Tangan Gledek Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 17

BENAR saja, setelah tiba di luar pintu, kedua anak itu lalu melompat dan cepat lari menghampiri guru mereka. Wajah mereka nampak pucat dan nyata sekali mereka itu merasa ngeri dan takut. Hal ini mengherankan hati Ang-jiu Mo-li karena tidak biasanya murid-muridnya, apa lagi Bi Li, berhati penakut.

"Ada apakah?" tegurnya, alisnya berkerut tak senang melihat dua orang muridnya memperlihatkan sikap ketakutan.

"Suthai... didalam ada... ada siluman menakutkan sekali!” kata Wan Sun, agak malu-malu akan tetapi masih ketakutan.

"Siluman? Biar pinceng menangkapnya, untuk menjaga Kelenteng Kwan-te-bio!" seru Hwa Thian Hwesio dengan sikap gagah. Ia berjalan memasuki kuil dengan langkah tegap, kedua kaki agak dibongkokkan, kedua tangan terkepal dan perut serta dadanya melengkung seperti katak marah.

Terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah dalam kuil tua itu, suara bak-bik-buk orang bertempur, kemudian disusul pekik Hwa Thian Hwesio seperti babi disembelih dan orang-orang di luar kuil melihat tubuhnya yang bulat seperti bola itu menggelinding keluar. Setelah melompat berdiri, ia meraba-raba gundulnya sambil bertanya kepada Wan Sun. "Kongcu, tolong kau lihat kepalaku ini bonyok tidak?'

Wan Sun dan Bi Li tertawa geli melihat tingkah laku hwesio ini dan Wan Sun memeriksa kepala yang bulat itu. Ternyata tidak ada yang luka.

"Tidak ada yang bonyok, losuhu" katanya.

"Juga tidak pecah-pecah? Sukurlah... Omitohud...! Toanio, yang di dalam bukan siluman, melainkan manusia betina setengah siluman. Toat-beng Kui-bo dari Lam-hai (Laut Selatan)!”

Baik Kong Ji maupun Ang jiu Mo-li yang selama ini hanya merantau di daerah utara dan selatan tidak sampai di pantai Laut Selatan, tidak mengenal nama ini. Berbeda dengan Hwa Thian Hwesio yang memang berasal dari kota kecil di dekat pantai selatan. Oleh karena tidak mengenal nama mendengar laporan ini, Kong Ji dan Ang.jiu Mo-li berkelebat me masuki kuil itu. Akan tetapi mereka berseru kaget dan melompat mundur lagi karena tiba-tiba di ambang pintu kuil itu muncul seorang nenek yang amat menakutkan. Toat-bong Kui-bo (Biang Iblis Pencabut Nyawa). Nenek ini tertawa cekikikan dan di bawah lengan kirinya terkempit tubuh Li Hwa yang tak berdaya karena nyonya ini masih berada dalam keadaan tertotok.

Melihat manusia luar biasa yang mengerikan ini, Ang-jiu Mo-li sendiri yang sudah dijuluki Mo-li (Iblis Betina), masih menjadi kaget setengah mati. Juga Kong Ji yang mempunyai watak seperti iblis, melihat nenek ini berdiri bulu tengkuknya. Hampir berbareng, seperti sudah janji lebih dulu, dari tangan Ang jiu Mo-li menyambar sinar putih dan dari tangan Kong Ji menyambar sinar hitam yang kesemuanya menuju ke arah jalan darah di tubuh nenek itu. Tiga buah Pat-kwa-ci (Biji Segi Delapan) yang lihai dari Ang-jiu Mo-li dan lima batang Hek-tok.ciam (Jarum Racun Hitam) dari Kong Ji menyerang cepat.

Akan tetapi, sekali nenek itu menggerakkan tangan kanan yang memegang tongkat panjang, ujung lengan bajunya melambai. Dari lambaian ini ke luar angin yang menyapu delapan buah senjata rahasia itu runtuh semua.

Ang-jiu Mo-li dan Liok Kong Ji terkejut. Mereka bersiap untuk menggempur nenek itu. Akan tetapi Toat-beng kui-bo tertawa cekikikan dan berkata,

"Manusia-manusia tak kenal malu. Di rumah orang jangan membikin rusuh. Ataukah kalian berani menghina dua kakek tua bangka dari Omei-san?”

Mendengar bentakan ini, dua orang itu tertegun. Tentu saja mereka tidak berani menghina dua orang kakek sakti di Omei san. Toatbeng Kui-bo sambil tertawa-tawa lalu berjalan terbongkok-bongkok pergi dari situ.

"Lepaskan dia... Kong Ji barseru sambil mencabut Cheng-liong-kiam, pedang rampasan dari Li Hwa.

Melihat pedang itu, Toat-beng Kui-bo menyeringai dan tiba-tiba tubuhnya melayang cepat menyambar ke arah Kong Ji. Tangannya terayun dan dengan gerakan hebat menghantam kepala Kong Ji. Baru kali ini Kong Ji menghadapi serangan yang demikian berbahayanya. Cepat ia mengelak, akan tetapi tahu-tahu pedangnya terpukul tongkat dan terlepas dari pegangan. Pedang itu mencelat ke atas dan tubuh nenek itu bagaikan seekor burung hantu yang besar, melayang pula ke atas dan di lain saat pedang itu telah berada di tangannya!

"Hi-hi-hi. Cheng-liong kiam, Kenapa berada di tangan bocah ini?" katanya dengan suara ketawa meringkik seperti kuda.

“Itu pedangku, dirampas olehnya,” kata Li Hwa perlahan. Nyonya ini tertotok dan tubuhnya lumpuh, namun masih dapat membuka suara.

Mendengar ini, Toat-beng Kui-bo melanjutkan perjalanannya, sama sekali tidak memperdulikan Kong Ji yang berdiri melongo. Kong Ji menjadi marah dan penasaran sekali. Sambil mengeluarkan seruan keras ia hendak mengejar. Tak mungkin ia dikalahkan begitu saja. Juga Ang jio Mo-li yang kini melihat bahwa wanita yang dibawa Toat-beng Kui-bo itu adalah wanita yang dulu ia lihat bersama Wan Sin Hong lalu mendahului Kong Ji dan melompat melakukan pukulan dengan tangan merahnya, menampar muka yang seperti iblis itu!

Menghadapi pukulan ini, Toat-beng Kui-bo kaget dan tidak berani memandang rendah. Ia melompat mundur dan tiba-tiba dari mulutnya keluar suara mendesis dan dari atas menyambar turun lima ekor kelelawar raksasa! Binatang-binatang aneh ini menyambar-nyambar di atas kepala Ang-jiu Mo-li dan Liok Kong Ji yang hendak menyerang Toat-beng Kui bo, seakan-akan hendak melindungi nenek itu.

"Kelelawar berbisa...!" Hwa Thian Hwesio yang mengenal kelelawar yang hidup di dalam gua-gua di pantai laut selatan itu cepat menyeret Wan Sun dan Wan Bi Li dan membawa mereka lari memasuki kuil untuk bersembunyi. Setelah Ang-jiu Mo-li memanggilnya dari luar baru hwesio gundul gemuk ini berani mengajak mereka keluar. Ternyata kelelawar-kelelawar itu sudah lenyap bersama Toat beng Kui bo. Juga Liok Kong Ji tidak kelihatan lagi.

"Ke mana siluman itu? Mana pula Liok Kong Ji?" tanya Thian Hwesio sambil celingukan.

"Mareka sudah pergi," jawab Ang-jiu Mo-li singkat.

Demikianlah penuturan Hwe Thian Hwesio kepada Wan Sin Hong. Sebagai penutup penuturannya, Hwa Thian Hwesio berkata, “Nah, Ang-jiu Mo-li dan dua orang muridnya melanjutkan perjalanan ke puncak dan pinceng mengambil jalan lain. Di sini pinceng melihat orang-orang itu naik, maka pinceng bersembunyi di dalam rumput-rumput. Tak tahunya bertemu dengan sicu di sini." Ia lalu tersenyum lebar.

Sin Hong tertarik sekali oleh penuturan ini. Terutama sekali tentang Li Hwa. Isterinya itu telah bebas dari tangan Kong Ji dan kini berada di tangan Toat-beng Kui-bo. Akan tetapi mengapa tadi ia tidak melihat Li Hwa bersama nenek itu? Di mana adanya Li Hwa? Juga penuturan bahwa dua orang bocah yang menjadi murid Ang-jiu Mo-li itu ternyata putera-puteri Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li membuatnya tercengang. Akan tetapi karena tahu bahwa Ang-jiu Mo-li memiliki kepandaian tinggi, diam.diam ia merasa bersyukur bahwa anak-anak Wanyen Ci Lun mendapat kan guru yang pandai.

Biarpun ia sudah tidak ada urusan dengan Liok Kong Ji dan berarti tidak ada urusan dengan Omei-san, akan tetapi oleh karena isterinya kini berada di tangan Toat-beng Kui-bo yang naik ke puncak, terpaksa Sin Hong melanjutkan perjalanan ke puncak Omei-san untuk mengejar Toat-beng Kui-bo dan menuntut dikembalikannya isterinya. Sambil menyambar tubuh Lee Goat yang dipondongnya. Sin Hong berlari cepat sekali sehingga sebentar saja Hwa Thian Hwesio tertinggal jauh.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Sementara itu, di lain bagian dari Gunung Omei-san di dekat puncak, seorang pemuda tanggung diserang hebat oleh dua ekor burung Pek.thouw-tiauw, semacam burun g rajawali yang besar sekali dengan kepala putih. Dua ekor burung raksasa itu sambil mengeluarkan suara cecowetan menyambar-nyambar ke arah pemuda tanggung itu. Pemuda itu bukan lain adalah Tiang Bu. Menghadapi serbuan dua ekor burung yang berbahaya ini, Tiang Bu menyambar sebatang ranting pohon. Dengan senjata istimewa ini ia melindungi diri sedapat mungkin.

Burung raksasa itu beratnya sedikitnya ada lima ratus kati, maka sambarannya dapat dibayangkan betapa hebatnya. Mungkin ada seribu kati. Dua burung sehebat ini hendak menjadikan bocah itu sebagai mangsanya. Biarpun amat kewalahan menghadapi serbuan dua ekor binatang raksasa ini, namun Tiang Bu tak pernah minta tolong. Ia mainkan ranting kayu itu dengan gerakan cepat, sambil mengatur langkah dan mengelak setiap kali burung raksasa itu menyambar dengan paruh besar dan cakar mengerikan di depan. Beberapa kali Tiang Bu sudah dapat menusuk tubuh binatang-binatang itu dengan rantingnya akan tetapi seakan -akan tidak terasa oleh Pek-thouw-tiauw itu.

Bagaimana Tiang Bu bisa berada dalam keadaan demikian berbahaya? Bukankah tadi ia berjalan diikuti oleh Thai Gu Cinjin dan Kwa Kok Sun, dua orang yang amat berbahaya dan mengancam keselamatannya?

Memang demikian. Tadinya Tiang Bu memikul pikulan airnya, berlari naik ke puncak diikuti oleh Thai Gu Cinjin dan Teetok Kwan Kok Sun. Makin lama Tiang Bu makin mempercepat larinya dan ia sengaja membawa dua orang itu melalui jalan yang paling sukar, yaitu di daerah yang yang paling liar di mana ia biasa berlatih Ilmu Lari Liap-In-sut dengan gurunya. Setelah tiba di daerah ini, ia lalu mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, berlompatan dengan lincah sekali. Lebih dulu ia melempar pikulannya agar tidak menghalangi gerakan-gerakannya.

"Hai, tungau...!" seru Thai Gu Cinjin, kaget melihat betapa bocah itu tiba-tiba demikian gesit gerakannya. Ia mengerahkan tenaga untuk mengejar.

Juga Tee-tok Kwan Kok Sun segera tertinggal oleh Tiang Bu. Dalam hal ilmu silat, sangat boleh jadi Tiang Bu belum dapat mengimbangi mereka, akan tetapi Ilmu Lari dan Lompat Liap in-sut adalah ilmu ginkang yang sangat tinggi. Maka begitu Tiang Bu tiba di daerah ini dan mempergunakan ilmunya, dua orang pengejarnya itu tertinggal jauh.

"Tiang Bu, berhenti! Kalau tidak, kuhancurkan kepalamu!” Thai Gu Cinjin memaki-maki dan menyumpah-nyumpah, akan tetapi Tiang Bu bukan anak bodoh dan berlari terus dengan cepatnya.

Tiba-tiba Tiang Bu mendengar suara angin dari belakang. Cepat ia mengelak dan beberapa butir batu kecil yang disambitkan oleh Thai Gu Cinjin lewat di dekat tubuhnya. Kembali terdengar suara senjata rahasia dan secepat mungkin Tiang Bu mengelak ke kiri. Beberapa sinar hitam lewat cepat sekali. Inilah senjata rahasia jarum-jarum berbisa yang berwarna hitam. yang dilepas oleh Tee-tok Kwan Kok Sun. Jarum-jarum berbisa ini disebut Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) yang dulu merupakan kepandaian istimewa dari mendiang ayahnya. See-thian Tok-ong. Juga Liok Kong Ji mewarisi kepandaian ini dari See - thian Tok-ong. Senjata-senjata in i berbahaya sekali, sedikit saja mengenai kulit, racunnya akan bekerja, ikut bersama darah dan meracuni seluruh tubuh!

Didesak oleh senjata rahasia-rahasia yang dilepaskan bertubi-tubi dari belakang oleh orang-orang yang memiliki tenaga besar ini Thing Bu menjadi sibuk juga. Untuk berhenti dan melawan, ia maklum takkan dapat menang. Lebih baik berlari terus sambil mengelak dari setiap serangan amgi (senjata gelap atau senjata rahasia), pikirnya. Maka dipercepat larinya. Ia tidak dapat cepat-cepat terbebas dari kejaran dua orang itu karena baik kedua pengejarnya, terutama sekali Thai Gu Cinjin, memiliki kepandaian tinggi dan dapat berlari cepat pula.

Pada saat itulah tiba-tiba dari angkasa raya terdengar pekik nyaring dan dua ekor burung rajawali kepala putih itu menyambar turun, langsung menyerang Thai Gu Cinjin dan Tee-tok Kwan Kok Sun. Thai Gu Cin jin mengayun tongkatnya dan Kwan Kok Sun mengirim pukulan. Terdengar suara berdebuk dan dua ekor burung itu terpental ke udara. Akan tetapi tubuh mereka kuat sekali karena mereka tidak tewas, melainkan terkejut dan be terbangan di atas sambil cecowetan.

"Siapa berani memukul Pek thouw-tiauw kami?" terdengar suara halus dan tiba-tiba muncul seorang laki-kaki gagah bersama seorang wanita cantik. Usia mereka kurang lebih empat puluh tahun dan sikap mereka gagah sekali. Inilah jago dari Pantai Timur, Pekthouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya yang bernama Souw Cui Eng, Lie Kong selamanya merantau ke luar lautan bersama isterinya, menjelajah pulau-pulau terdekat dengan Tiongkok dan karena itu, ia sama sekali tidak dikenal oleh orang-orang dari lain daerah.

Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun yang datang jauh dari barat juga tidak mengenalnya. Maka Thai Gu Cinjin membentak marah!

"Jadi kau yang punya burung liar itu? Bagus! Burung liarmu datang-datang menyerang orang dan kau bilang kami memukulnya? Benar-benar kurang ajar sekali!"

Lie Kong tersenyum dan berkata tenang. "Burung-burung kami sudah terlatih baik, tak mungkin mau menyerang orang yang tak berdosa. Kalian tentu melakukan sesuatu yang tidak benar kalau sampai diserang oleh burung-burung kami."

Melihat sikap yang tegas dan tenang dari Lie Kong, juga melihat sikap wanita disebelahnya yang nampak gagah. Thai Gu Cinjin menahan kemarahan hatinya. "Enak saja kau menuduh orang. Kami sedang mengejar seorang bocah setan yang menipu kami dan tahu-tahu dua ekor burungmu telah menyerang kami."

"Nah, itulah! Kalian mengejar seorang bocah. tentu saja burung kami menganggap kalian berlaku keterlaluan dan ingin membela bocah itu. Salah kalian sendiri!" kata Li Kong mentertawai.

Kesabaran orang ada batasnya. Tee-tok Kwan Kok Sun tidak biasa dihina orang, maka melihat sikap pemilik burung itu darahnya sudah meluap. Dengan geraman menyeramkan ia lalu menubruk maju dan mengerjakan kedua tangan mengirim pukulan Hek-tok-ciang sambil berseru,

"Burungnya jahat, pemiliknya gila. Minggirlah!"

Pukulan Hek-tok.ciang atau pukulan Racun Hitam bukan main hebatnya. Jarang ada orang dapat menahan pukulan ini. Juga tidak berani menangkis karena pertemuan tangan saja dapat melekat. Orang lain tentu akan mengelak kalau menghadapi pukulan maut ini. Akan tetapi, Lie Kong yang berkepandaian tinggi dan sudah banyak mengalami hal-hal aneh di luar lautan, bersikap tenang sekali. Dari warna tangan yang berubah hitam itu maklumlah ia bahwa lawannya mempergunakan tangan "berisi"' yaitu tangan yang sudah dilatih lebih dulu untuk melakukan pukulan istimewa yang berbisa.

Dengan gerakan lambat ia mengulur tangan dan menyentil dengan kuku jarinya, tepat ke arah jalan darah di dekat pergelangan tangan. Akibatnya, bukan Lie Kong yang mengelak, bahkan Kwan Kok Sun yang me nahan pukulannya karena kalau dilanjutkan, mungkin ia akan tertotok! Racun Bumi ini merubah scrangan, akan tetapi tiba-tiba terdengar desir angin dari kiri dan isteri Lie Kong sudah menyambutnya dengan sebuah tendangan kilat.

"Manusia tak tahu malu, mampuslah!"

Kwan Kok Sun lagi-lagi harus melompat dan mengelak karena dari hawa tendangan saja maklumlah ia bahwa ia tidak akan dapat menahan tendangan sang amat kuat ini. Tak lama kemudian bertempurlah Kwan Kok Sun melawan Souw Cui Eng yang ternyata lihai se kali. Juga wanita ini sikapnya gagah, karena melihat Kwan Kok Sun tidak mengeluarkan senjata iapun tidak mau men cabut pedangnya melainkan menggunakan kaki tangannya untuk menghadapi Racun Bumi itu.

"Tiauw ko (Burung Rajawali)! Kau jaga anak itu jangan boleh lari!” kata Lie Kong kepada dua ekor burungnya sambil menghadang Thai Gu Cinjin.

Hwesio Lama ini sudah mengayun tongkatnya, akan tetapi Lie Kong menggerakkan tangan dan... tongkat itu ditangkis begitu saja dengan lengannya, akan tetapi cukup membuat tongkat itu terpental dan tangan Thai Gu Cinjin gemetar! Dari tangkisan ini saja sudah dapat dilihat bahwa ke pandaian Lie Kong benar-benar hebat sehingga Thai Gu Cinjin menjadi jerih dan mengeluh di dalam hati. Beberapa kali ia bertemu dengan orang-orang pandai, yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari padanya. Padabal kalau berada di Tibet, jarang ada orang yang dapat mengimbangi kepandaiannya!

“Kalian ini pendeta-pendeta tak tahu aturan. Di tempat orang lain berani berlagak, apakah tidak menaruh hormat kepada tuan rumah?” Lie Kong membentak karena di a sendiri di tempat ini merasa sungkan untuk bertempur dengan orang lain.

Teguran ini membuat Thai Gu Cinjin makin gentar. Tentu saja ia tidak berani memandang rendah kepada tuan rumah yang ia ketahui adalah dua orang yang sakti. Maka mendengar ani, ia lalu berseru kepada Kwan Kok Sun. "Tee-tok, mari kita pergi!"

Juga Tee-tok Kwan Kok Sun merasa penasaran sekali karena dilawan oleh seorang wanita yang bertangan kosong saja ia tidak mampu mengalahkannya. Apalagi kalau wanita ini mencabut pedang atau lebih-lebih lagi laki-laki itu! Baiknya ia tadi belum mengeluarkan senjatanya yang luar biasa, yaitu ular-ular hidup. Kalau ia sudah mengeluarkan senjata dan mereka sudah bertempur mati-matian, agoknya sukar untuk menghentikan pertempuran. Kini mendengar seruan kawannya, ia melompat mundur sambil berkata,

“Toanio benar-benar lihai sekali!" Sambil berkata demikian, sebelum mundur ia mengadu lengannya dengan lengan lawan sambil mengerahkan tenaga Hek-tok-ciang dengan maksud melakukan pukulan gelap.

Orang lain kalau terkena pukulan ini pasti akan kemasukan racun hitam melalui hawa pukulan yang tetap akan merupakan racun berbahaya sekali. Akan tetapi ketika lengan tangannya yang kasar itu beradu dengan lengan tangan lawan, ia merasai kulit lengan yang halus empuk dan panas bukan main, rasa panas yang menjalar terus ke kulit lengannya sendiri sehingga serasa kulit lengannya terbakar! Ketika ia melompat mundur dan melihat ke arah lengann ya ternyata di dekat pergelangan lengan terdapat tanda bintik merah dua buah, tanda bahwa ia telah terkena pukulan rahasia orang! Celaka, bukan lawan yang menderita, bahkan dia yang terluka!

Souw Cui Eng tersenyum. “Sobat beracun kau lihai sekali. Hadiahmu pukulan beracun tadi baiknya sudah kulihat Lebih dulu dan dapat membalas budimu." Setelah berkata demikian, nyonya itu tersenyum manis berpaling kepada suaminya.

Dengan mendongkol sekali Kwan Kok Sun mengikuti Thai Gu Cinjin melanjutkan perjalanan ke puncak. Dia tidak usah khawatir akan luka di tangannya karena sebagai ahli racun tentu saja ia pandai mengobati luka-luka karena pukulan atau karena racun.

Sementara itu, seperti telah dituturkan bagian depan, Tiang Bu sibuk sekali menjaga diri dari serbuan dua ekor Pek thouw yang menyerbunya. Sambil berlari dia berloncatan ke sana ke mari, Tiang Bu berada jauh dari tempat pertempuran tadi. Dan dua ekor burung itu dalam usaha mereka mentaati perintah majikan, yaitu untuk menjaga jangan sampai Tiang Bu lari, lalu menyerang dengan maksud menangkap bocah itu. Akan tetapi sungguh tak terduga, bocah yang dise rangnya ternyata bukanlah makanan empuk dan bukan saja melawan serta selalu menghindarkan diri bahkan juga dapat membalas serangan mereka dengan sebatang ranting. Hal ini memarahkan dua ekor binatang itu yang serta menyerang dengan sungsuh-sungsuh, membuat Tiang Bu sibuk bukan main.

Tiba-tiba dari bawah melayang dua sinar hitam yang panjang dan bentuknya seperti ular. Dua ular ini menyambar ke arah sepasang Pek thouw-tiauw secara luar biasa cepatnya dan... di lain saat dua ekor burung yang ganas itu jauh ke bawah, meronta-ronta sambil cecowetan. Ternyata bahwa dua buah sinar yang seperti ular itu adalah dua helai tambang yang dilontarkan orang secara isrimewa dan secara aneh pula telah dapat menelikung dua ekor burung itu di udara.

Dua ekor Pek-thouw-tiauw itu roboh dalam keadaan tertelikung bagian leher, sayap dan kakinya sehingga seperti ayam yang hendak direbus! Pek-thouw-tiauw ong (Raja Burung Rajawali Putih) Lie Kong dan isterinya yang sudah ditinggal lari oleh Thai Gu Cinjin dan Kwen Kok Sun, kaget bukan main melihat dua ekor burung mereka roboh di atas tanah, meronta-ronta sambil berteriak kesakitan dan kebingungan. Mereka tak percaya bahwa bocah itu yang merobohkan dua ekor burung itu.

Akan tetapi ketika mereka berlari-lari menghampiri, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang berkelebat cepat mendahului mereka menyambar tubuh Tiang Bu dan di lain saat bocah itu sudah lenyap! Suami isteri yang berkepandaian tinggi ini hanya melihat bentuk bayangan orang yang tinggi kurus, akan tetapi tidak dapat mengenal orangnya saking cepatnya gerakan itu

"Bukan main...!” Lie Kong menggeleng-geleng kepala ketika melihat dua ekor burungnya telah terikat tambang. "Salama hidupku belum pernah aku menyaksikan kehebatan seperti ini. Siapa lagi yang dapat melakukan semua itu kalau bukan manusia dewa itu?" Ia lalu melepaskan ikatan yang membuat dua ekor binatang peliharaannya yang istimewa itu tak berdaya, dibantu oleh isterinya.

Adapun Tiang Bu begitu melihat dua ekor burung itu roboh dan merasai angin mendesir sudah tahu bahwa gurunya yang ke dua, Tiong Jin Hwesio yang datang menolongnya. Benar saja, tak lama kemudian ia melihat bayangan gurunya ini berkelebat dan di lain saat lengannya sudah ditarik dan ia dibawa lari seperti terbang cepatnya.

“Pertemuan yang menarik sekali. kau harus menyaksikan untuk menambah pengalaman!"

Hanya demikian kata-kata Tiong Jin Hwesio, dan tak lama kemudian gurunya ini sudah tiba di tanah lapang yang terbuka, letaknya di sebelah kiri tempat tinggal mereka. Lapangan terbuka ini memang sengaja dibuat oleh dua orang kakek itu untuk tempat berlatih pernapasan dan menjemur diri menampung kekuatan dari sinar matahari. Di sini pula Tiang Bu biasanya berlatih ilmu silat. Ketika Tiang Bu tiba di situ, is melihat gurunya yan g pertama, Tiong Sin Hwesio, sudah duduk bersila di tempat yang biasa. Kakek ini mengangguk melihat muridnya datang, lalu katanya perlahan.

"Apapun yang kaulihat nanti, jangan mengeluarkan suara dan jangan bergerak."

"Baik, suhu." kata Tiang Bu memberi hormat lalu ia mengambil tempat dudukn ya sendiri, yaitu di belakang dua orang gurun ya yang duduk berdampingan di atas batu hitam. Tiang Bu duduk di atas batu hitam pula. tepat di belakang Tiong Sin Hwcsio. Iapun be rsila seperti orang bersamadhi. Akan tetapi dalam keadaan setegang itu, mana ia mampu bersamadhi mengumpulkan panca indera? Ia bahkan diam-diam melirik ke kanan kiri, memperhatikan tempat itu dengan penuh perhatian.

Ke adaan sunyi saja. Suara yang terdengar hanya s uara daun pohon kembang yang tumbuh dia belakang tempat mereka duduk. Pohon inilah pohon satu satun ya yang berada di situ dan kembangnya yang herwarna putih itu memenuhi tangkai dan dahan. Baunya sedap dan sejuk, dan apabila ada angin bertiup, bunga-bunga itu rontok berhamburan dan daun-daun bunga yang kecil-kecil memenuhi tempat itu, bahkan ada yang menjatuhi kepala Tiang Bu dan dua orang gurunya, akan tetapi mereka diam saja.

Matahari sudah naik tinggi dan sebentar lagi tengah hari akan tiba. Mulailah terdenger suara dan tak lama kemudian dari depan, kanan dan kiri mulai bermunculanlah orang-orang yang dinanti-nanti oleh dua orang guru dan seorang muridnya ini. Biarpun dua orang guru besar itu masih menundukkan muka dan sedikitpun tidak perduli, namun Tiang Bu tak dapat tinggal diam tanpa mengacuhkan mereka. Anak ini diam-diam memasang mata dan melihat teliti siapa-siapa yang datang.

Pertama-tama, muncullah Toat-beng Kui-bo yang berjalan terbongkok-bongkok dibantu oleh tongkatnya. Benar-benar mengherankan sekali bagaimana nenek bongkok yang jalannya lambat-lambat itu bisa tiba di sini paling dulu. Hampir berbareng, muncul pula Ang-jiu Mo-li yang kedua tangannya menggandeng Wan Sun dan Wan Bi Li. Kalau Toat-beng Kui-bo hanya mengangkat tongkat dan sedikit membungkuk ke arah Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio sebagai penghormatan yang aneh tanpa mengeluarkan sepatah kata, adalah Ang-jiu Mo-li bersikap lain. Wanita cantik ini merangkap kedua tangan di dada, menghadap ke arah dua orang kakek itu sambil berkata perlahan.

“Jiwi locianpwe, aku yang rendah Ang-jiu-cu (Si Tangan Merah) datang rnenghadap!”

Tanpa mengangkat muka, dua orang kakek itu merangkap kedua tangan di depan dada dan membungkuk sedikit selaku penghormatan penganut Agama Buddha, pertama-tama ke arah Toat-beng Kui-bo, kemudian ke arah Ang-jiu Mo-li. Samua ini dilakukan tanpa mengangkat muka! Tiang Bu melihat betapa dua orang murid Ang-jiu Mo-li memandang kepadanya dengan pandang mata terheran-heran. Akan tetapi Tiang Bu pura-pura tidak melihat kepada mereka, hanya mengerling sebentar lalu mengalihkan pandang dari sudut matanya ke arah orang-orang lain yang datang.

Ia melihat kedatangan Wan Sin Hong dengan jantung berdebar. Juga lagi-lagi ia dibikin kagum dan terguncang melihat bocah perempuan yang datang bersama Sin Hong. Benar-benarkah bocah itu bukan adiknya, Lee-Goat? Kini ia melihat bocah perempuan itu juga memandang kepadanya dengan tajam kemudian ia melihat betapa sepasang mata bccah itu menjadi basah oleh air mata. Tak salah lagi, dia itu Lee Goat Demikian pikir Tiang Bu, akan tetapi ia tidak berani mengeluatkan suara. Kalau orang-orang lain agak terheran melihat Tiang Bu duduk bersila di belakang dua orang kakek itu, hanya Sin Hong yang tidak merasa heran.

Ia sudah menyangka bahwa Tiang Bu tentu diambil murid oleh dua orang kakek sakti dari Omei.san. Sekarang melihat betapa betul-betul Tiang Bu menjadi murid orang-orang sakti, diam-diam ia merasa girang sekali, akan tetapi juga ia merasa gelisah kalau teringat akan Kong Ji. Kong Ji sudah tahu bahwa Tiang Bu adalah anaknya, bagaimana kalau nanti Tiang Bu mengetahui ayahnya yang sebenarnya? Bagaimana nanti kalau Kong Ji membuat ribut di sini? Akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya dan dengan penuh penghormatan memberi hormat ke arah dua orang kakek itu.

"Boaopwe Wan Sin Hong memberi hormat kepada jiwi locianpwe yang terhormat."

Tiong Jin Hwesio mengangkat muka dan tersenyum ke arah Wan Sin Hong. "Wan-bengcu yang terhormat berkenan datang mengunjungi tempat kami yang buruk. Selamat datang... selamat datang...!"

Berturut-turut datang Liok Kong Ji dan kawan-kawannya. Selain Pak-kek Sam-kui dan Bu tek Sin-ciang Bouw Gun, masih banyak terdapat tokoh-tokoh selatan yang dike palai oleh Lo Thong Hosiang dan tokoh-tokoh selatan lain. Juga muncul Pek-thouw. tiauw-ong Lie Kong dan isterinya, membawa sepasang burung rajawali yang besar. Jumlah semua orang yang kini berada di tempat itu tidak kurang dan empat puluh orang!

Diam-diam Tiang Bu mendapat kenyataan bahwa Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun tidak kelihatan di situ. Hal ini membuat curiga sekali. Akan tetapi taat akan larangan suhunya, ia diam saja. Di lain pihak, Sin Hong me rasa heran juga melihat hadirnya beberapa orang tokoh utara, diantaranya ia lihat Bu Kek Siansu, Pang Soan Tojin, dan Ci Lien Tojin. Akan tetapi karena ia tadi sudah mendengar penuturan Hwa Thian Hwesio, ia tidak begitu heran lagi, bahkan mengherankan mengapa Hwa Thian Hwesio yang gemuk itu belum juga muncul di situ.

Setelah melihat para tamunya yang tak diun dang datang memenuhi tempat itu Tiong Jin Hwesio mengangkat muka. Mata tuanya masih amat tajam dan sekali sapu dan pandang matanya ia sudah dapat mengetahui siapa-siapa orangnya yang datang pada saat itu. Tangannya kanan kiri meraup dua genggam rontokan daun bunga putih, lalu katanya tenang-tenang.

“Cuwi sekalian tanpa diundang telah hadir. Pinceng tak dapat menyuguh apa-apa kecuali rontokan bunga, siapa yang tidak dapat menerimanya harap segera pergi lagi saja!”

Setelah berkata demikian, hwesio tua ini menggerakkan kedua tangannya dan... daun-daun bunga putih itu meluncur cepat, setiap helai menyambar ke arah seorang tamu. Hanya dua orang murid Ang-jiu Mo-li, seorang murid Wan Sin Hong, dan dua ekor burung rajawali itu saja yang terhindar dari sambaran rontokan bunga!

Semua orang tcrkejut dan otomatis mengangkat tangan menyambut sumbaran bunga itu. Mereka rata-rata adalah jago-jago silat kenamaan yang berkepandaian tinggi. Baru mendaki gunung ini dan bisa mencapai puncak saja sudah menjadi tanda bahwa mereka itu memiliki kepandaian tinggi. Maka tanpa ragu-ragu semua orang mengangkat tangan menerima rontokan bunga putih yang kecil itu.

Akan tetapi akibatnya hebat. Segera terdengar pekik kesakitan susul-menyusul diikuti rubuhnya banyak orang kebelakang! Ternyata bahwa rontokan daun bunga yang kecil itu ketika mengenai tangan ada yang menancap dan ada pula yang menggetarkan serta melumpuhkan seluruh tangan. Bahkan ada yang tidak kuat menahan hawa dorongan yang luar biasa hingga roboh terguling ke belakang!

Tak usah dibilang lagi betapa kaget dan takut hati mereka yang tidak kuat menerima timpukan daun bunga tadi. Tanpa berkata apa-apa lagi mereka lari turun dari puncak dan tempat itu sebentar saja menjadi sepi karena lebih banyak yang lari turun daripada yang tinggal. Yang masih herdiri di situ karena kuat mererima timpukan tadi adalah Wan Sin Hong, Ang-jiu Mo-li, Toat-beng Kui-bo, Liok Kong Ji, Bouw Gun, Pak-kek Sam-kui, delapan orang tokoh selatan termasuk Le Thong Hosiang, dan tiga orang tokoh utara serta suami isreri pemilik burung-burung rajawali, Pek-thouw-tiauw ong Lie Kong dan isterinya. Masih ada beberapa orang lagi dan jumlahnya hanya dua puluh tiga orang. Yang lain semua lari.

Tiong Jin Hwesio tersenyum. Tiong Sin Hwsio masih tetap duduk sambil meramkan mata, sama sekali tidak menghiraukan yang terjadi di situ. "Cuwi sudah dapat menerima suguhan pinceng dengan baik. Bagus sekali! Itu menjadi tanda bahwa cuwi sekalian cukup berharga untuk merundingkan sesuatu dengan kami. Kalau pinceng tidak salah sangka, cuwi sekalian para tokoh kang-ouw dari daerah selatan hendak membujuk kami supaya suka menjadi bengcu. Bukankah demikian kehendak cuwi?”

"Betul demikian dan kami harap locianpwe berdua takkan menolak. Bahaya perang sudah di depan mata. Kaum kang-ouw terpecah belah. Kalau bukan jiwi locianpwe yang memimpin kami, siapa lagi?" jawab Le Thong Hosiang tokoh Tai-yung-pai yang mewakili kawan-kawannya.

Kembali Tiong Jin Hwesio tersenyum ramah. “Belum pernah ada di dunia kang-ouw diangkat dua orang bengcu. Bukankah sudah ada seorang bengcu yang amat baik di dunia kangouw dan sekarang bahkan hadir di sini? Bukankah Wan-bengcu biarpun masih amat muda merupakan pemimpin yang baik sekali. Pinceng sudah banyak mendengar kebaikan-kebaikan dan jasa-jasanya."

"Akan tetapi dia adalah keturunan Wanyen keluarga Raja Kin! Mana bisa kami mempunyai bengcu seorang keturunan musuh rakyat? Hanya orang-orang utara yang tolol mau memilih dia!" kata Le Thong Hosiang sambil memandang kepada semua orang yang hadir, lalu berkata, "Bukankah di sini terdapat pula saudara-saudara yang mewakili daerah utera?"

Bu Kek Siansu, ketua Bu-tong-pai yang bertubuh tinggi kurus dan berjenggot panjang, menjura sambil menjawab. "Pinto dari Bu-tong-san mewakili sobat-sobat dari utara untuk mengunjungi jiwi twa-suhu menghaturkan hormat. Memang betul dahulu kami telah memilih Wan Sin Hong sicu untuk menjadi bengcu berdasarkan kepandaiannya yang tinggi dan memang harus kami akui bahwa Wan-sicu adalah seorang gagah perkasa. Akan tetapi setelah kami ketahui bahwa dia adalah keluarga raja, kami mangambil keputusan untuk membebaskannya dari tugas bengcu. Kami yang tidak sudi menjadi kaki tangan kaisar penjajah tentu saja tidak mau mempunyai bengcu keluarga kaisar. Kenudian kami mendengar bahwa jiwi twa-suhu berdiam di 0mei-san dan mengingat babwa jiwi adalah ahli waris dari Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Cawsu, sudah sepatutnya kalau jiwi memegang pucuk pimpinan para orang gagah sedunia agar segala pertentangan dapat dilenyapkan dan semua tenaga dapat dicurahkan untuk melindungi rakyat jelata dari pada penindasan kaum penjajah dari manapun juga."

Tiong Jin Hwesio menggeleng-geleng kepalanya. "Omitohud, alangkah sempitnya pandangan orang sekarang!" Ia menoleh kepada Sin Hong dan berkata kepada Bu Kek Siansu. “Binatang boleh dipilih jenisnya untuk membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Akan tetapi manusia tak mungkin dapat dilihat baik buruknya dari keturunan maupun keadaan lahirnya. Wan-bengcu adalah murid dari mendiang Pak Kek Siansu yang masih sealiran dan setingkat dengan kami. Kalau Wan bengcu dapat melakukan tugasnya dengan baik, mengapa menggantinya? Kami dua saudara tidak mau mencampuri urusan dunia mengapa kalian mendesak? Pulanglah, pulanglah. Biar Wan bengcu memimpin kalian, pasti semua beres." Sambil berkata demikian Tiong Jin Hwesio melambai-lambaikan tangan mengusir semua orang supaya pergi.

Liok Kong Ji melompat maju. Dia tahu betapa lihainya dua orang kakek Omei-san itu. Baru sambitan daun bunga saja tadi ketika ia menyambutnya, telapak tangannya sudah terasa kesemutan. Ia tahu bahwa kalau daun bunga itu diganti dengan benda keras biarpun kepandaiannya tinggi, ia takkan sanggup menerima sambitan kakek yang lihai itu.

Dua orang kakek yang berilmu tinggi ini akan menjadi pembantu-pembantu yang tak ternilai harganya bagi pergerakan Temu Cin, akan tetapi juga dapat menjadi lawan yang amat berat. Oleh karena itu, ia harus berdaya menarik dua orang kake k ini di pihaknya atau kalau tidak berhasil membasmi mereka!

"Jiwi locianpwe bicara dengan tepat dan bijaksana sekali,” Kong Ji mulai berkata dengan suara lantang. “Orang-orang yang sudah tua seperti jiwi locianpwe memang sudah sepatutnya tidak diganggu lagi dengan urusan duniawi sehingga jiwi dapat tekun menenteramkan batin."

Tiong Sin Hwesio yang sejak tadi meramkan matanya, kini membuka mata dan semua orang melihat betapa sinar mata hwesio ini sudah layu dan tak bersemangat seperti orang yang menderita sakit berat. Memang sesungguhnya hwesio tua ini sudah lama menderita sakit, sakit tua yang membuat semangatnya bosan tinggal ditubuh tua itu.

"Pinceng mendengar lagu indah dinyanyikan secara sumbang," katanya sambil menatap wajah Kong Ji "Sicu siapakah?"

Biarpun pandang mata dan suaranya sudah lemah, namun dalam sikap kakek tua ini membayangkan pengaruh luar biasa dan membuat orang mau tak mau menaruh segan dan hormat. Sekelebatan kakek ini sepeti gambar N abi Locu yang kecil tubuhnya, tua sekali bongkok dan jenggotnya sudah putih semua. Berbeda dengan Tiong Jin Hwesio yang tidak berambut dan tidak berjenggot, adalah Tiong Sin Hwesio ini kepalanya ditumbuhi beberapa helai rambut-rambut di pinggirnya, rambut-rambut putih halus seperti benang sutera. Juga jenggotnya halus dan putih.

Kong Ji cepat memberi hormat kepada kakek itu. "Teecu bernama Liok Kong Ji, nama yang tidak terkenal bagi losuhu. Akan tetapi akan menjadi berarti kalau teecu memberi tahu bahwa anak muda yang duduk dibelakang jiwi losuhu itu adalah puteraku!"

Orang yang merasa paling terkejut mendengar pengakuan ini adalah Tiang Bu sendiri. Hampir saja ia menjerit "bohong!' kalau saja ia tidak ingat dan taat akan pesan gurunya. Apa pun yang terjadi, ia tidak boleb mengeluarkan suara dan tak boleh berbuat sesuatu. Maka hanya mukanya saja yang berubah pucat. Ia mengenal Liok Kong Ji sebagai seorang panglima di daerah Mongol. la pernah berjumpa dengan orang itu ketika dahulu ia dibawa ke utara oleh Pak kek Sam kui. Dan dahulu Liok Kong Ji tidak bicara sesuatu tentang pengakuan anak. Mengapa sekarang orang itu mengaku bahwa dia anaknya?

Terbayang dalam ingatan Tiang Bu ucapan Hui-eng Niocu Siok Li Hwa bahwa dia bukanlah putera Coa Hong Kin dan Go Hui Lian. Ketika Hui eng Niocu Siok Li Hwa menculiknya dari Kim bun-to dan me maksanya bersumpah di depan makam Pat-jiu Nio-nio untuk menjadi murid Hui-eng pai dalam marahnya Hui-eng Niocu Siok Li Hwa menyatakan bahwa dia bukanlah anak Coa Hong Kin dan Go Hui Lian, melainkan anak ayah bunda lain yang pada waktu itu ia tidak memperhatikan. Dianggapnya Hui-eng Niocu bohong maka ia tidak ingat lagi nama ayah bunda yang disebut itu. Sekarang teringatlah ia bahwa dahulu Hui-eng Niocu menyebut nama Liok Kong Ji! Jadi inikah ayahnya? Mengapa begitu?

Tiong Jin Hwesio menoleh kepada muridnya dan bertanya. "Tiang Bu, benarkah kau putera situ ini?”

"Dia berkata bohong, suhu. Setahu teecu, ayah teecu bernama Coa Hong Kin dan ibu teecu bernama Go Hui Lian puteri Hwa I Enghiong Go Ciang Le."

Kini Tiong Jin Hwesio berpaling kepada Kong Ji dan suaranya berubah keren ketika ia berkata, "Liok-sicu, pinceng tidak kenal padamu namun serasa pernah pinceng mendengar namamu yang kurang sedap. Kau jangan main-main di sini. Mengapa kau berani mengaku murid kami sebagai puteramu?"

Liok Kong Ji tertawa. Panahnya mengena sasaran, pancingannya berhasil baik. "Locianpwe, mana aku berani membohong atau main-main? Tadinya teecu sendiri juga tidak tahu akan rahasia ini yang dipegang penuh serta ditutup rapat oleh Wan Sin Hong. Locianpwe, agaknya dapat diperdayai sehingga amat memuji dan percaya kepada Wan Sin Hong. Maka harap locianpwe tanya kepadanya akan hal ini."

"Wan-bengcu, betulkah kata-kata Lie situ ini bahwa Tiang Bu adalah puteranya?” tanya Tiong Jin Hwesio. Keadaan menjadi sunyi. Semua orang menaruh perhatian sepenuhnya akan perkara ini yang biarpun barsifat pribadi namun cukup menarik karena urusan ini saj a dapat menimbulkan heboh dan keributan. Semua orang memandang ke arah Sin Hong, ingin tahu apa jawabannya...

Tangan Gledek Jilid 17

Tangan Gledek Jilid 17

BENAR saja, setelah tiba di luar pintu, kedua anak itu lalu melompat dan cepat lari menghampiri guru mereka. Wajah mereka nampak pucat dan nyata sekali mereka itu merasa ngeri dan takut. Hal ini mengherankan hati Ang-jiu Mo-li karena tidak biasanya murid-muridnya, apa lagi Bi Li, berhati penakut.

"Ada apakah?" tegurnya, alisnya berkerut tak senang melihat dua orang muridnya memperlihatkan sikap ketakutan.

"Suthai... didalam ada... ada siluman menakutkan sekali!” kata Wan Sun, agak malu-malu akan tetapi masih ketakutan.

"Siluman? Biar pinceng menangkapnya, untuk menjaga Kelenteng Kwan-te-bio!" seru Hwa Thian Hwesio dengan sikap gagah. Ia berjalan memasuki kuil dengan langkah tegap, kedua kaki agak dibongkokkan, kedua tangan terkepal dan perut serta dadanya melengkung seperti katak marah.

Terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah dalam kuil tua itu, suara bak-bik-buk orang bertempur, kemudian disusul pekik Hwa Thian Hwesio seperti babi disembelih dan orang-orang di luar kuil melihat tubuhnya yang bulat seperti bola itu menggelinding keluar. Setelah melompat berdiri, ia meraba-raba gundulnya sambil bertanya kepada Wan Sun. "Kongcu, tolong kau lihat kepalaku ini bonyok tidak?'

Wan Sun dan Bi Li tertawa geli melihat tingkah laku hwesio ini dan Wan Sun memeriksa kepala yang bulat itu. Ternyata tidak ada yang luka.

"Tidak ada yang bonyok, losuhu" katanya.

"Juga tidak pecah-pecah? Sukurlah... Omitohud...! Toanio, yang di dalam bukan siluman, melainkan manusia betina setengah siluman. Toat-beng Kui-bo dari Lam-hai (Laut Selatan)!”

Baik Kong Ji maupun Ang jiu Mo-li yang selama ini hanya merantau di daerah utara dan selatan tidak sampai di pantai Laut Selatan, tidak mengenal nama ini. Berbeda dengan Hwa Thian Hwesio yang memang berasal dari kota kecil di dekat pantai selatan. Oleh karena tidak mengenal nama mendengar laporan ini, Kong Ji dan Ang.jiu Mo-li berkelebat me masuki kuil itu. Akan tetapi mereka berseru kaget dan melompat mundur lagi karena tiba-tiba di ambang pintu kuil itu muncul seorang nenek yang amat menakutkan. Toat-bong Kui-bo (Biang Iblis Pencabut Nyawa). Nenek ini tertawa cekikikan dan di bawah lengan kirinya terkempit tubuh Li Hwa yang tak berdaya karena nyonya ini masih berada dalam keadaan tertotok.

Melihat manusia luar biasa yang mengerikan ini, Ang-jiu Mo-li sendiri yang sudah dijuluki Mo-li (Iblis Betina), masih menjadi kaget setengah mati. Juga Kong Ji yang mempunyai watak seperti iblis, melihat nenek ini berdiri bulu tengkuknya. Hampir berbareng, seperti sudah janji lebih dulu, dari tangan Ang jiu Mo-li menyambar sinar putih dan dari tangan Kong Ji menyambar sinar hitam yang kesemuanya menuju ke arah jalan darah di tubuh nenek itu. Tiga buah Pat-kwa-ci (Biji Segi Delapan) yang lihai dari Ang-jiu Mo-li dan lima batang Hek-tok.ciam (Jarum Racun Hitam) dari Kong Ji menyerang cepat.

Akan tetapi, sekali nenek itu menggerakkan tangan kanan yang memegang tongkat panjang, ujung lengan bajunya melambai. Dari lambaian ini ke luar angin yang menyapu delapan buah senjata rahasia itu runtuh semua.

Ang-jiu Mo-li dan Liok Kong Ji terkejut. Mereka bersiap untuk menggempur nenek itu. Akan tetapi Toat-beng kui-bo tertawa cekikikan dan berkata,

"Manusia-manusia tak kenal malu. Di rumah orang jangan membikin rusuh. Ataukah kalian berani menghina dua kakek tua bangka dari Omei-san?”

Mendengar bentakan ini, dua orang itu tertegun. Tentu saja mereka tidak berani menghina dua orang kakek sakti di Omei san. Toatbeng Kui-bo sambil tertawa-tawa lalu berjalan terbongkok-bongkok pergi dari situ.

"Lepaskan dia... Kong Ji barseru sambil mencabut Cheng-liong-kiam, pedang rampasan dari Li Hwa.

Melihat pedang itu, Toat-beng Kui-bo menyeringai dan tiba-tiba tubuhnya melayang cepat menyambar ke arah Kong Ji. Tangannya terayun dan dengan gerakan hebat menghantam kepala Kong Ji. Baru kali ini Kong Ji menghadapi serangan yang demikian berbahayanya. Cepat ia mengelak, akan tetapi tahu-tahu pedangnya terpukul tongkat dan terlepas dari pegangan. Pedang itu mencelat ke atas dan tubuh nenek itu bagaikan seekor burung hantu yang besar, melayang pula ke atas dan di lain saat pedang itu telah berada di tangannya!

"Hi-hi-hi. Cheng-liong kiam, Kenapa berada di tangan bocah ini?" katanya dengan suara ketawa meringkik seperti kuda.

“Itu pedangku, dirampas olehnya,” kata Li Hwa perlahan. Nyonya ini tertotok dan tubuhnya lumpuh, namun masih dapat membuka suara.

Mendengar ini, Toat-beng Kui-bo melanjutkan perjalanannya, sama sekali tidak memperdulikan Kong Ji yang berdiri melongo. Kong Ji menjadi marah dan penasaran sekali. Sambil mengeluarkan seruan keras ia hendak mengejar. Tak mungkin ia dikalahkan begitu saja. Juga Ang jio Mo-li yang kini melihat bahwa wanita yang dibawa Toat-beng Kui-bo itu adalah wanita yang dulu ia lihat bersama Wan Sin Hong lalu mendahului Kong Ji dan melompat melakukan pukulan dengan tangan merahnya, menampar muka yang seperti iblis itu!

Menghadapi pukulan ini, Toat-beng Kui-bo kaget dan tidak berani memandang rendah. Ia melompat mundur dan tiba-tiba dari mulutnya keluar suara mendesis dan dari atas menyambar turun lima ekor kelelawar raksasa! Binatang-binatang aneh ini menyambar-nyambar di atas kepala Ang-jiu Mo-li dan Liok Kong Ji yang hendak menyerang Toat-beng Kui bo, seakan-akan hendak melindungi nenek itu.

"Kelelawar berbisa...!" Hwa Thian Hwesio yang mengenal kelelawar yang hidup di dalam gua-gua di pantai laut selatan itu cepat menyeret Wan Sun dan Wan Bi Li dan membawa mereka lari memasuki kuil untuk bersembunyi. Setelah Ang-jiu Mo-li memanggilnya dari luar baru hwesio gundul gemuk ini berani mengajak mereka keluar. Ternyata kelelawar-kelelawar itu sudah lenyap bersama Toat beng Kui bo. Juga Liok Kong Ji tidak kelihatan lagi.

"Ke mana siluman itu? Mana pula Liok Kong Ji?" tanya Thian Hwesio sambil celingukan.

"Mareka sudah pergi," jawab Ang-jiu Mo-li singkat.

Demikianlah penuturan Hwe Thian Hwesio kepada Wan Sin Hong. Sebagai penutup penuturannya, Hwa Thian Hwesio berkata, “Nah, Ang-jiu Mo-li dan dua orang muridnya melanjutkan perjalanan ke puncak dan pinceng mengambil jalan lain. Di sini pinceng melihat orang-orang itu naik, maka pinceng bersembunyi di dalam rumput-rumput. Tak tahunya bertemu dengan sicu di sini." Ia lalu tersenyum lebar.

Sin Hong tertarik sekali oleh penuturan ini. Terutama sekali tentang Li Hwa. Isterinya itu telah bebas dari tangan Kong Ji dan kini berada di tangan Toat-beng Kui-bo. Akan tetapi mengapa tadi ia tidak melihat Li Hwa bersama nenek itu? Di mana adanya Li Hwa? Juga penuturan bahwa dua orang bocah yang menjadi murid Ang-jiu Mo-li itu ternyata putera-puteri Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li membuatnya tercengang. Akan tetapi karena tahu bahwa Ang-jiu Mo-li memiliki kepandaian tinggi, diam.diam ia merasa bersyukur bahwa anak-anak Wanyen Ci Lun mendapat kan guru yang pandai.

Biarpun ia sudah tidak ada urusan dengan Liok Kong Ji dan berarti tidak ada urusan dengan Omei-san, akan tetapi oleh karena isterinya kini berada di tangan Toat-beng Kui-bo yang naik ke puncak, terpaksa Sin Hong melanjutkan perjalanan ke puncak Omei-san untuk mengejar Toat-beng Kui-bo dan menuntut dikembalikannya isterinya. Sambil menyambar tubuh Lee Goat yang dipondongnya. Sin Hong berlari cepat sekali sehingga sebentar saja Hwa Thian Hwesio tertinggal jauh.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Sementara itu, di lain bagian dari Gunung Omei-san di dekat puncak, seorang pemuda tanggung diserang hebat oleh dua ekor burung Pek.thouw-tiauw, semacam burun g rajawali yang besar sekali dengan kepala putih. Dua ekor burung raksasa itu sambil mengeluarkan suara cecowetan menyambar-nyambar ke arah pemuda tanggung itu. Pemuda itu bukan lain adalah Tiang Bu. Menghadapi serbuan dua ekor burung yang berbahaya ini, Tiang Bu menyambar sebatang ranting pohon. Dengan senjata istimewa ini ia melindungi diri sedapat mungkin.

Burung raksasa itu beratnya sedikitnya ada lima ratus kati, maka sambarannya dapat dibayangkan betapa hebatnya. Mungkin ada seribu kati. Dua burung sehebat ini hendak menjadikan bocah itu sebagai mangsanya. Biarpun amat kewalahan menghadapi serbuan dua ekor binatang raksasa ini, namun Tiang Bu tak pernah minta tolong. Ia mainkan ranting kayu itu dengan gerakan cepat, sambil mengatur langkah dan mengelak setiap kali burung raksasa itu menyambar dengan paruh besar dan cakar mengerikan di depan. Beberapa kali Tiang Bu sudah dapat menusuk tubuh binatang-binatang itu dengan rantingnya akan tetapi seakan -akan tidak terasa oleh Pek-thouw-tiauw itu.

Bagaimana Tiang Bu bisa berada dalam keadaan demikian berbahaya? Bukankah tadi ia berjalan diikuti oleh Thai Gu Cinjin dan Kwa Kok Sun, dua orang yang amat berbahaya dan mengancam keselamatannya?

Memang demikian. Tadinya Tiang Bu memikul pikulan airnya, berlari naik ke puncak diikuti oleh Thai Gu Cinjin dan Teetok Kwan Kok Sun. Makin lama Tiang Bu makin mempercepat larinya dan ia sengaja membawa dua orang itu melalui jalan yang paling sukar, yaitu di daerah yang yang paling liar di mana ia biasa berlatih Ilmu Lari Liap-In-sut dengan gurunya. Setelah tiba di daerah ini, ia lalu mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, berlompatan dengan lincah sekali. Lebih dulu ia melempar pikulannya agar tidak menghalangi gerakan-gerakannya.

"Hai, tungau...!" seru Thai Gu Cinjin, kaget melihat betapa bocah itu tiba-tiba demikian gesit gerakannya. Ia mengerahkan tenaga untuk mengejar.

Juga Tee-tok Kwan Kok Sun segera tertinggal oleh Tiang Bu. Dalam hal ilmu silat, sangat boleh jadi Tiang Bu belum dapat mengimbangi mereka, akan tetapi Ilmu Lari dan Lompat Liap in-sut adalah ilmu ginkang yang sangat tinggi. Maka begitu Tiang Bu tiba di daerah ini dan mempergunakan ilmunya, dua orang pengejarnya itu tertinggal jauh.

"Tiang Bu, berhenti! Kalau tidak, kuhancurkan kepalamu!” Thai Gu Cinjin memaki-maki dan menyumpah-nyumpah, akan tetapi Tiang Bu bukan anak bodoh dan berlari terus dengan cepatnya.

Tiba-tiba Tiang Bu mendengar suara angin dari belakang. Cepat ia mengelak dan beberapa butir batu kecil yang disambitkan oleh Thai Gu Cinjin lewat di dekat tubuhnya. Kembali terdengar suara senjata rahasia dan secepat mungkin Tiang Bu mengelak ke kiri. Beberapa sinar hitam lewat cepat sekali. Inilah senjata rahasia jarum-jarum berbisa yang berwarna hitam. yang dilepas oleh Tee-tok Kwan Kok Sun. Jarum-jarum berbisa ini disebut Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) yang dulu merupakan kepandaian istimewa dari mendiang ayahnya. See-thian Tok-ong. Juga Liok Kong Ji mewarisi kepandaian ini dari See - thian Tok-ong. Senjata-senjata in i berbahaya sekali, sedikit saja mengenai kulit, racunnya akan bekerja, ikut bersama darah dan meracuni seluruh tubuh!

Didesak oleh senjata rahasia-rahasia yang dilepaskan bertubi-tubi dari belakang oleh orang-orang yang memiliki tenaga besar ini Thing Bu menjadi sibuk juga. Untuk berhenti dan melawan, ia maklum takkan dapat menang. Lebih baik berlari terus sambil mengelak dari setiap serangan amgi (senjata gelap atau senjata rahasia), pikirnya. Maka dipercepat larinya. Ia tidak dapat cepat-cepat terbebas dari kejaran dua orang itu karena baik kedua pengejarnya, terutama sekali Thai Gu Cinjin, memiliki kepandaian tinggi dan dapat berlari cepat pula.

Pada saat itulah tiba-tiba dari angkasa raya terdengar pekik nyaring dan dua ekor burung rajawali kepala putih itu menyambar turun, langsung menyerang Thai Gu Cinjin dan Tee-tok Kwan Kok Sun. Thai Gu Cin jin mengayun tongkatnya dan Kwan Kok Sun mengirim pukulan. Terdengar suara berdebuk dan dua ekor burung itu terpental ke udara. Akan tetapi tubuh mereka kuat sekali karena mereka tidak tewas, melainkan terkejut dan be terbangan di atas sambil cecowetan.

"Siapa berani memukul Pek thouw-tiauw kami?" terdengar suara halus dan tiba-tiba muncul seorang laki-kaki gagah bersama seorang wanita cantik. Usia mereka kurang lebih empat puluh tahun dan sikap mereka gagah sekali. Inilah jago dari Pantai Timur, Pekthouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya yang bernama Souw Cui Eng, Lie Kong selamanya merantau ke luar lautan bersama isterinya, menjelajah pulau-pulau terdekat dengan Tiongkok dan karena itu, ia sama sekali tidak dikenal oleh orang-orang dari lain daerah.

Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun yang datang jauh dari barat juga tidak mengenalnya. Maka Thai Gu Cinjin membentak marah!

"Jadi kau yang punya burung liar itu? Bagus! Burung liarmu datang-datang menyerang orang dan kau bilang kami memukulnya? Benar-benar kurang ajar sekali!"

Lie Kong tersenyum dan berkata tenang. "Burung-burung kami sudah terlatih baik, tak mungkin mau menyerang orang yang tak berdosa. Kalian tentu melakukan sesuatu yang tidak benar kalau sampai diserang oleh burung-burung kami."

Melihat sikap yang tegas dan tenang dari Lie Kong, juga melihat sikap wanita disebelahnya yang nampak gagah. Thai Gu Cinjin menahan kemarahan hatinya. "Enak saja kau menuduh orang. Kami sedang mengejar seorang bocah setan yang menipu kami dan tahu-tahu dua ekor burungmu telah menyerang kami."

"Nah, itulah! Kalian mengejar seorang bocah. tentu saja burung kami menganggap kalian berlaku keterlaluan dan ingin membela bocah itu. Salah kalian sendiri!" kata Li Kong mentertawai.

Kesabaran orang ada batasnya. Tee-tok Kwan Kok Sun tidak biasa dihina orang, maka melihat sikap pemilik burung itu darahnya sudah meluap. Dengan geraman menyeramkan ia lalu menubruk maju dan mengerjakan kedua tangan mengirim pukulan Hek-tok-ciang sambil berseru,

"Burungnya jahat, pemiliknya gila. Minggirlah!"

Pukulan Hek-tok.ciang atau pukulan Racun Hitam bukan main hebatnya. Jarang ada orang dapat menahan pukulan ini. Juga tidak berani menangkis karena pertemuan tangan saja dapat melekat. Orang lain tentu akan mengelak kalau menghadapi pukulan maut ini. Akan tetapi, Lie Kong yang berkepandaian tinggi dan sudah banyak mengalami hal-hal aneh di luar lautan, bersikap tenang sekali. Dari warna tangan yang berubah hitam itu maklumlah ia bahwa lawannya mempergunakan tangan "berisi"' yaitu tangan yang sudah dilatih lebih dulu untuk melakukan pukulan istimewa yang berbisa.

Dengan gerakan lambat ia mengulur tangan dan menyentil dengan kuku jarinya, tepat ke arah jalan darah di dekat pergelangan tangan. Akibatnya, bukan Lie Kong yang mengelak, bahkan Kwan Kok Sun yang me nahan pukulannya karena kalau dilanjutkan, mungkin ia akan tertotok! Racun Bumi ini merubah scrangan, akan tetapi tiba-tiba terdengar desir angin dari kiri dan isteri Lie Kong sudah menyambutnya dengan sebuah tendangan kilat.

"Manusia tak tahu malu, mampuslah!"

Kwan Kok Sun lagi-lagi harus melompat dan mengelak karena dari hawa tendangan saja maklumlah ia bahwa ia tidak akan dapat menahan tendangan sang amat kuat ini. Tak lama kemudian bertempurlah Kwan Kok Sun melawan Souw Cui Eng yang ternyata lihai se kali. Juga wanita ini sikapnya gagah, karena melihat Kwan Kok Sun tidak mengeluarkan senjata iapun tidak mau men cabut pedangnya melainkan menggunakan kaki tangannya untuk menghadapi Racun Bumi itu.

"Tiauw ko (Burung Rajawali)! Kau jaga anak itu jangan boleh lari!” kata Lie Kong kepada dua ekor burungnya sambil menghadang Thai Gu Cinjin.

Hwesio Lama ini sudah mengayun tongkatnya, akan tetapi Lie Kong menggerakkan tangan dan... tongkat itu ditangkis begitu saja dengan lengannya, akan tetapi cukup membuat tongkat itu terpental dan tangan Thai Gu Cinjin gemetar! Dari tangkisan ini saja sudah dapat dilihat bahwa ke pandaian Lie Kong benar-benar hebat sehingga Thai Gu Cinjin menjadi jerih dan mengeluh di dalam hati. Beberapa kali ia bertemu dengan orang-orang pandai, yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari padanya. Padabal kalau berada di Tibet, jarang ada orang yang dapat mengimbangi kepandaiannya!

“Kalian ini pendeta-pendeta tak tahu aturan. Di tempat orang lain berani berlagak, apakah tidak menaruh hormat kepada tuan rumah?” Lie Kong membentak karena di a sendiri di tempat ini merasa sungkan untuk bertempur dengan orang lain.

Teguran ini membuat Thai Gu Cinjin makin gentar. Tentu saja ia tidak berani memandang rendah kepada tuan rumah yang ia ketahui adalah dua orang yang sakti. Maka mendengar ani, ia lalu berseru kepada Kwan Kok Sun. "Tee-tok, mari kita pergi!"

Juga Tee-tok Kwan Kok Sun merasa penasaran sekali karena dilawan oleh seorang wanita yang bertangan kosong saja ia tidak mampu mengalahkannya. Apalagi kalau wanita ini mencabut pedang atau lebih-lebih lagi laki-laki itu! Baiknya ia tadi belum mengeluarkan senjatanya yang luar biasa, yaitu ular-ular hidup. Kalau ia sudah mengeluarkan senjata dan mereka sudah bertempur mati-matian, agoknya sukar untuk menghentikan pertempuran. Kini mendengar seruan kawannya, ia melompat mundur sambil berkata,

“Toanio benar-benar lihai sekali!" Sambil berkata demikian, sebelum mundur ia mengadu lengannya dengan lengan lawan sambil mengerahkan tenaga Hek-tok-ciang dengan maksud melakukan pukulan gelap.

Orang lain kalau terkena pukulan ini pasti akan kemasukan racun hitam melalui hawa pukulan yang tetap akan merupakan racun berbahaya sekali. Akan tetapi ketika lengan tangannya yang kasar itu beradu dengan lengan tangan lawan, ia merasai kulit lengan yang halus empuk dan panas bukan main, rasa panas yang menjalar terus ke kulit lengannya sendiri sehingga serasa kulit lengannya terbakar! Ketika ia melompat mundur dan melihat ke arah lengann ya ternyata di dekat pergelangan lengan terdapat tanda bintik merah dua buah, tanda bahwa ia telah terkena pukulan rahasia orang! Celaka, bukan lawan yang menderita, bahkan dia yang terluka!

Souw Cui Eng tersenyum. “Sobat beracun kau lihai sekali. Hadiahmu pukulan beracun tadi baiknya sudah kulihat Lebih dulu dan dapat membalas budimu." Setelah berkata demikian, nyonya itu tersenyum manis berpaling kepada suaminya.

Dengan mendongkol sekali Kwan Kok Sun mengikuti Thai Gu Cinjin melanjutkan perjalanan ke puncak. Dia tidak usah khawatir akan luka di tangannya karena sebagai ahli racun tentu saja ia pandai mengobati luka-luka karena pukulan atau karena racun.

Sementara itu, seperti telah dituturkan bagian depan, Tiang Bu sibuk sekali menjaga diri dari serbuan dua ekor Pek thouw yang menyerbunya. Sambil berlari dia berloncatan ke sana ke mari, Tiang Bu berada jauh dari tempat pertempuran tadi. Dan dua ekor burung itu dalam usaha mereka mentaati perintah majikan, yaitu untuk menjaga jangan sampai Tiang Bu lari, lalu menyerang dengan maksud menangkap bocah itu. Akan tetapi sungguh tak terduga, bocah yang dise rangnya ternyata bukanlah makanan empuk dan bukan saja melawan serta selalu menghindarkan diri bahkan juga dapat membalas serangan mereka dengan sebatang ranting. Hal ini memarahkan dua ekor binatang itu yang serta menyerang dengan sungsuh-sungsuh, membuat Tiang Bu sibuk bukan main.

Tiba-tiba dari bawah melayang dua sinar hitam yang panjang dan bentuknya seperti ular. Dua ular ini menyambar ke arah sepasang Pek thouw-tiauw secara luar biasa cepatnya dan... di lain saat dua ekor burung yang ganas itu jauh ke bawah, meronta-ronta sambil cecowetan. Ternyata bahwa dua buah sinar yang seperti ular itu adalah dua helai tambang yang dilontarkan orang secara isrimewa dan secara aneh pula telah dapat menelikung dua ekor burung itu di udara.

Dua ekor Pek-thouw-tiauw itu roboh dalam keadaan tertelikung bagian leher, sayap dan kakinya sehingga seperti ayam yang hendak direbus! Pek-thouw-tiauw ong (Raja Burung Rajawali Putih) Lie Kong dan isterinya yang sudah ditinggal lari oleh Thai Gu Cinjin dan Kwen Kok Sun, kaget bukan main melihat dua ekor burung mereka roboh di atas tanah, meronta-ronta sambil berteriak kesakitan dan kebingungan. Mereka tak percaya bahwa bocah itu yang merobohkan dua ekor burung itu.

Akan tetapi ketika mereka berlari-lari menghampiri, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang berkelebat cepat mendahului mereka menyambar tubuh Tiang Bu dan di lain saat bocah itu sudah lenyap! Suami isteri yang berkepandaian tinggi ini hanya melihat bentuk bayangan orang yang tinggi kurus, akan tetapi tidak dapat mengenal orangnya saking cepatnya gerakan itu

"Bukan main...!” Lie Kong menggeleng-geleng kepala ketika melihat dua ekor burungnya telah terikat tambang. "Salama hidupku belum pernah aku menyaksikan kehebatan seperti ini. Siapa lagi yang dapat melakukan semua itu kalau bukan manusia dewa itu?" Ia lalu melepaskan ikatan yang membuat dua ekor binatang peliharaannya yang istimewa itu tak berdaya, dibantu oleh isterinya.

Adapun Tiang Bu begitu melihat dua ekor burung itu roboh dan merasai angin mendesir sudah tahu bahwa gurunya yang ke dua, Tiong Jin Hwesio yang datang menolongnya. Benar saja, tak lama kemudian ia melihat bayangan gurunya ini berkelebat dan di lain saat lengannya sudah ditarik dan ia dibawa lari seperti terbang cepatnya.

“Pertemuan yang menarik sekali. kau harus menyaksikan untuk menambah pengalaman!"

Hanya demikian kata-kata Tiong Jin Hwesio, dan tak lama kemudian gurunya ini sudah tiba di tanah lapang yang terbuka, letaknya di sebelah kiri tempat tinggal mereka. Lapangan terbuka ini memang sengaja dibuat oleh dua orang kakek itu untuk tempat berlatih pernapasan dan menjemur diri menampung kekuatan dari sinar matahari. Di sini pula Tiang Bu biasanya berlatih ilmu silat. Ketika Tiang Bu tiba di situ, is melihat gurunya yan g pertama, Tiong Sin Hwesio, sudah duduk bersila di tempat yang biasa. Kakek ini mengangguk melihat muridnya datang, lalu katanya perlahan.

"Apapun yang kaulihat nanti, jangan mengeluarkan suara dan jangan bergerak."

"Baik, suhu." kata Tiang Bu memberi hormat lalu ia mengambil tempat dudukn ya sendiri, yaitu di belakang dua orang gurun ya yang duduk berdampingan di atas batu hitam. Tiang Bu duduk di atas batu hitam pula. tepat di belakang Tiong Sin Hwcsio. Iapun be rsila seperti orang bersamadhi. Akan tetapi dalam keadaan setegang itu, mana ia mampu bersamadhi mengumpulkan panca indera? Ia bahkan diam-diam melirik ke kanan kiri, memperhatikan tempat itu dengan penuh perhatian.

Ke adaan sunyi saja. Suara yang terdengar hanya s uara daun pohon kembang yang tumbuh dia belakang tempat mereka duduk. Pohon inilah pohon satu satun ya yang berada di situ dan kembangnya yang herwarna putih itu memenuhi tangkai dan dahan. Baunya sedap dan sejuk, dan apabila ada angin bertiup, bunga-bunga itu rontok berhamburan dan daun-daun bunga yang kecil-kecil memenuhi tempat itu, bahkan ada yang menjatuhi kepala Tiang Bu dan dua orang gurunya, akan tetapi mereka diam saja.

Matahari sudah naik tinggi dan sebentar lagi tengah hari akan tiba. Mulailah terdenger suara dan tak lama kemudian dari depan, kanan dan kiri mulai bermunculanlah orang-orang yang dinanti-nanti oleh dua orang guru dan seorang muridnya ini. Biarpun dua orang guru besar itu masih menundukkan muka dan sedikitpun tidak perduli, namun Tiang Bu tak dapat tinggal diam tanpa mengacuhkan mereka. Anak ini diam-diam memasang mata dan melihat teliti siapa-siapa yang datang.

Pertama-tama, muncullah Toat-beng Kui-bo yang berjalan terbongkok-bongkok dibantu oleh tongkatnya. Benar-benar mengherankan sekali bagaimana nenek bongkok yang jalannya lambat-lambat itu bisa tiba di sini paling dulu. Hampir berbareng, muncul pula Ang-jiu Mo-li yang kedua tangannya menggandeng Wan Sun dan Wan Bi Li. Kalau Toat-beng Kui-bo hanya mengangkat tongkat dan sedikit membungkuk ke arah Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio sebagai penghormatan yang aneh tanpa mengeluarkan sepatah kata, adalah Ang-jiu Mo-li bersikap lain. Wanita cantik ini merangkap kedua tangan di dada, menghadap ke arah dua orang kakek itu sambil berkata perlahan.

“Jiwi locianpwe, aku yang rendah Ang-jiu-cu (Si Tangan Merah) datang rnenghadap!”

Tanpa mengangkat muka, dua orang kakek itu merangkap kedua tangan di depan dada dan membungkuk sedikit selaku penghormatan penganut Agama Buddha, pertama-tama ke arah Toat-beng Kui-bo, kemudian ke arah Ang-jiu Mo-li. Samua ini dilakukan tanpa mengangkat muka! Tiang Bu melihat betapa dua orang murid Ang-jiu Mo-li memandang kepadanya dengan pandang mata terheran-heran. Akan tetapi Tiang Bu pura-pura tidak melihat kepada mereka, hanya mengerling sebentar lalu mengalihkan pandang dari sudut matanya ke arah orang-orang lain yang datang.

Ia melihat kedatangan Wan Sin Hong dengan jantung berdebar. Juga lagi-lagi ia dibikin kagum dan terguncang melihat bocah perempuan yang datang bersama Sin Hong. Benar-benarkah bocah itu bukan adiknya, Lee-Goat? Kini ia melihat bocah perempuan itu juga memandang kepadanya dengan tajam kemudian ia melihat betapa sepasang mata bccah itu menjadi basah oleh air mata. Tak salah lagi, dia itu Lee Goat Demikian pikir Tiang Bu, akan tetapi ia tidak berani mengeluatkan suara. Kalau orang-orang lain agak terheran melihat Tiang Bu duduk bersila di belakang dua orang kakek itu, hanya Sin Hong yang tidak merasa heran.

Ia sudah menyangka bahwa Tiang Bu tentu diambil murid oleh dua orang kakek sakti dari Omei.san. Sekarang melihat betapa betul-betul Tiang Bu menjadi murid orang-orang sakti, diam-diam ia merasa girang sekali, akan tetapi juga ia merasa gelisah kalau teringat akan Kong Ji. Kong Ji sudah tahu bahwa Tiang Bu adalah anaknya, bagaimana kalau nanti Tiang Bu mengetahui ayahnya yang sebenarnya? Bagaimana nanti kalau Kong Ji membuat ribut di sini? Akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya dan dengan penuh penghormatan memberi hormat ke arah dua orang kakek itu.

"Boaopwe Wan Sin Hong memberi hormat kepada jiwi locianpwe yang terhormat."

Tiong Jin Hwesio mengangkat muka dan tersenyum ke arah Wan Sin Hong. "Wan-bengcu yang terhormat berkenan datang mengunjungi tempat kami yang buruk. Selamat datang... selamat datang...!"

Berturut-turut datang Liok Kong Ji dan kawan-kawannya. Selain Pak-kek Sam-kui dan Bu tek Sin-ciang Bouw Gun, masih banyak terdapat tokoh-tokoh selatan yang dike palai oleh Lo Thong Hosiang dan tokoh-tokoh selatan lain. Juga muncul Pek-thouw. tiauw-ong Lie Kong dan isterinya, membawa sepasang burung rajawali yang besar. Jumlah semua orang yang kini berada di tempat itu tidak kurang dan empat puluh orang!

Diam-diam Tiang Bu mendapat kenyataan bahwa Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun tidak kelihatan di situ. Hal ini membuat curiga sekali. Akan tetapi taat akan larangan suhunya, ia diam saja. Di lain pihak, Sin Hong me rasa heran juga melihat hadirnya beberapa orang tokoh utara, diantaranya ia lihat Bu Kek Siansu, Pang Soan Tojin, dan Ci Lien Tojin. Akan tetapi karena ia tadi sudah mendengar penuturan Hwa Thian Hwesio, ia tidak begitu heran lagi, bahkan mengherankan mengapa Hwa Thian Hwesio yang gemuk itu belum juga muncul di situ.

Setelah melihat para tamunya yang tak diun dang datang memenuhi tempat itu Tiong Jin Hwesio mengangkat muka. Mata tuanya masih amat tajam dan sekali sapu dan pandang matanya ia sudah dapat mengetahui siapa-siapa orangnya yang datang pada saat itu. Tangannya kanan kiri meraup dua genggam rontokan daun bunga putih, lalu katanya tenang-tenang.

“Cuwi sekalian tanpa diundang telah hadir. Pinceng tak dapat menyuguh apa-apa kecuali rontokan bunga, siapa yang tidak dapat menerimanya harap segera pergi lagi saja!”

Setelah berkata demikian, hwesio tua ini menggerakkan kedua tangannya dan... daun-daun bunga putih itu meluncur cepat, setiap helai menyambar ke arah seorang tamu. Hanya dua orang murid Ang-jiu Mo-li, seorang murid Wan Sin Hong, dan dua ekor burung rajawali itu saja yang terhindar dari sambaran rontokan bunga!

Semua orang tcrkejut dan otomatis mengangkat tangan menyambut sumbaran bunga itu. Mereka rata-rata adalah jago-jago silat kenamaan yang berkepandaian tinggi. Baru mendaki gunung ini dan bisa mencapai puncak saja sudah menjadi tanda bahwa mereka itu memiliki kepandaian tinggi. Maka tanpa ragu-ragu semua orang mengangkat tangan menerima rontokan bunga putih yang kecil itu.

Akan tetapi akibatnya hebat. Segera terdengar pekik kesakitan susul-menyusul diikuti rubuhnya banyak orang kebelakang! Ternyata bahwa rontokan daun bunga yang kecil itu ketika mengenai tangan ada yang menancap dan ada pula yang menggetarkan serta melumpuhkan seluruh tangan. Bahkan ada yang tidak kuat menahan hawa dorongan yang luar biasa hingga roboh terguling ke belakang!

Tak usah dibilang lagi betapa kaget dan takut hati mereka yang tidak kuat menerima timpukan daun bunga tadi. Tanpa berkata apa-apa lagi mereka lari turun dari puncak dan tempat itu sebentar saja menjadi sepi karena lebih banyak yang lari turun daripada yang tinggal. Yang masih herdiri di situ karena kuat mererima timpukan tadi adalah Wan Sin Hong, Ang-jiu Mo-li, Toat-beng Kui-bo, Liok Kong Ji, Bouw Gun, Pak-kek Sam-kui, delapan orang tokoh selatan termasuk Le Thong Hosiang, dan tiga orang tokoh utara serta suami isreri pemilik burung-burung rajawali, Pek-thouw-tiauw ong Lie Kong dan isterinya. Masih ada beberapa orang lagi dan jumlahnya hanya dua puluh tiga orang. Yang lain semua lari.

Tiong Jin Hwesio tersenyum. Tiong Sin Hwsio masih tetap duduk sambil meramkan mata, sama sekali tidak menghiraukan yang terjadi di situ. "Cuwi sudah dapat menerima suguhan pinceng dengan baik. Bagus sekali! Itu menjadi tanda bahwa cuwi sekalian cukup berharga untuk merundingkan sesuatu dengan kami. Kalau pinceng tidak salah sangka, cuwi sekalian para tokoh kang-ouw dari daerah selatan hendak membujuk kami supaya suka menjadi bengcu. Bukankah demikian kehendak cuwi?”

"Betul demikian dan kami harap locianpwe berdua takkan menolak. Bahaya perang sudah di depan mata. Kaum kang-ouw terpecah belah. Kalau bukan jiwi locianpwe yang memimpin kami, siapa lagi?" jawab Le Thong Hosiang tokoh Tai-yung-pai yang mewakili kawan-kawannya.

Kembali Tiong Jin Hwesio tersenyum ramah. “Belum pernah ada di dunia kang-ouw diangkat dua orang bengcu. Bukankah sudah ada seorang bengcu yang amat baik di dunia kangouw dan sekarang bahkan hadir di sini? Bukankah Wan-bengcu biarpun masih amat muda merupakan pemimpin yang baik sekali. Pinceng sudah banyak mendengar kebaikan-kebaikan dan jasa-jasanya."

"Akan tetapi dia adalah keturunan Wanyen keluarga Raja Kin! Mana bisa kami mempunyai bengcu seorang keturunan musuh rakyat? Hanya orang-orang utara yang tolol mau memilih dia!" kata Le Thong Hosiang sambil memandang kepada semua orang yang hadir, lalu berkata, "Bukankah di sini terdapat pula saudara-saudara yang mewakili daerah utera?"

Bu Kek Siansu, ketua Bu-tong-pai yang bertubuh tinggi kurus dan berjenggot panjang, menjura sambil menjawab. "Pinto dari Bu-tong-san mewakili sobat-sobat dari utara untuk mengunjungi jiwi twa-suhu menghaturkan hormat. Memang betul dahulu kami telah memilih Wan Sin Hong sicu untuk menjadi bengcu berdasarkan kepandaiannya yang tinggi dan memang harus kami akui bahwa Wan-sicu adalah seorang gagah perkasa. Akan tetapi setelah kami ketahui bahwa dia adalah keluarga raja, kami mangambil keputusan untuk membebaskannya dari tugas bengcu. Kami yang tidak sudi menjadi kaki tangan kaisar penjajah tentu saja tidak mau mempunyai bengcu keluarga kaisar. Kenudian kami mendengar bahwa jiwi twa-suhu berdiam di 0mei-san dan mengingat babwa jiwi adalah ahli waris dari Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Cawsu, sudah sepatutnya kalau jiwi memegang pucuk pimpinan para orang gagah sedunia agar segala pertentangan dapat dilenyapkan dan semua tenaga dapat dicurahkan untuk melindungi rakyat jelata dari pada penindasan kaum penjajah dari manapun juga."

Tiong Jin Hwesio menggeleng-geleng kepalanya. "Omitohud, alangkah sempitnya pandangan orang sekarang!" Ia menoleh kepada Sin Hong dan berkata kepada Bu Kek Siansu. “Binatang boleh dipilih jenisnya untuk membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Akan tetapi manusia tak mungkin dapat dilihat baik buruknya dari keturunan maupun keadaan lahirnya. Wan-bengcu adalah murid dari mendiang Pak Kek Siansu yang masih sealiran dan setingkat dengan kami. Kalau Wan bengcu dapat melakukan tugasnya dengan baik, mengapa menggantinya? Kami dua saudara tidak mau mencampuri urusan dunia mengapa kalian mendesak? Pulanglah, pulanglah. Biar Wan bengcu memimpin kalian, pasti semua beres." Sambil berkata demikian Tiong Jin Hwesio melambai-lambaikan tangan mengusir semua orang supaya pergi.

Liok Kong Ji melompat maju. Dia tahu betapa lihainya dua orang kakek Omei-san itu. Baru sambitan daun bunga saja tadi ketika ia menyambutnya, telapak tangannya sudah terasa kesemutan. Ia tahu bahwa kalau daun bunga itu diganti dengan benda keras biarpun kepandaiannya tinggi, ia takkan sanggup menerima sambitan kakek yang lihai itu.

Dua orang kakek yang berilmu tinggi ini akan menjadi pembantu-pembantu yang tak ternilai harganya bagi pergerakan Temu Cin, akan tetapi juga dapat menjadi lawan yang amat berat. Oleh karena itu, ia harus berdaya menarik dua orang kake k ini di pihaknya atau kalau tidak berhasil membasmi mereka!

"Jiwi locianpwe bicara dengan tepat dan bijaksana sekali,” Kong Ji mulai berkata dengan suara lantang. “Orang-orang yang sudah tua seperti jiwi locianpwe memang sudah sepatutnya tidak diganggu lagi dengan urusan duniawi sehingga jiwi dapat tekun menenteramkan batin."

Tiong Sin Hwesio yang sejak tadi meramkan matanya, kini membuka mata dan semua orang melihat betapa sinar mata hwesio ini sudah layu dan tak bersemangat seperti orang yang menderita sakit berat. Memang sesungguhnya hwesio tua ini sudah lama menderita sakit, sakit tua yang membuat semangatnya bosan tinggal ditubuh tua itu.

"Pinceng mendengar lagu indah dinyanyikan secara sumbang," katanya sambil menatap wajah Kong Ji "Sicu siapakah?"

Biarpun pandang mata dan suaranya sudah lemah, namun dalam sikap kakek tua ini membayangkan pengaruh luar biasa dan membuat orang mau tak mau menaruh segan dan hormat. Sekelebatan kakek ini sepeti gambar N abi Locu yang kecil tubuhnya, tua sekali bongkok dan jenggotnya sudah putih semua. Berbeda dengan Tiong Jin Hwesio yang tidak berambut dan tidak berjenggot, adalah Tiong Sin Hwesio ini kepalanya ditumbuhi beberapa helai rambut-rambut di pinggirnya, rambut-rambut putih halus seperti benang sutera. Juga jenggotnya halus dan putih.

Kong Ji cepat memberi hormat kepada kakek itu. "Teecu bernama Liok Kong Ji, nama yang tidak terkenal bagi losuhu. Akan tetapi akan menjadi berarti kalau teecu memberi tahu bahwa anak muda yang duduk dibelakang jiwi losuhu itu adalah puteraku!"

Orang yang merasa paling terkejut mendengar pengakuan ini adalah Tiang Bu sendiri. Hampir saja ia menjerit "bohong!' kalau saja ia tidak ingat dan taat akan pesan gurunya. Apa pun yang terjadi, ia tidak boleb mengeluarkan suara dan tak boleh berbuat sesuatu. Maka hanya mukanya saja yang berubah pucat. Ia mengenal Liok Kong Ji sebagai seorang panglima di daerah Mongol. la pernah berjumpa dengan orang itu ketika dahulu ia dibawa ke utara oleh Pak kek Sam kui. Dan dahulu Liok Kong Ji tidak bicara sesuatu tentang pengakuan anak. Mengapa sekarang orang itu mengaku bahwa dia anaknya?

Terbayang dalam ingatan Tiang Bu ucapan Hui-eng Niocu Siok Li Hwa bahwa dia bukanlah putera Coa Hong Kin dan Go Hui Lian. Ketika Hui eng Niocu Siok Li Hwa menculiknya dari Kim bun-to dan me maksanya bersumpah di depan makam Pat-jiu Nio-nio untuk menjadi murid Hui-eng pai dalam marahnya Hui-eng Niocu Siok Li Hwa menyatakan bahwa dia bukanlah anak Coa Hong Kin dan Go Hui Lian, melainkan anak ayah bunda lain yang pada waktu itu ia tidak memperhatikan. Dianggapnya Hui-eng Niocu bohong maka ia tidak ingat lagi nama ayah bunda yang disebut itu. Sekarang teringatlah ia bahwa dahulu Hui-eng Niocu menyebut nama Liok Kong Ji! Jadi inikah ayahnya? Mengapa begitu?

Tiong Jin Hwesio menoleh kepada muridnya dan bertanya. "Tiang Bu, benarkah kau putera situ ini?”

"Dia berkata bohong, suhu. Setahu teecu, ayah teecu bernama Coa Hong Kin dan ibu teecu bernama Go Hui Lian puteri Hwa I Enghiong Go Ciang Le."

Kini Tiong Jin Hwesio berpaling kepada Kong Ji dan suaranya berubah keren ketika ia berkata, "Liok-sicu, pinceng tidak kenal padamu namun serasa pernah pinceng mendengar namamu yang kurang sedap. Kau jangan main-main di sini. Mengapa kau berani mengaku murid kami sebagai puteramu?"

Liok Kong Ji tertawa. Panahnya mengena sasaran, pancingannya berhasil baik. "Locianpwe, mana aku berani membohong atau main-main? Tadinya teecu sendiri juga tidak tahu akan rahasia ini yang dipegang penuh serta ditutup rapat oleh Wan Sin Hong. Locianpwe, agaknya dapat diperdayai sehingga amat memuji dan percaya kepada Wan Sin Hong. Maka harap locianpwe tanya kepadanya akan hal ini."

"Wan-bengcu, betulkah kata-kata Lie situ ini bahwa Tiang Bu adalah puteranya?” tanya Tiong Jin Hwesio. Keadaan menjadi sunyi. Semua orang menaruh perhatian sepenuhnya akan perkara ini yang biarpun barsifat pribadi namun cukup menarik karena urusan ini saj a dapat menimbulkan heboh dan keributan. Semua orang memandang ke arah Sin Hong, ingin tahu apa jawabannya...