Pedang Kilat Membasmi Iblis Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Kwan Hwe Li menghela napas panjang. "Engkau benar, Ling Ay. Keadaan kita memang tidak jauh berbeda. Akupun hanya mencinta seorang pria saja, yaitu Pangeran Tiauw Sun Ong. Sampai sekarang aku masih mencintanya dan satu-satunya keinginanku adalah sama dengan yang diinginkan Kwan-im sian-li, yaitu ingin menghabiskan sisa hidupku di sampingnya. Akan terapi, kita mendengar sendiri penolakannya terhadap Kwan-im Sian-li. Aku tidak ingin mendengar dia manolak ajakanku, maka akupun tidak menyampaikan maksud hatiku. Andaikata dia menolak, mungkin akupun seperti Kwan-im Sianli akan mengajaknya mati bersama!"

Ling Ay menggeleng-geleng kepala. "Teecu tidak dapat menyelami perasaan subo dan Kwan Im Sianli. Kenapa harus memaksa seseorang untuk hidup bersama, dan kalau dia menolak akan diajak mati bersama? Apakah dua orang tidk bisa hidup dalam keadaan saling terpisah walaupun hati saling mencinta? Teecu bahkan tidak berani mengharapkan orang yang teecu cinta untuk menjadi teman hidup, dan teecu hanya mendoakan semoga dia mendapatkan seorang jodoh yang baik dan dapat hidup berbahagia selamanya.”

Bi Moli Kwan Hwe Li tertawa geli. "Heh-heh, kalau begitu engkau seorang munafik, Ling Ay!”

"Ehhh? Maaf, subo. Mengapa subo mengatakan teecu munafik?”

"Tentu saja engkau munafik. Dalam hatimu, tadi engkau mengatakan bahwa tidak ada keinginan yang lebih besar dalam hatimu kecuali hidup bersama pria yang kau cinta. Akan tetapi di luarnya engkau mendoakan dia hidup berbahagia dengan wanita lain. Bukankah itu munafik?”

"Tidak sama sekali, subo. Memang teecu mencintanya dan ingin hidup bersama dengan dia. Akan tetapi, kalau dia tidak menghendaki hal itu, teecu tidak akan memaksanya atau menyalahkannya, apalagi membencinya. Dia berada di samping teecu ataukah tidak, teecu tetap mencintanya dan ingin melihat dia hidup berbahagia."

"Hi-hi-hik, aku dapat membayangkan. Engkau ingin melihat dia hidup berbahagia, akan tetapi kalau benar-benar engkau melihat dia hidup berbahagia di samping wanita lain, engkau akan merasa betapa hatimu perih seperti ditusuk-tusuk, engkau akan menangis sendiri dalam kamarmu menyesali nasib dan penuh iba diri. Tidakkah begitu? Nah, itu yang kumaksudkan dengan munafik, tidak samanya perasaan hati dengan perbuatan,"

"Maaf, subo. Teecu rasa tidaklah demikian. Teecu hanyalah seorang manusia biasa yang serba lemah dan tidak teecu sangkal, mungkin kalau teecu melihat doa teecu terkabul dan Bun Houw hidup berbabagia dengan wanita lain. melihat dia bersanding dengan wanita lain, teecu akan teisiksa dalam hati, akan menangis penuh iba diri. Akan tetapi hal itu wajar saja. bukan? Di samping itu. teecu akan selalu sadar bahwa tidak selamanya orang harus menurutkan kata hati, tidak memenuhi keinginan hati. Teecu mempunyai pertimbangan untuk menimbang, keinginan bagaimana yang boleh dilaksanakan dan keinginan yang bagaimana yang harus dikekang. Dan keinginan memaksa Bun Houw hidup berdua dengan teecu, keinginan untuk senang sendiri seperti itu, adalah satu di antara keinginan-keinginan yang harus teecu kekang."

"Huh, itulah mengapa engkau selalu tertimpa kemalangan dalam hidupmu. Engkau terlalu lemah! Engkau terlalu memikirkan orang lain dan lihatlah apa yang selama ini kau alami. Engkau menurut saja dinikahkan dengan pria yang tidak kausukai, engkau terlalu lemah sehingga tidak berani menentang orang tuamu. Kemudian, engkau rela saja dipermainkan laki-laki yang tidak kau cinta. Kalau yang pertama kali engkau lebih mementingkan orang tuamu dari pada dirimu sendiri, kemudian engkau mementingkan pria yang dipaksa menjadi suamimu. Kemudian engkau bertemu dengan bekas tunanganmu itu, dan engkau tidak meraihnya sehingga dia lepas lagi. Huh, aku muak mempunyai murid yang begini lemah!”

Melihat gurunya marah, Ling Ay terkejut. Selama ini, belum pernah gurunya marah kepadanya! Dan ia merasa menyesal sekali. Ia belum dapat membalas semua budi yang dilimpahkan gurunya itu kepadanya, dan sekarang ia malah membuat gurunya kecewa dan marah. Ia segera berlutut di depan gurunya yang duduk bersila di dalam guha itu.

"Maafkan teecu, subo. Akan tetapi, apa yang harus teecu lakukan? Teecu tetap mentaati semua perintah subo."

Bi Moli mengangkat mukanya dan meletakkan tangan kirinya ke atas pundak, muridnya. Ia menyayang Ling Ay. Selama beberapa tahun ini, Ling Ay bukan saja menjadi muridnya, akan tetapi juga menjadi sahabat baiknya, menjadi pelayannya dan bersikap amat baik kepadanya sehingga ia merasa sayang sekali kepada murid yang juga amat berbakat ini.

"Yang harus kaulakukan, muridku yang baik, adalah seperti aku. Aku gurumu yang harus kautaati, bukan? Nih, kita harus dapat menikmati hidup ini, kita harus bertindak sesuai dengan perasaan kita. Seperti juga aku yang selalu mengharapkan dapat hidup berdampingan dengan pria yang kucinta, dan menghancurkannya kalau dia menolak dan menyakiti hatiku, engkaupun harus mencari Bun Houw. Engkau dahulu pernah menjadi tunangannya, saling mencinta, maka sudah sewajarnya kalau sekarang engkau menuntut disambungnya kembali ikatan itu dan menjadi isterinya. Bukankah itu harapan dan idaman hatimu?"

"Akan tetapi, subo. Teecu adalah seorang yang tadinya memutuskan hubungan itu, teecu yang meninggalkannya dan menikah dengan pria lain."

"Itu adalah kehendak orang tuamu, bukan kehendakmu. Dan ketika itu engkau belum menjadi muridku. Kalau engkau bertemu lagi dengan dia, dia harus menerimamu kembali dan engkau akan menjadi isterinya, hidup berbahagia, dan akupun akan ikut gembira melihat engkau bahagia. Kalau dia menolak dan memilih wanita lain, aku akan membantumu menghancurkannya. Daripada orang yang kita cinta terjatuh ke tangan wanita lain lebih baik kita binasakan saja!”

"Tapi, subo..." Ling Ay yang bergidik mendengar bahwa ia harus membunuh Bun Houw, mencari akal dan tidak berani membantah lagi atau menolak, "bagaimana teecu akan dapat mencari dan menemukannya. Teecu tidak tahu di mana dia berada. Dia sebatangkara dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap."

"Biar kita cari perlahan-lahan. Sekarang, kita lebih dulu pergi ke kota raja Nan-king. Sejak terjadinya keributan dan perang saudara yang menjatuhkan kerajaan Liu Sung tiga tahun yang lalu. aku tidak pernah melihat Nan-king. Sekarang, di sana yang berkuasa adalah Kerajaan Chi dan kaisarnya adalah Siauw Bian Ong yang dahulunya adalah Pangeran Siauw Hui Kong. Tiga tahun telah lewat sejak kerajaan baru itu menguasai daerah selatan Sungai Yang-ce. dan kabarnya sekarang keamanan telah pulih kembali, tidak ada lagi terjadi pertempuran. Aku ingin berkunjung ke sana, menjenguk kota kelahiranku dan kautahu, muridku, masih banyak keluarga bangsawan yang menjadi kerabatku."

Ling Ay menurut saja, di dalam hati ia masih bingung oleh perintah gurunya mengenai sikapnya terhadap Bun Houw tadi. Ia memang mencinta Bun Houw, hal ini tidak disangkalnya. Ia memang mengharapkan agar dapat hidup menjadi isteri Bun Houw, hal ini pun harus diakuinya. Akan tetapi andaikata Bun Houw menolak, bagaimana mungkin ia akan tega untuk membunuhnya? Bun Houw telah berbuat banyak untuknya. Rasanya ia akan rela mati untuk membela pria yang dikasihinya itu. Bagaimana mungkin ia akan dapat membunuhnya, walaupun dia akan menolaknya sekalipun?

Akan tetapi ia tidak berani membantah, dan girang mendengar subonya mengajaknya pergi ke Nan-king. Setidaknya, urusan baru di Nan-king akan membuat gurunya lupa akan Bun Houw dan diapun akan diam saja. tidak akan membicarakan lagi tentang bekas kekasih dan tunangannya itu.

********************

Serial Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo

Guru dan murid itu berhenti di persimpangan jalan. "Suhu," kata Bun Houw, "biarlah teecu mengantar suhu kembali dulu ke Hwa-san, sebelum teecu mulai mencari adik Tiauw Hui Hong sampai dapat. Teecu berjanji akan mengajak puteri suhu itu menghadap suhu."

Tiauw Sun Ong tersenyum. Bekas pangeran yang usianya sudah lima puluh sembilan tahun itu masih nampak tegap dan memang wajahnya tampan dan gagah, walaupun dia nampak lemah dengan kebutaannya, "Bun Houw, tidak perlu engkau mengantarku. Aku masih kuat untuk mendaki Hwa-san dan sebaiknya kalau engkau sekarang juga mulai pergi mencari Hui Hong dan kau ceritakan semuanya tentang dirinya, tentang hubungannya dengan aku sebagai ayah kandungnya. Kasihan sekali Hui Hong, ia tidak tahu akan kematian ibu kandungnya yang amat menyedihkan. Aih, ulah nafsu selalu mendatangkan akibat yang menyedihkan."

Bun Houw yang sudah mengenal baik watak suhunya yang sekali mengambil keputusan tidak akan mengingkari lagi, tidak membantah dan diapun menghela napas panjang. Dia merasa iba kepada suhunya. Biarpun suhunya tidak mengeluarkan ucapan yang menunjukkan kesedihannya, namun dia tahu benar betapa hancur hati gurunya ketika pertemuannya dengan satu-satunya wanita yang pernah dicintanya, yaitu Pouw Cu Lan, berakibat matinya wanita itu membunuh diri. Akan tetapi suhunya tidak pernah melihatkan kesedihannya dan diapun kagum bukan main. Gurunya adalah seorang laki-laki sejati!

"Baiklah, suhu. Kalau suhu menghendaki demikian, teecu akan mentaati keinginan suhu."

"Selain mencari Hui Hong. Juga ada sebuah tugas untukmu. Ketahuilah bahwa kini kerajaan Sung atau Liu Sung telah jatuh dan yang berkuasa adalah kerajaan Chi yang dipimpin oleh Kaisar Siauw Bian Ong. Perubahan ini hanya merupakan perebutan kekuasaan saja, karena yang memegang pimpinan tetap masih keluarga sendiri. Bahkan ada baiknya, karena Kaisar Cang Bu yang masih remaja itu tidak pantas untuk menjadi kaisar dan dia tentu mudah dikuasai para pejabat yang menjilat dan menyelewengkannya. Bagaimanapun juga, kita harus mendukung kerajaan Chi di Nan-king karena kita di selatan selalu diancam oleh kekuasaan dari utara, yaitu kerajaan Wei yang dipimpin oleh bangsa Toba Tartar. Memang tidak perlu engkau memegang jabatan, akan tetapi kalau melihat negara diancam bangsat Tartar, sudah menjadi kewajiban setiap orang warga negara untuk membelanya. Nah, tugas yang kuberikan padamu adalah pergi ke Nan-king dan melihat suasana di sana. Kuberi waktu dua tahun kepadamu untuk mencari Hui Hong dan melihat keadaan pemerintah kerajaan Chi yang baru. Satelah dua tahun, bertemu Hui Hong atau tidak, engkau harus mencariku di Hwa-san dan memberi laporan tentang semua hasil usahamu.”

“Baik, suhu."

Guru dan murid itu berpisah di persimpangan jalan. Tiauw Sun Ong melanjutkan perjalanan dengan langkah tegap menuju ke Hwa-san. Bagaimanapun juga, hatinya terasa ringan. "Pouw Cu Lan, yang dulunya sudah tidak dia pikirkan lagi, akan tetapi kemudian teringat kembali setelah dia mendengar bahwa wanita yang pernah menjadi kekasihnya itu telah melahirkan seorang puteri darinya, kini telah meninggal dunia. Hal itu berarti pula bahwa wanita itu telah terbebas dari penyiksaan diri berkorban demi puteri mereka.

Pouw Cu Lan telah mengambil jalan yang paling tepat. Adapun puterinya, Hui Hong, dalam keadaan selamat dan sehat. Puterinya! Akan tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya. Menurut keterangan mendiang Pouw Cu Lan sebelum membunuh diri. Hui Hong telah pergi untuk mencarinya bersama seorang wanita cantik yang mukanya putih halus dan nampak masih muda. Kwan Im sianli Bwe Si Ni!

Siapa lagi kalau bukan bekas dayang itu? Menurut keterangan Bi Moli Kwan Hwe Li. Kwan Im Sianli tentu bermaksud untuk membunuh Pouw Cu Lan dan puterinya, puteri mereka. Dan kini. Pouw Cu Lan telah membunuh diri, dan Hui Hong pergi bersama Kwan Im Sianli! Nyawa puterinya berada dalam bahaya!

Bagaimana mungkin dia dapat kembali ke Hwa-san dan dapat bertapa dengan hati tenang kalau Hui Hong belum ditemukan? Dan biarpun dia yakin akan kemampuan muridnya, akan tetapi Bun Houw tidak tahu ke mana harus mencari Hui Hong! Alangkah baiknya kalau dia sendiripun pergi mencari. Usaha dua orang lentu jauh lebih baik dan mendatangkan lebih banyak harapan dari pada usaha seorang saja. Maka, tanpa ragu lagi diapun mengubah arah perjalanannya, berlawanan dengan arah yang dituju Bun Houw. Bun Houw menuju ke timur, ke Nan-king. dan dia sendiri akan pergi ke utara, ke Lok-yang.

Sementara itu, tanpa mengetahui perubahan arah perjalanan gurunya, Bun Houw melanjutkan perjalanan dengan cepat. Nan-king masih jauh di timur dan perjalanan melalui daratan amatlah sukarnya, juga amat melelahkan. Oleh karena itu. Bun Houw menyusuri tepi Sungai Yang-ce untuk menyewa perahu. Dengan perahu melakukan perjalanan dapat lebih cepat dan tidak begitu meletihkan, karena perahu akan terbawa arus sehingga tidak banyak membutuhkan tenaga untuk mendayung, hanya mengemudikannya saja.

Banyak memang dia bertemu pemilik perahu, akan tetapi belum ada yang dapat menyewakan perahu kepadanya. Tukang perahu tidak mau menyewakan perahu untuk perjalanan sejauh itu, ke Nan-king yang akan makan waktu berhari-hari. Untuk membeli sebuah perahu, tentu saja Bun Houw tidak mampu. Emas permata yang dimilikinya, yang dahulu diterimanya dari gurunya, telah dirampas oleh Suma Koan dan puteranya. Suma Hok. Dan kini dia hanya mempunyai sedikit perak untuk bekal dalam perjalanan. Juga pemberian gurunya.

Terpaksa Bun Houw membonceng perahu yang kebetulan ke hilir, sampai ke mana tujuan perahu itu berhenti, lalu disambung lagi dengan perahu lain. Akan tetapi tentu saja perjalanan ini makan waktu lebih lama karena dia harus menunggu setiap kali di suatu tempat pemberhentian untuk mencari perahu yang melakukan pelayaran ke timur.

Pada suatu pagi, setelah melakukan perjalanan selama belasan hari, perahu yang ditumpangi Bun Houw berhenti di sebuah kota di tepi sungai yang bernama Kui-cu, sebuah kota yang cukup ramai karena di situ merupakan pusat perdagangan yang menjadi semacam bandar sungai pula. Banyak pedagang mendirikan toko, rumah makan dan rumah-rumah penginapan karena banyaknya saudagar dari daerah dan kota lain yang datang dan bermalam di Kui-cu, untuk memperjualbelikan barang dagangan mereka.

Ada sebuah perahu besar yang akau melakukan perjalanan ke timur, akan tetapi pemilik perahu mengatakan bahwa dia harus menunggu muatan selama dua hari baru dapat berangkat. Karena perahu itu merupakau perahu pertama yang akan berlayar ke timur, terpaksa Bun Houw menunggu dan diapun mencari kamar di rumah penginapan yang kecil untuk menghemat biaya.

Setelah memperoleh sebuah kamar di rumah penginapan yang berada di ujung kota Kui-cu karena penginapan lain yang berada di tengah kota sudah penuh dengan tamu, Bun Houw keluar berjalan-jalan dan melihat-lihat kota Kui-cu. Kota yang sibuk sekali. Datang banyak banyak tamu pedagang yang berjual-beli di kota itu, membuat kota itu menjadi pusat pasar, dan banyak orang memanfaatkan keramaian itu dengan membuka bermacam tempat hiburan.

Para pedagang itu mempunyai banyak uang, apalagi di tempat itu seringkali para saudagar mendapatkan keuntungan yang banyak, maka uang berlimpahan dan mereka itu. segera nencari hiburan untuk merayakan keuntungan yang mereka peroleh. Tempat-tempat pelesir, rumah-rumah judi dan sebagainya dibuka orang.

Matahari telah naik tinggi dan Bun Houw memasuki sebuah rumah makan, tertarik oleh bau sedap masakan yang keluar dari dalam rumah makan itu. Belasan orang sudah berada di situ dan Bun Houw bingung juga memasuki rumah makan yang tidak terlalu besar itu. Tidak ada meja kosong, akan tetapi di sudut sebelah dalam terdapat sebuah meja di mana hanya duduk seorang laki-laki muda saja yang menghadapi meja itu. Seorang pelayan menyambut dan menggelengkan kepala.

"Maaf, tidak ada meja kosong, harap sebentar lagi saja kembali kalau sudah ada tamu yang keluar," katanya.

Bun Houw memandang kepada pria yang duduk seorang diri itu, dan pria inipun memandangnya, lalu pria itu bangkit berdiri dan. berteriak kepada pelayan itu. "Disini aku hanya duduk sendiri, kalau sobat itu mau, dia boleh, saja duduk makan di sini."

Tentu saja pelayan itu menjadi girang. Jarang ada tamu yang mau membagi mejanya dengan tamu lain yang tidak dikenalnya. Bun Houw juga girang dan segera memberi hormat-ambil menghampiri meja itu. "Terima kasih atas kebaikanmu, sobat." katanya.

"Ah, tidak mengapa. Meja inipun terlalu besar untukku sendiri. Silakan!” kata orang itu dengan ramah.

Bun Houw lalu duduk di seberang orang itu, terhalang meja sehingga mau tidak mau mereka saling pandang. Pria itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Tubuhnya sedang saja, bahkan agak kewanitaan karena tidak nampak otot-otot kekar di tangannya. Tubuhnya itu lebih condong tubuh wanita yang termasuk besar. Wajahnya tampan dan matanya cerdik, senyumnya manis. Akan tetapi wajah itu adalah wajah pria, dengan alis yang tebal dan hidung besar. Ada sesuatu dalam sikapnya yang agung dan anggun.

Tentu saja Bun Houw hanya memandang sekalian dan dia menduga bahwa pemuda ini agaknya seorang pemuda terpelajar, tidak miskin, akan tetapi juga bukan kaya-raya. Walaupun pakaiannya cukup baik, akan tetapi dia bukan seorang pesolek dan pakaian itu tidak menyolok. Bahkan pemuda itu duduk dalam rumah makan dengan menghadap ke sebelah dalam sehingga tidak dilihat wajahnya dari luar, seolah dia hendak menyembunyikan wajahnya agar tidak terlihat banyak orang. Pada hal, dia tidak melihat sesuatu yeng mencurigakan pada pemuda ini,

"Kulihat engkau seperti bukan orang sini, sobat. Benarkah!" pria itu agaknya merasa tidak enak kalau berdiam diri ia saja, maka dia bertanya, suaranya terdengar sambil lalu saja.

"Benar, aku memang baru dalang hari ini, pagi tadi." jawab Bun Houw singkat. Dia tidak ingin berkenalan dengan pemuda itu, dan tidak ingin menceritakan keadaan dirinya.

Hening sejenak dan pesanan makanan pemuda itu datang lebih dahulu karera memang dia telah memesan sebelum Bun Houw masuk. Dia memesan nasi dengan dua macam sayur dan daging, juga air teh. Tidak memesan arak. hal ini mengherankan Bun Houw. Hari itu hawanya cukup dingin sehingga biasanya orang akan minum arak, walaupun sedikit. Dia sendiri memesan nasi dan semacam sayur yang di sukainya.

"Silakan engkau makan lebih dulu, sobat," kata Bun Houw melihat betapa pemuda itu. memandangnya tanpa menyentuh masakan di depannya.

Pemuda itu mengangguk, kemudian makan, cara dia makanpun sopan dan dengan hati-hati menggerakkan sumpitnya, mengunyah makananpun tanpa mengeluarkan suara, bahkan jarang sampai membuka mulut, sungguh cara makan yang hati-hati dan perlahan-lahan, sopan sekali. Bun Houw semakin tertarik dan senang. Dia sendiri merasa terganggu kalau melihat orang makan dengan lahap seperti orang kelaparan, dengan mata melotot memandang ke arah makanannya, kemudian mengunyah cepat-cepat dengan mulut terbuka dan mengeluarkan bunyi berkecapan. Apalagi kalau menyeruput kuah dari mangkuk, mengeluarkan bunyi seperti seekor babi sedang makan.

Pesanan makanan baginya datang. Pemuda di depannya itu tersenyum dan mengangguk tanpa bersuara, seolah mempersilakan dia untuk makan. Bun Houw makan pula dan tentu saja dia makan lebih hati-hati dan lebih sopan dari pada biasanya!

Tiba-tiba masuk lima orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar. Mula-mula kedatangan mereka tidak menarik perhatian, akan tetapi dua orang di antara mereka berdiri di depan pintu rumah makan, menghadap ke luar dan seperti penguasa rumah makan, mereka berdua itu menolak masuknya tamu-tamu baru dengan mengatakan bahwa rumah makan sudah penuh! Adapun tiga orang lainnya, dengan sikap galak sudah menghampiri pemilik rumah makan dan memaksanya untuk menyerahkan semua uang hasil penjualannya sejak pagi tadi! Seorang memaksa pemilik rumah makan, dan dua orang lainnya mulai menggertak para tamu untuk menyerahkan uang mereka!

Melihat betapa di antara para tamu ada yang nampak penasaran dan marah, seorang diantara mereka yang mukanya hitam membentak. "Hayo serahkan uang kalian kepada kami. Kalau ada yang membantah, kepalanya akan kubikin seperti ini!" Tangan kanannya bergerak ke arah ujung sebuah meja.

"Krakkk!" Ujung meja terbuat dari papan tebal itu pecah berantakan. Tentu saja semua orang menjadi ketakutan. Apalagi ketika tiga orang yang beroperasi di dalam itu mencabut golok mereka dan mengamangkan golok, mereka menjadi semakin ketakutan. Si pemilik rumah makan terpaksa membiarkan semua uang pendapat di laci mejanya dikuras oleh seorang perampok, sedangkan dua orang lain mulai menguras isi saku para tamu. Hanya ada seorang tamu yang berusaha untuk menolak dan tidak mau memberikan semua uangnya. Si muka hitam menamparnya dan beberapa buah giginya rontok, mulutnya berdarah dan sejak itu, tidak ada lagi tamu yang berani membantah.

Ketika si muka hitam menghampiri meja di mana Bun Houw dan pemuda itu duduk, Bun Houw melihat betapa pemuda itu sedikitpun tidak nampak khawatir. Bahkan dengan suka rela pemuda itu mengeluarkan semua uangnya dari dalam saku, yang jumlahnya lima enam kali lebih banyak dari pada uang bekalnya sendiri. Tentu saja Bun Houw sudah merasa mendongkol sekali kepada lima orang yang berani melakukan perampokan di siang hari di tempat umum yang ramai itu. Akan tetapi, kalau dia menghajar mereka di rumah makan, tentu akan merusak perabot di rumah makan itu dan dia tidak akan mampu mengganti kerugian.

Pula, di situ terdapat banyak tamu. Kalau lima orang itu mengamuk, dia khawatir ada tamu yang akan terluka atau bahkan tewas. Maka, dengan tenang diapun mengeluarkan semua uang bekalnya dan meletakkannya di atas meja. Perampok muka hitam mengambil uangnya dan uang pemuda itu dari atas meja. memasukkannya ke dalam kantung hitam besar yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Perampokan itu berlangsung cepat sekali dan agaknya lima orang itu memang sudah ahli dalam pekerjaan ini. Setelah menguras semua uang terdapat di situ, mereka pergi dan si muka hitam yang menjadi pimpinan meninggalkan ancaman. "Kalau ada di antara kalian yang berani berteriak setelah kami berada di luar. kami akan masuk lagi dan memenggal lehernya di sini juga!”

Goloknya berkelebat dan sebuah bangku terbelah menjadi dua dengan mudahnya. Semua orang menjadi pucat dan mereka berlima meninggalkan rumah makan itu dengan cepat. Bun Houw cepat menghampiri pemilik rumah makan.

"Paman, aku akan mengejar mereka dan mencoba untuk mendapatkan kembali semua uang yang dirampok!” Diapun keluar dari rumah makan itu dan melakukan pengejaran.

Para perampok itu telah keluar dari pintu gerbang kota Kui-cu sebelah selatan. Dan di luar kota itu, di tempat yang sunyi, mereka bergabung dengan lima belas orang lain yang rata-rata bersikap kasar dan bertubuh kuat. Dan mereka itu menyediakan pula lima ekor kuda untuk lima orang perampok itu. Lima belas orang itu sedang duduk berkelompok di bawah pohon dan mereka bersorak ketika melihat lima orang perampok itu datang membawa kantung hitam yang sudah penuh uang!

"Ha-ha-ha. agaknya Hek-hin (Muka Hitam) berhasil baik!" kata beberapa orang dengan gembira.

Si muka hitam mengangkat kantong hitam itu tinggi-tinggi. "Penuh uang, cukup untuk kita pesta beberapa hari!" serunya dan kembali semua orang bersorak gembira.

Bun Houw sudah sejak tadi mengintai. Setelah merasa yakin bahwa dua puluh orang itu adalah gerombolan perampok atau penjahat, diapun segera melompat keluar dan menghampiri mereka. Melihat tiba-tiba muncul seorang pemuda yang berpakaian sederhana, dua puluh orang itu memandang heran. Lima orang perampok tadi mengenai Bun Houw sebagai seorang di antara para korban di rumah makan. Si muka hitam sudah meloncat ke depan dan memandang rendah kepada pemuda yang tingginya hanya sampai ke lehernya itu. Si muka hitam ini memang memiliki bentuk tubuh yang tinggi besar.

"Mau apa kau? Bukankah engkau seorang dari tamu di rumah makan tadi? Sudah kukatakan, siapapun tidak boleh membuat ribut. Eh, engkau, malah berani mengejar kami ke sini? Mau apa kau?”

"Tidak mau apa-apa," jawab Bun Houw dengan sikap tenang, "hanya ingin minta kembali semua uang yang kalian rampas di rumah makan tadi. Kalian tidak berhak, semua uang itu harus dikembalikan kepada pemilik masing-masing."

Sejenak hening sekali dan semua penjahat itu memandang kepada Bun Houw dengan mata terbelalak. Mereka terheran-heran bagaimana mungkin ada seorang pemuda seperti itu berani bicara demikian kepada mereka! Sungguh sukar untuk dipercaya. Akan tetapi kemudian, bagaikan dikomando saja, dua puluh orang itu tertawa bergelak-gelak, mereka geli dan lucu sampai ada yang perutnya besar terpaksa memegangi perutnya karena tertawa terpingkal-pingkal membuat perutnya sakit dan terguncang keras.

"Heii, booh gila!" teriak seorang diantara lima perampok tadi. "Kalau sekarang engkau berlaku begini, kenapa tadi di rumah makan engkau diam saja, malah menyerahkan pula uangmu tanpa melawan sedikitpun?"

"Aku tidak ingin ribut-ribut di rumah makan, aku sengaja membayangi kalian sampai ke sini, dan di sinilah kita membuat perhitungan.”

"Ha-ha-ha-ha!” Si muka hitam tertawa bergelak. "Kalau kami tidak mau mengembalikan uang itu, habis engkau mau apa?"

"Terpaksa aku akan menggunakan kekerasan untuk merampasnya kembali dari tangan kalian." kata Bun Houw tenang.

Dan kembali meledak utara tawa dua puluh orang itu. Memang lucu dan seperti ocehan orang yang tidak waras mendengar pemuda itu bicara seperti itu. Akan tetapi, biarpun mereka menertawakannya dan pandang mata mereka mulai marah, tak seorangpun bergerak untuk menyertainya. Agaknya orang-orang ini taat kepada komando pimpinan dan hanya menanti perintah. Dia ingin tahu siapa pemimpin mereka semua, karena jelas bahwa si muka hitam itu pun hanya memimpin regu kecil perampok tadi.

Seorang diantara para perampok tadi yang juga tinggi besar akan tetapi perutnya gendut seperti gentong. memandang kepada si muka hitam dan berkata, "Hek-bin twako (kakak muka hitam), biar kubereskan pemuda nekat ini!"

Sebelum si muka hitam menjawab, terdengar suara yang kecil meninggi seperti suara perempuan, akan tetapi suara itu keluar dari mulut seorang, yang tinggi kurus dan berkepala botak. "Tunggu! Pemuda ini sudah berani bersikap seperti itu, berarti bahwa dia mempunyai andalan. Kalian berlima majulah bersama menghadapinya!"

Si muka hitam dan empat orang anak buahnya, yang tadi melakukan perampokan, tersenyum masam. Bagaimanapun juga, mereka merasa agak malu untuk mengeroyok seorang pemuda biasa reperti itu, apalagi pemuda itu tidak memegang senjata, kalau saja tongkat butut yang terselip di pinggangnya itu dapat dikatakan senjata! Mereka adalah orang-orang yang perkasa, bagaimana tidak akan malu dan merasa rendah mengeroyoknya? Akan tetapi agaknya mereka adalah orang-orang yang mentaati perintah si botak, maka mereka lalu melangkah maju dan menghadapi Bun Houw.

Cara mereka menghadapi Bun Houw. semua di depannya dan tidak mengepungnya, ini saja sudah membuktikan bahwa mereka memandang rendah pemuda itu dan merasa malu untuk mengepung dari belakang. Hal ini diketahui oleh Bun Houw, namun dia tidak perduli, kini dia tahu bahwa pemimpin gerombolan ini adalah si botak tinggi kurus itu. Dan agaknya kalau lima orang ini hanya mengandalkan kekerasan-kekerasan otot mereka, pemimpin mereka itu juga mengandalkan otak.

"Bocah gila, apakah engkau masih hendak meneruskan kehendakmu, merampas kembali uang itu?" tanya si muka hitam sambil menunjuk kantung uang yang kini dipegang oleh si botak.

"Tentu saja! Serahkan kembali uang itu dan aku tidak akan mengganggu kalian." kata Bun Houw dengan sikap tenang.

"Haiiiitt, mampuslah kau!” bentak seorang di antara lima perampok itu dan diapun sudah menyerang dengan tonjokan yang kuat ke arah muka Bun Houw. Dengan gaya petinju, agaknya dia ingin memukul roboh Bun Houw dengan sekali tonjok. Dan memang dia bertenaga kuat sehingga orang biasa sekali terkena tonjokan ini pada dagunya, pasti akan roboh dan pingsan atau setidaknya gegar otak!

Namun, pukulan itu mengenai angin kosong belaka dan sebelum dia sempat menarik kembali kepalannya, lengan kanan itu tiba-tiba lumpuh disentuh jari telunjuk kiri Bun Houw dan tahu-tahu tubuhnya terjengkang oleh sebuah tendangan kaki kanan pemuda perkasa itu.

Melihat betapa segebrakan saja penyerang itu terjengkang, barulah empat orang perampok lain terkejut dan marah. Mereka berempat segera menerjang maju, bahkan orang yang tadi terkena tendangan, untuk menebus malunya, melupakan perutnya yang mulas menendang, bangkit lagi dan ikut mengeroyok!

Akan tetapi, semua anggauta gerombolan itu tercengang-cengang ketika belum ada sepuluh jurus, biarpun nampaknya lima orang perampok itu menghujankan pukulan dan tendangan, akan tetapi buktinya, lima orang itulah yang terpelanting ke kanan kiri seorang demi seorang. Melihat ini, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dengan suara tinggi dan si botak tinggi kurus itu sudah menyerang Bun Houw dan memang dia memiliki ketangkasan yang lain dibandingkan anak buahnya. Dia memiliki tenaga sinkang sehingga ketika menerjang, selain gerakannya cepat bagaikan seekor burung menyambar. Juga pukulannya mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat.

Namun, bagi Bun Houw, si botak ini bukan apa-apa. Diapun menangkap tangan yang memukulnya dan sekali dorong, si botak itupun tak mampu menahan lagi dan terjengkang. Kasihan dia, karena kurus maka pinggulnya tidak berdaging sehingga ketika terbanting, pantat tanpa daging itu menghantam tanah dan rasanya seperti retak-retak tulang belakangnya. Dia meringis dan memberi aba-aba,

"Bunuh dia! Dia berbahaya bagi kita!”

Anak buahnya, termasuk lima orang perampok tadi, kini mengepung dan mengeroyok dengan senjata tajam di tangan! Melihat ini, Bun Houw memegang tongkat bututnya dan sekali tangan kanannya bergerak, nampak sinar berkilat. Pedang Lui-kong-kiam telah tercabut dari sarung yang berbentuk tongkat butut itu dan begitu pedang itu digerakkan, nampak gulungen sinar berkilauan yang membuat semua pengetoyok terkejut. Segera disusul suara berkerontangan di sana-sini.

Ke manapun sinar kilat itu menyambar, tentu terdengar suara berkerontangan dan dalam waktu beberapa menit saja, dua puluh orang itu, termasuk si botak yang tadi mencabut pedang, menjadi terlongong memandang tangan kanan mereka yang kini hanya tinggal memegang gagang senjata berikut sedikit sisa potongan senjaia mereka. Dua puluh batang senjata tajam telah terbabat buntung semua oleh Pedang Kilat!

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, “Kalian semua mundur !"

Dua puluh orang itu terkejut dan nampak gentar, lalu dengan sikap hormat mereka mundur. Bentakan itu amat berwibawa dan menggeledek, mengejutkan Bun Houw karena pemilik suara seperti itu tentulah seorang yang besar pengaruhnya dan sudah biasa ditaati. Dia cepat menoleh ke kiri dan sinar matanya mengandung keheranan ketika melihat munculnya dua orang. Seorang pria berusia lima puluh lima tahun, tinggi besar gagah sekali yang agaknya pemilik suara tadi, dan seorang membuat Bun Houw tercengang yaitu pemuda yang tadi ditemuinya di dalam rumah makan. Pemuda yang duduk semeja dengan dia!

Pemuda itu tersenyum kepadanya, senyum manis yang ramah dan pandang matanya kagum. "Aih sejak pertama kali sudah kuduga bahwa engkau bukan seorang pemuda biasa, sobat! Ternyata engkau hebat, pedangmu bergerak seperti kilat saja! Engkau patut kalau kunamakan Si Pedang Kilat!”

Bun Houw diam-diam kagum dan terkejut. Ini tentu bukan pemuda sembarangan pula. Dia sudah menyimpan kembali pedangnya, dan dari sinarnya saja pemuda itu sudah dapat memberi nama yang amat tepat. Memang pedangnya adalah Lui-kong-kiam (Pedang Kilat)! Akan tetapi Bun Houw mengerutkan alisnya. Pemuda yang ramah dan tampan ini tentu ada hubungan dengan gerombolan perampok ini! Tentu tadi hanya berpura-pura saja menyerahkan uangnya di rumah makan.

"Akan tetapi aku merasa heran melihatmu, sobat," kata Bun Houw dengan sinar mata penuh selidik. "Engkau sendiri apa hubunganmu dengan gerombolan perampok ini? Engkau tadi hanya berpura pura?”

Pemuda itu tersenyum, "Ha, apa bedanya denganmu, sobat? Engkau tadipun berpura-pura, menyerahkan uangmu kepada mereka. Kiranya engkau membayangi mereka dan menghajar mereka di sini. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin melihat kemampuanmu lebih jauh. Paman Pouw, coba kau tandingi Si Pedang Kilat ini!”

"Baik, kongcu (tuan muda)," kata pria tua gagah perkasa itu dengan sikap yang menghormat sekali. Kemudian, dia melangkah maju berhadapan dengan Bun Houw.

"Orang muda, kita bukan musuh. Kami menghargai orang-orang gagah, dan mentaati perintah kongcu, aku ingin mengenal ilmu silatmu. Nah, bersiaplah!"

Bun Houw senang dengan sikap yang tegas dan jujur dari orang gagah ini. Diapun ingin tahu sampai di mana kepandaiannya, dan pemuda aneh yang begitu ditaati dan disebut tuan muda itu telah mengatakan bahwa nanti saja mereka bicara setelah mengenal kepandandaiannya. Baik, dia akan memperlihatkan kepandaiannya.

"Silakan, aku sudah siap," katanya. Ketika dia melihat betapa orang gagah itu memasang kuda-kuda dengan gaya aliran Siauw-lim-pai, Bun Houw semakin penasaran. Bilamana ada murid siauw-lim-pai yang menjadi pimpinan perampok? Ayah kandungnya sendiri, mendiang Kwa Tin, dikenal sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai dan dia sendiripun sejak kecil dilatih ayahnya dengan ilmu silat aliran Siauw-lim-pai. Karena penasaran, maka diapun sengaja memasang kuda-kuda Siauw-lim-pai untuk mengimbangi lawan.

Melihat pemuda itu memasang kuda-kuda Siauw-lim-pai, orang gagah itu mengeluarkan suara tertahan dan pandang matanya terbelalak, "Murid Siauw lim pai?" tanyanya heran.

"Murid Siauw-lim-pai aseli karena selalu menentang kejahatan!” kata Bun Houw menyindir.

"Ah, engkau belum mengerti. Mari kita mengadu kepandaian dulu baru nanti engkau bicara dengan Kongcu." kata orang itu. "Lihat serangan!” dan diapun mulai menyerap dengan ilmu silat Siauw-lim-pai yang amat kuat.

Melihat gerakannya, tahulah Bun Houw bahwa lawannya menggunakan ilmu Lo-han kun (Silat Kakek Gagah), satu di antara llmu-ilmu Siauw-lim-pai. Diapun pernah mempelajari ilmu ini, maka diapun mempergunakannya untuk melawan. Karena keduanya menggunakan ilmu yang sama, maka mereka kelihatan seperti dua orang murid Siauw-lim-pai yang sedang melatih Lo-han-kun!

Akan tetapi, Bun Houw segera menyadari bahwa dalam hal ilmu silat Siauw-lim-pai, dia masih kalah jauh dibandingkan lawan. Bahkan mungkin ayahnya sendiri tidak akan mampu menandingi tingkat lawan ini! Kalau dia bertahan dengan jurus-jurus Lo-han-kun, dia tentu akan kalah, maka diapun mengubah gerakannya dan kini dia memainkan ilmu it-sin-ci (Satu Jari Sakti), ilmu yaitu ilmu silat yang menggunakan totokan satu jari untuk menyerang, ilmu yang dipelajarinya dari Tiauw Sun Ong!

"Plak-plakkk" Dua kali totokannya ditangkis lawan, akan tetapi karena Bun Houw menggunakan tenaga Im-yang Bu-tek Cin-keng, orang gagah itu tak dapat menahan dirinya dan terhuyung ke belakang.

"Ahhh, bukankah itu it-sin-ci...?” Orang itu berseru kaget.

Dan Bun Houw semakin kagum. Lawannya ini benar-benar bermata tajam, dapat mengenal ilmu yang dipelajarinya dari gurunya. Diapun ingin memperlihatkan kepandaiannya, maklum bahwa lawan memang lihai sekali sehingga tadi mampu mengimbangi it-sin-ci, walaupun agak terhuyung.

"Coba lihat yang ini, apakah engkau juga mengenalnya?” Dan kini Bun Houw memainkan jurus-jurus rahasia dan aneh dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Lawannya mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melawan ilmu aneh itu. Mereka nampak saling pukul, saling elak dan tangkis, akan tetapi belum sampai sepuluh jurus, orang tua yang gagah perkasa itu terdorong ke belakang, mencoba untuk menahan diri, akan tetapi tetap saja dia terpelanting roboh! Dia cepat meloncat bangun dengan muka merah dan mata terbelalak.

"Bukan main! Ilmu apakah itu tadi? Tenagamu amat dahsyat! Belum pernah selama hidupku melihat tenaga yang sedemikian dahsyatnya! Engkau hebat, orang muda, aku mengaku kalah."

Terdengar tepuk tangan. Pemuda itu yang bertepuk tangan, wajahnya berseri dan senyumnya cerah, dia nampak girang sekali. "Sobat, engkau memang hebat, jauh di luar persangkaanku semula. Engkau dapat mengalahkan Paman Pouw. Bukan main! Mari, sobat, mari kita bicara, jangan di sini, tidak leluasa. Mari ikut ke tempat kami."

Bun Houw memang ingin sekali mengetahui siapa pemuda itu dan mengapa mempunyai anak buah yang melakukan perampokan di rumah makan itu, dan siapa pula ahli silat Siauw-lim-pai yang tangguh itu. Maka, diapun mengangguk dan tidak menolak ketika seorang anak buah, atas isarat pemuda itu, menuntun tiga ekor kuda untuk mereka bertiga. Bun Houw segera meloncat ke punggung kuda dan mengikuti pemuda itu dan orang she Pouw yang baru saja mengadu kepandaian dengannya. Dua puluh orang anak buah itu ternyata mengikuti mereka.

Setelah memasuki hutan dan mendaki sebuah bukit kecil, akhirnya mereka bertiga tiba di pekarangan sebuah rumah terpencil. Rumah itu sederhana saja bentuknya, akan tetapi cukup besar dan pekarangannya juga luas. Nampak beberapa orang laki-laki berpakaian pelayan menyambut tiga orang itu. Mereka memberi hormat kepada pemuda itu dan menuntun tiga ekor kuda.

"Ini rumah kami. mari silakan masuk, sobat dan kita bicara."

Bun Houw mengikuti pemuda itu dan si tinggi besar she Pouw itu mengikuti di belakangnya. Mereka memasuki rumah dan setelah masuk, baru Bun Houw mendapat kenyataan bahwa rumah yang dari luar nampak bercahaya itu, di sebelah dalamnya penuh dengan perabot yang mewah sekali! Dan begitu memasuki ruangan depan, nampak lima orang wanita muda yang usianya antara delapan belas sampai dua puluh tahun, kelimanya cantik jelita dan manis, keluar menyongsong pemuda itu dengan sikap mereka yang manja namun penuh hormat. Akan tetapi, kegembiraan mereka itu berubah menjadi sikap yang alim dan pendiam ketika mereka melihat bahwa pemuda itu datang bersama seorang pemuda lain yang asing bagi mereka.

Pemuda itu tersenyum dan memberi isarat-kepada mereka berlima untuk masuk ke dalam dan memesan agar dipersiapkan hidangan makan siang untuk dia dan tamunya. Sambil tersenyum dan memberi hormat ke arah Bun Houw dengan malu-malu, lima orang itu berlari memasuki rumah bagian dalam, dan pemuda itu mempersilakan Bun Houw untuk masuk ke dalam ruangan tamu yang berada di bagian kiri.

Mereka bertiga duduk di ruangan tamu yang luas dan selain kursi-kursinya indah dan enak diduduki, juga ruangan itu bersih dan dindingnya digantungi tulisan-tulisan dengan huruf indah dan beberapa buah lukisan alam. Jendela-jendelanya terbuka ke taman sehingga hawa di dalam ruangan itu sejuk dan nyaman sekali.

"Nah, sekarang kita berkenalan, sobat. Namaku Siauw Tek, dan ini adalah Paman Pouw, pembantuku yang setia, juga pelindungku yang gagah perkasa. Seperti yang telah dikatakannya tadi, kami suka sekali berkenalan dan bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia, maka pertemuan kami denganmu merupakan kebahagiaan besar bagi kami. Siapakah namamu dari mana dan dari aliran mana, juga apa kedudukanmu?"

"Namaku Kwa Bun Houw, berasal dari Nan-ping. Aku hidup sebatang kara. yatim piatu, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, juga bukan dari aliran manapun dan tidak mempunyai kedudukan apapun..."

Pemuda yang bernama Siauw Tek itu kelihatan semakin gembira mendengar keterangan singkat Bun Houw, terutama sekali karena Bun Houw tidak mempunyai kedudukan dan tidak terikat aliran apapun. Akan tetapi orang yang nama lengkapnya Pouw Cin itu, memandang penuh selidik dan bertanya, "Maaf, Kwa-enghiong (orang gagah Kwa). melihat dasar gerakan silatmu, tidak salah tapi bahwa engkau setidaknya pernah mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai. Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai?"

Bun Houw menggelengkan kepalanya, "Mendiang ayahku adalah murid Siauw-lim-pai, dan ketika masih kecil aku pernah mempelajari ilmu silat aliran itu dari mendiang ayahku. Akan tetapi aku bukan murid langsung dari Siauw-li m-pai."

"Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama mendiang ayahmu, murid Siauw-lim-pai yang tinggal di Nan-ping itu?" Pouw Cin mendesak.

"Mendiang ayahku bernama Kwa Tin."

Pouw Cin terbelalak girang. "Ah, kiranya dia! Aku mengenalnya dengan baik, bahkan kami masih terhitung saudara sekeluarga, sealiran. Dia seorang pedagang kita yang berhasil dan gagah perkasa, seorang pendekar sejati. Akan tetapi ... aku tidak tahu bahwa dia sudah meninggal. Kalau tak salah... usianya sebaya denganku, belum tua benar."

"Ayah dan ibu tewas oleh gerombolan penjahat yang membalas dendam kepada ayah." kata Bun Houw singkat. "Karena itu. aku selalu menentang para penjahat dan perampok." Setelah berkata demikian, dia menatap wajah Siauw Tek dengan pandang mata tajam.

"Ha ha, sekali lagi kuyakinkan padamu bahwa kami bukanlah penjahat dan perampok. Engkau tadi sudah mendengar bahwa Paman Pouw adalah murid Siauw-lim-pai. saudara seperguruan mendiang ayahmu. Apakah orang seperti dia ini pantas menjadi perampok, dan apakah aku pantas pula menjadi kepala perampok?"

"Akan tetapi di rumah makan tadi..."

"Memang kami sengaja. Kwa-toako (kakak Kwa)!" kata Siauw Tek. "Sebaiknya aku menyebutmu toako saja, lebih akrab. Kuulangi, kami memang sengaja membiarkan anak buah kami melakukan perampokan secara menyolok.”

“Aneh sekali! Bukan perampok akan tetapi membiarkan anak buah perampok, Hemm... Kongcu, harap jangan mempermainkan aku!" kata Bun Houw tak senang, dan mengingat betapa semua orang menyebut pemuda itu kong-cu, diapun ikut-ikutan. Dia masih merasa yakin bahwa pemuda ini bukan orang biasa. "Melakukan perampokan akan tetapi bukan perampok, lalu apa?”

“Kami adalah pejuang!”

“Ehh? Pejuang? Berjuang untuk apa?”

“Untuk mengusir pemberontak dan pengkhianat!" kata pula Siauw Tek sambil mengepal tinju dan tiba-tiba saja sikapnya penuh semangat, pandang matanya berapi-api dan mukanya kemerahan.

"Ehh? Aku... aku sungguh tidak mengerti apa maksudnya semua ini, Kongcu. Lalu apa hubungannya perjuangan dengan perampokan? Siapa pula pemberontak dan pengkhianat itu?"

Siauw Tek menghela napas panjang. "Sungguh sayang, betapa sedikit para pendekar yang gagah memperdulikan urusan negara! Kwa-toako, kami sengaja menyuruh anak buah kami melakukan perampokan di kota-kota, di tempat umum, pertama untuk menarik perhatian para pendekar dan orang gagah agar dapat berhadapan dengan kami seperti halnya engkau sekarang ini. Dan ke dua perampokan-perampokan itu setidaknya akan menimbulkan kekacauan dan kesan buruk mengenai keamanan terhadap pemerintah pemberontak."

"Pemerintah pemberontak?"

"Ya, bukankah kerajaan Chi sekarang ini merupakan pemberontak yang telah mengkhianati dan menggulingkan kerajaan yang sah? Pemerintah yang sah adalah kerajaan Liu-sung!"

Bun Houw yang tidak pernah memperhatikan urusan kenegaraan, semakin bingung. "Akan tetapi... yang pernah kudengar, kerajaan Liu-sung telah jatuh dan sekarang yang menjadi penguasa adalah kerajaan Chi, kalau tidak salah, hal ini telah terjadi beberapa tahun yang lalu... eh, aku sendiri tidak tahu benar, hanya mendengar-dengar saja karena bertahun-tahun aku sibuk belajar ilmu. Kalau begitu, kalian ini adalah orang-orang yang anti kerajaan Chi yang baru dan menentang pemerintah, sengaja menimbulkan kekacauan?"

"Tentu saja! Kami..."

Akan tetapi tiba-tiba Pouw Cin memotong kata-kata pemuda itu. “Kwa-enghiong, harap jangan salah paham. Yang jelas, kami bukanlah penjahat, dan untuk memberi penjelasan, nanti setelah makan, aku akan. mengajakmu untuk melihat-lihat keadaan kami. Kami sedang menyusun pasukan dan mengumpulkan orang-orang gagah pembela kebenaran dan keadilan. Kalau sudah melihat keadaan kami, nanti engkau tentu akan mengerti."

"Ha-ha, benar sekali ucapan Paman Pouw! Kalau dijelaskan perlahan-lahan dan mengenal keadaan kami, dapat saja engkau menjadi salah paham dan mengira kami gerombolan penjahat. Nah, sekarang kupersilakan engkau untuk makan siang bersama kami, toako. Kita sudah saling berkenalan dan bersahabat, harap engkau tidak merasa sungkan lagi. Paman Pouw, coba kau lihat apakah sudah siap makan siang di dalam."

Pouw Cin keluar dan dua orang gadis pelayan cantik memasuki ruangan tamu itu, membawa suguhan anggur dan teh. Dengan sikap gembira Siauw Tek lalu menyuguhkan anggur kepada Bun Houw dan ketika meminum anggur itu, diam-diam Bun Houw kagum. Anggur yang lezat bukan main, manis, sedap dan halus sekali. Tak lama kemudian Pouw Cin masuk dan memberi tahu bahwa makan siang telah siap...

Pedang Kilat Membasmi Iblis Jilid 04

Kwan Hwe Li menghela napas panjang. "Engkau benar, Ling Ay. Keadaan kita memang tidak jauh berbeda. Akupun hanya mencinta seorang pria saja, yaitu Pangeran Tiauw Sun Ong. Sampai sekarang aku masih mencintanya dan satu-satunya keinginanku adalah sama dengan yang diinginkan Kwan-im sian-li, yaitu ingin menghabiskan sisa hidupku di sampingnya. Akan terapi, kita mendengar sendiri penolakannya terhadap Kwan-im Sian-li. Aku tidak ingin mendengar dia manolak ajakanku, maka akupun tidak menyampaikan maksud hatiku. Andaikata dia menolak, mungkin akupun seperti Kwan-im Sianli akan mengajaknya mati bersama!"

Ling Ay menggeleng-geleng kepala. "Teecu tidak dapat menyelami perasaan subo dan Kwan Im Sianli. Kenapa harus memaksa seseorang untuk hidup bersama, dan kalau dia menolak akan diajak mati bersama? Apakah dua orang tidk bisa hidup dalam keadaan saling terpisah walaupun hati saling mencinta? Teecu bahkan tidak berani mengharapkan orang yang teecu cinta untuk menjadi teman hidup, dan teecu hanya mendoakan semoga dia mendapatkan seorang jodoh yang baik dan dapat hidup berbahagia selamanya.”

Bi Moli Kwan Hwe Li tertawa geli. "Heh-heh, kalau begitu engkau seorang munafik, Ling Ay!”

"Ehhh? Maaf, subo. Mengapa subo mengatakan teecu munafik?”

"Tentu saja engkau munafik. Dalam hatimu, tadi engkau mengatakan bahwa tidak ada keinginan yang lebih besar dalam hatimu kecuali hidup bersama pria yang kau cinta. Akan tetapi di luarnya engkau mendoakan dia hidup berbahagia dengan wanita lain. Bukankah itu munafik?”

"Tidak sama sekali, subo. Memang teecu mencintanya dan ingin hidup bersama dengan dia. Akan tetapi, kalau dia tidak menghendaki hal itu, teecu tidak akan memaksanya atau menyalahkannya, apalagi membencinya. Dia berada di samping teecu ataukah tidak, teecu tetap mencintanya dan ingin melihat dia hidup berbahagia."

"Hi-hi-hik, aku dapat membayangkan. Engkau ingin melihat dia hidup berbahagia, akan tetapi kalau benar-benar engkau melihat dia hidup berbahagia di samping wanita lain, engkau akan merasa betapa hatimu perih seperti ditusuk-tusuk, engkau akan menangis sendiri dalam kamarmu menyesali nasib dan penuh iba diri. Tidakkah begitu? Nah, itu yang kumaksudkan dengan munafik, tidak samanya perasaan hati dengan perbuatan,"

"Maaf, subo. Teecu rasa tidaklah demikian. Teecu hanyalah seorang manusia biasa yang serba lemah dan tidak teecu sangkal, mungkin kalau teecu melihat doa teecu terkabul dan Bun Houw hidup berbabagia dengan wanita lain. melihat dia bersanding dengan wanita lain, teecu akan teisiksa dalam hati, akan menangis penuh iba diri. Akan tetapi hal itu wajar saja. bukan? Di samping itu. teecu akan selalu sadar bahwa tidak selamanya orang harus menurutkan kata hati, tidak memenuhi keinginan hati. Teecu mempunyai pertimbangan untuk menimbang, keinginan bagaimana yang boleh dilaksanakan dan keinginan yang bagaimana yang harus dikekang. Dan keinginan memaksa Bun Houw hidup berdua dengan teecu, keinginan untuk senang sendiri seperti itu, adalah satu di antara keinginan-keinginan yang harus teecu kekang."

"Huh, itulah mengapa engkau selalu tertimpa kemalangan dalam hidupmu. Engkau terlalu lemah! Engkau terlalu memikirkan orang lain dan lihatlah apa yang selama ini kau alami. Engkau menurut saja dinikahkan dengan pria yang tidak kausukai, engkau terlalu lemah sehingga tidak berani menentang orang tuamu. Kemudian, engkau rela saja dipermainkan laki-laki yang tidak kau cinta. Kalau yang pertama kali engkau lebih mementingkan orang tuamu dari pada dirimu sendiri, kemudian engkau mementingkan pria yang dipaksa menjadi suamimu. Kemudian engkau bertemu dengan bekas tunanganmu itu, dan engkau tidak meraihnya sehingga dia lepas lagi. Huh, aku muak mempunyai murid yang begini lemah!”

Melihat gurunya marah, Ling Ay terkejut. Selama ini, belum pernah gurunya marah kepadanya! Dan ia merasa menyesal sekali. Ia belum dapat membalas semua budi yang dilimpahkan gurunya itu kepadanya, dan sekarang ia malah membuat gurunya kecewa dan marah. Ia segera berlutut di depan gurunya yang duduk bersila di dalam guha itu.

"Maafkan teecu, subo. Akan tetapi, apa yang harus teecu lakukan? Teecu tetap mentaati semua perintah subo."

Bi Moli mengangkat mukanya dan meletakkan tangan kirinya ke atas pundak, muridnya. Ia menyayang Ling Ay. Selama beberapa tahun ini, Ling Ay bukan saja menjadi muridnya, akan tetapi juga menjadi sahabat baiknya, menjadi pelayannya dan bersikap amat baik kepadanya sehingga ia merasa sayang sekali kepada murid yang juga amat berbakat ini.

"Yang harus kaulakukan, muridku yang baik, adalah seperti aku. Aku gurumu yang harus kautaati, bukan? Nih, kita harus dapat menikmati hidup ini, kita harus bertindak sesuai dengan perasaan kita. Seperti juga aku yang selalu mengharapkan dapat hidup berdampingan dengan pria yang kucinta, dan menghancurkannya kalau dia menolak dan menyakiti hatiku, engkaupun harus mencari Bun Houw. Engkau dahulu pernah menjadi tunangannya, saling mencinta, maka sudah sewajarnya kalau sekarang engkau menuntut disambungnya kembali ikatan itu dan menjadi isterinya. Bukankah itu harapan dan idaman hatimu?"

"Akan tetapi, subo. Teecu adalah seorang yang tadinya memutuskan hubungan itu, teecu yang meninggalkannya dan menikah dengan pria lain."

"Itu adalah kehendak orang tuamu, bukan kehendakmu. Dan ketika itu engkau belum menjadi muridku. Kalau engkau bertemu lagi dengan dia, dia harus menerimamu kembali dan engkau akan menjadi isterinya, hidup berbahagia, dan akupun akan ikut gembira melihat engkau bahagia. Kalau dia menolak dan memilih wanita lain, aku akan membantumu menghancurkannya. Daripada orang yang kita cinta terjatuh ke tangan wanita lain lebih baik kita binasakan saja!”

"Tapi, subo..." Ling Ay yang bergidik mendengar bahwa ia harus membunuh Bun Houw, mencari akal dan tidak berani membantah lagi atau menolak, "bagaimana teecu akan dapat mencari dan menemukannya. Teecu tidak tahu di mana dia berada. Dia sebatangkara dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap."

"Biar kita cari perlahan-lahan. Sekarang, kita lebih dulu pergi ke kota raja Nan-king. Sejak terjadinya keributan dan perang saudara yang menjatuhkan kerajaan Liu Sung tiga tahun yang lalu. aku tidak pernah melihat Nan-king. Sekarang, di sana yang berkuasa adalah Kerajaan Chi dan kaisarnya adalah Siauw Bian Ong yang dahulunya adalah Pangeran Siauw Hui Kong. Tiga tahun telah lewat sejak kerajaan baru itu menguasai daerah selatan Sungai Yang-ce. dan kabarnya sekarang keamanan telah pulih kembali, tidak ada lagi terjadi pertempuran. Aku ingin berkunjung ke sana, menjenguk kota kelahiranku dan kautahu, muridku, masih banyak keluarga bangsawan yang menjadi kerabatku."

Ling Ay menurut saja, di dalam hati ia masih bingung oleh perintah gurunya mengenai sikapnya terhadap Bun Houw tadi. Ia memang mencinta Bun Houw, hal ini tidak disangkalnya. Ia memang mengharapkan agar dapat hidup menjadi isteri Bun Houw, hal ini pun harus diakuinya. Akan tetapi andaikata Bun Houw menolak, bagaimana mungkin ia akan tega untuk membunuhnya? Bun Houw telah berbuat banyak untuknya. Rasanya ia akan rela mati untuk membela pria yang dikasihinya itu. Bagaimana mungkin ia akan dapat membunuhnya, walaupun dia akan menolaknya sekalipun?

Akan tetapi ia tidak berani membantah, dan girang mendengar subonya mengajaknya pergi ke Nan-king. Setidaknya, urusan baru di Nan-king akan membuat gurunya lupa akan Bun Houw dan diapun akan diam saja. tidak akan membicarakan lagi tentang bekas kekasih dan tunangannya itu.

********************

Serial Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo

Guru dan murid itu berhenti di persimpangan jalan. "Suhu," kata Bun Houw, "biarlah teecu mengantar suhu kembali dulu ke Hwa-san, sebelum teecu mulai mencari adik Tiauw Hui Hong sampai dapat. Teecu berjanji akan mengajak puteri suhu itu menghadap suhu."

Tiauw Sun Ong tersenyum. Bekas pangeran yang usianya sudah lima puluh sembilan tahun itu masih nampak tegap dan memang wajahnya tampan dan gagah, walaupun dia nampak lemah dengan kebutaannya, "Bun Houw, tidak perlu engkau mengantarku. Aku masih kuat untuk mendaki Hwa-san dan sebaiknya kalau engkau sekarang juga mulai pergi mencari Hui Hong dan kau ceritakan semuanya tentang dirinya, tentang hubungannya dengan aku sebagai ayah kandungnya. Kasihan sekali Hui Hong, ia tidak tahu akan kematian ibu kandungnya yang amat menyedihkan. Aih, ulah nafsu selalu mendatangkan akibat yang menyedihkan."

Bun Houw yang sudah mengenal baik watak suhunya yang sekali mengambil keputusan tidak akan mengingkari lagi, tidak membantah dan diapun menghela napas panjang. Dia merasa iba kepada suhunya. Biarpun suhunya tidak mengeluarkan ucapan yang menunjukkan kesedihannya, namun dia tahu benar betapa hancur hati gurunya ketika pertemuannya dengan satu-satunya wanita yang pernah dicintanya, yaitu Pouw Cu Lan, berakibat matinya wanita itu membunuh diri. Akan tetapi suhunya tidak pernah melihatkan kesedihannya dan diapun kagum bukan main. Gurunya adalah seorang laki-laki sejati!

"Baiklah, suhu. Kalau suhu menghendaki demikian, teecu akan mentaati keinginan suhu."

"Selain mencari Hui Hong. Juga ada sebuah tugas untukmu. Ketahuilah bahwa kini kerajaan Sung atau Liu Sung telah jatuh dan yang berkuasa adalah kerajaan Chi yang dipimpin oleh Kaisar Siauw Bian Ong. Perubahan ini hanya merupakan perebutan kekuasaan saja, karena yang memegang pimpinan tetap masih keluarga sendiri. Bahkan ada baiknya, karena Kaisar Cang Bu yang masih remaja itu tidak pantas untuk menjadi kaisar dan dia tentu mudah dikuasai para pejabat yang menjilat dan menyelewengkannya. Bagaimanapun juga, kita harus mendukung kerajaan Chi di Nan-king karena kita di selatan selalu diancam oleh kekuasaan dari utara, yaitu kerajaan Wei yang dipimpin oleh bangsa Toba Tartar. Memang tidak perlu engkau memegang jabatan, akan tetapi kalau melihat negara diancam bangsat Tartar, sudah menjadi kewajiban setiap orang warga negara untuk membelanya. Nah, tugas yang kuberikan padamu adalah pergi ke Nan-king dan melihat suasana di sana. Kuberi waktu dua tahun kepadamu untuk mencari Hui Hong dan melihat keadaan pemerintah kerajaan Chi yang baru. Satelah dua tahun, bertemu Hui Hong atau tidak, engkau harus mencariku di Hwa-san dan memberi laporan tentang semua hasil usahamu.”

“Baik, suhu."

Guru dan murid itu berpisah di persimpangan jalan. Tiauw Sun Ong melanjutkan perjalanan dengan langkah tegap menuju ke Hwa-san. Bagaimanapun juga, hatinya terasa ringan. "Pouw Cu Lan, yang dulunya sudah tidak dia pikirkan lagi, akan tetapi kemudian teringat kembali setelah dia mendengar bahwa wanita yang pernah menjadi kekasihnya itu telah melahirkan seorang puteri darinya, kini telah meninggal dunia. Hal itu berarti pula bahwa wanita itu telah terbebas dari penyiksaan diri berkorban demi puteri mereka.

Pouw Cu Lan telah mengambil jalan yang paling tepat. Adapun puterinya, Hui Hong, dalam keadaan selamat dan sehat. Puterinya! Akan tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya. Menurut keterangan mendiang Pouw Cu Lan sebelum membunuh diri. Hui Hong telah pergi untuk mencarinya bersama seorang wanita cantik yang mukanya putih halus dan nampak masih muda. Kwan Im sianli Bwe Si Ni!

Siapa lagi kalau bukan bekas dayang itu? Menurut keterangan Bi Moli Kwan Hwe Li. Kwan Im Sianli tentu bermaksud untuk membunuh Pouw Cu Lan dan puterinya, puteri mereka. Dan kini. Pouw Cu Lan telah membunuh diri, dan Hui Hong pergi bersama Kwan Im Sianli! Nyawa puterinya berada dalam bahaya!

Bagaimana mungkin dia dapat kembali ke Hwa-san dan dapat bertapa dengan hati tenang kalau Hui Hong belum ditemukan? Dan biarpun dia yakin akan kemampuan muridnya, akan tetapi Bun Houw tidak tahu ke mana harus mencari Hui Hong! Alangkah baiknya kalau dia sendiripun pergi mencari. Usaha dua orang lentu jauh lebih baik dan mendatangkan lebih banyak harapan dari pada usaha seorang saja. Maka, tanpa ragu lagi diapun mengubah arah perjalanannya, berlawanan dengan arah yang dituju Bun Houw. Bun Houw menuju ke timur, ke Nan-king. dan dia sendiri akan pergi ke utara, ke Lok-yang.

Sementara itu, tanpa mengetahui perubahan arah perjalanan gurunya, Bun Houw melanjutkan perjalanan dengan cepat. Nan-king masih jauh di timur dan perjalanan melalui daratan amatlah sukarnya, juga amat melelahkan. Oleh karena itu. Bun Houw menyusuri tepi Sungai Yang-ce untuk menyewa perahu. Dengan perahu melakukan perjalanan dapat lebih cepat dan tidak begitu meletihkan, karena perahu akan terbawa arus sehingga tidak banyak membutuhkan tenaga untuk mendayung, hanya mengemudikannya saja.

Banyak memang dia bertemu pemilik perahu, akan tetapi belum ada yang dapat menyewakan perahu kepadanya. Tukang perahu tidak mau menyewakan perahu untuk perjalanan sejauh itu, ke Nan-king yang akan makan waktu berhari-hari. Untuk membeli sebuah perahu, tentu saja Bun Houw tidak mampu. Emas permata yang dimilikinya, yang dahulu diterimanya dari gurunya, telah dirampas oleh Suma Koan dan puteranya. Suma Hok. Dan kini dia hanya mempunyai sedikit perak untuk bekal dalam perjalanan. Juga pemberian gurunya.

Terpaksa Bun Houw membonceng perahu yang kebetulan ke hilir, sampai ke mana tujuan perahu itu berhenti, lalu disambung lagi dengan perahu lain. Akan tetapi tentu saja perjalanan ini makan waktu lebih lama karena dia harus menunggu setiap kali di suatu tempat pemberhentian untuk mencari perahu yang melakukan pelayaran ke timur.

Pada suatu pagi, setelah melakukan perjalanan selama belasan hari, perahu yang ditumpangi Bun Houw berhenti di sebuah kota di tepi sungai yang bernama Kui-cu, sebuah kota yang cukup ramai karena di situ merupakan pusat perdagangan yang menjadi semacam bandar sungai pula. Banyak pedagang mendirikan toko, rumah makan dan rumah-rumah penginapan karena banyaknya saudagar dari daerah dan kota lain yang datang dan bermalam di Kui-cu, untuk memperjualbelikan barang dagangan mereka.

Ada sebuah perahu besar yang akau melakukan perjalanan ke timur, akan tetapi pemilik perahu mengatakan bahwa dia harus menunggu muatan selama dua hari baru dapat berangkat. Karena perahu itu merupakau perahu pertama yang akan berlayar ke timur, terpaksa Bun Houw menunggu dan diapun mencari kamar di rumah penginapan yang kecil untuk menghemat biaya.

Setelah memperoleh sebuah kamar di rumah penginapan yang berada di ujung kota Kui-cu karena penginapan lain yang berada di tengah kota sudah penuh dengan tamu, Bun Houw keluar berjalan-jalan dan melihat-lihat kota Kui-cu. Kota yang sibuk sekali. Datang banyak banyak tamu pedagang yang berjual-beli di kota itu, membuat kota itu menjadi pusat pasar, dan banyak orang memanfaatkan keramaian itu dengan membuka bermacam tempat hiburan.

Para pedagang itu mempunyai banyak uang, apalagi di tempat itu seringkali para saudagar mendapatkan keuntungan yang banyak, maka uang berlimpahan dan mereka itu. segera nencari hiburan untuk merayakan keuntungan yang mereka peroleh. Tempat-tempat pelesir, rumah-rumah judi dan sebagainya dibuka orang.

Matahari telah naik tinggi dan Bun Houw memasuki sebuah rumah makan, tertarik oleh bau sedap masakan yang keluar dari dalam rumah makan itu. Belasan orang sudah berada di situ dan Bun Houw bingung juga memasuki rumah makan yang tidak terlalu besar itu. Tidak ada meja kosong, akan tetapi di sudut sebelah dalam terdapat sebuah meja di mana hanya duduk seorang laki-laki muda saja yang menghadapi meja itu. Seorang pelayan menyambut dan menggelengkan kepala.

"Maaf, tidak ada meja kosong, harap sebentar lagi saja kembali kalau sudah ada tamu yang keluar," katanya.

Bun Houw memandang kepada pria yang duduk seorang diri itu, dan pria inipun memandangnya, lalu pria itu bangkit berdiri dan. berteriak kepada pelayan itu. "Disini aku hanya duduk sendiri, kalau sobat itu mau, dia boleh, saja duduk makan di sini."

Tentu saja pelayan itu menjadi girang. Jarang ada tamu yang mau membagi mejanya dengan tamu lain yang tidak dikenalnya. Bun Houw juga girang dan segera memberi hormat-ambil menghampiri meja itu. "Terima kasih atas kebaikanmu, sobat." katanya.

"Ah, tidak mengapa. Meja inipun terlalu besar untukku sendiri. Silakan!” kata orang itu dengan ramah.

Bun Houw lalu duduk di seberang orang itu, terhalang meja sehingga mau tidak mau mereka saling pandang. Pria itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Tubuhnya sedang saja, bahkan agak kewanitaan karena tidak nampak otot-otot kekar di tangannya. Tubuhnya itu lebih condong tubuh wanita yang termasuk besar. Wajahnya tampan dan matanya cerdik, senyumnya manis. Akan tetapi wajah itu adalah wajah pria, dengan alis yang tebal dan hidung besar. Ada sesuatu dalam sikapnya yang agung dan anggun.

Tentu saja Bun Houw hanya memandang sekalian dan dia menduga bahwa pemuda ini agaknya seorang pemuda terpelajar, tidak miskin, akan tetapi juga bukan kaya-raya. Walaupun pakaiannya cukup baik, akan tetapi dia bukan seorang pesolek dan pakaian itu tidak menyolok. Bahkan pemuda itu duduk dalam rumah makan dengan menghadap ke sebelah dalam sehingga tidak dilihat wajahnya dari luar, seolah dia hendak menyembunyikan wajahnya agar tidak terlihat banyak orang. Pada hal, dia tidak melihat sesuatu yeng mencurigakan pada pemuda ini,

"Kulihat engkau seperti bukan orang sini, sobat. Benarkah!" pria itu agaknya merasa tidak enak kalau berdiam diri ia saja, maka dia bertanya, suaranya terdengar sambil lalu saja.

"Benar, aku memang baru dalang hari ini, pagi tadi." jawab Bun Houw singkat. Dia tidak ingin berkenalan dengan pemuda itu, dan tidak ingin menceritakan keadaan dirinya.

Hening sejenak dan pesanan makanan pemuda itu datang lebih dahulu karera memang dia telah memesan sebelum Bun Houw masuk. Dia memesan nasi dengan dua macam sayur dan daging, juga air teh. Tidak memesan arak. hal ini mengherankan Bun Houw. Hari itu hawanya cukup dingin sehingga biasanya orang akan minum arak, walaupun sedikit. Dia sendiri memesan nasi dan semacam sayur yang di sukainya.

"Silakan engkau makan lebih dulu, sobat," kata Bun Houw melihat betapa pemuda itu. memandangnya tanpa menyentuh masakan di depannya.

Pemuda itu mengangguk, kemudian makan, cara dia makanpun sopan dan dengan hati-hati menggerakkan sumpitnya, mengunyah makananpun tanpa mengeluarkan suara, bahkan jarang sampai membuka mulut, sungguh cara makan yang hati-hati dan perlahan-lahan, sopan sekali. Bun Houw semakin tertarik dan senang. Dia sendiri merasa terganggu kalau melihat orang makan dengan lahap seperti orang kelaparan, dengan mata melotot memandang ke arah makanannya, kemudian mengunyah cepat-cepat dengan mulut terbuka dan mengeluarkan bunyi berkecapan. Apalagi kalau menyeruput kuah dari mangkuk, mengeluarkan bunyi seperti seekor babi sedang makan.

Pesanan makanan baginya datang. Pemuda di depannya itu tersenyum dan mengangguk tanpa bersuara, seolah mempersilakan dia untuk makan. Bun Houw makan pula dan tentu saja dia makan lebih hati-hati dan lebih sopan dari pada biasanya!

Tiba-tiba masuk lima orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar. Mula-mula kedatangan mereka tidak menarik perhatian, akan tetapi dua orang di antara mereka berdiri di depan pintu rumah makan, menghadap ke luar dan seperti penguasa rumah makan, mereka berdua itu menolak masuknya tamu-tamu baru dengan mengatakan bahwa rumah makan sudah penuh! Adapun tiga orang lainnya, dengan sikap galak sudah menghampiri pemilik rumah makan dan memaksanya untuk menyerahkan semua uang hasil penjualannya sejak pagi tadi! Seorang memaksa pemilik rumah makan, dan dua orang lainnya mulai menggertak para tamu untuk menyerahkan uang mereka!

Melihat betapa di antara para tamu ada yang nampak penasaran dan marah, seorang diantara mereka yang mukanya hitam membentak. "Hayo serahkan uang kalian kepada kami. Kalau ada yang membantah, kepalanya akan kubikin seperti ini!" Tangan kanannya bergerak ke arah ujung sebuah meja.

"Krakkk!" Ujung meja terbuat dari papan tebal itu pecah berantakan. Tentu saja semua orang menjadi ketakutan. Apalagi ketika tiga orang yang beroperasi di dalam itu mencabut golok mereka dan mengamangkan golok, mereka menjadi semakin ketakutan. Si pemilik rumah makan terpaksa membiarkan semua uang pendapat di laci mejanya dikuras oleh seorang perampok, sedangkan dua orang lain mulai menguras isi saku para tamu. Hanya ada seorang tamu yang berusaha untuk menolak dan tidak mau memberikan semua uangnya. Si muka hitam menamparnya dan beberapa buah giginya rontok, mulutnya berdarah dan sejak itu, tidak ada lagi tamu yang berani membantah.

Ketika si muka hitam menghampiri meja di mana Bun Houw dan pemuda itu duduk, Bun Houw melihat betapa pemuda itu sedikitpun tidak nampak khawatir. Bahkan dengan suka rela pemuda itu mengeluarkan semua uangnya dari dalam saku, yang jumlahnya lima enam kali lebih banyak dari pada uang bekalnya sendiri. Tentu saja Bun Houw sudah merasa mendongkol sekali kepada lima orang yang berani melakukan perampokan di siang hari di tempat umum yang ramai itu. Akan tetapi, kalau dia menghajar mereka di rumah makan, tentu akan merusak perabot di rumah makan itu dan dia tidak akan mampu mengganti kerugian.

Pula, di situ terdapat banyak tamu. Kalau lima orang itu mengamuk, dia khawatir ada tamu yang akan terluka atau bahkan tewas. Maka, dengan tenang diapun mengeluarkan semua uang bekalnya dan meletakkannya di atas meja. Perampok muka hitam mengambil uangnya dan uang pemuda itu dari atas meja. memasukkannya ke dalam kantung hitam besar yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Perampokan itu berlangsung cepat sekali dan agaknya lima orang itu memang sudah ahli dalam pekerjaan ini. Setelah menguras semua uang terdapat di situ, mereka pergi dan si muka hitam yang menjadi pimpinan meninggalkan ancaman. "Kalau ada di antara kalian yang berani berteriak setelah kami berada di luar. kami akan masuk lagi dan memenggal lehernya di sini juga!”

Goloknya berkelebat dan sebuah bangku terbelah menjadi dua dengan mudahnya. Semua orang menjadi pucat dan mereka berlima meninggalkan rumah makan itu dengan cepat. Bun Houw cepat menghampiri pemilik rumah makan.

"Paman, aku akan mengejar mereka dan mencoba untuk mendapatkan kembali semua uang yang dirampok!” Diapun keluar dari rumah makan itu dan melakukan pengejaran.

Para perampok itu telah keluar dari pintu gerbang kota Kui-cu sebelah selatan. Dan di luar kota itu, di tempat yang sunyi, mereka bergabung dengan lima belas orang lain yang rata-rata bersikap kasar dan bertubuh kuat. Dan mereka itu menyediakan pula lima ekor kuda untuk lima orang perampok itu. Lima belas orang itu sedang duduk berkelompok di bawah pohon dan mereka bersorak ketika melihat lima orang perampok itu datang membawa kantung hitam yang sudah penuh uang!

"Ha-ha-ha. agaknya Hek-hin (Muka Hitam) berhasil baik!" kata beberapa orang dengan gembira.

Si muka hitam mengangkat kantong hitam itu tinggi-tinggi. "Penuh uang, cukup untuk kita pesta beberapa hari!" serunya dan kembali semua orang bersorak gembira.

Bun Houw sudah sejak tadi mengintai. Setelah merasa yakin bahwa dua puluh orang itu adalah gerombolan perampok atau penjahat, diapun segera melompat keluar dan menghampiri mereka. Melihat tiba-tiba muncul seorang pemuda yang berpakaian sederhana, dua puluh orang itu memandang heran. Lima orang perampok tadi mengenai Bun Houw sebagai seorang di antara para korban di rumah makan. Si muka hitam sudah meloncat ke depan dan memandang rendah kepada pemuda yang tingginya hanya sampai ke lehernya itu. Si muka hitam ini memang memiliki bentuk tubuh yang tinggi besar.

"Mau apa kau? Bukankah engkau seorang dari tamu di rumah makan tadi? Sudah kukatakan, siapapun tidak boleh membuat ribut. Eh, engkau, malah berani mengejar kami ke sini? Mau apa kau?”

"Tidak mau apa-apa," jawab Bun Houw dengan sikap tenang, "hanya ingin minta kembali semua uang yang kalian rampas di rumah makan tadi. Kalian tidak berhak, semua uang itu harus dikembalikan kepada pemilik masing-masing."

Sejenak hening sekali dan semua penjahat itu memandang kepada Bun Houw dengan mata terbelalak. Mereka terheran-heran bagaimana mungkin ada seorang pemuda seperti itu berani bicara demikian kepada mereka! Sungguh sukar untuk dipercaya. Akan tetapi kemudian, bagaikan dikomando saja, dua puluh orang itu tertawa bergelak-gelak, mereka geli dan lucu sampai ada yang perutnya besar terpaksa memegangi perutnya karena tertawa terpingkal-pingkal membuat perutnya sakit dan terguncang keras.

"Heii, booh gila!" teriak seorang diantara lima perampok tadi. "Kalau sekarang engkau berlaku begini, kenapa tadi di rumah makan engkau diam saja, malah menyerahkan pula uangmu tanpa melawan sedikitpun?"

"Aku tidak ingin ribut-ribut di rumah makan, aku sengaja membayangi kalian sampai ke sini, dan di sinilah kita membuat perhitungan.”

"Ha-ha-ha-ha!” Si muka hitam tertawa bergelak. "Kalau kami tidak mau mengembalikan uang itu, habis engkau mau apa?"

"Terpaksa aku akan menggunakan kekerasan untuk merampasnya kembali dari tangan kalian." kata Bun Houw tenang.

Dan kembali meledak utara tawa dua puluh orang itu. Memang lucu dan seperti ocehan orang yang tidak waras mendengar pemuda itu bicara seperti itu. Akan tetapi, biarpun mereka menertawakannya dan pandang mata mereka mulai marah, tak seorangpun bergerak untuk menyertainya. Agaknya orang-orang ini taat kepada komando pimpinan dan hanya menanti perintah. Dia ingin tahu siapa pemimpin mereka semua, karena jelas bahwa si muka hitam itu pun hanya memimpin regu kecil perampok tadi.

Seorang diantara para perampok tadi yang juga tinggi besar akan tetapi perutnya gendut seperti gentong. memandang kepada si muka hitam dan berkata, "Hek-bin twako (kakak muka hitam), biar kubereskan pemuda nekat ini!"

Sebelum si muka hitam menjawab, terdengar suara yang kecil meninggi seperti suara perempuan, akan tetapi suara itu keluar dari mulut seorang, yang tinggi kurus dan berkepala botak. "Tunggu! Pemuda ini sudah berani bersikap seperti itu, berarti bahwa dia mempunyai andalan. Kalian berlima majulah bersama menghadapinya!"

Si muka hitam dan empat orang anak buahnya, yang tadi melakukan perampokan, tersenyum masam. Bagaimanapun juga, mereka merasa agak malu untuk mengeroyok seorang pemuda biasa reperti itu, apalagi pemuda itu tidak memegang senjata, kalau saja tongkat butut yang terselip di pinggangnya itu dapat dikatakan senjata! Mereka adalah orang-orang yang perkasa, bagaimana tidak akan malu dan merasa rendah mengeroyoknya? Akan tetapi agaknya mereka adalah orang-orang yang mentaati perintah si botak, maka mereka lalu melangkah maju dan menghadapi Bun Houw.

Cara mereka menghadapi Bun Houw. semua di depannya dan tidak mengepungnya, ini saja sudah membuktikan bahwa mereka memandang rendah pemuda itu dan merasa malu untuk mengepung dari belakang. Hal ini diketahui oleh Bun Houw, namun dia tidak perduli, kini dia tahu bahwa pemimpin gerombolan ini adalah si botak tinggi kurus itu. Dan agaknya kalau lima orang ini hanya mengandalkan kekerasan-kekerasan otot mereka, pemimpin mereka itu juga mengandalkan otak.

"Bocah gila, apakah engkau masih hendak meneruskan kehendakmu, merampas kembali uang itu?" tanya si muka hitam sambil menunjuk kantung uang yang kini dipegang oleh si botak.

"Tentu saja! Serahkan kembali uang itu dan aku tidak akan mengganggu kalian." kata Bun Houw dengan sikap tenang.

"Haiiiitt, mampuslah kau!” bentak seorang di antara lima perampok itu dan diapun sudah menyerang dengan tonjokan yang kuat ke arah muka Bun Houw. Dengan gaya petinju, agaknya dia ingin memukul roboh Bun Houw dengan sekali tonjok. Dan memang dia bertenaga kuat sehingga orang biasa sekali terkena tonjokan ini pada dagunya, pasti akan roboh dan pingsan atau setidaknya gegar otak!

Namun, pukulan itu mengenai angin kosong belaka dan sebelum dia sempat menarik kembali kepalannya, lengan kanan itu tiba-tiba lumpuh disentuh jari telunjuk kiri Bun Houw dan tahu-tahu tubuhnya terjengkang oleh sebuah tendangan kaki kanan pemuda perkasa itu.

Melihat betapa segebrakan saja penyerang itu terjengkang, barulah empat orang perampok lain terkejut dan marah. Mereka berempat segera menerjang maju, bahkan orang yang tadi terkena tendangan, untuk menebus malunya, melupakan perutnya yang mulas menendang, bangkit lagi dan ikut mengeroyok!

Akan tetapi, semua anggauta gerombolan itu tercengang-cengang ketika belum ada sepuluh jurus, biarpun nampaknya lima orang perampok itu menghujankan pukulan dan tendangan, akan tetapi buktinya, lima orang itulah yang terpelanting ke kanan kiri seorang demi seorang. Melihat ini, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dengan suara tinggi dan si botak tinggi kurus itu sudah menyerang Bun Houw dan memang dia memiliki ketangkasan yang lain dibandingkan anak buahnya. Dia memiliki tenaga sinkang sehingga ketika menerjang, selain gerakannya cepat bagaikan seekor burung menyambar. Juga pukulannya mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat.

Namun, bagi Bun Houw, si botak ini bukan apa-apa. Diapun menangkap tangan yang memukulnya dan sekali dorong, si botak itupun tak mampu menahan lagi dan terjengkang. Kasihan dia, karena kurus maka pinggulnya tidak berdaging sehingga ketika terbanting, pantat tanpa daging itu menghantam tanah dan rasanya seperti retak-retak tulang belakangnya. Dia meringis dan memberi aba-aba,

"Bunuh dia! Dia berbahaya bagi kita!”

Anak buahnya, termasuk lima orang perampok tadi, kini mengepung dan mengeroyok dengan senjata tajam di tangan! Melihat ini, Bun Houw memegang tongkat bututnya dan sekali tangan kanannya bergerak, nampak sinar berkilat. Pedang Lui-kong-kiam telah tercabut dari sarung yang berbentuk tongkat butut itu dan begitu pedang itu digerakkan, nampak gulungen sinar berkilauan yang membuat semua pengetoyok terkejut. Segera disusul suara berkerontangan di sana-sini.

Ke manapun sinar kilat itu menyambar, tentu terdengar suara berkerontangan dan dalam waktu beberapa menit saja, dua puluh orang itu, termasuk si botak yang tadi mencabut pedang, menjadi terlongong memandang tangan kanan mereka yang kini hanya tinggal memegang gagang senjata berikut sedikit sisa potongan senjaia mereka. Dua puluh batang senjata tajam telah terbabat buntung semua oleh Pedang Kilat!

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, “Kalian semua mundur !"

Dua puluh orang itu terkejut dan nampak gentar, lalu dengan sikap hormat mereka mundur. Bentakan itu amat berwibawa dan menggeledek, mengejutkan Bun Houw karena pemilik suara seperti itu tentulah seorang yang besar pengaruhnya dan sudah biasa ditaati. Dia cepat menoleh ke kiri dan sinar matanya mengandung keheranan ketika melihat munculnya dua orang. Seorang pria berusia lima puluh lima tahun, tinggi besar gagah sekali yang agaknya pemilik suara tadi, dan seorang membuat Bun Houw tercengang yaitu pemuda yang tadi ditemuinya di dalam rumah makan. Pemuda yang duduk semeja dengan dia!

Pemuda itu tersenyum kepadanya, senyum manis yang ramah dan pandang matanya kagum. "Aih sejak pertama kali sudah kuduga bahwa engkau bukan seorang pemuda biasa, sobat! Ternyata engkau hebat, pedangmu bergerak seperti kilat saja! Engkau patut kalau kunamakan Si Pedang Kilat!”

Bun Houw diam-diam kagum dan terkejut. Ini tentu bukan pemuda sembarangan pula. Dia sudah menyimpan kembali pedangnya, dan dari sinarnya saja pemuda itu sudah dapat memberi nama yang amat tepat. Memang pedangnya adalah Lui-kong-kiam (Pedang Kilat)! Akan tetapi Bun Houw mengerutkan alisnya. Pemuda yang ramah dan tampan ini tentu ada hubungan dengan gerombolan perampok ini! Tentu tadi hanya berpura-pura saja menyerahkan uangnya di rumah makan.

"Akan tetapi aku merasa heran melihatmu, sobat," kata Bun Houw dengan sinar mata penuh selidik. "Engkau sendiri apa hubunganmu dengan gerombolan perampok ini? Engkau tadi hanya berpura pura?”

Pemuda itu tersenyum, "Ha, apa bedanya denganmu, sobat? Engkau tadipun berpura-pura, menyerahkan uangmu kepada mereka. Kiranya engkau membayangi mereka dan menghajar mereka di sini. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin melihat kemampuanmu lebih jauh. Paman Pouw, coba kau tandingi Si Pedang Kilat ini!”

"Baik, kongcu (tuan muda)," kata pria tua gagah perkasa itu dengan sikap yang menghormat sekali. Kemudian, dia melangkah maju berhadapan dengan Bun Houw.

"Orang muda, kita bukan musuh. Kami menghargai orang-orang gagah, dan mentaati perintah kongcu, aku ingin mengenal ilmu silatmu. Nah, bersiaplah!"

Bun Houw senang dengan sikap yang tegas dan jujur dari orang gagah ini. Diapun ingin tahu sampai di mana kepandaiannya, dan pemuda aneh yang begitu ditaati dan disebut tuan muda itu telah mengatakan bahwa nanti saja mereka bicara setelah mengenal kepandandaiannya. Baik, dia akan memperlihatkan kepandaiannya.

"Silakan, aku sudah siap," katanya. Ketika dia melihat betapa orang gagah itu memasang kuda-kuda dengan gaya aliran Siauw-lim-pai, Bun Houw semakin penasaran. Bilamana ada murid siauw-lim-pai yang menjadi pimpinan perampok? Ayah kandungnya sendiri, mendiang Kwa Tin, dikenal sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai dan dia sendiripun sejak kecil dilatih ayahnya dengan ilmu silat aliran Siauw-lim-pai. Karena penasaran, maka diapun sengaja memasang kuda-kuda Siauw-lim-pai untuk mengimbangi lawan.

Melihat pemuda itu memasang kuda-kuda Siauw-lim-pai, orang gagah itu mengeluarkan suara tertahan dan pandang matanya terbelalak, "Murid Siauw lim pai?" tanyanya heran.

"Murid Siauw-lim-pai aseli karena selalu menentang kejahatan!” kata Bun Houw menyindir.

"Ah, engkau belum mengerti. Mari kita mengadu kepandaian dulu baru nanti engkau bicara dengan Kongcu." kata orang itu. "Lihat serangan!” dan diapun mulai menyerap dengan ilmu silat Siauw-lim-pai yang amat kuat.

Melihat gerakannya, tahulah Bun Houw bahwa lawannya menggunakan ilmu Lo-han kun (Silat Kakek Gagah), satu di antara llmu-ilmu Siauw-lim-pai. Diapun pernah mempelajari ilmu ini, maka diapun mempergunakannya untuk melawan. Karena keduanya menggunakan ilmu yang sama, maka mereka kelihatan seperti dua orang murid Siauw-lim-pai yang sedang melatih Lo-han-kun!

Akan tetapi, Bun Houw segera menyadari bahwa dalam hal ilmu silat Siauw-lim-pai, dia masih kalah jauh dibandingkan lawan. Bahkan mungkin ayahnya sendiri tidak akan mampu menandingi tingkat lawan ini! Kalau dia bertahan dengan jurus-jurus Lo-han-kun, dia tentu akan kalah, maka diapun mengubah gerakannya dan kini dia memainkan ilmu it-sin-ci (Satu Jari Sakti), ilmu yaitu ilmu silat yang menggunakan totokan satu jari untuk menyerang, ilmu yang dipelajarinya dari Tiauw Sun Ong!

"Plak-plakkk" Dua kali totokannya ditangkis lawan, akan tetapi karena Bun Houw menggunakan tenaga Im-yang Bu-tek Cin-keng, orang gagah itu tak dapat menahan dirinya dan terhuyung ke belakang.

"Ahhh, bukankah itu it-sin-ci...?” Orang itu berseru kaget.

Dan Bun Houw semakin kagum. Lawannya ini benar-benar bermata tajam, dapat mengenal ilmu yang dipelajarinya dari gurunya. Diapun ingin memperlihatkan kepandaiannya, maklum bahwa lawan memang lihai sekali sehingga tadi mampu mengimbangi it-sin-ci, walaupun agak terhuyung.

"Coba lihat yang ini, apakah engkau juga mengenalnya?” Dan kini Bun Houw memainkan jurus-jurus rahasia dan aneh dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Lawannya mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melawan ilmu aneh itu. Mereka nampak saling pukul, saling elak dan tangkis, akan tetapi belum sampai sepuluh jurus, orang tua yang gagah perkasa itu terdorong ke belakang, mencoba untuk menahan diri, akan tetapi tetap saja dia terpelanting roboh! Dia cepat meloncat bangun dengan muka merah dan mata terbelalak.

"Bukan main! Ilmu apakah itu tadi? Tenagamu amat dahsyat! Belum pernah selama hidupku melihat tenaga yang sedemikian dahsyatnya! Engkau hebat, orang muda, aku mengaku kalah."

Terdengar tepuk tangan. Pemuda itu yang bertepuk tangan, wajahnya berseri dan senyumnya cerah, dia nampak girang sekali. "Sobat, engkau memang hebat, jauh di luar persangkaanku semula. Engkau dapat mengalahkan Paman Pouw. Bukan main! Mari, sobat, mari kita bicara, jangan di sini, tidak leluasa. Mari ikut ke tempat kami."

Bun Houw memang ingin sekali mengetahui siapa pemuda itu dan mengapa mempunyai anak buah yang melakukan perampokan di rumah makan itu, dan siapa pula ahli silat Siauw-lim-pai yang tangguh itu. Maka, diapun mengangguk dan tidak menolak ketika seorang anak buah, atas isarat pemuda itu, menuntun tiga ekor kuda untuk mereka bertiga. Bun Houw segera meloncat ke punggung kuda dan mengikuti pemuda itu dan orang she Pouw yang baru saja mengadu kepandaian dengannya. Dua puluh orang anak buah itu ternyata mengikuti mereka.

Setelah memasuki hutan dan mendaki sebuah bukit kecil, akhirnya mereka bertiga tiba di pekarangan sebuah rumah terpencil. Rumah itu sederhana saja bentuknya, akan tetapi cukup besar dan pekarangannya juga luas. Nampak beberapa orang laki-laki berpakaian pelayan menyambut tiga orang itu. Mereka memberi hormat kepada pemuda itu dan menuntun tiga ekor kuda.

"Ini rumah kami. mari silakan masuk, sobat dan kita bicara."

Bun Houw mengikuti pemuda itu dan si tinggi besar she Pouw itu mengikuti di belakangnya. Mereka memasuki rumah dan setelah masuk, baru Bun Houw mendapat kenyataan bahwa rumah yang dari luar nampak bercahaya itu, di sebelah dalamnya penuh dengan perabot yang mewah sekali! Dan begitu memasuki ruangan depan, nampak lima orang wanita muda yang usianya antara delapan belas sampai dua puluh tahun, kelimanya cantik jelita dan manis, keluar menyongsong pemuda itu dengan sikap mereka yang manja namun penuh hormat. Akan tetapi, kegembiraan mereka itu berubah menjadi sikap yang alim dan pendiam ketika mereka melihat bahwa pemuda itu datang bersama seorang pemuda lain yang asing bagi mereka.

Pemuda itu tersenyum dan memberi isarat-kepada mereka berlima untuk masuk ke dalam dan memesan agar dipersiapkan hidangan makan siang untuk dia dan tamunya. Sambil tersenyum dan memberi hormat ke arah Bun Houw dengan malu-malu, lima orang itu berlari memasuki rumah bagian dalam, dan pemuda itu mempersilakan Bun Houw untuk masuk ke dalam ruangan tamu yang berada di bagian kiri.

Mereka bertiga duduk di ruangan tamu yang luas dan selain kursi-kursinya indah dan enak diduduki, juga ruangan itu bersih dan dindingnya digantungi tulisan-tulisan dengan huruf indah dan beberapa buah lukisan alam. Jendela-jendelanya terbuka ke taman sehingga hawa di dalam ruangan itu sejuk dan nyaman sekali.

"Nah, sekarang kita berkenalan, sobat. Namaku Siauw Tek, dan ini adalah Paman Pouw, pembantuku yang setia, juga pelindungku yang gagah perkasa. Seperti yang telah dikatakannya tadi, kami suka sekali berkenalan dan bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia, maka pertemuan kami denganmu merupakan kebahagiaan besar bagi kami. Siapakah namamu dari mana dan dari aliran mana, juga apa kedudukanmu?"

"Namaku Kwa Bun Houw, berasal dari Nan-ping. Aku hidup sebatang kara. yatim piatu, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, juga bukan dari aliran manapun dan tidak mempunyai kedudukan apapun..."

Pemuda yang bernama Siauw Tek itu kelihatan semakin gembira mendengar keterangan singkat Bun Houw, terutama sekali karena Bun Houw tidak mempunyai kedudukan dan tidak terikat aliran apapun. Akan tetapi orang yang nama lengkapnya Pouw Cin itu, memandang penuh selidik dan bertanya, "Maaf, Kwa-enghiong (orang gagah Kwa). melihat dasar gerakan silatmu, tidak salah tapi bahwa engkau setidaknya pernah mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai. Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai?"

Bun Houw menggelengkan kepalanya, "Mendiang ayahku adalah murid Siauw-lim-pai, dan ketika masih kecil aku pernah mempelajari ilmu silat aliran itu dari mendiang ayahku. Akan tetapi aku bukan murid langsung dari Siauw-li m-pai."

"Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama mendiang ayahmu, murid Siauw-lim-pai yang tinggal di Nan-ping itu?" Pouw Cin mendesak.

"Mendiang ayahku bernama Kwa Tin."

Pouw Cin terbelalak girang. "Ah, kiranya dia! Aku mengenalnya dengan baik, bahkan kami masih terhitung saudara sekeluarga, sealiran. Dia seorang pedagang kita yang berhasil dan gagah perkasa, seorang pendekar sejati. Akan tetapi ... aku tidak tahu bahwa dia sudah meninggal. Kalau tak salah... usianya sebaya denganku, belum tua benar."

"Ayah dan ibu tewas oleh gerombolan penjahat yang membalas dendam kepada ayah." kata Bun Houw singkat. "Karena itu. aku selalu menentang para penjahat dan perampok." Setelah berkata demikian, dia menatap wajah Siauw Tek dengan pandang mata tajam.

"Ha ha, sekali lagi kuyakinkan padamu bahwa kami bukanlah penjahat dan perampok. Engkau tadi sudah mendengar bahwa Paman Pouw adalah murid Siauw-lim-pai. saudara seperguruan mendiang ayahmu. Apakah orang seperti dia ini pantas menjadi perampok, dan apakah aku pantas pula menjadi kepala perampok?"

"Akan tetapi di rumah makan tadi..."

"Memang kami sengaja. Kwa-toako (kakak Kwa)!" kata Siauw Tek. "Sebaiknya aku menyebutmu toako saja, lebih akrab. Kuulangi, kami memang sengaja membiarkan anak buah kami melakukan perampokan secara menyolok.”

“Aneh sekali! Bukan perampok akan tetapi membiarkan anak buah perampok, Hemm... Kongcu, harap jangan mempermainkan aku!" kata Bun Houw tak senang, dan mengingat betapa semua orang menyebut pemuda itu kong-cu, diapun ikut-ikutan. Dia masih merasa yakin bahwa pemuda ini bukan orang biasa. "Melakukan perampokan akan tetapi bukan perampok, lalu apa?”

“Kami adalah pejuang!”

“Ehh? Pejuang? Berjuang untuk apa?”

“Untuk mengusir pemberontak dan pengkhianat!" kata pula Siauw Tek sambil mengepal tinju dan tiba-tiba saja sikapnya penuh semangat, pandang matanya berapi-api dan mukanya kemerahan.

"Ehh? Aku... aku sungguh tidak mengerti apa maksudnya semua ini, Kongcu. Lalu apa hubungannya perjuangan dengan perampokan? Siapa pula pemberontak dan pengkhianat itu?"

Siauw Tek menghela napas panjang. "Sungguh sayang, betapa sedikit para pendekar yang gagah memperdulikan urusan negara! Kwa-toako, kami sengaja menyuruh anak buah kami melakukan perampokan di kota-kota, di tempat umum, pertama untuk menarik perhatian para pendekar dan orang gagah agar dapat berhadapan dengan kami seperti halnya engkau sekarang ini. Dan ke dua perampokan-perampokan itu setidaknya akan menimbulkan kekacauan dan kesan buruk mengenai keamanan terhadap pemerintah pemberontak."

"Pemerintah pemberontak?"

"Ya, bukankah kerajaan Chi sekarang ini merupakan pemberontak yang telah mengkhianati dan menggulingkan kerajaan yang sah? Pemerintah yang sah adalah kerajaan Liu-sung!"

Bun Houw yang tidak pernah memperhatikan urusan kenegaraan, semakin bingung. "Akan tetapi... yang pernah kudengar, kerajaan Liu-sung telah jatuh dan sekarang yang menjadi penguasa adalah kerajaan Chi, kalau tidak salah, hal ini telah terjadi beberapa tahun yang lalu... eh, aku sendiri tidak tahu benar, hanya mendengar-dengar saja karena bertahun-tahun aku sibuk belajar ilmu. Kalau begitu, kalian ini adalah orang-orang yang anti kerajaan Chi yang baru dan menentang pemerintah, sengaja menimbulkan kekacauan?"

"Tentu saja! Kami..."

Akan tetapi tiba-tiba Pouw Cin memotong kata-kata pemuda itu. “Kwa-enghiong, harap jangan salah paham. Yang jelas, kami bukanlah penjahat, dan untuk memberi penjelasan, nanti setelah makan, aku akan. mengajakmu untuk melihat-lihat keadaan kami. Kami sedang menyusun pasukan dan mengumpulkan orang-orang gagah pembela kebenaran dan keadilan. Kalau sudah melihat keadaan kami, nanti engkau tentu akan mengerti."

"Ha-ha, benar sekali ucapan Paman Pouw! Kalau dijelaskan perlahan-lahan dan mengenal keadaan kami, dapat saja engkau menjadi salah paham dan mengira kami gerombolan penjahat. Nah, sekarang kupersilakan engkau untuk makan siang bersama kami, toako. Kita sudah saling berkenalan dan bersahabat, harap engkau tidak merasa sungkan lagi. Paman Pouw, coba kau lihat apakah sudah siap makan siang di dalam."

Pouw Cin keluar dan dua orang gadis pelayan cantik memasuki ruangan tamu itu, membawa suguhan anggur dan teh. Dengan sikap gembira Siauw Tek lalu menyuguhkan anggur kepada Bun Houw dan ketika meminum anggur itu, diam-diam Bun Houw kagum. Anggur yang lezat bukan main, manis, sedap dan halus sekali. Tak lama kemudian Pouw Cin masuk dan memberi tahu bahwa makan siang telah siap...