yang sunyi dari senja yang mengambang, suara itu terdengar aneh dan merdu sekali. Hati Pangeran Mahkota itu sudah tertarik sekali, dan jantungnya berdebar penuh keinginan tahu siapa gerangan wanita yang dapat bernyanyi semerdu itu di dalam taman mawar pribadinya. Suara itu datang dari arah kiri, maka diapun tidak jadi menuju ke kolam ikan, melainkan ke pondok ungu yang berada di sebelah kiri taman.

Pondok ungu ini adalah pondok kecil di mana dia suka menghibur diri di waktu musim panas, ditemani beberapa orang dayang atau selirnya. Biarpun dia belum memiliki isteri, namun Pangeran Mahkota ini sudah memiliki beberapa orang selir.

Akhirnya Pangeran Mahkota menemukan wanita yang tadi membaca sajak dengan suara nyanyian sederhana namun merdu itu. Ia seorang gadis berpakaian dayang. Seorang di antara para dayang ayahnya! Akan tetapi, sungguh seorang gadis remaja yang bukan main! Hati pangeran itu memang sudah tertarik oleh suara tadi. Kini melihat orangnya, dia terpesona!

Dan memang Bi Houw sudah memperhitungkannya dengan masak-masak, berdasarkan penyelidikannya. Ia mendengar betapa sang pangeran itu seringkali menyatakan rasa muak terhadap para wanita yang mengelilinginya, yang berlomba untuk menarik perhatiannya dengan dandanan yang mewah, dengan riasan muka yang seperti boneka digambar!

Karena itu, dalam kesempatan yang sudah termasuk rencana siasatnya ini, Bi Houw mengenakan pakaian yang sederhana, pakaian dayang yang tidak mewah namun bersih dan rapi. Nampak jelas betapa ia segar dan cerah, karena baru saja ia mandi air dingin yang dicampur air mawar dan seluruh tubuhnya digosoknya keras-keras sehingga baik muka dan tangannya nampak masih kemerahan seperti kulit seorang bayi yang montok dan mungil.

Ketika pangeran menghampiri tempat itu, ia pura-pura tidak tahu dan sedang mengejar kupu-kupu dengan gerakan yang lincah, jenaka dan penuh kelembutan wanita, berjalan berjingkat dengan lenggang lenggok lemah gemulai ia menghampiri seekor kupu-kupu yang hinggap di setangkai bunga.

Melihat ini, Pangeran Mahkota berhenti melangkah, memandang sambil menggagumi gerak pinggul gadis remaja itu ketika berindap menghampiri kupu-kupu itu. Ditangkapnya kupu-kupu itu dengan ibu jari dan telunjuknya, lalu gadis itu duduk di atas bangku, membelakangi Pangeran Mahkota dan terdengar suaranya lirih manja, namun terdengar jelas oleh sang Pangeran.

“Kupu-kupu yang tampan, engkau memang seksi sekali, bersenang-senang dari bunga ke bunga lain, tanpa memperdulikan aku bunga yang kesepian menanggung rindu, haus akan jamahan dan belaianmu. Aih, kupu-kupu, sakit hatiku, ingin rasanya aku merobek sayapmu agar engkau tidak mampu terbang lagi hinggap di bunga-bunga yang lain. Akan tetapi aku tidak tega, kupu-kupu, aku tidak tega, karena aku terlalu mencintaimu! Aih, kupu-kupu, engkau pangeran yang agung sedangkan aku... aku hanya dayang...”

Gadis itu bangkit, melepaskan kupu-kupu itu terbang kegirangan, lalu ia membalik dan... pada saat itu ia melihat Pangeran Mahkota berdiri di depannya.

“Oohhhhh....!” Ia mengeluh ketakutan dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki sang pangeran, memberi hormat sampai dahinya menyentuh tanah. “Ampun, pangeran... ampunkan hamba, karena hamba tidak tahu bahwa paduka berada di sini...” kata Bi Houw dengan suara gemetar namun terdengar amat merdu.

“Murai yang mungil. jangan takut, aku tidak marah kepadamu. Bangkitlah!”

“Hamba hamba tidak berani...” Bi Houw berkata dengan gemetar.

Pangeran Mahkota tersenyum, lalu menjulurkan tangan kanannya, memegang lengan Bi Houw dan menariknya bangkit berdiri. Gadis itu berdiri, tinggi badannya hanya sampai ke pundak pangeran itu dan ia menundukkan mukanya sampai dagunya menekan leher.

Dengan lembut sang pangeran menggunakan ibu jari dan telunjuk kanannya, memegang ujung dagu gadis itu dan menarik dagu itu ke atas agar dia dapat menatap wajah itu. Dan jantungnya berdenyut keras saking girangnya. Sebuah wajah yang amat cantik manis, jelita dan segar! Sejenak dia mengamati wajah yang amat menggairahkan itu biarpun Bi Houw memejamkan kedua matanya.

“Manis, bukalah matamu, aku ingin melihatnya,” bisik sang pangeran.

Dan ketika Bi Houw membuka kedua matanya, pangeran itu seperti melihat sepasang bintang yang mempesonakan! Dari sepasang mata itu memancar cahaya yang demikian lembut, demikian dalam dan demikian menantang, mengandung janji sejuta kemesraan dan kehangatan dan Pangeran Mahkota itupun jatuhlah!

“Engkau cantik jelita... siapakah namamu?”

“Hamba... hamba Bi Houw...”

“Bagaimana engkau bisa berada di sini, pada hal engkau seorang dayang dari induk istana, bukan?”

“Ampunkan hamba, hamba... amat terpesona oleh keindahan mawar di sini, ketika penjaga lengah, hamba menyelinap masuk... Hamba lupa diri ketika berada di sini, Mohon ampun, Pangeran...”

“Bi Houw, engkau tadi mengumpamakan kupu-kupu, pangeran. Siapakah yang kau maksudkan? Dan engkau mengumpamakan dirimu murai kecil, dan siapa pula burung Hong itu? Hayo jawab sejujurnya, baru aku mau mempertimbangkan apakah kelancanganmu ini patut diampuni atau tidak,” kata Pangeran Mahkota sambil tersenyum menggoda.

Bi Houw pura-pura ketakutan. “Ampunkan hamba... ampunkan kelancangan hamba... burung Hong itu... dia adalah pangeran... dan pangeran itu... ah, pangeran itu...”

“Hayo katakan, siapa pangeran itu?! Kalau tidak berterus terang, akan kupanggil pengawal agar engkau dihukum cambuk!” Pangeran Mahkota mengancam sambil tersenyum.

Bi Houw tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan mencium kaki pangeran itu. “Ampunkan hamba, pangeran. Pangeran... pangeran itu... ah, beliau adalah... paduka...! Ampunkan hamba...”

Pangeran Mahkota tertawa bergelak, senang sekali hatinya. “Aku? Jadi akukah yang membuat engkau rindu? Ha-ha-ha, nah, aku sudah berada di sini, hendak kulihat sampai di mana kebenaran pengakuanmu bahwa engkau rindu dan cinta kepadaku!” Dia membungkuk, mengangkat tubuh yang mungil itu, memondongnya dan membawa Bi Houw memasuki pondok ungu!

Bi Houw dengan amat cerdiknya dapat berlagak seperti seorang gadis remaja yang masih hijau, canggung, namun penuh dengan cinta kasih, penuh kemesraan, kehangatan dan kepasrahan. Namun, di balik itu, biarpun secara halus, ia menyambut pernyataan cinta pangeran itu dengan gairah yang panas menggebu, yang membuat Pangeran Mahkota itu merasa bahwa selama hidupnya baru sekali itulah dia bertemu dengan seorang gadis perawan yang membuat dia merasa seorang jantan sejati!

Dan pada senja hari itupun hati Pangeran Mahkota telah jatuh cinta! Dia bukan sekedar iseng, melainkan benar-benar terpikat dan melekat, jatuh cinta secara mendalam kepada Bi Houw atau Bu Houw. Dan semenjak pertemuan yang pertama kali itu, mereka berdua dengan hati-hati seringkali mengadakan pertemuan di taman itu dan menumpahkan perasaan cinta kasih masing-masing dengan penuh kemesraan!

Demikian pandainya Bi Houw membawa diri sehingga Sang Pangeran Mahkota merasa yakin bahwa gadis remaja jelita itu benar-benar mencintanya dengan segenap jiwa raganya, bukan seperti wanita lain yang hanya mengharapkan agar terangkat derajatnya kalau dapat berhubungan dengan dia. Dianggapnya bahwa Bi Houw sebagai seorang wanita, mencinta dia sebagai seorang pria! Dan diapun jatuh benar-benar, dan mengambil keputusan untuk menjadikan Bi Houw sebagai isterinya, bahkan permaisurinya kelak!

Ketika Kaisar Tang Thai Cung meninggal dunia dalam tahun 649, maka diangkatlah Pangeran Mahkota sebagai kaisar baru, dan berjuluk Kaisar Tang Kao Cung. Dan kini terjadilah hal yang amat berbahaya bagi Bi Houw atau Bu Houw. Memang benar bahwa Kaisar Tang Kao Cung yang baru memenuhi janjinya, yaitu dia hendak mengangkat Bu Houw menjadi Permaisuri. Akan tetapi, para pejabat tinggi di istana memperingatkan Kaisar Tang Kao Cung bahwa menurut catatan dalam istana, Bu Houw adalah seorang dayang yang pernah digauli oleh mendiang Kaisar Tang Thai Cung! Tentu saja catatan istana ini ada karena kesalahan Bu Houw sendiri yang memamerkan “kehormatan” atau anugerah yang diterimanya dari Kaisar Tang Thai Cung dahulu ketika ia digauli di dalam kamar mandi Permaisuri di suatu pagi.

Menurut peraturan istana, dayang yang sudah digauli kaisar itu, setelah kaisar meninggal dunia, haruslah melanjutkan kehidupannya sebagai seorang nikouw (pendeta wanita) dalam wihara Buddha selama hidupnya! Pada waktu itu, Agama Buddha sedang berkembang dengan pesat dan diakui oleh pemerintah sehingga memiliki pengaruh yang besar.

Sebagai seorang isteri, walaupun hanya berkedudukan dayang namun sudah digauli kaisar, maka Bu Houw harus pula berkabung dengan cara hidup dalam biara itu sebagai seorang pendeta yang setiap hari hanya berdoa dan tidak boleh berhubungan dengan orang lain apa lagi dengan pria!

Akan tetapi, Kaisar Tang Kao Cung sudah terlalu mencinta Bu Houw sehingga diam-diam kaisar ini memerintahkan agar Bu Houw dilindungi dan diperlakukan dengan hormat dan baik. Bahkan ia dibebaskan dari keharusan menggunduli kepalanya.

Setelah tiga tahun lewat, yaitu waktu yang dianggap sebagai masa berkabung telah habis, secara diam-diam Bu Houw dipindahkan dari dalam wihara ke dalam istana induk dan bertentangan dengan nasihat para menteri, Kaisar Tang Kao Cung memaksakan kehendaknya untuk menikah dengan Bu Houw dan mengangkatnya sebagai Permaisuri!

Nafsu yang menguasai diri manusia ibarat api. Makin diberi umpan, makin diberi jalan, bukan menjadi kenyang dan puas bahkan menjadi semakin murka! Makin diberi semakin kelaparan dan kehausan!

Ketika masih menjadi seorang dayang, Bu Houw bercita-cita untuk diangkat menjadi selir, kemudian cita-citanya meningkat untuk menjadi permaisuri. Biarpun harapannya terhadap mendiang Kaisar Tang Thai Cung gagal, namun ia berhasil baik dalam memikat Pangeran Mahkota sehingga ia berhasil menundukkan pangeran itu dan setelah pangeran itu menjadi Kaisar Tang Kao Cung, iapun terpenuhi cita-citanya dan diangkat menjadi Permaisuri. Apakah ini merupakan tujuan terakhir dari ambisinya? Sudah puaskah nafsu keinginannya?

Jauh dari pada puas! Nafsu takkan pernah mengenal puas, tak pernah mengenal titik tujuan terakhir selama si manusianya masih hidup! Bagaikan api, takkan padam selama bahan yang dibakarnya masih ada.

Setelah diangkat menjadi Permaisuri, Bu Houw hanya merasa puas sementara saja, untuk kemudian nafsunya kembali berkobar untuk mencapai kekuasaan yang tertinggi! Dan agaknya ambisinya inipun mendatangkan harapan karena Kaisar Tang Kao Cung agaknya benar-benar tak berdaya menghadapi permaisurinya ini. Kaisar Tang Kao Cung menjadi jinak dan lunak, tunduk dan taat kepada permaisurinya! Kaisar ini tanpa merasa dijadikan semacam boneka hidup oleh permaisurinya.

Mulailah Bu Houw mencampuri urusan kenegaraan, bahkan ia kini dikenal sebagai Bu Cek Thian, Permaisuri Agung yang berkuasa penuh sesudah Kaisar! Para menteri merasa khawatir sekali, namun tak seorangpun mampu mengingatkan kaisar, dan kekuasaan Bu Cek Thian menjadi semakin besar.

Setelah memperoleh kekuasaan besar dan Kaisar selalu menuruti semua kehendaknya, bahkan mulai mematuhi nasihat-nasihatnya mengenai bidang pemerintahan, Bu Cek Thian tetap saja tidak merasa puas. Ada satu hal yang membuat ia merasa hidupnya tidak lengkap, bahkan merana! Suaminya, Sang Kaisar yang terlampau memanjakan nafsu berahi ketika masih muda, kini menjadi seorang suami yang lemah dan sama sekali tidak dapat menandingi dan memuaskan gairah berahinya yang menggebu dan berkobar.

Hal ini membuat Bu Cek Thian yang sudah tercapai apa yang diharapkannya itu merasa sengsara! Mulailah ia membentuk pasukan pengawal yang terdiri dari para pria kebiri dan juga wanita-wanita perkasa dari orang-orang yang dapat dipercayanya, dan yang sudah bersumpah setia kepadanya. Dengan demikian, maka selain keamanannya selalu terjamin karena selalu ada sekelompok pengawal yang menjaganya, juga melalui para pengawal yang dipercaya ini, ia dapat apa saja secara rahasia karena kelompok pengawal ini menjaga agar rahasianya tidak sampai diketahui orang lain.

Setelah ia melihat kesetiaan dan kecerdikan seorang di antara para dayangnya yang bernama Siangkoan Wang-ji, ia menarik wanita ini sebagai dayang pribadi. Kepada Siangkoan Wang-ji inilah ia menumpahkan semua perasaan dan kekecewaannya, dan atas nasehat dayang setia ini pula Bu Cek Thian mulai melakukan penyelewengan untuk memuaskan gairah berahinya yang bernyala-nyala. yang tak terpuaskan oleh Kaisar Tang Kao Cung, suaminya yang dianggapnya kurang jantan dan loyo.

Melalui Siangkoan Wang-ji sebagai perantara, secara bergiliran, dengan perlindungan kelompok pengawal pribadi, mulailah diselundupkan dua orang perwira istana, kakak beradik yang bernama Thio Jiang Tiong dan Thio I Ci. Mereka adalah dua orang perwira muda yang tampan dan gagah.

Tentu saja dua orang kakak beradik ini merasa seperti kejatuhan rembulan. Mereka tidak berani membuka rahasia dan diam-diam menikmati “anugerah” dari Sang permaisuri itu. Mereka mendapatkan seorang wanita yang matang dan cantik jelita, yang menyambut mereka secara bergiliran dengan gairah yang panas, mereka mendapatkan pula hadiah-hadiah yang berharga dan tentu saja mereka merasa terhormat.

Di samping itu, mereka juga tentu takut sekali kalau sampai rahasia itu ketahuan oleh Kaisar. Maka, tanpa diperintah lagi, untuk mempertahankan kenikmatan dan keuntungan itu, juga untuk menyelamatkan diri, mereka itu menutup mulut dan tidak pernah membocorkan rahasia itu.

Demikianlah riwayat singkat dari Permaisuri Bu Cek Thian yang pada waktu, biarpun tidak secara terbuka dan sah, merupakan orang yang sesungguhnya memegang kendali pemerintahan. Bukan hanya untuk urusan pemerintahan, juga di dalam istana, ialah yang memegang kuasa penuh. Hanya kadang-kadang saja Kaisar Tang Kao Cung memperlihatkan sikap yang sesungguhnya, sikap seorang kaisar dan seorang suami, namun pada akhirnya, dialah yang kalah pengaruh dan tunduk kepada kemauan Sang Permaisuri.

Diri permaisuri itu diliputi penuh rahasia. Para pejabat tinggi yang setia kepada kaisar, mencemaskan keadaan itu, apa lagi setelah akhir-akhir ini timbul pembunuhan-pembunuhan rahasia terhadap beberapa orang pejabat tinggi dan pengeran, para menteri yang setia menjadi semakin gelisah. Akan tetapi, para pejabat tinggi yang “terpakai” oleh Bu Cek Thian, yang dipilih menjadi orang-orang yang dipercaya oleh Sang Permaisuri, tentu saja tidak merasa cemas, bahkan diam-diam mereka merasa girang sekali karena kepercayaan Sang Permaisuri kepada mereka membuat derajat dan kekuasaan mereka terangkat naik.

Demikian besar kekuasaan Bu Cek Thian atas diri kaisar sehingga namanya terkenal di dalam sejarah. Apalagi setelah ia melahirkan seorang putera, kekuasaannya menjadi semakin besar dan Kaisar semakin tunduk kepadanya. Hanya Bu Cek Thian atau Bu Houw atau dahulu disebut Bi Houw yang tahu, siapakah sebenarnya ayah kandung Pangeran Tiong Cung itu!

Tentu saja bagi kaisar sendiri dan umum, menganggap hahwa pangeran itu adalah putera kandung Kaisar Tang Kao Cung! Akan tetapi, sebelum melahirkan pangeran itu, diam-diam Bu Cek Thian yang sudah merasa tidak puas dengan suaminya, telah mengadakan hubungan dengan beberapa orang pria yang diselundupkan secara rahasia dari luar istana bagian puteri.

Bahkan seorang di antara mereka itu, termasuk seorang tukang taman muda she Ma yang kemudian tewas secara aneh karena suatu penyakit perut yang mendadak. Dan melihat betapa hidung pangeran Tiong Cung yang besar itu serupa benar dengan bentuk hidung mendiang penjaga taman Ma, diam-diam Bu Cek Thian sendiri menduga bahwa mungkin tukang taman itulah ayah kandung puteranya yang sebenarnya.

Kalau tadinya masih ada menteri yang suka memperingatkan kaisar terhadap Bu Cek Thian, setelah wanita itu melahirkan putera yang menjadi pangeran mahkota, tentu saja tidak ada lagi yang berani mencela wanita itu di depan kaisar atau siapapun juga. Kekuasaan Bu Cek Thian sebagai lbu Suri amatlah besarnya, dan sekali Ibu Suri ini menudingkan telunjuknya, siapa saja, tidak perduli betapapun besar kedudukannya, akan ditangkap, dihukum buang ataupun dihukum mati!

Ketika terjadi pembunuhan-pembunuban rahasia yang menggelisahkan Kaisar, Bu Cek Thian juga menjadi gelisah dan permaisuri ini yang mengusulkan kepada kaisar untuk mengutus Cian Ciang-kun, yaitu Cian Hui yang terkenal sebagai seorang detektip ulung dan pandai itu, untuk malakukan penyelidikan dan membongkar rahasia pembunuhan yang menggelisahkan itu.

Semua pejabat pemerintah, terutama sekali yang berkedudukan tinggi, menduga-duga siapakah pembunuh misterius itu, dan siapa pula yang berdiri di belakangnya. Memang sukar untuk menduga dan keadaannya membingungkan sekali.

Kalau yang terbunuh itu hanya orang-orang yang dekat dengan kaisar misalnya, tentu akan timbul dugaan bahwa pembunuh misterius dan pengaturnya tentulah orang yang tidak suka kepada kaisar dan orang yang ingin memereteli kekuasaan kaisar dengan menyingkirkan mereka yang membantu kaisar dan yang setia kepada kaisar. Akan tetapi pada kenyataannya, banyak pula pejabat tinggi yang terkenal anti dengan kebijaksanaan kaisar, yang bahkan condong membela dan mendukung kebijaksanaan Ibu Suri atau Permaisuri, juga terbunuh!

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis Episode Si Bayangan Iblis jilid 04 karya kho ping hoo

“Ih, kenapa rumahmu sesunyi ini, Cian Ciang-kun? Engkau seorang pejabat yang penting dan berpengaruh di kota raja, akan tetapi rumahmu yang besar ini amat sunyi. Aku hanya melihat beberapa orang pelayan saja di luar tadi dan di dalamnya begini sunyi dan lengang!” kata “nenek” tua itu yang bukan lain adalah Liong-li yang menyamar sebagai seorang nenek tua ketika memasuki kota raja bersama Cian Hui.

Ucapan itu keluar dari mulutnya ketika ia bersama tuan rumah itu sudah memasuki rumah gedung milik Cian Hui, dan mereka tiba di ruangan dalam, duduk berdua saja menghadapi sebuah meja marmer bundar. Cian Ciang-kun menarik napas panjang, pria berusia empat puluh tahun itu merasa seperti ditusuk jantungnya mendengar ucapan itu.

Ucapan yang amat tepat karena betapa seringnya dia merasakan kesunyian yang mencekam itu apa bila dia berada di dalam rumahnya. Begitu terasa kehilangan besar itu, kehilangan isteri dan anaknya, membuat dia merasa kesepian dan tidak berarti. Hanya kalau dia berada di luar rumahnya, sedang melakukan tugas, dia bebas dari rasa kesepian itu.

Memang hati dan akal pikiran ini selalu membutuhkan sesuatu untuk ditempel atau diikat. Kalau ada sesuatu yang dimiliki, barulah diri merasa ada artinya! Makin penting yang dimilikinya itu, makin berharga, akan semakin besar pula arti diri. Baik yang dimiliki itu berupa kedudukan, nama besar, harta benda, kepercayaan, atau orang-orang yang dicinta, apa saja yang mendatangkan kesenangan, maka hidup seakan-akan baru ada artinya karena membutuhkan dan dibutuhkan!

Inilah sebabnya, ikatan inilah yang mendatangkan rasa kecewa, sakit dan duka kalau kita ditinggalkan sesuatu yang kita miliki dan kita senangi itu, entah itu nama besar, kepopuleran, harta benda, orang yang disenangi, atau apa saja. Si-aku baru berarti dan “hidup” apa bila ada yang ditempeli atau diikatnya. Makin banyak ikatan, akan semakin hidup dan berarti rasanya! Kita lupa bahwa semua yang kita anggap, sebagai milik itu hanyalah aku-akuan saja, hanya sementara saja seolah-olah hanya dipinjamkan dan sekali waktu pasti akan berpisah dari kita.


“Aihh, habis mau bagaimana lagi, Li-hiap? Aku adalah seorang duda, kehilangan anak isteri. Dan untuk keperluanku seorang diri saja, cukup dengan bantuan dua orang pelayan pria dan seorang pelayan wanita yang kau lihat tadi,” kata Cian Hui.

Liong-li tersenyum dan karena ia tersenyum wajar, bukan senyum buatan sebagai pelengkap penyamaran, maka “nenek” itu kini nampak manis sekali! “Cian Ciang-kun, engkau seorang yang pandai dan cerdik, mengapa bicaramu seperti seorang kakek-kakek yang lemah dan putus asa saja? Engkau masih muda, engkau jantan dan gagah menarik, memiliki kedudukan yang baik, tidak kekurangan harta benda, juga berilmu, pandai ilmu silat dan juga menjadi seorang penyelidik yang terkenal. Kalau engkau kehendaki. banyaklah gadis cantik jelita yang ingin dan suka sekali menjadi isterimu. Engkau tinggal pilih saja dan kalau engkau mempunyai seorang isteri lagi, besar harapan engkau mempunyai keturunan dan membangun sebuah keluarga baru di dalam rumahmu ini.”

“Ah, cukuplah, Li-hiap. Apa yang kau ucapkan itu sudah diucapkan pula oleh banyak sahabatku. Dan akupun pernah mencoba untuk memilih-milih seorang wanita sebagai pengganti isteriku. Namun sampai sekarang belum juga berhasil! Kalau bukan ada sesuatu pada dirinya yang tidak kusenangi, atau ada suatu sikapnya yang tidak cocok denganku, tentu ia seorang yang kuanggap terlalu muda bagiku. Ahhh, semua usahaku sia-sia dan aku menjadi putus asa. Biarlah, aku tinggal menduda saja. Dan bagaimana dengan dirimu, Li-hiap? Jangan engkau hanya menasihati aku saja. Lihat dirimu! Engkau seorang yang cantik jelita, berilmu tinggi, kaya raya. Namun engkau tinggal membujang, tidak berumah tangga, tidak bersuami. Padahal mencari seorang wanita seperti engkau ini di dunia hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja! Kalau ada seorang wanita yang sepersepuluhmu saja baiknya, tentu aku sudah menikah lagi!”

“Ih, ngawur! Engkau terlalu memujiku dan merendahkan dirimu sendiri, Ciang-kun. Terus terang saja, akupun amat kagum dan suka padamu. Seperti engkau inilah seorang di antara para pria yang kuanggap hebat untuk dijadikan suami...”