Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 36 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MEREKA telah berada jauh dari tempat ramai, tiba di bagian yang sepi dari telaga, di dekat pantai yang penuh hutan dan bukit. Kalau Siauw-bin Ciu-kwi sudah mendarat di pantai itu, tentu akan sukar untuk menemukannya. Akan tetapi, perahu mereka jauh lebih cepat dan sebelum tiba di pantai, mereka sudah mengejar dekat.

“Siauw-bin Ciu-kwi, engkau hendak lari ke mana?” bentak Pek-liong.

“Kakek iblis, harta karun itu berikan saja kepada kami!” kata pula Liong-li sambil tersenyum.

Melihat bahwa tidak mungkin melarikan diri lagi dan bahwa dia harus melawan mati- matian kalau ingin menyelamatkan harta karun dan nyawanya, Siauw-bin Ciu-kwi menjadi marah bukan main. Dia lalu mengangkat peti hitam itu ke atas kepalanya.

“Kalau aku tidak bisa mendapatkan harta karun ini, maka orang lainpun tidak!” Berkata demikian, dia melemparkan peti itu ke atas dan ketika peti meluncur turun, dia menyambutnya dengan hantaman kedua tangannya.

“Brakkkk!!” Peti itu hancur berantakan dan isinyapun berhamburan jatuh ke dalam telaga dan sebentar saja semua isinya tenggelam dan lenyap.

“Engkau iblis keparat!” Liong-li membentak.

“Siauw-bin Ciu-kwi, engkau tidak akan terlepas dari tangan kami!” Pek-liong juga membentak.

Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. “Ha-ha-ha ha, kalian juga tidak kebagian apa-apa!”

Dua orang muda itu sudah berloncatan ke atas perahu di mana Siauw-bin Ciu-kwi berdiri dan datuk sesat inipun menyambut mereka dengan sabuk sutera merahnya. Liong-li dan Pek-liong menggerakkan pedang, dan karena perahu itu tidak besar, maka tentu saja Siauw-bin Ciu-kwi tidak dapat bergerak dengan leluasa. Perahupun terguncang dan ketika Siauw-bin Ciu-kwi menangkis pedang Pek-liong yang menyerang dari depan, dia tidak mampu menghindarkan diri lagi ketika dari belakangnya, Liong-li menusukkan pedang Hek-liong-kiam!

“Cappp...!” Pedang itu menembus punggung. Akan tetapi kakek yang amat kuat itu sudah membalik sehingga pedang itu terlepas dari pegangan tangan Liong-li dan masih tertinggal di punggung Siauw-bin Ciu-kwi!

Kini tangan kiri kakek itu mulur dan hendak mencekik Liong-li. Gadis perkasa ini mengelak dengan loncatan ke kiri, akan tetapi karena perahu itu kecil, loncatannya membuat ia jatuh ke dalam air.

Pada saat itu, pedang Pek-liong-kiam juga sudah meluncur dan menusuk lambung kakek itu, amblas sampai tembus. Kembali kakek itu membalik dengan kekuatan yang luar biasa sehingga pedang Pek-liong-kiam juga terlepas dari tangan Pek-liong dan tertinggal di lambung kakek itu.

Kakek itu menggerakkan sabuk suteranya, akan tetapi agaknya kini tenaganya sudah habis karena diapun terkulai dan roboh ke dalam perahunya, tak berkutik lagi karena ternyata nyawanya telah meninggalkan tubuhnya! Liong-li naik lagi ke perahu dengan pakaian basah kuyup. Ia saling pandang dengan Pek-liong dan wanita itu menarik napas panjang.

“Bukan main! Dia ini adalah seorang lawan yang amat tangguh!”

“Benar,” kata Pek-liong. “Sayang sekali kepandaian yang demikian tinggi itu dia pergunakan untuk kejahatan.” Mereka mencabut pedang masing-masing dari tubuh yang sudah tak mampu bergerak itu.

“Tai-hiap...!”

“Li-hiap...!”

Dua orang muda sakti itu menoleh dan mereka melihat kakak beradik itu sudah mengenakan pakaian menyelam, pakaian yang ketat mencetak tubuh mereka sehingga membuat Liong-li dan Pek-liong memandang dengan kagum.

“Kami akan menyelam dan mengumpulkan harta karun itu!” kata Sun Ting.

“Baiklah, dan kami akan mengubur dulu jenazah ini,” kata Liong-li.

Pek-liong kagum, akan tetapi tidak mengatakan sesuatu. Dia tahu bahwa di dasar hati wanita yang dipujanya ini terdapat suatu kelembutan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kehidupannya yang keras dan penuh bahaya. Mereka lalu mendayung perahu Siauw-bin Ciu-kwi itu ke pantai, kemudian menggali lubang dan mengubur jenazah bekas lawan itu dengan sederhana.

Kemudian mereka kembali ke tempat tadi. Ternyata kakak beradik itu telah beberapa kali menyelam dan berhasil mengumpulkan banyak barang berharga yang tadi berhamburan dari dalam peti harta karun. Seperti tidak disengaja saja, kalau dia timbul dari menyelam dan membawa barang emas intan, Sun Ting tentu berenang ke perahu di mana Liong-li berada. Adapun Cian Li, setelah muncul, berenang ke perahu yang sebuah lagi, di mana Pek-liong menantinya dengan senyum dan pandang mata kagum.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 36 karya kho ping hoo

Pek-liong pergi membeli makanan dan minuman karena penyelaman kakak beradik yang mengumpulkan harta karun yang berhamburan itu akan makan waktu sedikitnya tiga hari! Pada hari pertama itu, sudah terkumpul cukup banyak di dalam dua perahu. Setelah matahari condong ke barat, ketika Cian Li muncul sambil membawa kantung kain terisi beberapa buah benda emas dan naik ke perahu di mana Pek-liong sudah menanti, Pek-liong menerima kantung itu dan mengeluarkan isinya, ditumpuk di dalam perahu bersama barang lain yang sudah terkumpul selama sehari itu. Ketika Cian Li hendak meloncat lagi, dia memegang lengan gadis itu.

“Sudah cukup, Cian Li. Besok masih ada hari. Engkau sudah bekerja sejak tadi dan hari sudah menjelang senja. Kakakmu juga sudah mengaso,” kata Pek-liong tanpa melepaskan lengan yang dipegangnya. Betapa lembut dan hangat lengan itu, dan betapa di bawah kulit yang putih mulus itu tersembunyi kekuatan yang mengagumkan, kekuatan yang terhimpun melalui gerakan renang.

Ketika merasa betapa jari-jari tangan pendekar pujaannya itu tidak melepaskan lengannya, bahkan perlahan-lahan membelai dan naik ke siku, Cian Li marasa betapa seluruh bulu di tubuhnya meremang dan bangkit berdiri. “Di mana dia? Mana kakakku?” Ia mengalihkan perhatian sambil memandang ke arah perahu yang sebuah lagi, beberapa puluh meter dari situ. Tidak nampak seorangpun di perahu itu! “Eh, di mana kakakku dan di mana pula li-hiap?”

Pek-liong tertawa. “Mereka? Mereka di perahu!”

“Tapi tidak kelihatan dari sini!”

“Tentu saja, kalau kita berada di bilik perahu inipun tentu tidak akan kelihatan dari perahu mereka.”

Cian Li memandang lagi. Perahu yang di sana itu bergoyang-goyang, tanda bahwa memang ada orangnya, akan tetapi orangnya berada di dalam bilik perahu yang sempit, maka tidak nampak. Tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali, mulutnya menahan senyum dan ia tersipu. Pek-liong menariknya dan ia tidak menolak, bahkan menyambut mesra ketika Pek-liong mendekap tubuhnya yang masih basah itu dan membawanya ke dalam bilik perahu.

Sementara itu, di perahu yang lain, tadi Liong-li juga mencegah ketika Sun Ting menyelam lagi. “Besok saja lagi, Sun Ting. Jangan engkau terlalu lelah karena barang yang harus diambil dari dasar telaga masih banyak.”

Liong-li lalu masuk ke bilik perahu dan merebahkan dirinya. Ia menghela napas panjang, kagum memandang kepada Sun Ting. Bentuk tubuh pemuda itu membayang di balik pakaian renangnya yang ketat dan basah. Darah mudanya sudah sejak tadi bergolak melihat betapa otot-otot tubuh Sun Ting bergerak-gerak di bawah pakaian yang ketat itu, ketika pemuda itu naik turun perahu. Betapa indah dan jantannya!

“Aih, enak istirahat di sini, Sun Ting, terlindung dari panasnya matahari dan tidak kelihatan orang lain.”

Melihat wanita yang dipujanya itu, Sun Ting yang memang sudah jatuh cinta, menelan ludah. Dia merangkak menghampiri, dan suaranya gemetar ketika dia bertanya, “...enci bagaimana... bagaimana dengan luka di pinggulmu...?”

Melihat betapa pemuda itu sukar bicara, dan kedua tangan itu gemetar, Liong-li tersenyum manis. “Sudah agak sembuh, Sun Ting. Coba kau lihat sendiri.” Berkata demikian, Liong-li membalikkan tubuhnya, miring hampir menelungkup.

Dengan tangan gemetar Sun Ting mendekat, lalu meraba, “...boleh... boleh aku melihatnya?”

“Tentu saja, bukankah engkau yang dulu mengobatinya?”

Dengan kedua tangan gemetar Sun Ting menarik celana itu agak turun sehingga nampak pinggul yang berkulit putih mulus itu, pinggul yang membukit besar. Luka itu memang sudah sembuh dan kering, hanya tinggal bekasnya saja. Akan tetapi Sun Ting sudah tidak kuat menahan dirinya dan diapun menciumi pinggul itu, luka di pinggul itu.

“Enci... ah, enci... betapa indah pinggulmu...”

“Ih, anak nakal!” Liong-li membalik, lalu merangkul dan menarik tubuh Sun Ting sehingga mereka berdekapan.

Ketika Pek-liong dan Cian Li sudah saling dekap dan saling berciuman, Pek-liong merasa heran karena gadis dalam pelukannya itu menangis! “Cian Li, engkau kenapa? Mengapa engkau menangis?”

Cian Li mempererat rangkulannya dan menjawab lirih sambil menyembunyikan muka di leher pemuda itu, “Tidak apa-apa... aku... aku menangis karena bahagia, Hay-ko. Aku... aku sejak bertemu denganmu... aku telah jatuh cinta dan betapa aku mengharapkan dapat berada dalam pelukanmu seperti ini...”

Pek-liong menghela napas dan mengelus rambut kepala Cian Li. “Cian Li, sebelum kita melangkah lebih jauh, aku harus lebih dulu memperingatkanmu bahwa aku... aku tidak seperti yang kau harapkan, aku tidak seperti pria lain...”

Sekali ini Cian Li terkejut dan bangkit duduk, memandang wajah pemuda yang rebah telentang itu. “Apa... apa maksudmu, Hay-koko?”

“Engkau seorang gadis yang baik, Cian Li maka aku harus berterus terang kepadamu. Aku memang suka kepadamu, aku kagum kepadamu, akan tetapi hanya sampai di situ saja. Aku tidak mungkin menjadi suamimu. Nah, aku harus memberitahukan hal ini lebih dulu padamu. Aku tidak mau menghancurkan kebahagiaanmu. Nah, engkau sudah tahu sekarang..."

Sepasang mata itu terbelalak. “Tapi... tapi mengapa, koko? Kalau kita saling mencinta, kenapa kita tidak dapat menjadi suami isteri?”

Pek-liong menggeleng kepala. “Tidak mungkin! Aku tidak mau menikah, sekarang ini tidak dan belum! Hidupku masih penuh bahaya, aku tidak mau membawa seorang isteri dalam bahaya maut.”

“Tapi aku... aku mau, koko. Aku tidak takut menghadapi bahaya maut, asal berada di sampingmu!”

“Tidak, Cian Li. Sudah kujelaskan tidak dan harap jangan mendesakku. Aku sudah berterus terang, aku tidak ingin melihat engkau nanti kecewa dan kehilangan kebahagiaanmu. Nah, kita sudahi saja kemesraan ini dan kita menjadi saudara saja. Bagaimana?”

Pek-liong juga bangkit duduk. Mereka duduk berhadapan, saling pandang dan mata gadis itu masih basah air mata. Akan tetapi, tiba-tiba Cian Li menubruk dan merangkul Pek-liong sehingga pemuda ini jatuh dan rebah telentang lagi, Cian Li di atasnya. Gadis itu mencium mulut Pek-liong dan ia berbisik, “Aku tidak perduli... biar engkau tidak menjadi suamiku, aku tidak perduli... engkaulah satu-satunya pria yang kukagumi dan kucinta, aku... aku ingin... menjadi milikmu... saat ini...”

Pek-liong balas merangkul. “Engkau sungguh tidak akan menyesal?”

Cian Li memegang kepala pemuda itu dengan kedua tangannya, agak dijauhkan agar mereka dapat saling berpandangan. “Mengapa menyesal? Tidak! Aku ingin engkau yang menjadi pria pertama yang memiliki diriku...”

Mereka tidak bicara lagi. Demikianlah, selama tiga hari mereka berempat berada di perahu, masing-masing pasangan dalam sebuah perahu. Makanan dan minuman yang dibeli Pek-liong cukup untuk mereka, dan sudah dibagi menjadi dua.

********************

Pada sore hari ketiga, Pek-liong dan Liong-li menyuruh kakak beradik itu menghentikan penyelaman mereka. Biarpun tidak mungkin mengumpulkan seluruh isi peti harta karun itu dan mungkin masih ada yang tertinggal di dasar telaga, namun yang dapat dikumpulkan selama tiga hari itu sudah lebih dari pada cukup. Tak ternilai harganya dan mereka menjadi kaya raya!

Pada keesokan harinya, ketika terbangun dari tidurnya karena merasa kedinginan, Cian Li membuka mata dan berbisik lirih, “...Hay-koko...” tangannya merangkul akan tetapi tidak merasakan apa-apa. Ia membuka matanya. “Hay-ko...!”

Kosong dalam bilik perahu yang sempit itu, yang setiap malam selama tiga hari ini menjadi tempat ia bersama Pek-liong. Tidak ada jawaban. Bagaikan disengat laba-laba, karena menduga sesuatu, Cian Li bangkit duduk. “Hay-koko...??”

Kini suaranya terdengar mengandung kekhawatiran. Ia bangkit berdiri dan keluar dari dalam bilik perahu. Tidak nampak ada Pek-liong. Ia melihat sekeliling. Sunyi. Perahu yang sebuah lagi nampak tak jauh dari situ, dan kedua perahu mereka itu kini telah berada di pantai, tidak seperti kemarin, masih terapung di tengah telaga.

“Hay-koko...! Di mana engkau...??” Ia berteriak dan meloncat kedaratan.

“Li-moi...!”

Ia membalik, penuh harapan. Akan tetapi, yang memanggilnya adalah kakaknya sendiri, Kam Sun Ting yang berada di atas perahunya.

“Li-moi, kau ke sinilah!” kata pemuda itu sambil menggapai dengan tangan kiri, tangan kanannya memegang sebuah surat yang agaknya sedang dibacanya, Cian Li berlari menuju ke perahu kakaknya yang juga sudah menepi, lalu ia naik ke perahu.

“Bacalah surat ini, dan engkau akan mengerti,” katanya.

Dan Cian Li melihat betapa wajah kakaknya pucat sekali, matanya mengandung kecewa dan duka, bahkan ia melihat kakaknya seperti orang yang akan menangis! Ia merampas surat itu dan dibacanya.

Sun Ting dan Cian Li yang tercinta.

Karena waktunya sudah tiba, kami terpaksa meninggalkan kalian, untuk kembali ke tempat kami musing-masing dan kami meninggalkan sebagian harta karun dalam kantung-kantung di perahu. Pakailah untuk modal kalian hidup. Maafkan kami, kami bukan jodoh kalian. Carilah jodoh yang baik dan hiduplah berbahagia. jangan ingat kepada kami lagi. Kami akan selalu mengingat kalian sebagai pemuda dan gadis yang manis dan baik budi.

Selamat tinggal!
Hek-liong-li dan Pek-liong-eng


“Aiihh...!” Cian Li mengeluh panjang dan iapun menubruk kakaknya. “Koko... ah, koko... jadi dia benar meninggalkan aku...!”

Ia menangis tersedu-sedu di pundak kakaknya. Sun Ting hanya mengelus rambut kepala adiknya dan diapun menangis, tidak terisak, melainkan air mata menetes-netes keluar dari kedua matanya. Dia teringat akan kata-kata Liong-li semalam, ketika mereka berdua sebagai jawaban ketika dia menyatakan ingin menikah dengan wanita itu.

“Sun Ting, jangan merusak suasana. Ingatlah selalu hubungan kita selama tiga hari ini sampai kita mati, dan akan selalu menjadi kenangan indah. Kalau kita menikah, kenangan itu akan buyar dan lenyap. Aku tidak ingin terikat, tidak ingin menjadi isteri siapapun. Aku sayang padamu, titik. Hanya sekian saja, tidak ingin terikat denganmu. Kalau engkau ingin menikah, pilihlah seorang gadis yang baik. Aku tidak akan menjadi isteri yang baik, aku seorang petualang, hidupku penuh bahaya maut.”

Sun Ting menepuk-nepuk pundak adiknya. “Sudahlah, Li-moi. Mereka itu memang bukan orang-orang biasa. Sudah beruntung bagi kita bahwa mereka menyayang kita dan kita akan mengingat dan mengenang mereka sebagai sahabat-sahabat dan kekasih-kekasih yang amat kita kagumi dan sayang.”

Karena memang ia tahu bahwa Pek-liong pasti akan meninggalkannya, maka Cian Li dapat dihibur juga. Mereka menemukan dua kantung harta karun itu, di dalam perahu. Biarpun bagian itu hanya sepersepuluhnya, namun pada saat itu mereka telah menjadi orang-orang yang kaya raya!

Dengan harta itu mereka akan mampu membeli rumah besar, membuka toko yang besar. Atau kalau mereka menghendaki, mereka dapat membeli tanah seluas dusun mereka! Dan di samping harta karun itu, merekapun memiliki kenangan yang teramat manis, kenangan selama tiga hari tiga malam bersama orang yang pernah mereka cinta, dan yang takkan mungkin dapat mereka lupakan selama hidup mereka, biarpun kelak mereka akan bertemu jodoh dan sampai mereka menjadi ayah, ibu, kakek dan nenek!

********************

Sementara itu, jauh dari situ, Pek-liong dan Liong-li menunggang kuda masing-masing yang mereka beli di dekat telaga. Harta karun itu telah mereka bagi dan mereka simpan dalam kantung yang kini mereka gendong di punggung. Tadinya Pek-liong menolak.

“Untuk apa kau berikan sebagian harta karun itu padaku, Liong-li? Aku tidak membutuhkan harta karun! Kalau aku membutuhkan sesuatu, tidak sukar bagiku untuk mendapatkannya!”

Liong-li tersenyum. “Mencuri milik hartawan atau bangsawan? Hemm, memang baik saja akan tetapi kalau sampai ketahuan, tentu akan tersiar ke mana-mana bahwa Pek-liong-eng, pendekar yang terkenal menjadi pemberantas kejahatan itu ternyata hanyalah seorang pencuri atau perampok. Ihh, aku akan ikut merasa malu, Pek-liong! Sebaiknya engkau terima bagianmu dalam harta karun ini dan hidup berkecukupan. Dan ingat, kita bersama sudah bersumpah untuk menentang kejahatan dan pekerjaan itu kadang-kadang membutuhkan biaya yang cukup besar! Bawalah, belilah rumah yang cukup besar agar aku menjadi betah di rumahmu kalau datang berkunjung.”

Akhirnya Pek-liong menerimanya juga dan mereka membalapkan kuda meninggalkan Telaga Po-yang, telaga besar di mana mereka mengalami petualangan yang amat berbahaya, akan tetapi juga amat menguntungkan itu. Bukan hanya untung karena memperoleh harta karun yang tak terhitung besarnya, akan tetapi bertemu pula dengan seorang pemuda dan seorang gadis yang mereka sayang dan yang amat menyayang mereka pula. Setelah tiba di jalan simpang, mereka berhenti. Hari masih pagi sekali dan jalan itu masih sunyi. Keduanya turun dari atas kuda, lalu saling berhadapan.

“Pek-liong, kita berpisah di sini!”

Pek-liong mengerutkan alisnya. “Liong-li, baru saja kita saling bertemu, haruskah sudah berpisahan lagi. Apakah engkau tidak ingin berkunjung ke rumahku!”

“Hi-hik, nanti saja, kalau engkau sudah membangun rumah yang besar! Dan belum waktunya engkau berkunjung ke tempatku. Kita baru saja mengalami petualangan besar yang melelahkan dan kita perlu beristirahat. Mudah-mudahan segera muncul suatu pekerjaan baru yang akan dapat membawa kita bekerja sama pula menghadapinya. Nah, selamat berpisah, Pek-liong!” kata Liong-li sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada.

“Selamat berpisah, Liong-li,” jawab Pek-liong sambil memberi hormat pula.

Keduanya saling berpandangan dan seperti ditarik besi semberani, keduanya melangkah maju dan di lain saat mereka telah saling berpelukan. Tanpa berahi. Berpelukan seperti dua orang sahabat yang enggan berpisah. Pada saat mereka saling rangkul itu, dalam lubuk hati masing-masing timbul perasaan bahwa sebetulnya, pada perasaan yang paling mendalam, mereka itu saling memiliki! Betapa mudahnya bagi mereka berdua untuk membiarkan diri terseret oleh perasaan sehingga timbul nafsu yang akan menggelora, akan membakar segalanya.

Namun keduanya juga merasa bahwa kalau hal ini mereka biarkan, maka perasaan kasih sayang yang amat mendalam itu, saling memiliki itu, akan ikut pula terbakar. Oleh karena itu, Liong-li yang lebih dulu melepaskan rangkulannya dan iapun sekali meloncat sudah berada di atas punggung kudanya.

Pek-liong juga naik ke atas punggung kudanya dan merekapun membalapkan kuda masing-masing, hanya menoleh satu kali pada saat yang bersamaan! Kembali mereka heran dan juga gembira bahwa dalam saat seperti itupun, kontak antara mereka itu masih demikian kuatnya sehingga ketika menolehpun pada saat yang sama!

Mereka mengangkat tangan sebagai selamat berpisah, lalu membalapkan kuda masing-masing dengan menuju pulang ke tempat tinggal masing-masing. Pek-liong menuju dusun kecil di dekat kota Hang-kauw, tak jauh dari Telaga See-ouw. Sedangkan Liong-li pulang ke kota Lok-yang.

T A M A T

Episode Selanjutnya:
SI BAYANGAN IBLIS

Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 36

MEREKA telah berada jauh dari tempat ramai, tiba di bagian yang sepi dari telaga, di dekat pantai yang penuh hutan dan bukit. Kalau Siauw-bin Ciu-kwi sudah mendarat di pantai itu, tentu akan sukar untuk menemukannya. Akan tetapi, perahu mereka jauh lebih cepat dan sebelum tiba di pantai, mereka sudah mengejar dekat.

“Siauw-bin Ciu-kwi, engkau hendak lari ke mana?” bentak Pek-liong.

“Kakek iblis, harta karun itu berikan saja kepada kami!” kata pula Liong-li sambil tersenyum.

Melihat bahwa tidak mungkin melarikan diri lagi dan bahwa dia harus melawan mati- matian kalau ingin menyelamatkan harta karun dan nyawanya, Siauw-bin Ciu-kwi menjadi marah bukan main. Dia lalu mengangkat peti hitam itu ke atas kepalanya.

“Kalau aku tidak bisa mendapatkan harta karun ini, maka orang lainpun tidak!” Berkata demikian, dia melemparkan peti itu ke atas dan ketika peti meluncur turun, dia menyambutnya dengan hantaman kedua tangannya.

“Brakkkk!!” Peti itu hancur berantakan dan isinyapun berhamburan jatuh ke dalam telaga dan sebentar saja semua isinya tenggelam dan lenyap.

“Engkau iblis keparat!” Liong-li membentak.

“Siauw-bin Ciu-kwi, engkau tidak akan terlepas dari tangan kami!” Pek-liong juga membentak.

Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. “Ha-ha-ha ha, kalian juga tidak kebagian apa-apa!”

Dua orang muda itu sudah berloncatan ke atas perahu di mana Siauw-bin Ciu-kwi berdiri dan datuk sesat inipun menyambut mereka dengan sabuk sutera merahnya. Liong-li dan Pek-liong menggerakkan pedang, dan karena perahu itu tidak besar, maka tentu saja Siauw-bin Ciu-kwi tidak dapat bergerak dengan leluasa. Perahupun terguncang dan ketika Siauw-bin Ciu-kwi menangkis pedang Pek-liong yang menyerang dari depan, dia tidak mampu menghindarkan diri lagi ketika dari belakangnya, Liong-li menusukkan pedang Hek-liong-kiam!

“Cappp...!” Pedang itu menembus punggung. Akan tetapi kakek yang amat kuat itu sudah membalik sehingga pedang itu terlepas dari pegangan tangan Liong-li dan masih tertinggal di punggung Siauw-bin Ciu-kwi!

Kini tangan kiri kakek itu mulur dan hendak mencekik Liong-li. Gadis perkasa ini mengelak dengan loncatan ke kiri, akan tetapi karena perahu itu kecil, loncatannya membuat ia jatuh ke dalam air.

Pada saat itu, pedang Pek-liong-kiam juga sudah meluncur dan menusuk lambung kakek itu, amblas sampai tembus. Kembali kakek itu membalik dengan kekuatan yang luar biasa sehingga pedang Pek-liong-kiam juga terlepas dari tangan Pek-liong dan tertinggal di lambung kakek itu.

Kakek itu menggerakkan sabuk suteranya, akan tetapi agaknya kini tenaganya sudah habis karena diapun terkulai dan roboh ke dalam perahunya, tak berkutik lagi karena ternyata nyawanya telah meninggalkan tubuhnya! Liong-li naik lagi ke perahu dengan pakaian basah kuyup. Ia saling pandang dengan Pek-liong dan wanita itu menarik napas panjang.

“Bukan main! Dia ini adalah seorang lawan yang amat tangguh!”

“Benar,” kata Pek-liong. “Sayang sekali kepandaian yang demikian tinggi itu dia pergunakan untuk kejahatan.” Mereka mencabut pedang masing-masing dari tubuh yang sudah tak mampu bergerak itu.

“Tai-hiap...!”

“Li-hiap...!”

Dua orang muda sakti itu menoleh dan mereka melihat kakak beradik itu sudah mengenakan pakaian menyelam, pakaian yang ketat mencetak tubuh mereka sehingga membuat Liong-li dan Pek-liong memandang dengan kagum.

“Kami akan menyelam dan mengumpulkan harta karun itu!” kata Sun Ting.

“Baiklah, dan kami akan mengubur dulu jenazah ini,” kata Liong-li.

Pek-liong kagum, akan tetapi tidak mengatakan sesuatu. Dia tahu bahwa di dasar hati wanita yang dipujanya ini terdapat suatu kelembutan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kehidupannya yang keras dan penuh bahaya. Mereka lalu mendayung perahu Siauw-bin Ciu-kwi itu ke pantai, kemudian menggali lubang dan mengubur jenazah bekas lawan itu dengan sederhana.

Kemudian mereka kembali ke tempat tadi. Ternyata kakak beradik itu telah beberapa kali menyelam dan berhasil mengumpulkan banyak barang berharga yang tadi berhamburan dari dalam peti harta karun. Seperti tidak disengaja saja, kalau dia timbul dari menyelam dan membawa barang emas intan, Sun Ting tentu berenang ke perahu di mana Liong-li berada. Adapun Cian Li, setelah muncul, berenang ke perahu yang sebuah lagi, di mana Pek-liong menantinya dengan senyum dan pandang mata kagum.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 36 karya kho ping hoo

Pek-liong pergi membeli makanan dan minuman karena penyelaman kakak beradik yang mengumpulkan harta karun yang berhamburan itu akan makan waktu sedikitnya tiga hari! Pada hari pertama itu, sudah terkumpul cukup banyak di dalam dua perahu. Setelah matahari condong ke barat, ketika Cian Li muncul sambil membawa kantung kain terisi beberapa buah benda emas dan naik ke perahu di mana Pek-liong sudah menanti, Pek-liong menerima kantung itu dan mengeluarkan isinya, ditumpuk di dalam perahu bersama barang lain yang sudah terkumpul selama sehari itu. Ketika Cian Li hendak meloncat lagi, dia memegang lengan gadis itu.

“Sudah cukup, Cian Li. Besok masih ada hari. Engkau sudah bekerja sejak tadi dan hari sudah menjelang senja. Kakakmu juga sudah mengaso,” kata Pek-liong tanpa melepaskan lengan yang dipegangnya. Betapa lembut dan hangat lengan itu, dan betapa di bawah kulit yang putih mulus itu tersembunyi kekuatan yang mengagumkan, kekuatan yang terhimpun melalui gerakan renang.

Ketika merasa betapa jari-jari tangan pendekar pujaannya itu tidak melepaskan lengannya, bahkan perlahan-lahan membelai dan naik ke siku, Cian Li marasa betapa seluruh bulu di tubuhnya meremang dan bangkit berdiri. “Di mana dia? Mana kakakku?” Ia mengalihkan perhatian sambil memandang ke arah perahu yang sebuah lagi, beberapa puluh meter dari situ. Tidak nampak seorangpun di perahu itu! “Eh, di mana kakakku dan di mana pula li-hiap?”

Pek-liong tertawa. “Mereka? Mereka di perahu!”

“Tapi tidak kelihatan dari sini!”

“Tentu saja, kalau kita berada di bilik perahu inipun tentu tidak akan kelihatan dari perahu mereka.”

Cian Li memandang lagi. Perahu yang di sana itu bergoyang-goyang, tanda bahwa memang ada orangnya, akan tetapi orangnya berada di dalam bilik perahu yang sempit, maka tidak nampak. Tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali, mulutnya menahan senyum dan ia tersipu. Pek-liong menariknya dan ia tidak menolak, bahkan menyambut mesra ketika Pek-liong mendekap tubuhnya yang masih basah itu dan membawanya ke dalam bilik perahu.

Sementara itu, di perahu yang lain, tadi Liong-li juga mencegah ketika Sun Ting menyelam lagi. “Besok saja lagi, Sun Ting. Jangan engkau terlalu lelah karena barang yang harus diambil dari dasar telaga masih banyak.”

Liong-li lalu masuk ke bilik perahu dan merebahkan dirinya. Ia menghela napas panjang, kagum memandang kepada Sun Ting. Bentuk tubuh pemuda itu membayang di balik pakaian renangnya yang ketat dan basah. Darah mudanya sudah sejak tadi bergolak melihat betapa otot-otot tubuh Sun Ting bergerak-gerak di bawah pakaian yang ketat itu, ketika pemuda itu naik turun perahu. Betapa indah dan jantannya!

“Aih, enak istirahat di sini, Sun Ting, terlindung dari panasnya matahari dan tidak kelihatan orang lain.”

Melihat wanita yang dipujanya itu, Sun Ting yang memang sudah jatuh cinta, menelan ludah. Dia merangkak menghampiri, dan suaranya gemetar ketika dia bertanya, “...enci bagaimana... bagaimana dengan luka di pinggulmu...?”

Melihat betapa pemuda itu sukar bicara, dan kedua tangan itu gemetar, Liong-li tersenyum manis. “Sudah agak sembuh, Sun Ting. Coba kau lihat sendiri.” Berkata demikian, Liong-li membalikkan tubuhnya, miring hampir menelungkup.

Dengan tangan gemetar Sun Ting mendekat, lalu meraba, “...boleh... boleh aku melihatnya?”

“Tentu saja, bukankah engkau yang dulu mengobatinya?”

Dengan kedua tangan gemetar Sun Ting menarik celana itu agak turun sehingga nampak pinggul yang berkulit putih mulus itu, pinggul yang membukit besar. Luka itu memang sudah sembuh dan kering, hanya tinggal bekasnya saja. Akan tetapi Sun Ting sudah tidak kuat menahan dirinya dan diapun menciumi pinggul itu, luka di pinggul itu.

“Enci... ah, enci... betapa indah pinggulmu...”

“Ih, anak nakal!” Liong-li membalik, lalu merangkul dan menarik tubuh Sun Ting sehingga mereka berdekapan.

Ketika Pek-liong dan Cian Li sudah saling dekap dan saling berciuman, Pek-liong merasa heran karena gadis dalam pelukannya itu menangis! “Cian Li, engkau kenapa? Mengapa engkau menangis?”

Cian Li mempererat rangkulannya dan menjawab lirih sambil menyembunyikan muka di leher pemuda itu, “Tidak apa-apa... aku... aku menangis karena bahagia, Hay-ko. Aku... aku sejak bertemu denganmu... aku telah jatuh cinta dan betapa aku mengharapkan dapat berada dalam pelukanmu seperti ini...”

Pek-liong menghela napas dan mengelus rambut kepala Cian Li. “Cian Li, sebelum kita melangkah lebih jauh, aku harus lebih dulu memperingatkanmu bahwa aku... aku tidak seperti yang kau harapkan, aku tidak seperti pria lain...”

Sekali ini Cian Li terkejut dan bangkit duduk, memandang wajah pemuda yang rebah telentang itu. “Apa... apa maksudmu, Hay-koko?”

“Engkau seorang gadis yang baik, Cian Li maka aku harus berterus terang kepadamu. Aku memang suka kepadamu, aku kagum kepadamu, akan tetapi hanya sampai di situ saja. Aku tidak mungkin menjadi suamimu. Nah, aku harus memberitahukan hal ini lebih dulu padamu. Aku tidak mau menghancurkan kebahagiaanmu. Nah, engkau sudah tahu sekarang..."

Sepasang mata itu terbelalak. “Tapi... tapi mengapa, koko? Kalau kita saling mencinta, kenapa kita tidak dapat menjadi suami isteri?”

Pek-liong menggeleng kepala. “Tidak mungkin! Aku tidak mau menikah, sekarang ini tidak dan belum! Hidupku masih penuh bahaya, aku tidak mau membawa seorang isteri dalam bahaya maut.”

“Tapi aku... aku mau, koko. Aku tidak takut menghadapi bahaya maut, asal berada di sampingmu!”

“Tidak, Cian Li. Sudah kujelaskan tidak dan harap jangan mendesakku. Aku sudah berterus terang, aku tidak ingin melihat engkau nanti kecewa dan kehilangan kebahagiaanmu. Nah, kita sudahi saja kemesraan ini dan kita menjadi saudara saja. Bagaimana?”

Pek-liong juga bangkit duduk. Mereka duduk berhadapan, saling pandang dan mata gadis itu masih basah air mata. Akan tetapi, tiba-tiba Cian Li menubruk dan merangkul Pek-liong sehingga pemuda ini jatuh dan rebah telentang lagi, Cian Li di atasnya. Gadis itu mencium mulut Pek-liong dan ia berbisik, “Aku tidak perduli... biar engkau tidak menjadi suamiku, aku tidak perduli... engkaulah satu-satunya pria yang kukagumi dan kucinta, aku... aku ingin... menjadi milikmu... saat ini...”

Pek-liong balas merangkul. “Engkau sungguh tidak akan menyesal?”

Cian Li memegang kepala pemuda itu dengan kedua tangannya, agak dijauhkan agar mereka dapat saling berpandangan. “Mengapa menyesal? Tidak! Aku ingin engkau yang menjadi pria pertama yang memiliki diriku...”

Mereka tidak bicara lagi. Demikianlah, selama tiga hari mereka berempat berada di perahu, masing-masing pasangan dalam sebuah perahu. Makanan dan minuman yang dibeli Pek-liong cukup untuk mereka, dan sudah dibagi menjadi dua.

********************

Pada sore hari ketiga, Pek-liong dan Liong-li menyuruh kakak beradik itu menghentikan penyelaman mereka. Biarpun tidak mungkin mengumpulkan seluruh isi peti harta karun itu dan mungkin masih ada yang tertinggal di dasar telaga, namun yang dapat dikumpulkan selama tiga hari itu sudah lebih dari pada cukup. Tak ternilai harganya dan mereka menjadi kaya raya!

Pada keesokan harinya, ketika terbangun dari tidurnya karena merasa kedinginan, Cian Li membuka mata dan berbisik lirih, “...Hay-koko...” tangannya merangkul akan tetapi tidak merasakan apa-apa. Ia membuka matanya. “Hay-ko...!”

Kosong dalam bilik perahu yang sempit itu, yang setiap malam selama tiga hari ini menjadi tempat ia bersama Pek-liong. Tidak ada jawaban. Bagaikan disengat laba-laba, karena menduga sesuatu, Cian Li bangkit duduk. “Hay-koko...??”

Kini suaranya terdengar mengandung kekhawatiran. Ia bangkit berdiri dan keluar dari dalam bilik perahu. Tidak nampak ada Pek-liong. Ia melihat sekeliling. Sunyi. Perahu yang sebuah lagi nampak tak jauh dari situ, dan kedua perahu mereka itu kini telah berada di pantai, tidak seperti kemarin, masih terapung di tengah telaga.

“Hay-koko...! Di mana engkau...??” Ia berteriak dan meloncat kedaratan.

“Li-moi...!”

Ia membalik, penuh harapan. Akan tetapi, yang memanggilnya adalah kakaknya sendiri, Kam Sun Ting yang berada di atas perahunya.

“Li-moi, kau ke sinilah!” kata pemuda itu sambil menggapai dengan tangan kiri, tangan kanannya memegang sebuah surat yang agaknya sedang dibacanya, Cian Li berlari menuju ke perahu kakaknya yang juga sudah menepi, lalu ia naik ke perahu.

“Bacalah surat ini, dan engkau akan mengerti,” katanya.

Dan Cian Li melihat betapa wajah kakaknya pucat sekali, matanya mengandung kecewa dan duka, bahkan ia melihat kakaknya seperti orang yang akan menangis! Ia merampas surat itu dan dibacanya.

Sun Ting dan Cian Li yang tercinta.

Karena waktunya sudah tiba, kami terpaksa meninggalkan kalian, untuk kembali ke tempat kami musing-masing dan kami meninggalkan sebagian harta karun dalam kantung-kantung di perahu. Pakailah untuk modal kalian hidup. Maafkan kami, kami bukan jodoh kalian. Carilah jodoh yang baik dan hiduplah berbahagia. jangan ingat kepada kami lagi. Kami akan selalu mengingat kalian sebagai pemuda dan gadis yang manis dan baik budi.

Selamat tinggal!
Hek-liong-li dan Pek-liong-eng


“Aiihh...!” Cian Li mengeluh panjang dan iapun menubruk kakaknya. “Koko... ah, koko... jadi dia benar meninggalkan aku...!”

Ia menangis tersedu-sedu di pundak kakaknya. Sun Ting hanya mengelus rambut kepala adiknya dan diapun menangis, tidak terisak, melainkan air mata menetes-netes keluar dari kedua matanya. Dia teringat akan kata-kata Liong-li semalam, ketika mereka berdua sebagai jawaban ketika dia menyatakan ingin menikah dengan wanita itu.

“Sun Ting, jangan merusak suasana. Ingatlah selalu hubungan kita selama tiga hari ini sampai kita mati, dan akan selalu menjadi kenangan indah. Kalau kita menikah, kenangan itu akan buyar dan lenyap. Aku tidak ingin terikat, tidak ingin menjadi isteri siapapun. Aku sayang padamu, titik. Hanya sekian saja, tidak ingin terikat denganmu. Kalau engkau ingin menikah, pilihlah seorang gadis yang baik. Aku tidak akan menjadi isteri yang baik, aku seorang petualang, hidupku penuh bahaya maut.”

Sun Ting menepuk-nepuk pundak adiknya. “Sudahlah, Li-moi. Mereka itu memang bukan orang-orang biasa. Sudah beruntung bagi kita bahwa mereka menyayang kita dan kita akan mengingat dan mengenang mereka sebagai sahabat-sahabat dan kekasih-kekasih yang amat kita kagumi dan sayang.”

Karena memang ia tahu bahwa Pek-liong pasti akan meninggalkannya, maka Cian Li dapat dihibur juga. Mereka menemukan dua kantung harta karun itu, di dalam perahu. Biarpun bagian itu hanya sepersepuluhnya, namun pada saat itu mereka telah menjadi orang-orang yang kaya raya!

Dengan harta itu mereka akan mampu membeli rumah besar, membuka toko yang besar. Atau kalau mereka menghendaki, mereka dapat membeli tanah seluas dusun mereka! Dan di samping harta karun itu, merekapun memiliki kenangan yang teramat manis, kenangan selama tiga hari tiga malam bersama orang yang pernah mereka cinta, dan yang takkan mungkin dapat mereka lupakan selama hidup mereka, biarpun kelak mereka akan bertemu jodoh dan sampai mereka menjadi ayah, ibu, kakek dan nenek!

********************

Sementara itu, jauh dari situ, Pek-liong dan Liong-li menunggang kuda masing-masing yang mereka beli di dekat telaga. Harta karun itu telah mereka bagi dan mereka simpan dalam kantung yang kini mereka gendong di punggung. Tadinya Pek-liong menolak.

“Untuk apa kau berikan sebagian harta karun itu padaku, Liong-li? Aku tidak membutuhkan harta karun! Kalau aku membutuhkan sesuatu, tidak sukar bagiku untuk mendapatkannya!”

Liong-li tersenyum. “Mencuri milik hartawan atau bangsawan? Hemm, memang baik saja akan tetapi kalau sampai ketahuan, tentu akan tersiar ke mana-mana bahwa Pek-liong-eng, pendekar yang terkenal menjadi pemberantas kejahatan itu ternyata hanyalah seorang pencuri atau perampok. Ihh, aku akan ikut merasa malu, Pek-liong! Sebaiknya engkau terima bagianmu dalam harta karun ini dan hidup berkecukupan. Dan ingat, kita bersama sudah bersumpah untuk menentang kejahatan dan pekerjaan itu kadang-kadang membutuhkan biaya yang cukup besar! Bawalah, belilah rumah yang cukup besar agar aku menjadi betah di rumahmu kalau datang berkunjung.”

Akhirnya Pek-liong menerimanya juga dan mereka membalapkan kuda meninggalkan Telaga Po-yang, telaga besar di mana mereka mengalami petualangan yang amat berbahaya, akan tetapi juga amat menguntungkan itu. Bukan hanya untung karena memperoleh harta karun yang tak terhitung besarnya, akan tetapi bertemu pula dengan seorang pemuda dan seorang gadis yang mereka sayang dan yang amat menyayang mereka pula. Setelah tiba di jalan simpang, mereka berhenti. Hari masih pagi sekali dan jalan itu masih sunyi. Keduanya turun dari atas kuda, lalu saling berhadapan.

“Pek-liong, kita berpisah di sini!”

Pek-liong mengerutkan alisnya. “Liong-li, baru saja kita saling bertemu, haruskah sudah berpisahan lagi. Apakah engkau tidak ingin berkunjung ke rumahku!”

“Hi-hik, nanti saja, kalau engkau sudah membangun rumah yang besar! Dan belum waktunya engkau berkunjung ke tempatku. Kita baru saja mengalami petualangan besar yang melelahkan dan kita perlu beristirahat. Mudah-mudahan segera muncul suatu pekerjaan baru yang akan dapat membawa kita bekerja sama pula menghadapinya. Nah, selamat berpisah, Pek-liong!” kata Liong-li sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada.

“Selamat berpisah, Liong-li,” jawab Pek-liong sambil memberi hormat pula.

Keduanya saling berpandangan dan seperti ditarik besi semberani, keduanya melangkah maju dan di lain saat mereka telah saling berpelukan. Tanpa berahi. Berpelukan seperti dua orang sahabat yang enggan berpisah. Pada saat mereka saling rangkul itu, dalam lubuk hati masing-masing timbul perasaan bahwa sebetulnya, pada perasaan yang paling mendalam, mereka itu saling memiliki! Betapa mudahnya bagi mereka berdua untuk membiarkan diri terseret oleh perasaan sehingga timbul nafsu yang akan menggelora, akan membakar segalanya.

Namun keduanya juga merasa bahwa kalau hal ini mereka biarkan, maka perasaan kasih sayang yang amat mendalam itu, saling memiliki itu, akan ikut pula terbakar. Oleh karena itu, Liong-li yang lebih dulu melepaskan rangkulannya dan iapun sekali meloncat sudah berada di atas punggung kudanya.

Pek-liong juga naik ke atas punggung kudanya dan merekapun membalapkan kuda masing-masing, hanya menoleh satu kali pada saat yang bersamaan! Kembali mereka heran dan juga gembira bahwa dalam saat seperti itupun, kontak antara mereka itu masih demikian kuatnya sehingga ketika menolehpun pada saat yang sama!

Mereka mengangkat tangan sebagai selamat berpisah, lalu membalapkan kuda masing-masing dengan menuju pulang ke tempat tinggal masing-masing. Pek-liong menuju dusun kecil di dekat kota Hang-kauw, tak jauh dari Telaga See-ouw. Sedangkan Liong-li pulang ke kota Lok-yang.

T A M A T

Episode Selanjutnya:
SI BAYANGAN IBLIS