Pendekar Budiman jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Budiman Jilid 09

KALAU saja Luliang Siucai bukan seorang yang berbatin tinggi dan amat penyabar, tentu ia sudah menjadi marah dan merobohkan lawannya ini dengan pukulan maut. Akan tetapi, murid Pak Kek Siansu ini tidak mau membunuh orang, dan ia berlaku amat hati hati, dengan maksud merobohkan Coa ong Sin kai tanpa membahayakan nyawanya. Akan tetapi hal ini bukanlah mudah, karena kepandaian Coa ong Sin kai sudah terlalu tinggi untuk dapat dirobohkan dengan mudah begitu saja.

Ketika Coa ong Sin kai membalas serangan Luliang Siucai dengan sebuah tusukan yang berbahaya sekali ke arah lambung tokoh Luliang san ini, tiba tiba Luliang Siucai berderu keras dan tahu tahu ujung tongkat bambu itu terjepit oleh sampul kitab di tangan kirinya. Jepitan ini demikian kuatnya sehingga Coa ong Sin kai tak berdaya untuk mencabutnya kembali!

“Coa ong Sin kai, kau menyerahlah!” seru Luliang Siucai.

Akan tetapi Coa ong Sin kai mengerahkan tenaganya untuk mencabut kembali tongkatnya yang terjepit oleh sampul kitab sehingga dua orang kakek lihai ini saling betot dan keadaan menjadi tegang. Tentu saja kalau Luliang Siucai mau, ia dapat menggerakkan tangan kanannya dan dapat menyerang lawannya dengan pit bulunya yang lihai. Akan tetapi, murid Pak Kek Siansu ini tidak mau berlaku demikian. Pada saat itu, tiga bayangan orang sudah tiba di situ dan terdengar bentakan halus.

“Luliang Siucai, jangan menghina orang dengan kepandaianmu yang tidak seberapa itu!”

Ucapan ini dibarengi dengan menyambarnya sehelai sinar putih yang ternyata adalah seikat mutiara putih yang dibuat seperti tasbeh. Ketika tasbeh mutiara ini menyentuh tongkat dan sampul kitab, baik Coa ong Sin kai maupun Luliang Siucai merasa tubuh mereka gemetar dan dengan kaget sekali mereka melompat mundur. Cepat mereka memandang kepada tiga orang yang baru datang itu.

Orang yang tadi menegur dan menggerakkan tasbeh secara hebat dan luar biasa sekali adalah seorang kakek tua sekali dengan tubuh bengkok sehingga kelihatan pendek, berkepala botak dan kulit mukanya putih sekali. Sepasang matanya lebar, pakaiannya seperti seorang pertapaan, tangan kirinya memegang sebatang tongkat panjang berwarna merah dan tangan kanannya memegang seuntai tasbeh terbuat dari pada batu mutiara putih yang mengeluarkan cahaya gemilang.

Orang ke dua adalah seorang pendeta tinggi besar bermuka hitam dan nampaknya sombong sekali. Adapun orang ke tiga adalah seorang yang usianya kurang lebih limapuluh tahun, berpakaian seperti seprang tosu, sepasang matanya nampak cerdik dan juga kejam.

Siapakah mereka ini? Mereka bukan orang orang sembarangan, karena orang pertama yang memegang tasbeh bukan lain adalah Pak Hong Siansu, orang yang paling lihai dan amat berkuasa di Tibet. Ilmu kepandaian Pak Hong Siansu sukar diukur sampai di mana tingginya, dan dari gerakan tasbehnya tadi saja sudah dapat dilihat bahwa kepandaiannya beberapa kali lipat lebih pandai dari pada Luliang Siucai atau Coa ong Sin kai!

Orang ke dua itu adalah Ba Mau Hoatsu, juga seorang tokoh Tibet dan sebagaimana para pembaca sudah mengenalnya, Ba Mau Hiatsu ini adalah guru dari Pangeran Wanyen Kan. Adapun orang ke tiga itu adalah Giok Seng Cu, murid dari Pak Hong Siansu, seorang yang telah memiliki kepandaian tinggi pula dan sudah banyak merantau ke dunia barat.

Ketika Luliang Siucai melihat orang orang yang datang ini, ia terkejut sekali dan cepat cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan Pak Hong Siansu sambil berkata, “Susiok, mohon maaf sebanyaknya bahwa teecu tidak tahu akan kedatangan susiok sehingga terlambat memberi hormat.”

Sementara itu, Coa ong Sin kai yang tahu bahwa orang orang yang datang itu adalah orang orang lihai, ia lalu tertawa tawa dan pergi meninggalkan tempat itu sambil berkata, “Banyak benar orang orang lihai di dunia ini...! Hebat, aku mesti melatih diri baik baik!”

Ba Mau Hoatsu yang tadinya melihat Coa ong Sin kai dan hendak memberi hajaran kepada orang aneh yang pernah mengacau dan menghina Sam Thai Koksu ketika diadakan pertemuan orang orang gagah, terpaksa menunda niatnya dan tidak mengganggu kepergian Coa ong Sin kai karena melihat betapa orang berpakaian sasterawan yang kepandaiannya tinggi dan bertempur dengan Coa ong Sin kai tadi kini berlutut di depan Pak Hong Siansu. Ia pernah mendengar tentang suheng (kakak seperguruan) dari Pak Hong Siansu, yaitu yang bernama Pak Kek Siansu, dan mendengar pula bahwa Pak Kek Siansu mempunyai tiga orang murid yang lihai. Ketika mendengar disebutnya nama Luliang Siucai oleh Pok Hong Siansu tadi, tahulah Ba Mau Hoatsu bahwa yang mengalahkan Coa ong Sin kai tadi adalah seorang murid dari Pak Kek Siansu.

Memang benar, Pak Hong Siansu adalah sute (adik seperguruan) dari Pak Kek Siansu, maka tidak mengherankan apabila kepandaiannya amat tinggi. Kedua orang sakti ini telah berpuluh tahun bertapa di kutub utara dan keduanya memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Akan tetapi Pak Hong Siansu memiliki cita cita sehingga akhirnya ia menjadi seorang yang paling tinggi di Tibet, didewa dewakan oleh para Lama sehingga hidupnya sama dengan seorang raja! Sebaliknya, Pak Kek Siansu menyembunyikan diri di puncak Bukit Luliang san, bertapa dan tidak mencampuri urusan duniawi.

Pak Hong Siansu sendiri sebetulnya juga sudah malas untuk berurusan dengan orang lain, karena hidupnya sudah aman, tenteram, dan makmur di Tibet. Akan tetapi, Ba Mau Hoatsu adalah seorang sahabat baiknya, seorang tokoh Tibet pula yang berkedudukan tinggi dan yang telah banyak berjasa membantunya memperoleh kedudukan yang paling mulia di Tibet, maka ketika Ba Mau Hoatsu datang minta bantuannya menolong negara Kin menghadapi orang orang seperti Thian Te Siang mo, ia memenuhi juga. Apalagi ketika ia mendengar bahwa Thian Te Siang mo memiliki kepandaian tinggi sekali dan oleh Ba Mau Hoatsu dikabarkan sebagai Sepasang Iblis Kembar yang sombong dan menjagoi daratan Tiongkok.

Memang, berbeda dengan Pak Kek Siansu, Pak Hong Siansu ini adatnya keras dan tidak mau kalah oleh siapapun juga dalam hal kepandaian ilmu silat. Maka ia lalu menyanggupi Ba Mau Hoatsu untuk turun dari Tibet, ikut ke negara Kin dan berjanji hendak mengalahkan Thian Te Siang mo. Tentu saja Ba Mau Hoatsu merasa girang sekali. Ba Mau Hoatsu tidak takut kepada siapapun juga dan yang membuat ia jerih hanya menghadapi Thian Te Siang mo.

Maka dengan adanya Pak Hong Siansu yang membantu, apalagi di situ ada pula murid dari Pak Hong Siansu, yaitu Giok Seng Cu yang kepandaiannya juga setingkat dengan Ba Mau Hoatsu. tentu saja Ba Mau Hoatsu berbesar hati sekali. Dari Tibet, tiga orang tua yang lihai ini melakukan penjalanan berkuda ke Cining, sebuah kota di sebelah selatan dari Mongolia dalam karena Pak Hong Siansu hendak mengunjungi seorang sahabatnya. Kemudian, dari Cining mereka ke selatan dengan berjalan kaki melintasi padang pasir karena Pak Hong Siansu tidak suka naik unta.

Demikianlah, secara kebetulan sekali rombongan dari tiga orang ini bertemu dengan Luliang Siucai yang tengah bertanding silat dengan Coa ong Sin kai dan berkat campur tangan Pak Hong Sian su, maka selamatlah Coa ong Sin kai yang berhku cerdik dan segera pergi dari situ. Biarpun Pak Hong Siansu tidak tahu siapa orangnya yang bertempur melawan Luliang Siucai, namun melihat murid keponakannya itu mendesak seorang pengemis tua yang sudah kewalahan, tanpa banyak pikir lagi ia turun tangan dan menegur, “Luliang Siucai,” kata Pak Hong Siansu melihat murid keponakannya itu berlutut di depannya, “agaknya biarpun suheng telah lama tidak muncul, namun dia masih mengumbar nafsunya melalui murid muridnya. Ini namanya turun tangan secara tidak langsung!”

Luliang Siucai adalah seorang yang amat tenang dan sabar, akan tetapi ada pantangannya, yaitu kalau suhunya dicela orang lain, akan naik darah nya. Kini mendengar Pak Hong Siansu mengucapkan tuduhan yang sifatnya menyinggung dan sedikit menghina suhunya, ia menjawab tak senang, “Susiok, pertempuran teecu menghadapi Coa ong Sin kai tadi tidak ada hubungannya sama sekali dengan Siansu yang bertapa di puncak Gunung Luliang san. Suhu benar benar telah mencuci tangan dan segala tanggung jawab dalam sepak terjang teecu adalah tanggung jawab teecu sendiri!”

Mendengar jawaban ini, tahulah Pak Hong Siansu bahwa murid keponakannya ini marah, maka ia tertawa sambil berkata lagi, “Aha, Luliang Siucai, kau agaknya sudah mendapat banyak kemajuan sehingga berani mengeluarkan kata kita di depanku. Sebagai paman gurumu, aku hendak bertanya, mengapakah kau tadi mendesak dan menyerang pengemis tua itu? Apa alasanmu?”

Luliang Siucai menunjuk ke arah Liang Tek Sianseng yang masih duduk bersila di atas pasir tanpa bergerak, “Teecu bertempur untuk membela sahabat teecu itu.”

“Siapakah dia?”

“Dia adalah Liang Tek Sianseng dari Hoa san pai. Karena muridnya diculik oleh Coa ong Sin kai, maka dia minta tolong kepada teecu untuk membujuk Coa ong Sin kai, agar suka mengembalikan murid perempuannya, akan tetapi siapa kira, Coa ong Sin kai bahkan menyerang dan melukainya. Ketika teecu menegur dan minta supaya pengemis ular itu mengembalikan murid Hoa san pai, Coa ong Sin kai bahkan menentang teecu. Oleh karena itulah maka teecu sampai bertempur dengan dia.”

Tiba tiba terdengar Bu Mau Hoatsu tertawa bergelak, “Ha ha ha, benar orang orang Hoa san pai selalu menimbulkan keributan belaka di mana saja mereka berada! Sam Thai Koksu dari negeri Kin ketika mengadakan perayaan di Cin an, juga terjadi keributan yang ditimbulkan oleh orang orang Hoa san pai! Sangat meragukan apakah orang orang Hoa san pai ini benar benar orang orang yang baik dan patut dibela!”

Mendengar ucapan sahabatnya itu, Pak Hong Siansu mengerutkan keningnya sehingga matanya yang lebar itu nampak makin bundar. “Luliang Siucai, apakah kau sudah tahu betul mengapa murid perempuan Hoa san pai itu diculik? Apakah kau sudah yakin betul mana yang benar dan mana yang salah dalam persoalan antara Coa ong Sin kai dan orang orang Hoa san pai?” tanya kakek sakti itu.

Luliang Siucai menggeleng kepalanya. “Teecu tidak mengetahui sedalam dalamnya tentang urusan itu. Yang teecu ketahui bahwa Liang Tek Sianseng dari Hoa san pai adalah seorang sahabat teecu yang baik dan boleh dipercaya kemuliaan hatinya, sedangkan Coa ong Sin kai, siapakah yang tidak mengenal kebusukan hatinya?”

“Kau berat sebelah!” Pak Hong Siansu membentak marah. “Tidak boleh mendasarkan benar tidaknya seseorang dalam satu urusan atas watak mereka! Bulan tidak selamanya bundar dan matahari tidak selamanya terang! Orang pintar sekali kali melakukan kebodohan dan orang bodoh sekali waktu akan melakukan kebenaran. Kau terlalu mengandalkan kepandaian sendiri sehingga tidak memandang kepada orang lain. Sekarang hendak kulihat sampai di mana sih kepandaanmu sehingga kau berani bertindak demikian sembrono dan sombong? Giok Seng Cu, coba kaulayani Luliang Siucai ini beberapa jurus untuk mengukur kepandaiannya!”

Dengan sikapnya yang tenang dan gerakan kakinya yang kuat, Giok Seng Cu melangkah maju menghadapi Luliang Siucai yang juga sudah bangun sendiri.

“Luliang Siucai, beranikah kau melawan pinto (aku)?” tanya Giok Seng Cu kepada Luliang Siucai yang memandang dengan penuh perhatian. Tokoh Luliang san ini belum pernah melihat tosu yang menjadi murid susioknya itu. Memang Giok Seng Cu bukan murid semenjak kecil. Dia adalah seorang tosu perantau yang tadinya memang telah memiliki kepandaian tinggi. Pada suatu waktu, ia bentrok dengan Pak Hong Siansu dan setelah kena dikalahkan, dia mengaku guru kepada Pak Hong Siansu yang suka menerimanya sebagai murid karena memang Giok Seng Cu berbakat baik sekali. Semenjak menjadi murid Pak Hong Siansu, kepandaian Giok Seng Cu meningkat cepat sekali.

“Giok Seng Cu, sebetulnya menurut tingkat perguruan kita. kau masih terhitung saudara muda atau masih menjadi suteku. Kalau susiok hendak memberi pengajaran kepadaku, tentu aku tidak berani melawan. Akan tetapi kalau kau yang hendak mencoba kepandaianmu kepadaku, silahkan!”

Giok Seng Cu meraba pinggangnya di mana ia memakai senjatanya sebagai sabuk, yaitu sehelai rantai perak, lalu berkata, “Luliang Siucai, apakah kau menghendaki di pergunakannya senjata dalam permainan ini?”

“Giok Seng Cu, kita masih saudara seperguruan. Mengapa harus bersikap seperti dua orang musuh? Mari kita main main dengan tangan kosong saja.”

“Baik, sambutlah seranganku.”

“Hati hatilah, Giok Seng Cu!”

Giok Seng Cu mulai dengan serangannya. Ia mengirim pukulan dengan tangan kiri dimiringkan dan jari jari tangannya diluruskan. Pukulan ini mendatangkan sambaran angin dan mengarah leher Luliang Siucai. Dari gerakan pertama ini saja Luliang Siucai maklum bahwa ilmu silat dari lawannya amat lihai serta tenaga dalamnya juga luar biasa. Ia berlaku tenang akan tetapi cepat. Dengan gerakan halus Luliang Siucai mengelak ke kiri lalu membalas serangan Giok Seng Cu dengan totokan ke arah dada. Giok Seng Cu menarik kembali jangan kirinya dan dari samping, tangan kanannya menyampok pukulan lawan. Dua tangan beradu dan keduanya merasa bahwa tenaga lawan sebanding kuatnya.

Setelah bertempur lima puluh jurus, tahulah Luliang Siucai bahwa kepandaian tosu ini hanya sedikit saja di bawah tingkatnya dan agaknya tak mungkin ia akan dapat menang tanpa menggunakan serangan yang dapat melukai Giok Seng Cu. Sedangkan ia tidak mau melukai murid susioknya ini, karena ia tahu akan kekerasan hati susioknya. Kalau ia merobohkan Giok Seng Cu sehingga luka berat, tentu susioknya akan merasa tersinggung hatinya.

Setelah berpikir masak masak, ia lalu berobah gerakannya dan kini ia mainkan ilmu Silat Pak kek Sin ciang! Ilmu sitat ini hanya sedikit saja ia pelajari dari Pak Kek Siansu, karena ia terpaksa harus menyerah dan tidak sanggup melanjutkan pelajaran ilmu silat yang aneh dan amat berat syarat syaratnya itu. Namun, biarpun ia baru mempelajari sedikit saja, ketika ia menggerakkan kaki tangannya menurutkan ilmu silat ini, Giok eng Cu mengeluarkan suara tertahan saking kaget dan bingungnya dan pada suatu saat, Luliang Siucai berhasil menangkap kedua pergelangan tangannya!

Pak Hong Siansu juga terkejut melihat gerakan Luliang Siucai itu, dan tanpa terasa pula ia mengepal tinjunya dan berkata perlahan, “Hm, inikah ilmu silat yang baru dari suheng!”

Luliang Siucai merasa tidak enak, maka katanya, “Sute Giok Sengcu, sudahlah. Cukup kiranya main main ini!”

Ia mengharapkan dari mulut Giok Seng Cu untuk mengakui kekalahannya, akan tetapi siapa kira Giok Seng Cu masih merasa penasaran dan tosu ini mengerahkan tenaga lweekang dan diam diam melalui pergelangan tangan yang terpegang ia menyalurkan tenaga untuk melukai Luliang Siucai yang memegangnya. Tentu saja Luliang Siucai menjadi terkejut ketiga merasa betapa telapak tangannya yang memegangi pergelangan tangan lawan itu menjadi panas. Ia cepat mengerahkan tenaganya dan pegangannya makin mengeras. Ia menjadi bingung. Kalau diteruskan, urat nadi Giok Seng Cu akan menjadi putus, dan kalau ia lepaskan, benar sekali bahayanya ia akan menerima serangan yang tiba tiba dari lawannya yang tidak mau mengaku kalah itu.

“Giok Seng Cu, apakah kau sudah gila? lepaskan perlawananmu dan mari kita sudahi pertempuran gila ini!”

Namun Giok Seng Cu sebagai jawaban malah makin memperhebat tenaganya sehingga terpaksa Luliang Siucai juga memperhebat tenaga gencetannya. Untuk menjaga diri. terpaksa Luliang Siucai tidak mau melepaskan tangan lawannya yang tak tahu diri itu. Muka Giok Seng Cu sudah mulai berpeluh dan nyata sekali tosu ini menahan kesakitan. Pegangan kedua tangan Luliang Siucai bukan sembarang pegangan, karena yang dipegang adalah tepat jalan darah bagian urat nadi!

Pada saat itu, terdengar Pak Hong Siansu berkata perlahan, “Hm, Giok Seng Cu ternyata kau masih belum mendapat kemajuan!” Setelah berkata demikian, kakek sakti ini melangkah maju dan berdiri di belakang muridnya, kemudian dengan tangan kirinya ia menepuk perlahan ke arah punggung muridnya itu.

Tepukan itu perlahan saja, akan tetapi akibatnya hebat bagi Luliang Siucai. Ternyata bahwa kakek sakti ini sambil menepuk telah, menyalurkan tenaganya yang luar biasa sehingga tenaga ini membantu kekuatan muridnya dan seketika itu juga, Luliang Siucai merasa betapa kedua telapak tangannya seperti ditusuk jarum. Sambil menjerit “celaka!” ia melepaskan pegangannya dan melompat mundur, akan tetapi ia terhuyung huyung lalu roboh dengan mulut menyemburkan darah. Ternyata bahwa dia telah menderita luka hebat di sebelah dalam tubuhnya!

Melihat ini, Pak Hong Siansu merasa tidak enak hati juga, karena biarpun tidak terlihat secara menyolok mata sesungguhnya ia telah berlaku curang, diam diam membantu muridnya dan merobohkan Luliang Siucai. Maka ia lalu berkata, “Sudahlah, mari kita pergi dari sini!”

Sebentar saja, Pak Hong Siansu, Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu telah pergi dari tempat itu meninggalkan Luliang Siucai dan Liang Tek Sianseng yang terluka parah. Dua orang sasterawan gagah ini tak berdaya dan luka yang diderita oleh Luliang Siucai bahkan lebih parah daripada Liang Tek Sianseng. Keduanya duduk di atas pasir, bersila untuk mengerahkan tenaga menolak daya luka di dalam tubuh yang dapat merenggut nyawa. Melanjutkan perjalanan bagi keduanya tak mungkin. Kalau mereka memaksa diri melakukan perjalanan di terik panas matahari di atas padang pasir itu, tentu sebentar saja mereka akan kehabisan tenaga dan akan roboh binasa. Akan tetapi, sebaliknya sukar pula memulihkan tenaga mereka untuk mengatasi luka di bagian dalam yang parah itu. Nasib mereka agaknya sudah dapat ditentukan, yaitu mati di padang pasir yang luas dan panas!

“Aku merasa menyesal sekali telah membawamu sehingga kau menderita luka hebat,” kata Liang Tek Sianseng dengan suara lemah kepada Luliang Siucai.

Tokoh Luliang san itu tersenyum. “Mengapa menyesal? Mati atau hidup hanya sebutan saja, siapakah yang dapat menguasai hidup dan mati? Yang penting bagi kita, tiada ruginya harus mati dalam membela kebenaran! Pula, kalau kita mati bersama di tempat ini, bukankah kita akan berangkat bersama pula dan tidak akan merasa kesepian?”

Diam diam Liang Tek Sianseng merasa kagum atas sikap kawannya ini, yang dalam menghadapi maut masih bersikap gembira dan tenang. Ucapan tokoh Luliang san ini membesarkan hatinya dan melenyapkan kekecewaan dan penyesalannya. Memang ucapan Luliang Siucai itu benar belaka. Manusia yang manakah di dunia ini dapat menguasai mati. Dilihat begitu saja agaknya sudah tiada harapan lagi bagi mereka untuk menghindarkan diri dari bahaya maut. Siapa yang dapat menolong mereka di padang pasir yang sunyi itu? Akan tetapi, kalau Thian menghendaki, ada saja jalan bagi mereka untuk dapat hidup terus.

Secara kebetulan sekali, pada saat itu, dari jurusan timur datang tiga orang yang tepat menuju ke tempat itu. Bagaikan dituntun oleh tangan Thian Yang Kuasa, tiga orang itu kebetulan sekali mengambil jalan di tempat itu sehingga mereka dapat melihat dua orang kakek yang sedang duduk meramkan mata dan tidak bergerak sedikitpun juga.

“Susiok...!” seorang diantara ketiga orang ini berseru kaget ketika ia melihat Tiang Tek Sianseng. Tokoh Hoa san pai ini mengenal suara orang yang menegurnya, maka cepat ia membuka matanya dan alangkah girang dan herannya melihat orang yang baru datang ini.

“Bi Lan! Kau…? Di sini…??” Setelah berkata demikian, saking menahan gelora hatinya yang memang sudah lemah karena dikerahkan untuk menahan lukanya. Liang Tek Sianseng roboh pingsan di atas pasir!

Memang, orang ke tiga ini adalah Liang Bi Lan anak murid Hoa san pai yang tadinya diculik oleh Coa ong Sin kai dan kemudian menjadi murid Thian Te Siang mo. Adapun dua orang yang datang bersama dia itupun bukan lain adalah Thian Te Siang mo gurunya. Sepasang Iblis Kembar ini setelah mendapatkan murid baru yang cerdik dan rajin ini, segera membawa Bi Lan merantau sambil tiada hentinya menggembleng nona itu dengan ilmu silat mereka yang baru diciptakan, yaitu Thian Te Kun hwat (Ilmu Silat Langit dan Bumi) Dan di dalam perantauan mereka ini, Bi Lan banyak sekali mendapat kemajuan dan pengalaman. Ia dapat mempelajari Thian Te Kun hwat dengan amat baiknya dan beberapa kali ia oleh guru gurunya dicoba menghadapi tokoh tokoh persilatan dan selalu mendapat kemenangan. Oleh karena ini, Bi Lan banyak bertemu dengan tokoh tokoh kang ouw dan namanya sebagai murid Thian Te Siang mo dan juga sebagai Sian li Eng cu (Bayangan Bidadari) cukup terkenal.

Bi Lan demikian maju kepandaiannya sehingga ia bahkan telah mempelajari pula Ilmu Ciang siang ci hoat (Ilmu Mengobati Luka Pukulan Tangan) dari kedua gurunya. Oleh Karena itu, ketika melihat bahwa yang berada di padang pasir dan sedang terluka hebat adalah susioknya sendiri dari Hoa san, Bi Lan cepat cepat maju mendekati dan diam diam ia lalu mengumpulkan seluruh perhatian dan mengerahkan tenaga lweekangnya. Kedua telunjuknya kanan kiri telah siap sedia untuk melakukan Ciang siang ci hoat setelah ia melihat bahwa susioknya ini terluka di dalam tubuh oleh pukulan tangan lawan yang ampuh. Akan tetapi sebelum gadis perkasa ini menggerakkan tangannya, tiba tiba Thian Lo mo membentaknya,

“Bi Lan, jangan gunakan Ciang siang ci hoat!” Karena maklum bahwa gurunya amat aneh dan keras wataknya, Bi Lan menunda niatnya dan berpaling kepada suhunya.

“Suhu, ini adalah susiokku sendiri, Liang Tek Sianseng dari Hoa san pai. Dia terluka hebat, bagaimana teecu tidak akan menolongnya?”

Kini Te Lo mo yang mencelanya, “Anak bodoh! Kami bersusah payah melatihmu dan kau sendiri telah melatih Ciang siang ci hoat selama beberapa bulan dengan tekun. Apakah kau hendak melenyapkannya begitu saja dan bahkan membahayakan dirimu sendiri?”

“Suhu, untuk menolong orang, apalagi susiok sendiri, teecu rela kehilangan tenaga.”

“Bodoh!” Sepasang Iblis Kembar itu mencela marah.

Memang, penggunaan Ciang siang ci hoat atau ilmu pengobatan luka bekas pukulan tangan yang diajarkan oleh Thian Te Siang mo, berdasarkan kepandaian ilmu dalam yang amat tinggi tingkatnya. Ilmu ini sebetulnya merupakan latihan untuk memperkuat keadaan di dalam tubuh sendiri, akan tetapi kalau dipergunakan untuk mengobati orang lain yang menderita luka parah karena pukulan yang lihai dari lawan, maka akibatnya akan berbahaya sekali bagi si penolong. Ciang siang ci hoat dipergunakan dengan pengerahan tenaga lweekang dan pengerahan seluruh perhatian sambil menahan napas. Yang dipergunakan hanya dua jari telunjuk untuk menotok, menutup dan membuka jalan jalan darah tertentu di seluruh tubuh. Dengan jalan ini maka aliran aliran darah yang teratur membangkitkan daya tahan dan kekuatan di dalam tubuh orang yang terluka sehingga luka itu akan terobati sendiri oleh daya tahun di dalam tubuhnya sendiri.

“Hayo kita pergi! Jangan berlaku bodoh, dan jangan mencampuri urusan orang lain!” kata Thian Lo mo kepada muridnya sambil memegang tangan Bi Lan untuk mencegah gadis itu mempergunakan Ciang siang ci hoat untuk menolong Liang Tek Sianseng yang masih rebah pingsan.

“Tidak, suhu! Teecu tidak bisa pergi sebelum susiok ditolong!” kata Bi Lan dan sikapnya yang keras kepala itu membuat dua orang gurunya saling pandang.

“Jangan begitu, Bi Lan. Kita tak perlu bercampur tangan dengan urusan lain. Jangan jangan kita hanya akan terbawa dalam urusan permusuhan yang memusingkan belaka. Hayo kita pergi saja,” mendesak Te Lo mo.

Akan tetapi Bi Lan tetap berkeras kepala. “Kalau suhu berdua tidak mau menolong susiok. terpaksa teecu mengobatinya sendiri!”

Guru guru dan murid ini bersitegang dan tiba tiba terdengar suara ketawa halus. Yang tertawa ini adalah Luliang Siucai yang sudah membuka matanya.

“Lain guru lain murid! Sungguh aneh dunia ini.”

“Luliang Siucai, kau sudah menculik murid kami! Sekarang kami tidak turun tangan membunuhmu masih boleh dianggap beruntung sekali bagimu!” kata Te Lo mo marah.

“Siapa hendak mencampuri urusan kalian dengan murid kalian ini? Aku hanya hendak mencegah percekcokan antara guru dan murid. Kedua luka Liang Tek Sianseng memang berat, akan tetapi kalau kalian mau membawanya keluar dari pedang pasir ini, tentu ia akan dapat beristirahat dan dapat pulih kesehatannya. Dengan berbuat demikian, kalian akan mendatangkan tiga macam kebaikan. Pertama, Liang Tek Sianseng akan selamat. Kedua, muridmu akan puas, dan ke tiga, kalian sendiri berarti tidak menolong sepenuhnya, hanya setengah setengah saja. Bukankah itu baik sekali.”

Dari bicaranya ini, dapat dimengerti bahwa Luliang Siucai benar benar seorang yang berhati mulia dan ia sama sekali tidak memperdulikan keadaannya sendiri. Baginya, kalau Liang Tek Sianseng sudah tertolong, cukuplah. Thian Te Siang mo ketika mendengar ini, lalu tertawa dan Thian Lo mo berkata. “Ucapan itu ada isinya juga, kutu buku! Akan tetapi, jangan kaukira kami begitu gila untuk bersusah payah membawa kawanmu ini keluar dari padang pasir.”

“Suhu, teecu tetap tidak mau pergi kalau suhu tidak mau mengobati atau menolong susiok.” Bi Lan berkata dengan suara tetap.

“Baiklah, baiklah! Akan tetapi jangan kira aku mau diganggu oleh orang yang kausebut susiok ini sehingga terpaksa kita harus merobah haluan perjalanan. Biar susiokmu ini kuberi obat sehingga ia kuat untuk melanjutkan perjalanan seorang diri, kemudian ia dapat berobat di kota yang berdekatan,” kata Thian Lo mo yang segera mengeluarkan sebungkus besar obat obat yang selalu dibawa di dalam saku bajunya. Ia memilih sebungkus kecil yang setelah dibuka berisi beberapa butir pel merah. Dengan amat hati hati seakan akan obat itu didapatkannya dari sorga, Thian Lo mo mengambil tiga butir dan memberikannya kepada Bi Lan. Muridnya menerima dengan wajah girang.

“Masukkan dua butir ke dalam perutnya dan yang sebutir lagi untuk bekal di jalan sebelum ia dapat tiba di kota,” kata Thian Lo mo sambil membungkus kembali, obat obatnya dan memasukkan ke dalam kantongnya.

Bi Lan melakukan perintah gurunya. Ia menghampiri Liang Tek Sianseng yang masih pingsan dengan muka pucat dan napas terengah engah. Karena mulut orang tua ini terbuka saking kepanasan dan menahan sakit, dengan mudah Bi Lan dapat memasukkan dua butir pel merah ke dalam mulut susioknya dan dengan sedikit tenaga, gadis ini dapat melontarkan pel itu melalui kerongkongan dan turun ke dalam perut. Tak lama kemudian, siumanlah Liang Tek Sianseng. Ia bangkit dan memandang kepada Bi Lan dengan muka girang sekali.

“Bi Lan, sampai aku bertempur dan mengejar ngejar Coa ong Sin kai karena mengira kau masih dibawanya.”

“Jadi susiok terluka oleh Coa ong Sin kai?” tanya Bi Lan.

Liang Tek Sianseng mengangguk, kemudian ia bertanya. “Apakah Thian Te Siang lo enghiong ini yang menolongku?”

“Benar, susiok. Mereka ini sekarang telah menjadi guru guruku.”

Bukan main girangnya hati Liang Tek Sianseng. Ia menghampiri dua orang iblis kembar itu dan memberi hormatnya.

“Banyak terima kasih atas pertolongan jiwi, terutama sekali atas kesediaan jiwi memberi pimpinan kepada Bi Lan,” kata Liang Tek Sianseng.

“Kalau tidak karena anak keras kepala ini, siapa sudi bersusah payah?” jawab Thian Lo mo acuh tak acuh.

Bi Lan memberikan pel merah yang sebutir lagi kepada susioknya. “Susiok, ini obat dari suhu masih ada sebutir lagi, harap kautelan di dalam perjalanan.”

“Kedua suhumu baik sekali, Bi Lan, Kau belajarlah baik baik dan rajin agar tidak mengecewakan pengharapan mereka. Aku akan kembali ke Hoa san dan mengabarkan tentang keadannmu yang selamat.” Kemudian Liang Tek Sianseng berjalan menghampiri Luliang Siucai yang masih duduk bersila.

“Sahabat baik, kita mendapat pertolongan dari dua orang lo enghiong, kautelanlah obat ini,” katanya sambil menyerahkan pel merah.

Akan tetapi Luliang Siucai menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tiada guna, Liang Tek Sianseng. Pel itu untuk bekalmu di jalan. Aku tak perlu kau pikir, pergilah sendiri.”

“Apa? Tak mungkin. Kau sudah membelaku mencari Bi Lan dan menghadapi Coa ong Sin kai, bagaimana aku bisa meninggalkanmu begitu saja? Kalau kau tidak mau makan obat ini, akupun tidak akan pergi dari sampingmu,” kata Liang Tek Sianseng dengan suara keras.

“Kau benar benar sahabat sejati,” kata Luliang Siucai yang terpaksa menerima dan menelan pel merah itu. Sebentar saja mukanya yang pucat telah berobah merah.

“Ah, obat yang bagus. Patut sekali berada di tangan Thian Te Siang mo,” katanya memuji sambil mengangguk anggukkan kepalanya. “Akan tetapi, lukaku terlampau berat dan aku masih belum kuat berlari. Aku hanya akan menghambat perjalananmu, Liang Tek Sianseng, dan mungkin sekali sebelum keluar dari padang pasir ini, aku akan roboh dan kau juga.”

“Akan tetapi aku sudah kuat, aku akan menggendongmu!” Tanpa menanti jawaban lagi, Liang Tek Sianseng sudah menyambar tubuh Luliang Siucai dan terus digendong. Kemudian ia menjura kepada Thian Te Siang mo dan berkata, “Sekali lagi terima kasih banyak. Bi Lan, kau belajarlah baik baik dan yang pandai menjaga diri!” Setelah berkata demikian, Liang Tek Sianseng yang menggendong tubuh Luliang Suicai lalu berjalan cepat.

“Susiokmu benar benar orang aneh,” kata Te Lo mo kepada Bi Lan sambil menggeleng gelengkan kepalanya. “Tidak saja memberikan sebutir pel merahnya, bahkan kini menggendongnya. Mana dia kuat keluar dari padang pasir kalau begitu?”

“Tidak ada gunanya sama sekali,” menyambung Thian Lo mo, “sebelum keluar, keduanya akan mati. Percuma saja kita kehilangan tiga butir Ang kim tan (Pel Emas Merah).”

“Belum tentu, suhu,” bantah Bi Lan dan tiba tiba gadis ini berlari cepat mengejar Liang Tek Sianseng.

“Eh, anak gila, kau mau ke mana?” Te Lo mo berteriak.

“Teecu akan mewakili susiok menggendong Luliang Siucai!” kata Bi Lan sambil berlari terus.

Thian Te Siang mo mendongkol sekali dan cepat mengejar, akan tetapi sementara itu, Bi Lan telah dapat menyusul Liang Tek Sianseng yang tidak berani berlari terlalu cepat.

“Susiok, kau takkan kuat menggendongnya keluar dari padang pasir. Biarkan teecu yang menggendongnya!” kata gadis ini kepada Liang Tek Sianseng.

Tokoh Hoa san pai ini berhenti dan sementara itu, Thian Te Siang mo telah berada di situ pula.

“Bi Lan, anak berkepala batu! Kau tidak boleh menggendongnya, mari kita pergi melanjutkan perjalanan kita!” kata Thian Lo mo.

Bi Lan menggelengkan kepalanya. “Tidak, suhu. Sebelum susiok dan sahabatnya tertolong, teecu takkan mau pergi.”

“Anak setan!” memaki Te Lo mo.

Akan tetapi, biarpun memaki, Thian Lo mo mengeluarkan bungkusan obatnya dan mengambil tiga butir Ang kim tan lagi. “Celaka, gara gara bocah ini, terpaksa hari ini aku harus kehilangan enam butir kim tan!” katanya sambil menyerahkan tiga butir pel itu kepada Bi Lan yang cepat memberikannya pula kepada Luliang Siucai.

Luliang Siucai menelan sebutir pel lagi dan kini dia mempunyai sisa dua untuk bekal di jalan sehingga ia dan Liang Tek Sianseng akan dapat keluar dari padang pasir itu. Luliang Siucai tertawa geli, “Thian Te Siang mo, kalian adalah sebaliknya dari pada pel pel merah ini. Pel ini luarnya kelihatan merah dan bagus, akan tetapi dalamnya pahit sekali. Adapun kalian ini pada luarnya kelihatan ganas dan jahat, akan tetapi di dalam hatimu adalah orang orang yang budiman. Mengapa berpura pura jahat? Ha ha ha!”

“Luliang Siucai, mengapa kau tidak mampus saja sehingga tidak membikin susah kepada kami?” bentak Thian Lo mo, akan tetapi Luliang Siucai tertawa dan setelah menjura mengucapkan terima kasihnya, ia lalu mengajak Liang Tek Sianseng pergi dari situ. Kini ia tidak perlu digendong lagi karena setelah menelan sebutir kim tan lagi, tubuhnya menjadi kuat kembali.

Sambil mengomel panjang pendek. Thian Te Siang mo lalu mengajak Bi Lan melanjutkan perjalanan. Gidis ini tersenyum senyum dan berlaku gembira. Akan tetapi ia tiba tiba terkejut sekali ketika melihat kedua orang suhunya berlari cepat mengejar Liang Tek Sianseng dan Luliang Siucai. Bi Lan cepat mengejar pula. Ia maklum akan watak yang aneh dari kedua suhunya dan khawatir kalau kalau suhu suhunya ini berobah pikiran dan mengandung maksud buruk terhadap dua orang tua. Juga Liang Tek Sianseng dan Luliang Siucai heran melihat dua iblis kembar itu mengejar, maka mereka itu berdiri menanti.

“Thian Te Siang mo, kalian mengejar apakah hendak menyatakan menyesal karena telah menyelamatkan nyawa kami?” tegur Luliang Siucai.

“Siapa perduli akan nyawamu?” bentak Thian Lo mo. “Kami hanya merasa tertipu olehmu.”

“Siapa yang menipu? Apa maksudmu?” tanya Luliang Siucai.

“Kau tadi bilang bahwa Liang Tek Sianseng terluka oleh Coa ong Sin kai, ini mungkin benar! Akan tetapi, apakah kau juga terluka olehnya? Kami tidak percaya!”

Luliang Siucai hanya tertawa sehingga Sepasang Iblis Kembar ini menjadi makin penasaran. “Jiwi lo enghiong, harap tenang. Sahabatku ini mana bisa terluka oleh Coa ong Sin kai? Ia terluka oleh sutenya sendiri, yakni Giok Seng Cu murid dari Pak Hong Siansu atau sebenarnya ia terluka oleh susioknya itulah yang membantu Giok Seng Cu.”

Thian Te Siang mo mengerutkan kening. “Apa? Orang tua bangkotan itu bisa berada di sini? Apakah Tibet sudah terlalu panas untuknya?”

“Dia memang telah turun bersama muridnya itu. Agaknya ikut dengan Ba Mau Hoatsu yang berada diantara mereka pula,” jawab Luliang Siucai.

“Hm, Sam Thai Koksu agaknya tidak mau bekerja kepalang tanggung,” kata Te Lo mo seperti bicara kepada diri sendiri. “Dengan bantuan Pak Hong Siansu, keadaannya akan kuat sekali,”

“Apa?” Luliang Siucai bertanya, “Apakah mereka itu membantu Sam Thai Koksu? Apakah Ba Mau Hoatsu pembantu pemerintah Kin?”

Thian Lomo mengeluarkan suara mengejek. “Kau belum tahu? Hm, sungguh bodoh !” Sebelah berkata demikian. Thian Te Siang mo lalu mengajak pergi Bi Lan dari situ.

Juga Luliang Siucai dan Liang Tek Sianseng cepat pergi, karena setelah mendengar bahwa Sam Thai Koksu mengundang Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu, mereka menjadi gelisah sekali. Liang Tek Sianseng hendak buru buru pulang ke Hoa san pai dan juga Luliang Siucai hendak cepat cepat menyampaikan warta ini kepada saudara dan kepada gurunya.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Mari kita mengikuti perjalanan Lie Bu Tek, pemuda murid Hoa san pai pertama, pemuda yang harus dikasihani karena menderita luka di hatinya, karena patah hatinya. Sumoinya, Ling In, gadis yang telah bertahun tahun menjadi bayangan yang selalu mengisi dan memenuhi lubuk hatinya, telah direbut orang!

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lie Bu Tek mengunjungi Ling In dan merampas sepotong dari sabuk sutera, yakni barang tanda mata dari Wan Kan yang diberikan kepada Ling In yang menjadi calon isterinya. Dengan hati remuk rendam, tubuh lemah lunglai, Bu Tek meninggalkan rumah sumoinya yang amat dikasihinya itu sambil membawa sepotong sabuk yang amat dibencinya. Ia ingin sekali bertemu muka dengan orang yang bernama Wan Kan itu. Ingin ia mengadu kepandaian, bertanding pedang dan ia baru mengalah dan memberikan Ling In kepada orang lain melalui darahnya!

Lie Bu Tek mulai dengan penyelidikannya, hendak tahu siapa adanya Wan Kan yang telah merebut kekasihnya itu. Akhirnya ia mendengar tentang perbuatan Ling In di kota An keng, yaitu bagaimana sumoinya itu menolong seorang petani muda yang terjatuh ke dalam cengkeraman Liok taijin kepala daerah kota An keng. Maka ia segera menuju ke kota An keng dan dengan mendatangi Liok taijin pada malam harinya dan mengancam dengan pedangnya, akhirnya tahulah dia siapa adanya Wan Kan itu. Dan bukan main kagetnya ketika ia mendengar bahwa Wan Kan sesungguh nya adalah Wan yen Kan, Pangeran Kerajaan Kin!

Kemarahan yang mengamuk di dalam dada Lie Bu Tek hampir saja membuatnya pingsan. Bagaimana sumoinya bisa terpikat hatinya oleh seorang pangeran Kin? Inilah pengkhianatan terhadap bangsa, pengkhianatan terhadap cita cita dan jiwa kepatriotan sendiri! Ia harus menegur sumoinya, kalau perlu, ia harus melupakan cinta kasihnya dan memberi hajaran kepada sumoinya dan juga berusaha membunuh Pangeran Wan yen Kan itu!

Dengan rasa marah yang meluap luap, Bu Tek segera menuju ke Biciu, hendak menegur dan mencela sumoinya. Akan tetapi, penyelidikan yang ia lakukan itu makan waktu dua bulan lamanya dan sementara itu, Thio Ling In telah menjadi isteri dari Wan yen Kan!

Memang, sepekan kemudian setelah Wan yen Kan meninggalkan Biciu, ia datang kembali membawa banyak perbekalan dan keperluan upacara pernikahan. Tentu saja Nyonya Thio sekeluarga girang bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa calon mantunya itu ternyata adalah seorang yang kaya raya. Upacara pernikahan dilakukan dengan meriah dan setiap orang memuji mantu Nyonya Thio tapi yang selain tampan sekali, juga cukup kaya untuk membiayai semua peralatan pernikahan.

Dan bagaimana dengan Ling In sendiri? Ia cukup puas dan bahagia. Suaminya benar benar amat mencintanya, berlaku penuh cinta kasih, lemah lembut, dan amat menghormatinya. Jatuhlah hatinya terhadap suami ini dan iapun membalas cinta kasih suami dengan sepenuh hati. Kalau tadinya masih ada perasaan membekas di dalam lubuk hatinya terhadap Bu Tek, kini perasaan itu lenyap sama sekali dan terganti oleh cinta kasih sepenuhnya kepada suaminya yang masih dikenalnya sebagai Wan Kan, seorang pemuda gagah yang hidup sebagai perantau.

Hanya sedikit yang mengecewakan hati Ling In atau setidaknya yang mengganggu kebahagiaannya, yakni bahwa pernikahannya tidak dihadiri oleh seorangpun keluarga Hoa san pai. Hal ini karena pernikahannya dilakukan dengan amat cepat dan terburu buru. Hanya ada waktu sepekan dan mana bisa ia memberi kabar kepada tokok tokoh Hoa san pai? Dan pula, kalau ia mengingat kepada Bu Tek yang memperlihatkan sikap bermusuh, ia menjadi sedih juga.

Akan tetapi, sikap suaminya yang manis budi melenyapkan kekecewaan dan kesedihannya. Mereka hidup sebagai suami isteri yang saling mencinta dan pekan pekan mendatang merupakan hari hari bermadu yang manis. Suaminya belum bercerita tentang keadaan dirinya, maka sebegitu jauh Ling In tetap mengira bahwa suaminya adalah seorang terpelajar yang berkepandaian tinggi seorang yatim piatu yang hidup sebatangkara akan tetapi yang menerima warisan banyak dari mendiang orang tuanya...

Pendekar Budiman jilid 09

Pendekar Budiman Jilid 09

KALAU saja Luliang Siucai bukan seorang yang berbatin tinggi dan amat penyabar, tentu ia sudah menjadi marah dan merobohkan lawannya ini dengan pukulan maut. Akan tetapi, murid Pak Kek Siansu ini tidak mau membunuh orang, dan ia berlaku amat hati hati, dengan maksud merobohkan Coa ong Sin kai tanpa membahayakan nyawanya. Akan tetapi hal ini bukanlah mudah, karena kepandaian Coa ong Sin kai sudah terlalu tinggi untuk dapat dirobohkan dengan mudah begitu saja.

Ketika Coa ong Sin kai membalas serangan Luliang Siucai dengan sebuah tusukan yang berbahaya sekali ke arah lambung tokoh Luliang san ini, tiba tiba Luliang Siucai berderu keras dan tahu tahu ujung tongkat bambu itu terjepit oleh sampul kitab di tangan kirinya. Jepitan ini demikian kuatnya sehingga Coa ong Sin kai tak berdaya untuk mencabutnya kembali!

“Coa ong Sin kai, kau menyerahlah!” seru Luliang Siucai.

Akan tetapi Coa ong Sin kai mengerahkan tenaganya untuk mencabut kembali tongkatnya yang terjepit oleh sampul kitab sehingga dua orang kakek lihai ini saling betot dan keadaan menjadi tegang. Tentu saja kalau Luliang Siucai mau, ia dapat menggerakkan tangan kanannya dan dapat menyerang lawannya dengan pit bulunya yang lihai. Akan tetapi, murid Pak Kek Siansu ini tidak mau berlaku demikian. Pada saat itu, tiga bayangan orang sudah tiba di situ dan terdengar bentakan halus.

“Luliang Siucai, jangan menghina orang dengan kepandaianmu yang tidak seberapa itu!”

Ucapan ini dibarengi dengan menyambarnya sehelai sinar putih yang ternyata adalah seikat mutiara putih yang dibuat seperti tasbeh. Ketika tasbeh mutiara ini menyentuh tongkat dan sampul kitab, baik Coa ong Sin kai maupun Luliang Siucai merasa tubuh mereka gemetar dan dengan kaget sekali mereka melompat mundur. Cepat mereka memandang kepada tiga orang yang baru datang itu.

Orang yang tadi menegur dan menggerakkan tasbeh secara hebat dan luar biasa sekali adalah seorang kakek tua sekali dengan tubuh bengkok sehingga kelihatan pendek, berkepala botak dan kulit mukanya putih sekali. Sepasang matanya lebar, pakaiannya seperti seorang pertapaan, tangan kirinya memegang sebatang tongkat panjang berwarna merah dan tangan kanannya memegang seuntai tasbeh terbuat dari pada batu mutiara putih yang mengeluarkan cahaya gemilang.

Orang ke dua adalah seorang pendeta tinggi besar bermuka hitam dan nampaknya sombong sekali. Adapun orang ke tiga adalah seorang yang usianya kurang lebih limapuluh tahun, berpakaian seperti seprang tosu, sepasang matanya nampak cerdik dan juga kejam.

Siapakah mereka ini? Mereka bukan orang orang sembarangan, karena orang pertama yang memegang tasbeh bukan lain adalah Pak Hong Siansu, orang yang paling lihai dan amat berkuasa di Tibet. Ilmu kepandaian Pak Hong Siansu sukar diukur sampai di mana tingginya, dan dari gerakan tasbehnya tadi saja sudah dapat dilihat bahwa kepandaiannya beberapa kali lipat lebih pandai dari pada Luliang Siucai atau Coa ong Sin kai!

Orang ke dua itu adalah Ba Mau Hoatsu, juga seorang tokoh Tibet dan sebagaimana para pembaca sudah mengenalnya, Ba Mau Hiatsu ini adalah guru dari Pangeran Wanyen Kan. Adapun orang ke tiga itu adalah Giok Seng Cu, murid dari Pak Hong Siansu, seorang yang telah memiliki kepandaian tinggi pula dan sudah banyak merantau ke dunia barat.

Ketika Luliang Siucai melihat orang orang yang datang ini, ia terkejut sekali dan cepat cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan Pak Hong Siansu sambil berkata, “Susiok, mohon maaf sebanyaknya bahwa teecu tidak tahu akan kedatangan susiok sehingga terlambat memberi hormat.”

Sementara itu, Coa ong Sin kai yang tahu bahwa orang orang yang datang itu adalah orang orang lihai, ia lalu tertawa tawa dan pergi meninggalkan tempat itu sambil berkata, “Banyak benar orang orang lihai di dunia ini...! Hebat, aku mesti melatih diri baik baik!”

Ba Mau Hoatsu yang tadinya melihat Coa ong Sin kai dan hendak memberi hajaran kepada orang aneh yang pernah mengacau dan menghina Sam Thai Koksu ketika diadakan pertemuan orang orang gagah, terpaksa menunda niatnya dan tidak mengganggu kepergian Coa ong Sin kai karena melihat betapa orang berpakaian sasterawan yang kepandaiannya tinggi dan bertempur dengan Coa ong Sin kai tadi kini berlutut di depan Pak Hong Siansu. Ia pernah mendengar tentang suheng (kakak seperguruan) dari Pak Hong Siansu, yaitu yang bernama Pak Kek Siansu, dan mendengar pula bahwa Pak Kek Siansu mempunyai tiga orang murid yang lihai. Ketika mendengar disebutnya nama Luliang Siucai oleh Pok Hong Siansu tadi, tahulah Ba Mau Hoatsu bahwa yang mengalahkan Coa ong Sin kai tadi adalah seorang murid dari Pak Kek Siansu.

Memang benar, Pak Hong Siansu adalah sute (adik seperguruan) dari Pak Kek Siansu, maka tidak mengherankan apabila kepandaiannya amat tinggi. Kedua orang sakti ini telah berpuluh tahun bertapa di kutub utara dan keduanya memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Akan tetapi Pak Hong Siansu memiliki cita cita sehingga akhirnya ia menjadi seorang yang paling tinggi di Tibet, didewa dewakan oleh para Lama sehingga hidupnya sama dengan seorang raja! Sebaliknya, Pak Kek Siansu menyembunyikan diri di puncak Bukit Luliang san, bertapa dan tidak mencampuri urusan duniawi.

Pak Hong Siansu sendiri sebetulnya juga sudah malas untuk berurusan dengan orang lain, karena hidupnya sudah aman, tenteram, dan makmur di Tibet. Akan tetapi, Ba Mau Hoatsu adalah seorang sahabat baiknya, seorang tokoh Tibet pula yang berkedudukan tinggi dan yang telah banyak berjasa membantunya memperoleh kedudukan yang paling mulia di Tibet, maka ketika Ba Mau Hoatsu datang minta bantuannya menolong negara Kin menghadapi orang orang seperti Thian Te Siang mo, ia memenuhi juga. Apalagi ketika ia mendengar bahwa Thian Te Siang mo memiliki kepandaian tinggi sekali dan oleh Ba Mau Hoatsu dikabarkan sebagai Sepasang Iblis Kembar yang sombong dan menjagoi daratan Tiongkok.

Memang, berbeda dengan Pak Kek Siansu, Pak Hong Siansu ini adatnya keras dan tidak mau kalah oleh siapapun juga dalam hal kepandaian ilmu silat. Maka ia lalu menyanggupi Ba Mau Hoatsu untuk turun dari Tibet, ikut ke negara Kin dan berjanji hendak mengalahkan Thian Te Siang mo. Tentu saja Ba Mau Hoatsu merasa girang sekali. Ba Mau Hoatsu tidak takut kepada siapapun juga dan yang membuat ia jerih hanya menghadapi Thian Te Siang mo.

Maka dengan adanya Pak Hong Siansu yang membantu, apalagi di situ ada pula murid dari Pak Hong Siansu, yaitu Giok Seng Cu yang kepandaiannya juga setingkat dengan Ba Mau Hoatsu. tentu saja Ba Mau Hoatsu berbesar hati sekali. Dari Tibet, tiga orang tua yang lihai ini melakukan penjalanan berkuda ke Cining, sebuah kota di sebelah selatan dari Mongolia dalam karena Pak Hong Siansu hendak mengunjungi seorang sahabatnya. Kemudian, dari Cining mereka ke selatan dengan berjalan kaki melintasi padang pasir karena Pak Hong Siansu tidak suka naik unta.

Demikianlah, secara kebetulan sekali rombongan dari tiga orang ini bertemu dengan Luliang Siucai yang tengah bertanding silat dengan Coa ong Sin kai dan berkat campur tangan Pak Hong Sian su, maka selamatlah Coa ong Sin kai yang berhku cerdik dan segera pergi dari situ. Biarpun Pak Hong Siansu tidak tahu siapa orangnya yang bertempur melawan Luliang Siucai, namun melihat murid keponakannya itu mendesak seorang pengemis tua yang sudah kewalahan, tanpa banyak pikir lagi ia turun tangan dan menegur, “Luliang Siucai,” kata Pak Hong Siansu melihat murid keponakannya itu berlutut di depannya, “agaknya biarpun suheng telah lama tidak muncul, namun dia masih mengumbar nafsunya melalui murid muridnya. Ini namanya turun tangan secara tidak langsung!”

Luliang Siucai adalah seorang yang amat tenang dan sabar, akan tetapi ada pantangannya, yaitu kalau suhunya dicela orang lain, akan naik darah nya. Kini mendengar Pak Hong Siansu mengucapkan tuduhan yang sifatnya menyinggung dan sedikit menghina suhunya, ia menjawab tak senang, “Susiok, pertempuran teecu menghadapi Coa ong Sin kai tadi tidak ada hubungannya sama sekali dengan Siansu yang bertapa di puncak Gunung Luliang san. Suhu benar benar telah mencuci tangan dan segala tanggung jawab dalam sepak terjang teecu adalah tanggung jawab teecu sendiri!”

Mendengar jawaban ini, tahulah Pak Hong Siansu bahwa murid keponakannya ini marah, maka ia tertawa sambil berkata lagi, “Aha, Luliang Siucai, kau agaknya sudah mendapat banyak kemajuan sehingga berani mengeluarkan kata kita di depanku. Sebagai paman gurumu, aku hendak bertanya, mengapakah kau tadi mendesak dan menyerang pengemis tua itu? Apa alasanmu?”

Luliang Siucai menunjuk ke arah Liang Tek Sianseng yang masih duduk bersila di atas pasir tanpa bergerak, “Teecu bertempur untuk membela sahabat teecu itu.”

“Siapakah dia?”

“Dia adalah Liang Tek Sianseng dari Hoa san pai. Karena muridnya diculik oleh Coa ong Sin kai, maka dia minta tolong kepada teecu untuk membujuk Coa ong Sin kai, agar suka mengembalikan murid perempuannya, akan tetapi siapa kira, Coa ong Sin kai bahkan menyerang dan melukainya. Ketika teecu menegur dan minta supaya pengemis ular itu mengembalikan murid Hoa san pai, Coa ong Sin kai bahkan menentang teecu. Oleh karena itulah maka teecu sampai bertempur dengan dia.”

Tiba tiba terdengar Bu Mau Hoatsu tertawa bergelak, “Ha ha ha, benar orang orang Hoa san pai selalu menimbulkan keributan belaka di mana saja mereka berada! Sam Thai Koksu dari negeri Kin ketika mengadakan perayaan di Cin an, juga terjadi keributan yang ditimbulkan oleh orang orang Hoa san pai! Sangat meragukan apakah orang orang Hoa san pai ini benar benar orang orang yang baik dan patut dibela!”

Mendengar ucapan sahabatnya itu, Pak Hong Siansu mengerutkan keningnya sehingga matanya yang lebar itu nampak makin bundar. “Luliang Siucai, apakah kau sudah tahu betul mengapa murid perempuan Hoa san pai itu diculik? Apakah kau sudah yakin betul mana yang benar dan mana yang salah dalam persoalan antara Coa ong Sin kai dan orang orang Hoa san pai?” tanya kakek sakti itu.

Luliang Siucai menggeleng kepalanya. “Teecu tidak mengetahui sedalam dalamnya tentang urusan itu. Yang teecu ketahui bahwa Liang Tek Sianseng dari Hoa san pai adalah seorang sahabat teecu yang baik dan boleh dipercaya kemuliaan hatinya, sedangkan Coa ong Sin kai, siapakah yang tidak mengenal kebusukan hatinya?”

“Kau berat sebelah!” Pak Hong Siansu membentak marah. “Tidak boleh mendasarkan benar tidaknya seseorang dalam satu urusan atas watak mereka! Bulan tidak selamanya bundar dan matahari tidak selamanya terang! Orang pintar sekali kali melakukan kebodohan dan orang bodoh sekali waktu akan melakukan kebenaran. Kau terlalu mengandalkan kepandaian sendiri sehingga tidak memandang kepada orang lain. Sekarang hendak kulihat sampai di mana sih kepandaanmu sehingga kau berani bertindak demikian sembrono dan sombong? Giok Seng Cu, coba kaulayani Luliang Siucai ini beberapa jurus untuk mengukur kepandaiannya!”

Dengan sikapnya yang tenang dan gerakan kakinya yang kuat, Giok Seng Cu melangkah maju menghadapi Luliang Siucai yang juga sudah bangun sendiri.

“Luliang Siucai, beranikah kau melawan pinto (aku)?” tanya Giok Seng Cu kepada Luliang Siucai yang memandang dengan penuh perhatian. Tokoh Luliang san ini belum pernah melihat tosu yang menjadi murid susioknya itu. Memang Giok Seng Cu bukan murid semenjak kecil. Dia adalah seorang tosu perantau yang tadinya memang telah memiliki kepandaian tinggi. Pada suatu waktu, ia bentrok dengan Pak Hong Siansu dan setelah kena dikalahkan, dia mengaku guru kepada Pak Hong Siansu yang suka menerimanya sebagai murid karena memang Giok Seng Cu berbakat baik sekali. Semenjak menjadi murid Pak Hong Siansu, kepandaian Giok Seng Cu meningkat cepat sekali.

“Giok Seng Cu, sebetulnya menurut tingkat perguruan kita. kau masih terhitung saudara muda atau masih menjadi suteku. Kalau susiok hendak memberi pengajaran kepadaku, tentu aku tidak berani melawan. Akan tetapi kalau kau yang hendak mencoba kepandaianmu kepadaku, silahkan!”

Giok Seng Cu meraba pinggangnya di mana ia memakai senjatanya sebagai sabuk, yaitu sehelai rantai perak, lalu berkata, “Luliang Siucai, apakah kau menghendaki di pergunakannya senjata dalam permainan ini?”

“Giok Seng Cu, kita masih saudara seperguruan. Mengapa harus bersikap seperti dua orang musuh? Mari kita main main dengan tangan kosong saja.”

“Baik, sambutlah seranganku.”

“Hati hatilah, Giok Seng Cu!”

Giok Seng Cu mulai dengan serangannya. Ia mengirim pukulan dengan tangan kiri dimiringkan dan jari jari tangannya diluruskan. Pukulan ini mendatangkan sambaran angin dan mengarah leher Luliang Siucai. Dari gerakan pertama ini saja Luliang Siucai maklum bahwa ilmu silat dari lawannya amat lihai serta tenaga dalamnya juga luar biasa. Ia berlaku tenang akan tetapi cepat. Dengan gerakan halus Luliang Siucai mengelak ke kiri lalu membalas serangan Giok Seng Cu dengan totokan ke arah dada. Giok Seng Cu menarik kembali jangan kirinya dan dari samping, tangan kanannya menyampok pukulan lawan. Dua tangan beradu dan keduanya merasa bahwa tenaga lawan sebanding kuatnya.

Setelah bertempur lima puluh jurus, tahulah Luliang Siucai bahwa kepandaian tosu ini hanya sedikit saja di bawah tingkatnya dan agaknya tak mungkin ia akan dapat menang tanpa menggunakan serangan yang dapat melukai Giok Seng Cu. Sedangkan ia tidak mau melukai murid susioknya ini, karena ia tahu akan kekerasan hati susioknya. Kalau ia merobohkan Giok Seng Cu sehingga luka berat, tentu susioknya akan merasa tersinggung hatinya.

Setelah berpikir masak masak, ia lalu berobah gerakannya dan kini ia mainkan ilmu Silat Pak kek Sin ciang! Ilmu sitat ini hanya sedikit saja ia pelajari dari Pak Kek Siansu, karena ia terpaksa harus menyerah dan tidak sanggup melanjutkan pelajaran ilmu silat yang aneh dan amat berat syarat syaratnya itu. Namun, biarpun ia baru mempelajari sedikit saja, ketika ia menggerakkan kaki tangannya menurutkan ilmu silat ini, Giok eng Cu mengeluarkan suara tertahan saking kaget dan bingungnya dan pada suatu saat, Luliang Siucai berhasil menangkap kedua pergelangan tangannya!

Pak Hong Siansu juga terkejut melihat gerakan Luliang Siucai itu, dan tanpa terasa pula ia mengepal tinjunya dan berkata perlahan, “Hm, inikah ilmu silat yang baru dari suheng!”

Luliang Siucai merasa tidak enak, maka katanya, “Sute Giok Sengcu, sudahlah. Cukup kiranya main main ini!”

Ia mengharapkan dari mulut Giok Seng Cu untuk mengakui kekalahannya, akan tetapi siapa kira Giok Seng Cu masih merasa penasaran dan tosu ini mengerahkan tenaga lweekang dan diam diam melalui pergelangan tangan yang terpegang ia menyalurkan tenaga untuk melukai Luliang Siucai yang memegangnya. Tentu saja Luliang Siucai menjadi terkejut ketiga merasa betapa telapak tangannya yang memegangi pergelangan tangan lawan itu menjadi panas. Ia cepat mengerahkan tenaganya dan pegangannya makin mengeras. Ia menjadi bingung. Kalau diteruskan, urat nadi Giok Seng Cu akan menjadi putus, dan kalau ia lepaskan, benar sekali bahayanya ia akan menerima serangan yang tiba tiba dari lawannya yang tidak mau mengaku kalah itu.

“Giok Seng Cu, apakah kau sudah gila? lepaskan perlawananmu dan mari kita sudahi pertempuran gila ini!”

Namun Giok Seng Cu sebagai jawaban malah makin memperhebat tenaganya sehingga terpaksa Luliang Siucai juga memperhebat tenaga gencetannya. Untuk menjaga diri. terpaksa Luliang Siucai tidak mau melepaskan tangan lawannya yang tak tahu diri itu. Muka Giok Seng Cu sudah mulai berpeluh dan nyata sekali tosu ini menahan kesakitan. Pegangan kedua tangan Luliang Siucai bukan sembarang pegangan, karena yang dipegang adalah tepat jalan darah bagian urat nadi!

Pada saat itu, terdengar Pak Hong Siansu berkata perlahan, “Hm, Giok Seng Cu ternyata kau masih belum mendapat kemajuan!” Setelah berkata demikian, kakek sakti ini melangkah maju dan berdiri di belakang muridnya, kemudian dengan tangan kirinya ia menepuk perlahan ke arah punggung muridnya itu.

Tepukan itu perlahan saja, akan tetapi akibatnya hebat bagi Luliang Siucai. Ternyata bahwa kakek sakti ini sambil menepuk telah, menyalurkan tenaganya yang luar biasa sehingga tenaga ini membantu kekuatan muridnya dan seketika itu juga, Luliang Siucai merasa betapa kedua telapak tangannya seperti ditusuk jarum. Sambil menjerit “celaka!” ia melepaskan pegangannya dan melompat mundur, akan tetapi ia terhuyung huyung lalu roboh dengan mulut menyemburkan darah. Ternyata bahwa dia telah menderita luka hebat di sebelah dalam tubuhnya!

Melihat ini, Pak Hong Siansu merasa tidak enak hati juga, karena biarpun tidak terlihat secara menyolok mata sesungguhnya ia telah berlaku curang, diam diam membantu muridnya dan merobohkan Luliang Siucai. Maka ia lalu berkata, “Sudahlah, mari kita pergi dari sini!”

Sebentar saja, Pak Hong Siansu, Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu telah pergi dari tempat itu meninggalkan Luliang Siucai dan Liang Tek Sianseng yang terluka parah. Dua orang sasterawan gagah ini tak berdaya dan luka yang diderita oleh Luliang Siucai bahkan lebih parah daripada Liang Tek Sianseng. Keduanya duduk di atas pasir, bersila untuk mengerahkan tenaga menolak daya luka di dalam tubuh yang dapat merenggut nyawa. Melanjutkan perjalanan bagi keduanya tak mungkin. Kalau mereka memaksa diri melakukan perjalanan di terik panas matahari di atas padang pasir itu, tentu sebentar saja mereka akan kehabisan tenaga dan akan roboh binasa. Akan tetapi, sebaliknya sukar pula memulihkan tenaga mereka untuk mengatasi luka di bagian dalam yang parah itu. Nasib mereka agaknya sudah dapat ditentukan, yaitu mati di padang pasir yang luas dan panas!

“Aku merasa menyesal sekali telah membawamu sehingga kau menderita luka hebat,” kata Liang Tek Sianseng dengan suara lemah kepada Luliang Siucai.

Tokoh Luliang san itu tersenyum. “Mengapa menyesal? Mati atau hidup hanya sebutan saja, siapakah yang dapat menguasai hidup dan mati? Yang penting bagi kita, tiada ruginya harus mati dalam membela kebenaran! Pula, kalau kita mati bersama di tempat ini, bukankah kita akan berangkat bersama pula dan tidak akan merasa kesepian?”

Diam diam Liang Tek Sianseng merasa kagum atas sikap kawannya ini, yang dalam menghadapi maut masih bersikap gembira dan tenang. Ucapan tokoh Luliang san ini membesarkan hatinya dan melenyapkan kekecewaan dan penyesalannya. Memang ucapan Luliang Siucai itu benar belaka. Manusia yang manakah di dunia ini dapat menguasai mati. Dilihat begitu saja agaknya sudah tiada harapan lagi bagi mereka untuk menghindarkan diri dari bahaya maut. Siapa yang dapat menolong mereka di padang pasir yang sunyi itu? Akan tetapi, kalau Thian menghendaki, ada saja jalan bagi mereka untuk dapat hidup terus.

Secara kebetulan sekali, pada saat itu, dari jurusan timur datang tiga orang yang tepat menuju ke tempat itu. Bagaikan dituntun oleh tangan Thian Yang Kuasa, tiga orang itu kebetulan sekali mengambil jalan di tempat itu sehingga mereka dapat melihat dua orang kakek yang sedang duduk meramkan mata dan tidak bergerak sedikitpun juga.

“Susiok...!” seorang diantara ketiga orang ini berseru kaget ketika ia melihat Tiang Tek Sianseng. Tokoh Hoa san pai ini mengenal suara orang yang menegurnya, maka cepat ia membuka matanya dan alangkah girang dan herannya melihat orang yang baru datang ini.

“Bi Lan! Kau…? Di sini…??” Setelah berkata demikian, saking menahan gelora hatinya yang memang sudah lemah karena dikerahkan untuk menahan lukanya. Liang Tek Sianseng roboh pingsan di atas pasir!

Memang, orang ke tiga ini adalah Liang Bi Lan anak murid Hoa san pai yang tadinya diculik oleh Coa ong Sin kai dan kemudian menjadi murid Thian Te Siang mo. Adapun dua orang yang datang bersama dia itupun bukan lain adalah Thian Te Siang mo gurunya. Sepasang Iblis Kembar ini setelah mendapatkan murid baru yang cerdik dan rajin ini, segera membawa Bi Lan merantau sambil tiada hentinya menggembleng nona itu dengan ilmu silat mereka yang baru diciptakan, yaitu Thian Te Kun hwat (Ilmu Silat Langit dan Bumi) Dan di dalam perantauan mereka ini, Bi Lan banyak sekali mendapat kemajuan dan pengalaman. Ia dapat mempelajari Thian Te Kun hwat dengan amat baiknya dan beberapa kali ia oleh guru gurunya dicoba menghadapi tokoh tokoh persilatan dan selalu mendapat kemenangan. Oleh karena ini, Bi Lan banyak bertemu dengan tokoh tokoh kang ouw dan namanya sebagai murid Thian Te Siang mo dan juga sebagai Sian li Eng cu (Bayangan Bidadari) cukup terkenal.

Bi Lan demikian maju kepandaiannya sehingga ia bahkan telah mempelajari pula Ilmu Ciang siang ci hoat (Ilmu Mengobati Luka Pukulan Tangan) dari kedua gurunya. Oleh Karena itu, ketika melihat bahwa yang berada di padang pasir dan sedang terluka hebat adalah susioknya sendiri dari Hoa san, Bi Lan cepat cepat maju mendekati dan diam diam ia lalu mengumpulkan seluruh perhatian dan mengerahkan tenaga lweekangnya. Kedua telunjuknya kanan kiri telah siap sedia untuk melakukan Ciang siang ci hoat setelah ia melihat bahwa susioknya ini terluka di dalam tubuh oleh pukulan tangan lawan yang ampuh. Akan tetapi sebelum gadis perkasa ini menggerakkan tangannya, tiba tiba Thian Lo mo membentaknya,

“Bi Lan, jangan gunakan Ciang siang ci hoat!” Karena maklum bahwa gurunya amat aneh dan keras wataknya, Bi Lan menunda niatnya dan berpaling kepada suhunya.

“Suhu, ini adalah susiokku sendiri, Liang Tek Sianseng dari Hoa san pai. Dia terluka hebat, bagaimana teecu tidak akan menolongnya?”

Kini Te Lo mo yang mencelanya, “Anak bodoh! Kami bersusah payah melatihmu dan kau sendiri telah melatih Ciang siang ci hoat selama beberapa bulan dengan tekun. Apakah kau hendak melenyapkannya begitu saja dan bahkan membahayakan dirimu sendiri?”

“Suhu, untuk menolong orang, apalagi susiok sendiri, teecu rela kehilangan tenaga.”

“Bodoh!” Sepasang Iblis Kembar itu mencela marah.

Memang, penggunaan Ciang siang ci hoat atau ilmu pengobatan luka bekas pukulan tangan yang diajarkan oleh Thian Te Siang mo, berdasarkan kepandaian ilmu dalam yang amat tinggi tingkatnya. Ilmu ini sebetulnya merupakan latihan untuk memperkuat keadaan di dalam tubuh sendiri, akan tetapi kalau dipergunakan untuk mengobati orang lain yang menderita luka parah karena pukulan yang lihai dari lawan, maka akibatnya akan berbahaya sekali bagi si penolong. Ciang siang ci hoat dipergunakan dengan pengerahan tenaga lweekang dan pengerahan seluruh perhatian sambil menahan napas. Yang dipergunakan hanya dua jari telunjuk untuk menotok, menutup dan membuka jalan jalan darah tertentu di seluruh tubuh. Dengan jalan ini maka aliran aliran darah yang teratur membangkitkan daya tahan dan kekuatan di dalam tubuh orang yang terluka sehingga luka itu akan terobati sendiri oleh daya tahun di dalam tubuhnya sendiri.

“Hayo kita pergi! Jangan berlaku bodoh, dan jangan mencampuri urusan orang lain!” kata Thian Lo mo kepada muridnya sambil memegang tangan Bi Lan untuk mencegah gadis itu mempergunakan Ciang siang ci hoat untuk menolong Liang Tek Sianseng yang masih rebah pingsan.

“Tidak, suhu! Teecu tidak bisa pergi sebelum susiok ditolong!” kata Bi Lan dan sikapnya yang keras kepala itu membuat dua orang gurunya saling pandang.

“Jangan begitu, Bi Lan. Kita tak perlu bercampur tangan dengan urusan lain. Jangan jangan kita hanya akan terbawa dalam urusan permusuhan yang memusingkan belaka. Hayo kita pergi saja,” mendesak Te Lo mo.

Akan tetapi Bi Lan tetap berkeras kepala. “Kalau suhu berdua tidak mau menolong susiok. terpaksa teecu mengobatinya sendiri!”

Guru guru dan murid ini bersitegang dan tiba tiba terdengar suara ketawa halus. Yang tertawa ini adalah Luliang Siucai yang sudah membuka matanya.

“Lain guru lain murid! Sungguh aneh dunia ini.”

“Luliang Siucai, kau sudah menculik murid kami! Sekarang kami tidak turun tangan membunuhmu masih boleh dianggap beruntung sekali bagimu!” kata Te Lo mo marah.

“Siapa hendak mencampuri urusan kalian dengan murid kalian ini? Aku hanya hendak mencegah percekcokan antara guru dan murid. Kedua luka Liang Tek Sianseng memang berat, akan tetapi kalau kalian mau membawanya keluar dari pedang pasir ini, tentu ia akan dapat beristirahat dan dapat pulih kesehatannya. Dengan berbuat demikian, kalian akan mendatangkan tiga macam kebaikan. Pertama, Liang Tek Sianseng akan selamat. Kedua, muridmu akan puas, dan ke tiga, kalian sendiri berarti tidak menolong sepenuhnya, hanya setengah setengah saja. Bukankah itu baik sekali.”

Dari bicaranya ini, dapat dimengerti bahwa Luliang Siucai benar benar seorang yang berhati mulia dan ia sama sekali tidak memperdulikan keadaannya sendiri. Baginya, kalau Liang Tek Sianseng sudah tertolong, cukuplah. Thian Te Siang mo ketika mendengar ini, lalu tertawa dan Thian Lo mo berkata. “Ucapan itu ada isinya juga, kutu buku! Akan tetapi, jangan kaukira kami begitu gila untuk bersusah payah membawa kawanmu ini keluar dari padang pasir.”

“Suhu, teecu tetap tidak mau pergi kalau suhu tidak mau mengobati atau menolong susiok.” Bi Lan berkata dengan suara tetap.

“Baiklah, baiklah! Akan tetapi jangan kira aku mau diganggu oleh orang yang kausebut susiok ini sehingga terpaksa kita harus merobah haluan perjalanan. Biar susiokmu ini kuberi obat sehingga ia kuat untuk melanjutkan perjalanan seorang diri, kemudian ia dapat berobat di kota yang berdekatan,” kata Thian Lo mo yang segera mengeluarkan sebungkus besar obat obat yang selalu dibawa di dalam saku bajunya. Ia memilih sebungkus kecil yang setelah dibuka berisi beberapa butir pel merah. Dengan amat hati hati seakan akan obat itu didapatkannya dari sorga, Thian Lo mo mengambil tiga butir dan memberikannya kepada Bi Lan. Muridnya menerima dengan wajah girang.

“Masukkan dua butir ke dalam perutnya dan yang sebutir lagi untuk bekal di jalan sebelum ia dapat tiba di kota,” kata Thian Lo mo sambil membungkus kembali, obat obatnya dan memasukkan ke dalam kantongnya.

Bi Lan melakukan perintah gurunya. Ia menghampiri Liang Tek Sianseng yang masih pingsan dengan muka pucat dan napas terengah engah. Karena mulut orang tua ini terbuka saking kepanasan dan menahan sakit, dengan mudah Bi Lan dapat memasukkan dua butir pel merah ke dalam mulut susioknya dan dengan sedikit tenaga, gadis ini dapat melontarkan pel itu melalui kerongkongan dan turun ke dalam perut. Tak lama kemudian, siumanlah Liang Tek Sianseng. Ia bangkit dan memandang kepada Bi Lan dengan muka girang sekali.

“Bi Lan, sampai aku bertempur dan mengejar ngejar Coa ong Sin kai karena mengira kau masih dibawanya.”

“Jadi susiok terluka oleh Coa ong Sin kai?” tanya Bi Lan.

Liang Tek Sianseng mengangguk, kemudian ia bertanya. “Apakah Thian Te Siang lo enghiong ini yang menolongku?”

“Benar, susiok. Mereka ini sekarang telah menjadi guru guruku.”

Bukan main girangnya hati Liang Tek Sianseng. Ia menghampiri dua orang iblis kembar itu dan memberi hormatnya.

“Banyak terima kasih atas pertolongan jiwi, terutama sekali atas kesediaan jiwi memberi pimpinan kepada Bi Lan,” kata Liang Tek Sianseng.

“Kalau tidak karena anak keras kepala ini, siapa sudi bersusah payah?” jawab Thian Lo mo acuh tak acuh.

Bi Lan memberikan pel merah yang sebutir lagi kepada susioknya. “Susiok, ini obat dari suhu masih ada sebutir lagi, harap kautelan di dalam perjalanan.”

“Kedua suhumu baik sekali, Bi Lan, Kau belajarlah baik baik dan rajin agar tidak mengecewakan pengharapan mereka. Aku akan kembali ke Hoa san dan mengabarkan tentang keadannmu yang selamat.” Kemudian Liang Tek Sianseng berjalan menghampiri Luliang Siucai yang masih duduk bersila.

“Sahabat baik, kita mendapat pertolongan dari dua orang lo enghiong, kautelanlah obat ini,” katanya sambil menyerahkan pel merah.

Akan tetapi Luliang Siucai menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tiada guna, Liang Tek Sianseng. Pel itu untuk bekalmu di jalan. Aku tak perlu kau pikir, pergilah sendiri.”

“Apa? Tak mungkin. Kau sudah membelaku mencari Bi Lan dan menghadapi Coa ong Sin kai, bagaimana aku bisa meninggalkanmu begitu saja? Kalau kau tidak mau makan obat ini, akupun tidak akan pergi dari sampingmu,” kata Liang Tek Sianseng dengan suara keras.

“Kau benar benar sahabat sejati,” kata Luliang Siucai yang terpaksa menerima dan menelan pel merah itu. Sebentar saja mukanya yang pucat telah berobah merah.

“Ah, obat yang bagus. Patut sekali berada di tangan Thian Te Siang mo,” katanya memuji sambil mengangguk anggukkan kepalanya. “Akan tetapi, lukaku terlampau berat dan aku masih belum kuat berlari. Aku hanya akan menghambat perjalananmu, Liang Tek Sianseng, dan mungkin sekali sebelum keluar dari padang pasir ini, aku akan roboh dan kau juga.”

“Akan tetapi aku sudah kuat, aku akan menggendongmu!” Tanpa menanti jawaban lagi, Liang Tek Sianseng sudah menyambar tubuh Luliang Siucai dan terus digendong. Kemudian ia menjura kepada Thian Te Siang mo dan berkata, “Sekali lagi terima kasih banyak. Bi Lan, kau belajarlah baik baik dan yang pandai menjaga diri!” Setelah berkata demikian, Liang Tek Sianseng yang menggendong tubuh Luliang Suicai lalu berjalan cepat.

“Susiokmu benar benar orang aneh,” kata Te Lo mo kepada Bi Lan sambil menggeleng gelengkan kepalanya. “Tidak saja memberikan sebutir pel merahnya, bahkan kini menggendongnya. Mana dia kuat keluar dari padang pasir kalau begitu?”

“Tidak ada gunanya sama sekali,” menyambung Thian Lo mo, “sebelum keluar, keduanya akan mati. Percuma saja kita kehilangan tiga butir Ang kim tan (Pel Emas Merah).”

“Belum tentu, suhu,” bantah Bi Lan dan tiba tiba gadis ini berlari cepat mengejar Liang Tek Sianseng.

“Eh, anak gila, kau mau ke mana?” Te Lo mo berteriak.

“Teecu akan mewakili susiok menggendong Luliang Siucai!” kata Bi Lan sambil berlari terus.

Thian Te Siang mo mendongkol sekali dan cepat mengejar, akan tetapi sementara itu, Bi Lan telah dapat menyusul Liang Tek Sianseng yang tidak berani berlari terlalu cepat.

“Susiok, kau takkan kuat menggendongnya keluar dari padang pasir. Biarkan teecu yang menggendongnya!” kata gadis ini kepada Liang Tek Sianseng.

Tokoh Hoa san pai ini berhenti dan sementara itu, Thian Te Siang mo telah berada di situ pula.

“Bi Lan, anak berkepala batu! Kau tidak boleh menggendongnya, mari kita pergi melanjutkan perjalanan kita!” kata Thian Lo mo.

Bi Lan menggelengkan kepalanya. “Tidak, suhu. Sebelum susiok dan sahabatnya tertolong, teecu takkan mau pergi.”

“Anak setan!” memaki Te Lo mo.

Akan tetapi, biarpun memaki, Thian Lo mo mengeluarkan bungkusan obatnya dan mengambil tiga butir Ang kim tan lagi. “Celaka, gara gara bocah ini, terpaksa hari ini aku harus kehilangan enam butir kim tan!” katanya sambil menyerahkan tiga butir pel itu kepada Bi Lan yang cepat memberikannya pula kepada Luliang Siucai.

Luliang Siucai menelan sebutir pel lagi dan kini dia mempunyai sisa dua untuk bekal di jalan sehingga ia dan Liang Tek Sianseng akan dapat keluar dari padang pasir itu. Luliang Siucai tertawa geli, “Thian Te Siang mo, kalian adalah sebaliknya dari pada pel pel merah ini. Pel ini luarnya kelihatan merah dan bagus, akan tetapi dalamnya pahit sekali. Adapun kalian ini pada luarnya kelihatan ganas dan jahat, akan tetapi di dalam hatimu adalah orang orang yang budiman. Mengapa berpura pura jahat? Ha ha ha!”

“Luliang Siucai, mengapa kau tidak mampus saja sehingga tidak membikin susah kepada kami?” bentak Thian Lo mo, akan tetapi Luliang Siucai tertawa dan setelah menjura mengucapkan terima kasihnya, ia lalu mengajak Liang Tek Sianseng pergi dari situ. Kini ia tidak perlu digendong lagi karena setelah menelan sebutir kim tan lagi, tubuhnya menjadi kuat kembali.

Sambil mengomel panjang pendek. Thian Te Siang mo lalu mengajak Bi Lan melanjutkan perjalanan. Gidis ini tersenyum senyum dan berlaku gembira. Akan tetapi ia tiba tiba terkejut sekali ketika melihat kedua orang suhunya berlari cepat mengejar Liang Tek Sianseng dan Luliang Siucai. Bi Lan cepat mengejar pula. Ia maklum akan watak yang aneh dari kedua suhunya dan khawatir kalau kalau suhu suhunya ini berobah pikiran dan mengandung maksud buruk terhadap dua orang tua. Juga Liang Tek Sianseng dan Luliang Siucai heran melihat dua iblis kembar itu mengejar, maka mereka itu berdiri menanti.

“Thian Te Siang mo, kalian mengejar apakah hendak menyatakan menyesal karena telah menyelamatkan nyawa kami?” tegur Luliang Siucai.

“Siapa perduli akan nyawamu?” bentak Thian Lo mo. “Kami hanya merasa tertipu olehmu.”

“Siapa yang menipu? Apa maksudmu?” tanya Luliang Siucai.

“Kau tadi bilang bahwa Liang Tek Sianseng terluka oleh Coa ong Sin kai, ini mungkin benar! Akan tetapi, apakah kau juga terluka olehnya? Kami tidak percaya!”

Luliang Siucai hanya tertawa sehingga Sepasang Iblis Kembar ini menjadi makin penasaran. “Jiwi lo enghiong, harap tenang. Sahabatku ini mana bisa terluka oleh Coa ong Sin kai? Ia terluka oleh sutenya sendiri, yakni Giok Seng Cu murid dari Pak Hong Siansu atau sebenarnya ia terluka oleh susioknya itulah yang membantu Giok Seng Cu.”

Thian Te Siang mo mengerutkan kening. “Apa? Orang tua bangkotan itu bisa berada di sini? Apakah Tibet sudah terlalu panas untuknya?”

“Dia memang telah turun bersama muridnya itu. Agaknya ikut dengan Ba Mau Hoatsu yang berada diantara mereka pula,” jawab Luliang Siucai.

“Hm, Sam Thai Koksu agaknya tidak mau bekerja kepalang tanggung,” kata Te Lo mo seperti bicara kepada diri sendiri. “Dengan bantuan Pak Hong Siansu, keadaannya akan kuat sekali,”

“Apa?” Luliang Siucai bertanya, “Apakah mereka itu membantu Sam Thai Koksu? Apakah Ba Mau Hoatsu pembantu pemerintah Kin?”

Thian Lomo mengeluarkan suara mengejek. “Kau belum tahu? Hm, sungguh bodoh !” Sebelah berkata demikian. Thian Te Siang mo lalu mengajak pergi Bi Lan dari situ.

Juga Luliang Siucai dan Liang Tek Sianseng cepat pergi, karena setelah mendengar bahwa Sam Thai Koksu mengundang Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu, mereka menjadi gelisah sekali. Liang Tek Sianseng hendak buru buru pulang ke Hoa san pai dan juga Luliang Siucai hendak cepat cepat menyampaikan warta ini kepada saudara dan kepada gurunya.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Mari kita mengikuti perjalanan Lie Bu Tek, pemuda murid Hoa san pai pertama, pemuda yang harus dikasihani karena menderita luka di hatinya, karena patah hatinya. Sumoinya, Ling In, gadis yang telah bertahun tahun menjadi bayangan yang selalu mengisi dan memenuhi lubuk hatinya, telah direbut orang!

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lie Bu Tek mengunjungi Ling In dan merampas sepotong dari sabuk sutera, yakni barang tanda mata dari Wan Kan yang diberikan kepada Ling In yang menjadi calon isterinya. Dengan hati remuk rendam, tubuh lemah lunglai, Bu Tek meninggalkan rumah sumoinya yang amat dikasihinya itu sambil membawa sepotong sabuk yang amat dibencinya. Ia ingin sekali bertemu muka dengan orang yang bernama Wan Kan itu. Ingin ia mengadu kepandaian, bertanding pedang dan ia baru mengalah dan memberikan Ling In kepada orang lain melalui darahnya!

Lie Bu Tek mulai dengan penyelidikannya, hendak tahu siapa adanya Wan Kan yang telah merebut kekasihnya itu. Akhirnya ia mendengar tentang perbuatan Ling In di kota An keng, yaitu bagaimana sumoinya itu menolong seorang petani muda yang terjatuh ke dalam cengkeraman Liok taijin kepala daerah kota An keng. Maka ia segera menuju ke kota An keng dan dengan mendatangi Liok taijin pada malam harinya dan mengancam dengan pedangnya, akhirnya tahulah dia siapa adanya Wan Kan itu. Dan bukan main kagetnya ketika ia mendengar bahwa Wan Kan sesungguh nya adalah Wan yen Kan, Pangeran Kerajaan Kin!

Kemarahan yang mengamuk di dalam dada Lie Bu Tek hampir saja membuatnya pingsan. Bagaimana sumoinya bisa terpikat hatinya oleh seorang pangeran Kin? Inilah pengkhianatan terhadap bangsa, pengkhianatan terhadap cita cita dan jiwa kepatriotan sendiri! Ia harus menegur sumoinya, kalau perlu, ia harus melupakan cinta kasihnya dan memberi hajaran kepada sumoinya dan juga berusaha membunuh Pangeran Wan yen Kan itu!

Dengan rasa marah yang meluap luap, Bu Tek segera menuju ke Biciu, hendak menegur dan mencela sumoinya. Akan tetapi, penyelidikan yang ia lakukan itu makan waktu dua bulan lamanya dan sementara itu, Thio Ling In telah menjadi isteri dari Wan yen Kan!

Memang, sepekan kemudian setelah Wan yen Kan meninggalkan Biciu, ia datang kembali membawa banyak perbekalan dan keperluan upacara pernikahan. Tentu saja Nyonya Thio sekeluarga girang bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa calon mantunya itu ternyata adalah seorang yang kaya raya. Upacara pernikahan dilakukan dengan meriah dan setiap orang memuji mantu Nyonya Thio tapi yang selain tampan sekali, juga cukup kaya untuk membiayai semua peralatan pernikahan.

Dan bagaimana dengan Ling In sendiri? Ia cukup puas dan bahagia. Suaminya benar benar amat mencintanya, berlaku penuh cinta kasih, lemah lembut, dan amat menghormatinya. Jatuhlah hatinya terhadap suami ini dan iapun membalas cinta kasih suami dengan sepenuh hati. Kalau tadinya masih ada perasaan membekas di dalam lubuk hatinya terhadap Bu Tek, kini perasaan itu lenyap sama sekali dan terganti oleh cinta kasih sepenuhnya kepada suaminya yang masih dikenalnya sebagai Wan Kan, seorang pemuda gagah yang hidup sebagai perantau.

Hanya sedikit yang mengecewakan hati Ling In atau setidaknya yang mengganggu kebahagiaannya, yakni bahwa pernikahannya tidak dihadiri oleh seorangpun keluarga Hoa san pai. Hal ini karena pernikahannya dilakukan dengan amat cepat dan terburu buru. Hanya ada waktu sepekan dan mana bisa ia memberi kabar kepada tokok tokoh Hoa san pai? Dan pula, kalau ia mengingat kepada Bu Tek yang memperlihatkan sikap bermusuh, ia menjadi sedih juga.

Akan tetapi, sikap suaminya yang manis budi melenyapkan kekecewaan dan kesedihannya. Mereka hidup sebagai suami isteri yang saling mencinta dan pekan pekan mendatang merupakan hari hari bermadu yang manis. Suaminya belum bercerita tentang keadaan dirinya, maka sebegitu jauh Ling In tetap mengira bahwa suaminya adalah seorang terpelajar yang berkepandaian tinggi seorang yatim piatu yang hidup sebatangkara akan tetapi yang menerima warisan banyak dari mendiang orang tuanya...