Tangan Gledek Jilid 03

Cersil karya kho ping hoo serial pendekar budiman episode tangan gledek jilid 03

Tangan Gledek Jilid 03

Hong Kin mandi keringat. Bukan. main lihainya Le Thong Hosiang tadi yang ternyata dapat melihatnya dan sengaja menggertaknya keluar dari tempat persembunyian. Karena tidak dapat bersembunyi pula, Hong Kin lalu keluar menghampiri Sin Hong, dan memberi hormat kepada Sin Hong dan para tosu itu.

Para tosu yang sedang menghadapi Sin Hong dan nampaknya ada urusan penting hanya mengangguk saja kepada Hong Kin, sedangkan Sin Hong berkata,

"Saudara Coa Hong Kin, duduklah dan tunggu sampai aku selesai bicara dengan para Locianpwe ini." Ia menuding ke arah sebuah batu hitam di dekat sepasang makam yang terawat baik dan mewah.

Hong Kin mengangguk lalu berjalan cepat dan duduk di atas batu setelah mengangguk hormat di depan sepasang makam yang ia tahu adalah makam Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu. Setelah itu ia duduk mendengarkan percakapan mereka.

"Wan-bengcu, pinto hendak bertanya dengan singkat saja. Tentang tuduhan kawan-kawan gundul tadi bahwa dahulu Wan Sin Hong adalah seorang penjahat besar, tak perlu dibicarakan lagi karena pinto dan kawan-kawan lain semua maklum bahwa dahulu kau difitnah oleh Liok Kong Ji yang melakukan kejahatan mempergunakan namamu. Akan tetapi, ada hal yang baru yang kami dengar tadi. Betul-betulkah kau adalah keturunan dari keluarga Raja Cin dan nama keturunanmu Wanyen? Betulkah kau keturunan bangsa Cin yang menjajah tanah air kita di utara ini?"

Wajah Sin Hong menjadi sebentar pucat sebentar merah. Ia menarik napas panjang berulang-ulang, lalu melambaikan tangan dan berkata. "Duduklah dulu, Totiang dan dengarkan penjelasanku." Kemudian sambil bersila di atas batu, Sin Hong berkata. "Cuwi Locianpwe dan para Locianpwe yang dulu hadir dalam pemilihan bengcu di Ngo-heng-san, semua tahu belaka bahwa sesungguhnya aku Wan Sin Hong tidak sekali-kali mengajukan diri dan berusaha mendapatkan kedudukan bengcu. Terus terang saja, adalah setengah terpaksa aku menerima tugas dan kedudukan bengcu, karena apa sih senangnya menjadi bengcu? Tanggung jawab besar, selalu menghadapi hal-hal tak menyenangkan untuk dipecahkan dan diselesaikan. Akan tetapi, sudahlah semua itu aku sudah menerimanya dan aku akan menjaga agar dapat menunaikan tugas dengan taruhan jiwa ragaku. Sekarang ini, Cuwi Locianpwe, setelah terkena tiupan dari orang-orang gagah di selatan yang berpikiran sempit, meributkan soal nama keturunan. Apakah isi hati manusia diukur dari keturunannya? Adakah manusia hendak disamakan dengan kuda yang selalu ditanya keturunan apa untuk ditentukan baik tidaknya? Sepanjang sejarah yang kuketahui, banyak keturunan orang biasa saja menjadi raja dan menjadi pembesar tinggi, juga tidak kurang banyak keturunan raja dan orang-orang besar akhirnya menjadi penjahat rendah!"

"Wan-bengcu, pinto rasa cukup semua pembelaan yang Wan-bengcu ajukan ini karena kami semua sudah mengerti akan hal itu. Yang menjadi persoalan apakah benar kau keturunan Wanyen?" tanya Tai Wi Siansu, kakek yang sudah amat tua itu sambil memandang tajam.

"Tai Wi Taisu, kau orang tua yang sudah jadi sahabat baik, dan penasehatku selama ini, yang kuanggap sebagai pengganti orang tua dan guru, kau juga...?"

"Justeru karena itulah pinto menghendaki kepastian, karena ini bukan hal yang remeh saja..."

Wan Sin Hong memandang kepada keempat orang tosu itu berganti-ganti, kemudian berkatalah ia dengan suara lantang, nadanya menantang. "Memang benar! Aku Wan Sin Hong adalah putera tunggal dari Wan Kan yang tadinya bernama Pangeran Wanyen Kan! Ayahku seorang pangeran besar dan Ibuku seorang anak murid Hoa-san-pai. Memang betul aku keturunan seorang pangeran bernama Wanyen. Habis, apa bedanya?"

Keempat orang tosu ini seperti mendapat komando, bangkit berdiri dari tempat duduk masing-masing, menjura ke arah Wan Sin Hong, lalu pergi setelah Tai Wi Taisu berkata lirih. "Wan-bengcu, urusan ini harus kami bicarakan di antara ketua partai. Sampai berjumpa kembali!"

Maka pergilah empat orang tosu ini turun dari puncak Jeng-inthia, meninggalkan Wan Sin Hong yang tersenyum getir dan hatinya tertusuk. la berdiri termenung memandang ke arah perginya empat orang tosu tadi dan baru tersadar ketika mendengar suara di belakangnya.

"Sungguh empat orang kakek yang hanya panjang usianya saja akan tetapi pikirannya sempit!" Wan Sin Hong menengok dan memandang kepada Coa Hong Kin.

"Orang seperti engkau yang pernah bekerja sama dengan Pangeran Wanyen Ci Lun, baru tahu bahwa bukan hanya suku bangsa Han yang mempunyai orang-orang budiman. Akan tetapi pandangan orang-orang tua itu tentang kebangsaan amat kolot dan kukuh. Bagi mereka, selain bangsa Han tulen tidak ada orang baik. Ah, Saudara Coa, aku benar-benar mulai menyesal mengapa dulu kuterima kedudukan bengcu. Sekarang tentu akan datang hal-hal yang amat tidak enak."

"Wan-bengcu, empat orang tosu tadi agaknya ketua-ketua dari partai-partai besar yang dahulu bekerja sama menghadapi orang-orang jahat seperti Liok Kong Ji, See-thian Tok-ong dan lain-lain. Akan tetapi empat orang hwesio itu siapakah? Dan mengapa tadi Bu Kek Siansu bertempur melawan hwesio itu?"

Sin Hong menghela napas. "Saudara Coa, karena kebetulan kau menyaksikan semua ini, baik kuceritakan padamu. Duduklah."

Coa Hong Kin lalu duduk di atas batu dan Sin Hong bercerita. Ternyata bahwa empat orang hwesio yang lihai-lihai itu adalah tokoh-tokoh besar dari selatan, yaitu Le Thong Hosiang ketua Partai Taiyun-pai di Pegunungan Taiyun-san yang letaknya di pantai utara, Nam Kong Hosiang dan sutenya Nam Siong Hosiang pemimpin-pemimpin kelenteng besar di Gunung Kao-likung-san, dan yang ke empat seorang yang amat terkenal di selatan yang bernama Heng-tuan-san Lojin (Orang Tua dari Heng-tuan-san), seorang hwesio perantau yang tinggi ilmu silatnya.

Ketika empat orang hwesio ini tiba di puncak Jeng-in-thia Wan Sin Hong sedang duduk bercakap-cakap dengan empat orang tosu yang memang betul seperti dikenal oleh Hong Kin adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, Pang Soan Tojin ketua Teng-san-pai, Tai Wi Siansu ketua Kun-lun-pai. dan yang seorang lagi adalah Cin-lien Tojin, seorang tosu perantau dari Gunung Cin-Lien-san.

Empat orang tosu ini mengunjungi Wan-bengcu dan tengah bercakap-cakap tentang ancaman orang-orang Mongol yang menurut Sin Hong mulai mengirimkan orang-orang pandai ke perbatasan untuk menjadi penyelidik dan juga agaknya ada maksud-maksud dari orang-orang Mongol itu untuk membujuk orang-orang gagah di wilayah Kerajaan Cin agar suka bekerja sama.

Sin Hong dan empat orang tosu itu sedang berdebat. Menurut pendapat Sin Hong, sudah sepatutnya kalau para orang gagah bangkit dan melawan orang-orang Mongol itu dan membasmi atau mengusir mereka, bukan sekali-kali demi Kerajaan Cin, melainkan demi keselamatan rakyat agar jangan sampai dijajah oleh orang-orang Mongol.

Akan tetapi empat orang tosu itu membantah, menyatakan bahwa bukan menjadi kewajiban mereka untuk membantu raja yang bukan bangsa sendiri. Mereka ini hendak lepas tangan dan menyatakan bahwa selama mereka tidak diganggu oleh orang-orang Mongol, mereka hendak mengambil sikap sebagai penonton saja apabila timbul perang antara Negara Cin dan Negara Mongol.

Selagi mereka berdebat, muncul empat orang hwesio dari selatan itu yang datang-datang memaki-maki dan mencela orang-orang kang-ouw di wilayah utara yang dikatakannya sudah lupa kebangsaan sehingga memilih bengcu seorang penjahat yang bernama Wan Sin Hong. Bukan hanya penjahat, bahkan seorang keturunan Wan-yen.

"Sungguh tidak disangka bahwa orang-orang gagah seperti Kun-lun dan Bu-tong sampai kena dibeli oleh Kaisar Cin sehingga mau saja mempunyai bengcu seorang anak pangeran. Hm, memalukan sekali," demikian Le Thong Hosiang mengakhiri caci makinya.

Kata-katanya membuat Bu Kek Siansu marah, maka tak dapat dicegah lagi kedua orang kakek ini lalu mengadu kepandaian sampai Sin Hong turun tangan mencegah pertumpahan darah lebih lanjut. Kelihaian Sin Hong ternyata dapat mengusir empat orang hwesio itu. Akan tetapi, kata-kata Le Thong Hosiang mengejutkan para tosu dan mereka mengajukan pertanyaan tentang keturunan Wanyen.

"Demikianlah, Saudara Coa. Tentu para ciangbunjin (ketua) partai besar akan sependapat dan tidak setuju mempunyai bengcu seorang Wanyen. Hal ini bagiku tidak ada artinya, biar aku tidak menjadi bengcu tidak akan kecewa atau menyesal. Akan tetapi, justeru pada saat orang-orang Mongol akan bergerak, muncul urusan ini dan sikap para ciang-bunjin yang tidak ambil peduli atas gerakan orang-orang Mongol itu benar-benar menggelisahkan hatiku. Ahh, aku membicarakan urusanku sendiri saja sampai melupakan urusanmu. Saudaraku yang baik, kau datang tentu membawa urusan penting. Ada apakah?"

Wajah Hong Kin menjadi muram. "Agak sukar aku membuka mulut setelah mendengar betapa kau tertimbun urusan sulit. Kedatanganku berarti menambah beban dan kepusinganmu, Wan-bengcu."

Melihat kemuraman wajah Hong Kin, hati Sin Hong berdebar. Betapapun juga, persangkaan bahwa Hui Lian tertimpa malapetaka membuat ia gelisah dan cemas. "Saudara Coa, jangan kau bilang begitu. Lekas katakan! kesulitan apakah yang mengganggumu?"

Dengan singkat Hong Kin lalu menceritakan tentang penculikan atas diri Tiang Bu yan g dilakukan oleh Hui-eng Niocu Siok Li Hwa. "Inilah yang menyusahkan hati kami, Wan-bengcu, karena Tiang Bu bagi Kami sama dengan putera sendiri. Tadinya kami mempunyai niat untuk menyerahkan anak itu kepadamu agar dapat menerima pelajaran ilmu silat dan pendidikan darimu. Dan bukan sekali-kali aku hendak memanaskan hatimu atau mengadu, Wan-bengcu, akan tetapi sesungguhnya Hui-eng N iocu telah meninggalkan kata-kata bahwa biarpun kau akan membela kami, dia takkan takut menghadapimu."

Sejak tadi Sin Hong sudah tersenyum dan mendengar kata-kata terakhir ini senyumnya melebar dan ia mengangguk-angguk. "Tak usah kau berkata begitu, aku pun telah mengerti, Saudara Coa. Aku tahu akan maksud Hui-eng Niocu. Memang aku sudah menduga bahwa ia tentu akan mencari gara-gara. Jangan kau khawatir, biarlah aku yang akan menyusul ke Go-bi-san dan memintakan anakmu itu. Akan tetapi tentang menjadikan aku sebagai gurunya... aku belum sanggup menerima murid, saudaraku yang baik. Entah kelak. Biarlah, hal itu kita bicarakan kelak saja. Sekarang yang terpenting, aku akan mengejarnya dan karena aku mempunyai sebuah urusan, harap kau suka mewakili aku pergi, dengan demikian semua urusan dapat beres."

"Tentu saja, katakanlah. Apa yang harus kulakukan?" tanya Hong Kin cepat-cepat.

"Sepulangmu dari sini, singgahlah di kota raja dan berikan sepucuk suratku kepada Pangeran Wanyen Ci Lun. Dapatkah kau lakukan hal ini untukku?"

Wajah Hong Kin berseri gembira. "Cocok dan kebetulan sekali! Tentu saja tugas ini akan kulakukan dengan segala senang hati, Wan-bengcu, karena memang aku pun hendak singgah di kota raja, hendak mengunjungi Pangeran Wanyen Ci Lun!"

"Bagus! Kalau begitu tunggulah sebentar kubuatkan suratnya dan kita berangkat menjalankan tugas masing-masing."

Dengan cepat Sin Hong masuk ke dalam gua, membuat surat untuk Pangeran Wanyen Ci Lun yang menjadi saudara misannya, memberikan itu kepada Coa Hong Kin dan tak lama kemudian dua orang muda ini turun dari puncak, lalu berpisah mengambil jalan masing-masing. Coa Hong Kin menuju ke timur sedangkan Sin Hong menuju ke utara.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Hui-eng-pai atau Perkumpulan Garuda Terbang mempunyai markas di sebuah hutan yang subur dan indah di atas salah sebuah puncak di Pegunungan Go-bi-san. Puncak ini memang bertanah subur sehingga dari kaki bukit sampai ke atas, penuh dengan dusun-dusun yang didiami oleh para petani.

Di puncak inilah tinggal Hui-eng Niocu Siok Li Hwa dengan seratus orang anak buahnya, semua terdiri dari wanita belaka. Ada yang sudah tua, ada yang masih remaja, akan tetapi sebagian besar adalah gadis-gadis yang cantik. Biarpun tidak hidup sebagai pertapa-pertapa atau pendeta-pendeta akan tetapi keadaan mereka hampir sama dengan penghidupan para nikouw (pendeta wanita Buddha), berdisiplin dan memegang tata tertib.

Seorang anggauta yang berani melakukan penyelewengan, akan dihukum keras oleh Siok Li Hwa, akan tetapi ini bukan berarti bahwa semua anggauta tidak mempunyai kebebasan. Banyak sudah anggauta yang mendapatkan "jodoh" dan mereka ini tidak dilarang untuk menikah, hanya dilarang untuk kembali ke situ dan diharuskan keluar dan ikut suaminya!

Pendeknya, yang diperbolehkan tinggal di situ hanyalah anggauta-anggauta yang masih gadis yang sudah janda, pendeknya orang-orang yang tidak terikat hidupnya oleh suami.

Di belakang bangunan yang besar sekali dan amat indahnya seperti istana raja-raja, terdapat sebuah taman yang luas dan indah pula. Taman ini penuh dengan bunga-bunga yang jarang terlihat di kota dan di sudut taman terdapat sebuah makam yang terawat baik. Inilah makam dari Pat-jiu Nio-nio, pendiri Hui-eng-pai atau guru Siok Li Hwa dan semua anggauta Hui-eng-pai.

. Makam ini terawat baik dan merupakan pujaan di samping Hui-eng Niocu Siok Li Hwa sendiri yang dipuja dan disegani oleh semua anggauta. Siok Li Hwa masih selalu menghormat makam mendiang gurunya karena menganggap makam ini sebagai pengganti guru dan orang tuanya. Seringkali ia kelihatan duduk termenung di depan makam, atau kadang-kadang kelihatan ia tekun bersembahyang seakan-akan minta doa restu dari gurunya itu.

Pada suatu hari Li Hwa pulang membawa seorang bocah laki-laki yang buruk mukanya. Semua anggauta Hui-eng-pai terheran-heran. Anggauta-anggauta yang sudah lanjut usianya dan menjadi pembantu Siok Li Hwa, memprotes. Akan tetapi mereka ini dibentak ole h Li Hwa yang berkata lantang.

"Jangan ribut-ribut! Aku bukan membawa pulang seorang pemuda! Ini adalah bocah yang masih kecil dan bersih, yang kubawa pulang untuk menjadi muridku karena aku melihat ia berbakat baik."

"Akan tetapi, Niocu. Amat tidak pantas... kalau dia sudah besar, sepuluh tahun lagi saja... dia menjadi seorang pemuda di antara kita..." bantah seorang anggauta yang berusia lima puluh tahun.

"Ini namanya melanggar sumpah dan larangan perkumpulan..." kata pula wanita tua ke dua.

"Diam! Sekali lagi bilang melanggar sumpah, kutampar mulutmu! Siapa yang melanggar larangan? Bunyi larangan ialah tidak diperbolehkan memasukkan seorang laki-laki ke tempat ini. Yang kumaksudkan bukan orang dewasa melainkan seorang bocah. Dia akan berbuat jahat apakah? Tentu saja ada batasnya. Paling lama tujuh tahun dia berada di sini. Setelah berusia dua belas tahun, ia harus pergi. Nah, siapa berani bilang aku memasukkan laki-laki? Apakah bocah umur lima sampai dua belas tahun bisa mendatangkan hal-hal buruk? Hayo jawab!"

Tak seorang pun berani menjawab karena selain takut, juga mereka pikir tiada salahnya kalau di situ ada seorang bocah cilik, biar laki-laki sekalipun. Demikianlah, Tiang Bu dirawat dan diobati oleh ahli-ahli pengobatan di situ dan ternyata setelah beberapa hari berada di situ, hampir semua anggauta Hui-eng-pai, tua muda, suka kepadanya. Hal ini tidak mengherankan karena sudah lajim kaum wanita suka kepada anak-anak, apalagi di situ tidak pernah ada anak kecil, dan laki-laki pula!

Setelah kakinya yang patah sembuh sama sekali, pada suatu pagi, Li Hwa mengajak anak itu ke taman bunga, tempat yang paling disukai oleh Tiang Bu. Anak ini tak pernah mau bertanya tentang ayah bundanya, karena pernah ia satu kali bertanya dijawab dengan tamparan yang menyakitkan kedua pipinya oleh Siok Li Hwa.

"Kau menurut saja apa yang dikatakan oleh Niocu," berkali-kali para anggauta Huieng-pai memberi nasihat kepada bocah ini sehingga Tiang Bu menjadi takut kalau berhadapan dengan Siok Li Hwa.

Li Hwa membawa ke makam yang berada di sudut taman dan menyalakan beberapa batang hio. Ia memberikan hio itu kepada Tiang Bu, sebagian dipegangnya sendiri, lalu berkata. "Hayo kau sembahyang di depan makam Su-couw."

Tiang Bu menurut saja. Ia berdiri di depan makam dan mengangkat-angkat hio ke atas kepala. Li Hwa minta hio itu dan menancapkannya di depan bongpai (batu nisan).

"Hayo berlutut dan kau tiru kata-kata yang kuucapkan nanti!"

Li Hwa berlutut dan Tiang Bu berlutut di sebelahnya, hatinya berdebar penuh rasa takut. Makam itu mengerikan hatinya dan upacara yang tidak dimengertinya ini menimbulkan rasa seram dan takut.

"Sucouw Pat-jiu Nio-nio, teecu Liok Tiang Bu bersumpah..." kata Li Hwa, lalu disambungnya perintah kepada Tiang Bu, "Hayo tiru!"

"Sucouw Pat-jui Nio-nio, teecu... Tiang Bu bersumpah..." bocah itu meniru akan tetapi meninggalkan she Liok, karena biarpun masih kecil, anak ini cerdik dan sudah tahu bahwa shenya bukan Liok, melainkan Coa.

Li Hwa marah dan menampar kepala anak itu sehingga bergulinganlah tubuh kecil itu. Baiknya Li Hwa tidak menggunakan tenaganya sehingga Tiang Bu tidak terluka. Dengan takut Tiang Bu berlutut lagi.

"Goblok! Aku bilang Liok Tiang Bu, dan kau pun harus meniru begitu. Kau kira kau ini she Coa dan kau ini anak siapakah? Coa Hong Kin dan Go Hui Lian itu bukan ayah bundamu. Ayahmu bernama Liok Kong Ji dan Ibumu bernama Gak Soan Li, tahu? Hayo, semua kata-kataku harus ditiru, tidak boleh diubah!"

Dengan sebentar-sebentar berhenti agar bocah itu mudah mengikutinya, Li Hwa membuat anak itu bersumpah begini.

"Sucouw Pat-jiu Nio-nio, teecu Liok Tiang Bu bersumpah akan menjadi murid yang taat dan rajin dari Hui-eng Niocu, Siok Li Hwa. Kelak kalau teecu sudah pandai, teecu berjanji akan membalas budi Hui-eng Niocu Siok Li Hwa, membalas sakit hatinya kepada dua orang, yaitu pertama kepada Wan Sin Hong dan ke dua kepada Go Hui Lian, karena dua orang itu telah membuat guruku Siok Li Hwa kehilangan kebahagiaannya."

Baru saja sumpah atau janji ini selesai diucapkan, terdengar suara menegur. "Li Hwa, kau benar-benar terlalu sekali"

Bayangan yang gesit sekali berkelebat dan di lain saat tubuh Tiang Bu telah disambar dan dipondong oleh orang yang baru tiba dan menegur tadi.

"Sin Hong, manusia keji dan sombong. Kembalikan muridku!" Li Hwa mengejar dengan pedang Cheng-liong-kiam sudah berada di tangannya. Dengan marah sekali ia menyerang Sin Hong yang cepat mengelak karena serangan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh.

"Li Hwa, dengarlah dulu. Jangan mengganggu orang tidak berdosa...”

"Laki-laki kejam, kembalikan dia." Li Hwa berseru lagi dan pedangnya berkelebat amat berbahaya, bukan saja berbahaya bagi Sin Hong, bahkan juga mengancam keselamatan Tiang Bu yan g berada dalam pondongan Sin Hong.

Melihat betapa serangan Li Hwa bukan main-main dan benar-benar mengancam keselamatan Tiang Bu, terpaksa Sin Hong mencabut pedang di pundaknya dengan tangan kanan dan sekali tangannya bergerak, pedangnya telah dapat menindih pedang Li Hwa!

Li Hwa berkutetan mengerahkan segenap tenaga agar pedangnya terlepas dari tindihan pedang Sin Hong, namun sia-sia belaka, pedangnya seakan-akan sudah lekat dan menjadi satu dengan pedang Pak-kek-sin-kiam di tangan Sin Hong. Dengan mengerahkan tenaga sambil menggigit bibir saking gemasnya, Li Hwa mencoba sekali lagi untuk membetot pedangnya, supaya terlepas. Masih saja sia-sia belaka.

Marahlah Li Hwa. Ia masih mempunyai tangan kiri yang menganggur, akan tetapi ia tahu bahwa kalau ia menyerang Sin Hong akan percuma saja karena pemuda itu mempunyai kepandaian yang beberapa kali lebih tinggi tingkatnya. Oleh karena itu, tiba-tiba tangan kirinya meluncur ke depan dan jari telunjuk tangan kirinya menotok ke arah jidat Tiang Bu yang digendong Sin Hong. Serangan ini cepat sekali dan tidak terduga sama sekali, sehingga Sin Hong menjadi terkejut sekali. Ia berseru kaget membanting tubuhnya ke belakang. Dengan sendirinya ia menarik kembali pedangnya dan melompat dengan cara berjungkir-balik ke belakang dengan Tiang Bu masih berada dalam pondongannya.

"Kembalikan muridku!" Li Hwa berseru gemas sambil mengejar ketika melihat Sin Hong berlari dan melompat keluar dari tembok yang mengelilingi taman bunga itu. Air matanya sudah mengalir saking gemasnya, karena gadis ini tahu betul bahwa tak mungkin ia akan dapat menyusul Sin Hong kalau laki-laki itu betul-betul hendak melarikan diri. Ilmu lari cepatnya kalah jauh dibandingkan dengan Sin Hong.

Akan tetapi ketika ia tiba di luar taman, ia melihat bahwa Sin Hong ternyata sedang bertempur hebat melawan tiga orang kakek aneh yang ketika ia perhatikan bukan lain adalah Pak-kek Sam-kui! Tiga orang aneh ini dengan bertangan kosong menyerang Sin Hong dan mengepungnya dari tiga jurusan dengan ilmu silat mereka yang aneh dan luar biasa akan tetapi hebat sekali. Tak jauh dari situ, nampak tiga puluh enam orang berdiri teratur seperti barisan dan mereka ini kelihatan kuat-kuat. Tiang Bu yang tadi dipondong oleh Sin Hong telah berada di pondongan seorang yang berdiri terdepan di barisan itu. Apakah yang terjadi dalam waktu singkat tadi?

Ketika Sin Hong melompat keluar dari taman bunga dikejar oleh Li Hwa, begitu tiba di luar tembok, ia merasa ada angin pukulan yang dahsyat menyambarnya dari segala jurusan, ditambah pula dengan bermacam-macam sinar yang ternyata bukan lain adalah jarum-jarum halus yang berbisa. Sin Hong kaget bukan main karena serangan tiba-tiba ini benar-benar amat membahayakan, terutama sekali berbahaya bagi Tiang Bu yang berada dalam pon dongannya.

Ia maklum bahwa hawa-hawa pukulan itu dilakukan oleh orang-orang berkepandaian tinggi. Baginya hawa pukulan ini masih tertahan karena tubuhnya memiliki sin-kang yang tinggi, akan tetapi kalau hawa pukulan itu mengenai Tiang Bu tentulah bocah ini akan tewas!

Oleh karena itu sambil melesat ke samping dan menggerakkan lengan kanannya untuk menyampok semua jarum-jarum halus itu, Sin Hong melemparkan Tiang Bu ke tempat aman dan anak itu jatuh ke atas tanah berumput yang tidak keras. Anak itu kaget dan menangis. Baru sekarang ia dapat menangis sejak kekagetan hebat yang ia alami. Tadinya jatuh dari pohon setelah disengat lebah sampai kakinya patah, lalu diculik Hui-eng N iocu, kemudian dijadikan perebutan antara Sin Hong yang tidak dikenalnya dengan Hui-eng Niocu yang ia takuti. Sekarang ia mengalami hal yang hebat lagi.

Di lain saat tiga orang berkelebat dan menyerang Sin Hong sambil tertawa-tawa. melihat bahwa tiga orang ini bukan lain adalah Pak-kek Sam-kui, Sin Hong mendongkol sekali dan cepat melayani mereka. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat bagaimana sebarisan orang tiba-tiba muncul dari balik pohonpohon dan seorang di antaranya yang kelihatan sebagai pemimpibnya, melompat dan menyambar tubuh Tiang Bu. Saking takut dan kagetnya melihat barisan orang-orang berwajah galak ini, Tiang Bu menutup kembali mulutnya dan tidak berani menangis. Hanya matanya yang lebar itu memandang ke sana ke mari dengan liar.

Melihat semua ini, Li Hwa menjadi marah dan dengan pedang di tangan ia melompat, bukan untuk merampas kembali Tiang Bu, melainkan untuk membantu Sin Hong.

"Pak-kek Sam-kui siluman-siluman pengecut!" ia memaki dan pedangnya menyerbu cepat. Kedatangan Li Hwa ini kebetulan sekali oleh karena Sin Hong yang telah mainkan Pak-kek Sin-kiam ternyata juga terdesak oleh tiga orang aneh ini. Padahal mereka bertiga bertangan kosong saja!

Ketiganya memiliki kepandaian tinggi dan aneh, berani mempergunakan kuku jari tangan untuk menyentil pedang pusaka. Andaikata Li Hwa tidak datang membantu, akan sukar sekali bagi Sin Hong mencapai kemenangan, atau sedikitnya ia harus mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaga serta memakan waktu lama. Akan tetapi setelah Li Hwa maju dengan pedang Cheng-liong-kiam di tangannya, keadaan segera berubah. Dua sinar pedang putih kuning dan hijau menyambar dan bergulung-gulung seperti dua ekor naga membuat Pak-kek Sam-kui kewalahan sekali.

Akan tetapi dua orang muda itu ternyata hanya dapat melindungi diri dengan baik saja, sama sekali tidak dapat mengirim serangan yang membahayakan musuh. Mengapa begitu? Oleh karena Sin Hong maklum bahwa tingkat kepandaian Li Hwa masih kalah beberapa tingkat kalau dibandingkan dengan tiga orang aneh ini. Apabila dia melakukan serangan dalam keadaan seperti itu, mungkin ia akan dapat merobohkan seorang di antara tiga lawan ini, akan tetapi sebaliknya keadaan Li Hwa juga berbahaya karena tidak terlindung oleh pedangnya. Inilah yang menyebabkan Sin Hong mengurangi daya serangannya dan memperkuat daya tahan karena ia harus melindungi keselamatan Li Hwa.

Di lain fihak, Pak-kek Sam-kui merasa seperti menghadapi dua tembok baja yang kuat sekali. Tiga orang kakek yang sakti dan banyak pengalamannya ini maklum bahwa kalau pertempuran ini dilanjutkan, mereka takkan menang. Giam-lo-ong Ci Kui yang jangkung dan gundul itu tiba-tiba mengeluarkan seruan-seruan aneh yang menjadi isyarat bagi kawan-kawannya. Sin Hong sudah merasa khawatir sekali, kalau-kalau tiga puluh enam orang itu diperintahkan maju membantu.

Akan tetapi anehnya, ketika barisan itu mulai bergerak mencabut senjata, tiga orang kakek itu bahkan melompat mundur! Giam-lo-ong Ci Kui melompat ke depan komandan barisan, menyambar tubuh Tiang Bu, kemudian bersama dua orang sutenya ia melarikan diri.

"Penjahat-penjahat keji, tinggalkan anak itu...!" Sin Hong berseru dan besama Li Hwa ia mengejar.

Akan tetapi, tiba-tiba barisan itu bergerak cepat sekali, menghadang dua orang muda yang hendak mengejar itu! Semua anggauta barisan memegang golok besar di tangan, sikap mereka garang sekali.

"Tikus-tikus busuk, kalian sudah bosan hidup!" Li Hwa memaki dan pedang hijaunya menyambar-nyambar.

Sebentar saja Li Hwa dan Sin Hong terkurung rapat oleh tiga puluh enam orang itu yang bertempur secara nekat dan mati-matian. Biarpun bagi Sin Hong dan Li Hwa kepandaian mereka ini tidak seberapa artinya, namun kenekatan mereka membuat dua orang muda ini kewalahan dan harus berhati-hati juga. Mereka berdua sama sekali tidak melihat kesempatan untuk melanjutkan pengejaran mereka terhadap Pak-kek Sam-kui.

Hebatnya tiga puluh enam orang ini seakan-akan tidak takut mati atau memang tolol. Melihat kawan-kawan mereka banyak yang roboh oleh pedang dua orang yang lihai itu mereka tidak menjadi jerih, sebaliknya bagaikan singa mencium darah, mereka makin nekad dan mendesak terus. Benar-benar seperti rombongan nyamuk yang tidak takut api lilin, menyerbu terus sampai mereka roboh binasa.

Sin Hong tidak tega untuk membunuh sekian banyak orang. Akan tetapi Li Hwa seperti berpesta, pedangnya menyambar-nyambar dan setiap kali terdengar jerit kesakitan atau golok terputus menjadi dua.

"Kalian masih tidak mau menyerah?” Sin Hong membentak, marah dan heran.

Sebagai jawaban, beberapa orang serdadu ini melemparkan sesuatu ke arahnya. Melihat benda bulat hitam, Sin Hong mengira bahwa mereka mempergunakan senjata rahasia pelor besi. Melihat cara mereka melempar dan jalannya pelor yang tidak kencang, Sin Hong tertawa mengejek. Ada lima buah benda hitam yang menyambar ke arahnya. Cepat ia menyampok pelor pertama dengan pedangnya.

"Darrr...!" Benda itu meledak mengeluarkan api!

Sin Hong cepat menggulingkan tubuh ketika merasa hawa panas dan benda-benda kecil menyambar ke arahnya dari pecahan itu. Akan tetapi empat buah benda lain berturut-turut jatuh ke tanah dan meledak. Hal yang tidak disangka-sangka ini, biarpun seorang sakti seperti Sin Hong sekalipun, tak sempat menghindarkan diri lagi. Kalau ia tahu, tentu ia akan melompat jauh-jauh dari tempat itu. Biarpun ia sudah mengelak ke sana ke mari dan memutar pedangnya, tetap saja beberapa benda kecil mengenai tubuhnya. Benda-benda kecil yang panas memasuki kaki dan lengannya!

Li Hwa mengalami nasib sama! Bahkan lebih hebat. Sebuah benda yang menyambar kepadanya ia tendang dan benda itu meledak, isinya melukai paha kanannya, membuat gadis itu roboh tak dapat bangun pula.

Melihat ini, Sin Hong menjadi marah sekali. Tadinya pemuda ini masih merasa enggan dan ragu-ragu untuk membunuh semua orang itu, karena ia maklum bahwa mereka ini hanyalah pasukan yang menjadi alat dan menerima komando. Akan tetapi melihat betapa mereka mempergunakan senjata rahasia yang demikian jahat ia mengeluarkan seruan keras, pedang Pak-kek-sin-kiam berkelebat, tubuh Sin Hong lenyap terbungkus gulungan sinar pedang dan terdengar pekik susul-menyusul ketika seorang demi seorang, fihak musuh roboh menjadi korban pedang.

Yang mengagumkan, pasukan Mongol itu terus melakukan perlawanan sampai orang terakhir dan setelah orang terakhir ini roboh pula oleh pedang Sin Hong, baru pertempuran berhenti! Di sana-sini menggeletak mayat orang dan jumlah mereka tiga puluh enam orang. Kesemuanya tewas. Sin Hong menggeleng-geleng kepala melihat ini. Benar-benar pasukan yang hebat, kalau semua barisan Mongol mempunyai semangat berperang seperti yang tiga puluh enam orang ini, tidak ada kekuasaan di dunia yang dapat mengalahkan mereka. Baiknya hanya ada tiga puluh enam orang yang mengeroyok dia dan Li Hwa, kalau ada ratusan kiranya dia takkan dapat menyelamatkan diri.

Baru tiga puluh enam orang saja, kaki dan lengannya terluka dan Li Hwa roboh pingsan. Cepat Sin Hong menolong Li Hwa. Dilihatnya celana yang menutupi kaki kanan gadis itu berlumur darah. Tahulah, dia bahwa Li Hwa terluka hebat pada kakinya. Tanpa berpikir panjang lagi, membuang segala rasa sungkan dan malu-malu, ia lalu merobek kaki celana yang kanan ini. Nampak betis dan paha yang berkulit putih halus itu ternoda darah yang mengucur dari beberapa bagian di paha gadis itu. Beberapa potongan besi telah memasuki paha itu dan lukanya hebat juga karena tuiang paha gadis itu ditembusi potongan besi!

Tiba-tiba Sin Hong merasa tubuhnya panas sekali, kaki dan tangannya yang terluka terasa ngilu. Ia meramkan mata menggigit bibir menahan sakit, lalu cepat mengambil bungkusan obat di punggungnya. Ia harus mengobati dirinya sendiri lebih dulu sebelum memulai dengan pengobatan kepada Li Hwa. Dengan sebuah pisau perak, ia membelek kulit lengan dan kakinya yang kemasukan potongan besi, mengorek potongan besi panas itu keluar.

Dapat dibayangkan betapa sakitnya pembedahan ini, dan ia menahan sakit sampai keringat sebesar kacang-kacang hijau memenuhi mukanya. Kemudian ia menempelkan bubukan obat pada luka-luka itu dan menelan tiga butir pel hijau. Baru ia merasa enak dan panas yang menyerang tubuhnya lenyap, juga rasa ngilu tidak ada lagi. Bubukan obat yang ia tempelkan pada luka-luka itu mendatangkan rasa dingin nyaman.

Setelah menolong diri sendiri, ia mulai memeriksa paha kaki Li Hwa yang terluka parah itu. Tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali karena ia teringat akan pengalamannya dahulu ketika ia mengobati paha dari Gak Soan Li yang diremuk oleh pukulan Tin-san-kang dari seorang tosu jahat bernama Giok Seng Cu (baca Pedang Penakluk Iblis). Akan tetapi ia menenangkan pikirannya dan dengan sehelai saputangan yang dicelup air, ia mencuci paha yang penuh darah itu untuk dapat memeriksa dengan baik.

Kemudian ia mulai mengerjakan pisau peraknya setelah menotok beberapa bagian jalan darah yang penting untuk mencegah darah keluar lagi dari luka-luka itu dan untuk mengurangi rasa sakit apabila ia melakukan pembedahan untuk mengeluarkan potongan-potongan besi yang memasuki paha gadis itu.

Ketika ia mulai mengorek keluar sebuah potongan besi, Li Hwa merintih perlahan. Gadis itu telah siuman dan merasa pahanya sakit sekali. la membuka mata dan melihat Sin Hong sedang mengobati pahanya yang telah terluka parah, melihat betapa Sin Hong memegang kakinya yang tidak tertutup apa-apa, tiba-tiba rasa jengah dan malu melebihi rasa nyeri.

Rintihannya terhenti, mukanya berubah merah dan Li Hwa meramkan kembali kedua matanya! Sama sekali tidak berkutik dan gadis yang aneh ini diam-diam berterima kasih kepada musuh-musuhnya yang telah melukainya sehingga ia bisa dirawat secara demikian mesra oleh Sin Hong! Memang cinta kasih bisa mendatangkan pikiran yang gila-gila dalam kepala manusia.

Sin Hong bukan seorang bodoh apalagi seorang ahli pengobatan. Jangankan tadi Li Hwa sudah merintih dan membuka mata, andaikata Li Hwa tidak melakukan dua hal sebagai tanda telah siuman itu, dari denyut darah yang didorong oleh perasaan dan yang terasa oleh jari-jari tangannya melalui kaki Li Hwa, dia akan tahu bahwa gadis itu tidak pingsan lagi. Melihat gadis itu berpura-pura terus pingsan atau mungkin juga terlalu lemah untuk bangun, Sin Hong. lalu berkata lirih, untuk mencegah salah pengertian gadis itu.

"Li Hwa, kau terluka. Pahamu tertembus pecahan-pecahan besi-besi senjata rahasia lawan, tulang pahamu patah. Untuk mencegah keracunan, aku terpaksa melakukan pembedahan sekarang juga untuk mengeluarkan besi-besi itu dan untuk menyambung tulang paha yang patah."

Diam-diam di dalam hatinya Li Hwa tersenyum geli dan memuji watak yang sopan dari Sin Hong. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dan puluhan orang wanita anak buah Hui-eng-pai datang berlari-lari sambil membawa senjata. Mereka ini terlambat keluar membantu Li Hwa, karena memang tadinya mereka tidak tahu adanya pertempuran itu yang terjadi dalam waktu cepat.

Selain ini, juga mereka ini biasanya selalu hanya mematuhi perintah dari Li Hwa, sedangkan pada waktu itu Li Hwa tidak kelihatan maka semua orang ketika mulai mendengar ribut-ribut pertempuran di luar pagar tembok taman, menjadi bingung tidak mempunyai komando.

Setelah mendengar suara ledakan-ledakan keras dari senjata-senjata rahasia berapi, mereka mengkhawatirkan ketua mereka yang tidak kelihatan di antara mereka. Barulah mereka menyerbu ke luar. Melihat ketua mereka telentang seperti mayat di atas tanah dan seorang laki-laki sedang duduk di dekatnya, kemudian melihat keadaan pakaian Li Hwa yang tidak karuan, yaitu kaki kanannya tidak tertutup sampai di paha, marahlah mereka ini.

Mereka mengira bahwa Sin Hong tentu telah melakukan perbuatan yang tidak patut dan melukai ketua mereka. Biarpun di antara mereka, yaitu yang dulu pernah ikut dengan Li Hwa pergi ke Ngo-heng-san, mengenal Sin Hong sebagai pemuda yang terpilih menjadi bengcu, akan tetapi melihat keadaan Li Hwa dan Sin Hong, tidak mau berpikir panjang lagi dan mereka maju menerjang.

"Jahanam, kau berani mencelakakai Niocu" bentak mereka.

"Eh, eh, nanti dulu...! Aku tidak mencelakakan dia, aku bahkan mengobatinya!" Sin Hong cepat menggerakkan tangan kiri mengebutkan ujung lengan baju dan sekaligus empat buah pedang yang menyerangnya terlempar. Akan tetapi ia menjadi gugup oleh karena ia sedang membedah paha Li Hwa dan kalau ia tinggalkan untuk menghadapi amukan para wanita itu, paha itu akan menjadi makin parah dan sukar diobati pula.

Para anggauta Hui-eng-pai terkejut melihat bagaimana dengan kebutan lengan baju kiri secara sembarangan saja, empat batang pedang telah dapat dipukul terlempar oleh Sin Hong. Akan tetapi, untuk menolong ketua mereka, para wanita ini tidak takut dan juga kata-kata Sin Hong tadi tidak mereka percaya. Baiknya, sebelum para wanita ini menyerang lagi, Li Hwa membuka matanya dan membentak.

"Mundur semua! Wan-bengcu sedang mengobati kakiku, mengapa kalian berani mengganggu? Mundur dan pergilah."

Dengan mata terbelalak heran dan kaget, semua anggauta Hui-eng-pai mundur, kecuali tujuh belas orang wanita yang setengah tua dan memegang pedang. Sikap mereka heran sekali dan mereka inilah yang tidak mau mundur. Tujuh belas orang wanita setengah tua ini terkenal di kalangan mereka sebagai Cap-jit Hui-eng Toanio (Tujuh Belas Nyonya Besar Garuda Terbang).

Sebutan Hui-eng Toanio ini saja menunjukkan bahwa tingkat mereka tidak berbeda jauh dengan Siok Li Hwa sendiri yang berjuluk Hui-eng Niocu (Nona Garuda Terbang). Memang demikianlah adanya Cap-jit Hui-eng Toanio ini adalah murid-murid utama dari mendiang Pat-jiu Nio-nio dan ketika Pat-jiu Nio-nio masih hidup, tujuh belas orang murid kepala ini menjadi pembantu-pembantunya yang boleh diandalkan.

Akan tetapi, karena Li Hwa yang mewarisi kitab rahasia peninggalan Pat-jiu Nio-nio dan kemudian nona ini yang menjadi ketua maka tujuh belas orang yang terhitung sucinya itu hanya menduduki tempat ke dua, menjadi pembantu-pembantu Li Hwa...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.