Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

“AKUPUN baru bertemu dengan mereka malam tadi. Akan tetapi terlalu panjang untuk diceritakan. Saudara Sun Ting, kita menghadapi komplotan penjahat yang amat kejam dan juga amat lihai. Bahkan aku tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa kita bertiga berada dalam ancaman bahaya maut! Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita bekerja sama.”

“Dengan adanya engkau, aku tidak takut ancaman bahaya, Hay-koko!” kata gadis itu sambil tersenyum manis, seolah untuk membuktikan bahwa ia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri

mendengar ucapan pendekar itu. “Kami akan merasa beruntung dapat bekerja sama denganmu, toako,” kata pula Sun Ting dengan sungguh hati.

Diapun mengerti bahwa setelah peristiwa dengan lima orang penjahat tadi, tentu keselamatan dia dan adiknya terancam bahaya karena mereka telah berani menentang Po-yang Sam-liong! Dan seperti juga adiknya, setelah dia menyaksikan kelihaian Pek-liong-eng, hatinya menjadi besar dan dia siap untuk membantu pendekar itu menentang gerombolan penjahat.

“Kalau begitu kita harus membagi tugas,” kata Pek-liong-eng. “Ketahuilah bahwa gerombolan penjahat ini memiliki banyak orang sakti, dan dipimpin oleh seorang di antara Kiu Lo-mo, para datuk sesat yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Oleh karena itu, untuk menghadapi mereka, aku harus mendapat bantuan seorang sahabat baikku dan aku minta agar engkau yang menyampaikan suratku kepadanya untuk mengundangnya, saudara Sun Ting.”

Sun Ting mengangguk-angguk mengerti. “Siapakah dia dan di mana tempat tinggalnya?”

“Ia seorang pendekar wanita perkasa, bernama Lie Kim Cu dengan julukan Hek-liong-li, bertempat tinggal di kota Lok-yang. Rumahnya di sudut barat kota, di tepi jalan raya. Rumah itu mudah dicari karena di depannya terdapat sebuah kolam ikan dengan arca besar seorang puteri menunggang angsa, di tengah kolam yang penuh dengan bunga teratai.”

“Baik, toako. Akan kucari dan kuserahkan suratmu kepadanya,” kata Sun Ting yang diam-diam merasa heran sekali mendengar bahwa sahabat baik pendekar itu yang hendak diajak menentang para penjahat lihai adalah seorang wanita.

Pek-liong lalu membuat surat singkat dan menyerahkannya kepada Sun Ting sambil berkata, “Engkau berangkatlah sekarang juga.bBiarkan nona Cian Li di sini bersamaku. Kalau pergi berdua, akan menyolok dan menarik perhatian. Pula, aku ingin nona... eh, adik Cian Li bersikap biasa saja, pulang ke rumah untuk memancing mereka. Jangan khawatir, aku akan melindunginya.”

Kakak beradik itu mengangguk, kemudian Kam Sun Ting lalu pergi meninggalkan mereka. Setelah kakaknya pergi, Cian Li memandang kepada pendekar itu. “Hay-ko, lalu apa yang menjadi tugasku? Berilah aku tugas karena akupun ingin sekali membantumu.”

Pek-liong-eng tersenyum memandang gadis itu. “Engkau pulanglah, Li-moi. Engkau bersikaplah biasa agar tidak mencurigakan, dan bawalah hasil selamanmu tadi pulang, kemudian lakukan pekerjaanmu sehari-hari seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.”

Gadis itu mengerutkan alisnya dan pandang matanya yang jeli itu nampak kecewa. “Akan tetapi aku aku ingin sekali membantumu, Hay-ko!”

Pemuda itu tersenyum ramah. “Justeru sikapmu yang wajar dan biasa itulah yang akan banyak membantu padaku.”

“Akan tetapi engkau... engkau sendiri hendak ke mana?”

“Aku akan melakukan penyelidikan.”

“Aku ikut...!”

“Jangan, Li-moi. Pekerjaan ini berbahaya bukan main, dan kalau engkau pulang dan bersikap biasa, hal itu amat menolongku, Li-moi. Engkau percayalah saja padaku!”

Biarpun hatinya diliputi kekecewaan karena ia ingin sekali selalu berdekatan dengan pemuda itu, dan iapun siap untuk menempuh bahaya yang bagaimana besarpun asal berada di samping Pek-liong-eng, namun Kam Cian Li tidak berani membantah lagi.

“Baiklah, Hay-ko. Nah, aku akan pulang sekarang...” iapun memandang tajam dan sejenak pandang matanya melekat pada mata Pek-liong-eng, kemudian gadis itu membalikkan tubuh dan melangkah pergi ke arah telaga.

Langkahnya gontai dan Pek-liong-eng memandang kagum. Gadis itu memang memiliki bentuk tubuh yang hebat, pikirnya, akan tetapi dia lalu membayangkan bahaya yang mungkin sekali mengancam Cian Li, maka dengan sigap diapun meloncat pergi.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 27 karya kho ping hoo

Rumah gedung itu tidak terlalu besar dan megah, akan tetapi mungil sekali. Temboknya bersih dan semua tanaman di halaman rumah yang luas itu terawat rapi. Bermacam bunga sedang mekar dan di tengah halaman itu nampak sebuah kolam ikan yang berbentuk bulat dengan garis tengah kurang lebih empat meter. Banyak bunga teratai tumbuh di kolam ikan dan di tengah-tengahnya terdapat arca batu, seorang puteri menunggang angsa putih yang besar.

Dengan jantung berdebar karena girang, Kam Sun Ting memasuki halaman itu. Sunyi saja di situ, tidak nampak seorangpun. Dia masih terheran-heran dan juga sangsi, mengapa jagoan yang diundang oleh Pek-liong-eng Tan Cin Hay hanyalah seorang wanita! Betapapun pandainya seorang wanita, apa artinya kalau menghadapi gerombolan penjahat seperti Po-yang Sam-liong dan kawan-kawannya?

Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya seorang wanita berbaju hijau. Wanita ini masih muda, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, cantik dan segar, tanpa hanyak riasan, pakaiannya sederhana dan ringkas. Entah dari mana munculnya wanita itu, seperti setan saja! Inikah orang yang dicarinya? Dia cepat memberi hormat, sedangkan wanita itu dengan sinar mata tajam mengamatinya penuh selidik.

“Maafkan saya. Akan tetapi, benarkah saya berada di halaman rumah tempat tinggal Hek-liong-li Lie Kim Cu?”

Wanita baju hijau itu mengerutkan alisnya mendengar disebutnya Hek-liong-li Lie Kim Cu. “Siapakah engkau dan ada keperluan apakah mencari Hek-liong-li?”

Melihat sikap angkuh itu, Sun Ting menjadi agak bingung. “Maaf, saya hanyalah seorang suruhan. Saya datang membawa surat dari Pek-liong-eng Tan Cin Hay untuk disampaikan kepada Hek-liong-li Lie Kim Cu.”

“Ahhh...!” Sepasang mata yang jeli itu terbelalak dan wajahnya segera berubah. Lenyaplah kecurigaan dan keangkuhannya, lalu ia menoleh dan berseru dengan suara melengking nyaring, “Sam-moi...! Kesinilah, ada tamu!”

Sun Ting ikut menengok dan ia terkejut ketika tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu di situ sudah muncul seorang gadis lain yang berpakaian merah. Gadis ini usianya beberapa tahun lebih muda dari pada gadis baju hijau, nampak cantik dan segar, dengan senyum yang manis.

“Tamu dari mana, toa-ci (kakak tertua)?” tanya gadis baju merah sambil menatap wajah tampan Sun Ting dengan penuh selidik.

“Dia adalah utusan Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih), membawa surat beliau untuk Hek-liong-li-hiap (Pendekar Wanita Naga Hitam)! Cepat hadapkan dia, kalau berlambat-lambat kau akan kena marah nanti! Ingat, setiap berita yang datang dari Pek-liong-enghiong harus disampaikan secepat mungkin!”

“Baik, toa-ci. Marilah, kongcu (tuan muda), mari kuantarkan menghadap Li-hiap,” kata si baju merah sambil melepas senyum manisnya.

“Terima kasih,” kata Sun Ting dengan jantung semakin berdebar. Kiranya dua orang gadis cantik itu hanya semacam pembantu saja dari orang yang berjuluk Pendekar Wanita Naga Hitam itu! Kalau pembantu-pembantunya saja seperti ini, lalu seperti apakah pendekar wanita itu? Seorang nenek-nenek tua yang menyeramkan? Seorang wanita setengah tua yang genit? Atau mungkinkah seorang gadis pula?

Dia melangkah mengikuti gadis baju merah itu memasuki lorong dalam rumah yang ternyata dalamnya juga bersih dan terawat rapi, hawanya segar karena banyak jendelanya dan di setiap sudut terdapat sebuah pot bunga atau jambangan terisi tanaman. Akan tetapi gadis baju merah itu mengajaknya terus menuju ke sebuah bangunan samping dan setiba mereka di pintu bangunan itu, gadis baju merah menaruh telunjuknya di depan mulutnya sambil menoleh kepada Sun Ting.

Mereka kini berdiri di ambang pintu dan Sun Ting menjadi penonton dari adegan yang amat menarik dan mengagumkan hatinya. Bangunan itu ternyata merupakan sebuah ruangan berlatih silat yang luas dan terbuka. Di sudut nampak berbagai macam alat olah raga dan senjata untuk berlatih silat dan dia melihat di ruangan itu terdapat seorang wanita yang dikepung oleh tujuh orang wanita lain.

Wanita itu berdiri tegak, sedang tujuh orang yang mengepungnya memasang kuda-kuda, dan mereka itu memegang senjata, ada pedang, golok, tombak dan cambuk. Adapun wanita yang dikepung itu bertangan kosong, sikapnya tenang sekali. Kam Sun Ting memandang dengan penuh perhatian. Tujuh orang wanita pengepung itu rata-rata cantik dan usia mereka antara dua puluh tiga sampai tigapuluh tahun, tubuh mereka ramping dan gesit, seperti gadis baju hijau dan baju merah yang mengantarnya itu. Akan tetapi, ketika dia melihat wanita yang berada di tengah, yang dikepung, dia melongo!

Wanita itu berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun. Pakaiannya dari sutera serba hitam yang ketat dan ringkas, dan warna hitam ini membuat kulit muka, leher dan tangannya nampak semakin putih mulus. Wajahnya bulat telur kecil dengan dagu meruncing. Mulutnya kecil dengan bibir yang agaknya selalu tersenyum, bibir yang merah membasah.

Senyum yang tersungging itu dihias lesung pipit yang tidak terlalu dalam, dan tahi lalat kecil di atas pipi, di bawah mata kirinya, menambah kemanisannya. Seorang gadis yang luar biasa cantik jelita dan manisnya. Rambutnya yang hitam tebal itu disanggul tinggi ke atas, dihias tusuk sanggul perak berukir seekor naga kecil di atas bunga teratai. Seorang wanita yang luar biasa!

“Kalian mulailah!” tiba-tiba bibir yang tersenyum dan merah basah itu berseru lirih dan mulailah tujuh orang wanita pengepung itu menerjang dan menyerang gadis pakaian hitam dengan senjata mereka.

Sun Ting terkejut bukan main. Celaka, pikirnya. Tujuh orang gadis itu menyerang. Sungguh-sungguh dan gerakan mereka rata-rata gesit dan kuat! Bagaimana mungkin gadis jelita berpakaian hitam itu akan mampu bertahan? Setidaknya ia tentu akan menderita luka!

“Heiii, tahan...! Sungguh tidak adil, tujuh orang bersenjata mengeroyok seorang yang tidak memegang senjata!” teriak Sun Ting tanpa dapat dicegah lagi dan diapun melompat ke dalam ruangan itu.

Si baju merah terkejut, namun sudah terlambat karena pemuda itu sudah meloncat masuk.

“Tahan...!” Si dara berpakaian serba hitam itu berseru dan tujuh orang pengeroyoknya menahan senjata. Kini wanita itu memandang kepada Sun Ting, kemudian kepada gadis baju merah yang kini sudah menjatuhkan diri berlutut.

“Hemm, Sam-hwa, apa artinya ini?” wanita itu membentak, suaranya merdu akan tetapi penuh wibawa.

“Maaf, Lihiap... dia... dia adalah utusan dari Pek-liong-enghiong yang membawa surat untuk Lihiap. Saya... saya melihat lihiap sedang siap berlatih, maka tidak berani mengganggu dan hendak menunggu sebentar. Tak saya sangka dia... dia...”

Berubahlah sikap gadis berpakaian hitam itu. Wajahnya menjadi cerah dan dipandangnya wajah Sun Ting dan seketika ia sudah memaafkan sikap pemuda itu tadi. Diam-diam hatinya merasa geli melihat betapa sahabat baiknya, Pek-liong-eng Tan Cin Hay telah menyuruh seorang pemuda yang begitu bodoh sehingga mengganggu latihannya.

Bagaimanapun juga, ia memandang kagum. Pemuda itu tampan dan bertubuh tegap sekali, dan melihat betapa dia tadi mencela para pembantunya yang dianggapnya hendak mengeroyoknya, menunjukkan bahwa betapapun bodohnya, pemuda ini memiliki watak yang gagah! Ia lalu maju menghampiri, sedangkan Sun Ting sudah menjadi merah mukanya mendengar ucapan gadis baju merah tadi. Kiranya gadis berpakaian hitam inilah orang yang dicarinya, dan ternyata bahwa tujuh orang gadis pengepung yang mengeroyok tadi hanyalah merupakan latihan saja!

Cepat dia memberi hormat. “Maafkan kalau saya tadi mengganggu latihan Lihiap. Akan tetapi saya tidak tahu... ah, apakah Lihiap, yang bernama Hek-liong-li Lie Kim Cu?”

Wanita itu memang benar Hek-liong-li Lie Kim Cu. “Benar, akulah orangnya.”

“Sekali lagi maaf! Karena Hay-toako, eh... maksud saya Pek-liong-eng tidak menceritakan keadaan Lihiap, karena tergesa-gesa, maka saya tidak mengenal Lihiap dan telah bersikap lancang. Saya datang untuk menyerahkan surat ini kepada Lihiap.” Dia cepat mengeluarkan surat itu dari saku bajunya.

Hek-liong-li mengangguk dan tersenyum. Ternyata tidak bodoh, pikirnya dan ia merasa semakin suka kepada utusan sahabatnya itu. Ia lalu membuka surat itu dan membacanya dengan tenang.

“Harap engkau suka datang untuk bersamaku menghadapi Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo dengan kaki tangannya, dan membongkar rahasia Patung Emas. Menarik sekali, sudah banyak jatuh korban.”

Sampaijumpa,
Pek-liong-eng.


Sementara wanita itu membaca surat, Kam Sun Ting mengamatinya penuh perhatian dan dia menjadi semakin kagum saja. Segala-galanya pada wanita itu nampak kematangan yang mengagumkan. Memang, usianya tentu tidak akan lebih dari dua puluh tiga tahun, akan tetapi sikapnya, gerak-geriknya, bentuk tubuhnya, pandang mata dan senyumnya, sungguh membayangkan kematangan seorang wanita, bagaikan setangkai bunga yang mekar sepenuhnya dan sedang harum-harumnya!

Memang penilaian Sun Ting ini tidak jauh meleset dari kenyataannya. Wanita itu adalah seorang wanita yang sudah matang, baik ilmu silatnya, maupun kewanitaannya dan pengalamannya segudang! Ia bernama Lie Kim Cu, berusia dua puluh empat tahun dan ia dikenal sebagai Hek-liong-li (Dewi Naga Hitam).

Sejak remaja puteri berusia enam belas tahun, ia telah menderita dengan hebat. Ayahnya seorang pembesar di Lok-yang, akan tetapi ayahnya tergila-gila perjudian, melakukan korupsi dan akhirnya dia dihukum buang dan membunuh diri di tengah jalan. Adapun Lie Kim Cu sendiri, oleh ayahnya telah dijual atau untuk pembayaran hutang kepada Pangeran Coan Siu Ong di Lok-yang. Lie Kim Cu diperkosa, ia mengamuk dan akhirnya dijual oleh pangeran yang marah itu ke rumah pelacuran.

Di rumah pelacuran ini Kim Cu disiksa dan dipaksa untuk menjadi pelacur, melayani belasan orang laki-laki! Akhirnya, ia berhasil melarikan diri dan ia ditolong oleh seorang datuk sesat yang amat sakti, yaitu yang bernama Huang-ho Kui-bo dan dari nenek sakti ini ia mewarisi banyak ilmu silat yang tinggi sehingga membuatnya menjadi seorang wanita yang sakti!

Lie Kim Cu telah menjadi seorang wanita yang hebat setelah mempelajari ilmu selama enam-tujuh tahun. Ia menghajar para pria yang pernah mempermainkan dirinya. Bahkan ia kemudian menentang Hek-sim Lo-mo, seorang datuk sesat, seorang di antara Kiu Lo-mo bekerja sama dengan Pek-liong-eng Tan Cin Hay. Dan sejak mereka berdua berhasil membasmi dan membinasakan Hek-sim Lo-mo, nama kedua orang pendekar muda ini menjadi amat terkenal!

Ada hubungan istimewa antara Lie Kim Cu dan Tan Cin Hay, atau antara Si Naga Hitam dan Si Naga Putih ini. Selain mereka berdua telah mewarisi sepasang pedang yang ampuh, yaitu Pedang Naga Hitam yang jatuh ke tangan Kim Cu dan Pedang Naga Putih yang jatuh ke tangan Cin Hay, juga keduanya mempunyai perasaan kasih sayang luar biasa terhadap satu sama lain.

Perasaan senasib sependeritaan, sepaham dan segolongan, menumbuhkan suatu pertalian batin, suatu rasa kasih sayang yang luar biasa, lebih mendalam dari pada kasih sayang antara saudara, bahkan antara kekasih. Namun, keduanya tidak pernah membiarkan diri melangkah lebih dekat, tidak membiarkan nafsu berahi memasuki perasaan kasih di antara mereka.

Karena mereka khawatir bahwa sekali nafsu berahi masuk dan mereka menjadi kekasih, maka pertalian batin yang penuh kesetia-kawanan dan senasib itu akan menjadi berubah atau luntur! Mereka berhasil, membasmi gerombolan Hek-sim Lo-mo dan saling berpisah, akan tetapi mereka saling berjanji akan memberi kabar kalau yang satu membutuhkan bantuan yang lain.

Hek-liong-li Lie Kim Cu tinggal di Lok-yang, bersama sembilan orang gadis yang menjadi pembantu-pembantunya, juga anak buahnya. Mereka dilatihnya dengan ilmu silat, dan rata-rata mereka memiliki kecerdikan sehingga menjadi serba guna. Di Lok-yang dan sekitarnya, ia terkenal sebagai Hek-liong-li dan biarpun ia tidak mengangkat diri menjadi seorang pendekar, namun nama besarnya membuat para tokoh jahat menjadi gentar dan Lok-yang dan sekitarnya menjadi aman karena tidak ada penjahat berani bermain gila di wilayah yang dipengaruhi nama Hek-liong-li!

Demikianlah, maka Hek-liong-li tidak jadi marah dan perhatiannya segera tertarik ketika mendengar bahwa pemuda tampan ganteng itu adalah utusan Pek-liong-eng dan ketika membaca surat Pek-liong-eng, wajahnya segera berubah berseri-seri. Bekerja sama lagi dengan Pek-liong-eng menghadapi musuh-musuh tangguh! Apa lagi musuh itu seorang di antara Kiu Lo-mo! Tidak ada kesenangan yang lebih mengasyikkan dari pada bekerja sama antara mereka berdua menghadapi musuh-musuh yang jahat dan tangguh!

“Bagus! Terima kasih, saudara... eh, siapakah namamu?” kata Hek-liong-li kepada Kam Sun Ting.

“Nama saya Kam Sun Ting, lihiap, tinggal di dekat Telaga Po-yang.”

“Surat dari Pek-liong-eng telah kuterima dan kubaca dan kita segera berangkat sekarang juga ke sana setelah aku menyelesaikan latihanku. Kau duduklah sebentar di bangku sana. Sam-hwa, sediakan minuman untuk tamu!”

Sun Ting mengangguk dan segera duduk di atas sebuah bangku di dekat dinding, sedangkan Hek-liong-li sudah berdiri lagi di tengah ruangan, dikepung tujuh orang pembantunya. Sam-hwa, si baju merah, pergi mengambilkan minuman untuknya. Ketika Sam-hwa datang, lagi membawa minuman, latihan silat itu telah dimulai dan Sun Ting hampir tidak menyentuh minuman yang disuguhkan karena dia tidak pernah berkedip menonton latihan silat itu.

Bukan main! Tujuh orang wanita itu melakukan serangan yang sungguh-sungguh. Bermacam senjata tajam dan runcing berkelebatan dan menyambar-nyambar ke arah tubuh Hek-liong-li. Akan tetapi wanita berpakaian hitam ini menggerakkan tubuhnya secara aneh, kedua kakinya melangkah ke sana-sini, bergeser ke depan belakang, kanan kiri, dan semua serangan itu tidak mengenai sasaran sedikitpun juga!

Kemudian, Hek-liong-li mengeluarkan suara melengking nyaring. Tujuh orang pembantunya maklum bahwa majikan dan juga guru mereka akan membalas serangan. Mereka bersiap siaga dan memutar senjata, berjaga diri baik-baik. Namun, tiba-tiba tubuh Hek-liong-li berkelebatan dan lenyap, hanya nampak bayangan hitam berkelebatan ke sana sini dan nampak seorang demi seorang para pengeroyok itu terhuyung, senjata mereka terpental dan dalam waktu sebentar saja, mereka semua telah terhuyung atau terlempar dan semua senjata terlepas dari tangan!

Hek-liong-li menghentikan gerakannya. Ada sedikit keringat di dahinya yang putih mulus, akan tetapi pernapasannya biasa saja, hanya dada yang membusung itu agak naik turun bergelombang.

Sun Ting masih bengong. Alangkah indahnya gerakan tubuh Hek-liong-li tadi, pikirnya. Seolah-olah dia dapat melihat otot-otot halus bergerak-gerak hidup di bawah pakaian hitam ketat itu, dan dari gerakan halus itu, dari ke dua tangan yang lembut itu, agaknya memancar kekuatan yang luar biasa. Akhirnya, ketika wanita itu tersenyum kepadanya, mukanya berubah merah sekali. Dan dia tadi bersikap gagah-gagahan mencegah tujuh orang itu mengeroyok Hek-liong-li!

Betapa lucunya, betapa memalukan. Untuk menutupi rasa malunya, diapun lalu bertepuk tangan memuji. Karena lupa bahwa dia masih memegang cawan arak, maka ada arak tertumpah menimpa celananya sehingga dia memakin tersipu. Tujuh orang pembantu itu keluar setelah memungut senjata masing-masing. Kini Hek-liong-li berdua saja dengan Sun Ting. Wanita itu masih tersenyum geli.

“Saudara Kam Sun Ting, minumlah araknya!”

“Ah, terima kasih, lihiap. Latihan tadi sungguh... sungguh hebat sekali.”

“Ah, engkau terlalu memuji! Bukankah engkau seringkali melihat Pek-liong-eng berlatih silat dan tentu latihannya lebih hebat lagi?”

Sun Ting menggeleng kepalanya. “Sayang sekali tidak begitu, lihiap. Terus terang saja, saya dan adik saya baru saja berkenalan dengan Pek-liong-eng dan saya tidak sempat menyaksikan kelihaian ilmu silatnya. Saya dan adik saya adalah penyelam di Telaga Po-yang, mencari batu-batu berharga yang menjadi mata pencaharian kami, ketika kami diserang orang jahat dan ditolong oleh Pek-liong-eng.” Dengan singkat Sun Ting menceritakan peristiwa itu.

Hek-liong-li mendengarkan penuh perhatian. Mendengar akan tewasnya seorang hwesio dan seorang tosu di hutan, serangan terhadap kakak beradik itu, iapun menjadi tertarik sekali. Ia mengamati pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Ganteng dan bertubuh kokoh kuat.

“Hemm, bagaimanapun juga, tentu engkau jauh lebih pandai dari pada aku kalau berada di air!”

Sun Ting tersenyum dan nampak deretan giginya yang bagus dan bersih, juga kuat. “Ah, menyelam dan renang adalah pekerjaan kami sejak kami masih kecil, li-hiap. Akan tetapi mengenai ilmu silat, kami kakak beradik hanya diajar sedikit saja oleh mendiang ayah kami.”

“Hal itu masih harus dibuktikan kelak. Mari kita berangkat, saudara Kam Sun Ting. Kita berkuda saja agar dapat cepat tiba di sana.”

Iapun bertepuk tangan dan dua orang pelayan atau pembantunya muncul. Mereka diutus untuk menyediakan dua ekor kuda yang baik sementara Hek-liong-li mengajak tamunya untuk makan bersama. Sun Ting menjadi semakin kagum. Makin dikenal, makin banyak hal-hal mengagumkan pada diri wanita itu. Begitu ramah, dan juga tidak banyak peraturan sehingga mereka berdua makan minum di dalam ruangan makan dengan bebas, bagaikan dua orang sahabat lama saja.

Wanita itu sama sekali tidak merasa canggung, bahkan dia sendirilah yang agak salah tingkah, karena selamanya belum pernah dia berdekatan dengan seorang wanita, apa lagi wanita secantik itu, bahkan makan bersama! Hal inipun diketahui Hek-liong-li yang menjadi semakin tertarik. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang gagah, jujur dan masih hijau, agaknya belum pernah berdekatan dengan seorang wanita.

Kemudian berangkatlah mereka menunggang kuda dan di sepanjang perjalanan. Hek- liong-li minta penjelasan lebih lanjut tentang semua peristiwa yang terjadi dan yang diketahui oleh pemuda itu. Sikapnya demikian ramah dan manis sehingga tak lama kemudian mereka telah menjadi akrab, bahkan kadang-kadang Kam Sun Ting lupa bahwa dia melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang selain cantik jelita juga amat perkasa, diharapkan oleh pendekar Pek-liong-eng untuk membantunya menghadapi gerombolan penjahat yang kejam dan lihai sekali!

********************

Hati Kam Cian Li agak kecewa. Selama hidupnya, sampai kini berusia sembilan belas tahun, belum pernah ia jatuh hati kepada seorang pria dan baru sekaranglah ia benar-benar amat kagum dan tertarik kepada seorang pemuda. Biarpun ia dan kakaknya baru saja mengalami hal yang amat berbahaya dan kini bahkan keselamatan dirinya terancam, namun ia tidak merasa gentar sedikitpun juga. Ia bukan seorang gadis penakut. Bahaya bukanlah hal asing baginya. Pekerjaannya sebagai gadis penyelam selalu diliputi bahaya. Akan tetapi sekarang ia merasa amat kecewa. Ia disuruh pulang seorang diri.

Kakaknya diberi tugas mengundang seorang sababat yang lihai dari Pek-liong-eng, dan pendekar itu sendiri katanya akan melakukan penyelidikan terhadap gerombolan penjahat yang hendak membunuh ia dan kakaknya tadi. Akan tetapi ia sendiri, ia disuruh pulang tanpa tugas apapun, disuruh bersikap seperti biasa. Ia merasa amat kecewa, terutama sekali karena harus berpisah dari pendekar yang dikaguminya itu. Ia telah jatuh cinta!

Ketika ia mendayung perahunya, timbul rasa penasaran dalam hatinya. Kenapa ia tidak melakukan penyelidikan sendiri? Lima orang penyerangnya tadi, yang semua telah dibikin pingsan dengan perut kembung, mungkin masih menggeletak di atas perahu mereka. Ia dapat menyelidiki mereka, mengancam mereka agar mengaku dan menyebutkan nama semua orang yang berdiri di belakang mereka, selain Po-yang Sam-liong! Kalau ia memperoleh keterangan seperti itu, tentu hal itu amat berguna bagi Pek-liong-eng! Dan ia akan berjasa, akan membikin senang hati pendekar itu. Mengapa tidak?

Dengan penuh semangat Cian Li mendayung perahunya ke tengah, menuju ke arah ditinggalkannya perahu besar yang ditumpangi lima orang penjahat yang sudah pingsan dengan perut kembung tadi. Akan tetapi, ternyata perahu itu sudah tidak ada lagi. Cian Li merasa penasaran dan ia terus mendayung perahu berputar-putar di sekitar tempat itu.

Agaknya tidak mungkin kalau lima orang telah siuman dan dapat menyingkir dari tempat itu, kecuali kalau mereka itu ditolong orang lain. Kemudian ia melihat berapa perahu-perahu pesiar sudah mulai meninggalkan bandar, bahkan beberapa buah perahu nelayan telah hilir mudik. Maka iapun segera mendayung perahunya menuju pulang.

Matahari telah naik tinggi ketika ia meninggalkan perahunya dan berjalan menuju ke rumahnya yang berada di sebuah dusun kecil tak jauh dari telaga itu. Dari mendiang ayah mereka, ia dan kakaknya menerima warisan sebuah rumah yang berada di ujung dusun itu, sebuah rumah yang sederhana namun cukup baik.

Sambil membawa buntalan pakaian dan hasil penyelaman mereka pagi tadi, tidak berapa banyak, Cian Li melenggang dengan langkahnya yang gontai. Kedua kaki gadis ini berbentuk panjang dan kuat sehingga kalau melangkah, ia melenggang dengan lemas sekali, nampak menarik dan menggairahkan. Bentuk tubuh yang panjang ramping itu tentu saja hasil dari pada pekerjaan menyelam dan renang itu.

Karena rumahnya memang tidak dipenuhi barang berharga, maka pintu rumahnya ditutup begitu saja tanpa dikunci. Ia mendorong daun pintu rumahnya dan melangkah masuk. Dengan hati masih kecewa, ia melemparkan buntalan pakaian dan batu hasil penyelaman itu ke atas meja, lalu memasuki kamarnya untuk membuka jendela. Rumah mereka mempunyai dua buah kamar, sebuah untuknya dan sebuah lagi untuk kakaknya.

Begitu ia masuk ke dalam kamarnya, tiba-tiba ia menjerit kecil dan matanya terbelalak, mukanya berubah pucat sekali. Seorang laki-laki tinggi besar yang berhidung besar telah berada di dalam kamarnya, dan orang itu menyeringai kepadanya. Mukanya demikian menyeramkan, dengan hidung besar, mata melotot dan gigi yang besar-besar nampak ketika dia menyeringai! Yang membuat ia terkejut adalah karena ia mengenal orang ini sebagai seorang di antara lima penjahat tadi, bahkan si hidung besar ini agaknya yang menjadi pemimpin para penjahat tadi!

“He-he-he, nona manis, engkau baru datang? Sudah kesal aku menunggumu... heh-heh-heh!”

Cian Li cepat membalikkan tubuhnya hendak berlari keluar, akan tetapi ia terbelalak melihat betapa empat orang penjahat lainnya sudah berdiri di depan pintu, menghadangnya sambil menyeringai kejam.

“Ha-ha-ha, engkau tadi menyiksaku, membenam-benamkan aku ke dalam air. Sekarang tiba saatnya kami membalas dendam. Bersiaplah untuk menerima siksaan sampai mampus!” kata seorang di antara mereka yang perutnya gendut.

Cian Li merasa bulu tengkuknya meremang. Setankah mereka ini? Setan dari mereka yang telah mati dan kini hidup kembali untuk mengganggunya, membuat pembalasan? Perut gendut ini, bukankah karena perutnya kembung penuh air? “Tidak... tidaaaakk...!”

Ia menjerit dengan perasaan ngeri sekali. Dari pada menghadapi empat orang itu, lebih baik melawan yang seorang saja di dalam kamar, pikirnya dan iapun membalik lagi ke dalam kamar dan dengan nekat ia menerjang si hidung besar yang menyeringai lebar menyambut terjangannya dengan kedua lengan dikembangkan!

Cian Li memang pernah belajar silat dari mendiang ayahnya. Akan tetapi ilmu silatnya itu tidak ada artinya dibandingkan dengan si hidung besar itu, seorang penjahat kawakan yang sudah biasa mampergunakan kekerasan dan sudah seringkali berkelahi. Cian Li melakukan dorongan dengan kedua tangannya, dengan maksud membuat si hidung besar itu terpelanting agar ia dapat melarikan diri lewat jendela kamarnya yang tertutup.

“Plakk!” Si hidung besar menangkis dari samping dengan maksud untuk menangkis dengan satu tangan lalu tangannya yang lain mencengkeram dari samping. Akan tetapi, biarpun ilmu silatnya tidak tinggi, Cian Li memiliki tenaga yang kuat sebagai hasil dari kebiasaannya renang dan menyelam. Pertemuan kedua lengannya yang ditangkis itu sempat membuat si hidung besar terdorong ke samping dan terhuyung! Kesempatan ini dipergunakan oleh Cian Li untuk menggempur daun jendela dengan dorongan kedua tangannya.

“Brakkkkk...!” Daun jendela itu pecah berantakan dan Cian Li berusaha untuk menerobos keluar. Akan tetapi hanya separuh tubuhnya saja yang sempat keluar karena tiba-tiba kedua pergelangan kakinya ditangkap orang dari belakang! Kiranya yang menangkapnya adalah si hidung besar!

Kini Cian Li hanya dapat meronta karena tubuh bagian atas sebatas pinggang berada di luar jendela, akan tetapi dari pinggang ke bawah masih berada di dalam kamar. Dengan mudah si hidung besar sambil tertawa-tawa menarik tubuh Cian Li dan sebelum gadis itu sempat melepaskan diri, kedua lengan dari si hidung besar yang panjang dan kuat sekali itu telah memeluknya sehingga kedua tangannya tidak mampu bergerak.

Si hidung besar itu memeluknya dari belakang. Ia meronta-ronta namun sia-sia belaka. Empat orang kawan si hidung besar, memasuki kamar sambil tertawa-tawa pula melihat gadis itu meronta dalam dekapan pemimpin mereka. “Toako, biar kubedah dadanya dan kukeluarkan jantungnya. Enak diganyang mentah-mentah, untuk obat kuat!” kata yang berewokan dengan sikap bengis dan di tangan kanannya nampak sebatang pisau tajam mengkilat.

“Ia menyiksaku dan membenamkan kepalaku di air. Jangan dibunuh dulu, biar aku akan balas menyiksanya!” kata si perut gendut, siap untuk mempergunakan tangannya mencengkeram gadis yang sudah tidak berdaya itu. Akan tetapi si hidung besar membentak marah.

“Mundur kalian semua! Sebelum aku selesai dengannya, kalian tidak boleh menyentuhnya! Gadis ini sekarang milikku dan setelah aku selesai dengannya, baru kuberikan kepada kalian. Nah, kalian cepat mencari benda itu sampai dapat. Geledah seluruh rumahnya, bawa semua yang berharga dan bakar saja yang tidak ada artinya!”

Empat orang itu tidak berani membantah dan merekapun keluar dari kamar itu, meninggalkan si hidung besar berdua saja dengan gadis yang masih meronta-ronta dengan sia-sia dalam rangkulannya yang seperti dekapan seekor biruang itu.

“Heh-heh, sejak di perahu itu aku sudah tergila-gila padamu, nona manis. Engkau cantik manis dan tubuhmu indah!” Si hidung besar melemparkan tubuh Cian Li ke atas pembaringan gadis itu.

Cian Li terbanting ke atas pembaringannya dan cepat ia bangkit untuk melompat, melawan atau melarikan diri. Akan tetapi dengan cepat pula si hidung besar sudah menubruknya sehingga ia terjengkang kembali dan mereka bergumul di atas pembaringan itu. Cian Li melawan sekuat tenaga, meronta dan sekali ini berkat pekerjaannya berenang dan menyelam, ia tertolong. Tubuhnya telah menjadi kuat dan licin, dengan menggeliat-geliat ia selalu mampu menghindar sehingga biarpun pakaiannya sudah robek di sana-sini, namun si hidung besar tidak mampu menghimpitnya, bahkan beberapa kali Cian Li berhasil mencakar, menampar bahkan menggigitnya.

Akhirnya si hidung besar menjadi marah dan penasaran bukan main. Tubuhnya sakit-sakit karena ulah gadis itu dan agaknya sampai habis tenaganya, akan sukar ia menundukkan gadis yang seperti seekor kuda betina liar ini, atau seekor anak harimau yang mengamuk. Dia melompat ke samping dan dicabutnya golok besarnya yang tadi dia taruh di atas meja. Golok yang amat tajam itu kini menempel di leher Cian Li, dan si hidung besar menghardik.

“Hayo diam dan jangan bergerak! Kalau engkau tidak mau menyerahkan diri, terpaksa akan kusembelih kau!”

Di sinilah letak kesalahan perhitungan si hidung besar. Dia mengira bahwa gadis ini sama seperti para korbannya yang sudah-sudah, yaitu merupakan seorang wanita yang takut mati dan akan menyerah bulat-bulat karena takut mati! Akan tetapi, Cian Li bukan seorang gadis penakut. Baginya, lebih baik ia mati dari pada harus menyerahkan kehormatannya tanpa melawan mati-matian.

Melihat golok tajam itu menempel di lehernya dan si hidung besar mengancam, tiba-tiba saja ia bergerak ke depan dan kaki kanannya menendang sekuat tenaga. Yang diarahnya adalah bawah pusar. Akan tetapi si hidung besar sempat menarik tubuh ke belakang.

“Bukk!” Yang kena tendang adalah perutnya yang gendut. Hampir dia terjengkang, dan perutnya terasa nyeri juga. Kemarahannya memuncak dan semua nafsu berahinya terbang entah ke mana, terganti nafsu amarah dan kebencian yang hanya akan mereda kalau dia sudah melihat darah tersembur dari tubuh yang sekarat.

“Perempuan keparat! Mampuslah!” Bentaknya dan kini goloknya menyambar ganas ke arah leher Cian Li.

“Tukk!” Golok itu terlepas dari pegangan si hidung besar dan jatuh ke atas lantai ketika sebuah tangan menangkis pergelangan lengan si hidung besar dari samping. Kemudian, tangan itu dilanjutkan dengan sebuah tamparan dan si hidung besar terpelanting dan terbanting keras.

“Hay koko...!” Cian Li berseru girang sekali melihat munculnya pendekar muda berpakaian putih itu.

“Biar kubereskan yang lain!” kata Pek-liong sambil berkelebat keluar dari kamar itu.

Akan tetapi, hanya seorang penjahat lagi saja yang dia robohkan karena tiga orang yang lain sudah melarikan diri, dan bagian belakang rumah itu sudah terbakar! Pek-liong memadamkan kebakaran itu sebelum dia kembali ke kamar Cian Li dan matanya terbelalak melibat betapa tubuh si hidung besar itu telah menjadi mayat dan sebatang golok besar masih menancap dalam sekali di dadanya. Cian Li berdiri di sudut kamar itu dengan termenung.

“Li-moi...!” Pek-liong berseru, “Apa yang kau lakukan ini?”

Cian Li sadar dan terisak menangis. “Kubunuh dia...! Dia... dia terlalu jahat. Ah, kalau engkau tidak segera datang...”

Pek-liong menarik napas panjang. “Sudahlah, Li-moi. Mungkin memang sudah tiba saatnya dia harus menebus kejahatannya dengan kematian. Akan tetapi, sekarang engkau harus meninggalkan rumah ini karena mereka tentu tidak akan tinggal diam.”

“Tapi... tapi ke mana aku harus pergi?”

“Untuk sementara kita tinggal di rumah penginapan saja.”

“Kita... berdua...?” Gadis itu mengerling dan wajahnya berubah kemerahan, akan tetapi mulutnya tersenyum.

“Ya, kita berdua. Mulai sekarang aku harus selalu melindungimu.”

Senyum itu melebar. “Benarkah, Hay-ko? Engkau tidak akan meninggalkan aku lagi seperti tadi?”

“Tadipun aku diam-diam membayangimu, adik manis. Memang engkau sengaja kujadikan umpan agar mereka datang. Tidak tahunya mereka sudah menunggumu di dalam rumahmu, sungguh hal yang tidak kusangka-sangka. Untung aku tidak terlambat dan melihat ketika mereka membakar rumahmu.”

“Kalau begitu, mari kita ke kota Hay-ko.”

“Tentu saja kita akan menggunakan dua buah kamar, Li-moi, sebuah untukmu dan sebuah untukku.”

Gadis itu diam saja, akan tetapi senyumnya berubah masam. Ia sendiri merasa heran mengapa perasaannya menjadi demikian tak tahu malu, ingin sekamar dengan pendekar itu dan hatinya merasa kecewa mendengar bahwa mereka akan menggunakan dua buah kamar. Teringat akan ini, wajahnya menjadi semakin merah...

Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 27

“AKUPUN baru bertemu dengan mereka malam tadi. Akan tetapi terlalu panjang untuk diceritakan. Saudara Sun Ting, kita menghadapi komplotan penjahat yang amat kejam dan juga amat lihai. Bahkan aku tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa kita bertiga berada dalam ancaman bahaya maut! Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita bekerja sama.”

“Dengan adanya engkau, aku tidak takut ancaman bahaya, Hay-koko!” kata gadis itu sambil tersenyum manis, seolah untuk membuktikan bahwa ia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri

mendengar ucapan pendekar itu. “Kami akan merasa beruntung dapat bekerja sama denganmu, toako,” kata pula Sun Ting dengan sungguh hati.

Diapun mengerti bahwa setelah peristiwa dengan lima orang penjahat tadi, tentu keselamatan dia dan adiknya terancam bahaya karena mereka telah berani menentang Po-yang Sam-liong! Dan seperti juga adiknya, setelah dia menyaksikan kelihaian Pek-liong-eng, hatinya menjadi besar dan dia siap untuk membantu pendekar itu menentang gerombolan penjahat.

“Kalau begitu kita harus membagi tugas,” kata Pek-liong-eng. “Ketahuilah bahwa gerombolan penjahat ini memiliki banyak orang sakti, dan dipimpin oleh seorang di antara Kiu Lo-mo, para datuk sesat yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Oleh karena itu, untuk menghadapi mereka, aku harus mendapat bantuan seorang sahabat baikku dan aku minta agar engkau yang menyampaikan suratku kepadanya untuk mengundangnya, saudara Sun Ting.”

Sun Ting mengangguk-angguk mengerti. “Siapakah dia dan di mana tempat tinggalnya?”

“Ia seorang pendekar wanita perkasa, bernama Lie Kim Cu dengan julukan Hek-liong-li, bertempat tinggal di kota Lok-yang. Rumahnya di sudut barat kota, di tepi jalan raya. Rumah itu mudah dicari karena di depannya terdapat sebuah kolam ikan dengan arca besar seorang puteri menunggang angsa, di tengah kolam yang penuh dengan bunga teratai.”

“Baik, toako. Akan kucari dan kuserahkan suratmu kepadanya,” kata Sun Ting yang diam-diam merasa heran sekali mendengar bahwa sahabat baik pendekar itu yang hendak diajak menentang para penjahat lihai adalah seorang wanita.

Pek-liong lalu membuat surat singkat dan menyerahkannya kepada Sun Ting sambil berkata, “Engkau berangkatlah sekarang juga.bBiarkan nona Cian Li di sini bersamaku. Kalau pergi berdua, akan menyolok dan menarik perhatian. Pula, aku ingin nona... eh, adik Cian Li bersikap biasa saja, pulang ke rumah untuk memancing mereka. Jangan khawatir, aku akan melindunginya.”

Kakak beradik itu mengangguk, kemudian Kam Sun Ting lalu pergi meninggalkan mereka. Setelah kakaknya pergi, Cian Li memandang kepada pendekar itu. “Hay-ko, lalu apa yang menjadi tugasku? Berilah aku tugas karena akupun ingin sekali membantumu.”

Pek-liong-eng tersenyum memandang gadis itu. “Engkau pulanglah, Li-moi. Engkau bersikaplah biasa agar tidak mencurigakan, dan bawalah hasil selamanmu tadi pulang, kemudian lakukan pekerjaanmu sehari-hari seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.”

Gadis itu mengerutkan alisnya dan pandang matanya yang jeli itu nampak kecewa. “Akan tetapi aku aku ingin sekali membantumu, Hay-ko!”

Pemuda itu tersenyum ramah. “Justeru sikapmu yang wajar dan biasa itulah yang akan banyak membantu padaku.”

“Akan tetapi engkau... engkau sendiri hendak ke mana?”

“Aku akan melakukan penyelidikan.”

“Aku ikut...!”

“Jangan, Li-moi. Pekerjaan ini berbahaya bukan main, dan kalau engkau pulang dan bersikap biasa, hal itu amat menolongku, Li-moi. Engkau percayalah saja padaku!”

Biarpun hatinya diliputi kekecewaan karena ia ingin sekali selalu berdekatan dengan pemuda itu, dan iapun siap untuk menempuh bahaya yang bagaimana besarpun asal berada di samping Pek-liong-eng, namun Kam Cian Li tidak berani membantah lagi.

“Baiklah, Hay-ko. Nah, aku akan pulang sekarang...” iapun memandang tajam dan sejenak pandang matanya melekat pada mata Pek-liong-eng, kemudian gadis itu membalikkan tubuh dan melangkah pergi ke arah telaga.

Langkahnya gontai dan Pek-liong-eng memandang kagum. Gadis itu memang memiliki bentuk tubuh yang hebat, pikirnya, akan tetapi dia lalu membayangkan bahaya yang mungkin sekali mengancam Cian Li, maka dengan sigap diapun meloncat pergi.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 27 karya kho ping hoo

Rumah gedung itu tidak terlalu besar dan megah, akan tetapi mungil sekali. Temboknya bersih dan semua tanaman di halaman rumah yang luas itu terawat rapi. Bermacam bunga sedang mekar dan di tengah halaman itu nampak sebuah kolam ikan yang berbentuk bulat dengan garis tengah kurang lebih empat meter. Banyak bunga teratai tumbuh di kolam ikan dan di tengah-tengahnya terdapat arca batu, seorang puteri menunggang angsa putih yang besar.

Dengan jantung berdebar karena girang, Kam Sun Ting memasuki halaman itu. Sunyi saja di situ, tidak nampak seorangpun. Dia masih terheran-heran dan juga sangsi, mengapa jagoan yang diundang oleh Pek-liong-eng Tan Cin Hay hanyalah seorang wanita! Betapapun pandainya seorang wanita, apa artinya kalau menghadapi gerombolan penjahat seperti Po-yang Sam-liong dan kawan-kawannya?

Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya seorang wanita berbaju hijau. Wanita ini masih muda, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, cantik dan segar, tanpa hanyak riasan, pakaiannya sederhana dan ringkas. Entah dari mana munculnya wanita itu, seperti setan saja! Inikah orang yang dicarinya? Dia cepat memberi hormat, sedangkan wanita itu dengan sinar mata tajam mengamatinya penuh selidik.

“Maafkan saya. Akan tetapi, benarkah saya berada di halaman rumah tempat tinggal Hek-liong-li Lie Kim Cu?”

Wanita baju hijau itu mengerutkan alisnya mendengar disebutnya Hek-liong-li Lie Kim Cu. “Siapakah engkau dan ada keperluan apakah mencari Hek-liong-li?”

Melihat sikap angkuh itu, Sun Ting menjadi agak bingung. “Maaf, saya hanyalah seorang suruhan. Saya datang membawa surat dari Pek-liong-eng Tan Cin Hay untuk disampaikan kepada Hek-liong-li Lie Kim Cu.”

“Ahhh...!” Sepasang mata yang jeli itu terbelalak dan wajahnya segera berubah. Lenyaplah kecurigaan dan keangkuhannya, lalu ia menoleh dan berseru dengan suara melengking nyaring, “Sam-moi...! Kesinilah, ada tamu!”

Sun Ting ikut menengok dan ia terkejut ketika tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu di situ sudah muncul seorang gadis lain yang berpakaian merah. Gadis ini usianya beberapa tahun lebih muda dari pada gadis baju hijau, nampak cantik dan segar, dengan senyum yang manis.

“Tamu dari mana, toa-ci (kakak tertua)?” tanya gadis baju merah sambil menatap wajah tampan Sun Ting dengan penuh selidik.

“Dia adalah utusan Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih), membawa surat beliau untuk Hek-liong-li-hiap (Pendekar Wanita Naga Hitam)! Cepat hadapkan dia, kalau berlambat-lambat kau akan kena marah nanti! Ingat, setiap berita yang datang dari Pek-liong-enghiong harus disampaikan secepat mungkin!”

“Baik, toa-ci. Marilah, kongcu (tuan muda), mari kuantarkan menghadap Li-hiap,” kata si baju merah sambil melepas senyum manisnya.

“Terima kasih,” kata Sun Ting dengan jantung semakin berdebar. Kiranya dua orang gadis cantik itu hanya semacam pembantu saja dari orang yang berjuluk Pendekar Wanita Naga Hitam itu! Kalau pembantu-pembantunya saja seperti ini, lalu seperti apakah pendekar wanita itu? Seorang nenek-nenek tua yang menyeramkan? Seorang wanita setengah tua yang genit? Atau mungkinkah seorang gadis pula?

Dia melangkah mengikuti gadis baju merah itu memasuki lorong dalam rumah yang ternyata dalamnya juga bersih dan terawat rapi, hawanya segar karena banyak jendelanya dan di setiap sudut terdapat sebuah pot bunga atau jambangan terisi tanaman. Akan tetapi gadis baju merah itu mengajaknya terus menuju ke sebuah bangunan samping dan setiba mereka di pintu bangunan itu, gadis baju merah menaruh telunjuknya di depan mulutnya sambil menoleh kepada Sun Ting.

Mereka kini berdiri di ambang pintu dan Sun Ting menjadi penonton dari adegan yang amat menarik dan mengagumkan hatinya. Bangunan itu ternyata merupakan sebuah ruangan berlatih silat yang luas dan terbuka. Di sudut nampak berbagai macam alat olah raga dan senjata untuk berlatih silat dan dia melihat di ruangan itu terdapat seorang wanita yang dikepung oleh tujuh orang wanita lain.

Wanita itu berdiri tegak, sedang tujuh orang yang mengepungnya memasang kuda-kuda, dan mereka itu memegang senjata, ada pedang, golok, tombak dan cambuk. Adapun wanita yang dikepung itu bertangan kosong, sikapnya tenang sekali. Kam Sun Ting memandang dengan penuh perhatian. Tujuh orang wanita pengepung itu rata-rata cantik dan usia mereka antara dua puluh tiga sampai tigapuluh tahun, tubuh mereka ramping dan gesit, seperti gadis baju hijau dan baju merah yang mengantarnya itu. Akan tetapi, ketika dia melihat wanita yang berada di tengah, yang dikepung, dia melongo!

Wanita itu berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun. Pakaiannya dari sutera serba hitam yang ketat dan ringkas, dan warna hitam ini membuat kulit muka, leher dan tangannya nampak semakin putih mulus. Wajahnya bulat telur kecil dengan dagu meruncing. Mulutnya kecil dengan bibir yang agaknya selalu tersenyum, bibir yang merah membasah.

Senyum yang tersungging itu dihias lesung pipit yang tidak terlalu dalam, dan tahi lalat kecil di atas pipi, di bawah mata kirinya, menambah kemanisannya. Seorang gadis yang luar biasa cantik jelita dan manisnya. Rambutnya yang hitam tebal itu disanggul tinggi ke atas, dihias tusuk sanggul perak berukir seekor naga kecil di atas bunga teratai. Seorang wanita yang luar biasa!

“Kalian mulailah!” tiba-tiba bibir yang tersenyum dan merah basah itu berseru lirih dan mulailah tujuh orang wanita pengepung itu menerjang dan menyerang gadis pakaian hitam dengan senjata mereka.

Sun Ting terkejut bukan main. Celaka, pikirnya. Tujuh orang gadis itu menyerang. Sungguh-sungguh dan gerakan mereka rata-rata gesit dan kuat! Bagaimana mungkin gadis jelita berpakaian hitam itu akan mampu bertahan? Setidaknya ia tentu akan menderita luka!

“Heiii, tahan...! Sungguh tidak adil, tujuh orang bersenjata mengeroyok seorang yang tidak memegang senjata!” teriak Sun Ting tanpa dapat dicegah lagi dan diapun melompat ke dalam ruangan itu.

Si baju merah terkejut, namun sudah terlambat karena pemuda itu sudah meloncat masuk.

“Tahan...!” Si dara berpakaian serba hitam itu berseru dan tujuh orang pengeroyoknya menahan senjata. Kini wanita itu memandang kepada Sun Ting, kemudian kepada gadis baju merah yang kini sudah menjatuhkan diri berlutut.

“Hemm, Sam-hwa, apa artinya ini?” wanita itu membentak, suaranya merdu akan tetapi penuh wibawa.

“Maaf, Lihiap... dia... dia adalah utusan dari Pek-liong-enghiong yang membawa surat untuk Lihiap. Saya... saya melihat lihiap sedang siap berlatih, maka tidak berani mengganggu dan hendak menunggu sebentar. Tak saya sangka dia... dia...”

Berubahlah sikap gadis berpakaian hitam itu. Wajahnya menjadi cerah dan dipandangnya wajah Sun Ting dan seketika ia sudah memaafkan sikap pemuda itu tadi. Diam-diam hatinya merasa geli melihat betapa sahabat baiknya, Pek-liong-eng Tan Cin Hay telah menyuruh seorang pemuda yang begitu bodoh sehingga mengganggu latihannya.

Bagaimanapun juga, ia memandang kagum. Pemuda itu tampan dan bertubuh tegap sekali, dan melihat betapa dia tadi mencela para pembantunya yang dianggapnya hendak mengeroyoknya, menunjukkan bahwa betapapun bodohnya, pemuda ini memiliki watak yang gagah! Ia lalu maju menghampiri, sedangkan Sun Ting sudah menjadi merah mukanya mendengar ucapan gadis baju merah tadi. Kiranya gadis berpakaian hitam inilah orang yang dicarinya, dan ternyata bahwa tujuh orang gadis pengepung yang mengeroyok tadi hanyalah merupakan latihan saja!

Cepat dia memberi hormat. “Maafkan kalau saya tadi mengganggu latihan Lihiap. Akan tetapi saya tidak tahu... ah, apakah Lihiap, yang bernama Hek-liong-li Lie Kim Cu?”

Wanita itu memang benar Hek-liong-li Lie Kim Cu. “Benar, akulah orangnya.”

“Sekali lagi maaf! Karena Hay-toako, eh... maksud saya Pek-liong-eng tidak menceritakan keadaan Lihiap, karena tergesa-gesa, maka saya tidak mengenal Lihiap dan telah bersikap lancang. Saya datang untuk menyerahkan surat ini kepada Lihiap.” Dia cepat mengeluarkan surat itu dari saku bajunya.

Hek-liong-li mengangguk dan tersenyum. Ternyata tidak bodoh, pikirnya dan ia merasa semakin suka kepada utusan sahabatnya itu. Ia lalu membuka surat itu dan membacanya dengan tenang.

“Harap engkau suka datang untuk bersamaku menghadapi Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo dengan kaki tangannya, dan membongkar rahasia Patung Emas. Menarik sekali, sudah banyak jatuh korban.”

Sampaijumpa,
Pek-liong-eng.


Sementara wanita itu membaca surat, Kam Sun Ting mengamatinya penuh perhatian dan dia menjadi semakin kagum saja. Segala-galanya pada wanita itu nampak kematangan yang mengagumkan. Memang, usianya tentu tidak akan lebih dari dua puluh tiga tahun, akan tetapi sikapnya, gerak-geriknya, bentuk tubuhnya, pandang mata dan senyumnya, sungguh membayangkan kematangan seorang wanita, bagaikan setangkai bunga yang mekar sepenuhnya dan sedang harum-harumnya!

Memang penilaian Sun Ting ini tidak jauh meleset dari kenyataannya. Wanita itu adalah seorang wanita yang sudah matang, baik ilmu silatnya, maupun kewanitaannya dan pengalamannya segudang! Ia bernama Lie Kim Cu, berusia dua puluh empat tahun dan ia dikenal sebagai Hek-liong-li (Dewi Naga Hitam).

Sejak remaja puteri berusia enam belas tahun, ia telah menderita dengan hebat. Ayahnya seorang pembesar di Lok-yang, akan tetapi ayahnya tergila-gila perjudian, melakukan korupsi dan akhirnya dia dihukum buang dan membunuh diri di tengah jalan. Adapun Lie Kim Cu sendiri, oleh ayahnya telah dijual atau untuk pembayaran hutang kepada Pangeran Coan Siu Ong di Lok-yang. Lie Kim Cu diperkosa, ia mengamuk dan akhirnya dijual oleh pangeran yang marah itu ke rumah pelacuran.

Di rumah pelacuran ini Kim Cu disiksa dan dipaksa untuk menjadi pelacur, melayani belasan orang laki-laki! Akhirnya, ia berhasil melarikan diri dan ia ditolong oleh seorang datuk sesat yang amat sakti, yaitu yang bernama Huang-ho Kui-bo dan dari nenek sakti ini ia mewarisi banyak ilmu silat yang tinggi sehingga membuatnya menjadi seorang wanita yang sakti!

Lie Kim Cu telah menjadi seorang wanita yang hebat setelah mempelajari ilmu selama enam-tujuh tahun. Ia menghajar para pria yang pernah mempermainkan dirinya. Bahkan ia kemudian menentang Hek-sim Lo-mo, seorang datuk sesat, seorang di antara Kiu Lo-mo bekerja sama dengan Pek-liong-eng Tan Cin Hay. Dan sejak mereka berdua berhasil membasmi dan membinasakan Hek-sim Lo-mo, nama kedua orang pendekar muda ini menjadi amat terkenal!

Ada hubungan istimewa antara Lie Kim Cu dan Tan Cin Hay, atau antara Si Naga Hitam dan Si Naga Putih ini. Selain mereka berdua telah mewarisi sepasang pedang yang ampuh, yaitu Pedang Naga Hitam yang jatuh ke tangan Kim Cu dan Pedang Naga Putih yang jatuh ke tangan Cin Hay, juga keduanya mempunyai perasaan kasih sayang luar biasa terhadap satu sama lain.

Perasaan senasib sependeritaan, sepaham dan segolongan, menumbuhkan suatu pertalian batin, suatu rasa kasih sayang yang luar biasa, lebih mendalam dari pada kasih sayang antara saudara, bahkan antara kekasih. Namun, keduanya tidak pernah membiarkan diri melangkah lebih dekat, tidak membiarkan nafsu berahi memasuki perasaan kasih di antara mereka.

Karena mereka khawatir bahwa sekali nafsu berahi masuk dan mereka menjadi kekasih, maka pertalian batin yang penuh kesetia-kawanan dan senasib itu akan menjadi berubah atau luntur! Mereka berhasil, membasmi gerombolan Hek-sim Lo-mo dan saling berpisah, akan tetapi mereka saling berjanji akan memberi kabar kalau yang satu membutuhkan bantuan yang lain.

Hek-liong-li Lie Kim Cu tinggal di Lok-yang, bersama sembilan orang gadis yang menjadi pembantu-pembantunya, juga anak buahnya. Mereka dilatihnya dengan ilmu silat, dan rata-rata mereka memiliki kecerdikan sehingga menjadi serba guna. Di Lok-yang dan sekitarnya, ia terkenal sebagai Hek-liong-li dan biarpun ia tidak mengangkat diri menjadi seorang pendekar, namun nama besarnya membuat para tokoh jahat menjadi gentar dan Lok-yang dan sekitarnya menjadi aman karena tidak ada penjahat berani bermain gila di wilayah yang dipengaruhi nama Hek-liong-li!

Demikianlah, maka Hek-liong-li tidak jadi marah dan perhatiannya segera tertarik ketika mendengar bahwa pemuda tampan ganteng itu adalah utusan Pek-liong-eng dan ketika membaca surat Pek-liong-eng, wajahnya segera berubah berseri-seri. Bekerja sama lagi dengan Pek-liong-eng menghadapi musuh-musuh tangguh! Apa lagi musuh itu seorang di antara Kiu Lo-mo! Tidak ada kesenangan yang lebih mengasyikkan dari pada bekerja sama antara mereka berdua menghadapi musuh-musuh yang jahat dan tangguh!

“Bagus! Terima kasih, saudara... eh, siapakah namamu?” kata Hek-liong-li kepada Kam Sun Ting.

“Nama saya Kam Sun Ting, lihiap, tinggal di dekat Telaga Po-yang.”

“Surat dari Pek-liong-eng telah kuterima dan kubaca dan kita segera berangkat sekarang juga ke sana setelah aku menyelesaikan latihanku. Kau duduklah sebentar di bangku sana. Sam-hwa, sediakan minuman untuk tamu!”

Sun Ting mengangguk dan segera duduk di atas sebuah bangku di dekat dinding, sedangkan Hek-liong-li sudah berdiri lagi di tengah ruangan, dikepung tujuh orang pembantunya. Sam-hwa, si baju merah, pergi mengambilkan minuman untuknya. Ketika Sam-hwa datang, lagi membawa minuman, latihan silat itu telah dimulai dan Sun Ting hampir tidak menyentuh minuman yang disuguhkan karena dia tidak pernah berkedip menonton latihan silat itu.

Bukan main! Tujuh orang wanita itu melakukan serangan yang sungguh-sungguh. Bermacam senjata tajam dan runcing berkelebatan dan menyambar-nyambar ke arah tubuh Hek-liong-li. Akan tetapi wanita berpakaian hitam ini menggerakkan tubuhnya secara aneh, kedua kakinya melangkah ke sana-sini, bergeser ke depan belakang, kanan kiri, dan semua serangan itu tidak mengenai sasaran sedikitpun juga!

Kemudian, Hek-liong-li mengeluarkan suara melengking nyaring. Tujuh orang pembantunya maklum bahwa majikan dan juga guru mereka akan membalas serangan. Mereka bersiap siaga dan memutar senjata, berjaga diri baik-baik. Namun, tiba-tiba tubuh Hek-liong-li berkelebatan dan lenyap, hanya nampak bayangan hitam berkelebatan ke sana sini dan nampak seorang demi seorang para pengeroyok itu terhuyung, senjata mereka terpental dan dalam waktu sebentar saja, mereka semua telah terhuyung atau terlempar dan semua senjata terlepas dari tangan!

Hek-liong-li menghentikan gerakannya. Ada sedikit keringat di dahinya yang putih mulus, akan tetapi pernapasannya biasa saja, hanya dada yang membusung itu agak naik turun bergelombang.

Sun Ting masih bengong. Alangkah indahnya gerakan tubuh Hek-liong-li tadi, pikirnya. Seolah-olah dia dapat melihat otot-otot halus bergerak-gerak hidup di bawah pakaian hitam ketat itu, dan dari gerakan halus itu, dari ke dua tangan yang lembut itu, agaknya memancar kekuatan yang luar biasa. Akhirnya, ketika wanita itu tersenyum kepadanya, mukanya berubah merah sekali. Dan dia tadi bersikap gagah-gagahan mencegah tujuh orang itu mengeroyok Hek-liong-li!

Betapa lucunya, betapa memalukan. Untuk menutupi rasa malunya, diapun lalu bertepuk tangan memuji. Karena lupa bahwa dia masih memegang cawan arak, maka ada arak tertumpah menimpa celananya sehingga dia memakin tersipu. Tujuh orang pembantu itu keluar setelah memungut senjata masing-masing. Kini Hek-liong-li berdua saja dengan Sun Ting. Wanita itu masih tersenyum geli.

“Saudara Kam Sun Ting, minumlah araknya!”

“Ah, terima kasih, lihiap. Latihan tadi sungguh... sungguh hebat sekali.”

“Ah, engkau terlalu memuji! Bukankah engkau seringkali melihat Pek-liong-eng berlatih silat dan tentu latihannya lebih hebat lagi?”

Sun Ting menggeleng kepalanya. “Sayang sekali tidak begitu, lihiap. Terus terang saja, saya dan adik saya baru saja berkenalan dengan Pek-liong-eng dan saya tidak sempat menyaksikan kelihaian ilmu silatnya. Saya dan adik saya adalah penyelam di Telaga Po-yang, mencari batu-batu berharga yang menjadi mata pencaharian kami, ketika kami diserang orang jahat dan ditolong oleh Pek-liong-eng.” Dengan singkat Sun Ting menceritakan peristiwa itu.

Hek-liong-li mendengarkan penuh perhatian. Mendengar akan tewasnya seorang hwesio dan seorang tosu di hutan, serangan terhadap kakak beradik itu, iapun menjadi tertarik sekali. Ia mengamati pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Ganteng dan bertubuh kokoh kuat.

“Hemm, bagaimanapun juga, tentu engkau jauh lebih pandai dari pada aku kalau berada di air!”

Sun Ting tersenyum dan nampak deretan giginya yang bagus dan bersih, juga kuat. “Ah, menyelam dan renang adalah pekerjaan kami sejak kami masih kecil, li-hiap. Akan tetapi mengenai ilmu silat, kami kakak beradik hanya diajar sedikit saja oleh mendiang ayah kami.”

“Hal itu masih harus dibuktikan kelak. Mari kita berangkat, saudara Kam Sun Ting. Kita berkuda saja agar dapat cepat tiba di sana.”

Iapun bertepuk tangan dan dua orang pelayan atau pembantunya muncul. Mereka diutus untuk menyediakan dua ekor kuda yang baik sementara Hek-liong-li mengajak tamunya untuk makan bersama. Sun Ting menjadi semakin kagum. Makin dikenal, makin banyak hal-hal mengagumkan pada diri wanita itu. Begitu ramah, dan juga tidak banyak peraturan sehingga mereka berdua makan minum di dalam ruangan makan dengan bebas, bagaikan dua orang sahabat lama saja.

Wanita itu sama sekali tidak merasa canggung, bahkan dia sendirilah yang agak salah tingkah, karena selamanya belum pernah dia berdekatan dengan seorang wanita, apa lagi wanita secantik itu, bahkan makan bersama! Hal inipun diketahui Hek-liong-li yang menjadi semakin tertarik. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang gagah, jujur dan masih hijau, agaknya belum pernah berdekatan dengan seorang wanita.

Kemudian berangkatlah mereka menunggang kuda dan di sepanjang perjalanan. Hek- liong-li minta penjelasan lebih lanjut tentang semua peristiwa yang terjadi dan yang diketahui oleh pemuda itu. Sikapnya demikian ramah dan manis sehingga tak lama kemudian mereka telah menjadi akrab, bahkan kadang-kadang Kam Sun Ting lupa bahwa dia melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang selain cantik jelita juga amat perkasa, diharapkan oleh pendekar Pek-liong-eng untuk membantunya menghadapi gerombolan penjahat yang kejam dan lihai sekali!

********************

Hati Kam Cian Li agak kecewa. Selama hidupnya, sampai kini berusia sembilan belas tahun, belum pernah ia jatuh hati kepada seorang pria dan baru sekaranglah ia benar-benar amat kagum dan tertarik kepada seorang pemuda. Biarpun ia dan kakaknya baru saja mengalami hal yang amat berbahaya dan kini bahkan keselamatan dirinya terancam, namun ia tidak merasa gentar sedikitpun juga. Ia bukan seorang gadis penakut. Bahaya bukanlah hal asing baginya. Pekerjaannya sebagai gadis penyelam selalu diliputi bahaya. Akan tetapi sekarang ia merasa amat kecewa. Ia disuruh pulang seorang diri.

Kakaknya diberi tugas mengundang seorang sababat yang lihai dari Pek-liong-eng, dan pendekar itu sendiri katanya akan melakukan penyelidikan terhadap gerombolan penjahat yang hendak membunuh ia dan kakaknya tadi. Akan tetapi ia sendiri, ia disuruh pulang tanpa tugas apapun, disuruh bersikap seperti biasa. Ia merasa amat kecewa, terutama sekali karena harus berpisah dari pendekar yang dikaguminya itu. Ia telah jatuh cinta!

Ketika ia mendayung perahunya, timbul rasa penasaran dalam hatinya. Kenapa ia tidak melakukan penyelidikan sendiri? Lima orang penyerangnya tadi, yang semua telah dibikin pingsan dengan perut kembung, mungkin masih menggeletak di atas perahu mereka. Ia dapat menyelidiki mereka, mengancam mereka agar mengaku dan menyebutkan nama semua orang yang berdiri di belakang mereka, selain Po-yang Sam-liong! Kalau ia memperoleh keterangan seperti itu, tentu hal itu amat berguna bagi Pek-liong-eng! Dan ia akan berjasa, akan membikin senang hati pendekar itu. Mengapa tidak?

Dengan penuh semangat Cian Li mendayung perahunya ke tengah, menuju ke arah ditinggalkannya perahu besar yang ditumpangi lima orang penjahat yang sudah pingsan dengan perut kembung tadi. Akan tetapi, ternyata perahu itu sudah tidak ada lagi. Cian Li merasa penasaran dan ia terus mendayung perahu berputar-putar di sekitar tempat itu.

Agaknya tidak mungkin kalau lima orang telah siuman dan dapat menyingkir dari tempat itu, kecuali kalau mereka itu ditolong orang lain. Kemudian ia melihat berapa perahu-perahu pesiar sudah mulai meninggalkan bandar, bahkan beberapa buah perahu nelayan telah hilir mudik. Maka iapun segera mendayung perahunya menuju pulang.

Matahari telah naik tinggi ketika ia meninggalkan perahunya dan berjalan menuju ke rumahnya yang berada di sebuah dusun kecil tak jauh dari telaga itu. Dari mendiang ayah mereka, ia dan kakaknya menerima warisan sebuah rumah yang berada di ujung dusun itu, sebuah rumah yang sederhana namun cukup baik.

Sambil membawa buntalan pakaian dan hasil penyelaman mereka pagi tadi, tidak berapa banyak, Cian Li melenggang dengan langkahnya yang gontai. Kedua kaki gadis ini berbentuk panjang dan kuat sehingga kalau melangkah, ia melenggang dengan lemas sekali, nampak menarik dan menggairahkan. Bentuk tubuh yang panjang ramping itu tentu saja hasil dari pada pekerjaan menyelam dan renang itu.

Karena rumahnya memang tidak dipenuhi barang berharga, maka pintu rumahnya ditutup begitu saja tanpa dikunci. Ia mendorong daun pintu rumahnya dan melangkah masuk. Dengan hati masih kecewa, ia melemparkan buntalan pakaian dan batu hasil penyelaman itu ke atas meja, lalu memasuki kamarnya untuk membuka jendela. Rumah mereka mempunyai dua buah kamar, sebuah untuknya dan sebuah lagi untuk kakaknya.

Begitu ia masuk ke dalam kamarnya, tiba-tiba ia menjerit kecil dan matanya terbelalak, mukanya berubah pucat sekali. Seorang laki-laki tinggi besar yang berhidung besar telah berada di dalam kamarnya, dan orang itu menyeringai kepadanya. Mukanya demikian menyeramkan, dengan hidung besar, mata melotot dan gigi yang besar-besar nampak ketika dia menyeringai! Yang membuat ia terkejut adalah karena ia mengenal orang ini sebagai seorang di antara lima penjahat tadi, bahkan si hidung besar ini agaknya yang menjadi pemimpin para penjahat tadi!

“He-he-he, nona manis, engkau baru datang? Sudah kesal aku menunggumu... heh-heh-heh!”

Cian Li cepat membalikkan tubuhnya hendak berlari keluar, akan tetapi ia terbelalak melihat betapa empat orang penjahat lainnya sudah berdiri di depan pintu, menghadangnya sambil menyeringai kejam.

“Ha-ha-ha, engkau tadi menyiksaku, membenam-benamkan aku ke dalam air. Sekarang tiba saatnya kami membalas dendam. Bersiaplah untuk menerima siksaan sampai mampus!” kata seorang di antara mereka yang perutnya gendut.

Cian Li merasa bulu tengkuknya meremang. Setankah mereka ini? Setan dari mereka yang telah mati dan kini hidup kembali untuk mengganggunya, membuat pembalasan? Perut gendut ini, bukankah karena perutnya kembung penuh air? “Tidak... tidaaaakk...!”

Ia menjerit dengan perasaan ngeri sekali. Dari pada menghadapi empat orang itu, lebih baik melawan yang seorang saja di dalam kamar, pikirnya dan iapun membalik lagi ke dalam kamar dan dengan nekat ia menerjang si hidung besar yang menyeringai lebar menyambut terjangannya dengan kedua lengan dikembangkan!

Cian Li memang pernah belajar silat dari mendiang ayahnya. Akan tetapi ilmu silatnya itu tidak ada artinya dibandingkan dengan si hidung besar itu, seorang penjahat kawakan yang sudah biasa mampergunakan kekerasan dan sudah seringkali berkelahi. Cian Li melakukan dorongan dengan kedua tangannya, dengan maksud membuat si hidung besar itu terpelanting agar ia dapat melarikan diri lewat jendela kamarnya yang tertutup.

“Plakk!” Si hidung besar menangkis dari samping dengan maksud untuk menangkis dengan satu tangan lalu tangannya yang lain mencengkeram dari samping. Akan tetapi, biarpun ilmu silatnya tidak tinggi, Cian Li memiliki tenaga yang kuat sebagai hasil dari kebiasaannya renang dan menyelam. Pertemuan kedua lengannya yang ditangkis itu sempat membuat si hidung besar terdorong ke samping dan terhuyung! Kesempatan ini dipergunakan oleh Cian Li untuk menggempur daun jendela dengan dorongan kedua tangannya.

“Brakkkkk...!” Daun jendela itu pecah berantakan dan Cian Li berusaha untuk menerobos keluar. Akan tetapi hanya separuh tubuhnya saja yang sempat keluar karena tiba-tiba kedua pergelangan kakinya ditangkap orang dari belakang! Kiranya yang menangkapnya adalah si hidung besar!

Kini Cian Li hanya dapat meronta karena tubuh bagian atas sebatas pinggang berada di luar jendela, akan tetapi dari pinggang ke bawah masih berada di dalam kamar. Dengan mudah si hidung besar sambil tertawa-tawa menarik tubuh Cian Li dan sebelum gadis itu sempat melepaskan diri, kedua lengan dari si hidung besar yang panjang dan kuat sekali itu telah memeluknya sehingga kedua tangannya tidak mampu bergerak.

Si hidung besar itu memeluknya dari belakang. Ia meronta-ronta namun sia-sia belaka. Empat orang kawan si hidung besar, memasuki kamar sambil tertawa-tawa pula melihat gadis itu meronta dalam dekapan pemimpin mereka. “Toako, biar kubedah dadanya dan kukeluarkan jantungnya. Enak diganyang mentah-mentah, untuk obat kuat!” kata yang berewokan dengan sikap bengis dan di tangan kanannya nampak sebatang pisau tajam mengkilat.

“Ia menyiksaku dan membenamkan kepalaku di air. Jangan dibunuh dulu, biar aku akan balas menyiksanya!” kata si perut gendut, siap untuk mempergunakan tangannya mencengkeram gadis yang sudah tidak berdaya itu. Akan tetapi si hidung besar membentak marah.

“Mundur kalian semua! Sebelum aku selesai dengannya, kalian tidak boleh menyentuhnya! Gadis ini sekarang milikku dan setelah aku selesai dengannya, baru kuberikan kepada kalian. Nah, kalian cepat mencari benda itu sampai dapat. Geledah seluruh rumahnya, bawa semua yang berharga dan bakar saja yang tidak ada artinya!”

Empat orang itu tidak berani membantah dan merekapun keluar dari kamar itu, meninggalkan si hidung besar berdua saja dengan gadis yang masih meronta-ronta dengan sia-sia dalam rangkulannya yang seperti dekapan seekor biruang itu.

“Heh-heh, sejak di perahu itu aku sudah tergila-gila padamu, nona manis. Engkau cantik manis dan tubuhmu indah!” Si hidung besar melemparkan tubuh Cian Li ke atas pembaringan gadis itu.

Cian Li terbanting ke atas pembaringannya dan cepat ia bangkit untuk melompat, melawan atau melarikan diri. Akan tetapi dengan cepat pula si hidung besar sudah menubruknya sehingga ia terjengkang kembali dan mereka bergumul di atas pembaringan itu. Cian Li melawan sekuat tenaga, meronta dan sekali ini berkat pekerjaannya berenang dan menyelam, ia tertolong. Tubuhnya telah menjadi kuat dan licin, dengan menggeliat-geliat ia selalu mampu menghindar sehingga biarpun pakaiannya sudah robek di sana-sini, namun si hidung besar tidak mampu menghimpitnya, bahkan beberapa kali Cian Li berhasil mencakar, menampar bahkan menggigitnya.

Akhirnya si hidung besar menjadi marah dan penasaran bukan main. Tubuhnya sakit-sakit karena ulah gadis itu dan agaknya sampai habis tenaganya, akan sukar ia menundukkan gadis yang seperti seekor kuda betina liar ini, atau seekor anak harimau yang mengamuk. Dia melompat ke samping dan dicabutnya golok besarnya yang tadi dia taruh di atas meja. Golok yang amat tajam itu kini menempel di leher Cian Li, dan si hidung besar menghardik.

“Hayo diam dan jangan bergerak! Kalau engkau tidak mau menyerahkan diri, terpaksa akan kusembelih kau!”

Di sinilah letak kesalahan perhitungan si hidung besar. Dia mengira bahwa gadis ini sama seperti para korbannya yang sudah-sudah, yaitu merupakan seorang wanita yang takut mati dan akan menyerah bulat-bulat karena takut mati! Akan tetapi, Cian Li bukan seorang gadis penakut. Baginya, lebih baik ia mati dari pada harus menyerahkan kehormatannya tanpa melawan mati-matian.

Melihat golok tajam itu menempel di lehernya dan si hidung besar mengancam, tiba-tiba saja ia bergerak ke depan dan kaki kanannya menendang sekuat tenaga. Yang diarahnya adalah bawah pusar. Akan tetapi si hidung besar sempat menarik tubuh ke belakang.

“Bukk!” Yang kena tendang adalah perutnya yang gendut. Hampir dia terjengkang, dan perutnya terasa nyeri juga. Kemarahannya memuncak dan semua nafsu berahinya terbang entah ke mana, terganti nafsu amarah dan kebencian yang hanya akan mereda kalau dia sudah melihat darah tersembur dari tubuh yang sekarat.

“Perempuan keparat! Mampuslah!” Bentaknya dan kini goloknya menyambar ganas ke arah leher Cian Li.

“Tukk!” Golok itu terlepas dari pegangan si hidung besar dan jatuh ke atas lantai ketika sebuah tangan menangkis pergelangan lengan si hidung besar dari samping. Kemudian, tangan itu dilanjutkan dengan sebuah tamparan dan si hidung besar terpelanting dan terbanting keras.

“Hay koko...!” Cian Li berseru girang sekali melihat munculnya pendekar muda berpakaian putih itu.

“Biar kubereskan yang lain!” kata Pek-liong sambil berkelebat keluar dari kamar itu.

Akan tetapi, hanya seorang penjahat lagi saja yang dia robohkan karena tiga orang yang lain sudah melarikan diri, dan bagian belakang rumah itu sudah terbakar! Pek-liong memadamkan kebakaran itu sebelum dia kembali ke kamar Cian Li dan matanya terbelalak melibat betapa tubuh si hidung besar itu telah menjadi mayat dan sebatang golok besar masih menancap dalam sekali di dadanya. Cian Li berdiri di sudut kamar itu dengan termenung.

“Li-moi...!” Pek-liong berseru, “Apa yang kau lakukan ini?”

Cian Li sadar dan terisak menangis. “Kubunuh dia...! Dia... dia terlalu jahat. Ah, kalau engkau tidak segera datang...”

Pek-liong menarik napas panjang. “Sudahlah, Li-moi. Mungkin memang sudah tiba saatnya dia harus menebus kejahatannya dengan kematian. Akan tetapi, sekarang engkau harus meninggalkan rumah ini karena mereka tentu tidak akan tinggal diam.”

“Tapi... tapi ke mana aku harus pergi?”

“Untuk sementara kita tinggal di rumah penginapan saja.”

“Kita... berdua...?” Gadis itu mengerling dan wajahnya berubah kemerahan, akan tetapi mulutnya tersenyum.

“Ya, kita berdua. Mulai sekarang aku harus selalu melindungimu.”

Senyum itu melebar. “Benarkah, Hay-ko? Engkau tidak akan meninggalkan aku lagi seperti tadi?”

“Tadipun aku diam-diam membayangimu, adik manis. Memang engkau sengaja kujadikan umpan agar mereka datang. Tidak tahunya mereka sudah menunggumu di dalam rumahmu, sungguh hal yang tidak kusangka-sangka. Untung aku tidak terlambat dan melihat ketika mereka membakar rumahmu.”

“Kalau begitu, mari kita ke kota Hay-ko.”

“Tentu saja kita akan menggunakan dua buah kamar, Li-moi, sebuah untukmu dan sebuah untukku.”

Gadis itu diam saja, akan tetapi senyumnya berubah masam. Ia sendiri merasa heran mengapa perasaannya menjadi demikian tak tahu malu, ingin sekamar dengan pendekar itu dan hatinya merasa kecewa mendengar bahwa mereka akan menggunakan dua buah kamar. Teringat akan ini, wajahnya menjadi semakin merah...

Loading...