Tangan Gledek Jilid 45 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 45

“KAU JAGA buntutnya, biar aku kepalanya!” tiba-tiba Lie Kong yang sudah mendapat akal lagi berseru kepada isterinya. Kini mereka melawan dengan teratur. Keadaan mereka berimbang karena kalau Souw Cui Eng agak terdesak oleh serangan bagian buntut yang terdiri dari tiga orang itu adalah Lie Kong dapat menindih bagian kepala dan perutnya. Dalam jurus ke tujuh, terdengar suara nyaring dan dua pisau pendek terpental, lepas dari tangan si baju merah dan baju hitam!

Si baju merah mengeluarkan aba-aba sambil melompat ke belakang dan meringis, karena telapak tangan yang memegang pisau tadi sakit. Secepat kilat barisan Liong-sang itu telah berubah lagi, kini berbentuk Bintang Sisir, merupakan setengah lingkaran yang mengurung dari depan. Serentak tujuh orang mengirim serangan dengan pisau pendek yang disambitkan ke arah suami isteri perkasa itu!

Lie Kong dan Cui Eng tidak menjadi gentar. Putaran pedang mereka meruntuhkan semua pisau pendek yang menyambar seakan-akan burung-burung kecil terpukul kitiran angin besar. Akan tetapi segera barisan bergerak maju, lima orang menyerang dengan cambuk. yang dua tetap mengirim s ambitan pisau pendek. Dua orang penyambit ini berganti-ganti, kedudukan mereka amat teratur dan menyulitkan kedudukan lawan.

Diam-diam Lie Kong memuji. Memang Lam-thian-chit-ong telah menciptakan Chit-seng-tin yang luar biasa kuatnya. Tahu bahwa kalau dilanjutkan, fihaknya, terutama isterinya akan menghadapi bahaya, Lie Kong cepat mengeluarkan suara bersuit panjang. Inilah tanda rahasia bagi dua ekor pek-thouw-tiauw untuk bergerak maju.

Dua ekor burung yang amat setia itu tadinya hanya terbang berputaran di atas saja, bingung melihat cara Chit-seng-tin bergerak, tidak tahu harus berbuat apa, lagi pula, belum ada tanda dari majikan mereka untuk bergerak maka mereka hanya cecowetan dan beterbangan di atas, tidak berani sembarangan bergerak. Kini mendengar suitan Lie Kong, dua ekor burung rajawali raksasa itu mengeluarkan pekik menantang dan dua tubuh yang besar ini menukik dan menyambar ke bawah dengan kecepatan luar biasa.

Begitu dua ekor rajawali ini menggebrak dengan sayap yang besar, kuat dan paruh yang mengerikan, terdengar teriakan-teriakan kaget. Dua orang anggauta Chit-seng-tin telah ke hilangan cambuknya, terampas oleh dua ekor burun g itu! Kedudukan barisan menjadi kacau-balau dan rusak. Lie Kong tidak menyia-nyiakan waktu baik ini, pedangnya bekerja cepat sekali dan si baju putih berteriak kesakitan, pundaknya tergores pedang dan cambuknya terampas. Juga si baju coklat yang kurang hati-hati saking kaget melihat datangnya dua ekor rajawali ini, terluka lengannya dan cambuknya juga terlepas dari pegangan ketika Souw Cui Eag menyerangnya dengan hebat.

Sudah dapat diperhitungkan bahwa sebentar lagi tentu tujuh orang Lam-thian-chit-ong itu akan menderita kekalahan mutlak karena mereka kini sudah kacau-balau bergerak melin dungi tubuhnya sendiri sendiri, tidak merupakan barisan teratur lagi!

Kong Ji melihat hal ini dengan hati khawatir. Tujuh orang itu merupakan pembantu-pembantunya yang boleh diandalkan. Kalau sekarang dibiarkan tewas oleh Lie Kong, ia yang akan merasa rugi sekali. Ia memberi isyarat ke pada Cun Gi Tosu dan Cui Kong kemudian ia sendiri melon cat maju dan membentak,

"Orang she Lie. jangan menjual lagak di sini!" Kong Ji merendahkan diri hampir jongkok, mengumpulkan ten aga sambil menanti datangnya dua ekor pek thouw tiauw yang menyambar lagi. Melihat sikap Kong Ji itu, Lie Kong yang bermata awas dapat duga niat musuhnya ini, akan tetapi sendiri sedang menghadapi serangan Cun Gi Tosu sehingga ia hanya bisa berseru,

"Tiauw-ji, jangan dekat!”

Akan tetapi terlambat. Sepasang burung sudah menyambar turun. Burung-burung ini setia sekali dan mereka mulai mengamuk membela majikan mereka, tidak tahu bahwa Kong Ji sudab siap mengumpulkan tenaga lweekang. Ketika sepasang burung ini sudah menyambar dekat, Kong Ji memukulkan kedua lengannya dengan gerakan Tin-san-kang yang luar biasa hebatnya.

"Blekk!” Tubuh dua ekor burung itu terpental ke atas, bulu-bulu mereka berhamburan dan dua ekor binatang itu terbanting ke bawah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Mereka telah menjedi korban pukulan Tin-san-kang yang dahsyat dan semua isi perut telah hancur lebur oleh pukulan ini!

"Liok Kong Ji manusia jahanaml" Lie Kong berseru keras sekali melihat dua ekor binatang kesayangannya tewas. Pedangnya diputar cepat dalam usahanya hendak menggempur Ko ng Ji, akan tetapi tongkat kakek buntung itu amat kuatnya menghadang dan menyerangnya. Ketika dua buah senjata bertemu, kedua tokoh ini terdorong kebelakang, tanda bahwa tingkat tenaga lweekang mereka memang tidak jauh selisihnya.

Lie Kong terkejut, tidak mengira bahwa kakek buntung ini demikian lihai, maka ia pusatkan perhatiannya dan menghadapi Cun Gi Tosu. Segera perte mpuran seru terjadi, di mana fihak Lie Kong dan isterinya terdesak hebat karena tujuh orang Lam-thian-chit ong dan Cui Kong juga sudah membantu.

"Manusia iblis, kau harus mampus!" bentak Souw Cui Eng. marah sekali melihat “anak mantunya” yang manis itu. Pedang nyonya ini berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyambar ke arah Cui Kong.

Akan tetapi orang muda yang tak tahu malu ini sudah siap, menangkis dengan senjatanya yang istimewa, yaitu lengan tangan kering. Tahu bahwa ia menghadapi lawan tangguh, Cui Kong juga mengeluarkan huncwe mautnya dan melawan “ibu mertuanya” dengan senjatanya ini. Karena Cui Kong sibantu oleh sebagian dari Lam-thian-chit-ong, maka sebentar saja Souw Cui Eng terdesak hebat.

Pertempuran ini betapapun juga membuat muka Kong Ji menjadi merah saking jengah dan malu. Ia tahu bahwa benar-benar akan memalukan sekali apa bila terdengar oleh orang-orang kang-ouw bahwa dia telah mengeroyok dua orang besannya. Melihat kenekatan suami isteri yang gagah perkasra itu, ia menjadi tidak sabar. Pertempuran yang memalukan fihaknya ini harus segera diselesaikan, pikirnya. Diam-diam ia menyiapkan Hek-tok ciam di tangannya

Kepandaian istimewa dari Kong Ji memang banyak macamnya. Selain ilmu pedangnya yang kini bertambah tinggi saja setelah ia mempelajari kitab-kitab Omei-san yang dicuri dan dirampasnya juga ia memiIiki Ilmu Pukulan Tin-san-kang yang amat lihai seperti yang telah ia perlihat kan ketika ia sekali pukul menewaskan dua ekor burung pek-thouw-tiauw tadi. Di samping itu, ia masih memiliki Ilmu Pukulan Hek-tok ciang (Pukulan Tangan Racun Hitam) dan jarum-jarumnya yang disebut hek-tok-ciam adalah jarum-jarum beracun yang amat berbahaya.

Tiba-tiba terdengar jeritan menyayat hati dan Ceng Ceng berlari-lari ke luar dengan rambut riap-riapan. Nyonya muda ini tadi sedang mencuci rambutnya ketika ia mendengar berita bahwa di luar terjadi pertempuran hebat. Tempat pertempuran memang jauh dari tempat tinggalnya, maka ia segera membawa pedang dan berlari ke luar ketika mendengar dari penjaga bahwa musuh yang datang menyerang diikuti oleh dua ekor burung rajawali.

Mukanya pucat sekali, jantungnya hampir meledak dan rambutnya riap-riapan ketika ia berlari menuju ke arah pertempuran. Melihat bahwa betul-betul ayah bundanya yang dikeroyok hebat dan hampir kalah itu, ia mengeluarkan jerit dan menyerbu. Tentu saja ia menyerbu dan menyerang Cui Kong, suaminya yang sedang bertanding mengeroyok ibunya.

"Manusia berhati binatang! Kau berani mengeroyok ibuku?" bentak Ceng Ceng, pedangnya dengan hebat mengamuk dan menyerang Cui Kong.

Cui Kong menjadi kaget dan bingung sekali. Ia memang betul-betul sayang kepada isterinya ini, dan menghadapi serangan Ceng Ceng ia hanya main mundur dan menangkis. "Niocu, mereka yang mendesak, bukan kami...” ia mencoba membela diri.

Sementara itu, ke tika Souw Cui Eng dan Lie Kong melihat munculnya Ceng Ceng dengan rambut riap riapan dan melihat puteri mereka itu datang-datang membantu mereka dan menyerang Cui Kong, hati ayah dan ibu ini menjadi girang. Bagaimanapun juga pernikahan antara anak mereka dan Cui Kong adalah suatu kesalahan yang tidak disengaja oleh Ceng Ceng, karena Cui Kong menggunakan bujukan palsu. Puteri mereka masih tetap seorang gagah dan baik.

"Ceng-ji... dari pada kau menjadi isteri manusia iblis ini, lebih baik kita melawan mati-matian" teriak Souw Cui Eng dengan air mata bercucuran saking terharu.

“Ceng-ji, kita telah ditipu oleh jahanam Cui Kong, mari kita bikin pembalasan!” teriak ayahnya.

Mendengar ini, hati Ceng Ceng makin panas. Ia memang sudah merasa terjeblos dalam perangkap yang dipasang oleh Cui Kong dengan umpan wajah tampan, sikap halus dan kepandaian tinggi. Tadinya ia masih terhibur, karena pandainya Cui Kong bicara. Akan tetapi melihat betapa ayah bundanya dikeroyok, dan kini melihat sepasang burung rajawaii tewas dan mendengar kata-kata ayah bundanya, kemarahan dan sakit hatinya meluap-luap. Ia menyerang Cui Kong makin nekat lagi. mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

"Niocu, jangan... niocu, jangan...!” Cui Kong mengeluh sambil mudur terus. Karena ia tidak mambalas dan karena kemarahan membuat Ceng Ceng menjadi ganas, pundaknya terserempet ujung pedang dan mengeluarkan darah.

Pada saat itu menyambar sinar-sinar hitam ke arah dada dan tenggorokan Ceng Ceng. Nyonya muda ini menjerit dan roboh, tewas di saat itu juga. Sebatang Hek-tok ciam menancap di tenggorokan dan sebatang lagi di dada.

"Niocu...!” Cui Kong menubruk dan memeluk mayat isterinya, sedih sekali akan tapi tak dapat marah karena yang membunuh isterinya adalah Liok Kong Ji. Kong Ji tadi sudah menyiapkan Hek-tok ciam. Melihat sikap Ceng Ceng, ia maklum bahwa kalau mantunya itu tidak dibunuh, kelak tentu selalu akan menimbulkan keributan.

Setelah menyambitkan Hek-tok ciam ke arah Ceng Cen iapun mempergunakan kesempatan selagi Lie Kong dan Souw Cui Eng terkejut me lihat puteri mereka roboh, cepat Kong Ji membidik dan menyambitkan enam buah Hek-tok-ciam dengan kedua tangannya. Dua batang menyambar Cui Eng, yang empat batang menyambar Lie Kong.

Cui Eng tak dapat mengelak, sebatang Hek tok ciam menancap di lambungnya. Nyonya ini menjerit, limbung akan tetapi masih sempat melompat ke dekat Cui Kong dan menusuk orang muda itu dengan pedangnya. Cui Kong mendengar sambaran angin mengelak ke samping, melepaskan tubuh isterinya. Souw Cui Eng menubruk dan memeluk mayat puterinya, terguling dan roboh tewas dengan memeluk Ceng Ceng!

Lie Kong lebih lihai. Dengan pedangnya ia berhasil menangkis empat batang Jarum Racun Hitam itu, akan tetapi biarpun berhasil menyelamatkan diri dari ancaman empat jarum hek-tok-ciam, saat itu tongkat Lo-thian-tung Sun Gi Tosu sudah menyambar. Ilmu tongkat tosu ini hebat sekali dan tadipun dengan susah payah Lie Kong dapat melawan. Sekarang dalam keadaan terdesak oleh serangan jarum-jarum berbahaya, ia kurang dapat mempertahankan diri. Ia masih mencoba untuk mengelak, akan tetapi sambaran ke dua mengenai kepalanya.

"Tak!" Tongkat terpental, seakan-akan mengenai besi. Kepala Lie Kong kelihatan tidak apa-apa, akan tetapi jago pantai timur ini terhuyung-huyung. Dengan mata melotot ia masih dapat melontarkan pedangnya yang meluncur cepat seperti pedang terbang ke arah Liok Kong Ji, akan tetapi sekali mengebutkan lengan baju pedang itu tergulung lengan baju dan jatuh ke bawah. Lie Kong terhuyung dan roboh tak berkutik. Napasnya putus setelah melontarkan pedang. Biarpun kepalanya dari luar tidak kelihatan luka, akan tetapi sebelah dalam sudah tergoncang hebat pukulan tongkat yang mengandung tenaga lweekang itu.

Habislah riwayat Pek-thouw-tiauw ong Lie Kong dengan isteri dan anaknya! Sungguh amat sayang dan menyedihkan kematian keluarga ini dibasmi oleh Liok Kong Ji dan kaki tangannya,

"Bibi...! Bibi...! Siapa yang membunuh bibi... ah, bibi jangan... tinggalkan Leng Leng...!" Bocah perempuan berusia lima tahun itu datang berlari-lari menubruk mayat Ceng Ceng. Akan tetapi sekali tangkap Liok Kong Ji mencegahnya.

“Jangan pegang!" bentaknya. Ia merasa sebal sekali melihat bocah yang semenjak kecil dipelihara dengan kasih sayang itu sekarang berbalik mencurahkan kasih sayang kepada pihak lawan.

“Bibi…!" Leng Leng menangis dan meronta dalam pegangan Kong Ji. "Manusia jahat mana yang membunuhmu...? Akan kupukul kepalanya!”

"Anak setan!" Kong Ji menggerakkan tangan dan tubuh Leng Leng terlempar sampai empat tombak lebih jatuh terguling-guling dan anak itu menangis kesakitan.

"Leng Leng, kau pulanglah, jangan turut campur urusan orang tua!” Can Gi Tosu membentak bocah itu. Akan tetapi Leng Leng tetap berdiri di situ, memandang ke arah mayat Ceng Ceng sambil menangis terisak-isak.

"Totiang, bocah ini kelak tentu akan menimbulkan bencana saja. Pohon buruk lebih baik di cabut selagi masih kecil,” kata Liok Kong Ji, mengerutkan kening. Ia memang jengkel dan sebal melihat Cui Kong masih menangisi kematian isterinya,

"Taihiap, dia masih kecil . Kalau dididik sepatutnya, kelak dapat menjunjung tinggi nama kita,” bantah Cun Gi Tosu yang masih merasa sayang kepada bocah itu. Sebetulnya kesayangan ini bukan merupakan sebab utama mengapa ia hendak melindungi Leng Leng. Yang utama sekali, ia diam diam menganggap Leng-Leng sebagai jimat pelindungnva. Tosu kaki buntung ini sebetulnya merasa gentar juga terhadap Sin Hong dan kalau Leng Leng masih berada di tangannya. Sin Hong tentu takkan berani mengganggunya. Kalau keadaan mendesak, ia dapat menukarkan nyawanya dengan anak ini kelak.

Liok Kong Ji merasa tidak baik pada saat seperti itu meributkan hal bocah kecil. "Hemm, harus mulai sekarang dipimpin baik-baik,” katanya, dan dengan langkah lebar ia menghampiri Leng Leng.

"Leng-ji, jangan menangis. Bibimu itu jahat, hendak membunuh kita, maka dia harus mati. Kalau tidak dibunuh dia tentu membunuh kita semua. kaupun akan dibunuhnya"

"Tidak, tidak bisa! Bibi tidak jahat!" bantah Leng Leng dengan berani.

Kong Ji mengerutkan kening. "Bocah tolol! Kau tidak menurut kata orang tua? Dia jahat! Hayo kau bilang bibi mu itu jahat!"

“Tidak!" Leng Leng berkukuh sambil menggeleng gele lng kepala dan membanting-banting kakinya yang kecil. "Bibi tidak jahat!”

“Plak” Kong Ji menampar pipi bocah cilik itu sehingga tubuh Leng Leng tergelimpang. Akan tetapi anak itu merayap bangun. Pipi kirinya bengkak. Namun tanpa memperdulikan rasa sakit pada pipinya ia memandang Kong Ji tanpa kenal takut.

"Bilang dia jahat!" bentak Kong Ji makin marah.

“Tidak, tidak! Bibi tidak jahat!” Leng Leng tetap menggeleng kepala.

"Plakk!" Kembali tubuh kecil itu terpelanting. Kini agak sukar Leng Leng merayap bangun dan pipi kanannya juga bengkak, kepalanya serasa berputar-putar. Anehnya, bocah ini tadi menangisi kematian Ceng Ceng. Sekarang dipukul sampai bengkak-bengkak mukanya ia tidak mau menangis, malah memandang kepada Kong Ji dengan mata bersinar marah.

Kong Ji sudah melangkah maju, akan tetapi melihat sepasang mata bocah itu, ia bergidik teringat ia akan sepasang mata Sin Hong dan menahan tangannya yang sudah diangkat hendak memukul. Sementara itu Cun Gi Tosu yang khawatir kalau-kalau Kong Ji membunuh bocah itu, sudah mendekati dan memondong Leng Leng sambil berkata,

"Leng Leng, kau tidak boleh melawan. Harus menurut kata-kata orang tua." Kemudian kakek buntung ini menjura kepada Liok Kong Ji.

"Harap Liok-taihiap bersabar. Serahkan saja pendidikan bocah ini kepada pinto.” Setelah berkata demikian, Cun Gi Tosu melompat-lompat dengan kakinya yang tinggal sebuah itu, pergi dari situ.

Juga Kong Ji pulang ke rumahnya dengan hati mengkal, baiknya selir-selirnya yang cantik-cantik dan muda menyambut dan menghiburn ya dengan sikap dan kata-kata manis sehingga tak lama kemudian Liok Kong Ji sudah tidur mendengkur di kamarnya, dipijit dan dikipasi oleh selir-selirnya.

Sementara itu, dengan hati sedih Cui Kong mengurus pemakaman Ceng Ceng dan jenazah Lie Kong dan isterinya serta bangkai dua ekor burung itu diurus baik-baik dan dimakamkan. Pekerjaan ini dibantu oleh Lam-thian-chit-ong dan para anak buah.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Tanpa mengenal lelah, Tiang Bu melaksanakan perjalanan ke selatan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tiang Bu yang mengobrak-abrikt Ui tiok-lim hanya berhasil membasmi Ui tiok-lim dan menewaskan kaki tangan Liok Kong Ji, akan tetapi Liok Kong Ji sendiri bersama Liok Cui Kong dapat melarikan diri. Ketika berjumpa dengan Lai Fei puteri penebang kayu yang lihai itu menengur bahwa ayah Fei Lan terbunuh oleh Lo-thian tung Cun Gi Tosu dan dari gadis ini ia mendengar bahwa kakek buntung itu pergi ke laut selatan.

Tentu Kong Ji dan Cui Kong juga ke sana, pikir Tiang Bu. Kakek buntung itu seorang sahabat baik dan komplotan Kong Ji kalau dua orang keparat itu hendak bersembunyi, tentu tempat kakek buntung itu yang paling aman. Oleh katena sangkaan inilah tanpa mengenal letih Tiang Bu menuju ke selatan.

Pada suatu senjaia memasuki sebuah dusun. Saatet itu keadaan sunyi sekali dan yang kelihatan hanya beberapa orang petani sedang pulang memanggul pacul, ada yang menggiring kerbau. Ketika pemuda ini tengah berjalan memasuki dusun, ia melihat berkelebatnya dua bayangan orang di sebelah depan. Tahu bahwa dua orang itu tentu ahli-ahli silat yang mempergunakan ilmu lari cepat, Tiang Bu tertarik dan iapun lalu menggunakan ginkangnya, meloncat dan berlari mengejar.

Ilmu lari cepat dua orang itu ternyata hebat juga. Sebentar saja mereka sudah keluar dari dusun. Tiang Bu makin tertarik dan terus mengejar sampai tiba di sebuah hutan. Dua orang itu lenyap di dalam hutan. Tiang Bu penasaran dan mempercepat larinya. Sebentar saja ia sudah memasuki hutan itu dan melihat seorang wanita setengah tua namun masih cantik sekali sedang duduk bersila di bawah sebatang pohon besar.

Kaget hati Tiang Bu ketika mengenal wanita ini. Andaikata ia lupa lagi akan wajah wanita ini, ia takkan melupakan sepasang tangan yang kecil mungil akan tetapi berwarna merah itu. Ang-jiu Mo-li Si Iblis Wanita Tangan Merah! Akan tetapi di samping ke kagetannya, ia juga menjadi girang oleh karena ia teringat bahwa wanita ini dahulu juga membawa lari sebuah kitab dari Omei-san.

Sementara itu, Ang jiu Mo Li sudah memandang kepadanya dan bertanya, suara nyaring galak, “Orang muda, sejak tadi kau mengejarku, kau mau apakah?”

Tiang Bu memang biasa jujur dan sederhana dalam kata-katanya. Melihat sikap wanita tengah tua ini dan tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang tokoh besar di dunia kang-ouw, ia segera menjura dan menjawab,

"Tadi di luar dusun aku melihat dua orang berlari-lari. Karena tertarik maka aku segera mengejar sampai ke sini. Tidak tahunya orang di antaranya adalah locianpwe, sungguh kebetulan sekali karena memang aku masih mempunyai sebuah urusan untuk dibereskan dengan locianpwe. ”

Ang-jiu Mo-li mengangkat muka memandang tajam. Bocah seperti ini mempunyai urusan dengan dia?

“Eh, orang muda. Kau ini siapakah? Jangan kau lancang membuka mulut. Orang seperti kau ini ada urusan apakah dengan aku?”

Tiang Bu tersenyum, maklum bahwa orang dengan tingkat setinggi Ang-jiu Mo-li tentu saja bersikap tinggi dan sombong terhadap seorang pemuda biasa seperti dia. Akan tetapi biarpun ia mendongkol, pemuda ini masih mengingat bahwa Ang-jiu Mo li adalah guru Bi Li, maka ia tetap bersikap hormat.

"Tentu saja locianpwe lupa lagi kepadaku. Akan tetapi pernah satu kali kita saling be rtemu di Omei-san."

Ang-jiu Mo li memandang lagi penuh perhatian ke arah wajah yang tidak tampan namun membayangkan kegagahan dan kejujuran itu. Tiba-tiba ia teringat akan bocah murid dua orang kakek Omei-san yang dulu pernah bertempur melawan Toat-beng Kui bo. Terkejutlah Ang-jiu Mo li dan ia serentak melompat berdiri. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda yang mengejarnya tadi ini adalah bocah murrid Omei-san itu.

"Hemm, kaukah ini? Sekarang katakan apa urusan itu,” tanya Ang jiu Mo-li, hatinya mulai terasa tidak nyaman.

"Sebelum suhuku menghembuskan nafas terakhir, beliau meninggalkan pesan kepadaku agar supaya aku pergi mencari kitab-kitab Omei-san yang dilarikan orang dan mengambilnya kembali. Oleh karena cianpwe termasuk orang di antara mereka yang membawa pergi kitab Omei-san, kalau tidak salah kitab pelajaran Ilmu Silat Kwan-im cam-mo, maka bukankah pertemuan ini kebetulan sekali? Kuharap saja cianpwe sudah merasa cukup puas meminjam kitab itu selama bertahun-tahun dan sudi mengembalikannya kepadaku.”

Ang-jiu Mo-li tersenyum mengejek. Alangkah besarnya nyali pemuda ini. pikirnya. berani minta kembali kitab begitu saja!

"Orang muda bernyali naga, siapakah namamu ?”

"Namaku Tiang Bu...”

Ang-jiu Mo-li hilang senyumnya, nampak tercengang. “Aha, kaukah yang bernama Tiang Bu? Kau anak keluarga Coa di Kim bun-to?”

Kini Tiang Bu yang tercengang. Bagaimana wanita sakti ini dapat tahu akan hal ini? Padahal ia tidak pernah bercerita kepada siapapun juga, kecuali kepada Bi Li, tentu. Apakah Bi Li pernah bercerita kepada gurunya ini? Akan tetapi belum lama ia berkumpul dengan Bi Li dan baru saja berpisah, apa Bi Li sudah berjumpa dengan Ang jiu Mo-li semenjak buntung lengannya? Betapapun juga, pertanyaan itu harus dijawabnya.

"Aku hanya... anak angkat mereka...”

“Bagus sekali permintaanmu! Kau betul-betul hendak merampas kembali kitab Kwan-im-cam- mo itu dari tanganku? Lihat, memang kitab ini masih kubawa. Kau mau merampasnya?" Ang-jiu Mo-li mengeluarkan sebuah kitab dari saku bajunya.

“Mana berani aku berlaku kurang ajar? Aku hanya mengharapkan kebijaksanaan untuk mengembalikan barang orang lain.”

"Betul-betul kau hendak minta kembali?"

"Aku adalah seorang murid yang harus mentaati pesan suhu sampai di manapun juga."

"Kitab-kitab Omei-san terjatuh ke dalam tangan orang-orang pandai yang sama sekali bukan lawanmu. Amat berbahaya kalau kau menghendaki semua orang itu mengembalikan kitab. Mengapa kau be rsusah payah, toh gurumu sudah meninggal dunia? Kalau kau tidak memenuhi pesan gurumu yang sudah tidak ada lagi itu, tidak ada orang tahu."

Tiang Bu mengerutkan alisnya yang tebal. “Kali ini cianpwe kh ilaf! Cianpwe menyatakan tidak ada orang tahu, bukankah aku sendiri dan cianpwe men getahui kalau aku menjadi murid tidak setia? Apakah cianpwe dan aku bukan orang? Biarpun aku akan menghadapi orang orang sakti dan akhirnya aku harus berkorban nyawa, tetap aku akan memenuhi pesan suhu."

Diam-diam Ang-jiu Mo-li makin kagum kepada pemuda yang setia dan berbakti ini. Tadipun ia hanya menguji hati Tiang Bu.

"Betul-betul kau akan memaksaku menyerahkan kitab ini?”

"Kalau cianpwe tidak suka mengembalikan dengan suka rela, terpaksa aku yang muda akan berlaku kurang ajar dan mencoba kebodohan sendiri." jawab Tiang Bu, sikapnya menantang.

Ang-jiu Mo-li masih hendak mencoba sekali lagi. Ia menoleh ke belakang dan berseru keras lalu berkata, “Muridku, kau keluarlah!”

Dari balik gerombolan pohon berkelebat suatu bayangan dan di saat lain, seorang gadis telah berdiri di samping Ang-jiu Mo-li. Wajahnya menjadi pucat ketika ia memandang kepada pemuda itu.

"Tiang Bu..."

Tiang Bu girang bukan main. Ia melangkah maju dan mengulurkan kedua tangannya. "Bi Li... kau di sini...? Payah aku mencari carimu...!”

Akan tetapi ia segera teringat bahwa di situ ada Ang-jiu Mo-li, maka dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Tiang Bu menarik kembali tangannya memandang kepada gadis buntung lengan ya itu dengan wajah diliputi keharuan, kedukaan juga kasih sayang besar. Juga Bi Li meman dang pemuda itu, dan dua titik air mata membasahi sepasang pipi Bi Li yang pucat. Gadis ini menggigit bibirnya, seakan-akan menahan isak tangis dan menahan agar mulutnya tidak mengeluarkan kata-kata. Mata Ang-jiu Mo-li yang tajam melihat keadaan dua orang in i, wajahnya berseri. Kemudian ia berkata,

"Bi Li, kawanmu Tiang Bu ini datang hendak memaksa aku mengembalikan kitab Kwan-im-cam mo. Karena dia kawanmu, aku tidak tega menjatuhkan tangan mencelakainya. Akan tetapi dia berkepala batu dan hendak menggunakan kekerasan. Kausuruh dia membatalkan maksudnya itu."

Bi Li cukup mengenal watak gurunya yang keras hati dan tidak mau mengalah, Ia tahu bah wa kalau Tiang Bu berkeras minta kembali kitab, pasti akan terjadi pertempuran hebat sampai salah seorang menderita luka. Dan ia sayang keduanya, tidak menghe ndaki seorang di antara mereka terluka.

"Tiang Bu, aku minta kau suka mengalah dan jangan memaksa guruku mengembalikan kitab Omei san.” kata Bi Li dengan suara lemah sambil menundukkan muka tidak mau melihat Tiang Bu karena ia sendiri merasa fihaknya yang bocengli (tidak pakai aturan).

Tiang Bu menggelengkan kepala perlahan. Mengapa Bi Li begitu tak adil? "Bi Li, kitab itu milik mendiang suhu yang sudah memesan supaya aku mengambil semua kitab yang dirampas orang dari Omei-san. Siapapun orangnya yang mengambil kitab itu, harus kuminta kembali. Dalam hal lain aku boleh mengalah terhadap gurumu, akan tetapi dalam hal ini... tak mungkin.”

Ang-jiu Mo li segera berkata, "Bi Li, mulai saat ini aku memberikan kitab ini kepadamu, akan tetapi dengan pesan jangan kau berikan kepada siapapun juga!”

Bi Li maklum akan maksud gurunya ini. Dia sudah menceritakan tentang keadaaannya dan hubungannya dengan Tiang Bu, maka kini gurunya hendak mempergunakan cinta kasih Tiang Bu terhadapnya untuk mengalahkan pemuda itu.

"Tiang Bu, mengapa untuk kitab yang satu ini kau tidak dapat mengadakan pengecualian. Kuharap sekali lagi kau suka mengalah demi... mengingat akan... persahabatan kita...” Kata-kata terakhir ini dikeluarkan perlahan sekali dan kini air matanya, tak dapat dibendung lagi, mengucur dari kedua matanya. Gadis ini sebenarnya amat cinta kepada Tiang Bu yang sudah berkali-kali membuktikan kegagahan, kecintaan, dan kesetiaannya.

Tiang Bu menjadi pucat mendengar kata-kata ini. Untuk sejenak ia memandang Bi Li. Ah, alangkah inginnya ia mendekati, menghibur gadis yang buntung lengannya akan tetapi baginya malah mempertebal kasih sayangnya karena kasih sayang itu ditambah oleh rasa kasihan besar sekali. Jangankan baru sebuah kitab, biar seribu buah kitab tentu akan ia relakan demi mengingat Bi Li. Akan tetapi bukan kitab ini, kitab yang harus ia ambil kembali, biarpun ia harus menukar dengan nyawanya.

"Bi Li." katanya mengeraskan hati biarpun suaranya gemetar. "Seorang laki-laki harus dapat mengesampingkan perasaan hati dan urusan sendiri. Mana bisa aku mengkhianati mendiang suhu hanya untuk urusan pribadiku sendiri? Kebaktian dan kesetiaan murid terhadap gurunya adalah suci, dan harus berjalan di atas jalan kebenaran. Andaikata mendiang suhu meninggalkan pesan supaya aku merampas kitab yang bukan menjadi milik dan haknya, tentu dengan senang hati aku melanggar pesan yang tidak benar ini. Akan tetapi pesan suhu ini berlandaskan kebenaran. Kitab ini adalah kitab dari Omei-san yang diambil oleh gurumu. Suhu berpesan agar aku mengambil kembali semua kitab yang hilang, oleh karena kalau kitab-kitab itu terjatuh ke tangan orang jahat, hanya akan menambah kacau dan kotornya dunia. Sekarang aku sudah bertemu dengan gurumu, dan kitab itu sudah bertahun tahun berada di tangan gurumu, tentu isinya sudah hafal olehnya. Mengapa masih harus mengukuhi kitab yang bukan menjadi miliknya?”

Bi Li tak dapat menjawab. Dalam hatinya, tentu saja ia membenarkan pendirian Tiang Bu, akan tetapi di depan gurunya ia tidak berani berkata apa-apa. Adapun Ang-jiu Mo-li yang sengaja bersikap keterlaluan itu hanya untuk menguji hati Tiang Bu, makin lama makin kagum. Belum pernah ia bertemu dengan seorang muda yang demikian teguh hatinya, demikian tebal rasa bakti dan setianya. Seorang pemuda gagah perkasa, hanya tinggal menguji kepandaiannya saja.

Ang-jiu Mo li telah mendapatkan murid yang ia sayang itu di dalam hutan. Bi Li hendak memhunuh diri dengan jalan menggantung leher pada angkinnya di sebuah pohon besar. Setelah Ang jiu Mo-li menolongnya Bi Li dengan air mata bercucuran menceritakan nasibnya yang malang, kehilangan sebuah lengannya yang ditabas buntung oleh Liok Kong Ji. Kemudian diakuinya betapa Tiang Bu amat mecintanya dan bahwa sesungguhnya iapun suka kepada pemuda itu. Hanya karena lengannya sudah buntung ia merasa tidak berharga menjadi jodoh pemuda itu, maka diam-diam meninggalkan Tiang Bu dan mencoba membunuh diri di situ.

Ang-jiu Mo-li marah bukan main, menghibur muridnya dan berjanji hendak mencari Liok Kong Ji untuk membalaskan sakit hati muridnya. Kebetulan di tengah jalan bertemu dengan Tiang Bu, Ang-jiu Mo-li sengaja hendak menguji batin pemuda yang dipilih muridnya dan ia makin kagum saja menyaksikan sikap Tiang Bu. Seorang ksatria tulen, dan kini ia hendak mencoba kepandaian Tiang Bu.

“Orang muda, kau pandai bicara. Kalau kau bertekad mengambil kembali kitab-kitab Omei-san, tentu kau sudah mempunyai kepandaian. Kitab ini dulu kudapat tidak dengan jalan mudah, bukan diberi hadiah, hanya diambil dengan mempergunakan kepandaian. Kalau kau hendak minta kembali, kau juga harus mempergunakan kepandaian. Coba kau layani aku beberapa jurus, kalau kau bisa menangkan aku, tentu saja kitab ini boleh kau ambil kembali.”

Inilah sebuah tantangan dan Tiang Bu memang sudah bertekat takkan mundur setapak dalam usaha memenuhi pesan suhunya. Hatinya amat tidak enak terhadap Bi Li, akan tetapi apa boleh buat. Demi kebenaran, ia bersedia mengorbankan segala, baik nyawanya ataupun kebahagiaannya. Ia melirik ke arah Bi Li dan berkata lirih.

"Bi Li, maafkan kalau aku melawan gurumu. Kau tahu aku melakukannya karena terpaksa oleh kewajiban." Lalu ia menghadapi Ang-jiu Mo-li dan menjura sambil berkata, "Aku yang muda bersedia."

Ang-jiu Mo li masih memandang rendah pemuda itu. Ia hanya ingin menguji sampai di mana kepandaian Tiang Bu, biarpun pemuda itu takkan dapat memenangkannya, tetap saja ia akan mengembalikan kitab karena ia pikir lebih baik muridnya yang sudah buntung itu menikah dengan pemuda pilihan ini. Ia mengangkat kitab Kwan-im Cam-mo itu tinggi di atas kepala sambil berkata,

"Kau sudah siap sedia? Nah, lekas rampas kitab ini!”

Diam-diam Tiang Bu mendongkol. Ia tahu bahwa pendekar wanita ini memandang rendah kepadanya, maka iapun tidak mau sungkan-sungkan lagi. "Maafkan aku yang bodoh,” katanya tahu-tahu tubuhnya sudah melesat ke depan tangan kiri menampar pundak, tangan kanan menyambar untuk merampas kitab.

Ang jiu Mo-li masih memandang rendah. Tangan kanannya menyampok tamparan pemuda itu dengan pengerahan tenaga. Menurut perhitungannya, tangkisan sudah cukup kuat untuk membuat pemuda itu terpelanting dan tentu usahanya merampas kitab akan gagal. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tangan kanannya bertemu dengan lengan pemuda itu, ia merasa lengannya kesemutan dan seperti lumpuh, tanda bahwa ia tadi kurang mengerahkan tenaga sehingga tenaganya tertindih dan kalah kuat, dan sebelum ia dapat menguasai diri, tahu-tahu kitab di tangan kirinya telah terambil oleh pemuda itu yang sudah melompat mundur kembali.

Dalam segebrakan saja kitab sudah dirampas! Ini tak boleh jadi, pikir Ang-jiu Mo-li. Cepat laksana kilat menyambar, tubuh Ang-jiu Mo-li sudah berkelebat maju mengejar Tiang Bu, kedua tangannya bergantian mengirim Pukulan Ang-jiu-kang ke arah dada dan perut Tiang Bu!

Harus diketahui bahwa pukulan Ang-jiu-kang dari Ang-jiu Mo-li ini hebatnya bukan main. Pernah ia bertemu Liok Kung Ji dan bertanding dan ternyata Ang jiu kang malah lebih hebat dari pada Hek-tok ciang dari Liok Kong Ji. Karena kelihaian tangan merahnya inilah maka Ang Jiu Mo-li menjadi terkenal sekali dan ia ditakuti orang di wilayah utara.

Tangan itu belum sampai, hawa pukulannya sudah terasa. panas dan kuat sekali. Tiang Bu berlaku waspada, maklum bahwa menghadapi pukulan macam ini ia tidak boleh sembrono. Juga ginkang dari Ang jiu Mo-li, luar biasa sekali gerakannya cepat seperti kilat menyambar...

Tangan Gledek Jilid 45

Tangan Gledek Jilid 45

“KAU JAGA buntutnya, biar aku kepalanya!” tiba-tiba Lie Kong yang sudah mendapat akal lagi berseru kepada isterinya. Kini mereka melawan dengan teratur. Keadaan mereka berimbang karena kalau Souw Cui Eng agak terdesak oleh serangan bagian buntut yang terdiri dari tiga orang itu adalah Lie Kong dapat menindih bagian kepala dan perutnya. Dalam jurus ke tujuh, terdengar suara nyaring dan dua pisau pendek terpental, lepas dari tangan si baju merah dan baju hitam!

Si baju merah mengeluarkan aba-aba sambil melompat ke belakang dan meringis, karena telapak tangan yang memegang pisau tadi sakit. Secepat kilat barisan Liong-sang itu telah berubah lagi, kini berbentuk Bintang Sisir, merupakan setengah lingkaran yang mengurung dari depan. Serentak tujuh orang mengirim serangan dengan pisau pendek yang disambitkan ke arah suami isteri perkasa itu!

Lie Kong dan Cui Eng tidak menjadi gentar. Putaran pedang mereka meruntuhkan semua pisau pendek yang menyambar seakan-akan burung-burung kecil terpukul kitiran angin besar. Akan tetapi segera barisan bergerak maju, lima orang menyerang dengan cambuk. yang dua tetap mengirim s ambitan pisau pendek. Dua orang penyambit ini berganti-ganti, kedudukan mereka amat teratur dan menyulitkan kedudukan lawan.

Diam-diam Lie Kong memuji. Memang Lam-thian-chit-ong telah menciptakan Chit-seng-tin yang luar biasa kuatnya. Tahu bahwa kalau dilanjutkan, fihaknya, terutama isterinya akan menghadapi bahaya, Lie Kong cepat mengeluarkan suara bersuit panjang. Inilah tanda rahasia bagi dua ekor pek-thouw-tiauw untuk bergerak maju.

Dua ekor burung yang amat setia itu tadinya hanya terbang berputaran di atas saja, bingung melihat cara Chit-seng-tin bergerak, tidak tahu harus berbuat apa, lagi pula, belum ada tanda dari majikan mereka untuk bergerak maka mereka hanya cecowetan dan beterbangan di atas, tidak berani sembarangan bergerak. Kini mendengar suitan Lie Kong, dua ekor burung rajawali raksasa itu mengeluarkan pekik menantang dan dua tubuh yang besar ini menukik dan menyambar ke bawah dengan kecepatan luar biasa.

Begitu dua ekor rajawali ini menggebrak dengan sayap yang besar, kuat dan paruh yang mengerikan, terdengar teriakan-teriakan kaget. Dua orang anggauta Chit-seng-tin telah ke hilangan cambuknya, terampas oleh dua ekor burun g itu! Kedudukan barisan menjadi kacau-balau dan rusak. Lie Kong tidak menyia-nyiakan waktu baik ini, pedangnya bekerja cepat sekali dan si baju putih berteriak kesakitan, pundaknya tergores pedang dan cambuknya terampas. Juga si baju coklat yang kurang hati-hati saking kaget melihat datangnya dua ekor rajawali ini, terluka lengannya dan cambuknya juga terlepas dari pegangan ketika Souw Cui Eag menyerangnya dengan hebat.

Sudah dapat diperhitungkan bahwa sebentar lagi tentu tujuh orang Lam-thian-chit-ong itu akan menderita kekalahan mutlak karena mereka kini sudah kacau-balau bergerak melin dungi tubuhnya sendiri sendiri, tidak merupakan barisan teratur lagi!

Kong Ji melihat hal ini dengan hati khawatir. Tujuh orang itu merupakan pembantu-pembantunya yang boleh diandalkan. Kalau sekarang dibiarkan tewas oleh Lie Kong, ia yang akan merasa rugi sekali. Ia memberi isyarat ke pada Cun Gi Tosu dan Cui Kong kemudian ia sendiri melon cat maju dan membentak,

"Orang she Lie. jangan menjual lagak di sini!" Kong Ji merendahkan diri hampir jongkok, mengumpulkan ten aga sambil menanti datangnya dua ekor pek thouw tiauw yang menyambar lagi. Melihat sikap Kong Ji itu, Lie Kong yang bermata awas dapat duga niat musuhnya ini, akan tetapi sendiri sedang menghadapi serangan Cun Gi Tosu sehingga ia hanya bisa berseru,

"Tiauw-ji, jangan dekat!”

Akan tetapi terlambat. Sepasang burung sudah menyambar turun. Burung-burung ini setia sekali dan mereka mulai mengamuk membela majikan mereka, tidak tahu bahwa Kong Ji sudab siap mengumpulkan tenaga lweekang. Ketika sepasang burung ini sudah menyambar dekat, Kong Ji memukulkan kedua lengannya dengan gerakan Tin-san-kang yang luar biasa hebatnya.

"Blekk!” Tubuh dua ekor burung itu terpental ke atas, bulu-bulu mereka berhamburan dan dua ekor binatang itu terbanting ke bawah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Mereka telah menjedi korban pukulan Tin-san-kang yang dahsyat dan semua isi perut telah hancur lebur oleh pukulan ini!

"Liok Kong Ji manusia jahanaml" Lie Kong berseru keras sekali melihat dua ekor binatang kesayangannya tewas. Pedangnya diputar cepat dalam usahanya hendak menggempur Ko ng Ji, akan tetapi tongkat kakek buntung itu amat kuatnya menghadang dan menyerangnya. Ketika dua buah senjata bertemu, kedua tokoh ini terdorong kebelakang, tanda bahwa tingkat tenaga lweekang mereka memang tidak jauh selisihnya.

Lie Kong terkejut, tidak mengira bahwa kakek buntung ini demikian lihai, maka ia pusatkan perhatiannya dan menghadapi Cun Gi Tosu. Segera perte mpuran seru terjadi, di mana fihak Lie Kong dan isterinya terdesak hebat karena tujuh orang Lam-thian-chit ong dan Cui Kong juga sudah membantu.

"Manusia iblis, kau harus mampus!" bentak Souw Cui Eng. marah sekali melihat “anak mantunya” yang manis itu. Pedang nyonya ini berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyambar ke arah Cui Kong.

Akan tetapi orang muda yang tak tahu malu ini sudah siap, menangkis dengan senjatanya yang istimewa, yaitu lengan tangan kering. Tahu bahwa ia menghadapi lawan tangguh, Cui Kong juga mengeluarkan huncwe mautnya dan melawan “ibu mertuanya” dengan senjatanya ini. Karena Cui Kong sibantu oleh sebagian dari Lam-thian-chit-ong, maka sebentar saja Souw Cui Eng terdesak hebat.

Pertempuran ini betapapun juga membuat muka Kong Ji menjadi merah saking jengah dan malu. Ia tahu bahwa benar-benar akan memalukan sekali apa bila terdengar oleh orang-orang kang-ouw bahwa dia telah mengeroyok dua orang besannya. Melihat kenekatan suami isteri yang gagah perkasra itu, ia menjadi tidak sabar. Pertempuran yang memalukan fihaknya ini harus segera diselesaikan, pikirnya. Diam-diam ia menyiapkan Hek-tok ciam di tangannya

Kepandaian istimewa dari Kong Ji memang banyak macamnya. Selain ilmu pedangnya yang kini bertambah tinggi saja setelah ia mempelajari kitab-kitab Omei-san yang dicuri dan dirampasnya juga ia memiIiki Ilmu Pukulan Tin-san-kang yang amat lihai seperti yang telah ia perlihat kan ketika ia sekali pukul menewaskan dua ekor burung pek-thouw-tiauw tadi. Di samping itu, ia masih memiliki Ilmu Pukulan Hek-tok ciang (Pukulan Tangan Racun Hitam) dan jarum-jarumnya yang disebut hek-tok-ciam adalah jarum-jarum beracun yang amat berbahaya.

Tiba-tiba terdengar jeritan menyayat hati dan Ceng Ceng berlari-lari ke luar dengan rambut riap-riapan. Nyonya muda ini tadi sedang mencuci rambutnya ketika ia mendengar berita bahwa di luar terjadi pertempuran hebat. Tempat pertempuran memang jauh dari tempat tinggalnya, maka ia segera membawa pedang dan berlari ke luar ketika mendengar dari penjaga bahwa musuh yang datang menyerang diikuti oleh dua ekor burung rajawali.

Mukanya pucat sekali, jantungnya hampir meledak dan rambutnya riap-riapan ketika ia berlari menuju ke arah pertempuran. Melihat bahwa betul-betul ayah bundanya yang dikeroyok hebat dan hampir kalah itu, ia mengeluarkan jerit dan menyerbu. Tentu saja ia menyerbu dan menyerang Cui Kong, suaminya yang sedang bertanding mengeroyok ibunya.

"Manusia berhati binatang! Kau berani mengeroyok ibuku?" bentak Ceng Ceng, pedangnya dengan hebat mengamuk dan menyerang Cui Kong.

Cui Kong menjadi kaget dan bingung sekali. Ia memang betul-betul sayang kepada isterinya ini, dan menghadapi serangan Ceng Ceng ia hanya main mundur dan menangkis. "Niocu, mereka yang mendesak, bukan kami...” ia mencoba membela diri.

Sementara itu, ke tika Souw Cui Eng dan Lie Kong melihat munculnya Ceng Ceng dengan rambut riap riapan dan melihat puteri mereka itu datang-datang membantu mereka dan menyerang Cui Kong, hati ayah dan ibu ini menjadi girang. Bagaimanapun juga pernikahan antara anak mereka dan Cui Kong adalah suatu kesalahan yang tidak disengaja oleh Ceng Ceng, karena Cui Kong menggunakan bujukan palsu. Puteri mereka masih tetap seorang gagah dan baik.

"Ceng-ji... dari pada kau menjadi isteri manusia iblis ini, lebih baik kita melawan mati-matian" teriak Souw Cui Eng dengan air mata bercucuran saking terharu.

“Ceng-ji, kita telah ditipu oleh jahanam Cui Kong, mari kita bikin pembalasan!” teriak ayahnya.

Mendengar ini, hati Ceng Ceng makin panas. Ia memang sudah merasa terjeblos dalam perangkap yang dipasang oleh Cui Kong dengan umpan wajah tampan, sikap halus dan kepandaian tinggi. Tadinya ia masih terhibur, karena pandainya Cui Kong bicara. Akan tetapi melihat betapa ayah bundanya dikeroyok, dan kini melihat sepasang burung rajawaii tewas dan mendengar kata-kata ayah bundanya, kemarahan dan sakit hatinya meluap-luap. Ia menyerang Cui Kong makin nekat lagi. mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

"Niocu, jangan... niocu, jangan...!” Cui Kong mengeluh sambil mudur terus. Karena ia tidak mambalas dan karena kemarahan membuat Ceng Ceng menjadi ganas, pundaknya terserempet ujung pedang dan mengeluarkan darah.

Pada saat itu menyambar sinar-sinar hitam ke arah dada dan tenggorokan Ceng Ceng. Nyonya muda ini menjerit dan roboh, tewas di saat itu juga. Sebatang Hek-tok ciam menancap di tenggorokan dan sebatang lagi di dada.

"Niocu...!” Cui Kong menubruk dan memeluk mayat isterinya, sedih sekali akan tapi tak dapat marah karena yang membunuh isterinya adalah Liok Kong Ji. Kong Ji tadi sudah menyiapkan Hek-tok ciam. Melihat sikap Ceng Ceng, ia maklum bahwa kalau mantunya itu tidak dibunuh, kelak tentu selalu akan menimbulkan keributan.

Setelah menyambitkan Hek-tok ciam ke arah Ceng Cen iapun mempergunakan kesempatan selagi Lie Kong dan Souw Cui Eng terkejut me lihat puteri mereka roboh, cepat Kong Ji membidik dan menyambitkan enam buah Hek-tok-ciam dengan kedua tangannya. Dua batang menyambar Cui Eng, yang empat batang menyambar Lie Kong.

Cui Eng tak dapat mengelak, sebatang Hek tok ciam menancap di lambungnya. Nyonya ini menjerit, limbung akan tetapi masih sempat melompat ke dekat Cui Kong dan menusuk orang muda itu dengan pedangnya. Cui Kong mendengar sambaran angin mengelak ke samping, melepaskan tubuh isterinya. Souw Cui Eng menubruk dan memeluk mayat puterinya, terguling dan roboh tewas dengan memeluk Ceng Ceng!

Lie Kong lebih lihai. Dengan pedangnya ia berhasil menangkis empat batang Jarum Racun Hitam itu, akan tetapi biarpun berhasil menyelamatkan diri dari ancaman empat jarum hek-tok-ciam, saat itu tongkat Lo-thian-tung Sun Gi Tosu sudah menyambar. Ilmu tongkat tosu ini hebat sekali dan tadipun dengan susah payah Lie Kong dapat melawan. Sekarang dalam keadaan terdesak oleh serangan jarum-jarum berbahaya, ia kurang dapat mempertahankan diri. Ia masih mencoba untuk mengelak, akan tetapi sambaran ke dua mengenai kepalanya.

"Tak!" Tongkat terpental, seakan-akan mengenai besi. Kepala Lie Kong kelihatan tidak apa-apa, akan tetapi jago pantai timur ini terhuyung-huyung. Dengan mata melotot ia masih dapat melontarkan pedangnya yang meluncur cepat seperti pedang terbang ke arah Liok Kong Ji, akan tetapi sekali mengebutkan lengan baju pedang itu tergulung lengan baju dan jatuh ke bawah. Lie Kong terhuyung dan roboh tak berkutik. Napasnya putus setelah melontarkan pedang. Biarpun kepalanya dari luar tidak kelihatan luka, akan tetapi sebelah dalam sudah tergoncang hebat pukulan tongkat yang mengandung tenaga lweekang itu.

Habislah riwayat Pek-thouw-tiauw ong Lie Kong dengan isteri dan anaknya! Sungguh amat sayang dan menyedihkan kematian keluarga ini dibasmi oleh Liok Kong Ji dan kaki tangannya,

"Bibi...! Bibi...! Siapa yang membunuh bibi... ah, bibi jangan... tinggalkan Leng Leng...!" Bocah perempuan berusia lima tahun itu datang berlari-lari menubruk mayat Ceng Ceng. Akan tetapi sekali tangkap Liok Kong Ji mencegahnya.

“Jangan pegang!" bentaknya. Ia merasa sebal sekali melihat bocah yang semenjak kecil dipelihara dengan kasih sayang itu sekarang berbalik mencurahkan kasih sayang kepada pihak lawan.

“Bibi…!" Leng Leng menangis dan meronta dalam pegangan Kong Ji. "Manusia jahat mana yang membunuhmu...? Akan kupukul kepalanya!”

"Anak setan!" Kong Ji menggerakkan tangan dan tubuh Leng Leng terlempar sampai empat tombak lebih jatuh terguling-guling dan anak itu menangis kesakitan.

"Leng Leng, kau pulanglah, jangan turut campur urusan orang tua!” Can Gi Tosu membentak bocah itu. Akan tetapi Leng Leng tetap berdiri di situ, memandang ke arah mayat Ceng Ceng sambil menangis terisak-isak.

"Totiang, bocah ini kelak tentu akan menimbulkan bencana saja. Pohon buruk lebih baik di cabut selagi masih kecil,” kata Liok Kong Ji, mengerutkan kening. Ia memang jengkel dan sebal melihat Cui Kong masih menangisi kematian isterinya,

"Taihiap, dia masih kecil . Kalau dididik sepatutnya, kelak dapat menjunjung tinggi nama kita,” bantah Cun Gi Tosu yang masih merasa sayang kepada bocah itu. Sebetulnya kesayangan ini bukan merupakan sebab utama mengapa ia hendak melindungi Leng Leng. Yang utama sekali, ia diam diam menganggap Leng-Leng sebagai jimat pelindungnva. Tosu kaki buntung ini sebetulnya merasa gentar juga terhadap Sin Hong dan kalau Leng Leng masih berada di tangannya. Sin Hong tentu takkan berani mengganggunya. Kalau keadaan mendesak, ia dapat menukarkan nyawanya dengan anak ini kelak.

Liok Kong Ji merasa tidak baik pada saat seperti itu meributkan hal bocah kecil. "Hemm, harus mulai sekarang dipimpin baik-baik,” katanya, dan dengan langkah lebar ia menghampiri Leng Leng.

"Leng-ji, jangan menangis. Bibimu itu jahat, hendak membunuh kita, maka dia harus mati. Kalau tidak dibunuh dia tentu membunuh kita semua. kaupun akan dibunuhnya"

"Tidak, tidak bisa! Bibi tidak jahat!" bantah Leng Leng dengan berani.

Kong Ji mengerutkan kening. "Bocah tolol! Kau tidak menurut kata orang tua? Dia jahat! Hayo kau bilang bibi mu itu jahat!"

“Tidak!" Leng Leng berkukuh sambil menggeleng gele lng kepala dan membanting-banting kakinya yang kecil. "Bibi tidak jahat!”

“Plak” Kong Ji menampar pipi bocah cilik itu sehingga tubuh Leng Leng tergelimpang. Akan tetapi anak itu merayap bangun. Pipi kirinya bengkak. Namun tanpa memperdulikan rasa sakit pada pipinya ia memandang Kong Ji tanpa kenal takut.

"Bilang dia jahat!" bentak Kong Ji makin marah.

“Tidak, tidak! Bibi tidak jahat!” Leng Leng tetap menggeleng kepala.

"Plakk!" Kembali tubuh kecil itu terpelanting. Kini agak sukar Leng Leng merayap bangun dan pipi kanannya juga bengkak, kepalanya serasa berputar-putar. Anehnya, bocah ini tadi menangisi kematian Ceng Ceng. Sekarang dipukul sampai bengkak-bengkak mukanya ia tidak mau menangis, malah memandang kepada Kong Ji dengan mata bersinar marah.

Kong Ji sudah melangkah maju, akan tetapi melihat sepasang mata bocah itu, ia bergidik teringat ia akan sepasang mata Sin Hong dan menahan tangannya yang sudah diangkat hendak memukul. Sementara itu Cun Gi Tosu yang khawatir kalau-kalau Kong Ji membunuh bocah itu, sudah mendekati dan memondong Leng Leng sambil berkata,

"Leng Leng, kau tidak boleh melawan. Harus menurut kata-kata orang tua." Kemudian kakek buntung ini menjura kepada Liok Kong Ji.

"Harap Liok-taihiap bersabar. Serahkan saja pendidikan bocah ini kepada pinto.” Setelah berkata demikian, Cun Gi Tosu melompat-lompat dengan kakinya yang tinggal sebuah itu, pergi dari situ.

Juga Kong Ji pulang ke rumahnya dengan hati mengkal, baiknya selir-selirnya yang cantik-cantik dan muda menyambut dan menghiburn ya dengan sikap dan kata-kata manis sehingga tak lama kemudian Liok Kong Ji sudah tidur mendengkur di kamarnya, dipijit dan dikipasi oleh selir-selirnya.

Sementara itu, dengan hati sedih Cui Kong mengurus pemakaman Ceng Ceng dan jenazah Lie Kong dan isterinya serta bangkai dua ekor burung itu diurus baik-baik dan dimakamkan. Pekerjaan ini dibantu oleh Lam-thian-chit-ong dan para anak buah.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Tanpa mengenal lelah, Tiang Bu melaksanakan perjalanan ke selatan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tiang Bu yang mengobrak-abrikt Ui tiok-lim hanya berhasil membasmi Ui tiok-lim dan menewaskan kaki tangan Liok Kong Ji, akan tetapi Liok Kong Ji sendiri bersama Liok Cui Kong dapat melarikan diri. Ketika berjumpa dengan Lai Fei puteri penebang kayu yang lihai itu menengur bahwa ayah Fei Lan terbunuh oleh Lo-thian tung Cun Gi Tosu dan dari gadis ini ia mendengar bahwa kakek buntung itu pergi ke laut selatan.

Tentu Kong Ji dan Cui Kong juga ke sana, pikir Tiang Bu. Kakek buntung itu seorang sahabat baik dan komplotan Kong Ji kalau dua orang keparat itu hendak bersembunyi, tentu tempat kakek buntung itu yang paling aman. Oleh katena sangkaan inilah tanpa mengenal letih Tiang Bu menuju ke selatan.

Pada suatu senjaia memasuki sebuah dusun. Saatet itu keadaan sunyi sekali dan yang kelihatan hanya beberapa orang petani sedang pulang memanggul pacul, ada yang menggiring kerbau. Ketika pemuda ini tengah berjalan memasuki dusun, ia melihat berkelebatnya dua bayangan orang di sebelah depan. Tahu bahwa dua orang itu tentu ahli-ahli silat yang mempergunakan ilmu lari cepat, Tiang Bu tertarik dan iapun lalu menggunakan ginkangnya, meloncat dan berlari mengejar.

Ilmu lari cepat dua orang itu ternyata hebat juga. Sebentar saja mereka sudah keluar dari dusun. Tiang Bu makin tertarik dan terus mengejar sampai tiba di sebuah hutan. Dua orang itu lenyap di dalam hutan. Tiang Bu penasaran dan mempercepat larinya. Sebentar saja ia sudah memasuki hutan itu dan melihat seorang wanita setengah tua namun masih cantik sekali sedang duduk bersila di bawah sebatang pohon besar.

Kaget hati Tiang Bu ketika mengenal wanita ini. Andaikata ia lupa lagi akan wajah wanita ini, ia takkan melupakan sepasang tangan yang kecil mungil akan tetapi berwarna merah itu. Ang-jiu Mo-li Si Iblis Wanita Tangan Merah! Akan tetapi di samping ke kagetannya, ia juga menjadi girang oleh karena ia teringat bahwa wanita ini dahulu juga membawa lari sebuah kitab dari Omei-san.

Sementara itu, Ang jiu Mo Li sudah memandang kepadanya dan bertanya, suara nyaring galak, “Orang muda, sejak tadi kau mengejarku, kau mau apakah?”

Tiang Bu memang biasa jujur dan sederhana dalam kata-katanya. Melihat sikap wanita tengah tua ini dan tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang tokoh besar di dunia kang-ouw, ia segera menjura dan menjawab,

"Tadi di luar dusun aku melihat dua orang berlari-lari. Karena tertarik maka aku segera mengejar sampai ke sini. Tidak tahunya orang di antaranya adalah locianpwe, sungguh kebetulan sekali karena memang aku masih mempunyai sebuah urusan untuk dibereskan dengan locianpwe. ”

Ang-jiu Mo-li mengangkat muka memandang tajam. Bocah seperti ini mempunyai urusan dengan dia?

“Eh, orang muda. Kau ini siapakah? Jangan kau lancang membuka mulut. Orang seperti kau ini ada urusan apakah dengan aku?”

Tiang Bu tersenyum, maklum bahwa orang dengan tingkat setinggi Ang-jiu Mo-li tentu saja bersikap tinggi dan sombong terhadap seorang pemuda biasa seperti dia. Akan tetapi biarpun ia mendongkol, pemuda ini masih mengingat bahwa Ang-jiu Mo li adalah guru Bi Li, maka ia tetap bersikap hormat.

"Tentu saja locianpwe lupa lagi kepadaku. Akan tetapi pernah satu kali kita saling be rtemu di Omei-san."

Ang-jiu Mo li memandang lagi penuh perhatian ke arah wajah yang tidak tampan namun membayangkan kegagahan dan kejujuran itu. Tiba-tiba ia teringat akan bocah murid dua orang kakek Omei-san yang dulu pernah bertempur melawan Toat-beng Kui bo. Terkejutlah Ang-jiu Mo li dan ia serentak melompat berdiri. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda yang mengejarnya tadi ini adalah bocah murrid Omei-san itu.

"Hemm, kaukah ini? Sekarang katakan apa urusan itu,” tanya Ang jiu Mo-li, hatinya mulai terasa tidak nyaman.

"Sebelum suhuku menghembuskan nafas terakhir, beliau meninggalkan pesan kepadaku agar supaya aku pergi mencari kitab-kitab Omei-san yang dilarikan orang dan mengambilnya kembali. Oleh karena cianpwe termasuk orang di antara mereka yang membawa pergi kitab Omei-san, kalau tidak salah kitab pelajaran Ilmu Silat Kwan-im cam-mo, maka bukankah pertemuan ini kebetulan sekali? Kuharap saja cianpwe sudah merasa cukup puas meminjam kitab itu selama bertahun-tahun dan sudi mengembalikannya kepadaku.”

Ang-jiu Mo-li tersenyum mengejek. Alangkah besarnya nyali pemuda ini. pikirnya. berani minta kembali kitab begitu saja!

"Orang muda bernyali naga, siapakah namamu ?”

"Namaku Tiang Bu...”

Ang-jiu Mo-li hilang senyumnya, nampak tercengang. “Aha, kaukah yang bernama Tiang Bu? Kau anak keluarga Coa di Kim bun-to?”

Kini Tiang Bu yang tercengang. Bagaimana wanita sakti ini dapat tahu akan hal ini? Padahal ia tidak pernah bercerita kepada siapapun juga, kecuali kepada Bi Li, tentu. Apakah Bi Li pernah bercerita kepada gurunya ini? Akan tetapi belum lama ia berkumpul dengan Bi Li dan baru saja berpisah, apa Bi Li sudah berjumpa dengan Ang jiu Mo-li semenjak buntung lengannya? Betapapun juga, pertanyaan itu harus dijawabnya.

"Aku hanya... anak angkat mereka...”

“Bagus sekali permintaanmu! Kau betul-betul hendak merampas kembali kitab Kwan-im-cam- mo itu dari tanganku? Lihat, memang kitab ini masih kubawa. Kau mau merampasnya?" Ang-jiu Mo-li mengeluarkan sebuah kitab dari saku bajunya.

“Mana berani aku berlaku kurang ajar? Aku hanya mengharapkan kebijaksanaan untuk mengembalikan barang orang lain.”

"Betul-betul kau hendak minta kembali?"

"Aku adalah seorang murid yang harus mentaati pesan suhu sampai di manapun juga."

"Kitab-kitab Omei-san terjatuh ke dalam tangan orang-orang pandai yang sama sekali bukan lawanmu. Amat berbahaya kalau kau menghendaki semua orang itu mengembalikan kitab. Mengapa kau be rsusah payah, toh gurumu sudah meninggal dunia? Kalau kau tidak memenuhi pesan gurumu yang sudah tidak ada lagi itu, tidak ada orang tahu."

Tiang Bu mengerutkan alisnya yang tebal. “Kali ini cianpwe kh ilaf! Cianpwe menyatakan tidak ada orang tahu, bukankah aku sendiri dan cianpwe men getahui kalau aku menjadi murid tidak setia? Apakah cianpwe dan aku bukan orang? Biarpun aku akan menghadapi orang orang sakti dan akhirnya aku harus berkorban nyawa, tetap aku akan memenuhi pesan suhu."

Diam-diam Ang-jiu Mo-li makin kagum kepada pemuda yang setia dan berbakti ini. Tadipun ia hanya menguji hati Tiang Bu.

"Betul-betul kau akan memaksaku menyerahkan kitab ini?”

"Kalau cianpwe tidak suka mengembalikan dengan suka rela, terpaksa aku yang muda akan berlaku kurang ajar dan mencoba kebodohan sendiri." jawab Tiang Bu, sikapnya menantang.

Ang-jiu Mo-li masih hendak mencoba sekali lagi. Ia menoleh ke belakang dan berseru keras lalu berkata, “Muridku, kau keluarlah!”

Dari balik gerombolan pohon berkelebat suatu bayangan dan di saat lain, seorang gadis telah berdiri di samping Ang-jiu Mo-li. Wajahnya menjadi pucat ketika ia memandang kepada pemuda itu.

"Tiang Bu..."

Tiang Bu girang bukan main. Ia melangkah maju dan mengulurkan kedua tangannya. "Bi Li... kau di sini...? Payah aku mencari carimu...!”

Akan tetapi ia segera teringat bahwa di situ ada Ang-jiu Mo-li, maka dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Tiang Bu menarik kembali tangannya memandang kepada gadis buntung lengan ya itu dengan wajah diliputi keharuan, kedukaan juga kasih sayang besar. Juga Bi Li meman dang pemuda itu, dan dua titik air mata membasahi sepasang pipi Bi Li yang pucat. Gadis ini menggigit bibirnya, seakan-akan menahan isak tangis dan menahan agar mulutnya tidak mengeluarkan kata-kata. Mata Ang-jiu Mo-li yang tajam melihat keadaan dua orang in i, wajahnya berseri. Kemudian ia berkata,

"Bi Li, kawanmu Tiang Bu ini datang hendak memaksa aku mengembalikan kitab Kwan-im-cam mo. Karena dia kawanmu, aku tidak tega menjatuhkan tangan mencelakainya. Akan tetapi dia berkepala batu dan hendak menggunakan kekerasan. Kausuruh dia membatalkan maksudnya itu."

Bi Li cukup mengenal watak gurunya yang keras hati dan tidak mau mengalah, Ia tahu bah wa kalau Tiang Bu berkeras minta kembali kitab, pasti akan terjadi pertempuran hebat sampai salah seorang menderita luka. Dan ia sayang keduanya, tidak menghe ndaki seorang di antara mereka terluka.

"Tiang Bu, aku minta kau suka mengalah dan jangan memaksa guruku mengembalikan kitab Omei san.” kata Bi Li dengan suara lemah sambil menundukkan muka tidak mau melihat Tiang Bu karena ia sendiri merasa fihaknya yang bocengli (tidak pakai aturan).

Tiang Bu menggelengkan kepala perlahan. Mengapa Bi Li begitu tak adil? "Bi Li, kitab itu milik mendiang suhu yang sudah memesan supaya aku mengambil semua kitab yang dirampas orang dari Omei-san. Siapapun orangnya yang mengambil kitab itu, harus kuminta kembali. Dalam hal lain aku boleh mengalah terhadap gurumu, akan tetapi dalam hal ini... tak mungkin.”

Ang-jiu Mo li segera berkata, "Bi Li, mulai saat ini aku memberikan kitab ini kepadamu, akan tetapi dengan pesan jangan kau berikan kepada siapapun juga!”

Bi Li maklum akan maksud gurunya ini. Dia sudah menceritakan tentang keadaaannya dan hubungannya dengan Tiang Bu, maka kini gurunya hendak mempergunakan cinta kasih Tiang Bu terhadapnya untuk mengalahkan pemuda itu.

"Tiang Bu, mengapa untuk kitab yang satu ini kau tidak dapat mengadakan pengecualian. Kuharap sekali lagi kau suka mengalah demi... mengingat akan... persahabatan kita...” Kata-kata terakhir ini dikeluarkan perlahan sekali dan kini air matanya, tak dapat dibendung lagi, mengucur dari kedua matanya. Gadis ini sebenarnya amat cinta kepada Tiang Bu yang sudah berkali-kali membuktikan kegagahan, kecintaan, dan kesetiaannya.

Tiang Bu menjadi pucat mendengar kata-kata ini. Untuk sejenak ia memandang Bi Li. Ah, alangkah inginnya ia mendekati, menghibur gadis yang buntung lengannya akan tetapi baginya malah mempertebal kasih sayangnya karena kasih sayang itu ditambah oleh rasa kasihan besar sekali. Jangankan baru sebuah kitab, biar seribu buah kitab tentu akan ia relakan demi mengingat Bi Li. Akan tetapi bukan kitab ini, kitab yang harus ia ambil kembali, biarpun ia harus menukar dengan nyawanya.

"Bi Li." katanya mengeraskan hati biarpun suaranya gemetar. "Seorang laki-laki harus dapat mengesampingkan perasaan hati dan urusan sendiri. Mana bisa aku mengkhianati mendiang suhu hanya untuk urusan pribadiku sendiri? Kebaktian dan kesetiaan murid terhadap gurunya adalah suci, dan harus berjalan di atas jalan kebenaran. Andaikata mendiang suhu meninggalkan pesan supaya aku merampas kitab yang bukan menjadi milik dan haknya, tentu dengan senang hati aku melanggar pesan yang tidak benar ini. Akan tetapi pesan suhu ini berlandaskan kebenaran. Kitab ini adalah kitab dari Omei-san yang diambil oleh gurumu. Suhu berpesan agar aku mengambil kembali semua kitab yang hilang, oleh karena kalau kitab-kitab itu terjatuh ke tangan orang jahat, hanya akan menambah kacau dan kotornya dunia. Sekarang aku sudah bertemu dengan gurumu, dan kitab itu sudah bertahun tahun berada di tangan gurumu, tentu isinya sudah hafal olehnya. Mengapa masih harus mengukuhi kitab yang bukan menjadi miliknya?”

Bi Li tak dapat menjawab. Dalam hatinya, tentu saja ia membenarkan pendirian Tiang Bu, akan tetapi di depan gurunya ia tidak berani berkata apa-apa. Adapun Ang-jiu Mo-li yang sengaja bersikap keterlaluan itu hanya untuk menguji hati Tiang Bu, makin lama makin kagum. Belum pernah ia bertemu dengan seorang muda yang demikian teguh hatinya, demikian tebal rasa bakti dan setianya. Seorang pemuda gagah perkasa, hanya tinggal menguji kepandaiannya saja.

Ang-jiu Mo li telah mendapatkan murid yang ia sayang itu di dalam hutan. Bi Li hendak memhunuh diri dengan jalan menggantung leher pada angkinnya di sebuah pohon besar. Setelah Ang jiu Mo-li menolongnya Bi Li dengan air mata bercucuran menceritakan nasibnya yang malang, kehilangan sebuah lengannya yang ditabas buntung oleh Liok Kong Ji. Kemudian diakuinya betapa Tiang Bu amat mecintanya dan bahwa sesungguhnya iapun suka kepada pemuda itu. Hanya karena lengannya sudah buntung ia merasa tidak berharga menjadi jodoh pemuda itu, maka diam-diam meninggalkan Tiang Bu dan mencoba membunuh diri di situ.

Ang-jiu Mo-li marah bukan main, menghibur muridnya dan berjanji hendak mencari Liok Kong Ji untuk membalaskan sakit hati muridnya. Kebetulan di tengah jalan bertemu dengan Tiang Bu, Ang-jiu Mo-li sengaja hendak menguji batin pemuda yang dipilih muridnya dan ia makin kagum saja menyaksikan sikap Tiang Bu. Seorang ksatria tulen, dan kini ia hendak mencoba kepandaian Tiang Bu.

“Orang muda, kau pandai bicara. Kalau kau bertekad mengambil kembali kitab-kitab Omei-san, tentu kau sudah mempunyai kepandaian. Kitab ini dulu kudapat tidak dengan jalan mudah, bukan diberi hadiah, hanya diambil dengan mempergunakan kepandaian. Kalau kau hendak minta kembali, kau juga harus mempergunakan kepandaian. Coba kau layani aku beberapa jurus, kalau kau bisa menangkan aku, tentu saja kitab ini boleh kau ambil kembali.”

Inilah sebuah tantangan dan Tiang Bu memang sudah bertekat takkan mundur setapak dalam usaha memenuhi pesan suhunya. Hatinya amat tidak enak terhadap Bi Li, akan tetapi apa boleh buat. Demi kebenaran, ia bersedia mengorbankan segala, baik nyawanya ataupun kebahagiaannya. Ia melirik ke arah Bi Li dan berkata lirih.

"Bi Li, maafkan kalau aku melawan gurumu. Kau tahu aku melakukannya karena terpaksa oleh kewajiban." Lalu ia menghadapi Ang-jiu Mo-li dan menjura sambil berkata, "Aku yang muda bersedia."

Ang-jiu Mo li masih memandang rendah pemuda itu. Ia hanya ingin menguji sampai di mana kepandaian Tiang Bu, biarpun pemuda itu takkan dapat memenangkannya, tetap saja ia akan mengembalikan kitab karena ia pikir lebih baik muridnya yang sudah buntung itu menikah dengan pemuda pilihan ini. Ia mengangkat kitab Kwan-im Cam-mo itu tinggi di atas kepala sambil berkata,

"Kau sudah siap sedia? Nah, lekas rampas kitab ini!”

Diam-diam Tiang Bu mendongkol. Ia tahu bahwa pendekar wanita ini memandang rendah kepadanya, maka iapun tidak mau sungkan-sungkan lagi. "Maafkan aku yang bodoh,” katanya tahu-tahu tubuhnya sudah melesat ke depan tangan kiri menampar pundak, tangan kanan menyambar untuk merampas kitab.

Ang jiu Mo-li masih memandang rendah. Tangan kanannya menyampok tamparan pemuda itu dengan pengerahan tenaga. Menurut perhitungannya, tangkisan sudah cukup kuat untuk membuat pemuda itu terpelanting dan tentu usahanya merampas kitab akan gagal. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tangan kanannya bertemu dengan lengan pemuda itu, ia merasa lengannya kesemutan dan seperti lumpuh, tanda bahwa ia tadi kurang mengerahkan tenaga sehingga tenaganya tertindih dan kalah kuat, dan sebelum ia dapat menguasai diri, tahu-tahu kitab di tangan kirinya telah terambil oleh pemuda itu yang sudah melompat mundur kembali.

Dalam segebrakan saja kitab sudah dirampas! Ini tak boleh jadi, pikir Ang-jiu Mo-li. Cepat laksana kilat menyambar, tubuh Ang-jiu Mo-li sudah berkelebat maju mengejar Tiang Bu, kedua tangannya bergantian mengirim Pukulan Ang-jiu-kang ke arah dada dan perut Tiang Bu!

Harus diketahui bahwa pukulan Ang-jiu-kang dari Ang-jiu Mo-li ini hebatnya bukan main. Pernah ia bertemu Liok Kung Ji dan bertanding dan ternyata Ang jiu kang malah lebih hebat dari pada Hek-tok ciang dari Liok Kong Ji. Karena kelihaian tangan merahnya inilah maka Ang Jiu Mo-li menjadi terkenal sekali dan ia ditakuti orang di wilayah utara.

Tangan itu belum sampai, hawa pukulannya sudah terasa. panas dan kuat sekali. Tiang Bu berlaku waspada, maklum bahwa menghadapi pukulan macam ini ia tidak boleh sembrono. Juga ginkang dari Ang jiu Mo-li, luar biasa sekali gerakannya cepat seperti kilat menyambar...