Tangan Gledek Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Tangan Gledek Jilid 12

Sin Hong merasa mendongkol sekali. Kakek ini benar-benar sombong, pikirnya, Dapat dimengerti bahwa kalau orang seperti Sin Hong sabarnya bisa mendongkol, apalagi Li Hwa! Nona ini sudah bercahaya matanya, kemerah-merahan pipinya dan jari-jari tangannya yang bagus itu sudah menggetar dikepal-kepal.

"Biar aku mencobanya. Masa melewati saja tak mampu?" kata Li Hwa perlahan kepada Sin Hong dengan mata penuh permintaan. Sin Hong tidak tega mencegah. Ia mengangguk dan berkata perlahan.

"Berhati-hatilah kau."

Biarpun terang-terangan kakek gundul itu menantang mereka berdua, namun bukan watak Sin Hong dan Li Hwa untuk mengeroyok orang begitu saja. Mereka berdua adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri, maka amat memalukan kalau mereka maju berdua sebelum tahu bagaimana kekuatan lawan.

Hui-eng N iocu Siok Li Hwa adalah seorang ahli ilmu ginkang yan g jarang ditemukan bandingannya. Gerakannya amat cepat dan tangkas, tepat sekali dengan julukannya N ona Garuda Terban g! Maka ia cepat-cepat mengajukan diri tadi karena dianggapn ya betapa mudahnya melewati halangan berupa tongkat dipalangkan seperti itu! Dengan gaya yang indah ia melangkah tiga tindak ke depan bersiap-siap lalu berkata nyaring.

"Kakek sombong, aku lewat!" Cepat bagaikan anak panah menyambar tubuhnya meluncur ke depan melompati tongkat melintang itu dengan kedua lengan dikembangkan ke kanan kiri seperti seekor burung garuda terbang. Inilah Ilmu Melompat Hui-eng-coan-in (Burung Garuda Menerjang Awan), cepat dan indah gerakan ini. Akan tetapi kali ini Nona Garuda Terbang bertemu dengan batu!

Begitu tubuhnya melayang, pendeta Lama itu yang kembali sudah tunduk dan meramkan mata dengan sikap memandang rendah sekali, telah menggerakkan tongkat keatas dan tepat sekali tongkatnya itu, melakukan totokan ke arah iga dari tubuh Li Hwa yang masih melayang itu. Terdengar teriakan kaget disusul oleh ketawa terkekeh-kekeh.

Li Hwa yang melihat datangnya sodokan tongkat ini, terkejut sekali sampai menjerit. Cepat ia melakukan gerakan berjungkir balik di udara, tangan kirinya menyambar ujung tongkat dan terpaksa ia melompat kembali ke tempat tadi, tidak berhasil melewati tongkat itu dan ditertawakan oleh Thai Gu Cinjin yang masih meramkan matanya! Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Li Hwa. Ia telah dihina orang yang menggagalkan lompatannya dengan mudah sambil meramkan mata! Benar-benar ia dianggap seorang anak kecil yang bodoh!

"Heh-heh-heh-heh! Masih untung ginkangmu lumayan. Kau boleh coba lagi, dengan pedang di tangan pun boleh kalau masih berani." Kata-kata Thai Gu Cinjin yang kini membuka matanya dan memandang kepadanya dengan penuh ejekan membuat darah Li Hwa bergolak. Secepat kilat tangannya bergerak meraba gagang pedang dan sinar hijau berkeredepan menyilaukan mata ketika pedang itu di lain saat telah terhunus.

"Pokiam (Pedang Pusaka) bagus! Asal saja kau bisa mempergunakannya!" Kembali kata-kata dari Thai Gu Cinjin ini merupakan ejekan yang memandang rendah.

"Pendeta sombong, jagalah aku lewat!" teriak Li Hwa dan dengan gerakan cepat sekali ia melompat maju lagi dengan pedang diputar-putar di depannya. Ia akan membabat putus tongkat panjang itu apabila pendeta itu menghalanginya lagi dengan tongkatnya.

Betul saja, Thai Gu Cinjin dengan gerakan sembarangan saja menyodok dengan tongkat menghalangi majunya Li Hwa. Gadis ini mengayun pedang, mengerahkan tenaga dan membacok tongkat dengan Cheng-liong-kiam. Terdengar suara keras,, bunga api berpijar dan Li Hwa terkejut bukan main. Bukan saja tongkat itu tidak putus oleh sabetan pedang, bahkan pertemuan antara dua senjata sehingga mengeluarkan bunga api ini membuat telapak tangannya perih dan tergetar.

Dan di lain saat ujung tongkat itu telah menyerampang kedua kakinya! Ini terang hanya gerakan untuk mempermainkan dan menggertaknya saja. Sambil menggigit bibir saking cemas, terpaksa Li Hwa melompat ke atas menyelamatkan kedua kaki dari sabetan tongkat. Akan tetapi tongkat itu menyusulnya cepat dan melakukan sodokan dari bawah mengarah perutnya!

Ini keterlaluan sekali! Main-main yang sudah bukan merupakan main-main lagi melainkan penghinaan yang tidak pantas. Li Hwa tidak mau menangkis dengan pedangnya, melainkan kedua kaki yang tadinya ditarik ke atas, tiba-tiba ia lonjorkan dan dengan tepat ia menyambut ujung tongkat itu dengan tumit kakinya, kemudian dengan. meminjam tenaga sodokan tongkat itu tubuhnya mumbul setinggi tiga atau empat tombak ke atas! Dengan cara ini ia hendak sekaligus melewati pendeta itu dan menang!

"Lihai sekali!" teriak Thai Gu Cinjin melihat kehebatan ginkang dari nona itu dan Sin Hong juga diam-diam girang dan memuji kecerdikan Li Hwa yan g dapat mempergunakan hinaan lawan untuk mencapai kemenangan.

Akan tetapi baik Li Hwa maupun Sin Hong menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba tongkat panjang itu "terbang" dari tangan kakek itu, meluncur ke atas seperti anak panah terlepas dari busurnya! Serangan ini berbahaya sekali dan hanya seorang dengan ginkang tinggi seperti Li Hwa yang dapat menyelamatkan diri.

Melihat luncuran tongkat ke depannya itu, Li Hwa maklum bahwa kalau ia melanjutkan lompatannya, ia akan termakan oleh tongkat itu. Untuk mengelak tak mungkin lagi, maka cepat ia memegang pedangnya dengan kedua tangan, diayun ke bawah memapaki datangnya tongkat dengan seluruh tenaganya. Terdengar suara keras dan kembali bunga api berpijar. Tongkat kena dihajar pedang terlempar ke bawah, akan tetapi juga tubuh Li Hwa terpental ke belakang kembali sehingga ketika gadis ini melompat turun, ia. masih belum melewati kakek yang telah memegang tongkatnya lagi!

"Li Hwa, kau mundurlah. Biar aku mencoba-coba," kata Sin Hong, maklum bahwa ia menghadapi seorang sakti yang tak boleh dipandang ringan sama sekali. Ia menjura kepada pendeta Lama itu sambil berkata. "Maaf, Locianpwe. Aku yang muda mohon lewat!"

Setelah berkata demikian dengah langkah tenang dan biasa saja Sin Hong berjalan maju. Thai Gu Cinjih biarpun masih memandang rendah kepada laki-laki muda ini namun karena ia dapat menduga bahwa lawan kedua ini tentu lebih lihai daripada wanita tadi, memegang tongkatnya dengan kedua tangan, disodorkan merupakan palang yang mencegah Sin Hong lewat. Kedua tangannya memegang ujung tongkat kuat-kuat dan matanya memandang orang yang datang penuh perhatian dan bersiap-siap.

Dengan sekilas pandang, Sin Hong mengukur kedudukan kakek itu dengan penuh perhitungan, kemudian ia berkata. "Maaf, Locianpwe. Tongkatmu menghalangi jalan!" Ia membungkuk dan menangkap tongkat itu dengan kedua tangan mengerahkan tenaganya untuk menekan tongkat itu ke bawah.

Thai Gu Cinjin kaget sekali. Ia melakukan penjagaan dengan tongkat untuk mencegah orang lewat dan untuk menggebuk atau mendorong orang yang hendak melompati tongkatnya. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang muda ini menangkap tongkatnya dan menekannya ke bawah. Tentu saja untuk mengadu tenaga, ia kalah kedudukan. Orang muda itu memegang ujung sana tongkatnya dan menekan ke bawah. Kalau ia harus mempertahankan dan mengangkat tongkat itu dari ujung sini, berarti tenaganya menjadi satu lawan sepuluh!

Akan tetapi Thai Gu Cinjin memang berwatak sombong. Ia terlalu percaya akan kepandaiannya sendiri yang dianggapn ya tidak ada bandingnya. Di samping kesombongan ini, juga ia berpikir andaikata ia kalah tenaga, toh masih belum berarti bahwa pemuda itu dapat lewat. Begitu tongkatnya dilepaskan oleh lawannya dan lawan itu hendak melompat lewat, ia masih dapat menggebuk dari belakang! Karena pikiran inilah maka Thai Gu Cinjin lalu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mempertahankan tekanan Sin Hong.

Akan tetapi kakek inii sama sekali tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan Wan Sin Hong pendekar muda, yang berilmu tinggi sehingga tujuh delapan tahun yang lalu sampai memenangkan pemilihan bengcu di Ngo-heng-san! Biarpun ia mengerahkan seluruh tenaganya, dengan amat mudah karena memang menang kedudukan sehingga dengan sepersepuluh tenaganya saja Sin Hong dapat menangkan tenaga lawan ujung tongkat itu tentu ditekan, oleh Sin Hong sampai masuk ke dalam tanah! Sin Hong terus menekan dan ujung tongkat itu amblas dan melesat terus makin lama makin dalam.

Thai Gu Cinjin terkejut. I a tak menyangka! Memang, kekalahan adu tenaga ini tidak ia herankan oleh karena memang kedudukannya yang kalah, akan tetapi ia tidak pernah memperhitungkan bahwa pemuda itu bukan hanya menekan sekedar untuk melompati tongkat, melainkan bermaksud menekan terus sampai tongkat itu melesak ke dalam tanah sehingga mudah baginya mengendurkan tenaganya melawan. Biarpun tongkat amblas ke dalam tanah, pikirnya asal saja masih kukerahkan tenagaku, begitu dilepaskan olehnya akan dapat tercabut kembali untuk mengemplang kepalanya dari belakang!

Di samping ilmu silatnya yang tinggi, Sin Hong juga memiliki otak yang sehat dan cerdik, maka ia sudah dapat menduga apa yang tersembunyi di balik pengerahan tenaga sia-sia dari kakek itu. Ia menekan terus, kemudian pada saat yang baik ia melepaskan tongkat sambil berseru.

"Aku lewat!"

Tongkat yan g tadinya terpendam dalam tanah itu tiba-tiba tercabut membawa gumpalan- gumpalan tanah. Sedianya tongkat itu dari bawah akan langsung menghantam tubuh Sin Hong yang melewatinya. Akan tetapi dengan gerakan tenang-tenang saja Sin Hong menunda langkahnya, hanya untuk beberapa detik saja karena begitu tongkat itu tercabut dan melayang kuat ke atas, ia menerobos dari bawah tongkat! Ketika Thai Gu Cinjin sadar bahwa ia kena tipu, orang muda itu sudah lolos dan sudah berdiri jauh melewatinya, tak dapat dihalanginya atau dicegah oleh tongkatnya lagi.

Wajah Thai Gu Cinjin menjadi merah sekali. Keringat berkumpul di dahinya yang kelimis. Ia memandang kepada Sin Hong dengan mata bersinar-sinar mengeluarkan hawa panas. "Jahanam, kau telah menipuku! Kau lewat bukan mengandalkan kepandaian, melainkan mengandalkan tipu muslihat licik!" bentaknya marah.

Sin Hong tersenyum dan menjura dari tempat ia berdiri. "Locianpwe, seorang tua seperti Lo-cianpwe ini apa mungkin menelan kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"

"Setan! Aku tadi berjanji kalau kalian dapat lewat baru aku mau bicara. Siapa menarik kembali omongan? Dengar baik-baik, aku berjanji lagi bahwa kalau kau sekarang dapat menghalangi aku lewat, aku takkan banyak omong lagi dan kau boleh membawa pergi bocah setan Tiang Bu"

Sin Hong mengerutkan alisnya. Ia maklum bahwa ia menghadapi seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi berbatin rendah. Dengan orang macam ini tak mungkin dicapai penyelesaian secara damai. Kalau ia tidak memperlihatkan kepandaiannya, kakek itu pasti akan berlagak terus. Maka ia segera siap menghadapi tantangan itu.

Memang kata-kata tadi sama dengan tantangan, karena ia dapat menduga bahwa kakek itu pasti akan berusaha keras untuk dapat melewatinya, biarpun untuk usaha itu ia harus membunuh lawannya. Ini bukan merupakan peerjanjian atau pertaruhan biasa saja, melainkan menyangkut kehormatan maka tentu akan dipertahankan mati-matian. Namun, Sin Hong masih memancing untuk mengetahui pasti isi hati lawan.

“Baiklah, Locianpwe. Memang aku dapat menduga bahwa akhirnya Locianpwe tentu akan mengembalikan bocah itu kepada kami. Harap Locianpwe jelaskan apakah Locianpwe hendak lewat dengan tangan kosong, ataukah dengan bantuan senjata?"

Thai Gu Cinjin menjadi mendongkol dan merasa disindir. Tapi orang muda ini memang telah berhasil "lewat" biarpun dengan cara menipu, dengan mengandalkan tangan kosong belaka. Akan tetapi ia tidak mau berlaku bodoh s eperti tadi tidak mau gagal oleh karena memandang rendah lawan. Orang rnuda yang sikapnya tenang, matanya terang, bicaranya ramah seperti ini lebih baik jangan dipandang rendah.

"Aku sudah tua dan lemah, kemana-mana harus dibantu tongkatku ini."

Thai Gu Cinjin mengira bahwa orang muda itu tentu menjadi gentar dan mengajukan alasan supaya ia lewat dengan tangan kosong. Kalau sampai terjadi demiklan, ia akan mendapatkan kembali mukanya dan dapat membalas orang muda itu dengan ejekan bahwa pemuda itu takut. Akan tetapi ia kecele. Sin Hong menarik napas panjang, tahu bahwa kakek ini menghendaki pertandingan silat dengan senjata.

Hal ini sama sekali tidak menggelisahkan hatinya, bahkan ia merasa lega. Kalau kakek ini menggunakan tongkat yang berarti bersenjata, ia pun tidak malu-malu mempergunakan pedangnya. Dan karena tongkat itu pun senjata ampuh seperti tadi telah terbukti ketika beradu dengan Cheng liong kiam maka ia tidak malu mempergunakan Pak kek Sin kiam dan takkan disebut mencapai kemenangan karena mengandalkan senjata pusaka.

"Baiklah, Locianpwe. Aku siap sedia. Kau cobalah untuk lewat!" katanya sambil mencabut pedangnya yang mengeluarkan cahaya lebih cemerlang daripada cahaya hijau dari Cheng liong kiam tadi. Melihat ini Thai Gu Cinjin tertegun dan kagum sekali.

"Banyak pedang bagus!" katanya. "Kalau aku tak dapat lewat, kalian boleh bawa pergi Tiang Bu. Akan tetapi kalau sebaliknya, kalian harus meninggalkan pedang-pedang itu!"

Ternyata kakek ini tldak mengenal pedang Pak kek Sin kiam yang akan dikenal oleh ratusan tokoh-tokoh kangouw lainnya. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Thai Gu Cinjin baru sekarang turun gunung meninggalkan Tibet. Tidak seperti banyak orang sakti yang selalu mengunjungi Tibet, di waktu dahulu pemilik pedang ini, Pak kek Siansu belum pernah ke Tibet. Oleh karena inilah maka tokoh-tokoh besar Tibet ini tidak mengenal Pak kek Sin kiam, baik nama maupun rupa.

"Kalau Locianpwe yang menang apa yang hendak kau lakukan, baik yang patut maupun yang tidak kami akan dapat berbuat apakah?" kata Sih Hong yang sudah berdiri dengan pedang melintang di tangan kanan.

Pemuda ini tenang sekali. Dengan pedang di tangan memang Sin Hong boleh merasa tenang. Dalam hal ilmu pedang kiranya Pak-kek Kiamsut sukar dlcari bandingann ya, apalagi kalau ilmu pedang ini dimainkan oleh Sin Hong yang mempelajari dengan sempurna, ditambah dengan Pak-kek Sinkiam di tangannya pula! Andaikata ia menghadapi kakek itu dalam pertempuran tangan kosong, belum tentu ia akan setenang dan sepasti itu untuk mencapal kemenangan.

Thai Gu Cinjin tentu saja merasai sindiran Sin Hong ini. Dengan marah ia mengayun tongkatnya tinggi-tinggi di atas kepala, memutar-mutarnya sehingga mengeluarkan angin dan bersuara mengaung seperti kitiran angin.

"Awas aku lewat. Minggir...!" bentaknya menerjang maju.

Melihat ini, diam-diam Li Hwa meleletkan lidahnya yang merah. Kakek itu benar-benar berbahaya sekali, pikirnya. Dari gerakan tongkat dan angin yang menyambar-nyambar saja gadis ini pun tahu bahwa kakek itu berkepandaian tinggi dan bertenaga besar. Ia takkan merasa aneh kalau saja mendengar bahwa kakek ini merampas Tiang Bu dari tangan Pak kek Samkui, karena dapat diduga bahwa kepandaian kakek ini memang lebih tinggi daripada kepandaian Pak-kek Samkui.

Sin Hong menggerakkah pedangnya menangkis. Seperti juga tadi ketika tongkat bertemu dengan Cheng liong kiam, terdengar suara keras dan terlihat sinar api berpencaran. Thai Gu Cinjin merasa tangannya kesemutan. Kagetlah ia dan cepat-cepat ia menarik kembali tongkatnya untuk diperiksa apakah tidak rusak. Ia melihat tongkat itu tidak apa-apa, hanya warna lapisannya lecet-lecet.

Ia memandang kepada Sin Hong yang berdiri tenang-tenang saja. Bukan main heran hatinya. Akan tetapi keheranannya terganti kemarahan yang memuncak. Kehormatannya tersinggung. Masa ia harus kalah oleh seorang bocah seperti ini? Kini ia menggeram dan melangkah maju. Lenyap sama sekali keinginan hatinya hendak lewat saja terganti oleh nafsu merobohkan atau mengalahkan pemuda berpedang pusaka ini.

"Robohlah!" bentaknya dan kini tongkatnya dimainkan dengan gerakan silat yang kuat dan cepat juga amat aneh gerak-geriknya. Muka Thai Gu Cinjin yang berwarna ungu itu kini berubah merah gelap.

Sin Hong mengelak cepat dan membalas dengan serangan pedangnya. Ia harus bertaku awas karena menghadapi gerakan ilmu tongkat yang amat aneh. Namun, Pak kek Kiamsut memang bukan ilmu pedang sembarangan dan di dalam ilmu pedang ini terdapat segala macam gerakan untuk menghadapi macam-macam lawan.

Sebentar saja pedangnya lenyap berubah menjadi gundukan sinar yang menyilaukan mata, yang membendung hujan pukulan tongkat dan membalas dengan kecepatan halilintar menyambar-nyambar membuat Thai Gu Cinjin terkejut bukan main. Baru sekarang Thai Gu Cinjin mendapat kenyataan dan terbuka matanya bahwa yang dapat mengalahkannya di dunia ini bukan hanya kakek-kakek sakti di Omeisan dan Angjiu Moli iblis wanita dari utara itu. Ilmu pedang orang muda ini hebat sekali, bahkan kalau ia bandingkan dengan ilmu pedang dari Angjiu Moli yang pernah ia lihat kiranya tidak kalah lihai.

Sementara itu, Siok Li Hwa mendekati Tiang Bu yang melihat pertempuran itu dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. Hampir ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri menyaksikan pertempuran yang hebat bukan main itu, Thai Gu Cinjin kelihatan seperti raksasa mengamuk. Tongkatnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang panjang seperti seekor naga hitam, nampaknya dahsyat dan mengerikan.

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Di lain fihak lawannya telah lenyap, hanya bayangannya saja kadang-kadang nampak di antara gulungan sinar pedang yang berkelebatan cepat. Pemandangan itu mirip dengan hari hujan di mana sinar tongkat itu merupakan mendung hitam sedangkan sinar pedang merupakan sinar kilat yang menyambar-nyambar dan diantara mendung dan kilat itu bertempur seorang raksasa ganas melawan seorang dewa yang tampan!

Yang amat mengherankan hati Tiang Bu, bagaimana orang muda itu dapat melawan Thai Gu Cinjin? Selama ini, orang yang dianggapn ya paling lihai hanyalah Thai Gu Cinjin yang dengan mudah merampasnya dari tangan Pak-kek Samkui yang begitu jahat dan menakutkan. Akan tetapi sekarang pertempuran itu berjalan demikian seru dan siapakah di antara mereka yang lebih unggul.

"Tiang Bu, apakah kau tidak mengenal orang yang hendak menolongmu supaya kau bisa pulang? Tidak kenalkah kau akan orang yang sekarang bertempur melawan pendeta Lama itu?"

Pertanyaan dari Li Hwa yang tiba-tiba sudah berada di dekatnya ini mengejutkan hati Tiang Bu. Ia menggeleng kepalanya, akan tetapi matanya terus mengincar ke arah dua orang yang tengah bertempur.

"Apakah Ayah Bundamu dahulu belum pernah menyebut nama Wan Sin Hong di depanmu?" tanya pula Li Hwa terheran-heran.

Mendengar disebutnya nama ini, tiba-tiba Tiang Bu teringat. Pernah sambil lalu ketika Tiang Bu minta ayah ibunya mengajar ilmu silat, ibunya berkata. "Kelak saja kau boleh belajar ilmu silat kepada pendekar besar yang menjadi pemimpin semua ahli persilatan, yaitu Wan bengcu."

Ketika ia mendesak dan bertanya siapa adanya Wan bengcu itu, ibunya menjawab, "Dia adalah sahabat baik ayah bundamu bahkan dia masih terhitung Susiokku (Paman Guruku). Namanya Wan Sin Hong dan kiranya di dunia ini tidak ada orang yang dapat menandingi ilmu silatnya."

Demikianlah yang ia ingat tentang nama Wan Sin Hong. Jadi orang yang lihai inilah Wan Sin Hong yang oleh ayah bundanya hendak dijadikan gurunya? Tiang Bu memandang makin tertarik akan tetapi sayang matanya belum begitu awas untuk dapat mengikuti jalannya pertempuran yang cepat itu.

Melihat ini, Li Hwa menoleh ke arah pertempuran lalu berkata dengan suara pasti, "Dia pasti akan menang. Pernahkah Ayah Ibumu menyebut nama Wan Sin Hong?"

Kini Tiang Bu mengangguk dan matanya bersinar gembira. Li Hwa juga merasa senang karena sekarang anak itu agaknya percaya kepadanya dan tidak curiga seperti tadi. "Siapakah Kakek Gundul sombong itu? Apa betul dia gurumu?"

"Dia bernama Thai Gu Cinjin, pendeta Lama dari Tibet," jawab Tiang Bu tanpa mengalihkan pan dangan matanya dari medan pertempuran. "Teecu dipaksa menjadi muridnya setelah dia merampas teecu dari tangan Pak-kek Samkui. Aduuhh... kenapa itu...??"

Tiba-tiba Tiang Bu menuding ke arah pertempuran yang mengalami perubahan. Kini ia melihat Sin Hong, nampaknya orang muda itu kelelahan atau entah mengapa. Akan tetapi jelas gerakan Sin Hong tidak seperti tadi, pedangnya mulai tidak karuan dan tiba-tiba Thai Gu Cinjin yang kini sudah mengeluarkan sebuah saputangan merah membentak,

"Orang muda, lepaskan pedangmu dan berlututlah!"

Aneh sekali! Sin Hong terhuyung-huyung berusaha menetapkan langkahnya namun tak berhasil akhirnya ia benar-benar jatuh berlutut, hanya Pak-kek Sinkiam masih di tangannya. Apakah yang terjadi?

Setelah bertempur selama lima puluh jurus, Thai Gu Cinjin yang sombong itu harus mengakui keunggulan Wan Sin Hong. Sudah dua kali dalam lima puluh jurus itu Sin Hong membuktikan keunggulannya. Dengan ilmu pedangnya yang luar biasa itu, ia telah berhasil membabat putus ujung lengan baju dan ujung jubah lawannya. Oleh karena maklum pemuda yang dihadapinya memiliki ilmu pedang yang tinggi sekali dan kalau dilanjutkan tentu ia akan kalah, Thai Gu Cinjin lalu mempergunakan ilmu sihirnya.

Kaum Lama di Tibet pada umumnya memuja roh suci, terutama sekali roh suci dari Buddha yang mereka percaya selalu jutsi (menjelma) menjadi seseorang yang mereka pilih menjadi Dalai Lama. Kalau kaum Lama ini memuja roh suci yang mereka harapkan dapat memimpin mereka ke arah jalan kebenaran, adalah kaum Lama jubah merah ini memuja atau mengadakan hubungan dengan roh-roh jahat atau roh-roh penasaran, bukan untuk memuja guna kebaikan jalan hidup, melainkan dipuja untuk dipergunakan bantuannya dalam menjalankan ilmu-ilmu hitam.

Tingkat ilmu silat Wan Sin Hong memang sudah amat tinggi dan kiranya tidak banyak orang-oran g sakti di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya dalam ilmu silat. Akan tetapi dia masih muda dan pengalamannya tentu saja masih belum cukup banyak. Belum pernah ia berhadapan dengan lawan yang mempergunakan ilmu sihir untuk menyerangnya. Kalau lawannya mempergunakan pukulan atau serangan dengan senjata-senjata berbisa, kiranya mengandalkan kepandaiannya yang tinggi ia akan dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi kali ini Thai Gu Cinjin mempergunakan ilmu sihir atau hoat-lek (ilmu gaib) dengan mempengaruhi dan menguasai semangat Sin Hong melalui pandangan mata, gerak tangan penuh rahasia, dan suara perintah yang menyeramkan.

"Orang muda, lepaskan pedangmu dan berlututlah!" bentaknya.

Dan Sin Hong terhuyung-huyung, berusaha menetapkan langkahnya namun tak berhasil dan akhirnya menyerah terhadap kekuasaan aneh yang memaksa dan menguasainya. Ia jatuh berlutut, hanya Pak-kek Sinkiam masih di tangannya, tergenggam erat-erat. Ini tepat dengan wataknya, agaknya pedang pusaka di tangan takkan dilepaskannya! Semboyan "mati hidup dengan pedang di tangan" menjadi pedoman setiap orang gagah.

Thai Gu Cinjin tertawa bergelak melihat lawannya yang muda dan lihai itu sudah takluk di bawah pengaruh sihirnya. "Orang muda sombong, baru kau tahu kelihaian Thai Gu Cinjin. Kaukira aku tidak bisa melewatimu? Minggirlah!" Sambil berkata demikian tongkatnya yang panjang itu meluncur cepat ke arah ulu hati Sin Hong.

Biarpun kedua kakinya seperti lumpuh dan tak berdaya, menghadapi serangan maut ini, otomatis tenaga dan hawa sinkang di dalam tubuh Sin Hong bekerja dan seakan-akan tanpa ia gerakkan lagi tubuhnya sudah miring membuat gerakan mengelak! Akan tetapi serangan Thai Gu Cinjin bukan seperti serangan tukang silat sembarangan saja. Kepandaian kakek ini sudah tinggi dan melihat tubuh itu mengelak, ia pun mengejar dengan tongkatnya.

"Brukkk...!" Dada sebelah kanan dari pemuda itu terdorong ujung tongkat. Tubuh itu mencelat sampai empat tombak lebih, terbanting bergulingan lalu rebah tertelungkup di atas tanah tak berkutik.

"Sin Hong...!" Li Hwa lupa akan segalanya. Gadis ini melompat dan mengejar Sin Hong, lalu menubruk dan memelukinya. Dipangkunya kepala Sin Hong, didekap ke dadanya dan ia memperhatikan muka kekasihnya itu. Darah segar mengalir keluar dari mulut Sin Hong, membuat bibirnya menjadi merah berlepotan darah. Mukanya pucat sekali dan matanya terpejam.

"Sin Hong...! Bangunlah...! Sin Hong, jangan kau mati... jangan tinggalkan aku, Sin Hong...!"

Saking kaget dan khawatirnya kalau-kalau pemuda yang menjadi pujaannya itu mati, Li Hwa lupa akan kegagahannya dan menangis seperti anak kecil. Ia tadi menyaksikan sendiri , betapa hebatnya dorongan tongkat dari Thai Gu Cinjin dan sebagai seorang ahli silat tinggi ia dapat mengerti bahwa pukulan semacam itu agaknya tidak mungkin dapat ditahan orang, apalagi kalau yang terkena itu bagian dada.

"Sin Hong, jangan tinggalkan aku... bawalah aku serta..." Ia menangis dan lupa akan segala, ia mencium muka yang disangkanya sudah akan ditinggalkan nyawa itu. Ia tidak peduli betapa darah segar yang mengalir keluar dari mulut Sin Hong itu mengenai pipinya, hidungnya, bahkan bibirnya terkena darah dan terasa darah pada mulutnya!

"Suhu, kau... kau kejam sekali! Kau... kau jahat!"

Teriakan ini dikeluarkan oleh Tiang Bu yang merasa amat terharu melihat sikap Li Hwa. Saking marahnya ia lupa diri dan melompat maju ke depan Thai Gu Cinjin, terus menyerang kakek itu dengan ilmu silat yang ia pelajari dari kitab, yaitu Pat hong hongi!

“Plak buk plak buk...!"

Thai Gu Cin mengeluarkan seruan kaget ketika ia melompat ke belakang. Serangan bocah tadi sungguh aneh luar biasa sehingga biarpun Thai Gu Cinjin yang lihai sudah mengelak cepat, tetap saja kaki tangan bocah itu memberi hadiah dua kali tendangan dan dua kali pukulan yang datangnya susul menyusul. Baiknya bocah itu tenaganya tidak seberapa, kalau yang melakukan pukulan tadi orang yang sudah dewasa dan memiliki tenaga lweekang, tentu ia sudah roboh!

"Murid pengkhianat, kau mau membela musuh?" bentak Thai Gu Cinjin untuk menutupi malunya dan tongkat panjangnya menyambar ke arah kepala Tiang Bu dengan hebatnya.

Akan tetapi, pukulan itu mengenai tempat kosong. Bagaikan seekor monyet yang lincah Tiang Bu berhasil mengelakkan diri. Thai Gu Cinjin menjadi makin penasaran. Tongkatnya menyambar lagi, sekali, dua kali, tiga kali. Tetap saja mengenai angin belaka. Tiang Bu dengan langkah-langkah aneh selalu dapat rnengelak. Ternyata bahwa bocah ini telah mempergunakan Ilmu Kelit Sam hoan Sam-bu yan g ia pelajari dari mendiang Bu Hok Lokai dan ternyata hasilnya luar biasa. Ahli silat biasa jarang ada yang dapat menyelamatkan diri dari pukulan tongkat satu kali saja dari Thai Gu Cinjin, apalagi sampai empat kali!

Thai Gu Cinjin menggereng marah, tangan kirinya ikut bergerak mengeluarkan pukulan khikang. Benar saja, terkena hawa pukulan ini, tubuh Tiang Bu terhuyung-huyung seperti didorong dan ia tidak dapat lagi mainkan Samhoan Sambu dengan baik. Tongkat panjang sudah bersiutan di atas kepalanya yang agaknya sebentar lagi akan remuk seperti kepala tikus dihantam dengan batu besar.

"Cringgg...!" Bunga api berpijar, ketika tongkat itu tertangkis dan terpental. Thai Gu Cinjin makin marah ketika melihat bahwa yang menangkis tongkatnya itu adalah pedang di tangan Wan Sin Hong yang memegang pedangnya dengan tangan kiri.

"Thai Gu Cinjin, kau tidak patut disebut orang gagah. Keji sekali hendak membunuh seorang bocah kecil!" kata Sin Hong dengan suara halus dan tenang, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar bercahaya.

Bagaimanakah Sin Hong sudah dapat bangun kembali? Pertanyaan ini memenuhi pula kepala Thai Gu Cinjin. Sin Hong telah memiliki sinkang yang amat luar biasa di dalam tubuhnya. Pukulan tadi biarpun mendatangkan luka hebat dalam dada sebelah kanan, akan tetapi tidak sampai mencabut nyawanya. Pula, kejernihan pikiran dan hati berkat latihan bertahun-tahun dalam ilmu Imkang dan Yangkang membuat la sebentar saja pingsan. Ia sadar dan siuman dalam dekapan Li Hwa yang menjadi girang bukan main melihat Sin Hong dapat bergerak lagi dan membuka matanya.

"Lepaskan, Li Hwa. Aku tidak apa-apa..." kata Sin Hong, bukan main terharunya melihat budi kecintaan yang demikian besarnya dari gadis ini terhadap dirinya. Tidak saja ia merasa terharu, akan tetapi juga mulailah bersemi cinta kasih di dalam hatinya yang tadinya sudah membeku. Melihat wajah Li Hwa yang berlinang air mata akan tetapi sekarang bibirnya tersenyum penuh harapan, melihat betapa pipi dan bibir gadis itu terkena darah merah yang mengalir dari mulutnya sendiri, tak tertahan lagi Sin Hong mengeluarkan keluhan lirih.

"Li Hwa... Li Hwa..." dan dua titik air mata keluar tertahan bulu matanya.

Aneh sekali! Pada saat itu hilanglah kekuasaan aneh yang tadi membuatnya lumpuh! Memang dada kanannya terasa sakit sekali, akan tetapi adalah akibat dari pukulan tongkat, dan merupakan luka dalam yan g sewajarnya. Tidak seperti lumpuhnya kedua kaki yang tidak wajar. la tidak tahu bahwa cinta kasih yang murni dapat mengusir hawa busuk dari ilmu hitam yang tadi menguasai dirinya. Dengan cinta kasih murni yang mulai bersemi di dalam dadanya, ilmu hitam Thai Gu Cinjin menjadi buyar!

Pada saat itu ia mengerling dan melihat Tiang Bu menyerang Thai Gu Cinjin. juga Li Hwa menoleh dan kedua orang ini terheran-heran melihat betapa pukulan-pukulan Tiang Bu bisa mengenai tubuh kakek itu, kemudian betapa pukulan-pukulan dan serangan tongkat itu tidak bisa mengenai tubuh Tiang Bu.

Sin Hong cepat mengeluarkan tiga butir pel merah, putih dan kuning dari sakunya dan menelan tiga pel itu. Ini adalah obat mujarab sekali untuk menahan rasa sakit di dalam dada kanannya. Sebentar saja dada kanannya terasa panas dan kebal seperti mati tidak begitu terasa lagi sakitnya. Akan tetapi pundak dan lengan kanannya tak dapat digerakkan. Ia memegang pedang Pak kek Sinkiam dengan tangan kiri lalu melompat dan tepat sekali dapat menangkis tongkat Thai Gu Cinjin yang hampir saja meremukkan kepala bocah itu.

"Kau masih belum mampus?" bentak Thai Gu Cinjin kagum dan heran. Alangkah kuatnya orang muda ini, pikirnya. Akan tetapi melihat pemuda itu memegang pedang dengan tangan kiri dan pundak serta lengan kanannya kelihatan tergantung mati, hati Thai Gu Cinjin menjadi besar. Ia tidak khawatir terhadap Li Hwa dan setelah pemuda kosen ini tak dapat lagi menggerakkan pundak dan lengan kanan, ia takut apakah? Maka mendengar teguran Sin Hong yang menyebutnya tidak patut disebut orang gagah dan berwatak keji, ia tertawa bergelak sambil menggoyang-goyangkan tongkatnya dengan lagak sombong.

"Tikus cilik, kau sudah hampir mampus masih berani membuka mulut besar? Bocah itu aku yang bawa, dia muridku dan aku hendak membunuh dia atau tidak ada sangkut paut apakah dengan kau?"

Li Hwa dengan suara marah sekali berkata, "Kau pendeta busuk! Biar soal itu kami tidak mencampuri dan kami anggap kau berhak membunuhnya, akan tetapi bagaimana kau secara tak tahu malu dan tebal muka tadi telah mengalahkan orang dengan bantuan ilmu iblis? Apa itu perbuatan orang gagah?"

Muka Thai Gu Cinjin yang biasanya berwarna un gu itu berubah menjadi kehijauan. Ini adalah tanda bahwa ia merasa malu dan juga marah. I a menudingkan tongkatnya yang panjang sambil membentak.

"Bocah ini roboh karena dia bodoh dan memang kalah olehku! Kalian ini dua tikus kecil yang sudah kalah tak usah banyak cakap lagi. Tinggalkan dua batang pedang kalian dan minggat dari sini!" Sambil berkata demikian ia menggerakkan tongkatnya mengancam hendak menghancurkan kepalanya dua orang muda itu.

"Wan-sioksiok (Paman Wan), kau sudah terluka. Biarlah aku saja mengadu nyawa dengan Kakek jahat ini!" Tiba-tiba Tiang Bu berseru dan melompat hendak menyerang Thai Gu Cinjin lagi.

"Tiang Bu, mundur kau!" kata Sin Hong dengan suara keren, akan tetapi pandang matanya kepada bocah itu penuh kekaguman dan senang. Kemudian ia menghadapi Thai Gu Cinjin, pedang di tangan kirinya melintang di depan dada.

"Thai Gu Cinjin, ketahuilah bahwa aku Wan Sin Hong bukan seorang yang takut menghadapi kematian. Kita bukan anak kecil, juga kita adalah orang-orang kawakan di dunia kangouw yang tahu akan peraturan-peraturan kangouw. Memang tadi aku telah kalah olehmu karenakau mempergunakan hoatsut dan aku kurang waspada sehingga kena tertipu olehmu, maka luka di dadaku sudah sewajarnya, hukuman bagi kelalaianku. Akan tetapi aku belum menerima kalah. Tanganku masih sebelah lagi dan pedangku belum pernah terlepas dari tangan. Mari kita bertempur secara jantan, mengandalkan kepandaian silat. Kalau aku kalah olehmu, tidak hanya pedang kuberikan, juga kepalaku!"

Sejak tadi mendengar pemuda itu memperkenalkan nama sikap Thai Gu Cinjin sudah berubah. Ia memandang penuh perhatian lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi kau inikah bengcu baru yang muda dan bijaksana menurut kata orang? Pantas kau lihai. Akan tetapi ketahuilah bahwa daerahku di Tibet tidak termasuk wilayahmu, maka bagiku kau bukan bengcu. Kau masih berani menantangku dengan sebelah tanganmu lumpuh? Benar-benar aku harus memuji ketabahanmu. Orang she Wan, setelah sekarang aku mengerti bahwa kau adalah Wanbengcu, biarlah memandang muka orang-orang kangouw aku habiskan perkara sampai di sini saja. Kau dan Nona ini boleh pergi membawa pedang kalian!"

Biarpun amat mendongkol melihat orang sudah melukai kekasihnya sampai hampir saja tewas itu sekarang bicara tentang perdamaian, namun Li Hwa yang merasa amat gelisah melihat keadaan Sin Hong lalu menarik tangan pemuda itu sambil membujuk untuk pergi saja.

"Kau terluka, tak baik bertempur lagi," katanya.

Akan tetapi Sin Hong menggeleng-geleng kepalanya sambil memandang ke arah Tiang Bu. Tak mun gkin ia mau pergi meninggalkan Tiang Bu terancam bahaya maut hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri, Li Hwa juga seorang yang berjiwa gagah, pada saat lain kiranya ia pun akan berpendirian sama, yaitu tidak sudi menyelamatkan diri dan membiarkan orang lain dalam ancaman maut, Akan tetapi, pada saat itu seluruh perhatian Li Hwa tercurah kepada Sin Hong dan ia tidak dapat memikirkan lain kecuali keselamatan Sin Hong.

"Tenang, Li Hwa. Aku tahu baik apa yang kulakukan. Aku kuat menghadapinya. Jangan kau gelisah," kata Sin Hong, kemudian ia berkata kepada Thai Gu Cinjin. "Thai Gu Cinjin, sukur kau menghendaki dihabiskannya urusan ini. Akan tetapi Tiang Bu harus ikut aku. Aku memang diminta oleh dua orang tuanya untuk mencari dan membawa pulang anak ini. Harap dapat mempertimbangkannya..."

Tangan Gledek Jilid 12

Tangan Gledek Jilid 12

Sin Hong merasa mendongkol sekali. Kakek ini benar-benar sombong, pikirnya, Dapat dimengerti bahwa kalau orang seperti Sin Hong sabarnya bisa mendongkol, apalagi Li Hwa! Nona ini sudah bercahaya matanya, kemerah-merahan pipinya dan jari-jari tangannya yang bagus itu sudah menggetar dikepal-kepal.

"Biar aku mencobanya. Masa melewati saja tak mampu?" kata Li Hwa perlahan kepada Sin Hong dengan mata penuh permintaan. Sin Hong tidak tega mencegah. Ia mengangguk dan berkata perlahan.

"Berhati-hatilah kau."

Biarpun terang-terangan kakek gundul itu menantang mereka berdua, namun bukan watak Sin Hong dan Li Hwa untuk mengeroyok orang begitu saja. Mereka berdua adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri, maka amat memalukan kalau mereka maju berdua sebelum tahu bagaimana kekuatan lawan.

Hui-eng N iocu Siok Li Hwa adalah seorang ahli ilmu ginkang yan g jarang ditemukan bandingannya. Gerakannya amat cepat dan tangkas, tepat sekali dengan julukannya N ona Garuda Terban g! Maka ia cepat-cepat mengajukan diri tadi karena dianggapn ya betapa mudahnya melewati halangan berupa tongkat dipalangkan seperti itu! Dengan gaya yang indah ia melangkah tiga tindak ke depan bersiap-siap lalu berkata nyaring.

"Kakek sombong, aku lewat!" Cepat bagaikan anak panah menyambar tubuhnya meluncur ke depan melompati tongkat melintang itu dengan kedua lengan dikembangkan ke kanan kiri seperti seekor burung garuda terbang. Inilah Ilmu Melompat Hui-eng-coan-in (Burung Garuda Menerjang Awan), cepat dan indah gerakan ini. Akan tetapi kali ini Nona Garuda Terbang bertemu dengan batu!

Begitu tubuhnya melayang, pendeta Lama itu yang kembali sudah tunduk dan meramkan mata dengan sikap memandang rendah sekali, telah menggerakkan tongkat keatas dan tepat sekali tongkatnya itu, melakukan totokan ke arah iga dari tubuh Li Hwa yang masih melayang itu. Terdengar teriakan kaget disusul oleh ketawa terkekeh-kekeh.

Li Hwa yang melihat datangnya sodokan tongkat ini, terkejut sekali sampai menjerit. Cepat ia melakukan gerakan berjungkir balik di udara, tangan kirinya menyambar ujung tongkat dan terpaksa ia melompat kembali ke tempat tadi, tidak berhasil melewati tongkat itu dan ditertawakan oleh Thai Gu Cinjin yang masih meramkan matanya! Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Li Hwa. Ia telah dihina orang yang menggagalkan lompatannya dengan mudah sambil meramkan mata! Benar-benar ia dianggap seorang anak kecil yang bodoh!

"Heh-heh-heh-heh! Masih untung ginkangmu lumayan. Kau boleh coba lagi, dengan pedang di tangan pun boleh kalau masih berani." Kata-kata Thai Gu Cinjin yang kini membuka matanya dan memandang kepadanya dengan penuh ejekan membuat darah Li Hwa bergolak. Secepat kilat tangannya bergerak meraba gagang pedang dan sinar hijau berkeredepan menyilaukan mata ketika pedang itu di lain saat telah terhunus.

"Pokiam (Pedang Pusaka) bagus! Asal saja kau bisa mempergunakannya!" Kembali kata-kata dari Thai Gu Cinjin ini merupakan ejekan yang memandang rendah.

"Pendeta sombong, jagalah aku lewat!" teriak Li Hwa dan dengan gerakan cepat sekali ia melompat maju lagi dengan pedang diputar-putar di depannya. Ia akan membabat putus tongkat panjang itu apabila pendeta itu menghalanginya lagi dengan tongkatnya.

Betul saja, Thai Gu Cinjin dengan gerakan sembarangan saja menyodok dengan tongkat menghalangi majunya Li Hwa. Gadis ini mengayun pedang, mengerahkan tenaga dan membacok tongkat dengan Cheng-liong-kiam. Terdengar suara keras,, bunga api berpijar dan Li Hwa terkejut bukan main. Bukan saja tongkat itu tidak putus oleh sabetan pedang, bahkan pertemuan antara dua senjata sehingga mengeluarkan bunga api ini membuat telapak tangannya perih dan tergetar.

Dan di lain saat ujung tongkat itu telah menyerampang kedua kakinya! Ini terang hanya gerakan untuk mempermainkan dan menggertaknya saja. Sambil menggigit bibir saking cemas, terpaksa Li Hwa melompat ke atas menyelamatkan kedua kaki dari sabetan tongkat. Akan tetapi tongkat itu menyusulnya cepat dan melakukan sodokan dari bawah mengarah perutnya!

Ini keterlaluan sekali! Main-main yang sudah bukan merupakan main-main lagi melainkan penghinaan yang tidak pantas. Li Hwa tidak mau menangkis dengan pedangnya, melainkan kedua kaki yang tadinya ditarik ke atas, tiba-tiba ia lonjorkan dan dengan tepat ia menyambut ujung tongkat itu dengan tumit kakinya, kemudian dengan. meminjam tenaga sodokan tongkat itu tubuhnya mumbul setinggi tiga atau empat tombak ke atas! Dengan cara ini ia hendak sekaligus melewati pendeta itu dan menang!

"Lihai sekali!" teriak Thai Gu Cinjin melihat kehebatan ginkang dari nona itu dan Sin Hong juga diam-diam girang dan memuji kecerdikan Li Hwa yan g dapat mempergunakan hinaan lawan untuk mencapai kemenangan.

Akan tetapi baik Li Hwa maupun Sin Hong menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba tongkat panjang itu "terbang" dari tangan kakek itu, meluncur ke atas seperti anak panah terlepas dari busurnya! Serangan ini berbahaya sekali dan hanya seorang dengan ginkang tinggi seperti Li Hwa yang dapat menyelamatkan diri.

Melihat luncuran tongkat ke depannya itu, Li Hwa maklum bahwa kalau ia melanjutkan lompatannya, ia akan termakan oleh tongkat itu. Untuk mengelak tak mungkin lagi, maka cepat ia memegang pedangnya dengan kedua tangan, diayun ke bawah memapaki datangnya tongkat dengan seluruh tenaganya. Terdengar suara keras dan kembali bunga api berpijar. Tongkat kena dihajar pedang terlempar ke bawah, akan tetapi juga tubuh Li Hwa terpental ke belakang kembali sehingga ketika gadis ini melompat turun, ia. masih belum melewati kakek yang telah memegang tongkatnya lagi!

"Li Hwa, kau mundurlah. Biar aku mencoba-coba," kata Sin Hong, maklum bahwa ia menghadapi seorang sakti yang tak boleh dipandang ringan sama sekali. Ia menjura kepada pendeta Lama itu sambil berkata. "Maaf, Locianpwe. Aku yang muda mohon lewat!"

Setelah berkata demikian dengah langkah tenang dan biasa saja Sin Hong berjalan maju. Thai Gu Cinjih biarpun masih memandang rendah kepada laki-laki muda ini namun karena ia dapat menduga bahwa lawan kedua ini tentu lebih lihai daripada wanita tadi, memegang tongkatnya dengan kedua tangan, disodorkan merupakan palang yang mencegah Sin Hong lewat. Kedua tangannya memegang ujung tongkat kuat-kuat dan matanya memandang orang yang datang penuh perhatian dan bersiap-siap.

Dengan sekilas pandang, Sin Hong mengukur kedudukan kakek itu dengan penuh perhitungan, kemudian ia berkata. "Maaf, Locianpwe. Tongkatmu menghalangi jalan!" Ia membungkuk dan menangkap tongkat itu dengan kedua tangan mengerahkan tenaganya untuk menekan tongkat itu ke bawah.

Thai Gu Cinjin kaget sekali. Ia melakukan penjagaan dengan tongkat untuk mencegah orang lewat dan untuk menggebuk atau mendorong orang yang hendak melompati tongkatnya. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang muda ini menangkap tongkatnya dan menekannya ke bawah. Tentu saja untuk mengadu tenaga, ia kalah kedudukan. Orang muda itu memegang ujung sana tongkatnya dan menekan ke bawah. Kalau ia harus mempertahankan dan mengangkat tongkat itu dari ujung sini, berarti tenaganya menjadi satu lawan sepuluh!

Akan tetapi Thai Gu Cinjin memang berwatak sombong. Ia terlalu percaya akan kepandaiannya sendiri yang dianggapn ya tidak ada bandingnya. Di samping kesombongan ini, juga ia berpikir andaikata ia kalah tenaga, toh masih belum berarti bahwa pemuda itu dapat lewat. Begitu tongkatnya dilepaskan oleh lawannya dan lawan itu hendak melompat lewat, ia masih dapat menggebuk dari belakang! Karena pikiran inilah maka Thai Gu Cinjin lalu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mempertahankan tekanan Sin Hong.

Akan tetapi kakek inii sama sekali tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan Wan Sin Hong pendekar muda, yang berilmu tinggi sehingga tujuh delapan tahun yang lalu sampai memenangkan pemilihan bengcu di Ngo-heng-san! Biarpun ia mengerahkan seluruh tenaganya, dengan amat mudah karena memang menang kedudukan sehingga dengan sepersepuluh tenaganya saja Sin Hong dapat menangkan tenaga lawan ujung tongkat itu tentu ditekan, oleh Sin Hong sampai masuk ke dalam tanah! Sin Hong terus menekan dan ujung tongkat itu amblas dan melesat terus makin lama makin dalam.

Thai Gu Cinjin terkejut. I a tak menyangka! Memang, kekalahan adu tenaga ini tidak ia herankan oleh karena memang kedudukannya yang kalah, akan tetapi ia tidak pernah memperhitungkan bahwa pemuda itu bukan hanya menekan sekedar untuk melompati tongkat, melainkan bermaksud menekan terus sampai tongkat itu melesak ke dalam tanah sehingga mudah baginya mengendurkan tenaganya melawan. Biarpun tongkat amblas ke dalam tanah, pikirnya asal saja masih kukerahkan tenagaku, begitu dilepaskan olehnya akan dapat tercabut kembali untuk mengemplang kepalanya dari belakang!

Di samping ilmu silatnya yang tinggi, Sin Hong juga memiliki otak yang sehat dan cerdik, maka ia sudah dapat menduga apa yang tersembunyi di balik pengerahan tenaga sia-sia dari kakek itu. Ia menekan terus, kemudian pada saat yang baik ia melepaskan tongkat sambil berseru.

"Aku lewat!"

Tongkat yan g tadinya terpendam dalam tanah itu tiba-tiba tercabut membawa gumpalan- gumpalan tanah. Sedianya tongkat itu dari bawah akan langsung menghantam tubuh Sin Hong yang melewatinya. Akan tetapi dengan gerakan tenang-tenang saja Sin Hong menunda langkahnya, hanya untuk beberapa detik saja karena begitu tongkat itu tercabut dan melayang kuat ke atas, ia menerobos dari bawah tongkat! Ketika Thai Gu Cinjin sadar bahwa ia kena tipu, orang muda itu sudah lolos dan sudah berdiri jauh melewatinya, tak dapat dihalanginya atau dicegah oleh tongkatnya lagi.

Wajah Thai Gu Cinjin menjadi merah sekali. Keringat berkumpul di dahinya yang kelimis. Ia memandang kepada Sin Hong dengan mata bersinar-sinar mengeluarkan hawa panas. "Jahanam, kau telah menipuku! Kau lewat bukan mengandalkan kepandaian, melainkan mengandalkan tipu muslihat licik!" bentaknya marah.

Sin Hong tersenyum dan menjura dari tempat ia berdiri. "Locianpwe, seorang tua seperti Lo-cianpwe ini apa mungkin menelan kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"

"Setan! Aku tadi berjanji kalau kalian dapat lewat baru aku mau bicara. Siapa menarik kembali omongan? Dengar baik-baik, aku berjanji lagi bahwa kalau kau sekarang dapat menghalangi aku lewat, aku takkan banyak omong lagi dan kau boleh membawa pergi bocah setan Tiang Bu"

Sin Hong mengerutkan alisnya. Ia maklum bahwa ia menghadapi seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi berbatin rendah. Dengan orang macam ini tak mungkin dicapai penyelesaian secara damai. Kalau ia tidak memperlihatkan kepandaiannya, kakek itu pasti akan berlagak terus. Maka ia segera siap menghadapi tantangan itu.

Memang kata-kata tadi sama dengan tantangan, karena ia dapat menduga bahwa kakek itu pasti akan berusaha keras untuk dapat melewatinya, biarpun untuk usaha itu ia harus membunuh lawannya. Ini bukan merupakan peerjanjian atau pertaruhan biasa saja, melainkan menyangkut kehormatan maka tentu akan dipertahankan mati-matian. Namun, Sin Hong masih memancing untuk mengetahui pasti isi hati lawan.

“Baiklah, Locianpwe. Memang aku dapat menduga bahwa akhirnya Locianpwe tentu akan mengembalikan bocah itu kepada kami. Harap Locianpwe jelaskan apakah Locianpwe hendak lewat dengan tangan kosong, ataukah dengan bantuan senjata?"

Thai Gu Cinjin menjadi mendongkol dan merasa disindir. Tapi orang muda ini memang telah berhasil "lewat" biarpun dengan cara menipu, dengan mengandalkan tangan kosong belaka. Akan tetapi ia tidak mau berlaku bodoh s eperti tadi tidak mau gagal oleh karena memandang rendah lawan. Orang rnuda yang sikapnya tenang, matanya terang, bicaranya ramah seperti ini lebih baik jangan dipandang rendah.

"Aku sudah tua dan lemah, kemana-mana harus dibantu tongkatku ini."

Thai Gu Cinjin mengira bahwa orang muda itu tentu menjadi gentar dan mengajukan alasan supaya ia lewat dengan tangan kosong. Kalau sampai terjadi demiklan, ia akan mendapatkan kembali mukanya dan dapat membalas orang muda itu dengan ejekan bahwa pemuda itu takut. Akan tetapi ia kecele. Sin Hong menarik napas panjang, tahu bahwa kakek ini menghendaki pertandingan silat dengan senjata.

Hal ini sama sekali tidak menggelisahkan hatinya, bahkan ia merasa lega. Kalau kakek ini menggunakan tongkat yang berarti bersenjata, ia pun tidak malu-malu mempergunakan pedangnya. Dan karena tongkat itu pun senjata ampuh seperti tadi telah terbukti ketika beradu dengan Cheng liong kiam maka ia tidak malu mempergunakan Pak kek Sin kiam dan takkan disebut mencapai kemenangan karena mengandalkan senjata pusaka.

"Baiklah, Locianpwe. Aku siap sedia. Kau cobalah untuk lewat!" katanya sambil mencabut pedangnya yang mengeluarkan cahaya lebih cemerlang daripada cahaya hijau dari Cheng liong kiam tadi. Melihat ini Thai Gu Cinjin tertegun dan kagum sekali.

"Banyak pedang bagus!" katanya. "Kalau aku tak dapat lewat, kalian boleh bawa pergi Tiang Bu. Akan tetapi kalau sebaliknya, kalian harus meninggalkan pedang-pedang itu!"

Ternyata kakek ini tldak mengenal pedang Pak kek Sin kiam yang akan dikenal oleh ratusan tokoh-tokoh kangouw lainnya. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Thai Gu Cinjin baru sekarang turun gunung meninggalkan Tibet. Tidak seperti banyak orang sakti yang selalu mengunjungi Tibet, di waktu dahulu pemilik pedang ini, Pak kek Siansu belum pernah ke Tibet. Oleh karena inilah maka tokoh-tokoh besar Tibet ini tidak mengenal Pak kek Sin kiam, baik nama maupun rupa.

"Kalau Locianpwe yang menang apa yang hendak kau lakukan, baik yang patut maupun yang tidak kami akan dapat berbuat apakah?" kata Sih Hong yang sudah berdiri dengan pedang melintang di tangan kanan.

Pemuda ini tenang sekali. Dengan pedang di tangan memang Sin Hong boleh merasa tenang. Dalam hal ilmu pedang kiranya Pak-kek Kiamsut sukar dlcari bandingann ya, apalagi kalau ilmu pedang ini dimainkan oleh Sin Hong yang mempelajari dengan sempurna, ditambah dengan Pak-kek Sinkiam di tangannya pula! Andaikata ia menghadapi kakek itu dalam pertempuran tangan kosong, belum tentu ia akan setenang dan sepasti itu untuk mencapal kemenangan.

Thai Gu Cinjin tentu saja merasai sindiran Sin Hong ini. Dengan marah ia mengayun tongkatnya tinggi-tinggi di atas kepala, memutar-mutarnya sehingga mengeluarkan angin dan bersuara mengaung seperti kitiran angin.

"Awas aku lewat. Minggir...!" bentaknya menerjang maju.

Melihat ini, diam-diam Li Hwa meleletkan lidahnya yang merah. Kakek itu benar-benar berbahaya sekali, pikirnya. Dari gerakan tongkat dan angin yang menyambar-nyambar saja gadis ini pun tahu bahwa kakek itu berkepandaian tinggi dan bertenaga besar. Ia takkan merasa aneh kalau saja mendengar bahwa kakek ini merampas Tiang Bu dari tangan Pak kek Samkui, karena dapat diduga bahwa kepandaian kakek ini memang lebih tinggi daripada kepandaian Pak-kek Samkui.

Sin Hong menggerakkah pedangnya menangkis. Seperti juga tadi ketika tongkat bertemu dengan Cheng liong kiam, terdengar suara keras dan terlihat sinar api berpencaran. Thai Gu Cinjin merasa tangannya kesemutan. Kagetlah ia dan cepat-cepat ia menarik kembali tongkatnya untuk diperiksa apakah tidak rusak. Ia melihat tongkat itu tidak apa-apa, hanya warna lapisannya lecet-lecet.

Ia memandang kepada Sin Hong yang berdiri tenang-tenang saja. Bukan main heran hatinya. Akan tetapi keheranannya terganti kemarahan yang memuncak. Kehormatannya tersinggung. Masa ia harus kalah oleh seorang bocah seperti ini? Kini ia menggeram dan melangkah maju. Lenyap sama sekali keinginan hatinya hendak lewat saja terganti oleh nafsu merobohkan atau mengalahkan pemuda berpedang pusaka ini.

"Robohlah!" bentaknya dan kini tongkatnya dimainkan dengan gerakan silat yang kuat dan cepat juga amat aneh gerak-geriknya. Muka Thai Gu Cinjin yang berwarna ungu itu kini berubah merah gelap.

Sin Hong mengelak cepat dan membalas dengan serangan pedangnya. Ia harus bertaku awas karena menghadapi gerakan ilmu tongkat yang amat aneh. Namun, Pak kek Kiamsut memang bukan ilmu pedang sembarangan dan di dalam ilmu pedang ini terdapat segala macam gerakan untuk menghadapi macam-macam lawan.

Sebentar saja pedangnya lenyap berubah menjadi gundukan sinar yang menyilaukan mata, yang membendung hujan pukulan tongkat dan membalas dengan kecepatan halilintar menyambar-nyambar membuat Thai Gu Cinjin terkejut bukan main. Baru sekarang Thai Gu Cinjin mendapat kenyataan dan terbuka matanya bahwa yang dapat mengalahkannya di dunia ini bukan hanya kakek-kakek sakti di Omeisan dan Angjiu Moli iblis wanita dari utara itu. Ilmu pedang orang muda ini hebat sekali, bahkan kalau ia bandingkan dengan ilmu pedang dari Angjiu Moli yang pernah ia lihat kiranya tidak kalah lihai.

Sementara itu, Siok Li Hwa mendekati Tiang Bu yang melihat pertempuran itu dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. Hampir ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri menyaksikan pertempuran yang hebat bukan main itu, Thai Gu Cinjin kelihatan seperti raksasa mengamuk. Tongkatnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang panjang seperti seekor naga hitam, nampaknya dahsyat dan mengerikan.

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Di lain fihak lawannya telah lenyap, hanya bayangannya saja kadang-kadang nampak di antara gulungan sinar pedang yang berkelebatan cepat. Pemandangan itu mirip dengan hari hujan di mana sinar tongkat itu merupakan mendung hitam sedangkan sinar pedang merupakan sinar kilat yang menyambar-nyambar dan diantara mendung dan kilat itu bertempur seorang raksasa ganas melawan seorang dewa yang tampan!

Yang amat mengherankan hati Tiang Bu, bagaimana orang muda itu dapat melawan Thai Gu Cinjin? Selama ini, orang yang dianggapn ya paling lihai hanyalah Thai Gu Cinjin yang dengan mudah merampasnya dari tangan Pak-kek Samkui yang begitu jahat dan menakutkan. Akan tetapi sekarang pertempuran itu berjalan demikian seru dan siapakah di antara mereka yang lebih unggul.

"Tiang Bu, apakah kau tidak mengenal orang yang hendak menolongmu supaya kau bisa pulang? Tidak kenalkah kau akan orang yang sekarang bertempur melawan pendeta Lama itu?"

Pertanyaan dari Li Hwa yang tiba-tiba sudah berada di dekatnya ini mengejutkan hati Tiang Bu. Ia menggeleng kepalanya, akan tetapi matanya terus mengincar ke arah dua orang yang tengah bertempur.

"Apakah Ayah Bundamu dahulu belum pernah menyebut nama Wan Sin Hong di depanmu?" tanya pula Li Hwa terheran-heran.

Mendengar disebutnya nama ini, tiba-tiba Tiang Bu teringat. Pernah sambil lalu ketika Tiang Bu minta ayah ibunya mengajar ilmu silat, ibunya berkata. "Kelak saja kau boleh belajar ilmu silat kepada pendekar besar yang menjadi pemimpin semua ahli persilatan, yaitu Wan bengcu."

Ketika ia mendesak dan bertanya siapa adanya Wan bengcu itu, ibunya menjawab, "Dia adalah sahabat baik ayah bundamu bahkan dia masih terhitung Susiokku (Paman Guruku). Namanya Wan Sin Hong dan kiranya di dunia ini tidak ada orang yang dapat menandingi ilmu silatnya."

Demikianlah yang ia ingat tentang nama Wan Sin Hong. Jadi orang yang lihai inilah Wan Sin Hong yang oleh ayah bundanya hendak dijadikan gurunya? Tiang Bu memandang makin tertarik akan tetapi sayang matanya belum begitu awas untuk dapat mengikuti jalannya pertempuran yang cepat itu.

Melihat ini, Li Hwa menoleh ke arah pertempuran lalu berkata dengan suara pasti, "Dia pasti akan menang. Pernahkah Ayah Ibumu menyebut nama Wan Sin Hong?"

Kini Tiang Bu mengangguk dan matanya bersinar gembira. Li Hwa juga merasa senang karena sekarang anak itu agaknya percaya kepadanya dan tidak curiga seperti tadi. "Siapakah Kakek Gundul sombong itu? Apa betul dia gurumu?"

"Dia bernama Thai Gu Cinjin, pendeta Lama dari Tibet," jawab Tiang Bu tanpa mengalihkan pan dangan matanya dari medan pertempuran. "Teecu dipaksa menjadi muridnya setelah dia merampas teecu dari tangan Pak-kek Samkui. Aduuhh... kenapa itu...??"

Tiba-tiba Tiang Bu menuding ke arah pertempuran yang mengalami perubahan. Kini ia melihat Sin Hong, nampaknya orang muda itu kelelahan atau entah mengapa. Akan tetapi jelas gerakan Sin Hong tidak seperti tadi, pedangnya mulai tidak karuan dan tiba-tiba Thai Gu Cinjin yang kini sudah mengeluarkan sebuah saputangan merah membentak,

"Orang muda, lepaskan pedangmu dan berlututlah!"

Aneh sekali! Sin Hong terhuyung-huyung berusaha menetapkan langkahnya namun tak berhasil akhirnya ia benar-benar jatuh berlutut, hanya Pak-kek Sinkiam masih di tangannya. Apakah yang terjadi?

Setelah bertempur selama lima puluh jurus, Thai Gu Cinjin yang sombong itu harus mengakui keunggulan Wan Sin Hong. Sudah dua kali dalam lima puluh jurus itu Sin Hong membuktikan keunggulannya. Dengan ilmu pedangnya yang luar biasa itu, ia telah berhasil membabat putus ujung lengan baju dan ujung jubah lawannya. Oleh karena maklum pemuda yang dihadapinya memiliki ilmu pedang yang tinggi sekali dan kalau dilanjutkan tentu ia akan kalah, Thai Gu Cinjin lalu mempergunakan ilmu sihirnya.

Kaum Lama di Tibet pada umumnya memuja roh suci, terutama sekali roh suci dari Buddha yang mereka percaya selalu jutsi (menjelma) menjadi seseorang yang mereka pilih menjadi Dalai Lama. Kalau kaum Lama ini memuja roh suci yang mereka harapkan dapat memimpin mereka ke arah jalan kebenaran, adalah kaum Lama jubah merah ini memuja atau mengadakan hubungan dengan roh-roh jahat atau roh-roh penasaran, bukan untuk memuja guna kebaikan jalan hidup, melainkan dipuja untuk dipergunakan bantuannya dalam menjalankan ilmu-ilmu hitam.

Tingkat ilmu silat Wan Sin Hong memang sudah amat tinggi dan kiranya tidak banyak orang-oran g sakti di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya dalam ilmu silat. Akan tetapi dia masih muda dan pengalamannya tentu saja masih belum cukup banyak. Belum pernah ia berhadapan dengan lawan yang mempergunakan ilmu sihir untuk menyerangnya. Kalau lawannya mempergunakan pukulan atau serangan dengan senjata-senjata berbisa, kiranya mengandalkan kepandaiannya yang tinggi ia akan dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi kali ini Thai Gu Cinjin mempergunakan ilmu sihir atau hoat-lek (ilmu gaib) dengan mempengaruhi dan menguasai semangat Sin Hong melalui pandangan mata, gerak tangan penuh rahasia, dan suara perintah yang menyeramkan.

"Orang muda, lepaskan pedangmu dan berlututlah!" bentaknya.

Dan Sin Hong terhuyung-huyung, berusaha menetapkan langkahnya namun tak berhasil dan akhirnya menyerah terhadap kekuasaan aneh yang memaksa dan menguasainya. Ia jatuh berlutut, hanya Pak-kek Sinkiam masih di tangannya, tergenggam erat-erat. Ini tepat dengan wataknya, agaknya pedang pusaka di tangan takkan dilepaskannya! Semboyan "mati hidup dengan pedang di tangan" menjadi pedoman setiap orang gagah.

Thai Gu Cinjin tertawa bergelak melihat lawannya yang muda dan lihai itu sudah takluk di bawah pengaruh sihirnya. "Orang muda sombong, baru kau tahu kelihaian Thai Gu Cinjin. Kaukira aku tidak bisa melewatimu? Minggirlah!" Sambil berkata demikian tongkatnya yang panjang itu meluncur cepat ke arah ulu hati Sin Hong.

Biarpun kedua kakinya seperti lumpuh dan tak berdaya, menghadapi serangan maut ini, otomatis tenaga dan hawa sinkang di dalam tubuh Sin Hong bekerja dan seakan-akan tanpa ia gerakkan lagi tubuhnya sudah miring membuat gerakan mengelak! Akan tetapi serangan Thai Gu Cinjin bukan seperti serangan tukang silat sembarangan saja. Kepandaian kakek ini sudah tinggi dan melihat tubuh itu mengelak, ia pun mengejar dengan tongkatnya.

"Brukkk...!" Dada sebelah kanan dari pemuda itu terdorong ujung tongkat. Tubuh itu mencelat sampai empat tombak lebih, terbanting bergulingan lalu rebah tertelungkup di atas tanah tak berkutik.

"Sin Hong...!" Li Hwa lupa akan segalanya. Gadis ini melompat dan mengejar Sin Hong, lalu menubruk dan memelukinya. Dipangkunya kepala Sin Hong, didekap ke dadanya dan ia memperhatikan muka kekasihnya itu. Darah segar mengalir keluar dari mulut Sin Hong, membuat bibirnya menjadi merah berlepotan darah. Mukanya pucat sekali dan matanya terpejam.

"Sin Hong...! Bangunlah...! Sin Hong, jangan kau mati... jangan tinggalkan aku, Sin Hong...!"

Saking kaget dan khawatirnya kalau-kalau pemuda yang menjadi pujaannya itu mati, Li Hwa lupa akan kegagahannya dan menangis seperti anak kecil. Ia tadi menyaksikan sendiri , betapa hebatnya dorongan tongkat dari Thai Gu Cinjin dan sebagai seorang ahli silat tinggi ia dapat mengerti bahwa pukulan semacam itu agaknya tidak mungkin dapat ditahan orang, apalagi kalau yang terkena itu bagian dada.

"Sin Hong, jangan tinggalkan aku... bawalah aku serta..." Ia menangis dan lupa akan segala, ia mencium muka yang disangkanya sudah akan ditinggalkan nyawa itu. Ia tidak peduli betapa darah segar yang mengalir keluar dari mulut Sin Hong itu mengenai pipinya, hidungnya, bahkan bibirnya terkena darah dan terasa darah pada mulutnya!

"Suhu, kau... kau kejam sekali! Kau... kau jahat!"

Teriakan ini dikeluarkan oleh Tiang Bu yang merasa amat terharu melihat sikap Li Hwa. Saking marahnya ia lupa diri dan melompat maju ke depan Thai Gu Cinjin, terus menyerang kakek itu dengan ilmu silat yang ia pelajari dari kitab, yaitu Pat hong hongi!

“Plak buk plak buk...!"

Thai Gu Cin mengeluarkan seruan kaget ketika ia melompat ke belakang. Serangan bocah tadi sungguh aneh luar biasa sehingga biarpun Thai Gu Cinjin yang lihai sudah mengelak cepat, tetap saja kaki tangan bocah itu memberi hadiah dua kali tendangan dan dua kali pukulan yang datangnya susul menyusul. Baiknya bocah itu tenaganya tidak seberapa, kalau yang melakukan pukulan tadi orang yang sudah dewasa dan memiliki tenaga lweekang, tentu ia sudah roboh!

"Murid pengkhianat, kau mau membela musuh?" bentak Thai Gu Cinjin untuk menutupi malunya dan tongkat panjangnya menyambar ke arah kepala Tiang Bu dengan hebatnya.

Akan tetapi, pukulan itu mengenai tempat kosong. Bagaikan seekor monyet yang lincah Tiang Bu berhasil mengelakkan diri. Thai Gu Cinjin menjadi makin penasaran. Tongkatnya menyambar lagi, sekali, dua kali, tiga kali. Tetap saja mengenai angin belaka. Tiang Bu dengan langkah-langkah aneh selalu dapat rnengelak. Ternyata bahwa bocah ini telah mempergunakan Ilmu Kelit Sam hoan Sam-bu yan g ia pelajari dari mendiang Bu Hok Lokai dan ternyata hasilnya luar biasa. Ahli silat biasa jarang ada yang dapat menyelamatkan diri dari pukulan tongkat satu kali saja dari Thai Gu Cinjin, apalagi sampai empat kali!

Thai Gu Cinjin menggereng marah, tangan kirinya ikut bergerak mengeluarkan pukulan khikang. Benar saja, terkena hawa pukulan ini, tubuh Tiang Bu terhuyung-huyung seperti didorong dan ia tidak dapat lagi mainkan Samhoan Sambu dengan baik. Tongkat panjang sudah bersiutan di atas kepalanya yang agaknya sebentar lagi akan remuk seperti kepala tikus dihantam dengan batu besar.

"Cringgg...!" Bunga api berpijar, ketika tongkat itu tertangkis dan terpental. Thai Gu Cinjin makin marah ketika melihat bahwa yang menangkis tongkatnya itu adalah pedang di tangan Wan Sin Hong yang memegang pedangnya dengan tangan kiri.

"Thai Gu Cinjin, kau tidak patut disebut orang gagah. Keji sekali hendak membunuh seorang bocah kecil!" kata Sin Hong dengan suara halus dan tenang, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar bercahaya.

Bagaimanakah Sin Hong sudah dapat bangun kembali? Pertanyaan ini memenuhi pula kepala Thai Gu Cinjin. Sin Hong telah memiliki sinkang yang amat luar biasa di dalam tubuhnya. Pukulan tadi biarpun mendatangkan luka hebat dalam dada sebelah kanan, akan tetapi tidak sampai mencabut nyawanya. Pula, kejernihan pikiran dan hati berkat latihan bertahun-tahun dalam ilmu Imkang dan Yangkang membuat la sebentar saja pingsan. Ia sadar dan siuman dalam dekapan Li Hwa yang menjadi girang bukan main melihat Sin Hong dapat bergerak lagi dan membuka matanya.

"Lepaskan, Li Hwa. Aku tidak apa-apa..." kata Sin Hong, bukan main terharunya melihat budi kecintaan yang demikian besarnya dari gadis ini terhadap dirinya. Tidak saja ia merasa terharu, akan tetapi juga mulailah bersemi cinta kasih di dalam hatinya yang tadinya sudah membeku. Melihat wajah Li Hwa yang berlinang air mata akan tetapi sekarang bibirnya tersenyum penuh harapan, melihat betapa pipi dan bibir gadis itu terkena darah merah yang mengalir dari mulutnya sendiri, tak tertahan lagi Sin Hong mengeluarkan keluhan lirih.

"Li Hwa... Li Hwa..." dan dua titik air mata keluar tertahan bulu matanya.

Aneh sekali! Pada saat itu hilanglah kekuasaan aneh yang tadi membuatnya lumpuh! Memang dada kanannya terasa sakit sekali, akan tetapi adalah akibat dari pukulan tongkat, dan merupakan luka dalam yan g sewajarnya. Tidak seperti lumpuhnya kedua kaki yang tidak wajar. la tidak tahu bahwa cinta kasih yang murni dapat mengusir hawa busuk dari ilmu hitam yang tadi menguasai dirinya. Dengan cinta kasih murni yang mulai bersemi di dalam dadanya, ilmu hitam Thai Gu Cinjin menjadi buyar!

Pada saat itu ia mengerling dan melihat Tiang Bu menyerang Thai Gu Cinjin. juga Li Hwa menoleh dan kedua orang ini terheran-heran melihat betapa pukulan-pukulan Tiang Bu bisa mengenai tubuh kakek itu, kemudian betapa pukulan-pukulan dan serangan tongkat itu tidak bisa mengenai tubuh Tiang Bu.

Sin Hong cepat mengeluarkan tiga butir pel merah, putih dan kuning dari sakunya dan menelan tiga pel itu. Ini adalah obat mujarab sekali untuk menahan rasa sakit di dalam dada kanannya. Sebentar saja dada kanannya terasa panas dan kebal seperti mati tidak begitu terasa lagi sakitnya. Akan tetapi pundak dan lengan kanannya tak dapat digerakkan. Ia memegang pedang Pak kek Sinkiam dengan tangan kiri lalu melompat dan tepat sekali dapat menangkis tongkat Thai Gu Cinjin yang hampir saja meremukkan kepala bocah itu.

"Kau masih belum mampus?" bentak Thai Gu Cinjin kagum dan heran. Alangkah kuatnya orang muda ini, pikirnya. Akan tetapi melihat pemuda itu memegang pedang dengan tangan kiri dan pundak serta lengan kanannya kelihatan tergantung mati, hati Thai Gu Cinjin menjadi besar. Ia tidak khawatir terhadap Li Hwa dan setelah pemuda kosen ini tak dapat lagi menggerakkan pundak dan lengan kanan, ia takut apakah? Maka mendengar teguran Sin Hong yang menyebutnya tidak patut disebut orang gagah dan berwatak keji, ia tertawa bergelak sambil menggoyang-goyangkan tongkatnya dengan lagak sombong.

"Tikus cilik, kau sudah hampir mampus masih berani membuka mulut besar? Bocah itu aku yang bawa, dia muridku dan aku hendak membunuh dia atau tidak ada sangkut paut apakah dengan kau?"

Li Hwa dengan suara marah sekali berkata, "Kau pendeta busuk! Biar soal itu kami tidak mencampuri dan kami anggap kau berhak membunuhnya, akan tetapi bagaimana kau secara tak tahu malu dan tebal muka tadi telah mengalahkan orang dengan bantuan ilmu iblis? Apa itu perbuatan orang gagah?"

Muka Thai Gu Cinjin yang biasanya berwarna un gu itu berubah menjadi kehijauan. Ini adalah tanda bahwa ia merasa malu dan juga marah. I a menudingkan tongkatnya yang panjang sambil membentak.

"Bocah ini roboh karena dia bodoh dan memang kalah olehku! Kalian ini dua tikus kecil yang sudah kalah tak usah banyak cakap lagi. Tinggalkan dua batang pedang kalian dan minggat dari sini!" Sambil berkata demikian ia menggerakkan tongkatnya mengancam hendak menghancurkan kepalanya dua orang muda itu.

"Wan-sioksiok (Paman Wan), kau sudah terluka. Biarlah aku saja mengadu nyawa dengan Kakek jahat ini!" Tiba-tiba Tiang Bu berseru dan melompat hendak menyerang Thai Gu Cinjin lagi.

"Tiang Bu, mundur kau!" kata Sin Hong dengan suara keren, akan tetapi pandang matanya kepada bocah itu penuh kekaguman dan senang. Kemudian ia menghadapi Thai Gu Cinjin, pedang di tangan kirinya melintang di depan dada.

"Thai Gu Cinjin, ketahuilah bahwa aku Wan Sin Hong bukan seorang yang takut menghadapi kematian. Kita bukan anak kecil, juga kita adalah orang-orang kawakan di dunia kangouw yang tahu akan peraturan-peraturan kangouw. Memang tadi aku telah kalah olehmu karenakau mempergunakan hoatsut dan aku kurang waspada sehingga kena tertipu olehmu, maka luka di dadaku sudah sewajarnya, hukuman bagi kelalaianku. Akan tetapi aku belum menerima kalah. Tanganku masih sebelah lagi dan pedangku belum pernah terlepas dari tangan. Mari kita bertempur secara jantan, mengandalkan kepandaian silat. Kalau aku kalah olehmu, tidak hanya pedang kuberikan, juga kepalaku!"

Sejak tadi mendengar pemuda itu memperkenalkan nama sikap Thai Gu Cinjin sudah berubah. Ia memandang penuh perhatian lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi kau inikah bengcu baru yang muda dan bijaksana menurut kata orang? Pantas kau lihai. Akan tetapi ketahuilah bahwa daerahku di Tibet tidak termasuk wilayahmu, maka bagiku kau bukan bengcu. Kau masih berani menantangku dengan sebelah tanganmu lumpuh? Benar-benar aku harus memuji ketabahanmu. Orang she Wan, setelah sekarang aku mengerti bahwa kau adalah Wanbengcu, biarlah memandang muka orang-orang kangouw aku habiskan perkara sampai di sini saja. Kau dan Nona ini boleh pergi membawa pedang kalian!"

Biarpun amat mendongkol melihat orang sudah melukai kekasihnya sampai hampir saja tewas itu sekarang bicara tentang perdamaian, namun Li Hwa yang merasa amat gelisah melihat keadaan Sin Hong lalu menarik tangan pemuda itu sambil membujuk untuk pergi saja.

"Kau terluka, tak baik bertempur lagi," katanya.

Akan tetapi Sin Hong menggeleng-geleng kepalanya sambil memandang ke arah Tiang Bu. Tak mun gkin ia mau pergi meninggalkan Tiang Bu terancam bahaya maut hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri, Li Hwa juga seorang yang berjiwa gagah, pada saat lain kiranya ia pun akan berpendirian sama, yaitu tidak sudi menyelamatkan diri dan membiarkan orang lain dalam ancaman maut, Akan tetapi, pada saat itu seluruh perhatian Li Hwa tercurah kepada Sin Hong dan ia tidak dapat memikirkan lain kecuali keselamatan Sin Hong.

"Tenang, Li Hwa. Aku tahu baik apa yang kulakukan. Aku kuat menghadapinya. Jangan kau gelisah," kata Sin Hong, kemudian ia berkata kepada Thai Gu Cinjin. "Thai Gu Cinjin, sukur kau menghendaki dihabiskannya urusan ini. Akan tetapi Tiang Bu harus ikut aku. Aku memang diminta oleh dua orang tuanya untuk mencari dan membawa pulang anak ini. Harap dapat mempertimbangkannya..."