Pedang Penakluk Iblis Jilid 24

Cersil karya kho ping hoo serial pendekar budiman episode pedang Penakluk Iblis Jilid 24

Pedang Penakluk Iblis Jilid 24

HUI LIAN dapat menduga bahwa orang yang aneh sekali ini tentulah mimiliki kepandaian tinggi, maka ia pun lalu menggerakkan pedang melintang di depan dada sambil berkata,

"Lo-ciangkun, Saudara Coa ini telah melakukan tugasnya sebagai orang yang dipercaya oleh Pangeran Wanyen. Kalau dia yang menerima tugas demikian taat dan setia, apakah aku yang ditolongnya mau mengecewakan hatinya? Tidak, dia adalah seorang gagah perkasa, akan tetapi aku pun bukan seorang pengecut yang takut mati. Kalau kau hendak menangkapku, kau harus mengalahkan pedangku lebih dulu!"

"Bocah sombong, kau belum mengenal kelihaianku. Robohlah!" Terdengar suara bersiut ketika suling itu digerakan menotok ke arah pundak Hui Lian.

Akan tetapi biarpun seorang ahli silat tinggi dan tokoh besar seperti Liok-te Mo-ong Wie It kecele sekali kalau mengira akan dapat merobohkan Hui Lian dalam jurus pertama. Dengan gerakan lincah Hui Lian dapat menggerakkan pedangnya menangkis sambil menurunkan pundaknya. Suling di tangan Wie It terpukul membal, akan tetapi Hui Lian terkejut sekali karena merasa telapak tangannya tergetar oleh benturan itu. Ia maklum bahwa tenaga lweekang orang aneh ini benar-benar hebat dan ia kalah setingkat.

Akan tetapi, dengan pedang di tangan. Hui Lian merupakan naga bersayap, sebentar saja ia sudah mainkan ilmu pedangnya yang ia warisi dari ayahnya dan Liok-te Mo-ong Wie-It terpaksa menelan kembali kesombongannya. Kini ia tidak berani memandang rendah lagi karena beberapa kali ia harus berlompatan ke sana ke mari kalau ia tidak mau tubuhnya terbabat atau tertusuk pedang.

"Kau lihai...!" serunya dan kini tangan kanannya memegang pedang, sedangkan tangan kirinya memegang sulingnya. Untuk menghadapi ilmu pedang seperti dimainkan oleh gadis ini, ia tidak sanggup kalau harus menggunakan suling saja.

Adapun pertempuran antara Hong Kin dan Bu Tong juga amat ramai. Ternyata tingkat kepandaian mereka tidak terpaut banyak. Para busu sudah turun semua dari kuda dan kini mereka menonton pertempuran dua rombongan ini dengan tertarik. Jarang sekali mereka menyaksikan pertandingan ilmu silat tinggi yang demikian serunya. Bahkan baru kali ini nereka menyaksikan Liok te Mo-ong Wie-It bertempur menghadapi lawan tangguh. Biasanya Wie It kalau maju, sekali dua kali gebrakan saja pasti lawan sudah roboh binasa atau tertawan.

Liok-te Mo-ong Wie It terkenal sebagai seorang yang malas sekali kerjanya siang malam hanya tidur dan makan saja, atau kalau tidak tidur tentu mengeram di dalam kamarnya. Sebagai kepala busu, ia jarang bekerja dan cukup mewakilkan semua urusan kepada Bu Tong yang menjadi pembantu utamanya. Hanya sekali-sekali kalau ada urusan besar, baru dia muncul dan turun tangan sendiri. Kali ini, karena Go Hui Lian dianggap seorang yang lihai, dan pula karena gadis ini telah dibebaskan oleh Pangeran Wanyen, kaisar yang mendengar akan hal ini lalu menyuruh dia sendiri keluar istana untuk melakukan pengejaran dan penangkapan.

Oleh karena itu, alangkah heran dan kagumnya para busu ketika melihat betapa kepala busu itu sama sekali tidak mudah menangkap gadis itu. Ilmu pedang yang dimainkan oleh Hui Lian terlalu tangguh. Tadipun kalau tidak dikeroyok kalau hanya maju seorang lawan seorang kiranya Hui Lian tidak akan menemukan tandangan. Sekarang baru ia bertemu tanding dan ia harus mengakui bahwa Ilmu silat dari Raja Iblis Bumi ini benar-benar hebat. Betapapun juga ia tadi takut dan tidak mau mengalah, terus melakukan perlawanan hebat, kadang-kadang membalas dengan serangan yang tak kalah lihainya.

Sebaliknya, Bu Tong ternyata kalah cepat oleh Hong Kin. Ujung tongkat pemuda itu sudah melukai pundaknya. Baiknya Bu Tong adalah seorang ahli dalam hal ilmu kebal sehingga tongkat itu tidak melukai jalan darah, hanya merobek kulit sedikit dan mengakibatkan keluarnya darah. Akan tetapi hal itu sudah membuat Bu Tong sibuk dan khawatir.

"Kawan-kawan, hayo bantu agar pekerjaan kita lekas selesai." serunya keras. Mendengar perintah ini, semua busu mengeluarkan senjata masing-masing dan menyerbulah mereka. Ada yang menyerang Hong Kin dan ada pula yang mengroyok Hui Lian.

Hui Liaan mengeluh. Gadis ini sudah lelah sekali dan dalam menghadapi Wie-It saja ia sudah kewalahan. Apalagi sekarang dikeroyok oleh enam orang busu dan yang kepandaiannya juga rata-rata tinggi tak dapat disamakan dengan pengeroyoknya siang dan sore tadi.

"Nona Go lari..." Hong Kin tiba-tiba berteriak keras sambil memutar tongkatnya sedemikian hebat sehingga dua batang golok lawan terkait dan terlempar.

Hui Lian maklum bahwa jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah mencoba untuk lari di dalam malam yang remang-remang itu. Ia pun lalu memutar pedangnya mainkan bagian ilmu pedang ayahnya yang paling istimewa, yakni yang disebut Tai-hung lo-hai (Angin Taufan Mengacau Lautan). Gerakannya demikian cepat dan kuat sehingga seorang busu terluka lengannya dan yang lain terpaksa melompat mundur sambil memutar senjata melindungi diri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hui Lian untuk melompat jauh bersama dengan Hot Kin yang juga sudah melakukan lompatan tinggi dan jauh.

"Tangkap! Tangkap!" Para busu berteriak-teriak riuh rendah sambil mengejar.

"Jangan melepas am-gi (senjata gelap), tangkap hidup-hidup!" kata Liok-te ong Wie It memperingatkan kawan-kawannya. Hal ini menguntungkan Hong Kin dan Hui Lian, karena kalau para busu yang rata-rata ahli panah tangan itu mempergunakan panah, tentu dua orang muda itu tak dapat menyelamatkan diri dan nyawa mereka terancam senjata gelap.

Selagi mereka main kejar-kejaran, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang luar biasa sekali. Suara ketawa seperti itu tak mungkin keluar dari mulut seorang manusia, lebih patut kalau keluar dari mulut iblis yang mengerikan. Suara itu menyeramkan sekali, apalagi terdengar di waktu malam tanpa kelihatan orangnya, benar-benar membuat para busu tertegun. Bahkan Hui Lian sendiri yang terhitung tabah dan tidak pernah mengenal takut, mendengar suara ketawa ini meremang bulu tengkuknya.

"Apa itu?" tanyanya kepada Hong Kin.

"Entah, belum pernah aku mendengar yang seperti itu..." jawab Hong Kin yang juga kaget setengah mati.

Akan tetapi keduanya berlari terus dari kejaran para busu. Dan tiba-tiba entah dari mana munculnya, tahu-tahu di depan mereka berdiri seorang berkepala gundul, orang yang menyeramkan sekali. Bentuk tubuhnya tinggi besar sekali sehingga saking besarnya sampai kelihatan pendek. Kepalanya gundul kelimis seperti kepala seorang hwesio yang baru dicukur. Kepalanya bundar, demikian tubuhnya dan hampir semua anggauta mukanya bundar bentuknya, kulitma agak kehitaman. 0rang ini berdiri menghadang sambil berolak pinggang.

Munculnya yang tiba-tiba amat mengejutkan hati Hui Lian dan Hong Kin yang sudah lelah sekali itu. Maka kedua orang muda ini pun otomatis menyangka buruk dan keduanya berbareng menyerang orang gundul itu dengan senjata mereka.

Akan tetapi dengan sekali bergerak saja, serangan Hui Lian dan Hong Kin mengenai angin dan tiba-tiba orang menggerakkan kedua tangan menampar, Hui Lian dan Hong Kin mengelak cepat. Hui Lian lebih cepat dari Hong Kin hingga ia hanya merasa sambaran yang amat luar biasa di dekat kupingnya, akan tetapi Hong Kin kurang cepat dan pundaknya kena ditampar. Tamparan ini tidak amat keras, namun akibatnya hebat. Hong Kin merasa pundaknya seperti terbakar dan ia tidak kuat menahan lagi, terhuyung-huyung lalu roboh tertelungkup di atas tanah, tongkatnya terlempar.

Hui Lian terkejut bukan main. Cepat ia menubruk dengan pedangnya, diputar lalu menikam ulu hati orang gundul itu. Lawannya mengeluarkan suara aneh seakan-akan kagum melihat pedangnya yang hebat, kemudian bersilat dengan gerakan-gerakan aneh pula. Akan tetapi pedang di tangan Hui Lian tak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Setelah bertempur lima jurus, Hui Lian harus akui bahwa berhadapan dengan seorang yang pandai sekali.

Setiap kali orang itu mengedutkan lengan bajunya, hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan. Ia maklum bahwa dalam hal lweekang dan ginkang, ia kalah jauh oleh orang gundul ini. Hanya ilmu pedangnya yang berdasarkan Pak-kek Sin-ciang sajalah yang masih dapat melindunginya. Ternyata kembali ilmu pedang warisan dari ayahnya ini niemperlihatkan keunggulannya. Beberapa kali orang gundul itu mengeluarkan seruan-seruan aneh, seakan akan mengenal ilmu pedang ini dan menjadi gentar.

Tiba-tiba tangan kirinya memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya dan di lain saat ketika ia mengelak ke kiri dari tusukan pedang Hui Lian, ia membentak keras sambil menyemburkan sesuatu dari mulutnya, dibarengi dengan pukulan bertubi-tubi dengan dua tangannya! Inilah serangan yang luar biasa hebatnya.

Hui Lian melihat benda hitam menyambar, cepat menundukkan mukanya sehingga benda cair itu lewat di atas kepalanya. Akan tetapi tiba-tiba kepalanya menjadi pening karena benda yang lewat di atas kepalanya itu mengeluarkan bau yang amis dan menusuk hidung, sedangkan pada saat itu, kedua tangan lawannya secara bertubi-tubi telah datang menyerang!

Gadis perkasa ini memaksa diri menghadapi serangan pukulan. Melihat berkelebatnya tangan kanan ke arah dadanya, ia cepat menggerakkan pedang untuk membabat, akan tetapi tiba-tiba tangan itu ditarik kembali dan tangan kiri orang itu secara cepat menotok lehernya. Hui Lian masih berusaha menghindari totokan, namun, kepalanya sudah pening sekali, pandang matanya sudah berkunang-kunang dan elakannya gagal. Ia roboh dalam keadan lemas dan pedangnya terlempar ke atas tanah.

Kembali orang gundul itu tertawa bergelak dan menghampiri tubuh Hong Kin yang masih tertelungkup. Sekali mencongkel dengan kakinya, tubuh pemuda itu terlempar ke atas lalu disambar dengan tangan kiri dan dikempitnya. Kemudian ia menghampiri Hui Lian. Berbeda dengan apa yang dilakukan terhadap Hong Kin, ia kini menggunakan tangan mengangkat gadis itu dan dikempit dengan tangan kanan.

Pada saat itu, para busu yang sejak tadi sudah mengejar sampai di situ dan menonton pertempuran aneh, lalu melangkah maju. Liok-te Mo-ong Wie It menghadapi orang gundul itu, menjura sambil berkata.

"Saudara yang gagah perkasa telah berjasa besar. Aku Liok-te Mo-ong Wie It atas nama Kaisar dan semua pasukan busu dari istana mengucapkan banyak terima kasih atas bantuanmu yang amat berharga."

Orang gundul itu mengeluarkan suara yang aneh lalu bersiul keras. Dari arah belakangnya, jauh sekali terdengar siul yang sama menjawab, kemudian tiba-tiba melayang tubuh yang ringan sekali bagaikan terbang dan tahu-tahu di sebelahnya telah berdiri seorang wanita yang memegang sebatang ranting di tangan kanannya.

Liok-te Mo-ong dan kawan-kawannya terkejut bukan main. Ilmu meringankan tubuh seperti ini belum pernah mereka saksikan. Ketika siulan jawaban tadi berbunyi, terdengar masih amat jauh, akan tetapi sebelum gema siulan lenyap. orangnya sudah berada di situ!

Sementara itu, kakek gundul itu masih tertawa-tawa, kemudian ia menjawab, "Siapa bantu siapa? Aku tidak mengenal segala macam Liok to Mo-ong atau Thian-sang Mo-ong, tidak peduli segala macam busu yang tiada gunanya!" Ucapan ini benar-benar memandang rendah.

Liok-te Mo-ong berarti Raja lblis Bumi sedangkan Thian-sang Mo-ong diartikan Raja Iblis Langit! Mendengar kata-kata ini, Liok-te Mo-ong Wie It memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk bersiap sedia karena orang itu agaknya tidak mengambil sikap berkawan.

"Kalian ini orang-orang tak tahu malu, mengandalkan banyak kawan mengejar-ngejar dua orang muda, ada maksud apakah? Mengapa mereka kalian kejar-kejar?" tanya pula orang gundul tadi.

Liok-te Mo-ong Wie It menduga, bahwa orang gundul ini tentulah seorang luar biasa di dunia kang-ouw yang selalu menyembunyikan diri sehingga dia sendiri pun tidak mengenalnya. Maka dengan menahan sabar ia menjawab,

"Sahabat yang baik, kami adalah busu dari istana, sedangkan gadis itu adalah puteri seorang pemberontak yang harus ditawan dibawa menghadap Kaisar untuk menerima hukuman. Pemuda itu adalah pengawalnya. Kami sejak tadi mengejar-ngejarnya dan kebetulan kau muncul dan merobohkan mereka. Karenanya kami patut menyatakan terima kasih kami dan harap kau sudi memberikan mereka kepada kami untuk dibawa ke istana."

"Ha, ha, ha, hi, hi, hi, enak saja kalian bicara'" Wanita yang baru datang itu berkata sambil mentertawakan Wie-It. "Suamiku yang menangkap kalian yang datang minta, benar-benar tak tahu malu. Suamiku yang menangkap mereka, maka dia yang berhak menentukan apa yang akan dilakukan terhadap dua orang ini."

"Benar, Ibu. Berikan saja mereka kepadaku, Ayah. Si Siauw -liong (Naga Kecil) kelihatan lapar sekali, biar mereka diberikan kepada Siauw-liong untuk menjadi mangsanya!" Tiba-tiba terdengar kata-kata ini dari dalam gelap dan seperti juga dengan munculnya isteri orang aneh itu, kini puteranya pun muncul secara tiba-tiba dan luar biasa.

Para busu meIthat seorang pemuda yang bertubuh tegap dari dalam gelap. Sebetulnya pemuda ini tampan juga wajahnya, akan tetapi karena berkepala gundul dan sikapnya ketolol-tololan, maka ia seperti seorang anak kecil yang tubuhnya besar. Yang mengerikan orang, kedua tangan pemuda gundul ini mempermainkan seekor ular yang liar, ular bersisik loreng yang lidahnya merah dan matanya bersinar-sinar.

Pada kepala ular itu kelihatan semacam tanduk dan dari mulutnya mengepul uap biru. Benar-benar seekor ular yang berbahaya sekali dan sekali pandang saja orang akan mengerti bahwa ular ini berbisa. Mungkin karena daging menonjol di kepala itulah yang membuat binatang ini dinamakan Siauw-liong (Naga Kecil) oleh pemiliknya.

Setelah muncul tiga orang aneh ini, kita semua dapat mengenalnya siapa mereka. Tak lain mereka adalah keluarga See-thian Tok-ong yang lihai! Yang muncul pertama dan menawan Hui Lian dan Hong Kin adalah See-thian Tok-ong sendiri, kemudian muncul isterinya, Kwan-Nio dan pemuda itu adalah Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun yang semenjak dahulu terus gundul saja.

Mendengar omongan puteranya, See-thian Tok-ong melemparkan tubuh Hui-Lian kepada Kwan Kok Sun. Pemuda mengangkat tangan kiri dan dengan mudah ia menyambar lengan Hui Lian. Ia harus memegang ular itu jauh-jauh dengan tangan kanannya, karena ular itu begitu melihat Hui Lian terus meronta-ronta seperti seekor anjing kelaparan daging.

"Sst, Siauw-liong jangan makan dia. Aduh... cantiknya... aduh... manisnya... Siauw-liong, yang ini bukan untukmu, Sayang kalau jadi mangsamu. Ayah, Ibu aku sudah dapat!"

"Hm, sudah dapat apa?" bentak ibunya.

"Sudah dapat! Dia inilah orangnya calon isteriku. Ayah, aku minta kawin dengan Si Jelita ini." Kata-kata pemuda ani terdengar kacau tidak karuan. Memang, semenjak kecilnya, Kwan Kok Sun sudah kelihatan aneh sekali, akan tetapi makim besar, bicaranya dan kelakuannya makin ngacau dan ada tanda-tanda bahwa otaknya tidak normal.

"Kok Sun, baru kemarin kau bilang minta kawin dengan puteri Kaisar!" tegur See-thian Tok-ong.

"Tidak, Ayah, dia inilah yang kucari-cari, yang kuimpi-impikan setiap malam. Puteri kaisar? Ah, aku tidak mau. Masih mending kalau dia seperti ibunya, tentu cantik jelita. Bagaimana kalau dia seperti ayahnya, seperti kaisar yang gendut dan kepala besar? Huh, aku tidak sudi!"

Kata-kata yang memaki kaisar "gendut" dan kepala besar ini bukan semata-mata makian, karena pada masa itu, makian ini berarti lain, yakna gendut adalah sindiran bagi orang yang selalu mengeduk keuntungan dengan jalan korupsi sedangkan kepala besar untuk menyindirkan orang-orang yang berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukan dan pangkatnya.

"Baiklah, kau boleh mengawini gadis itu. Akan tetapi nanti dulu, kita harus ketahui dengan jelas bahwa dia seorang gadis baik-baik, bukan gadis sembarangan. Tadi sudah kulihat ilmu pedangnya dan aku agak ragu-ragu."

See-thian 'Tok-ong menghadapi Liok-te Mo-ong Wie-It dan kawan-kawannya yang mendengar semua percakapannya itu dengan mata bengong. "Eh, mata juling, sebetulnya siapakah gadis ini dan siapa pula pemuda ini?"

Wie It mendongkol sekali. Ingin mengerahkan kawan-kawannya untuk mengeroyok, akan tetapi dia bukan seorang goblok. Ia dapat menduga bahwa tiga orang ayah, ibu, anak ini bukan orang-orangvyang mudah dilawan. Terpaksa ia menelan kegemasannya memberi keterangan dengan harapan si Gundul yang seperti iblis itu dapat berubah sikap.

"Harap kau jangan main-main." katanya dengan suara sungguh-sungguh, "Nona itu bukan orang sembarangan, adalah puteri dari Hwa I Enghiong Ciang Le yang kelihaiannya sudah terkenal di kolong langit! Adapun pemuda adalah murid Cam-kauw Sin-kai dia orang kepercayaan dari Pangeran Wan-yen. Harap kau sudi memberikan mereka kepada kami untuk dihadapkan di istana.

Mendengar ini Kwan Kok Sun berseru, "A-ha, benar dia! Pantas sekali lihat aku tertarik. Benar, Ayah, dia benar bocah manis yang dulu menolong Kong Ji keparat! Dia benar puteri Go Ciang Le, lihat saja bentuk bibirnya ini."

See-thian Tok-ong dan Kwan Ji Nio menghampiri puteranya dan mereka bertiga melihat-lihat Hui Lian yang masih pingsan. Seperti pernah dituturkan di bagian depan, ketika masih kecil, ketika ia baru berusia sepuluh tahun, pernah Hui Lian bertemu dengan keluarga aneh ini, di puncak Gunung Luliang-san. Ketika itu, See-thian Tok-ong dan anak isterinya sedang hendak membunuh Liok Kong Ji dan kebetulan sekali Hui Lian yang masih kecil datang menolong nyawa Kong Ji.

Tadi ketika menghadapi See-thian Tok-ong, Hui Lian sudah tidak ingat lagi siapa adanya kakek gundul aneh itu. Kalau sekiranya See-thian Tok-ong muncul bertiga, mungkin sekali Hui Lian akan teringat. Kini Kwan Kok Sun yang otaknya sudah makin tidak beres itu melihat Hui Lian, ia merasa suka dan jatuh cinta.

"Benar dia, Ayah. Benar dia kekasihku, lbu. Aku harus kawin dengan dia, dengan puteri Go Ciang Le. Ha ha ha. Kemudian ketika ularnya hendak menyerbu Hui Lian, ia membetot binatang itu sambil memaki, "Hush, Siauw-liong. Jangan kau kurang ajar. Dia itu calon isteriku, kau tahu? Kalau kau berani menjilat sedikit saja kuhancurkan kepalamu!”

"Jangan marah, Kok Sun, dia itu sedang lapar," kata ibunya, yang amat manjakan putera tunggalnya itu, dan yang tidak begitu senang melihat puteranya tergila-gila kepada Hui Lian. Seperti juga puteranya, Kwan Ji Nio otaknya tidak beres, dan ibu ini selalu merasa iri hati dan cemburu apabila puteranya menyatakan suka kepada seorang wanita.

"Dia lapar dan perlu diberi makan paru-paru yang segar," katanya lagi. "Paru-paru gadis remaja seperti ini amat sehat, dapat menguatkan dan menambah keras bisa dalam mulut Siauw-liong."

Kwan Kok Sun membelalakkan matanya. "Tidak!" bentaknya keras. "Tidak boleh kekasihku diganggu, tidak boleh calon isteriku dibinasakan. Ayah, ke sinikan manusia tiada guna itu. Dia harus menjadi mangsa Siauw-liong!"

See-thian Tok-ong tertawa bergelak, lalu melemparkan tubuh Hong Kin ke depan Kwan Kok Sun. Kok Sun melepaskan ularnya yang merayap turun dari lengan ke atas tanah, lalu merayap ke arah tubuh Hong Kin sambil menjulurkan lidah keluar masuk.

Pada saat itu Hong Kin siuman dari pingsannya. Ia membuka mata dan sekejap saja ingatlah ia akan semua yang terjadi, bahwa dia telah dirobohkan oleh para busu yang mengeroyok. Biarpun heran sekali melihat adanya See-thian Tok-ong suami isteri dan anak yang ia sama sekali tidak kenal, akan tetapi ia tidak mempedulikan karena perhatiannya terpusatkan kepada seekor ular panjang dan mengerikan yang merayap mendekatinya, jaraknya hanya tiga kaki lagi.

Sekali pandang maklumlah pemuda ini, bahwa ia berada dalam ancaman bahaya maut, dan bahwa ular itu adalah seekor binatang berbisa dan sekali gigitannya berarti maut menjangkau nyawa. Cepat ia melompat bangun, akan tetapi tubuhnya masih lemah dan ketika pemuda gundul yang berada di dekat ular itu menggerakkan tangan, Hong Kin roboh lagi. Jalan darah thian-hu-hiat di tubuhnya telah kena ditotok secara lihai sekali dan biarpun Hong Kin masih sadar dan dapat mengetahui segala apa yang terjadi, namun ia tak dapat menggerakkan seluruh tubuhnya yang seakan-akan sudah lumpuh sama sekali.

"Ha ha ha, kau menangislah, berteriak-tertaklah minta tolong. Ha ha ha. Aku senang sekali kalau kau menjerit- jerit, juga Siauw- liong senang sekali. Hayo kau menjerit-jerit. Tidak takutkah kau? Ular ini akan merobek bibirmu memasuki mulut terus merayap melalui kerongkonganmu, masuk ke dalam paru-paru dan makan habis paru-parumu sepotong demi sepotong. Ha ha ha, menangislah,”

Kwan Kok Sun berjingkrak-jingkrak setelah meletakkan tubuh Hui Lian di atas tanah. Keterangan dan kegembiraan hatinya melihat Siauw-liong hendak makan mangsanya membuat ia lupa sebentar kepada Hui Lian.

Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati Hong Kin. Akan tetapi pemuda ini memiliki ketabahan besar, tidak gentar menghadapi maut. Ia memandang kepada ular itu, berkejap matanya pun tidak, jangan kata menangis. Ia menghadapi maut dengan mata terbuka.

"Kau tidak takut?" Ular menyambar ke arah muka Hong Kin yang sama sekali tidak berkedip. Tetapi Kok Sun memegang ekor ular dan menahannya. "Kau gagah sekali... kau tabah sekali..."

Pemuda gundul itu ragu-ragu. Memang ada suatu hal yang amat dikagumi oleh Kwan Kok Sun, yakni keberanian dan ketabahan yang luar biasa. Kini melihat ketabahan hati Hong Kin yang tidak berkedip menghadapi maut ia tertarik dan merasa agak sayang, maka ia menahan ularnya yang sudah hendak melakukan "operasinya”.

Pada saat itu Hui Lian siuman. Gadis itu melihat betapa di situ telah banyak orang dan ia melihat kakek gundul yang merobohkannya tadi berdiri menyeringai, di sampingnya seorang nenek yang wajahnya cantik tapi kejam, kemudian ia melihat Hong Kin menggeletak lemas di atas tanah dan seekor ular merayap mendekatinya, akhirnya ia melihat Kok Sun dan pucatlah mukanya. Ia kini tahu bahwa yang menjatuhkan tadi bukan lain adalah See-thian Tok-ong!

"Iblis keji..!" Hui Lian menjerit dan tubuhnya melompat dengan gerakan kilat, menubruk ke depan untuk memukul Kok Sun karena ia tahu apa artinya ular Kok Sun, dan Hong Kin yang menggeletak. Tentu pemuda gundul yang berotak miring itu mempraktekkan kekejamannya seperti dulu lagi, yakni memberi makan kepada ularnya dengan korban seseorang manusia.

Kwan Kok Sun tidak mengira bahwa dirinya akan diserang, maka pukulan tangan Hui Lian tepat mengenai dadanya. Akan tetapi, gadis itu telah habis tenaganya, dan Kok Sun sekarang bukan Kok Sun dahulu lagi. Kepandaiannya sudah meningkat tinggi, maka pukulan itu hanya membuatnya mundur selangkah saja. Pada saat itu, kelihatan sinar hitam berkelebat dan Hui Lian memekik ngeri terus roboh pingsan! Ular yang bernama Siauw-liong itu ternyata telah menyerang dan kini giginya menggigit leher Hui Lian yang berkulit putih halus.

Melihat ini, Kok Sun menjadi pucat, "Jahanam besar, kau... kau... berani... Kau berani menggigit calon isteriku? Keparat jahanam, mampus kau!"

Tangannya bergerak dan di lain saat ular itu telah direnggutnya terlepas dari leher Hui Lian, lalu... digigitnya leher ular itu oleh Kok Sun sampai putus! Masih belum puas dengan ini, Kok Sun membanting hancur kepala ular, mencabik-cabik tubuh ular dengan sepasang tangannya yang kuat sehingga tubuh ular itu menjadi berkeping-keping. Kemudian Kok Sun menubruk Hui Lian sambil menangis teredu-sedu.

"Hui Lian, kekasihku... calon isteriku sayang... jangan mati kau... jangan kau tega meninggalkan aku, bawalah aku bersamamu..." dan menangislah ia melolong-lolong seperti anak kecil.

Muka Hui Lian sudah berubah menghitam dan kalau tidak segera tertolong, Pasti nyawanya akan melayang. See-thian Tok-ong maklum akan hal ini, akan tetapi ia tidak peduli. Sebaliknya Kwan Ji Nio bingung sekali melihat anaknya demikian. Nyonya ini melihat Kok Sun menangis melolong-lolong, tak dapat menahan mengucurnya air matanya. Beberapa kali ditariknya lengan Kok Sun untuk melepaskan Hui Lian dan dihiburnya.

"Sudahlah, Nak. Dia mati biar mati, masih banyak gadis yang lebih dari padanya. Nanti Ibu carikan puteri Kaisar..."

"Tidak sudi, puteri Kaisar seperti ayahnya, gendut, kepala besar dan jenggotan! Aku mau kawin dengan Hui Lian kalau dia mati aku juga mau muti!"

Kwan Ji Nio menjadi makin bingung ia menoleh kepada suaminya dan melihat See-thian Tok-ong tersenyum-senyum saja seperti orang gendeng, ia lalu lompat dan menampar pipi suaminya. See-thian Tok-ong terkejut dan seakan-akan baru sadar dari alam mimpi.

"Ada apa?" tanyanya gagap.

"Hayo katakan apakah gadis ini masih dapat ditolong?" isterinya menuntut.

See thian Tok-ong mengerutkan kening, "Begitu matahari keluar, dia akan mati."

Tangis Kok Sun menjadi-jadi, bahkan kini ia menggulingkan tubuh di atas tanah dan bergulingan ke kanan kiri, memukul-mukul kepala dan tanah.

"Apakah ia masih bisa ditolong? Hayo katakan lekas!" kata Kwan Ji Nio dengan keras.

"Bisa asal ada yang menyedot racun di leher itu," kata See-thian Tok-ong.

Mendadak Kwan Kok Sun melompat bangun, menubruk Hui Lian dan tanpa ragu-ragu lagi mulutnya mengecup leher yang terluka, terus disedotnya kuat-kuat!

Melihat kenekatan puteranya, kini baru See-thian Tok-ong ada perhatian. Perbuatan puteranya ini berbahaya sekali, akan tetapi juga sekaligus menyatakan bahwa kali ini puteranya betul-betul “cinta" kepada gadis ini. Biasanya setiap ia minta dikawinkan dan menyatakan suka kepada seorang gadis, kalau gadis itu sudah diculik orang tuanya, ia lalu menyatakan bosan dan tidak suka. Kali ini begitu bertemu. Kok Sun sudah berani membahayakan nyawanya untuk menolong gadis itu, agaknya kali ini anaknya bukan main-main lagi!



"Tiga belas kali! Jangan lebih tiga belas kali sedotan," katanya sambil mendekati Hui Lian dan Kok Sun. "Dan semburkan keluar darah berbisa itu."

Dengan lweekangnya yang sudah tinggi, Kok Sun dapat menyedot tiga belas kali tanpa melepaskan mulutnya dari leher, akan tetapi setelah akhirnya ia melepaskan leher itu dari kecupannya, ia lalu... menelan darah itu dan seketika itu mukanya menjadi kehitaman!

"Kok Sun...!" Kwan Ji Nio menjerit.

Sementara itu, melihat semua peristiwa ini, Liok-te Mo-ong Wie It habis sabarnya. Ia seakan-akan disuruh melihat sekumpulan orang gila bermain sandiwara. Dengan gemas ia memberi isyarat kepada anak buahnya dan mereka bergerak maju untuk merampas Hui Lian dan Hong Kin lalu melarikan diri.

Akan tetapi tiba-tiba lima orang menjerit dan terpental jauh termasuk Wie It sendiri! Biarpun tadinya ribut bertiga tak karuan, akan tetapi ketika Wie It dan kawan-kawannya bergerak See-thian Tok-ong mengebutkan kedua lengan bajunya, yang kanan menyambar muka Wie It terus ke dadanya sehingga Wie It terdorong dadanya sampai terjengkang tiga kaki lebih, yang kiri menghantam pundak seorang busu sampai patah tulang pundaknya!

Juga Kwan Ji Nio menggerakkan rambutnya dua kali dan robohlah dua orang busu lain. Kwan Kok Sun yang mukanya sudah kehitaman dan kepalanya sudah mulai pening, melihat para busu menyerbu, lalu tiba-tiba membuka mulut dan menyemburkan ludahnya yang pada saat itu juga berbisa, tepat mengenai hidung seorang busu sehingga busu itu berkaok-kaok kesakitan sambil membetot-betot hidungnya yang tiba-tiba rasa gatal-gatal dan sakit sekali. Tak lama kemudian hidung itu menjadi hitam dan copot, dan orangnya jatuh pingsan.

Wie It terkejut setengah mati. Biarpun sudah menyangka bahwa tiga orang ini lihai sekali, akan tetapi tidak pernah ia mimpi akan selihai itu. Maka ia berdiri bengong dan tidak berani sembarangan bergerak.

Adapun See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio, dan Kwan Kok Sun, seakan-akan sudah lupa lagi akan para busu itu dan mengurus persoalannya sendiri. Kwan Ji Nio membanting-banting kakinya. "Kok Sun mengapa kau menelan racun itu? Mengapa kau mengambil keputusan mati?" ia menangis.

Kok Sun tiba-tiba ketawa, suara ketawanya seperti ringkik kuda. "Ayah adalah Raja Racun dari Barat, mengapa aku takut minum racun? Ha ha ha, Ayah. Mari kita antar calon isteriku ini ke istana bersama pemuda yang mempunyai keberanian besar ini.”

"Ke istana? Kok Sun, aku dapat menyembuhkan dia di sini, juga aku dapat menyembuhkan kau. Mengapa harus ke istana'" tanya ayahnya.

"Orang seperti Hui Lian harus dijadikan puteri istana dulu, baru kawin dengan aku. Kita membawa mereka ke kota raja, menghadap kaisar dan bukankah Ayah pernah bilang hendak mencari kedudukan di istana? Mengapa tidak sekalian sekarang kita ke sana dan datang datang membawa jasa dengan menangkap dua orang ini? Kalau Ayah yang minta, tentu Kaisar suka mengampuni Hui Lian dan mengangkatnya menjadi puteri, kemudian kawin dengan aku."

"Hm... tapi..." See- thian Tok-ong ragu-ragu. Memang dia bercita-cita tinggi, bahkan kalau mungkin dia mau merebut kedudukan kaisar. Akan tetapi bukan dengan cara ini.

"Ayah, kalau begitu biar aku mati bersama Hui Lian di sini. Dia jangan Ayah obati, juga aku tidak sudi menelan obat Ayah!" Kwan Kok Sun mengambek.

"Kau mau bilang apa lagi" Kwan Ji Nio membentak suaminya. "Hayo kita berangkat ke kota raja."

See-thian Tok-ong mengangkat pundaknya, lalu berpaling kepada Wie It dan berkata. "Kau masih mau membawa dua orang ini ke istana? Hayo antarkan kami."

"Baiklah Locianpwe, kami senang sekali,” jawab Wie It. Lenyap sekarang kegarangan dan kesombongannya setelah ia tahu siapa adanya kakek ini. Nama besar See-thian Tok-ong cukup membuat ia gemetar dan tahulah ia bahwa ia kini berhadapan dengan orang yang patut menjadi gurunya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menyebut locianpwe!

See-thian Tok-ong tidak segera berangkat. Ia lebih dahulu mengobati Hui Lian dan Kwan Kok Sun. Setelah matahari menyinari bumi, barulah See-thian Tok-ong mengajak semua orang berangkat. Berkat obat yang luar biasa dari See-thian Tok-ong, Kwan Kok Sun dan Hui Lian sembuh sama sekali.

Hui Lian dan Hong Kin maklum bahwa menghadapi See-thian Tok-ong sekeluarganya mereka berdua tidak berdaya melawan.

"Biarlah kita menurut saja, Nona. Sesampainya di sana, aku percaya Wanyen Siauw-ongya takkan membiarkan kita di ancam bahaya," kata Hong Kin menghibur.

Hui Lian mengangguk dan gadis ini berkata kepada Kok Sun yang selalu berada dekat dengan dia. "Kwan Kok Sun, aku mau dibawa ke istana sebagai tawanan. Akan tetapi ingat, jangan sekali kali kau bersikap kurang ajar dan menggangguku. Kalau laranganku ini dilanggar, jangan harap aku akan menyerah dengan damai sebaliknya aku akan mengamuk dan melawan sampai titik darah penghabisan.”

Kok Sun tersenyum girang. "Nona manis, siapa berani mengganggumu? Yang mengganggumu akan mampus lebih dulu di tanganku. Kau calon isteriku, bagaimana aku mau mengganggumu? Asal kau tidak lari dari aku, kau akan bebas. Melihat mukamu yang manis saja aku sudah puas, aku sudah kenyang. Ah, kekasih hati pujaan kalbu..."

Hui Lian membuang muka dan tidak mau melayani lagi sampai Kok Sun akhirnya capai dan berhenti mengaco-belo sendiri. Rombongan yang aneh ini berjalan kaki menuju ke kota raja. Hui Lian dan Hong Kin dikurung di tengah-tengah dan di dalam hati Hui Lian timbul sesuatu yang hangat terhadap Hong Kin, pemuda yang ternyata membelanya mati-matian itu.

"Saudara Hong Kin, karena aku seorang, kau jadi ikut menderita dan terancam," kata Hui Lian perlahan, dan mengerling lembut ke arah pemuda baju hijau itu.

Hong Kin tersenyum. "Nona, andaikan aku mati demi membelamu, aku akan mati dengan puas dan bangga!"

Hui Lian membelalakkan mata dan menatap wajah pemuda itu. Hong Kin juga memandang kepadanya dan sinar mata pemuda ini penuh pernyataan yang kalau diucapkan akan berbunyi. "Apakah kau masih belum mengerti akan isi hatiku yang penuh cinta kasih kepadamu?”

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Hui Lian tiba-tiba menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan aneh, pada saat seperti itu, wajah Wa Sin Hong terbayang di depan bulu matanya. Pemuda ini demikian baik, demikian jujur, setia dan mencintanya. Akan tetapi dia tidak "ada hati" kepada Coa Hong Kin, sayang. Sayang dan kasihan pemuda ini. Sebaliknya, orang yang selalu menjadi kenangan, yang sekaligus merampas hati dan cinta kasihnya, adalah Wan Sin Hong, pemuda yang menjadi penjahat besar! Teringat betapa Sin Hong membawa lari Soan Li dan betapa pemuda itu mengecewakan hatinya, tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun di pipi Hui Lian.

Tiba-tiba terdengar suara "Plok! Plok!” dan Hong Kin terhuyung-huyung. Ternyata ia telah digaplok dua kali oleh Kwan Kok Sun yang tadinya seperti berjalan sambil mimpi karena pandangan matanya ditujukan ke atas ujung kedua kakinya.

"Bedebah, berani kau mengganggu isteriku sampai dia menangis? Dua butir air mata untuk dua gaplokan masih terlalu murah. Awas, kalau ada air mata keluar lagi, setiap butir harus kaubayar dengan satu gebukan. Kaulihat sajalah!"

Hui Lian terkejut sekali dan cepat ia mengeringkan matanya dengan ujung lengan baru. Hong Kin sudah bangun lagi, menyusut bibirnya yang berdarah ujungnya, akan tetapi bibir ini tersenyum ketika ia memandang kepada Hui Lian. Nona ini merasa terharu, Juga marah sekali, akan tetapi ia maklum bahwa menghadapi Kok Sun yang gila itu, lebih baik bersabar. Ia tidak takut menghadapi Kok Su dan belum tentu ia kalah. Akan tetapi di situ ada See-thian Tok-ong, ada Kwan Ji Nio, bahkan masih ada Liok-te Mo-ong Wie It dan lain-lain busu. Pihak lawan terlalu berat dan melawan berarti membuang tenaga sia-sia belaka.

"Jangan pukul dia, dia kawan baikku. Aku takkan menangis dan kalau aku menangis juga, bukan karena dia yang menggangguku," katanya kepada Kok Sun.

"Habis siapa yang mengganggumu?”. tanya Kok Sun ketolol-tololan.

"Kalau aku menangis, paling-paling engkaulah yang mengganggu," Jawab Hui Lian mendongkol.

"Aku?" Kok Sun memandang dengan mata melirik ke kanan kiri, kemudian kepalanya yang gundul mengangguk ketika ia berkata, "Hm, kalau aku yang mengganggumu sampai kau menangis, aku akan memukul kepalaku sendiri. Sekali gebuk untuk sebutir air mata!"

Hampir Hui Lian tak dapat menahan gelak tawanya saking geli mendengar kata-kata ini. Kalau pemuda gundul yang otaknya tidak beres ini tidak jahat, kiranya akan menimbulkan kasihan. Akan tetapi sekarang sifatnya yang amat jahat itu membuat ketololannya makin menggemaskan, juga amat lucu. Kalau saja di situ tidak ada See-thian Tok-ong dam Kwan Ji Nio yang tentu akan turun tangan, ingin Hui Lian menangis meraung-raung dan memeras semua air matanya biar Si Gila Gundul itu memukuli kepalanya sendiri sampai benjut dan pecah-pecah!

Diam-diam Hui Lian merasa cemas mengingat akan nasib sendiri. Apakah yang akan dialaminya selanjutnya? Betapapun juga, kalau ia melirik ke arah Hong Kin dan melihat pemuda itu tenang-tenang saja berjalan di sebelahnya, hatinya menjadi agak lega dan tenang. Ia percaya akan kepintaran pemuda ini, percaya pula akan kebaikan hati Pangeran Wanyen, yang air mukanya seperti Wan Sin Hong itu. Teringat sampai di sini, kembali wajah Sin Hong terbayang-bayang, membuat Hui Lian melamun dan berjalan sambil menundukkan mukanya yang kemerahan.

Biarpun Kwan Kok Sun seorang pemuda yang sejak kecilnya biasa ugal-ugalan dan hati pikirannya terbungkus hawa kejahatan, namun ia merasa keder juga ketika memasuki istana dan dihadapkan kepada kaisar. Pribadi Kaisar amat kuatnya dan wibawanya besar. Semua itu bukan saja disebabkan oleh karena memang Kaisar yang biasa disembah itu mempunyai pengaruh diri yang kuat, juga dibantu oleh keadaan di dalam istana yang demikian besar, demikian indah, dan demikian mewah.

Siapapun juga yang memasuki ruangan itu dan menghadap kepada Kaisar, melihat semua orang berlutut menghormat Kaisar, pasti akan tunduk dan merasa dirinya kecil. Demikian pula Kok Sun yang segera ikut-ikut menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar dan tidak berani membuka mulut secara sembrono atau ugal-ugalan.

Adapun Kwan Ji Nio, sebelum menikah dengan See-thian Tok-ong, adalah seorang keturunan Han. Oleh karena itu di dalam sudut hatinya, ada perasaan bangga terhadap negara dan terutama terhadap Kaisar. Wanita ini tidak mengikuti perkembangan politik, tidak tahu akan artinya dinasti yang jatuh bangun ia hanya tahu bahwa kaisar di istana kota raja adalah kaisar di Tiongkok, adalah seorang mulia seperti yang biasa disebut orang sebagai Cin-beng Thian-cu (Putera atau Pilihan Tuhan) dan karenanya harus disembah-sembah oleh rakyat! Inilah sebabnya maka ia pun berlutut dengan penuh penghormatan di depan kaisar bersama yang lain-lain.

Apa lagi Hui Lian yang baru pertama kali itu memasuki istana dan semenjak masuk di pintu gerbang pertama sudah bengong mengagumi keindahan bangunan dan perabot-perabot rumah, terkena juga pengaruh kebesaran kaisar dan bersama Hong Kin ia pun berlutut di atas lantai yang mengkilap dan bersih sekali itu.

Yang tidak berlutut hanyalah See-thian Tok-ong. Tokoh ini datang dari India dan ia merasa diri sendiri juga seorang raja, biarpun raja dalam dunia kang-ouw, yakni seperti juga orang menyebutnya, Raja Racun! See- thian Tok-ong memberi hormat seperti seorang beragama Buddha memberi hormat, merangkap kedua tangan di depan dada sambil menjura, kemudian karena tidak enak melihat semua orang berlutut, ia lalu duduk bersila di atas lantai!

Kaisar duduk di atas kursi gading berukir emas yang berkilauan dan indah sekali, pakaian kebesarannya juga mentereng. Di kanan kirinya terdapat enam orang siuli yang cantik-cantik menjaga segala keperluannya sehingga Sang Kaisar tak perlu bersusah-payah kalau menghendaki sesuatu. Kegerahan? Ada tangan halus yang menggerak-gerakkan kipas bulu burung merak dari Tanah Selatan. Hendak minum? Sepasang lengan yang mungil menyangga baki terisi segala macam minuman dan buah-buahan, tinggal pilih. Kaki atau anggauta tubuh pegal-pegal? Ada jari-jari tangan yang halus lunak dan ahli memijit-mijit bagian yang pegal untuk menghilangkan rasa lelah.

Agak jauh dari tempat duduk kaisar berbaris pengawal pribadi kaisar yang jumlahnya tiga puluh orang, lima belas kanan dan lima belas di kiri. Di jaman dahulu pengawal pribadi hanya berjumlah enam atau paling banyak dua belas orang saja yang hadir di ruangan pertemuan itu, sebagian besar hanya menjaga di luar siap sedia kalau ada sesuatu. Akan tetapi semenjak kota raja diperkuat, segala apa juga diperkuat sehingga kaisar dan sekeluarganya dapat tidur nyenyak. Para pengawal pribadi ini nampak kuat- kuat dan berkepandaian tinggi, dengan senjata tajam siap di tangan.

Ada yang memegang tombak, toya, pedang, golok, ruyung dan penggada. Sikap mereka angker sekali dan berdirinya tegak dalam sikap menghormat. Di bagian luar ruangan, akan tetapi kelihatan dari situ, nampak sepasukan pengawal lain berdiri menjaga, jumlah mereka semua tidak kurang dari seratus orang. Ada pasukan panah, pasukan golok, pasukan pedang, dan pasukan tombak. Pakaian sama bentuknya, hanya berbeda warnanya. Semua ini menambah keangkeran Kaisar dan membuat orang yang mempunyai pikiran buruk hendak berkhianat menjadi kecil hatinya!

Liok-te Mo-ong Wie It membuat laporan kepada Kaisar, menceritakan bahwa dia dan kawan-kawannya berhasil menawan Nona Go Hui Lian dan seorang pemuda yang mengawalnya bernama Coa Hong Kin. Semua ini berhasil berkat bantuan tiga orang gagah perkasa yang kini ikut menghadap yakni See-thian Tok-ong, isterinya Kwan Ji Nio dan puteranya Kwan Kok Sun.

Kaisar nampak girang dan puas sekali mendengar laporan ini. Ia memandang ke arah Hui Lian dengan kening berkerut, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya yang dibebani mahkota berat seakan-akan menyayangkan seorang gadis remaja demikian cantik sampai tersesat menjadi pemberontak! Kepada Hong Kin ia hanya mengirim pandang mata selirikan saja. Kemudian ia memandang kepada See-thian Tok-ong bertiga dengan penuh perhatian.

"Kalian bertiga telah berjasa dalam menangkap dua orang buronan ini, apakah sekarang kehendak kalian menghadap ke sini? Apakah hendak minta hadiah? Biarlah kami memberi hadiah seratus tail uang emas kepada kalian bertiga," kata Kaisar memperlihatkan kemurahan hatinya.

See-thian Tok-ong yang tadinya besila dan meramkan mata seperti Sang Buddha bersamadhi, kini membuka matanya dan berkata dengan hormat akan tetapi tegas, "Hamba bertiga bukanlah segolongan orang yang gila harta seperti kebanyakan pegawai Paduka! Hamba datang selain untuk menghaturkan hormat, juga untuk mengajukan permohonan-permohonan."

Kaisar mengangguk-angguk. "Memang banyak yang menampik harta akan tetapi mengharapkan hadiah lain. Katakan apa permohonanmu? Kalau pantas dan dapat dilaksanakan, tentu kami takkan merasa keberatan."

"Permohonan hamba bertiga hanya ada dua macam. Pertama, putera hamba tergila-gila dan suka kepada Nona Go Hui Lian yang menjadi tawanan, karena itu hamba mohon Paduka suka mengijinkan Nona ini menjadi isteri putera hamba. Kedua, apabila Paduka membutuhkan dan mau menerima, hamba suka menjaga keamanan di dalam istana ini dan hamba bertiga sanggup membasmi semua musuh Paduka atau orang-orang yang mengancam keselamatan isi istana.”

Semua orang tercengang mendengar permintaan yang bukan-bukan ini. Memang permintaan itu, terutama yang ke dua, boleh saja diajukan akan tetapi bukan seperti itu cara mengajukannya, seakan-akan mengajukan permintaan kepada seorang kawan saja. Apalagi bahasa yang dipergunakan oleh kakek gundul kasar sekali bagi pendengaran orang-orang di situ yang biasa mendengar kata-kata halus penuh kesopanan yang diajukan orang terhadap Kaisar.

Akan tetapi Kaisar tidak marah, hanya tersenyum agak masam. Kemudian Kaisar memandang kepada Hui Lian dan berkata, "He, kau, gadis cantik yang menjadi tawanan. Apakah kau suka diambil sebagai isteri oleh putera See thian Tok-ong yang namanya... eh, Wie It, siapa tadi namanya bocah gundul ini?”

"Namanya Ban beng Sin-tong Kwan Kok Sun, Tuanku," jawab Liok-te Mo-ong Wie It.

Kaisar tertawa. "Panjang benar. Tapi pantas bagi seorang yang mempunyai nyawa selaksa. Bagaimana, Go Hui Lian, sukakah, kau?"

Hui Lian menoleh ke arah Kok Sun, memandang penuh kebencian, kemudian mengangkat muka menatap wajah Kaisar, penuh keberanian ketika ia menjawab lantang. "Hamba tidak sudi!"

Kwan Kok Sun terkejut, lupa bahwa dia menghadap Kaisar. "Eh, calon isteriku yang manis, kekasihku sayang, mengapa kau menjawab begitu?"

Kaisar mengangkat tangan dan kalau bukan Kok Sun yang membikin ribut, tentu sudah mendapat gaplokan dari para busu. Kaisar mengerutkan kening dan berkata, "Hai perjodohan ini biar kami pikir-pikir dulu. Masukkan gadis ini dalam tahanan" perintahnya dan Hui Lian lalu digiring keluar dari tempat itu.

Melihat Hui Lian dibawa pergi dari ruangan itu, Kwan Kok Sun hendak bangun berdiri dan hendak marah, akan tetapi tiba-tiba ayahnya membentak, "Kok Sun, jangan bergerak kau!"

Kok Sun amat dimanja oleh orang tuanya, terutama oleh ibunya, akan tetapi terhadap ayahnya ia masih takut. Tahu bahwa bentakan ayahnya kali ini sungguh-sungguh dan ia tidak berani membangkang, lalu duduk lagi dan berlutut seperti tadi, biarpun matanya kadang-kadang melirik ke arah lorong kemana Hui Lian dibawa pergi.

Kaisar memandang kepada Coa Hong Kin yang masih berlutut, lalu membentak marah. "Kau... mengapa kau berani membantu seorang pemberontak? Apakah kau ada niat memberontak terhadap kami?"

Hong Kin menjawab dengan penuh hormat. "Tidak sekali-kali hamba berniat demikian jahat. Hamba hanya menerima perintah dari Pangeran Wanyen Siauw-ongya untuk mengantarkan Nona Go Hui Lian keluar dari kota raja. lnilah tanda hamba sebagai utusan Wanyen Siauw ongya." Coa Hong Kin mengeluarkan kancing emas pemberian Pangeran Wanyen.

Kaisar mengelus-elus jenggotnya mengerutkan keningnya. Wanyen Ci Lun adalah keponakannya yang amat disayang dan sudah banyak jasanya terhadap negara dan amat pintar sehingga seringkali dalam menghadapi perkara-perkara besar, kaisar minta bertukar pikiran dengan Pangeran itu. Kini Wanyen Ci Lun menyuruh orang kepercayaannya mengantar gadis Go Hui Lian keluar kota raja, apalah artinya semua ini? Kaisar tidak mau segitu saja marah kepada keponakannya, apalagi menyangka yang bukan-bukan. Oleh karena itu ia lalu berkata kepada penjaga.

"Masukkan dia dalam tahanan menanti pemeriksaan lebih lanjut!"

Seperti Hui Lian, Hong Kin juga digiring keluar dari tempat itu untuk dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang tentu saja terpisah dari tempat tahanan Hui Lian.

Kaisar memandang lagi kepada See-thian Tok ong yang sabar menanti sambil tetap duduk bersila. "See than Tok-ong, kami ulangi, urusan perjodohan dapat dibicarakan kelak setelah urusan gadis itu diperiksa teliti. Sekarang tentu usulmu atau permintaanmu yang kedua. Kau menjanjikan bantuan untuk menjaga keselamat kami, apakah alasanmu?" Setelah berkata demikian, Kaisar menatap wajah See thian Tok-ong dengan tajam.

"Pertama mengingat bahwa hamba yang berasal dan See-thian sekarang sudah bertempat tinggal di negara ini maka sudah sepatutnya kalau hamba menyumbang tenaga dan kepandaian untuk membalas budi kepada Paduka, kedua kalinya oleh karena hamba mendengar bahwa bangsa Mongol sudah mengancam keamanan di negeri ini sedangkan hamba mempunyai permusuhan dengan orang-orang Mongol maka hamba bersiap untuk membela kerajaan paduka dari serangan mereka itu."

Kaisar menjadi girang dan tertarik. "Bagaimana kau seorang yang datang jauh dari barat dapat bermusuhan dengan orang Mongol yang tinggal jauh di utara?"

Dengan suara tetap dan tenang See-thian Tok-ong menjawab. "Hamba pernah merantau sampai ke Mongolia dan di sana hamba menerima penghinaan dari mereka, bahkan hampir saja hamba terbunuh kalau saja hamba tidak berkepandaian."

Kaisar mengangguk-angguk. Orang ini boleh dipakai, pikir Kaisar. Hanya yang masih meragukan, apakah benar-benar kepandaiannya tinggi dan sampai di mana kesetiaannya. "Wie-ciangkun, apakah kau sudah melihat bagaimana kepandaian dari See-thian Tok ong ini? Sampai di mana tingkatnya dan pangkat apakah pantasnya bagi seorang berkepandaian seperti dia?"

Liok-te Mo-ong Wie It tidak saja sudah kenal baik nama besar See-thian Tok-ong seanak isteri yang sudah menggegerkan dunia kang-ouw dan bahkan sudah memhasmi partai besar dan disegani seperti Im-yang-bu-pai, akan tetapi juga sudah menyaksikan sendiri kehebatan ilmu kepandaiannya tiga orang aneh dari barat itu. Maka ia pun tahu bahwa di antara semua pengawal dt istana, tak seorang pun dapat menandingi kepandaian kakek gundul mi.

"Menurut pendapat hamba yang bodoh, kalau ada pangkat yang tepat bagi See-than Tok-ong Locianpwe, maka pangkat itu hanya kepala seluruh pengawal."

Kaisar kelihatan tercengang dan menoleh kepada See-than Tok-ong untuk memandang penuh perhatian. Pengangkatan kepala pengawal istana apalagi kepala seluruh pengawal bukanlah hal yang remeh dan tidak mungkin pangkat tertinggi bagi pengawal Kaisar diserahkan kepada sembarang orang begitu saja tanpa mengenal baik-baik siapa orangnya.

Pada saat itu terdengar seruan keras sekali, "Kaisar lalim mampuslah kau!"

Seruan ini disusul oleh berkelebatnya lima bayangan orang yang gerakannya luar biasa cepatnya. Bayangan-bayangan orang ini masuk ke dalam ruangan dari pelbagai jurusan, yang tiga masuk dari atas dengan menerobos genteng, yang seorang dari jendela dan yang seorang lagi dari pintu. Benar-benar hal yang seperti tak masuk di akal kalau ada lima orang musuh gelap dapat memasuki istana begitu saja, bahkan dapat masuk ke dalam ruangan sidang Kaisar tanpa diketahui oleh para penjaga di luar yang berlapis-lapis dan amat kuat!

See-than Tok-ong mengeluarkan gerengan marah dan tubuhnya yang tadi bersila, kini tiba-tiba melompat ke atas dan kedua tangannya sudah memegang sepasang senjatanya yang mengerikan, yakni Ngo-tok Mo-jiauw (Cakar Setan Lima Racun) dan secepat kilat ia menerjang dua orang lawan yang sudah mengeluarkan pedang masing-masing untuk menyerang Kaisar.

Kwan Ji Nio mengeluarkan jeritan nyaring, tahu-tahu tubuhnya sudah melesat ke depan Kaisar, membelakangi kaisar dan tangan kirinya menyambar sebatang piauw yang tadinya melayang ke arah Kaisar, sedangkan tangan yang memegang ranting digerakkan cepat menyampok runtuh dua batang piauw lain. Kemudian ia menghadapi seorang penyerbu dan segera mereka bertempur sengit.

Juga Kwan Kok Sun biarpun biasanya kelihatan tolol dan ayal-ayalan, kini nampak sekali bahwa dalam keadaan penting ia ternyata dapat bergerak luar biasa cepatnya. Entah dari mana mengambilnya tahu-tahu kedua tangannya sudah memegang ular kecil warna hitam putih dan ia menerjang seorang penyerbu yang datang dari jendela. Penyerbu ini mengeluarkan seruan kaget dan agaknya ngeri menyaksikan senjata aneh akan tetapi ilmu silatnya tinggi dan dapat menandingi Kwan Kok Sun.

Adapun penyerbu yang seorang lagi yang datang dari pintu, sudah disambut oleh Liok-te Mo-ong Wie It yang dibantu oleh lima orang panglima pengawal. Mereka ini segera mengeroyok dan mengepung orang ke lima ini.

Para pengawal yang tadinya berdiri tegak dan gagah di kanan kiri Kaisar secara otomatis kini sudah mengelilingi Kaisar dan merupakan pagar hidup yang kokoh kuat melindungi yang dipertuan. Akan tetapi Kaisar berteriak marah.

"Yang di depanku jongkok! Aku ingin menonton pertempuran!"

Para pengawal yang berada di depan Kaisar lalu memasang kuda-kuda sambil berjongkok, kaki kiri berjongkok kaki kanan dilonjorkan ke depan, senjata di tangan dan siap menghadapi segala kemungkinan. Setelah mereka ini berjongkok Kaisar nampak puas dan menonton pertempuran hebat yang terjadi di ruang ini„ tangan kanannya otomatis meraba gagang pedangnya.

Pertempuran ini memang hebat, See-thian Tok ong yang memegang sepasang Ngo-tok Mo-jiauw dikeroyok oleh dua orang yang amat lihai ilmu silatnya. Pengeroyoknya adalah dua orang tinggi kurus yang berjenggot panjang berpakala seperti petani dan nampaknya lemah. Akan tetapi ternyata ilmu pedangnya amat ringan dan gesit. Seorang di antara mereka hanya satu telinganya, yang kanan telah buntung. Yang seorang agak lebih muda berpakaian serba kuning. Melihat Si Telinga Buntung itu, Kaisar mengeluarkan seruan marah.

"Penjahat she Siok! Kiranya engkau.”

Si Telinga Buntung itu mengeluarkan suara mengejek. "Kaisar buto (lalim), bagus sekali kau masih mengenal aku. Mampuslah kau!" Tangan kirinya menyambitkan dua butir pelor baja melayang cepat ke arah Kaisar.

Seorang di antara pengawal di depan Kaisar yang berjongkok, tiba-tiba meloncat dan dengan gerakan indah sekali berhasil menangkap dua buah pelor baja itu, lalu berlutut kembali seperti tak pernah ada kejadian sesuatu. Si Telinga Buntung nampak kaget. Tak disangkanya bahwa Kaisar ini dilindungi oleh orang-orang pandai, bahwa pengawal-penga yang kelihatannya tak berisi itu ternyata memiliki kepandaian yang lumayan tingginya. Kemudian ia terpaksa mengalihkan seluruh perhatiannya kepada See-thian Tok-ong yang bukan main-main itu.

Si Telinga Buntung yang oleh Kaisar dikenal sebagai orang she Siok ini sebetulnya adalah Siok Hoat yang berjuluk Thian-sin (Malaikat Langit) dan dahulu menjadi kepala pengawal dari Kaisar. Kumudian datang Liok-te Mo-ong Wie It yang kepandaiannya tinggi dan setingkat dengan Siok Hoat. Karena Wie It menjadi kepercayaan Kaisar dan diangkat menjadi komandan Kim-i-wi, diam-diam antara Siok Hoat dan Wie It timbul persaingan.

Siok Hoat telah beberapa lama mengadakan hubungan gelap dengan seorang siuli dan pada suatu hari ia ditangkap dan oleh Kaisar dijatuhi hukuman potong telinga dan diusir dari kota raja dengan dakwaan telah bermain gila dengan siuli dan karenanya berarti mengotori istana dan menghina Kaisar!

Setelah Siok Hoat diusir, Liok-te Mo-ong Wie It diangkat menjadi kepala pengawal. Semenjak itu, sudah hampir sepuluh tahun yang lalu, orang tidak mendengar lagi tentang nasib Siok Hoat. Padahal diam-diam bekas komandan pengawal ini telah melatih diri dan mengadakan hubungan dengan orang-orang yang mempunyai perasaan anti Kaisar.

Dan pada hari itu, dengan empat orang kawannya yang berkepandaian tinggi, ia berhasil memasuki istana secara diam-diam untuk melakukan percobaan membunuh kepada Kaisar. Sudah barang tentu ia mendapat bantuan dari para mata-mata yang menyelundup sebagai pengawal dan orang-orang penting di dalam istana, kalau tidak demikian, tak mungkin ia dan kawan-kawannya dapat memasuki istana tanpa diketahui para penjaga.

Yang dihadapi See-thian Tok ong adalah Thian-sin Siok Hoat sendiri dan seorang kawannya, yakni seorang tosu (pendeta penganut aliran Too yang berambu panjang) bernama Swi Tok Sai-ong. Tosu ini adalah seorang pendeta perantau dari Pegunungan Go-bi-san dan ilmu silatnya juga berdasarkan Ilmu Silat Go-bo pai, hanya sudah banyak berubah karena sesungguhnya dia bukanlah murid aseli dan Go-bi-pai.

Swi Tok Sai-ong adalah seorang tokoh dan golongan Mo-kau atau yang lajim disebut agama sesat oleh para tokoh agama lain seperti Agama Buddha, Agama To, dan para pemua Kwan lm dan lain-lain. Seperti Siok Hoat, tosu atau sai-kong ini pun seorang ahli bermain pedang dan bersama Thiansin Siok Hoat ia mencoba untuk mendesak See thian Tok-ong.

Namun See-thian Tok-ong bukanlah manusia sembarangan. Ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang Iebih tinggi laripada ahli-ahli silat lainnya, bahkan dia memiliki beberapa keistimewaan yang sesuai dengan julukannya, yakni Tok-ong (Raja Rucun). Sepasang senjatanya saja, yakin Ngo-tok Mo-jiauw sudah mengerikan. Lima buah kuku panjang dan setiap jari tangan cakar setan ini terdiri dari lima warna dan mengandung lima macam racun yang amat berbahaya.

Sekali saja terkena cakaran dan terluka sampai mengeluarkan darah oleh sebuah dt antara lima kuku ini, orang akan tewas. Setiap kuku mendatangkan maut yang berlainan akan tetapi sukar dikatakan mana yang paling mengerikan. Kuku ibu jari saja kalau melukai orang, korban itu akan berkelojotan, seluruh tubuh terasa panas-panas seperti terbakar dan dalam waktu paling lama sepeminuman teh orang itu akan tewas dengan tubuh menjadi hangus menghitam! Dan kuku kelingking sebaliknya yang terkena akan menggigil kedinginan dan dalam waktu yang sama akan tewas dalam keadaan tubuh membeku dan kaku, kulit menjadi biru menakutkan.

Biarpun dikeroyok dua oleh ahli-ahli silat tinggi yang gerakannya kuat dan cepat, See-thian Tok-ong tidak gentar. Ia tidak terdesak, sebaliknya sepasang cakar setannya setiap saat mengincar nyawa kedua lawannya dan pertempuran itu berjalan mati-matian sampai lima puluh jurus lebih. See-thian Tok-ong tidak terdesak akan tetapi itu pun tidak berani terlalu sembrono dan terlalu bernafsu menghadapi dua lawan itu, karena dua batang pedang itu bergerak cepat sekali dan kalau ia terlengah sedikit saja bahaya mengancam nyawa.

Oleh karena kedua pihak bertempur dengan amat hati-hati, maka pertempuran itu berjalan seru dan lama. Setelah menandingi Se thian Tok-ong, Siok Hwat dan Swi To Sai-ong terkejut setengah mati.

Sebagai ahli-ahli berpengalaman, mencium bau yang keluar dari sepasang cakar setan itu maklumlah mereka bahwa mereka menghadapi senjata beracun yang hebat. Pula melihat ilmu silat See-thian Tok-ong yang tinggi, mereka mengeluh sendiri. Tak disangkanya sama sekali bahwa di dekat Kaisar terdapat manusia semacam ini! Mereka benar-benar merasa bertemu dengan batu keras.

Memang kalau sekiranya mereka berlima ini hanya dihadapi oleh pengawal-pengawal yang tingkat kepandaiannya tidak melebihi Liok-te Mo-ong Wie It, biarpun mereka akan mati dikeroyok oleh banyak pengawal, akan tetapi kiranya mereka pun akan berhasil membunuh Kaisar. Akan tetapi kini di situ ada See-thian Tok-ong, dan masih ada dua orang lagi yang kini juga memperlihatkan ketangkasan dan kelihaiannya, yakni Kwan Ji Nio dan Kwan Kok Sun!

Kwan Ji Nio yang tadi menangkis serangan tiga batang piauw yang menyambar ke arah Kaisar, bertempur sengit dengan penyambit piauw, seorang gemuk pendek yang gerakannya gesit sekali. Orang gemuk pendek, berusia empat puluh lima tahun, berkumis tipis dan berkulit muka halus ini adalah Liang Ti kepala rampok di daerah selatan. Di selatan dia terkenal sekali, apalagi senjatanya yang berupa pacul dan senjata gelapnya berupa piauw bersayap (Hui piauw). Dahulu di waktu mudanya. Liang Ti Ek ini adalah petani maka senjatanya pacul...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.