Pedang Kilat Membasmi Iblis Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PADA waktu itu, Tiauw Sun Ong tidak tinggal sendirian lagi di pondoknya. Kini dia ditemani puterinya, Tiauw Hui Hong, anak kandung yang baru ditemukannya setelah anak itu berusia dua puluh satu tahun! Bahkan baru saja dia mengetahui bahwa dia mempunyai seorang keturunan dari selir kaisar yaitu kakaknya, yang menjadi kekasihnya. Ternyata kekasihnya itu telah mengandung keturunannya ketika mereka tertangkap dan dipisahkan.

Tentu saja ayah dan anak ini merasa berbahagia sekali dan Tiauw Sun Ong yang menemukan anaknya sebagai seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi sebagai anak tiri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, segera menggembleng puterinya itu dan mengajarkan ilmu-ilmu simpanannya. Karena gadis itu memang telah memiliki dasar yang kuat sebagai anak angkat dan murid datuk majikan Lembah Bukit Siluman itu, maka tidaklah terlalu sukar baginya untuk melatih ilmu-ilmu yang kini diajarkan ayah kandungnya kepadanya.

Selama beberapa bulan tinggal bersama ayahnya di Hoa-san. Hui Hong telah memperoleh kemajuan pesat sekali dan ia kini menjadi jauh lebih lihai dibandingkan beberapa bulan sebelumnya, Karena puterinya itu memiliki ilmu Siang-kiam (Sepasang Pedang) yang cukup lihai, maka Tiauw Sun Ong lalu mengajarkan ilmu totok dengan tongkat yang dimainkan oleh tangan kiri Hui Hong, sedangkan tangan kanannya tetap memainkan pedangnya.

Kalau tadinya Hui Hong bersenjatakan sepasang pedang, kini ia mengganti pedang kirinya dengan sebatang tongkat yang dapat diambilnya di mana saja, sebatang rantingpun jadi. Dan ternyata ranting itu jauh lebih berbahaya bagi lawan dibandingkan kalau tangan kirinya memegang pedang!

Juga pedang di tangan kanannya mendapatkan banyak kemajuan setelah Tiauw Sun Ong menambahkan jurus-jurus baru. Juga bekas pangeran ini mengajarkan cara menghimpun hawa sakti kepada puterinya sehingga dalam hal tenaga sakti, Hui Hong juga menjadi semakin kuat.

Gadis itu merasa berbahagia sekali. Bukan hanya karena kini ia hidup dekat ayahnya, dapat mencucikan pakaian ayahnya, dapat memasakkan makanan untuk ayahnya dan menerima pelajaran ilmu dari ayahnya. Akan tetapi juga karena ayahnya menjodohkan ia dengan Bun Houw! Kini ia tinggal menanti datangnya pemuda yang memang sebelum ayahnya menjodohkannya, telah menjadi pujaan hatinya itu.

Kebahagiaan membuat Hui Hong nampak semakin cantik jelita karena wajahnya selalu cerah. Kalau dahulu, sebagai puteri datuk Ouwyang Sek, ia bersikap dingin, keras dan galak, kini di bibirnya yang mungil itu selalu nampak senyum manis, matanya yang tajam bersinar-sinar itu mengandung kelembutan, dan wajahnya selalu berseri.

Pada sore hari itu, Hui Hong berlatih silat pedang dan tongkatnya di belakang pondok ayahnya. Kini ia duduk mengaso dan menghapus keringat yang membasahi leher dan dahinya, dengan sehelai kain. Ia harus mengeringkan dulu keringatnya sebelum mandi! Dalam udara dingin puncak dapat berkeringat seperti itu, menunjukkan bahwa dalam latihan tadi Hui Hong mengerahkan banyak tenaga. Namun ia merasa puas dan tersenyum-senyum. Jurus paling sulit yang diajarkan ayahnya, setelah diulang-ulang selama beberapa hari, akhirnya hari ini dapat ia lakukan dengan baik.

Ayahnya tentu akan girang sekali. Melihat Hui Hong duduk di atas batu, rambutnya awut-awutan, mukanya basah oleh keringatnya, dan kemerahan karena mengerahkan tenaga, kedua pipinya segar kemerahan dan bibirnya lebih merah lagi, membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa kagum. Ia memang cantik jelita, seperti ibunya, selir kaisar yang memadu kasih dengan ayahnya.

Hui Hong sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, tiga orang bersembunyi di balik batu-batu gunung yang besar dan mengintai ke arah pondok ayahnya. Tentu saja tiga orang itu tidak dapat melihat Tiauw Sun Ong yang berada di dalam pondok, sebaliknya melihat jelas Hui Hong yang duduk di atas batu.

"Bu-eng-kiam, bukankah gadis itu anakmu Hui Hong?” Suma Koan berbisik.

"Ia bukan anakku lagi,” jawab Ouwyang Sek gemas.

"Ahhh, kiranya begitu? Jadi gadis itu telah bertemu dan berkumpul dengan ayah kandungnya?" kata pula Suma Koan.

"Ssttt, kebetulan sekali ia berada di sini," kata Kwan Im Sian-li, "Ia merupakan umpan yang lebih baik untuk memancing datangnya Kwa Bun Houw."

"Benar sekali, bocah itu saling mencinta dengan Bun Houw. Kalau kita tawan, pasti Bun Houw akan muncul dan mencoba untuk membebaskannya." kata Ouwyang Sek, "Hemm, kalau begitu, kalian berdua siap menghadapi Tiauw Sun Ong, biar aku sendiri yang menangkap gadis itu." kata Raja Maut Suling Setan itu, akan tetapi Kwan Im Sian-li menyentuh lengannya ketika datuk itu hendak keluar dari tempat sembunyinya.

“Giam-ong, kalau engkau sembrono, engkau akan menggagalkan semuanya. Jangan pandang ringan bekas murid Bu-eng-kiam itu. Kalau kita menghadapi Tiauw Sun Ong bertiga, tentu kita akan mampu menang, akan tetapi kalau Tiauw Sun Ong dibantu gadis itu, akan lebih sulit bagi kita. Sebaikya kita bertiga bersama-sama menangkap gadis itu sehingga kalau Tiauw Sun Ong keluar, kita dapat menundukkannya tanpa membuang tenaga, hanya dengan menyandera puterinya saja. Dan dengan mereka berdua sebagai umpan pancingan, aku yakin Kwa Bun Houw akan segera datang dan terjatuh ke tangan kita."

Dua orang datuk itu mengangguk-angguk mendengar ucapan Kwan Im Sian-li. Mereka lalu berbisik-bisik mengatur siasat dan tak lama kemudian ketiganya berindap-indap menghampiri Hui Hong yang masih duduk menyeka keringat dan menikmati kenyamanan hawa udara sejuk yang mengipasi tubuhnya yang masih panas oleh pengerahan tenaga-dalam latihan tadi. Tiga orang itu adalah datuk-datuk persilatan yang telah memiliki kepandaian tinggi sekali sehingga mereka mampu bergerak tanpa menimbulkan suara.

Akan tetapi, selama beberapa bulan menerima gemblengan ayahnya yang buta, Hui Hong telah diajar pula mempertajam pendengarannya, seperti ayahnya yang seolah menggantikan tugas matanya yang tidak dapat melihat itu dengan telinganya. Maka, setelah tiga orang itu agak dekat, pendengarannya dapat menangkap pernapasan mereka dan cepat ia meloncat turun dari atas batu. Namun terlambat. Tiga orang itu sudah terlampau dekat dan kini mereka telah mengepung Hui Hong dari tiga jurusan.

Andaikata ia tidak dikepung sekalipun, Hui Hong tidak akan melarikan diri. Gadis ini memiliki keberanian luar biasa, apalagi setelah ia mendapat gemblengan dari ayahnya dan sepasang senjata itu masih di tangannya. Ia tidak akan gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, ketika ia melihat siapa yang mengepungnya, ia mengerutkan alisnya dan maklum bahwa ia berhadapan dengan lawan-lawan yang amat tangguh. Tentu saja ia mengenal Ouwyang Sek, orang yang selama ini dianggap sebagai ayahnya sendiri, juga gurunya yang mengajarkan ilmu silat kepadanya sejak ia kecil.

Dan ia mengenal pula Suma Koan, datuk majikan Bukit Bayangan Iblis yang amat tangguh itu, orang yang pernah melamarnya untuk dijadikan mantunya. Dan iapun mengenal pula Kwan Im Sian-li, datuk wanita yang pernah membohonginya dan berusaha mengadu ia dengan ayah kandungnya sendiri. Tiga orang datuk kaum sesat maju sekaligus menghadapinya! Sungguh merupakan lawan yang amat tangguh dan berbahaya. Namun, ia siap dengan pedang dan tongkatnya, menghadapi mereka dengan sikap gagah sekali.

"Kalian...! Mau apa kalian bertiga datang ke sini?" ia bertanya dan sedikitpun ia tidak memperlihatkan sikap takut.

"Tangkap...!!" Ouwyang Sek berseru dan iapun sudah menyerang dengan kedua tangannya terjulur ke depan dan dari kedua tangan itu menyambar angin pukulan dahsyat ketika dia berusaha untuk merobohkan bekas murid atau anak tirinya itu dengan totokan dan cengkeraman.

Akan tetapi Hui Hong sama sekali tidak mengelak, bahkan tongkat di tangan kirinya menyambut cengkeraman tangan Ouwyang Sek dengan totokan ke arah telapak tangan itu, dan pedangnya menyambar ke arah pergelangan tangan yang menotoknya!

"Ahhh...!!" Ouwyang Sek berseru kaget, tidak menyangka bekas murid ini akan menyambutnya seperti itu, dengan jurus yang sama sekali tidak disangka dan tidak dikenalnya, bahkan menggantikan pedang kiri dengan tongkat yang lihai bukan main. Terpaksa dia meloncat ke belakang dan pada saat itu Kwan Im Sian-li dan Suma Koan sudah bergerak maju membantu rekan mereka. Suma Koan menggunakan suling mautnya untuk melakukan serangan totokan, sedangkan Bwe Si Ni menerkam dari samping dengan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau.

Serangan kedua orang ini hebat sekali sehingga Hui Hong terdesak hebat, biarpun ia sudah memutar pedang dan tongkatnya. Tenaga sin-kang dari kedua orang inipun amat kuat. Selagi ia berlompatan mengelak dari desakan kedua orang lawan itu, tiba-tiba belakang lutut kirinya terkena tendangan kaki Ouwyang Sek dan Hui Hong jatuh berlutut dengan sebelah kaki dan pada saat itu, pedang di tangan Kwan Im Sian-li Bwe Si Ni telah menempel di lehernya.

"Jangan bergerak, bergerak berarti mati!" bentak Bwe Si Ni dengan suara mengejek.

Suma Koan merampas tongkat dan pedang dari tangan Hui Hong yang terpaksa melepaskannya karena ia sudah tidak berdaya ditempeli pedang lehernya. Ia bukan seorang nekat yang bodoh untuk melawan dalam keadaan seperti itu yang akan sama saja dengan membunuh diri atau mati konyol. Akan tetapi ia masih sempat berseru nyaring, "Ayaaaahhh...!!”

Terdengar jendela pondok itu jebol dan tubuh Tiauw Sun Ong melesat di luar bagaikan seekor burung garuda menyambar ke arah tempat itu! Tiga orang itu sudah siap dan pedang yang menempel di leher Hui Hong semakin kuat. Tanpa mengeluarkan suara tubuh Tiauw Sun Ong sudah berdiri di depan tiga orang itu, tongkatnya melintang di depan, mukanya agak miring karena dia menggunakan tenaga yang dikerahkan kepada kedua telinganya untuk mendengarkan gerakan tiga orang itu. Biarpun kedua matanya tidak dapat melihat lagi, namun perasaan dan pendengaran, juga penciumannya, seolah dapat menggantikan kekurangan itu dan dia dapat mengetahui apa yang sedang terjadi di depannya!

"Hui Hong, tak dapatkah engkau melepaskan dirimu?" tanya Tiauw Sun Ong dan suaranya mengandung wibawa yang kuat sehingga tiga orang itu mau tidak mau merasa jerih juga.

“Ayah, mereka mengeroyok dan menangkapku secara curang." kata Hui Hong, namun ia tidak berani bergerak karena sekali ia bergerak, pedang itu dapat memenggal lehernya.

"Hemm, siapa kalian bertiga dan apa maksud kalian menangkap puteriku?"

"Tiga orang datuk itu menutupi perasaan jerih mereka dengan suara tawa mereka. Mereka sengaja menertawakan Tiauw Sun Ong karena sudah merasa menang dengan tertawannya puteri bekas pangeran itu.

Mendengar suara tawa mereka, Tiauw Sun Ong mengerutkan alisnya, "Bwe Si Ni! dan tentu seorang di antara kalian adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Dan siapa yang seorang lagi?"

"Tiauw Sun Ong, aku adalah orang yang suka bermain musik," jawab Suma Koan dan tiba-tiba terdengar suara suling ditiup ketika datuk ini meniup suling mautnya.

"Hemm, kiranya Kui-siauw Giam-ong? Kalian tiga orang datuk sesat telah bertindak seperti penjahat-penjahat kecil yang curang. Bebaskan puteriku, dan kalau kalian menghendaki, mari hadapi aku, tua sama tua, bukan tiga orang tua mengeroyok dan menawan seorang muda!"

"Hemm, Tiauw Sun Ong manusia berhati kejam!" teriak Kwan Im Sian-ii marah. “Engkau tidak dapat melihat akan tetapi ketahuilah bahwa pedangku sudah menempel di leher puterimu. Sekali saja engkau membuat gerakan, pedangku akan lebih dulu memenggal batang leher puterimu yang putih mulus ini!"

Kedua tangan Tiauw Sun Ong gemetar karena dia menahan kemarahannya, "Bwe Si Ni, apa kehendak kalian bertiga? Katakan!” Dia tahu bahwa tiga orang manusia curang itu sengaja menyandera Hui Hong untuk memaksa dia.

"Tiauw Sun Ong, buang tongkatmu dan menyerahlah menjadi tawanan kami atau puterimu akan kupenggal batang lehernya di depan hidungmu!" kata pula Kwan Im Sian-li dengan suara mengejek, hatinya girang dapat membuat orang yang kini amat dibencinya itu gelisah.

"Ayah, jangan dengarkan omongannya! Jangan perdulikan aku, hajar saja mereka. Aku tidak takut mati!" teriak Hui Hong.

"Bwe Si Ni, aku selamanya tidak pernah mengganggumu, dan tidak pernah ada urusan dengan Bu-eng-kiam maupun Kui-siauw Giam-ong. Akan tetapi kalau kalian sampai berani mengganggu puteriku, demi Tuhan, aku tidak akan berhenti sampai dapat membunuh kalian bertiga!" Suara bekas pangeran itu mengandung wibawa yang menggetarkan perasaan tiga orang itu.

Suma Koan dan Ouwyang Sek sudah siap dengan senjata mereka, menghadang di depan Tiauw Sun Ong agar bekas pangeran itu tidak mempergunakan kekerasan untuk menolong puterinya.

"Tiauw Sun Ong, menyerahlah, atau kubunuh puterimu!" teriak Bwe Si Ni dan dari suara wanita ini, tahulah Tiauw Sun Ong bahwa ia bersungguh-sungguh dan keselamatan nyawa puterinya tergantung kepada sikapnya.

"Ayah, serang saja mereka!" kembali Hui Hong berseru.

"Hui Hong, tenang dan sabarlah," kata Tiauw Sun Ong yang kemudian bertanya kepada Bwe Si Ni, "Si Ni, lihat aku sudah menyerah, lalu apa kehendak kalian bertiga?" Dia melepaskan tongkatnya yang jatuh ke depan kedua kakinya.

Pada saat itu, terdengar suara wanita yang nyaring dan amat berpengaruh, "Kwan Im Sian-li, lepaskan pedangmu! Cepat!"

Suara itu mengandung getaran yang amat kuat sehingga mengejutkan semua orang, terutama sekali Kwan Im Sian-li dan tanpa disadarinya, iapun melepaskan pedangnya yang tadi dipergunakan untuk mengancam Hu Hong.

"Hui Hong, cepat!” teriak Tiauw Sun Ong kepada puterinya.

Akan tetapi sebetulnya Hui Hong tidak memerlukan peringatan ini lagi. Begitu merasa betapa pedang itu meninggalkan lehernya, iapun menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah dada Kwan Im Sian-li yang terpaksa melangkah mundur menghindarkan diri dan kesempatan itu dipergunakan oleh Hui Hong untuk bergerak cepat ke kiri dan menyambar tongkat dan pedangnya yang tadi dirampas oleh Suma Koan dan dilemparkan ke atas tanah.

"Haiiiittt...!!" Tiauw Sun Ong juga sudah menggerakkan kedua tangannya menerjang ke arah Ouwyang Sek dan Suma Koan. Demikian hebat serangannya sehingga kedua orang datuk ini mundur, dan kesempatan itu dia pergunakan untuk memungut kembali tongkatnya.

Hui Hong menoleh ke arah suara wanita tadi dan muncullah seorang wanita muda yang cantik. Hui Hong memandang penuh perhatian. "Kau...? Bukankah engkau... Cia Ling Ay...“ Nama ini tak pernah ia lupakan karena Cia Ling Ay, seperti yang didengarnya dari Bun Houw, adalah bekas tunangan pemuda yang dicintanya itu.

Ling Ay tersenyum dan mengangguk. "Adik Hui Hong, mari kita hajar iblis betina yang jahat ini!" katanya.

Tanpa diminta untuk ke dua kalinya, Hui Hong sudah memutar pedang dan tongkatnya menyerang Kwan Im Sian-li. Cia Ling Ay juga menggerakkan pedangnya membantu. Dalam hal ilmu silat, sebagai murid mendiang Bi Moli Kwan Hwe Li, tentu saja Ling Ay bukan tandingan Kwan Im Sian-li yang mempunyai tingkat sebanding gurunya, akan tetapi wanita muda ini memiliki kelebihan, yaitu ilmu sihir! Biarpun dalam ilmu ini ia tidak sekuat mendiang gurunya, namun sudah cukup untuk dapat mempengaruhi seorang datuk wanita seperti Kwan Im Sian-li sehingga ia dapat menyelamatkan Hui Hong.

Sejak tadi ia memang menyaksikan peristiwa di belakang pondok itu. Ia datang ke Hoa-san dengan niat mencari Kwa Bun Houw. Ia merasa menyesal sekali telah memperlihatkan perasaan duka dan putus asa meninggalkan Bun Houw seperti seorang yang merasa cemburu. Ia hendak menemui dan minta kepada bekas tunangannya itu dan ia mengira bahwa Bun Houw dapat ia temukan di tempat kediaman guru pemuda itu. Ia pernah bersama gurunya datang ke tempat ini. Maka ia dapat mengunjungi pondok dari arah belakang dan kebetulan melihat betapa Hui Hong ditangkap oleh tiga orang datuk.

Tadinya, ia tidak ingin mencampuri, akan tetapi melihat betapa bekas pangeran itu dan Hui Hong diancam secara curang oleh tiga orang itu. ia merasa penasaran dan segera berusaha untuk membantu. Ia tidak begitu bodoh mengandalkan ilmu silatnya terhadap tiga orang datuk yang ia tahu amat lihai, maka satu-satunya jalan baginya untuk menolong Hui Hong adalah dengan ilmu sihirnya, menyerang dengan tiba-tiba mengejutkan Kwan Im Sian-li sehingga datuk wanita itu terkejut dan melepaskan pedangnya dan Hui Hong dapat terbebas dari ancaman maut.

Sementara itu, Tiauw Sun Ong sudah menggerakkan tongkatnya menghadapi pengeroyokan Suma Koan dan Ouwyang Sek. Diam-diam dia merasa gembira bahwa puterinya terbebas dari ancaman maut, dan dia belum tahu siapa wanita yang menyelamatkan puterinya dengan sihir tadi. Akan tetapi dia merasa lega bahwa puterinya dan penolong itu yang kini menghadapi Kwan Im Sian-li, karena kalau dia yang harus melawannya, bagaimanapun juga dia masih merasa kasihan dan tidak tega untuk membunuh bekas dayang itu.

Betapapun lihainya Tiauw Sun Ong, kini dia menghadapi pengeroyokan dua orang datuk yang berilmu tinggi. Terpaksa dia harus mengerahkan seluruh tenaganya dan masih untunglah bahwa berkat kebutaannya, dia memiliki kepekaan melebihi orang biasa, dan pendengarannya menjadi amat tajam sehingga dia dapat mengetahui setiap gerakan lawan walaupun gerakan itu dilakukan dari arah belakangnya. Bagaimanapun juga, karena kedua orang lawannya merupakan datuk-datuk yang berilmu tinggi, Tiauw Sun Ong lebih banyak menangkis dan mengelak dari pada menyerang. Dia terdesak sungguhpun kedua orang lawannya tidak mudah untuk dapat merobohkannya.

Di lain pihak, Kwan Im Sian-li repot sekali menghadapi pengeroyokan dua orang wanita muda itu. Apalagi kini Hui Hong telah memperoleh kemajuan pesat di bawah bimbingan ayahnya. Kalau ia harus melawan sendiri bekas dayang itu, agaknya Hui Hong masih akan merasa kewalahan. Akan tetapi di situ ada Ling Ay yang juga lelah mewarisi sebagian besar ilmu mendiang Bi Moli Kwan Hwe Li. Dengan kerja sama yang baik, dua orang wanita muda ini perlahan-lahan mulai mendesak Kwan Im Sian-li, membuat datuk wanita itu repot membela diri dan jarang ia dapat membalas serangan mereka.

Diam-diam Hui Hong merasa kagum kepada Ling Ay. Bekas tunangan Kwa Bun Houw ini, pada kurang lebih empat tahun yang lalu, masih dikenalnya sebagai seorang wanita yang lemah. Akan tetapi sekarang mendadak muncul sebagai seorang wanita yang lihai dalam ilmu silatnya, bahkan juga memiliki kekuatan sihir yang tadi dipergunakannya dan berhasil menyelamatkan ia dan ayahnya! Bukan main! Dan iapun melihat betapa bekas tunangan Bun Houw itu kini bersungguh-sungguh mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menyerang Kwan Im Sian-li. Melihat ini, timbul semangatnya dan iapun menggerakkan pedang dan tongkatnya lebih cepat lagi.

Tentu saja Kwan Im Sian-li menjadi semakin repot setelah dua orang wanita muda itu memperhebat serangan mereka. Apalagi ketika ia mengerling ke arah kedua orang rekan mereka, dari dua orang datuk itu iapun tidak dapat mengharapkan bantuan karena mereka berdua itu masih bertanding seru mengeroyok Tiauw Sun Ong dan nampaknya belum ada tanda-tanda akan menang dalam waktu pendek.

Hui Hong juga mengerling ke arah ayahnya dan ia maklum bahwa kalau dilanjutkan pertandingan itu, lambat laun ayahnya tentu akan terancam bahaya karena dua orang datuk itu memang lihai bukan main. Ia harus dapat merobohkan Kwan Im Sian-li lebih dahulu sebelum dapat membantu ayahnya, karena kalau ia tinggalkan Ling Ay seorang diri menghadapi bekas dayang itu, sama saja dengan membunuh wanita yang kemunculannya telah menyelamatkan ia dan ayahnya itu.

Maka ia mengerahkan semua tenaga dan kepandaiannya untuk mencoba merobohkan wanita itu secepatnya, namun harapannya itu agaknya tidak akan mudah dapat menjadi kenyataan. Kwan Im Sian-li adalah seorang datuk wanita yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi, bahkan tidak banyak selisihnya dibandingkan tingkat kepandaian Ouwyang Sek ataupun Suma Koan. Dan melihat betapa ayahnya mulai terdesak, timbul kegelisahan di hati Hui Hong, khawatir kalau ayahnya akan celaka di tangan dua orang datuk itu. Dan kegelisahannya ini justeru membuat gerakannya menjadi kacau dan hal ini membuat Kwan Im Sian-li nampak semakin kuat dan sukar dikalahkan.

Tiauw Sun Ong memang mulai terdesak oleh kedua orang pengeroyoknya. Keadaan di dua gelanggang pertempuran itu membuat keadaan kedua pihak seimbang. Tiauw Sun Ong terdesak oleh dua orang pengeroyoknya, sebaliknya, puterinya dan Ling Ay juga mendesak Kwan Im Sian-li. Mereka semua maklum bahwa pihak yang kalah lebih dulu berarti akan kalah semua karena pihak yang menang tentu akan dapat membantu perkelahian yang lain.

"Enci Ling Ay, cepat kau bantu ayahku!” tiba-tiba Hui Hong memutar pedangnya dengan sepenuh tenaganya menyerang Kwan Im Sian Li karena ia sudah mengambil keputusan untuk membiarkan ia seorang diri yang terdesak oleh lawan, akan tetapi ayahnya harus dibantu dan itulah sebabnya ia minta kepada Ling Ay untuk membantu ayahnya.

Ling Ay menjadi agak bingung mendengar permintaan itu karena ia pun tahu bahwa menghadapi Kwan Im Sian-li sendiri saja merupakan bahaya besar bagi gadis itu. Akan tetapi Ling Ay adalah seorang yang cukup cerdik, iapun tahu bahwa Hui Hong sengaja membiarkan dirinya terancam asal ayahnya terbebas dari desakan dua orang pengeroyoknya. Dan iapun percaya bahwa bagaimanapun juga Kwan Im Sian-li tidak akan mudah saja mengalahkan atau merobohkan Hui Hong. walaupun gadis itupun tidak akan mungkin menang kalau melawan datuk wanita itu seorang diri saja. Maka, iapun meloncat dan memutar pedangnya, terjun ke dalam gelanggang pertandingan membantu Tiauw Sun Ong.

Serial Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo

Bekas pangeran itu terkejut sekali ketika dengan pendengarannya ia dapat mengetahui bahwa wanita yang tadi membantu puterinya, kini datang membantunya. Hal ini berarti bahwa puterinya itu seorang diri saja menghadapi Kwan Im Sian-li! Dan diapun segera tahu bahwa puterinya sengaja mengorbankan diri demi keselamatannya, sengaja menyuruh wanita penolong tadi membantunya agar dia terbebas dari desakan dan ancaman dua orang datuk yang mengeroyoknya.

"Nona bantulah Hui Hong saja!" teriaknya berulang kali.

"Enci Ling Ay. kau bantu ayah!” teriak pula Hui Hong.

Tentu saja terikan ayah dan anak ini membuat Ling Ay menjadi bingung. Juga membuat Tiauw Sun Ong dan Hui Hong kehilangan pencurahan perhatiannya sehingga membuyar atau terpecah dan tiba-tiba Hui Hong mengaduh karena ujung pedang Kwan Im Sian-li yang tadinya menyambar ke arah lehernya, agak lambat ia mengelak dan pundak kirinya disambar ujung pedang sehingga berdarah

Melihat ini, Ling Ay meloncat dan menangkis pedang Kwan Im Sian-Ii yang sudah menyambar lagi ke arah tubuh Hui Hong yang terhuyung sehingga gadis itu terbebas dari maut dan mereka berdua sudah mengeroyok lagi Kwan Im Sian-li. Teriakan Hui Hong yang tertahan ketika pundaknya terluka, dapat tertangkap telinga Tiauw Sun Ong dan bekas pangeran itu menjadi sedemikian kaget dan gelisahnya sehingga ujung suling di tangan Suma Koan berhasil menghantam paha kaki kirinya.

"Dukkk...!" Dan tubuh bekas pangeran itu terhuyung ke belakang. Untung dia masih sempat mengerahkan sin-kang sehingga tulang pahanya tidak patah, akan tetapi dalam keadaan terhuyung itu. tentu saja dia membuka kesempatan bagi kedua orang pengeroyoknya untuk mendesak maju.

Melihat ini, Ling Ay mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan pedangnya menyambar cepat untuk melindungi bekas pengeran itu. Teriakannya yang mengandung wibawa karena dikerahkan dengan kekuatan sihir, membuat kedua orang datuk itu agak tertahan gerakan mereka, akan tetapi ketika suling di tangan Suma Koan bertemu pedang di tangan Ling Ay, tetap saja Ling Ay terhuyung dan pedang itu hampir terlepas dari tangannya. Bagaimanapun juga, bantuan Ling Ay ini telah membebaskan Tiauw Sun Ong dari ancaman maut.

Ketika kedua orang datuk itu mendesak lagi, Tiauw Sun Ong sudah dapat memutar tongkatnya membela diri, juga Ling Ay membantunya dengan putaran pedangnya. Namun, bantuan Ling Ay ini tidak membuat keadaan Tiauw Sun Ong lebih baik. Apalagi, pahanya telah terluka terasa nyeri.

Keadaan ayah dan anak itu sungguh gawat. Bantuan Ling Ay memang telah dua kali menyelamatkan Tiauw Sun Ong dan Hui Hong akan tetapi tidak meloloskan mereka dari desakan tiga orang datuk itu. Keadaan Hui Hong yang paling repot. Pundaknya telah terluka dan biarpun luka itu tidak terlalu parah, namun gerakannya membuat luka itu terus mengucurkan darah! Beberapa kali hampir saja ia menjadi korban tusukan pedang Kwan Im Sian-li dan ketika ia berhasil menangkis sebuah tusukan, tiba-tiba kaki Kwan Im Sian-li berhasil menendang kakinya di bawah lutut dan Hui Hong terpelanting! Kwan Im Sian-li mengeluarkan suara tawa dan pedangnya berkelebat.

"Tranggg...!"

"Aihhh...!!" Kwan Im Sian-li terkejut bukan main dan terbelalak memandang kepada pedang yang dipegangnya karena pedang itu telah patah ujungnya. Ia tadi hanya melihat kilat menyambar dan tahu-tahu pedangnya telah tertangkis dan menjadi buntung! Ketika ia memandang, kiranya di depannya telah berdiri orang yang dicari-cari tiga orang datuk itu, yaitu Kwa Bun Houw yang sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan di tangannya, dan dengan tangan kirinya dia menarik tangan Hui Hong dan membantu gadis itu bangkit berdiri.

"Houw-koko, kau bantu ayah...!" kata Hui Hong, gembira bukan main melihat munculnya Bun Houw.

Bun Houw menoleh dan melihat betapa gurunya, Tiauw Sun Ong, didesak hebat oleh Ouwyang Sek dan Suma Koan dan gurunya itu dibantu oleh Cia Ling Ay dengan mati-matian, hal yang membuat ia terheran-heran bukan main. Akan tetapi dia mengerti bahwa Ling Ay membantu Hui Hong dan ayahnya, maka diapun cepat berseru,

"Adik Ling Ay, kau bantu Hong-moi."

Ling Ay juga gembira melihat munculnya Bun Houw. "Baik!" katanya dan dengan penuh semangat, janda muda ini lalu meloncat dan menyerang Kwan Im Sian-li dengan pedangnya.

Hui Hong menggerakkan pedang dan tongkatnya mengeroyok. Hui Hong sedemikian gembiranya melihat kedatangan Bun Houw sehingga ia melupakan luka di pundaknya dan gerakannya kini bagaikan seekor harimau betina mengamuk. Tentu saja Kwan Im Sian-li yang sudah buntung pedangnya, menjadi semakin panik dan menurun semangatnya.

Sementara itu, sekali melompat saja Bun Houw sudah terjun ke gelanggang perkelahian. Dua orang datuk itu pun terkejut setengah mati melihat munculnya pemuda itu. Tadinya mereka memang ingin bertemu Bun Houw untuk membalas dendam, akan tetapi bukan sekarang, di mana terdapat Tiauw Sun Ong, Tiauw Hui Hong, dan Cia Ling Ay yang dapat membantunya. Menghadapi bekas pangeran dan dua orang wanita muda itu saja, sampai sekian lamanya mereka belum mampu menundukkan mereka, apalagi kini muncul Kwa Bun Houw! Akan tetapi, dua orang datuk yang merasa dirinya besar dan tinggi kedudukannya itu, menutupi kegelisahan mereka.

"Bagus, engkau muncul sendiri, Kwa Bun Houw! Bersiaplah untuk mampus di tanganku sebagai pembalasan kematian puteraku!" kata Ouwyang Sek marah.

"Puteramu sendiri yang bersalah hendak membunuh kaisar dan dia tertangkap, dihukum mati. Kenapa salahkan aku?" Bun Houw menjawab.

"Engkau yang menyebabkan dia tertawan!" bentak Ouwyang Sek dan diapun sudah menggerakkan pedangnya menyerang Kwa Bun Houw.

Datuk ini berjuluk Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan), tentu saja dia memiliki ilmu pedang yang ampuh. Namun, sekali ini dia berhadapan dengan Kwa Bun Houw yang bukan saja telah menguasai hampir seluruh kepandaian Tiauw Sun Ong, namun bahkan kini dia lebih lihai dari gurunya karena dia telah menguasai pula ilmu rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tubuhnya amat kuat, mengandung tenaga sakti yang hebat berkat khasiat Akar Bunga Gurun Pasir yang secara kebetulan diminumnya. Maka, begitu Bun Houw menggerakkan pedangnya untuk melawan, terjadi pertandingan seru dan hebat, namun yang membuat Ouwyang Sek segera terdesak hebat!

Tiauw Sun Ong juga kini dapat mendesak Suma Koan. Biarpun pahanya terasa nyeri, akan tetapi bekas pangeran itu dapat mendesak lawan yang hanya tinggal seorang itu, dan perlahan-lahan, sinar dari suling di tangan Suma Koan semakin mengendur dan menyempit. Yang paling payah keadaannya adalah Kwan Iin Sian-li. Kembali Ling Ay membantu Hui Hong dan kedua orang wanita muda itu dengan penuh semangat menghimpit dan menekan datuk wanita yang pedangnya sudah buntung, tidak memberi kesempatan kepadanya untuk balas menyerang, apalagi melarikan diri.

Kwan Im Sian-li hanya dapat berusaha sekuat tenaga untuk mengelak atau menangkis dengan pedang buntungnya. Namun, usaha ini hanya dapat membuat ia bertahan selama belasan jurus saja karena ketika mendapat kesempatan baik, ranting di tangan kiri Hui Hong berhasil menotok dadanya, membuat datuk wanita itu terhuyung lemas dan kesempatan itu dipergunakan oleh Cia Ling Ay untuk menusukkan pedangnya ke lambung Kwan Im Sian-li. Bekas dayang istana itu menjerit, akan tetapi jeritnya tertahan karena saat itu, pedang di tangan kanan Hui Hong menyambar dan menusuk tembus lehernya. Wanita itu terkulai dan tewas seketika, mandi darah.

Pada saat yang hampir bersamaan, tangan kiri Bun Houw dengan pengerahan tenaga dahsyat Im-yang Bu-tek Cin-keng, telah menyambar dan menampar ke arah dada lawan. Pada saat itu pedang Ouwyang Sek bertemu dengan Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) dan biarpun pedang datuk itu tidak patah karena terbuat dari baja pilihan, namun dia tidak dapat menariknya kembali. Pedang itu melekat dengan pedang di tangan Bun Houw dan selagi dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan pedangnya, tiba-tiba saja Bun Houw menampar dengan tangan kirinya. Ouwyang Sek tidak dapat mengelak dan mengerahkan sin-kang untuk membuat dadanya dilindungi kekebalan. Dia tidak tahu betapa hebatnya tenaga dari Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.

"Plakkk!" Mata Ouwyang Sek terbelalak dan ketika tubuhnya terjengkang roboh, nyawanya sudah melayang. Tamparan itu telah menghancurkan semua isi dadanya.

Melihat gurunya belum juga merobohkan Suma Koan, Bun Houw maklum bahwa agaknya gurunya tidak ingin membunuh lawan. Gurunya sudah mendesak hebat dan kalau gurunya menghendaki, tentu tongkat di tangan gurunya itu sudah dapat membunuh lawan. Diapun melompat ke depan dan berseru, "Suhu, biar teecu menghadapinya!"

Mendengar ucapan muridnya ini. Tiauw Sun Ong melompat ke belakang dan Suma Koan menjadi lega bukan main. Tadi dia sudah repot dan tinggal menanti robohnya saja dan sekarang, lawan yang amat tangguh itu meninggalkannya dan digantikan muridnya. Bagaimanapun juga, sang murid tidak mungkin selihai sang guru. Diapun cepat menyerang Bun Houw dengan sulingnya, mengerahkan semua tenaganya. Bun Houw menyambut dan mengerahkan tenaga pula.

"Tranggg...!!"

Bunga api berpijar dan hampir saja Suma Koan melepaskan sulingnya karena telapak tangan yang memegang suling merasa panas tergetar hebat. Dia terkejut dan nekat, namun matanya silau oleh gulungan sinar pedang yang seperti kilat menyambar-nyambar itu. Dia berusaha untuk membela diri, namun baru dia tahu bahwa pemuda ini bahkan jauh lebih berbahaya dibandingkan bekas pangeran itu. Sebelum dia dapat membalas hujan serangan itu, tiba-tiba kilat menyambar berkelebat di depan matanya dan di lain saat iapun sudah roboh terjengkang dengan dada ditembusi pedang. Raja Maut Suling Iblis itu pun roboh dan tewas seketika.

"Ya Tuhan... terima kasih bahwa aku tidak dapat melihat semua kengerian ini...!" terdengar Tiauw Sun Ong berkata, alisnya berkerut dan wajahnya nampak muram...!

"Harap suhu memaafkan teecu, terpaksa teecu membunuh mereka karena mereka memang amat jahat dan mereka tadi berusaha mati-matian untuk mencelakai suhu." kata Bun Houw.

Hui Hong cepat menghampiri ayahnya dan memegang lengan ayahnya. “Ayah. Houw-ko tidak bersalah. Memang benar, yang jahat adalah tiga orang sesat itu. Mereka mencari kematian sendiri. Kalau tadi tidak ada enci Cia Ling Ay yang datang menolong, tentu ayah dan aku sudah tewas di tangan mereka.”

“Hemm, nona yang pandai menggunakan sihir... engkau seperti Kwan Hwe Li, bagaimana tiba-liba dapat menolong kami? Siapakah engkau?" Bekas pangeran itu bertanya dan diapun memalingkan mukanya ke arah Ling Ay.

"Lo-cian-pwe mungkin lupa kepada saya. Saya pernah datang ke sini bersama subo Bi Moli."

"Ahhh...!” Tiauw Sun Ong berseru kaget. "Jadi engkau murid Kwan Hwe Li itu. Akan tetapi... kenapa engkau sekarang malah membantu kami?"

"Ayah, enci Ling Ay bukanlah orang jahat walaupun ia menjadi murid Bi Moli.” kata Hui Hong. "Bahkan ia dahulu adalah... sahabat baik dan sekampung dengan Houw ko.”

Mendengar ucapan Hui Hong itu, wajah. Ling Ay berubah kemerahan dan ia tersipu. Tentu Bun Houw sudah bercerita kepada gadis itu tentang hubungan mereka dahulu. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Pantas menjadi kekasih dan tunangan Bun Houw.

"Aih, sudahlah, adik Hui Hong, aku bukan seorang yang patut dipuji puji. Sekarang aku mohon diri. Lo-cianpwe, saya mohon pamit... akan melanjutkan perjalanan..."

"Ling Ay, nanti dulu!" kata Bun Houw dengan perasaan tidak enak sekali. Dia tahu betapa dia telah melukai dan mengecewakan hati wanita ini, dan sekarang wanita ini muncul sebagai penyelamat gurunya dan kekasihnya. "Engkau tiba-tiba saja muncul di sini dan menyelamatkan suhu dan Hong-moi, bagaimana engkau akan pergi begitu saja? Kami ingin mendengar bagaimana engkau dapat muncul di sini dan..."

"Benar, enci. Engkau tidak boleh pergi begitu saja! Aku ingin sekali berkenalan lebih akrab denganmu." kata Hui Hong sambil memegang tangan wanita itu.

“Nona, kami mengundangmu untuk singgah di pondok kami dan bicara, kecuali kalau nona tidak sudi menerima undangan kami...“ kata pula Tiauw Sun Ong.

Tentu saja Ling Ay merasa tidak enak sekali untuk menolak. "Kalau itu yang kalian inginkan, baiklah saya akan singgah sebentar..."

"Bun Houw, lebih dahulu kita harus kubur tiga jenazah ini baik-baik dan dengan penuh penghormatan.” kata Tiauw Sun Ong.

"Ayah, mereka adalah orang-orang jahat, datuk-datuk sesat!" Hui Hong memprotes.

"Hui Hong, yang kita tentang adalah kejahatan mereka, bukanlah orangnya. Mereka itu sama saja dengan kita, manusia-manusia yang senasib sependeritaan dengan kita yang patut dikasihani. Setelah mereka tewas, tidak ada lagi kejahatan pada diri mereka."

Mereka berempat lalu menggali lubang di permukaan puncak yang agak jauh dari pondok itu karena mereka harus memilih tempat yang tidak mengandung banyak batu sehingga mudah menggali lubang. Kemudian, dengan sederhana namun cukup khidmat, mereka mengubur jenazah tiga orang datuk itu di dalam tiga buah lubang. Tidak urung Hui Hong yang pada dasarnya berhati lembut itu menangis di depan makam Ouwyang Sek karena ia teringat akan segala kebaikan yang telah dilimpahkan datuk itu kepadanya sejak ia kecil sampai dewasa. Harus diakuinya bahwa sebelum ia menjadi dewasa dan hendak dijodohkan dengan Suma Hok datuk ini bersikap amat baik kepadanya, seperti kepada anak sendiri.

Setelah pemakaman itu selesai, mereka semua memasuki pondok dan bercakap-cakap. Terpaksa Ling Ay menceritakan bagaimana secara kebetulan sekali ia dapat berada di situ dan membantu Tiauw Sun Ong dan Hui Hong menghadapi tiga orang datuk yang lihai itu. Akan tetapi ceritanya itupun merupakan karangannya saja, karena bagaimana mungkin ia mengaku kepada mereka, terutama Hui Hong, bahwa ia datang untuk mencari Bun Houw dan menyampaikan permintaan maafkan atas sikapnya kepada Bun Houw tempo hari ketika pemuda itu menolak harapannya untuk menyambung tali pertunangan mereka yang putus?

Dengan terus terang ia menceritakan bahwa tadinya ia mengikuti subonya ke kota raja, bahkan mendapatkan pekerjaan di kota raja. Akan tetapi melihat subonya bekerja sama dengan Ouwyang Toan, iapun merasa tidak setuju dan mendengar niat mereka untuk memaksanya menjadi isteri Ouwyang Toan, ia lalu melarikan diri. Mereka mengejarnya sehingga tersusul dan hampir saja ia celaka di tangan mereka.

"Untung sekali muncul kakak Kwa Bun Houw yang kebetulan sekali melihat aku dikeroyok mereka, dan telah menolongku lepas dari tangan mereka. Setelah aku berpisah dari guruku, aku lalu merantau seorang diri tanpa tujuan tertentu dan kebetulan sekali aku lewat di bawah pegunungan Hoa-san. Aku teringat ketika diajak oleh subo naik ke puncak ini, maka iseng-iseng saja aku mendaki puncak dan melihat tiga orang itu juga naik puncak di depanku. Aku lalu membayangi mereka dan melihat apa yang terjadi tadi, maka aku lalu berusaha membantu kalian."

"Dan engkau telah berhasil, enci Ling Ay. Kalau tidak ada engkau, entah bagaimana jadinya dengan ayah dan aku. Houw-ko, engkau datang terlambat!"

"Aih, adik Hui Hong, jangan berkata begitu. Kalau tidak ada kakak Bun Houw tadi datang, apa kaukira kita juga akan mampu bertahan? Mereka amat lihai." kata Ling Ay, tidak sengaja seperti membela Bun Houw.

Ketika tiba giliran Bun Houw menceritakan pergalamaanya, Bun Houw bercerita tentang penyerangan yang dilakukan Bi Moli dan Ouwyang Toan di istana terhadap kaisar dan betapa dengan perantaraan Hek-tung Lo-kui dia ditugaskan untuk menjaga keselamatan kaisar dengan menyamar sebagai seorang pengawal baru.

"Suhu, teecu berhasil menangkap Bi Moli dan Ouwyang Toan, Sribaginda Kaisar berhasil diselamatkan. Setelah meninggalkan istana teecu segera pergi mengunjungi bekas Kaisar Cang Bu untuk menyadarkan beliau agar tidak bersekutu dengan kerajaan Wei di utara, dan mengingatkan beliau bahwa gerakan beliau untuk memberontak itu tidak akan benar dan hanya akan mendatangkan perang yang menyengsarakan rakyat. Teecu di sana bentrok dengan Suma Hok yang mengkhianati bekas kaisar itu, dan teecu berhasil pula menundukkannya sehingga dia ditawan bekas kaisar itu. Akan tetapi teecu tidak berhasil membujuk Kaisar Cang Bu. Dia tidak mau mundur sehingga diserbu pasukan pemerintah. Teecu tidak mencampuri pertempuran itu dan teecu pulang ke sini sebelum teecu melanjutkan pengejaran terhadap Bu-tek Sam-kwi dan membasmi Thian-te Kui-pang, gerombolan yang telah mengacau di perbatasan dan membunuh banyak rakyat dan tokoh kang-ouw itu." Bun Houw lalu menceritakan kepada gurunya tentang Thian-te Kui-pang, gerombolan seratus orang yang dikirim oleh Kerajaan Wei untuk mengacau daerah perbatasan.

Mendengar penuturan muridnya itu Tiauw Sun Ong menghela napas panjang. "Semua orang tiada henti-hentinya saling memperebutkan kekuasaan. Agaknya manusia telah lupa bahwa kekuasaan mutlak berada di Tangan Tuhan Yang Maha Kuasa, dan kehadiran manusia di bumi bukan untuk saling memperebutkan kekuasaan, melainkan untuk melakukan suatu manfaat bagi manusia pada umumnya, berguna pula bagi dunia. Manusia bertugas menjadi alat dari kekuasaan Tuhan. Akan tetapi nafsu mempermainkan manusia sehingga mereka lupa diri, mereka memegang kekuasaan bukan demi kesejahteraan rakyat melainkan demi kesenangan diri pribadi. Karena itu timbullah perang dan pertempuran tak kunjung hentinya yang hanya mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat jelata. Kalian semua memang benar. Sebagai orang-orang muda yang pernah dengan susah payah mempelajari kepandaian, setelah menguasai ilmu harus dipergunakan demi menolong manusia yang sengsara, demi menegakkan kebenaran, dan keadilan, menentang kejahatan, bukan ikut-ikutan memperebutkan kekuasaan. Sayang aku sudah tua, kalau aku masih kuat, aku pun tidak dapat membiarkan saja gerombolan seperti Thian-te Kui-pang itu mengganggu kehidupan rakyat di pedusunan sepanjang perbatasan."

"Harap suhu tenangkan hati. Teecu adalah, murid suhu dan teecu sanggup mewakili suhu untuk menghancurkan perkumpulan iblis itu.” kata Bun Houw.

"Houw-koko benar, ayah. Di sini ada Houw ko dan aku, untuk apa ayah harus turun tangan sendiri? Biar aku yang akan membantu Houw-ko menghancurkan perkumpulan, iblis itu!” kata pula Hui Hong dengan penuh semangat.

"Lo-cian-pwe, tugas ini memang untuk yang muda-muda. Saya pun siap membantu membasmi perkumpulan iblis itu, tentu saja kalau kakak Bun Houw dan adik Hui Hong suka menerima saya untuk membantu mereka."

"Heii, enci Ling Ay, kenapa engkau berkata demikian? Tentu saja kami senang sekali kalau engkau suka membantu, bahkan kalau engkau tidak menawarkan bantuan sekalipun, tentu aku akan memintamu!" kata Hui Hong sambil memegang tangan gadis itu.

Akan tetapi sambil menggandeng tangan-Hui Hong, Ling Ay masih menoleh kepada Bun Houw untuk melihat bagaimana tanggapan pemuda itu. Ia tahu diri dan tidak ingin mengganggu kalau memang pemuda itu tidak menghendaki bantuannya. Akan tetapi Bun Houw juga mengangguk dan berkata dengan sungguh-sungguh.

"Kawanan gerombolan iblis itu lihai, dan semakin banyak tenaga yang dipersatukan untuk membasmi mereka, semakin baik lagi. Tentu saja kami merasa senang mendapat bantuanmu, adik Ling Ay."

Setelah memberi nasihat agar mereka berhati-hati menghadapi gerombolan iblis itu, Tiauw Sun Ong memperkenankan mereka turun gunung untuk menunaikan tugas sebagai pendekar-pendekar muda yang perkasa. Tiga orang muda itu melakukan perjalanan cepat karena mereka mempergunakan ilmu berlari cepat menuruni pegunungan Hwa san. Tadinya, Hui Hong berada di tengah. Bun Houw berada di samping kanannya sedangkan Ling Ay berada di samping kirinya.

Akan tetapi di dalam perjalanan, secara halus dan tidak kentara, Hui Hong sengaja pindah dan berada di sebelah kanan Bun Houw sehingga dengan sendirinya Bun Houw kini berada di tengah-tengah, Hui Hong di kanannya dan Ling Ay di kirinya! Karena hal ini dilakukan Hui Hong dengan sikap seolah tidak sengaja, maka biarpun merasa canggung Ling Ay terpaksa menahan guncangan hatinya dan berjalan terus di sebelah kiri Bun Houw seolah tidak pernah terjadi sesuatu antara ia dan pemuda itu.

Setiap mereka terpaksa harus bermalam di sebuah kota, mereka menyewa dua buah kamar di rumah penginapan, sebuah kamar untuk Bun Houw dan sebuah kamar lagi untuk dua orang wanita itu. Dan hubungan antara kedua orang wanita itu menjadi semakin akrab saja. Mereka merasa cocok sekali. Hui Hong merasa iba kepada Ling Ay yang hidupnya penuh dengan kepahitan, sebaliknya Ling Ay diam diam merasa bersukur bahwa bekas tunangannya itu telah mendapatkan seorang isteri yang benar-benar gagah perkasa dan baik budi, di samping kecantikannya.

Beberapa hari kemudian, mereka tiba di sebuah dusun di dekat perbatasan. Karena dusun ini menjadi tempat pemberhentian orang-orang yang melakukan perjalanan menyeberangi daerah tak bertuan, untuk berdagang, maka dusun itu berkembang menjadi tempat yang ramai. Rumah rumah penginapan didirikan orang karena banyak pedagang dan rombongan piauw-kiok (perusahaan pengawal barang) berhenti di situ. Banyak pula rumah makan yang cukup lengkap berada di tempat itu.

Bun Houw, Hui Hong dan Ling Ay pada pagi hari itu memasuki sebuah rumah makan untuk sarapan. Malam tadi mereka bermalam di dusun itu dan mereka mendengar keterangan bahwa dusun Tai-bun yang dijadikan sarang gerombolan Thian-te Kui-pang berada sekitar lima puluh li dari dusun itu, di sebelah barat. Mereka bermaksud melanjutkan perjalanan ke sana dan sebelum itu hendak sarapan dulu dan membeli bekal makanan karena perjalanan di daerah tak bertuan itu kakang-kadang tidak akan bertemu penjual makanan lagi. Memang banyak dusun yang sudah ditinggalkan penduduknya yang lari mengungsi semenjak Thian-te Kui-pang berkuasa di dusun Tai-bun dan sekitarnya.

Selagi tiga orang itu makan minum, tiba-tiba terdengar suara tuk-tuk-tuk menghampiri mereka. Ketiganya menengok dan nampaklah seorang pengemis yang usianya sekitar lima puluh tahun, berjalan menghampiri meja mereka yang berada di sulut luar. Suara berketuk itu adalah suara tongkat yang dibawanya, dan dia berjalan bertopang kepada tongkat itu yang mengeluarkan bunyi yang berat. Pengemis tua itu tidak mendatangkan kesan sesuatu, akan tetapi ketika Bun Houw memandang kearah tongkatnya, dia mengerutkan alisnya. Tongkat itu terbuat dari logam berat, mungkin besi dan tidak jelas karena dicat hitam.

"Kalau tidak salah, orang ini tentu anggauta Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam),” bisik Bun Houw kepada dua orang wanita itu.

Mereka melirik dan melihat pengemis itu sudah tiba di dekat meja mereka. Tentu saja dua orang wanita itu mengerutkan alis merasa tidak senang sedang makan di dekati seseorang pengemis yang bajunya nampak kotor. Akan tetapi Bun Houw yang tidak ingin mencari keributan, segera mengambil sepotong uang dan memberikan kepada pengemis itu sambil berkata dengan suara lembut.

"Paman, ambilah uang ini dan sampaikan salam hormatku kepada Hek-tung Kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) Kam Cu."

Pengemis itu menerima kepingan uang dan menjura dengang sikap hormat sekali. "Ah, kiranya saya dapat menemukan taihiap dengan mudah. Tentu taihiap yang oleh pangcu kami disebut Perdekar Pedang Kilat. Pangcu kami mengundang taihiap bertiga untuk bertemu dengannya."

Bun Houw tercengang. Setahunya, Hek-tung Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Hitam) Kam Cu berada di sebelah selatan Nan-king. Bagaimana dapat mengundangnya?"

"Di mana Kam-pangcu?" tanyanya cepat.

"Hal ini harus dirahasiakan," bisik pengemis itu. "Nanti kalau sam-wi (anda bertiga) sudah selesai makan, saya menanti di luar dan akan menjadi penunjuk jalan. Sam-wi ikuti saja aku keluar dusun."

Setelah berkata demikian, tanpa banyak bicara lagi sehingga tidak menarik perhatian orang, pengemis itu menghampiri meja lain untuk minta sedekah. Kemudian, diapun keluar dari rumah makan itu. Sambil melanjutkan makan, dengan lirih Bun Houw menceritakan tentang Hek-tung Kai-pang, perkumpulan pengemis yang tidak sudi diajak bekerja-sama dengan Thian-te Kui-pang.

"Tentu ada hal penting sekali maka dia berada di sini, dan agaknya dia mengetahui bahwa kita berada di dusun ini." Bun Houw berkata dan setelah mereka selesai makan, mereka membayar harga makanan lalu melangkah keluar dari rumah makan itu dengan sikap santai sehingga tidak akan menarik perhatian orang.

Benar saja, mereka melihat pengemis yang tadi berada dalam jarak serarus meter dari tempat itu dan kini pengemis itu berjalan santai pula menuju ke timur dan keluar diri dusun itu. Dari jauh Bun Houw dan dua orang wanita itu mengikutinya. Setelah tiba di tempat yang sunyi, pengemis itu lalu berjalan dengan cepat, Bun Houw dan dua orang temannya membayanginya dengan cepat pula dan dia menghilang di dalam sebuah hutan.

Setelah Bun Houw, Hui Hong dan Ling Ay berlari memasuki hutan itu, agak ke tengah, mereka telah ditunggu oleh belasan orang yang berpakaian pengemis dan kesemuanya memegang tongkat hitam, yang berada di depan sendiri adalah seorang pengemis berusia lima puluhan tahun yang bertubuh kurus. Bun Houw segera mengenal orang ini sebagai Hek-tung Lo-kai Kam Cu, ketua dari Hek-tung Kai-pang dan di sebelahnya lagi nampak seorang pria berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan dia tidak mengenakan pakaian pengemis. Sebatang golok besar tergantung di pinggangnya.

Bun Houw juga mengenal si golok besar ini yang bukan lain adalah ketua diri Thian-beng-pang yang bernama Ciu Tek. Dua orang inilah yang pernah dibantu Bun Houw ketika mereka hendak dipaksa oleh Pek-thian-kui orang pertama dari Bu-tek Sam-kui yang dibantu oleh Suma Hok dan Suma Koan.

"Ha ha-ha, sungguh beruntung sekali kami bertemu dengan Si Pedang Kilat Kwa Thaihiap di sini!" kata si brewok Ciu Tek, ketua Thian-beng pang itu.

Bun Houw membalas penghormatan mereka dan memperkenalkan nama Hui Hong dan Ling Ay. Dua orang ketua itu memberi hormat kepada dua orang wanita itu dan Hek-tung Lo-kai berkata,

"Kami sungguh kagum sekali, karena melihat cara jiwi lihiap (kedua pendekar wanita) berlari cepat tadi saja kami sudah dapat menduga bahwa ji-wi li-hiap memiliki ilmu kepandaian yang tinggi."

"Ji-wi pang cu (kedua ketua) mengundang kami ke sini, sebenarnya ada kepentingan apakah?”

"Mari kita duduk di sana, ada urusan penting sekali, taihiap," kata dua orang ketua itu. Mereka lalu duduk di atas batu-batu yang berada di tengah hutan.

"Kwa taihiap, kami lelah lama sekali menanti tai-hiap di dusun ini, dan begitu tai-hiap bertiga dengan ji-wi li hiap ini memasuki dusun, kami sudah mengetahuinya, akan tetapi kami membiarkan sam-wi beristirahat semalam baru pagi ini kami hubungi. Kami yakin bahwa tai-hiap tentu akan membasmi gerombolan Thian-te Kui pang, maka kami sudah siap di tempat ini menanti tai-hiap dan kami telah mengerahkan anak buah kami berdua, sebanyak tiga ratus orang. Tentu tai hiap bertiga datang ke sini hendak menyerang sarang Thian-te Kui pang, bukan?"

"Benar sekali, pangcu. Dan kami juga gembira sekali mendapat bantuan ji-wi pangcu dan anak buah ji wi. Kalau begitu, mari kita segera berangkat ke sarang gerombolan iblis itu."

"Harap tai-hiap berhati-hati dan tidak memandang rendah pihak lawan. Anak buah mereka memang hanya kurang lebih seratus orang, akan tetapi rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Dan lebih dari itu, kami berhasil mengetahui bahwa Bu-tek Sam kui kini menjadi lebih kuat dari pada dahulu." kata Thian beng-pangcu Ciu Tek.

Pedang Kilat Membasmi Iblis Jilid 14

PADA waktu itu, Tiauw Sun Ong tidak tinggal sendirian lagi di pondoknya. Kini dia ditemani puterinya, Tiauw Hui Hong, anak kandung yang baru ditemukannya setelah anak itu berusia dua puluh satu tahun! Bahkan baru saja dia mengetahui bahwa dia mempunyai seorang keturunan dari selir kaisar yaitu kakaknya, yang menjadi kekasihnya. Ternyata kekasihnya itu telah mengandung keturunannya ketika mereka tertangkap dan dipisahkan.

Tentu saja ayah dan anak ini merasa berbahagia sekali dan Tiauw Sun Ong yang menemukan anaknya sebagai seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi sebagai anak tiri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, segera menggembleng puterinya itu dan mengajarkan ilmu-ilmu simpanannya. Karena gadis itu memang telah memiliki dasar yang kuat sebagai anak angkat dan murid datuk majikan Lembah Bukit Siluman itu, maka tidaklah terlalu sukar baginya untuk melatih ilmu-ilmu yang kini diajarkan ayah kandungnya kepadanya.

Selama beberapa bulan tinggal bersama ayahnya di Hoa-san. Hui Hong telah memperoleh kemajuan pesat sekali dan ia kini menjadi jauh lebih lihai dibandingkan beberapa bulan sebelumnya, Karena puterinya itu memiliki ilmu Siang-kiam (Sepasang Pedang) yang cukup lihai, maka Tiauw Sun Ong lalu mengajarkan ilmu totok dengan tongkat yang dimainkan oleh tangan kiri Hui Hong, sedangkan tangan kanannya tetap memainkan pedangnya.

Kalau tadinya Hui Hong bersenjatakan sepasang pedang, kini ia mengganti pedang kirinya dengan sebatang tongkat yang dapat diambilnya di mana saja, sebatang rantingpun jadi. Dan ternyata ranting itu jauh lebih berbahaya bagi lawan dibandingkan kalau tangan kirinya memegang pedang!

Juga pedang di tangan kanannya mendapatkan banyak kemajuan setelah Tiauw Sun Ong menambahkan jurus-jurus baru. Juga bekas pangeran ini mengajarkan cara menghimpun hawa sakti kepada puterinya sehingga dalam hal tenaga sakti, Hui Hong juga menjadi semakin kuat.

Gadis itu merasa berbahagia sekali. Bukan hanya karena kini ia hidup dekat ayahnya, dapat mencucikan pakaian ayahnya, dapat memasakkan makanan untuk ayahnya dan menerima pelajaran ilmu dari ayahnya. Akan tetapi juga karena ayahnya menjodohkan ia dengan Bun Houw! Kini ia tinggal menanti datangnya pemuda yang memang sebelum ayahnya menjodohkannya, telah menjadi pujaan hatinya itu.

Kebahagiaan membuat Hui Hong nampak semakin cantik jelita karena wajahnya selalu cerah. Kalau dahulu, sebagai puteri datuk Ouwyang Sek, ia bersikap dingin, keras dan galak, kini di bibirnya yang mungil itu selalu nampak senyum manis, matanya yang tajam bersinar-sinar itu mengandung kelembutan, dan wajahnya selalu berseri.

Pada sore hari itu, Hui Hong berlatih silat pedang dan tongkatnya di belakang pondok ayahnya. Kini ia duduk mengaso dan menghapus keringat yang membasahi leher dan dahinya, dengan sehelai kain. Ia harus mengeringkan dulu keringatnya sebelum mandi! Dalam udara dingin puncak dapat berkeringat seperti itu, menunjukkan bahwa dalam latihan tadi Hui Hong mengerahkan banyak tenaga. Namun ia merasa puas dan tersenyum-senyum. Jurus paling sulit yang diajarkan ayahnya, setelah diulang-ulang selama beberapa hari, akhirnya hari ini dapat ia lakukan dengan baik.

Ayahnya tentu akan girang sekali. Melihat Hui Hong duduk di atas batu, rambutnya awut-awutan, mukanya basah oleh keringatnya, dan kemerahan karena mengerahkan tenaga, kedua pipinya segar kemerahan dan bibirnya lebih merah lagi, membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa kagum. Ia memang cantik jelita, seperti ibunya, selir kaisar yang memadu kasih dengan ayahnya.

Hui Hong sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, tiga orang bersembunyi di balik batu-batu gunung yang besar dan mengintai ke arah pondok ayahnya. Tentu saja tiga orang itu tidak dapat melihat Tiauw Sun Ong yang berada di dalam pondok, sebaliknya melihat jelas Hui Hong yang duduk di atas batu.

"Bu-eng-kiam, bukankah gadis itu anakmu Hui Hong?” Suma Koan berbisik.

"Ia bukan anakku lagi,” jawab Ouwyang Sek gemas.

"Ahhh, kiranya begitu? Jadi gadis itu telah bertemu dan berkumpul dengan ayah kandungnya?" kata pula Suma Koan.

"Ssttt, kebetulan sekali ia berada di sini," kata Kwan Im Sian-li, "Ia merupakan umpan yang lebih baik untuk memancing datangnya Kwa Bun Houw."

"Benar sekali, bocah itu saling mencinta dengan Bun Houw. Kalau kita tawan, pasti Bun Houw akan muncul dan mencoba untuk membebaskannya." kata Ouwyang Sek, "Hemm, kalau begitu, kalian berdua siap menghadapi Tiauw Sun Ong, biar aku sendiri yang menangkap gadis itu." kata Raja Maut Suling Setan itu, akan tetapi Kwan Im Sian-li menyentuh lengannya ketika datuk itu hendak keluar dari tempat sembunyinya.

“Giam-ong, kalau engkau sembrono, engkau akan menggagalkan semuanya. Jangan pandang ringan bekas murid Bu-eng-kiam itu. Kalau kita menghadapi Tiauw Sun Ong bertiga, tentu kita akan mampu menang, akan tetapi kalau Tiauw Sun Ong dibantu gadis itu, akan lebih sulit bagi kita. Sebaikya kita bertiga bersama-sama menangkap gadis itu sehingga kalau Tiauw Sun Ong keluar, kita dapat menundukkannya tanpa membuang tenaga, hanya dengan menyandera puterinya saja. Dan dengan mereka berdua sebagai umpan pancingan, aku yakin Kwa Bun Houw akan segera datang dan terjatuh ke tangan kita."

Dua orang datuk itu mengangguk-angguk mendengar ucapan Kwan Im Sian-li. Mereka lalu berbisik-bisik mengatur siasat dan tak lama kemudian ketiganya berindap-indap menghampiri Hui Hong yang masih duduk menyeka keringat dan menikmati kenyamanan hawa udara sejuk yang mengipasi tubuhnya yang masih panas oleh pengerahan tenaga-dalam latihan tadi. Tiga orang itu adalah datuk-datuk persilatan yang telah memiliki kepandaian tinggi sekali sehingga mereka mampu bergerak tanpa menimbulkan suara.

Akan tetapi, selama beberapa bulan menerima gemblengan ayahnya yang buta, Hui Hong telah diajar pula mempertajam pendengarannya, seperti ayahnya yang seolah menggantikan tugas matanya yang tidak dapat melihat itu dengan telinganya. Maka, setelah tiga orang itu agak dekat, pendengarannya dapat menangkap pernapasan mereka dan cepat ia meloncat turun dari atas batu. Namun terlambat. Tiga orang itu sudah terlampau dekat dan kini mereka telah mengepung Hui Hong dari tiga jurusan.

Andaikata ia tidak dikepung sekalipun, Hui Hong tidak akan melarikan diri. Gadis ini memiliki keberanian luar biasa, apalagi setelah ia mendapat gemblengan dari ayahnya dan sepasang senjata itu masih di tangannya. Ia tidak akan gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, ketika ia melihat siapa yang mengepungnya, ia mengerutkan alisnya dan maklum bahwa ia berhadapan dengan lawan-lawan yang amat tangguh. Tentu saja ia mengenal Ouwyang Sek, orang yang selama ini dianggap sebagai ayahnya sendiri, juga gurunya yang mengajarkan ilmu silat kepadanya sejak ia kecil.

Dan ia mengenal pula Suma Koan, datuk majikan Bukit Bayangan Iblis yang amat tangguh itu, orang yang pernah melamarnya untuk dijadikan mantunya. Dan iapun mengenal pula Kwan Im Sian-li, datuk wanita yang pernah membohonginya dan berusaha mengadu ia dengan ayah kandungnya sendiri. Tiga orang datuk kaum sesat maju sekaligus menghadapinya! Sungguh merupakan lawan yang amat tangguh dan berbahaya. Namun, ia siap dengan pedang dan tongkatnya, menghadapi mereka dengan sikap gagah sekali.

"Kalian...! Mau apa kalian bertiga datang ke sini?" ia bertanya dan sedikitpun ia tidak memperlihatkan sikap takut.

"Tangkap...!!" Ouwyang Sek berseru dan iapun sudah menyerang dengan kedua tangannya terjulur ke depan dan dari kedua tangan itu menyambar angin pukulan dahsyat ketika dia berusaha untuk merobohkan bekas murid atau anak tirinya itu dengan totokan dan cengkeraman.

Akan tetapi Hui Hong sama sekali tidak mengelak, bahkan tongkat di tangan kirinya menyambut cengkeraman tangan Ouwyang Sek dengan totokan ke arah telapak tangan itu, dan pedangnya menyambar ke arah pergelangan tangan yang menotoknya!

"Ahhh...!!" Ouwyang Sek berseru kaget, tidak menyangka bekas murid ini akan menyambutnya seperti itu, dengan jurus yang sama sekali tidak disangka dan tidak dikenalnya, bahkan menggantikan pedang kiri dengan tongkat yang lihai bukan main. Terpaksa dia meloncat ke belakang dan pada saat itu Kwan Im Sian-li dan Suma Koan sudah bergerak maju membantu rekan mereka. Suma Koan menggunakan suling mautnya untuk melakukan serangan totokan, sedangkan Bwe Si Ni menerkam dari samping dengan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau.

Serangan kedua orang ini hebat sekali sehingga Hui Hong terdesak hebat, biarpun ia sudah memutar pedang dan tongkatnya. Tenaga sin-kang dari kedua orang inipun amat kuat. Selagi ia berlompatan mengelak dari desakan kedua orang lawan itu, tiba-tiba belakang lutut kirinya terkena tendangan kaki Ouwyang Sek dan Hui Hong jatuh berlutut dengan sebelah kaki dan pada saat itu, pedang di tangan Kwan Im Sian-li Bwe Si Ni telah menempel di lehernya.

"Jangan bergerak, bergerak berarti mati!" bentak Bwe Si Ni dengan suara mengejek.

Suma Koan merampas tongkat dan pedang dari tangan Hui Hong yang terpaksa melepaskannya karena ia sudah tidak berdaya ditempeli pedang lehernya. Ia bukan seorang nekat yang bodoh untuk melawan dalam keadaan seperti itu yang akan sama saja dengan membunuh diri atau mati konyol. Akan tetapi ia masih sempat berseru nyaring, "Ayaaaahhh...!!”

Terdengar jendela pondok itu jebol dan tubuh Tiauw Sun Ong melesat di luar bagaikan seekor burung garuda menyambar ke arah tempat itu! Tiga orang itu sudah siap dan pedang yang menempel di leher Hui Hong semakin kuat. Tanpa mengeluarkan suara tubuh Tiauw Sun Ong sudah berdiri di depan tiga orang itu, tongkatnya melintang di depan, mukanya agak miring karena dia menggunakan tenaga yang dikerahkan kepada kedua telinganya untuk mendengarkan gerakan tiga orang itu. Biarpun kedua matanya tidak dapat melihat lagi, namun perasaan dan pendengaran, juga penciumannya, seolah dapat menggantikan kekurangan itu dan dia dapat mengetahui apa yang sedang terjadi di depannya!

"Hui Hong, tak dapatkah engkau melepaskan dirimu?" tanya Tiauw Sun Ong dan suaranya mengandung wibawa yang kuat sehingga tiga orang itu mau tidak mau merasa jerih juga.

“Ayah, mereka mengeroyok dan menangkapku secara curang." kata Hui Hong, namun ia tidak berani bergerak karena sekali ia bergerak, pedang itu dapat memenggal lehernya.

"Hemm, siapa kalian bertiga dan apa maksud kalian menangkap puteriku?"

"Tiga orang datuk itu menutupi perasaan jerih mereka dengan suara tawa mereka. Mereka sengaja menertawakan Tiauw Sun Ong karena sudah merasa menang dengan tertawannya puteri bekas pangeran itu.

Mendengar suara tawa mereka, Tiauw Sun Ong mengerutkan alisnya, "Bwe Si Ni! dan tentu seorang di antara kalian adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Dan siapa yang seorang lagi?"

"Tiauw Sun Ong, aku adalah orang yang suka bermain musik," jawab Suma Koan dan tiba-tiba terdengar suara suling ditiup ketika datuk ini meniup suling mautnya.

"Hemm, kiranya Kui-siauw Giam-ong? Kalian tiga orang datuk sesat telah bertindak seperti penjahat-penjahat kecil yang curang. Bebaskan puteriku, dan kalau kalian menghendaki, mari hadapi aku, tua sama tua, bukan tiga orang tua mengeroyok dan menawan seorang muda!"

"Hemm, Tiauw Sun Ong manusia berhati kejam!" teriak Kwan Im Sian-ii marah. “Engkau tidak dapat melihat akan tetapi ketahuilah bahwa pedangku sudah menempel di leher puterimu. Sekali saja engkau membuat gerakan, pedangku akan lebih dulu memenggal batang leher puterimu yang putih mulus ini!"

Kedua tangan Tiauw Sun Ong gemetar karena dia menahan kemarahannya, "Bwe Si Ni, apa kehendak kalian bertiga? Katakan!” Dia tahu bahwa tiga orang manusia curang itu sengaja menyandera Hui Hong untuk memaksa dia.

"Tiauw Sun Ong, buang tongkatmu dan menyerahlah menjadi tawanan kami atau puterimu akan kupenggal batang lehernya di depan hidungmu!" kata pula Kwan Im Sian-li dengan suara mengejek, hatinya girang dapat membuat orang yang kini amat dibencinya itu gelisah.

"Ayah, jangan dengarkan omongannya! Jangan perdulikan aku, hajar saja mereka. Aku tidak takut mati!" teriak Hui Hong.

"Bwe Si Ni, aku selamanya tidak pernah mengganggumu, dan tidak pernah ada urusan dengan Bu-eng-kiam maupun Kui-siauw Giam-ong. Akan tetapi kalau kalian sampai berani mengganggu puteriku, demi Tuhan, aku tidak akan berhenti sampai dapat membunuh kalian bertiga!" Suara bekas pangeran itu mengandung wibawa yang menggetarkan perasaan tiga orang itu.

Suma Koan dan Ouwyang Sek sudah siap dengan senjata mereka, menghadang di depan Tiauw Sun Ong agar bekas pangeran itu tidak mempergunakan kekerasan untuk menolong puterinya.

"Tiauw Sun Ong, menyerahlah, atau kubunuh puterimu!" teriak Bwe Si Ni dan dari suara wanita ini, tahulah Tiauw Sun Ong bahwa ia bersungguh-sungguh dan keselamatan nyawa puterinya tergantung kepada sikapnya.

"Ayah, serang saja mereka!" kembali Hui Hong berseru.

"Hui Hong, tenang dan sabarlah," kata Tiauw Sun Ong yang kemudian bertanya kepada Bwe Si Ni, "Si Ni, lihat aku sudah menyerah, lalu apa kehendak kalian bertiga?" Dia melepaskan tongkatnya yang jatuh ke depan kedua kakinya.

Pada saat itu, terdengar suara wanita yang nyaring dan amat berpengaruh, "Kwan Im Sian-li, lepaskan pedangmu! Cepat!"

Suara itu mengandung getaran yang amat kuat sehingga mengejutkan semua orang, terutama sekali Kwan Im Sian-li dan tanpa disadarinya, iapun melepaskan pedangnya yang tadi dipergunakan untuk mengancam Hu Hong.

"Hui Hong, cepat!” teriak Tiauw Sun Ong kepada puterinya.

Akan tetapi sebetulnya Hui Hong tidak memerlukan peringatan ini lagi. Begitu merasa betapa pedang itu meninggalkan lehernya, iapun menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah dada Kwan Im Sian-li yang terpaksa melangkah mundur menghindarkan diri dan kesempatan itu dipergunakan oleh Hui Hong untuk bergerak cepat ke kiri dan menyambar tongkat dan pedangnya yang tadi dirampas oleh Suma Koan dan dilemparkan ke atas tanah.

"Haiiiittt...!!" Tiauw Sun Ong juga sudah menggerakkan kedua tangannya menerjang ke arah Ouwyang Sek dan Suma Koan. Demikian hebat serangannya sehingga kedua orang datuk ini mundur, dan kesempatan itu dia pergunakan untuk memungut kembali tongkatnya.

Hui Hong menoleh ke arah suara wanita tadi dan muncullah seorang wanita muda yang cantik. Hui Hong memandang penuh perhatian. "Kau...? Bukankah engkau... Cia Ling Ay...“ Nama ini tak pernah ia lupakan karena Cia Ling Ay, seperti yang didengarnya dari Bun Houw, adalah bekas tunangan pemuda yang dicintanya itu.

Ling Ay tersenyum dan mengangguk. "Adik Hui Hong, mari kita hajar iblis betina yang jahat ini!" katanya.

Tanpa diminta untuk ke dua kalinya, Hui Hong sudah memutar pedang dan tongkatnya menyerang Kwan Im Sian-li. Cia Ling Ay juga menggerakkan pedangnya membantu. Dalam hal ilmu silat, sebagai murid mendiang Bi Moli Kwan Hwe Li, tentu saja Ling Ay bukan tandingan Kwan Im Sian-li yang mempunyai tingkat sebanding gurunya, akan tetapi wanita muda ini memiliki kelebihan, yaitu ilmu sihir! Biarpun dalam ilmu ini ia tidak sekuat mendiang gurunya, namun sudah cukup untuk dapat mempengaruhi seorang datuk wanita seperti Kwan Im Sian-li sehingga ia dapat menyelamatkan Hui Hong.

Sejak tadi ia memang menyaksikan peristiwa di belakang pondok itu. Ia datang ke Hoa-san dengan niat mencari Kwa Bun Houw. Ia merasa menyesal sekali telah memperlihatkan perasaan duka dan putus asa meninggalkan Bun Houw seperti seorang yang merasa cemburu. Ia hendak menemui dan minta kepada bekas tunangannya itu dan ia mengira bahwa Bun Houw dapat ia temukan di tempat kediaman guru pemuda itu. Ia pernah bersama gurunya datang ke tempat ini. Maka ia dapat mengunjungi pondok dari arah belakang dan kebetulan melihat betapa Hui Hong ditangkap oleh tiga orang datuk.

Tadinya, ia tidak ingin mencampuri, akan tetapi melihat betapa bekas pangeran itu dan Hui Hong diancam secara curang oleh tiga orang itu. ia merasa penasaran dan segera berusaha untuk membantu. Ia tidak begitu bodoh mengandalkan ilmu silatnya terhadap tiga orang datuk yang ia tahu amat lihai, maka satu-satunya jalan baginya untuk menolong Hui Hong adalah dengan ilmu sihirnya, menyerang dengan tiba-tiba mengejutkan Kwan Im Sian-li sehingga datuk wanita itu terkejut dan melepaskan pedangnya dan Hui Hong dapat terbebas dari ancaman maut.

Sementara itu, Tiauw Sun Ong sudah menggerakkan tongkatnya menghadapi pengeroyokan Suma Koan dan Ouwyang Sek. Diam-diam dia merasa gembira bahwa puterinya terbebas dari ancaman maut, dan dia belum tahu siapa wanita yang menyelamatkan puterinya dengan sihir tadi. Akan tetapi dia merasa lega bahwa puterinya dan penolong itu yang kini menghadapi Kwan Im Sian-li, karena kalau dia yang harus melawannya, bagaimanapun juga dia masih merasa kasihan dan tidak tega untuk membunuh bekas dayang itu.

Betapapun lihainya Tiauw Sun Ong, kini dia menghadapi pengeroyokan dua orang datuk yang berilmu tinggi. Terpaksa dia harus mengerahkan seluruh tenaganya dan masih untunglah bahwa berkat kebutaannya, dia memiliki kepekaan melebihi orang biasa, dan pendengarannya menjadi amat tajam sehingga dia dapat mengetahui setiap gerakan lawan walaupun gerakan itu dilakukan dari arah belakangnya. Bagaimanapun juga, karena kedua orang lawannya merupakan datuk-datuk yang berilmu tinggi, Tiauw Sun Ong lebih banyak menangkis dan mengelak dari pada menyerang. Dia terdesak sungguhpun kedua orang lawannya tidak mudah untuk dapat merobohkannya.

Di lain pihak, Kwan Im Sian-li repot sekali menghadapi pengeroyokan dua orang wanita muda itu. Apalagi kini Hui Hong telah memperoleh kemajuan pesat di bawah bimbingan ayahnya. Kalau ia harus melawan sendiri bekas dayang itu, agaknya Hui Hong masih akan merasa kewalahan. Akan tetapi di situ ada Ling Ay yang juga lelah mewarisi sebagian besar ilmu mendiang Bi Moli Kwan Hwe Li. Dengan kerja sama yang baik, dua orang wanita muda ini perlahan-lahan mulai mendesak Kwan Im Sian-li, membuat datuk wanita itu repot membela diri dan jarang ia dapat membalas serangan mereka.

Diam-diam Hui Hong merasa kagum kepada Ling Ay. Bekas tunangan Kwa Bun Houw ini, pada kurang lebih empat tahun yang lalu, masih dikenalnya sebagai seorang wanita yang lemah. Akan tetapi sekarang mendadak muncul sebagai seorang wanita yang lihai dalam ilmu silatnya, bahkan juga memiliki kekuatan sihir yang tadi dipergunakannya dan berhasil menyelamatkan ia dan ayahnya! Bukan main! Dan iapun melihat betapa bekas tunangan Bun Houw itu kini bersungguh-sungguh mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menyerang Kwan Im Sian-li. Melihat ini, timbul semangatnya dan iapun menggerakkan pedang dan tongkatnya lebih cepat lagi.

Tentu saja Kwan Im Sian-li menjadi semakin repot setelah dua orang wanita muda itu memperhebat serangan mereka. Apalagi ketika ia mengerling ke arah kedua orang rekan mereka, dari dua orang datuk itu iapun tidak dapat mengharapkan bantuan karena mereka berdua itu masih bertanding seru mengeroyok Tiauw Sun Ong dan nampaknya belum ada tanda-tanda akan menang dalam waktu pendek.

Hui Hong juga mengerling ke arah ayahnya dan ia maklum bahwa kalau dilanjutkan pertandingan itu, lambat laun ayahnya tentu akan terancam bahaya karena dua orang datuk itu memang lihai bukan main. Ia harus dapat merobohkan Kwan Im Sian-li lebih dahulu sebelum dapat membantu ayahnya, karena kalau ia tinggalkan Ling Ay seorang diri menghadapi bekas dayang itu, sama saja dengan membunuh wanita yang kemunculannya telah menyelamatkan ia dan ayahnya itu.

Maka ia mengerahkan semua tenaga dan kepandaiannya untuk mencoba merobohkan wanita itu secepatnya, namun harapannya itu agaknya tidak akan mudah dapat menjadi kenyataan. Kwan Im Sian-li adalah seorang datuk wanita yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi, bahkan tidak banyak selisihnya dibandingkan tingkat kepandaian Ouwyang Sek ataupun Suma Koan. Dan melihat betapa ayahnya mulai terdesak, timbul kegelisahan di hati Hui Hong, khawatir kalau ayahnya akan celaka di tangan dua orang datuk itu. Dan kegelisahannya ini justeru membuat gerakannya menjadi kacau dan hal ini membuat Kwan Im Sian-li nampak semakin kuat dan sukar dikalahkan.

Tiauw Sun Ong memang mulai terdesak oleh kedua orang pengeroyoknya. Keadaan di dua gelanggang pertempuran itu membuat keadaan kedua pihak seimbang. Tiauw Sun Ong terdesak oleh dua orang pengeroyoknya, sebaliknya, puterinya dan Ling Ay juga mendesak Kwan Im Sian-li. Mereka semua maklum bahwa pihak yang kalah lebih dulu berarti akan kalah semua karena pihak yang menang tentu akan dapat membantu perkelahian yang lain.

"Enci Ling Ay, cepat kau bantu ayahku!” tiba-tiba Hui Hong memutar pedangnya dengan sepenuh tenaganya menyerang Kwan Im Sian Li karena ia sudah mengambil keputusan untuk membiarkan ia seorang diri yang terdesak oleh lawan, akan tetapi ayahnya harus dibantu dan itulah sebabnya ia minta kepada Ling Ay untuk membantu ayahnya.

Ling Ay menjadi agak bingung mendengar permintaan itu karena ia pun tahu bahwa menghadapi Kwan Im Sian-li sendiri saja merupakan bahaya besar bagi gadis itu. Akan tetapi Ling Ay adalah seorang yang cukup cerdik, iapun tahu bahwa Hui Hong sengaja membiarkan dirinya terancam asal ayahnya terbebas dari desakan dua orang pengeroyoknya. Dan iapun percaya bahwa bagaimanapun juga Kwan Im Sian-li tidak akan mudah saja mengalahkan atau merobohkan Hui Hong. walaupun gadis itupun tidak akan mungkin menang kalau melawan datuk wanita itu seorang diri saja. Maka, iapun meloncat dan memutar pedangnya, terjun ke dalam gelanggang pertandingan membantu Tiauw Sun Ong.

Serial Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo

Bekas pangeran itu terkejut sekali ketika dengan pendengarannya ia dapat mengetahui bahwa wanita yang tadi membantu puterinya, kini datang membantunya. Hal ini berarti bahwa puterinya itu seorang diri saja menghadapi Kwan Im Sian-li! Dan diapun segera tahu bahwa puterinya sengaja mengorbankan diri demi keselamatannya, sengaja menyuruh wanita penolong tadi membantunya agar dia terbebas dari desakan dan ancaman dua orang datuk yang mengeroyoknya.

"Nona bantulah Hui Hong saja!" teriaknya berulang kali.

"Enci Ling Ay. kau bantu ayah!” teriak pula Hui Hong.

Tentu saja terikan ayah dan anak ini membuat Ling Ay menjadi bingung. Juga membuat Tiauw Sun Ong dan Hui Hong kehilangan pencurahan perhatiannya sehingga membuyar atau terpecah dan tiba-tiba Hui Hong mengaduh karena ujung pedang Kwan Im Sian-li yang tadinya menyambar ke arah lehernya, agak lambat ia mengelak dan pundak kirinya disambar ujung pedang sehingga berdarah

Melihat ini, Ling Ay meloncat dan menangkis pedang Kwan Im Sian-Ii yang sudah menyambar lagi ke arah tubuh Hui Hong yang terhuyung sehingga gadis itu terbebas dari maut dan mereka berdua sudah mengeroyok lagi Kwan Im Sian-li. Teriakan Hui Hong yang tertahan ketika pundaknya terluka, dapat tertangkap telinga Tiauw Sun Ong dan bekas pangeran itu menjadi sedemikian kaget dan gelisahnya sehingga ujung suling di tangan Suma Koan berhasil menghantam paha kaki kirinya.

"Dukkk...!" Dan tubuh bekas pangeran itu terhuyung ke belakang. Untung dia masih sempat mengerahkan sin-kang sehingga tulang pahanya tidak patah, akan tetapi dalam keadaan terhuyung itu. tentu saja dia membuka kesempatan bagi kedua orang pengeroyoknya untuk mendesak maju.

Melihat ini, Ling Ay mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan pedangnya menyambar cepat untuk melindungi bekas pengeran itu. Teriakannya yang mengandung wibawa karena dikerahkan dengan kekuatan sihir, membuat kedua orang datuk itu agak tertahan gerakan mereka, akan tetapi ketika suling di tangan Suma Koan bertemu pedang di tangan Ling Ay, tetap saja Ling Ay terhuyung dan pedang itu hampir terlepas dari tangannya. Bagaimanapun juga, bantuan Ling Ay ini telah membebaskan Tiauw Sun Ong dari ancaman maut.

Ketika kedua orang datuk itu mendesak lagi, Tiauw Sun Ong sudah dapat memutar tongkatnya membela diri, juga Ling Ay membantunya dengan putaran pedangnya. Namun, bantuan Ling Ay ini tidak membuat keadaan Tiauw Sun Ong lebih baik. Apalagi, pahanya telah terluka terasa nyeri.

Keadaan ayah dan anak itu sungguh gawat. Bantuan Ling Ay memang telah dua kali menyelamatkan Tiauw Sun Ong dan Hui Hong akan tetapi tidak meloloskan mereka dari desakan tiga orang datuk itu. Keadaan Hui Hong yang paling repot. Pundaknya telah terluka dan biarpun luka itu tidak terlalu parah, namun gerakannya membuat luka itu terus mengucurkan darah! Beberapa kali hampir saja ia menjadi korban tusukan pedang Kwan Im Sian-li dan ketika ia berhasil menangkis sebuah tusukan, tiba-tiba kaki Kwan Im Sian-li berhasil menendang kakinya di bawah lutut dan Hui Hong terpelanting! Kwan Im Sian-li mengeluarkan suara tawa dan pedangnya berkelebat.

"Tranggg...!"

"Aihhh...!!" Kwan Im Sian-li terkejut bukan main dan terbelalak memandang kepada pedang yang dipegangnya karena pedang itu telah patah ujungnya. Ia tadi hanya melihat kilat menyambar dan tahu-tahu pedangnya telah tertangkis dan menjadi buntung! Ketika ia memandang, kiranya di depannya telah berdiri orang yang dicari-cari tiga orang datuk itu, yaitu Kwa Bun Houw yang sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan di tangannya, dan dengan tangan kirinya dia menarik tangan Hui Hong dan membantu gadis itu bangkit berdiri.

"Houw-koko, kau bantu ayah...!" kata Hui Hong, gembira bukan main melihat munculnya Bun Houw.

Bun Houw menoleh dan melihat betapa gurunya, Tiauw Sun Ong, didesak hebat oleh Ouwyang Sek dan Suma Koan dan gurunya itu dibantu oleh Cia Ling Ay dengan mati-matian, hal yang membuat ia terheran-heran bukan main. Akan tetapi dia mengerti bahwa Ling Ay membantu Hui Hong dan ayahnya, maka diapun cepat berseru,

"Adik Ling Ay, kau bantu Hong-moi."

Ling Ay juga gembira melihat munculnya Bun Houw. "Baik!" katanya dan dengan penuh semangat, janda muda ini lalu meloncat dan menyerang Kwan Im Sian-li dengan pedangnya.

Hui Hong menggerakkan pedang dan tongkatnya mengeroyok. Hui Hong sedemikian gembiranya melihat kedatangan Bun Houw sehingga ia melupakan luka di pundaknya dan gerakannya kini bagaikan seekor harimau betina mengamuk. Tentu saja Kwan Im Sian-li yang sudah buntung pedangnya, menjadi semakin panik dan menurun semangatnya.

Sementara itu, sekali melompat saja Bun Houw sudah terjun ke gelanggang perkelahian. Dua orang datuk itu pun terkejut setengah mati melihat munculnya pemuda itu. Tadinya mereka memang ingin bertemu Bun Houw untuk membalas dendam, akan tetapi bukan sekarang, di mana terdapat Tiauw Sun Ong, Tiauw Hui Hong, dan Cia Ling Ay yang dapat membantunya. Menghadapi bekas pangeran dan dua orang wanita muda itu saja, sampai sekian lamanya mereka belum mampu menundukkan mereka, apalagi kini muncul Kwa Bun Houw! Akan tetapi, dua orang datuk yang merasa dirinya besar dan tinggi kedudukannya itu, menutupi kegelisahan mereka.

"Bagus, engkau muncul sendiri, Kwa Bun Houw! Bersiaplah untuk mampus di tanganku sebagai pembalasan kematian puteraku!" kata Ouwyang Sek marah.

"Puteramu sendiri yang bersalah hendak membunuh kaisar dan dia tertangkap, dihukum mati. Kenapa salahkan aku?" Bun Houw menjawab.

"Engkau yang menyebabkan dia tertawan!" bentak Ouwyang Sek dan diapun sudah menggerakkan pedangnya menyerang Kwa Bun Houw.

Datuk ini berjuluk Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan), tentu saja dia memiliki ilmu pedang yang ampuh. Namun, sekali ini dia berhadapan dengan Kwa Bun Houw yang bukan saja telah menguasai hampir seluruh kepandaian Tiauw Sun Ong, namun bahkan kini dia lebih lihai dari gurunya karena dia telah menguasai pula ilmu rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tubuhnya amat kuat, mengandung tenaga sakti yang hebat berkat khasiat Akar Bunga Gurun Pasir yang secara kebetulan diminumnya. Maka, begitu Bun Houw menggerakkan pedangnya untuk melawan, terjadi pertandingan seru dan hebat, namun yang membuat Ouwyang Sek segera terdesak hebat!

Tiauw Sun Ong juga kini dapat mendesak Suma Koan. Biarpun pahanya terasa nyeri, akan tetapi bekas pangeran itu dapat mendesak lawan yang hanya tinggal seorang itu, dan perlahan-lahan, sinar dari suling di tangan Suma Koan semakin mengendur dan menyempit. Yang paling payah keadaannya adalah Kwan Iin Sian-li. Kembali Ling Ay membantu Hui Hong dan kedua orang wanita muda itu dengan penuh semangat menghimpit dan menekan datuk wanita yang pedangnya sudah buntung, tidak memberi kesempatan kepadanya untuk balas menyerang, apalagi melarikan diri.

Kwan Im Sian-li hanya dapat berusaha sekuat tenaga untuk mengelak atau menangkis dengan pedang buntungnya. Namun, usaha ini hanya dapat membuat ia bertahan selama belasan jurus saja karena ketika mendapat kesempatan baik, ranting di tangan kiri Hui Hong berhasil menotok dadanya, membuat datuk wanita itu terhuyung lemas dan kesempatan itu dipergunakan oleh Cia Ling Ay untuk menusukkan pedangnya ke lambung Kwan Im Sian-li. Bekas dayang istana itu menjerit, akan tetapi jeritnya tertahan karena saat itu, pedang di tangan kanan Hui Hong menyambar dan menusuk tembus lehernya. Wanita itu terkulai dan tewas seketika, mandi darah.

Pada saat yang hampir bersamaan, tangan kiri Bun Houw dengan pengerahan tenaga dahsyat Im-yang Bu-tek Cin-keng, telah menyambar dan menampar ke arah dada lawan. Pada saat itu pedang Ouwyang Sek bertemu dengan Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) dan biarpun pedang datuk itu tidak patah karena terbuat dari baja pilihan, namun dia tidak dapat menariknya kembali. Pedang itu melekat dengan pedang di tangan Bun Houw dan selagi dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan pedangnya, tiba-tiba saja Bun Houw menampar dengan tangan kirinya. Ouwyang Sek tidak dapat mengelak dan mengerahkan sin-kang untuk membuat dadanya dilindungi kekebalan. Dia tidak tahu betapa hebatnya tenaga dari Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.

"Plakkk!" Mata Ouwyang Sek terbelalak dan ketika tubuhnya terjengkang roboh, nyawanya sudah melayang. Tamparan itu telah menghancurkan semua isi dadanya.

Melihat gurunya belum juga merobohkan Suma Koan, Bun Houw maklum bahwa agaknya gurunya tidak ingin membunuh lawan. Gurunya sudah mendesak hebat dan kalau gurunya menghendaki, tentu tongkat di tangan gurunya itu sudah dapat membunuh lawan. Diapun melompat ke depan dan berseru, "Suhu, biar teecu menghadapinya!"

Mendengar ucapan muridnya ini. Tiauw Sun Ong melompat ke belakang dan Suma Koan menjadi lega bukan main. Tadi dia sudah repot dan tinggal menanti robohnya saja dan sekarang, lawan yang amat tangguh itu meninggalkannya dan digantikan muridnya. Bagaimanapun juga, sang murid tidak mungkin selihai sang guru. Diapun cepat menyerang Bun Houw dengan sulingnya, mengerahkan semua tenaganya. Bun Houw menyambut dan mengerahkan tenaga pula.

"Tranggg...!!"

Bunga api berpijar dan hampir saja Suma Koan melepaskan sulingnya karena telapak tangan yang memegang suling merasa panas tergetar hebat. Dia terkejut dan nekat, namun matanya silau oleh gulungan sinar pedang yang seperti kilat menyambar-nyambar itu. Dia berusaha untuk membela diri, namun baru dia tahu bahwa pemuda ini bahkan jauh lebih berbahaya dibandingkan bekas pangeran itu. Sebelum dia dapat membalas hujan serangan itu, tiba-tiba kilat menyambar berkelebat di depan matanya dan di lain saat iapun sudah roboh terjengkang dengan dada ditembusi pedang. Raja Maut Suling Iblis itu pun roboh dan tewas seketika.

"Ya Tuhan... terima kasih bahwa aku tidak dapat melihat semua kengerian ini...!" terdengar Tiauw Sun Ong berkata, alisnya berkerut dan wajahnya nampak muram...!

"Harap suhu memaafkan teecu, terpaksa teecu membunuh mereka karena mereka memang amat jahat dan mereka tadi berusaha mati-matian untuk mencelakai suhu." kata Bun Houw.

Hui Hong cepat menghampiri ayahnya dan memegang lengan ayahnya. “Ayah. Houw-ko tidak bersalah. Memang benar, yang jahat adalah tiga orang sesat itu. Mereka mencari kematian sendiri. Kalau tadi tidak ada enci Cia Ling Ay yang datang menolong, tentu ayah dan aku sudah tewas di tangan mereka.”

“Hemm, nona yang pandai menggunakan sihir... engkau seperti Kwan Hwe Li, bagaimana tiba-liba dapat menolong kami? Siapakah engkau?" Bekas pangeran itu bertanya dan diapun memalingkan mukanya ke arah Ling Ay.

"Lo-cian-pwe mungkin lupa kepada saya. Saya pernah datang ke sini bersama subo Bi Moli."

"Ahhh...!” Tiauw Sun Ong berseru kaget. "Jadi engkau murid Kwan Hwe Li itu. Akan tetapi... kenapa engkau sekarang malah membantu kami?"

"Ayah, enci Ling Ay bukanlah orang jahat walaupun ia menjadi murid Bi Moli.” kata Hui Hong. "Bahkan ia dahulu adalah... sahabat baik dan sekampung dengan Houw ko.”

Mendengar ucapan Hui Hong itu, wajah. Ling Ay berubah kemerahan dan ia tersipu. Tentu Bun Houw sudah bercerita kepada gadis itu tentang hubungan mereka dahulu. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Pantas menjadi kekasih dan tunangan Bun Houw.

"Aih, sudahlah, adik Hui Hong, aku bukan seorang yang patut dipuji puji. Sekarang aku mohon diri. Lo-cianpwe, saya mohon pamit... akan melanjutkan perjalanan..."

"Ling Ay, nanti dulu!" kata Bun Houw dengan perasaan tidak enak sekali. Dia tahu betapa dia telah melukai dan mengecewakan hati wanita ini, dan sekarang wanita ini muncul sebagai penyelamat gurunya dan kekasihnya. "Engkau tiba-tiba saja muncul di sini dan menyelamatkan suhu dan Hong-moi, bagaimana engkau akan pergi begitu saja? Kami ingin mendengar bagaimana engkau dapat muncul di sini dan..."

"Benar, enci. Engkau tidak boleh pergi begitu saja! Aku ingin sekali berkenalan lebih akrab denganmu." kata Hui Hong sambil memegang tangan wanita itu.

“Nona, kami mengundangmu untuk singgah di pondok kami dan bicara, kecuali kalau nona tidak sudi menerima undangan kami...“ kata pula Tiauw Sun Ong.

Tentu saja Ling Ay merasa tidak enak sekali untuk menolak. "Kalau itu yang kalian inginkan, baiklah saya akan singgah sebentar..."

"Bun Houw, lebih dahulu kita harus kubur tiga jenazah ini baik-baik dan dengan penuh penghormatan.” kata Tiauw Sun Ong.

"Ayah, mereka adalah orang-orang jahat, datuk-datuk sesat!" Hui Hong memprotes.

"Hui Hong, yang kita tentang adalah kejahatan mereka, bukanlah orangnya. Mereka itu sama saja dengan kita, manusia-manusia yang senasib sependeritaan dengan kita yang patut dikasihani. Setelah mereka tewas, tidak ada lagi kejahatan pada diri mereka."

Mereka berempat lalu menggali lubang di permukaan puncak yang agak jauh dari pondok itu karena mereka harus memilih tempat yang tidak mengandung banyak batu sehingga mudah menggali lubang. Kemudian, dengan sederhana namun cukup khidmat, mereka mengubur jenazah tiga orang datuk itu di dalam tiga buah lubang. Tidak urung Hui Hong yang pada dasarnya berhati lembut itu menangis di depan makam Ouwyang Sek karena ia teringat akan segala kebaikan yang telah dilimpahkan datuk itu kepadanya sejak ia kecil sampai dewasa. Harus diakuinya bahwa sebelum ia menjadi dewasa dan hendak dijodohkan dengan Suma Hok datuk ini bersikap amat baik kepadanya, seperti kepada anak sendiri.

Setelah pemakaman itu selesai, mereka semua memasuki pondok dan bercakap-cakap. Terpaksa Ling Ay menceritakan bagaimana secara kebetulan sekali ia dapat berada di situ dan membantu Tiauw Sun Ong dan Hui Hong menghadapi tiga orang datuk yang lihai itu. Akan tetapi ceritanya itupun merupakan karangannya saja, karena bagaimana mungkin ia mengaku kepada mereka, terutama Hui Hong, bahwa ia datang untuk mencari Bun Houw dan menyampaikan permintaan maafkan atas sikapnya kepada Bun Houw tempo hari ketika pemuda itu menolak harapannya untuk menyambung tali pertunangan mereka yang putus?

Dengan terus terang ia menceritakan bahwa tadinya ia mengikuti subonya ke kota raja, bahkan mendapatkan pekerjaan di kota raja. Akan tetapi melihat subonya bekerja sama dengan Ouwyang Toan, iapun merasa tidak setuju dan mendengar niat mereka untuk memaksanya menjadi isteri Ouwyang Toan, ia lalu melarikan diri. Mereka mengejarnya sehingga tersusul dan hampir saja ia celaka di tangan mereka.

"Untung sekali muncul kakak Kwa Bun Houw yang kebetulan sekali melihat aku dikeroyok mereka, dan telah menolongku lepas dari tangan mereka. Setelah aku berpisah dari guruku, aku lalu merantau seorang diri tanpa tujuan tertentu dan kebetulan sekali aku lewat di bawah pegunungan Hoa-san. Aku teringat ketika diajak oleh subo naik ke puncak ini, maka iseng-iseng saja aku mendaki puncak dan melihat tiga orang itu juga naik puncak di depanku. Aku lalu membayangi mereka dan melihat apa yang terjadi tadi, maka aku lalu berusaha membantu kalian."

"Dan engkau telah berhasil, enci Ling Ay. Kalau tidak ada engkau, entah bagaimana jadinya dengan ayah dan aku. Houw-ko, engkau datang terlambat!"

"Aih, adik Hui Hong, jangan berkata begitu. Kalau tidak ada kakak Bun Houw tadi datang, apa kaukira kita juga akan mampu bertahan? Mereka amat lihai." kata Ling Ay, tidak sengaja seperti membela Bun Houw.

Ketika tiba giliran Bun Houw menceritakan pergalamaanya, Bun Houw bercerita tentang penyerangan yang dilakukan Bi Moli dan Ouwyang Toan di istana terhadap kaisar dan betapa dengan perantaraan Hek-tung Lo-kui dia ditugaskan untuk menjaga keselamatan kaisar dengan menyamar sebagai seorang pengawal baru.

"Suhu, teecu berhasil menangkap Bi Moli dan Ouwyang Toan, Sribaginda Kaisar berhasil diselamatkan. Setelah meninggalkan istana teecu segera pergi mengunjungi bekas Kaisar Cang Bu untuk menyadarkan beliau agar tidak bersekutu dengan kerajaan Wei di utara, dan mengingatkan beliau bahwa gerakan beliau untuk memberontak itu tidak akan benar dan hanya akan mendatangkan perang yang menyengsarakan rakyat. Teecu di sana bentrok dengan Suma Hok yang mengkhianati bekas kaisar itu, dan teecu berhasil pula menundukkannya sehingga dia ditawan bekas kaisar itu. Akan tetapi teecu tidak berhasil membujuk Kaisar Cang Bu. Dia tidak mau mundur sehingga diserbu pasukan pemerintah. Teecu tidak mencampuri pertempuran itu dan teecu pulang ke sini sebelum teecu melanjutkan pengejaran terhadap Bu-tek Sam-kwi dan membasmi Thian-te Kui-pang, gerombolan yang telah mengacau di perbatasan dan membunuh banyak rakyat dan tokoh kang-ouw itu." Bun Houw lalu menceritakan kepada gurunya tentang Thian-te Kui-pang, gerombolan seratus orang yang dikirim oleh Kerajaan Wei untuk mengacau daerah perbatasan.

Mendengar penuturan muridnya itu Tiauw Sun Ong menghela napas panjang. "Semua orang tiada henti-hentinya saling memperebutkan kekuasaan. Agaknya manusia telah lupa bahwa kekuasaan mutlak berada di Tangan Tuhan Yang Maha Kuasa, dan kehadiran manusia di bumi bukan untuk saling memperebutkan kekuasaan, melainkan untuk melakukan suatu manfaat bagi manusia pada umumnya, berguna pula bagi dunia. Manusia bertugas menjadi alat dari kekuasaan Tuhan. Akan tetapi nafsu mempermainkan manusia sehingga mereka lupa diri, mereka memegang kekuasaan bukan demi kesejahteraan rakyat melainkan demi kesenangan diri pribadi. Karena itu timbullah perang dan pertempuran tak kunjung hentinya yang hanya mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat jelata. Kalian semua memang benar. Sebagai orang-orang muda yang pernah dengan susah payah mempelajari kepandaian, setelah menguasai ilmu harus dipergunakan demi menolong manusia yang sengsara, demi menegakkan kebenaran, dan keadilan, menentang kejahatan, bukan ikut-ikutan memperebutkan kekuasaan. Sayang aku sudah tua, kalau aku masih kuat, aku pun tidak dapat membiarkan saja gerombolan seperti Thian-te Kui-pang itu mengganggu kehidupan rakyat di pedusunan sepanjang perbatasan."

"Harap suhu tenangkan hati. Teecu adalah, murid suhu dan teecu sanggup mewakili suhu untuk menghancurkan perkumpulan iblis itu.” kata Bun Houw.

"Houw-koko benar, ayah. Di sini ada Houw ko dan aku, untuk apa ayah harus turun tangan sendiri? Biar aku yang akan membantu Houw-ko menghancurkan perkumpulan, iblis itu!” kata pula Hui Hong dengan penuh semangat.

"Lo-cian-pwe, tugas ini memang untuk yang muda-muda. Saya pun siap membantu membasmi perkumpulan iblis itu, tentu saja kalau kakak Bun Houw dan adik Hui Hong suka menerima saya untuk membantu mereka."

"Heii, enci Ling Ay, kenapa engkau berkata demikian? Tentu saja kami senang sekali kalau engkau suka membantu, bahkan kalau engkau tidak menawarkan bantuan sekalipun, tentu aku akan memintamu!" kata Hui Hong sambil memegang tangan gadis itu.

Akan tetapi sambil menggandeng tangan-Hui Hong, Ling Ay masih menoleh kepada Bun Houw untuk melihat bagaimana tanggapan pemuda itu. Ia tahu diri dan tidak ingin mengganggu kalau memang pemuda itu tidak menghendaki bantuannya. Akan tetapi Bun Houw juga mengangguk dan berkata dengan sungguh-sungguh.

"Kawanan gerombolan iblis itu lihai, dan semakin banyak tenaga yang dipersatukan untuk membasmi mereka, semakin baik lagi. Tentu saja kami merasa senang mendapat bantuanmu, adik Ling Ay."

Setelah memberi nasihat agar mereka berhati-hati menghadapi gerombolan iblis itu, Tiauw Sun Ong memperkenankan mereka turun gunung untuk menunaikan tugas sebagai pendekar-pendekar muda yang perkasa. Tiga orang muda itu melakukan perjalanan cepat karena mereka mempergunakan ilmu berlari cepat menuruni pegunungan Hwa san. Tadinya, Hui Hong berada di tengah. Bun Houw berada di samping kanannya sedangkan Ling Ay berada di samping kirinya.

Akan tetapi di dalam perjalanan, secara halus dan tidak kentara, Hui Hong sengaja pindah dan berada di sebelah kanan Bun Houw sehingga dengan sendirinya Bun Houw kini berada di tengah-tengah, Hui Hong di kanannya dan Ling Ay di kirinya! Karena hal ini dilakukan Hui Hong dengan sikap seolah tidak sengaja, maka biarpun merasa canggung Ling Ay terpaksa menahan guncangan hatinya dan berjalan terus di sebelah kiri Bun Houw seolah tidak pernah terjadi sesuatu antara ia dan pemuda itu.

Setiap mereka terpaksa harus bermalam di sebuah kota, mereka menyewa dua buah kamar di rumah penginapan, sebuah kamar untuk Bun Houw dan sebuah kamar lagi untuk dua orang wanita itu. Dan hubungan antara kedua orang wanita itu menjadi semakin akrab saja. Mereka merasa cocok sekali. Hui Hong merasa iba kepada Ling Ay yang hidupnya penuh dengan kepahitan, sebaliknya Ling Ay diam diam merasa bersukur bahwa bekas tunangannya itu telah mendapatkan seorang isteri yang benar-benar gagah perkasa dan baik budi, di samping kecantikannya.

Beberapa hari kemudian, mereka tiba di sebuah dusun di dekat perbatasan. Karena dusun ini menjadi tempat pemberhentian orang-orang yang melakukan perjalanan menyeberangi daerah tak bertuan, untuk berdagang, maka dusun itu berkembang menjadi tempat yang ramai. Rumah rumah penginapan didirikan orang karena banyak pedagang dan rombongan piauw-kiok (perusahaan pengawal barang) berhenti di situ. Banyak pula rumah makan yang cukup lengkap berada di tempat itu.

Bun Houw, Hui Hong dan Ling Ay pada pagi hari itu memasuki sebuah rumah makan untuk sarapan. Malam tadi mereka bermalam di dusun itu dan mereka mendengar keterangan bahwa dusun Tai-bun yang dijadikan sarang gerombolan Thian-te Kui-pang berada sekitar lima puluh li dari dusun itu, di sebelah barat. Mereka bermaksud melanjutkan perjalanan ke sana dan sebelum itu hendak sarapan dulu dan membeli bekal makanan karena perjalanan di daerah tak bertuan itu kakang-kadang tidak akan bertemu penjual makanan lagi. Memang banyak dusun yang sudah ditinggalkan penduduknya yang lari mengungsi semenjak Thian-te Kui-pang berkuasa di dusun Tai-bun dan sekitarnya.

Selagi tiga orang itu makan minum, tiba-tiba terdengar suara tuk-tuk-tuk menghampiri mereka. Ketiganya menengok dan nampaklah seorang pengemis yang usianya sekitar lima puluh tahun, berjalan menghampiri meja mereka yang berada di sulut luar. Suara berketuk itu adalah suara tongkat yang dibawanya, dan dia berjalan bertopang kepada tongkat itu yang mengeluarkan bunyi yang berat. Pengemis tua itu tidak mendatangkan kesan sesuatu, akan tetapi ketika Bun Houw memandang kearah tongkatnya, dia mengerutkan alisnya. Tongkat itu terbuat dari logam berat, mungkin besi dan tidak jelas karena dicat hitam.

"Kalau tidak salah, orang ini tentu anggauta Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam),” bisik Bun Houw kepada dua orang wanita itu.

Mereka melirik dan melihat pengemis itu sudah tiba di dekat meja mereka. Tentu saja dua orang wanita itu mengerutkan alis merasa tidak senang sedang makan di dekati seseorang pengemis yang bajunya nampak kotor. Akan tetapi Bun Houw yang tidak ingin mencari keributan, segera mengambil sepotong uang dan memberikan kepada pengemis itu sambil berkata dengan suara lembut.

"Paman, ambilah uang ini dan sampaikan salam hormatku kepada Hek-tung Kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) Kam Cu."

Pengemis itu menerima kepingan uang dan menjura dengang sikap hormat sekali. "Ah, kiranya saya dapat menemukan taihiap dengan mudah. Tentu taihiap yang oleh pangcu kami disebut Perdekar Pedang Kilat. Pangcu kami mengundang taihiap bertiga untuk bertemu dengannya."

Bun Houw tercengang. Setahunya, Hek-tung Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Hitam) Kam Cu berada di sebelah selatan Nan-king. Bagaimana dapat mengundangnya?"

"Di mana Kam-pangcu?" tanyanya cepat.

"Hal ini harus dirahasiakan," bisik pengemis itu. "Nanti kalau sam-wi (anda bertiga) sudah selesai makan, saya menanti di luar dan akan menjadi penunjuk jalan. Sam-wi ikuti saja aku keluar dusun."

Setelah berkata demikian, tanpa banyak bicara lagi sehingga tidak menarik perhatian orang, pengemis itu menghampiri meja lain untuk minta sedekah. Kemudian, diapun keluar dari rumah makan itu. Sambil melanjutkan makan, dengan lirih Bun Houw menceritakan tentang Hek-tung Kai-pang, perkumpulan pengemis yang tidak sudi diajak bekerja-sama dengan Thian-te Kui-pang.

"Tentu ada hal penting sekali maka dia berada di sini, dan agaknya dia mengetahui bahwa kita berada di dusun ini." Bun Houw berkata dan setelah mereka selesai makan, mereka membayar harga makanan lalu melangkah keluar dari rumah makan itu dengan sikap santai sehingga tidak akan menarik perhatian orang.

Benar saja, mereka melihat pengemis yang tadi berada dalam jarak serarus meter dari tempat itu dan kini pengemis itu berjalan santai pula menuju ke timur dan keluar diri dusun itu. Dari jauh Bun Houw dan dua orang wanita itu mengikutinya. Setelah tiba di tempat yang sunyi, pengemis itu lalu berjalan dengan cepat, Bun Houw dan dua orang temannya membayanginya dengan cepat pula dan dia menghilang di dalam sebuah hutan.

Setelah Bun Houw, Hui Hong dan Ling Ay berlari memasuki hutan itu, agak ke tengah, mereka telah ditunggu oleh belasan orang yang berpakaian pengemis dan kesemuanya memegang tongkat hitam, yang berada di depan sendiri adalah seorang pengemis berusia lima puluhan tahun yang bertubuh kurus. Bun Houw segera mengenal orang ini sebagai Hek-tung Lo-kai Kam Cu, ketua dari Hek-tung Kai-pang dan di sebelahnya lagi nampak seorang pria berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan dia tidak mengenakan pakaian pengemis. Sebatang golok besar tergantung di pinggangnya.

Bun Houw juga mengenal si golok besar ini yang bukan lain adalah ketua diri Thian-beng-pang yang bernama Ciu Tek. Dua orang inilah yang pernah dibantu Bun Houw ketika mereka hendak dipaksa oleh Pek-thian-kui orang pertama dari Bu-tek Sam-kui yang dibantu oleh Suma Hok dan Suma Koan.

"Ha ha-ha, sungguh beruntung sekali kami bertemu dengan Si Pedang Kilat Kwa Thaihiap di sini!" kata si brewok Ciu Tek, ketua Thian-beng pang itu.

Bun Houw membalas penghormatan mereka dan memperkenalkan nama Hui Hong dan Ling Ay. Dua orang ketua itu memberi hormat kepada dua orang wanita itu dan Hek-tung Lo-kai berkata,

"Kami sungguh kagum sekali, karena melihat cara jiwi lihiap (kedua pendekar wanita) berlari cepat tadi saja kami sudah dapat menduga bahwa ji-wi li-hiap memiliki ilmu kepandaian yang tinggi."

"Ji-wi pang cu (kedua ketua) mengundang kami ke sini, sebenarnya ada kepentingan apakah?”

"Mari kita duduk di sana, ada urusan penting sekali, taihiap," kata dua orang ketua itu. Mereka lalu duduk di atas batu-batu yang berada di tengah hutan.

"Kwa taihiap, kami lelah lama sekali menanti tai-hiap di dusun ini, dan begitu tai-hiap bertiga dengan ji-wi li hiap ini memasuki dusun, kami sudah mengetahuinya, akan tetapi kami membiarkan sam-wi beristirahat semalam baru pagi ini kami hubungi. Kami yakin bahwa tai-hiap tentu akan membasmi gerombolan Thian-te Kui pang, maka kami sudah siap di tempat ini menanti tai-hiap dan kami telah mengerahkan anak buah kami berdua, sebanyak tiga ratus orang. Tentu tai hiap bertiga datang ke sini hendak menyerang sarang Thian-te Kui pang, bukan?"

"Benar sekali, pangcu. Dan kami juga gembira sekali mendapat bantuan ji-wi pangcu dan anak buah ji wi. Kalau begitu, mari kita segera berangkat ke sarang gerombolan iblis itu."

"Harap tai-hiap berhati-hati dan tidak memandang rendah pihak lawan. Anak buah mereka memang hanya kurang lebih seratus orang, akan tetapi rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Dan lebih dari itu, kami berhasil mengetahui bahwa Bu-tek Sam kui kini menjadi lebih kuat dari pada dahulu." kata Thian beng-pangcu Ciu Tek.