Tangan Gledek Jilid 25

Cersil karya kho ping hoo serial pendekar budiman episode tangan gledek jilid 25

Tangan Gledek Jilid 25

“CENG-MOI, kau teruskanlah. Kami berdua sebetulnya tadi sudah menyerangnya dan kami kalah." kata Pe k Lian. Suaranya lemah-lembut penuh kejujuran dan diam-diam Tiang Bu memuji nona berpakaian pria itu, juga merasa kasihan.

“Bukan kalah, memang belum bertempur sungguh-sungguh dan aku yang mendahului lari cepat-cepat. Kalau bertempur sungguh-sungguh, nona yang berpakaian pria itu lihai bukan main, aku tidak berani memastikan akan menang.”

Ceng Ceng menyentak Tiang Bu. "Kau kasihan kepada enci Pek Lian, ya? Kau... kau... tergila-gila kepadanya agaknya, ya? Jangan kau kurang ajar, manusia tak tahu diri!”

Thing Bu kaget bukan main. Perangai nona cilik ini, benar-benar aneh. Baru saja ramah-tamah sekali, tahu-tahu seperti minyak dijilat api, tiba-tiba marah-marah seperti orang mabok. Saking herannya Tiang Bu memandan g bengong.

"Jiwi cici, jangan salah sangka. Aku sengaja memberi penjelasan kepada bocah ingusan ini...”

"Aku bukan bocah ingusan, kau... bocah sombong!” Tiang Bu berteriak marah karena beberapa kali ia dihina.

Ceng Ceng tersenyum mengejek dan tidak memperdulikannya, "Bocah rewel dan manja ini harus diberi penjelasan agar nanti kalau mampus olehku dia tidak penasaran lagi. Jangan sampai arwahnya menghadap Giam-kun (Raja Maut) dan melaporkan bahwa kita ini perampok-perampak jahat, kan cialat (celaka) untuk kita!"

Terpaksa Ang Lian dan Pek Lian tersenyum lagi dan kembali sikap Ceng Ceng seperti tadi, manis jenaka. "Bocah, kau mau tahu segalanya, bukan? Nah, kau dengar baik-baik. Pada dewasa ini, Huang-ho Yauw-koai iblis di Sungai Huang-ho yang agaknya kalau bukan ayahmu tentu mertuamu itu...”

"Setan kau...!" Tiang Bu memaki.

"Iblis sungai itu sedang mengamuk." Ceng Ceng melanjutkan, tidak perduli akan makin Tiang Bu, "membuat air sungai membanjir dan banyak rakyat kehilangan semua benda bahkan banyak yang kehilangan nyawa. Akibatnya kelaparan merajalela. Nah, ayah mengajak aku mengunjungi Huang-ho Sian-jin yang seperti biasa tiap tahun kalau terjadi banjir, sibuk menolong rakyat.

Kali ini benar benar dibutuhkan banyak uang untuk mencegah orang-orang mati kelaparan, maka sengaja Huang-ho Sian-jin mengutus dua orang anaknya untuk merampas harta yang tidak halal dari pembesar tukang catut itu. Aku diperintah oleh ayah untuk mengamat-amati, takut kalau-kalau ada bocah-bocah ingusan nakal macam engkau ini mengganggu jiwi cici di tengah jalan."

"Bagaimana kau tahu kalau barang-barang berharga yang dirampok ini barang barang tidak halal?"

"Ho-ho kau tidak saja masih ingusan, bahkan kepalamu masih berbau bawang (sindiran untuk orang yang masih hijau). Masa gitu saja tidak tahu? Biarpun masih pelonco, kalau sudah terjun di dunia kangouw harus tahu membedakan ini. Bangsat she Kwee itu adalah seorang pengkhianat yang mengekor Kerajaan Kin. Tadinya ia miskin akan tetapi setelah bekerja di sana, memperoleh kekayaan berlimpah-limpah dan sekarang karena takut akan serbuan balatentara Mongol, ia membawa hartanya lari ke selatan. Dari mana lagi ia mendapat harta begitu banyak kalau bukan dari memeras rakyat dan mencatut Kerajaan Kin? Dia bukan pedagang yang bisa menarik banyak keuntungan. Apakah orang macam itu harus didiamkan saja, dia memang banyak harta rakyat sampai berlebih-lebihan, tidak habis biarpun dimakan oleh anak cucunya sampai tujuh turunan, sedangkan rakyat di sepanjang lembah Huangho menderita kelaparan?"

"Hemmm, kalau betul kata-katamu ini, memang usaha kalian hebat sekali, patut dipuji. Akan tetapi, aku mendengar dari orang-orang Siang kim-sai Piauwkiok, benda-benda di dalam peti ukiran Kilin itu adalah milik Pangeran Wanyen Ci Lun yang dititipkan. Kilian tidak boleh mengganggu miliknya. Aku mendengar bahwa Pangeran Wanyen Ci Lun adalah seorang gagah yang berbudi." kata Tiang Bu.

"Kau mendengar. kau mendengar... agaknya kau terlalu mengandalkan daun telingamu yang lebar seperti telinga gajah itu. Tidak perduli Wanyen Ci Lun seorang baik seperti dewa, namun ia tetap seorang pangeran yang takkan mampus kelaparan kalau hartanya yang sebegini saja diambil orang. Sebaliknya, harta ini bisa menolong nyawa ribuan, bahkan puluhan ribu orang di sepanjang sungai yang pada saat ini sudah hampir mati kelaparan!"

Tiang Bu melongo . Baru kali ini ia mendengar pidato yang begitu panjang akan tetapi mengenai betul pada hatinya. Tepat dan hebat. "Kau betul..." akhirnya ia berkata. "Akan tetapi aku masih belum percaya. Aku harus menyaksikan sendiri. Dan lagi, kau ini siapakah begini pandai bicara seperti tukang jual obat?”

“Ha, jadi kau sudah percaya? Kalau begitu lebih baik lagi. Tak usah aku menambah dosa mengantar nyawamu ke alam baka. Serahkan yang dua bungkus itu dan pergilah kau cepat-cepat."

"Eh, eh, nanti dulu, nona cilik."

"Aku tidak cilik lagi. Usiaku sudah lima belas tahun, tahu?!"

"Benarkah?” Tiang Bu sekarang mendapat kesempatan membalas godaan-godaan dan hinaan tadi. ia tersenyum dan matanya berseri-seri. "Kau tidak patut kalau berusia lima belas tahun pantasnya kau... sembilan tahun atau dua puluh tahun."

“Kau edan !" Ceng Ceng menjerit. "Masa kalau tidak sembilan tahun dua puluh tahun. Terkaan macam apa ini?"

“Dibilang sudah tua, kau suka menggoda dan menghina orang seperti anak kecil saja, maka kau patut berusia sembilan tahun. Dibilang kecil, kau pandai bicara seperti orang tua saja, maka kau tentu lebih dari dua puluh tahun...“

"Eh. kecoa! Kau sudah bosan hidup, ya...? Kau mau mampus, ya...? Hemm, sekali tusuk lenyap nyawamu...” Sambil berkata demikian, gadis itu melangkah maju dan ujung rantingnya mengancam jalan darah kematian. Ketika Tiang Bu mundur-mundur dia maju-maju terus mengancam, marahnya bukan main.

"Sudahlah, apa kau ini tukang bunuh orang? Masa denok-denok kok keji, tidak patut, dong! Pantasnya orang cantik itu ramah-tamah dan halus...”

Tangan yang memegang ranting menjadi lemas dan ranting itu diturunkan ke bawah. "Awas, adik Ceng Ceng. Jangan kena tipu muslihatnya. Biarpun mukanya seperti monyet hitam, namun ia pandai memikat hati. Cici Pek Lian sendiri hampir-hampir terpikat olehnya...”

"Plak!" Pipi Ang Lian kena ditampar oleh Pek Lian yang menjadi merah sekali mukanya. "Ang Lian, sekali lagi kau bicara begitu akan kulaporkan kepada ibu supaya kau dirangket.”

Sementara itu, sepasang mata Ceng Ceng berapi-api mendengar ini. Ranting ditangannya tergetar. "Betul begitukah? Kalau begitu harus mampus..."

"Hayaaa, kalian ini memang orang orang aneh sukar sekali diajak urusan," kata Tiang Bu. "Aku tidak ingin bertempur. Tentang harta ini, biarlah aku ikut kalian, aku hendak menyaksikan sendiri apakah betul ada usaha orang tua kalian menolong rakyat jelata yang kelaparan. Kalau memang betul, tidak hanya empat kantong benda ini kuserahkan dengan rela, bahkan aku sendiri bersedia disuruh membantu apa saja untuk meringankan beban rakyat di sana."

"Tapi kauserahkan dulu yang dua kantong itu!" kata Ccng Ceng.

"Bodoh, mana boleh begitu? Aku akan diejek orang di jalan kalau membiarkan kalian orang-orang wanita membawa barang berat sedangkan aku enak-enak saja. Bahkan kalau kalian percaya, yang dua itu boleh kubawakan."

"Astaga! Jadi dia akan melakukan perjalanan bersama kita? Aku tidak sudi!" kata Ang Lian.

"Jangan kuatir, enci Ang Lian. Aku tidak akan pergi bersama-sama. Kalian boleh jalan dulu, aku menyusul belakangan karena aku masih ada sedikit urusan di sini."

Memang Tiang Bu tentu saja tidak mau pergi begitu saja sebelum urusannya yang penting di selesaikan, yaitu mencari Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong di lembah Sungai Yangce yang berada tak jauh dari kota Wu-keng. Setelah bertemu dengan orang yang dicarinya dan urusan minta kembali kitab beres, baru ia hendak menyusul ke lembah Sungai Huang-ho.

Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng tidak setuju. Selagi ia hendak membantah, tiba-tiba terdengar derap banyak kaki kuda dan tak lama kemudian muncullah delapan orang penunggang kuda yan g terdiri dari orang-orang bertubuh gagah perkasa dan di tengah -tengah mereka terdapat orang yang memegang sebuah bendera besar.

“Nah, nah, agaknya pentolan-pentolan Siang-kim sai Piauw-kiok telah menyusul kita...!” kata Ang Lian dengan nada menyesal mengapa Ceng Ceng dan Tiang Bu membuang-buang waktu dengan mengobrol tidak karuan.

Memang dugaan Ang Lian ini betul. Yang datang adalah Siang-kim-sai (Sepasang Singa Emas) sendiri, yaitu Twa kim-sai Yo Sang dan Ji-kim-Sai Yo Teng, diantar oleh enam orang murid-muridnya yan g pandai. Siang-kim-sai memang pantas berjuluk Singa Emas, karena kedua saudara kakak-beradik ini memiliki wajah yang berbentuk segi empat seperti muka singa, bermata lebar dan galak, bertubuh tegap kuat. Yo Seng muka kuning sedangkan adiknya, Yo Teng bermuka merah. Begitu mendengar laporan Lu Tiang Sek bahwa peti berukir sepasang Kilin dirampas oleh dua orang puteri Huang-ho Sian-jin. dua orang piauwsu ini segera membawa murid-murid mereka melakukan pengejaran.

Kini melihat di tempat itu selain dua orang gadis yang merampas barang berharga masih terdapat seorang gadis muda dan seorang pemuda yang keduanya membawa buntalan-buntalan itu, mereka menjadi heran akan tetapi girang. Melihat empat kantong itu masih berada bersama para perampok, berarti ada harapan mcrampasnya kembali. Apalagi empat orang perampok itu hanya tiga gadis ayu dan seorang pemuda tanggung.

"Anak-anak Huang-ho Sian-jin, kalian sungguh lancang sekali berani mengganggu kumis singa!" datang-datang Ji-kim-sai Yo Teng yang berusia empat puluh tahun dan wataknya agak mata keranjang tak boleh melihat jidat halus ini, berkata dengan sombong... "Hayo maju menghadap, hanya kalau kalian mengembalikan barang rampasan dan minta maaf sambil berlutut baru kami dapat mengampuni kalian!”

"Enci Pek, kau lihat dia ini. Mengakunya singa akan tetapi kalau kulihat baik-baik kok mukanya kaya kucing pemakan bangkai?”

"Mai moi, jangan bergurau, mari kita siap menghadapi Siang kim-sai," jawab Pek Lian sambil melangkah maju dan mencabut pedangnya. Kemudian ia berkata kepada Yo Seng dan Yo Teng, "Jiwi piauwsu mau apakah? Memang betul kami telah mengambil barang yang didapatkan secara tidak halal oleh pembasar Kin pengkhianat bangsa itu."

Yo Seng sudah mendengar bahwa gadis pertama yang berpakaian pria memiliki kepandaian tinggi, maka kepada Pe k Lian ia berkata. "Nona, melihat muka ayahmu. Huang-ho Sian-jin, biarlah kita habiskan urusan ini asal saja kau suka mengembalikan barang-barang itu. Biar lain kali kami datang mencari ayahmu untuk menghaturkan terima kasih." Kalau seorang piauwsu hendak mengadakan kunjungan kepada seorang tokoh Liok-lim dan menghaturkan terima kasih, itu artinya sang piauwsu merendahkan diri dan mengalah, tentu akan datang untuk memberi "apa-apa" sekedar tanda penghormatan.

"Tidak bisa, barang yang sudah kami rampas. tak dapat kami kembalikan begitu saja. Kalau jiwi piauwsu ada kemampuan, boleh coba rampas kembali," kata Pek Lian tenang.

Mendengar ini, Yo Teng marah. "Koko, mengapa mendengarkan ocehan bocah? Kau tangkap yang banci itu, biar aku tangkap yang galak ini" Sambil berkata demikian, Yo Teng menubruk maju hendak me nangkap Ang Lian.

"Kucing pemakan bangkai, mana kumismu?” Ang Lian mengejek dan pedangnya ditusukkan ke depan menyambut tubrukan Yo Teng. Piauwsu ini kaget sekali, dan menyesal telah berlaku sembrono. Tak disingkanya bahwa gadis itu memiliki gerakan yang amat cepat. Namun piauwsu ini berkepandaian tinggi, dan cepat ia dapat menggulingkan diri ke kiri dan bergulingan di atas tanah menghindari kejaran lawan.

"Hi hi hi, belum apa-apa kucing busuk sudah gulung koming!" Ang Lian mengejek.

Yo Teng marah dan kini ia sudah mencabut goloknya, senjata yang amat ia andalkan. Ejekan gadis itu melenyapkan rasa sayangnya ke pada gadis berwajah manis ini. Sambil mengeluarkan geraman seperti singa mengaum, ia menerjang lagi, mempergunakan goloknya. Ang Lian cepat menangkis dengan pedangnya. Tidak berani berlaku sembrono karena dari gerakan golok lawan, ia maklum bahwa piauwsu ini kepandaiannya lihai.

Sementara itu, melihat adiknya sudah mulai bertempur, Yo Seng juga mencabut golok dan berkata kepada Pek Lian. "Menyesal sekali kau keras kepala. Terpaksa aku harus melayani tantanganmu!” Setelah berkata demikian iapun berseru keras dan goloknya berkelebat dahsyat.

Namun Pek Lian yang sikapnya tenang itu sudah siap pula dengan pedangnya. Dengan tangkas dan berani gadis berpakaian pria ini mengangkat pedang menangkis golok, bahkan cepat lakukan serangan balasan yang tak kalah dahsyatnya.

Hebatnya pertempuran antara Ang Lian melawan Yo Teng dan Pek Lian melawan Yo Sen g ini. Kepandaian mereka berimbang hanya Ang Lian masih kalah kuat oleh Yo Teng yang memiliki kepandaian sama dengan kakaknya. Sementara itu, Tiang Bu dan Ceng Cen g hanya menonton saja. Melihat jalannya pertandingan, Tiang Bu mengerutkan alisnya dan merasa khawatir akan keselamatan dua orang gadis muda itu.

Keadaan Pek Lian masih ti dak begitu buruk, karena ilmu pedang dari gadis ini berar-be nar lihai sehingga tak usah kalah atau terdesak oleh lawannya, keadaan dia dan lawannya benar-benar seimbang dan masih sukar untuk menentukaa siapa yang akan kalah. Yo Seng lebih kuat dan senjatanya amat berat sehingga dalam setiap bentrokan senjata, piauwsu ini dapat melakukan tekanan -tekanan.

Akan tetapi, Pek Lian lebih lincah dan cepat maka gadis ini dapat menutup kerugiannya kalah tenaga dengan kecepatannya se hingga pedangnya seakan-akan mengurung lawan. Yang amat menggelisahkan hati Tiang Bu adalah keadaan Ang Lian. Gadis in i biarpun lihai namun ilmu pedangnya belum sematang ilmu pedang cicinya, dan pula gerakan-gerakanya masih ceroboh, karena Ang Lian memounyai nafsu besar dan selalu menuruti nafsunya hendak cepat-cepat merobohkan lawannya, akan tetapi ternyata ia kalah setingkat oleh Y o Teng sehingga dialah yang akhirnya terdesak oleh golok lawan.

Tiang Bu melirik ke arah Ceng Ceng yang berdiri di sebelahnya. Ia melihat gadis ayu ini berdiri sambil menonton, agaknya tertarik dan gembira sekali, tandanya sepasang mata bintang itu tidak berkejap sejak tadi dan sinarnya berseri-seri. Benar benar denok anak ini pikir Tiang Bu dan ia kaget sekali. Lagi-lagi ada dorongan aneh dari dalam dadanya, dorongan yang hampir sama dengan dorongan selera orang kelaparan melihat makanan lezat.

Dalam perantauannya, bukan jarang Tiang Bu merasa kelaparan karena berhari-hari tidak bertemu nasi, maka ia sudah sering kali merasai bagaimana nafsu seleranya timbul apabila dalam keadaan demikian itu ia mencium bau capcai goreng atau melihat ayam panggang digantung dalam restoran. Sekarang ia kaget sekali karena semenjak bertemu dengan Ang Lian dan Pek Lian, nafsu selera yang hampir sama, bahkan lebih merangsang, selalu timbul di dalam dadanya tiap kali ia melihat gadis cantik. Apalagi melihat wajah Ce ng Ceng dari samping ini tanpa diketahui oleh gadis itu, benar-benar membuat ia terpesona dan dia diam-diam Tiang Bu merjadi takut. Ia takut kalau dorongan yang merangsang itu akan mengalahkannya, dorongan yang mendatangkan keinginan yang maha kuat untuk menubruk dan memeluk Ceng Ceng!

"Setan bodoh!" dengan muka panas Tiang Bu menampar pipinya sendiri dan benar saja dorongan nafsu itu segera terbang pergi dan pi pinya terasa pedas panas . Akan tetapi Tiang Bu masih terus menampari pipinya sampai empat lima kali.

Mendengar suara plak plak plo k di sebelahnya, Ce ng Ceng me nengok dan mata serta mulutnya tadinya terbuka lebar saking herannya, kemudian tertawa geli. "Lho...! Kau ini sudah kumat genden gmu ataukah memang sebangsa o.t.m. (otak miring)? Kok pipi sendiri ditampari, kalau sudah gatal ingin ditampar kenapa tidak maju saja ke medan pertempuran?"

Tiang Bu bersungut-sungut. Bocah pere mpuan ini selalu mempergunakan satiap kesempatan untuk mengejek dan menghinanya. Ia melirik dan matanya yang bun dar besar itu mendelik. “Kau bisa mengejek orang, kau sendiri ini orang macam apa? Benar-benar seorang sahabat yang bagus! Dua orang kawanmu terancam bahaya dan kau enak-enak saja menjadi penonton tanpa bayar, bahkan seperti kelihatan senang melihat kawan-kawan terancam bahaya. Hah, tak tahu malu!"

"Aaahh, kau anak kecil tahu apa? Mereka itu dua lawan dua, masa aku harus turun tangan mengeroyok? Laginya, membantu enci Pek Lian atau enci Ang Lien sebelum mereka mundur dan mengaku kalah, berarti menghina mereka. Ahh, kau ini benar-benar belum tahu apa-apa. Kasihan!"

Untuk kesekian kalinya Tiang Bu menjadi merah telinganya. Biarpun ia mendongkol, terpaksa ia mengakui kebenaran ucapan nona ini yang agaknya sudah memiliki pengalaman luas dalam dunia kang-ouw. ia melirik ke arah muka Ceng Ceng yang berdiri di sebelah kirinya, menjadi geli melihat wajah yang masih kekanak-kanakan itu berlagak tua.

"Kau berkali-kali menyebutku anak kecil " kata Tiang Bu, suaranya menyatakan kemendongkolan hati. "Padahal kau sendiri baru berusia dua belas tahun, sedikitnya aku lebih tua beberapa bulan atau setahun! Sepatutnya kau menyebutku koko (kakak) kepadaku...”

Bibir gadis itu berjebi. “Cihh, siapa sudi...“

Pada saat itu terdengar suara keras dan pedang ditangan Ang Lian terlempar ole h sampokan keras golok Yo Teng. Ang Lian menge luarkan seruan kaget dan melompat jauh sambil berseru, "Ceng moi, tolong gantikan aku...!"

Entah kapan ia melompat, tahu-tahu tubuh Ceng Ceng sudah mencelat dan ujung rantingnya ditodongkan ke depan hidung Yo Teng yang hendak mengejar Ang Lian. "Biarkan aku menawan perampok wanita itu!” Yo Teng berseru sambil mendelik kepada Ceng Ceng.

"Jangan maju hidungmu akan rusak!” bentak Ceng Ceng yang tetap menodongkan rantingnya di depan hidung Ji-kim-sai Yo Teng.

Marahlah Yo Teng dan ketika ia memperhatikan ternyata gadis ini malah lebih cantik manis dari pada Ang Lian dan lebih hebat lagi. Gadis ini di pundaknya membawa dua kantong rampasan itu. "Bagus, kau kutawan lebih dulu,” serunya menubruk maju.

"Rusak hidungmu!” bentak Ceng Ceng.

"Aduhhh...!” Ji-kim-sai Yo Teng menjerit dan terhuyung-huyung ke belakang sambil me megangi hidungnya yang sudah berlepotan darah. Ujung hidungnya yang bes ar telah pecah-pecah terkena tus ukan ranting Ceng Ceng, dan biarpun ia tadi sudah mengelak sambil menangkis, tetap saja hidungnya rusak.

Di samping suara ketawanya dan gelak tawa Ang Lian yang merasa puas dan senang sekali melihat musuhnya dibalas, terdengar suara Ceng Ceng. “Enci Pek Lian. tinggalkan singa kertas itu, biar aku menghadapi mereka berdua, biar lebih enak bagiku!”

Pek Lian memang sudah merasa bingung sekali karena semenjak tadi belum juga ia dapat mendesak lawannya yang ternyata benar-benar tangguh. Kini melihat Ceng Ceng sudah turun tangan dan mendengar permintaannya, dengan senang hati ia melompat mundur.

Yo Teng marah bukan main. Biarpun ia tidak terluka parah yang membahayakan nyawa, namun hi dung adalah benda lunak dan mudah berdarah, laginya merupakan alat penting di samping perhiasan muka yang mutlak. Kini hidungnya dirusak, tentu saja Singa Emas ke Dua ini marah bukan main. Sambil menggereng ia memutar golo knya, terus menerjang maju, sama sekali tidak perduli bahwa lawannya hanya seorang dara belasan tahun yang bertenjatakan sebatang ranting kecil. Akan tetapi sekali menggerakkan kakinya melakukan langkah yang aneh Ceng Ceng terhindar dari serangan Yo Teng dan ketika ranting diayun ke bawah..."tukk...!" disusul pekik Yo Teng lagi, kini dibarengi peringisan dan kaki kirinya diangkat ke atas, ke dua tangan memegang tulang kering kaki itu dan kaki kanan berloncatan.

"Aduh... kurang ajar... aduh...!!" Orang dapat membayangkan betapa sakitnya tulang kering dipukul sampai hitam, tidak sampai remuk atau patah akan tetapi mendatangkan rasa sakit yang membuat Yo Teng lupa akan malu lagi berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil.

"Hi-hi -hi-hi...!" Ang Lian tertawa girang dan anak perempuan ini juga meniru-niru Yo Teng berjingkrak-jingkrak.

Melihat adiknya dipermainkan orang. Yo Seng cepat melompat maju dan baiknya ia cukup cepat sehingga ia dapat menangkis ranting yang kini sudah menyambar cepat dengan totokan ke arah dada Yo Teng.

“Tranggg...!” Yo Seng merasa telapak tangan yang memegang gagang golok tergetar dan kesemutan. Ia kaget bukan kepalang. Bagaimana benturan golok dengan hanya sebatang ranting kecil mendatangkan rasa seperti itu? Ia lebih lebih heran me lihat betapa gadis muda itu masih remaja puteri, tak pantas memiliki lweekang setinggi itu.

“Tahan dulu!" bentaknya sambil menyeret tangan adiknya ke belakang. Yo Seng berlaku cerdik. Karena menduga ia berhadapan dengan orang pandai, ia sengaja berhenti hendak tahu siapakah lawannya berbareng memberi kesempatan kepada adiknya untuk memulihkan kakinya.

"Tahan tahan apa lagi! Kalian dua ekor singa kertas menjemukan sekali. Lekas pergi dari sini kalau masih sayang jiwa." kata Ceng Ceng dengan sikap angker.

"Kami sudah mengenal dua orang puteri Huang-ho Sianjin. Sekarang muncul kau ini siapakah, nona? Siapa ayahmu dan mengapa pula kau mencampuri urusan ini? Apakah kau juga ingin merampas barang barang itu?" tanya Yo Seng.

"Jangan banyak cerewet. Aku siapa tak perlu kalian tahu. Yang penting, dua orang cici ini merampas barang untuk menoIong rakyat, cukup. Dan aku yang akan menghajar kalian kalau tidak lekas lekas pergi."

“Koko, hantam saja bocah kurang ajar ini!” tiba-tiba Yo Teng berseru. Kakinya sudah tak sakit lagi dan sekarang dengan marah ia menyerbu. Yo Seng juga menggerakkan goloknya dan di lain saat Ceng Ceng sudah dikeroyok oleh kakak beradik yang di daerah Kiang-se sudah amat terkenal ini.

Tiang Bu menonton dan memperhatikan gerakan-gerakan Ceng Ceng. Ia kagum sekali karena gerak kaki dan tangan gadis ini benar-benar luar biasa, bahkan pada dasarnya tidak berbeda banyak dengan ilmu-ilmu silat yang pernah di pelajari dari kake k-kakek sakti Omei-san. Siapakah gurun ya dan siapa ayahnya? Diam diam Tiang Bu ingin sekali tahu akan hal ini.

Sementara itu, kedua saudara Yo yang merasa takkan dapat menangkan gadis luar biasa ini, segera memberi tanda kepada murid-muridnya. Enam orang murid itu serentak mencabut golok-goloknya. Akan tetapi baru saja golok dicabut keluar dari sarungnya, tiba tiba berkelebat sesosok bayangan dan terdengar "bayangan" itu berkata.

"Tak boleh main keroyok!” Ketika bayangan itu berkelebat dari orang pertama, ke dua, dan selanjutnya, eh... tahu-tahu semua golok telah terbang dari tangan enam orang murid Siang-kim-sai dan telah pindah ke dalam tangan Tiang Bu yang sudah berdiri kembali di tempat semula. Kemudian dengan masih tersenyum-senyum Tiang Bu menonton pertempuran lagi.

Ceng Ceng lihai sekali. Biarpun ia sedang bertempur dike royok dua orag yang tak sekali-kali boleh disebut lemah, matanya yang tajam itu masih dapat melihat bahwa Tiang Bu telah turun tangan membantunya melucuti enam orang lawan yang hendak mengeroyok, ia menjadi gemas dan tidak mau kalah muka. Tiba-tiba rantingnya berge rak makin ce pat lagi dan dalam enam jurus berikutnya, Yo Te ng terlempar dalam keadaan lemas tertotok sedangkan Yo Seng terpaksa melompat karena goloknya terlepas dari pegangan. Pergelangan tangannya telah kena "dicium" ujung ranting yang runcing dan kalau dia tidak cepat-cepat melompat mundur, tentu ia sudah terguling.

"Hebat.” ia menjura, “kami mengaku kalah, nona. Akan tetapi kuharap nona yang memiliki kepandaian tinggi cukup bersikap gagah dan jujur, mau memperkenalkan diri kepada kami agar kami tahu siapakah yang bertanggung jawab atas perampasan barang-barang ini."

Ceng Ceng tersenyum mengejek. "Diberi tahu namaku sekalipun kau mana kenal? Barangkali kau sudah mendengar nama ayah. Ayahku bernama Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong."

"Hayaaaa...” Teriakan ini keluar dari mulut Tiang Bu yang memandang kepada Ceng ceng dengan mulut celangap.

“Eh, kau kenapa?” tanya Ang Lien yang berdiri dekat Tiang Bu. Gadis ini tadi melihat sepak terjang Tiang Bu melucuti orang merasa kagum dan mendekat jejaka itu.

Ditegur dengan tiba-tiba oleh Ang Lian yang menggaplok punggungnya, Tiang Bu kaget dan s adar. “Tidak apa-apa,” jawabnya tenang namun hatinya berdebar tidak karuan. Jadi Ceng Cang itu puteri Lie Kong malahan.

Juga Twa-kim-sai Yo Seng terkejut bukan main. Tentu saja dia mengenal nama Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong yang boleh dibilang merajai dunia persilatan di bagian timur menjadi locianpwe atau datuk yang disegani, Ia menjadi makin gelisah karena kalau datuk itu yang merampas barang-barang kawalannya, hebat! I a cepat menjura sampai dalam dan rendah di depan Ceng Ceng yang sebenarnya bernama Lie Ceng, akan tetapi sejak kecil biasa dis ebut Ceng Ceng.

“Ah, tidak tahunya kami berhadapan dengan Lie-lihiap puteri taihiap Pek-thouw tiauw-ong! Maafkan kalau kami bermata tak dapat mel ihat. Kalau kami mengetahui, bi ar matipun kami takkan berani melawan. Akan tetapi lihiap... hendaknya diketahui bahwa barang-barang itu bukan milik sembarangan orang. Kalau milik kami sendiri tanpa dimintapun kami rela memberi sebagai tanda penghormatan kepada lihiap. Akan tetapi benda-benda itu menurut Kwee taijin adalah milik Pangeran Wanyen Ci Lun di kola raja Kerajaan Kin, dan harganya tak dapat terbeli... Bagaimana pertanggungan jawab kami terhadap Pangeran Wanyen Ci Lun kelak...!”

Suara piauwsu tua itu betul-betul terdengar sedih dan putus asa, maka diam-diam Ceng Ceng merasa kas ihan juga. Biarpun harta benda itu barang tidak halal, juga dirampasnya untuk menolong rakyat, akan tetapi orang she Yo, yang tidak berdosa ini, kasihan juga kalau harus menanggung akibatnya yang berat.

"Aku tidak tahu dan tidak perduli. Kami hanya melakukan perintah orang-orang tua kami. Kalau Yo piauw-su merasa penasaran boleh kau kelak menyusul ayah yang sekarang berada di kediaman Huang ho Sian-jin di lembah Sungai Kuning. Atau boleh juga kelak kau menemui ayah di rumah kami kalau ayah sudah pulang dari sana. Sekarang pergilah, jangan ganggu kami lebih lama lagi!"

Sikap Ceng Ceng angker dan tak dapat dibantah lagi. Yo Seng tahu diri dan jalan yang ditunjuk oleh gadis muda itu memang tepat dan merupakan jalan satu-satunya baginya. Maka ia lalu mengumpulkan murid-muridn ya untuk diaj ak pulang dengan sikap lesu. Tak lama kemudian derap kaki kuda rombongan piauwsu ini meninggalkan tempat itu.

"Wah. adik Ceng Ceng memang hebat. Mudah saja mengundurkan mereka yang galak." Memuji Pek Lian sambil menjura. "Aku benar-benar merasa takluk, kepandaianmu makin hebat saja, adik Ceng Ceng."

"Tiang Bu ini juga hebat, kiranya tidak kalah oleh Ceng-moi„" tiba tiba Ang Lian berkata. "Enam orang piauwsu sekaligus dilucuti secara aneh."

Mendengar ini, Ceng Ceng mengerling kearah Tiang Bu dan mulutnya mengejek. “Apa sih anehnya merampas senjata dari tangan gentong-gentong nasi kosong? Lebih mudah merampas senjata dari tangan bangkai! Kesinikan dua bungkusan itu, harus aku sendiri yang membawanya!" bentaknya kemudian sambil menghampiri Tiang Bu.

Tiang Bu yang sekarang sudah tahu bahwa ayah nona ini adalah Pek-tho uw tiauw-on Lie Kong yang ia cari dan bahwa orang itu kini juga berada di lembah Huang-ho, mengalah. la tersenyum dan memberikan dua buah kantong itu kepada Ceng Ceng, lalu berkata, "Aku kagum dan takluk juga menyaksikan kelihaianmu. Nah, bawalah kalau kau kehendaki.”

Setelah menerima dua bungkusan itu, Ceng Ceng lalu melompat ke atas kuda hitamnya dan berkata, “Mari kita pergi!"

Pek Lian dan Ang Lian juga melompat ke atas kuda. Melihat Ceng Ceng melarikan kuda tanpa menoleh lagi kepada Tiang Bu, Pek Lian agak ragu-ragu. Tak terasa lagi gadis berpakaian pria itu menoleh sekilas pandang ke arah Tiang Bu, kemudian iapun mengeprak kudanya menyusul Ceng Ceng sambil berseru, “Mari, moi-moi."

Ang Lian tersenyum kepada Tiang Bu dan mengejek, "Kau mau ikut? Kenapa tidak membonceng di belakang enciku? Hi-hi, kau larilah, selamat berlari-larian." Sambil tertawa-tawa gadis itupun membedal kudanya menyusul Ceng Ceng dan Pek Lian.

Tiang Bu tersenyum. Tak lama kemudian iapun berlari cepat dan Ang Lian sama sekali tidak heran ketika melihat bayangan Tiang lu menyusulnya dan melewatinya. Juga Pek Lian yang sudah maklum akan kepandaian pemuda ini tidak merasa heran. Akan tetapi ketika Ceng Ceng melihat bayangan pemuda ini menjajari kuda hitamnya, ia menjadi marah dan menyumpah-nyumpah, lalu kudanya dibalapkan makin cepat lagi!

Demikianlah, dengan ilmu larinya yang tinggi, Tiang Bu menyertai perjalanan tiga orang dara jelita itu menuju ke Sungai Huang-ho di utara...

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Mari kita tinggalkan dulu orang-orang muda itu dan menengok kejadian penting yang terjadi di atas sebuah perahu besar yang bergoyang- goyang di tepi laut selatan. Di atas perahu besar ini, dua orang sedang bercakap-cakap menghadapi meja dengan sikap bersungguh-sungguh, sedangkan dua orang muda, seorang gadis dan seorang pemuda berdiri mendengarkan percakapan mereka itu tanpa borgerak.

Yang duduk bcrcakap-cakap adalah seorang setengah tua yang barpakaian seperti panglima perang dan kepalanya gundul, mukanya keren dan bersifat kejam. Yang duduk di depannya bercakap-cakap dengan dia adalah seorang nenek yang mengerikan seperti iblis, bahkan tiga ekor kelelawar yang selalu beterbangan di atas kepalanya dan kadang-kadang hinggap di pundaknya, menambah keseramannya.

Nenek ini adalah Toat-beng Kui-bo, nenek aneh dari pantai selatan. Adapun panglima gundul itu bukan lain adalah Tee tok Kwa Kok Sun! Dan pemuda-pemudi itu? Yang laki-laki adalah Wan Sun dan yang wanita Wan Bi Li, putera dan pateri Wanyen Ci Lun atau wurid-murid Ang-jiu Mo-li yang sakti. Wan-Sun telah menjadi seorang pemuda tampan sekali, sedangkan Bi Li juga telah me rupakan seorang dara yang luar biasa cantiknya, demikian luar biasanya sehingga ia terkenal di kota raja sebagai seorang dara yang cantik jelita gagah perkasa. Bahkan orang-orang menganggapnya sebagai "bunga kota raja"

Benar-benar mengherankan sekali, bagaimana Wan Kok Sun manusia berbisa itu kini menjadi seorang panglima besar Kerajaan Kin dan berada di satu perahu dengan putera-puteri Pangeran Wanyen Ci Lun? Untuk mengetahui hal ini mari kita sapintas lalu meninjau keadaan Kwan Kok Sun yang ia alami baru baru ini...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.