Tangan Gledek Jilid 23 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 23

SETELAH membalik-balik lembaran kitab itu beberapa lama sampai halaman terakhir, Tiang Bu melangkah maju dan memberikan kitab itu kepada Toat-beng Kui-bo sambil berkata, "Memang kitab ini lebih cocok untuk ciampwe, biarlah locianpwe pinjam sampai sepuluh tahun"

Toat-beng Kui.bo tertawa cekikikan. "Sepuluh tahun lagi kau masih muda, belum patut membaca ini. Tunggu sampai kau tua, aku kembalikan kitab ini padamu, Tiang Bu.”

Tiang Bu yang tidak terlalu memperhatikan kitab seperti itu, menganggap kata-kata ini hanya main main saja. maka ia-pun tidak mau banyak membantah.

"Mudah mudahan dengan kitab ini locianpwe akan mendapatkan jalan utama yang bersih, maafkan aku telah mengganggu waktu lo cianpwe yang berharga."

Setelah berkata demikian, Tiang Bu mengundurkan diri dan keluar dari gua itu. Ia harus berlari cepat kalau tidak mau kemalaman di daerah berbahaya ini. Berkat ginkangnya yang luar biasa, ia berhasil tiba di tempat ia bertemu dengan Sin Hong tadi, tepat pada saat malam tiba dan gelap menyelimuti bumi. Ketika ia tengah mencari-cari sambil menengok ke sana-sini tiba-tiba muncul Sin Hong.

"Kau sudah kembali? Cepat amat! Apa kau sudah bertemu dengan Toat-beng Kui-bo?" Tiang Bu mengangguk.

"Dan kau tidak apa-apa? Apakah kitab itu sudah kau minta?"

Tiang Bu menggeleng kepala. "Kitab itu ternyata kitab pelajaran menyucikan hati sungguh sebuah kitab yang tepat untuk Toat beng Kui-bo. Aku sudah meminjamkannya padanya agar ia baca untuk bekal menghadapi alam baka."

Sin Hong terkejut dan menghela napas berulang-ulang. "Mudah-mudahan benar begitu. Tiang Bu malam telah tiba. Mari kau bermalam di pondokku, besok kau baru melanjutkan perjalanan. Kita bisa bercakap-cakap."

Tiang Bu mengangguk, lalu mengikuti Sin Hong. Ternyata Sin Hong dan isterinya telah membangun sebuah pondok sederhana, di tepi sungai. Kedatangan Tiang Bu disambut oleh Li Hwa dengan gembira. Tadinya diam-diam Li Hwa merasa gelisah juga mendengar bahwa pemuda itu menghadap "Ibunya" dan merasa khawatir kalau-kalau sikap Tiang Bu yan g polos dan berani itu akan memarahkan hati Toat-beng Kui-bo. Akan tetapi ternyata pemuda ini malah meminjamkan kitab Omei-san itu kepada Toat-beng Kui-bo dan bahkan sedikitpun pertempuran tidak terjadi di gua-gua menyeramkan itu.

Malam hari itu Tiang Bu bercakap-cakap dengan Wan Sin Hoag. Baru sekarang ia mengenal kepribadian Wan Sin Hong dan Tiang Bu menjadi kagum sekali. Kata-kata yang keluar dari mulut pendekar besar ini membuat Tiang Bu merasa malu kepada diri sendiri dan ia me rasa manyesal sekali atas sikapnya yang sudah-sudah terhadap Sin Hong, sikap kasar dan kurang ajar.

"Tiang Bu, kau harus tahu bahwa bukan sekali-kali aku sengaja menyimpan rahasiamu karena maksud buruk. Ketahuilah, bahwa aku telah berjanji bahwa hal ini akan kurahasiakan. Janji seorang laki-laki harus dipegang teguh dan diikat dengan nyawa. Janji baru bisa putus kalau nyawa juga putus. Di samping ini semua, aku tidak me lihat sesuatu kebaikan dalam pembukaan rahasia ini. Masa depanmu amat suram-muram apabila kau tetap hendak mengetahui rahasia itu. Kau harus tahu bahwa semenjak kecil, semenjak kau baru lahir, kau rudah di pelihara oleh ayah bundamu yang sekarang di Kim bun-to, dan kau tentu mengerti pula bahwa ayah bundamu itu mencintaimu seperti kepada putera sendiri. Oleh karena itu, apa perlunya kau berkukuh hendak mengetahui rahasia itu?”

"Wan siok-siok, memang betul apa yang kauucapkan itu. Ayah dan ibu di Kim-bun-to penuh kasih sayang kepadaku dan hal ini ku akui. Selamanya akupun akan menganggap mereka sebagai ayah bunda sendiri. Akan tetapi... tentang orang she Liok itu... ingin mendengar ceritanya bagaimana dia mengaku sebagai ayahku, dan lebih hebat lagi... mengapa pula Wan-siok-siok membenarkan pengakuannya itu. Aku penasaran dan hidupku selanjutnya akan tersiksa hebat apabila siok-siok tidak menjelaskan, siapakah sebenarnya ayah bundaku dan mengapa semenjak kecil aku ditinggalkan di Kim-bun-to."

Sin Hong men arik napas panjang dan menggeleng kepalanya. "Aku tidak dapat membuka rahasia itu, Tiang Bu."

"Tiang Bu," kata Li Hwa dengan suara halus. "pamanmu adalah seorang laki-laki sejati. Dalam rahasia riwayatmu itu terselip hal-hal yang amat berbelit-belit, dan menceritakan satu harus menceritakan dua dan sekali membuka rahasia itu maka akan terbuka semua rahasia yang amat... amat tidak menguntungkan kau sendiri. Kau tentu tahu bahwa sebagai seorang gagah yang menjunjung tinggi pribudi, pertama-tama janji harus dipegang teguh, kedua kalinya, pantang membuka rahasia yang akan men cemarkan nama orang-orang, apalagi orang-orang yang menjadi sahabat-sababat baik." Li Hwa menghela napas lalu menyambung kata-katanya. "Tadi ketika kau pergi, kami sudah mengambil keputusan bahwa rahasia ini tetap takkan kami buka pada siapapun juga, biarpun untuk itu kami akan menghadapi maut. Hanya masih ada jalan yang dapat kami tunjukkan kepadamu."

Menghadapi alasan-alasan yang dikemukakan oleh Sin Hong dan Li Hwa, akhirnya hati Tiang Bu menjadi lemas. Tentu saja mendengar ada jalan lain, ia menjadi gembira sekali. "Bagus sekali! Jalan apakah itu? Harap segera diberitahukan kepadaku."

"Kau pergilah ke kotaraja Kerajaan Kin utara. Di sana ada seorang sahabat bernama Pangeran Wanyen Ci Lun...” kata Sin Hong yang menyambung kata-kata Li Hwa.

"Aku sudah kenal pangeran itu!" Tiang Bu memotong.

Sin Hong terkejut sekali, juga Li Hwa melengak. "Kau...? Sudah kenal dengan Pangeran Wanyen Ci Lun...?”

"Sudah, ketika aku merantau bersama Bu Hok Lokai di kota raja. Bahkan aku ditolong oleh Pangeran Wanyen Ci Lun, akan tetapi pertemuan itu hanya sebentar." Dengan singkat Tiang Bu menceritakan pengalaman dahulu ketika ia dirampas kembali Pat-kek Sam-kui.

"Betul, dia itulah Pangeran Wanyen Ci Lun sahabat baikku atau... masih saudara misanku sendiri.”

Tiang Bu mengangguk. "Pantas saja siok-hu serupa benar dengan dia," kata pula Tiang Bu.

"Kau jumpai dia dan kau bantulah. Dia itu orang baik dan kiranya pada masa datang ini dia memerl ukan bantuan seorang seperti engkau. Setelah kau membantunya mendapat kepercayaannya baru kau keluarkan isi hatimu, ceritakan siapa sebenarnya dan bahwa kau mengabdi kepadanya atas permintaanku. Kemudian kauserahkan suratku. Kiranya dia tentu akan suka membuka semua rahasia ini. Hanya satu hal yang kau harus tahu. Dia itu orang baik, dia juga tersangkut dalam rahasla ini, juga isterinya. Kau harus membela mereka itu dengan seluruh kesetiaanmu.”

Biarpun tidak mengerti, namun Tiang Bu mengangguk-angguk dan hatinya agak lega betapapun juga, kini terbuka jalan baginya dan ia tidak membantah. Setelah mendapat petunjuk dari Wan Sin Hong bahwa untuk membongkar rahasta riwayat hidupnya ia harus pergi ke kora raja Kin dan mengabdi kepada Pangeran Wanyen Ci Lun. Tiang Bu merasa lega. Biarpun dari Sin Hong sendiri ia tak dapat membuka rahasia itu, namun mendengar alasan Sin Hong yang tepat dan mengandung pelajaran tentang kegagahan, Tiang Bu merasa tunduk dan tidak berani memaksa. Mereka bertiga, Tiang Bu, Wan Sin Hong dan Siok Li Hwa, bercakap sampai jauh malam.

Bahkan setelah Li Hwa mengundurkan diri ke dalam kamar untuk mengaso, Tiang Bu masih terus diajak bercakap-cakap oleh Sin Hong. Selain amat tertarik dan suka kepada pemuda luar biasa ini, juga Sin Hong "menjajaki" hatinya. Ia sengaja memancing-mancing dalam percakapan itu untuk menjenguk isi hati dan watak pemuda kalau-kalau ada sedikit persamaan dengan ayahnya, Liok Kong Ji manusia jahat seperti iblis itu. Namun ia merasa lega karena didengar dari kata-katanya maupun di pandang dari sinar mata dan gerak geriknya. pemuda ini cukup "bersih".

Sebaliknya di lain fihak, Tiang Bu kagum dan makin tunduk terhadap Wan Sin Hong pendekar besar yang semenjak kecil sudah sering kali ia mendengar namanya dipuji-puji oleh ayah bundanya, yaitu Con Hong Kin dan Go Hui Lian. Sekarang ia tahu bahwa pendekar ini memang patut dipuji. Selain memiliki ilmu silat yang tinggi. juga ilmu pengobatan yang luar biasa. Di samping ini ternyata pandangannya luas, pertimbangannya masak, wataknya mencerminkan watak kesatria perkasa yang menjunjung tinggi kegagahan dan kebajikan.

Sampai malam berganti pagi dua oran g ini masih duduk berhadapan bercakap-cakap. Orang-orang dengan lweekang setinggi yang mereka miliki. memang tidak terganggu ole h lapar, haus dan kantuk. Mereka me miliki daya tahan yang tidak seperti manusia. Tidak minum atau tidak tidur sepekan saja, bagi mereka bukan apa-apa.

"Wan-siok-siok. masih ada satu hal lagi yang aku ingin mengetahui. yaitu tentang anak perempuan yang ikut dengan siok-siok ke Omei-san itu. Kalau aku tak salah ingat, wajahnya seperti adikku Lee Goat."

"Memang tak salah dugaanmu, dia itu Coa Lee Goat, adikmu.”

Wajah Tiang Bu berseri, matanya bersinar-sinar. "Aduh, dia sudah besar. Ilmu silatnya lihai, dia cantik manis sekali... Lee Goat adikku." Tiba-tiba saja seri mukanya lenyap terganti bayangan kecewa. "Akan tetapi... mengapa dia menyangkal namanya ketika kutanya...?"

"Dia tidak tahu bahwa kau kakaknya yang telah meninggalkan rumah semenjak dia masih berusia dua tahun, dan memang aku melarangnya memperkenalkan nama ketika ia kuajak ke Omei-san untuk menjaga perbuatan orang jahat."

"Dia sekarang di mana siok-siok? Kenapa tidak ikut ke sini? Aku ingin sekali bicara dengan adikku..." kata Tiang Bu penuh rindu kepada adiknya yang amat ia sayang itu.

"Dia berada di Kim bun-to. Ketika aku mencari bibimu yang ikut pergi dengan Toat-beng Kui-bo ke sini, lebih dulu aku mengantar pulang muridku itu. Dalam perjalanan menghadapi bahaya, tentu saja aku tidak mau membawa dia."

"Aku akan pulang, aku ingin bertemu ayah bunda dan adikku!" Suara Tiang Bu terdengar penuh keharuan ketika ia berkata demikian, seperti seorang anak anak yang sudah amat rindu akan rumahnya. Akan tetapi ia segera dapat menguasai hatin ya dan sikapnya tenang lagi ketika ia bertanya.

"Wan siok-siok, hari ini aku akan meninggalkan tempat ini. Masih ada lagi permohonanku kepadamu, yaitu ingin aku tahu dimana tempat tinggal orang orang yang telah mencuri kitab-kitab Omei-san. Aku harus datangi mereka itu seorang demi seorang untuk merampas ke mbali kitab-kitab suhu."

"Mereka itu siapa?"

"Yang harus kucari adalah Ang-jiu Mo-li, Thai Gu Cinjin, Tee-tok Kwan Kok Sun, Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong, dan... Liok Kong Ji... dan seorang tosu kaki buntung datang bersama Liok Kong Ji. Mereka semua menurut suhu telah mencuri masing-masing sebuah kitab, juga Toat-beng Kui bo yang sudah kube reskan."

Sin Hong nampak terkejut mendengar nama-nama ini, lalu menarik napas panjang. “Hebat... kau masih semuda ini sudah memikul tugas seberat itu. Kau malah lebih berat dari pada aku dalam hal ini. Orang-orang yang kausebutkan namanya itu semua adalah tokoh-tokoh tingkat paling tinggi di dunia kang-ouw. Dan kau harus mencari dan melawan mereka? Setiap orang dari mereka sudah merupakan lawan yang amat lihai. Aah, Tiang Bu dengan pengalamanmu yang masih hijau, bagaimana kau mampu menghadapi mereka?” Sin Hong benar-benar merasa gelisah apalagi kalau ia teringat akan bahaya para musuh anak itu dalam hal penggunaan senjata-senjata berbisa.

Mungkin dalam hal ilmu silat, bocah yang sudah mewarisi kepandaian dua orang sakti dari Omei-san ini akan kuat menghadapi lawan yan g bagaimana tangg uhpun. Akan tetapi kalau orang-orang itu mempergunakan kecurangan, mempergunakan senjata rahasia yang berbisa umpamanya, bagaimana Tiang Bu akan dapat menang?

“Tiang Bu, dalam hal ilmu silat kiranya tidak ada yang dapat kuajarkan kepadamu yang melebihi apa yang sudah kau pelajari, akan tetapi kalau kau suka, aku bisa ajarkan baberapa cara pengobatan untuk menghadapi serangan-serangan lawan yang mempergunakan senjata-senjata rahasia berbisa. Tinggallah beberapa hari di sini mempelajari dan aku akan merasa tenang dan tenteram melihat kau turun dari sini sudah membawa bekal kepandaian itu."

Memang inilah yang diharap-harapkan Tiang Bu. Sebelum meninggal dunia, Tiong Jin Hwesio juga sudah memberi anjuran agar supaya ia menjadi murid Wan Sin Hong dalam ilmu pengobatan. Akan tetapi setelah perlakuannya yang kasar terhadap Sin Hong, Tiang Bu tidak berani membuka mulut minta diangkat murid. Sekarang, atas kehendaknya sendiri Sin Hong hendak memberi pelajaran tentang ilmu pengobatan, serta merta Tiang Bu menjatuhkan diri berlutut.

“Atas kemurahan hati Wan siok-siok mengangkat murid kepada siauwte yang bodoh siauwte merasa berterima kasih sekali...“

“Hush, bangunlah kau.” Sin Hong berkata tersenyum sambil mengangkat bangun pemuda itu. “Di antara paman dan keponakan, mana ada aturan sungkan-sungkan? Kau tidak menjadi muridku, Tiang Bu, melainkan tetap sebagai keponakan. Asal kelak kau menjadi manusia utama dan pendekar berhati mulia, pamanmu ini sudah merasa girang dan bahagia sekali."

Demikianlah, dengan tekunnya Tiang Bu menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Hong selama sepekan. Sin Hong menerangkan segala yang berhubungan dengan racun yang biasanya dipergunakan oleh orang kang-ouw, juga berbagai macam pukulan yang mcngan dun g hawa berbisa seperti Hek-tok-ciang (Tan gan Racun Hitam) yan g dipergunakan oleh Tee tok Kwan kok Sun dam Liok Kong Ji atau tangan merah dari Ang.jiu Mo-li. Ke mudian ia menjelaskan satu demi satu tentang cara pengobatan kalau terkena pukulan-pukulan berbisa ini.

Tak lupa Sin Hong menerangkan tentang cara mengobati luka bekas gigitan binatang-binatang berbisa yang paling berbahaya. Karena otak Tiang Bu memang cerdas dan ingatannya kuat, maka dalam waktu sepekan ia telah dapat menghapal semua pelajaran itu. N amun Sin Hong masih belum puas, maka ketika Tiang Bu turun dari bukit batu karang itu, ia membe ri sebuah buku catatan kepada Tiang Bu, sehingga apabila perlu dan terlupa, pemuda itu dapat mencarinya di dalam buku itu.

"Jangan kau bilang kepada si apapun juga bahwa aku dan isteriku berdiam di sini. Tiang Bu. Aku sendiripun sedang menghadapi sesuatu yang sulit, dan mudah-mudahan tidak lagi kami juga akan turun dari tempat ini, kembali ke dunia ramai," pesan Sin Hong dengan suara perlahan.

Tiang Bu tidak tahu apakah kesulitan yang dihadapi oleh Sin Hong itu, akan tetapi ia berjanji akan menanti pesan paman atau gurunya itu. Kemudian pemuda ini turun dari bukit batu karang, mulai dengan perantauannya yang akan membawa ia menghadapi berbagai macam pengalaman hebat.

Ia telah mendapat petunjuk dari Sin Hong tentang tempat kediaman orang-orang hendak dicarinya. Menurut keterangan Sin Hong. Ang jiu Mo-li tokoh Utara itu kini sering kali muncul di kota raja Kerajaan Kin, Liok Kong Ji dan tosu kaki buntung itu sudah tentu berada di utara di antara orang-orang Mongol dan hal ini sudah diketahui oleh Tiang Bu sendiri. Thai Gu Cinjin adalah seorang tokoh pendeta Lama jubah merah, sudah tentu bertempat tinggal di daerah Tibet. Tentang Kwan Kok Sun, Sin Hong sendiri tidak dapat menentukan di mana tempat tinggalnya, akan tetapi Tiang Bu pernah melihatnya di dekat kota raja Kerajaan Kin pula, bahkan gurunya, Bu Hok Lokai, juga tewas oleh Tee-tok Kwan Kok Sun ini.

Adapun Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya adalah tokoh-tokoh pantai timur dan tinggalnya di sekitar daerah Kiang-se, dimana surgai besar Yang cekiang memuntahkan airnya ke dalam laut. Karena perjalanan Tiang Bu meninggalkan Ban-mo-tong yang berada di ujung selatan itu menuju ke utara, maka di antara orana-orang yang hendak dicarinya itu, Pek-thouw-tiau-ong Lie Kong, adalah orang yang paling dekat tempat tinggalnya, maka ke Kiang-se inilah tujuan pertama perjalanan Tiang Bu.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan lamanya karena Tiang Bu tidak tergesa-gesa dan melakukan perjalanan sambil melihat-lihat, pada suatu hari ia tiba di sebuah hutan kecil di luar kota Wukeng di perbatasan Propinsi Anhui dan Kiang-su. Jalan raya kasar yang dilaluinya itu masih basah dan amat becek, tanda bahwa baru saja turun hujan.

Biarpun jalannya becek, namun Tiang Bu berjalan limbat dengan hati senang. Hawa udara amat sejuknya dan amat nyaman seperti biasa h awa sehabis turun hujan. Apalagi di dalam hutan penuh pohon dan bunga, hawanya bersih sekali. Tiang Bu menyedot hawa bersih itu sepuas hatinya, membikin dadanya mekar dan semangatnya segar.

Garis-garis panjang yang masih nampak baru di atas jalan itu memberitahukan bahwa belum lama sehabis hujan, di jalan itu lewat sebuah kendaraan yang ditarik kuda. Melihat dalamnya garis-garis itu. Tiang Bu dapat menduga bahwa kendaraannya tentu berat atau membawa muatan berat.

Siapa yang lewat berkendaraan di tempat seperti ini? Mungkin kereta piauw kiok (Perusahaan Expe disi/pengawal Kiriman Barang), pikir Tiang Bu. Atau pembesar. Bodoh, pikirnya hari sebagus ini berkendaraan. Takkan terasa hawa yang sejuk, tidak senikmat orang berjalan kaki! Memang hati dan pikiran Tiang Bu masih murni, masih bersih sehingga ia selalu merasa puas dengan apa yang dirasai atau dipunyainya. Tak pernah timbul iri di dalam hatinya, karena ia memang tidak mempunyai keinginan bersenang-senang atau meniru keadaan orang lain.

Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara derap kaki kuda dari belakang. Dua ekor kuda, pikirnya. Dilarikan kencang sekali. Benar saja, tak lama kemudian terdengar bentakan,

“Minggir!"

Tiang Bu melangkah ke pinggir jalan yang cukup lebar itu, bukan takut keterjang kuda, melainkan takut pakaiannya akan kotor terkena percikan tanah becek berlumpur itu. Ia berdiri dan memutar tubuh hendak melihat siapa gerangan penunggang-penunggang kuda itu. Ternyata mereka adalah seorang gadis muda yang berwajah manis bertubuh ramping bersama seorang pemuda tampan dan gagah bermuka putih. Dua orang muda-muda ini duduk di atas kuda dengan tegak dan biarpun dua ekor kuda itu lari kencang, tubuh mereka sama sekali tidak terguncang.

Kepandaian menunggang kuda seperti ini h anya dapat dilakukan oleh ahli silat-ahli silat yang berkepandaian tinggi, maka seketika hati Tiang Bu tertarik. Pe muda itu melirik ke arah Tiang Bu sambil tersenyum memandang rendah. sedangkan kerling mata dara berwajah manis itu membayangkan penghinaan ketika ia melihat bahwa pemuda yang mereka lewati itu hanya seorang pemuda biasa belaka.

"Moi moi, jejak mereka masih nampak jelas. Mereka belum jauh, mari kita susul cepat!" Kata-kata ini diucapkan oleh pemuda itu ketika mereka sudah lewat agak jauh.

Tentu saja mereka tidak mengira bahwa pendengaran Tiang Bu jauh lebih tajam dari pada pendengaran orang biasa maka Tiang Bu mendengar ucapan ini. Hatinya berdebar. Pertama karena kata-kata itu diucapkan dengan nada mesra sekali. Mereka begitu rukun dan cocok, pasangan yang sedap dipandang. Otomatis Tiang Bu teringat akan Lai Fei Lan dan mukanya menjadi merah. Celaka, pikirnya. Satu kali bertemu gadis cantik, begitu "kasar" dan menantang sampai-sampai ia menjadi ngeri dan jijik.

Hal kedua dan mendebarkan hatinya adalah isi kata-kata yang menyatakan bahwa mereka berdua agaknya berdaya-upaya keras untuk menyusul "mereka". Tentu dimaksudkan rombongan kendaraan yang roda-rodanya masih meninggalkan jejak nyata itu, pikirnya. Tiang Bu makin tertarik dan cepat ia mengejar, mempergunakan ilmu lari cepatnya yang istimewa. Akan tetapi ia sengaja tinggal di sebelah belakang mereka dan mengikuti dengan sembunyi.

Tak lama kemudian sepasang muda-mudi itu sudah dapat menyusul rombongan di depan yang terdiri dari sebuah kendaraan yang ditarik oleh empat ekor kuda dan dikawal oleh lima orang laki-laki gagah berkuda dan bergolok di pinggang. Dari pakaian mereka, jelas bahwa mereka tentulah segolongan piauwsu (pengawal barang kiriman) yang sedang mengawal kereta itu. Entah siapa berada di dalam kereta yang tertutup oleh sutera hijau, hanya kusir kereta itu saja yang kelihatan di depan memegang cambuk.

Di bagian depan dan belakang kereta itu terpasang dua bendera besar dengan lukisan dua ekor singa emas dan ditulis huruf emas besar. SING KIM SAI PIAUWKIOK. Ini berarti bahwa kereta itu beserta sekalian isinya adalah menjadi tanggung jawab atau berada di bawah perlindungan Siang-kim sai Piauwkiok (Kantor Expedisi Sepasang Singa Emas)!

Nama Siang kim-sai atau Sepasang Singa Emas sudah amat terkenal di dunia lioklim dan jarang ada penjahat berani mengganggu barang yang dilin dungi oleh perusahaan ini. Ketuanya adalah dua orang kakak beradik, yang tua berjuluk Twa kim-sai (Singa Emas Besar) bernama Yo seng dan yang ke dua berjuluk Ji kim-sai (Singa Emas ke-Dua) bern ama Yo Teng. Kidua orang saudara Yo ini adalah ahli-ahli silat di daerah Kiangsu dan kepandaian mereka tinggi sekali sehingga para penjahat tidak ada yang berani bermusuhan dengan mereka.

Apalagi Siang-kim-sai Piauwkiok telah membuat untung besar dengan usaha mereka dan kedua orang she Yo selalu membuka tangan untuk memberi sumbangan kepada tokoh-tokoh liok-lim sehingga dengan para anggota Hek-to (Jalan Hitam, Penjahat) mereka mempunyai hubun gan baik. Jarang sekali kedua kakak beradik she Yo ini mengawal sendiri.

Pekerjaan mengawal cukup mereka wakilkan kepada pembantu-pembantu dan murid-murid mereka saja. Baru kalau terjadi halangan atau untuk urusan besar, mereka turun tangan sendiri. Demikian pula, karena perjalanan yang dilakukan menuju ke daerah sendiri, kereta itu hanya dikawal oleh lima orang piauwsu, yang tiga orang pegawal sedangkan yang dua orang murid-murid Siang-kim-sai.

Ketika lima orang piauwsu ini mendengar suara derap kaki kuda dari belakang, mereka dengan tenang menengok dan merasa lega ketika ia lihat bahwa yang datang hanyalah sepasang muda-mudi yang agaknya sedang berpesiar untuk bersenang-senang.

“Ha, agaknya pengantin baru...” seorang piauwsu muda, hidungnya besar dan matanya sipit, gerak-geriknya ceriwis tanda ia mata keranjang, berkata tersenyum.

Dia ini bernama Tin Kui, murid dari Siang-kim-sai yang termuda. Lagaknya sombong dan ia terkenal seorang yang mata keranjarg. Para piauwsu lain hanya tersenyum. Melihat cepatnya dua ekor kuda itu dilarikan, kusir kereta lalu memperlambat larinya kereta dan menarik kendali agar empat ekor kudanya agak ke pinggir untuk memberi jalan ke pada dua orang muda-mudi itu.

Sepasang muda-mudi itu hanya melirik saja dan terus membalapkan kuda melampaui rombongan itu, tidak pe rduli betapa para piauwsu itu memandang ke arah si dara berwajah manis itu penuh gairah dan dengan tersenyum-senyum penuh arti. Tiang Bu yang mengikuti dari jauh, melihat betapa dua orang penunggang kuda itu ternyata lewat begitu saja dan tidak mengganggu, menjadi malu sendiri dan memaki diri sendiri bodoh. Mereka orang baik-baik kusangka hendak merampok, pikirnya. Benar-benar aku masih hijau.

Akan tetapi, berbeda dengan pikiran Tiang Bu, para piauwsu yang sudah banyak pengalaman itu ketika dua ekor kuda lewat, tiba-tiba menjadi curiga sekali melihat cara dua orang muda itu menunggang kuda. Tadi hal ini tidak mereka perhatikan karena seluruh perhatian terbetot oleh kemanisan wajah dara itu. Baru sekarang setelah mereka tak dapat melihat wajah itu, dari belakang mereka lihat betapa dua orang muda itu duduk tegak tak bergoyang sedikitpun juga seperti patung di atas kuda.

"Hemmm, mereka memperlihatkan kepandaian menunggang kuda. Jangan-jangan mereka akan kembali..." kata seorang piauwsu tua, pembantu dari Siang-kim-sai. Baru saja ucapan ini keluar dari mulutnya, tiba-tiba dua penunggang kuda yang sudah jauh itu tahu-tahu memutar kembali kuda mereka dan menjalankan kuda itu congklang memapaki rombongan piauwsu!

Tiang Bu yang berlari di belakang rombongan itu menjadi melongo. Kini dua orang itu telah berhadapan dengan rombon gan piauwsu. Pemuda itu mengangkat tangan kanan ke atas dan berseru, suaran ya halus dan kata-katanya teratur seperti seorang terpelajar namun suara itu nyaring dan menusuk telinga, tanda diucapkan dengan pengerahan khikang yang tinggi.

"Berhenti dan buka peti berukirkan sepasang Kilin kami hendak mengambil isinya!”

Tan Kui, piauwsu muda bermata sipit itu menjadi marah. Ia majukan kudanya dan memaki, "Kutu-buku masih ingusan apakah kau berlagak mau menjadi begal besar? Lebih baik kau kembali ke bukumu, ambil pit dan bak sebagai hukuman menulis seribu kali kalimat AKU TAKKAN MENCURI. Kalau tidak jangan salahkan tuan besarmu menyeretmu turun dari kuda!”

Pemuda bermuka putih itu tersenyum mengejek, giginya yang putih mengkilap nampak dan diam-diam Tiang Bu kagum sekali. Pemuda muka putih ini luar biasa tampannya, bahkan lebih manis dari pada kawannya itu.

"Kadal busuk pemakan lalat, kau benar-benar bisa menyeretku? Cobalah!”

Tan Kui marah bukan main. Dia adalah murid Siang-kim-sai dan nama Siauw-sai-cu (Mustika Singa Kecil) Tan-Kui bukanlah nama sembarangan untuk daerah Kiangsu. Sekarang kutu buku ini berani memakinya kadal? Dengan suara menggereng, meniru gaya dan suara suhu-suhunya kalau marah akan tetapi gerengannya ini sumbang, ia melompat turun dari kuda dan goloknya sudah terhunus di tangan.

"Cacing buku, kau turunlah kalau minta dihajar," bentaknya.

"Siapa sudi berurusan dengan segala telur busuk. Pergi dan panggil ketua rombongan,” kata pemuda muka putih itu.

"Setan, kau memang harus diseret!" Tan Kui marah sekali dan melompat maju. Piausu tua hendak mencegah namun terlambat, Tan Kui sudah di dekat pemuda muka putih itu dan tangan kirinya diulur hendak menangkap kaki pemuda itu untuk diseret turun. Akan tetapi, bukan pemuda muka putih yang terjungkal dari kuda, melainkan Tan Kui sen diri yang tiba-tiba terlempar ke belakang jatuh gedebukan! Masih untung bahwa tendangan kilat pemuda muka putih itu hanya membuat ia menderita benjol-benjol di kepala saja dan golok di tangannya tidak makan tuan. Namun Tan Kui benar-benar tak tahu diri. Ia meringis kesakitan lalu timbul marahnya.

Sambil memaki-maki kotor ia melompat lagi, kini goloknya diayun untuk menyerang pemuda muka putih yang tadi telah menen dangnya. Pemuda itu dengan seuyum mengejek tak meninggalkan bibir, dengan amat tenangnya menggerakan kakinya memapaki golo k yang datang menyambar dan... begitu golok bertemu dengan ujung sepatu, golok terpental membalik dan menyambar leher pemegangnya!

Tan Kui menjerit dan miringkan leher, namun ujung golok yang dipegan gnya sendiri tetap saja menghajar pundakn ya. Sebagian daging pundak sapat darah membanjir. Tubuh Tan Kui sempoyongan ketika ia menjauhkan diri dari pemuda lihai itu, mendekati piauwsu-piauwsu lainnya dengan muka jerih.

“Hi hi hi, cici, kenapa tidak kau pencet mampus saja kadal itu? Terlalu enak kepalanya yang dogol itu masih dibiarkan menempel di lehernya!" kata gadis berwajah manis itu kepada "pemuda" muka putih.

Para piauws u memandang heran. Kiranya pemuda muka putih itu adalah seorang gadis yang menyamar dalam pakaian pria. Juga Tiang Bu dari tempat persembunyiannya diam-diam menampar ke palanya sendiri.

Tiga kali tolol, pikirnya. Mataku sungguh tidak ada gunanya, sampai gadis berpakaian pria saja tidak tahu. Pantas saja dia begitu manis, lebih dari kawannya. Kepandaiannya hebat juga, memapaki golok orang dengan ujung kaki menendang dan sekaligus menotok pergelangan tangan, benar benar bukan gerakan main-main yang mudah dilakukan. Diam-diam Tiang Bu kagum dan melanjutkaa pengintaiannya penuh perhatian.

Sementara itu, piauwsu tua yang menjadi kepala rombongan sudah melompat turun dari kudanya dan menghampiri dua orang gadis itu sambil menjura dengan sikap hormat. “Jiwi-lihiap, harap maafkan apabila seorang kawan kami berlaku lancang. Dia sudah menerima pelajaran jiwi, selanjutnya sudah tidak ada urusan apa-apa lagi. Sapanjang ingatanku kami dari Siang-kim sai Piauw-kiok tidak pernah ada urusan dengan jiwi. Lihiap, mengapa hari ini jiwi mengganggu kami? Harap jiwi melihat bendera kami dan selanjutnya tidak mengganggu kami yang sedang menjalankan tugas penting. Tentu kelak dua orang ketua kami akan berterima kasih sekali."

Terang bahwa piauwsu tua ini bersikap amat merendah, hal yang aneh dan luar biasa bagi sikap piauwsu dari Siang-kim-sai Piauw-kiok yang biasanya tidak gentar menghadapi penjahat yang besar manapun, ini menandakan bahwa piauwsu tua itu memiliki pandangan yang awas dan bahwa dia sudah banyak pengalaman. Memang betul demikian karena Lu Tiang Sek, piauwsu pembantu atau tangan kanan Siang-kim-sai itu adalah seorang piauw-su yang sudah puluhan tahun melakukan pekerjaan piauwsu.

Tadi melihat cara gadis berpakaian pria itu menghalau serangan golok Tan Kui, tahulah dia bahwa, gadis itu memiliki kepandaian tinggi. Pula ia tahu bahwa dua orang gadis itu tentu bukan bangsa perampok sembarangan, karena selain ia tak pernah melihatnya, juga sikap mereka bukan seperti penjahat-penjahat biasa. Inilah sebabnya ia sengaja merendah dan mempergunakan nama besar Siang-kim-sai Piauwkiok untuk mencegah terjadinya bentrokan.

Gadis berwajah manis itu tersenyum mendengar kata-kata Lu Tiang Sek. Sambil mengincar kearah kereta, tangan kirinya bergerak secara beruntun dua kali.

"Krak! Krak!" Tiang bendera di depan dan belakang kereta itu patah terkena sambaran dua batang piauw yang dilepaskan olehnya.

"Segala bendera begituan siapakah yang memandang? Kami tidak berurusan dengan Siang-kim-Sai (Sepasang Singa Emas) maupun Siang-thu-kauw (Sepasang Monyet Lempung), pendeknya turunkan peti berukir sepasang Kilin dan keluarkan isinya untuk kami bawa. Habis perkara!" kata pula gadis manis itu, sedangkan gadis berpakatn pria hanya tersenyum manis melihat lagak adiknya.

Baru timbul kemarahan Lu Tiang Sek. Kalau tadi ia sengaja merendah dan mengalah, bukan sekali-kali ia gentar menghadapi dua orang lawan ini, melainkan tidak menghendaki pertempuran dalam menuaikan tugas yang penting ini. Ia dan kawan-kawannya mengawal kere ta yang amat berharga, karena kereta dan isinya ini adalah barang-barang pembesar tinggi dari utara yang kini pulang ke selatan.

Pembesar itu tadinya bekerja di Kerajaan Kin dan menduduki pangkat pembantu menteri, kini pulang ke tempat asalnya, yaitu di kota Wukeng. Barang barangnya banyak sekali, akan tetapi yang paling penting dan berharga adalah barang yang dikawal sekarang ini. Kwee-taijin, pembesar itu, berkali-kali memesan agar supaya para piauwsu hati-hati dalam mengawal barang-barang berharga itu, terdiri dari empat buah peti besar, di antaranya sebuah peti yang tidak berapa besar, berukir sepasang Kilin.

"Bocah-bocah perempuan lancang mulut lancang tangan! Kami sudah berlaku sabar dan mengalah, mengapa kalian kurang ajar bahkan berani mematahkan tiang bendera? Kali an boleh belajar merampok sesukanya akan tetapi jangan kalian sekali-kali berani mengganggu barang yang dilindungi oleh Siang-kim Piauw-kiok!" Sambil berkata demikian, piauwsu tua ini mencabut golok dan berdiri tegak dengan sepasang kaki terpentang di atas tanah, menghadapi dua orang gadis itu. Tiga orang kawannya juga mencabut golok dan melompat turun dari kuda. Hanya Tan Kui seorang yang tidak dapat ikut bersiap karena sudah terluka. Dia hanya mengurus kuda-kuda yang ditinggalkan penunggang masing-masing.

Gadis berpakaian pria itu menoleh kepada adiknya sambil tersenyum dan berkata, "Moi-moi, empat ekor kadal ini agaknya belum mau menyerah kalau belum dipotong ekornya. Kau jaga saja supaya kereta itu tidak kabur.”

Setelah berkata demikian, dengan gerakan lincah dan gesit sekali gadis itu melompat turun dari kudanya. Ternyata sekarang tubuhnya tinggi langsing ketika ia berdiri di atas tanah, gerakannya le mah gemulai namun cepat sekali sehingga tak seorangpun di antara empat orang piauwsu itu melihat kapan dan bagaimana pedang yang berkilauan putih mengkilap telah terada di tangannya.

Lu Tiang Sek maklum bahwa ia menghadapi lawan pandai, maka ia tidak malu-malu lagi dan berseru keras, "Robohkan dia!"

Memang bagi kawanan piauwsu dalam menjalankan tugas, jika menghadapi gangguan penjahat tak perlu mereka sungkan-sungkan untuk mengeroyok, karena pertempuran seperti ini lain lagi halnya dengan misalnya pertempuran pibu (mengukur kepandaian masing-masing) di mana orang kang-ouw biasanya amat sportif, tidak mau mengeroyok dan tidak mau berlaku curang.

Akan tatapi, biarpun dikeroyok empat orang piauwsu yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, gadis berpakaian pria itu sama sekali tidak menjadi sibuk. Dengan pedangnya yang bersinar perak, ia bergerak dan tahu-tahu pedangnya menyambar ke kanan kiri diikuti bentaknya yang nyaring berpengaruh

"Roboh...!"

Hebat bukan main ilmu pedang nona ini. Dalam segebrakan saja ia telah menyerang empat orang lawannya, masing-masing dengan tusukan atau sabetan yang amat berbahaya. Segera terdengar pekik kaget dan kesakitan. Ternyata yan g menangkis serangan ini merasa tangannya tergetar, hanya Lu-piauwsu seorang yang dapat mengimbangi tenaga nona itu. Yang dua orang tergetar dan mundur sedangkan yang termuda, suheng dari Tan Kui, terhuyung-huyung sambil memegangi lengannya yang terluka dan hampir putus!

"Hati-hati, bantu saja aku,” seru Lu-Tiang Sek sambil memutar goloknya dengan pengerahan tenaga dan kepandaian, karena maklum bahwa lawan ini biarpun seorang gadis muda namun memiliki kiam-sut yang lihai sekali. Dua orang kawannya membantunya dari kanan kiri dan berlaku hati-hati sekali, hanya membantu gerakan yang disesuaikan dengan penyerangan Lu Tiang Sek sehingga setiap serangan Lu-piauwsu menjadi makin hebat dan setiap serangan gadis itu dapat dihadapi atau ditangkis oleh tiga batang golok. Dengan cara demikian untuk sementara mereka dapat menahan gadis berpakaian pria itu.

Kusir kereta yang melihat bahwa kawan-kawannya terancam, segera mengangkat cambuk dan memukul kudanya. Empat ekor kuda itu hendak dibalapkan untuk menyelamatkan kereta berisi barang-barang. Akan tetapi baru saja cambuknya terangkat ia menjerit dan terjungkal roboh dari atas kereta, pundaknya ditembusi sebatang piauw yang dilepas oleh gadis berwajah manis sambil tertawa cekikikan.

Kembali seorang pengeroyok roboh tercium ujung pedang, kena pahanya membuat ia tak dapat berdiri lagi. Lu Tiang Sek marah dan khawatir sekali. Ia memutar golok sehebatnya, namun sia-sia, dengan tusukan indah gerakannya, seorang lagi kawannya terjungkal dengan lutut terlepas sambungannya karena tendangan nona itu.

“Tahan dulu!” seru Lu Tiang Sek yang merasa bahwa ia takkan menang. Sebelumnya dikalahkan ia harus tahu dulu siapa adanya dua orang lawannya itu dan mengapa hendak merampok. "Tahan senjata!”

"Piauwsu tua, apakah sekarang kau takluk?” tanya gadis berpakaian pria itu dengan senyum sindir, pedangnya dipalangkan di depan dada.

"Aku Lu Tiang Sek bukan orang yang biasanya menyerah sebelum kalah," bantah piauw-su itu dengan muka marah, "aku hanya ingin tahu siapakah kalian ini dan mengapa kalian memusuhi kami!"

"Lu-piauwsu, sebenarnya tidak ada perlunya kami memperkenalkan nama. Akan tetapi oleh karena aku tidak ingin kau bilang kami takut kepada Siang-kim-sai, kau ketahui bahwa kami adalah anak dari Huang-ho Sian-jin dan kami membutuhkan isi peti berukir Kilin."

"Mangapa kalian ini anak-anak dari seorang tokoh besar seperti Huang-ho Sian-jin hendak menjadi perampok?" tanya Lu Tian Sek, kaget dan heran mendengar bahwa ia berhadapan dengan puteri-puteri Huang-ho Sian-jin (Dewa Sungai Huang-ho) yang amat terkenal sebagai datuk bajak sungai.

Gadis berpakaian pria itu tertawa, manis sekali "Ketahuilah, piauwsu yang hanya bekerja untuk uang. Benda-benda ini adalah hasil korupsi dan hasil curian dari pembesar jahanam she Kwee itu. Setelah berhenti dari jabatannya, ia membawa barang-barang itu pulang ke tempat asalnya. Oleh karena itu, sepatutnya kalau kami mengambil barang yang paling berharga agar dia jangan enak-enak saja merampoki harta kekayaan rakyat utara."

Lu Tiang Sek meringis. "Kami hanya piauw-su yang melakukan tugas, Mana kami tahu asal usul barang orang? Kalau kami tidak melindungi barang-barang yang kami kawal, itu baru berarti kami tidak patut menjadi piauwsu. Jiwi lihiap, kalau mau memandang persahabatan, harap jangan mengambil barang itu sekarang. Nanti kalau sudah kami antarkan ke rumah Kwee-taiijin. masa bodoh kalau jiwi mau ambil apa saja."

"Cih, aku disuruh memandang mukamu? Piauwsu kampungan, jangan banyak cerewet. Kau berikan tidak peti itu?"

"Lebih dulu Lu Tiang Sek harus dapat kau robohkan!" jawab piauwsu tua itu gagah.

"Bagus, kau rebahlah!” Gadis itu menyerang dengan hebatnya. Pedang di tangannya bergerak seperti ular dan ujungnya sampai tergetar menjadi empat lima buah, melakukan serangan-serangan yang sukar diduga ke mana arahnya dan gerakan pedang itu mengeluarkan sinar gemerlapan menyilaukan mata. Lu Tiang Sek mengangkat golok menangkis sekuat tenaga.

"Tringg...! Tringg...!" Dua kali goloknya dapat menangkis, namun pedang itu selain berpindah-pindah, begitu ditangkis, begitu melejit untuk melakukan serangan selanjutnya dengan ujung pelang yang lain arahnya, membuat pauwsu tua itu bingung dan tahu-tahu ujung pedang lawan menancap pundaknya. Lu Tiang Sek terjungkal dan pingsan.

"Moi-moi, lekas kita bongkar peti...” kata wanita gagah itu kepada adiknya, tetapi dia dan adiknya tiba-tiba menjadi kaget ketika melihat kereta itu bergerak maju dan di tempat duduk kusir tadi kini sudah ada orangnya. Ketika mereka memandang, ternyata bahwa "kusir" istimewa ini bukan lain adalah pemuda yang tadi mereka lewati di tengah jalan.

"Bocah gunung, kau menggelundunglah turun!" seru gadis berwajah manis sambil mengayun tangannya, Sebatang piauw menyambar dan tepat mengenai dada kusir itu. Si dara manis sudah tersenyum-senyum menanti pemuda itu terjungkal dari atas kereta, dan bersama cicinya ia melompat-lompat menghampiri kereta. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika melihat pemuda itu tidak jatuh terjungkal, malah kereta itu mulai bergerak cepat ditarik oleh empat ekor kuda.

"Kurang ajar, kau mesih belum menggelundung turun?" gadis manis itu berseru marah dan heran.

Apakah sambitannya tadi luput? Mustahil, jelas ia lihat piauw yang ia sambitkan tadi mengenai dada pemuda itu. Mengapa tidak terjungkal kebawah? Apakah... tahu-tahu piauwnya telah mencabut nyawa pemuda itu dan membuat ia mati ditempatnya? Demikian pikir gadis itu sambil lari mengejar.

Setelah dekat, gadis itu mengayun tubuhnya loncat ke atas kereta, ke tempat duduk kusir. Adapun cicinya, gadis yang berpakaian pria tadi dengan gerakan yang amat gesit telah melompat ke dalam kereta melalui pintu sutera...

Tangan Gledek Jilid 23

Tangan Gledek Jilid 23

SETELAH membalik-balik lembaran kitab itu beberapa lama sampai halaman terakhir, Tiang Bu melangkah maju dan memberikan kitab itu kepada Toat-beng Kui-bo sambil berkata, "Memang kitab ini lebih cocok untuk ciampwe, biarlah locianpwe pinjam sampai sepuluh tahun"

Toat-beng Kui.bo tertawa cekikikan. "Sepuluh tahun lagi kau masih muda, belum patut membaca ini. Tunggu sampai kau tua, aku kembalikan kitab ini padamu, Tiang Bu.”

Tiang Bu yang tidak terlalu memperhatikan kitab seperti itu, menganggap kata-kata ini hanya main main saja. maka ia-pun tidak mau banyak membantah.

"Mudah mudahan dengan kitab ini locianpwe akan mendapatkan jalan utama yang bersih, maafkan aku telah mengganggu waktu lo cianpwe yang berharga."

Setelah berkata demikian, Tiang Bu mengundurkan diri dan keluar dari gua itu. Ia harus berlari cepat kalau tidak mau kemalaman di daerah berbahaya ini. Berkat ginkangnya yang luar biasa, ia berhasil tiba di tempat ia bertemu dengan Sin Hong tadi, tepat pada saat malam tiba dan gelap menyelimuti bumi. Ketika ia tengah mencari-cari sambil menengok ke sana-sini tiba-tiba muncul Sin Hong.

"Kau sudah kembali? Cepat amat! Apa kau sudah bertemu dengan Toat-beng Kui-bo?" Tiang Bu mengangguk.

"Dan kau tidak apa-apa? Apakah kitab itu sudah kau minta?"

Tiang Bu menggeleng kepala. "Kitab itu ternyata kitab pelajaran menyucikan hati sungguh sebuah kitab yang tepat untuk Toat beng Kui-bo. Aku sudah meminjamkannya padanya agar ia baca untuk bekal menghadapi alam baka."

Sin Hong terkejut dan menghela napas berulang-ulang. "Mudah-mudahan benar begitu. Tiang Bu malam telah tiba. Mari kau bermalam di pondokku, besok kau baru melanjutkan perjalanan. Kita bisa bercakap-cakap."

Tiang Bu mengangguk, lalu mengikuti Sin Hong. Ternyata Sin Hong dan isterinya telah membangun sebuah pondok sederhana, di tepi sungai. Kedatangan Tiang Bu disambut oleh Li Hwa dengan gembira. Tadinya diam-diam Li Hwa merasa gelisah juga mendengar bahwa pemuda itu menghadap "Ibunya" dan merasa khawatir kalau-kalau sikap Tiang Bu yan g polos dan berani itu akan memarahkan hati Toat-beng Kui-bo. Akan tetapi ternyata pemuda ini malah meminjamkan kitab Omei-san itu kepada Toat-beng Kui-bo dan bahkan sedikitpun pertempuran tidak terjadi di gua-gua menyeramkan itu.

Malam hari itu Tiang Bu bercakap-cakap dengan Wan Sin Hoag. Baru sekarang ia mengenal kepribadian Wan Sin Hong dan Tiang Bu menjadi kagum sekali. Kata-kata yang keluar dari mulut pendekar besar ini membuat Tiang Bu merasa malu kepada diri sendiri dan ia me rasa manyesal sekali atas sikapnya yang sudah-sudah terhadap Sin Hong, sikap kasar dan kurang ajar.

"Tiang Bu, kau harus tahu bahwa bukan sekali-kali aku sengaja menyimpan rahasiamu karena maksud buruk. Ketahuilah, bahwa aku telah berjanji bahwa hal ini akan kurahasiakan. Janji seorang laki-laki harus dipegang teguh dan diikat dengan nyawa. Janji baru bisa putus kalau nyawa juga putus. Di samping ini semua, aku tidak me lihat sesuatu kebaikan dalam pembukaan rahasia ini. Masa depanmu amat suram-muram apabila kau tetap hendak mengetahui rahasia itu. Kau harus tahu bahwa semenjak kecil, semenjak kau baru lahir, kau rudah di pelihara oleh ayah bundamu yang sekarang di Kim bun-to, dan kau tentu mengerti pula bahwa ayah bundamu itu mencintaimu seperti kepada putera sendiri. Oleh karena itu, apa perlunya kau berkukuh hendak mengetahui rahasia itu?”

"Wan siok-siok, memang betul apa yang kauucapkan itu. Ayah dan ibu di Kim-bun-to penuh kasih sayang kepadaku dan hal ini ku akui. Selamanya akupun akan menganggap mereka sebagai ayah bunda sendiri. Akan tetapi... tentang orang she Liok itu... ingin mendengar ceritanya bagaimana dia mengaku sebagai ayahku, dan lebih hebat lagi... mengapa pula Wan-siok-siok membenarkan pengakuannya itu. Aku penasaran dan hidupku selanjutnya akan tersiksa hebat apabila siok-siok tidak menjelaskan, siapakah sebenarnya ayah bundaku dan mengapa semenjak kecil aku ditinggalkan di Kim-bun-to."

Sin Hong men arik napas panjang dan menggeleng kepalanya. "Aku tidak dapat membuka rahasia itu, Tiang Bu."

"Tiang Bu," kata Li Hwa dengan suara halus. "pamanmu adalah seorang laki-laki sejati. Dalam rahasia riwayatmu itu terselip hal-hal yang amat berbelit-belit, dan menceritakan satu harus menceritakan dua dan sekali membuka rahasia itu maka akan terbuka semua rahasia yang amat... amat tidak menguntungkan kau sendiri. Kau tentu tahu bahwa sebagai seorang gagah yang menjunjung tinggi pribudi, pertama-tama janji harus dipegang teguh, kedua kalinya, pantang membuka rahasia yang akan men cemarkan nama orang-orang, apalagi orang-orang yang menjadi sahabat-sababat baik." Li Hwa menghela napas lalu menyambung kata-katanya. "Tadi ketika kau pergi, kami sudah mengambil keputusan bahwa rahasia ini tetap takkan kami buka pada siapapun juga, biarpun untuk itu kami akan menghadapi maut. Hanya masih ada jalan yang dapat kami tunjukkan kepadamu."

Menghadapi alasan-alasan yang dikemukakan oleh Sin Hong dan Li Hwa, akhirnya hati Tiang Bu menjadi lemas. Tentu saja mendengar ada jalan lain, ia menjadi gembira sekali. "Bagus sekali! Jalan apakah itu? Harap segera diberitahukan kepadaku."

"Kau pergilah ke kotaraja Kerajaan Kin utara. Di sana ada seorang sahabat bernama Pangeran Wanyen Ci Lun...” kata Sin Hong yang menyambung kata-kata Li Hwa.

"Aku sudah kenal pangeran itu!" Tiang Bu memotong.

Sin Hong terkejut sekali, juga Li Hwa melengak. "Kau...? Sudah kenal dengan Pangeran Wanyen Ci Lun...?”

"Sudah, ketika aku merantau bersama Bu Hok Lokai di kota raja. Bahkan aku ditolong oleh Pangeran Wanyen Ci Lun, akan tetapi pertemuan itu hanya sebentar." Dengan singkat Tiang Bu menceritakan pengalaman dahulu ketika ia dirampas kembali Pat-kek Sam-kui.

"Betul, dia itulah Pangeran Wanyen Ci Lun sahabat baikku atau... masih saudara misanku sendiri.”

Tiang Bu mengangguk. "Pantas saja siok-hu serupa benar dengan dia," kata pula Tiang Bu.

"Kau jumpai dia dan kau bantulah. Dia itu orang baik dan kiranya pada masa datang ini dia memerl ukan bantuan seorang seperti engkau. Setelah kau membantunya mendapat kepercayaannya baru kau keluarkan isi hatimu, ceritakan siapa sebenarnya dan bahwa kau mengabdi kepadanya atas permintaanku. Kemudian kauserahkan suratku. Kiranya dia tentu akan suka membuka semua rahasia ini. Hanya satu hal yang kau harus tahu. Dia itu orang baik, dia juga tersangkut dalam rahasla ini, juga isterinya. Kau harus membela mereka itu dengan seluruh kesetiaanmu.”

Biarpun tidak mengerti, namun Tiang Bu mengangguk-angguk dan hatinya agak lega betapapun juga, kini terbuka jalan baginya dan ia tidak membantah. Setelah mendapat petunjuk dari Wan Sin Hong bahwa untuk membongkar rahasta riwayat hidupnya ia harus pergi ke kora raja Kin dan mengabdi kepada Pangeran Wanyen Ci Lun. Tiang Bu merasa lega. Biarpun dari Sin Hong sendiri ia tak dapat membuka rahasia itu, namun mendengar alasan Sin Hong yang tepat dan mengandung pelajaran tentang kegagahan, Tiang Bu merasa tunduk dan tidak berani memaksa. Mereka bertiga, Tiang Bu, Wan Sin Hong dan Siok Li Hwa, bercakap sampai jauh malam.

Bahkan setelah Li Hwa mengundurkan diri ke dalam kamar untuk mengaso, Tiang Bu masih terus diajak bercakap-cakap oleh Sin Hong. Selain amat tertarik dan suka kepada pemuda luar biasa ini, juga Sin Hong "menjajaki" hatinya. Ia sengaja memancing-mancing dalam percakapan itu untuk menjenguk isi hati dan watak pemuda kalau-kalau ada sedikit persamaan dengan ayahnya, Liok Kong Ji manusia jahat seperti iblis itu. Namun ia merasa lega karena didengar dari kata-katanya maupun di pandang dari sinar mata dan gerak geriknya. pemuda ini cukup "bersih".

Sebaliknya di lain fihak, Tiang Bu kagum dan makin tunduk terhadap Wan Sin Hong pendekar besar yang semenjak kecil sudah sering kali ia mendengar namanya dipuji-puji oleh ayah bundanya, yaitu Con Hong Kin dan Go Hui Lian. Sekarang ia tahu bahwa pendekar ini memang patut dipuji. Selain memiliki ilmu silat yang tinggi. juga ilmu pengobatan yang luar biasa. Di samping ini ternyata pandangannya luas, pertimbangannya masak, wataknya mencerminkan watak kesatria perkasa yang menjunjung tinggi kegagahan dan kebajikan.

Sampai malam berganti pagi dua oran g ini masih duduk berhadapan bercakap-cakap. Orang-orang dengan lweekang setinggi yang mereka miliki. memang tidak terganggu ole h lapar, haus dan kantuk. Mereka me miliki daya tahan yang tidak seperti manusia. Tidak minum atau tidak tidur sepekan saja, bagi mereka bukan apa-apa.

"Wan-siok-siok. masih ada satu hal lagi yang aku ingin mengetahui. yaitu tentang anak perempuan yang ikut dengan siok-siok ke Omei-san itu. Kalau aku tak salah ingat, wajahnya seperti adikku Lee Goat."

"Memang tak salah dugaanmu, dia itu Coa Lee Goat, adikmu.”

Wajah Tiang Bu berseri, matanya bersinar-sinar. "Aduh, dia sudah besar. Ilmu silatnya lihai, dia cantik manis sekali... Lee Goat adikku." Tiba-tiba saja seri mukanya lenyap terganti bayangan kecewa. "Akan tetapi... mengapa dia menyangkal namanya ketika kutanya...?"

"Dia tidak tahu bahwa kau kakaknya yang telah meninggalkan rumah semenjak dia masih berusia dua tahun, dan memang aku melarangnya memperkenalkan nama ketika ia kuajak ke Omei-san untuk menjaga perbuatan orang jahat."

"Dia sekarang di mana siok-siok? Kenapa tidak ikut ke sini? Aku ingin sekali bicara dengan adikku..." kata Tiang Bu penuh rindu kepada adiknya yang amat ia sayang itu.

"Dia berada di Kim bun-to. Ketika aku mencari bibimu yang ikut pergi dengan Toat-beng Kui-bo ke sini, lebih dulu aku mengantar pulang muridku itu. Dalam perjalanan menghadapi bahaya, tentu saja aku tidak mau membawa dia."

"Aku akan pulang, aku ingin bertemu ayah bunda dan adikku!" Suara Tiang Bu terdengar penuh keharuan ketika ia berkata demikian, seperti seorang anak anak yang sudah amat rindu akan rumahnya. Akan tetapi ia segera dapat menguasai hatin ya dan sikapnya tenang lagi ketika ia bertanya.

"Wan siok-siok, hari ini aku akan meninggalkan tempat ini. Masih ada lagi permohonanku kepadamu, yaitu ingin aku tahu dimana tempat tinggal orang orang yang telah mencuri kitab-kitab Omei-san. Aku harus datangi mereka itu seorang demi seorang untuk merampas ke mbali kitab-kitab suhu."

"Mereka itu siapa?"

"Yang harus kucari adalah Ang-jiu Mo-li, Thai Gu Cinjin, Tee-tok Kwan Kok Sun, Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong, dan... Liok Kong Ji... dan seorang tosu kaki buntung datang bersama Liok Kong Ji. Mereka semua menurut suhu telah mencuri masing-masing sebuah kitab, juga Toat-beng Kui bo yang sudah kube reskan."

Sin Hong nampak terkejut mendengar nama-nama ini, lalu menarik napas panjang. “Hebat... kau masih semuda ini sudah memikul tugas seberat itu. Kau malah lebih berat dari pada aku dalam hal ini. Orang-orang yang kausebutkan namanya itu semua adalah tokoh-tokoh tingkat paling tinggi di dunia kang-ouw. Dan kau harus mencari dan melawan mereka? Setiap orang dari mereka sudah merupakan lawan yang amat lihai. Aah, Tiang Bu dengan pengalamanmu yang masih hijau, bagaimana kau mampu menghadapi mereka?” Sin Hong benar-benar merasa gelisah apalagi kalau ia teringat akan bahaya para musuh anak itu dalam hal penggunaan senjata-senjata berbisa.

Mungkin dalam hal ilmu silat, bocah yang sudah mewarisi kepandaian dua orang sakti dari Omei-san ini akan kuat menghadapi lawan yan g bagaimana tangg uhpun. Akan tetapi kalau orang-orang itu mempergunakan kecurangan, mempergunakan senjata rahasia yang berbisa umpamanya, bagaimana Tiang Bu akan dapat menang?

“Tiang Bu, dalam hal ilmu silat kiranya tidak ada yang dapat kuajarkan kepadamu yang melebihi apa yang sudah kau pelajari, akan tetapi kalau kau suka, aku bisa ajarkan baberapa cara pengobatan untuk menghadapi serangan-serangan lawan yang mempergunakan senjata-senjata rahasia berbisa. Tinggallah beberapa hari di sini mempelajari dan aku akan merasa tenang dan tenteram melihat kau turun dari sini sudah membawa bekal kepandaian itu."

Memang inilah yang diharap-harapkan Tiang Bu. Sebelum meninggal dunia, Tiong Jin Hwesio juga sudah memberi anjuran agar supaya ia menjadi murid Wan Sin Hong dalam ilmu pengobatan. Akan tetapi setelah perlakuannya yang kasar terhadap Sin Hong, Tiang Bu tidak berani membuka mulut minta diangkat murid. Sekarang, atas kehendaknya sendiri Sin Hong hendak memberi pelajaran tentang ilmu pengobatan, serta merta Tiang Bu menjatuhkan diri berlutut.

“Atas kemurahan hati Wan siok-siok mengangkat murid kepada siauwte yang bodoh siauwte merasa berterima kasih sekali...“

“Hush, bangunlah kau.” Sin Hong berkata tersenyum sambil mengangkat bangun pemuda itu. “Di antara paman dan keponakan, mana ada aturan sungkan-sungkan? Kau tidak menjadi muridku, Tiang Bu, melainkan tetap sebagai keponakan. Asal kelak kau menjadi manusia utama dan pendekar berhati mulia, pamanmu ini sudah merasa girang dan bahagia sekali."

Demikianlah, dengan tekunnya Tiang Bu menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Hong selama sepekan. Sin Hong menerangkan segala yang berhubungan dengan racun yang biasanya dipergunakan oleh orang kang-ouw, juga berbagai macam pukulan yang mcngan dun g hawa berbisa seperti Hek-tok-ciang (Tan gan Racun Hitam) yan g dipergunakan oleh Tee tok Kwan kok Sun dam Liok Kong Ji atau tangan merah dari Ang.jiu Mo-li. Ke mudian ia menjelaskan satu demi satu tentang cara pengobatan kalau terkena pukulan-pukulan berbisa ini.

Tak lupa Sin Hong menerangkan tentang cara mengobati luka bekas gigitan binatang-binatang berbisa yang paling berbahaya. Karena otak Tiang Bu memang cerdas dan ingatannya kuat, maka dalam waktu sepekan ia telah dapat menghapal semua pelajaran itu. N amun Sin Hong masih belum puas, maka ketika Tiang Bu turun dari bukit batu karang itu, ia membe ri sebuah buku catatan kepada Tiang Bu, sehingga apabila perlu dan terlupa, pemuda itu dapat mencarinya di dalam buku itu.

"Jangan kau bilang kepada si apapun juga bahwa aku dan isteriku berdiam di sini. Tiang Bu. Aku sendiripun sedang menghadapi sesuatu yang sulit, dan mudah-mudahan tidak lagi kami juga akan turun dari tempat ini, kembali ke dunia ramai," pesan Sin Hong dengan suara perlahan.

Tiang Bu tidak tahu apakah kesulitan yang dihadapi oleh Sin Hong itu, akan tetapi ia berjanji akan menanti pesan paman atau gurunya itu. Kemudian pemuda ini turun dari bukit batu karang, mulai dengan perantauannya yang akan membawa ia menghadapi berbagai macam pengalaman hebat.

Ia telah mendapat petunjuk dari Sin Hong tentang tempat kediaman orang-orang hendak dicarinya. Menurut keterangan Sin Hong. Ang jiu Mo-li tokoh Utara itu kini sering kali muncul di kota raja Kerajaan Kin, Liok Kong Ji dan tosu kaki buntung itu sudah tentu berada di utara di antara orang-orang Mongol dan hal ini sudah diketahui oleh Tiang Bu sendiri. Thai Gu Cinjin adalah seorang tokoh pendeta Lama jubah merah, sudah tentu bertempat tinggal di daerah Tibet. Tentang Kwan Kok Sun, Sin Hong sendiri tidak dapat menentukan di mana tempat tinggalnya, akan tetapi Tiang Bu pernah melihatnya di dekat kota raja Kerajaan Kin pula, bahkan gurunya, Bu Hok Lokai, juga tewas oleh Tee-tok Kwan Kok Sun ini.

Adapun Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya adalah tokoh-tokoh pantai timur dan tinggalnya di sekitar daerah Kiang-se, dimana surgai besar Yang cekiang memuntahkan airnya ke dalam laut. Karena perjalanan Tiang Bu meninggalkan Ban-mo-tong yang berada di ujung selatan itu menuju ke utara, maka di antara orana-orang yang hendak dicarinya itu, Pek-thouw-tiau-ong Lie Kong, adalah orang yang paling dekat tempat tinggalnya, maka ke Kiang-se inilah tujuan pertama perjalanan Tiang Bu.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan lamanya karena Tiang Bu tidak tergesa-gesa dan melakukan perjalanan sambil melihat-lihat, pada suatu hari ia tiba di sebuah hutan kecil di luar kota Wukeng di perbatasan Propinsi Anhui dan Kiang-su. Jalan raya kasar yang dilaluinya itu masih basah dan amat becek, tanda bahwa baru saja turun hujan.

Biarpun jalannya becek, namun Tiang Bu berjalan limbat dengan hati senang. Hawa udara amat sejuknya dan amat nyaman seperti biasa h awa sehabis turun hujan. Apalagi di dalam hutan penuh pohon dan bunga, hawanya bersih sekali. Tiang Bu menyedot hawa bersih itu sepuas hatinya, membikin dadanya mekar dan semangatnya segar.

Garis-garis panjang yang masih nampak baru di atas jalan itu memberitahukan bahwa belum lama sehabis hujan, di jalan itu lewat sebuah kendaraan yang ditarik kuda. Melihat dalamnya garis-garis itu. Tiang Bu dapat menduga bahwa kendaraannya tentu berat atau membawa muatan berat.

Siapa yang lewat berkendaraan di tempat seperti ini? Mungkin kereta piauw kiok (Perusahaan Expe disi/pengawal Kiriman Barang), pikir Tiang Bu. Atau pembesar. Bodoh, pikirnya hari sebagus ini berkendaraan. Takkan terasa hawa yang sejuk, tidak senikmat orang berjalan kaki! Memang hati dan pikiran Tiang Bu masih murni, masih bersih sehingga ia selalu merasa puas dengan apa yang dirasai atau dipunyainya. Tak pernah timbul iri di dalam hatinya, karena ia memang tidak mempunyai keinginan bersenang-senang atau meniru keadaan orang lain.

Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara derap kaki kuda dari belakang. Dua ekor kuda, pikirnya. Dilarikan kencang sekali. Benar saja, tak lama kemudian terdengar bentakan,

“Minggir!"

Tiang Bu melangkah ke pinggir jalan yang cukup lebar itu, bukan takut keterjang kuda, melainkan takut pakaiannya akan kotor terkena percikan tanah becek berlumpur itu. Ia berdiri dan memutar tubuh hendak melihat siapa gerangan penunggang-penunggang kuda itu. Ternyata mereka adalah seorang gadis muda yang berwajah manis bertubuh ramping bersama seorang pemuda tampan dan gagah bermuka putih. Dua orang muda-muda ini duduk di atas kuda dengan tegak dan biarpun dua ekor kuda itu lari kencang, tubuh mereka sama sekali tidak terguncang.

Kepandaian menunggang kuda seperti ini h anya dapat dilakukan oleh ahli silat-ahli silat yang berkepandaian tinggi, maka seketika hati Tiang Bu tertarik. Pe muda itu melirik ke arah Tiang Bu sambil tersenyum memandang rendah. sedangkan kerling mata dara berwajah manis itu membayangkan penghinaan ketika ia melihat bahwa pemuda yang mereka lewati itu hanya seorang pemuda biasa belaka.

"Moi moi, jejak mereka masih nampak jelas. Mereka belum jauh, mari kita susul cepat!" Kata-kata ini diucapkan oleh pemuda itu ketika mereka sudah lewat agak jauh.

Tentu saja mereka tidak mengira bahwa pendengaran Tiang Bu jauh lebih tajam dari pada pendengaran orang biasa maka Tiang Bu mendengar ucapan ini. Hatinya berdebar. Pertama karena kata-kata itu diucapkan dengan nada mesra sekali. Mereka begitu rukun dan cocok, pasangan yang sedap dipandang. Otomatis Tiang Bu teringat akan Lai Fei Lan dan mukanya menjadi merah. Celaka, pikirnya. Satu kali bertemu gadis cantik, begitu "kasar" dan menantang sampai-sampai ia menjadi ngeri dan jijik.

Hal kedua dan mendebarkan hatinya adalah isi kata-kata yang menyatakan bahwa mereka berdua agaknya berdaya-upaya keras untuk menyusul "mereka". Tentu dimaksudkan rombongan kendaraan yang roda-rodanya masih meninggalkan jejak nyata itu, pikirnya. Tiang Bu makin tertarik dan cepat ia mengejar, mempergunakan ilmu lari cepatnya yang istimewa. Akan tetapi ia sengaja tinggal di sebelah belakang mereka dan mengikuti dengan sembunyi.

Tak lama kemudian sepasang muda-mudi itu sudah dapat menyusul rombongan di depan yang terdiri dari sebuah kendaraan yang ditarik oleh empat ekor kuda dan dikawal oleh lima orang laki-laki gagah berkuda dan bergolok di pinggang. Dari pakaian mereka, jelas bahwa mereka tentulah segolongan piauwsu (pengawal barang kiriman) yang sedang mengawal kereta itu. Entah siapa berada di dalam kereta yang tertutup oleh sutera hijau, hanya kusir kereta itu saja yang kelihatan di depan memegang cambuk.

Di bagian depan dan belakang kereta itu terpasang dua bendera besar dengan lukisan dua ekor singa emas dan ditulis huruf emas besar. SING KIM SAI PIAUWKIOK. Ini berarti bahwa kereta itu beserta sekalian isinya adalah menjadi tanggung jawab atau berada di bawah perlindungan Siang-kim sai Piauwkiok (Kantor Expedisi Sepasang Singa Emas)!

Nama Siang kim-sai atau Sepasang Singa Emas sudah amat terkenal di dunia lioklim dan jarang ada penjahat berani mengganggu barang yang dilin dungi oleh perusahaan ini. Ketuanya adalah dua orang kakak beradik, yang tua berjuluk Twa kim-sai (Singa Emas Besar) bernama Yo seng dan yang ke dua berjuluk Ji kim-sai (Singa Emas ke-Dua) bern ama Yo Teng. Kidua orang saudara Yo ini adalah ahli-ahli silat di daerah Kiangsu dan kepandaian mereka tinggi sekali sehingga para penjahat tidak ada yang berani bermusuhan dengan mereka.

Apalagi Siang-kim-sai Piauwkiok telah membuat untung besar dengan usaha mereka dan kedua orang she Yo selalu membuka tangan untuk memberi sumbangan kepada tokoh-tokoh liok-lim sehingga dengan para anggota Hek-to (Jalan Hitam, Penjahat) mereka mempunyai hubun gan baik. Jarang sekali kedua kakak beradik she Yo ini mengawal sendiri.

Pekerjaan mengawal cukup mereka wakilkan kepada pembantu-pembantu dan murid-murid mereka saja. Baru kalau terjadi halangan atau untuk urusan besar, mereka turun tangan sendiri. Demikian pula, karena perjalanan yang dilakukan menuju ke daerah sendiri, kereta itu hanya dikawal oleh lima orang piauwsu, yang tiga orang pegawal sedangkan yang dua orang murid-murid Siang-kim-sai.

Ketika lima orang piauwsu ini mendengar suara derap kaki kuda dari belakang, mereka dengan tenang menengok dan merasa lega ketika ia lihat bahwa yang datang hanyalah sepasang muda-mudi yang agaknya sedang berpesiar untuk bersenang-senang.

“Ha, agaknya pengantin baru...” seorang piauwsu muda, hidungnya besar dan matanya sipit, gerak-geriknya ceriwis tanda ia mata keranjang, berkata tersenyum.

Dia ini bernama Tin Kui, murid dari Siang-kim-sai yang termuda. Lagaknya sombong dan ia terkenal seorang yang mata keranjarg. Para piauwsu lain hanya tersenyum. Melihat cepatnya dua ekor kuda itu dilarikan, kusir kereta lalu memperlambat larinya kereta dan menarik kendali agar empat ekor kudanya agak ke pinggir untuk memberi jalan ke pada dua orang muda-mudi itu.

Sepasang muda-mudi itu hanya melirik saja dan terus membalapkan kuda melampaui rombongan itu, tidak pe rduli betapa para piauwsu itu memandang ke arah si dara berwajah manis itu penuh gairah dan dengan tersenyum-senyum penuh arti. Tiang Bu yang mengikuti dari jauh, melihat betapa dua orang penunggang kuda itu ternyata lewat begitu saja dan tidak mengganggu, menjadi malu sendiri dan memaki diri sendiri bodoh. Mereka orang baik-baik kusangka hendak merampok, pikirnya. Benar-benar aku masih hijau.

Akan tetapi, berbeda dengan pikiran Tiang Bu, para piauwsu yang sudah banyak pengalaman itu ketika dua ekor kuda lewat, tiba-tiba menjadi curiga sekali melihat cara dua orang muda itu menunggang kuda. Tadi hal ini tidak mereka perhatikan karena seluruh perhatian terbetot oleh kemanisan wajah dara itu. Baru sekarang setelah mereka tak dapat melihat wajah itu, dari belakang mereka lihat betapa dua orang muda itu duduk tegak tak bergoyang sedikitpun juga seperti patung di atas kuda.

"Hemmm, mereka memperlihatkan kepandaian menunggang kuda. Jangan-jangan mereka akan kembali..." kata seorang piauwsu tua, pembantu dari Siang-kim-sai. Baru saja ucapan ini keluar dari mulutnya, tiba-tiba dua penunggang kuda yang sudah jauh itu tahu-tahu memutar kembali kuda mereka dan menjalankan kuda itu congklang memapaki rombongan piauwsu!

Tiang Bu yang berlari di belakang rombongan itu menjadi melongo. Kini dua orang itu telah berhadapan dengan rombon gan piauwsu. Pemuda itu mengangkat tangan kanan ke atas dan berseru, suaran ya halus dan kata-katanya teratur seperti seorang terpelajar namun suara itu nyaring dan menusuk telinga, tanda diucapkan dengan pengerahan khikang yang tinggi.

"Berhenti dan buka peti berukirkan sepasang Kilin kami hendak mengambil isinya!”

Tan Kui, piauwsu muda bermata sipit itu menjadi marah. Ia majukan kudanya dan memaki, "Kutu-buku masih ingusan apakah kau berlagak mau menjadi begal besar? Lebih baik kau kembali ke bukumu, ambil pit dan bak sebagai hukuman menulis seribu kali kalimat AKU TAKKAN MENCURI. Kalau tidak jangan salahkan tuan besarmu menyeretmu turun dari kuda!”

Pemuda bermuka putih itu tersenyum mengejek, giginya yang putih mengkilap nampak dan diam-diam Tiang Bu kagum sekali. Pemuda muka putih ini luar biasa tampannya, bahkan lebih manis dari pada kawannya itu.

"Kadal busuk pemakan lalat, kau benar-benar bisa menyeretku? Cobalah!”

Tan Kui marah bukan main. Dia adalah murid Siang-kim-sai dan nama Siauw-sai-cu (Mustika Singa Kecil) Tan-Kui bukanlah nama sembarangan untuk daerah Kiangsu. Sekarang kutu buku ini berani memakinya kadal? Dengan suara menggereng, meniru gaya dan suara suhu-suhunya kalau marah akan tetapi gerengannya ini sumbang, ia melompat turun dari kuda dan goloknya sudah terhunus di tangan.

"Cacing buku, kau turunlah kalau minta dihajar," bentaknya.

"Siapa sudi berurusan dengan segala telur busuk. Pergi dan panggil ketua rombongan,” kata pemuda muka putih itu.

"Setan, kau memang harus diseret!" Tan Kui marah sekali dan melompat maju. Piausu tua hendak mencegah namun terlambat, Tan Kui sudah di dekat pemuda muka putih itu dan tangan kirinya diulur hendak menangkap kaki pemuda itu untuk diseret turun. Akan tetapi, bukan pemuda muka putih yang terjungkal dari kuda, melainkan Tan Kui sen diri yang tiba-tiba terlempar ke belakang jatuh gedebukan! Masih untung bahwa tendangan kilat pemuda muka putih itu hanya membuat ia menderita benjol-benjol di kepala saja dan golok di tangannya tidak makan tuan. Namun Tan Kui benar-benar tak tahu diri. Ia meringis kesakitan lalu timbul marahnya.

Sambil memaki-maki kotor ia melompat lagi, kini goloknya diayun untuk menyerang pemuda muka putih yang tadi telah menen dangnya. Pemuda itu dengan seuyum mengejek tak meninggalkan bibir, dengan amat tenangnya menggerakan kakinya memapaki golo k yang datang menyambar dan... begitu golok bertemu dengan ujung sepatu, golok terpental membalik dan menyambar leher pemegangnya!

Tan Kui menjerit dan miringkan leher, namun ujung golok yang dipegan gnya sendiri tetap saja menghajar pundakn ya. Sebagian daging pundak sapat darah membanjir. Tubuh Tan Kui sempoyongan ketika ia menjauhkan diri dari pemuda lihai itu, mendekati piauwsu-piauwsu lainnya dengan muka jerih.

“Hi hi hi, cici, kenapa tidak kau pencet mampus saja kadal itu? Terlalu enak kepalanya yang dogol itu masih dibiarkan menempel di lehernya!" kata gadis berwajah manis itu kepada "pemuda" muka putih.

Para piauws u memandang heran. Kiranya pemuda muka putih itu adalah seorang gadis yang menyamar dalam pakaian pria. Juga Tiang Bu dari tempat persembunyiannya diam-diam menampar ke palanya sendiri.

Tiga kali tolol, pikirnya. Mataku sungguh tidak ada gunanya, sampai gadis berpakaian pria saja tidak tahu. Pantas saja dia begitu manis, lebih dari kawannya. Kepandaiannya hebat juga, memapaki golok orang dengan ujung kaki menendang dan sekaligus menotok pergelangan tangan, benar benar bukan gerakan main-main yang mudah dilakukan. Diam-diam Tiang Bu kagum dan melanjutkaa pengintaiannya penuh perhatian.

Sementara itu, piauwsu tua yang menjadi kepala rombongan sudah melompat turun dari kudanya dan menghampiri dua orang gadis itu sambil menjura dengan sikap hormat. “Jiwi-lihiap, harap maafkan apabila seorang kawan kami berlaku lancang. Dia sudah menerima pelajaran jiwi, selanjutnya sudah tidak ada urusan apa-apa lagi. Sapanjang ingatanku kami dari Siang-kim sai Piauw-kiok tidak pernah ada urusan dengan jiwi. Lihiap, mengapa hari ini jiwi mengganggu kami? Harap jiwi melihat bendera kami dan selanjutnya tidak mengganggu kami yang sedang menjalankan tugas penting. Tentu kelak dua orang ketua kami akan berterima kasih sekali."

Terang bahwa piauwsu tua ini bersikap amat merendah, hal yang aneh dan luar biasa bagi sikap piauwsu dari Siang-kim-sai Piauw-kiok yang biasanya tidak gentar menghadapi penjahat yang besar manapun, ini menandakan bahwa piauwsu tua itu memiliki pandangan yang awas dan bahwa dia sudah banyak pengalaman. Memang betul demikian karena Lu Tiang Sek, piauwsu pembantu atau tangan kanan Siang-kim-sai itu adalah seorang piauw-su yang sudah puluhan tahun melakukan pekerjaan piauwsu.

Tadi melihat cara gadis berpakaian pria itu menghalau serangan golok Tan Kui, tahulah dia bahwa, gadis itu memiliki kepandaian tinggi. Pula ia tahu bahwa dua orang gadis itu tentu bukan bangsa perampok sembarangan, karena selain ia tak pernah melihatnya, juga sikap mereka bukan seperti penjahat-penjahat biasa. Inilah sebabnya ia sengaja merendah dan mempergunakan nama besar Siang-kim-sai Piauwkiok untuk mencegah terjadinya bentrokan.

Gadis berwajah manis itu tersenyum mendengar kata-kata Lu Tiang Sek. Sambil mengincar kearah kereta, tangan kirinya bergerak secara beruntun dua kali.

"Krak! Krak!" Tiang bendera di depan dan belakang kereta itu patah terkena sambaran dua batang piauw yang dilepaskan olehnya.

"Segala bendera begituan siapakah yang memandang? Kami tidak berurusan dengan Siang-kim-Sai (Sepasang Singa Emas) maupun Siang-thu-kauw (Sepasang Monyet Lempung), pendeknya turunkan peti berukir sepasang Kilin dan keluarkan isinya untuk kami bawa. Habis perkara!" kata pula gadis manis itu, sedangkan gadis berpakatn pria hanya tersenyum manis melihat lagak adiknya.

Baru timbul kemarahan Lu Tiang Sek. Kalau tadi ia sengaja merendah dan mengalah, bukan sekali-kali ia gentar menghadapi dua orang lawan ini, melainkan tidak menghendaki pertempuran dalam menuaikan tugas yang penting ini. Ia dan kawan-kawannya mengawal kere ta yang amat berharga, karena kereta dan isinya ini adalah barang-barang pembesar tinggi dari utara yang kini pulang ke selatan.

Pembesar itu tadinya bekerja di Kerajaan Kin dan menduduki pangkat pembantu menteri, kini pulang ke tempat asalnya, yaitu di kota Wukeng. Barang barangnya banyak sekali, akan tetapi yang paling penting dan berharga adalah barang yang dikawal sekarang ini. Kwee-taijin, pembesar itu, berkali-kali memesan agar supaya para piauwsu hati-hati dalam mengawal barang-barang berharga itu, terdiri dari empat buah peti besar, di antaranya sebuah peti yang tidak berapa besar, berukir sepasang Kilin.

"Bocah-bocah perempuan lancang mulut lancang tangan! Kami sudah berlaku sabar dan mengalah, mengapa kalian kurang ajar bahkan berani mematahkan tiang bendera? Kali an boleh belajar merampok sesukanya akan tetapi jangan kalian sekali-kali berani mengganggu barang yang dilindungi oleh Siang-kim Piauw-kiok!" Sambil berkata demikian, piauwsu tua ini mencabut golok dan berdiri tegak dengan sepasang kaki terpentang di atas tanah, menghadapi dua orang gadis itu. Tiga orang kawannya juga mencabut golok dan melompat turun dari kuda. Hanya Tan Kui seorang yang tidak dapat ikut bersiap karena sudah terluka. Dia hanya mengurus kuda-kuda yang ditinggalkan penunggang masing-masing.

Gadis berpakaian pria itu menoleh kepada adiknya sambil tersenyum dan berkata, "Moi-moi, empat ekor kadal ini agaknya belum mau menyerah kalau belum dipotong ekornya. Kau jaga saja supaya kereta itu tidak kabur.”

Setelah berkata demikian, dengan gerakan lincah dan gesit sekali gadis itu melompat turun dari kudanya. Ternyata sekarang tubuhnya tinggi langsing ketika ia berdiri di atas tanah, gerakannya le mah gemulai namun cepat sekali sehingga tak seorangpun di antara empat orang piauwsu itu melihat kapan dan bagaimana pedang yang berkilauan putih mengkilap telah terada di tangannya.

Lu Tiang Sek maklum bahwa ia menghadapi lawan pandai, maka ia tidak malu-malu lagi dan berseru keras, "Robohkan dia!"

Memang bagi kawanan piauwsu dalam menjalankan tugas, jika menghadapi gangguan penjahat tak perlu mereka sungkan-sungkan untuk mengeroyok, karena pertempuran seperti ini lain lagi halnya dengan misalnya pertempuran pibu (mengukur kepandaian masing-masing) di mana orang kang-ouw biasanya amat sportif, tidak mau mengeroyok dan tidak mau berlaku curang.

Akan tatapi, biarpun dikeroyok empat orang piauwsu yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, gadis berpakaian pria itu sama sekali tidak menjadi sibuk. Dengan pedangnya yang bersinar perak, ia bergerak dan tahu-tahu pedangnya menyambar ke kanan kiri diikuti bentaknya yang nyaring berpengaruh

"Roboh...!"

Hebat bukan main ilmu pedang nona ini. Dalam segebrakan saja ia telah menyerang empat orang lawannya, masing-masing dengan tusukan atau sabetan yang amat berbahaya. Segera terdengar pekik kaget dan kesakitan. Ternyata yan g menangkis serangan ini merasa tangannya tergetar, hanya Lu-piauwsu seorang yang dapat mengimbangi tenaga nona itu. Yang dua orang tergetar dan mundur sedangkan yang termuda, suheng dari Tan Kui, terhuyung-huyung sambil memegangi lengannya yang terluka dan hampir putus!

"Hati-hati, bantu saja aku,” seru Lu-Tiang Sek sambil memutar goloknya dengan pengerahan tenaga dan kepandaian, karena maklum bahwa lawan ini biarpun seorang gadis muda namun memiliki kiam-sut yang lihai sekali. Dua orang kawannya membantunya dari kanan kiri dan berlaku hati-hati sekali, hanya membantu gerakan yang disesuaikan dengan penyerangan Lu Tiang Sek sehingga setiap serangan Lu-piauwsu menjadi makin hebat dan setiap serangan gadis itu dapat dihadapi atau ditangkis oleh tiga batang golok. Dengan cara demikian untuk sementara mereka dapat menahan gadis berpakaian pria itu.

Kusir kereta yang melihat bahwa kawan-kawannya terancam, segera mengangkat cambuk dan memukul kudanya. Empat ekor kuda itu hendak dibalapkan untuk menyelamatkan kereta berisi barang-barang. Akan tetapi baru saja cambuknya terangkat ia menjerit dan terjungkal roboh dari atas kereta, pundaknya ditembusi sebatang piauw yang dilepas oleh gadis berwajah manis sambil tertawa cekikikan.

Kembali seorang pengeroyok roboh tercium ujung pedang, kena pahanya membuat ia tak dapat berdiri lagi. Lu Tiang Sek marah dan khawatir sekali. Ia memutar golok sehebatnya, namun sia-sia, dengan tusukan indah gerakannya, seorang lagi kawannya terjungkal dengan lutut terlepas sambungannya karena tendangan nona itu.

“Tahan dulu!” seru Lu Tiang Sek yang merasa bahwa ia takkan menang. Sebelumnya dikalahkan ia harus tahu dulu siapa adanya dua orang lawannya itu dan mengapa hendak merampok. "Tahan senjata!”

"Piauwsu tua, apakah sekarang kau takluk?” tanya gadis berpakaian pria itu dengan senyum sindir, pedangnya dipalangkan di depan dada.

"Aku Lu Tiang Sek bukan orang yang biasanya menyerah sebelum kalah," bantah piauw-su itu dengan muka marah, "aku hanya ingin tahu siapakah kalian ini dan mengapa kalian memusuhi kami!"

"Lu-piauwsu, sebenarnya tidak ada perlunya kami memperkenalkan nama. Akan tetapi oleh karena aku tidak ingin kau bilang kami takut kepada Siang-kim-sai, kau ketahui bahwa kami adalah anak dari Huang-ho Sian-jin dan kami membutuhkan isi peti berukir Kilin."

"Mangapa kalian ini anak-anak dari seorang tokoh besar seperti Huang-ho Sian-jin hendak menjadi perampok?" tanya Lu Tian Sek, kaget dan heran mendengar bahwa ia berhadapan dengan puteri-puteri Huang-ho Sian-jin (Dewa Sungai Huang-ho) yang amat terkenal sebagai datuk bajak sungai.

Gadis berpakaian pria itu tertawa, manis sekali "Ketahuilah, piauwsu yang hanya bekerja untuk uang. Benda-benda ini adalah hasil korupsi dan hasil curian dari pembesar jahanam she Kwee itu. Setelah berhenti dari jabatannya, ia membawa barang-barang itu pulang ke tempat asalnya. Oleh karena itu, sepatutnya kalau kami mengambil barang yang paling berharga agar dia jangan enak-enak saja merampoki harta kekayaan rakyat utara."

Lu Tiang Sek meringis. "Kami hanya piauw-su yang melakukan tugas, Mana kami tahu asal usul barang orang? Kalau kami tidak melindungi barang-barang yang kami kawal, itu baru berarti kami tidak patut menjadi piauwsu. Jiwi lihiap, kalau mau memandang persahabatan, harap jangan mengambil barang itu sekarang. Nanti kalau sudah kami antarkan ke rumah Kwee-taiijin. masa bodoh kalau jiwi mau ambil apa saja."

"Cih, aku disuruh memandang mukamu? Piauwsu kampungan, jangan banyak cerewet. Kau berikan tidak peti itu?"

"Lebih dulu Lu Tiang Sek harus dapat kau robohkan!" jawab piauwsu tua itu gagah.

"Bagus, kau rebahlah!” Gadis itu menyerang dengan hebatnya. Pedang di tangannya bergerak seperti ular dan ujungnya sampai tergetar menjadi empat lima buah, melakukan serangan-serangan yang sukar diduga ke mana arahnya dan gerakan pedang itu mengeluarkan sinar gemerlapan menyilaukan mata. Lu Tiang Sek mengangkat golok menangkis sekuat tenaga.

"Tringg...! Tringg...!" Dua kali goloknya dapat menangkis, namun pedang itu selain berpindah-pindah, begitu ditangkis, begitu melejit untuk melakukan serangan selanjutnya dengan ujung pelang yang lain arahnya, membuat pauwsu tua itu bingung dan tahu-tahu ujung pedang lawan menancap pundaknya. Lu Tiang Sek terjungkal dan pingsan.

"Moi-moi, lekas kita bongkar peti...” kata wanita gagah itu kepada adiknya, tetapi dia dan adiknya tiba-tiba menjadi kaget ketika melihat kereta itu bergerak maju dan di tempat duduk kusir tadi kini sudah ada orangnya. Ketika mereka memandang, ternyata bahwa "kusir" istimewa ini bukan lain adalah pemuda yang tadi mereka lewati di tengah jalan.

"Bocah gunung, kau menggelundunglah turun!" seru gadis berwajah manis sambil mengayun tangannya, Sebatang piauw menyambar dan tepat mengenai dada kusir itu. Si dara manis sudah tersenyum-senyum menanti pemuda itu terjungkal dari atas kereta, dan bersama cicinya ia melompat-lompat menghampiri kereta. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika melihat pemuda itu tidak jatuh terjungkal, malah kereta itu mulai bergerak cepat ditarik oleh empat ekor kuda.

"Kurang ajar, kau mesih belum menggelundung turun?" gadis manis itu berseru marah dan heran.

Apakah sambitannya tadi luput? Mustahil, jelas ia lihat piauw yang ia sambitkan tadi mengenai dada pemuda itu. Mengapa tidak terjungkal kebawah? Apakah... tahu-tahu piauwnya telah mencabut nyawa pemuda itu dan membuat ia mati ditempatnya? Demikian pikir gadis itu sambil lari mengejar.

Setelah dekat, gadis itu mengayun tubuhnya loncat ke atas kereta, ke tempat duduk kusir. Adapun cicinya, gadis yang berpakaian pria tadi dengan gerakan yang amat gesit telah melompat ke dalam kereta melalui pintu sutera...