Pendekar Budiman jilid 15

Cersil karya kho ping hoo serial pendekar budiman jilid 15

Pendekar Budiman Jilid 15

BI LAN terkejut, terheran, dan juga girang bukan main. Bagaimana ada hal yang begini kebetulan? Pedangnya tadi terlepas dari pegangan ketika ia terjungkal ke dalam jurang dan kini pedangnya itu bahkan telah menolongnya dari bahaya maut. Pedang ini jatuh meluncur dan menancap pada akar itu, terus menembus ke dalam tanah, merupakan pegangan yang cukup kuat. Baiknya pedang itu menancap sampai hampir ke gagangnya, kalau tidak demikian, besar kemungkinan tubuhnya ketika jatuh tadi akan terluka oleh pedangnya sendiri!

Bi Lan tertawa. Benar benar hebat, dalam keadaan seperti itu, gadis lincah ini masih dapat tertawa. Ia tertawa geli memikirkan hal ini. Dan timbul harapannya. Thian telah mengaturnya sehingga ia bertemu dengan pedangnya sendiri di tempat yang aneh ini, tentu Yang Maha Kuasa telah mengatur pula sehingga ia akan tertolong dan keluar dari tempat ini. Dikumpulkan seluruh tenaganya dan untuk beberapa lama ia mengatur pernapasannya sehingga tubuh dan semangatnya menjadi sehat dan tenang kembali.

Setelah itu, Bi Lan mulai merayap naik lagi seperti tadi. Akan tetapi sekarang ia tidak mau berlaku sembrono. Setiap kali hendak menarik tubuhnya ke atas, ia lebih dulu menggunakan pedangnya, ditancapkan kuat kuat ke dalam tanah yang keras. Di antara tanah yang basah dan lunak memang terdapat tanah tanah cadas sehingga dengan adanya pedang itu, ia mendapat pembantu yang boleh dipercaya.

Biarpun amat lambat, namun nampaknya ada hasilnya, makin lama badannya makin mendekati tebing jurang. Namun, jangan dikira bahwa pekerjaan ini mudah. Pecah pecah kulit telapak tangan dan lutut gadis ini, peluhnya bercucuran, napasnya memburu dan tubuhnya sakit sakit semua. Apalagi bekas terguling guling tadi mendatangkan beberapa luka kecil yang menguncurkan darah. Dan bukan main tingginya tebing itu karena setelah bergulat dengan mati matian selama setengah hari, barulah ia tiba di tebing jurang!

Bi Lan tidak berani segera naik dan ia beristirahat dulu sambil bergantung pada gagang pedangnya dan sebuah akar. Ia hendak mengumpulkan tenaganya, karena siapa tahu kalau kalau ia harus bertanding lagi setelah tiba di atas. Gadis ini tidak sadar bahwa telah setengah hari ia bergulat merayap naik itu. Akan tetapi, semua sunyi dan tidak terdengar sedikitpun suara dari atas jurang. Dan keadaan sudah menjadi gelap karena senja telah lewat dan malam mulai mendatang.

Ketika ia berdongak ke atas, bintang bintang mulai menghias langit biru. Akhirnya ia merayap lagi naik dan berhasil meloncat ke atas tebing jurang. Ketika melihat betapa sunyi tidak nampak seorangpun manusia, hatinya demikian lega sehingga ia lalu berbaring telungkup, mencium tanah dan tak tertahan lagi ia mengalirkan air mata! Bukan main senangnya dapat berada di permukaan bumi lagi setelah mengalami hal hal yang demikian hebatnya, ia merasa seakan akan hidup kembali dari balik kubur!

Ia tidak melihat bekas bekas pertempuran tadi, hanya ada beberapa senjata patah berserakan di situ. Tak ada sebuahpun mayat manusia, padahal tadi banyak terdapat mayat mayat dari anggauta Kwan im pai yang terbasmi oleh bala tentara Kin, juga banyak serdadu serdadu Kin yang tewas di situ. Ia tidak tahu bahwa semua jenazah serdadu Kin dibawa oleh kawan kawan mereka dan tak lama setelah bala tentara Kin pergi, orang orang Kwan im pai yang masih hidup, diam diam datang dan merawat jenazah jenazah kawan kawan mereka yang gugur, termasuk jenazah dari ketua mereka, yakni Sin kun Liu Toanio.

Setelah dapat menenangkan perasaannya yang penuh keharuan, Bi Lan lalu bangkit berdiri. Tenaganya pulih kembali dan ia berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. Hatinya mulai diliputi kekhawatiran karena ia tidak tahu ke mana perginya Ciang Le, ia merasa heran dan juga gelisah. Kalau pemuda itu selamat, tidak mungkin kekasihnya itu meninggalkan tempat itu, tahu bahwa dia terjerumus di dalam jurang. Apakah Ciang Le me ngalami bencana? Ataukah… barangkali pemuda itu sudah putus asa dan mengira dia telah tewas? Ke mana perginya Ciang Le? Pertanyaan pertanyaan yang tak dapat dijawab nya ini memenuhi kepalanya sehingga ia tidak tahu bahwa ada tiga orang mengintainya.

Akan tetapi, pendengaran gadis ini masih amat tajam dan ketika mereka itu bergerak sedikit saja, Bi Lan tiba tiba melompat dan sekali lompat saja ia telah berhadapan dengan mereka yang bersembunyi di balik pohon.

“Siapa kalian?” bentaknya sambil mengancam dengan pedang.

“Kami anggauta Kwan im pai, lihiap. Harap jangan salah sangka kami... kami telah kehilangan kawan kawan, bahkan ketua kami Sin kun Liu Toanio telah tewas…”

“Mengapa kalian tidak keluar saja dan mengintaiku sambil bersembunyi?” bentak Bi Lan yang masih saja menodongkan pedang ke arah dada mereka.

“Maaf, lihiap. Kami… kami kira lihiap sudah… tewas ketika terjerumus ke dalam jurang tadi… apakah… apakah benar benar lihiap masih… hidup?” seorang di antara mereka memberanikan diri bertanya.

Bi Lan tertawa terkekeh kekeh, sambil menutupi mulutnya dengan tangan kiri dan ia menyimpan pedangnya. Tiga orang itu saling pandang dan menjadi makin ketakutan. Memang sukar untuk dapat percaya bahwa orang yang terjungkal ke dalam jurang itu dan lenyap selama setengah hari lebih, tahu tahu kini telah berada di atas dalam keadaan selamat dan hidup, lukapun nampaknya tidak sama sekali! Mereka lebih percaya kalau arwah gadis itu yang kini keluar dan menuntut balas, arwah penasaran

“Kalian jangan takut, aku masih hidup, berkat Thian Yang Maha Kuasa. Coba kau ceritakan, bagaimana selanjutnya dengan pertempuran tadi setelah aku terjerumus ke dalam jurang?”

Tiga orang itu segera menjatuhkan diri berlutut dan mereka nampak sedih sekali. “Kami benar benar merasa berduka sekali lihiap. Kau dan sahabatmu itu dengan gagah perkasa telah membantu kami, akan tetapi sebaliknya lihiap telah mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawa lihiap. Dan kawan lihiap itu, pemuda yang gagah perkasa itu...”

“Apa yang terjadi dengan dia? Lekas katakan, lekas!”

“Dia... dia…”

“Keparat! Lekas katakan, dia kenapa?” suara Bi Lan menggigil.

“Dia... entah mengapa, lihiap. Ketika itu kami mengintai dan bersembunyi dan kami melihat dia...”

“Dia kenapa?"

“Dia menangis dan tertawa seperti orang gila!”

Naik sendu sedan dalam leher Bi Lan dan tak tahan lagi gadis ini menangis terisak isak. “Ciang Le... kau terpengaruh oleh racun itu...” keluhnya dengan hati tidak karuan rasanya.

Tiga orang anggauta Kwan im pai itu hanya memandang dengan penuh kasihan, akan tetapi tidak dapat mengeluarkan kata kata untuk menghibur. Akan tetapi Bi Lan segera dapat menguasai hatinya. “Lalu bagaimana? Ke mana perginya?”

“Dia... dia tertawan, lihiap.”

“Apa? Tertawan? Oleh siapa?” Akan tetapi Bi Lan tak perlu bertanya lagi karena ia sudah dapat menduga dengan jitu. Siapa lagi yang mampu menawan Ciang Le kalau bukan Pak Hong Siansu? Biarpun kekasihnya itu telah diserang oleh racun yang membuat ingatan berubah, tidak ada yang akan mampu menawannya selain Pak Hong Siansu. Maka tanpa menanti jawaban, seakan akan mendapat tenaga baru. gadis itu melompat dan lenyap dari depan tiga orang anggauta Kwan im pai yang memandang dengan bengong terlongon longong.

“Ah, gadis yang hebat sekali,” kata seorang diantara mereka, penuh kekaguman dan juga penuh iba hati.

********************

Beberapa hari kemudian, Enghiong Hwee koan nampak sunyi. Para orang gagah yang dahulu dikumpulkan oleh Sam Thai Koksu,. kini sebagian besar keluar dari tempat itu untuk membantu tentara Kin membasmi pemberontak yang timbul di mana mana. Mereka ini sibuk sekali. Bahkan Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu juga tidak nampak berada di situ. Juga Sam Thai Koksu yang kini tinggal dua orang lagi. yaitu Kim Liong Hoat ong dan Tiat Liong Hoat ong karena orang ke dua Gin Liong Hoat ong telah tewas di tangan Sin kun Liu Toanio, tidak kelihatan di situ dan sedang pergi ke kota untuk mengadakan perundingan dengan kaisar tentang usaha membasmi pemberontak. Hanya Giok Seng Cu, tosu yang lihai murid Pak Hong Siansu saja yang ditinggalkan di Enghiong Hweekoan untuk membantu kepala penjaga, kalau kalau ada musuh menyerbu.

Malam itu bintang memenuhi angkasa. Giok Seng Cu bercakap cakap dengan para penjaga, dan tosu ini merasa senang karena mengira bahwa keadaan di situ pasti aman. Orang orang kang ouw dari selatan dan utara sibuk membantu perjuangan para pemberontak, maka siapakah yang akan berani mengantarkan nyawa di tempat ini? Juga Ciang Le yang menjadi tawanan telah menjadi seorang yang tidak berguna, bisanya hanya tertawa atau menangis saja. Dibelenggu menurut saja, dipukuli tidak membalas, sudah kehilangan sama sekali ingatannya sehingga tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap. Kini pemuda yang menjadi gila itu ditahan di dalam sebuah kamar yang gelap dengan pintu yang tebal dan kuat sekali. Di depan pintu tebal ini masih terjaga oleh pasukan yang terdiri dari dua puluh orang perwira bersenjata lengkap dan berkepandaian tinggi. Apa lagi yang dikhawatirkan?

Giok Seng Cu minum minum dengan para kepala penjaga sambil mengobrol dengan asyiknya. Mereka tidak tahu bahwa sesosok bayangan yang gesit sekali mengintai dari atas genteng. Melihat Giok Seng Cu makan minum di ruang depan, bayangan ini dengan hati hati sekali lalu menyingkir dari atas ruangan itu dan berkelebat cepat ke belakang. Di sini kembali ia mengintai dan melihat dua puluh orang perwira yang menjaga sebuah pintu besi yang tebal sekali.

“Hm, di situ agaknya Ciang Le ditahan,” pikir bayangan ini yang bukan lain Bi Lan adanya.

Dia tidak mau secara sembrono turun tangan, karena selain pintu amat kokoh kuat dan penjagaan juga kuat, di sana masih ada Giok Seng Cu yang kepandaiannya telah ia ketahui lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Apa akal? Bi Lan menjadi bingung sekali, terutama karena ia tidak dapat tahu dengan pasti apakah benar benar Ciang Le berada di tempat itu! Menurut jalan pikirannya, ia harus minta bantuan dari kawan kawannya atau dari tokoh tokoh Hoan san pai yang ia ketahui tentu berada bersama dengan suhengnya, Gan Hok Seng. Karena kalau bertindak sendiri, amat besar bahayanya. Akan tetapi menurutkan suara hatinya, ia tidak tega meninggalkan Ciang Le begitu saja, dan hatinya ingin sekali turun tangan dan menolong kekasihnya. Kalau ia harus pergi dulu mencari bala bantuan bagaimana nanti kalau Ciang Le tidak keburu tertolong dan dibinasakan oleh orang orang Kin?

Akhirnya suara hati ini yang menang dan ia mengambil keputusan, menolong Ciang Le atau kalau perlu mati bersama di tempat itu! Setelah mengambil keputusan demikian, sadis yang tabah ini lalu mengertak gigi dan dengan pedang di tangan ia melayang turun ke arah tempat tahanan itu sambil memutar pedangnya.

Bukan main gegernya para penjaga ketika tahu tahu berkelebat bayangan gadis ini dan dua orang penjaga tanpa berdaya lagi roboh terbabat pedang! Mereka segera mengeroyok sambil berteriak teriak. Akan tetapi sebentar saja, kembali dua orang telah roboh terluka oleh pedang Bi Lan yang amat lihai. Tertarik oleh suara ribut ribut itu, muncullah Giok Seng Cu dan untuk beberapa lama tosu ini berdiri seperti patung dengan mata terbelalak lebar. Ia hampir tidak percaya kepada kedua matanya sendiri melihat Bi Lan mengamuk itu dan mengira bahwa yang datang adalah orang lain. Akan tetapi setelah ia mendapat kenyataan bahwa benar benar gadis ini adalah Bi Lan yang dahulu terjungkal ke dalam jurang, dan melihat betapa Bi Lan kembali merobohkan seorang penjaga ia lalu berseru keras sambil menggerakkan senjata rantainya,

“Iblis betina kau belum mampus juga?”

Bi Lan tidak mau banyak cakap lagi lalu menyerang dengan pedangnya. Gerakannya hebat sekali karena ia marah bukan main. Dengan menggertak gigi ia memutar pedangnya dan mainkan Ilmu Silat Thian te Kiam sut yang paling lihai. Pedangnya lenyap berobah menjadi segunduk cahaya berkilau kilauan tertimpa sinar lampu penerangan, menyilaukan mata para penjaga yang ikut mengeroyok. Namun gadis ini memang bukan lawan Giok Seng Cu yang selain memiliki ilmu kelandaian dan pengalaman yang luas, juga telah menerima gemblengan dari Pak Hong Siansu yang sakti. Apa lagi masih banyak perwira yang lihai ikut mengeroyok sehingga sebentar saja keadaan Bi Lan amat terdesak. Namun gadis ini dengan nekad dan mati matian mempertahankan diri dan beberapa orang penjaga terlempar lagi dengan tubuh luka luka.

Giok Seng Cu penasaran, marah dan malu karena sampai lima puluh jurus dia dan kawannya belum juga mampu mengalahkan Bi Lan. Ia memutar rantai bajanya dan berseru, keras. Rantai itu bergerak menyambar dan dapat melibat ujung pedang Bi Lan. Ketika gadis itu hendak menarik pedangnya, Giok Seng Cu melangkah maju dan tangan kirinya memukul ke arah dada Bi Lan, sedangkan dari kanan kiri, beberapa batang golok dari para penjaga juga menyambar dengan serangan yang berbahaya juga. Terpaksa Bi Lan melepaskan pedangnya dan melompat mundur, akan tetapi seorang penjaga yang memegang toya berhasil menyerampang kakinya sehingga biarpun gadis itu tidak terluka, namun cukup membuatnya terjungkal!

Para penjaga mengayun golok untuk membunuhnya, namun Giok Seng Cu mencegah, “Jangan bunuh!”'Dan tosu ini lalu menubruk dan menangkap kedua lengan Bi Lan lalu mengikatnya dengan rantainya tadi. Bi Lan tidak berdaya, hanya memandang dengan mata melotot marah.

“Ha ha ha, biarlah dia menjadi tawanan kita!” kata tosu itu kepada para penjaga. “Suhu tentu akan girang sekali kalau kembali dan melihat iblis betina ini sudah tertangkap. Rantaiku cukup kuat dan biarpun ia tumbuh tiga pasang tangan lagi, tak dapat ia melepaskannya. Lempar ia masuk ke dalam kamar gelap biar ia merawat kawannya yang dulu. Ha ha ha!”

Para penjaga ikut tertawa dan dengan sebuah anak kunci, pintu yang amat tebal itu dibuka. Cahaya lampu menyerbu masuk ke dalam kamar yang gelap itu, di mana nampak duduk seorang pemuda yang memandang ke arah pintu dengan tertawa tawa. Dia ini adalah Ciang Le yang duduk dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya.

“Nah, kau mengobrollah dengan orang gila itu!” kata seorang penjaga bertubuh tinggi besar sambil mendorong punggung Bi Lan ke dalam kamar itu sehingga gadis itu terdorong ke depan dan jatuh menimpa Ciang Le yang masih tertawa tawa! Kemudian pintu yang tebal itu ditutup kembali dan Bi Lan tidak sempat lagi melihat wajah orang yang ditubruknya karena keadaan menjadi gelap sama sekali, sampai melihat tangannya sendiripun tak tampak!

“Ha ha ha. mengapa kau ikut masuk? He, orang orang Kin yang jahat, di manakah kalian? Jangan sembunyi seperti tikus. Ha ha ha!”

Ketika mendengar orang yang ditubruknya tadi bicara seperti ini, Bi Lan menahan isaknya dan ia merasa betapa hatinya hancur mendengar orang itu kemudian menangis tersedu sedu!

“Ciang Le...“ bisiknya menahan isak, dan gadis ini karena ke dua tangannya dirantai kebelakang, hanya bisa merapatkan tubuh nya kepada pemuda yang duduk menangis itu

Mendengar panggilan ini, Ciang Le berhenti menangis dan tubuhnya menegang. Akan tetap hanya untuk sebentar, seakan akan suara panggilan ini mengingatkan ia akan sesuatu, dan ia menangis lagi.

“Ciang Le... aku disampingmu, aku… Bi Lan...“ kata pula Bi Lan yang tak dapat menahan tangisnya sehingga ia ikut tersedu sedu.

Tiba tiba Ciang Le tertawa bergelak, membuat bulu tengkuk gadis itu berdiri saking seramnya. Ini bukanlah suara ketawa Ciang Le lebih pantas suara ketawa iblis, pikirnya.

“Lan moi, hanya kalau kau benci padaku dan meninggalkan aku, baru aku akan menjadi gila. Ha ha ha!”

Tersayat hati Bi Lan mendengar Ciang mengoceh seorang diri, mengulang kata katanya yang dahulu ketika berkelakar dengannya. “Ciang Le... koko... aku di sini, aku Bi Lan! Aku takkan meninggalkanmu selama lamanya, koko. Aku tidak benci padamu…”

Bi Lan terpaksa menghentikan kata katan karena kembali Ciang Le memutuskan kata katanya dengan suara ketawa yang mengiris jantung. “Ha, ha, ha, Lan moi, aku takkan gila! Ha ha ha, mendapatkan kau sebaga calon jodohku, sebagai kekasihku, mana aku bisa gila? Ha, ha, ha! Kalau kau tidak mau menjadi jodohku, baru aku akan gila, Lan moi...”

“Tidak... tidak! Kau jangan... jangan gila, koko... aku suka menjadi jodoh mu, aku... aku cinta padamu...”

Bi Lan seperti telah ikut gila pula menjawab kata kata Ciang Le sambil menahan tangisnya. Kini gadis ini merebahkan kepalanya di atas pangkuan Ciang Le dan di situ ia menangia sepuas hatinya. Lalu ia teringat. Mengapa bersedih? Mengapa berduka? ia telah berada di samping Ciang Le. Gila atau tidak, pemuda ini tetap Ciang Le calon suaminya. Ciang La pemuda yang dikasihinya. Matipun ia akan bersama pemuda ini, mengapa berduka? Maka tenanglah pikirannya dan bahkan timbul kegembiraannya.

“Ciang Le, kau ingatlah baik baik. Aku adalah Liang Bi Lan kekasihmu. Aku tidak mati di dalam jurang... aku…”

“Setan! Bi Lan sudah tewas, terjungkal ke dalam jurang, ah...” dan pemuda itu menangis lagi terisak isak sehingga Bi Lan merasa air mata yang hangat membanjiri mukanya, membasahi bibirnya. Hatinya terharu sekali dan ia hanya bisa merapatkan kepalanya pada tubuh pemuda itu.

“Koko… ah, jangan kau begitu! Aku masih hidup, lihat baik baik, atau... rabalah dengan tanganmu, ini kepalaku, rambutku, mataku... aku Bi Lan. Ciang Le, ingatlah kembli, aku berada di sampingmu, baik mati maupun hidup!”

Ucapan Bi Lan ini keras sekali, mengalahkan suara ketawa Ciang Le. Tiba tiba hening dan sunyi. Bi Lan merasa betapa kembali tubuh pemuda itu menegang dan untuk beberapa lama tidak terdengar suara apa apa keluar dari mulut Ciang Le. Bi Lan maklum bahwa Ciang Le terbelenggu kaki tangannya, maka diam diam ia mengeluh. Ia sudah berusaha untuk mengerahkan tenaga membuka rantai yang mengikat kedua tangannya, namun sia sia. Rantai itu terlalu kuat baginya.

Sampai lama Ciang Le diam saja, Bi Lan tidak berani menggerakkan kepalanya. Ia sendiri tidak tahu mengapa kekasihnya diam saja tak bergerak. Ia tidak berari mengganggunya, takut kalau kalau gilanya kumat lagi. Ia bahkan ikut diam seperti orang bersamadhi, saking lelah dan sedihnya. Bi Lan pulas dengan kepala di atas pangkuan Ciang Le!

Entah berapa lama ia tertidur dengan kepala di atas pangkuan pemuda itu. Bi Lan tidak tahu lagi. Tiba tiba ia sadar dari tidurnya karena merasa ada jari jari tangan menggerayangi mukanya, menyentuh pelupuk matanya. bibirnya, hidungnya, telinganya, pipinya... Hampir saja Bi Lan tersentak karena kagetnya dan hampir saja ia meloncat berdiri karena kedua kakinya tidak terbelenggu seperti kaki Ciang Le. Akan tetapi ia ingat bahwa tubuh pemuda itu masih diam saja maka ia pun berdiam diri sambil membuka matanya.

Jari jari tangan itu masih bergerak gerak dengan halus dan mesra, seakan akan hendak mempelajari garis garis pada mukanya. Hati Bi Lan mulai berdebar keras. Tak salah lagi ini adalah jari jari tangan Ciang Le. Ia teringat dan hampir berseru girang kalau tidak cepat cepat ditekannya agar jangan mengagetkan pemuda itu. Tadi Ciang Le terbelenggu, sekarang jari jari tangan yang tadinya terikat ke belakang sudah dapat meraba raba mukanya, tanda bahwa pemuda itu telah melepaskan diri. Dan ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa pemuda ini tentu sudah mendapatkan kembali ingatannya! Atau setidaknya sudah mulai ingat dan ragu ragu sehingga hendak meyakinkan bahwa gadis yang kepalanya di atas pangkuannya itu benar benar Bi Lan adanya!

Dugaan ini memang tepat sekali. Seperti pernah dikatakan atau diramalkan oleh Kwa Siucai dahulu ketika menolong Ciang Le dari ancaman jarum jarum hitam yang menancap di punggung pemuda itu, biarpun sudah sembuh namun apabila mengalami kekagetan dan kedukaan, pemuda ini akan menjadi gila. Akan tetapi, apabila ia mendapatkan kembali harapannya, terhibur dan mengalami kebahagiaan besar, ia akan sembuh kembali!

Tadi ketika mendengar suara Bi Lan, Ciang Le sudah mulai tergugah dari kegilaannya, hanya karena suara itu masih belum meyakinkannya betul, kegilaannya masih kuat dan membuatnya mengoceh tidak karuan. Kemudian setelah Bi Lan menangis terisak isak di atas pangkuannya, tiba tiba seperti ada aliran hawa aneh menyelubungi seluruh tubuhnya dan membuat kepalanya terasa panas sekali. Ia mengenal betul suara gadis ini dan suara itu seakan akan embun pagi yang membasahi bunga yang mulai melayu kekeringan sehingga bunga itu segar kembali perlahan lahan.

Ketika Bi Lan tertidur, beberapa kali Ciang Le membungkukkan kepala dan mencium rambut gadis itu sehingga makin kuatlah ingatannya. Perang hebat antara racun yang menguasai hati dan pikirannya melawan rasa bahagia yang menghangatkan hatinya, terjadilah. Membuat ia berdiam diri seperti patung. Kemudian ia merasa seakan akan sedang mimpi dan ketika ia menggerakkan kedua tangan hendak meraba muka gadis yang tertidur di atas pangkuannya itu, ia mendapatkan kedua tangannya terbelenggu. Kembali ia terheran heran, karena ia masih belum ingat betul mengapa ia berada di situ dan siapa pula gadis yang tertidur dengan kepala di atas pangkuannya ini.

Maka ia lalu mengerahkan lweekangnya dan dengan kepandaiannya Jui kut kang (Ilmu Melemaskan Badan), akhirnya ia dapat meloloskan tangan dari belenggu itu dan ia mulai meraba raba muka gadis itu. Hatinya makin besar, kegilaannya makin menghilang, pengharapannya timbul kembali dan kebahagiaan yang besar membuat ia tak dapat berkata kata. Bi Lan masih diam saja tak bergerak. Kalau saja ia tidak ingat bahwa Ciang Le sedang dalam keadaan seperti itu, ia bisa marah karena hidungnya dipencet pencet, rambutnya diawut awut, pipinya dicubit cubit!

Kemudian Ciang Le teringat dan merasa heran mengapa gadis yang disangkanya Bi Lan ini tidak dapat bergerak. Ketika ia memegang lengan Bi Lan tahulah ia bahwa gadis itu terbelenggu, maka ia lalu mengulurkan tangan meraba raba belenggu yang mengikat kedua tangan Bi Lan. Rantai itu mengikat erat erat, akan tetapi dengan pencerahan tenaga yang luar biasa. Ciang Le berhasil mematahkan sebuah mata rantai dan terlepaslah ikatan tangan Bi Lan!

“Koko…!” Bi Lan bangkit dan duduk dengan girang, sungguhpun suaranya masih belum tahu betul apakah kekasihnya benar benar telah sembuh.

“Bi Lan... tidak salahkan aku? Apakah kita berada di alam baka? Ataukah aku yang bermimpi?”

Mendengar ini, naik sedu sedan dari dada gadis itu ke lehernya. Serentak ia menubruk dan memeluk leher pemuda itu sambil menangis. “Koko, aku benar Bi Lan, aku Bi Lan mu... kita masih hidup. Aku tidak mati dalam jurang itu, koko. Aku dapat menyambar akar dan kemudian merayap naik setengah mati dalam usahaku untuk... untuk mencari kau...”

“Aduh, Bi Lan...!” Ciang Le mendekap kepala itu kuat kuat di dadanya dan air mata nya tak tertahan lagi mengucur deras. “Bi Lan....benar benar engkau ini, kekasihku… Thian benar benar Maha Adil!”

Untuk beberapa lama mereka saling rangkul, penuh kebahagiaan dan rasa sukur kepada Thian. Ciang Le bersukur karena Bi Lan benar benar tidak mati di dalam jurang, ada pun Bi Lan bersukur karena pemuda itu ternyata telah sembuh kembali. Kemudian mereka teringat bahwa mereka berada di dalam sebuah kamar tahanan yang gelap sekali.

“Koko, bagaimana kita bisa keluar?” tanya Bi Lan dengan gelisah.

Demikianlah hidup, kegelisahan karena yang satu menyusul kegelisahan lain yang sukar dapat dipecahkan. Kalau tadinya ia gelisah melihat keadaan Ciang Le, kini gelisah menghadapi kenyataan bahwa masih sukarlah bagi mereka untuk dapat keluar dari situ! Akan tetapi Ciang Le telah mendapatkan kembali tenaga dan ketenangan serta kecerdikannya yang dulu. ia menepuk nepuk bahu kekasihnya untuk menghiburnya. Kemudian dengan sekali renggut saja ia telah melepaskan belenggu kakinya. Ketika melakukan ini tangannya menyentuh mangkok dan pecahlah mangkok itu. Ia meraba raba dan tahulah bahwa mangkok itu terisi makanan.

“Hm, mereka masih ingat untuk memberi makan kepadaku.” katanya kepada Bi Lan. “Ini berarti bahwa tak lama lagi mereka tentu akan membuka pintu dan memasukkan makanan. Kalau kesempatan itu terjadi, kita menyerbu keluar.”

Mendengar ini, timbul harapan Bi Lan, lalu duduk menanti sambil bercakap cakap, saling menuturkan pengalaman mereka atau lebih tepat Bi Lan yang menuturkan pengalamannya karena Ciang Le lupa akan segala. Bahkan ia tahu bahwa ia ditahan dalam kamar tahanan di Enghiong Hweekoan dan bahwa di luar terjaga kuat dan ada Giok Seng Cu pula, semua ia ketahui dari penuturan Bi Lan belaka. Mendengar penuturan Bi Lan, Ciang Le terharu dan juga merasa bangga.

“Bi Lan, kau demikian setia dan rela berkorban nyawa untuk menolongku. Demikian besarkah cintamu kepadaku?”

“Hush… siapa yang pernah menyatakan cinta? Jangan kau mengoceh seenakmu saja!” Di dalam gelap Bi Lan cemberut, akan tetapi kemudian ia tersenyum karena cemberut atau tersenyumpun, Ciang Le takkan dapat melihatnya.

Ciang Le tertawa dan keduanya lalu tertawa. Benar benar aneh sekali dua orang muda itu. Dalam keadaan seperti itu masih bisa tertawa. Akan tetapi, agaknya hal ini akan dapat dimaklumi oleh mereka yang pernah terjerumus dalam perangkap asmara. Dalam keadaan bagaimana sengsarapun juga, asal dengan si dia di sampingnya neraka terasa sorga.

“Koko, ketika tanganmu yang nakal tadi meraba raba mataku... apanyakah yang membuat kau tahu bahwa aku adalah Bi Lan?”

Ingin sekali Bi Lan dapat melihat wajah, Ciang Le di saat itu ketika ia menanti jawaban. Akan tetapi karena keadaan benar benar gelap, ia tidak melihat sesuatu, hanya mendengar betapa pemuda itu agak tertahan nafasnya, tanda kebingungan untuk menjawab.

“Mm…” akhirnya Ciang Le menjawab juga. “Agaknya karena… karena mulutmu itulah!”

“Mengapa mulutku? Terlalu besar?”

“Tidak sama sekali!”

“Hm, kalau begitu terlalu kecil?”

“Bukan! Bukan terlalu kecil, barangkali hmm.... entahlah. Oh, agaknya matamu itulah. Ya benar, karena matamu itulah aku dapat mengenal dan yakin bahwa kau adalah Bi Lan ku.”

“Mataku pula? Kenapa mataku?” Sepasang mata Bi Lan yang bening itu berusaha menembus kegelapan untuk menatap wajah Ciang Le, namun sia sia.

“Ya benar, matamu. Karena matamu itu... ya, karena seperti matamulah! Tidak ada wanita di dunia ini yang mempunyai mata seperti matamu, mulut seperti mulutmu dan hidung seperti hidungmu!”

“Cukup! Kau mengoceh lagi! Tentu saja tidak ada yang sama.”

“Nah, itulah maksudku. Aku suka akan matamu, mulutmu, hidungmu dan seluruh dirimu, bukan semata karena tertarik akan keindahan dan kecantikannya, akan tetapi semata mata tertarik dan suka karena... itulah, tidak ada keduanya di dunia ini.”

Bi Lan menjadi bingung dan pening ia mencari maksud kata kata itu, namun yang sudah pasti, kata kata ini membuat hatinya merasa bangga dan girang bukan main. Pada saat itu, terdengar pintu kamar bersuara. Bi Lan siap hendak bangun, akan tetapi Ciang Le memegang tangannya dan menahan gadis itu.

“Tunggu!” bisiknya di dekat telinga Bi Lan. ”Biarkan aku yang bergerak.”

Bi Lan menurut saja. Di dalam gelap mereka tidak melihat, apakah pintu itu bergerak akan tetapi tiba tiba cahaya yang kecil memasuki kamar itu, tanda bahwa pintu terbuka dari sedikit. Tiba tiba pintu terbuka lebar lebar dan cahaya penerangan membakar kegelapan itu membutakan mata Bi Lan yang terpaksa merapatkan matanya. Benar seperti dugaan Ciang Le yang amat cerdik. Cahaya penerangan yang tiba tiba menerangi kegelapan itu memang amat menyilaukan dan menyakitkan mata, oleh karena itulah maka tadi ia menahan Bi Lan.

Kini, sambil sedikit saja membuka matanya, ia menubruk maju dan sebelum sempat mengeluarkan sedikit pun suara, penjaga yang mengantar makanan itu telah ditangkap dan ditotoknya. Kemudian ia meloncat keluar sambi! memutar tubuh penjaga itu di depannya sebagai perisai. Semua ini dilakukan dengan mata tertutup dan baru dibukanya perlahan lahan setelah ia mulai biasa dengan cahaya penerangan itu.

Tindakan Ciang Le tadi memang tepat sekali. Sekiranya ia tidak mencegah Bi Lan, maka gadis itu tentu akan disambut oleh cahaya penerangan dan sesampainya di luar tentu akan silau tak dapat melihat sehingga mereka akan berada dalam bahaya serangan para penjaga. Sebaliknya dengan perbuatan Ciang Le yang tiba tiba meloncat keluar sambil memutar tubuh pengantar makanan para penjaga menjadi kaget sekali, namun mereka tidak berani menyerang karena takut mengenai tubuh kawan mereka sendiri. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat pemuda yang tadinya sila dan menurut saja diperbuat sesuka hati oleh mereka, kini telah terlepas dari belenggu dan mengamuk. Dinding kamar itu, demikian pula pintunya, amat tebal sehingga bukan hanya cahaya tak masuk, bahkan suara yang bagaimana keraspun tidak terdengar dari luar sehingga mereka tadi tidak mendengar sesuatu.

Setelah kini berani membuka matanya dan tidak silau lagi. Ciang Le lalu melemparkan tubuh penjaga yang ditangkapnya tadi kepada kawan kawan mereka. Kemudian kaki tangannya bergerak dan dengan enaknya ia merobohkan para penjaga itu semudah orang mencabut rumput saja. Terdengar suara senjata mereka terlempar ke sana ke mari berkerontangan di atas lantai disusul oleh jerit jerit kesakitan dan terlempar tubuh mereka. Keadaan menjadi ribut, apalagi ketika tiba tiba Bi Lan meloncat keluar dan ikut membabat mereka dengan pukulan dan tendangannya yang keras! Gadis inipun perlahan lahan telah dapat membiasakan matanya dan setelah ia dapat membuka mata, ia membantu amukan pemuda itu.

Waktu itu sudah menjelang pagi dan Giok Seng Cu sudah tidur. Maka agak lama barulah ia muncul dengan rantai yang lebih besar dari pada yang dipergunakan untuk membelenggu Bi Lan di tangannya. Ia merasa kaget juga melihat Ciang Le, akan tetapi tanpa banyak cakap ia lalu memutar senjata rantainya.

“Lan moi, kau habiskan makanan lunak ini, biar aku menghadapi yang keras itu!” kata Ciang Le yang memaksudkan agar Bi Lan melanjutkan amukannya terhadap para penjaga dan ia sendiri akan menghadapi Giok Seng Cu, Bi Lan tersenyum dan mengangguk.

Giok Seng Cu makin kaget mendengar omongan ini, karena ia tahu bahwa pemuda ini entah bagaimana tentu telah sembuh dari gilanya sehingga omongannya beres. Namun ia tiada waktu lagi untuk menyelidiki kesembuhan Ciang Le karena pemuda itu telah meloncat maju dan menyerangnya dengan pukulan yang mendatangkan angin keras. Giok Seng Cu maklum akan kelihaian pemuda yang sesungguhnya masih seperguruan dengan dia ini, maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih kalah jauh oleh pemuda yang mengimbangi kepandaian Pak Hong Siansu. Akan tetapi melihat pemuda itu bertangan kosong sedangkan ia membawa senjata rantainya yang diandalkan, hatinya besar dan sambil berseru keras ia lalu memutar rantainya menyambut Ciang Le dengan pukulan pukulan mematikan. Pertempuran bebat berlangsung di tempat itu.

Memang tepat kalau Ciang Le menamakan penjaga penjaga itu makanan lunak, karena mereka benar benar merupakan yang amat lunak bagi Bi Lan. Gadis ini karena merasa jijik juga harus menggunakan tangannya merobohkan mereka, kini merampas sebatang golok dan setelah beberapa orang penjaga roboh mandi darah, yang lain lain lalu melarikan diri dengan gentar!

Bi Lar tertawa tawa dan gadis ini lalu menarik sebuah bangku, didudukinya sambil menonton pertempuran yang berlangsung antara Ciang Le dan Giok Seng Cu. Biarpun permainan senjata rantai di tangan Giok Seng Cu amat cepat dan kuat, namun gerakan Ciang Le lebih lincah sehingga seringkali Giok Seng Tu kehilangan lawannya. Maka maklum bahwa ia akan kalah kalau tidak cepat cepat mengeluarkan ilmu silatnya yang paling lihai, yakni dengan ilmu silat rantai yang disebut Koai ling toan bun (Naga Iblis Menjaga Pintu). Rantai itu berobah menjadi gulungan besar sinar putih yang merupakan dinding baja dan yang melindungi seluruh tubuhnya dari pukulan Ciang Le.

Diam diam pemuda ini kagum sekali karena memang permainan rantai itu demikian hebatnya. Lengan tangan tosu itu nampaknya tidak bergerak, akan tetapi rantai yang dipegangnya itu terputar putar mengelilingi tubuhnya seakan akan digerakkan oleh tenaga yang tidak kelihatan. Namun, karena Giok Seng Cu juga murid dari Pak Hong Siansu yang menjadi adik seperguruan Pak Kek Siansu, tentu saja Ciang Le tahu di mana kelemahan dari permainan ini. Dengan gerakan Lo wan hian ko (Monyet Tua Persembahkan Buah) ia bergerak cepat dan ketika tangannya menyambar, ia berhasil memegang ujung rantai lawan! Keduanya mengerahkan tenaga untuk menarik dan memperebutkan senjata itu dan...

“krak!” patahlah rantai itu menjadi dua potong! Karena tadi menggerakkan seluruh tenaganya, kejadian ini membuat Giok Seng Cu terjengkang kebelakang, berbeda dengan Ciang Le yang masih dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan selagi tosu itu terhuyung huyung, Ciang Le menyambar dengan potongan rantai yang berada di tangannya.

Giok Seng Cu menangkis, akan tetapi tenaga tangkisan ini lemah karena kedudukan tubuhnya yang sudah tidak baik lagi maka rantai ditangannya itu terlempar dan pundaknya tersambar ujung rantai sehingga patah tulangnya. Tosu itu menjerit roboh pingsan!

Bi Lan melompat menghampiri seorang penjaga yang terluka. Ia mengancam dengan golok rampasannya dan membentak. “Hayo katakan di mana adanya pedang-pedang kami!”

Penjaga itu ketakutan lalu memberi tahu bahwa pedang pedang itu disimpan dalam kamar Giok Seng Cu. Bi Lan dan Ciang Le lalu memeriksa ke dalam kamar itu dan benar saja, pedang mereka terletak di atas meja di dalam kamar maka dengan girang mereka lalu mengambil senjata masing masing. Ketika mereka membawa pedang keluar dari kamar, mereka melihat beberapa orang penjaga hendak melarikan diri. Dengan sekali melompat, Bi Lan telah dapat mengejar dan kakinya merobohkan dua orang di antara mereka. Melihat ini yang lain lain lalu menjatuhkan diri berlutut. Mereka benar benar telah mati kutu melihat sepak terjang dua orang pemuda ini, apalagi setelah melihat betapa Giok Seng Cu yang mereka andalkan pun sudah roboh.

“Ampun jiwi taihiap, ampunkan kami...” ratap mereka.

“Anjing anjing Kin bisa minta ampun, tidak ingat betapa kaum tani minta minta ampun tanpa ada perhatian dari pemerintahmu. Kalian layak mampus!” bentak Bi Lan sambil mengancam dengan pedangnya.

“Lihiap, ampunkan kami,” kata seorang penjaga yang sudah tua. “Kalau lihiap mau memberi ampun kami akan membuka rahasia yang besar.”

Memang Bi Lan juga bukan seorang kejam. Ia bisa membunuh banyak musuh dalam pertempuran atau perang, akan tetapi ia tidak nanti tega membunuh lawan yang sudah tidak mau melawan lagi dan ketakutan. Kini mendengar ucapan penjaga tua itu ia amat tertarik, karena memang tadipun ia hanya menggertak saja.

Ciang Le juga tertarik, maka ia mendahului Bi Lan, “Lekas ceritakan, rahasia apakah gerangan yang kau maksudkan?”

“Rahasia mengenai diri taihiap, ketahuilah bahwa kemarin Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu menuju ke Lu liang san untuk membujuk atau memaksa guru taihiap membantu kami, dan menjadikan taihiap yang masih tertawan sebagai tanggungan.”

Baru saja mendengar sampai di sini, Ciang Le lalu membetot tangan Bi Lan dan melompatlah dia keluar dari Enghiong Hweekoan bersama Bi Lan. Mereka, pada waktu menjelang fajar itu, berlari lari cepat sekali meninggalkan kota Cin an.

“Kita harus menyusul ke Lu liang san, Lan moi. Susiok Pak Hong Siansu orangnya curang dan licik, siapa tahu kalau kalau suhu akan ia bikin celaka!”

“Memang kita harus menyusulnya. Dia masih mempunyai perhitungan yang belum beres dengan kita!” jawab Bi Lan. Maka sepasang orang muda ini berangkatlah cepat epat menuju ke Lu liang san, tempat Pak Kek Siansu.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Pada waktu itu musim dingin telah tiba. Terutama sekali di Pegunungan Lu liang san, dinginnya bukan kepalang, menusuk tulang sungsum. Puncak Lu liang san sampai membeku karena dinginnya dan jarang ada orang dapat tahan nenghadapi musim dingin ini tanpa persediaan pakaian yang tebal dan hangat.

Namun, apabila orang melihat tiga orang kakek yang tengah duduk bercakup cakap di puncak Bukit Lu liang san, dia tentu akan terheran heran dan menganggap bahwa tiga orang kakek itu bukan manusia, melainkan dewa dewa penjaga gunung. Tiga orang kakek ini duduk di atas rumput di depan bangunan yang tua di puncak gunung dan mereka ini mengenakan pakaian yang tipis belaka. Tanpa nampak Kedinginan.

Mereka ini adalah murid atau pelayan pelayan dari Pak Kek Siansu, yakni yang sudah kita kenal baik, Luliang Ciangkun yang berpakaian sebagai panglima perang, Luliang Siucai sebagai sasterawan dan Lutiang Nungjin sebagai orang petani. Nampaknya mereka tengah mengobrol dengan asiknya, membicarakan soal yang mereka anggap amat pelik. Dan kalau orang mendengarkan percakapan mereka, ia akan menjadi lebih heran karena itu bukanlah percakapan penduduk gunung, melainkan percakapan orang orang yang mengerti betul akan keadaan pemerintah dan ketatanegaraan.

“Semua adalah kesalahan Kaisar Kao Tsung yang lemah!” terdengar Luliang Ciagkun berkata dengan suaranya yang keras sambil memukul tanah di depannya sehingga tergetar. “Dia begitu lemah dan pengecut, takut sekali kepada bala tentara Kin seperti anjing takut serigala. Dia hanya mengingat kepentingan diri sendiri, takut kehilangan kedudukan, kemuliaan dan kemewahan sehingga tidak bermalu untuk mengorbankan nasib rakyat demi kesenangan diri sendiri. Sungguh menjemukan!”

“Yang lebih menyebalkan adalah pengkhianat dan bangsat besar Jin Kwi itu! Kalau panglima besar dan Pahlawan Gak Hui tidak dtfitnahnya, belum tentu bala tentara Kin dapat bergerak maju dan rakyat sekarang mungkin takkan mengalami penindasan seperti sekarang. Hm, kalau saja Jin Kwi belum mampus, suka aku mencari dan menghancurkan kepalanya yang penuh akal busuk!” kata Luliang Siucai yang biasanya sabar, akan tetapi siapa orangnya yang berjiwa patriotik dapat bersabar hati kalau teringat kepada Jin Kwi, perdana menteri yang busuk dan pengkhianat bangsa itu?

“Semua memang sudah terjadi, tak perlu disesalkan lagi. Kalau diingat ingat politik pemerintah Sung selatan yang membuat perjanjian perdamaian dengan pemerintah Kin. Itulah yang harus amat disesalkan. Bukan perjanjian melainkan penghinaan namanya! Penghinaan yang memancing datangnya pemerasan terhadap rakyat jelata. Sekarang, di Tiongkok atara rakyat diperas habis habisan oleh pemerintah Kin, dan di samping itu, pemerintah kita sendiri masih harus bermanis muka, setiap tahun memberi upeti yang besar jumlahnya. Hm, benar benar bisa membikin orang mati karena mendongkol!” kata Luliang Nungjin.

“Pemerintah penjajah Kin memang harus lenyap dari permukaan bumi.” Luliang Ciangkun mengutuk lagi. “Sekarang, biarpun dimana mana para pejuang rakyat telah bangkit memberontak, namun tidak sedikit kaum kecil dipaksa oleh keparat keparat Kin itu untuk menjadi serdadu paksaan. Ah, kalau aku ingat itu...”

“Yang mengherankan adalah Siansu. Mengapa Siansu masih saja menahan kita dan tidak memperbolehkan kita turun gunung untuk membantu perjuangan rakyat? Aku sudah ingin sekali menggunakan paculku untuk memancung leher penindas itu!” kata lagi Luliang Nungjin.

“Siansu selalu berlaku tenang dan sabar.” Si Sasterawan membela suhunya, “bukankah sudah ada Go sute yang turun gunung? Kepandaian Go sute sudah jauh melebihi kita, dan Go sute adalah seorang pemuda yang boleh diharapkan. Sebelum menanti kedatangan Go sute, lalu secara sembrono turun gunung, memang kurang baik. Kita harus menanti dulu bagaimana hasil perjuangan Go sute. Kalau susiok Pak Hong Siansu tetap masih membantu pemerintah Kin dan berkeras tidak mau menurut nasihat Siansu, agaknya kita harus turun gunung, bahkan Siansu sendiri tentu akan turun gunung.”

Demikianlah, tiga orang tokoh Luliang san itu bercakap cakap dan selalu dalam percakapan mereka dapat dinilai, bahwa mereda ini adalah orang orang tua yang berjiwa patriot, orang orang yang tidak rela melihat rakyatnya ditindas oleh pemerintah Kin. Hanya ketaatan mereka terhadap Pak Kek Siansu saja yang mencegah mereka untuk turun gunung dan ikut berjuang membantu rakyat yang melakukan perlawanan gigih di mana mana terhadap pemerintah Kin yang kuat.

“Lihat, siapakah mereka yang datang itu? Melihat cara mereka berlari menanjak bukit menggunakan ilmu lari cepat Couw sang hwe, mereka tentulah orang orang pandai.”

Kedua orang kakak seperguruannya cepat menengok. Benar saja, dari bawah kelihatan bayangan dua sosok tubuh manusia yang berlari naik ke arah puncak dengan cepat sekali. Setelah agak dekat, Luliang Ciangkun bangun berdiri dan berkata kepada kedua orang sutenya.

“Hati hati, mereka itu orang tua dan memiliki kepandaian tinggi. Kita tidak tahu apakah mereka itu kawan kawan atau lawan.” Kedua orang sutenya juga bangun berdiri dan tiga orang tokoh Luliang san itu berdiri dengan penuh perhatian memandang dua orang yang kini sudah makin dekat itu.

“Aah, bukankah orang yang di depan dan terbongkok bongok itu susiok Pak Hong Siansu?” tiba tiba Luliang Ciangkun berkata kaget dan khawatir.

“Betul,” Luliang Siucai membenarkan, “dia adalah Pak Hong Siansu dan orang ke dua yang tinggi besar itu tidak salah lagi tentulah Ba Mau Hoatsu dari Tibet. Hati hati, mereka tidak mengandung maksud baik!”

Tiga orang tua ini diam diam bersiap siap menghadapi segala kemungkinan. Dan dengan sepat dua orang kakek, yakni benar benar Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu, telah tiba d depan mereka. Betapapun juga, tiga orang tokoh Luliang san itu tidak melupakan kesopanan. Mereka, bertiga lalu berlutut di depan Pak Hong Siansu sambil berkata,

“Susiok, selamat datang di Luliang san. Kemudian mereka berdiri dan menjura kepada Ba Mau Hoatsu sebagai penghormatan.

Pak Hong Siansu tertawa bergelak sambil mengelus elus kepala botaknya yang licin. Karena ketawa, bongkoknya nampak makin nyata sehingga tubuhnya seakan akan terlipat menjadi dua.

“Heh heh heh heh! Kalian ini murid murid suheng benar benar tahu aturan! Bagus sekali, memang suheng pandai mengajar murid. Eh, murid murid keponakanku yang gagah dan baik, di manakah guru kalian itu? Lekas beri tahukan, aku ingin sekali bertemu, ada keperluan amat penting!”

Luliang Sam lojin, tiga orang tua dari Lu liang san itu saling pandang dan dalam bertukar pandang sekejap ini saja mereka telah saling cocok dan dapat mengambil keputusan yakin tidak memperbolehkan siapapun juga mengganggu Pak Kek Siansu!

Luliang Cianghun Si Panglima sebagai murid tertua, mewakili saudara saudaranya, maju memberi hormat kepada Pak Hong Siansu lalu berkata, “Maaf. susiok. Tentang suhu teecu bertiga, memang benar berada di dalam kamar samadhinya, akan tetapi Siansu telah berpesan tidak mau diganggu oleh siapapun juga. Oleh karena itu, mana teecu bertiga berani melanggar pesannya? Teecu tidak berani mengganggu Siansu dari samadhinya?”

Pak Hong Siansu mengerutkan kening lalu berkata dengan tertawa. “Tidak apa, tidak apa! Kalau kalian tidak berani mengganggunya, biar akulah yang akan menemui di kamarnya. Ia takkan marah melihat aku yang datang,” Setelah berkata demikian. Pak Hong Siansu lalu melangkah hendak menuju ke bangunan di mana Pak Kek Siansu berada.

Akan tetapi serentak tiga orang tokoh Lu liang san menggerakkan tubuh dan menghadang di depan Pak Hong Siansu.

“Eh, eh, apa kehendak kalian? Mengapa menghadang di jalan?” tegur Pak Hong Siansu dan kernyit keningnya makin mendalam, matanya mulai memancarkan sinar kemarahan.

“Sekali ini maaf, susiok. Terpaksa teecu bertiga tak dapat memenuhi keinginan susiok. Bukan sekali kali kami berlaku kurang hormat, akan tetapi kalau teecu bertiga membiarkan usiok lewat dan mengganggu Siansu, pasti teecu bertiga akan mendapat teguran keras dan hal ini teecu sekalian tidak menghendakinya.”

“Bagus! Jadi kalian melarang aku masuk menemui gurumu?”

“Bukan sekali-kali kami yang melarang melainkan Siansu sendiri yang menghendaki dan kami hanya menjalankan tugas dan perintah,” jawab Luliang Nungjin dengan sikap hormat akan tetapi teguh dalam pendiriannya, seperti juga dua orang saudaranya.

“Keparat, kalian berani menentang susiok sendiri?” Kini Pak Hong Siansu mulai membentak marah.

“Bukan menentang susiok, melainkan mentaati perintah Siansu,” jawab Luliang Siucai dengan suara tetap dan tenang.

Kemarahan Pak Hong Siansu memuncak dan ia membanting banting tongkat merahnya. “Kurang ajar sekali! Kalau aku menggunakan kekerasan memaksa masuk, bagaimana?”

“Terpaksa teecu akan menghalangi susiok,” jawab Si Petani dengan sikap gagah.

“Kau harus mampus!” seru Pak Hong Siansu dan tasbehnya menyambar ke arah kepala Luliang Nungjin Si Petani. Akan tetapi, tokoh Luliang san ini bukanlah seorang lemah dan cepat ia mengelak dari serangan paman gurunya ini. Pak Hong Siansu menyerang terus kini bahkan menggerakkan tongkatnya, dan Si Petani juga mengerahkan seluruh kepandaian untuk menghadapi susioknya.

Berbeda dengan Ciang Le, tiga orang tua dari Luliang san ini adalah orang orang tua yang kukuh dan kuno. Mereka ini ketiga tiganya masih terikat oleh peradatan dan karenanya, mereka tunduk dan menghormat Pak Hong Siansu dengan sungguh sungguh. Maka kini setelah Pak Hong Siansu menyerang Si Petani, dua orang suhengnya. Si Panglima dan Si Sasterawan, hanya menonton saja dengan hati gelisah. Kalau tidak diserang, mereka sama sekali tidak berani turun tangan menyerang susiok mereka. Hal ini akan terlalu kurang ajar! Berbeda sekali dengan Ciang Le yang pandangannya lebih mengutamakan keadilan dan kebenaran. Bagi pemuda itu, siapapun juga, kalau salah pasti akan dihadapinya dengan berani.

Luliang Nungjin amat terdesak oleh tongkat dan tasbeh dari Pak Hong Siansu yang memang benar benar lihai sekali gerakannya. Si Petani itu terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, menggerakkan paculnya dan melindungi tubuhnya rapat rapat dengan senjatanya yang istimewa ini. Ada baiknya juga karena Si Petani tidak berani membalas serangan paman gurunya. Kalau kiranya ia membalas dan menyerang, tentu sebentar yaja ia akan dapat mencurahkan seluruh perhatiannya kepada penjagaan diri dan ini tentu saja memperlipat kekuatannya membuat penjagaannya benar benar amat kuat dan sukar ditembus oleh senjata lawan!

Sementara itu, Ba Mau Hoatsu juga hanya berdiri menonton saja. Ia masih mempunyai kesopanan untuk tidak mencampuri urusan orang lain karena Pak Hong Siansu berurusan dengan murid murid keponakan, bagaimana ia dapat ikut membantu? Pula, ia yakin bahwa menghadapi tiga orang murid keponakan itu, Pak Hong Siansu pasti akan dapat menang. Hal ini memang mudah sekali diduga. Tingkat kepandaian Pak Hong Siansu jauh lebih tinggi dari pada tingkat murid murid keponakannya, dan kini murid keponakannya itu diserang tanpa membalas sedikitpun.

Setangguh-tangguhnya penjagaan Si Petani, menghadapi tongkat merah panjang yang menyambar nyambar bagaikan seekor naga itu dan tasbeh mutiara yang berkelebatan di atas kepalanya seperti halilintar, ia menjadi kewalahan juga. Apa lagi karena Pak Hong Siansu menjadi makin penasaran dan marah sehingga ia mengeluarkan kepandaiannya dan menyerang dengan seluruh tenaga yang ada padanya. Pada saat tasbehnya menyambar dan ditangkis oleh pacul di tangan Luliang Nungjin, ia menggetarkan tasbeh itu yang tidak terpental kembali, sebaliknya lalu membelit pacul itu dengan eratnya!

Luliang Nungjin terkejut, maklum bahwa susioknya marah sekali. Ia mengerahkan tenaga untuk menarik kembali paculnya, akan tetapi pada saat itu tongkat merah yang panjang telah bergerak menyerampang kedua kakinya. Serangan ini tak dapat dielakkan lagi dan terdengarlah suara keras, lalu tubuh Luliang Nungjin terguling. Kedua tulang kakinya telah remuk oleh pukulan itu dan roboh pingsan!

Biarpun hati mereka perih dan sakit sekali, namun Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai tidak dapat berbuat sesuatu, hanya berdiri tegak dengan sikap angkuh.

“Hm, menyesal sekali aku harus merobohkannya karena ia berkepala batu.” kata Pak Hong Siansu yang menjadi agak malu juga harus merobohkan murid keponakan yang dalam pertempuran tadi tidak melawan sama sekali, hanya mempertahankan diri saja. Kemudian ia memandang kepada Si Panglima dan Si Sastetawan.

“Bagaimana, apakah sekarang aku boleh menemui gurumu?”

“Tetap tidak bisa, susiok. Sebelum teecu roboh pula seperti sute, susiok tidak boleh mengganggu Siansu,” jawab Luliang Siucai dengan suara tetap.

Pak Hong Siansu tertegun dan diam diam merasa kagum sekali atas kesetiaan murid murid keponakannya terhadap suhengnya. Benar benar mereka merupakan penjaga penjaga yang sukar dicari bandingannya. “Aku tidak suka merobohkan kalian, maka sekali lagi, harap kalian ini mengalah dan membiarkan aku bertemu dengan suheng. Percayalah, kedatanganku ini bukan bermaksud buruk,” kata pula Pak Hong Siansu mencoba untuk membujuk mereka.

“Maaf, terpaksa teecu tidak dapat mentaati kehendak susiok karena lebih taat kepada Siansu.”

Memuncak kemarahan Pak Hong Siansu. “Benar benar kepala batu yang harus mampus!” Setelah berkata demikian, kakek sakti ini lalu menyerang Luliang Siucai! Sisterawan ini mengeluarkan sampul kitab dan alat tulisnya yang merupakan senjatanya yang ampuh. Seperti juga sutenya tadi. Si Sasterawan ini membela diri sedapat mungkin, mengelak dan menangkis semua serangan Pak Hong Siansu.

Kini Pak Hong Siansu tidak ragu ragu lagi seperti tadi karena ia yakin bahwa murid murid keponakannya ini lebih suka mengorbankan nyawa dari pada membiarkan ia menemui Pak Hong Siansu, maka begitu bergebrak, ia lalu mengerahkan seluruh kepandaian dan mengeluarkan gerak gerak tipu yang paling berbahaya. Dalam jurus ke dua puluh, tasbehnya telah berhasil memukul pundak kanan Luliang Siucai, sehingga sasterawan ini roboh dengan tulang pundak patah patah dan juga pingsan seperti Petani tadi.

Bukan main marahnya Luliang Ciangkun. Dia boleh dibilang mempunyai watak yang paling kasar dan keras di antara kedua orang saudaranya, maka melihat kedua orang sute nya itu dirobohkan oleh susioknya. Luliang Ciangknn menggigit gigit bibirnya sampai berdarah! Ia melompat dan menghadang di depan susioknya itu, sepasang matanya mendelik, kumisnya berdiri, dan kedua tangannya sudah menggigil, gatal gatal untuk memukul kepala botak susioknya yang bongkok itu. Namun kesopanan masih menahannya dan ia hanya bisa berdiri dengan dada berombak.

“Ha, kau marah, ciangkun?” Pak Hong Siansu mengejek. “Cabut pedangmu itu dan serang aku kalau begitu. Aku sudah bosan dengan sikap kalian yang keras akan tetapi tidak mau membalas serangan!”

“Tidak patut seorang murid keponakan menyerang paman gurunya, betapapun jahat dan keji paman gurunya itu.”

Dalam kata kata ini, secara menyimpang dan tidak langsung, Luliang Ciangkun memaki Pak Hong Siansu sebagai paman guru yang jahat dan keji. Maka Pak Hong Siansu menjadi mendongkol sekali. “Jadi kaupun hendak mempertahankan pendirianmu dan tidak memperbolehkan aku, lewat?”

“Hanya melalui mayat teecu!” jawab Luliang Ciangkun singkat sambil meraba gagang pedangnya.

“Jahanam, kalau begitu mampuslah!” Pak Hong Siansu menyerang dan Si Panglima mencabut pedang sambil mengelak. Pertempuran berjalan lebih lama karena panglima ini sebagai murid tertua, memang memiliki ilmu pedang yang amat kuat daya tahannya Sampai tiga puluh lima jurus ia dapat mempertahankan diri, namun akhirnya iapun harus menyerah dan roboh dengan lengan kanan pecah pecah tulangnya terpukul oleh tongkat merah Pak Hong Siansu!

Kini tiga tokoh Luliang san itu rebah dan setelah siuman hanya bisa mengerang menahan rasa sakit, tanpa berdaya sama sekali melihat Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu melangkahi tubuh mereka dan naik ke puncak mencari Pak Kek Siansu. Akan tetapi, baru saja dua orang tua ini tiba di depan bangunan yang menjadi tempat tinggal Pak Kek Siansu tiba tiba dari dalam melayang keluar Pak Kek Siansu sendiri yang melayang sambil duduk di atas sebuah batu hitam besar berbentuk bangku bulat!

Pak Hong Siansu dan terutama Ba Mau Hoatsu berdiri terlongong memandang kepada kakek tua ini. Bukan main hebatnya ilmu yang diperlihatkan oleh Pak Kek Siansu dalam menyambut kedua orang tamunya. Kakek tua renta ini duduk bersih dan kedua tangannya memegang batu yang diduduki itu dengan telapak tangan menempel di kanan kiri bangau batu, seakan akan ia menduduki batu terbang!

Ketika batu itu tiba di depan Pak Hong Siansu, turunlah batu itu tanpa menimbulkan suara dan Pak Kek Siansu memandangnya dengan mulut tersenyum. Akan tetapi, Ba Mau Hoatsu melihat betapa kakek ini matanya menyinarkan cahaya yang tajam sekali sehingga ia merasa gentar. Sikap Pak Kek Siansu sama benar dengan Pak Hong Siansu, nampak lemah lembut dan lemah. Hanya pada mata kakak beradik seperguruan ini yang terdapat perbedaan. Mata Pak Hong Siansu bergerak gerak cepat dan liar, sedangkan mata, Pak Kek Siansu tenang, berpengaruh dan tajam sekali.

“Sute, ada keperluan apakah kau mendatangi tempatku ini?” suara ini perlahan dan lambat, halus akan tetapi berpengaruh, mengandung sesuatu penuh dengan tuntutan.

“Suheng. telah lama kita tak saling berjumpa. Aku rindu kepadamu dan ingin bercakap cakap.” jawab Pak Hong Siansu dengan sopan dan ramah.

“Hm, begitukah? Mengapa membawa kawan? Harap kau menyuruhnya lekas pergi lagi, jangan mengotori tempat suci ini,” kata Pek Kek Siansu tanpa menengok kepada Ba Mau Hoatsu.

Ba Mau Hoatsu merasa terhina dan ia marah sekali. Mukanya yang hitam menjadi lebih hitam lagi. Kalau menurutkan nafsunya, ingin ia meloncat maju dan mengetuk kepala Pak Kek Siansu yang sudah putih semua rambutnya itu, biar pecah berantaran. Akan tetapi ia tidak berani, karena maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini sama sekali bukan lawannya. Ia hanya menengok kepada Pak Hong Siansu yang tersenyum kepadanya dan berkata, “Kau sudah dengar sendiri sahabatku. Harap kau suka turun gunung lebih dulu, aku akan menyusul belakangan.”

Bukan main mendongkolnya hati Ba Mau t Hoatsu, akan tetapi ia dapat berbuat apakah? Ia seorang tamu yang tak dikehendaki, dan ia tidak dapat berbuat sesuatu untuk memuaskan hatinya yang mendongkol. Maka sambil membanting kaki ia lalu pergi tanpa pamit, berlari cepat turun dari Luliang san.

“Baik sekali kau menyuruh dia pergi, sute. Karena kau dan aku takkan turun lagi dari tempat ini,” kata pula Pak Kek Siansu dengan suara masih halus seperti tadi.

Pak Hong Siansu membelalakkan matanya. “Eh, apa maksudmu, suheng?”

“Duduklah dulu, biar kita lebih enak bercakap cakap,” kata tokoh Luliang san itu sambil menuding ke arah sebuah batu halus yang berada di depannya. Pak Hong Siansu lalu duduk dan bersila di atas batu itu, hanya terpisah dua tombak dari suheng nya. Mereka saling pandang, seperti dua buah patung orang tua yang baik sekali.

“Sayang sekali, sute, kedatanganmu ini bukan merupakan kedatangan seorang yang telah insaf dan sadar akan kekeliruan dan kesesatannya. Benar benar bukan merupakan kedatangan yang kuharap harapkan.”

“Suheng, aku takkan berpanjang ceritera karena akupun tidak suka tinggal lama lama di tempat sunyi ini. Ketahuilah kedatanganku ini untuk mengajakmu ke dunia ramai. Marilah kita membantu pemerintah Kin untuk mengamankan dunia. Orang orang jahat timbul di mana mana, kekacauan membuat rakyat sengsara. Sudah menjadi kewajiban kita untuk turun tangan, suheng.”

“Memang benar kata katamu. Orang orang jahat timbul di mana mana, dan orang yang duduk di hadapanku adalah seorang di antara mereka, bahkan yang paling jahat. Sute, kau datang ke sini membawa Ba Mau Hoatsu dari Tibet, kemudian kau melukai tiga orang muridku. Ada kehendak apakah, lekas katakan sebelum terlambat!”

Berdebar hati Pak Hong Siansu. Bukan hanya karena ternyata suhengnya telah tahu akan peristiwa yang terjadi dalam pertempurannya menghadapi tiga murid keponakannya adi, akan tetapi karena mendengar kata kata aneh yang seakan akan mengandung ancaman dan tanda tanda tidak baik baginya.

“Suheng, tentang murid muridmu, mereka sengaja berlaku keras dan tidak memperbolehkan aku datang menghadapmu. Akan tetapi mereka hanya terluka dan dapat sembuh. Yang penting aku hendak memberi tahu bahwa kali ini kau harus membantu kami atau membantu pemerintah Kin. Kalau kau tidak mau, muridmu yang amat baik, Go Ciang Le itu, tentu akan tewas dalam keadaan yang amat mengecewakan, Suheng.” Pak Hona Siansu berhenti sebentar untuk melihat reaksi kata katanya ini terhadap suhengnya. Akan tetapi Pak Kek Siansu tetap tidak berobah air mukanya, maka ia menambahkan. “Muridmu itu telah tertawan oleh pemerintah Kin, dan kalau kau tidak mau turun gunung membantu, tentu ia akan dihukum mati.”

Setelah hening agak lama, baru Pak Kek Siansu menjawab sambil menatap wajah sutenya. “Sute, apakah artinya mati? Agaknya kau lupa bahwa aku dan kaupun takkan terbebas dari pada kematian. Demikianpun Ciang Le. Lebih baik dia tewas sebagai seorang pejuang rakyat dari pada mati seperti kau, seorang pengkhianat dan penjilat rendah!”

Pucat wajah Pak Hong Siansu mendengar ini. “Suheng, tidak saja Ciang Le akan dibunuh, akan tetapi juga semua pemberontak semua orang orang kang ouw yang membantunya. Alangkah ngerinya ini! Kalau kau turun gunung, tentu para pemberontak akan suka mendengar nasihatmu, orang orang kang ouw akan mundur teratur. Tanpa bantuan mereka, rakyat yang memberontak takkan bertenaga lagi dan pemberontakan akan padam. Rakyat hidup aman dan damai, bukankah itu baik sekali?”

Kini pandang mata Pak Kek Siansu bersungguh sungguh, juga suaranya. “Sute, dengan lidahmu yang semenjak dahulu amat lemas itu, takkan ada gunanya kau membujukku dengan kata kata manis. Biarpun aku selalu terbenam di tempat ini, namun aku tahu akan keadaan rakyat diantara yang tertindas. Jangan kau mencoba untuk memutarbalikkan kenyataan. Pula tentang pembasmian yang dilakukan oleh pemerintah asing itu, hal ini tak mungkin. Tak ada satu kekuatan yang betapa besarpun di dunia ini yang akan sanggup mematahkan semangat perjuangan rakyat! Adapun kau... kau yang lupa diri, kau yang bahkan menghambat hasil perjuangan rakyat, kau takkan turun lagi, sute. Kau berdiam dengan aku di sini, aman dan damai dalam arti kata seluas luasnya.”

“Tidak... tidak! Aku tidak mau, suheng.”

“Kau harus kataku, dan kau tahu bahwa aku sebagai suhengmu berhak untuk memberi perintah kepadamu.”

“Suheng, kalau aku tidak turun gunung, tidak kembali, tentu Ba Mau Hoatsu akan melaporkan bahwa aku celaka di tanganmu, dan Ciang Le akan disiksa sampai mati!”

“Tidak ada siksaan di dunia ini yang lebih hebat dari pada siksaan batin sendiri menyesali perbuatan perbuatan yang sesat.”

Pak Hong Siansu menjadi bingung dan juga gelisah. Tak disangkanya sama sekali bahwa Pak Kek Siansu bukan saja tidak mau turun gunung dan sama selili tidak perduli akan nasib Ciang Le, bahkan kini suhengnya itu melarang ia turun gunung! Ia merasa seakan akan seperti burung terjebak dalam kurungan.

Melihat kebingungannya Pak Kek Siansu berkata halus, “Sute, mengapa bingung. Orang orang seperti kita ini sudah tua, tinggal menanti datang nya panggilan Giam lo ong, kembali, ke alam asal. Mengapa meributkan persoalan dunia? Lupakah kau akan kenikmatan dalam suasana hening yang hanya didapat dengan jalan bersamadhi? Marilah, kau tiru aku, sute. Kau boleh mencoba siulian di sini, hawanya begini indah. Cobalah, kau akan mendapat ketenteraman batin yang belum pernah kau rasai sebelumnya.”

Setelah berkata demikian, Pak Kek Siansu menundukkan mukanya dan sebentar saja ia telah bersamadhi, mengheningkan cipta nampaknya demikian enteng, demikian damai dan amat aman seperti telah berobah menjadi sebuah patung batu yang tak bergerak. Pak Hong Siansu makin bingung lagi. Ia maklum bahwa biarpun suhengnya seperti orang tidur, namun dalam keadaan bersiulian itu, suhengnya lebih lihai dari pada kalau sadar. Panca indera yang dikumpulkan itu bahkan menjadi makin tajam dan ia tahu bahwa kalau diam diam ia melarikan diri. suhengnya tentu akan mengerti dan mencegahnya. Untuk melawannya, ia masih ragu ragu. Kepandaian Ciang Le sudah begitu hebat, apalagi suhengnya ini. Diam diam ia bergidik. Apa yang harus ia lakukan?

Iapun berpura pura samadhi meniru suhengnya, padahal sebenarnya diam diam ia memutar otak, mengerahkan segala akal muslihatnya untuk keluar dari kurungan yang mengerikan hatinya ini. Ia harus dapat membunuh suhengnya! Kalau ia bisa membunuh suhengnya. baru ia bisa pergi dengan aman dan pekerjaan selanjutnyapun mudah. Ciang Le telah gila dan tertahan, dan kalau Pak Kek Siansu dapat dibinasakan, ah, mudahlah untuk membereskan para pemimpin pemberontak yang lain!

Akan tetapi bagaimana ia dapat membinasakan suhengnya ini? Biarpun suhengnya tak membuka mata, ia merasa gentar dan tidak berani turun tangan. Jarak antara tempat duduknya dan tempat duduk suhengnya ada dua tombak lebih. Suhengnya tentu telah mengetahui lebih dulu sebelum ia sempat menjatuhkan tangan maut. Tiba tiba ia mendapatkan akal dan teringat akan sesuatu sehingga wajahnya menjadi terang dan hatinya berdebar tegang. Untuk menghadapi suhengnya yang memiliki ilmu kepanduan yang tinggi sekali ini, hanya ada satu jalan saja, jalan yang curang dan keji!

Pak Hong Siansu tahu, dan semua orang yang mengerti dan biasa menjalani siulian (bersamadhi atau meditasi) tahu, bahwa antara sadar dan hening dalam siulan, terdapat pintu yang seakan akan gelap dan tak dapat ditembusi, yang membuat orang seperti tidak sadar sama sekali dan tidak terasa bilamana ia memasuki keadaan yang lain. Memang pintu ini pendek saja, dari keadaan sadar tahu tahu orang yang bersiulian telah memasuki keadaan hening. Demikian sebaliknya. Orang yang tadinya dalam keadaan hening dalam samadhi, cipta terkumpul dan panca indera terkumpul pula tanpa bekerja namun tidak mati, apabila ia kembali ke dalam keadaan sadar, ia melalui pintu yang pendek itu yang membuatnya tidak ingat lagi bilamana ia telah keluar dari keadaan hening itu kembali kepada keadaan biasa.

Pak Hong Siansu tahu betul akan hal ini. Apabila suhengnya berada di dalam keadaan hening, biarpun seperti “mati dalam hidup” namun sukar baginya untuk turun tangan. Sebaliknya apabila suhengnya sudah sadar, iapun tak dapat mengalahkannya. Maka ia hendak menggunakan saat di mana semangat suhengnya melalui pintu pendek yang membuatnya kehilangan kesadarannya itu, ia akan turun tangan. Diam diam ia lalu merogoh saku baju nya dan menyiapkan jarum jarum hitamnya yang lihai dan amat berbahaya. Ia bergerak hati hati sekali dan jangan menimbulkan suara. Seandainya ia menyambitkan senjata senjata rahasia itu sekarang, suhengnya pasti akan dapat menghindarkan diri, biarpun kelihatan sepeti tidur. Jika menanti kalau suhengnya sudah sadar lebih berbahaya lagi agaknya.

Dibukanya matanya dan dipandangnya suhengnya itu dengan senyum mengejek. Mukanya berubah beringas, membayangkan nafsu keji dan jahat. Kemudian ia berkata. “Suheng, aku mau menuruti nasihatmu tinggal di sini dengan satu syarat. Dengarlah!”

Bergerak pelupuk mata Pak Kek Siansu. Ia sedang berada dalam saat perubahan, akan kembali ke dalam keadaan sadar setelah tadi bersiulian dengan amat tenangnya. Dan saat itulah yang dinanti oleh Pak Hong Siansu, ia tahu bahwa pada detik itu, suhengnya sedang melalui pintu yang gelap itu, yang membuat suhengnya kehilangan kesadarannya dalam perjalanan kembali ke dalam keadaan biasa. Tangannya bergerak cepat dan menyambarlah belasan jarum hitam ke arah tubuh Pak Kek Siansu.

Tepat seperti yang diduga dan diharapkan oleh Pak Hong Siansu. Dalam keadaan seperti itu, Pak Kek Siansu tidak tahu akan datangnya bahaya dan ketika ia membuka matanya, baru panca inderanya dapat menangkap sambaran angin. Namun terlambat karena pada saat itu, jarum jarum tadi telah menancap di tubuhnya, melalui pakaiannya yang tipis dan kasar!

Namun, Pak Kek Siansu benar benar seorang tokoh yang luar biasa dan jarang dapat ditemukan tandingannya di masa itu. Begitu ia merasa tubuhnya seakan akan lumpuh dan sakit sakit, ia tertawa bergelak dan tangan kanannya memukul ke depan. Angin pukulan yang hebat sekali menyambar dan Pak Hong Siansu tersentak dalam duduknya, ia merasa seakan akan dadanya ditumbuk oleh palu godam dan terasa sakit sekali di dalam dadanya. Ia telah terkena pukulan Pak kek Sin ciang yang paling hebat, yakni gerakan yang disebut Liat sim ciang (Pukulan Membelah Hati). Hampir saja Pak Hong Siansu menjerit jerit saking sakitnya. Jantungnya serasa diremas remas dan seluruh dadanya seperti ditusuk tusuk jarum. Ia hendak melompat, akan tetapi terdengar ucapan suhengnya tenang tenang.

“Sute, tiada gunanya. Kau akan tewas di sini seperti aku pula. Kita takkan dapat turun tangan. Lekas kau menahan napas dan menutup jalan darahmu sampai putus napasmu. Jalan itulah satu satunya yang akan membebaskan kau dari siksa rasa sakit. Terserah kepadamu. Mati dalam keadaan tenang ataukah mati tersiksa seperti cacing dibakar! Selamat meninggalkan raga kita yang sudah tua, sute!” Dan dengan mulut tersenyum, Pak Kek Siansu sebentar kemudian telah berada dalam keadaan siulan kembali!

Pak Hong Siansu tidak dapat menahan rasa sakit, maka ia cepat cepat menurut nasihat suhengnya. Ditahannya napasnya, dikerahkan lweekangnya untuk menutup semua jalan darahnya. Benar saja, rasa sakit itu menghilang dan tak lama kemudian ia mati dalam keadaan kaku. Inilah yang dikehendaki oleh Pak Kek siansu. Kakek ini tadi merasa amat menyesal bahwa ia telah terpaksa menurunkan tangan maut. Ia menyesal harus menjadi pembunuh dalam saat terakhir. Maka ia memberi nasihat itu bukan semata karena kasihan kepada sutenya, melainkan terutama sekali agar supaya sutenya itu mati karena perbuatan sendiri. Mati bukan karena pukulannya, melainkan karena Pak Hong Siansu menutup jalan darahnya dan menghentikan pernapasannya sendiri!

Dan hampir berbareng dengan sutenya, kakek sakti ini sendiripun lalu menahan rasa sakit dengan jalan yang sama sehingga boleh dibilang dilarang saat yang bersamaan nyawa mereka meninggalkan tubuh mereka tak dapat diceritakan apalah nyawa kedua orang kakak beradik seperguruan ini melakukan perjalanan yang sama pula kembali ke alam asal!

********************

Ketika Ba Mau Hoatsu berlari turun gunung dengan hati mengkal dan mendongkol sekali, tiba tiba ia melihat dua sosok bayangan manusia berlari cepat naik dari kaki bukit. Ia cepat bersembunyi di balik pohon dan alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah Ciang Le dan Bi Lan! Ia tidak berani mengganggu karena maklum akan kelihaian dua orang muda itu, maka ia membiarkan mereka lewat. Kemudian ia melanjutkan perjalanan dan pikirannya berubah sama sekali.

Tadi ia sudah merasa mendongkol sekali kepada Pak Hong Siansu. Hatinya sudah mulai tawar untuk membantu pemerintah Kin. Apalagi sekarang ia melihat bahwa Ciang Le sudah bebas dan agaknya sudah sembuh dari penyakit gilanya. Ah, keadaan makin buruk, pikirnya. Menghadapi Ciang Le saja, tidak ada orang dari pemerintah Kin yang sanggup menahan, bahkan Pak Hong Siansu sendiri belum tentu menang. Apalagi masih ada Pak Kek Siansu. Ia tidak melihat harapan baik bagi pemerintah Kin dalam mempertahankan kedudukannya. Ia mulai mengenangkan semua hasil hasil diri pada campur tangannya. Tidak ada untungnya sedikitpun juga! Bahkan ia menderita malu besar karena muridnya, yakni Pangeran Wan yen Kan, telah menyeberang dan membantu para pemberontak! Untuk apa ia lebih lama membantu pemerintah Kin?

Timbul geram dan marahnya kepada murid nya karena ia mendapat nama busuk dan malu sekali karena perbuatan muridnya itu. Aku harus bunuh bedebah itu untuk membersihkan namaku dari para tokoh kang ouw, pikirnya. Dipercepatnya jalannya dan ia tidak kembali ke Cin an, juga tidak menanti turunnya Pak Hong Siansu.

Sementara itu, Ciang Le dan Bi Lan terus berlari naik. Hati Ciang Le amat tidak enak, karena ia tahu bahwa di mana saja Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu berada, pasti akan timbul kekacauan. Dan benar saja, ia mengeluarkan kutukan perlahan ketika tiba di tempat penjagaan pintu masuk dan dari jauh melihat tubuh tiga orang suhengnya, yakni Luliang Ciangkun, Luliang Siucai, dan Luliang Nung jin menggeletak di atas tanah dalam keadaan terluka hebat!

Ciang Le segera berlutut dan memeriksa mereka. Bukan main marahnya menyaksikan Luliang Nung jin patah patah tulang kakinya, Luliang Siucai patah tulang pundaknya dan Luliang Ciangkun patah lengan kanannya! Akan tetapi, tiga orang kakek itu hanya tersenyum dan bahkan Luliang Siucai berkata, “Sute, kepandaian kami terlalu rendah, mana dapat menahan susiok yang lihai?”

Mendengar ini, Ciang Le teringat lagi kepada Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu. Cepat ia bertanya. “Di mana dia?”

Luliang Siucai menudingkan jari tangannya ke atas dan Ciang Le segera meninggalkan mereka dan mengejar ke atas, diikuti oleh Bi Lan. Pemandangan yang terlihat di atas membuat Ciang Le pucat. Ia melihat Pak Hong Siansu duduk bersila di atas batu, tubuhnya kaku seperti batu. Adapun gurunya juga duduk di atas batu menghadapi susioknya itu, juga gurunya nampak kaku seperti batu. Setetah dapat menekan gelora hatinya, Ciang Le cepat menghampiri mereka dan alangkah kagetnya melihat kedua orang kakek itu telah putus napasnya!

Ketika Ciane Le memeriksa tubuh suhunya, ia menggigit bibir saking marahnya. Tubuh suhunya penuh dengan jarum jarum hitam yang keji dari susioknya. Dan melihat sepintas saja keadaan susioknya maklumlah ia bahwa susioknya telah terkena pukulan Pak kek Sin ciang dari suhunya. Dengan hati sedih Ciang Le dibantu oleh Bi Lan lalu mengurus jenazah kedua orang kakek itu dan menguburnya. Akan tetapi sengaja ia menjauhkan kuburan gurunya dan susioknya. Biarpun di dalam hati ia benci dan marah kepada susioknya, namun setelah melihat susioknya tidak benyawa lagi, ia masih mau mengubur dan bersembahyang di depan makamnya, dan ini saja dapat dipergunakan sebagai ukuran untuk mengetahui watak yang mulia dan budiman dari Hwa i enghiong Go Ciang Le!

Kemudian, Ciang Le mengangkat ketiga orang suhengnya ke dalam pondok di atas dan mulai merawat luka mereka, dibantu dengan setia oleh Bi Lan. Dengan kepandaiannya menyambung tulang, maka tulang tulang yang remuk itu dapat tersambung pula setelah lewat beberapa pekan. Luliang Sam lojin merasa amat berterima kasih kepada Ciang Le, terutama sekali kepada Bi Lan yang dengan telaten ikut merawat mereka, memasak, menjaga dan lain lain. Bagi Ciang Le. Memang tidak aneh karena sebagai sute, ia sudah berkewajiban untuk melakukan pekerjaan ini, akan tetapi Bi Lan yang tiada hubungan sesuatu dengan Luliang Sam lojin, mau melakukan semua ini, benar benar membuat tiga orang kakek itu berterima kasih. Berkali kali mereka memuji bahwa nona itu merupakan calon jodoh yang baik sekali untuk Ciang Le sehingga sepasang orang muda itu merasa berbahagia.

Setelah sembuh dari luka lukanya, biarpun agak cacad, yaitu Luliang Nungjin agak terpincang jalannya, Luliang Siucai tak dapat menulis dengan baik lagi, sedangkan Luliang Ciangkun terpaksa kini mainkan pedang dengan tangan kiri, tiga orang kakek itu lain mengajak Ciang Le dan Bi Lan turun gunung membantu perjuangan rakyat Tiongkok utara!

********************

Perjuangan rakyat makin menggelora dan menghebat. Kedudukan pemerintah Kin makin lemah. Banyak penduduk utara mengungsi ke selatan karena keadaan di selatan jauh lebih makmur dari pada keadaan di utara. Ling In dan suaminya, Wan Kan, hidup di Biciu dengan tenteram. Mereka merupakan suami isteri yang memiliki rumah tangga bahagia. Telah satu setengah tahun mereka tinggal di Biciu dan Ling In telah mempunyai seorang anak laki laki yang diberi nama Wan Sin Hong. Ibu dari Ling In sudah meninggal dunia, dan pamannya telah pindah ke lain kota. Dengan demikian, Wan Kan dan Ling In tinggal bersama putera mereka dan dibantu oleh seorang pelayan wanita yang sudah setengah tua.

Oleh karena ibu dari Ling In meninggalkan warisan berupa rumah dan sawah, maka kehidupan mereka cukup dan tidak kekurangan sesuatu. Agaknya suami isteri ini akan menikmati hidup sampai di hari tua, kalau tidak datang malapetaka yang hebat menimpa mereka. Malapetaka ini merupakan seorang hwesio hitam tinggi besar, bukan lain ialah Ba Mau Hoatsu, guru dari Wan Kan.

Pada pagi hari itu. Wan Kan dan Ling In sedang duduk di ruang depan, bercakap cakap gembira, Wan Sin Hong yang baru berusia setahun, merangkak rangkak ke sana ke mari dan mengeluarkan suara yang lucu dan sukar dimengerti, Thio ma, pelayan mereka, menjaga anak itu dan semua orang nampak gembira sekali oleh kelakuan Wan Sin Hong, anak yang mungil dan lucu itu. Setelah diberi makan, Wan Kan berkata kepada isterinya.

“Aku sudah rindu sekali mendengar berita dari pada kawan kawan kita. Mengapa mereka belum juga kembali? Terutama sekali aku ingin bertemu dengan adikku Ciang Le, entah di mana sekararang ia berada.”

“Kurasa bersama sama suheng suhengku dan dengan Bi Lan. Mudah mudahan saja mereka semua selamat,” jawab Ling In dan nyonya muda ini menyembunyikan perasaan yang kecewa. Sesungguhnya, ia sendiri pun ingini sekali membantu perjuangan kawan kawannya itu, mengusir penjajah Kin. Akan tetapi, biarpun ia maklum bahwa suaminya berbeda dengan penjajah Kin, dan bahwa suaminya sudah sadar benar benar akan kelaliman pemerintahan bangsanya, namun sebagai seorang isteri bijaksana ia selalu menjaga agar jangan menyinggung perasaan suaminya. Maka ia tak pernah bicara tentang kesalahan Bangsa Kin yang memeras rakyat di Tiongkok utara.

“Mudah mudahan saja.” Wan Kan membenarkan. “Alangkah ingin hatiku menyaksikan Ciang Le dan Bi Lan kembali dan merayakan pernikahan mereka. Kedua orang itu benar benar sudah cocok sekali, jarang ada jodoh yang sedemikian cocoknya, sama sama memiliki kepandaian tinggi.”

“Dan mudah mudahan mereka kelak sebahagia kita,” kata Ling In sambil memandang suaminya.

“Begitulah pula harapanku,” sambung suaminya dan balas memandang. Dalam pertemuan pandang ini tersinar rasa kasih sayang yang murni.

Pada saat itu, biarpun tidak terdengar sesuatu, sepasang suami isteri ini seakan akan tertarik oleh tenaga gaib dan keduanya tiba tiba menoleh dan memandang ke arah pintu. Wajah mereka tiba tiba menjadi pucat sekali karena di ambang pintu rumah berdiri seorang hwesio gemuk bermuka hitam yang memandang kepada mereka dengan sinar mata mengandung penuh kebencian!

“Suhu...!” seru Wan Kan dengan suara perlahan.

“Murid murtad! Kau masih mengaku guru kepadaku? Bagus, dengan begitu matimu tidak penasaran!” jawab Ba Mau Hoatsu yang segera mengirim serangan dengan sepasang rodanya.

Bukan main kagetnya Wan Kan karena serangan gurunya ini memang hebat sekali. Ia meloncat ke samping, mengelak dari serangan roda kiri gurunya, akan tetapi roda emas di tangan kanan Ba Mau Hoatsu sudah menyusul cepat sekali. Wan Kan kembali mengelak dan terdengar seruan keras dari Ling In yang telah mengangkat bangku dan menyerang hwe sio tinggi besar itu.

Pada waktu itu Ling In tidak memegang pedang, maka ia mencari senjata seadanya saja dan menyambar bangku yang tadi didudukinya untuk menolong suaminya. Ketika bangkunya menghantam kepala Ba Mau Hoatsu, terdergar suara keras dan bangku itu hancur berkeping keping beradu dengan roda perak dari Ba Mau Hoatsu. Pendeta Tibet ini tadinya hanya ingin menewaskan muridnya, akan tetapi ketika melihat Ling In menyerangnya, timbul geramnya dan ia meluncurkan rodanya ke arah nyonya muda itu. Ling In mencoba untuk mengelak, akan tetapi serangan itu hebat sekali datangnya dan tepat mengenai kepalanya sehingga robohlah Ling In dengan kepala pecah!

“Bangsat tua bangka! Iblis terkutuk, kau membunuh isteriku?” jerit Wan Kan yang menubruk gurunya dengan pukulan maut. Akan tetapi Ba Mau Hoatsu mengangkat kakinya dan sebuah tendangan kilat menyambar dada Wan Kan. Bekas pangeran ini terpental ke belakang dan sebelum ia dapat meloncat kembali, kepalanya sudah tertimpa oleh roda perak yang masih berbekas darah kepala isterinya. Kembali terdengar suara keras dan kepala Wan Kan pun pecah seperti keadaan isterinya. Nyawa kedua suami isteri yang saling kasih mengasihi ini susul menyusul melayang ke alam baka!

Ba Mau Hoatsu tertawa bergelak. “Puaslah hatiku, bersih kembali nama baikku yang kalian cemarkan!” katanya, kemudian tubuhnya berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

Pendeta Tibet ini sama sekali tidak tahu bahwa muridnya itu telah mempunyai seorang putera, yang kini sedang diberi makan oleh pelayannya. Kalau saja ia mengetahui hal ini, tentu ia akan turun tangan pula dan membunuh si kecil. Kelalaiannya ini akan ia bayar mahal kelak! (Dituturkan dalam cerita SIM KIAM HOK MO atau Pedang Sakti Penaluk Iblis yang amat menarik).

Tentu saja ketika pelayan atau pengasuh Wan Sin Hong mendengar suara ribut ribut, ia menjadi kaget dan ketakutan. Setelah suara, gaduh itu lenyap, ia berjalan keluar dan alangkah ngeri hatinya menyaksikan betapa kedua majikannya telah menggeletak di atas lantai dengan kepala pecah dan mandi darah!

“Tolong....tolooong…!” Pelayan itu berlari lari keluar dari rumah dengan muka pucat dan memeluk Wan Sin Hong erat erat.

Orang orang menjadi terkejut dan mendengar jeritan itu memburu ke tempat itu. “Ada apa? Ada apa, Thio ma?” tanya mereka.

“Aduh... celaka... aduh, celaka…!” hanya demikian Thio ma dapat mengeluh sambil menudingkan jarinya ke arah rumah yang baru saja ditinggalkannya. Sementara itu, Sin Hong menangis menjerit jerit karena ia merasa kaget dan takut melihat orang orang itu dan mendengar tangis Thio ma.

Orang orang mengejar masuk dan sebentar saja terdengar seruan seruan ngeri dari mereka ini. Yang berwajib diberi laporan dan jenazah Ling In serta Wan Kan lalu diurus baik, ditangisi siang malam oleh Thio ma yang menggendong Wan Sin Hong yang juga menangis terus mencari ibunya. Paman Ling In dari dusun segera datang ketika mendengar berita ini. Seperti kita telah ketahui, paman dari Ling In ini bersama The Liok, seorang petani yang jujur. The Liok beserta isterinya lalu mengurus jenazah dan setelah jenazah itu di makamkan baik baik The Liok lalu mengosongkan rumah Ling In, membawa perabot perabot rumah itu ke dusunnya bersama Wan Sin Hong dan Thio ma. The Liok tidak mau tinggal di rumah dalam kota itu, ia merasa lebih aman dan damai tinggal di dusun, di mana ia telah mempunyai sawah. Dengan adanya sawah peninggalan dari Ling In. Ia tidak khawatir lagi akan nasib hidupnya, maka iapun tidak keberatan untuk memelihara Wan Sin Hong berikut Thio ma, inang pengasuh yang amat setia dan mencinta anak itu.

Akan tetapi, hanya untuk tiga bulan anak kecil itu berada di rumah The Liok. Pada suatu senja, datanglah seorang pemuda tampan yang bertubuh tegap ke rumah The Liok. Petani ini telah pulang dari sawah dan sedang duduk di depan rumah bersama isterinya. Melihat kedatangan pemuda itu, The Liok menyambut dengan girang dan ramah tamah.

“Ah, kiranya Lie hiante. Telah lama sekali kita tidak saling bertemu,” kata The Liok.

Pemuda ini menjura selaku penghormatan. “Paman Liok, baik baik sajakah sekeluarga?” tanya pemuda itu yang bukan lain adalah Lie Bu Tek.

“Keluargaku sendiri sih baik baik saja, akan tetapi keponakanku Ling In .... “ The Liok menghentikan ucapannya untuk menarik napas panjang kemudian memandang kepada Lie Bu Tek dengan muka sedih.

“Aku sudah mendengar akan hal itu, paman The Liok. Memang menyedihkan sekali nasib Ling In dan Wan Kan,” jawab Lie Bu Tek sambil menghela napas panjang pula.

“Betulkah hiante?” The Liok memandang dengan mata penuh perhatian bercampur curiga.

Tadinya memang ada sangkaan dalam hati The Liok ini bahwa yang membunuh keponakannya adalah pemuda ini yang ia ketahui dulu yang mencinta Ling In. Hanya keterangan Thio ma saja yang membuat ia harus melenyapkan kecurigaannya terhadap Lie Bu Tek. Thio ma mengatakan bahwa ketika terjadi ribut ribut ia mengintai sebentar dan melihat seorang hwesio tinggi besar bermuka hitam berhadapan dengan kedua orang majikannya.

“Aku sudah mampir di Biciu sebelum datang ke sini mencarimu, paman Liok,” kata Bu Tek.

“Dan tahukah kau, siapakah gerangan yang membunuh keponakanku dan suaminya?”

“Siapa lagi kalau bukan guru dari Wan Kan yang bernama Ba Mau Hoatsu?”

“Gurunya sendiri?” The Liok memandang heran karena ia tidak mengerti mengapa seorang guru dapat membunuh murid sendiri. “Mengapa begitu, hiante?”

Lie Bu Tek menarik napas panjang. “Biarpun aku sendiri hanya menduga duga saja, akan tetapi dugaanku agaknya takkan meleset. Seperti kita ketahui, Wan Kan adalah Pangeran Wan yen Kan yang menjadi murid dari hwesio Tibet itu dan Ba Mau Hoatsu tentu saja mendapat kedudukan tinggi dan terpandang sekali oleh Kerajaan Kin karena menjadi guru dari Pangeran Wan yen Kan. Akan tetapi, kemudian Wan yen Kan berjodoh dengan sumoi, bahkan rela meninggalkan bangsanya dan melebur diri menjadi orang Han. Dengan tindakan Wan Kan ini, tentu saja nama Ba Mau Hoatsu menjadi jatuh dan ia merasa malu sekali. Oleh karena inilah kukira maka ia sengaja mencari Wan Kan dan membunuhnya, sekalian dengan sumoi.”

The Liok mengangguk angguk. “Agaknya cocok dugaanmu itu, hiante. Tadinya akupun hendak naik ke Hoa san untuk melaporkan pembunuhan ini kepada para locianpwe sana, akan tetapi aku pernah mendengar dan Ling In bahwa semua orang telah turun gunung dan membantu perjuangan melawan pemerintah Kin, bahkan Ling In sendiri sering kali menyatakan keinginannya membantu perjuangan itu. Maka aku membatalkan niatku karena untuk apa pergi jauh jauh ke Hoa san kalau kemudian tidak dapat bertemu dengan seorangpun di sana.”

“Memang betul, paman The Liok. Di puncak Hoa sansekarang tidak ada orang, semua sudah turun gunung membantu perjuangan. Bahkan datangku ke Biciu sebetulnya juga hendak minta bantuan sumoi dan juga minta kepada Wan Kan agar ia dapat memberi petunjuk petunjuk tentang keadaan pertahanan pemerintah Kin. Siapa tahu mereka telah menalami nasib demikian hebat.”

Tak terasa pula ketika mengucapkan kata kata ini, Bu Tek tetingat kepada Ling In yang pernah dicintainya, bahkan yang sampai saat itu masih saja bayangan sumoinya terukir di dalam hatinya, dan basahlah matanya. Melihat ini, The Liok terharu. Orang tua ini tahu akan perasaan Lie Bu Tek, maka ia segera menyimpangkan pembicaraan itu dan bertanya.

“Dan kau lalu mengunjungi aku di sini, apakah hanya menengok saja ataukah ada kepentingan lain, hiante?”

“Aku ingin melihat putera dari Ling In. Di mana dia dan siapakah namanya?”

The Liok tersenyum lebar. “Oh, kaumaksudkan Sin Hong? Ia lucu sekali dan sehat sehat saja, kasihan anak itu...” The Liok memanggil Thio ma yang segera datang sambil menggendong Wan Sin Hong yang tertawa tawa. Anak yang baru berusia setahun ini tentu saja tidak kenal akan arti susah dan telah melupakan ayah bundanya.

Melihat anak ini, Bu Tek merasa terharu sekali. “Paman The Liok, anak ini adalah keturunan mereka. Biarkanlah aku membawa dan mendidiknya agar ia kelak menjadi seorang bijaksana dan budiman serta gagah perkasa seperti ayah bundanya.”

The Liok nampak terkejut, demikian pula Thio ma segera memeluk anak itu erat erat. Inang pengasuh ini amat mencinta kepada Sin Hong seperti kepada cucunya sendiri. “Tidak mungkin, hiante. Sin Hong masih terlampau kecil, dan sudah menjadi hak dan kewajibanku untuk mengurusnya baik baik! Kau takkan dapat mengurusnya. Ia masih terlampau kecil dan kau seorang laki laki sebatangkara. Tak mungkin...“

“Jadi paman hendak mendidiknya menjadi seorang petani biasa?” tanya Lie Bu Tek dengan suara keras.

Tiba tiba sikap The Liok berobah keras. Ia menentang pandang mata Bu Tek dan menjawab keras pula. “Hiante! Apakah ucapanmu itu berarti kau memandang rendah kami kaum petani? Kau kira rendahkah kedudukan seorang petani? Lie hiante, kau lupa agaknya, hasil jerih payah siapakah yang setiap hari kau makan? Cucuku Wan Sin Hong ini seribu kali lebih baik menjadi seorang petani yang jujur dan rajin dari pada menjadi seorang pandai yang hidup sebagai petualang! Pernahkah kau berpikir, Lie hiante, bahwa di dunia ini, biarpun tidak ada orang orang pandai, namun para petani masih sanggup hidup bahagia, sedangkan orang orang pandai kalau tidak ada petani, dapatkah ia hidup? Mereka akan terpaksa melebur diri menjadi petani kalau tidak mau mampus kelaparan, tahukah kau?”

Melihat The Liok membela kaum tani dengan mati matian, penuh nafsu amarah ini, Lie Bu Tek tersenyum. Ia maklum bahwa tentu saja sebagai seorang petani, The Liok membela kaumnya, dan sebagai seorang gagah yang pernah mempelajari tentang pribadi, diam diam ia meagakui kebenaran kata kata orang sederhana dan jujur seperti The Liok itu.

“Betapapun jua, paman The Liok, aku ingin membawa anak ini hendak kuperlakukan sebagai puteraku sendiri. Biarlah aku berjanji bahwa sisa hidupku akan kuhabiskan untuk mengurus dan mendidik Sia Hong.”

“Tidak bisa dan tidak boleh!” bentak The Liok marah marah.

Lie Bu Tek berdiri dan menjura. “Kalau begitu, ijinkanlah aku pegi, aku tidak ingin mengganggumu lagi, paman The Liok.”

Akan tetapi petani tua itu tidak menjawab, hanya menganggukkan kepalanya dengan hati lega karena tadinya ia berkhawatir kalau kalau pemuda ini memaksa. Akan tetapi, pada keesokan harinya, Sin liong telah lenyap dari kamarnya! Thio ma, menangis menjerit jerit, The Liok memaki maki Lie Bu Tek, akan tetapi apakah dayanya? Ia tidak tahu ke mana Lie Bu Tek membawa anak itu dan ia yang tidak memiliki kepandaian, bagaimana ia dapat mencari Lie Bu Tek yang gagah perkasa? Maka tidak ada lain jalan baginya selain berdoa kepada Thian agar anak itu mendapat perlindunganNya.

********************

Dengan adanya bantuan dan orang orang agah seperti tokoh tokoh Hoa san pai, tokoh tokoh Go bi pai, pemuda pemuda perkasa seperti Ciang Le, Bi Lan, Hok Seng, dan masih banyak lagi yang sukar disebutkan satu demi satu, akhirnya beberapa tahun kemudian, lambat laun kekuasaan Kerajaan Kin makin menyuram dan akhirnya pemerintah Kin harus mengakui bahwa rakyat Tiongkok memang gagah perkasa dan pantang mundur menuntut perbaikan nasib.

Pemberontakan terjadi di mana gugur sepuluh maju seratus, jatuh seratus maju seribu, dan roboh seribu maju selaksa! Di manakah ada kekuatan penjajah di dunia ini yang dapat membendung gelora rakyat yang membanjir dalam perjuangan demi kebebasan tanah air dan bangsa? Biarpun pemerintah Kin mempunyai balatentara yang kuat, panglima yang gagah dan berkepandaian tinggi, namun mereka tak kuat juga menghadapi pemberontakan rakyat yang makin lama makin membesar dan meluas itu.

Dan diantara para pejuang yang gagah berani itu, Ciang Le berjuang bahu membahu dengan Bi Lan, kekasih hatinya, calon jodoh nya. Mereka bersumpah takkan menikah sebelum bangsa penjajah dapat terusir keluar dan sebelum bangsanya terbebas betul betul dari cengkeraman Bangsa Kin yang membuat rakyat sengsara.

Dan di mana adanya Lie Bu Tek, pemuda yang membawa pergi Wan Sin Hong puteri dari Wan Kan dan Ling In yang meninggal dalam keadaan mengenaskan itu? Tak seorang mengetahuinya. Bahkan ketika Ciang Le dan Bi Lan hendak mengunjungi Ling In dan mendengar berita menyedihkan itu dari The Liok, sepasang pendekar inipun tidak pernah bertemu dengan Lie Bu Tek dan tidak tahu ke mana perginya pemuda itu.

Kita akhiri cerita ini dalam keadaan suramnya pemerintah Kin yang terus terdesak oleh kaum pemberontak. Kota demi kota terjatuh ke dalam tangan pejuang rakyat, dan di alam setiap perjuangan rakyat, cerita perseorangan lenyap, yang ada cerita tentang kegagah beranian setiap orang anggauta pejuang yang siap mengurbankan nyawa dan darah demi tanah air!

Bagaimana dengan nasib Lie Bu Tek dan Wan Sin Hong? Dan bila kita dapat bertemu kembali dengan pendekar pendekar perkasa seperti Ciang Le dan Bi Lan? Semua ini akan terjawab dalam cerita yang lebih hebat lagi, yang khusus dihidupkan oleh pengarang cerita ini sebagai sambungan dari cerita Hwa I Enghiong atau Pendekar Budiman, yaitu cerita:


T A M A T
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.