Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

TIAT-PI HEK-WAN adalah seorang manusia yang wataknya sudah seperti binatang buas. Menyiksa orang merupakan kesenangan baginya, maka untuk menyenangkan majikannya, diapun hendak memamerkan pertunjukan yang semenarik mungkin. Tanpa memperdulikan cakaran dan pukulan kedua tangan Bi Hwa, seolah-olah cakaran dan pukulan itu bahkan merupakan belaian dan elusan baginya, dia menciumi muka gadis itu, pipinya, hidungnya, bibirnya barulah dia melepaskan Bi Hwa. Sengaja dilepaskan begitu saja.

Bi Hwa yang sudah ketakutan setengah mati itu, dengan rambut riap-riapan karena terlepas dari sanggulnya ketika meronta-ronta tadi, ketika merasa betapa dirinya terlepas, segera bergegas hendak melarikan diri menuju ke pintu ruangan itu. Satu-satunya keinginan hatinya adalah keluar dari tempat jahanam itu, seperti seekor burung yang ingin sekali terbebas dari sebuah sangkar yang amat menakutkan. Dan sambil tertawa-tawa Tiat-pi Hek-wan membiarkan gadis itu lari! Setelah Bi Hwa lari sampai dekat pintu, barulah dia berloncatan mengejar dan menangkap rambut gadis yang berkibar itu. Bi Hwa terkejut sekali.

“Ihhhhh...! Lepaskan... lepaskaaaaan...” Ia menjerit akan tetapi tubuhnya sudah terseret di atas lantai, dibawa kembali oleh raksasa itu ke tempat tadi, di depan Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya yang menonton sambil tersenyum-senyum. Mereka tahu bahwa Tiat-pi Hek-wan sengaja mempermainkan gadis itu, seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum menerkam dan mengganyangnya.

Kembali Tiat-pi Hek-wan merangkul dan menciumi gadis itu, meraba-raba dengan cara yang kurang ajar dan kasar sekali. Kembali Bi Hwa meronta-ronta, mencakar dan memukul untuk melepaskan diri. Dan seperti tadi, Hek-wan pura-pura kewalahan dan pegangannya terlepas. Bi Hwa cepat melarikan diri, tidak tahu bahwa Hek-wan sudah mengcengkeram bajunya bagian belakang. Ketika ia berlari, manusia berwatak binatang itupun merenggut.

“Breeeeetttt...!” Baju itupun koyak dibagian belakangnya. Sambil menyeringai Hek-wan sudah mengulur tangan, siap untuk merenggut sisa pakaian Bi Hwa.

Pada saat itu, terdengar teriakan Pouw Sianseng. “Tahan...!”

Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Hek-sim Lo-mo. Sejak tadi, semenjak Hek-wan mempermainkan Bi Hwa. Kalau semua pembantunya menonton pertunjukan menarik itu, dia sendiri tak pernah melepaskan pandang matanya dari Pouw Sianseng. Dengan hati gembira dia melihat betapa kakek itu tersiksa batinnya. Hal ini mudah dilihat dari keadaan muka dan pandang matanya dan pada saat baju puterinya direnggut terlepas, Pouw Sianseng tidak kuat menahan lagi dan dia berteriak untuk minta siksaan itu dihentikan.

“Hek-wan, minggirlah dan aku senang sekali dengan pekerjaanmu. Duduklah di sana bersama rekan-rekanmu.”

Hek-wan menyeringai, sama sekali tidak memperlihatkan muka kecewa seperti yang nampak pada wajah para pembantu yang gagal menyaksikan pertunjukan menarik. Hek-wan yang buas itu memang setia kepada Hek-sim Lo-mo yang sudah menundukkannya.

“Bagaimana, Pouw Sianseng? Mengapa engkau minta agar pertunjukan yang menarik ini dihentikan?” tanya Hek-sim Lo-mo, membiarkan ayah dan anak itu kembali saling rangkul.

Pouw Sianseng melepas jubahnya yang kusut dan dekil, dia menyelimuti tubuh puterinya dengan jubah itu, kemudian dia memandang kepada Hek-sim Lo-mo. “Hek-sim Lo-mo, aku mengaku kalah. Kehormatan puteriku lebih berharga dari apapun juga di dunia ini. Engkau menang dan aku mau menukar Liong-cu dengan kebebasan anakku. Kalau aku menyerahkan Liong-cu, maukah engkau melepaskan puteriku ini?”

“Heh-heh, tentu saja, Pouw Sianseng. Berikan Liong-cu, dan aku akan melepaskan puterimu.”

“Lo-mo, aku tidak dapat percaya kepada orang sepertimu. Bersumpahlah dulu sebagai seorang datuk, baru aku mau percaya!”

Kalau saja dia tidak sangat menginginkan Liong-cu, tentu ucapan Pouw Sianseng itu sudah merupakan alasan yang cukup untuk dia turun tangan membunuh kakek itu. Wajahnya yang hitam menjadi lebih hitam lagi dan matanya mencorong, akan tetapi dia menahan kemarahannya, dia menyeringai.

“Ha-ha, baiklah. Aku, Hek-sim Lo-mo, datuk dari segala datuk yang merajai seluruh wilayah He-nan dan Shan-tung, bersumpah bahwa kalau Pouw Sianseng menyerahkan Liong-cu kepadaku, maka aku akan melepaskan puterinya. Kalau aku melanggar sumpahku, biarlah Bumi dan Langit yang akan menghukumku!”

Pouw Sianseng merasa lega mendengar sumpah itu dan diapun berkata kepada puterinya. “Bi Hwa, anakku, hentikan tangismu dan dengarlah baik-baik pesanku. Kalau nanti aku sudah menyerahkan Liong-cu kepada Hek-sim Lo-mo, dan aku tidak dapat menemanimu, engkau keluarlah dari sini, tinggalkan tempat ini dan pulanglah. Lalu kau cari pamanmu di dusun Teng-cun dan ikutlah keluarganya. Mengertikah engkau?”

Sambil bercucuran air mata, Bi Hwa mengangguk, Pouw Sianseng lalu melepaskan puterinya yang bangkit berdiri sambil menyelimuti tubuh atas dengan jubah ayahnya, dan Pouw Sianseng bangkit berdiri menghadapi Hek-sim Lo-mo. Semua mata kini ditujukan kepadanya, memandang dengan penuh perhatian karena mereka semua ingin mendengar pengakuan kakek itu, di mana dia menyembunyikan Liong-cu yang diperebutkan oleh hampir seluruh tokoh dunia kang-ouw itu sejak ratusan tahun yang lalu dan kemudian lenyap tanpa bekas.

“Hek-sim Lo-mo, mustika naga ini adalah milikku dan hakku, yang kudapatkan secara kebetulan melalui tulisan dan peta rahasia yang kuno dan yang hanya dapat kubaca. Sejak dahulu sudah diperebutkan orang, dan aku sudah mengambil keputusan untuk kubawa mati bersama. Akan tetapi engkau yang curang dan licik telah mempergunakan puteriku untuk memaksaku. Apa boleh buat, agaknya memang sudah ditentukan oleh Thian bahwa Liong-cu akan jatuh ke tangan seorang datuk sesat sepertimu. Kalau aku tidak membuat pengakuan, sampai dunia kiamat engkau tidak akan mampu menemukan Liong-cu. Aku telah minta tolong kepada sahabatku, mendiang Yok-sian (Dewa Obat) untuk menyimpan Liong-cu di sini, melalui pembedahan!”

Kakek itu lalu menanggalkan bajunya dan menunjuk ke perutnya. Karena dia kurus, perutnya kecil, akan tetapi di bagian kanan perutnya ada tonjolan aneh, seperti bengkak.

“Liong-cu itu kau simpan di dalam perut?” tanya Hek-sim Lo-mo, hampir tak percaya.

Pouw Sianseng mengangguk. Mendiang Yok-sian amat pandai, dia dapat menyimpan mustika ini ke dalam perutku, membedah kulit perut lalu menjahitnya kembali. Dan karena Liong-cu merupakan mustika yang ampuh, maka sama sekali tidak mengganggu kesehatan badanku.”

“Dan untuk mengambilnya...”

“Harus memanggil seorang ahli bedah untuk mengeluarkannya dari perutku.”

“Ah, akupun bisa mengambilnya!” Tiba-tiba tangan Hek-sim Lo-mo meluncur dan sekali totok saja tubuh kakek itu roboh terlentang dalam keadaan lumpuh.

“Ayah......?” Bi Hwa menjerit.

“Jangan mendekat, Bi Hwa,” kata kakek itu dengan lemah. Dia tidak mampu menggerakkan kaki tangan, akan tetapi masih dapat bicara.

“Sudah kuduga ini... kalau aku mati... kau pulanglah sendiri dan hati-hatilah...”

Hek-sim Lo-mo lalu menggunakan kuku jari tangannya menggores ke arah tonjolan pada perut kakek itu dan kulit perut itupun tergores robek! Di saat lain, dia sudah mengeluarkan sebuah benda bulat sebesar kepalan tangannya yang berlumuran darah, dan diapun membebaskan totokannya.

“Ayah...!” Bi Hwa menubruk ayahnya dan membantu ayahnya membalut luka pada perut itu dengan robekan kain dari bawah bajunya sendiri setelah Yauw Ban, atas perintah Hek-sim Lo-mo, memberi obat bubuk pada luka di perut dan menutupnya dengan koyok.

Semua orang tidak memperhatikan ayah dan anak itu karena semua memperhatikan sebuah benda bulat yang sudah dibersihkan dari darah, yang berada di tangan Hek-sim Lo-mo. Benda itu berwarna putih kebiruan, seperti batu, dan sukar dipercaya bahwa benda itu adalah benda pusaka yang disebut Liong-cu (mustika naga) yang kabarnya terdapat pada rongga dalam kepala seekor naga!

“Mustika ini harus diuji dulu keasliannya! Mo-li, keluarkan senjata rahasiamu yang paling ampuh, hendak kucoba khasiat mustika ini melawan racun yang bagaimana kuatpun!”

Kiu-bwe Mo-li mengeluarkan sebuah paku yang kehitaman. Itulah senjata rahasia paku yang luar biasa ampuhnya, karena telah direndam racun yang amat jahat sehingga sekali mengenai tubuh lawan, tentu akan membuat lawan tewas dengan tubuh bengkak menghitam!

“Cobakan kepadanya!” kata Hek-sim Lo-mo. “Hitung-hitung untuk menghukumnya kalau dia membohong!” Dia menuding ke arah Pouw Sianseng yang sudah bangkit duduk, masih kesakitan karena kulit perutnya dibedah secara paksa oleh datuk itu tadi.

Kiu-bwe Mo-li juga termasuk seorang yang amat keji dan sadis. Mendapat perintah ini, ia menyeringai dan secepat kilat, tangan kirinya yang memegang paku itu bergerak dan nampak sinar hitam kecil menyambar ke arah Pouw Sianseng.

“Cappp! Aduhhh...!” Pouw Sianseng memekik dan mendekap pundak kirinya yang terkena paku, lalu tubuhnya berkelojotan karena merasa nyeri dan panas bukan main.

“Bagus, racunnya telah bekerja!” kata Hek-sim Lo-mo. “Cabut kembali paku itu, biar kucobakan Liong-cu ini!”

Kiu-bwe Mo-li menghampiri Pouw Sianseng yang berkelojotan, mendorong tubuh Bi Hwa yang menangisi ayahnya ke samping lalu mencabut paku itu. Begitu dicabut, rasa nyeri semakin menggigit dan menusuk sehingga kakek itu merintih-rintih.

Hek-sim Lo-mo cepat memeriksa luka itu. Hitam membengkak dan sebentar lagi racunnya akan terbawa aliran darah ke seluruh tubuh dan akan matilah orang itu. Cepat dia lalu menempelkan mustika naga itu ke atas pundak yang terluka dan terjadilah keanehan. Warna hitam pada luka itu dalam waktu singkat saja lenyap dan pada permukaan benda itu nampak cairan hitam!

Ternyata dengan mudahnya, benda itu telah menyerap dan menghisap semua racun yang berada di dalam luka itu sebelum menjalar ke seluruh tubuh! Bukan main! Belum pernah Hek-sim Lo-mo menyaksikan keampuhan benda seperti yang terdapat pada Liong-cu itu. Dan kini Pouw Sianseng tidak mengeluh lagi karena sama sekali tidak lagi merasa nyeri. Pundaknya yang tadi terkena paku kini hanya tinggal luka kecil kemerahan yang tidak ada artinya lagi, sudah bersih sama sekali dari racun, bahkan seperti sudah sembuh!

“Hemm, sudah percayakah kau sekarang, Lo-mo? Aku bukan orang yang suka menipu atau berbohong!” kata Pouw Sianseng mendongkol.

Hek-sim Lo-mo girang luar biasa dan seperti anak kecil memperoleh mainan baru, dia mendekap Liong-cu itu ke dadanya. “Liong-cu...! Aku telah mendapatkan Liong-cu... ha-ha-ha! Ini semua berkat jasamu, Tiat-pi Hek-wan. Sebagai hadiah jasamu, kuberikan gadis ini kepadamu, boleh kau perbuat sesuka hatimu!”

“Ha-ha-ha, terima kasih. Bengcu!” Tiat-pi Hek-wan sekali sambar sudah merenggut tubuh Bi Hwa dari ayahnya dan memondong gadis itu, lalu dibawa keluar, tanpa memperdulikan gadis itu menjerit-jerit, mencakar dan menggigit, diikuti senyum dan pandang mata rekan-rekannya.

Melihat ini Pouw Sianseng terkejut sekali dan diapun memaksa diri bangkit dan berteriak kepada Hek-sim Lo-mo. “Lo-mo, apa artinya ini? Engkau melanggar sumpahmu? Engkau telah bersumpah akan melepaskan puteriku setelah...”

“Akupun melepaskannya. Siapa melanggar sumpah? Aku tadi bersumpah bahwa kalau kau menyerahkan Liong-cu aku akan melepaskan puterimu, bukan? Nah, ia sudah kulepaskan, tidak kutahan, tidak kuganggu! Aku melepaskannya kepada Tiat-pi Hek-wan, dan kalau dia yang mengganggunya, itu urusan dia, bukan urusanku. Aku tidak mengganggu puterimu, sudah kulepaskan! Heh-heh!”

“Terkutuk kau, Hek-sim Lo-mo!” Pouw Sianseng marah sekali dan dengan nekat dia menubruk ke depan, hendak mencekik datuk itu. Akan tetapi, Hek-sim Lo-mo menggerakkan kakinya menyambut.

“Dukkk!” Ujung kaki datuk itu mengenai ulu hati Pouw Sianseng dan tubuh tinggi kurus itupun terjengkang, terbanting dan tewas seketika, mulutnya mengeluarkan darah, matanya terbelalak. Dia mati dalam penasaran!

Agaknya Hek-sim Lo-mo masih ingin membela diri dengan sikapnya itu kepada para pembantunya. “Orang ini memang harus dibunuh, kalau tidak, tentu dia akan membocorkan rahasia ini, akan memberitahu bahwa Liong-cu sudah berada padaku dan kalau demikian, celaka! Tentu semua orang dari dunia persilatan akan mencoba merampasnya dan kita menghadapi lawan yang banyak sekali dan lihai pula. Beritahu kepada Hek-wan, kalau dia sudah selesai dengan gadis itu, agar dibunuhnya pula. Buang mayat mereka ke dalam jurang agar tidak ada yang dapat mengikuti jejak mereka!”

Hek-sim Lo-mo membubarkan persidangan dan dia membawa Liong-cu yang selalu didekapnya itu ke kamarnya setelah memesan kepada Yauw Ban bahwa besok pagi dia bersama Yauw Ban akan berkunjung kepada ahli pembuat pedang itu. Para pembantu kini menyambar gadis panggilan yang menjadi pilihan hati mereka tadi dan membawanya ke kamar masing-masing.

Kalau dari kamar-kamar para pembantu ini terdengar suara cekikikan dan senda gurau, di sebuah kamar di belakang terdengar ratap tangis yang memilukan. Ratap tangis Bi Hwa yang dipermainkan oleh Tiat-pi Hek-wan yang sadis. Dan menjelang tengah malam, ketika ratap tangis itu akhirnya tidak terdengar lagi, gadis itupun telah tak bernyawa lagi dan mayatnya menyusul mayat ayahnya, dilempar ke dalam jurang yang amat curam, di mana kedua mayat itu akan hancur membusuk tanpa ada yang mengetahuinya!

Manusia adalah mahluk tertinggi derajatnya di antara semua mahluk yang hidup di dunia ini, satu-satunya mahluk yang berakal budi, yang dikaruniai otak dan ingatan sehingga dapat berpikir, mempunyai pengertian dan dapat membedakan antara baik dan buruk. Akan tetapi, sekali manusia menjadi hamba nafsu, bukan sebaliknya menguasai nafsu, maka dia menjadi mahluk yang sebuas-buasnya dan sekejam-kejamnya.

Binatang yang kita sebut bagaimana buaspun, selalu mendasarkan semua perbuatannya pada kebutuhan hidup. Binatang harimau menerkam kelinci dan dimakannya, nampaknya memang buas dan kejam, akan tetapi sesungguhnya perbuatannya itu sama sekali tidak mengandung kejahatan, melainkan karena kebutuhan hidupnya, tuntutan perutnya. Binatang melakukan hubungan kelamin karena kebutuhan perkembangbiakan, tuntutan naluri seksuilnya.

Akan tetapi manusia yang menjadi hamba nafsunya sendiri, dia makan demi memuaskan nafsu aluamahnya, ingin mencari kesenangan melalui makan, seolah-olah makan itu bukan suatu kebutuhan hidup melainkan kebutuhan kenikmatan yang membuatnya menjadi loba, tamak dan mau melakukan kejahatan apapun demi tercapainya pengejaran kesenangan melalui makan dan apa saja. Juga seorang yang diperhamba nafsunya sendiri akan mengejar kesenangan melalui seks, dan dia dapat melakukan kejahatan dan kekejaman yang luar biasa demi pemuasan nafsunya itu.


********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 08 karya kho ping hoo

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hek-sim Lo-mo sudah mengajak pembantu utamanya nomor satu, yaitu Tok-gan-liong Yauw Ban untuk pergi berkunjung ke rumah kakek Thio Wi Han, ahli pembuat pedang yang tinggal di dusun Gi-ho-cung di kaki Pegunungan Fu-niu-san.

Orang akan merasa heran kalau melihat keadaan rumah tinggal Thio Wi Han ini. Dia seorang ahli pembuat pedang yang kenamaan, bukan hanya pedang biasa seperti yang dapat dibeli di pasar, melainkan pedang buatannya selalu merupakan senjata pilihan, bahkan banyak sudah pedang-pedang pusaka dari bahan-bahan yang aneh-aneh dan langka dibuat oleh kedua tangannya yang ahli.

Orang dengan keahlian seperti dia ini sesungguhnya akan mudah saja menjadi kaya raya. Bahkan pernah dia ditawari kedudukan di kota raja oleh istana, namun dia menolaknya! Dan dia tidak menghargai keahliannya dengan harta benda. Dia seorang seniman sejati yang melakukan pekerjaan membuat pedang itu sebagai sesuatu yang suci, sesuatu yang membahagiakan hatinya, tiada bedanya dengan para seniman lain, seniman sejati yang menganggap pekerjaan seninya itu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya, merupakan sumber kebahagiaannya.

Dia hanya berdua dengan isterinya yang berusia empat puluh tahun lebih, jauh lebih muda dari Thio Wi Han yang sudah berusia tujuh puluh tahun. Di dalam sebuah rumah kecil sederhana sekali, Thio Wi Han tinggal berdua saja tanpa pembantu dengan isterinya. Rumah itu hanya mempunyai tiga ruangan, ruangan depan yang menjadi ruang tamu, lalu kamar tempat tidur mereka, dan di belakang adalah dapur yang besar, tempat isterinya masak dan tempat dia bekerja membuat pedang dan senjata lainnya, merupakan bengkel tempat dia bekerja.

Thio Wi Han tidak pernah membuat pedang atau pisau yang biasa di jual di pasar. Setelah tua ini, dia hanya bekerja kalau ada pesanan, dan pesanan itu haruslah pesanan pembuatan senjata yang istimewa. Pemesannya harus menyediakan bahan yang baik, baja pilihan, dan harus memperlihatkan kemampuan memainkan senjata yang dipesan itu dengan lebih dulu mendemonstrasikannya di depan Thio Wi Han! Kalau tidak begini, dia tidak akan mau membuatkannya!

Dan biarpun dia sendiri belum pernah memperlihatkan kepandaiannya, namun semua orang kang-ouw menduga bahwa kakek ahli pembuat pedang ini tentu memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Hal terbukti karena dia dapat mengetahui apakah benar pemesannya patut memegang senjata yang dipesannya, sesuai dengan kepandaiannya.

Gi-ho-cung boleh jadi hanya sebuah dusun yang kecil sekali di kaki Fu-niu-san, sebuah dusun yang tidak ada artinya dengan penduduk hanya beberapa puluh rumah yang kesemuanya adalah petani-petani sederhana. Namun bagi dunia kang-ouw, dusun ini amat terkenal dan nama Thio Wi Han dikenal oleh semua tokoh kang-ouw, bahkan dia dihormati dan disuka oleh semua golongan karena Thio Wi Han tidak pernah membeda-bedakan golongan.

Bagi dia, tidak perduli orang dari golongan apa, yang datang kepadanya akan dilayani asal memenuhi syaratnya, yaitu pertama, harus membawa bahan yang benar-benar pilihan, dan kedua, harus mampu memperlihatkan kepandaian yang sesuai untuk mempergunakan senjata ampuh buatannya! Tanpa adanya dua syarat ini, biar diancam dan dibujuk bagaimanapun, dijanjikan upah besar berapapun, atau diancam akan dibunuh sekalipun, jangan harap dapat memaksanya bekerja!

Soal biaya pembuatan pedang, dia tidak pernah membicarakan dan hal itu terserah kepada pemesan, bahkan tidak diberi sekalipun dia tidak akan menagih! Memang Thio Wi Han seorang seniman yang aneh. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan semua orang karena dia tidak pernah memperlihatkannya, dia hidup berbahagia di samping isterinya karena ada pertalian kasih sayang besar antara mereka!

Agaknya inilah yang menjadi rahasia besar kehidupan Thio Wi Han. Cinta kasih yang amat mendalam yang didapatkannya dari isterinya membuat dia tidak membutuhkan apa-apa lagi! Dalam kehidupan sederhana sekalipun dia merasa berbahagia di samping isterinya!

Betapa menyedihkan kalau dilihat kenyataan bahwa jarang ada pasangan suami isteri seperti Thio Wi Han ini. Dia dan isterinya tidak mempunyai anak, selisih usia mereka hampir tiga puluh tahun, keadaan hidup merekapun sederhana, hidup di dusun pegunungan yang sunyi, namun mereka dapat hidup berbahagia karena ada ikatan tali kasih sayang besar di antara mereka.

Bukan ikatan nafsu. Ikatan nafsu akan luntur dan tak meninggalkan bekas kalau nafsu itu sendiri sudah melemah. Dalam usia yang semakin tua, tentu saja nafsu tidak lagi memegang peran besar dan kalau cinta yang ada antara suami isteri hanya cinta nafsu, maka cinta itu akan hambar dan bahkan lenyap kalau mereka sudah menjadi tua.

Betapa banyak dapat dilihat keadaan hubungan suami isteri seperti ini. Kehilangan kemesraan, kalaupun ada kemesraan itu dibuat-buat, bukan timbul dari hati yang mencinta dan menyayang. Bahkan tidak jarang timbul pertikaian, kejemuan yang membuat kedua suami isteri seringkali bertengkar dan saling merasa betapa kehadiran kawan hidup hanya merupakan gangguan yang menjengkelkan!

Ini adalah karena ketidakadanya kasih sayang yang mendalam. Kalau ada kasih sayang antara manusia, cahaya cinta kasih dalam dada, maka tentu perasaan kasih sayang itu pertama-pertama terasa kepada orang lain yang paling dekat dengan dirinya, suami atau isteri, anak-anak dan keluarga. Dan mengapakah tidak ada kasih sayang ini? Mengapa tidak ada cinta kasih di dalam hati?

Cinta kasih bukanlah perasaan dari seseorang kepada orang lain tertentu! Itu adalah cinta nafsu, tertarik oleh sesuatu yang dianggap indah dan menyenangkan! Cinta kasih tidak mengenal subyek, cinta kasih adalah sinar Tuhan yang menerangi batin. Cinta kasih ini tidak nampak selama diri dikuasai oleh si-AKU! Begitu si-AKU ini merajalela dalam batin, maka kasih sayang pun, cinta kasih yang murni itupun tidak ada, yang ada hanyalah cinta nafsu karena cinta nafsu ini menyenangkan diri pribadi.

Mari kita periksa diri sendiri, menjenguk isi hati dan pikiran, dan kita akan melihat kenyataan itu. Tidak ada gunanya mencari cinta kasih yang tidak nampak di dalam batin. Cinta kasih tidak pernah lenyap, selalu ada. Yang penting melihat ke AKUan diri yang demikian besar dan berkuasa. Begitu si AKU berhenti berkuasa, maka cinta kasih akan nampak bersinar terang!

Tuhan tidak pernah pergi meninggalkan kita. Sesungguhnya kitalah yang pergi menjauhkan diri dan meninggalkannya! Pementingan diri karena si AKU yang merajalela dalam batin, membuat mata batin kita buta dan tidak melihat Tuhan. Lenyapnya si-AKU akan membuka mata kita dan menyadarkan bahwa Tuhan selalu ada pada diri kita, sedetikpun tak pernah meninggalkan kita!


Ketika Hek-sim Lo-mo dan Tok-gan-liong Yauw Ban tiba di depan pondok sederhana tempat tinggal Thio Wi Han, mereka melihat bahwa di pekarangan itu terdapat tiga belas orang yang melihat pakaian, keadaan diri dan sikap mereka, sudah diketahui bahwa mereka itu adalah orang-orang kang-ouw yang kasar dan biasa mempergunakan kekerasan. Sambil berbisik Tok-gan-liong Yauw Ban memberitahu kepada Hek-sim Lo-mo yang tidak mengenal mereka, bahwa tiga belas orang itu adalah Wei-ho Cap-sha-kwi (Tiga belas Setan dari Sungai Wei) yang berkedudukan di sekitar kota Sian di Propinsi Shensi.

Sungai Wei adalah sebatang sungai yang menjadi anak sungai dari Sungai Kuning, dan nama Tiga belas Setan ini terkenal sekali di seluruh wilayah itu, bahkan di seluruh Propinsi Shensi. Mereka adalah tokoh-tokoh sesat yang mengepalai seluruh kaum bajak sungai dan perampok. Dan mereka belum menyatakan takluk kepada kekuasaan Hek-sim Lo-mo, maka kini datuk ini bersama pembantu utamanya memandang ke arah mereka dengan alis berkerut.

Tiga belas orang itu ditemui oleh tuan rumah di pekarangan depan karena ruangan tamunya tidak cukup lebar untuk menerima tiga belas orang tamu itu, atau setidaknya, Thio Wi Han merasa enggan menerima tiga belas orang yang kasar itu di dalam ruangan itu. Kakek Thio Wi Han itu nampak tenang sekali menghadapi mereka. Seorang kakek berusia tujuh puluh tahun, rambutnya sudah putih semua, akan tetapi mukanya bersih tidak memelihara kumis atau jenggot. Sinar matanya lembut namun kadang mencorong penuh wibawa dan mulutnya terhias senyuman penuh kesabaran ketika dia berhadapan dengan tiga belas orang jagoan itu.

“Sudah kukatakan, aku hanya mau membuatkan pedang dengan dua syarat utama, yaitu pertama pemesan harus membawa bahan yang pilihan, dan kedua pemesan harus dapat membuktikan bahwa dia pantas memiliki senjata yang baik buatanku. Kalian hanya datang membawa bahan yang baik untuk sebuah golok saja, dan tidak mungkin aku membuatkan tiga belas batang golok dari bahan yang hanya untuk sebatang saja itu. Bahan yang lain ini tidak baik dan aku tidak mau membuat golok dari bahan ini. Nah, kalian tinggal pilih. Kubuatkan sebatang golok setelah pemesannya memperlihatkan ilmu goloknya, atau kalian boleh bawa pergi lagi saja dan menyuruh orang lain membuatkannya.”

Kata-kata itu teratur dan halus, namun juga mengandung ketegasan dan wibawa yang tidak dapat dibengkokkan lagi. Tigabelas orang itu rata-rata bertubuh besar dan kuat, sikap mereka kasar dan pakaian mereka dari kain yang tebal dan kuat, nampak kotor karena agaknya mereka jarang bertukar pakaian. Namun ini bukan berarti bahwa mereka miskin. Sebaliknya, Wei-ho Cap-sha-kwi adalah sekumpulan tokoh sesat yang sudah berhasil mengepalai semua bajak dan perampok yang selalu memberi “bagian hasil” kepada mereka.

Kalau mereka kini berpakaian kotor adalah karena mereka sedang melakukan perjalanan jauh dan tidak membawa ganti pakaian. Mereka terkenal sekali dengan Cap-sha Kwi-tin (Barisan Tiga belas Setan) dan dengan golok di tangan, mereka merupakan lawan ampuh walaupun kalau maju seorang demi seorang, mereka tidaklah sehebat kalau membentuk Cap-sha Kwi-tin.

Seorang di antara tiga belas jagoan itu, yang menjadi pemimpin mereka bernama Kwa Ti, tubuhnya juga tinggi besar, dengan perut gendut sekali, mukanya bopeng dan hitam. Mendengar ucapan tuan rumah, dia melangkah maju, lalu menghardik.

“Thio Wi Han! Tidak tahukah engkau siapa yang kau hadapi ini? Kami adalah Wei-ho Cap-sha-kwi, dan kami tidak biasa dibantah orang! Kami datang dengan baik, memesan tiga belas batang golok dan kami juga tidak minta gratis, melainkan mau membayar berapa saja biaya pembuatan tiga belas batang golok itu! Jangan engkau menolak, karena penolakanmu sama dengan penghinaan dan siapa berani menghina Wei-ho Cap-sha-kwi, akan mampus dengan tubuh hancur lebur dicacah golok kami!”

Thio Wi Han masih tetap tenang dan memandang kepada kepala gerombolan itu dengan matanya yang halus namun berwibawa. “Seorang manusia harus memiliki pendirian, kalau tidak dia hanya akan menjadi seorang pengecut yang munafik. Syarat-syaratku itu sudah kupakai selama puluhan tahun dan akan kupertahankan sampai mati.”

“Toa-ko (kakak), pukul saja orang keras kepala ini, baru dia akan menurut perintah kita!” beberapa orang anggauta gerombolan itu berkata dengan marah kepada Kwa Ti dan si gendut inipun sudah marah sekali. Semua perampok dan bajak sungai di sepanjang Sungai Wei-ho, siap untuk melakukan setiap perintahnya, dan kakek lemah ini berani membantah!

“Engkau memang minta dihajar baru taat!” bentaknya dan diapun menggerakkan tangan kanan menampar ke arah muka kakek itu sekedar untuk menakut-nakuti dan memaksanya agar mentaati perintahnya. Akan tetapi, tangannya menampar tempat kosong karena dengan gerakan halus namun tepat sekali, kakek Thio Wi Han sudah mundur selangkah dan tamparan itupun hanya lewat di depan mukanya!

Melihat pukulannya luput karena dielakkan orang, Kwa Ti yang tidak biasa dibantah dan dilawan ini menjadi semakin marah dan penasaran. “Engkau berani melawan aku, ya?” bentaknya dengan sikap ingin benar dan menang sendiri. “Nah, rasakan ini!” Dia kini menyerang dengan pukulan bertubi, dengan gerakan silat, bukan sekedar menampar seperti tadi.

Akan tetapi, alangkah herannya tiga belas orang jagoan itu ketika melihat kakek itu hanya menggeser kaki dan melangkah ke sana-sini dan semua pukulan Kwa Ti hanya mengenai tempat kosong saja!

Pada saat itu, dari dalam pondok muncul seorang wanita. Usianya empat puluh tahun lebih tetapi ia masih nampak cantik dan tubuhnya masih padat dan ramping, pakaianaya sederhana namun rapi, juga rambutnya yang masih hitam itu tersisir rapi. Seorang wanita yang anggun. Begitu ia keluar dan melihat kakek Thio diserang orang, iapun cepat maju dan menghadang di tengah.

Kwa Ti tertegun melihat munculnya seorang wanita dan biarpun dia penasaran sekali melihat serangannya tidak pernah mengenai sasaran, dia menahan diri dan memandang wanita itu dengan alis berkerut.

“Engkau siapa berani menghalangiku?”

Dengan sikap seperti melindungi kakek itu, ia berkata. “Aku adalah isterinya! Kalian ini orang-orang sungguh tidak tahu malu sama sekali. Bukankah kalian ini tamu-tamu yang tidak diundang? Mengapa sikap kalian bukan seperti tamu melainkan seperti perampok saja, hendak memaksakan kehendak sendiri? Tamu yang sopan semestinya memenuhi peraturan tuan rumah!”

Setelah mendengar ucapan itu dan tahu bahwa dia berhadapan dengan nyonya rumah, Kwa Ti menyeringai dan dia menoleh kepada kawan-kawannya. “Kawan-kawan, kalau kita paksa si tua sampai mati, kita tidak akan berhasil memiliki golok pusaka yang ampuh. Si tua itu keras kepala, aku mempunyai akal untuk memaksanya tanpa membunuhnya!”

Dua belas orang kawannya tertawa-tawa dan seorang di antara mereka bahkan berkata, “Benar, tangkap saja isterinya, biarkan aku yang akan menemaninya. Heh-heh, ia masih manis dan bahenol, heh-heh!”

Kwa Ti yang menjadi kepala dari Cap-sha-kwi, bukan orang yang suka menggoda wanita, maka mendengar ini, dia tertawa. Memang maksudnya untuk menangkap isteri Thio Wi Han dan menjadikannya sebagai sandera agar kakek itu terpaksa memenuhi permintaan mereka membuatkan tigabelas batang golok.

“Baiklah, kau tangkap wanita itu!” katanya kepada kawan yang bicara tadi.

Orang itu matanya besar sekali, hidungnya pesek dan mulutnya lebar dengan bibir tebal, juga mukanya hitam dan kasar. Mendengar ucapan toakonya, dia tersenyum menyeringai dan melangkah. maju, tubuhnya yang tinggi besar itu menyeramkan, langkahnya seperti langkah seekor binatang buas.

“Heh-heh, nyonya manis, mari ikut denganku sementara suamimu membuatkan golok untuk kami.” Berbareng dengan habisnya kata-kata itu, kedua lengannya sudah menyambar dari kanan kiri hendak menangkap kedua pundak isteri Thio Wi Han. Anehnya, Thio Wi Han yang dari elakan-elakannya tadi jelas menunjukkan bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian silat, kini melihat isterinya diserang orang, bersikap diam saja dan menonton dengan tenang.

“Wuuut! Wuuuttt!” Sambaran kedua tangan yang berlengan panjang dan besar itu lewat dan sama sekali tidak menyentuh pundak Nyonya Thio Wi Han yang sudah menggeser kaki dengan gerakan indah dan ringan sekali.

Si penyerang yang tadinya bermaksud menangkap dan merangkul nyonya itu, menjadi penasaran dan kini, sambil mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas. kedua tangannya mencengkeram dengan tubrukan, yang kanan mencengkeram leher, yang kiri mencengkeram ke arah dada! Serangan yang berbahaya dan juga kurang ajar!

Wanita itu bersikap tenang, akan tetapi secepat kilat kedua kakinya secara beruntun menyambar ke depan, menyambut tubuh penyerangnya dan ujung sepatu kedua kakinya lebih dulu mengenai tubuh lawan sebelum kedua tangan yang mencengkeram itu tiba.

“Dukkk...! Dessss...!” Ujung sepatu kiri nyonya itu menyentuh sambungan lutut kaki kanan, sedangkan ujung sepatu kanan dengan kerasnya menghantam ulu hati ketika tubuh tinggi besar itu agak membungkuk karena lututnya tertendang. Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh tinggi besar itu terjengkang dan roboh terbanting!

“Kurang ajar...!” bentak orang kedua yang kepalanya besar sekali. Melihat kawannya roboh, dia sudah menerjang ke depan, akan tetapi dia dihadapi Thio Wi Han sendiri yang sudah menghadang dan melindungi isterinya. Karena marah, si kepala besar ini lalu memukul ke arah kakek itu dengan kerasnya. Kepalan tangan sebesar kepala orang itu menonjok ke arah dada Thio Wi Han.

Akan tetapi, kakek itu hanya miringkan tubuh dan ketika pukulan itu lewat, dia menampar dengan tangan miring ke arah leher samping lawannya. “Pergilah!” bentaknya lirih dan orang pun terjungkal karena lehernya terkena “bacokan” tangan miring yang membuat napasnya sesak dan kepalanya pening.

Melihat betapa suami isteri itu ternyata lihai, Kwa Ti terkejut dan marah sekali. Dia mengeluarkan bentakan sebagai aba-aba dan menyusul ini, nampak sinar berkilauan dan terdengar suara berdesing ketika semua orang itu telah mencabut golok besar mereka dari punggung! Juga mereka berdua yang tadi telah roboh, kini bangkit sambil mencabut golok. Suami isteri itu dikepung oleh tigabelas orang Wei-ho Cap-sha-kwi yang sudah membentuk barisan Cap-sha-kwi-tin dengan golok besar di tangan!

Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 08

TIAT-PI HEK-WAN adalah seorang manusia yang wataknya sudah seperti binatang buas. Menyiksa orang merupakan kesenangan baginya, maka untuk menyenangkan majikannya, diapun hendak memamerkan pertunjukan yang semenarik mungkin. Tanpa memperdulikan cakaran dan pukulan kedua tangan Bi Hwa, seolah-olah cakaran dan pukulan itu bahkan merupakan belaian dan elusan baginya, dia menciumi muka gadis itu, pipinya, hidungnya, bibirnya barulah dia melepaskan Bi Hwa. Sengaja dilepaskan begitu saja.

Bi Hwa yang sudah ketakutan setengah mati itu, dengan rambut riap-riapan karena terlepas dari sanggulnya ketika meronta-ronta tadi, ketika merasa betapa dirinya terlepas, segera bergegas hendak melarikan diri menuju ke pintu ruangan itu. Satu-satunya keinginan hatinya adalah keluar dari tempat jahanam itu, seperti seekor burung yang ingin sekali terbebas dari sebuah sangkar yang amat menakutkan. Dan sambil tertawa-tawa Tiat-pi Hek-wan membiarkan gadis itu lari! Setelah Bi Hwa lari sampai dekat pintu, barulah dia berloncatan mengejar dan menangkap rambut gadis yang berkibar itu. Bi Hwa terkejut sekali.

“Ihhhhh...! Lepaskan... lepaskaaaaan...” Ia menjerit akan tetapi tubuhnya sudah terseret di atas lantai, dibawa kembali oleh raksasa itu ke tempat tadi, di depan Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya yang menonton sambil tersenyum-senyum. Mereka tahu bahwa Tiat-pi Hek-wan sengaja mempermainkan gadis itu, seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum menerkam dan mengganyangnya.

Kembali Tiat-pi Hek-wan merangkul dan menciumi gadis itu, meraba-raba dengan cara yang kurang ajar dan kasar sekali. Kembali Bi Hwa meronta-ronta, mencakar dan memukul untuk melepaskan diri. Dan seperti tadi, Hek-wan pura-pura kewalahan dan pegangannya terlepas. Bi Hwa cepat melarikan diri, tidak tahu bahwa Hek-wan sudah mengcengkeram bajunya bagian belakang. Ketika ia berlari, manusia berwatak binatang itupun merenggut.

“Breeeeetttt...!” Baju itupun koyak dibagian belakangnya. Sambil menyeringai Hek-wan sudah mengulur tangan, siap untuk merenggut sisa pakaian Bi Hwa.

Pada saat itu, terdengar teriakan Pouw Sianseng. “Tahan...!”

Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Hek-sim Lo-mo. Sejak tadi, semenjak Hek-wan mempermainkan Bi Hwa. Kalau semua pembantunya menonton pertunjukan menarik itu, dia sendiri tak pernah melepaskan pandang matanya dari Pouw Sianseng. Dengan hati gembira dia melihat betapa kakek itu tersiksa batinnya. Hal ini mudah dilihat dari keadaan muka dan pandang matanya dan pada saat baju puterinya direnggut terlepas, Pouw Sianseng tidak kuat menahan lagi dan dia berteriak untuk minta siksaan itu dihentikan.

“Hek-wan, minggirlah dan aku senang sekali dengan pekerjaanmu. Duduklah di sana bersama rekan-rekanmu.”

Hek-wan menyeringai, sama sekali tidak memperlihatkan muka kecewa seperti yang nampak pada wajah para pembantu yang gagal menyaksikan pertunjukan menarik. Hek-wan yang buas itu memang setia kepada Hek-sim Lo-mo yang sudah menundukkannya.

“Bagaimana, Pouw Sianseng? Mengapa engkau minta agar pertunjukan yang menarik ini dihentikan?” tanya Hek-sim Lo-mo, membiarkan ayah dan anak itu kembali saling rangkul.

Pouw Sianseng melepas jubahnya yang kusut dan dekil, dia menyelimuti tubuh puterinya dengan jubah itu, kemudian dia memandang kepada Hek-sim Lo-mo. “Hek-sim Lo-mo, aku mengaku kalah. Kehormatan puteriku lebih berharga dari apapun juga di dunia ini. Engkau menang dan aku mau menukar Liong-cu dengan kebebasan anakku. Kalau aku menyerahkan Liong-cu, maukah engkau melepaskan puteriku ini?”

“Heh-heh, tentu saja, Pouw Sianseng. Berikan Liong-cu, dan aku akan melepaskan puterimu.”

“Lo-mo, aku tidak dapat percaya kepada orang sepertimu. Bersumpahlah dulu sebagai seorang datuk, baru aku mau percaya!”

Kalau saja dia tidak sangat menginginkan Liong-cu, tentu ucapan Pouw Sianseng itu sudah merupakan alasan yang cukup untuk dia turun tangan membunuh kakek itu. Wajahnya yang hitam menjadi lebih hitam lagi dan matanya mencorong, akan tetapi dia menahan kemarahannya, dia menyeringai.

“Ha-ha, baiklah. Aku, Hek-sim Lo-mo, datuk dari segala datuk yang merajai seluruh wilayah He-nan dan Shan-tung, bersumpah bahwa kalau Pouw Sianseng menyerahkan Liong-cu kepadaku, maka aku akan melepaskan puterinya. Kalau aku melanggar sumpahku, biarlah Bumi dan Langit yang akan menghukumku!”

Pouw Sianseng merasa lega mendengar sumpah itu dan diapun berkata kepada puterinya. “Bi Hwa, anakku, hentikan tangismu dan dengarlah baik-baik pesanku. Kalau nanti aku sudah menyerahkan Liong-cu kepada Hek-sim Lo-mo, dan aku tidak dapat menemanimu, engkau keluarlah dari sini, tinggalkan tempat ini dan pulanglah. Lalu kau cari pamanmu di dusun Teng-cun dan ikutlah keluarganya. Mengertikah engkau?”

Sambil bercucuran air mata, Bi Hwa mengangguk, Pouw Sianseng lalu melepaskan puterinya yang bangkit berdiri sambil menyelimuti tubuh atas dengan jubah ayahnya, dan Pouw Sianseng bangkit berdiri menghadapi Hek-sim Lo-mo. Semua mata kini ditujukan kepadanya, memandang dengan penuh perhatian karena mereka semua ingin mendengar pengakuan kakek itu, di mana dia menyembunyikan Liong-cu yang diperebutkan oleh hampir seluruh tokoh dunia kang-ouw itu sejak ratusan tahun yang lalu dan kemudian lenyap tanpa bekas.

“Hek-sim Lo-mo, mustika naga ini adalah milikku dan hakku, yang kudapatkan secara kebetulan melalui tulisan dan peta rahasia yang kuno dan yang hanya dapat kubaca. Sejak dahulu sudah diperebutkan orang, dan aku sudah mengambil keputusan untuk kubawa mati bersama. Akan tetapi engkau yang curang dan licik telah mempergunakan puteriku untuk memaksaku. Apa boleh buat, agaknya memang sudah ditentukan oleh Thian bahwa Liong-cu akan jatuh ke tangan seorang datuk sesat sepertimu. Kalau aku tidak membuat pengakuan, sampai dunia kiamat engkau tidak akan mampu menemukan Liong-cu. Aku telah minta tolong kepada sahabatku, mendiang Yok-sian (Dewa Obat) untuk menyimpan Liong-cu di sini, melalui pembedahan!”

Kakek itu lalu menanggalkan bajunya dan menunjuk ke perutnya. Karena dia kurus, perutnya kecil, akan tetapi di bagian kanan perutnya ada tonjolan aneh, seperti bengkak.

“Liong-cu itu kau simpan di dalam perut?” tanya Hek-sim Lo-mo, hampir tak percaya.

Pouw Sianseng mengangguk. Mendiang Yok-sian amat pandai, dia dapat menyimpan mustika ini ke dalam perutku, membedah kulit perut lalu menjahitnya kembali. Dan karena Liong-cu merupakan mustika yang ampuh, maka sama sekali tidak mengganggu kesehatan badanku.”

“Dan untuk mengambilnya...”

“Harus memanggil seorang ahli bedah untuk mengeluarkannya dari perutku.”

“Ah, akupun bisa mengambilnya!” Tiba-tiba tangan Hek-sim Lo-mo meluncur dan sekali totok saja tubuh kakek itu roboh terlentang dalam keadaan lumpuh.

“Ayah......?” Bi Hwa menjerit.

“Jangan mendekat, Bi Hwa,” kata kakek itu dengan lemah. Dia tidak mampu menggerakkan kaki tangan, akan tetapi masih dapat bicara.

“Sudah kuduga ini... kalau aku mati... kau pulanglah sendiri dan hati-hatilah...”

Hek-sim Lo-mo lalu menggunakan kuku jari tangannya menggores ke arah tonjolan pada perut kakek itu dan kulit perut itupun tergores robek! Di saat lain, dia sudah mengeluarkan sebuah benda bulat sebesar kepalan tangannya yang berlumuran darah, dan diapun membebaskan totokannya.

“Ayah...!” Bi Hwa menubruk ayahnya dan membantu ayahnya membalut luka pada perut itu dengan robekan kain dari bawah bajunya sendiri setelah Yauw Ban, atas perintah Hek-sim Lo-mo, memberi obat bubuk pada luka di perut dan menutupnya dengan koyok.

Semua orang tidak memperhatikan ayah dan anak itu karena semua memperhatikan sebuah benda bulat yang sudah dibersihkan dari darah, yang berada di tangan Hek-sim Lo-mo. Benda itu berwarna putih kebiruan, seperti batu, dan sukar dipercaya bahwa benda itu adalah benda pusaka yang disebut Liong-cu (mustika naga) yang kabarnya terdapat pada rongga dalam kepala seekor naga!

“Mustika ini harus diuji dulu keasliannya! Mo-li, keluarkan senjata rahasiamu yang paling ampuh, hendak kucoba khasiat mustika ini melawan racun yang bagaimana kuatpun!”

Kiu-bwe Mo-li mengeluarkan sebuah paku yang kehitaman. Itulah senjata rahasia paku yang luar biasa ampuhnya, karena telah direndam racun yang amat jahat sehingga sekali mengenai tubuh lawan, tentu akan membuat lawan tewas dengan tubuh bengkak menghitam!

“Cobakan kepadanya!” kata Hek-sim Lo-mo. “Hitung-hitung untuk menghukumnya kalau dia membohong!” Dia menuding ke arah Pouw Sianseng yang sudah bangkit duduk, masih kesakitan karena kulit perutnya dibedah secara paksa oleh datuk itu tadi.

Kiu-bwe Mo-li juga termasuk seorang yang amat keji dan sadis. Mendapat perintah ini, ia menyeringai dan secepat kilat, tangan kirinya yang memegang paku itu bergerak dan nampak sinar hitam kecil menyambar ke arah Pouw Sianseng.

“Cappp! Aduhhh...!” Pouw Sianseng memekik dan mendekap pundak kirinya yang terkena paku, lalu tubuhnya berkelojotan karena merasa nyeri dan panas bukan main.

“Bagus, racunnya telah bekerja!” kata Hek-sim Lo-mo. “Cabut kembali paku itu, biar kucobakan Liong-cu ini!”

Kiu-bwe Mo-li menghampiri Pouw Sianseng yang berkelojotan, mendorong tubuh Bi Hwa yang menangisi ayahnya ke samping lalu mencabut paku itu. Begitu dicabut, rasa nyeri semakin menggigit dan menusuk sehingga kakek itu merintih-rintih.

Hek-sim Lo-mo cepat memeriksa luka itu. Hitam membengkak dan sebentar lagi racunnya akan terbawa aliran darah ke seluruh tubuh dan akan matilah orang itu. Cepat dia lalu menempelkan mustika naga itu ke atas pundak yang terluka dan terjadilah keanehan. Warna hitam pada luka itu dalam waktu singkat saja lenyap dan pada permukaan benda itu nampak cairan hitam!

Ternyata dengan mudahnya, benda itu telah menyerap dan menghisap semua racun yang berada di dalam luka itu sebelum menjalar ke seluruh tubuh! Bukan main! Belum pernah Hek-sim Lo-mo menyaksikan keampuhan benda seperti yang terdapat pada Liong-cu itu. Dan kini Pouw Sianseng tidak mengeluh lagi karena sama sekali tidak lagi merasa nyeri. Pundaknya yang tadi terkena paku kini hanya tinggal luka kecil kemerahan yang tidak ada artinya lagi, sudah bersih sama sekali dari racun, bahkan seperti sudah sembuh!

“Hemm, sudah percayakah kau sekarang, Lo-mo? Aku bukan orang yang suka menipu atau berbohong!” kata Pouw Sianseng mendongkol.

Hek-sim Lo-mo girang luar biasa dan seperti anak kecil memperoleh mainan baru, dia mendekap Liong-cu itu ke dadanya. “Liong-cu...! Aku telah mendapatkan Liong-cu... ha-ha-ha! Ini semua berkat jasamu, Tiat-pi Hek-wan. Sebagai hadiah jasamu, kuberikan gadis ini kepadamu, boleh kau perbuat sesuka hatimu!”

“Ha-ha-ha, terima kasih. Bengcu!” Tiat-pi Hek-wan sekali sambar sudah merenggut tubuh Bi Hwa dari ayahnya dan memondong gadis itu, lalu dibawa keluar, tanpa memperdulikan gadis itu menjerit-jerit, mencakar dan menggigit, diikuti senyum dan pandang mata rekan-rekannya.

Melihat ini Pouw Sianseng terkejut sekali dan diapun memaksa diri bangkit dan berteriak kepada Hek-sim Lo-mo. “Lo-mo, apa artinya ini? Engkau melanggar sumpahmu? Engkau telah bersumpah akan melepaskan puteriku setelah...”

“Akupun melepaskannya. Siapa melanggar sumpah? Aku tadi bersumpah bahwa kalau kau menyerahkan Liong-cu aku akan melepaskan puterimu, bukan? Nah, ia sudah kulepaskan, tidak kutahan, tidak kuganggu! Aku melepaskannya kepada Tiat-pi Hek-wan, dan kalau dia yang mengganggunya, itu urusan dia, bukan urusanku. Aku tidak mengganggu puterimu, sudah kulepaskan! Heh-heh!”

“Terkutuk kau, Hek-sim Lo-mo!” Pouw Sianseng marah sekali dan dengan nekat dia menubruk ke depan, hendak mencekik datuk itu. Akan tetapi, Hek-sim Lo-mo menggerakkan kakinya menyambut.

“Dukkk!” Ujung kaki datuk itu mengenai ulu hati Pouw Sianseng dan tubuh tinggi kurus itupun terjengkang, terbanting dan tewas seketika, mulutnya mengeluarkan darah, matanya terbelalak. Dia mati dalam penasaran!

Agaknya Hek-sim Lo-mo masih ingin membela diri dengan sikapnya itu kepada para pembantunya. “Orang ini memang harus dibunuh, kalau tidak, tentu dia akan membocorkan rahasia ini, akan memberitahu bahwa Liong-cu sudah berada padaku dan kalau demikian, celaka! Tentu semua orang dari dunia persilatan akan mencoba merampasnya dan kita menghadapi lawan yang banyak sekali dan lihai pula. Beritahu kepada Hek-wan, kalau dia sudah selesai dengan gadis itu, agar dibunuhnya pula. Buang mayat mereka ke dalam jurang agar tidak ada yang dapat mengikuti jejak mereka!”

Hek-sim Lo-mo membubarkan persidangan dan dia membawa Liong-cu yang selalu didekapnya itu ke kamarnya setelah memesan kepada Yauw Ban bahwa besok pagi dia bersama Yauw Ban akan berkunjung kepada ahli pembuat pedang itu. Para pembantu kini menyambar gadis panggilan yang menjadi pilihan hati mereka tadi dan membawanya ke kamar masing-masing.

Kalau dari kamar-kamar para pembantu ini terdengar suara cekikikan dan senda gurau, di sebuah kamar di belakang terdengar ratap tangis yang memilukan. Ratap tangis Bi Hwa yang dipermainkan oleh Tiat-pi Hek-wan yang sadis. Dan menjelang tengah malam, ketika ratap tangis itu akhirnya tidak terdengar lagi, gadis itupun telah tak bernyawa lagi dan mayatnya menyusul mayat ayahnya, dilempar ke dalam jurang yang amat curam, di mana kedua mayat itu akan hancur membusuk tanpa ada yang mengetahuinya!

Manusia adalah mahluk tertinggi derajatnya di antara semua mahluk yang hidup di dunia ini, satu-satunya mahluk yang berakal budi, yang dikaruniai otak dan ingatan sehingga dapat berpikir, mempunyai pengertian dan dapat membedakan antara baik dan buruk. Akan tetapi, sekali manusia menjadi hamba nafsu, bukan sebaliknya menguasai nafsu, maka dia menjadi mahluk yang sebuas-buasnya dan sekejam-kejamnya.

Binatang yang kita sebut bagaimana buaspun, selalu mendasarkan semua perbuatannya pada kebutuhan hidup. Binatang harimau menerkam kelinci dan dimakannya, nampaknya memang buas dan kejam, akan tetapi sesungguhnya perbuatannya itu sama sekali tidak mengandung kejahatan, melainkan karena kebutuhan hidupnya, tuntutan perutnya. Binatang melakukan hubungan kelamin karena kebutuhan perkembangbiakan, tuntutan naluri seksuilnya.

Akan tetapi manusia yang menjadi hamba nafsunya sendiri, dia makan demi memuaskan nafsu aluamahnya, ingin mencari kesenangan melalui makan, seolah-olah makan itu bukan suatu kebutuhan hidup melainkan kebutuhan kenikmatan yang membuatnya menjadi loba, tamak dan mau melakukan kejahatan apapun demi tercapainya pengejaran kesenangan melalui makan dan apa saja. Juga seorang yang diperhamba nafsunya sendiri akan mengejar kesenangan melalui seks, dan dia dapat melakukan kejahatan dan kekejaman yang luar biasa demi pemuasan nafsunya itu.


********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 08 karya kho ping hoo

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hek-sim Lo-mo sudah mengajak pembantu utamanya nomor satu, yaitu Tok-gan-liong Yauw Ban untuk pergi berkunjung ke rumah kakek Thio Wi Han, ahli pembuat pedang yang tinggal di dusun Gi-ho-cung di kaki Pegunungan Fu-niu-san.

Orang akan merasa heran kalau melihat keadaan rumah tinggal Thio Wi Han ini. Dia seorang ahli pembuat pedang yang kenamaan, bukan hanya pedang biasa seperti yang dapat dibeli di pasar, melainkan pedang buatannya selalu merupakan senjata pilihan, bahkan banyak sudah pedang-pedang pusaka dari bahan-bahan yang aneh-aneh dan langka dibuat oleh kedua tangannya yang ahli.

Orang dengan keahlian seperti dia ini sesungguhnya akan mudah saja menjadi kaya raya. Bahkan pernah dia ditawari kedudukan di kota raja oleh istana, namun dia menolaknya! Dan dia tidak menghargai keahliannya dengan harta benda. Dia seorang seniman sejati yang melakukan pekerjaan membuat pedang itu sebagai sesuatu yang suci, sesuatu yang membahagiakan hatinya, tiada bedanya dengan para seniman lain, seniman sejati yang menganggap pekerjaan seninya itu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya, merupakan sumber kebahagiaannya.

Dia hanya berdua dengan isterinya yang berusia empat puluh tahun lebih, jauh lebih muda dari Thio Wi Han yang sudah berusia tujuh puluh tahun. Di dalam sebuah rumah kecil sederhana sekali, Thio Wi Han tinggal berdua saja tanpa pembantu dengan isterinya. Rumah itu hanya mempunyai tiga ruangan, ruangan depan yang menjadi ruang tamu, lalu kamar tempat tidur mereka, dan di belakang adalah dapur yang besar, tempat isterinya masak dan tempat dia bekerja membuat pedang dan senjata lainnya, merupakan bengkel tempat dia bekerja.

Thio Wi Han tidak pernah membuat pedang atau pisau yang biasa di jual di pasar. Setelah tua ini, dia hanya bekerja kalau ada pesanan, dan pesanan itu haruslah pesanan pembuatan senjata yang istimewa. Pemesannya harus menyediakan bahan yang baik, baja pilihan, dan harus memperlihatkan kemampuan memainkan senjata yang dipesan itu dengan lebih dulu mendemonstrasikannya di depan Thio Wi Han! Kalau tidak begini, dia tidak akan mau membuatkannya!

Dan biarpun dia sendiri belum pernah memperlihatkan kepandaiannya, namun semua orang kang-ouw menduga bahwa kakek ahli pembuat pedang ini tentu memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Hal terbukti karena dia dapat mengetahui apakah benar pemesannya patut memegang senjata yang dipesannya, sesuai dengan kepandaiannya.

Gi-ho-cung boleh jadi hanya sebuah dusun yang kecil sekali di kaki Fu-niu-san, sebuah dusun yang tidak ada artinya dengan penduduk hanya beberapa puluh rumah yang kesemuanya adalah petani-petani sederhana. Namun bagi dunia kang-ouw, dusun ini amat terkenal dan nama Thio Wi Han dikenal oleh semua tokoh kang-ouw, bahkan dia dihormati dan disuka oleh semua golongan karena Thio Wi Han tidak pernah membeda-bedakan golongan.

Bagi dia, tidak perduli orang dari golongan apa, yang datang kepadanya akan dilayani asal memenuhi syaratnya, yaitu pertama, harus membawa bahan yang benar-benar pilihan, dan kedua, harus mampu memperlihatkan kepandaian yang sesuai untuk mempergunakan senjata ampuh buatannya! Tanpa adanya dua syarat ini, biar diancam dan dibujuk bagaimanapun, dijanjikan upah besar berapapun, atau diancam akan dibunuh sekalipun, jangan harap dapat memaksanya bekerja!

Soal biaya pembuatan pedang, dia tidak pernah membicarakan dan hal itu terserah kepada pemesan, bahkan tidak diberi sekalipun dia tidak akan menagih! Memang Thio Wi Han seorang seniman yang aneh. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan semua orang karena dia tidak pernah memperlihatkannya, dia hidup berbahagia di samping isterinya karena ada pertalian kasih sayang besar antara mereka!

Agaknya inilah yang menjadi rahasia besar kehidupan Thio Wi Han. Cinta kasih yang amat mendalam yang didapatkannya dari isterinya membuat dia tidak membutuhkan apa-apa lagi! Dalam kehidupan sederhana sekalipun dia merasa berbahagia di samping isterinya!

Betapa menyedihkan kalau dilihat kenyataan bahwa jarang ada pasangan suami isteri seperti Thio Wi Han ini. Dia dan isterinya tidak mempunyai anak, selisih usia mereka hampir tiga puluh tahun, keadaan hidup merekapun sederhana, hidup di dusun pegunungan yang sunyi, namun mereka dapat hidup berbahagia karena ada ikatan tali kasih sayang besar di antara mereka.

Bukan ikatan nafsu. Ikatan nafsu akan luntur dan tak meninggalkan bekas kalau nafsu itu sendiri sudah melemah. Dalam usia yang semakin tua, tentu saja nafsu tidak lagi memegang peran besar dan kalau cinta yang ada antara suami isteri hanya cinta nafsu, maka cinta itu akan hambar dan bahkan lenyap kalau mereka sudah menjadi tua.

Betapa banyak dapat dilihat keadaan hubungan suami isteri seperti ini. Kehilangan kemesraan, kalaupun ada kemesraan itu dibuat-buat, bukan timbul dari hati yang mencinta dan menyayang. Bahkan tidak jarang timbul pertikaian, kejemuan yang membuat kedua suami isteri seringkali bertengkar dan saling merasa betapa kehadiran kawan hidup hanya merupakan gangguan yang menjengkelkan!

Ini adalah karena ketidakadanya kasih sayang yang mendalam. Kalau ada kasih sayang antara manusia, cahaya cinta kasih dalam dada, maka tentu perasaan kasih sayang itu pertama-pertama terasa kepada orang lain yang paling dekat dengan dirinya, suami atau isteri, anak-anak dan keluarga. Dan mengapakah tidak ada kasih sayang ini? Mengapa tidak ada cinta kasih di dalam hati?

Cinta kasih bukanlah perasaan dari seseorang kepada orang lain tertentu! Itu adalah cinta nafsu, tertarik oleh sesuatu yang dianggap indah dan menyenangkan! Cinta kasih tidak mengenal subyek, cinta kasih adalah sinar Tuhan yang menerangi batin. Cinta kasih ini tidak nampak selama diri dikuasai oleh si-AKU! Begitu si-AKU ini merajalela dalam batin, maka kasih sayang pun, cinta kasih yang murni itupun tidak ada, yang ada hanyalah cinta nafsu karena cinta nafsu ini menyenangkan diri pribadi.

Mari kita periksa diri sendiri, menjenguk isi hati dan pikiran, dan kita akan melihat kenyataan itu. Tidak ada gunanya mencari cinta kasih yang tidak nampak di dalam batin. Cinta kasih tidak pernah lenyap, selalu ada. Yang penting melihat ke AKUan diri yang demikian besar dan berkuasa. Begitu si AKU berhenti berkuasa, maka cinta kasih akan nampak bersinar terang!

Tuhan tidak pernah pergi meninggalkan kita. Sesungguhnya kitalah yang pergi menjauhkan diri dan meninggalkannya! Pementingan diri karena si AKU yang merajalela dalam batin, membuat mata batin kita buta dan tidak melihat Tuhan. Lenyapnya si-AKU akan membuka mata kita dan menyadarkan bahwa Tuhan selalu ada pada diri kita, sedetikpun tak pernah meninggalkan kita!


Ketika Hek-sim Lo-mo dan Tok-gan-liong Yauw Ban tiba di depan pondok sederhana tempat tinggal Thio Wi Han, mereka melihat bahwa di pekarangan itu terdapat tiga belas orang yang melihat pakaian, keadaan diri dan sikap mereka, sudah diketahui bahwa mereka itu adalah orang-orang kang-ouw yang kasar dan biasa mempergunakan kekerasan. Sambil berbisik Tok-gan-liong Yauw Ban memberitahu kepada Hek-sim Lo-mo yang tidak mengenal mereka, bahwa tiga belas orang itu adalah Wei-ho Cap-sha-kwi (Tiga belas Setan dari Sungai Wei) yang berkedudukan di sekitar kota Sian di Propinsi Shensi.

Sungai Wei adalah sebatang sungai yang menjadi anak sungai dari Sungai Kuning, dan nama Tiga belas Setan ini terkenal sekali di seluruh wilayah itu, bahkan di seluruh Propinsi Shensi. Mereka adalah tokoh-tokoh sesat yang mengepalai seluruh kaum bajak sungai dan perampok. Dan mereka belum menyatakan takluk kepada kekuasaan Hek-sim Lo-mo, maka kini datuk ini bersama pembantu utamanya memandang ke arah mereka dengan alis berkerut.

Tiga belas orang itu ditemui oleh tuan rumah di pekarangan depan karena ruangan tamunya tidak cukup lebar untuk menerima tiga belas orang tamu itu, atau setidaknya, Thio Wi Han merasa enggan menerima tiga belas orang yang kasar itu di dalam ruangan itu. Kakek Thio Wi Han itu nampak tenang sekali menghadapi mereka. Seorang kakek berusia tujuh puluh tahun, rambutnya sudah putih semua, akan tetapi mukanya bersih tidak memelihara kumis atau jenggot. Sinar matanya lembut namun kadang mencorong penuh wibawa dan mulutnya terhias senyuman penuh kesabaran ketika dia berhadapan dengan tiga belas orang jagoan itu.

“Sudah kukatakan, aku hanya mau membuatkan pedang dengan dua syarat utama, yaitu pertama pemesan harus membawa bahan yang pilihan, dan kedua pemesan harus dapat membuktikan bahwa dia pantas memiliki senjata yang baik buatanku. Kalian hanya datang membawa bahan yang baik untuk sebuah golok saja, dan tidak mungkin aku membuatkan tiga belas batang golok dari bahan yang hanya untuk sebatang saja itu. Bahan yang lain ini tidak baik dan aku tidak mau membuat golok dari bahan ini. Nah, kalian tinggal pilih. Kubuatkan sebatang golok setelah pemesannya memperlihatkan ilmu goloknya, atau kalian boleh bawa pergi lagi saja dan menyuruh orang lain membuatkannya.”

Kata-kata itu teratur dan halus, namun juga mengandung ketegasan dan wibawa yang tidak dapat dibengkokkan lagi. Tigabelas orang itu rata-rata bertubuh besar dan kuat, sikap mereka kasar dan pakaian mereka dari kain yang tebal dan kuat, nampak kotor karena agaknya mereka jarang bertukar pakaian. Namun ini bukan berarti bahwa mereka miskin. Sebaliknya, Wei-ho Cap-sha-kwi adalah sekumpulan tokoh sesat yang sudah berhasil mengepalai semua bajak dan perampok yang selalu memberi “bagian hasil” kepada mereka.

Kalau mereka kini berpakaian kotor adalah karena mereka sedang melakukan perjalanan jauh dan tidak membawa ganti pakaian. Mereka terkenal sekali dengan Cap-sha Kwi-tin (Barisan Tiga belas Setan) dan dengan golok di tangan, mereka merupakan lawan ampuh walaupun kalau maju seorang demi seorang, mereka tidaklah sehebat kalau membentuk Cap-sha Kwi-tin.

Seorang di antara tiga belas jagoan itu, yang menjadi pemimpin mereka bernama Kwa Ti, tubuhnya juga tinggi besar, dengan perut gendut sekali, mukanya bopeng dan hitam. Mendengar ucapan tuan rumah, dia melangkah maju, lalu menghardik.

“Thio Wi Han! Tidak tahukah engkau siapa yang kau hadapi ini? Kami adalah Wei-ho Cap-sha-kwi, dan kami tidak biasa dibantah orang! Kami datang dengan baik, memesan tiga belas batang golok dan kami juga tidak minta gratis, melainkan mau membayar berapa saja biaya pembuatan tiga belas batang golok itu! Jangan engkau menolak, karena penolakanmu sama dengan penghinaan dan siapa berani menghina Wei-ho Cap-sha-kwi, akan mampus dengan tubuh hancur lebur dicacah golok kami!”

Thio Wi Han masih tetap tenang dan memandang kepada kepala gerombolan itu dengan matanya yang halus namun berwibawa. “Seorang manusia harus memiliki pendirian, kalau tidak dia hanya akan menjadi seorang pengecut yang munafik. Syarat-syaratku itu sudah kupakai selama puluhan tahun dan akan kupertahankan sampai mati.”

“Toa-ko (kakak), pukul saja orang keras kepala ini, baru dia akan menurut perintah kita!” beberapa orang anggauta gerombolan itu berkata dengan marah kepada Kwa Ti dan si gendut inipun sudah marah sekali. Semua perampok dan bajak sungai di sepanjang Sungai Wei-ho, siap untuk melakukan setiap perintahnya, dan kakek lemah ini berani membantah!

“Engkau memang minta dihajar baru taat!” bentaknya dan diapun menggerakkan tangan kanan menampar ke arah muka kakek itu sekedar untuk menakut-nakuti dan memaksanya agar mentaati perintahnya. Akan tetapi, tangannya menampar tempat kosong karena dengan gerakan halus namun tepat sekali, kakek Thio Wi Han sudah mundur selangkah dan tamparan itupun hanya lewat di depan mukanya!

Melihat pukulannya luput karena dielakkan orang, Kwa Ti yang tidak biasa dibantah dan dilawan ini menjadi semakin marah dan penasaran. “Engkau berani melawan aku, ya?” bentaknya dengan sikap ingin benar dan menang sendiri. “Nah, rasakan ini!” Dia kini menyerang dengan pukulan bertubi, dengan gerakan silat, bukan sekedar menampar seperti tadi.

Akan tetapi, alangkah herannya tiga belas orang jagoan itu ketika melihat kakek itu hanya menggeser kaki dan melangkah ke sana-sini dan semua pukulan Kwa Ti hanya mengenai tempat kosong saja!

Pada saat itu, dari dalam pondok muncul seorang wanita. Usianya empat puluh tahun lebih tetapi ia masih nampak cantik dan tubuhnya masih padat dan ramping, pakaianaya sederhana namun rapi, juga rambutnya yang masih hitam itu tersisir rapi. Seorang wanita yang anggun. Begitu ia keluar dan melihat kakek Thio diserang orang, iapun cepat maju dan menghadang di tengah.

Kwa Ti tertegun melihat munculnya seorang wanita dan biarpun dia penasaran sekali melihat serangannya tidak pernah mengenai sasaran, dia menahan diri dan memandang wanita itu dengan alis berkerut.

“Engkau siapa berani menghalangiku?”

Dengan sikap seperti melindungi kakek itu, ia berkata. “Aku adalah isterinya! Kalian ini orang-orang sungguh tidak tahu malu sama sekali. Bukankah kalian ini tamu-tamu yang tidak diundang? Mengapa sikap kalian bukan seperti tamu melainkan seperti perampok saja, hendak memaksakan kehendak sendiri? Tamu yang sopan semestinya memenuhi peraturan tuan rumah!”

Setelah mendengar ucapan itu dan tahu bahwa dia berhadapan dengan nyonya rumah, Kwa Ti menyeringai dan dia menoleh kepada kawan-kawannya. “Kawan-kawan, kalau kita paksa si tua sampai mati, kita tidak akan berhasil memiliki golok pusaka yang ampuh. Si tua itu keras kepala, aku mempunyai akal untuk memaksanya tanpa membunuhnya!”

Dua belas orang kawannya tertawa-tawa dan seorang di antara mereka bahkan berkata, “Benar, tangkap saja isterinya, biarkan aku yang akan menemaninya. Heh-heh, ia masih manis dan bahenol, heh-heh!”

Kwa Ti yang menjadi kepala dari Cap-sha-kwi, bukan orang yang suka menggoda wanita, maka mendengar ini, dia tertawa. Memang maksudnya untuk menangkap isteri Thio Wi Han dan menjadikannya sebagai sandera agar kakek itu terpaksa memenuhi permintaan mereka membuatkan tigabelas batang golok.

“Baiklah, kau tangkap wanita itu!” katanya kepada kawan yang bicara tadi.

Orang itu matanya besar sekali, hidungnya pesek dan mulutnya lebar dengan bibir tebal, juga mukanya hitam dan kasar. Mendengar ucapan toakonya, dia tersenyum menyeringai dan melangkah. maju, tubuhnya yang tinggi besar itu menyeramkan, langkahnya seperti langkah seekor binatang buas.

“Heh-heh, nyonya manis, mari ikut denganku sementara suamimu membuatkan golok untuk kami.” Berbareng dengan habisnya kata-kata itu, kedua lengannya sudah menyambar dari kanan kiri hendak menangkap kedua pundak isteri Thio Wi Han. Anehnya, Thio Wi Han yang dari elakan-elakannya tadi jelas menunjukkan bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian silat, kini melihat isterinya diserang orang, bersikap diam saja dan menonton dengan tenang.

“Wuuut! Wuuuttt!” Sambaran kedua tangan yang berlengan panjang dan besar itu lewat dan sama sekali tidak menyentuh pundak Nyonya Thio Wi Han yang sudah menggeser kaki dengan gerakan indah dan ringan sekali.

Si penyerang yang tadinya bermaksud menangkap dan merangkul nyonya itu, menjadi penasaran dan kini, sambil mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas. kedua tangannya mencengkeram dengan tubrukan, yang kanan mencengkeram leher, yang kiri mencengkeram ke arah dada! Serangan yang berbahaya dan juga kurang ajar!

Wanita itu bersikap tenang, akan tetapi secepat kilat kedua kakinya secara beruntun menyambar ke depan, menyambut tubuh penyerangnya dan ujung sepatu kedua kakinya lebih dulu mengenai tubuh lawan sebelum kedua tangan yang mencengkeram itu tiba.

“Dukkk...! Dessss...!” Ujung sepatu kiri nyonya itu menyentuh sambungan lutut kaki kanan, sedangkan ujung sepatu kanan dengan kerasnya menghantam ulu hati ketika tubuh tinggi besar itu agak membungkuk karena lututnya tertendang. Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh tinggi besar itu terjengkang dan roboh terbanting!

“Kurang ajar...!” bentak orang kedua yang kepalanya besar sekali. Melihat kawannya roboh, dia sudah menerjang ke depan, akan tetapi dia dihadapi Thio Wi Han sendiri yang sudah menghadang dan melindungi isterinya. Karena marah, si kepala besar ini lalu memukul ke arah kakek itu dengan kerasnya. Kepalan tangan sebesar kepala orang itu menonjok ke arah dada Thio Wi Han.

Akan tetapi, kakek itu hanya miringkan tubuh dan ketika pukulan itu lewat, dia menampar dengan tangan miring ke arah leher samping lawannya. “Pergilah!” bentaknya lirih dan orang pun terjungkal karena lehernya terkena “bacokan” tangan miring yang membuat napasnya sesak dan kepalanya pening.

Melihat betapa suami isteri itu ternyata lihai, Kwa Ti terkejut dan marah sekali. Dia mengeluarkan bentakan sebagai aba-aba dan menyusul ini, nampak sinar berkilauan dan terdengar suara berdesing ketika semua orang itu telah mencabut golok besar mereka dari punggung! Juga mereka berdua yang tadi telah roboh, kini bangkit sambil mencabut golok. Suami isteri itu dikepung oleh tigabelas orang Wei-ho Cap-sha-kwi yang sudah membentuk barisan Cap-sha-kwi-tin dengan golok besar di tangan!