Tangan Gledek Jilid 47 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 47

TIANG BU marah sekali. Ia melihat bayangan-bayangan tak jelas bergerak di dalam air. Dengan tenaga luar biasa pemuda ini meluncurkan dayungnya ke dalam air menghantam bayangan itu, di antara para penyelam itu terkena pukulan dayung yang disambitkan, kepalanya pecah dan tak lama kemudian mayatnya terapung di permukaan laut, sebentar tenggelam dipermainkan ombak bersama dengan mayat-mayat kawannya yang sudah tewas ketika Tiang Bu melompat-lompat dari perahu ke perahu tadi.

Perahu tetakhir makin miring dan akhirnya tak dapat ditahan lagi perahu itu tenggelam! Tiang Bu mengerahkan tenaga. menjejak perahu yang hampir lenyap dari permukaan air itu dan melompat ke arah darat. Akan tetapi hanya dapat mencapai jarak sepuluh tombak lagi dari daratan tubuhnya jatuh ke dalam air.

“Byuuurr...!” Air memercik tinggi dan tubuh Tiang Bu tidak kelihatan lagi. Hanya kelihatan para anak buah bajak dengan tombak di tangan kanan dan kaitan di langan kiri cepat berenang ke arah tempat pemuda itu tenggelam!

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Untungnya Bi Li tidak melihat keadaan kekasihnya itu. Kalau ia menyaksikan betapa kekasihnya terjun ke dalam laut dan dikejar oleh ahli-ahli penyelam yang bermaksud membunuhnya, dapat dibayangkan betapa akan hancur dan bingungnya hati Bi Li.

Pada saat Tiang Bu terancam nyawanya Bi Li masih berlutut di pinggir laut. Sudah lama titik hitam perahu Tiang Bu lenyap dari pandangan matanya dan gadis ini masih tetap berlutut, hatinya penuh doa untuk keselamatan Tiang Bu, orang satu-satunya yang ia miliki di dunia ini.

"Bi Li, kau sedang apa di sini?" terdengar pertanyaan halus yang membuat Bi Li terkejut. Seakan-akan gadis ini ditarik turun dari angkasa lamunannya. Ia melompat berdiri dan me mbalikkan tubuh. Ternyata gurunya Ang jiu Mo-li telah berada di de pannya!

"Bi Li, kau sudah sampai di sini mengapa berlutut dan seorang diri? Mana Tiang Bu?” tanya pula Ang-jiu Mo-li sambil menoleh ke sana ke mari, seakan-akan mengharapkan akan melihat Tiang Bu berada di sekitar tempat itu.

"Dia sudah berangkat ke Pek-houw to, meninggalkan teecu seorang diri di sini..."

"Lho, mengapa begitu? Mengapa kau tidak ikut serta?"

"Teecu disuruh menanti di sini karena katanya... amat berbahaya kalau teecu menyerbu. Musuh amat lihai dan dia hendak turun tangan sendiri agar lebih leluasa. Dia... dia melakukan ini untuk menjaga agar teecu tidak terancam bahaya." Bi Li membela dan melindungi kekasihnya agar tidak dipersalahkan oleh Ang-jiu Mo-li.

"Hemm, dasar anak muda. Bodoh sekali! Mati hidup siapakah yang kuasa mengatur kecuali Thian? Mengapa takut mati kalau sudah berani hidup? Bi Li, calon jodohmu itu keliru dalam hal ini. Dia hendak menjauhkan kau dari bahaya, akan tetapi sebaliknya dia membuat kau berada dalam kegelisahan dan penderitaan batin. Bukankah kau menderita se kali ditinggalkan tidak tahu bagaimana dengan nasibnya, bukan?”

Bi Li menundukkan mukanya. "Memang betul...”

“Dan kau akan suka sekali, rela mati bersama kalau kau berada di sampingnya, ikut membantunya dalam penyerbuan ke Pek-houw-to, bukan?"

Kimbali Bi Li mengangguk akan tetapi tidak ada kata-kata keluar dari mulutnya untuk membela Tiang Bu. "Baik kita susul dia. Kau ikutlah dengan aku."

“Akan tetapi... dia sudah pesan supaya teecu menanti di sini...”

Ang-jiu Mo-li membelalakkan matanya yang masih bagus. "Hemm... belum jadi isterinya kau sudah begitu setia dan taat, lebih taat dari pada kepada gurumu...?”

Bi Li merasa jengah dan malu, hendak berlutut meminta maaf, akan tetapi tidak jadi ia lakukan ketika mendengar kata-kata Ang-jiu Mo-li. " Bagus begitu, muridku! seorang wanita harus setia dan taat kepada suaminya dalam hal yang sewajarnya. Memang Tiang Bu melarangmu ikut adalah demi menjaga keselamatanmu, dan memang ia akan dapat bergerak lebih leluasa tanpa kau disampingnya yang hanya akan merupakan gangguan.

Kepandaianmu masih jauh kalau harus berhadapan dangan musuh-musuh itu. Akan tetapi sekarang ada aku di sampingmu, aku dapat menjagamu baik-baik. Bahkan kita berdua akan dapat membantu Tiang Bu, kalau-kalau ia kewalahan menghadapi lawan-lawannya yang memang berat."

Bi Li lalu menceritakan tentang tantangan yang ditulis oleh Liok Kong Ji dan tentang perahu yang dikirim untuk menjemput Tiang Bu. Ang-jiu Mo-li mengerutkan kening, "Tiang Bu gegabah sekali. Kalau musuh sudah mengetahui kedatangannya, itu berarti musuh sudah bersiap sedia menyambut dengan segala macam daya. Liok Kong Ji terkenal jahat dan keji, penuh tipu daya dan muslihat busuk. Lebih baik menyerbu ke Pek-houw-to dengan diam-diam. Akan tetapi ini dapat dimen gerti. Tiang Bu seorang pemuda, tentu saja ia tidak tahan menghadapi tantangan. Mari kita mencari perahu dan segera menyusul."

Bi Li tidak membantah lagi, bahkan diam-diam ia gembira sekali. Memang sesungguhnya, bagi Bi Li lebih baik ia ikut dan selalu berada di samping kekasihnya. Lebih baik mati bersama dari pada hidup terpisah. Setelah pergi mencari agak jauh dari situ, akhirnya Ang jiu Mo-li dapat bertemu dengan seorang nelayan miskin yang suka menyewakan perahu bututnya. Memang semenjak gerombolan Liok Kong Ji mendiami Pek houw-to, keadaan di situ sunyi sekali.

Para nelayan sama pergi pindah dari situ, kecuali nelayan nelayan miskin yang hanya mempunyai perahu butut. Perahu-perahu butut dan nelayan-nelayan miskin tentu saja tidak ada harganya bagi anak buah Liok Kong Ji dan karenanya malah tidak akan diganggu. Tak lama kemudian, Ang-jiu Mo-li dan Bi Li duduk di dalam perahu butut itu yang mereka dayung perlahan menuju ke tengah samudera. Ang-jiu Mo li sudah mencari keterangan sejelasnya tentang letak pulau ini dan sengaja memutar perahunya dan mendatangi pulau itu dari timur.

"Karena mereka sudah tahu akan kedatangan Taang Bu dari pantai, tentu penjagaqn mere ka dikerahkan di pantai pulau sebelah utara. Lebih baik kita ambil jalan dari pantai timur dan masuk dari pintu belakang,” kata Ang-jiu Mo li yang bersikap hati-hati sekali, tidak seperti biasanya. Ini adalah karena Ang-jiu Mo-li maklum akan kelihayaian lawan-lawannya yang berada di Palau Pek houw-to, sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan lawan-lawan yang pernah dia jumpai dan pernah ia tandingi.

Mari kita mengikuti pengalaman Tiang Bu yang sedang menuju ke Palau Pek-houw-to untuk melakukan perhitungan dengan musuh-musuh besarnya. Seperti telah diceritakan bagian depan, perahu yang ditumpangi oleh Tiang Bu dihadang oleh bajak-bajak anak buah Liok Kong Ji dan dikurung. Setelah melakukan pertempuran hebat di atas perahu, akhirnya bajak-bajak itu menenggelamkan semua perahu sehingga terpaksa Tiang Bu melompat ke darat.

Namun, betapapun tinggi kepandaian pemuda ini, lompatannya tidak men capai darat yang masih amat jauhnya sehingga ia tercebur ke dalam air. Tubuhnya tenggelam dan para anak buah bajak itu dengan tombak di tangan cepat berenang ke arah tempat pemuda itu tenggelam. Para bajak itu berteriak-teriak girang, tombak di tangan kiri siap untuk merobek-robek tubuh pemuda itu untuk mencari pahala.

Memang baik sekali tadi Tiang Bu tidak mengajak Bi Li. Andaikata kekasihnya itu ikut dan sekarang bersama dia tercebur ke dalam air, tentu payah keadaan mereka. Kini Tiang Bu yang merasa tubuhnya tenggelam, ia cspat mengenjot kakinya ke bawah. Bagaikan didorong oleh tenaga raksasa tubuhnya mumbul lagi ke permukaan air. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tiang Bu untuk menyedot hawa udata. Kemudian ia membiarkan kedua kakinya lurus sehingga tubuhnya tenggelam lagi ke bawah. Para bajak melihat ini mengira bahwa Tiang Bu memang tak berdaya di air, makin bernafsulah mereka, berenang menghampiri.

Memang sesungguhnya Tiang Bu tidak pandai berenang. Akan tetapi ia memiliki lweekang yang sudah mencapai tingkat yang sukar diukur lagi tingginya. Dengan mengisi paru-paru dengan hawa udara, ia sanggup bertahan tidak bernapas sampai lama sekali. Ia seorang cerdik yang tabah. Ia tahu bahwa kalau ia menjadi gugup, ia akan tewas oleh bajak-bajak itu dan pandai bermain di air.

Oleh karena itu ia bersikap tenang, mengisi dada penuh hawa lalu membiarkan tubuhnya tenggelam. Setelah kedua kakinya mencapai dasar laut yang sudah tak begitu dalam lagi karena dekat pantai, Tiang Bu lalu menggerakkan kedua kakinya berjalan menuju ke daratan! Sepasang matanya yang terlatih baik itu dapat melihat ke depan, ia berjalan terus dengan tenang dan, siap menanti serangan lawan.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya para bajak itu. Ketika mereka ini mengejar dan menyelam ke bawah, mereka melihat orang yang dikejarnya itu "berjalan-jalan" di atas dasar laut seperti orang berjalan jalan makan angin di taman bunga saja! Untuk sejenak mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Akan tetapi yakin akan kepandaian sendiri bermain di dalam air para anak buah bajak itu beramai lalu menyerbu, menyerang Tiang Bu dengan tombak dan kaitan mereka. Mereka pikir bahwa di dalam air tidak mungkin pemuda itu masih selihai di darat.

Akan tetapi perhitungan mereka jauh meleset. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa kalau ia disuruh berenang atau menyelam bermain seperti ikan di dalam air, Tiang Bu akan angkat tangan tidak sanggup. Akan tetapi sekarang soalnya lain lagi. Pemuda itu bukan berenang atau menyelam, melainkan tenggelam begitu saja dan berdiri di atas dasar air laut yang sudah berada di tepi, agak dangkal dan tidak besar ombaknya. Berkat khikang dan lweekangnya yang sudah sempurna, Tiang Bu dapat menahan napas dan dapat memberatkan tubuh sehingga dapat bergerak lebih leluasa dari pada penyelam atau ahli berenang yang manapun juga!

Melihat datangnya serangan tombak dan kaitan, Tiang Bu tidak gentar sama sekali. Dengan kedua tangannya ia menyambar, menangkapi ujung tombak dan sekali hentak saja orang-orang itu sudah terdorong jauh sekali. Sedangkan di darat saja mereka itu bukan apa-apa bagi Tiang Bu, apa lagi di dalam air. Tubuh dan berat badan mereka itu tidak seberapa, tentu saja dengan mudah mereka dapt dibikin kocar-kacir. Bahkan ada yang terkena pukulan dan turukan tombak sendiri, membuat mereka terapung ke permukaan air dalam keadaan terluka berat.

Para bajak Itu menjadi gentar dan tidak berani lagi menyerang, membiarkan pemuda “berjalan.jalan ” menuju ke pantai. Air makin lama makin dangkal sampai akhirnya Tiang Bu tiba di pinggir daratan yang dalamnya hanya sampai ke leher. Dengan girang ia melihat daratan di depan mata, dapat ia mengambil pernapasan. Hatinya lega. Setelah tiba di darat, ia tak usah khawatir lagi akan keroyokan musuh. Tadipun ia masih untung karena yang mengerojoknya di dalam air hanya bajak bajak dengan kepandaian biasa saja. Kalau ia bertemu dengan orang pandai di dalam air, tentu ia tak dapat melakukan perlawanan sebagai mana mestinya.

Akan tetapi, begitu ia melompat ke darat ia telah dihadang oleh seorang pesuruh Liok Kong Ji yang memegangi sebuah perahu. Pesuruh itu menjura di depan Tiang Bu lalu berkata,

"Hamba diutus oleh Liok-taihiap untuk mengganti perahu kongcu yang sudah tenggelam. Kalau kongcu hendak bertemu dengan Liok taihiap, kongcu dinanti di ujung pulau ini. Karena perjalanan melalui darat amat sukar dan khawatir kongcu, sesat jalan, maka perahu ini sengaja disediakan untuk kongcu. Dengan mendayung perahu ini sepanjang pantai terus ke sana, dalam waktu satu jam kongcu akan tiba di tempat Liok tai hiap. Demikianlah pesan taihiap, kecuali kalau kongcu sudah kapok dan takut naik perahu, kongcu persilahkan mengambil jalan darat yang lebih jauh dan sukar.”

Tiang Bu mendongkol sekali. Ia tak beleh percaya omongan seorang utusan Liok Kong Ji, akan tetapi embel-embel dalam ucapan tadi yang menyatakan bahwa kalau ia takut naik perahu ia dipersilahkan melalui darat, memanaskan perutnya. Mengapa ia harus takut?

Ia tersenyum mengejek. "Siapa sih yang takut menghadapi segala bajak tiada guna? Kalau menantangku naik ke perahu, baik. Aku akan naik perahu ini.”

Setelah berkata demikian, Tiang Bu melompat ke dalam perahu itu dan mendayung agak ke tengah. Perahu itu mungil dan enak dayungannya, maka Tiang Bu tidak mengkhawatirkan sesuatu. Dengan hati-hati akan tetapi cepat ia mendayung perahu itu. Pantai pulau selalu berada di sebelah kirinya dan ia menuju ke ujung pulau yang tadi ditunjukan oleh pesuruh yang membawa perahu.

Pantai yang tadinya berpasir berganti pantai yang terhias tetumbuhan, pohon-pohon dan batu karang. Batu-batu karang dan pohon-pohon besar berdiri di tepi pantai, tempat ini amat baiknya untuk orang bersembunyi memasang barisan pendam. Tiang Bu melirik dan ia berlaku makin hati-hati. Ia maklum sekali bahwa kalau fihak musuh hendak membokongnya, tempat inilah kiranya yang paling baik dan tepat. Ia sengaja mendekatkan perahu agak ke pinggir untuk menjaga agar ia mudah mendarat kalau sampai terjadi apa-apa.

Tiang Bu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi, sepasang mata yang tajam bersinar aneh mengintainya dengan penuh kebencian. Inilah mata Liok Cui Kong yang sejak tadi sudah mengamat-amati gerak-gerik musuh besarnya. Akan tetapi hatinya terlalu pengecut untuk muncul begitu saja, maklum bahwa terhadap Tiang Bu ia tidak berdaya sedikitpun juga. Di belakangnya juga sembunyi banyak kawannya, di antaran ya Lam-thian-chit-ong akan tetapi mereka inipun tidak mau bergerak sebelum menerima tugas.

Ketika Cui Kong sedang memutar otak bagaimana harus menyerang musuhnya itu, tiba-tiba ia melihat Tiang Bu mendekatkan perahunya ke pantai. Girang sekali hati Cui Kong ia mendapat jalan untuk menyerang lawannya. Dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, pemuda jahat ini mengangkat sebuah batu karang besar sekali dan beratnya ada lima ratus kati lebih. Ia memasang kuda- kuda, menggerakkan tangan dan tubuh dan... sekali lontar batu itu melayang jauh menuju ke depan perahu yang ditumpangi Tiang Bu!

Memang Cui Kong pintar sekali. Ia tahu bahwa perahu itu bergerak ke depan dan Tiang Bu memiliki tenaga yang luar biasa, sehingga kalau ia melontarkan batu ke arah perahu, tipis sekali kemungkinan akan mengenai perahu dengan tepat. Oleh karena itu ia sengaja membidik ke depan perahu dan memang perhitungannya tepat sekali. Batu itu besar dan berat, dilontarkan dengan tenaga lweekang yang sudah terlatih, maka luncurannya tidak kalah lajunya dengan sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya!

Kalau diserang seperti ini di darat, tentu Tiang Bu akan memandang ringan saja, akan tetapi sekarang ia berada di atas perahu yang sedang meluncur di atas air! Namun, karena dia memang sudah siap dan waspada, ia tidak sampai kena bokong, tidak menjadi gugup. Melihat datangnya batu besar itu hendak menimpanya, Tiang Bu mendahului dengan gerakan melompat yang indah dan cepat sekali, bahkan kecepatannya melebihi kecepatan batu.

Memang hampir tak dapat di percaya oleh Cui Kong ketika pemuda ini melihat betapa Tiang Bn melesat ke atas sebelum batu itu menimpa perahu dan Tiang Bu malah menginjakkan kaki ke atas batu itu dan dipergunakan sebagai batu loncatan ke daratan! Hampir bersamaan waktunya, ketika batu besar itu menimpa perahu sampai hancur lebur, Tiang Bu juga sudah tiba di darat dengan selamat!

"Hebat...!” para anggauta Lam-thian-chit-ong berseru memuji, lupa bahwa yang mereka puji adalah musuh. Memang, kepandaian yang sudah diperlihatkan oleh Tiang Bu tadi benar-benar hebat dan mengagumkan.

Sementara itu, melihat Cui Kong, sudah gatal-gatal tangan Tiang Bu hendak menyerang. “Cui Kong, manusia iblis! Sekarang kita sudah berhadapan satu dengan yang lain, kalau kau benar jantan jungan main curang, mari kita mengadu tenaga sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa. Ucapan ini dikelurkan oleh Tiang Bu dengan sikap tenang, akan tetapi mengandung tantangan dan ancaman yang membuat nyali Cui Kong mengecil. Biarpun begitu, Cui Kong yang cerdik dan penuh akal bulus ini segera me nyambut tantangan Tiang Bu dengan ketawa mengejek,

"Ha-ha ha, Tiang Bu manusia sombong. Kau datang hanya untuk mengantar kematianmu di sini. Kaulihat tujuh orang gagah ini? Mereka adalah paman-pamanku, Lam-thian-chit-ong yang terkenal dengan Chit-seng-tin mereka! Apa kau berani menerjang barisan mereka? Ha.ha-ha, Tiang Bu. Kau takkan dapat keluar dari kurungan Chit-seng-tin dengan tubuh bernyawa!”

Memang Cui Kong patut menjadi putera angkat Liok Kong Ji. Pemuda ini memi liki siasat yang lihai dan otaknya dapat dengan cepat mengatur tipu daya. Kegagalannya menyerang Tiang Bu dengan batu tadi membuat ia makin insyaf bahwa menghadapi Tiang Bu bukanlah pekerjaan ringan. Maka ia cepat mengajukan Lam thian-chit-ong untuk dapat menahan musuh itu untuk sementara sedan Ian dia dapat mendatangkan bala bantuan.

Oleh karena memang ia tadi mengajukan Lam-thian-chit-ong hanya untuk dapat melepaskan diri dari ancaman Tiang Bu, begitu melihat tujuh orang pembantu ayahnya itu bergerak membentuk barisan dan menghampiri Tiang Bu, Cui Kong diam diam menyelinap pergi untuk memberi laporan kepada ayah dan gurunya. Akan tetapi ia mendapatkan ayahnya dan gurunya juga sedang dalam keadaan panik. Semua tenaga di atas pulau dikerahkan untuk melakukan penjagaan dan Liok Kong Ji berdua Lo thian-tung Cun Ga Tosu sudah dalam keadaan bersiaga dengan sejata di tangan, wajah mereka tegang!

Setelah Cui Kong menyelidiki, baru dia tahu bahwa ada penjaga melapor akan datangnya serbuan Wan Sin Hong dan kawan-kawannya ke pulau itu mereka masih dalam perjalanan akan tetapi tak lama lagi, mun gkin pada hari itu atau besok hari, akan tiba di pulau ini. Cui Kong mengeluh.

"Celaka benar, mengapa mereka bisa datang dalam waktu yang sama? Ayah, sekarang Tiang Bu juga sudah mendarat, untuk sementara dilayani oleh Lam-thian-chit-ong. Aku cepat pulang untuk melapor bahwa usahaku membikin dia mampus dalam perahu sia-sia belaka."

Liok Kong Ji mengerutkan alisnya. “Kalau anak setan itu tak dapat dibinasakan cepat-cepat dan Sin Hong keburu datang, kita bisa menghadapi lawan yang sangat berat. Mari kita gempur dulu bocah murtad itu, baru kita himpun tenaga untuk menghadapi Wan Sin Hong yang kabarnya datang bersama tokoh-tokoh kang-ouw.”

Cepat Kong Ji mengajak Cun Gi Tosu dan Cui Kong ke tempat di mana Tiang Bu tadi dikeroyok oleh barisan Lam-thian-chit-ong. Mereka melakukan perjalanan cepat sekali karena khawatir kalau-kalau Lam-thian-chit -ong tidak kuat menanggulangi amukan Tiang Bu yang mereka semua sudah kenal kelihaiannya. Ke khawatiran mereka memang tidak berlebihan. Tiang Bu yan g menghadapi tujuh orang berpakaian aneh itu berlaku teneng sekali bahkan sekali lirik ke arah kedudukan mereka saja, tahulah pemuda ini bahwa barisan Chit-seng-tin (Barisan Tujuh Bintang, mereka itu mudah saja pemecahannya.

Namun, ia maklum pula bahwa siapa yang belum pernah mempelajari kitab-kitab seperti Sen-thian-to dan Thian-te Si-keng, memang akan mengorbankan waktu berpuluh tahun untuk menciptakan barisan seperti yang sekarang diatur oleh tujuh orang berpakaian aneh ini. Maka ia menghela napas panjang. Orang orang ini sudah bersusah payah men ciptakan barisan, yang dalam kalangan kang-ouw tentu me rupakan barisan istimewa yang sukar dilawa. Sebetulnya sayang juga kalau usahanya sedemikian sukar dan lamanya kini dilenyapkan begitu saja.

Chit-wi loenghiong (tujuh orang tua gagah), sesungguhnya di antara aku dan chit-wi tidak ada perhitungan apa-apa yang patut diperhitungkan dengan pertempuran, tidak pernah ada permusuhan. Melihat barisan chit-wi ini, berpusat pada Li-se ng (Bintang Wanita) dan Nam-seng (Bintang Pria) dan bersumber pada pertukaran tertentu dari pada Im Yang. Cambuk di tangan kanan cu-wi (saudara sekalian) itu mewakili Im-kang (tenaga lemas) dan pisau pendek itu mewakili Yang-kang (tenaga kasar).

Ditilik demikian, barisan cu-wi ini di ciptakan oleh seorang yang sudah tahu akan hukum alam, tahu pula akan pekerjaan Im Yang. Tidak amat sayangkah kulau sekarang dipergunakan untuk membantu manusia jahat se perti Liok Kong Ji dan untuk mengeroyok orang yang sama sekali tidak ada hubungan atau permusuhan dengan cu-wi? Ingat, lebih baik pikir masak-masak sebelum bertindak dari pada menyesal setelah terl ambat!”

Dua orang di antara mereka, yang berpakaian putih dan hitam melengak dan saling pandang. Mereka kagum dan heran bukan kepalang mendengar ucapan pemuda ini yang sekali lirik saja sudah dapat mengenal inti dari pada Chit seng-tin mereka! Akan tetapi lima orang yang lain lebih merasa marah dari pada kagum. Mereka marah dan mendongkol sekali, apa lagi yang berpakaian merah. Dengan keras ia membentak sambil menudingkan pisaunya,

"Bocah sombong! Kami tidak minta petuah darimu. Kalau kau takut menghadapi Chit-seng-tin kami, lebih baik terus terang saja dan lekas kau minggat dari sini, tak usah banyak mengoceh seperti burung mau mati.”

Dalam hal me ngendalikan perasaan, tentu saja Tiang Bu menang jauh. Pemuda ini setelah memperdalam kepandaiannya dari kitab Seng thian-to, memoperoleh kemajuan hebat sekali lahir batinnya. Ia tersenyum saja mendengar bentakan si baju merah dan kembali menarik napas panjang.

“Memang tepat sekalt kalian mengatur pembagian warna. Warna merah itu bersifat penuh semangat, panas dan menjadi sifat dari pada api. Dan orang yang memakai warna ini memang cocok, telinganya mudah merah, otak mudah sinting.”

Si baju merah menjadi makin marah. Dia memang merupakan pimpinan barisan itu, maka segera ia memberi tanda kepada kawan-kawannya dengan gerakan cambuknya ke atas sambil memaki, "Setan cilik, kau sudah bosan hidup!”

Melihat isyarat yang diberikan oleh saudara tua itu, semua anggauta Chit-seng-tin bersiap siaga dengan senjata mereka dan mulai mengurung Tiang Bu. Akan tetapi si baju putih dan si baju hitam nampak ragu-ragu. Si baju putih berkata,

"Ang-ko (kakak merah), bocah ini tahu akan sifat tin kita, jangan jangan kita memukul orang segolongan!"

“Betul, Ang-ko, dia begitu tepat bicara tentang keadaan tin kita. Apakah tidak lebih baik berunding saja?” kata si hitam.

"Tutup mulut, dia musuh Liok-taihiap. Kewajiban kita untuk membasminya. Serbuuu!" kata si baju merah.

Tin itu mulai bergerak dan menurut isyarat si baju merah, tin itu membentuk gerakan Tujuh Bintang Berpindah Tempat. Barisan ini bergerak cepat dan melenggang-lenggok seperti naga berjalan, sukar sekali diduga lebih dulu ke mana seorang-seorang hendak bergerak. Tahu-tahu cambuk panjang mereka berbunyi dan susul menyusul menyambar ke arah kepala Tiang Bu!

Ini masih ditanjutkan dengan sambitan pisau yang dipergunakan sebagai senjata rahasia. Tujuh batang pisau kecil runcing melayang ke arah tuhuh pemuda yang masih tenang-tenang itu sebagai penyerangan susulan dari tujuh ujung cambuk yang menyambar dari segala jurusan mengarah jalan darah.

Tiang Bu dalam menghadapi serangan hebat ini, masih dapat membedakan dan dapat melihat bahwa ujung cambuk kedua orang berpakaian putih dan hitam itu hanya meyambar ke arah jalan darah di pundaknya, bagian yang tidak berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Juga pisau-pisau me reka itu hanya melayang ke arah kedua pahanya, tidak seperti lima orang yang lain. Lima orang lawan yang lain ini mengirim senjata-senjata mereka, baik cambuk maupun pisau, ke arah bagian yang me matikan.

Menghadapi serangan berantai yang berbahaya ini, Tiang Bu berlaku tenang sekali akan tetapi tubuhnya segera bergerak dan empat kaki tangannya bekerja dengan tepat sekali. Tujuh orang lawannya menjadi terheran heran karena sebelum cambuk mereka mengenai tubuh pemuda itu, sudah lebih dulu tertolak kembali oleh semacam hawa pukulan sakti yang keluar dari kaki tangan itu. Sedangkan tujuh batang pisau itupun runtuh semua di atas tan ah tanpa melukai kulit atau merobe k baju. Sambil terus menggerak-gerakkan kaki tangannya, Tiang Bu berkata seperti orang bernyanyi.

"Bintang-bintang di langit sudah mempunyai jalan sendiri maka dapat bergerak menurut jalannya dan terhindar dari kehancuran. Hanya bintang yang menyeleweng dari jalannya akan hancur. Masih ada kesempatan bagi kalian, mati hidup ditentukan oleh Thian akan tetapi sebab-sebabnya ditentukan oleh manusia sendiri sebagai akibat perbuatannya!”

Setelah berkata demikian, iapun sudah selesai menangkis semua pakulan cambuk dan Tiang Bu malangkah mundur tiga tindak, berdiri tegak dan memandang ke arah musuh-musuhnya dengan mata tajam. Tidak terdesak, tapi mundur tiga tindak itu hanya boleh diartikan sebagai gerak mengalah dalam pertandingan silat, mengalah bukan karena terdesak atau kalah, melainkan karena pemuda ini enggan menurunkan tangan kepada orang orang yang tidak ada permusuhan dengannya.

Kalau si baju merah dengan kawan-kawannya itu orang baik-baik, tentu mereka tahu diri! Melihat betapa pisau pisau mereka tadi runtuh dan cambuk mereka terpental kembali sebelum menyentuh kulit tubuh Tiang Bu, seharusnya mereka maklum bahwa tingkat mereka masih jauh di bawah tingkat pemuda luar biasa ini. Akan tetapi Lam thian chit-ong ini semenjak dahulu terkenal sebagai perampok-perampok jahat yang tidak tahu artinya takut, tidak mau pula mengenal kesalahan sendiri, maunya menang saja, benar ataupun salah.

Mendengar ucapan Tiang Bu itu si baju merah tidak mau insyaf, malah mengira bahwa Tiang Bu merasa jerih mengh adapi pengeroyokan tin mereka. Ia ke mbali memberi isyarat dan majulah barisan itu, kini berbentuk lingkaran yang mengurung Tiang Bu. Hanya si baju hitam dan si baju putih yang masih ragu-ragu. Mereka bergerak lambat dan tidak segera menyerang. Yang lain-lain sudah mulai mengayun cambuk dan mengerahkan seluruh tenaga lweekang untuk melakukan serangan. Tidak seperti tadi, kini semua cambuk diarahkan ke bagian kepala Tiang Bu dengan pukulan maut! Hanya si baju hitam dan si baju putih yang tidak mau menyerang kepala hanya menyabet ke arah pundak.

"Kalian sudah memilih jalan hidup dan mati, jangan salahkan aku!" bentak Tiang Bu tanpa menggerakkan kaki atau tangannya. Akan tetapi setiap kali ada cambuk menghantam kepalanya, tangannya bergerak cepat sekali dan aneh sekali. Cambuk yang menyambarnya itu bagaikan bisa bergerak sendiri, ujungnya membalik secepat kilat dan menyerang si pemegang tepat nada bagian yang tadi hendak dtserangnya. Si baju merah yang gerakan cambuknya paling cepat dan paling dulu, menjadi korban pertama.

Cambuk si baju merah tadi menyambar ke arah ubun-uban kepala Tiang Bu dan ketika ujung cambuk bertemu dengan jari tangan pemuda itu, secepat kilat cambuk ini membatik dan ujungnya menghantam ubun-ubun kepala si baju merah sendiri dengan tenaga yang jauh lebih hebat dari pada tadi. Hal ini karena tenaga si baju merah membalik, ditambah oleh tenaga sentilan jari tangan Tiang Bu. Tanpa dapat mengeluarkan suara lagi, si baju merah terguling roboh dengan ubun-ubun kepala pecah oleh cambuknya sendiri dan ia menggeletak tak bernyawa lagi.

Oleh karena gerakan tujuh orang ini hampir berbareng, yang lain-lain tak sempat melihat akibat yang hebat ini karena mereka sendiripun secara susul menyusul dan hampir berbareng mengalami akibat itu dari cara pukulan masing-mas ing. Si baju hijau juga roboh dengan ubun-ubun bolong, si baju biru roboh dengan jidat remuk demikian pula yang lain lain, roboh tak bernyawa pula. Hanya si baju hitam dan si baju putih yang roboh tanpa kehilangan nyawa karena mereka ini hanya terserang oleh cambuk sendiri dibagian pundak saja, membuut tulang pundak mereka remuk namun tidak sampai mengakibatkan kematian.

Tiang Bu menarik napas panjang melihat lima orang lawannya tewas dan dua yang lain merintih-rintih kesakitan. “Kalian masih ditakdirkan hidup. Kalau tadinya kalian berdua merupakan Hek-pek-mo (Iblis Hitam dan Putih), kuharap sungguh agar kelak kalian bisa menjadi Hek-pek-cinjin (Budiman Hitam Putih). Pergilah sebelum kalian mengalami bencana lebih besar.”

Tiang Bu memberi dua bungkus obat kepada mereka dan dua orang saudara hitam dan putih ini segera pergi dengan muka pucat. Mereka maklum bahwa kalau Liok Kong Ji melihat mereka masih hidup, tentu akan timbul kecurigaan dan bukan hal aneh kalau mereka juga akan dibunuh sekalian oleh Liok Kong Ji.

Demikianlah, ketika Liok Kong Ji, Cun Gi Tosu, dan Liok Cui Kong tiba di tempat mereka hanya melihat lima orang anggaota chit-ong yang sudah menjadi mayat. Dua orang lagi yang berpakaian hitam dan putih tidak kelihatan, juga Tiang Bu tidak berada di situ.

"Hemm, agaknya mereka ini bukan lawan Tiang Bu," kata Liok Kong Ji, suaranya terdengar tenang akan tetapi sebetulnya jantungnya sudah berdebar tidak karuan. Cui Kong menjadi pucat sekali.

"Ke mana Hok-pek-hu (paman Hitam) dan Pek-pet-hu (paman Putih)?" tanyanya dan suaranya jelas menggigil ke takutan.

"Penakut!" Kong Ji membentak sambil meludah. Hatinya mendongkol sekali mendengar suara Cui Kong yang menggigil, "Mereka tentu sudah lari. Mengapa kau begitu ketakutan?"

"Ayah... Tiang Bu begitu... begitu keji dan kuat...”

"Pengecut! Kau kira aku tidak dapat melawannya? Lihat saja nanti aku akan mencabut isi perut anak durhaka ini!”

Memang Liok Kong Ji tidak hanya menyombong dan bicara untuk membesarkan hati. Semenjak tinggal di pulau ini, ia telah melatih diri dengan tekun sekali. Apa lagi ia telah mempelajari ilmu dari kitab DELAPAN JALAN UTAMA yang didapatkannya dari Toat-beng Kui-bo. Dari kitab ini ia memperoleh kemajuan ilmu lwee-kang yang luar biasa, juga ilmu pedangnya menjadi makin kuat, maka ia menaruh kepercayaan bahwa ini kali ia akan dapat mengalahkan musuh-musuhnya, baik Wan Sin Hong maupun Tiang Bu.

"Cun Gi totiang kedatangan Wan Sin Hong tentu untuk minta kembali puterinya. Kalau mereka bergabung dengan Tiang Bu, keadaan musuh akan menjadi lebih kuat. Oleh karena Leng ji merupakan senjata terakhir kita, dia itu penting sekali dan jangan sampai terampas oleh musuh. Harap totiang segera mengambil anak itu lebih dulu sebelum kita menghadapi musuh. Kalau keadaan musuh terlampau kuat, mungkin bocah itu akan dapat menyelamatkan kita."

Cun GI Tosu juga percaya akan kepandaian sendiri. Dia tidak takut berhadapan dengan musuh, akan tetapi ia pikir ucapan Liok Kong Ji ini memang tepat, mengandung kecerdikan luar biasa. Maka ia mengangguk dan berkelebat pergi. Mengagumkan sekali kalau me lihat kakek yang kakinya tinggal sebelah itu “berlari" secepat itu, seperti orang yang tidak cacad saja, bahkan melebihi ahli ginkang yang kakinya masih utuh.

Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong juga pergi dari situ untuk mengatur penjagaan dengan mengerahkan semua penjaga yang berada di pulau itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kekagetan dan kegelisahan hati mereka ketika melihat di sana-sini para penjaga menggeletak dalam keadaan tertotok atau terluka.

“Kita harus membantu Cun Gi totiang,” kata Liok Kong Ji sambil mencabut pedang. "Jangan sampai dia roboh oleh musuh, apa lagi jangan sampai Leng-ji dirampas. Dengan berkumpul kita bertiga cukup kuat!"

Ayah dan anak ini dengan hati dag-dig-dug berlari-larian cepat menyusul ke tempat tinggal Cun Gi Tosu karena Leng Leng memang disembunyikan di situ, dikawani beberapa orang pengasuh. Ketika mereka tiba di depan pondok tempat tinggal Cun Gi Tosu, betul saja tosu itu sedang mati-matian bertempur melawan Tiang Bu! Cun Gi Tosu mainkan tongkatnya secara hebat dan dahsyat, dan Tiang Bu menghadapinya, dengan tangan kosong.

Bagaimana Tiang Bu bisa muncul di situ dan bertempur dengan Cun Gi Tosu? Tadinya Cun Gi Tosu berlari cepat menuju ke pondoknya untuk mengambil Leng Leng, dan di dalam hatinya ia sudah mempunyai muslihat licik. Ia adalah guru Leng Leng dan melihat Leng Leng dalam keadaan selamat, tentu Wan Sin H ong takkan terlalu mendesaknya. Kalau ia menukarkan Leng Leng dengan keselamatannya, masa Wan Sin Hong takkan mau menerimanya?

Akan tetapi ketika ia sedang berjalan cepat sampai di depan pondoknya, dari balik rumpun bambu berkelebat bayangan lain yang segera menegurnya, "Cun Gi totiang perlahan dulu!”

Cun Gi Tosu berhenti dan memandang. Di depannya berdiri seorang pemuda dengan sepasang mata seperti bintang pagi, bibir tebal membentuk watak teguh dan iman kuat. "Siapa kau? Mau apa?” Cun Gi Tosu membentak.

"Cun Gi totiang. Selama hidupku, baru untuk kedua kali ini aku bertemu dengan totiang yang bercacad, sebetulnya patut dikasihani. Sayangnya, perbuatan totiang yang tidak patut mendatangkan kebencian yang lebih besar dari pada rasa kasihan kepada tubuh totiang."

"Eh, bocah lancang. Kau siapakah dan apa artinya semua ocehanmu tadi?" Cun Gi Tosu membentak marah, namun hatinya sudah dapat menduga siapa adanya bocah yang begitu berani mampus, datang-datang mencelanya.

"Aku yang muda dan bodoh bernama Tiang Bu, dahulu ketika masih kecil pernah melihat totiang ikut menyerbu Omei-san dan mencuri kitab-kitab dari suhu."

"Ho ho, jadinya kau ini murid Omei-san? Dan kau datang hendak minta kembali kitab kitab Omei-san?" kali tosu itu membesarkan hatinya.

"Bukan itu saja, totiang. Selain minta kitab juga aku tidak dapat membiarkan kejahatanmu yang lain-lain. Kau sudah membantu manusia-manusia jahat macam Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong. Juga kau sudah menculik anak dari Wan-taihiap..."

“Bocah keparat, jadi kau anak durhaka dari Liok-taihiap? Alangkah memalukan punya anak macam kau. Rasakan tongkatku!”

Dengan marah Cun Gi Tosu mengayun tongkatnya melakukan serangan kilat dengan tongkatnya ke arah kepala Tiang Bu. Memang tadinya tosu ini sudah sering mendengar dari Liok Kong Ji dan Cui Kong tentang kelihaian Tiang Bu, akan tetapi sekarang melihat bahwa Tiang Bu hanya pemuda yang tidak lebih usianya dari pada Cui Kong muridnya, ia memandang ringan. Apa lagi ia melihat pemuda ini bertangan kosong dan tongkatnya mendapat julukan Lo-thian-tung (Tongkat Pengacau Langit), maka serangannya ini hebat bukan main...

Tangan Gledek Jilid 47

Tangan Gledek Jilid 47

TIANG BU marah sekali. Ia melihat bayangan-bayangan tak jelas bergerak di dalam air. Dengan tenaga luar biasa pemuda ini meluncurkan dayungnya ke dalam air menghantam bayangan itu, di antara para penyelam itu terkena pukulan dayung yang disambitkan, kepalanya pecah dan tak lama kemudian mayatnya terapung di permukaan laut, sebentar tenggelam dipermainkan ombak bersama dengan mayat-mayat kawannya yang sudah tewas ketika Tiang Bu melompat-lompat dari perahu ke perahu tadi.

Perahu tetakhir makin miring dan akhirnya tak dapat ditahan lagi perahu itu tenggelam! Tiang Bu mengerahkan tenaga. menjejak perahu yang hampir lenyap dari permukaan air itu dan melompat ke arah darat. Akan tetapi hanya dapat mencapai jarak sepuluh tombak lagi dari daratan tubuhnya jatuh ke dalam air.

“Byuuurr...!” Air memercik tinggi dan tubuh Tiang Bu tidak kelihatan lagi. Hanya kelihatan para anak buah bajak dengan tombak di tangan kanan dan kaitan di langan kiri cepat berenang ke arah tempat pemuda itu tenggelam!

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Untungnya Bi Li tidak melihat keadaan kekasihnya itu. Kalau ia menyaksikan betapa kekasihnya terjun ke dalam laut dan dikejar oleh ahli-ahli penyelam yang bermaksud membunuhnya, dapat dibayangkan betapa akan hancur dan bingungnya hati Bi Li.

Pada saat Tiang Bu terancam nyawanya Bi Li masih berlutut di pinggir laut. Sudah lama titik hitam perahu Tiang Bu lenyap dari pandangan matanya dan gadis ini masih tetap berlutut, hatinya penuh doa untuk keselamatan Tiang Bu, orang satu-satunya yang ia miliki di dunia ini.

"Bi Li, kau sedang apa di sini?" terdengar pertanyaan halus yang membuat Bi Li terkejut. Seakan-akan gadis ini ditarik turun dari angkasa lamunannya. Ia melompat berdiri dan me mbalikkan tubuh. Ternyata gurunya Ang jiu Mo-li telah berada di de pannya!

"Bi Li, kau sudah sampai di sini mengapa berlutut dan seorang diri? Mana Tiang Bu?” tanya pula Ang-jiu Mo-li sambil menoleh ke sana ke mari, seakan-akan mengharapkan akan melihat Tiang Bu berada di sekitar tempat itu.

"Dia sudah berangkat ke Pek-houw to, meninggalkan teecu seorang diri di sini..."

"Lho, mengapa begitu? Mengapa kau tidak ikut serta?"

"Teecu disuruh menanti di sini karena katanya... amat berbahaya kalau teecu menyerbu. Musuh amat lihai dan dia hendak turun tangan sendiri agar lebih leluasa. Dia... dia melakukan ini untuk menjaga agar teecu tidak terancam bahaya." Bi Li membela dan melindungi kekasihnya agar tidak dipersalahkan oleh Ang-jiu Mo-li.

"Hemm, dasar anak muda. Bodoh sekali! Mati hidup siapakah yang kuasa mengatur kecuali Thian? Mengapa takut mati kalau sudah berani hidup? Bi Li, calon jodohmu itu keliru dalam hal ini. Dia hendak menjauhkan kau dari bahaya, akan tetapi sebaliknya dia membuat kau berada dalam kegelisahan dan penderitaan batin. Bukankah kau menderita se kali ditinggalkan tidak tahu bagaimana dengan nasibnya, bukan?”

Bi Li menundukkan mukanya. "Memang betul...”

“Dan kau akan suka sekali, rela mati bersama kalau kau berada di sampingnya, ikut membantunya dalam penyerbuan ke Pek-houw-to, bukan?"

Kimbali Bi Li mengangguk akan tetapi tidak ada kata-kata keluar dari mulutnya untuk membela Tiang Bu. "Baik kita susul dia. Kau ikutlah dengan aku."

“Akan tetapi... dia sudah pesan supaya teecu menanti di sini...”

Ang-jiu Mo-li membelalakkan matanya yang masih bagus. "Hemm... belum jadi isterinya kau sudah begitu setia dan taat, lebih taat dari pada kepada gurumu...?”

Bi Li merasa jengah dan malu, hendak berlutut meminta maaf, akan tetapi tidak jadi ia lakukan ketika mendengar kata-kata Ang-jiu Mo-li. " Bagus begitu, muridku! seorang wanita harus setia dan taat kepada suaminya dalam hal yang sewajarnya. Memang Tiang Bu melarangmu ikut adalah demi menjaga keselamatanmu, dan memang ia akan dapat bergerak lebih leluasa tanpa kau disampingnya yang hanya akan merupakan gangguan.

Kepandaianmu masih jauh kalau harus berhadapan dangan musuh-musuh itu. Akan tetapi sekarang ada aku di sampingmu, aku dapat menjagamu baik-baik. Bahkan kita berdua akan dapat membantu Tiang Bu, kalau-kalau ia kewalahan menghadapi lawan-lawannya yang memang berat."

Bi Li lalu menceritakan tentang tantangan yang ditulis oleh Liok Kong Ji dan tentang perahu yang dikirim untuk menjemput Tiang Bu. Ang-jiu Mo-li mengerutkan kening, "Tiang Bu gegabah sekali. Kalau musuh sudah mengetahui kedatangannya, itu berarti musuh sudah bersiap sedia menyambut dengan segala macam daya. Liok Kong Ji terkenal jahat dan keji, penuh tipu daya dan muslihat busuk. Lebih baik menyerbu ke Pek-houw-to dengan diam-diam. Akan tetapi ini dapat dimen gerti. Tiang Bu seorang pemuda, tentu saja ia tidak tahan menghadapi tantangan. Mari kita mencari perahu dan segera menyusul."

Bi Li tidak membantah lagi, bahkan diam-diam ia gembira sekali. Memang sesungguhnya, bagi Bi Li lebih baik ia ikut dan selalu berada di samping kekasihnya. Lebih baik mati bersama dari pada hidup terpisah. Setelah pergi mencari agak jauh dari situ, akhirnya Ang jiu Mo-li dapat bertemu dengan seorang nelayan miskin yang suka menyewakan perahu bututnya. Memang semenjak gerombolan Liok Kong Ji mendiami Pek houw-to, keadaan di situ sunyi sekali.

Para nelayan sama pergi pindah dari situ, kecuali nelayan nelayan miskin yang hanya mempunyai perahu butut. Perahu-perahu butut dan nelayan-nelayan miskin tentu saja tidak ada harganya bagi anak buah Liok Kong Ji dan karenanya malah tidak akan diganggu. Tak lama kemudian, Ang-jiu Mo-li dan Bi Li duduk di dalam perahu butut itu yang mereka dayung perlahan menuju ke tengah samudera. Ang-jiu Mo li sudah mencari keterangan sejelasnya tentang letak pulau ini dan sengaja memutar perahunya dan mendatangi pulau itu dari timur.

"Karena mereka sudah tahu akan kedatangan Taang Bu dari pantai, tentu penjagaqn mere ka dikerahkan di pantai pulau sebelah utara. Lebih baik kita ambil jalan dari pantai timur dan masuk dari pintu belakang,” kata Ang-jiu Mo li yang bersikap hati-hati sekali, tidak seperti biasanya. Ini adalah karena Ang-jiu Mo-li maklum akan kelihayaian lawan-lawannya yang berada di Palau Pek houw-to, sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan lawan-lawan yang pernah dia jumpai dan pernah ia tandingi.

Mari kita mengikuti pengalaman Tiang Bu yang sedang menuju ke Palau Pek-houw-to untuk melakukan perhitungan dengan musuh-musuh besarnya. Seperti telah diceritakan bagian depan, perahu yang ditumpangi oleh Tiang Bu dihadang oleh bajak-bajak anak buah Liok Kong Ji dan dikurung. Setelah melakukan pertempuran hebat di atas perahu, akhirnya bajak-bajak itu menenggelamkan semua perahu sehingga terpaksa Tiang Bu melompat ke darat.

Namun, betapapun tinggi kepandaian pemuda ini, lompatannya tidak men capai darat yang masih amat jauhnya sehingga ia tercebur ke dalam air. Tubuhnya tenggelam dan para anak buah bajak itu dengan tombak di tangan cepat berenang ke arah tempat pemuda itu tenggelam. Para bajak itu berteriak-teriak girang, tombak di tangan kiri siap untuk merobek-robek tubuh pemuda itu untuk mencari pahala.

Memang baik sekali tadi Tiang Bu tidak mengajak Bi Li. Andaikata kekasihnya itu ikut dan sekarang bersama dia tercebur ke dalam air, tentu payah keadaan mereka. Kini Tiang Bu yang merasa tubuhnya tenggelam, ia cspat mengenjot kakinya ke bawah. Bagaikan didorong oleh tenaga raksasa tubuhnya mumbul lagi ke permukaan air. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tiang Bu untuk menyedot hawa udata. Kemudian ia membiarkan kedua kakinya lurus sehingga tubuhnya tenggelam lagi ke bawah. Para bajak melihat ini mengira bahwa Tiang Bu memang tak berdaya di air, makin bernafsulah mereka, berenang menghampiri.

Memang sesungguhnya Tiang Bu tidak pandai berenang. Akan tetapi ia memiliki lweekang yang sudah mencapai tingkat yang sukar diukur lagi tingginya. Dengan mengisi paru-paru dengan hawa udara, ia sanggup bertahan tidak bernapas sampai lama sekali. Ia seorang cerdik yang tabah. Ia tahu bahwa kalau ia menjadi gugup, ia akan tewas oleh bajak-bajak itu dan pandai bermain di air.

Oleh karena itu ia bersikap tenang, mengisi dada penuh hawa lalu membiarkan tubuhnya tenggelam. Setelah kedua kakinya mencapai dasar laut yang sudah tak begitu dalam lagi karena dekat pantai, Tiang Bu lalu menggerakkan kedua kakinya berjalan menuju ke daratan! Sepasang matanya yang terlatih baik itu dapat melihat ke depan, ia berjalan terus dengan tenang dan, siap menanti serangan lawan.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya para bajak itu. Ketika mereka ini mengejar dan menyelam ke bawah, mereka melihat orang yang dikejarnya itu "berjalan-jalan" di atas dasar laut seperti orang berjalan jalan makan angin di taman bunga saja! Untuk sejenak mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Akan tetapi yakin akan kepandaian sendiri bermain di dalam air para anak buah bajak itu beramai lalu menyerbu, menyerang Tiang Bu dengan tombak dan kaitan mereka. Mereka pikir bahwa di dalam air tidak mungkin pemuda itu masih selihai di darat.

Akan tetapi perhitungan mereka jauh meleset. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa kalau ia disuruh berenang atau menyelam bermain seperti ikan di dalam air, Tiang Bu akan angkat tangan tidak sanggup. Akan tetapi sekarang soalnya lain lagi. Pemuda itu bukan berenang atau menyelam, melainkan tenggelam begitu saja dan berdiri di atas dasar air laut yang sudah berada di tepi, agak dangkal dan tidak besar ombaknya. Berkat khikang dan lweekangnya yang sudah sempurna, Tiang Bu dapat menahan napas dan dapat memberatkan tubuh sehingga dapat bergerak lebih leluasa dari pada penyelam atau ahli berenang yang manapun juga!

Melihat datangnya serangan tombak dan kaitan, Tiang Bu tidak gentar sama sekali. Dengan kedua tangannya ia menyambar, menangkapi ujung tombak dan sekali hentak saja orang-orang itu sudah terdorong jauh sekali. Sedangkan di darat saja mereka itu bukan apa-apa bagi Tiang Bu, apa lagi di dalam air. Tubuh dan berat badan mereka itu tidak seberapa, tentu saja dengan mudah mereka dapt dibikin kocar-kacir. Bahkan ada yang terkena pukulan dan turukan tombak sendiri, membuat mereka terapung ke permukaan air dalam keadaan terluka berat.

Para bajak Itu menjadi gentar dan tidak berani lagi menyerang, membiarkan pemuda “berjalan.jalan ” menuju ke pantai. Air makin lama makin dangkal sampai akhirnya Tiang Bu tiba di pinggir daratan yang dalamnya hanya sampai ke leher. Dengan girang ia melihat daratan di depan mata, dapat ia mengambil pernapasan. Hatinya lega. Setelah tiba di darat, ia tak usah khawatir lagi akan keroyokan musuh. Tadipun ia masih untung karena yang mengerojoknya di dalam air hanya bajak bajak dengan kepandaian biasa saja. Kalau ia bertemu dengan orang pandai di dalam air, tentu ia tak dapat melakukan perlawanan sebagai mana mestinya.

Akan tetapi, begitu ia melompat ke darat ia telah dihadang oleh seorang pesuruh Liok Kong Ji yang memegangi sebuah perahu. Pesuruh itu menjura di depan Tiang Bu lalu berkata,

"Hamba diutus oleh Liok-taihiap untuk mengganti perahu kongcu yang sudah tenggelam. Kalau kongcu hendak bertemu dengan Liok taihiap, kongcu dinanti di ujung pulau ini. Karena perjalanan melalui darat amat sukar dan khawatir kongcu, sesat jalan, maka perahu ini sengaja disediakan untuk kongcu. Dengan mendayung perahu ini sepanjang pantai terus ke sana, dalam waktu satu jam kongcu akan tiba di tempat Liok tai hiap. Demikianlah pesan taihiap, kecuali kalau kongcu sudah kapok dan takut naik perahu, kongcu persilahkan mengambil jalan darat yang lebih jauh dan sukar.”

Tiang Bu mendongkol sekali. Ia tak beleh percaya omongan seorang utusan Liok Kong Ji, akan tetapi embel-embel dalam ucapan tadi yang menyatakan bahwa kalau ia takut naik perahu ia dipersilahkan melalui darat, memanaskan perutnya. Mengapa ia harus takut?

Ia tersenyum mengejek. "Siapa sih yang takut menghadapi segala bajak tiada guna? Kalau menantangku naik ke perahu, baik. Aku akan naik perahu ini.”

Setelah berkata demikian, Tiang Bu melompat ke dalam perahu itu dan mendayung agak ke tengah. Perahu itu mungil dan enak dayungannya, maka Tiang Bu tidak mengkhawatirkan sesuatu. Dengan hati-hati akan tetapi cepat ia mendayung perahu itu. Pantai pulau selalu berada di sebelah kirinya dan ia menuju ke ujung pulau yang tadi ditunjukan oleh pesuruh yang membawa perahu.

Pantai yang tadinya berpasir berganti pantai yang terhias tetumbuhan, pohon-pohon dan batu karang. Batu-batu karang dan pohon-pohon besar berdiri di tepi pantai, tempat ini amat baiknya untuk orang bersembunyi memasang barisan pendam. Tiang Bu melirik dan ia berlaku makin hati-hati. Ia maklum sekali bahwa kalau fihak musuh hendak membokongnya, tempat inilah kiranya yang paling baik dan tepat. Ia sengaja mendekatkan perahu agak ke pinggir untuk menjaga agar ia mudah mendarat kalau sampai terjadi apa-apa.

Tiang Bu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi, sepasang mata yang tajam bersinar aneh mengintainya dengan penuh kebencian. Inilah mata Liok Cui Kong yang sejak tadi sudah mengamat-amati gerak-gerik musuh besarnya. Akan tetapi hatinya terlalu pengecut untuk muncul begitu saja, maklum bahwa terhadap Tiang Bu ia tidak berdaya sedikitpun juga. Di belakangnya juga sembunyi banyak kawannya, di antaran ya Lam-thian-chit-ong akan tetapi mereka inipun tidak mau bergerak sebelum menerima tugas.

Ketika Cui Kong sedang memutar otak bagaimana harus menyerang musuhnya itu, tiba-tiba ia melihat Tiang Bu mendekatkan perahunya ke pantai. Girang sekali hati Cui Kong ia mendapat jalan untuk menyerang lawannya. Dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, pemuda jahat ini mengangkat sebuah batu karang besar sekali dan beratnya ada lima ratus kati lebih. Ia memasang kuda- kuda, menggerakkan tangan dan tubuh dan... sekali lontar batu itu melayang jauh menuju ke depan perahu yang ditumpangi Tiang Bu!

Memang Cui Kong pintar sekali. Ia tahu bahwa perahu itu bergerak ke depan dan Tiang Bu memiliki tenaga yang luar biasa, sehingga kalau ia melontarkan batu ke arah perahu, tipis sekali kemungkinan akan mengenai perahu dengan tepat. Oleh karena itu ia sengaja membidik ke depan perahu dan memang perhitungannya tepat sekali. Batu itu besar dan berat, dilontarkan dengan tenaga lweekang yang sudah terlatih, maka luncurannya tidak kalah lajunya dengan sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya!

Kalau diserang seperti ini di darat, tentu Tiang Bu akan memandang ringan saja, akan tetapi sekarang ia berada di atas perahu yang sedang meluncur di atas air! Namun, karena dia memang sudah siap dan waspada, ia tidak sampai kena bokong, tidak menjadi gugup. Melihat datangnya batu besar itu hendak menimpanya, Tiang Bu mendahului dengan gerakan melompat yang indah dan cepat sekali, bahkan kecepatannya melebihi kecepatan batu.

Memang hampir tak dapat di percaya oleh Cui Kong ketika pemuda ini melihat betapa Tiang Bn melesat ke atas sebelum batu itu menimpa perahu dan Tiang Bu malah menginjakkan kaki ke atas batu itu dan dipergunakan sebagai batu loncatan ke daratan! Hampir bersamaan waktunya, ketika batu besar itu menimpa perahu sampai hancur lebur, Tiang Bu juga sudah tiba di darat dengan selamat!

"Hebat...!” para anggauta Lam-thian-chit-ong berseru memuji, lupa bahwa yang mereka puji adalah musuh. Memang, kepandaian yang sudah diperlihatkan oleh Tiang Bu tadi benar-benar hebat dan mengagumkan.

Sementara itu, melihat Cui Kong, sudah gatal-gatal tangan Tiang Bu hendak menyerang. “Cui Kong, manusia iblis! Sekarang kita sudah berhadapan satu dengan yang lain, kalau kau benar jantan jungan main curang, mari kita mengadu tenaga sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa. Ucapan ini dikelurkan oleh Tiang Bu dengan sikap tenang, akan tetapi mengandung tantangan dan ancaman yang membuat nyali Cui Kong mengecil. Biarpun begitu, Cui Kong yang cerdik dan penuh akal bulus ini segera me nyambut tantangan Tiang Bu dengan ketawa mengejek,

"Ha-ha ha, Tiang Bu manusia sombong. Kau datang hanya untuk mengantar kematianmu di sini. Kaulihat tujuh orang gagah ini? Mereka adalah paman-pamanku, Lam-thian-chit-ong yang terkenal dengan Chit-seng-tin mereka! Apa kau berani menerjang barisan mereka? Ha.ha-ha, Tiang Bu. Kau takkan dapat keluar dari kurungan Chit-seng-tin dengan tubuh bernyawa!”

Memang Cui Kong patut menjadi putera angkat Liok Kong Ji. Pemuda ini memi liki siasat yang lihai dan otaknya dapat dengan cepat mengatur tipu daya. Kegagalannya menyerang Tiang Bu dengan batu tadi membuat ia makin insyaf bahwa menghadapi Tiang Bu bukanlah pekerjaan ringan. Maka ia cepat mengajukan Lam thian-chit-ong untuk dapat menahan musuh itu untuk sementara sedan Ian dia dapat mendatangkan bala bantuan.

Oleh karena memang ia tadi mengajukan Lam-thian-chit-ong hanya untuk dapat melepaskan diri dari ancaman Tiang Bu, begitu melihat tujuh orang pembantu ayahnya itu bergerak membentuk barisan dan menghampiri Tiang Bu, Cui Kong diam diam menyelinap pergi untuk memberi laporan kepada ayah dan gurunya. Akan tetapi ia mendapatkan ayahnya dan gurunya juga sedang dalam keadaan panik. Semua tenaga di atas pulau dikerahkan untuk melakukan penjagaan dan Liok Kong Ji berdua Lo thian-tung Cun Ga Tosu sudah dalam keadaan bersiaga dengan sejata di tangan, wajah mereka tegang!

Setelah Cui Kong menyelidiki, baru dia tahu bahwa ada penjaga melapor akan datangnya serbuan Wan Sin Hong dan kawan-kawannya ke pulau itu mereka masih dalam perjalanan akan tetapi tak lama lagi, mun gkin pada hari itu atau besok hari, akan tiba di pulau ini. Cui Kong mengeluh.

"Celaka benar, mengapa mereka bisa datang dalam waktu yang sama? Ayah, sekarang Tiang Bu juga sudah mendarat, untuk sementara dilayani oleh Lam-thian-chit-ong. Aku cepat pulang untuk melapor bahwa usahaku membikin dia mampus dalam perahu sia-sia belaka."

Liok Kong Ji mengerutkan alisnya. “Kalau anak setan itu tak dapat dibinasakan cepat-cepat dan Sin Hong keburu datang, kita bisa menghadapi lawan yang sangat berat. Mari kita gempur dulu bocah murtad itu, baru kita himpun tenaga untuk menghadapi Wan Sin Hong yang kabarnya datang bersama tokoh-tokoh kang-ouw.”

Cepat Kong Ji mengajak Cun Gi Tosu dan Cui Kong ke tempat di mana Tiang Bu tadi dikeroyok oleh barisan Lam-thian-chit-ong. Mereka melakukan perjalanan cepat sekali karena khawatir kalau-kalau Lam-thian-chit -ong tidak kuat menanggulangi amukan Tiang Bu yang mereka semua sudah kenal kelihaiannya. Ke khawatiran mereka memang tidak berlebihan. Tiang Bu yan g menghadapi tujuh orang berpakaian aneh itu berlaku teneng sekali bahkan sekali lirik ke arah kedudukan mereka saja, tahulah pemuda ini bahwa barisan Chit-seng-tin (Barisan Tujuh Bintang, mereka itu mudah saja pemecahannya.

Namun, ia maklum pula bahwa siapa yang belum pernah mempelajari kitab-kitab seperti Sen-thian-to dan Thian-te Si-keng, memang akan mengorbankan waktu berpuluh tahun untuk menciptakan barisan seperti yang sekarang diatur oleh tujuh orang berpakaian aneh ini. Maka ia menghela napas panjang. Orang orang ini sudah bersusah payah men ciptakan barisan, yang dalam kalangan kang-ouw tentu me rupakan barisan istimewa yang sukar dilawa. Sebetulnya sayang juga kalau usahanya sedemikian sukar dan lamanya kini dilenyapkan begitu saja.

Chit-wi loenghiong (tujuh orang tua gagah), sesungguhnya di antara aku dan chit-wi tidak ada perhitungan apa-apa yang patut diperhitungkan dengan pertempuran, tidak pernah ada permusuhan. Melihat barisan chit-wi ini, berpusat pada Li-se ng (Bintang Wanita) dan Nam-seng (Bintang Pria) dan bersumber pada pertukaran tertentu dari pada Im Yang. Cambuk di tangan kanan cu-wi (saudara sekalian) itu mewakili Im-kang (tenaga lemas) dan pisau pendek itu mewakili Yang-kang (tenaga kasar).

Ditilik demikian, barisan cu-wi ini di ciptakan oleh seorang yang sudah tahu akan hukum alam, tahu pula akan pekerjaan Im Yang. Tidak amat sayangkah kulau sekarang dipergunakan untuk membantu manusia jahat se perti Liok Kong Ji dan untuk mengeroyok orang yang sama sekali tidak ada hubungan atau permusuhan dengan cu-wi? Ingat, lebih baik pikir masak-masak sebelum bertindak dari pada menyesal setelah terl ambat!”

Dua orang di antara mereka, yang berpakaian putih dan hitam melengak dan saling pandang. Mereka kagum dan heran bukan kepalang mendengar ucapan pemuda ini yang sekali lirik saja sudah dapat mengenal inti dari pada Chit seng-tin mereka! Akan tetapi lima orang yang lain lebih merasa marah dari pada kagum. Mereka marah dan mendongkol sekali, apa lagi yang berpakaian merah. Dengan keras ia membentak sambil menudingkan pisaunya,

"Bocah sombong! Kami tidak minta petuah darimu. Kalau kau takut menghadapi Chit-seng-tin kami, lebih baik terus terang saja dan lekas kau minggat dari sini, tak usah banyak mengoceh seperti burung mau mati.”

Dalam hal me ngendalikan perasaan, tentu saja Tiang Bu menang jauh. Pemuda ini setelah memperdalam kepandaiannya dari kitab Seng thian-to, memoperoleh kemajuan hebat sekali lahir batinnya. Ia tersenyum saja mendengar bentakan si baju merah dan kembali menarik napas panjang.

“Memang tepat sekalt kalian mengatur pembagian warna. Warna merah itu bersifat penuh semangat, panas dan menjadi sifat dari pada api. Dan orang yang memakai warna ini memang cocok, telinganya mudah merah, otak mudah sinting.”

Si baju merah menjadi makin marah. Dia memang merupakan pimpinan barisan itu, maka segera ia memberi tanda kepada kawan-kawannya dengan gerakan cambuknya ke atas sambil memaki, "Setan cilik, kau sudah bosan hidup!”

Melihat isyarat yang diberikan oleh saudara tua itu, semua anggauta Chit-seng-tin bersiap siaga dengan senjata mereka dan mulai mengurung Tiang Bu. Akan tetapi si baju putih dan si baju hitam nampak ragu-ragu. Si baju putih berkata,

"Ang-ko (kakak merah), bocah ini tahu akan sifat tin kita, jangan jangan kita memukul orang segolongan!"

“Betul, Ang-ko, dia begitu tepat bicara tentang keadaan tin kita. Apakah tidak lebih baik berunding saja?” kata si hitam.

"Tutup mulut, dia musuh Liok-taihiap. Kewajiban kita untuk membasminya. Serbuuu!" kata si baju merah.

Tin itu mulai bergerak dan menurut isyarat si baju merah, tin itu membentuk gerakan Tujuh Bintang Berpindah Tempat. Barisan ini bergerak cepat dan melenggang-lenggok seperti naga berjalan, sukar sekali diduga lebih dulu ke mana seorang-seorang hendak bergerak. Tahu-tahu cambuk panjang mereka berbunyi dan susul menyusul menyambar ke arah kepala Tiang Bu!

Ini masih ditanjutkan dengan sambitan pisau yang dipergunakan sebagai senjata rahasia. Tujuh batang pisau kecil runcing melayang ke arah tuhuh pemuda yang masih tenang-tenang itu sebagai penyerangan susulan dari tujuh ujung cambuk yang menyambar dari segala jurusan mengarah jalan darah.

Tiang Bu dalam menghadapi serangan hebat ini, masih dapat membedakan dan dapat melihat bahwa ujung cambuk kedua orang berpakaian putih dan hitam itu hanya meyambar ke arah jalan darah di pundaknya, bagian yang tidak berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Juga pisau-pisau me reka itu hanya melayang ke arah kedua pahanya, tidak seperti lima orang yang lain. Lima orang lawan yang lain ini mengirim senjata-senjata mereka, baik cambuk maupun pisau, ke arah bagian yang me matikan.

Menghadapi serangan berantai yang berbahaya ini, Tiang Bu berlaku tenang sekali akan tetapi tubuhnya segera bergerak dan empat kaki tangannya bekerja dengan tepat sekali. Tujuh orang lawannya menjadi terheran heran karena sebelum cambuk mereka mengenai tubuh pemuda itu, sudah lebih dulu tertolak kembali oleh semacam hawa pukulan sakti yang keluar dari kaki tangan itu. Sedangkan tujuh batang pisau itupun runtuh semua di atas tan ah tanpa melukai kulit atau merobe k baju. Sambil terus menggerak-gerakkan kaki tangannya, Tiang Bu berkata seperti orang bernyanyi.

"Bintang-bintang di langit sudah mempunyai jalan sendiri maka dapat bergerak menurut jalannya dan terhindar dari kehancuran. Hanya bintang yang menyeleweng dari jalannya akan hancur. Masih ada kesempatan bagi kalian, mati hidup ditentukan oleh Thian akan tetapi sebab-sebabnya ditentukan oleh manusia sendiri sebagai akibat perbuatannya!”

Setelah berkata demikian, iapun sudah selesai menangkis semua pakulan cambuk dan Tiang Bu malangkah mundur tiga tindak, berdiri tegak dan memandang ke arah musuh-musuhnya dengan mata tajam. Tidak terdesak, tapi mundur tiga tindak itu hanya boleh diartikan sebagai gerak mengalah dalam pertandingan silat, mengalah bukan karena terdesak atau kalah, melainkan karena pemuda ini enggan menurunkan tangan kepada orang orang yang tidak ada permusuhan dengannya.

Kalau si baju merah dengan kawan-kawannya itu orang baik-baik, tentu mereka tahu diri! Melihat betapa pisau pisau mereka tadi runtuh dan cambuk mereka terpental kembali sebelum menyentuh kulit tubuh Tiang Bu, seharusnya mereka maklum bahwa tingkat mereka masih jauh di bawah tingkat pemuda luar biasa ini. Akan tetapi Lam thian chit-ong ini semenjak dahulu terkenal sebagai perampok-perampok jahat yang tidak tahu artinya takut, tidak mau pula mengenal kesalahan sendiri, maunya menang saja, benar ataupun salah.

Mendengar ucapan Tiang Bu itu si baju merah tidak mau insyaf, malah mengira bahwa Tiang Bu merasa jerih mengh adapi pengeroyokan tin mereka. Ia ke mbali memberi isyarat dan majulah barisan itu, kini berbentuk lingkaran yang mengurung Tiang Bu. Hanya si baju hitam dan si baju putih yang masih ragu-ragu. Mereka bergerak lambat dan tidak segera menyerang. Yang lain-lain sudah mulai mengayun cambuk dan mengerahkan seluruh tenaga lweekang untuk melakukan serangan. Tidak seperti tadi, kini semua cambuk diarahkan ke bagian kepala Tiang Bu dengan pukulan maut! Hanya si baju hitam dan si baju putih yang tidak mau menyerang kepala hanya menyabet ke arah pundak.

"Kalian sudah memilih jalan hidup dan mati, jangan salahkan aku!" bentak Tiang Bu tanpa menggerakkan kaki atau tangannya. Akan tetapi setiap kali ada cambuk menghantam kepalanya, tangannya bergerak cepat sekali dan aneh sekali. Cambuk yang menyambarnya itu bagaikan bisa bergerak sendiri, ujungnya membalik secepat kilat dan menyerang si pemegang tepat nada bagian yang tadi hendak dtserangnya. Si baju merah yang gerakan cambuknya paling cepat dan paling dulu, menjadi korban pertama.

Cambuk si baju merah tadi menyambar ke arah ubun-uban kepala Tiang Bu dan ketika ujung cambuk bertemu dengan jari tangan pemuda itu, secepat kilat cambuk ini membatik dan ujungnya menghantam ubun-ubun kepala si baju merah sendiri dengan tenaga yang jauh lebih hebat dari pada tadi. Hal ini karena tenaga si baju merah membalik, ditambah oleh tenaga sentilan jari tangan Tiang Bu. Tanpa dapat mengeluarkan suara lagi, si baju merah terguling roboh dengan ubun-ubun kepala pecah oleh cambuknya sendiri dan ia menggeletak tak bernyawa lagi.

Oleh karena gerakan tujuh orang ini hampir berbareng, yang lain-lain tak sempat melihat akibat yang hebat ini karena mereka sendiripun secara susul menyusul dan hampir berbareng mengalami akibat itu dari cara pukulan masing-mas ing. Si baju hijau juga roboh dengan ubun-ubun bolong, si baju biru roboh dengan jidat remuk demikian pula yang lain lain, roboh tak bernyawa pula. Hanya si baju hitam dan si baju putih yang roboh tanpa kehilangan nyawa karena mereka ini hanya terserang oleh cambuk sendiri dibagian pundak saja, membuut tulang pundak mereka remuk namun tidak sampai mengakibatkan kematian.

Tiang Bu menarik napas panjang melihat lima orang lawannya tewas dan dua yang lain merintih-rintih kesakitan. “Kalian masih ditakdirkan hidup. Kalau tadinya kalian berdua merupakan Hek-pek-mo (Iblis Hitam dan Putih), kuharap sungguh agar kelak kalian bisa menjadi Hek-pek-cinjin (Budiman Hitam Putih). Pergilah sebelum kalian mengalami bencana lebih besar.”

Tiang Bu memberi dua bungkus obat kepada mereka dan dua orang saudara hitam dan putih ini segera pergi dengan muka pucat. Mereka maklum bahwa kalau Liok Kong Ji melihat mereka masih hidup, tentu akan timbul kecurigaan dan bukan hal aneh kalau mereka juga akan dibunuh sekalian oleh Liok Kong Ji.

Demikianlah, ketika Liok Kong Ji, Cun Gi Tosu, dan Liok Cui Kong tiba di tempat mereka hanya melihat lima orang anggaota chit-ong yang sudah menjadi mayat. Dua orang lagi yang berpakaian hitam dan putih tidak kelihatan, juga Tiang Bu tidak berada di situ.

"Hemm, agaknya mereka ini bukan lawan Tiang Bu," kata Liok Kong Ji, suaranya terdengar tenang akan tetapi sebetulnya jantungnya sudah berdebar tidak karuan. Cui Kong menjadi pucat sekali.

"Ke mana Hok-pek-hu (paman Hitam) dan Pek-pet-hu (paman Putih)?" tanyanya dan suaranya jelas menggigil ke takutan.

"Penakut!" Kong Ji membentak sambil meludah. Hatinya mendongkol sekali mendengar suara Cui Kong yang menggigil, "Mereka tentu sudah lari. Mengapa kau begitu ketakutan?"

"Ayah... Tiang Bu begitu... begitu keji dan kuat...”

"Pengecut! Kau kira aku tidak dapat melawannya? Lihat saja nanti aku akan mencabut isi perut anak durhaka ini!”

Memang Liok Kong Ji tidak hanya menyombong dan bicara untuk membesarkan hati. Semenjak tinggal di pulau ini, ia telah melatih diri dengan tekun sekali. Apa lagi ia telah mempelajari ilmu dari kitab DELAPAN JALAN UTAMA yang didapatkannya dari Toat-beng Kui-bo. Dari kitab ini ia memperoleh kemajuan ilmu lwee-kang yang luar biasa, juga ilmu pedangnya menjadi makin kuat, maka ia menaruh kepercayaan bahwa ini kali ia akan dapat mengalahkan musuh-musuhnya, baik Wan Sin Hong maupun Tiang Bu.

"Cun Gi totiang kedatangan Wan Sin Hong tentu untuk minta kembali puterinya. Kalau mereka bergabung dengan Tiang Bu, keadaan musuh akan menjadi lebih kuat. Oleh karena Leng ji merupakan senjata terakhir kita, dia itu penting sekali dan jangan sampai terampas oleh musuh. Harap totiang segera mengambil anak itu lebih dulu sebelum kita menghadapi musuh. Kalau keadaan musuh terlampau kuat, mungkin bocah itu akan dapat menyelamatkan kita."

Cun GI Tosu juga percaya akan kepandaian sendiri. Dia tidak takut berhadapan dengan musuh, akan tetapi ia pikir ucapan Liok Kong Ji ini memang tepat, mengandung kecerdikan luar biasa. Maka ia mengangguk dan berkelebat pergi. Mengagumkan sekali kalau me lihat kakek yang kakinya tinggal sebelah itu “berlari" secepat itu, seperti orang yang tidak cacad saja, bahkan melebihi ahli ginkang yang kakinya masih utuh.

Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong juga pergi dari situ untuk mengatur penjagaan dengan mengerahkan semua penjaga yang berada di pulau itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kekagetan dan kegelisahan hati mereka ketika melihat di sana-sini para penjaga menggeletak dalam keadaan tertotok atau terluka.

“Kita harus membantu Cun Gi totiang,” kata Liok Kong Ji sambil mencabut pedang. "Jangan sampai dia roboh oleh musuh, apa lagi jangan sampai Leng-ji dirampas. Dengan berkumpul kita bertiga cukup kuat!"

Ayah dan anak ini dengan hati dag-dig-dug berlari-larian cepat menyusul ke tempat tinggal Cun Gi Tosu karena Leng Leng memang disembunyikan di situ, dikawani beberapa orang pengasuh. Ketika mereka tiba di depan pondok tempat tinggal Cun Gi Tosu, betul saja tosu itu sedang mati-matian bertempur melawan Tiang Bu! Cun Gi Tosu mainkan tongkatnya secara hebat dan dahsyat, dan Tiang Bu menghadapinya, dengan tangan kosong.

Bagaimana Tiang Bu bisa muncul di situ dan bertempur dengan Cun Gi Tosu? Tadinya Cun Gi Tosu berlari cepat menuju ke pondoknya untuk mengambil Leng Leng, dan di dalam hatinya ia sudah mempunyai muslihat licik. Ia adalah guru Leng Leng dan melihat Leng Leng dalam keadaan selamat, tentu Wan Sin H ong takkan terlalu mendesaknya. Kalau ia menukarkan Leng Leng dengan keselamatannya, masa Wan Sin Hong takkan mau menerimanya?

Akan tetapi ketika ia sedang berjalan cepat sampai di depan pondoknya, dari balik rumpun bambu berkelebat bayangan lain yang segera menegurnya, "Cun Gi totiang perlahan dulu!”

Cun Gi Tosu berhenti dan memandang. Di depannya berdiri seorang pemuda dengan sepasang mata seperti bintang pagi, bibir tebal membentuk watak teguh dan iman kuat. "Siapa kau? Mau apa?” Cun Gi Tosu membentak.

"Cun Gi totiang. Selama hidupku, baru untuk kedua kali ini aku bertemu dengan totiang yang bercacad, sebetulnya patut dikasihani. Sayangnya, perbuatan totiang yang tidak patut mendatangkan kebencian yang lebih besar dari pada rasa kasihan kepada tubuh totiang."

"Eh, bocah lancang. Kau siapakah dan apa artinya semua ocehanmu tadi?" Cun Gi Tosu membentak marah, namun hatinya sudah dapat menduga siapa adanya bocah yang begitu berani mampus, datang-datang mencelanya.

"Aku yang muda dan bodoh bernama Tiang Bu, dahulu ketika masih kecil pernah melihat totiang ikut menyerbu Omei-san dan mencuri kitab-kitab dari suhu."

"Ho ho, jadinya kau ini murid Omei-san? Dan kau datang hendak minta kembali kitab kitab Omei-san?" kali tosu itu membesarkan hatinya.

"Bukan itu saja, totiang. Selain minta kitab juga aku tidak dapat membiarkan kejahatanmu yang lain-lain. Kau sudah membantu manusia-manusia jahat macam Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong. Juga kau sudah menculik anak dari Wan-taihiap..."

“Bocah keparat, jadi kau anak durhaka dari Liok-taihiap? Alangkah memalukan punya anak macam kau. Rasakan tongkatku!”

Dengan marah Cun Gi Tosu mengayun tongkatnya melakukan serangan kilat dengan tongkatnya ke arah kepala Tiang Bu. Memang tadinya tosu ini sudah sering mendengar dari Liok Kong Ji dan Cui Kong tentang kelihaian Tiang Bu, akan tetapi sekarang melihat bahwa Tiang Bu hanya pemuda yang tidak lebih usianya dari pada Cui Kong muridnya, ia memandang ringan. Apa lagi ia melihat pemuda ini bertangan kosong dan tongkatnya mendapat julukan Lo-thian-tung (Tongkat Pengacau Langit), maka serangannya ini hebat bukan main...