Munculnya Pangeran Matahari - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

1. MENGHAJAR SI BODONG

RONNY Celepuk memperlambat motornya, memberi jalan pada dua pejalan kaki yang menyeberang. Vino yang membonceng dibelakang memandang ke kiri, lalu menoleh ke kanan. Ketika memperhatikan ke gedung pertokoan, tak sengaja matanya melihat seseorang di depan toko. Langsung Vino menepuk bahu Ronny dengan tangan kiri.

"Ron, gue liat Si Bodong."

Mendengar ucapan Vino, Ronny batal menyentak gas motor. Dengan gerakan melejit dia membawa kendaraan itu ke tepi jalan dan berhenti. Helm di atas kepalanya didorong ke atas.

"Si Bodong? Di mana?"

Vino menunjuk ke arah gedung pertokoan. "Sana di Atrium."

"Kamu nggak salah liat?"

"Nggak..."

"Sendirian?"

"Sama cewek. Aku nggak ngenalin ceweknya. Keliatannya sih bukan anak Nusantara Tiga..."

"Kebetulan kalau gitu!" kata Ronny. Gas motor disentak-sentakkannya hingga kendaraan itu mengaum keras.

"Kebetulan gimana?" tanya Vino di antara bising deru suara gas Honda Tiger.

Ronny memperkecil tarikan gas motor. "Apa lu udah lupa peristiwa waktu acara perpisahan minggu lalu? Kamu sendiri yang bilang ngeliat dia ngelemparin aku dan Boma sama telor busuk! Ini kesempatan Vin! Aku mau bikin dia tau rasa!"

"Selama ini Si Bodong nggak suka rese sama kita-kita. Gua rasa dia ada yang nyuruh," kata Vino.

"Apa lagi lu bilang gitu! Kita musti nyelidikin siapa yang nyuruh dia! Biar ketauan dalangnya. Aku sikat sekalian!"

"Ala, udahlah Ron. Nanti aja kita beresin urusan sama si Jumhadi itu. Kita masih ada urusan lain."

"Nggak bisa. Aku memang sudah lama nyariin tu anak!" jawab Ronny.

Gas motor disentakkan. Kendaraan itu melesat lurus ke depan lalu membelok melewati pintu masuk Atrium Plaza di pusat pertokoan Senen. Siang itu pengunjung Atrium Plaza cukup ramai. Mungkin karena masih bulan muda jadi banyak yang belanja. Ronny dan Vino mencari di lantai dasar pertokoan. Jumhadi alias Si Bodong tidak kelihatan. Naik ke lantai satu, terus lantai dua, Si Bodong masih belum ditemukan. Ketika mereka menuju tangga jalan mau naik ke tingkat tiga, Vino menggamit pundak Ronny.

"Ron, itu... Di depan foto studio." Vino hanya menggoyangkan kepala, tak mau menunjuk.

Ronny Celepuk mengikuti arah pandangan temannya. Benar, di depan sebuah foto studio tampak Si Bodong tegak berdampingan dengan seorang anak perempuan. Tengah asyik melihat foto-foto yang dipajang di belakang kaca. Ronny monyongkan mulutnya.

"Kemon Vin," kata Ronny dengan gaya koboi.

Dua anak itu melangkah cepat-cepat. Ronny sebelah depan. Karena itu dia yang sampai lebih dulu di depan foto studio. Langsung saja Ronny memegang bahu kiri Jumhadi lalu diremas. Membuat Jumhadi terkejut dan kesakitan. Dia menoleh. Jumhadi lebih terkejut ketika melihat siapa yang meremas bahunya. Wajahnya berubah pucat. Matanya memperhatikan tampang garang Ronny Celepuk. Jumhadi melirik ke samping, kearah Vino yang berdiri di sebelah Ronny.

"Bodong, gua mau ngomong!" kata Ronny. Tangan kanannya menarik lengan Jumhadi ketoko sebelah lalu dengan tangan yang sama dia mendorong dada Jumhadi hingga anak lelaki ini tersandar ke kaca etalase.

"Ada apa Ron. Kau mau ngomong apa-an?" tanya Jumhadi alias Si Bodong.

"Jangan banyak bacot!" sentak Ronny. "Lu jawab pertanyaan gua! Lu yang ngelemparin gua sama Boma pakai telor busuk!"

"Eh, gua kagak ngarti. Maksudmu apa Ron? Kapan gua ngelemparin kamu?"

"Bukkkk!"

Jotosan tangan kanan Ronny tiba-tiba mendarat di perut Jumhadi, tepat di pusarnya yang bodong. Anak ini seperti mau melintir. Tampangnya jadi merah keriput. Anak perempuan temannya keluarkan seruan tertahan.

"Hai, apa-apaan nih! Kok main pukul?!" Anak perempuan itu berteriak. Dia hendak melangkah mendekati Ronny tapi Vino cepat mencegat sambil berkata,

"Tenang aja. Nggak ada apa-apa. Udah, jauh-jauh sana..."

Orang mulai berdatangan, mau tahu apa yang terjadi di depan toko. Ronny tidak perduli. Dia cekal kerah baju kaos Jumhadi dengan tangan kiri.

"Kalau lu nggak mau ngaku, gua permak muka lu!" Ronny mengancam. Jari-jari tangan kanannya dikepal kencang.

"Nggak Ron, gua... Bukan gua yang ngelempar..."

"Oo gitu?! Lalu siapa? Ayo bilang, siapa?!" Cekalan Ronny makin keras dan makin naik hingga sosok Jumhadi yang kalah besar dengan Ronny terbembeng ke atas.

"Nggak tau Ron. Gua nggak tau," kata Jumhadi. Dengan ke dua tangannya dia berusaha melepaskan cekalan Ronny.

"Vino ngeliat! Dia nyaksiin lu yang ngelempar! Dasar Bodong! Gede bohong!"

"Gua... gua nggak bohong Ron. Lepasin Ron..."

"Hai! Lepasin!" Teman perempuan si Bodong berusaha menarik tangan Ronny tapi lagi-lagi dihalangi oleh Vino. Orang makin banyak berkerumun. Pemilik toko begitu melihat ada ribut-ribut di dekat pintu tokonya segera keluar.

"Hei! Kalau mau ribut jangan di sini! Pergi sana!" Si pemilik toko berteriak. Matanya dipelototkan pada Ronny Celepuk.

Saat itu Ronny sedang marah besar. Ditegur orang dia jadi tambah beringas. Tampangnya jadi angker. Benar-benar seperti burung celepuk.

"Jangan ikut campur! Mau ikutan minta digebuk?"

Ronny dan pemilik toko saling berperang pandang. Lama-lama pemilik toko keder juga. Dia masuk kembali ke dalam toko tapi diam-diam mengangkat pesawat tilpon di dekat meja kasir.

"Ron, lepasin Ron..." Si Bodong berusaha menarik lepas tangan Ronny yang mencekal kerah baju kaosnya.

"Lu nggak mau ngaku ya?!" Ronny membentak. Tinju kanannya diangkat keatas, ditarik ke belakang. Siap dihunjamkan ke muka si Bodong.

"Jangan Ron. Jangan pukul..."

"Lu mau ngaku nggak?!"

"Ron, aku..."

Ronny habis sabarnya. Tinju kanannya menderu, menghantam mulut Si Bodong tepat di bawah hidung. Bibir anak ini pecah. Darah mengucur. Si Bodong terduduk di lantai. Mengerang menahan sakit sambil pegangi mulutnya yang jontor berdarah. Teman perempuannya menjerit histeris melihat darah yang mengucur di sela-sela jari tangan Si Bodong. Ronny masih belum puas. Dia jambak rambut Si Bodong. Ketika lututnya mau dihantamkan ke muka anak itu Si Bodong cepat merangkul kaki Ronny.

"Udah Ron... Udah," kata Si Bodong. Lalu meluncur ucapan pengakuan dari mulutnya yang berdarah. "Memang aku yang ngelemparin telor busuk. Tapi aku cuma disuruh Ron..."

"Siapa yang nyuruh?!" Ronny perkeras jambakannya di rambut Si Bodong.

"Si... si..." Si Bodong tidak meneruskan ucapan. Seolah takut mau memberi tahu. Dia seka darah di mulutnya dengan belakang telapak tangan kiri.

"Siapa?!" bentak Ronny. Lututnya ditempelkan ke jidat Si Bodong.

"Si Anton... Dia yang nyuruh..."

"Sialan!" Ronny memaki. Jambakannya dilepas. Bodong terduduk nanar di lantai pertokoan. Di tangga jalan Vino melihat dua orang Satpam naik ke tingkat atas. Vino cepat membisiki Ronny.

"Cabut Ron."

Ronny juga sudah melihat dua Satpam itu. Anak ini tidak langsung cemas. Cepat dia memperhatikan keadaan, membaca situasi. Lalu berkata. "Ikutin gua."

Dua anak itu bergegas, menyeruak di antara orang banyak. Di belakang sana ada suara perempuan berteriak.

"Copet! Copet!" Yang berteriak teman perempuan Si Bodong sambil menunjuk ke arah Ronny dan Vino.

"Bahaya Ron. Kita diteriakin copet," kata Vino. Dia membuat gerakan hendak lari.

"Jangan lari Vin, jalan biasa! Jalan biasa!" kata Ronny. Kalau sampai temannya itu lari kemungkinan besar orang banyak akan menduga mereka benar-benar copet dan akan mengejar lalu menggebuki. Ronny melirik ke kiri. Dia melihat pintu lift terbuka. Tiba-tiba Ronny menarik tangan Vino. Kedua anak ini lenyap masuk ke dalam lift. Di dalam lift Vino masih tampak pucat. Berkali-kali dia menarik nafas panjang.

"Hampir celaka Ron. Kamu benar Ron. Untung kita nggak lari. Kalau orang-orang nyangka kita copet benaran, bisa bonyok kita berdua digebukin orang!"

Ronny cuma nyengir mendengar ucapan Vino.

********************

2. PRAKTEK HOMO DALAM TOILET

GITA PARWATI menyantap hamburger dimulutnya dengan lahap. Saos tomat campur sambal meleleh di sudut bibirnya, turun ke dagu. Boma dan Firman senyum-senyum memperhatikan. Saat itu ke tiganya berada di mini restoran di lantai atas toko buku Gramedia.

"Git, makannya lahap banget," kata Boma. "Lagi lapar, apa doyan apa memang rakus?" Gita diam saja. Dengan kertas tisu disekanya saos tomat dan sambal yang meleleh di dagunya.

"Bukan lapar, bukan doyan bukan rakus. Tapi lagi ada yang dikeselin. Orang yang ditunggu nggak nongol. Balas dendamnya sama hamburger," kata Firman.

"Allan oh Allan. Di mana gerangan engkau...?" Boma berkata dengan gaya nada seorang pembaca puisi membuat Firman cekikikan. Allan adalah anak baru di Nusantara III, yang dikenal Gita sewaktu mendaftar di kantor sekolah. Sejak pertemuan pertama kali itu keduanya jadi akrab satu sama lain. Gita masih diam. Tangannya bergerak menjangkau teh botol dingin di atas meja. Meneguk minuman itu sampai setengahnya lalu bersandar ketembok.

"Kalian ngeledek terus dari tadi..."

"Ini udah siang Git. Aku sama Firman mau ke rumah Ronny," kata Boma. "Pacar lu dateng nggak?"

"Pacar... pacar. Emangnya gua pacaran sama Allan."

"Jangan suka begitul Git. Belon masuk sekolah kamu sudah lengket sama dia. Kayak lem Uhu. Apa lagi nanti kalau sudah masuk. Terus-terusan ketemu. Wah, aku nggak bisa ngebayangin deh!" Firman senyum-senyum.

"Kalau nggak sabaran udah, pergi aja sana. Tapi gue nggak mau ngebayarin. Kalian keluarin doku sendiri-sendiri."

Boma menowel hidungnya. "Tuh, ngancemnye jelek banget. Kamu janjinya sama Allan gimana?"

"Kemaren aku ketemu dia. Bilang hari ini aku mau ke Gramedia. Jam sepuluh. Dia bilang mau datang, ketemu di sini."

Firman melirik ke arloji di pergelangan tangan Gita. "Sekarang hampir jam sebelas. Si Allan memang keliwatan..." Firman geleng-geleng kepala.

"Bukan Si Allan keliwatan, tapi si Allan memang Sialan," kata Boma pula.

Gita langsung tendang kaki Boma dengan ujung sepatunya hingga Boma menyeringai kesakitan.

Firman tiba-tiba keluarkan suara bersiul. "Git, kamu boleh girang deh sekarang. Lihat tuh siapa yang lagi naik di tangga jalan."

Gita Parwati dan Boma berpaling ke arah tangga jalan. Saat itu seorang anak lelaki ceking tinggi, mengenakan jins warna hitam, t-shirt putih tengah meluncur di tangga jalan. Rambut coklat setengah gondrong, menjulai di sebelah depan. Wajahnya tidak bisa dikatakan tampan. Jerawat besar kemerah-merahan menutupi hampir seluruh wajahnya. Matanya besar tapi tidak bercahaya. Pandangannya kosong. Inilah Allan, anak lelaki yang ditunggu-tunggu Gita. Allan tertawa lebar dan lambaikan tangan begitu melihat Gita, Boma dan Firman.

"Sorry Git. Sorry teman-teman. Aku terlambat." Allan keluarkan ucapan begitu sampai di depan meja.

"Kamu sih kira-kira dong. Gita hampir nangis nungguin kamu. Air matanya sampai masuk kedalam." Boma berkata sambil berdiri.

Gita cemberut Di bawah meja kakinya bergerak lagi mau menendang tapi Boma sudah menjauh. Firman juga ikut-ikutan bangkit dari kursi.

"Git, Allan, aku sama Firman cabut duluan," kata Boma.

"Eh, pada mau ke mana?" tanya Allan pura-pura heran, padahal hatinya senang ditinggal berdua dengan Gita. Allan berpaling pada Gita lalu bertanya. "Udah bilang sama Boma?"

Gita menggeleng. Boma dan Firman yang hendak beranjak pergi jadi hentikan langkah di samping meja.

"Bilang apa-an?" tanya Boma.

"Ah udah. Nanti aja," jawab Gita. "Soal Si Bodong dihajar sama Ronny?"

Gita menggeleng. "Lalu?"

"Nanti aja Bom. Nanti di sekolah. Hari Senin depan kita kan mulai masuk..."

"Kamu bikin hati gua jadi nggak enak Git. Memang ada apa-an sih?" tanya Boma.

"Udah Git, kasih tau aja," kata Allan.

Gita Parwati merubah duduknya. "Oke deh. Soal Dwita..."

"Dwita?" ujar Boma.

"Aku dengar kabar bokapnya dapat tugas baru di luar negeri. Katanya di New York. Markas Besar PBB. Paling cepat empat bulan lagi sudah harus berangkat."

Tiga pasang mata memperhatikan Boma. Gita, Allan dan Firman tidak melihat perubahan pada wajah Boma. Padahal apa yang barusan didengar Boma membuat jantung anak ini jadi berdebar keras. Boma tidak berkata apa-apa. Dipegangnya bahu Gita lalu melangkah ke arah tangga. Firman mengikuti di belakang.

"Seharusnya tadi kamu nggak usah maksa aku bilang soal Dwita," kata Gita begitu Boma dan Firman berlalu.

"Lebih cepat dikasih tau lebih bagus. Kasihan Boma kalau dia tahu cuma tinggal beberapa hari." Jawab Allan.

"Bagusnya sih biar Dwita aja yang ngasih tau. Saat ini Boma pasti ngerasa nggak enak..." Gita menatap Allan sebentar, tersenyum. "Matamu kok merah?"

"Aku kurang tidur Git."

"Kurang tidur atau kebanyakan tidur?"

"Kurang tidur." Jawab Allan.

"Begadang?"

"Nggak juga. Aku haus. Mau pesan minuman dulu." Allan melambaikan tangan, memanggil pelayan.

********************

TURUN dari tangga jalan Boma berkata. "Man, aku mau ke toilet dulu."

"Aku juga pengen kencing," kata Firman.

Sambil melangkah ke toilet yang terletak di bawah tangga Boma bertanya. "Man, kamu tadi meratiin nggak tampangnya Si Allan?"

"Maksud kamu jerawat batunya yang tambah numpuk?" balik bertanya Firman. "Pasti otak kotormu lagi jalan. Pasti kamu niikir begini. Tu muka yang penuh jerawat disenggol tangan aja sakitnya bukan main. Gimana kalau lagi main gusel-guselan sama Si Gita..."

"Otak lu yang bau comberan, bilang otak gue kotor!" Tukas Boma Sambil menowel hidung.

"Aku liat mata Si Allan merah. Tapi aku yakin itu bukan karena kurang tidur. Bukan akibat banyak begadang. Pandangannya kosong. Gerakan tangan agak gemetaran. Bahunya sesekali sempoyongan kayak layangan singit."

"Udah, bilang aja 'tu anak kayak habis teller. Iya kan?" ujar Firman. "Tapi kalau habis nenggak miras biasanya musti ada bau-bau alkohol."

"Bukan miras Man. Bukan alkohol..." kata Boma.

Seorang lelaki gemuk dan anak lelaki kecil keluar dari dalam toilet. Boma dan Firman masuk. Di dalam toilet kecuali Boma dan Firman saat itu tidak ada orang lain. Tiba-tiba dua orang bertubuh kekar masuk. Dua-duanya berambut gondrong. Yang satu berewokan. Di luar sana ada orang ketiga menutup pintu, menjaga jalan masuk. Tidak itu saja. Orang ini menempelkan sehelai kertas di pintu. Di atas kertas itu tertulis 'Maaf toilet rusak'

Boma kencing di sudut kiri. Firman satu kloset terpisah di sebelah kanan. Dua orang berbadan tegap tahu-tahu sudah berdiri di kiri-kanan Boma. Keduanya tidak kencing. Merasa dipandangi dari samping, Boma jadi tidak enak. Kencingnya tersendat tidak lampias. Dia berpaling pada lelaki di sebelah kanan.

"Kamu anak Nusantara Tiga?" Tiba-tiba si kekar berewok bertanya dengan suara garang. Nafasnya menebar bau alkohol. Mendengar Boma ditanyai Firman menoleh tapi giliran dia yang dibentak oleh teman si berewok.

"Mau apa lu liat-liat?!"

Firman yang berbadan kecil jadi terdiam. Tapi anak ini tidak merasa jerih atau takut. Di sekolah dia sering disebut sebagai anak kelotokan. Artinya tidak takut sama siapa saja, kadang-kadang berlaku aneh. Cuma untuk melawan lelaki berbadan kekar ini Firman memang harus berpikir lebih dari dua kali. Lagi pula dia tidak tahu apa yang tengah terjadi dan mau apa kedua orang itu. Mau ngompasl Mau malak!

Ditegur kasar Boma tidak menjawab. Restluiting celana jinsnya ditarik ke atas. Dia merasa sesuatu yang tidak benar bahkan membahayakan dirinya dan Firman akan terjadi. Ketika Boma tengah mengancingkan ikat pinggang, orang di sampingnya mendorong bahunya dengan kasar.

"Kamu budek?! Ditanya diam aja!"

Boma tetap tak menjawab. Dia menatap wajah orang itu sesaat, melirik ke arah Firman lalu sambil memberi isyarat dia berkata. "Ayo Man, kita keluar."

Begitu Boma melangkah ke pintu yang tertutup, si berewok ulurkan tangan mencekal kerah kemejanya.

"Mana temen lu Ronny Celepuk?" Orang yang mencekal bertanya sambil menyentakkan cekatannya.

"Nggak ada. Nggak tau..." Jawab Boma.

"jangan ngibul! Kamu Boma kan? Anak SMA Nusantara Tiga! Kalau ada kamu pasti juga ada Ronny Celepuk!"

"Nggak ngibul tuh! Liat aja sendiri! Apa ada Ronny Celepuk di tempat ini!" kata Boma. Suara dan sikapnya kalem-kalem saja. Padahal saat itu jantungnya dag-dig-dug juga.

"Anak gendenk! Lu mau nantang gua hah?!"

Dengan tangan kirinya orang itu dorong kening Boma hingga kepala Boma terdongak kebelakang.

"Nantang? Siapa yang nantang?!" sahut Boma. Orang yang mencekal kerah kemejanya memang besar kekar dan seram tapi sealis lebih pendek dan dirinya tak kenal orang ini. Sebaliknya, agaknya orang ini tahu siapa dia.

"Wah, berani juga nih kunyuk!"

"Memang dia sok jadi jagoan!" Lelaki kekar satunya bicara. "Katanya dia punya ilmu. Mulai aja Fred! Aku mau liat ilmu apa sih yang dia punya! Aku biar jagain monyet yang satu ini."

Si berewok menyeringai. Boma didorong hingga tersandar ke dinding ruangan. Lalu laksana kilat tangan kanannya bergerak.

"Plaaakk!" Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Boma. Seumur hidup baru sekali ini Boma ditampar orang seperti itu. Ayahnya saja yang terkenal galak sama anak tidak pernah menampar. Sudut kiri bibir Boma pecah. Darah meleleh. Boma merasa seperti ada ledakan dahsyat di telinga kirinya. Untuk beberapa lama anak ini tertegak nanar, meringis menahan sakit, telinga mengiang, air mata meleleh dari sudut mata kiri. Bukan air mata menangis tapi air mata saking hebatnya dia berusaha menahan sakit.

"Katanya lu punya ilmu! Kok baru digampar aja udah ngulet kesakitan!" Lelaki di belakang Boma mengejek.

Si berewok yang barusan menampar ikut bicara. "Katanya jagoan! Nggak taunya cuma banci cengeng!"

"Hajar lagi Fred, biar dia tahu rasa!" kembali teman si berewok berucap.

Firman tiba-tiba menerjang ke depan. Dia berusaha menendang orang yang barusan menampar Boma. Tapi kawan si berewok cepat menghadang. Bukan cuma menghadang, malah sekaligus melayangkan jotosan. Sosok kecil Firman terpental lalu terjengkang di lantai toilet begitu tinju keras melanda dadanya. Anak ini melingkar di lantai, mengerang kesakitan sambil pegangi dadanya yang serasa amblas.

Dasar anak kelotokan, meski menderita sakit bukan main tapi dia gulingkan badan, menangkap kaki orang lalu mengigit pahanya. Blujins yang dipakai orang itu cukup tebal tapi gigi-gigi runcing Firman masih bisa tembus lalu menghunjam di daging pahanya. Orang ini menjerit kesakitan.

"Bangsat! Main gigit!" Dijambaknya rambut Firman lalu kepala anak ini disentakkannya. Begitu tubuh Firman terangkat dia kembali daratkan jotosan. Firman terpekik. Jotosan mendarat tepat di keningnya.

Lutut anak ini langsung terlipat. Dalam keadaan seperti itu tubuhnya didorong kuat-kuat hingga terpelanting, terkapar di lantai toilet yang kotor, mengerang kesakitan. Sebenarnya Boma masih bisa menahan rasa sakit tamparan lelaki berewok. Dia ingin menanyakan salah apa sampai dia ditampar seperti itu.

Tetapi ketika melihat Firman dijotos dan dibanting amarah Boma Tri Sumitro yang mendapat cap Anak Geblek dan terakhir malah dijuluki Anak Baru Gendenk menggelegak seperti air mendidih. Ubun-ubunnya serasa mengepulkan hawa panas. Dadanya membara. Apa lagi saat itu di depan dilihatnya si berewok mengayunkan tangan hendak meninju mukanya.

"Bang, jangan Bang. Jangan pukul. Saya kan nggak punya salah apa-apa sama Abang."

Luar biasa. Dalam keadaan seperti itu mendadak saja Boma mampu menindih hawa amarahnya dan keluarkan ucapan polos sabar.

"Jangan banyak bacot!" bentak si berewok. Tinju kanannya menderu.

"Bukkk!"

Jotosan si berewok mendarat. Bukan di wajah Boma, melainkan di atas telapak tangan kiri anak lelaki itu. Boma berhasil menangkis serangan orang.

"Bangsat! Berani ngelawan!" Si berewok pergunakan tangan kiri untuk meninju perut Boma dan tepat mengenai sasarannya dengan telak di ulu hati.

Boma terlipat ke depan. Perutnya seperti pecah. Sesaat Boma sulit bernafas. Lalu serasa mau muntah. Dalam keadaan seperti itu si berewok kembali mengangkat tangan kanan, siap melayangkan tinju berikutnya. Yang diincarnya kali ini adalah hidung Boma. Boma cepat mundur. Tapi punggungnya tertahan oleh papan pemisah kloset.

"Buukk!" Tinju si berewok yang diarahkan ke hidung Boma mendarat di pipi kiri.

Boma seperti melihat ledakan bintang-bintang di pelupuk matanya. Dia nyaris roboh kalau tidak cepat menggapai papan pemisah kloset. Boma baru bisa menarik nafas agak panjang ketika tiba-tiba dari samping kawan si berewok melayangkan tinju ke arah rahang kirinya. Rasa sakit yang amat sangat membuat amarah Boma yang tadi padam kembali menggelegak, lebih dahsyat dari sebelumnya, memusnah kesabaran yang ada dalam dirinya.

Satu hawa aneh tiba-tiba terasa di kuduknya. Hawa ini menjalar ke seluruh tubuh. Entah apa yang terjadi, di mata Boma dua orang lelaki kekar yang memukuli dia dan Firman itu tampak kecil. Rahang menggembung, geraham bergemeletakan. Sepasang mata menyorot aneh. Tangan kanan menowel hidung. Kepala dan pundak dimiringkan. Jotosan yang melayang ke arah rahang ditangkis dengan lengan kiri. Bersamaan dengan itu tangan kanan melesat ke depan.

Kawan si berewok keluarkan suara seperti sapi melenguh ketika tinju kanan Boma menyodok ulu hatinya. Tubuhnya terhempas ke belakang. Dua tangan menggapai udara. Firman yang saat itu sudah berdiri dan tegak bersandar ke dinding sambil pegangi keningnya yang benjol merasa dapat kesempatan untuk membalas.

Sosok kekar yang terhuyung ke belakang itu didorongnya kuat-kuat hingga menghantam pintu wc, terus masuk ke dalam wc. Malang, kepalanya membentur dinding dengan keras. Orang ini tergelimpang miring tak sadarkan diri di lantai wc, sebagian mukanya masuk ke dalam kloset jongkok!

Lelaki berewok tidak sempat melihat apa yang terjadi dengan kawannya. Juga tidak melihat jotosan kilat yang dihantamkan Boma ke hidungnya. Boma tidak tahu apakah hidung itu patah tulangnya. Yang jelas dia melihat ada darah mengucur dari dua lobang hidung dan si berewok megap-megap sukar bernafas. Rasa sakit membuat orang ini jadi kalap. Dia berusaha mencekik leher Boma dengan dua tangannya yang kokoh.

Tapi Boma tidak memberi kesempatan. Sebelum cekikan sampai, tinju kanan Boma untuk kedua kalinya melesat. Kali ini menghantam mata kanan si berewok. Orang ini menjerit keras, melintir sambil pegangi matanya. Ketika tubuh yang melintir berputar menghadap ke arahnya, Boma sarangkan lagi satu tonjokan ke perut lawan. Si berewok terjajar keras amblas masuk ke dalam wc. Jatuh tertelungkup, tepat di atas sosok kawannya.

Melihat dua orang itu tidak bergerak, tidak bersuara Firman jadi takut. Kalau cuma pingsan tidak jadi apa. Tapi kalau ternyata keduanya mati? "Bom, kabur Bom..." bisik Firman.

Tapi Boma tidak punya pikiran untuk segera kabur. "Tunggu Man, dua orang hutan ini musti dikasih pelajaran," ucap Boma.

Lalu anak ini melangkah ke pintu wc. Turunkan retsluiting celana jinsnya. Kencingnya yang tadi tertunda tidak lampias kini dikeluarkan habis-habisan. Dikucurkan mengguyur dua orang yang tergeletak pingsan di dalam wc. Mulai dari badan sampai kepala.

"Gila lu Bom!" kata Firman. "Dasar gendenk!"

Boma menyengir. Sekilas dia melihat wajahnya di dalam kaca. Bengkak besar merah kebiruan menghias pipi kirinya. "Sial!" maki anak ini. Dia berpaling pada Firman yang juga tengah memperhatikan benjut besar di keningnya.

"Man, sekarang saatnya kabur! Sebentar lagi pasti ada yang masuk ke sini," kata Boma.

Sementara itu di luar toilet, lelaki kawan dua orang tadi, yang sebelumnya menempelkan kertas bertuliskan 'Maaf toilet rusak' merasa curiga mendengar teriakan-teriakan di dalam sana. Apa lagi saat itu seorang Satpam dilihatnya terus-terusan memperhatikan kearahnya dari kejauhan. Takut ketahuan, orang ini cepat tanggalkan kertas yang ditempel di pintu lalu membuka pintu, masuk ke dalam toilet. Saat itulah Boma dan Firman menghambur keluar.

"Hai!" orang yang barusan masuk berteriak. Dia hendak mengejar Boma dan Firman. Tapi tidak jadi karena merasa heran tidak melihat dua temannya di dalam toilet.

"Cepetan Man!" kata Boma.

Ketika ke dua anak ini sampai di ujung tangga jalan, Satpam yang sejak tadi memperhatikan sekitar toilet melangkah mendatangi.

"Ada apa?!" Petugas itu bertanya. "Siapa tadi yang teriak-teriak?"

Boma pura-pura mengusap pipinya untuk menutupi benjut lebam di pipi kiri. Firman memandang ke jurusan lain sambil turunkan rambut agar menutup benjut di kening. Firman bingung, tak tahu mau menjawab apa. Boma cepat dapat akal, cepat pula menjawab.

"Pak, cepat masuk ke dalam toilet Pak. Ada dua orang melakukan praktek homo." Kata Boma sambil menggeser langkah.

"Hah?! Apa?!" Si Satpam sulit mau percaya.

"Betul Pak. Kami berdua liat sendiri. Kami kabur ketakutan." ucap Firman. Dia bergerak mengikuti Boma.

"Teman saya ini hampir dikerjain juga!" menambahkan Boma.

"Gila!"

"Ketika Satpam itu melangkah menuju toilet, Boma dan Firman langsung kabur.

********************

3. ALLAN PUNYA MASALAH

Warung bakso di ujung jalan riuh oleh suara gelak tawa tujuh orang anak termasuk Firman yang menceritakan Peristiwa perkelahian ditoilet toko buku Gramedia itu.

"Untung belon masuk sekolah. Kalau nggak kalian berdua bisa jadi tontonan. Kayak anak ondel-ondel..." kata Gita. Lalu anak perempuan gemuk ini tertawa cekikikan.

"Mulai sekarang kau jangan dulu pergi-pergi ke Gramedia, Bom," kata Vino sambil mengusap matanya yang berair karena tertawa terpingkal-pingkal. "Kalau Satpam Gramedia ngenalin kamu, pasti jadi urusan."

"Bukan cuma Satpam itu," kata Gita Parwati.

"Nggak mustahil dua orang yang mau ngerjain kamu datang ke sana. Menunggu kamu sama Firman muncul kembali."

Boma masih terus mengusap-usap hidungnya. Firman lalu berkata. "Waktu kita lagi dipermak orang di dalam toilet, Si Gita malah lagi enak-enakan in the mood bersama Si Allan..."

"Bom kata Ronny. "Kejadian di Gramedia itu jelas ada hubungannya dengan kejadian di Atrium. Buktinya sebelum mukuli kamu, orang itu nanyain aku. Sebetulnya aku yang diincar, tapi kalian berdua yang apes." Suara Ronny bernada sedih, juga menyesal. "Kalau waktu itu gua nggak nonjokin Si Bodong..."

Boma pegang tangan Ronny Celepuk. "Kamu nggak usah ngomong gitu Ron..."

"Mungkin kita semua sudah masuk dalam daftar yang mau dikerjain," kata Vino.

"Kamu nggak ngenalin dua orang itu? Nggak pernah ngeliat sebelonnya?" tanya Andi.

Boma menggeleng. "Tapi kalau ketemu lagi aku pasti ngenalin tampang monyet-monyet itu."

"Aku ingat," kata Firman menyambung ucapan Boma. "Orang yang mau mukulin Boma dipanggil Fred sama temannya. Mungkin namanya Freddy."

"Gila juga Si Bodong. Bisa-bisanya nyuruh orang mukulin aku sama Firman." Boma berkata sambil mengusap-usap hidungnya dengan ujung jari.

"Belum tentu ini kerjaan Si Bodong sendirian," Gita memberikan pendapat. "Mungkin Si Anton juga ikutan. Malah bisa saja tu anak yang jadi dalangnya. Ingat, dia yang nyuruh Si Bodong bego ngelempar kita sama telor busuk!"

Masih mengusap-usap ujung hidungnya Boma memandang pada Ronny lalu berkata. "Heran, sirik apa sih Si Anton sama aku dan kamu Ron?"

"Sama aku sih mungkin kagak Bom. Tapi sama kamu pasti iya," kata Ronny pula.

"Belangnya mulai keliatan waktu dia nyuruh Si Bodong ngelempar telor busuk tempo hari."

"Pasti iyanya kenapa?" ujar Boma. "Walau satu sekolah aku, kita tidak satu kelas sama dia. Ketemu juga jarang. Pokoknya nggak ada yang korslet antara aku, antara kita-kita dengan Si Anton."

"Aku juga nggak ngarti," kata Ronny dan ikut-ikutan mengusapi hidungnya yang seperti paruh burung kakak tua.

"Kalian semua budek en buta," kata Gita.

"Ajie Busyetl Maksud kamu apa non Gita cakep?" tanya Boma sambil mesem-mesem.

"Yang aku dengar, yang aku tau Si Anton itu udah lama ngebet sama Trini. Tapi kepentok kamu, den mas Boma yang ngganteng." Gita balas meledek. Semua mata memandang ke arah Boma.

"Nah, kok kepentok aku?" tanya Boma heran.

"Kepentoknya benjol nggak?!" menimpali Rio.

"Yang kepentok kepala bawah apa kepala atas?" Vino menimpali.

Ronny dan Firman tertawa lebar. Gita cemberut. Boma dan yang lain-lainnya senyum-senyum mendengar ucapan Vino itu.

"Kalau dia memang demen sama Trini ambil aja," kata Boma. "Aku nggak ada hubungan apa-apa sama 'tu cewek kok."

"Jangan begitul Bom. Jangan takabur bom..." ujar Gita.

"Begitul begitil," Boma agak bersungut. "Memangnya aku takabur gimana?"

"Trini itu naksir sama kamu. Jelas. Semua orang tau. Tapi kamunya kayak ogah-ogahan..."

"Git, kamu ini kayak yang nggak tau history aja. Nggak tau sejarah," Vino memotong ucapan si gendut Gita Parwati.

"Keren amat lu ngomong. Maksud kamu apa?" tanya Gita.

"Gue sih ngomong blak-blakan aja bo," kata Vino sambil melirik Boma. "Mau marah, marah deh! Gue ngomong seadanya. Dulu pertama kali memang Boma duluan yang naksir Trini..."

"Enak aja lu!" protes Boma.

"Terusin Vin," kata Gita.

Vino meneruskan. "Tapi Trini jual mahal. Cuek. Mungkin kawan kita ini nggak masuk nominasi karena sudah kebeken gebleknya. Rangkingnya lumayan bagus. Tiga sembilan dari empat satu..." Sampai di situ Vino berhenti bicara, memperhatikan dulu teman-temannya yang pada nyengir, termasuk Boma sendiri. "Mungkin Trini nggak mandang sebelah mata karena Boma bukan anak gedongan. Cuma anak seorang tukang..." Terusan ucapan Vino itu adalah seorang anak tukang sablon. Tapi ucapannya terputus. Boma ulurkan tangan kanan ke arah jidat Vino. Jari-jari ditekuk ke dalam.

"Ayo. Terusin nyebut kerjaan bokap gue. Gue jitak benjol lu!" Boma mengancam. Vino cepat-cepat jauhkan kepalanya.

"Sorry teman-teman, ada kerusakan teknis!" kata Vino membuat teman-temannya kembali tertawa. "Terusin nggak nih?"

"Terusin!" jawab Gita, Andi, Firman, Rio dan. Ronny berbarengan. Boma diam saja.

"Tapi waktu Dwita masuk..." Vino menyambung jalan ceritanya. "Everything changes. Cia illah, keren banget gua." Vino tertawa geli sendiri. "Keadaan berobah. Trini merasa mendapat saingan. Apa lagi Dwita keliatan akrab sama Boma. Lalu Trini pasang kuda-kuda baru. Deketin Boma. Saat itu Si Anton lagi ngebet-ngebetnya sama Trini. Tapi si cewek justru nguber Boma. Anton kesel en kalap. Kita-kita yang jadi korbannya. Nah, begitu jalan ceritanya. Bener nggak penonton?"

"Bennneerrrrr!" Enam mulut menjawab lalu sama-sama tertawa. Boma cuma bisa nyengir.

"Mungkin Si Anton nganggap kamu rakus Bom," kata Firman. Mauin dua cewek sekaligus."

"Kayak pangeran aja," kata Rio.

"Pangeran bandit." Sambung Gita.

"Ajie Gile" Boma menyeringai lalu menowel hidungnya.

"Bom, kamu kalau sehari-hari nggak nowelin hidung, mungkin meriang kali ya?!" ujar Gita yang sejak tadi memperhatikan kebiasaan Boma inenowel hidung.

"Masih mending gua nowelin hidung sendiri. Kalau nowelin hidung kamu mau nggak?" tanya Boma.

"Rasain lu, Dut!" kata Vino tertawa geli.

"Uh, si Boma paling bisa ngebalikin omongan orang!" kata Gita pula.

"Teman-teman, lupain dulu urusan cewek-cewek itu." Ronny mengalihkan pembicaraan. "Lebih penting kita omongin bahaya yang mengancam kita. Pertama bahaya pembalasan dari dua orang yang dikerjain Boma sama Firman di toilet. Kedua bahaya dari Si Anton sendiri. Saat ini dia pasti tambah nggak senang sama kita-kita. Terutama sama Boma."

"Dua orang itu punya itikad jahat Mau melakukan tindak kekerasan. Bagaimana kalau kita lapor Polisi?" kata Andi. "Mungkin bisa pakai jalur bokapnya Trini yang Letkol itu."

Boma gelengkan kepala. "Aku nggak setuju. Soalnya gara-gara urusan orang yang dirampok di bajaj dulu saja, aku jadi bulak balik ke kantor polisi. Ditanya ini itu. Diminta kesaksian. Belum lagi nanti sampai ke sidang pengadilan. Kalau ditambah lagi dengan urusan yang satu ini, buntutnya pasti jadi makin panjang. Alamat bakal banyak bolos nantinya aku di sekolah."

"Soal perampokan itu Bom," kata Ronny. "Kau juga harus hati-hati. Banyak yang bilang, biasanya teman-teman rampok yang ada diluaran suka balas dendam. Apalagi kalau si perampok yang nanti dihukum, keluar dari penjara. Nggak mustahil dia nyari kamu, Bom."

"Aku memang sudah mikirin itu," jawab Boma. "Aku memang harus hati-hati. Tapi kalau kelewat dipikirin, aku bisa stres sendiri. Akhirnya aku bersikap pasrah aja. Minta perlindungan Tuhan."

"Bom, banyak yang bilang kau sekarang sudah punya ilmu. Apa ilmu itu nggak bisa dipakai buat jaga diri?" Bertanya Gita Parwati.

"Ilmu apa-an? Ilmu tai kucing?" ujar Boma pula.

"Tai kucing, tai anjing kek. Kalau kau memang punya ilmu berarti nggak usah terlalu banyak pasrah. Kami teman-temanmu jadi nggak terlalu kawatir." Gita diam sebentar lalu meneruskan. "Waktu kau menghajar dua orang di Gramedia itu, apa kamu ngeluarin ilmu?"

"Memang aku ngeluarin ilmu. Tapi ilmu nekad!" jawab Boma.

Anak perempuan bertubuh gendut itu tertawa lebar. Dia berdiri sambil berkata. "Sorry teman-teman. Aku musti pergi dulu."

"Pergi ke mana Git?" tanya Andi. Yang lain-lain ikut heran.

"Nganterin nyokap ke dokter." Jawab Gita Parwati.

"Ala... Nganterin nyokap apa janji sama nyongnyong?" meledek Ronny.

"Enak aja lu," sungut Gita. "Udah, aku pergi dulu ya."

"Hati-hati Git. Kalau bisa perginya jangan lewat jalan Kramat Raya," kata Vino dengan wajah serius.

"Memang kenapa?" tanya Gita juga serius.

"Ada razia," jawab Vino.

"Razia? Razia apa-an?" Gita tambah serius.

"Razia orang jelek en gendut!" jawab Vino.

"Sialan!" Gita angkat tinjunya tinggi-tinggi. Sebelum tangan itu diayun ke batok kepala Vino, anak lelaki ini cepat menghambur, berlindung di belakang Boma.

"Brengsek!" kata Gita Parwati lalu putar tubuhnya yang gemuk, melangkah keluar warung.

"Ee... Git! Baksonya bayar dulu!" teriak Firman.

"Sa' bodo!" jawab Gita tanpa berpaling.

"Wah, berabe deh kalau kasir kita diantuk penyakit ngambek," kata Ronny pula.

Tak lama setelah Gita Parwati meninggalkan mereka, Boma berkata. "Aku sama Firman pernah ngomong-ngomong soal cowoknya Gita..."

"Si Allan, anak baru itu?" ujar Andi.

Boma mengangguk. "Kayaknya Gita naksir berat sama Allani Allan juga suka sama Gita' ucap Rio.

"Ajie Busyet. Si Gita bukan cuman buta mata, tapi juga buta hidung. Dia betulan naksir sama Si Allan, anak baru itu?" Ronny Celepuk tepuk jidatnya sendiri.

"Soal sama-sama naksir sih itu urusan mereka," kata Firman. "Justru ada hal lain yang bisa jadi masalah. Bukan cuma buat Gita, tapi juga buat kita-kita semua. Malah bisa-bisa masalah buat satu sekolah."

"Ajie Gombal" Ronny lagi yang buka mulut "Memangnya Si Allan ngelakuin apa? Makar terhadap Pemerintah yang syah? Atau kudeta pimpinan SMA Nusantara Tiga?!"

"Ceritain aja Bom," kata Firman.

"Kalian pernah nggak meratiin wajah sama gerak-geriknya tu anak." Boma pandangi wajah teman-temannya.

Tak ada yang segera menjawab. Lalu Rio membuka mulut. "Kalau wajahnya sih jelas. Banyak jerawat. Kalau gerak geriknya..."

"Memangnya kenapa Bom?" Andi bertanya. "Kita-kita memang baru beberapa kali ketemu dia. Soalnya masih belum masuk sekolah. Tapi beberapa kali ketemu aku sering ngeliat matanya merah..."

"Mungkin aja dia tukang begadang..." kata Ronny.

Boma menggeleng. "Mata merahnya Si Allan bukan karena bergadang. Kayaknya ada penyebab lain. Lalu, kadang-kadang aku liat dia duduk atau berdiri seperti orang kehilangan keseimbangan. Tangannya suka gemetaran. Pandangannya kosong. Terus terang aja aku kawatir dia suka nenggak obat terlarang."

"Ah, kamu nggak-nggak aja Bom. Kalau Gita tau kamu ngomong begitu habis kamu didamprat si gendut itu," kata Ronny.

"Aku serius Ron. Kalau Allan suka yang begituan, cepat atau lambat pasti bakal ada teman-teman yang ketularan. Pertama sekali Gita tentunya."

"Bom, kalau dugaanmu nggak benar buntutnya bisa jadi jelek," kata Ronny Celepuk pula.

"Kalau bener?" ujar Boma. Semua terdiam.

"Ada satu lagi," kata Firman. "Kalau di tempat-tempat keliwat ramai Si Allan kadang-kadang seperti orang sesak nafas. Muka pucat keringatan..."

"Jangan-jangan tu anak punya penyakit bengek," kata Rio.

"Bukan bengek, tapi asma," celetuk Vino.

"Asma asmara. Asmara sama Gita."

"Gini aja," kata Boma. "Di antara kita harus ada yang nyelidik. Kalau perlu nanti waktu sudah sekolah ada yang meriksa tasnya."

"Mana mungkin segala obat terlarang ada yang berani bawa ke sekolahan," kata Rio.

"Mungkin aja Ron. Karena kalau ditarok di rumah takut digeledah orang tua..." kata Firman.

"Lalu kita mau bikin apa, bo?" tanya Ronny.

Boma memandang pada Andi. "Di, kamu kan lebih dekat sama Gita dibanding kita-kita. Apa lagi rumah kalian masih satu komplek. Allan pasti sering datang ke rumah Gita. Kamu bisa nggak ngawasin tu anak berdua. Terutama Si Allan."

"Yah, aku coba deh," jawab Andi sambil garuk-garuk kepala.

"Nanya-nanya atau cari keterangan juga bisa," kata Firman

"Nanya-nanya gimana?" tanya Andi pada Firman.

"Misal dia pindah sekolah. Lantaran apa? Minta pindah sendiri atau dikeluarin. Kalau dikeluarin sebab apa? Berantem, tawuran atau suka nenggak obat setan."

"Tapi kamu musti hati-hati, Di," kata Boma pula. "Jangan sampai ketauan sama Si Allan atau Gita kamu nyelidikan dia. Apa lagi kalau sampai kejebak. Ikut-ikutan nenggak obat setan."

"Amit-amit jabang babu..." kata Andi. Disambut gelak tawa semua anak yang ada disitu.

********************

4. BATU PENYUSUP BATIN

DALAM gelapnya malam, di bawah terpaan angin laut serta deru gelombang ombak pantai selatan, satu bayangan biru laksana terbang berkelebat ke arah timur. Rambutnya yang panjang sekaki seperti mengambang di udara. Di atas bahu kanannya orang ini memanggul seseorang yang tiada hentinya keluarkan suara menggerang.

"Jahanam Muka Bangkai Berhentilah merintih! Atau kuputus urat besar di lehermu hingga kau jadi gagu seumur-umur!" Orang yang memanggul membentak.

"Eyang..." Orang yang dipanggul keluarkan suara perlahan. "Daging tubuhku seperti leleh, tulang-tulangku laksana hancur. Satu tanganku amblas buntung. Kalau aku tidak boleh merintih menanggung sakit mengapa kau tidak bunuh saja diriku saat ini? Kau mau bawa aku kemana? Aku memilih mati dari pada hidup cacat seumur-umur."

"Murid keparat! Jangan berani bicara tak karuan padaku! Kematian terlalu enak bagimu! Aku perlu minta pertanggungan jawabmu lebih dulu! Kau telah melakukan satu kegagalan besar! Kegagalan yang akan membuat celakanya kita para tokoh golongan hitam. Dasar murid tolol tidak berguna!"

"Eyang... Eyang Kunti Api. Aku mohon, bunuh saja aku sekarang juga!" Sang murid yang berjuluk si Muka Bangkai kembali keluarkan ucapan.

Sosok berjubah biru, yakni seorang- nenek bertampang angker keluarkan suara menggembor marah. Sepasang matanya yang merah keluarkan cahaya menggidikkan. Mulutnya yang perot dan pencong ke kiri lesatkan pekik dahsyat. Begitu dua kakinya dijejakkan ke tanah, tubuhnya melayang keudara setinggi lima tombak. Dari atas, sambil melayang turun nenek ini, yang dikenal dengan panggilan Eyang Kunti Api, lemparkan sosok murid yang sejak tadi dipanggulnya.

Tak ampun lagi sosok Si Muka Bangkai amblas tenggelam sampai sebatas leher dalam pasir lunak dan becek di tepi pantai. Tampang kakek ini pucat laksana darahnya disedot setan. Matanya yang besar mendelik tinggal putihnya. Dia merasa sekujur tubuhnya remuk. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah kental.

Dua tangannya terkulai di atas pasir. Yang kiri buntung sebatas siku. Dia coba bersitekan dengan tangan kanan dan mengangkat tubuh agar bisa keluar dari dalam pasir. Tapi tidak mampu. Dia hanya bisa menatap putus asa ke arah sang guru sambil sesekali keluarkan suara mengerang panjang.

Eyang Kunti Api melayang turun. Tegak dua langkah di depan muridnya, berkacak pinggang. Dongakkan kepala lalu tertawa bergelak. Tiba-tiba nenek ini hentikan tawanya lalu membentak.

"Muka Bangkai!" Sang murid angkat sedikit kepalanya. "Kau tahu kesalahan apa yang telah kau perbuat?!"

"Eyang... Kau boleh menyebut segala apa. Aku pasrah," jawab Si Muka Bangkai. Dari mulutnya kembali mengucur darah kental.

Dalam serial Boma Gendenk sebelumnya ABG (Anak Baru Gendenk) telah dituturkan bahwa Si Muka Bangkai mendapat tugas dari Eyang Kunti Api untuk mencari tahu rencana Sinto Gendeng yang hendak menghadirkan seorang pendekar sakti mandraguna dalam rimba persilatan. Konon pendekar itu diberi julukan Pendekar Tahun 2000. Bagi para tokoh golongan hitam, rencana ini merupakan satu malapetaka besar.

Karena itulah selain mencari tahu siapa adanya sang pendekar, Si Muka Bangkai juga ditugaskan untuk membunuh Sinto Gendeng. Ternyata Si Muka Bangkai yang juga dikenal sebagai guru Pangeran Matahari tidak berhasil dalam tugasnya. Bukan saja dia gagal mencari keterangan dan membunuh Sinto Gendeng, nenek sakti di puncak Gunung Gede itu, dia sendiri malah harus kehilangan tangan kirinya, putus sebatas siku dihantam serangan Sinto Gendeng.

Dan kini gurunya, Eyang Kunti Api hendak meminta pertanggung jawaban dari kegagalannya. Dia tidak tahu mau bertanggung jawab bagaimana. Karena itu dia lebih suka memilih mati saja.

"Enaknya mulutmu berucap pasrah! Kau tahu! Kegagalanmu ini akan terasa sampai puluhan tahun mendatang. Akan menjadi bencana bagi kita orang-orang golongan hitam!" Kunti Api meludah ke tanah. Matanya garang mendelik tak berkesip pandangi muridnya yang terkubur sebatas leher.

"Saya siap menerima hukuman Eyang. Saya sudah bilang, matipun saya terima..." kata Si Muka Bangkai.

"Kakek geblek!" maki Kunti Api dengan mata laksana kobaran api menyala. "Soal menghukummu mampus semudah aku meludahi kepalamu! Kau dengar?!"

Si Muka Bangkai tak menyahut. Kepalanya terkulai. "Jahanam! Angkat kepalamu. Jawab! Kau dengar?!"

Kakek yang terkubur di pasir becek itu terpaksa angkat kepalanya. "Saya dengar Eyang..."

"Kesalahanmu pertama! Kau gagal mengorek keterangan siapa adanya orang yang diambil Sinto Gendeng dan dijadikan Pendekar Tahun 2000. Kesalahan kedua! Kau tidak berhasil membunuh nenek keparat bau pesing Sinto Gendeng itu. Bahkan mengorek dua mata sumber segala kesaktiannya tidak mampu kau lakukan!"

"Eyang... Saya sudah berusaha. Saya mengaku salah, mengaku gagal. Mungkin karena ilmu saya masih jauh di bawah Sinto Gendeng. Bahkan saya sampai-sampai mengorbankan tangan kiri. Eyang saksikan sendiri. Tangan kiri saya yang buntung..."

"Murid tak berguna! Masih untung tangan kirimu yang buntung! Seharusnya jantungmu yang amblas!" Damprat Eyang Kunti Api. Nenek berjubah biru dengan rambut panjang sekaki ini merutuk habis-habisan sambil melangkah mundar mandir di depan kepala muridnya.

"Dengar, aku akan memberi kesempatan satu kali lagi padamu. Satu kali dan terakhir kali!"

Perlahan-lahan Si Muka Bangkai angkat kepalanya, menatap tak percaya pada sang guru. Kakek ini menunggu. Apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh si nenek.

"Muridmu yang putera Surokerto bernama Pangeran Anom berjuluk Pangeran Matahari itu! Di mana dia sekarang?!" Tiba-tiba Eyang Kunti Api bertanya.

"Saya... saya tidak dapat memastikan. Sudah lama anak itu tidak menyambangi saya. Tetapi jika Eyang menghendaki, saya akan berusaha mencarinya..."

"Itu yang aku inginkan!" kata Kunti Api.

Habis berucap begitu dia hantamkan kaki kanannya ke tanah di depan kepala Si Muka Bangkai. Luar biasa sekali. Tanah itu terkuak sedikit. Bersamaan dengan itu sosok Si Muka Bangkai yang sejak tadi terpendam sebatas leher mencelat ke udara setinggi satu tombak lalu jatuh bergedebukan, mengerang di atas pasir becek. Eyang Kunti Api berkacak pinggang, dongakkan kepala dan umbar tawa bergelak.

"Muka Bangkai, dengar baik-baik." Berucap Kunti Api. "Cari muridmu itu sampai dapat. Kalau bertemu serahkan benda ini padanya."

Dari balik jubah birunya si nenek keluarkan sebuah benda yang ternyata adalah batu sebesar dan sebentuk telur burung merpati, berwarna biru, terang berkilau. "Dengan berbekal Batu Penyusup Batin ini, muridmu akan sanggup menyusup ke mana saja yang dikehendakinya. Dengan cara menyusup dia akan mampu mencari tahu siapa adanya orang yang bakal dijadikan Pendekar Tahun 2000 itu. Jika dia sudah tahu siapa orangnya, berarti mudah saja baginya untuk menghabisi orang itu. Namun perlu kau ketahui dan ingat baik-baik. Batu Penyusup Batin ini kuserahkan hanya selama satu purnama. Berhasil atau tidak muridmu melakukan tugasnya dalam waktu dua purnama, batu ini harus dikembalikan padaku. Muka Bangkai, kau dengar semua ucapanku?!"

"Saya dengar Eyang..."

"Kau paham, mengerti?!"

"Paham dan mengerti Eyang," jawab Si Muka Bangkai yang saat itu masih melingkar di atas pasir pantai becek.

Si nenek berjongkok di tanah. Batu Penyusup Batin sesaat ditimang-timangnya. Lalu batu itu digelindingkan di atas pasir. Batu aneh bergulir membentuk cahaya terang biru dalam gelapnya malam. Beberapa jengkal di hadapan si kakek batu itu berhenti bergulir.

"Ulurkan tanganmu. Ambil batu itu!" perintah Eyang Kunti Api.

Si Muka Bangkai ulurkan tangan kanannya. Pada saat jari-jarinya menyentuh Batu Penyusup Batin, tiba-tiba wusss! Satu cahaya terang memancar. Si Muka Bangkai terpekik dan tarik tangannya. Ketika dia memperhatikan ternyata beberapa jari dan kuku-kukunya yang panjang hitam telah hangus kepulkan asap. Eyang Kunti Api tertawa bergelak.

"Tua bangka itu. Apakah dia hendak menipu atau mencelakai diriku..." pikir Si Muka Bangkai.

Ada rasa gusar dan juga sikap curiga terhadap sang guru. Bukan sekali ini dia diperlakukan seperti itu. Dulu ketika Eyang Kunti Api hendak memberikan ilmu Sepuluh Cakar Iblis yang juga dikenal dengan nama Sepuluh Jari Iblis, dirinya sempat dibuat leleh babak belur seolah dipanggang di atas bara api. (Baca serial Boma Gendenk berjudul ABG- Anak Baru Gendenk).

"Muka Bangkai, Batu Penyusup Batin bukan batu sembarangan. Batu itu mempunyai rasa dan perasaan seperti manusia. Dia tahu kalau kau saat ini punya satu rasa dan maksud tidak baik..."

Si Muka Bangkai diam-diam melengak kaget. "Bukankah dalam hatimu saat ini ada maksud keji hendak memiliki batu sakti itu seumur-umur?"

Dalam hati Si Muka Bangkai membatin. "Luar biasa, manusia satu ini bisa tahu apa yang ada di hatiku." Lalu pada sang guru si kakek berkata. "Eyang, maafkan saya kalau kau menduga begitu..."

"Aku bukan menduga. Tapi dalam hatimu memang ada maksud jahat itu!" bentak Kunti Api dan dua larik sinar merah menyambar dari ke dua matanya.

"Maafkan saya Eyang. Saya hanya ingin mengikuti apa petunjuk dan perintah Eyang," kata Si Muka Bangkai pula.

"Bagus! Jadi jangan berani berhati culas terhadapku dan terhadap Batu Penyusup Batin. Kau bisa celaka sendiri, kalau sekarang niat busuk di hatimu sudah hapus, kau boleh mengambil batu itu!"

Si Muka Bangkai tarik nafas panjang lebih dulu baru ulurkan tangan. Kali ini tak terjadi letusan. Tak terjadi apa-apa. Batu berwarna biru itu terasa sejuk tersentuh ujung jarinya. Cepat-cepat Si Muka Bangkai menggenggam batu sakti itu. Dengan susah payah dia lalu mencoba bangkit.

Ketika dia berhasil duduk di pasir dan memandang ke depan, sang guru Eyang Kunti Api tak ada lagi di hadapannya. Si Muka Bangkai timang-timang batu sakti itu beberapa saat lalu susupkan ke balik pakaian rombengnya yang kotor berselemotan tanah dan pasir. Di mulutnya tersungging seringai yang sulit diketahui artinya.

********************

5. KOPI DANGDUT

SOSOK samar itu mendekam di atas talang air bangunan toko. Pakaiannya baju dan celana ringkas hitam, di sebelah luar dilapisi sehelai mantel yang juga berwarna hitam. Di dada baju terpampang gambar gunung berwarna biru, dilatari gambar surya lengkap dengan garis-garis cahaya berwarna merah. Di kening terikat secarik kain merah. Rambut hitam panjang menjulai sampai ke bahu.

Sedari tadi sosok samar ini memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di ujung kawasan pusat perbelanjaan Pasar Baru. Pandangannya kemudian diarahkan pada tukang cendol gerobak yang asyik membaca potongan-potongan koran bekas sambil sesekali mengorek hidung. Sosok berpakaian serba hitam di atas atap menyeringai.

"Mengorek hidung, melayani orang. Cendol yang dijual bisa-bisa campur tahi hidung. Ha ha ha."

Orang berpenampilan aneh, sulit terlihat oleh mata biasa ini memandang berkeliling. Lalu pandangannya kembali ditujukan pada tukang cendol yang saat itu masih asyik membaca koran-koran bekas.

"Aku punya firasat, berita yang dibaca tukang cendol itu ada sangkut paut dengan tugas dari guru. Saatnya aku menyusup." Mahluk di atas atap toko berucap sendiri.

Tangan kanannya dimasukkan ke dalam saku jubah sebelah kanan di mana tersimpan Batu Penyusup Batin. Sesaat batu sakti itu diusapnya berulang-ulang. Sosok yang samar berubah lenyap, menjadi satu dengan cahaya matahari siang. Sosok itu kemudian terjun ke bawah. Seperti hembusan angin mahluk transparan aneh itu menyusup masuk kedalam tubuh tukang cendol yang masih asyik membaca.

Begitu sosok aneh masuk dan jadi satu dengan si tukang cendol, si abang merasakan tengkuknya dingin. Rasa dingin ini terus menjalar ke seluruh tubuh. Ada hawa aneh menggerayangi badannya. Kulitnya seolah merinding. Dia terus membaca. Tanpa sadar kalau saat itu ada mahluk tumpangan dalam dirinya ikut membaca apa yang dibacanya.

Boma Bantu Menangkap Penodong. Boma Tri Sumitro (sekarang dijuluki Boma Gendenk), yang belum lama berselang mengalami musibah di gunung Gede bersama teman-teman para pelajar SMU Nusantara III lagi-lagi membuat berita. Kali ini dengan keberanian seorang anak muda dia berhasil membantu meringkus penodong bajaj di Kiamat Raya, Jakarta Pusat. Berdasarkan keterangan Boma sewaktu diwawancara, pelajar ini mengatakan...

Bacaan si tukang cendol terhenti sampai disitu karena ada seorang pembeli. Seorang perempuan muda yang tengah hamil besar. Rupanya karena panas dan haus, perempuan ini ngiler melihat cendol. Tukang cendol letakkan potongan surat kabar di samping gerobak, siap melayani si pembeli.

Entah perasaan apa yang masuk dan menguasai dirinya, si tukang cendol mendadak berperilaku aneh. Senyum-senyum memperhatikan perempuan muda hamil yang duduk menyantap cendolnya. Selesai minum, ketika hendak membayar, tukang cendol itu berkata,

"Udah, nggak usah dibayar." Tukang cendol ini tidak menyadari, seperti tidak mendengar kalau saat itu suaranya mendadak berubah. Dia bicara tapi bukan suaranya.

"Lho...?" tentu saja perempuan hamil itu merasa heran. "Kok? Bener nih nggak usah bayar?"

"Bener," jawab tukang cendol. Lagi-lagi sambil senyum. Kali irii malah sambil kedip-kedipkan mata, membuat perempuan muda yang tadinya heran kini jadi merasa tidak enak.

"Ganjen! jangan, jangan ini abang ada maunya," pikir perempuan hamil. Lalu cepat-cepat dia hendak tinggalkan tempat itu. Tapi entah bagaimana tahu-tahu tangan kanan tukang cendol itu mengusap pipinya.

"Eh, Abang kok jadi kurang ajar!" Perempuan hamil jadi marah. Disekanya pipinya yang barusan diusap dengan perasaan jijik.

"Ala cuma pegang pipi aja masa sih marah. Habis situ. cakep banget deh!"

"Jadi kamu nggak mau dibayar tapi gantinya pengen nyolek orang seenaknya! Songong! Kurang ajar!" perempuan hamil tambah marah.

Suaranya yang keras membuat orang banyak yang ada di sekitar situ jadi palingkan kepala, lalu mendekat ingin tahu apa yang terjadi.

"Lagi hamil besar jangan suka marah. Nanti anaknya kaya saya lho," si tukang cendol berkata, tak ketinggalan senyum dan kedipan mata yang membuat jijik perempuan hamil.

"Amit-amit punya anak kayak kamu! Jelek! Bau!" kata perempuan itu lalu tendang roda gerobak cendol yang terbuat dari ban sepeda.

Didamprat seperti itu si tukang cendol bukannya kapok malah maju mendekat lalu benar-benar kurang ajar, tangan kirinya diusapkan ke perut hamil si ibu seraya berkata. "Orangnya dibilang jelek. Bau. Tapi cendolnya diminum habis. Enak ya cendolnya?"

Karuan saja perempuan hamil itu jadi tambah menggelegak amarahnya. Terlebih lagi ketika si tukang cendol tiba-tiba membungkuk, ulurkan kepala hendak mencium perutnya. Perempuan itu menjerit keras sambil meninju punggung tukang cendol.

Orang banyak berdatangan. Salah seorang diantaranya adalah suami perempuan hamil itu yang tadi rupanya pisah belanja dengan sang istri. Melihat perut istrinya dipegang-pegang malah mau dicium orang langsung dia lempar belanjaannya dan bak buk-bak buk. Tukang cendol terpaksa menerima hadiah bogem mentah suami perempuan hamil itu hingga babak belur. Urusan akhirnya sampai pada pihak berwajib.

Sebelum sampai di kantor polisi, mahluk transparan yang mendekam didalam tubuh tukang cendol melesat keluar sambil tertawa-tawa tanpa suara. Di kantor polisi anehnya tukang cendol tidak mau mengaku salah. Dia merasa tidak berbuat apa-apa. Apalagi melakukan hal-hal kurang ajar terhadap perempuan hamil itu.

"Sumpah pak, saya nggak berbuat kurang ajar sama ibu ini. Saya..." Suara tukang cendol telah berubah kembali ke suara aslinya.

"Aneh, suara tukang cendol kurang ajar ini kok jadi lain?" kata perempuan hamil dalam hati yang duduk di seberang meja pemeriksaan. Perempuan hamil dan suaminya diperbolehkan pulang.

Si tukang cendol ditahan. Malam hari, setelah dicatat nama da alamatnya, diberi nasehat dan pengarahan baru dilepas. Petugas menganggap dirinya kurang waras. Bagaimana mau memproses orang sakit ingatan. Jadi lebih baik dilepas saja.

Setelah itu, hanya beberapa saat setelah tukang cendol diamankan dan dibawa ke kantor polisi, seorang lelaki yang masih berdiri di dekat gerobak cendol melihat potongan surat kabar yang tadi ada di samping gerobak tiba-tiba bergerak, melayang di udara.

"Eh... eh...!" saking heran dan kagetnya orang itu hanya bisa berseru eh-eh sambil menunjuk-nunjuk. Beberapa orang yang memperhatikan tapi tidak melihat potongan surat kabar yang melayang di udara jadi geleng-geleng kepala. Salah seorang di antara mereka berkata. "Tadi tukang cendol, sekarang ada lagi orang geblek minta digebukin."

Sementara itu di atas atap toko, sosok samar bermantel hitam membuka lipatan potongan surat kabar yang diambilnya dari gerobak tukang cendol. Melanjutkan membaca berita yang tadi sempat dibacanya lewat tukang cendol. Belum habis bacaannya tiba-tiba dia mendengar orang menyanyi diiringi suara kerincingan.

Orang di atas atap angkat kepalanya, memandang berkeliling. Disana, di bawah jembatan penyeberangan, dekat deretan penjual buah dia melihat orang berkerumun membentuk lingkaran. Ingin tahu apa yang terjadi mahluk bermantel hitam ini segera melesat turun lalu ikut berkerubung di antara orang banyak.

Di tengah lingkaran orang ramai, seorang kakek berpakaian kumal, asyik menyanyi sambil menari. Di tangan kirinya ada sebuah kerincingan sedang di tangan kanan dia memegang satu tongkat yang dipukulkan ke gendang kecil yang tergantung di pinggang sebelah depan. Di atas kepala ada payung terbuka. Apapun gerakan yang dibuat kakek ini dalam menari, payung itu tidak jatuh-jatuh.

Yang lucu dipandang adalah muka dan mimik si kakek. Pipinya keriput kempot. Hidung pesek, mata belok. Gigi tonggos berat hingga bibir atas dan bibir bawah jarang saling ketemu. Kelucuan lainnya ialah kakek ini memakai celana agak gombrong kedodoran hingga sebagian pantatnya sebelah atas kelihatan tersingkap hitam.

Seorang kakek mengamen sambil menari dan sekaligus melakukan akrobat jarang kejadian. Karenanya banyak orang yang lalu lalang menyempatkan diri, berhenti sekedar melihat. Apa lagi si kakek lincah sekali melantunkan lagi Kopi Dangdut walau lidahnya agak pelo menyebut huruf er.

Kala kupandang kelip bintang jauh di sana.
Sayup teldengal melodi cinta yang menggema
Telasa kembali gelola jiwa mudaku
Kalena telsentuh alunan lagu semeldu kopi dangdut
Na... na... na Ni... ni... ni

Api asmala yang dahulu pelnah membala
Semakin hangat bagai ciuman yang peltama
Detak jantungku seakan ikut Hama
Aku tellena oleh pesona alunan kopi dangdut
Na... na... na Ni... ni... ni

Ilama kopi dangdut yang celia
Menyengat hati menjadi gailah
Membuat aku lupa akan cintaku yang telah lalu
Na... na... na Ni... ni... ni

Api asmala yang dahulu pelnah membala
Semakin hangat bagai ciuman yang peltama
Detak jantungku seakan ikut ilama
Aku tellena oleh pesona alunan kopi dangdut


Orang banyak tertawa bergelak. Seorang anak muda berteriak. "Kek, apa bener bisa ciuman? Paling-paling kepentok gigi duluan!"

Orang ramai tertawa riuh. Si pengamen mencibir sambil goyangkan pantatnya. Sehabis bernyanyi dan menari si kakek lalu mendatangi orang-orang yang berkerumun, Gendangnya dibalik.

"Seikhlasnya, Bos, Pak, Bu, Oom, Tante, anak muda..."

Banyak yang memberi uang, dimasukkan kedalam gendang. Tapi banyak pula yang mundur menjauh lalu pergi. Ketika dia sampai dihadapan sosok bermantel hitam, mahluk transparan ini jadi tersentak kaget.

"Kakek pengamen ini bukan manusia biasa. Dia mampu melihat diriku... Jangan-jangan."

Orang bermantel gelengkan kepala. "Seikhlasnya anak muda, seikhlasnya..." kata kakek pengamen.

Seorang anak lelaki berteriak. "Kek, kakek minta duit sama siapa? Kok ngomong sama tempat kosong?!"

"Seikhlasnya anak muda. Seikhlasnya...." si kakek berucap kembali pada si mantel hitam. Yang dimintai uang tetap gelengkan kepala. Lalu dengan perasaan tidak enak dia melangkah mundur. Si kakek buru-buru mengusap pinggang mantelnya dan berkata. "Terima kasih anak muda, terima kasih..." Si kakek balikkan badan. Sambil menggoyang-goyang kerincingan dan bernyanyi na na na ni ni ni dia melangkah pergi hingga akhirnya lenyap di balik seng sebuah gedung yang tengah dibangun. Orang yang tadi ramai berkerumun telah lama pergi.

Sosok bermantel tegak termangu di bawah jembatan pertokoan. Kemudian dia menyadari bagaimana mata orang-orang yang lalu lalang memperhatikan dengan pandangan aneh kearahnya.

"Orang-orang itu melihat diriku. Melihat tubuhku secara nyata... Ada yang tidak beres!"

Dia susupkan tangan kanan ke satu mantel. Darahnya berdesir. Mukanya mengelam, rahang menggembung. Batu Penyusup Batin yang dibawa dan disimpannya di dalam saku mantel lenyap! "Celaka! bagaimana bisa lenyap!" Dia memeriksa semua saku, memeriksa setiap sudut dan lipatan pakaian. Benda yang dicari tetap tidak ditemukan. "Kurang ajar! Jangan-jangan..." Dia ingat bagaimana tangan kakek pengamen tadi mengusap pinggang mantelnya. "Orang tua itu! Jahanam betul! Pasti dia yang mencuri batu sakti."

Matanya memandang ke arah lenyapnya si pengamen. Cepat dia mengejar. Orang banyak menghindar memberi jalan dengan pandangan heran. Dia tidak perduli. Setengah berlari dia mengejar kearah ujung pagar seng gedung yang sedang dibangun. Namun dia tidak menemukan orang yang dicari. Jalan di balik pagar seng itu hanya dipenuhi oleh mobil-mobil parkir. Kakek pengamen tidak kelihatan sama sekali.

Beberapa orang petugas Kamtib yang sejak tadi memperhatikan gerak gerik orang berpakaian aneh ini salah seorang diantaranya berkata pda teman-temannya.

"Siang bolong kok pakai mantel. Rambut gondrong, kepala diikat kain merah." petugas ini lalu mengajak teman-temannya mendatangi orang itu.

Melihat gelagat yang tidak baik orang bermantel cepat menyelinap ke balik pagar seng. Ketika dua orang petugas Kamtib sampai di tempat itu, orang bermantel tela,h menghilang di antara alat-alat besar bangunan gedung.

********************

6. HARI PERTAMA SEKOLAH

HARI pertama masuk sekolah suasana ramai dan hangat. Seperti biasa para pelajar berebutan mencari dan memilih bangku ma-mamasing. karenanya banyak di antara mereka sengaja datang sepagi mungkin agar bisa mendapatkan tempat duduk atau bangku yang sip. Di Kelas II-9 seperti waktu di Kelas I Boma duduk di baris kanan, ujung belakang.

Di sebelahnya Firman. Trini yang datang agak kesiangan berusaha mendapatkan tempat duduk di dekat bangku Boma. Namun sejak pagi Ronny dan kelompoknya sudah lebih dulu menduduki semua bangku sekitar Boma. Ronny di sebelah depan bangku Boma bersama Andi.

Di baris samping kiri duduk Rio bersama Vino. Yang membuat kesal Trini, di depan bangku Vino dan Rio duduk seorang anak perempuan, murid baru, pindahan dari Semarang. Wajah cakep, kulit hitam manis. Rambut sepinggang, bodi padat sintal. Namanya Sulastri. Trini mendekati anak ini lalu membujuk agar mau tukar tempat dengan bangkunya di barisan ke dua sebelah depan. Tapi Sulastri menolak. Caranya menolak tidak dengan membuka mulut menjawab melainkan dengan menggelengkan kepala berulang-ulang.

"Eh, kamu anak baru jangan belagu yauiv," gertak Trini sambil pelototkan mata.

Sulastri tidak menyahuti. Seperti tadi dia hanya gelengkan kepala. Cuma sekali ini mulutnya yang berbibir tebal bagus dimonyongkan sedikit. Vino dan Rio tertawa geli melihat kelakuan anak baru ini. yang membuat Trini tambah gondok Sulastri kelihatan ngobrol akrab dengan Boma dan teman-teman. Mau tak mau Trini jadi panas dan cemburu.

Ketika Trini kembali ke bangkunya di barisan depan Sulastri berkata. Suranya medok, khas Jawa Tengah. "Pasti di antara kalian ada yang ditaksir sama cewek tadi. Masa' ngotot mau duduk di sini kalau nggak ada apa-apanya." Mata Sulastri yang bulat besar memandangi Boma dan kawan-kawan satu persatu.

"Menurut kamu siapa dari kita-kita yang ditaksir sama dia?" tanya Vino.

Mata bulat Sulastri kembali menatapi wajah enam cowok di sekitarnya. "Dia, pasti dia yang ditaksir," kata Sulastri sambil menunjuk dengan ibu jari tangan kanannya ke arah Boma.

"Hebat! Bukan cuma mata yang tajem, perasaannya juga tajem. Buktinya bisa nebak!" kata Ronny.

"Kalau kamu naksir nggak sama dia?" tanya Vino ajukan pertanyaan konyol.

Sulastri runcingkan bibir tebalnya. Lalu menggeleng.

"Kok nggak naksir sama cowok begini kece?" Andi yang bertanya.

"Aku nggak suka sama cowok jangkung," jawab Sulastri.

"Kenapa?' tanya Ronny.

"Takut medel!"

Gelak tawa memenuhi sudut kelas. "Di antara kita-kita ada nggak yang kamu taksir?" Vino bertanya sambil kedipkan matanya pada Boma.

"Hemm..." Mata bulat Sulastri memandang berputar. Dia mengerling sekilas ke arah Vino lalu berkata. "Au ah! Gelap!"

Kembali Boma dan kawan-kawannya tertawa riuh.

"Hebat," puji Ronny. "Anak Semarang udah tau istilah Prokem anak Jakarta."

"Sulastri, bol" kata Sulastri sambil runcingkan mulut dan busungkan dada lalu senyum-senyum membuat anak-anak itu jadi tambah suka sama cewek baru ini.

"Jadi di antara kita nggak ada yang ditaksir, nih?" ujar Vino.

Didesak begitu Sulastri tidak kehabisan jawab. "Gimana kalau kuaammuu saja."

"Mati gua!" kata Vino sambil tekap kepalanya.

"Rasain lu Vin!" kata Ronny. Kembali sudut kelas riuh oleh gelak tawa Boma dan kawan-kawannya.

Trini kembali ke bangkunya tapi tidak langsung duduk. Dengan muka asem dia memandang ke sudut kelas di mana Boma dan kawan-kawan duduk tidak habis-habisnya tertawa. Saat itu masih ada satu lagi kekesalan Trini. Entah bagaimana Gita Parwati yang tidak disukainya itu duduk tepat di belakangnya. Padahal waktu di kelas satu dia dan Gita duduk berjauhan. Trini merasa diawasi dan dicibiri dari belakang oleh si gendut ini.

"Kayaknya si gendut ini sengaja mau nyari gara-gara. Nanti gua kerjain lu," gerendeng Trini dalam hati.

Allan, yang juga anak baru di SMU Nusantara III satu kelas dengan Boma dan teman-temannya. Bangkunya baris paling kiri, kedua dari depan. Sesekali anak ini melirik ke arah Gita. Kalau kebetulan bertemu pandang Gita melemparkan senyum.

"Eh, lu liatin Si Allan," bisik Vino pada Rio.

"Baru hari pertama penyakit asmanya sudah kambuh. Bentar-bentar ngelirik Gita."

Mendengar ucapan Vino, Sulastri anak baru berkata. "Pasti yang icu sama yang icu punya hubungan icu-icu."

Rio dan Vino senyum-senyum. "Wah, mata temen kita ini bener-bener tajem," kata Rio.

"Kamu punya icu-icu nggak di Semarang?" tanya Vino.

Sulastri mencibir. Lalu seperti tadi dia geleng-geleng kepala.

"Kalau gitu kamu mau dong jadi icu-icunya Vino?" tanya Rio enak saja.

Vino langsung menyikut iga temannya itu. Sulastri mencibir. Senyum-senyum. Lagi geleng-geleng kepala. Vino berbisik ke telinga Rio. "Ni anak kebanyakan ngegelengnya. Tapi gua yakin kalau dicipok pasti kepalanya dipanteng diem..." Vino dan Rio sama-sama tertawa.

"Situ berdua ketawain aku, ya," ujar Sulastri.

"Nggak, kami ngetawain icu-icu," jawab Vino.

Sulastri tertawa lepas tapi sadar lalu cepat-cepat menutupkan tangannya di atas mulut. Lalu dia menunjuk dengan ibu jarinya ke arah Boma. "Yang itu namanya Boma ya?"

Rio mengangguk. "Boma. Lucu ya namanya... Boma singkatan Bom Atom?" ujar Sulastri.

Boma cuma senyum. Sebaliknya Vino bertanya. "Lastri, kamu mau nggak di Bom Atom sama Boma?"

"Walah, ya tambah medel aku! Wong aku takut sama cowok jangkung kok!" jawab Sulastri.

Boma dan kawan-kawannya tertawa cekikikan. Jawaban Sulastri bukan cuma polos tapi aksen logatnya kedengaran lucu. Gita bangkit dari bangkunya. Dia melangkah ke belakang kelas. "Ada apa sih dari tadi. Ribut banget. Boleh ikutan nimbrung nggak?"

"Gita, kenalin dulu dong. Temen baru dari Semarang. Namanya Sulastri," kata Ronny.

"Hallo teman," sapa Gita.

"Hallo juga," jawab Sulastri. Dua anak perempuan itu saling bersalaman. "Gita, makannya apa sih?" Sulastri tiba-tiba bertanya.

"Emangnya kenapa?" tanya Gita Parwati yang sudah menduga kalau dirinya bakal dijadikan bahan jahilan.

"Kok badannya subur banget," jawab Sulastri. "Aku jadi kepingin iri."

Gita Parwati tertawa lebar. "Gita, boleh tanya lagi nggak?" ujar Sulastri. Matanya yang bulat memandang nakal ke dada Gita Parwati yang gembrot.

"Nanya apa?" Gita Parwati tahu kalau dia mau dijahilin lagi. "Beha kamu nomor berapa sih?"

"Eh, gila lu!" kata Gita Parwati setengah terpekik karena tidak menyangka Sulastri akan bertanya sejahil itu. Anak perempuan gemuk ini kelihatan mau marah, tapi tidak jadi. Malah tertawa cekikikan.

"Sableng juga kamu Lastri," kata Vino. "Segala perabotan orang ditanyain."

Tangan Gita Parwati meluncur mencubit pipi Sulastri. "Kamu antik deh," ucap cewek gendut ini. "Mulain hari ini aku kasih julukan mau nggak?"

"Asal julukannya bagus aja."

"Si Centil. Julukan kamu Si Centil," kata Gita Parwati pula.

Sulastri terdiam. Anak-anak yang lain sudah pada tertawa. Sulastri akhirnya ikutan tertawa lalu manggut-manggut. "Julukannya nggak jelek kok. Aku nerimo aja."

"Tapi ada syaratnya lho. Biar julukannya afdol kata Gita.

"Syarat apa?" tanya Sulastri. "Traktir di warung baksonya Mang Asep."

"Setuju!" kata Rio dan Andi berbarengan.

Sulastri bengong. Gita pegang lengan Sulastri. Anak baru ini lalu direndeng keluar kelas. Boma dan kawan-kawannya mengikuti sambil tertawa-tawa. Sambil merendeng Sulastri Gita memberi isyarat pada Allan. Melihat isyarat Gita, Allan langsung bergabung. Ketika melewati Trini, anak perempuan ini tiba-tiba pegang tangan Boma.

"Bom, aku mau ngomong."

"Rin, ayo ikutan. Kita ngomong di warung Mang Asep. Cewek baru itu mau traktir," ajak Boma

Uh... Nggak usah deh. Nanti aja ngomongnya," jawab Trini sambil pasang wajah cemberut dan memandang ke arah Sulastri.

7. BAKU HANTAM DI WARUNG BAKSO MANG ASEP

KETIKA Boma dan kawan-kawan sampai diwarung bakso Mang Asep, tempat itu sudah dipenuhi oleh anak-anak kelas lain. Di antara mereka terdapat Jumhadi alias Si Bodong dan Anton dari Kelas II-6. Jumhadi membuang muka begitu melihat rombongan Boma lalu membisikkan sesuatu pada Anton. Dua anak ini seperti menghindar, pindah ke pintu belakang warung. Tapi Ronny sudah sempat melihat Anton.

"Ron, kau mau kemana?" tanya Boma ketika melihat Ronny Celepuk memisahkan diri, berbalik melangkah ke pintu keluar warung. Boma sudah punya firasat apa yang mau dibuat temannya ini.

"Tenang aja Bom," jawab Ronny. "Kamu sama teman-teman terus aja ngebakso. Aku mau beresin urusan sama Si Anton. Dicari-cari baru sekarang nongol."

"Ron, sabar dikit. Baru juga masuk sekolah. Yang udah lupain aja," kata Boma membujuk.

"Enak aja kamu Bom. Kita dilemparin telor busuk. Dibikin malu di depan orang banyak. Kamu sama Firman dipukulin orang. Udah gitu dia belagak bodoh, kayak yang nggak punya salah. Nyuruh orang. Pengecut!"

Boma masih berusaha menahan Ronny. Tapi Ronny agaknya sudah tak bisa dibujuk. Anak ini melangkah ke pintu keluar warung. Boma merasa heran. Anton dan Jumhadi berada dipintu belakang warung, mengapa Ronny bukan langsung saja mendatangi tapi malah keluar warung.

"Ron, tu anak ada dekat pintu belakang warung. Kok kamu malah jalan ke pintu keluar?" tanya Boma.

"Taktik Bom. Taktik. Liat aja..." Ronny keluar dari warung, mengambil jalan berputar.

Boma melirik ke pintu belakang. Dilihatnya Si Bodong dan Anton tergesa-gesa meletakkan mangkok kosong di meja dapur lalu cepat-cepat keluar dari pintu belakang. Boma baru mengerti apa maksud taktik Ronny. Kalau didatangi dari depan Si Bodong dan Anton pasti menghindar atau kabur lewat pintu belakang.

Tapi sebelum sempat keluar, sosok Ronny Celepuk sudah menghadang di pintu hingga dua anak itu tak mungkin meneruskan langkah. Si Bodong jadi pucat. Tak berani bergerak tak berani bersuara. Anton yang lebih tegap tapi kalah pendek dari Ronny usap kuduknya yang tertutup rambut gondrong.

"Eh, apa-apaan lu Ron ngalangin jalan gua?" Anton meradang.

"Lu yang apa-apaan!" bentak Ronny. Mukanya berubah kelam, angker. "Ngapain lu nyuruh Si Bodong ngelemparin aku sama Boma pake telor busuk?!"

"Ngelemparin? Ngacok aja lu! Siapa yang nyuruh!" tangkis Anton.

"Itu, monyetnya masih hidup. Si Bodong udah ngaku!"

"Lu kroyok terang aja dia ketakutan. Siapa juga kalau digebukin bakal ngaku yang nggak-nggak!"

"Jadi lu nggak ngaku nyuruh Si Bodong ngelemparin telor busuk?!"

"Mau lu apa sih. Jangan sok! Kalau mau selamat minggir aja!"

"Oo begitu," Ronny menyeringai. Dia membalikkan badan, seolah mau menghindar pergi dari hadapan Anton. Tapi tiba-tiba tidak terduga setengah jalan sosok Ronny Celepuk berbalik kembali dan tinju kanannya melayang ke depan, mendarat tepat di dagu Anton. Anton hanya sempat keluarkan keluhan pendek. Tubuhnya tersandar ke pintu warung lalu merosot ambruk. K.O. alias pingsan.

Beberapa orang anak Kelas II-6 teman-teman Anton begitu melihat teman mereka terkapar serta merta menyerbu ke belakang. Boma dani teman-teman tidak tinggal diam. Mereka cepat bergerak. Tapi lebih cepat dari itu, tidak disangka-sangka Allan yang selama ini kelihatan rada-rada bloon sudah lebih dulu melompat menghadang enam orang anak Kelas II-6 yang mau mengeroyok Ronny.

"Jangan main keroyok! Anton sama Ronny berantem satu lawan satu!" Allan berdiri dengan dua kaki merenggang. Mukanya yang jerawatan kelihatan merah angker. Dua tangan di sisi dengan jari-jari ditekuk.

Boma, Ronny dan teman-temannya yang lain terkesiap. Tidak mengira Allan punya keberanian seperti itu serta punya sifat membela teman yang begitu hebat.

Isman, salah seorang anak Kelas II-6 teman Anton tidak pandang sebelah mata. Anak ini menerjang sambil menendang ke arah Allan. Agaknya Isman menguasai salah satu ilmu bela diri. Mungkin taekwondo. Karena tendangannya tinggi keras dan lurus membeset ke arah kepala Allan. Kalau sampai tendangannya itu mengenai sasaran, Allan pasti luka parah, bisa-bisa semaput.

Diserang orang, Allan menghadapi tenang sekali. Dia hanya menggeser kaki kiri sedikit. Kepala dimiringkan ke kiri. Tangan kiri mencekal betis lalu tangan kanan kirimkan tiga kali jotosan kilat ke paha Isman. Anak kelas II-6 itu menjerit kesakitan. Allan dorong kuat-kuat kaki yang dipegangnya hingga lawan hampir jatuh terjengkang di tanah kalau tidak cepat ditahan teman-temannya.

Halaman belakang warung jadi ramai. Mang Asep muncul tapi bingung sendiri tak tahu mau berbuat apa. Gita menyeruak di antara kerumunan para pelajar, memegang lengan Allan terus menarik anak ini. Anak-anak Kelas II-6 menolong Anton yang saat itu sudah setengah siuman. Lalu membawa Anton ke dekat pagar samping sekolah. Yang lain lain memapah Isman yang tepin-cangpincang kesakitan.

"Gile, gue nggak nyangka Si Allan punyai maenan juga," kata Vino pada Boma.

Ronny melangkah disamping Allan sambil tepuk-tepuk bahu anak itu. Trini muncul dari samping kelas. Dia tunjukkan wajah sebal melihat Gita dan Allan. Tanpa menegur Ronny, Vino, Andi, Firman dani Rio yang dipapasinya anak perempuan ini menemui Boma, memegang lengan Boma, berusaha menarik anak laki-laki ini ke dekat bangku batu di pinggir lapangan basket.

"Ada apaan sih Bom. Kok pada main gebuk sama-sama satu sekolah? Tawuran sama satu sekolah! Kalau pada jago sana tawuran sama sekolah lain."

"Rin, jangan ngomel sama aku. Semua pasti ada sebabnya," jawab Boma.

"Aku sudah tahu. Pasti gara-gara kamu sama Ronny dilemparin telor busuk waktu main band dulu."

"Itu baru sebagian..."

"Maksud kamu?" tanya Trini.

"Kamu tau nggak. Dua hari lalu waktu aku ke Gramedia sama Firman, ada dua orang suruhan ngegebukin aku..."

"Apa?" Trini terkejut. Dia hendak bertanya lagi. Tapi saat itu dilihatnya Dwita berdiri di depan pintu kelas II-3, memandang ke arah mereka. Trini buru-buru menarik tangan Boma meninggalkan tempat itu. Boma hentikan langkahnya. Di depan sana dilihatnya seorang Pegawai Tata usaha Sekolah mendatangi Ronny dan Allan.

"Bom, kita pulang aja. Hari ini juga belum ada pelajaran," ajak Trini.

Boma menggeleng. "Aku mau kumpul sama teman-teman dulu, Rin."

Trini kelihatan agak kesal. "Terserah kamu. Kalau mau berantem lagi silahkan aja!" Anak perempuan ini lalu masuk ke dalam kelas. Maksudnya mau mengambil tasnya lalu pergi. Tapi dia terkejut ketika mendapatkan tasnya tidak ada lagi di bangku. Dicari-cari sekitar situ tetap tidak bertemu. Ditanyakan pada teman-temannya yang kebetulan ada dalam kelas, mereka semua menjawab tidak tahu. Trini ingin marah, tapi tidak tahu mau marah sama siapa. Trini keluar dari kelas.

Saat itulah dia melihat tas miliknya tergeletak di pinggir taman yang memisahkan dua bangunan sekolah. Sebagian dari tas itu terapung di atas got. Anak perempuan ini memaki sendiri dalam hati. "Pasti ada yang sengaja nyemplungin tas ini ke got."

Trini mengambil tasnya yang basah, memandang berkeliling. Menduga-duga siapa yang berlaku jahat membuang tasnya ke dalam got. Marah dan kejengkelan Trini semakin menjadi-jadi ketika dia melangkah ke kamar mandi sekolah untuk mencuci tasnya yang kotor, kena air got, di ujung taman sana dilihatnya Dwita sudah berkumpul dengan Boma, Ronny dan yang lain-lainnya. Hanya ada satu cewek lain bersama mereka. Gita Parwati. Dimana Sulastri, anak baru itu?

Entah siapa yang melapor, peristiwa baku hantam di belakang warung Mang Asep itu sampai pada Kepala Sekolah. Empat anak yang langsung terlibat Ronny, Allan, Anton dan Isman dipanggil ke Kantor. Mereka diberi peringatan keras. Diancam akan dikeluarkan dari sekolah jika kejadian seperti itu terulang kembali, keempat anak itu disuruh saling bersalaman.

Tadinya Ronny hendak menerangkan sebab musabab terjadinya perkelahian itu. Tapi setelah dipikir dia merasa tidak ada gunanya. Satu hal dia yakin, persoalan ini tidak akan selesai sampai di situ. Peristiwa Boma menghajar dua orang di toilet toko buku Gramedia pasti akan ada buntutnya. Berat dugaannya bahwa Anton juga punya peranan di balik kejadian itu. Dan dirinya sendiri jelas akan terlibat karena dua orang tak dikenal itu sebenarnya mencari dirinya.

Sewaktu keluar dari kantor kepala sekolah Ronny dan Allan malah sempat mendengar Anton berkata pada Isman. "Gue abisin! Pokoknya nggak ada cerita. Musti gue abisin!"

********************

8. TRIPPING

SEJAK tadi Gita memperhatikan Allan. Anak lelaki itu sebentar-sebentar kelihatan memegangi kepala. Sapu tangannya sudah basah dipergunakan untuk menyeka muka, tengkuk dan kedua lengan. Begitu bel istirahat berdentang dan guru Matematika keluar dari kelas Gita langsung mendatangi Allan.

"Lan, kamu sakit?' tanya Gita.

"Nggak, cuman kurang tidur. Sedikit pusing."

"Muka kamu kok pucat?" Gita memegang lengan anak lelaki itu. "Ih, keringatmu dingin amat."

"Iya tu Git, dari tadi dia nyekain keringat terus." Kawan sebangku Allan berkata lalu keluar dari kelas.

"Kamu pulang aja Lan. Aku anterin sampai depan. Naik bajaj."

"Nggak usah, nanti juga sembuh," jawab Allan.

Ronny, Boma dan yang lain-lainnya mendatangi Allan. Mereka juga menyuruh agar Allan pulang saja.

"Nanti aku yang lapor sama Wali Kelas," kata Andi.

Allan menggeleng. Dia coba berdiri. Tapi agak sempoyongan. Anak ini berusaha menarik nafas panjang.

"Lan, kalau sakit jangan dipaksa. Pulang aja." Kata Boma.

Allan duduk kembali. Menyeka dua lengannya dengan sapu tangan yang sudah basah. Gita mengambil sapu tangan bersih dari dalam tas, lalu diberikan pada Allan.

"Kamu benaran nggak mau pulang?"

Allan diam. Seolah dia tengah berpikir untuk mengambil keputusan. Ketika lonceng masuk berdentang anak itu akhirnya berdiri. "Baiknya aku memang pulang aja," katanya.

"Buruan, sebelum guru Biologi masuk," kata Gita. "Ayo aku anterin."

"Nggak usah Git. Aku masih kuat jalan sendiri. Teman-teman, aku pulang. Di, tolong bilangin Wali Kelas."

"Beres, nanti aku lapor. Hati-hati Lan," kata Andi.

Allan mengambil tasnya. "Aku kawatir," kata Gita. Dia memandang pada Boma.

Saat itu guru Biologi sudah keluar dari Kantor Sekolah, tengah berjalan menuju Kelas II-9.

"Vin," kata Boma pada Vino. "Cepetan kamu susul Si Allan. Anterin sampai dia naik bajaj."

Vino segera keluar. Setengah berlari dia menyusul Allan. Tapi sampai di lapangan basket Allan sama sekali tidak kelihatan. Padahal kalau anak itu pulang pasti melewati lapangan itu. Vino berhenti, diam bersender di dinding bangunan sekolah. Memandang ke arah pintu gerbang.

"Heran, cepet banget ngilangnya tu anak. Kalau beneran lagi sakit nggak mungkin jalannya bisa cepet. Mungkin dia cuma pura-pura sakit. Tapi nggak mungkin. Dia keringatan gitu kok. Mukanya pucat..."

Tidak puas Vino pergi menemui penjaga pintu gerbang sekolah, tapi nggak ada yang keluar. Memangnya ada apa?"

"Nggak, nggak ada apa-apa," jawab Vino lalu kembali ke arah sekolah.

Di lapangan basket dia berhenti. Memandang berkeliling. Di ujung lapangan basket ada sederet pohon besar. Di belakang deretan pohon ini ada satu bangunan tua yang dipergunakan sekolah sebagai gudang. Para pelajar jarang berada di sekitar tempat ini karena tempatnya selain kotor tidak terurus juga kabarnya pernah ada ular. Tetapi tidak semua pelajar takut berada di tempat itu. Kalau di antara mereka ada yang berani berada di sekitar bangunan tua itu pasti ada apa-apanya.

Vino ingat kisah Ronny dan Sarah. Waktu itu masih sama-sama di Kelas I. Ronny Kelas 1-4 Sarah Kelas 1-2. Waktu itu hari Sabtu, hari terakhir sekolah sebelum liburan panjang. Karena terdesak ingin kencing sekali Vino terpaksa membuang hajat di balik deretan pohon besar di ujung lapangan basket.

Selain sudah jauh sore, sekolah sudah sepi dan hari agak gerimis pula, Vino merasa tidak ada yang akan melihat dia kencing di balik pohon itu. Dia memang tidak dilihat orang tetapi sebaliknya tidak terduga dia justru melihat orang. Rasa kepingin kencing anak lelaki itu langsung terhenti mandek ketika dilihatnya Ronny dan Sarah saling berpeluk dan berciuman di balik bangunan gudang.

"Brengsek Si Ronny," kata Vino dalam hati. "Kesambet setan gudang baru nyahok!" Anak ini cepat-cepat pergi dari tempat itu.

Waktu menjagai Boma di Rumah Sakit PMI Bogor (baca serial Boma Gendeng berjudul Suka Suka Cinta) Vino pernah mengatakan pada Ronny bahwa ada anak yang melihat Ronny ciuman dengan Sarah di gudang. Vino tidak mengatakan bahwa dia sendiri yang menyaksikan kejadian itu.

Mula-mula Ronny hendak menyangkal. Tapi kemudian dia malah bilang. "Kalau cuma ciuman nggak bakal ketularan AIDS Vin. Percaya gue!" Ronny lalu tertawa cekikikan.

Diujung lapangan basket Vino hentikan langkah. Dia merasa bimbang, apa terus menyelidik ke arah pepohonan atau kembali saja ke kelas. Akhirnya dia memutuskan melangkah ke arah deretan pohon-pohon. Belum lima langkah bergerak, Vino berhenti. Dadanya berdebar. Matanya tak berkesip memandang ke depan. Di antara celah dua pohon dia melihat punggung mengenakan kemeja putih seragam sekolah. Vino miringkan kepalanya sedikit. Dia bisa melihat jelas kini. Yang dilihatnya di balik bangunan gudang tua itu memang Allan.

Saat itu Allan tengah berdiri di samping gudang. Tangan kiri bersitekan ke dinding bangunan. Bahu dan dadanya kelihatan turun naik. Kepala mendongak ke atas seperti sedang melihat sesuatu di atas sana. Lalu kepala itu digoyang-goyangkan beberapa kali.

"Lan, kamu lagi ngapain?" ujar Vino dalam hati. Matanya terus memperhatikan.

Allan kemudian kelihatan membungkuk. Mengambil sesuatu dari dalam tas sekolahnya. Vino tidak dapat melihat benda apa yang diambil Allan. Yang jelas benda yang diambil itu kemudian dimasukkan ke dalam mulut. Lalu dari dalam tas Allan mengeluarkan Aqua gelas plastik. Merobek pinggiran gelas, meneguk habis seluruh isinya. Bahu dan dadanya masih bergoyang. Allan bersandar ke dinding gudang. Kepala digoyanggoyang. Mulut mendesah tiada henti. Lalu perlahan-lahan tubuh anak itu meluncur kebawah. Sepasang kakinya melejang-lejang. Goyangan kepalanya semakin keras.

"Gila! Ya ampun. Si Allan ngeprit!" kata Vino. Timbul rasa takut. Dia memutar tubuh, tinggalkan tempat itu dengan tengkuk terasa dingin. Tapi setengah jalan dia bingung sendiri. Apakah dia kembali ke kelas atau ke mana? Seandainya dia masuk kelas bagaimana kalau guru Biologi bertanya dia dari mana. Apa jawabnya. Dia tidak mungkin, tidak akan mau menceritakan apa yang dilihatnya pada guru kelas. Lalu bagaimana sebaiknya? kembali ke tempat Allan tripping? Dia ngeri. Sampai berapa lama Allan akan berada dalam keadaan seperti itu?

"Ah, Si Allan itu bikin perkara aja!" Vino akhirnya pergi ke warung bakso Mang Asep. Untungnya Mang Asep menutup warungnya lebih siang karena ada urusan. Vino terduduk di bangku, mengusap rambut berulang kali. Kepalanya diletakkan di atas dua lengan yang disilangkan. Vino tidak tahu entah berapa lama dia berada di warung itu. Baru sadar dan kaget ketika lonceng sekolah berdentang.

Vino tidak segera kembali ke Kelas II-9. Dia berdiri dulu di sudut luar kelas. Menunggu sampai guru Biologi keluar baru dia melangkah menuju kelas. Itupun tidak masuk. Dari luar anak ini melambaikan tangannya, memberi tanda pada Boma, Ronny dan yang lain-lainnya. Melihat Vino muncul sambil melambaikan tangan, anak-anak itu segera bergegas keluar kelas.

"Kamu disuruh ngantar Allan malah ikutan ngilang!" ujar Ronny.

"Vin, kamu nganterin Allan sampai kerumahnya?" tanya Gita yang tiba-tiba muncul.

"Aa... Iyya... Sampe rumahnya," jawab Vino.

"Duh, perut gue mules. Tunggu, aku ke wc dulu," kata Vino sambil pegangi perutnya. Tanpa dilihat Gita Vino kedipkan matanya pada Boma. Boma segera mengikuti Vino ke wc. Ronny memperhatikan. Lalu menyusul. Andi, Rio dan Firman segera pula angkat kaki mengikuti.

"Heran, masa sih semuanya pada mules," kata Gita Parwati yang ditinggal sendirian.

Begitu berada di dekat wc, belum ditanya Vino sudah berkata. "Malapetaka Bom, malapetaka."

"Kenapa lu Vin," tanya Boma.

"Apa yang kamu duga bener. Teman baru kita itu..."

"Siapa? Si Allan?" tanya Boma.

"Kenapa dia? Di mana dia sekarang? Betul kamu anterin sampe rumah?" tanya Andi.

"Aku... aku ngeliat dia. Lagi tripping di dekat gudang sekolah."

"Tripping di sekolahan? Apa gue bilang! Gue udah nyangka ada yang nggak bener sama cowoknya Si Gita itu. Tapi kalau sampai ngeprit di sekolahan sih keliwatan banget. Gila tu anak!" Boma menowel hidungnya.

"Katanya sakit. Kok malah ngeprit!" Andi mengomel tapi setengah tidak percaya.

"Kalau ketauan pasti dikeluarin!" kata Ronny.

"Si Allan... kenapa sih lu dikasih nama begitu. Si Allan jadi Sialan!" ucap Rio.

"Di mana tu anak sekarang?" tanya Ronny.

"Aku rasa masih di gudang," jawab Vino.

"Ayo kita samperin ke sana. Paling nggak dia jangan sampai ketauan orang lain," kata Boma.

"Kita nggak masuk kelas?" tanya Vino.

"Pelajaran apa sekarang?" ujar Rio.

"Bahasa Inggris. Ibu Renata nggak ada. Kabarnya udah berapa hari sakit. Kelas kosong. Nggak tau kalau ada guru pengganti," menjelaskan Firman.

"Kita ke gudang aja!" kata Boma.

Enam anak kelas II-9 itu, Vino di depan sekali bergegas menuju bangunan gudang tua. Sampai di sana keadaannya sepi-sepi saja.

"Mana Si Allannya?" tanya Boma pada Vino.

"Tadi... tadi dia berdiri di situ, lalu duduk..." Vino menunjuk ke arah gudang.

"Lu becanda apa gimana Vin," tanya Ronny.

"Kamu ngibulin kita-kita?!" ujar Rio.

"Sumpah! Tadi dia ada di sini. Aku ngeliat sendiri dia nenggak sesuatu, lalu tripping..."

"Tadi kapan? Udah berapa lama?" tanya Boma.

"Setengah jam lebih. Mungkin sekitar empat puluh menit. Pokoknya nggak lama sesudah aku keluar ngikutin dia. Waktu dia ngeprit aku ketakutan sendiri. Aku pergi ke warungnya Mang Asep..."

Boma, Ronny dan yang lain-lainnya jadi saling pandang. "Mungkin dia pulang. Kabur..." kata Vino.

"Orang tripping mana bisa kabur..." ujar Boma.

"Mungkin aja Bom. Tergantung jenis obat yang ditelan," ucap Ronny.

"Tanya sama penjaga pintu. Kalau dia pulang pasti penjaga liat," kata Vino pula.

Tapi di pintu gerbang sekolah Pak Saud si penjaga pintu tidak ditemukan. Anak-anak itu kembali ke Kelas II-9.

"Gimana kalau Gita nanya?" tanya Rio.

"Bilang aja Allan memang sudah pulang," jawab Ronny.

Boma menyambung. "Awas, jangan ada yang ngebocorin. Kalau guru apa lagi Kepala Sekolah sampai tau, kita bisa rusak semua."

"Aku masih nggak bisa percaya Si Allan itu bener-bener ngeprit," kata Ronny.

"Vino jelas-jelas ngeliat dia nenggak sesuatu pakai minum Aqua," sahut Boma. "Kau tau nggak Ron. O*at setan sebangsanya ecs*asy kata orang emang musti diminum sama Aqua baru bisa Ron?"

"Aku baru inget" kata Andi. "Tetangganya Si Allan pernah bilang kalau tu anak sering pergi ke Ancol. Jangan-jangan dia juga tripping di sana."

"Gua sih cuman kasian sama Gita. Menurut kalian, perlu nggak dikasih tau sama si gendut itu?"

"Nanti Ron, biar aku yang ngomong," jawab Boma. "Urusan ini kita musti hati-hati. Gimanapun juga Allan teman kita. Ingat, dia pasang badan waktu ngebelain kita berantem sama si Anton."

********************

9. JANJI KAWIN SINTO GENDENG

Puncak Gunung Gede. Sejak fajar menyingsing Sinto Gendeng melangkah gelisah. Saat itu sang surya telah menerangi jagat dan sinarnya mulai terasa terik. "Tua bangka geblek!" Si nenek tiba-tiba semprotkan makian. "Sudah hampir dua minggu berlalu. Masih belum kelihatan mata hidungnya! Jangan-jangan dia memang tidak mampu melakukan! Tapi sesumbar minta kawin segala! Padahal anunya pasti tidak lebih bagus dari terong busuk! Hik hik hik! Kawin saja sama kambing! Hik hik hik...!"

Sambil mengomel dan tertawa cekikikan Sinto Gendeng terus melangkah. Ternyata dia bukan melangkah sembarangan, bukan melangkah di atas tanah. Saat itu di pedataran kecil tak jauh dari pondok kayu kediamannya menancap dua lusin batang bambu setinggi satu setengah tombak. Batangan-batangan bambu ini ditancap demikian rupa hingga membentuk empat persegi, enam memanjang, empat melebar.

Setiap ujung bambu sengaja dipotong runcing, mencuat ke langit. Dan di atas ujung-ujung bambu runcing inilah si nenek perot melangkah seenaknya. Sesekali masih saja mengomel, sesekali tertawa cekikikan. Kalau saja dia tidak memiliki ilmu kesaktian, sudah sejak tadi dua kaki Sinto Gendeng yang tinggal kulit pembalut tulang itu amblas luka parah dimakan ujung bambu runcing. Kalaupun dia kebal tapi tidak memiliki ilmu mengimbangi dan meringankan tubuh yang tinggi, baru bergerak tiga empat langkah niscaya sudah jatuh bergedebukan di tanah!

"Matahari makin panas, aku kepingin kencing! Kakek geblek itu masih belum muncul! Sial!"

Kembali Sinto Gendeng memaki. Perlahan-lahan dia angkat ke atas kain panjang yang melilit tubuhnya. Enak saja dia hendak kencing sambil berjalan di atas bambu itu. Tapi maksudnya tertahan ketika tiba-tiba dikejauhan terdengar suara kerincingan keras sekali. Ditimpai tabuhan gendang. Lalu disusul suara Orang bernyanyi.

"Na... na... na Ni... ni... ni

Kala kupandang kelip bintang jauh di sana

Sayup teldengar melodi cinta yang menggema

Telasa kembali gelola jiwa mudaku

Kalena telsentuh alunan lagu semeldu kopi dangdut.

Na... na... na Ni... ni... ni"

Tak lama kemudian dari balik deretan pepohonan, diujung pedataran kecil muncul sosok seorang kakek bermuka cekung, mulut tonggos. Dia berjalan sambil menari. Tangan kanan menabuh gendang kecil yang tergantung di pinggang. Tangan kiri menggoyang kerincingan. Di atas kepalanya terkembang payung kecil terbuat dari kertas. Celananya yang gombrong dekil kedodoran hingga sebagian pantatnya yang hitam tersingkap. Lucunya pantat yang setengah tersingkap itu diogel-ogel kian kemari.

Di atas bambu runcing Sinto Gendeng hentikan langkahnya. Nenek ini geleng-geleng kepala. "Dasar geblek!" maki guru Pendekar 212 Wiro Sableng ini. Lalu dia berteriak. "Pelawak Sinting! Hentikan nyanyianmu! Bising tidak enak! Kupingku pengang!" Habis berteriak Sinto Gendeng kembali melangkah dari bambu satu ke bambu lain.

Kakek aneh yang barusan muncul dongakkan kepala. Lalu tertawa gelak-gelak. Tangan kanan masih terus menabuh gendang, tangan kiri menggoyang kerincingan.

"Sinto yang geblek aku atau kau! Apa yang kau lakukan? Apa tidak ada tempat beljalan yang lebih baik! Dasal nenek konyol!"

"Ngomong saja tidak becus! Berani memaki!"

"Ha ha ha!" Si kakek yang dipanggil dengan nama Pelawak Sinting kembali tertawa gelak-gelak.

Jika pembaca ingin tahu lebih lanjut siapa adanya kakek berjuluk Pelawak Sinting ini harap baca serial Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam berjudul Hantu Tangan Empat dan Rahasia Mawar Beracun

Seperti diceritakan dalam Episode Istana Kebahagiaan ketika istana milik Hantu Muka Dua itu meledak hancur, semua orang yang ada di dalamnya melesat bermentalan ke langit, lalu terpesat ke berbagai tempat di Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya. Dalam kejadian ini rupanya kakek Pelawak Sinting terpesat di Tanah Jawa sebelah barat.


Puas tertawa Pelawak Sinting kembali lantunkan nyanyian. "Na... na... na Ni.. ni... ni. Kala kupandang kelip bintang jauh di sana Sayup teldengal melodi cinta yang menggema." Baru sempat melantunkan dua bait nyanyian.

Sinto Gendeng membentak lantang. "Tua bagka edan! Apa kau tuli?! Hentikan nyanyimu!"

"Ah, Sinto, kau tidak tahu kemajuan jaman. Lagu yang aku nyanyikan ini sedang digandrungi olang di dunia sana. Namanya Kopi Dangdut..."

"Perduli setan Kopi Dangdut, Kopi Tubruk, Kopi Pahit! Aku tidak sudi mendengar. Lekas kau beri tahu apa kau berhasil mendapatkan benda yang aku minta?!"

Si kakek menyeberangi lapangan kecil, menyusup diantara barisan batangan bambu, lalu berhenti tepat di bawah dua bambu di atas mana Sinto Gendeng berdiri tegak dengan kaki terkembang. Melihat orang berdiri di bawah dan memandang ke atas, Si nenek cepat rapatkan dua kakinya. Dua batang bambu sampai meliuk akibat gerakan sepasang kaki itu.

"Jahanam! Kau sengaja berdiri di bawah sana! Kau mau ngintip auratku! Kakek ganjen sialan! Kutusuk buta nanti dua mata mesummu!"

Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak. "Sinto aku berdiri di bawah sini, mengapa musti takut? Jangan-jangan kabal yang aku silap benal adanya."

"Kabal? Kabal apa?!" bentak Sinto Gendeng sambil delikkan mata dan sengaja bicara cadel meniru pelonya si kakek.

"Kabal bahwa seumul hidup kau tidak pelnah pakai celana dalam. Ha ha ha!"

"Jahanam setan alas. Biar kusumpal mulut kurang ajarmu!" Sinto Gendeng cabut sebatang bambu. Lalu secepat kilat bambu runcing itu dilemparkannya ke arah kepala kakek Pelawak Sinting.

Berdiri di atas bambu runcing, mencabut sebatang bambu, lalu membuat gerakan menyerang dengan bambu yang*sama bukanlah satu hal mudah. Semua itu dilakukan nenek sakti dari puncak Gunung Gede ini dalam satu gerakan kilat dan tak terduga.

Pelawak Sinting berteriak kaget. "Sinto! Kau mau membunuh calon suamimu sendili!" Si kakek sambar payung kertas yang sejak tadi ada di atas kepalanya lalu cepat melompat ke samping kiri selamatkan muka dari tusukan bambu runcing. Bambu besar itu lewat hanya satu jengkal di samping pipinya.

Di atas sana Sinto Gendeng angkat tangan kanan ke udara, lengan diputar. Secara aneh bambu yang gagal menghantam Pelawak Sinting kini berbalik. Laksana petir menyambar batang bambu itu membabat ke arah pinggang Pelawak Sinting. Untuk kedua kalinya sambil berteriak tegang si kakek selamatkan diri. Kali ini dengan jatuhnya tubuh lalu bergulingan di tanah.

"Praakk! Praakk!"

Dua bambu runcing di atas mana Sinto Gendeng berdiri hancur berantakan dihantam Pelawak Sinting. Sebelum tubuhnya terperosok jatuh si nenek cepat melesat berpindah ke ujung bambu lainnya sambil berteriak.

"Kakek buduk! Siapa sudi kawin denganmu! Terong busuk bau comberan!"

"Eit Sinto! Jangan belani bicala begitu!" balas berteriak si Pelawak Sinting. "Ingat! Kau sudah beljanji!"

Sinto Gendeng terdiam. Muka cekung dan keriputnya mendadak berubah. Dadanya berdebar. "Tua bangka geblek ini. Jika dia berani berkata begitu apakah berarti dia benar-benari berhasil mendapatkan benda yang aku minta itu. Celaka. Mati aku! Bagaimana aku mungkin berlaku takabur sampai sempat-sempatnya berjanji segala!"

"Sinto mengapa kau mendadak diam? Apa sedang menghitung hali baik bulan baik pelkawinan kita? Ha ha ha!"

Di atas bambu runcing Sinto Gendeng keluarkan teriakan melengking tinggi. Lalu nenek ini melayang terjun ke bawah. Di lain kejap dia sudah berada dua langkah di hadapan Pelawak Sinting. Si nenek, ulurkan tangan kirinya. Matanya yang cekung angker menatap Pelawak Sinting tak berkesip.

"Lekas serahkan benda itu!"

Pelawak Sinting menyeringai. "Kau keliwat kesusu. Telbulu-bulu. Tapi tak jadi apa. Makin cepat kita kawin bukankah makin enak? Ha ha ha!"

"Jahanam! Jangan membuat aku benar-benari marah!" bentak Sinto Gendeng.

"Aih, jadi tadi-tadi itu kau cuma malah bohong-bohongan!"

Sinto Gendeng berteriak panjang saking marahnya. Seumur hidup belum pernah dia berhadapan dengan orang yang pandai bersilat lidah seperti kakek satu ini.

"Serahkan! Atau aku benar-benar akan membunuhmu! Kakek geblek! Jangan kira aku main-main!"

Pelawak Sinting goyangkan tangannya yang memegang kerincing. Sambil manggut-manggut dan ogel-ogelkan pantat dia masukkan tangan kanan ke balik pinggang celana sebelah depan dimana terletak satu kantong kain. Dari dalam kantong ini dia keluarkan sebuah benda lonjong sebesar telur burung dara, berwarna biru. Inilah Batu Penyusup batin. Pelawak Sinting tidak segera serahkan batu itu pada Sinto Gendeng. Sambil digosok-gosok dalam genggaman tangan kanannya, dia berkata,

"Ucapanmu tempo hali telnyata betul. Pangelan Matahali, mulid Si Muka Bangkai telnyata memang muncul didunia sana. Keadaan bisa gawat. Anak yang kau katakan akan kau jadikan Pendekal Tahun 2000 itu bisa dihabisinya sebelum maksudmu kesampaian. Selain itu dia juga akan mampu mengoblak ablik segala apa saja sekehendak otak kejinya. Tapi kau tak usah kawatil. Aku belhasil menculi batu ini dali saku mantelnya. Nah, kau inginkan batu. Aku selahkan padamu. Tapi halap ingat janji."

Sepasang mata Sinto Gendeng berkilat-kilat. Tidak menunggu lebih lama dia segera menyambar batu biru itu dari tangan Pelawak Sinting lalu melesat ke atas bambu-bambu runcing. Di atas sana ia perhatikan batu itu dekat-dekat di depan matanya. Tiba-tiba si nenek berteriak keras.

"Kurang ajar!"

Di bawanya Pelawak Sinting mendongak keheranan. "Eh, ada apa Sinto? Mengapa kau memaki? Siapa yang kulang ajal!"

Sinto Gendeng keluarkan suara menggerung lalu melesat turun. Batu Penyusup Batin diacung-kannya tepat-tepat didepan mulut tonggos Pelawak Sinting. "Palsu! Batu ini palsu!" teriak si nenek.

"Apa?" Pelawak sinting terkejut dan mendelik.

"Kau menipu aku! Kau pasti menculi batu yang asli. Memberikan yang palsu ini padaku! Untuk itu akan aku korek isi perutmu!"

"Tunggu!" Pelawak sinting cepat bersurut ketika Sinto Gendeng gerakan tangannya kearah perutnya dalam jurus Kepala Naga Menyusup Awan. "Aku belsumpah, batu itu yang aku culi dali Pangelan Matahali. Aku ambil sendili dali saku mantelnya sehabis dia menyaksikan mengamen."

"Siapa percaya pada ucapanmu!"

"Jangan-jangan kau yang sengaja berdalih! Batu itu asli tapi pula-pula kau bilang palsu. Akal bulusmu untuk menghindali janji kawin dengan aku!"

"Batu ini tidak ada gunanya bagiku! Lihat apa yang aku lakukan! Habis berkata begitu Sinto Gendeng remaskan telapak dan jari-jari tangan kanannya. Terdengar suara berkeratakan. Ketika genggaman dibuka Batu Penyusup Batin telah berubah menjadi bubuk halus.

"Bukan sulap bukan tipuan! Eh, kau tidak tengah menyiasati aku bukan Sinto?"

"Setan kurap! Siapa menyiasatimu! Kalau itu batu asli masakan, aku memusnahkannya!"

"Kau betul juga," kata Pelawak Sinting terperangah lalu jatuh terduduk di tanah. Rambutnya yang awut-awutan dijambak-jambak. Mulutnya ternganga tonggos sementara matanya dipejamkan.

"Tua bangka jelek! Apa yang kau lakukan?" hardik Sinto Gendeng.

"Aku tengah belpikil!"

"Hemm... aku juga tengah berpikir!" sahut Sinto Gendeng.

"Apa yang kau pikilkan kalau aku boleh tahu," tanya Pelawak Sinting.

"Yang kupikirkan saat ini bagaimana cara yang paling enak membunuh sekaligus mempesiangimu!"

Pelawak Sinting terlonjak saking kagetnya. Tapi kakek konyol ini segera saja dapat akal. Dia kembangkan payung, letakkan di atas kepala. Goyang kerincingan dan pukul gendang sambil pantat setengah ditunggingkan. Orang lain akan mengira ini adalah gaya si kakek yang senang menyanyi dan menari. Tapi sebenarnya ini merupakan satu pasangan kuda-kuda yang hebat. Salah-salah lawan menyerang akan terjebak dalam satu benteng pertahanan dan secepat kilat bisa berubah mengirimkan serangan balik yang dahsyat.

"Sinto Gendeng, kalau kau memang puya maksud jahat telhadapku, tak jadi apa. Kau tidak mau menepati janji kawin denganku kau bakal kualat sendili! Tapi yang aku minta saat ini, ? sebelum kau membunuh aku, kembalikan dulu Batu Penyusup Batin padaku dalam keadaan utuh!"

"Apa katamu?!" ucap Sinto Gendeng setengah berteriak. "Dasar tua bagka edan! Apa kau buta. Kau melihat sendiri batu palsu itu sudah kuhancurkan!"

"Perduli setan tujuh tulunan" sahut Pelawak Sinting. "Palsu atau asli, aku mau batu itu kembalikan. Dalam keadaan utuh!"

"Kakek Sinting! Kau mencari perkara!" teriak Sinto Gendeng. Habis berteriak nenek ini langsung menerjang kirimkan serangan ganas. Tangan kiri lancarkan satu pukulan sakti dalami jurus Kunyuk Melempar Buah sedang tangam kanan menyambar dua buah tusuk konde perak di kepalanya lalu dilemparkan ke arah Pelawak Sinting.

Pada saat Sinto Gendeng mulai lancarkan serangan, kakek yang terpesat dari Negeri Latanahsilam ini goyangkan kerincinghya demikian rupa hingga menimbulkan suara bising luar biasa mencucuk telinga Sinto Gendeng. Bersamaan dengan itu Pelawak Sinting juga pukul gendangnya. Suara tabuhan gendang bukan saja tambah memekakkan telinga tapi juga membuat dada orang bergetar.

Ketika dua tusuk konde melesat dan pukulan sakti menderu, payung di atas kepala si kakek tiba-tiba berputar deras lalu melayang ke bawah. Payung kertas itu berputar menebar angin kencang. Dan yang membuat Sinto Gendeng jadi melengak kaget ialah payung yang tadinya kecil makin lama makin besar. Membuat sosok si kakek terlindung dibelakangnya.

"Wuuuttt! Braakk!"

"Settt! Settt!"

"Kraakk! Kraaak!"

Pukulan Kunyuk Melempar Buah membuat hancur besar pinggiran payung. Tapi putarannya yang hebat menggulung pukulan sakti yang dilepaskan si nenek lalu melontarkannya keudara. Dua tusuk konde menancap dan merobek bagian lain dari payung. Namun tidak sanggup menembus!

Sepasang mata Sinto Gendeng yang selama ini mendekam di dalam ronngga cekung seolah mau melompat keluar. Saking tidak percaya melihat kejadian itu. Bagaimana mungkin hanya sebuah payung kertas sanggup menahan pukulan saktinya yang bisa memporak porandakan sebuah bangunan. Bagaimana mungkin sebuah payung kertas tidak bisa ditembus dua tusuk kondenya padahal tusuk konde itu mampu menembus dan menghancurkan sebuah batu besar?!

Perlahan-lahan payung berhenti berputar. Lalu jatuh ke tanah. Bersamaan dengan itu bentuknya kembali berubah mengecil. Ketika pandangan si nenek lepas tak terhalang lagi, mulutnya keluarkan seruan tertahan.

"Hah?!"

Pelawak Sinting tak ada lagi di depannya! Selagi Sinto Gendeng memandang kian kemari mencari-cari, di kejauhan terdengar suara kerincingan dan bunyi gendang. Lalu menyusul suara orang bernyanyi.

"Na... na... na Ni...ni... ni

Kau yang minta tolong kau yang mau menggolong

Kau yang butuh, kau yang mau membunuh

Kau yang beljanji, kau yang mengingkali

Apakah nyawaku lebih buluk dali batu yang dihanculkan

Apa kematian cukup pantas untuk satu kegagalan

Mulutmu sudah mengucap janji

Aku menganggap kau sudah menjadi istli

Belpikillah supaya mengelti

Na...na...na Ni...ni...ni"

Sinto Gendeng terkesiap mendengar nyanyian itu. Sesaat dia merenung lalu menghela nafas panjang. Hatinya membatin. "Mungkin aku telah berlaku keliru. Mungkin dia memang tidak tahu kalau batu itu palsu. Ada yang tidak beres. Siapa yang punya pekerjaan?"

Sinto Gendeng melangkah mendekati payung kertas yang tergeletak di tanah. Mengambil dua buah tusuk kondenya yang menancap di payung itu. "Kakek konyol itu. Ilmunya boleh juga. Payung butut begini mampu menahan lemparan dua tusuk kondeku. Hemmm... sebenarnya aku masih bisa minta tolong padanya. Namun saat ini agaknya hatinya telah terluka." Si nenek pencongkan mulut. "Apakah aku perlu mencarinya? Ah, biar nanti saja. Paling penting saat ini aku harus mencari anak setan itu! Kalau tidak bertemu terpaksa ku harus bekerja sendiri. Anak setan satunya jelas berada dalam keadaan bahaya." Sinto Gendeng ambil payung di tanah, dielus-elus diluruskan bagian-bagian yang robek, dilipat lalu disisipkan di punggung pakaian.

********************

10. SINTO GENDENG KELUAR SARANG

GUDANG besar penyimpanan berbagai material bangunan dalam keadaan sepi. Saat itu semua pekerja sedang istirahat makan. Di pintu gudang memang ada seorang penjaga tapi asyik membaca buku po*no hingga tidak menyadari kalau seorang berpakaian aneh telah menyelinap masuk ke dalam gudang.

Pangeran Matahari duduk di atas susunan kaleng-kaleng besar berisi cat tembok, terlindung di balik timbunan kantong semen. Dia tak habis pikir atas kejadian yang barusan dialami. Begitu mudah orang mencuri sebuah benda yang disimpannya dalam saku mantel. Apakah dia telah kehilangan ilmu kesaktian? Rahangnya mengembung. Seharusnya dia merasa malu bahkan terpukul oleh kejadian itu.

Tapi dasar manusia dijuluki Pangeran segala cerdik segala akal, segala ilmu, segala licik, segala congkak, walau kesal namun sikapnya tenang-tenang saja. Hanya dalam hati dia berkata. "Tua bangka keparat pengamen itu. Dia pasti bukan manusia biasa. Siapa dia sebenarnya? Tokoh berkepandaian tinggi yang menyamar? Bukan mustahil kemunculannya ada sangkut paut dengan Pendekar Tahun 2000 yang dikatakan guru. Jangan-jangan dia kaki tangan Sinto Gendeng."

Dalam soal berpikir, kecerdikan dan penggunaan akal Pangeran Matahari memang hebat. Dia sudah bisa menduga kalau kakek pengamen punya hubungan dengan Sinto Gendeng. Baru saja Pangeran Matahari berkata dalam hati tiba-tiba seorang bertangan kiri buntung, bungkuk, berpakaian rombeng dengan wajah sepucat kain kafan, muncul di hadapannya. Dua mata yang terpuruk angker pada rongga dalam memandang penuh marah pada sang Pangeran.

"Guru!" kaget Pangeran Matahari bukan kepalang ketika dia mengangkat kepala dan melihat siapa adanya orang tua itu. Buru-buru dia berdiri lalu membungkuk memberi hormat.

"Murid tolol! Kecongkakanmu hari ini amblas dalam comberan!" Begitu membuka mulut orang tua yang bukan lain adalah Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat menyemprot kasar.

Pangeran Matahari tentu saja sudah tahu sebab apa si orang tua mendampratnya begitu rupa. Tapi dasar licik panjang akal dia berpura-pura terkejut dan heran. "Guru, gerangan apa sampai membuatmu marah besar seperti ini? Murid menduga jangan-jangan..."

Dari tenggorokan Si Muka Bangkai keluar suara menggembor pertanda dia benar-benar marah sekali. "Pangeran goblok! Tutup mulutmu!"

Dibentak atau dihardik bagi Pangeran Matahari bukan soal. Tapi dimaki Pangeran goblok membuatnya sakit hati. Kalau yang memaki bukan gurunya saat itu juga pasti sudah dirobek mulut atau dipecahkannya kepalanya. Rahang menggembung, pelipis bergerak-gerak. Pangeran Matahari menatap tajam wajah sang guru.

"Untung aku berlaku waspada. Kalau tidak Batu Penyusup Batin itu akan lenyap selama-lamanya."

"Guru, maafkan diriku. Apakah guru telah menemukan kembali batu sakti itu? Batu itu aku taruh dalam saku mantel. Tapi lenyap dicuri seorang kakek pengamen."

"Selama ini kau terlalu sombong, terlalu congkak..."

"Guru, tunggu dulu!" tiba-tiba Pangeran Matahari berkata.

"Murid kurang ajar! Beraninya kau memotong ucapanku!" hardik Si Muka Bangkai.

Pangeran Matahari tidak perduli. "Apa kau lupa, guru? Bukankah kau sendiri ikut menanamkan semua sifat itu di dalam diriku ketika kau menggembleng aku di puncak Merapi?"

Dua mata Si Muka Bangkai yang ada dalam rongga cekung seperti mau melompat keluar. "Dasar kampret!"

"Kampret?!" Pangeran Matahari melotot heran.

"Waktu dulu kau kutemukan di desa Sleman, itu sebutan yang aku berikan padamu. Setelah puluhan tahun berlalu ternyata kau masih saja manusia kampret!"

Pangeran Matahari menatap muka pucat sang guru, melirik pada tangan kirinya yang buntung lalu tertawa gelak-gelak.

Untuk mengetahui riwayat Pangeran Matahari harap baca serial Wiro Sableng berjudul Pangeran Matahari

Di pintu gudang, penjaga asyik membaca buku po*no turunkan buku yang dipegangnya, memandang ke dalam gudang. "Siapa yang tertawa...?" tanyanya dalam hati.

Dia turun dari tumpukan balok kayu, masuk sampai beberapa langkah ke dalam gudang, memperhatikan ke segala penjuru. Dia tidak melihat siapa-siapa. Bulu kuduknya mendadak merinding. "Jangan-jangan setannya si Tukijan," katanya dalam hati. Lalu cepat-cepat dia keluar dari dalam gudang.

Tukijan adalah buruh bangunan yang mati akibat kecelakaan sebulan lalu. Jatuh dari tingkat empat gedung yang tengah dibangun.

"Pangeran Matahari, kau dengar baik-baik. Sejak kecil sifat segala licik, congkak sombong bahkan kejam telah ada dalam dirimu! Mungkin karena kau merasa diri sebagai seorang Pangeran. Mungkin juga itu sudah warisan darah daging dari orang tuamu!"

"Aku tidak pernah ingat siapa orang tuaku. Aku tidak pernah kenal mereka sejelas aku melihat dua telapak tanganku!" kata Pangeran Matahari sambil memandang ke atas ke arah atap seng gudang.

"Tidak heran! Tidak heran kalau kau juga tidak tahu siapa dirimu sendiri!" tukas Si Muka Bangkai yang membuat merah padam tampang Pangeran Matahari. "Kecongkakan dan kesombonganmu semakin berlipat ganda setelah kau mewarisi semua ilmu kepandaian dariku! Tapi hari ini semua akal licik, kesombongan dan kecongkakanmu, seperti kataku tadi, amblas dalam comberan ketololan! Batu biru yang kuberikan padamu lenyap dicuri orang. Dan tololmu lagi, kau menganggap si pencuri adalah manusia biasa, pengamen tua bangka! Kau tahu siapa orang itu?"

Tenang saja Pangeran Matahari gelengkan kepala.

"Dia adalah mahluk berkepandaian tinggi, tersesat dari negeri seribu dua ratus tahun silam. Di negeri sana dia dikenal dengan nama Si Pelawak Sinting. Di dunia sini dia muncul sebagai kaki tangan Sinto Gendeng! Nenek keparat dari Gunung Gede itulah yang telah memperalatnya untuk mencuri Batu Penyusup Batin yang ada dalam saku mantelmu!"

"Aku memang sudah menduga," kata Pangeran Matahari sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. "Tapi tadi guru berkata bahwa berkat kewaspadaan guru, batu sakti itu tidak..."

"Batu yang asli! Batu Penyusup Batin yang asli memang masih ada padaku! Yang kuberikan padamu hanya batu tiruan. Batu kawinan. Kalau saja aku tidak berlaku cerdik melakukan hal itu, batu yang asli sudah amblas dibawa kabur."

"Batu kawinan, aku tidak mengerti maksud guru," kata Pangeran Matahari pula.

"Dalam keadaan seperti sekarang ini, membawa batu asli tanpa mampu menjaganya adalah sangat berbahaya. Banyak mata bisa melihat, banyak tangan jahat bisa mengambil. Itu sebabnya, batu yang asli aku ikatkan ke batu tiruan. Selama satu minggu aku bersamadi. Kesaktian yang ada dalam Batu Penyusup Batin yang asli mengalir ke dalam batu tiruan. Namun kekuatannya hanya dua tiga hari saja. Batu tiruan itulah yang aku berikan padamu."

"Kalau begitu, guru, apakah kau masih punya banyak batu tiruan?" tanya Pangeran Matahari.

"Kampret besar!" maki Si Muka Bangkai.

"Syukur..." ujar Pangeran Matahari.

"Eh, apa maksudmu berkata syukur?!" tanya sang guru.

"Dulu aku dibilang kampret kecil. Sekarang sudah jadi kampret besar. Salahkah kalau aku bersyukur?"

Si Muka Bangkai mendelik besar lalu tertawa gelak-gelak. Di depan pintu gudang kembali si penjaga tersentak kaget. "Suara tertawa," katanya dalam hati. "Tapi suaranya berbeda dengan yang pertama tadi..."

Untuk memeriksa kembali ke dalam gudang dia merasa takut. Penjaga ini tinggalkan tempat itu mencari teman-temannya.

"Pangeran Matahari, aku tidak membawa batu tiruan. Aku punya cara lain untuk membuatmu bisa menyusup ke dalam tubuh seseorang. Kekuatan dan kemampuannya lebih lama dibanding batu kawinan. Mendekat ke sini."

Pangeran Matahari melangkah maju mendekati sang guru. Kakek bungkuk masukkan tangan kanannya ke balik baju rombeng. Sesaat kemudian di tangan kanan itu tampak sebuah benda memancarkan cahaya biru. Itulah Batu Penyusup Batin asli yang diterimanya dari gurunya Eyang Kunti Api. Dengan mulut berkomat-kamit membaca mantera Si Muka Bangkai usapkan Batu Penyusup Batin ke kepala dan muka muridnya. Usapan turun ke leher, dada, perut, dua paha dan dua kaki.

"Pejamkan matamu," perintah si kakek. Pangeran Matahari pejamkan dua mata. Si Muka Bangkai tempelkan batu sakti di kening muridnya, di bawah ikat kepala kain merah. Kembali dia berkomat kamit membaca mantera. Saat itulah sang murid berkata.

"Guru, apakah kau mencium bau sesuatu?"

Tadinya Si Muka Bangkai hendak membentak marah karena ucapan Pangeran Matahari membuyarkan pemusatan perhatiannya. Tapi ketika mengendus, dia memang membaui sesuatu. Bau yang membuat jantungnya berdetak keras dan tampangnya berubah membesi. Bau pesing!

Karena sang guru tidak keluarkan jawaban, Pangeran Matahari perlahan-lahan buka sepasang matanya. Begitu mata dibuka, pada saat itulah dari atas tumpukan kantong-kantong semen di ujung kiri gudang, berkelebat satu bayangan disertai menebarnya bau pesing yang amat santar. Mendahului kelebatan bayangan yang laksana terbang, melesat dua buah senjata rahasia memancarkan cahaya putih.

"Guru! Awas serangan!" teriak Pangeran Matahari. Cepat dia dorong dada Si Muka Bangkai hingga kakek ini terjengkang jatuh.

Dalam kejutnya Batu Penyusup Batin yang tadi ditempelkan di kening Pangeran Matahari, tidak sempat digenggam kembali oleh Si Muka Bangkai. Bersamaan dengan terjengkangnya tubuhnya, batu yang terlepas dari pegangannya itu ikut mental ke udara.

Selagi Pangeran Matahari membungkuk selamatkan diri dari serangan dua senjata rahasia, sosok yang melayang membuat gerakan berjumpalitan dua kali berturut-turut, lalu menukik turun. Sambil turun orang ini hantamkan kaki kirinya kepunggung Si Muka Bangkai. Bersamaan dengan itu tangan kanannya menyambar Batu Penyusup Batin yang mental ke udara!

"Batu Penyusup Batin!" teriak Si Muk Bangkai yang saat itu terkapar di lantai gudang. Dia berusaha bangkit tapi roboh kembali. Tendangan orang telah meremukkan tulang punggungnya hingga selain menahan sakit luar biasa kakek muka mayat ini juga kehilangan keseimbangan.

Cepat sekali, begitu berhasil menangkap Batu Penyusup Batin orang di atas sana kembali membuat gerakan kilat, melesat ke arah celah besar di dinding atas ujung kiri gudang.

"Bangsat berani mati!" teriak Pangeran Matahari. Dalam keadaan setengah terduduk di lantai dia hantamkan tangan kanannya.

Sesaat udara terasa redup. Lalu tiba-tiba berkiblat sinar kuning, hitam dan merah. Menderu panas dan ganas ke arah orang yang berkelebat di atas sana. Jangankan tubuh manusia, tembok bajapun akan hancur dihantam pukulan sakti itu. Karena pukulan yang dilepaskan Pangeran Matahari adala salah satu pukulan sakti paling ditakuti dalam rimba persilatan yaitu Pukulan Gerhana Matahari.

Namun sasaran yang dihantam telah lebih dulu lolos di balik celah dinding gudang. Begitu Pukulan Gerhana Matahari melabrak dinding gudang yang terbuat dari seng, tak ampun lagi dinding itu hancur berantakan. Kepingan-kepingan seng melesat tinggi ke udara terbungkus nyala api. Bukan itu saja. Hawa panas pukulan sakti membakar seluruh dinding gudang yang masih utuh.

Api merambat dengan cepat, berkobar ganas karena dalam gudang itu tersimpan berbagai bahan mengandung kimi antara lain cat. Lalu di salah satu sudut terdapat beberapa tabung gas yang biasanya dipergunakan untuk mengelas. Kebakaran besar serta merta menggegerkan kawasan itu.

Pangeran Matahari cepat menolong gurunya. "Kita harus pergi sebelum api lebih besar. Sebelum orang-orang masuk ke tempat ini!" kata sang murid.

"Tunggu," jawab Si Muka Bangkai. Dia melompat ke lantai di depan tumpukan tinggi kayu triplek. Di lantai itu menancap dua buah senjata rahasia yang tadi menyerang Pangeran Matahari. Si Muka Bangkai mencabut dua benda itu. Ketika diperhatikan, mukanya berubah kelam. Ternyata benda itu adalah dua buah tusuk konde perak.

"Tusuk konde perak! Siapa lagi pemiliknya kalau bukan keparat Sinto Gendeng!" Si kakek keluarkan suara menggerung. Amarahnya bukan kepalang. Lebih lagi begitu dia ingat bahwa si nenek itu juga yang tadi telah merampas Batu Penyusup Batin. "Nenek keparat itu. Dia keluar dari sarangnya. Kalau tidak segera dicegah, bahaya besar akan mengancam diriku dan para tokoh golongan hitam."

********************

11. BUKAN TRIPING BUKAN NGEPRIT

PULANG sekolah hari itu Boma dan teman-temannya kecuali Gita Parwati kumpul di warung bakso Mang Asep. "Heran... kata Boma. "Siapa yang usil punya mulut kayak kompor dua belas sumbu. Hampir semua anak Nusantara Tiga udah pada tau kejadian Allan tripping. Malah katanya ada guru yang juga udah tau. Gila banget!"

Ronny langsung memandang pada Vino. "Vin, kau yang liat Allan tripping. Kamu yang ceritain sama kita-kita. Kamu ceritain sama anak lain nggak."

"Sumpah Ron! Aku nggak cerita sama siapa-siapa," jawab Vino.

"Mungkin kita perlu ngomong lagi sama Gita," berkata Rio sambil memperhatikan Ronny mengeluarkan bungkusan rokok dari tasnya.

"Ron, lu jangan gila. Emang sih udah bubaran sekolah. Tapi jangan ngacok berani ngerokok di sini." Andi mengingatkan.

"Mulut gue asem banget!" jawab Ronny.

"Kalau asem kumur-kumur sono sama air cucian mangkok baksonya Mang Asep." kata Boma.

"Sial!" Ronny masukkan kembali rokoknya ke dalam tas. Lalu bertanya. 'Bom, waktu kamu ketemu Gita, 'tu anak bilang apa?"

"Katanya Allan bukan bangsa anak begituan. Jangan kan tripping, nenggak minuman keras aja nggak, ngerokok juga nggak. Malah dia bilang Vino ngarang."

"Wah, kalau gitu gua musti ikutan ngomong sama dia," kata Vino. "Buktinya sekarang kok udah dua hari si Allan nggak masuk-masuk."

"Aku rasa dia pindah sekolah gara-raga yang beginian juga. Ketauan ngeprit." Ucap Firman.

"Bisa jadi," menyahuti Andi.

"Besok kalau Si Allan masih belon masuk, aku mau ngomong lagi sama Gita. Di, kau sama Vino musti ngelacak. Siapa yang punya mulut jahil sampai kejadian ini bocor. Bukan cuma anak-anak kelas lain yang tau, tapi juga guru."

"Kalau ngomong sama Gita, kamu musti hati-hati Bom," kata Ronny.

"hati-hatinya?"

"Belakangan aku liat tu anak sering ngelamun. Nggak mau gabung sama kita-kita. Kelihatannya jadi sensitip. Gampang tersinggung..."

"Mungkin lagi mens 'kali," kata Vino.

"Perempuan kalau lagi dateng bulan sifatnya kadang-kadang 'kan aneh-aneh!"

"Sok tahu lu Vin!" sembur Andi. "Kayak lu udah pernah ngalamin mens aja!"

"Sialan! Emangnya gue cewek!" jawab Vino. Semua anak tertawa riuh.

********************

Serial Boma Gendenk Karya Bastian Tito

SIANG itu, waktu jam istirahat, Kelas II-9 sepi. Di dalam kelas hanya ada Gita Parwati duduk sendirian. Asyik membaca majalah. Boma berdiri di sudut pintu, memperhatikan. Dia menduga Gita tahu kalau dia berdiri di situ memperhatikan, tapi pura-pura terus membaca. Ronny dan teman-teman yang berdiri di ujung kelas sebelah luar memberi isyarat agar Boma segera masuk dan bicara dengan Gita. Boma akhirnya masuk ke dalam kelas.

"Asyik banget Git, pasti majalah po*no," Boma menegur. Sengaja memancing dengan ucapan seperti itu untuk melihat reaksi Gita.

"Enak aja lu," jawab Gita. "Liat dulu!" Gita mengangkat majalah yang dibacanya memperlihatkan cover depan. Ternyata sebuah majalah pelajar bahasa Inggris.

"Git, aku mau ngomong," kata Boma.

"Aku udah tahu. Ngomong aja..."

"Gimana kabarnya Allan?"

"Baik."

"Baik? Kok masih nggak masuk?"

"Baik bukan berarti sehat tau."

"Beneran sakitnya apa sih?" tanya Boma lagi.

"Mana aku tau Bom. Tanya sama dokternya atau sama ortunya."

"Kamu kan sering kesana."

"Siapa bilang?" Gita angkat kepala dari majalah yang dibacanya, menatap Boma sebentar lalu kembali memandang ke majalah di atas meja.

Boma merapatkan badannya ke samping meja. Lalu pegang lengan Gita. Dia merasakan denyutan cepat sekali pada urat nadi di lengan temannya ini. "Git, jujur aja. Kau tau si Allan itu ngeprit?"

"Itu lagi yang diomongin. Kemarin aku udah bilang. Dia bukan bangsa cowok gituan Bom." Gita menjawab, tapi melengos, tidak berani memandang mata Boma.

"Aku nggak ada maksud apa-apa Git. Kita kan teman. Aku kasian sama kamu, sama Allan."

"Buat apa ngasianin orang kayak aku Bom? Tapi ya makasih untuk pengasianannya," jawab Gita.

"Git, keadaan mungkin tidak seperti yang kami duga. Tadi pagi aku liat orang tua Allan menemui Kepala Sekolah."

"Biar aja. Biar jelas semuanya..."

"Kamu ngebelain Allan nggak tanggung-tanggung. Memangnya kamu cintrong banget sama dia?" tanya Boma.

Gita diam. Tatapannya ke wajah Boma seperti ingin menyampaikan suara hatinya. Ketika akhirnya anak perempuan ini menjawab, suaranya terdengar perlahan.

"Habis, siapa sih yang suka sama aku Bom? Gendut, item. Jelek begini. Allan selalu meratiin aku. Memang sih dia nggak pernah bilang sayang sama aku. Tapi aku tau perasaan kami sama."

Boma terdiam. Hatinya sangat tersentuh. Perasaan haru biru merenyuh lubuk kalbunya. Ditowelnya hidungnya. Lalu dilihatnya ada air mata meggelinding jatuh dari tanggul kelopak mata anak perempuan itu. Kalau sudah begini Boma jadi tidak tahan.

"Bom..."

"Udah Git, nanti kita ngomong lagi. Kalau ketemu Allan bilang salam dari teman-teman."

"Aku tau kamu dan teman-teman semua baik..." Gita menyeka air matanya. "Bom..."

Tapi Boma sudah keluar dari dalam kelas.

********************

KETIKA lonceng tanda jam pelajaran berikutnya dimulai, yang masuk ke dalam Kelas II-9 bukannya guru Fisika, tetapi guru bahasa Inggris Ibu Renata.

"Selamat siang Bu," anak-anak satu kelas memberi salam.

"Selamat siang," jawab Ibu Renata. Sejak sakit ini kali pertama dia masuk ke Kelas II-9. Badannya agak susut sedikit namun tidak mengurangi kecantikannya. Sesaat dia memandang berkeliling, memperhatikan bangku yang kosong, bangkunya Allan. Lalu melirik ke sudut kelas sebelah kiri di mana Boma duduk.

Firman yang duduk di sebelah Boma langsung berbisik. "Boma, kamu dilirik sama Ibu Renata..."

"Kamu kali yang dilirik, bukan aku." Jawab Boma. Dua anak ini sama-sama menutupi mulut menahan tertawa.

"Sudah sembuh Bu?" Tiba-tiba seorang anak bertanya.

Ibu Renata anggukkan kepala, tersenyum sedikit dan sekilas kembali melirik ke sudut kiri kelas.

"Sakitnya apa sih Bu?" seorang anak lain bertanya.

Yang menjawab teman di belakangnya. "Ah, mau tau aja sakitnya Ibu Renata. Emangnya kamu dokter?"

"Dukun, kali!" menimpali suara anak perempuan. Yang bicara ternyata adalah Si Centil Sulastri, anak baru pindahan dari Semarang. Suara tawa terdengar di mana-mana.

Ibu Renata juga tertawa walau kelihatan agak dipaksakan. "Anak-anak, saya mewakili Wali Kelas II-9 yang hari ini berhalangan hadir. Saya meneruskan permintaan dari Bapak Kepala Sekolah, Bapak Nugroho, untuk menyampaikan pesan atau pemberitahuan. Hal ini sehubungan dengan sakitnya teman kalian Allan."

Sampai di situ Ibu Renata berhenti sebentar. Apa yang barusan dikatakannya menimbulkan berbagai dugaan di hati dan benak anak-anak Kelas II-9. Banyak dari anak-anak itu mengira setelah diketahui tripping di sekolah. Allan akan dikeluarkan atau minta keluar. Itu sebabnya pagi tadi ayah Allan datang menemui Kepala Sekolah. Hampir semua mata ditujukan pada Gita. Anak perempuan ini hanya bisa tundukkan kepala sambil mencungkil-cungkil kuku jari tangannya.

"Anak-anak..." Ibu Renata meneruskan ucapannya. "Sebelumnya pada Kepala Sekolah telah masuk laporan bahwa Allan diketahui tripping di sekolah..."

"Siapa yang melapor Bu?" Tiba-tiba ada yangi bertanya. Boma.

Ibu Renata memandang ke sudut kiri Kelas; II-9. Dia menatap ke arah Boma sebentar lalu mengalihkan pandangan ke jurusan lain seraya berkata. "Siapa yang melapor tidak perlu kalian ketahui. Yang penting kalian ketahui adalah bahwa Allan sama sekali tidak melakukan tripping. Dia tidak minum o*at terlarang..."

Kelas II-9 sesaat dicekam kesunyian. Semua anak seperti tidak percaya mendengar kata-kata Ibu Renata itu. Ketika banyak mata diarahkan kembali pada Gita Parwati, anak-anak di bangku terdekat saling berbisik.

"Liat, si Gita nangis..."

Saat itu Gita Parwati duduk menundukkan kepala. Sehelai sapu tangan dipergunakan menutupi sebagian wajah, terutama sepasang matanya.

"Memang ada yang melihat Allan menelan sesuatu, minum segelas Aqua lalu goyang-goyang kepala di sekolah. Tapi saat itu sebenarnya dia bukan sedang tripping. Bukan menelan ecs*asy. Melainkan minum o*at. Obat dari dokter. Di dapat berdasarkan resep dokter. Anak-anak, Kepala Sekolah minta saya menyampaikan, memberi tahu pada kamu bahwa Allan sejak lama menderita penyakit epilepsi..."

Epilepsi apa-an sih Di," tanya Rio yang duduk di sampingnya. "Sipilis ya?"

Andi menutupi mulutnya menahan ketawa. "Epilepsi aja nggak tau. Anak sekolah malu-maluin. Ngakunya kelas dua lagi..."

"Gue kan bukannya dokter!" Rio jadi sengit.

"Epilepsi sama dengan ayan. Tau nggak?!"

Diberi tahu Rio cuma ngangguk sambil monyongkan mulut.

"Kalian mungkin banyak yang tidak tahu penyakit ini. Sebab dan jenisnya bermacam-macam. Allan rentan terhadap udara pengap, terutama di tempat-tempat ramai, rentan terhadap stres. Penyakitnya bisa kambuh tidak terduga. Ketika ada yang melihat dia menelan sesuatu dan meneguk Aqua, sebenarnya dia tengah minum obat dokter. Jadi anak-anak, sekali lagi saya menyampaikan pesan Kepala Sekolah. Allan bukan pecandu o*at terlarang. Dia tidak pecandu ecs*asy atau obat apapun. Sekarang dia masih istirahat di rumah. Kita doakan agar dia segera masuk sekolah lagi..."

"Amin!" beberapa anak mengamini.

Saat itulah Boma, Firman dan Andi, disusul, Ronny dan Rio mendatangi Gita yang sesenggukan dibangkunya. Anak-anak lain melakukah hal yang sama. Gita dikerubungi. Anak-anak perempuan menciumnya. Termasuk Sulastri. Trini satu-satunya anak perempuan yang hanya tegak tertegun dan tak beranjak di bangkunya.

Boma pegang tangan Gita dengan tangan kanan. Tangan kiri mengusap punggung anak perempuan itu. "Git maafin aku Git. Maafin juga teman-teman. Tadinya kami udah nyangka yang nggak-nggak sama Allan..."

Sesenggukan Gita berubah jadi tangis mengharukan. Dia mengangkat kepalanya, menurunkan sapu tangan yang menutupi dua matanya sedikit. Diantara isakannya anak perempuan ini berkata,

"Bom, sebenarnya aku sudah tau lama sakitnya Allan. Tapi aku mau bilang sama kalian nggak tega. Akibatnya dia dituduh tripping..."

"Sekarang udah nggak lagi Git," kata Ronny.

Ibu Renata sesaat masih berdiri di depan kelas memperhatikan semua simpati yang diberikan anak-anak pada Gita. Kemudian dia memberi isyarat pada Boma. Melihat isyarat ini Boma datang mendekat.

"Ibu manggil saya?" tanya Boma.

"Selesai sekolah, kamu Ibu tunggu di kantor."

"Baik Bu."

"Jangan lupa."

"Iyya Bu."

Ketika anak-anak yang mengerumuni Gita bubar dan Boma kembali ke bangkunya, kini Boma yang mereka kerumuni. Ronny bertanya. "Ibu Renata ngomongin apa sama kamu?"

"Pulang sekolah dia suruh aku datang kekantor."

"Ngapain?" tanya Firman.

"Nggak tau," jawab Boma sambil menowel hidung. "Yang jelas sikapnya dingin. Belum pernah aku liat Ibu Renata seperti itu."

"Jangan-jangan dia tau kita pada kasak-kusuk curiga sama si Allan," kata Vino.

"Kalau memang begitu berarti kamu yang dipanggil Vin, bukan Boma. Kamu yang pertama kali ngeliat Allan, nyangka dia lagi tripping," kata Andi pula.

Boma menowel hidungnya. "Kayaknya ada soal lain yang mau diomongin Ibu Renata. Tapi aku nggak tau soal apa."

Semua anak memandang pada Boma. Ronny hendak mengatakan sesuatu tapi saat itu guru Fisika sudah masuk ke dalam kelas.

********************

12. SUMPAH BOMA - AIR MATA IBU RENATA

HUJAN turun rintik-rintik ketika Boma melangkah seorang diri menuju Kantor Sekolah. Di Ruang Tamu Kepala Sekolah beberapa orang guru duduk bercakap-cakap. Mereka kemudian meninggalkan tempat itu sebelum hujan berubah lebat. Ketika berpapasan, Boma segera memberi hormat. Di Ruang Guru Ibu Renata duduk seoran diri di belakang meja sambil menulis. Dia ber henti menulis ketika melihat Boma muncul di ambang pintu.

"Selamat siang Bu," Boma memberi salam.

Ibu Renata menjawab dengan anggukan kepala. Wajahnya tidak cerah seperti biasa mungkin karena habis sakit. Sikapnya masih kelihatan dingin. Guru Bahasa Inggris ini menunjuk ke bangku di depan mejanya, memberi isyarat agar Boma duduk di situ. Boma duduk. Ibu Renata meneruskan menulis sesuatu lalu meletakkan bolpen di atas meja, melipat kertas yang barusan ditulis, memasukkan ke dalam tas.

"Boma."

"Ya Bu."

"Kamu masih ingat. Waktu di kelas satu saya pernah ngajak kamu sama-sama nonton film..."

"Ya Bu, saya ingat," jawab Boma.

"Saat itu kamu menolak."

Boma mengangguk. "Benar Bu," katanya kemudian.

Ibu Renata diam. Boma memberanikan diri bertanya. "Ibu marah saya menolak?"

"Film yang saya mau lihat itu bukan cuma bagus. Tapi banyak kesamaannya dengan kehidupan saya..." Guru Bahasa Inggris itu diam kembali. Lalu gelengkan kepala. "Tidak, saya tidak marah kamu menolak. Yang saya tidak menduga dan benar-benar marah, mengapa kamu menyebarkan, memberi tahu orang lain bahwa saya pernah mengajakmu nonton."

Boma tercengang. Ditatapnya wajah cantik Guru Bahasa Inggris itu. "Bu, saya nggak pernah cerita sama siapa-siapa kalau Ibu ngajak saya nonton."

"Jangan dusta Boma. Kamu menyebar omongan..."

"Sumpah Bu. Saya nggak pernah nyebar-nyebar omongan begitu..."

Dalam wajah yang tetap dingin Ibu Renata tunjukkan air muka tidak percaya. Matanya mulai merah. Dia berusaha keras membendung tangis. Tapi isakannya tak tertahankan lagi. Dua telapak tangannya ditutupkan ke mukanya. Bahunya bergoncang turun naik.

"Saya tidak menyangka seburuk itu budi pekertimu. Kalau kau tidak suka sama Ibu, jangan ceritanya disampaikan sama orang lain."

"Sumpah Bu," kata Boma.

"Jangan bersumpah Boma. Saya paling benci pada orang yang suka mengangkat sumpah tapi ternyata palsu..."

"Bu, saya..."

"Tidak mungkin Boma. Tidak mungkin. Waktu kita bicara pada akhir jam pelajaran hari Sabtu itu, hanya kita berdua di dalam kelas. Tidak ada orang lain. Tidak ada siapa-siapa. Lalu bagaimana ceritanya jadi tersebar kalau bukan kamu sendiri yang melakukan? Saya malu sekali. Malu sekali Boma. Mungkin, mungkin saya terpaksa minta berhenti mengajar disekolah ini. Saya akan keluar..."

"Jangan Bu. Jangan minta berhenti. Jangan keluar," kata Boma.

Ucapan polos anak ini membuat air mata yang sejak tadi terbendung menggelinding jatuh ke pipi putih Ibu Renata. Isak tangis perempuan ini semakin keras. Boma memandang ke ara pintu. Dia takut saat itu ada guru atau orang lain yang melihat.

"Bu, bagaimana Ibu tau kalau saya menyebar cerita itu? Ada yang melapor?" Boma tiba-tiba ajukan pertanyaan.

"Kamu tidak perlu tau siapa yang memberi tahu, siapa yang melapor. Pak Nugroho Kepala Sekolah tadi pagi memanggil saya. Dia tau cerita itu karena katanya sudah tersebar di antara anak-anak sekolah, di antara para guru. Kamu tahu apa yang Pak Nugroho bilang?"

Boma menggeleng. "Kamu mau tahu?"

Boma tak berani menjawab.

"Pak Nugroho bilang apa yang saya lakukan sangat tidak pantas. Seorang guru perempuan mengajak muridnya menonton! Bukan saja merupakan satu tindakan yang keliru, tapi juga merusak image guru." Ibu Renata menyeka air mata yang semakin banyak bercucuran.

Boma mulai bingung. Dia bangkit dari bangku. Hendak dipegangnya tangan Ibu Renata. Dia takut. Akhirnya ditowelnya hidungnya sendiri lalu melangkah keluar Ruangan Guru. Di pintu anak ini hentikan langkahnya dan membalik. Untuk beberapa lamanya dipandanginya Guru Bahasa Inggris itu. Sikap dingin masih belum pupus dari wajah perempuan muda itu.

"Pergi Boma, pergilah..." kata Ibu Renata sambil melambaikan tangan menyuruh Boma pergi.

Tapi Boma tidak beranjak dari tempatnya berdiri. "Ibu Renata, sekali lagi saya sumpah. Saya tidak berbuat sejahat itu." Ibu Renata geleng-gelengkan kepala. "Kalau sumpah saya palsu, biar saya nggak selamat."

Habis berkata begitu Boma menowel hidungnya sampai tiga kali lalu membalikkan badan, melangkah cepat-cepat meninggalkan Ruang Guru. Setelah Boma keluar dari ruangan guru, Ibu Renata masih tertegak di belakang meja. Ucapan Boma terngiang di telinganya.

"Kalau sumpah saya palsu, biar saya nggak selamat."

"Berani sekali. Seberani itu dia bersumpah," kata Ibu Renata dalam hati.

********************

BOMA berjalan sambil memukul-mukulkan tinju kanannya ke dalam telapak tangan kiri. "Ajie Gilel" Kenapa jadi begini urusannya? Musti gua selidikin siapa yang punya kerjaan!"

Saat itu Boma ingin sekali ada kawan-kawannya yang masih belum pulang. Ingin sekali dia menceritakan apa yang barusan dibicarakannya dengan Ibu Renata. Mungkin dengan menyampaikan hal itu dadanya bisa lega, perasaannya bisa tenang. Namun baik Ronny, Firman, Vino, maupun Andi dan Rio, tak satupun yang ada di sekolah. Semua sudah pulang. Boma berdiri di pintu gerbang sekolah.

Suara deru motor yang bising membuat dia berpaling. Guru Olahraga Bapak Sanyoto lewat dengan sepeda motor yang bocor kenalpotnya.

"Siang Pak," kata Boma sambil anggukkan kepala.

Mungkin tidak melihat, mungkin juga tidak mendengar salam anak muridnya, Guru Olahraga itu lewat saja tanpa menjawab hormat Boma.

"Nggak denger sih mungkin," kata Boma jadi kesal karena penghormatannya seolah tidak diacuhkan. "Budek sih mungkin. Soalnya tuh motor udah kayak suara speed boat aja. Tapi buta jelas nggak. Rugi gua ngasih hormat. Sialan! Tapi udahlah. Buat apa aku pikirin." Borna menowel hidungnya.

Langit semakin gelap. Hujan rintik-rintik berubah lebat. Boma tutupi kepalanya dengan tas, melangkah tinggalkan pintu gerbang sekolah. Tapi langkahnya tertahan ketika di belakangnya ada suara deru mobil. Menoleh ke belakang sebuah Suzuki Katana putih meluncur perlahan. Di belakang kemudi duduk Ibu Renata. Hujan lebat turun mendera. Boma masih tegak di pintu gerbang berpayung tas sekolah.

Suzuki Katana lewat di sampingnya. Saat itu ingin sekali Boma melihat. Ibu Renata menurunkan kaca jendela kiri Suzuki Katana, ingin sekali mendengar Guru Bahasa Inggris itu menyapanya.

"Boma, ayo ikutan sama saya..."

Namun harapan itu hanyalah suara hati Boma Tri Sumitro sendiri. Suzuki Katana meluncur melewatinya. Boma baru sadar dan beranjak dari pintu gerbang sekolah setelah sekujur tubuh dan pakaiannya basah kuyup.

Honda Tiger merah berhenti di ujung gang. "Di sini aja Ron. Nggak usah masuk," kata Boma. Begitu motor berhenti Boma segera turun.

"Aku juga males masuk Bom. Takut didamprat kakek tetangga kamu itu. Dikit-dikit mau ngeguyur kepala gua sama air kencing. Padahal gue rasa tu kakek boro-boro kencing, kentut aja udah nggak bisa!"

Boma tertawa lebar mendengar ucapan Ronny Celepuk. "Besok hari Minggu gimana?" tanya Ronny

"Jadi ke rumah Allan?"

"Boleh, tapi awas lu, jangan keliwat siang. Janji pagi dateng siang, siang dateng sore. janji malem bisa-bisa lu dateng subuh."

Ronny menyengir. Boma lambaikan tangan. Anak ini tengah berjalan ke tukang rokok diseberang jalan untuk membeli Gudang Garam Filter pesanan ayahnya ketika tiba-tiba dari arah belakang sebuah Toyota Hardtop berhenti. Dua orang keluar dari sebelah depan, tiga lainnya melompat dari bagian belakang kendaraan.

Boma yang mendadak mendapat firasat tidak enak, cepat menyeberang, melangkah ke arah tembok tinggi sebuah bangunan. Karena mau berbalik dan masuk ke gang. Di mulut gang sudah dihadang dua dari lima orang yang barusan turun dari jip. Anak lelaki ini sekarang ingat. Toyota jip itu sebelumnya mengikuti dia dan Ronny lalu lenyap di satu tikungan jalan. Tahu-tahu kini muncul di belakangnya. Dugaan Boma tidak keliru. Dia mendengar ada suara seseorang berkata.

"Bener dia Fred! Sayang temannya udah pergi!"

Fred. Boma ingat. Itu nama lelaki berewok yang memukulinya di toilet Gramedia. Dan suara orang yang barusan bicara sama dengan suara temannya si berewok. Boma mencapai tembok, membalik. Lima orang berdiri di hadapannya. Si berewok di tengah-tengah.

"Jagoan tengik! Gua mau liat kehebatan lu sekali lagi!" si berewok membuka mulut. Dia memberi isyarat dengan gerakan tangan.

Empat orang temannya, dua di kiri dua di kanan tanpa banyak bicara langsung menyerbu Boma. Perkelahian tidak seimbang segera terjadi. Walau mampu melayangkan tinjunya beberapa kali dengan telak ke arah lawan namun dengan cepat Boma terdesak. Lebih-lebih setelah si berewok ikut membantu empat temannya.

Pedagang rokok yang melihat kejadian itu berteriak kaget. Tapi kembali masuk ke dalam kios rokoknya dengan ketakutan ketika dua orang penyerang mengancam. "Berani macem-macem gua bakar kios lu!" ancam salah seorang pengeroyok.

Darah mengucur dari hidung dan mulut Boma. Kakinya mulai goyah. Ketika satu jotosan melanda perutnya dan satu tendangan menghajar tulang kering kaki kirinya, anak ini langsung roboh.

"Abisin! Bikin mampus!"

"Jangan dibunuh Fred! Nanti jadi urusan!"

"Bunuh! Urusan belakangan!" kata si berewok. Lalu dia mengeluarkan sebilah belati dari pinggangnya, diserahkan pada salah seorang temannya.

Pada saat itulah seperti kejadian di toilet toko buku Gramedia. Boma tiba-tiba merasakan ada hawa dingin di tengkuknya. Tubuhnya bergeletar panas. Nafasnya seperti membara. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat keatas. Lima orang yang mengeroyoknya sama terkejut. Dua orang berlaku lengah. Tinju Boma bersarang di hidung lelaki sebelah kanan.

"Praakk!"

Orang ini meraung keras. Tulang hidungnya pecah. Darah mengucur deras. Korban kedua muntah darah ketika tendangan Boma mendarat di dadanya. Orang ini langsung jatuh terduduk, mengerang kesakitan beberapa lamanya lalu susah payah berusaha berdiri. Lelaki yang memegang belati tusukkan senjata di tangan kanannya ke perut Boma. Nasibnya tak kalah jelek dari dua temannya. Tinju kanan Boma menyodok ulu hatinya. Orang ini megap-megap sambil pegangi perut. Belatinya jatuh entah kemana. Boma melompat. Tangan kiri dihantamkan ke kening orang.

Seekor burung putih, entah dari mana datangnya, terbang di atas tempat terjadinya perkelahian lalu hinggap di cabang pohon dekat kios rokok. Sesaat lagi tangan kiri Boma akan menghantam batok kepala orang yang tadi hendak menikamnya dengan belati, tiba-tiba Boma merasa ada yang mencekal lengan kirinya. Bersamaan dengan itu ada suara berkata.

"Anak setan! Kau membunuh orang dengan tangan mautmu? Apa kau lupa telapak tangan kirimu ada tanda silang, tanda kematian? Apa kau lupa tangan kirimu sudah kuisi ilmu kesaktian?!"

Boma terkejut. Dia memandang ke kiri dan kanan. Dia tak melihat orang yang bicara. Anak ini mencium bau pesing. Dia coba berontak. Tapi tak mampu lepaskan diri dari cekalan tangan yang tak kelihatan. Boma kemudian mendengar seseorang berteriak.

"Fred! Cabut Fred!"

Lima orang pengeroyok berhamburan naik keatas Toyota Hardtop. Kendaraan itu tancap gas, lenyap dalam beberapa detik saja.

Boma tersurut mundur ketika di depannya kelihatan satu sosok samar bungkuk sementara bau pesing tercium makin santar. Sosok samar perlahan-lahan kelihatan semakin nyata. Boma tambah tersurut.

"Nek..." Boma mengenali.

Nenek hitam bermuka kulit pembungkus tulang dengan lima tusuk konde di atas batok kepalanya. Nenek inilah yang menolongnya sewaktu ditimpa malapetaka di Gunung Gede. Nenek ini pula yang memberikan ilmu secara aneh padanya. Saat itu beberapa orang berdatangan ke tempat kejadian itu, termasuk tukang rokok dipinggir jalan. Si nenek menggerendeng.

"Anak setan, nanti aku datang lagi menemuimu. Sekarang kau telan ini..." Begitu berucap si nenek sumpalkan satu benda hitam sebesar ujung ibu jari. Empuk-empuk pahit.

"Nek, kau menjejali aku tai kambing apa racun?"

Si nenek tertawa cekikian. "Itu obat yang akan menyembuhkan seluruh luka yang kau alami. Sudah, jangan banyak tanya. Telan saja! Namanya saja obat. Mana ada obat semanis gulanya cendol! Hik hik hik!"

Si nenek cabut sesuatu dari pinggangnya. "Ini satu lagi aku berikan padamu!"

Boma kerenyitkan keningnya. "Apa ini Nek?" tanya Boma.

"Mana tahu aku apa ini namanya! Dikampungku di puncak Gunung Gede tak pernah ada benda beginian. Ambil. Pasti nanti ada gunanya bagimu!"

Boma mengambil benda yang diberikan si nenek. Ternyata benda itu adalah kaleng tipis plat nomor mobil. Plat nomor polisi sebelah belakang Toyota jip yang dikendarai lima pengeroyok. Ketika Boma masih bingung dan mau bertanya, si nenek bau pesing telah lenyap dari hadapannya.

T A M A T

Munculnya Pangeran Matahari

1. MENGHAJAR SI BODONG

RONNY Celepuk memperlambat motornya, memberi jalan pada dua pejalan kaki yang menyeberang. Vino yang membonceng dibelakang memandang ke kiri, lalu menoleh ke kanan. Ketika memperhatikan ke gedung pertokoan, tak sengaja matanya melihat seseorang di depan toko. Langsung Vino menepuk bahu Ronny dengan tangan kiri.

"Ron, gue liat Si Bodong."

Mendengar ucapan Vino, Ronny batal menyentak gas motor. Dengan gerakan melejit dia membawa kendaraan itu ke tepi jalan dan berhenti. Helm di atas kepalanya didorong ke atas.

"Si Bodong? Di mana?"

Vino menunjuk ke arah gedung pertokoan. "Sana di Atrium."

"Kamu nggak salah liat?"

"Nggak..."

"Sendirian?"

"Sama cewek. Aku nggak ngenalin ceweknya. Keliatannya sih bukan anak Nusantara Tiga..."

"Kebetulan kalau gitu!" kata Ronny. Gas motor disentak-sentakkannya hingga kendaraan itu mengaum keras.

"Kebetulan gimana?" tanya Vino di antara bising deru suara gas Honda Tiger.

Ronny memperkecil tarikan gas motor. "Apa lu udah lupa peristiwa waktu acara perpisahan minggu lalu? Kamu sendiri yang bilang ngeliat dia ngelemparin aku dan Boma sama telor busuk! Ini kesempatan Vin! Aku mau bikin dia tau rasa!"

"Selama ini Si Bodong nggak suka rese sama kita-kita. Gua rasa dia ada yang nyuruh," kata Vino.

"Apa lagi lu bilang gitu! Kita musti nyelidikin siapa yang nyuruh dia! Biar ketauan dalangnya. Aku sikat sekalian!"

"Ala, udahlah Ron. Nanti aja kita beresin urusan sama si Jumhadi itu. Kita masih ada urusan lain."

"Nggak bisa. Aku memang sudah lama nyariin tu anak!" jawab Ronny.

Gas motor disentakkan. Kendaraan itu melesat lurus ke depan lalu membelok melewati pintu masuk Atrium Plaza di pusat pertokoan Senen. Siang itu pengunjung Atrium Plaza cukup ramai. Mungkin karena masih bulan muda jadi banyak yang belanja. Ronny dan Vino mencari di lantai dasar pertokoan. Jumhadi alias Si Bodong tidak kelihatan. Naik ke lantai satu, terus lantai dua, Si Bodong masih belum ditemukan. Ketika mereka menuju tangga jalan mau naik ke tingkat tiga, Vino menggamit pundak Ronny.

"Ron, itu... Di depan foto studio." Vino hanya menggoyangkan kepala, tak mau menunjuk.

Ronny Celepuk mengikuti arah pandangan temannya. Benar, di depan sebuah foto studio tampak Si Bodong tegak berdampingan dengan seorang anak perempuan. Tengah asyik melihat foto-foto yang dipajang di belakang kaca. Ronny monyongkan mulutnya.

"Kemon Vin," kata Ronny dengan gaya koboi.

Dua anak itu melangkah cepat-cepat. Ronny sebelah depan. Karena itu dia yang sampai lebih dulu di depan foto studio. Langsung saja Ronny memegang bahu kiri Jumhadi lalu diremas. Membuat Jumhadi terkejut dan kesakitan. Dia menoleh. Jumhadi lebih terkejut ketika melihat siapa yang meremas bahunya. Wajahnya berubah pucat. Matanya memperhatikan tampang garang Ronny Celepuk. Jumhadi melirik ke samping, kearah Vino yang berdiri di sebelah Ronny.

"Bodong, gua mau ngomong!" kata Ronny. Tangan kanannya menarik lengan Jumhadi ketoko sebelah lalu dengan tangan yang sama dia mendorong dada Jumhadi hingga anak lelaki ini tersandar ke kaca etalase.

"Ada apa Ron. Kau mau ngomong apa-an?" tanya Jumhadi alias Si Bodong.

"Jangan banyak bacot!" sentak Ronny. "Lu jawab pertanyaan gua! Lu yang ngelemparin gua sama Boma pakai telor busuk!"

"Eh, gua kagak ngarti. Maksudmu apa Ron? Kapan gua ngelemparin kamu?"

"Bukkkk!"

Jotosan tangan kanan Ronny tiba-tiba mendarat di perut Jumhadi, tepat di pusarnya yang bodong. Anak ini seperti mau melintir. Tampangnya jadi merah keriput. Anak perempuan temannya keluarkan seruan tertahan.

"Hai, apa-apaan nih! Kok main pukul?!" Anak perempuan itu berteriak. Dia hendak melangkah mendekati Ronny tapi Vino cepat mencegat sambil berkata,

"Tenang aja. Nggak ada apa-apa. Udah, jauh-jauh sana..."

Orang mulai berdatangan, mau tahu apa yang terjadi di depan toko. Ronny tidak perduli. Dia cekal kerah baju kaos Jumhadi dengan tangan kiri.

"Kalau lu nggak mau ngaku, gua permak muka lu!" Ronny mengancam. Jari-jari tangan kanannya dikepal kencang.

"Nggak Ron, gua... Bukan gua yang ngelempar..."

"Oo gitu?! Lalu siapa? Ayo bilang, siapa?!" Cekalan Ronny makin keras dan makin naik hingga sosok Jumhadi yang kalah besar dengan Ronny terbembeng ke atas.

"Nggak tau Ron. Gua nggak tau," kata Jumhadi. Dengan ke dua tangannya dia berusaha melepaskan cekalan Ronny.

"Vino ngeliat! Dia nyaksiin lu yang ngelempar! Dasar Bodong! Gede bohong!"

"Gua... gua nggak bohong Ron. Lepasin Ron..."

"Hai! Lepasin!" Teman perempuan si Bodong berusaha menarik tangan Ronny tapi lagi-lagi dihalangi oleh Vino. Orang makin banyak berkerumun. Pemilik toko begitu melihat ada ribut-ribut di dekat pintu tokonya segera keluar.

"Hei! Kalau mau ribut jangan di sini! Pergi sana!" Si pemilik toko berteriak. Matanya dipelototkan pada Ronny Celepuk.

Saat itu Ronny sedang marah besar. Ditegur orang dia jadi tambah beringas. Tampangnya jadi angker. Benar-benar seperti burung celepuk.

"Jangan ikut campur! Mau ikutan minta digebuk?"

Ronny dan pemilik toko saling berperang pandang. Lama-lama pemilik toko keder juga. Dia masuk kembali ke dalam toko tapi diam-diam mengangkat pesawat tilpon di dekat meja kasir.

"Ron, lepasin Ron..." Si Bodong berusaha menarik lepas tangan Ronny yang mencekal kerah baju kaosnya.

"Lu nggak mau ngaku ya?!" Ronny membentak. Tinju kanannya diangkat keatas, ditarik ke belakang. Siap dihunjamkan ke muka si Bodong.

"Jangan Ron. Jangan pukul..."

"Lu mau ngaku nggak?!"

"Ron, aku..."

Ronny habis sabarnya. Tinju kanannya menderu, menghantam mulut Si Bodong tepat di bawah hidung. Bibir anak ini pecah. Darah mengucur. Si Bodong terduduk di lantai. Mengerang menahan sakit sambil pegangi mulutnya yang jontor berdarah. Teman perempuannya menjerit histeris melihat darah yang mengucur di sela-sela jari tangan Si Bodong. Ronny masih belum puas. Dia jambak rambut Si Bodong. Ketika lututnya mau dihantamkan ke muka anak itu Si Bodong cepat merangkul kaki Ronny.

"Udah Ron... Udah," kata Si Bodong. Lalu meluncur ucapan pengakuan dari mulutnya yang berdarah. "Memang aku yang ngelemparin telor busuk. Tapi aku cuma disuruh Ron..."

"Siapa yang nyuruh?!" Ronny perkeras jambakannya di rambut Si Bodong.

"Si... si..." Si Bodong tidak meneruskan ucapan. Seolah takut mau memberi tahu. Dia seka darah di mulutnya dengan belakang telapak tangan kiri.

"Siapa?!" bentak Ronny. Lututnya ditempelkan ke jidat Si Bodong.

"Si Anton... Dia yang nyuruh..."

"Sialan!" Ronny memaki. Jambakannya dilepas. Bodong terduduk nanar di lantai pertokoan. Di tangga jalan Vino melihat dua orang Satpam naik ke tingkat atas. Vino cepat membisiki Ronny.

"Cabut Ron."

Ronny juga sudah melihat dua Satpam itu. Anak ini tidak langsung cemas. Cepat dia memperhatikan keadaan, membaca situasi. Lalu berkata. "Ikutin gua."

Dua anak itu bergegas, menyeruak di antara orang banyak. Di belakang sana ada suara perempuan berteriak.

"Copet! Copet!" Yang berteriak teman perempuan Si Bodong sambil menunjuk ke arah Ronny dan Vino.

"Bahaya Ron. Kita diteriakin copet," kata Vino. Dia membuat gerakan hendak lari.

"Jangan lari Vin, jalan biasa! Jalan biasa!" kata Ronny. Kalau sampai temannya itu lari kemungkinan besar orang banyak akan menduga mereka benar-benar copet dan akan mengejar lalu menggebuki. Ronny melirik ke kiri. Dia melihat pintu lift terbuka. Tiba-tiba Ronny menarik tangan Vino. Kedua anak ini lenyap masuk ke dalam lift. Di dalam lift Vino masih tampak pucat. Berkali-kali dia menarik nafas panjang.

"Hampir celaka Ron. Kamu benar Ron. Untung kita nggak lari. Kalau orang-orang nyangka kita copet benaran, bisa bonyok kita berdua digebukin orang!"

Ronny cuma nyengir mendengar ucapan Vino.

********************

2. PRAKTEK HOMO DALAM TOILET

GITA PARWATI menyantap hamburger dimulutnya dengan lahap. Saos tomat campur sambal meleleh di sudut bibirnya, turun ke dagu. Boma dan Firman senyum-senyum memperhatikan. Saat itu ke tiganya berada di mini restoran di lantai atas toko buku Gramedia.

"Git, makannya lahap banget," kata Boma. "Lagi lapar, apa doyan apa memang rakus?" Gita diam saja. Dengan kertas tisu disekanya saos tomat dan sambal yang meleleh di dagunya.

"Bukan lapar, bukan doyan bukan rakus. Tapi lagi ada yang dikeselin. Orang yang ditunggu nggak nongol. Balas dendamnya sama hamburger," kata Firman.

"Allan oh Allan. Di mana gerangan engkau...?" Boma berkata dengan gaya nada seorang pembaca puisi membuat Firman cekikikan. Allan adalah anak baru di Nusantara III, yang dikenal Gita sewaktu mendaftar di kantor sekolah. Sejak pertemuan pertama kali itu keduanya jadi akrab satu sama lain. Gita masih diam. Tangannya bergerak menjangkau teh botol dingin di atas meja. Meneguk minuman itu sampai setengahnya lalu bersandar ketembok.

"Kalian ngeledek terus dari tadi..."

"Ini udah siang Git. Aku sama Firman mau ke rumah Ronny," kata Boma. "Pacar lu dateng nggak?"

"Pacar... pacar. Emangnya gua pacaran sama Allan."

"Jangan suka begitul Git. Belon masuk sekolah kamu sudah lengket sama dia. Kayak lem Uhu. Apa lagi nanti kalau sudah masuk. Terus-terusan ketemu. Wah, aku nggak bisa ngebayangin deh!" Firman senyum-senyum.

"Kalau nggak sabaran udah, pergi aja sana. Tapi gue nggak mau ngebayarin. Kalian keluarin doku sendiri-sendiri."

Boma menowel hidungnya. "Tuh, ngancemnye jelek banget. Kamu janjinya sama Allan gimana?"

"Kemaren aku ketemu dia. Bilang hari ini aku mau ke Gramedia. Jam sepuluh. Dia bilang mau datang, ketemu di sini."

Firman melirik ke arloji di pergelangan tangan Gita. "Sekarang hampir jam sebelas. Si Allan memang keliwatan..." Firman geleng-geleng kepala.

"Bukan Si Allan keliwatan, tapi si Allan memang Sialan," kata Boma pula.

Gita langsung tendang kaki Boma dengan ujung sepatunya hingga Boma menyeringai kesakitan.

Firman tiba-tiba keluarkan suara bersiul. "Git, kamu boleh girang deh sekarang. Lihat tuh siapa yang lagi naik di tangga jalan."

Gita Parwati dan Boma berpaling ke arah tangga jalan. Saat itu seorang anak lelaki ceking tinggi, mengenakan jins warna hitam, t-shirt putih tengah meluncur di tangga jalan. Rambut coklat setengah gondrong, menjulai di sebelah depan. Wajahnya tidak bisa dikatakan tampan. Jerawat besar kemerah-merahan menutupi hampir seluruh wajahnya. Matanya besar tapi tidak bercahaya. Pandangannya kosong. Inilah Allan, anak lelaki yang ditunggu-tunggu Gita. Allan tertawa lebar dan lambaikan tangan begitu melihat Gita, Boma dan Firman.

"Sorry Git. Sorry teman-teman. Aku terlambat." Allan keluarkan ucapan begitu sampai di depan meja.

"Kamu sih kira-kira dong. Gita hampir nangis nungguin kamu. Air matanya sampai masuk kedalam." Boma berkata sambil berdiri.

Gita cemberut Di bawah meja kakinya bergerak lagi mau menendang tapi Boma sudah menjauh. Firman juga ikut-ikutan bangkit dari kursi.

"Git, Allan, aku sama Firman cabut duluan," kata Boma.

"Eh, pada mau ke mana?" tanya Allan pura-pura heran, padahal hatinya senang ditinggal berdua dengan Gita. Allan berpaling pada Gita lalu bertanya. "Udah bilang sama Boma?"

Gita menggeleng. Boma dan Firman yang hendak beranjak pergi jadi hentikan langkah di samping meja.

"Bilang apa-an?" tanya Boma.

"Ah udah. Nanti aja," jawab Gita. "Soal Si Bodong dihajar sama Ronny?"

Gita menggeleng. "Lalu?"

"Nanti aja Bom. Nanti di sekolah. Hari Senin depan kita kan mulai masuk..."

"Kamu bikin hati gua jadi nggak enak Git. Memang ada apa-an sih?" tanya Boma.

"Udah Git, kasih tau aja," kata Allan.

Gita Parwati merubah duduknya. "Oke deh. Soal Dwita..."

"Dwita?" ujar Boma.

"Aku dengar kabar bokapnya dapat tugas baru di luar negeri. Katanya di New York. Markas Besar PBB. Paling cepat empat bulan lagi sudah harus berangkat."

Tiga pasang mata memperhatikan Boma. Gita, Allan dan Firman tidak melihat perubahan pada wajah Boma. Padahal apa yang barusan didengar Boma membuat jantung anak ini jadi berdebar keras. Boma tidak berkata apa-apa. Dipegangnya bahu Gita lalu melangkah ke arah tangga. Firman mengikuti di belakang.

"Seharusnya tadi kamu nggak usah maksa aku bilang soal Dwita," kata Gita begitu Boma dan Firman berlalu.

"Lebih cepat dikasih tau lebih bagus. Kasihan Boma kalau dia tahu cuma tinggal beberapa hari." Jawab Allan.

"Bagusnya sih biar Dwita aja yang ngasih tau. Saat ini Boma pasti ngerasa nggak enak..." Gita menatap Allan sebentar, tersenyum. "Matamu kok merah?"

"Aku kurang tidur Git."

"Kurang tidur atau kebanyakan tidur?"

"Kurang tidur." Jawab Allan.

"Begadang?"

"Nggak juga. Aku haus. Mau pesan minuman dulu." Allan melambaikan tangan, memanggil pelayan.

********************

TURUN dari tangga jalan Boma berkata. "Man, aku mau ke toilet dulu."

"Aku juga pengen kencing," kata Firman.

Sambil melangkah ke toilet yang terletak di bawah tangga Boma bertanya. "Man, kamu tadi meratiin nggak tampangnya Si Allan?"

"Maksud kamu jerawat batunya yang tambah numpuk?" balik bertanya Firman. "Pasti otak kotormu lagi jalan. Pasti kamu niikir begini. Tu muka yang penuh jerawat disenggol tangan aja sakitnya bukan main. Gimana kalau lagi main gusel-guselan sama Si Gita..."

"Otak lu yang bau comberan, bilang otak gue kotor!" Tukas Boma Sambil menowel hidung.

"Aku liat mata Si Allan merah. Tapi aku yakin itu bukan karena kurang tidur. Bukan akibat banyak begadang. Pandangannya kosong. Gerakan tangan agak gemetaran. Bahunya sesekali sempoyongan kayak layangan singit."

"Udah, bilang aja 'tu anak kayak habis teller. Iya kan?" ujar Firman. "Tapi kalau habis nenggak miras biasanya musti ada bau-bau alkohol."

"Bukan miras Man. Bukan alkohol..." kata Boma.

Seorang lelaki gemuk dan anak lelaki kecil keluar dari dalam toilet. Boma dan Firman masuk. Di dalam toilet kecuali Boma dan Firman saat itu tidak ada orang lain. Tiba-tiba dua orang bertubuh kekar masuk. Dua-duanya berambut gondrong. Yang satu berewokan. Di luar sana ada orang ketiga menutup pintu, menjaga jalan masuk. Tidak itu saja. Orang ini menempelkan sehelai kertas di pintu. Di atas kertas itu tertulis 'Maaf toilet rusak'

Boma kencing di sudut kiri. Firman satu kloset terpisah di sebelah kanan. Dua orang berbadan tegap tahu-tahu sudah berdiri di kiri-kanan Boma. Keduanya tidak kencing. Merasa dipandangi dari samping, Boma jadi tidak enak. Kencingnya tersendat tidak lampias. Dia berpaling pada lelaki di sebelah kanan.

"Kamu anak Nusantara Tiga?" Tiba-tiba si kekar berewok bertanya dengan suara garang. Nafasnya menebar bau alkohol. Mendengar Boma ditanyai Firman menoleh tapi giliran dia yang dibentak oleh teman si berewok.

"Mau apa lu liat-liat?!"

Firman yang berbadan kecil jadi terdiam. Tapi anak ini tidak merasa jerih atau takut. Di sekolah dia sering disebut sebagai anak kelotokan. Artinya tidak takut sama siapa saja, kadang-kadang berlaku aneh. Cuma untuk melawan lelaki berbadan kekar ini Firman memang harus berpikir lebih dari dua kali. Lagi pula dia tidak tahu apa yang tengah terjadi dan mau apa kedua orang itu. Mau ngompasl Mau malak!

Ditegur kasar Boma tidak menjawab. Restluiting celana jinsnya ditarik ke atas. Dia merasa sesuatu yang tidak benar bahkan membahayakan dirinya dan Firman akan terjadi. Ketika Boma tengah mengancingkan ikat pinggang, orang di sampingnya mendorong bahunya dengan kasar.

"Kamu budek?! Ditanya diam aja!"

Boma tetap tak menjawab. Dia menatap wajah orang itu sesaat, melirik ke arah Firman lalu sambil memberi isyarat dia berkata. "Ayo Man, kita keluar."

Begitu Boma melangkah ke pintu yang tertutup, si berewok ulurkan tangan mencekal kerah kemejanya.

"Mana temen lu Ronny Celepuk?" Orang yang mencekal bertanya sambil menyentakkan cekatannya.

"Nggak ada. Nggak tau..." Jawab Boma.

"jangan ngibul! Kamu Boma kan? Anak SMA Nusantara Tiga! Kalau ada kamu pasti juga ada Ronny Celepuk!"

"Nggak ngibul tuh! Liat aja sendiri! Apa ada Ronny Celepuk di tempat ini!" kata Boma. Suara dan sikapnya kalem-kalem saja. Padahal saat itu jantungnya dag-dig-dug juga.

"Anak gendenk! Lu mau nantang gua hah?!"

Dengan tangan kirinya orang itu dorong kening Boma hingga kepala Boma terdongak kebelakang.

"Nantang? Siapa yang nantang?!" sahut Boma. Orang yang mencekal kerah kemejanya memang besar kekar dan seram tapi sealis lebih pendek dan dirinya tak kenal orang ini. Sebaliknya, agaknya orang ini tahu siapa dia.

"Wah, berani juga nih kunyuk!"

"Memang dia sok jadi jagoan!" Lelaki kekar satunya bicara. "Katanya dia punya ilmu. Mulai aja Fred! Aku mau liat ilmu apa sih yang dia punya! Aku biar jagain monyet yang satu ini."

Si berewok menyeringai. Boma didorong hingga tersandar ke dinding ruangan. Lalu laksana kilat tangan kanannya bergerak.

"Plaaakk!" Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Boma. Seumur hidup baru sekali ini Boma ditampar orang seperti itu. Ayahnya saja yang terkenal galak sama anak tidak pernah menampar. Sudut kiri bibir Boma pecah. Darah meleleh. Boma merasa seperti ada ledakan dahsyat di telinga kirinya. Untuk beberapa lama anak ini tertegak nanar, meringis menahan sakit, telinga mengiang, air mata meleleh dari sudut mata kiri. Bukan air mata menangis tapi air mata saking hebatnya dia berusaha menahan sakit.

"Katanya lu punya ilmu! Kok baru digampar aja udah ngulet kesakitan!" Lelaki di belakang Boma mengejek.

Si berewok yang barusan menampar ikut bicara. "Katanya jagoan! Nggak taunya cuma banci cengeng!"

"Hajar lagi Fred, biar dia tahu rasa!" kembali teman si berewok berucap.

Firman tiba-tiba menerjang ke depan. Dia berusaha menendang orang yang barusan menampar Boma. Tapi kawan si berewok cepat menghadang. Bukan cuma menghadang, malah sekaligus melayangkan jotosan. Sosok kecil Firman terpental lalu terjengkang di lantai toilet begitu tinju keras melanda dadanya. Anak ini melingkar di lantai, mengerang kesakitan sambil pegangi dadanya yang serasa amblas.

Dasar anak kelotokan, meski menderita sakit bukan main tapi dia gulingkan badan, menangkap kaki orang lalu mengigit pahanya. Blujins yang dipakai orang itu cukup tebal tapi gigi-gigi runcing Firman masih bisa tembus lalu menghunjam di daging pahanya. Orang ini menjerit kesakitan.

"Bangsat! Main gigit!" Dijambaknya rambut Firman lalu kepala anak ini disentakkannya. Begitu tubuh Firman terangkat dia kembali daratkan jotosan. Firman terpekik. Jotosan mendarat tepat di keningnya.

Lutut anak ini langsung terlipat. Dalam keadaan seperti itu tubuhnya didorong kuat-kuat hingga terpelanting, terkapar di lantai toilet yang kotor, mengerang kesakitan. Sebenarnya Boma masih bisa menahan rasa sakit tamparan lelaki berewok. Dia ingin menanyakan salah apa sampai dia ditampar seperti itu.

Tetapi ketika melihat Firman dijotos dan dibanting amarah Boma Tri Sumitro yang mendapat cap Anak Geblek dan terakhir malah dijuluki Anak Baru Gendenk menggelegak seperti air mendidih. Ubun-ubunnya serasa mengepulkan hawa panas. Dadanya membara. Apa lagi saat itu di depan dilihatnya si berewok mengayunkan tangan hendak meninju mukanya.

"Bang, jangan Bang. Jangan pukul. Saya kan nggak punya salah apa-apa sama Abang."

Luar biasa. Dalam keadaan seperti itu mendadak saja Boma mampu menindih hawa amarahnya dan keluarkan ucapan polos sabar.

"Jangan banyak bacot!" bentak si berewok. Tinju kanannya menderu.

"Bukkk!"

Jotosan si berewok mendarat. Bukan di wajah Boma, melainkan di atas telapak tangan kiri anak lelaki itu. Boma berhasil menangkis serangan orang.

"Bangsat! Berani ngelawan!" Si berewok pergunakan tangan kiri untuk meninju perut Boma dan tepat mengenai sasarannya dengan telak di ulu hati.

Boma terlipat ke depan. Perutnya seperti pecah. Sesaat Boma sulit bernafas. Lalu serasa mau muntah. Dalam keadaan seperti itu si berewok kembali mengangkat tangan kanan, siap melayangkan tinju berikutnya. Yang diincarnya kali ini adalah hidung Boma. Boma cepat mundur. Tapi punggungnya tertahan oleh papan pemisah kloset.

"Buukk!" Tinju si berewok yang diarahkan ke hidung Boma mendarat di pipi kiri.

Boma seperti melihat ledakan bintang-bintang di pelupuk matanya. Dia nyaris roboh kalau tidak cepat menggapai papan pemisah kloset. Boma baru bisa menarik nafas agak panjang ketika tiba-tiba dari samping kawan si berewok melayangkan tinju ke arah rahang kirinya. Rasa sakit yang amat sangat membuat amarah Boma yang tadi padam kembali menggelegak, lebih dahsyat dari sebelumnya, memusnah kesabaran yang ada dalam dirinya.

Satu hawa aneh tiba-tiba terasa di kuduknya. Hawa ini menjalar ke seluruh tubuh. Entah apa yang terjadi, di mata Boma dua orang lelaki kekar yang memukuli dia dan Firman itu tampak kecil. Rahang menggembung, geraham bergemeletakan. Sepasang mata menyorot aneh. Tangan kanan menowel hidung. Kepala dan pundak dimiringkan. Jotosan yang melayang ke arah rahang ditangkis dengan lengan kiri. Bersamaan dengan itu tangan kanan melesat ke depan.

Kawan si berewok keluarkan suara seperti sapi melenguh ketika tinju kanan Boma menyodok ulu hatinya. Tubuhnya terhempas ke belakang. Dua tangan menggapai udara. Firman yang saat itu sudah berdiri dan tegak bersandar ke dinding sambil pegangi keningnya yang benjol merasa dapat kesempatan untuk membalas.

Sosok kekar yang terhuyung ke belakang itu didorongnya kuat-kuat hingga menghantam pintu wc, terus masuk ke dalam wc. Malang, kepalanya membentur dinding dengan keras. Orang ini tergelimpang miring tak sadarkan diri di lantai wc, sebagian mukanya masuk ke dalam kloset jongkok!

Lelaki berewok tidak sempat melihat apa yang terjadi dengan kawannya. Juga tidak melihat jotosan kilat yang dihantamkan Boma ke hidungnya. Boma tidak tahu apakah hidung itu patah tulangnya. Yang jelas dia melihat ada darah mengucur dari dua lobang hidung dan si berewok megap-megap sukar bernafas. Rasa sakit membuat orang ini jadi kalap. Dia berusaha mencekik leher Boma dengan dua tangannya yang kokoh.

Tapi Boma tidak memberi kesempatan. Sebelum cekikan sampai, tinju kanan Boma untuk kedua kalinya melesat. Kali ini menghantam mata kanan si berewok. Orang ini menjerit keras, melintir sambil pegangi matanya. Ketika tubuh yang melintir berputar menghadap ke arahnya, Boma sarangkan lagi satu tonjokan ke perut lawan. Si berewok terjajar keras amblas masuk ke dalam wc. Jatuh tertelungkup, tepat di atas sosok kawannya.

Melihat dua orang itu tidak bergerak, tidak bersuara Firman jadi takut. Kalau cuma pingsan tidak jadi apa. Tapi kalau ternyata keduanya mati? "Bom, kabur Bom..." bisik Firman.

Tapi Boma tidak punya pikiran untuk segera kabur. "Tunggu Man, dua orang hutan ini musti dikasih pelajaran," ucap Boma.

Lalu anak ini melangkah ke pintu wc. Turunkan retsluiting celana jinsnya. Kencingnya yang tadi tertunda tidak lampias kini dikeluarkan habis-habisan. Dikucurkan mengguyur dua orang yang tergeletak pingsan di dalam wc. Mulai dari badan sampai kepala.

"Gila lu Bom!" kata Firman. "Dasar gendenk!"

Boma menyengir. Sekilas dia melihat wajahnya di dalam kaca. Bengkak besar merah kebiruan menghias pipi kirinya. "Sial!" maki anak ini. Dia berpaling pada Firman yang juga tengah memperhatikan benjut besar di keningnya.

"Man, sekarang saatnya kabur! Sebentar lagi pasti ada yang masuk ke sini," kata Boma.

Sementara itu di luar toilet, lelaki kawan dua orang tadi, yang sebelumnya menempelkan kertas bertuliskan 'Maaf toilet rusak' merasa curiga mendengar teriakan-teriakan di dalam sana. Apa lagi saat itu seorang Satpam dilihatnya terus-terusan memperhatikan kearahnya dari kejauhan. Takut ketahuan, orang ini cepat tanggalkan kertas yang ditempel di pintu lalu membuka pintu, masuk ke dalam toilet. Saat itulah Boma dan Firman menghambur keluar.

"Hai!" orang yang barusan masuk berteriak. Dia hendak mengejar Boma dan Firman. Tapi tidak jadi karena merasa heran tidak melihat dua temannya di dalam toilet.

"Cepetan Man!" kata Boma.

Ketika ke dua anak ini sampai di ujung tangga jalan, Satpam yang sejak tadi memperhatikan sekitar toilet melangkah mendatangi.

"Ada apa?!" Petugas itu bertanya. "Siapa tadi yang teriak-teriak?"

Boma pura-pura mengusap pipinya untuk menutupi benjut lebam di pipi kiri. Firman memandang ke jurusan lain sambil turunkan rambut agar menutup benjut di kening. Firman bingung, tak tahu mau menjawab apa. Boma cepat dapat akal, cepat pula menjawab.

"Pak, cepat masuk ke dalam toilet Pak. Ada dua orang melakukan praktek homo." Kata Boma sambil menggeser langkah.

"Hah?! Apa?!" Si Satpam sulit mau percaya.

"Betul Pak. Kami berdua liat sendiri. Kami kabur ketakutan." ucap Firman. Dia bergerak mengikuti Boma.

"Teman saya ini hampir dikerjain juga!" menambahkan Boma.

"Gila!"

"Ketika Satpam itu melangkah menuju toilet, Boma dan Firman langsung kabur.

********************

3. ALLAN PUNYA MASALAH

Warung bakso di ujung jalan riuh oleh suara gelak tawa tujuh orang anak termasuk Firman yang menceritakan Peristiwa perkelahian ditoilet toko buku Gramedia itu.

"Untung belon masuk sekolah. Kalau nggak kalian berdua bisa jadi tontonan. Kayak anak ondel-ondel..." kata Gita. Lalu anak perempuan gemuk ini tertawa cekikikan.

"Mulai sekarang kau jangan dulu pergi-pergi ke Gramedia, Bom," kata Vino sambil mengusap matanya yang berair karena tertawa terpingkal-pingkal. "Kalau Satpam Gramedia ngenalin kamu, pasti jadi urusan."

"Bukan cuma Satpam itu," kata Gita Parwati.

"Nggak mustahil dua orang yang mau ngerjain kamu datang ke sana. Menunggu kamu sama Firman muncul kembali."

Boma masih terus mengusap-usap hidungnya. Firman lalu berkata. "Waktu kita lagi dipermak orang di dalam toilet, Si Gita malah lagi enak-enakan in the mood bersama Si Allan..."

"Bom kata Ronny. "Kejadian di Gramedia itu jelas ada hubungannya dengan kejadian di Atrium. Buktinya sebelum mukuli kamu, orang itu nanyain aku. Sebetulnya aku yang diincar, tapi kalian berdua yang apes." Suara Ronny bernada sedih, juga menyesal. "Kalau waktu itu gua nggak nonjokin Si Bodong..."

Boma pegang tangan Ronny Celepuk. "Kamu nggak usah ngomong gitu Ron..."

"Mungkin kita semua sudah masuk dalam daftar yang mau dikerjain," kata Vino.

"Kamu nggak ngenalin dua orang itu? Nggak pernah ngeliat sebelonnya?" tanya Andi.

Boma menggeleng. "Tapi kalau ketemu lagi aku pasti ngenalin tampang monyet-monyet itu."

"Aku ingat," kata Firman menyambung ucapan Boma. "Orang yang mau mukulin Boma dipanggil Fred sama temannya. Mungkin namanya Freddy."

"Gila juga Si Bodong. Bisa-bisanya nyuruh orang mukulin aku sama Firman." Boma berkata sambil mengusap-usap hidungnya dengan ujung jari.

"Belum tentu ini kerjaan Si Bodong sendirian," Gita memberikan pendapat. "Mungkin Si Anton juga ikutan. Malah bisa saja tu anak yang jadi dalangnya. Ingat, dia yang nyuruh Si Bodong bego ngelempar kita sama telor busuk!"

Masih mengusap-usap ujung hidungnya Boma memandang pada Ronny lalu berkata. "Heran, sirik apa sih Si Anton sama aku dan kamu Ron?"

"Sama aku sih mungkin kagak Bom. Tapi sama kamu pasti iya," kata Ronny pula.

"Belangnya mulai keliatan waktu dia nyuruh Si Bodong ngelempar telor busuk tempo hari."

"Pasti iyanya kenapa?" ujar Boma. "Walau satu sekolah aku, kita tidak satu kelas sama dia. Ketemu juga jarang. Pokoknya nggak ada yang korslet antara aku, antara kita-kita dengan Si Anton."

"Aku juga nggak ngarti," kata Ronny dan ikut-ikutan mengusapi hidungnya yang seperti paruh burung kakak tua.

"Kalian semua budek en buta," kata Gita.

"Ajie Busyetl Maksud kamu apa non Gita cakep?" tanya Boma sambil mesem-mesem.

"Yang aku dengar, yang aku tau Si Anton itu udah lama ngebet sama Trini. Tapi kepentok kamu, den mas Boma yang ngganteng." Gita balas meledek. Semua mata memandang ke arah Boma.

"Nah, kok kepentok aku?" tanya Boma heran.

"Kepentoknya benjol nggak?!" menimpali Rio.

"Yang kepentok kepala bawah apa kepala atas?" Vino menimpali.

Ronny dan Firman tertawa lebar. Gita cemberut. Boma dan yang lain-lainnya senyum-senyum mendengar ucapan Vino itu.

"Kalau dia memang demen sama Trini ambil aja," kata Boma. "Aku nggak ada hubungan apa-apa sama 'tu cewek kok."

"Jangan begitul Bom. Jangan takabur bom..." ujar Gita.

"Begitul begitil," Boma agak bersungut. "Memangnya aku takabur gimana?"

"Trini itu naksir sama kamu. Jelas. Semua orang tau. Tapi kamunya kayak ogah-ogahan..."

"Git, kamu ini kayak yang nggak tau history aja. Nggak tau sejarah," Vino memotong ucapan si gendut Gita Parwati.

"Keren amat lu ngomong. Maksud kamu apa?" tanya Gita.

"Gue sih ngomong blak-blakan aja bo," kata Vino sambil melirik Boma. "Mau marah, marah deh! Gue ngomong seadanya. Dulu pertama kali memang Boma duluan yang naksir Trini..."

"Enak aja lu!" protes Boma.

"Terusin Vin," kata Gita.

Vino meneruskan. "Tapi Trini jual mahal. Cuek. Mungkin kawan kita ini nggak masuk nominasi karena sudah kebeken gebleknya. Rangkingnya lumayan bagus. Tiga sembilan dari empat satu..." Sampai di situ Vino berhenti bicara, memperhatikan dulu teman-temannya yang pada nyengir, termasuk Boma sendiri. "Mungkin Trini nggak mandang sebelah mata karena Boma bukan anak gedongan. Cuma anak seorang tukang..." Terusan ucapan Vino itu adalah seorang anak tukang sablon. Tapi ucapannya terputus. Boma ulurkan tangan kanan ke arah jidat Vino. Jari-jari ditekuk ke dalam.

"Ayo. Terusin nyebut kerjaan bokap gue. Gue jitak benjol lu!" Boma mengancam. Vino cepat-cepat jauhkan kepalanya.

"Sorry teman-teman, ada kerusakan teknis!" kata Vino membuat teman-temannya kembali tertawa. "Terusin nggak nih?"

"Terusin!" jawab Gita, Andi, Firman, Rio dan. Ronny berbarengan. Boma diam saja.

"Tapi waktu Dwita masuk..." Vino menyambung jalan ceritanya. "Everything changes. Cia illah, keren banget gua." Vino tertawa geli sendiri. "Keadaan berobah. Trini merasa mendapat saingan. Apa lagi Dwita keliatan akrab sama Boma. Lalu Trini pasang kuda-kuda baru. Deketin Boma. Saat itu Si Anton lagi ngebet-ngebetnya sama Trini. Tapi si cewek justru nguber Boma. Anton kesel en kalap. Kita-kita yang jadi korbannya. Nah, begitu jalan ceritanya. Bener nggak penonton?"

"Bennneerrrrr!" Enam mulut menjawab lalu sama-sama tertawa. Boma cuma bisa nyengir.

"Mungkin Si Anton nganggap kamu rakus Bom," kata Firman. Mauin dua cewek sekaligus."

"Kayak pangeran aja," kata Rio.

"Pangeran bandit." Sambung Gita.

"Ajie Gile" Boma menyeringai lalu menowel hidungnya.

"Bom, kamu kalau sehari-hari nggak nowelin hidung, mungkin meriang kali ya?!" ujar Gita yang sejak tadi memperhatikan kebiasaan Boma inenowel hidung.

"Masih mending gua nowelin hidung sendiri. Kalau nowelin hidung kamu mau nggak?" tanya Boma.

"Rasain lu, Dut!" kata Vino tertawa geli.

"Uh, si Boma paling bisa ngebalikin omongan orang!" kata Gita pula.

"Teman-teman, lupain dulu urusan cewek-cewek itu." Ronny mengalihkan pembicaraan. "Lebih penting kita omongin bahaya yang mengancam kita. Pertama bahaya pembalasan dari dua orang yang dikerjain Boma sama Firman di toilet. Kedua bahaya dari Si Anton sendiri. Saat ini dia pasti tambah nggak senang sama kita-kita. Terutama sama Boma."

"Dua orang itu punya itikad jahat Mau melakukan tindak kekerasan. Bagaimana kalau kita lapor Polisi?" kata Andi. "Mungkin bisa pakai jalur bokapnya Trini yang Letkol itu."

Boma gelengkan kepala. "Aku nggak setuju. Soalnya gara-gara urusan orang yang dirampok di bajaj dulu saja, aku jadi bulak balik ke kantor polisi. Ditanya ini itu. Diminta kesaksian. Belum lagi nanti sampai ke sidang pengadilan. Kalau ditambah lagi dengan urusan yang satu ini, buntutnya pasti jadi makin panjang. Alamat bakal banyak bolos nantinya aku di sekolah."

"Soal perampokan itu Bom," kata Ronny. "Kau juga harus hati-hati. Banyak yang bilang, biasanya teman-teman rampok yang ada diluaran suka balas dendam. Apalagi kalau si perampok yang nanti dihukum, keluar dari penjara. Nggak mustahil dia nyari kamu, Bom."

"Aku memang sudah mikirin itu," jawab Boma. "Aku memang harus hati-hati. Tapi kalau kelewat dipikirin, aku bisa stres sendiri. Akhirnya aku bersikap pasrah aja. Minta perlindungan Tuhan."

"Bom, banyak yang bilang kau sekarang sudah punya ilmu. Apa ilmu itu nggak bisa dipakai buat jaga diri?" Bertanya Gita Parwati.

"Ilmu apa-an? Ilmu tai kucing?" ujar Boma pula.

"Tai kucing, tai anjing kek. Kalau kau memang punya ilmu berarti nggak usah terlalu banyak pasrah. Kami teman-temanmu jadi nggak terlalu kawatir." Gita diam sebentar lalu meneruskan. "Waktu kau menghajar dua orang di Gramedia itu, apa kamu ngeluarin ilmu?"

"Memang aku ngeluarin ilmu. Tapi ilmu nekad!" jawab Boma.

Anak perempuan bertubuh gendut itu tertawa lebar. Dia berdiri sambil berkata. "Sorry teman-teman. Aku musti pergi dulu."

"Pergi ke mana Git?" tanya Andi. Yang lain-lain ikut heran.

"Nganterin nyokap ke dokter." Jawab Gita Parwati.

"Ala... Nganterin nyokap apa janji sama nyongnyong?" meledek Ronny.

"Enak aja lu," sungut Gita. "Udah, aku pergi dulu ya."

"Hati-hati Git. Kalau bisa perginya jangan lewat jalan Kramat Raya," kata Vino dengan wajah serius.

"Memang kenapa?" tanya Gita juga serius.

"Ada razia," jawab Vino.

"Razia? Razia apa-an?" Gita tambah serius.

"Razia orang jelek en gendut!" jawab Vino.

"Sialan!" Gita angkat tinjunya tinggi-tinggi. Sebelum tangan itu diayun ke batok kepala Vino, anak lelaki ini cepat menghambur, berlindung di belakang Boma.

"Brengsek!" kata Gita Parwati lalu putar tubuhnya yang gemuk, melangkah keluar warung.

"Ee... Git! Baksonya bayar dulu!" teriak Firman.

"Sa' bodo!" jawab Gita tanpa berpaling.

"Wah, berabe deh kalau kasir kita diantuk penyakit ngambek," kata Ronny pula.

Tak lama setelah Gita Parwati meninggalkan mereka, Boma berkata. "Aku sama Firman pernah ngomong-ngomong soal cowoknya Gita..."

"Si Allan, anak baru itu?" ujar Andi.

Boma mengangguk. "Kayaknya Gita naksir berat sama Allani Allan juga suka sama Gita' ucap Rio.

"Ajie Busyet. Si Gita bukan cuman buta mata, tapi juga buta hidung. Dia betulan naksir sama Si Allan, anak baru itu?" Ronny Celepuk tepuk jidatnya sendiri.

"Soal sama-sama naksir sih itu urusan mereka," kata Firman. "Justru ada hal lain yang bisa jadi masalah. Bukan cuma buat Gita, tapi juga buat kita-kita semua. Malah bisa-bisa masalah buat satu sekolah."

"Ajie Gombal" Ronny lagi yang buka mulut "Memangnya Si Allan ngelakuin apa? Makar terhadap Pemerintah yang syah? Atau kudeta pimpinan SMA Nusantara Tiga?!"

"Ceritain aja Bom," kata Firman.

"Kalian pernah nggak meratiin wajah sama gerak-geriknya tu anak." Boma pandangi wajah teman-temannya.

Tak ada yang segera menjawab. Lalu Rio membuka mulut. "Kalau wajahnya sih jelas. Banyak jerawat. Kalau gerak geriknya..."

"Memangnya kenapa Bom?" Andi bertanya. "Kita-kita memang baru beberapa kali ketemu dia. Soalnya masih belum masuk sekolah. Tapi beberapa kali ketemu aku sering ngeliat matanya merah..."

"Mungkin aja dia tukang begadang..." kata Ronny.

Boma menggeleng. "Mata merahnya Si Allan bukan karena bergadang. Kayaknya ada penyebab lain. Lalu, kadang-kadang aku liat dia duduk atau berdiri seperti orang kehilangan keseimbangan. Tangannya suka gemetaran. Pandangannya kosong. Terus terang aja aku kawatir dia suka nenggak obat terlarang."

"Ah, kamu nggak-nggak aja Bom. Kalau Gita tau kamu ngomong begitu habis kamu didamprat si gendut itu," kata Ronny.

"Aku serius Ron. Kalau Allan suka yang begituan, cepat atau lambat pasti bakal ada teman-teman yang ketularan. Pertama sekali Gita tentunya."

"Bom, kalau dugaanmu nggak benar buntutnya bisa jadi jelek," kata Ronny Celepuk pula.

"Kalau bener?" ujar Boma. Semua terdiam.

"Ada satu lagi," kata Firman. "Kalau di tempat-tempat keliwat ramai Si Allan kadang-kadang seperti orang sesak nafas. Muka pucat keringatan..."

"Jangan-jangan tu anak punya penyakit bengek," kata Rio.

"Bukan bengek, tapi asma," celetuk Vino.

"Asma asmara. Asmara sama Gita."

"Gini aja," kata Boma. "Di antara kita harus ada yang nyelidik. Kalau perlu nanti waktu sudah sekolah ada yang meriksa tasnya."

"Mana mungkin segala obat terlarang ada yang berani bawa ke sekolahan," kata Rio.

"Mungkin aja Ron. Karena kalau ditarok di rumah takut digeledah orang tua..." kata Firman.

"Lalu kita mau bikin apa, bo?" tanya Ronny.

Boma memandang pada Andi. "Di, kamu kan lebih dekat sama Gita dibanding kita-kita. Apa lagi rumah kalian masih satu komplek. Allan pasti sering datang ke rumah Gita. Kamu bisa nggak ngawasin tu anak berdua. Terutama Si Allan."

"Yah, aku coba deh," jawab Andi sambil garuk-garuk kepala.

"Nanya-nanya atau cari keterangan juga bisa," kata Firman

"Nanya-nanya gimana?" tanya Andi pada Firman.

"Misal dia pindah sekolah. Lantaran apa? Minta pindah sendiri atau dikeluarin. Kalau dikeluarin sebab apa? Berantem, tawuran atau suka nenggak obat setan."

"Tapi kamu musti hati-hati, Di," kata Boma pula. "Jangan sampai ketauan sama Si Allan atau Gita kamu nyelidikan dia. Apa lagi kalau sampai kejebak. Ikut-ikutan nenggak obat setan."

"Amit-amit jabang babu..." kata Andi. Disambut gelak tawa semua anak yang ada disitu.

********************

4. BATU PENYUSUP BATIN

DALAM gelapnya malam, di bawah terpaan angin laut serta deru gelombang ombak pantai selatan, satu bayangan biru laksana terbang berkelebat ke arah timur. Rambutnya yang panjang sekaki seperti mengambang di udara. Di atas bahu kanannya orang ini memanggul seseorang yang tiada hentinya keluarkan suara menggerang.

"Jahanam Muka Bangkai Berhentilah merintih! Atau kuputus urat besar di lehermu hingga kau jadi gagu seumur-umur!" Orang yang memanggul membentak.

"Eyang..." Orang yang dipanggul keluarkan suara perlahan. "Daging tubuhku seperti leleh, tulang-tulangku laksana hancur. Satu tanganku amblas buntung. Kalau aku tidak boleh merintih menanggung sakit mengapa kau tidak bunuh saja diriku saat ini? Kau mau bawa aku kemana? Aku memilih mati dari pada hidup cacat seumur-umur."

"Murid keparat! Jangan berani bicara tak karuan padaku! Kematian terlalu enak bagimu! Aku perlu minta pertanggungan jawabmu lebih dulu! Kau telah melakukan satu kegagalan besar! Kegagalan yang akan membuat celakanya kita para tokoh golongan hitam. Dasar murid tolol tidak berguna!"

"Eyang... Eyang Kunti Api. Aku mohon, bunuh saja aku sekarang juga!" Sang murid yang berjuluk si Muka Bangkai kembali keluarkan ucapan.

Sosok berjubah biru, yakni seorang- nenek bertampang angker keluarkan suara menggembor marah. Sepasang matanya yang merah keluarkan cahaya menggidikkan. Mulutnya yang perot dan pencong ke kiri lesatkan pekik dahsyat. Begitu dua kakinya dijejakkan ke tanah, tubuhnya melayang keudara setinggi lima tombak. Dari atas, sambil melayang turun nenek ini, yang dikenal dengan panggilan Eyang Kunti Api, lemparkan sosok murid yang sejak tadi dipanggulnya.

Tak ampun lagi sosok Si Muka Bangkai amblas tenggelam sampai sebatas leher dalam pasir lunak dan becek di tepi pantai. Tampang kakek ini pucat laksana darahnya disedot setan. Matanya yang besar mendelik tinggal putihnya. Dia merasa sekujur tubuhnya remuk. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah kental.

Dua tangannya terkulai di atas pasir. Yang kiri buntung sebatas siku. Dia coba bersitekan dengan tangan kanan dan mengangkat tubuh agar bisa keluar dari dalam pasir. Tapi tidak mampu. Dia hanya bisa menatap putus asa ke arah sang guru sambil sesekali keluarkan suara mengerang panjang.

Eyang Kunti Api melayang turun. Tegak dua langkah di depan muridnya, berkacak pinggang. Dongakkan kepala lalu tertawa bergelak. Tiba-tiba nenek ini hentikan tawanya lalu membentak.

"Muka Bangkai!" Sang murid angkat sedikit kepalanya. "Kau tahu kesalahan apa yang telah kau perbuat?!"

"Eyang... Kau boleh menyebut segala apa. Aku pasrah," jawab Si Muka Bangkai. Dari mulutnya kembali mengucur darah kental.

Dalam serial Boma Gendenk sebelumnya ABG (Anak Baru Gendenk) telah dituturkan bahwa Si Muka Bangkai mendapat tugas dari Eyang Kunti Api untuk mencari tahu rencana Sinto Gendeng yang hendak menghadirkan seorang pendekar sakti mandraguna dalam rimba persilatan. Konon pendekar itu diberi julukan Pendekar Tahun 2000. Bagi para tokoh golongan hitam, rencana ini merupakan satu malapetaka besar.

Karena itulah selain mencari tahu siapa adanya sang pendekar, Si Muka Bangkai juga ditugaskan untuk membunuh Sinto Gendeng. Ternyata Si Muka Bangkai yang juga dikenal sebagai guru Pangeran Matahari tidak berhasil dalam tugasnya. Bukan saja dia gagal mencari keterangan dan membunuh Sinto Gendeng, nenek sakti di puncak Gunung Gede itu, dia sendiri malah harus kehilangan tangan kirinya, putus sebatas siku dihantam serangan Sinto Gendeng.

Dan kini gurunya, Eyang Kunti Api hendak meminta pertanggung jawaban dari kegagalannya. Dia tidak tahu mau bertanggung jawab bagaimana. Karena itu dia lebih suka memilih mati saja.

"Enaknya mulutmu berucap pasrah! Kau tahu! Kegagalanmu ini akan terasa sampai puluhan tahun mendatang. Akan menjadi bencana bagi kita orang-orang golongan hitam!" Kunti Api meludah ke tanah. Matanya garang mendelik tak berkesip pandangi muridnya yang terkubur sebatas leher.

"Saya siap menerima hukuman Eyang. Saya sudah bilang, matipun saya terima..." kata Si Muka Bangkai.

"Kakek geblek!" maki Kunti Api dengan mata laksana kobaran api menyala. "Soal menghukummu mampus semudah aku meludahi kepalamu! Kau dengar?!"

Si Muka Bangkai tak menyahut. Kepalanya terkulai. "Jahanam! Angkat kepalamu. Jawab! Kau dengar?!"

Kakek yang terkubur di pasir becek itu terpaksa angkat kepalanya. "Saya dengar Eyang..."

"Kesalahanmu pertama! Kau gagal mengorek keterangan siapa adanya orang yang diambil Sinto Gendeng dan dijadikan Pendekar Tahun 2000. Kesalahan kedua! Kau tidak berhasil membunuh nenek keparat bau pesing Sinto Gendeng itu. Bahkan mengorek dua mata sumber segala kesaktiannya tidak mampu kau lakukan!"

"Eyang... Saya sudah berusaha. Saya mengaku salah, mengaku gagal. Mungkin karena ilmu saya masih jauh di bawah Sinto Gendeng. Bahkan saya sampai-sampai mengorbankan tangan kiri. Eyang saksikan sendiri. Tangan kiri saya yang buntung..."

"Murid tak berguna! Masih untung tangan kirimu yang buntung! Seharusnya jantungmu yang amblas!" Damprat Eyang Kunti Api. Nenek berjubah biru dengan rambut panjang sekaki ini merutuk habis-habisan sambil melangkah mundar mandir di depan kepala muridnya.

"Dengar, aku akan memberi kesempatan satu kali lagi padamu. Satu kali dan terakhir kali!"

Perlahan-lahan Si Muka Bangkai angkat kepalanya, menatap tak percaya pada sang guru. Kakek ini menunggu. Apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh si nenek.

"Muridmu yang putera Surokerto bernama Pangeran Anom berjuluk Pangeran Matahari itu! Di mana dia sekarang?!" Tiba-tiba Eyang Kunti Api bertanya.

"Saya... saya tidak dapat memastikan. Sudah lama anak itu tidak menyambangi saya. Tetapi jika Eyang menghendaki, saya akan berusaha mencarinya..."

"Itu yang aku inginkan!" kata Kunti Api.

Habis berucap begitu dia hantamkan kaki kanannya ke tanah di depan kepala Si Muka Bangkai. Luar biasa sekali. Tanah itu terkuak sedikit. Bersamaan dengan itu sosok Si Muka Bangkai yang sejak tadi terpendam sebatas leher mencelat ke udara setinggi satu tombak lalu jatuh bergedebukan, mengerang di atas pasir becek. Eyang Kunti Api berkacak pinggang, dongakkan kepala dan umbar tawa bergelak.

"Muka Bangkai, dengar baik-baik." Berucap Kunti Api. "Cari muridmu itu sampai dapat. Kalau bertemu serahkan benda ini padanya."

Dari balik jubah birunya si nenek keluarkan sebuah benda yang ternyata adalah batu sebesar dan sebentuk telur burung merpati, berwarna biru, terang berkilau. "Dengan berbekal Batu Penyusup Batin ini, muridmu akan sanggup menyusup ke mana saja yang dikehendakinya. Dengan cara menyusup dia akan mampu mencari tahu siapa adanya orang yang bakal dijadikan Pendekar Tahun 2000 itu. Jika dia sudah tahu siapa orangnya, berarti mudah saja baginya untuk menghabisi orang itu. Namun perlu kau ketahui dan ingat baik-baik. Batu Penyusup Batin ini kuserahkan hanya selama satu purnama. Berhasil atau tidak muridmu melakukan tugasnya dalam waktu dua purnama, batu ini harus dikembalikan padaku. Muka Bangkai, kau dengar semua ucapanku?!"

"Saya dengar Eyang..."

"Kau paham, mengerti?!"

"Paham dan mengerti Eyang," jawab Si Muka Bangkai yang saat itu masih melingkar di atas pasir pantai becek.

Si nenek berjongkok di tanah. Batu Penyusup Batin sesaat ditimang-timangnya. Lalu batu itu digelindingkan di atas pasir. Batu aneh bergulir membentuk cahaya terang biru dalam gelapnya malam. Beberapa jengkal di hadapan si kakek batu itu berhenti bergulir.

"Ulurkan tanganmu. Ambil batu itu!" perintah Eyang Kunti Api.

Si Muka Bangkai ulurkan tangan kanannya. Pada saat jari-jarinya menyentuh Batu Penyusup Batin, tiba-tiba wusss! Satu cahaya terang memancar. Si Muka Bangkai terpekik dan tarik tangannya. Ketika dia memperhatikan ternyata beberapa jari dan kuku-kukunya yang panjang hitam telah hangus kepulkan asap. Eyang Kunti Api tertawa bergelak.

"Tua bangka itu. Apakah dia hendak menipu atau mencelakai diriku..." pikir Si Muka Bangkai.

Ada rasa gusar dan juga sikap curiga terhadap sang guru. Bukan sekali ini dia diperlakukan seperti itu. Dulu ketika Eyang Kunti Api hendak memberikan ilmu Sepuluh Cakar Iblis yang juga dikenal dengan nama Sepuluh Jari Iblis, dirinya sempat dibuat leleh babak belur seolah dipanggang di atas bara api. (Baca serial Boma Gendenk berjudul ABG- Anak Baru Gendenk).

"Muka Bangkai, Batu Penyusup Batin bukan batu sembarangan. Batu itu mempunyai rasa dan perasaan seperti manusia. Dia tahu kalau kau saat ini punya satu rasa dan maksud tidak baik..."

Si Muka Bangkai diam-diam melengak kaget. "Bukankah dalam hatimu saat ini ada maksud keji hendak memiliki batu sakti itu seumur-umur?"

Dalam hati Si Muka Bangkai membatin. "Luar biasa, manusia satu ini bisa tahu apa yang ada di hatiku." Lalu pada sang guru si kakek berkata. "Eyang, maafkan saya kalau kau menduga begitu..."

"Aku bukan menduga. Tapi dalam hatimu memang ada maksud jahat itu!" bentak Kunti Api dan dua larik sinar merah menyambar dari ke dua matanya.

"Maafkan saya Eyang. Saya hanya ingin mengikuti apa petunjuk dan perintah Eyang," kata Si Muka Bangkai pula.

"Bagus! Jadi jangan berani berhati culas terhadapku dan terhadap Batu Penyusup Batin. Kau bisa celaka sendiri, kalau sekarang niat busuk di hatimu sudah hapus, kau boleh mengambil batu itu!"

Si Muka Bangkai tarik nafas panjang lebih dulu baru ulurkan tangan. Kali ini tak terjadi letusan. Tak terjadi apa-apa. Batu berwarna biru itu terasa sejuk tersentuh ujung jarinya. Cepat-cepat Si Muka Bangkai menggenggam batu sakti itu. Dengan susah payah dia lalu mencoba bangkit.

Ketika dia berhasil duduk di pasir dan memandang ke depan, sang guru Eyang Kunti Api tak ada lagi di hadapannya. Si Muka Bangkai timang-timang batu sakti itu beberapa saat lalu susupkan ke balik pakaian rombengnya yang kotor berselemotan tanah dan pasir. Di mulutnya tersungging seringai yang sulit diketahui artinya.

********************

5. KOPI DANGDUT

SOSOK samar itu mendekam di atas talang air bangunan toko. Pakaiannya baju dan celana ringkas hitam, di sebelah luar dilapisi sehelai mantel yang juga berwarna hitam. Di dada baju terpampang gambar gunung berwarna biru, dilatari gambar surya lengkap dengan garis-garis cahaya berwarna merah. Di kening terikat secarik kain merah. Rambut hitam panjang menjulai sampai ke bahu.

Sedari tadi sosok samar ini memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di ujung kawasan pusat perbelanjaan Pasar Baru. Pandangannya kemudian diarahkan pada tukang cendol gerobak yang asyik membaca potongan-potongan koran bekas sambil sesekali mengorek hidung. Sosok berpakaian serba hitam di atas atap menyeringai.

"Mengorek hidung, melayani orang. Cendol yang dijual bisa-bisa campur tahi hidung. Ha ha ha."

Orang berpenampilan aneh, sulit terlihat oleh mata biasa ini memandang berkeliling. Lalu pandangannya kembali ditujukan pada tukang cendol yang saat itu masih asyik membaca koran-koran bekas.

"Aku punya firasat, berita yang dibaca tukang cendol itu ada sangkut paut dengan tugas dari guru. Saatnya aku menyusup." Mahluk di atas atap toko berucap sendiri.

Tangan kanannya dimasukkan ke dalam saku jubah sebelah kanan di mana tersimpan Batu Penyusup Batin. Sesaat batu sakti itu diusapnya berulang-ulang. Sosok yang samar berubah lenyap, menjadi satu dengan cahaya matahari siang. Sosok itu kemudian terjun ke bawah. Seperti hembusan angin mahluk transparan aneh itu menyusup masuk kedalam tubuh tukang cendol yang masih asyik membaca.

Begitu sosok aneh masuk dan jadi satu dengan si tukang cendol, si abang merasakan tengkuknya dingin. Rasa dingin ini terus menjalar ke seluruh tubuh. Ada hawa aneh menggerayangi badannya. Kulitnya seolah merinding. Dia terus membaca. Tanpa sadar kalau saat itu ada mahluk tumpangan dalam dirinya ikut membaca apa yang dibacanya.

Boma Bantu Menangkap Penodong. Boma Tri Sumitro (sekarang dijuluki Boma Gendenk), yang belum lama berselang mengalami musibah di gunung Gede bersama teman-teman para pelajar SMU Nusantara III lagi-lagi membuat berita. Kali ini dengan keberanian seorang anak muda dia berhasil membantu meringkus penodong bajaj di Kiamat Raya, Jakarta Pusat. Berdasarkan keterangan Boma sewaktu diwawancara, pelajar ini mengatakan...

Bacaan si tukang cendol terhenti sampai disitu karena ada seorang pembeli. Seorang perempuan muda yang tengah hamil besar. Rupanya karena panas dan haus, perempuan ini ngiler melihat cendol. Tukang cendol letakkan potongan surat kabar di samping gerobak, siap melayani si pembeli.

Entah perasaan apa yang masuk dan menguasai dirinya, si tukang cendol mendadak berperilaku aneh. Senyum-senyum memperhatikan perempuan muda hamil yang duduk menyantap cendolnya. Selesai minum, ketika hendak membayar, tukang cendol itu berkata,

"Udah, nggak usah dibayar." Tukang cendol ini tidak menyadari, seperti tidak mendengar kalau saat itu suaranya mendadak berubah. Dia bicara tapi bukan suaranya.

"Lho...?" tentu saja perempuan hamil itu merasa heran. "Kok? Bener nih nggak usah bayar?"

"Bener," jawab tukang cendol. Lagi-lagi sambil senyum. Kali irii malah sambil kedip-kedipkan mata, membuat perempuan muda yang tadinya heran kini jadi merasa tidak enak.

"Ganjen! jangan, jangan ini abang ada maunya," pikir perempuan hamil. Lalu cepat-cepat dia hendak tinggalkan tempat itu. Tapi entah bagaimana tahu-tahu tangan kanan tukang cendol itu mengusap pipinya.

"Eh, Abang kok jadi kurang ajar!" Perempuan hamil jadi marah. Disekanya pipinya yang barusan diusap dengan perasaan jijik.

"Ala cuma pegang pipi aja masa sih marah. Habis situ. cakep banget deh!"

"Jadi kamu nggak mau dibayar tapi gantinya pengen nyolek orang seenaknya! Songong! Kurang ajar!" perempuan hamil tambah marah.

Suaranya yang keras membuat orang banyak yang ada di sekitar situ jadi palingkan kepala, lalu mendekat ingin tahu apa yang terjadi.

"Lagi hamil besar jangan suka marah. Nanti anaknya kaya saya lho," si tukang cendol berkata, tak ketinggalan senyum dan kedipan mata yang membuat jijik perempuan hamil.

"Amit-amit punya anak kayak kamu! Jelek! Bau!" kata perempuan itu lalu tendang roda gerobak cendol yang terbuat dari ban sepeda.

Didamprat seperti itu si tukang cendol bukannya kapok malah maju mendekat lalu benar-benar kurang ajar, tangan kirinya diusapkan ke perut hamil si ibu seraya berkata. "Orangnya dibilang jelek. Bau. Tapi cendolnya diminum habis. Enak ya cendolnya?"

Karuan saja perempuan hamil itu jadi tambah menggelegak amarahnya. Terlebih lagi ketika si tukang cendol tiba-tiba membungkuk, ulurkan kepala hendak mencium perutnya. Perempuan itu menjerit keras sambil meninju punggung tukang cendol.

Orang banyak berdatangan. Salah seorang diantaranya adalah suami perempuan hamil itu yang tadi rupanya pisah belanja dengan sang istri. Melihat perut istrinya dipegang-pegang malah mau dicium orang langsung dia lempar belanjaannya dan bak buk-bak buk. Tukang cendol terpaksa menerima hadiah bogem mentah suami perempuan hamil itu hingga babak belur. Urusan akhirnya sampai pada pihak berwajib.

Sebelum sampai di kantor polisi, mahluk transparan yang mendekam didalam tubuh tukang cendol melesat keluar sambil tertawa-tawa tanpa suara. Di kantor polisi anehnya tukang cendol tidak mau mengaku salah. Dia merasa tidak berbuat apa-apa. Apalagi melakukan hal-hal kurang ajar terhadap perempuan hamil itu.

"Sumpah pak, saya nggak berbuat kurang ajar sama ibu ini. Saya..." Suara tukang cendol telah berubah kembali ke suara aslinya.

"Aneh, suara tukang cendol kurang ajar ini kok jadi lain?" kata perempuan hamil dalam hati yang duduk di seberang meja pemeriksaan. Perempuan hamil dan suaminya diperbolehkan pulang.

Si tukang cendol ditahan. Malam hari, setelah dicatat nama da alamatnya, diberi nasehat dan pengarahan baru dilepas. Petugas menganggap dirinya kurang waras. Bagaimana mau memproses orang sakit ingatan. Jadi lebih baik dilepas saja.

Setelah itu, hanya beberapa saat setelah tukang cendol diamankan dan dibawa ke kantor polisi, seorang lelaki yang masih berdiri di dekat gerobak cendol melihat potongan surat kabar yang tadi ada di samping gerobak tiba-tiba bergerak, melayang di udara.

"Eh... eh...!" saking heran dan kagetnya orang itu hanya bisa berseru eh-eh sambil menunjuk-nunjuk. Beberapa orang yang memperhatikan tapi tidak melihat potongan surat kabar yang melayang di udara jadi geleng-geleng kepala. Salah seorang di antara mereka berkata. "Tadi tukang cendol, sekarang ada lagi orang geblek minta digebukin."

Sementara itu di atas atap toko, sosok samar bermantel hitam membuka lipatan potongan surat kabar yang diambilnya dari gerobak tukang cendol. Melanjutkan membaca berita yang tadi sempat dibacanya lewat tukang cendol. Belum habis bacaannya tiba-tiba dia mendengar orang menyanyi diiringi suara kerincingan.

Orang di atas atap angkat kepalanya, memandang berkeliling. Disana, di bawah jembatan penyeberangan, dekat deretan penjual buah dia melihat orang berkerumun membentuk lingkaran. Ingin tahu apa yang terjadi mahluk bermantel hitam ini segera melesat turun lalu ikut berkerubung di antara orang banyak.

Di tengah lingkaran orang ramai, seorang kakek berpakaian kumal, asyik menyanyi sambil menari. Di tangan kirinya ada sebuah kerincingan sedang di tangan kanan dia memegang satu tongkat yang dipukulkan ke gendang kecil yang tergantung di pinggang sebelah depan. Di atas kepala ada payung terbuka. Apapun gerakan yang dibuat kakek ini dalam menari, payung itu tidak jatuh-jatuh.

Yang lucu dipandang adalah muka dan mimik si kakek. Pipinya keriput kempot. Hidung pesek, mata belok. Gigi tonggos berat hingga bibir atas dan bibir bawah jarang saling ketemu. Kelucuan lainnya ialah kakek ini memakai celana agak gombrong kedodoran hingga sebagian pantatnya sebelah atas kelihatan tersingkap hitam.

Seorang kakek mengamen sambil menari dan sekaligus melakukan akrobat jarang kejadian. Karenanya banyak orang yang lalu lalang menyempatkan diri, berhenti sekedar melihat. Apa lagi si kakek lincah sekali melantunkan lagi Kopi Dangdut walau lidahnya agak pelo menyebut huruf er.

Kala kupandang kelip bintang jauh di sana.
Sayup teldengal melodi cinta yang menggema
Telasa kembali gelola jiwa mudaku
Kalena telsentuh alunan lagu semeldu kopi dangdut
Na... na... na Ni... ni... ni

Api asmala yang dahulu pelnah membala
Semakin hangat bagai ciuman yang peltama
Detak jantungku seakan ikut Hama
Aku tellena oleh pesona alunan kopi dangdut
Na... na... na Ni... ni... ni

Ilama kopi dangdut yang celia
Menyengat hati menjadi gailah
Membuat aku lupa akan cintaku yang telah lalu
Na... na... na Ni... ni... ni

Api asmala yang dahulu pelnah membala
Semakin hangat bagai ciuman yang peltama
Detak jantungku seakan ikut ilama
Aku tellena oleh pesona alunan kopi dangdut


Orang banyak tertawa bergelak. Seorang anak muda berteriak. "Kek, apa bener bisa ciuman? Paling-paling kepentok gigi duluan!"

Orang ramai tertawa riuh. Si pengamen mencibir sambil goyangkan pantatnya. Sehabis bernyanyi dan menari si kakek lalu mendatangi orang-orang yang berkerumun, Gendangnya dibalik.

"Seikhlasnya, Bos, Pak, Bu, Oom, Tante, anak muda..."

Banyak yang memberi uang, dimasukkan kedalam gendang. Tapi banyak pula yang mundur menjauh lalu pergi. Ketika dia sampai dihadapan sosok bermantel hitam, mahluk transparan ini jadi tersentak kaget.

"Kakek pengamen ini bukan manusia biasa. Dia mampu melihat diriku... Jangan-jangan."

Orang bermantel gelengkan kepala. "Seikhlasnya anak muda, seikhlasnya..." kata kakek pengamen.

Seorang anak lelaki berteriak. "Kek, kakek minta duit sama siapa? Kok ngomong sama tempat kosong?!"

"Seikhlasnya anak muda. Seikhlasnya...." si kakek berucap kembali pada si mantel hitam. Yang dimintai uang tetap gelengkan kepala. Lalu dengan perasaan tidak enak dia melangkah mundur. Si kakek buru-buru mengusap pinggang mantelnya dan berkata. "Terima kasih anak muda, terima kasih..." Si kakek balikkan badan. Sambil menggoyang-goyang kerincingan dan bernyanyi na na na ni ni ni dia melangkah pergi hingga akhirnya lenyap di balik seng sebuah gedung yang tengah dibangun. Orang yang tadi ramai berkerumun telah lama pergi.

Sosok bermantel tegak termangu di bawah jembatan pertokoan. Kemudian dia menyadari bagaimana mata orang-orang yang lalu lalang memperhatikan dengan pandangan aneh kearahnya.

"Orang-orang itu melihat diriku. Melihat tubuhku secara nyata... Ada yang tidak beres!"

Dia susupkan tangan kanan ke satu mantel. Darahnya berdesir. Mukanya mengelam, rahang menggembung. Batu Penyusup Batin yang dibawa dan disimpannya di dalam saku mantel lenyap! "Celaka! bagaimana bisa lenyap!" Dia memeriksa semua saku, memeriksa setiap sudut dan lipatan pakaian. Benda yang dicari tetap tidak ditemukan. "Kurang ajar! Jangan-jangan..." Dia ingat bagaimana tangan kakek pengamen tadi mengusap pinggang mantelnya. "Orang tua itu! Jahanam betul! Pasti dia yang mencuri batu sakti."

Matanya memandang ke arah lenyapnya si pengamen. Cepat dia mengejar. Orang banyak menghindar memberi jalan dengan pandangan heran. Dia tidak perduli. Setengah berlari dia mengejar kearah ujung pagar seng gedung yang sedang dibangun. Namun dia tidak menemukan orang yang dicari. Jalan di balik pagar seng itu hanya dipenuhi oleh mobil-mobil parkir. Kakek pengamen tidak kelihatan sama sekali.

Beberapa orang petugas Kamtib yang sejak tadi memperhatikan gerak gerik orang berpakaian aneh ini salah seorang diantaranya berkata pda teman-temannya.

"Siang bolong kok pakai mantel. Rambut gondrong, kepala diikat kain merah." petugas ini lalu mengajak teman-temannya mendatangi orang itu.

Melihat gelagat yang tidak baik orang bermantel cepat menyelinap ke balik pagar seng. Ketika dua orang petugas Kamtib sampai di tempat itu, orang bermantel tela,h menghilang di antara alat-alat besar bangunan gedung.

********************

6. HARI PERTAMA SEKOLAH

HARI pertama masuk sekolah suasana ramai dan hangat. Seperti biasa para pelajar berebutan mencari dan memilih bangku ma-mamasing. karenanya banyak di antara mereka sengaja datang sepagi mungkin agar bisa mendapatkan tempat duduk atau bangku yang sip. Di Kelas II-9 seperti waktu di Kelas I Boma duduk di baris kanan, ujung belakang.

Di sebelahnya Firman. Trini yang datang agak kesiangan berusaha mendapatkan tempat duduk di dekat bangku Boma. Namun sejak pagi Ronny dan kelompoknya sudah lebih dulu menduduki semua bangku sekitar Boma. Ronny di sebelah depan bangku Boma bersama Andi.

Di baris samping kiri duduk Rio bersama Vino. Yang membuat kesal Trini, di depan bangku Vino dan Rio duduk seorang anak perempuan, murid baru, pindahan dari Semarang. Wajah cakep, kulit hitam manis. Rambut sepinggang, bodi padat sintal. Namanya Sulastri. Trini mendekati anak ini lalu membujuk agar mau tukar tempat dengan bangkunya di barisan ke dua sebelah depan. Tapi Sulastri menolak. Caranya menolak tidak dengan membuka mulut menjawab melainkan dengan menggelengkan kepala berulang-ulang.

"Eh, kamu anak baru jangan belagu yauiv," gertak Trini sambil pelototkan mata.

Sulastri tidak menyahuti. Seperti tadi dia hanya gelengkan kepala. Cuma sekali ini mulutnya yang berbibir tebal bagus dimonyongkan sedikit. Vino dan Rio tertawa geli melihat kelakuan anak baru ini. yang membuat Trini tambah gondok Sulastri kelihatan ngobrol akrab dengan Boma dan teman-teman. Mau tak mau Trini jadi panas dan cemburu.

Ketika Trini kembali ke bangkunya di barisan depan Sulastri berkata. Suranya medok, khas Jawa Tengah. "Pasti di antara kalian ada yang ditaksir sama cewek tadi. Masa' ngotot mau duduk di sini kalau nggak ada apa-apanya." Mata Sulastri yang bulat besar memandangi Boma dan kawan-kawan satu persatu.

"Menurut kamu siapa dari kita-kita yang ditaksir sama dia?" tanya Vino.

Mata bulat Sulastri kembali menatapi wajah enam cowok di sekitarnya. "Dia, pasti dia yang ditaksir," kata Sulastri sambil menunjuk dengan ibu jari tangan kanannya ke arah Boma.

"Hebat! Bukan cuma mata yang tajem, perasaannya juga tajem. Buktinya bisa nebak!" kata Ronny.

"Kalau kamu naksir nggak sama dia?" tanya Vino ajukan pertanyaan konyol.

Sulastri runcingkan bibir tebalnya. Lalu menggeleng.

"Kok nggak naksir sama cowok begini kece?" Andi yang bertanya.

"Aku nggak suka sama cowok jangkung," jawab Sulastri.

"Kenapa?' tanya Ronny.

"Takut medel!"

Gelak tawa memenuhi sudut kelas. "Di antara kita-kita ada nggak yang kamu taksir?" Vino bertanya sambil kedipkan matanya pada Boma.

"Hemm..." Mata bulat Sulastri memandang berputar. Dia mengerling sekilas ke arah Vino lalu berkata. "Au ah! Gelap!"

Kembali Boma dan kawan-kawannya tertawa riuh.

"Hebat," puji Ronny. "Anak Semarang udah tau istilah Prokem anak Jakarta."

"Sulastri, bol" kata Sulastri sambil runcingkan mulut dan busungkan dada lalu senyum-senyum membuat anak-anak itu jadi tambah suka sama cewek baru ini.

"Jadi di antara kita nggak ada yang ditaksir, nih?" ujar Vino.

Didesak begitu Sulastri tidak kehabisan jawab. "Gimana kalau kuaammuu saja."

"Mati gua!" kata Vino sambil tekap kepalanya.

"Rasain lu Vin!" kata Ronny. Kembali sudut kelas riuh oleh gelak tawa Boma dan kawan-kawannya.

Trini kembali ke bangkunya tapi tidak langsung duduk. Dengan muka asem dia memandang ke sudut kelas di mana Boma dan kawan-kawan duduk tidak habis-habisnya tertawa. Saat itu masih ada satu lagi kekesalan Trini. Entah bagaimana Gita Parwati yang tidak disukainya itu duduk tepat di belakangnya. Padahal waktu di kelas satu dia dan Gita duduk berjauhan. Trini merasa diawasi dan dicibiri dari belakang oleh si gendut ini.

"Kayaknya si gendut ini sengaja mau nyari gara-gara. Nanti gua kerjain lu," gerendeng Trini dalam hati.

Allan, yang juga anak baru di SMU Nusantara III satu kelas dengan Boma dan teman-temannya. Bangkunya baris paling kiri, kedua dari depan. Sesekali anak ini melirik ke arah Gita. Kalau kebetulan bertemu pandang Gita melemparkan senyum.

"Eh, lu liatin Si Allan," bisik Vino pada Rio.

"Baru hari pertama penyakit asmanya sudah kambuh. Bentar-bentar ngelirik Gita."

Mendengar ucapan Vino, Sulastri anak baru berkata. "Pasti yang icu sama yang icu punya hubungan icu-icu."

Rio dan Vino senyum-senyum. "Wah, mata temen kita ini bener-bener tajem," kata Rio.

"Kamu punya icu-icu nggak di Semarang?" tanya Vino.

Sulastri mencibir. Lalu seperti tadi dia geleng-geleng kepala.

"Kalau gitu kamu mau dong jadi icu-icunya Vino?" tanya Rio enak saja.

Vino langsung menyikut iga temannya itu. Sulastri mencibir. Senyum-senyum. Lagi geleng-geleng kepala. Vino berbisik ke telinga Rio. "Ni anak kebanyakan ngegelengnya. Tapi gua yakin kalau dicipok pasti kepalanya dipanteng diem..." Vino dan Rio sama-sama tertawa.

"Situ berdua ketawain aku, ya," ujar Sulastri.

"Nggak, kami ngetawain icu-icu," jawab Vino.

Sulastri tertawa lepas tapi sadar lalu cepat-cepat menutupkan tangannya di atas mulut. Lalu dia menunjuk dengan ibu jarinya ke arah Boma. "Yang itu namanya Boma ya?"

Rio mengangguk. "Boma. Lucu ya namanya... Boma singkatan Bom Atom?" ujar Sulastri.

Boma cuma senyum. Sebaliknya Vino bertanya. "Lastri, kamu mau nggak di Bom Atom sama Boma?"

"Walah, ya tambah medel aku! Wong aku takut sama cowok jangkung kok!" jawab Sulastri.

Boma dan kawan-kawannya tertawa cekikikan. Jawaban Sulastri bukan cuma polos tapi aksen logatnya kedengaran lucu. Gita bangkit dari bangkunya. Dia melangkah ke belakang kelas. "Ada apa sih dari tadi. Ribut banget. Boleh ikutan nimbrung nggak?"

"Gita, kenalin dulu dong. Temen baru dari Semarang. Namanya Sulastri," kata Ronny.

"Hallo teman," sapa Gita.

"Hallo juga," jawab Sulastri. Dua anak perempuan itu saling bersalaman. "Gita, makannya apa sih?" Sulastri tiba-tiba bertanya.

"Emangnya kenapa?" tanya Gita Parwati yang sudah menduga kalau dirinya bakal dijadikan bahan jahilan.

"Kok badannya subur banget," jawab Sulastri. "Aku jadi kepingin iri."

Gita Parwati tertawa lebar. "Gita, boleh tanya lagi nggak?" ujar Sulastri. Matanya yang bulat memandang nakal ke dada Gita Parwati yang gembrot.

"Nanya apa?" Gita Parwati tahu kalau dia mau dijahilin lagi. "Beha kamu nomor berapa sih?"

"Eh, gila lu!" kata Gita Parwati setengah terpekik karena tidak menyangka Sulastri akan bertanya sejahil itu. Anak perempuan gemuk ini kelihatan mau marah, tapi tidak jadi. Malah tertawa cekikikan.

"Sableng juga kamu Lastri," kata Vino. "Segala perabotan orang ditanyain."

Tangan Gita Parwati meluncur mencubit pipi Sulastri. "Kamu antik deh," ucap cewek gendut ini. "Mulain hari ini aku kasih julukan mau nggak?"

"Asal julukannya bagus aja."

"Si Centil. Julukan kamu Si Centil," kata Gita Parwati pula.

Sulastri terdiam. Anak-anak yang lain sudah pada tertawa. Sulastri akhirnya ikutan tertawa lalu manggut-manggut. "Julukannya nggak jelek kok. Aku nerimo aja."

"Tapi ada syaratnya lho. Biar julukannya afdol kata Gita.

"Syarat apa?" tanya Sulastri. "Traktir di warung baksonya Mang Asep."

"Setuju!" kata Rio dan Andi berbarengan.

Sulastri bengong. Gita pegang lengan Sulastri. Anak baru ini lalu direndeng keluar kelas. Boma dan kawan-kawannya mengikuti sambil tertawa-tawa. Sambil merendeng Sulastri Gita memberi isyarat pada Allan. Melihat isyarat Gita, Allan langsung bergabung. Ketika melewati Trini, anak perempuan ini tiba-tiba pegang tangan Boma.

"Bom, aku mau ngomong."

"Rin, ayo ikutan. Kita ngomong di warung Mang Asep. Cewek baru itu mau traktir," ajak Boma

Uh... Nggak usah deh. Nanti aja ngomongnya," jawab Trini sambil pasang wajah cemberut dan memandang ke arah Sulastri.

7. BAKU HANTAM DI WARUNG BAKSO MANG ASEP

KETIKA Boma dan kawan-kawan sampai diwarung bakso Mang Asep, tempat itu sudah dipenuhi oleh anak-anak kelas lain. Di antara mereka terdapat Jumhadi alias Si Bodong dan Anton dari Kelas II-6. Jumhadi membuang muka begitu melihat rombongan Boma lalu membisikkan sesuatu pada Anton. Dua anak ini seperti menghindar, pindah ke pintu belakang warung. Tapi Ronny sudah sempat melihat Anton.

"Ron, kau mau kemana?" tanya Boma ketika melihat Ronny Celepuk memisahkan diri, berbalik melangkah ke pintu keluar warung. Boma sudah punya firasat apa yang mau dibuat temannya ini.

"Tenang aja Bom," jawab Ronny. "Kamu sama teman-teman terus aja ngebakso. Aku mau beresin urusan sama Si Anton. Dicari-cari baru sekarang nongol."

"Ron, sabar dikit. Baru juga masuk sekolah. Yang udah lupain aja," kata Boma membujuk.

"Enak aja kamu Bom. Kita dilemparin telor busuk. Dibikin malu di depan orang banyak. Kamu sama Firman dipukulin orang. Udah gitu dia belagak bodoh, kayak yang nggak punya salah. Nyuruh orang. Pengecut!"

Boma masih berusaha menahan Ronny. Tapi Ronny agaknya sudah tak bisa dibujuk. Anak ini melangkah ke pintu keluar warung. Boma merasa heran. Anton dan Jumhadi berada dipintu belakang warung, mengapa Ronny bukan langsung saja mendatangi tapi malah keluar warung.

"Ron, tu anak ada dekat pintu belakang warung. Kok kamu malah jalan ke pintu keluar?" tanya Boma.

"Taktik Bom. Taktik. Liat aja..." Ronny keluar dari warung, mengambil jalan berputar.

Boma melirik ke pintu belakang. Dilihatnya Si Bodong dan Anton tergesa-gesa meletakkan mangkok kosong di meja dapur lalu cepat-cepat keluar dari pintu belakang. Boma baru mengerti apa maksud taktik Ronny. Kalau didatangi dari depan Si Bodong dan Anton pasti menghindar atau kabur lewat pintu belakang.

Tapi sebelum sempat keluar, sosok Ronny Celepuk sudah menghadang di pintu hingga dua anak itu tak mungkin meneruskan langkah. Si Bodong jadi pucat. Tak berani bergerak tak berani bersuara. Anton yang lebih tegap tapi kalah pendek dari Ronny usap kuduknya yang tertutup rambut gondrong.

"Eh, apa-apaan lu Ron ngalangin jalan gua?" Anton meradang.

"Lu yang apa-apaan!" bentak Ronny. Mukanya berubah kelam, angker. "Ngapain lu nyuruh Si Bodong ngelemparin aku sama Boma pake telor busuk?!"

"Ngelemparin? Ngacok aja lu! Siapa yang nyuruh!" tangkis Anton.

"Itu, monyetnya masih hidup. Si Bodong udah ngaku!"

"Lu kroyok terang aja dia ketakutan. Siapa juga kalau digebukin bakal ngaku yang nggak-nggak!"

"Jadi lu nggak ngaku nyuruh Si Bodong ngelemparin telor busuk?!"

"Mau lu apa sih. Jangan sok! Kalau mau selamat minggir aja!"

"Oo begitu," Ronny menyeringai. Dia membalikkan badan, seolah mau menghindar pergi dari hadapan Anton. Tapi tiba-tiba tidak terduga setengah jalan sosok Ronny Celepuk berbalik kembali dan tinju kanannya melayang ke depan, mendarat tepat di dagu Anton. Anton hanya sempat keluarkan keluhan pendek. Tubuhnya tersandar ke pintu warung lalu merosot ambruk. K.O. alias pingsan.

Beberapa orang anak Kelas II-6 teman-teman Anton begitu melihat teman mereka terkapar serta merta menyerbu ke belakang. Boma dani teman-teman tidak tinggal diam. Mereka cepat bergerak. Tapi lebih cepat dari itu, tidak disangka-sangka Allan yang selama ini kelihatan rada-rada bloon sudah lebih dulu melompat menghadang enam orang anak Kelas II-6 yang mau mengeroyok Ronny.

"Jangan main keroyok! Anton sama Ronny berantem satu lawan satu!" Allan berdiri dengan dua kaki merenggang. Mukanya yang jerawatan kelihatan merah angker. Dua tangan di sisi dengan jari-jari ditekuk.

Boma, Ronny dan teman-temannya yang lain terkesiap. Tidak mengira Allan punya keberanian seperti itu serta punya sifat membela teman yang begitu hebat.

Isman, salah seorang anak Kelas II-6 teman Anton tidak pandang sebelah mata. Anak ini menerjang sambil menendang ke arah Allan. Agaknya Isman menguasai salah satu ilmu bela diri. Mungkin taekwondo. Karena tendangannya tinggi keras dan lurus membeset ke arah kepala Allan. Kalau sampai tendangannya itu mengenai sasaran, Allan pasti luka parah, bisa-bisa semaput.

Diserang orang, Allan menghadapi tenang sekali. Dia hanya menggeser kaki kiri sedikit. Kepala dimiringkan ke kiri. Tangan kiri mencekal betis lalu tangan kanan kirimkan tiga kali jotosan kilat ke paha Isman. Anak kelas II-6 itu menjerit kesakitan. Allan dorong kuat-kuat kaki yang dipegangnya hingga lawan hampir jatuh terjengkang di tanah kalau tidak cepat ditahan teman-temannya.

Halaman belakang warung jadi ramai. Mang Asep muncul tapi bingung sendiri tak tahu mau berbuat apa. Gita menyeruak di antara kerumunan para pelajar, memegang lengan Allan terus menarik anak ini. Anak-anak Kelas II-6 menolong Anton yang saat itu sudah setengah siuman. Lalu membawa Anton ke dekat pagar samping sekolah. Yang lain lain memapah Isman yang tepin-cangpincang kesakitan.

"Gile, gue nggak nyangka Si Allan punyai maenan juga," kata Vino pada Boma.

Ronny melangkah disamping Allan sambil tepuk-tepuk bahu anak itu. Trini muncul dari samping kelas. Dia tunjukkan wajah sebal melihat Gita dan Allan. Tanpa menegur Ronny, Vino, Andi, Firman dani Rio yang dipapasinya anak perempuan ini menemui Boma, memegang lengan Boma, berusaha menarik anak laki-laki ini ke dekat bangku batu di pinggir lapangan basket.

"Ada apaan sih Bom. Kok pada main gebuk sama-sama satu sekolah? Tawuran sama satu sekolah! Kalau pada jago sana tawuran sama sekolah lain."

"Rin, jangan ngomel sama aku. Semua pasti ada sebabnya," jawab Boma.

"Aku sudah tahu. Pasti gara-gara kamu sama Ronny dilemparin telor busuk waktu main band dulu."

"Itu baru sebagian..."

"Maksud kamu?" tanya Trini.

"Kamu tau nggak. Dua hari lalu waktu aku ke Gramedia sama Firman, ada dua orang suruhan ngegebukin aku..."

"Apa?" Trini terkejut. Dia hendak bertanya lagi. Tapi saat itu dilihatnya Dwita berdiri di depan pintu kelas II-3, memandang ke arah mereka. Trini buru-buru menarik tangan Boma meninggalkan tempat itu. Boma hentikan langkahnya. Di depan sana dilihatnya seorang Pegawai Tata usaha Sekolah mendatangi Ronny dan Allan.

"Bom, kita pulang aja. Hari ini juga belum ada pelajaran," ajak Trini.

Boma menggeleng. "Aku mau kumpul sama teman-teman dulu, Rin."

Trini kelihatan agak kesal. "Terserah kamu. Kalau mau berantem lagi silahkan aja!" Anak perempuan ini lalu masuk ke dalam kelas. Maksudnya mau mengambil tasnya lalu pergi. Tapi dia terkejut ketika mendapatkan tasnya tidak ada lagi di bangku. Dicari-cari sekitar situ tetap tidak bertemu. Ditanyakan pada teman-temannya yang kebetulan ada dalam kelas, mereka semua menjawab tidak tahu. Trini ingin marah, tapi tidak tahu mau marah sama siapa. Trini keluar dari kelas.

Saat itulah dia melihat tas miliknya tergeletak di pinggir taman yang memisahkan dua bangunan sekolah. Sebagian dari tas itu terapung di atas got. Anak perempuan ini memaki sendiri dalam hati. "Pasti ada yang sengaja nyemplungin tas ini ke got."

Trini mengambil tasnya yang basah, memandang berkeliling. Menduga-duga siapa yang berlaku jahat membuang tasnya ke dalam got. Marah dan kejengkelan Trini semakin menjadi-jadi ketika dia melangkah ke kamar mandi sekolah untuk mencuci tasnya yang kotor, kena air got, di ujung taman sana dilihatnya Dwita sudah berkumpul dengan Boma, Ronny dan yang lain-lainnya. Hanya ada satu cewek lain bersama mereka. Gita Parwati. Dimana Sulastri, anak baru itu?

Entah siapa yang melapor, peristiwa baku hantam di belakang warung Mang Asep itu sampai pada Kepala Sekolah. Empat anak yang langsung terlibat Ronny, Allan, Anton dan Isman dipanggil ke Kantor. Mereka diberi peringatan keras. Diancam akan dikeluarkan dari sekolah jika kejadian seperti itu terulang kembali, keempat anak itu disuruh saling bersalaman.

Tadinya Ronny hendak menerangkan sebab musabab terjadinya perkelahian itu. Tapi setelah dipikir dia merasa tidak ada gunanya. Satu hal dia yakin, persoalan ini tidak akan selesai sampai di situ. Peristiwa Boma menghajar dua orang di toilet toko buku Gramedia pasti akan ada buntutnya. Berat dugaannya bahwa Anton juga punya peranan di balik kejadian itu. Dan dirinya sendiri jelas akan terlibat karena dua orang tak dikenal itu sebenarnya mencari dirinya.

Sewaktu keluar dari kantor kepala sekolah Ronny dan Allan malah sempat mendengar Anton berkata pada Isman. "Gue abisin! Pokoknya nggak ada cerita. Musti gue abisin!"

********************

8. TRIPPING

SEJAK tadi Gita memperhatikan Allan. Anak lelaki itu sebentar-sebentar kelihatan memegangi kepala. Sapu tangannya sudah basah dipergunakan untuk menyeka muka, tengkuk dan kedua lengan. Begitu bel istirahat berdentang dan guru Matematika keluar dari kelas Gita langsung mendatangi Allan.

"Lan, kamu sakit?' tanya Gita.

"Nggak, cuman kurang tidur. Sedikit pusing."

"Muka kamu kok pucat?" Gita memegang lengan anak lelaki itu. "Ih, keringatmu dingin amat."

"Iya tu Git, dari tadi dia nyekain keringat terus." Kawan sebangku Allan berkata lalu keluar dari kelas.

"Kamu pulang aja Lan. Aku anterin sampai depan. Naik bajaj."

"Nggak usah, nanti juga sembuh," jawab Allan.

Ronny, Boma dan yang lain-lainnya mendatangi Allan. Mereka juga menyuruh agar Allan pulang saja.

"Nanti aku yang lapor sama Wali Kelas," kata Andi.

Allan menggeleng. Dia coba berdiri. Tapi agak sempoyongan. Anak ini berusaha menarik nafas panjang.

"Lan, kalau sakit jangan dipaksa. Pulang aja." Kata Boma.

Allan duduk kembali. Menyeka dua lengannya dengan sapu tangan yang sudah basah. Gita mengambil sapu tangan bersih dari dalam tas, lalu diberikan pada Allan.

"Kamu benaran nggak mau pulang?"

Allan diam. Seolah dia tengah berpikir untuk mengambil keputusan. Ketika lonceng masuk berdentang anak itu akhirnya berdiri. "Baiknya aku memang pulang aja," katanya.

"Buruan, sebelum guru Biologi masuk," kata Gita. "Ayo aku anterin."

"Nggak usah Git. Aku masih kuat jalan sendiri. Teman-teman, aku pulang. Di, tolong bilangin Wali Kelas."

"Beres, nanti aku lapor. Hati-hati Lan," kata Andi.

Allan mengambil tasnya. "Aku kawatir," kata Gita. Dia memandang pada Boma.

Saat itu guru Biologi sudah keluar dari Kantor Sekolah, tengah berjalan menuju Kelas II-9.

"Vin," kata Boma pada Vino. "Cepetan kamu susul Si Allan. Anterin sampai dia naik bajaj."

Vino segera keluar. Setengah berlari dia menyusul Allan. Tapi sampai di lapangan basket Allan sama sekali tidak kelihatan. Padahal kalau anak itu pulang pasti melewati lapangan itu. Vino berhenti, diam bersender di dinding bangunan sekolah. Memandang ke arah pintu gerbang.

"Heran, cepet banget ngilangnya tu anak. Kalau beneran lagi sakit nggak mungkin jalannya bisa cepet. Mungkin dia cuma pura-pura sakit. Tapi nggak mungkin. Dia keringatan gitu kok. Mukanya pucat..."

Tidak puas Vino pergi menemui penjaga pintu gerbang sekolah, tapi nggak ada yang keluar. Memangnya ada apa?"

"Nggak, nggak ada apa-apa," jawab Vino lalu kembali ke arah sekolah.

Di lapangan basket dia berhenti. Memandang berkeliling. Di ujung lapangan basket ada sederet pohon besar. Di belakang deretan pohon ini ada satu bangunan tua yang dipergunakan sekolah sebagai gudang. Para pelajar jarang berada di sekitar tempat ini karena tempatnya selain kotor tidak terurus juga kabarnya pernah ada ular. Tetapi tidak semua pelajar takut berada di tempat itu. Kalau di antara mereka ada yang berani berada di sekitar bangunan tua itu pasti ada apa-apanya.

Vino ingat kisah Ronny dan Sarah. Waktu itu masih sama-sama di Kelas I. Ronny Kelas 1-4 Sarah Kelas 1-2. Waktu itu hari Sabtu, hari terakhir sekolah sebelum liburan panjang. Karena terdesak ingin kencing sekali Vino terpaksa membuang hajat di balik deretan pohon besar di ujung lapangan basket.

Selain sudah jauh sore, sekolah sudah sepi dan hari agak gerimis pula, Vino merasa tidak ada yang akan melihat dia kencing di balik pohon itu. Dia memang tidak dilihat orang tetapi sebaliknya tidak terduga dia justru melihat orang. Rasa kepingin kencing anak lelaki itu langsung terhenti mandek ketika dilihatnya Ronny dan Sarah saling berpeluk dan berciuman di balik bangunan gudang.

"Brengsek Si Ronny," kata Vino dalam hati. "Kesambet setan gudang baru nyahok!" Anak ini cepat-cepat pergi dari tempat itu.

Waktu menjagai Boma di Rumah Sakit PMI Bogor (baca serial Boma Gendeng berjudul Suka Suka Cinta) Vino pernah mengatakan pada Ronny bahwa ada anak yang melihat Ronny ciuman dengan Sarah di gudang. Vino tidak mengatakan bahwa dia sendiri yang menyaksikan kejadian itu.

Mula-mula Ronny hendak menyangkal. Tapi kemudian dia malah bilang. "Kalau cuma ciuman nggak bakal ketularan AIDS Vin. Percaya gue!" Ronny lalu tertawa cekikikan.

Diujung lapangan basket Vino hentikan langkah. Dia merasa bimbang, apa terus menyelidik ke arah pepohonan atau kembali saja ke kelas. Akhirnya dia memutuskan melangkah ke arah deretan pohon-pohon. Belum lima langkah bergerak, Vino berhenti. Dadanya berdebar. Matanya tak berkesip memandang ke depan. Di antara celah dua pohon dia melihat punggung mengenakan kemeja putih seragam sekolah. Vino miringkan kepalanya sedikit. Dia bisa melihat jelas kini. Yang dilihatnya di balik bangunan gudang tua itu memang Allan.

Saat itu Allan tengah berdiri di samping gudang. Tangan kiri bersitekan ke dinding bangunan. Bahu dan dadanya kelihatan turun naik. Kepala mendongak ke atas seperti sedang melihat sesuatu di atas sana. Lalu kepala itu digoyang-goyangkan beberapa kali.

"Lan, kamu lagi ngapain?" ujar Vino dalam hati. Matanya terus memperhatikan.

Allan kemudian kelihatan membungkuk. Mengambil sesuatu dari dalam tas sekolahnya. Vino tidak dapat melihat benda apa yang diambil Allan. Yang jelas benda yang diambil itu kemudian dimasukkan ke dalam mulut. Lalu dari dalam tas Allan mengeluarkan Aqua gelas plastik. Merobek pinggiran gelas, meneguk habis seluruh isinya. Bahu dan dadanya masih bergoyang. Allan bersandar ke dinding gudang. Kepala digoyanggoyang. Mulut mendesah tiada henti. Lalu perlahan-lahan tubuh anak itu meluncur kebawah. Sepasang kakinya melejang-lejang. Goyangan kepalanya semakin keras.

"Gila! Ya ampun. Si Allan ngeprit!" kata Vino. Timbul rasa takut. Dia memutar tubuh, tinggalkan tempat itu dengan tengkuk terasa dingin. Tapi setengah jalan dia bingung sendiri. Apakah dia kembali ke kelas atau ke mana? Seandainya dia masuk kelas bagaimana kalau guru Biologi bertanya dia dari mana. Apa jawabnya. Dia tidak mungkin, tidak akan mau menceritakan apa yang dilihatnya pada guru kelas. Lalu bagaimana sebaiknya? kembali ke tempat Allan tripping? Dia ngeri. Sampai berapa lama Allan akan berada dalam keadaan seperti itu?

"Ah, Si Allan itu bikin perkara aja!" Vino akhirnya pergi ke warung bakso Mang Asep. Untungnya Mang Asep menutup warungnya lebih siang karena ada urusan. Vino terduduk di bangku, mengusap rambut berulang kali. Kepalanya diletakkan di atas dua lengan yang disilangkan. Vino tidak tahu entah berapa lama dia berada di warung itu. Baru sadar dan kaget ketika lonceng sekolah berdentang.

Vino tidak segera kembali ke Kelas II-9. Dia berdiri dulu di sudut luar kelas. Menunggu sampai guru Biologi keluar baru dia melangkah menuju kelas. Itupun tidak masuk. Dari luar anak ini melambaikan tangannya, memberi tanda pada Boma, Ronny dan yang lain-lainnya. Melihat Vino muncul sambil melambaikan tangan, anak-anak itu segera bergegas keluar kelas.

"Kamu disuruh ngantar Allan malah ikutan ngilang!" ujar Ronny.

"Vin, kamu nganterin Allan sampai kerumahnya?" tanya Gita yang tiba-tiba muncul.

"Aa... Iyya... Sampe rumahnya," jawab Vino.

"Duh, perut gue mules. Tunggu, aku ke wc dulu," kata Vino sambil pegangi perutnya. Tanpa dilihat Gita Vino kedipkan matanya pada Boma. Boma segera mengikuti Vino ke wc. Ronny memperhatikan. Lalu menyusul. Andi, Rio dan Firman segera pula angkat kaki mengikuti.

"Heran, masa sih semuanya pada mules," kata Gita Parwati yang ditinggal sendirian.

Begitu berada di dekat wc, belum ditanya Vino sudah berkata. "Malapetaka Bom, malapetaka."

"Kenapa lu Vin," tanya Boma.

"Apa yang kamu duga bener. Teman baru kita itu..."

"Siapa? Si Allan?" tanya Boma.

"Kenapa dia? Di mana dia sekarang? Betul kamu anterin sampe rumah?" tanya Andi.

"Aku... aku ngeliat dia. Lagi tripping di dekat gudang sekolah."

"Tripping di sekolahan? Apa gue bilang! Gue udah nyangka ada yang nggak bener sama cowoknya Si Gita itu. Tapi kalau sampai ngeprit di sekolahan sih keliwatan banget. Gila tu anak!" Boma menowel hidungnya.

"Katanya sakit. Kok malah ngeprit!" Andi mengomel tapi setengah tidak percaya.

"Kalau ketauan pasti dikeluarin!" kata Ronny.

"Si Allan... kenapa sih lu dikasih nama begitu. Si Allan jadi Sialan!" ucap Rio.

"Di mana tu anak sekarang?" tanya Ronny.

"Aku rasa masih di gudang," jawab Vino.

"Ayo kita samperin ke sana. Paling nggak dia jangan sampai ketauan orang lain," kata Boma.

"Kita nggak masuk kelas?" tanya Vino.

"Pelajaran apa sekarang?" ujar Rio.

"Bahasa Inggris. Ibu Renata nggak ada. Kabarnya udah berapa hari sakit. Kelas kosong. Nggak tau kalau ada guru pengganti," menjelaskan Firman.

"Kita ke gudang aja!" kata Boma.

Enam anak kelas II-9 itu, Vino di depan sekali bergegas menuju bangunan gudang tua. Sampai di sana keadaannya sepi-sepi saja.

"Mana Si Allannya?" tanya Boma pada Vino.

"Tadi... tadi dia berdiri di situ, lalu duduk..." Vino menunjuk ke arah gudang.

"Lu becanda apa gimana Vin," tanya Ronny.

"Kamu ngibulin kita-kita?!" ujar Rio.

"Sumpah! Tadi dia ada di sini. Aku ngeliat sendiri dia nenggak sesuatu, lalu tripping..."

"Tadi kapan? Udah berapa lama?" tanya Boma.

"Setengah jam lebih. Mungkin sekitar empat puluh menit. Pokoknya nggak lama sesudah aku keluar ngikutin dia. Waktu dia ngeprit aku ketakutan sendiri. Aku pergi ke warungnya Mang Asep..."

Boma, Ronny dan yang lain-lainnya jadi saling pandang. "Mungkin dia pulang. Kabur..." kata Vino.

"Orang tripping mana bisa kabur..." ujar Boma.

"Mungkin aja Bom. Tergantung jenis obat yang ditelan," ucap Ronny.

"Tanya sama penjaga pintu. Kalau dia pulang pasti penjaga liat," kata Vino pula.

Tapi di pintu gerbang sekolah Pak Saud si penjaga pintu tidak ditemukan. Anak-anak itu kembali ke Kelas II-9.

"Gimana kalau Gita nanya?" tanya Rio.

"Bilang aja Allan memang sudah pulang," jawab Ronny.

Boma menyambung. "Awas, jangan ada yang ngebocorin. Kalau guru apa lagi Kepala Sekolah sampai tau, kita bisa rusak semua."

"Aku masih nggak bisa percaya Si Allan itu bener-bener ngeprit," kata Ronny.

"Vino jelas-jelas ngeliat dia nenggak sesuatu pakai minum Aqua," sahut Boma. "Kau tau nggak Ron. O*at setan sebangsanya ecs*asy kata orang emang musti diminum sama Aqua baru bisa Ron?"

"Aku baru inget" kata Andi. "Tetangganya Si Allan pernah bilang kalau tu anak sering pergi ke Ancol. Jangan-jangan dia juga tripping di sana."

"Gua sih cuman kasian sama Gita. Menurut kalian, perlu nggak dikasih tau sama si gendut itu?"

"Nanti Ron, biar aku yang ngomong," jawab Boma. "Urusan ini kita musti hati-hati. Gimanapun juga Allan teman kita. Ingat, dia pasang badan waktu ngebelain kita berantem sama si Anton."

********************

9. JANJI KAWIN SINTO GENDENG

Puncak Gunung Gede. Sejak fajar menyingsing Sinto Gendeng melangkah gelisah. Saat itu sang surya telah menerangi jagat dan sinarnya mulai terasa terik. "Tua bangka geblek!" Si nenek tiba-tiba semprotkan makian. "Sudah hampir dua minggu berlalu. Masih belum kelihatan mata hidungnya! Jangan-jangan dia memang tidak mampu melakukan! Tapi sesumbar minta kawin segala! Padahal anunya pasti tidak lebih bagus dari terong busuk! Hik hik hik! Kawin saja sama kambing! Hik hik hik...!"

Sambil mengomel dan tertawa cekikikan Sinto Gendeng terus melangkah. Ternyata dia bukan melangkah sembarangan, bukan melangkah di atas tanah. Saat itu di pedataran kecil tak jauh dari pondok kayu kediamannya menancap dua lusin batang bambu setinggi satu setengah tombak. Batangan-batangan bambu ini ditancap demikian rupa hingga membentuk empat persegi, enam memanjang, empat melebar.

Setiap ujung bambu sengaja dipotong runcing, mencuat ke langit. Dan di atas ujung-ujung bambu runcing inilah si nenek perot melangkah seenaknya. Sesekali masih saja mengomel, sesekali tertawa cekikikan. Kalau saja dia tidak memiliki ilmu kesaktian, sudah sejak tadi dua kaki Sinto Gendeng yang tinggal kulit pembalut tulang itu amblas luka parah dimakan ujung bambu runcing. Kalaupun dia kebal tapi tidak memiliki ilmu mengimbangi dan meringankan tubuh yang tinggi, baru bergerak tiga empat langkah niscaya sudah jatuh bergedebukan di tanah!

"Matahari makin panas, aku kepingin kencing! Kakek geblek itu masih belum muncul! Sial!"

Kembali Sinto Gendeng memaki. Perlahan-lahan dia angkat ke atas kain panjang yang melilit tubuhnya. Enak saja dia hendak kencing sambil berjalan di atas bambu itu. Tapi maksudnya tertahan ketika tiba-tiba dikejauhan terdengar suara kerincingan keras sekali. Ditimpai tabuhan gendang. Lalu disusul suara Orang bernyanyi.

"Na... na... na Ni... ni... ni

Kala kupandang kelip bintang jauh di sana

Sayup teldengar melodi cinta yang menggema

Telasa kembali gelola jiwa mudaku

Kalena telsentuh alunan lagu semeldu kopi dangdut.

Na... na... na Ni... ni... ni"

Tak lama kemudian dari balik deretan pepohonan, diujung pedataran kecil muncul sosok seorang kakek bermuka cekung, mulut tonggos. Dia berjalan sambil menari. Tangan kanan menabuh gendang kecil yang tergantung di pinggang. Tangan kiri menggoyang kerincingan. Di atas kepalanya terkembang payung kecil terbuat dari kertas. Celananya yang gombrong dekil kedodoran hingga sebagian pantatnya yang hitam tersingkap. Lucunya pantat yang setengah tersingkap itu diogel-ogel kian kemari.

Di atas bambu runcing Sinto Gendeng hentikan langkahnya. Nenek ini geleng-geleng kepala. "Dasar geblek!" maki guru Pendekar 212 Wiro Sableng ini. Lalu dia berteriak. "Pelawak Sinting! Hentikan nyanyianmu! Bising tidak enak! Kupingku pengang!" Habis berteriak Sinto Gendeng kembali melangkah dari bambu satu ke bambu lain.

Kakek aneh yang barusan muncul dongakkan kepala. Lalu tertawa gelak-gelak. Tangan kanan masih terus menabuh gendang, tangan kiri menggoyang kerincingan.

"Sinto yang geblek aku atau kau! Apa yang kau lakukan? Apa tidak ada tempat beljalan yang lebih baik! Dasal nenek konyol!"

"Ngomong saja tidak becus! Berani memaki!"

"Ha ha ha!" Si kakek yang dipanggil dengan nama Pelawak Sinting kembali tertawa gelak-gelak.

Jika pembaca ingin tahu lebih lanjut siapa adanya kakek berjuluk Pelawak Sinting ini harap baca serial Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam berjudul Hantu Tangan Empat dan Rahasia Mawar Beracun

Seperti diceritakan dalam Episode Istana Kebahagiaan ketika istana milik Hantu Muka Dua itu meledak hancur, semua orang yang ada di dalamnya melesat bermentalan ke langit, lalu terpesat ke berbagai tempat di Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya. Dalam kejadian ini rupanya kakek Pelawak Sinting terpesat di Tanah Jawa sebelah barat.


Puas tertawa Pelawak Sinting kembali lantunkan nyanyian. "Na... na... na Ni.. ni... ni. Kala kupandang kelip bintang jauh di sana Sayup teldengal melodi cinta yang menggema." Baru sempat melantunkan dua bait nyanyian.

Sinto Gendeng membentak lantang. "Tua bagka edan! Apa kau tuli?! Hentikan nyanyimu!"

"Ah, Sinto, kau tidak tahu kemajuan jaman. Lagu yang aku nyanyikan ini sedang digandrungi olang di dunia sana. Namanya Kopi Dangdut..."

"Perduli setan Kopi Dangdut, Kopi Tubruk, Kopi Pahit! Aku tidak sudi mendengar. Lekas kau beri tahu apa kau berhasil mendapatkan benda yang aku minta?!"

Si kakek menyeberangi lapangan kecil, menyusup diantara barisan batangan bambu, lalu berhenti tepat di bawah dua bambu di atas mana Sinto Gendeng berdiri tegak dengan kaki terkembang. Melihat orang berdiri di bawah dan memandang ke atas, Si nenek cepat rapatkan dua kakinya. Dua batang bambu sampai meliuk akibat gerakan sepasang kaki itu.

"Jahanam! Kau sengaja berdiri di bawah sana! Kau mau ngintip auratku! Kakek ganjen sialan! Kutusuk buta nanti dua mata mesummu!"

Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak. "Sinto aku berdiri di bawah sini, mengapa musti takut? Jangan-jangan kabal yang aku silap benal adanya."

"Kabal? Kabal apa?!" bentak Sinto Gendeng sambil delikkan mata dan sengaja bicara cadel meniru pelonya si kakek.

"Kabal bahwa seumul hidup kau tidak pelnah pakai celana dalam. Ha ha ha!"

"Jahanam setan alas. Biar kusumpal mulut kurang ajarmu!" Sinto Gendeng cabut sebatang bambu. Lalu secepat kilat bambu runcing itu dilemparkannya ke arah kepala kakek Pelawak Sinting.

Berdiri di atas bambu runcing, mencabut sebatang bambu, lalu membuat gerakan menyerang dengan bambu yang*sama bukanlah satu hal mudah. Semua itu dilakukan nenek sakti dari puncak Gunung Gede ini dalam satu gerakan kilat dan tak terduga.

Pelawak Sinting berteriak kaget. "Sinto! Kau mau membunuh calon suamimu sendili!" Si kakek sambar payung kertas yang sejak tadi ada di atas kepalanya lalu cepat melompat ke samping kiri selamatkan muka dari tusukan bambu runcing. Bambu besar itu lewat hanya satu jengkal di samping pipinya.

Di atas sana Sinto Gendeng angkat tangan kanan ke udara, lengan diputar. Secara aneh bambu yang gagal menghantam Pelawak Sinting kini berbalik. Laksana petir menyambar batang bambu itu membabat ke arah pinggang Pelawak Sinting. Untuk kedua kalinya sambil berteriak tegang si kakek selamatkan diri. Kali ini dengan jatuhnya tubuh lalu bergulingan di tanah.

"Praakk! Praakk!"

Dua bambu runcing di atas mana Sinto Gendeng berdiri hancur berantakan dihantam Pelawak Sinting. Sebelum tubuhnya terperosok jatuh si nenek cepat melesat berpindah ke ujung bambu lainnya sambil berteriak.

"Kakek buduk! Siapa sudi kawin denganmu! Terong busuk bau comberan!"

"Eit Sinto! Jangan belani bicala begitu!" balas berteriak si Pelawak Sinting. "Ingat! Kau sudah beljanji!"

Sinto Gendeng terdiam. Muka cekung dan keriputnya mendadak berubah. Dadanya berdebar. "Tua bangka geblek ini. Jika dia berani berkata begitu apakah berarti dia benar-benari berhasil mendapatkan benda yang aku minta itu. Celaka. Mati aku! Bagaimana aku mungkin berlaku takabur sampai sempat-sempatnya berjanji segala!"

"Sinto mengapa kau mendadak diam? Apa sedang menghitung hali baik bulan baik pelkawinan kita? Ha ha ha!"

Di atas bambu runcing Sinto Gendeng keluarkan teriakan melengking tinggi. Lalu nenek ini melayang terjun ke bawah. Di lain kejap dia sudah berada dua langkah di hadapan Pelawak Sinting. Si nenek, ulurkan tangan kirinya. Matanya yang cekung angker menatap Pelawak Sinting tak berkesip.

"Lekas serahkan benda itu!"

Pelawak Sinting menyeringai. "Kau keliwat kesusu. Telbulu-bulu. Tapi tak jadi apa. Makin cepat kita kawin bukankah makin enak? Ha ha ha!"

"Jahanam! Jangan membuat aku benar-benari marah!" bentak Sinto Gendeng.

"Aih, jadi tadi-tadi itu kau cuma malah bohong-bohongan!"

Sinto Gendeng berteriak panjang saking marahnya. Seumur hidup belum pernah dia berhadapan dengan orang yang pandai bersilat lidah seperti kakek satu ini.

"Serahkan! Atau aku benar-benar akan membunuhmu! Kakek geblek! Jangan kira aku main-main!"

Pelawak Sinting goyangkan tangannya yang memegang kerincing. Sambil manggut-manggut dan ogel-ogelkan pantat dia masukkan tangan kanan ke balik pinggang celana sebelah depan dimana terletak satu kantong kain. Dari dalam kantong ini dia keluarkan sebuah benda lonjong sebesar telur burung dara, berwarna biru. Inilah Batu Penyusup batin. Pelawak Sinting tidak segera serahkan batu itu pada Sinto Gendeng. Sambil digosok-gosok dalam genggaman tangan kanannya, dia berkata,

"Ucapanmu tempo hali telnyata betul. Pangelan Matahali, mulid Si Muka Bangkai telnyata memang muncul didunia sana. Keadaan bisa gawat. Anak yang kau katakan akan kau jadikan Pendekal Tahun 2000 itu bisa dihabisinya sebelum maksudmu kesampaian. Selain itu dia juga akan mampu mengoblak ablik segala apa saja sekehendak otak kejinya. Tapi kau tak usah kawatil. Aku belhasil menculi batu ini dali saku mantelnya. Nah, kau inginkan batu. Aku selahkan padamu. Tapi halap ingat janji."

Sepasang mata Sinto Gendeng berkilat-kilat. Tidak menunggu lebih lama dia segera menyambar batu biru itu dari tangan Pelawak Sinting lalu melesat ke atas bambu-bambu runcing. Di atas sana ia perhatikan batu itu dekat-dekat di depan matanya. Tiba-tiba si nenek berteriak keras.

"Kurang ajar!"

Di bawanya Pelawak Sinting mendongak keheranan. "Eh, ada apa Sinto? Mengapa kau memaki? Siapa yang kulang ajal!"

Sinto Gendeng keluarkan suara menggerung lalu melesat turun. Batu Penyusup Batin diacung-kannya tepat-tepat didepan mulut tonggos Pelawak Sinting. "Palsu! Batu ini palsu!" teriak si nenek.

"Apa?" Pelawak sinting terkejut dan mendelik.

"Kau menipu aku! Kau pasti menculi batu yang asli. Memberikan yang palsu ini padaku! Untuk itu akan aku korek isi perutmu!"

"Tunggu!" Pelawak sinting cepat bersurut ketika Sinto Gendeng gerakan tangannya kearah perutnya dalam jurus Kepala Naga Menyusup Awan. "Aku belsumpah, batu itu yang aku culi dali Pangelan Matahali. Aku ambil sendili dali saku mantelnya sehabis dia menyaksikan mengamen."

"Siapa percaya pada ucapanmu!"

"Jangan-jangan kau yang sengaja berdalih! Batu itu asli tapi pula-pula kau bilang palsu. Akal bulusmu untuk menghindali janji kawin dengan aku!"

"Batu ini tidak ada gunanya bagiku! Lihat apa yang aku lakukan! Habis berkata begitu Sinto Gendeng remaskan telapak dan jari-jari tangan kanannya. Terdengar suara berkeratakan. Ketika genggaman dibuka Batu Penyusup Batin telah berubah menjadi bubuk halus.

"Bukan sulap bukan tipuan! Eh, kau tidak tengah menyiasati aku bukan Sinto?"

"Setan kurap! Siapa menyiasatimu! Kalau itu batu asli masakan, aku memusnahkannya!"

"Kau betul juga," kata Pelawak Sinting terperangah lalu jatuh terduduk di tanah. Rambutnya yang awut-awutan dijambak-jambak. Mulutnya ternganga tonggos sementara matanya dipejamkan.

"Tua bangka jelek! Apa yang kau lakukan?" hardik Sinto Gendeng.

"Aku tengah belpikil!"

"Hemm... aku juga tengah berpikir!" sahut Sinto Gendeng.

"Apa yang kau pikilkan kalau aku boleh tahu," tanya Pelawak Sinting.

"Yang kupikirkan saat ini bagaimana cara yang paling enak membunuh sekaligus mempesiangimu!"

Pelawak Sinting terlonjak saking kagetnya. Tapi kakek konyol ini segera saja dapat akal. Dia kembangkan payung, letakkan di atas kepala. Goyang kerincingan dan pukul gendang sambil pantat setengah ditunggingkan. Orang lain akan mengira ini adalah gaya si kakek yang senang menyanyi dan menari. Tapi sebenarnya ini merupakan satu pasangan kuda-kuda yang hebat. Salah-salah lawan menyerang akan terjebak dalam satu benteng pertahanan dan secepat kilat bisa berubah mengirimkan serangan balik yang dahsyat.

"Sinto Gendeng, kalau kau memang puya maksud jahat telhadapku, tak jadi apa. Kau tidak mau menepati janji kawin denganku kau bakal kualat sendili! Tapi yang aku minta saat ini, ? sebelum kau membunuh aku, kembalikan dulu Batu Penyusup Batin padaku dalam keadaan utuh!"

"Apa katamu?!" ucap Sinto Gendeng setengah berteriak. "Dasar tua bagka edan! Apa kau buta. Kau melihat sendiri batu palsu itu sudah kuhancurkan!"

"Perduli setan tujuh tulunan" sahut Pelawak Sinting. "Palsu atau asli, aku mau batu itu kembalikan. Dalam keadaan utuh!"

"Kakek Sinting! Kau mencari perkara!" teriak Sinto Gendeng. Habis berteriak nenek ini langsung menerjang kirimkan serangan ganas. Tangan kiri lancarkan satu pukulan sakti dalami jurus Kunyuk Melempar Buah sedang tangam kanan menyambar dua buah tusuk konde perak di kepalanya lalu dilemparkan ke arah Pelawak Sinting.

Pada saat Sinto Gendeng mulai lancarkan serangan, kakek yang terpesat dari Negeri Latanahsilam ini goyangkan kerincinghya demikian rupa hingga menimbulkan suara bising luar biasa mencucuk telinga Sinto Gendeng. Bersamaan dengan itu Pelawak Sinting juga pukul gendangnya. Suara tabuhan gendang bukan saja tambah memekakkan telinga tapi juga membuat dada orang bergetar.

Ketika dua tusuk konde melesat dan pukulan sakti menderu, payung di atas kepala si kakek tiba-tiba berputar deras lalu melayang ke bawah. Payung kertas itu berputar menebar angin kencang. Dan yang membuat Sinto Gendeng jadi melengak kaget ialah payung yang tadinya kecil makin lama makin besar. Membuat sosok si kakek terlindung dibelakangnya.

"Wuuuttt! Braakk!"

"Settt! Settt!"

"Kraakk! Kraaak!"

Pukulan Kunyuk Melempar Buah membuat hancur besar pinggiran payung. Tapi putarannya yang hebat menggulung pukulan sakti yang dilepaskan si nenek lalu melontarkannya keudara. Dua tusuk konde menancap dan merobek bagian lain dari payung. Namun tidak sanggup menembus!

Sepasang mata Sinto Gendeng yang selama ini mendekam di dalam ronngga cekung seolah mau melompat keluar. Saking tidak percaya melihat kejadian itu. Bagaimana mungkin hanya sebuah payung kertas sanggup menahan pukulan saktinya yang bisa memporak porandakan sebuah bangunan. Bagaimana mungkin sebuah payung kertas tidak bisa ditembus dua tusuk kondenya padahal tusuk konde itu mampu menembus dan menghancurkan sebuah batu besar?!

Perlahan-lahan payung berhenti berputar. Lalu jatuh ke tanah. Bersamaan dengan itu bentuknya kembali berubah mengecil. Ketika pandangan si nenek lepas tak terhalang lagi, mulutnya keluarkan seruan tertahan.

"Hah?!"

Pelawak Sinting tak ada lagi di depannya! Selagi Sinto Gendeng memandang kian kemari mencari-cari, di kejauhan terdengar suara kerincingan dan bunyi gendang. Lalu menyusul suara orang bernyanyi.

"Na... na... na Ni...ni... ni

Kau yang minta tolong kau yang mau menggolong

Kau yang butuh, kau yang mau membunuh

Kau yang beljanji, kau yang mengingkali

Apakah nyawaku lebih buluk dali batu yang dihanculkan

Apa kematian cukup pantas untuk satu kegagalan

Mulutmu sudah mengucap janji

Aku menganggap kau sudah menjadi istli

Belpikillah supaya mengelti

Na...na...na Ni...ni...ni"

Sinto Gendeng terkesiap mendengar nyanyian itu. Sesaat dia merenung lalu menghela nafas panjang. Hatinya membatin. "Mungkin aku telah berlaku keliru. Mungkin dia memang tidak tahu kalau batu itu palsu. Ada yang tidak beres. Siapa yang punya pekerjaan?"

Sinto Gendeng melangkah mendekati payung kertas yang tergeletak di tanah. Mengambil dua buah tusuk kondenya yang menancap di payung itu. "Kakek konyol itu. Ilmunya boleh juga. Payung butut begini mampu menahan lemparan dua tusuk kondeku. Hemmm... sebenarnya aku masih bisa minta tolong padanya. Namun saat ini agaknya hatinya telah terluka." Si nenek pencongkan mulut. "Apakah aku perlu mencarinya? Ah, biar nanti saja. Paling penting saat ini aku harus mencari anak setan itu! Kalau tidak bertemu terpaksa ku harus bekerja sendiri. Anak setan satunya jelas berada dalam keadaan bahaya." Sinto Gendeng ambil payung di tanah, dielus-elus diluruskan bagian-bagian yang robek, dilipat lalu disisipkan di punggung pakaian.

********************

10. SINTO GENDENG KELUAR SARANG

GUDANG besar penyimpanan berbagai material bangunan dalam keadaan sepi. Saat itu semua pekerja sedang istirahat makan. Di pintu gudang memang ada seorang penjaga tapi asyik membaca buku po*no hingga tidak menyadari kalau seorang berpakaian aneh telah menyelinap masuk ke dalam gudang.

Pangeran Matahari duduk di atas susunan kaleng-kaleng besar berisi cat tembok, terlindung di balik timbunan kantong semen. Dia tak habis pikir atas kejadian yang barusan dialami. Begitu mudah orang mencuri sebuah benda yang disimpannya dalam saku mantel. Apakah dia telah kehilangan ilmu kesaktian? Rahangnya mengembung. Seharusnya dia merasa malu bahkan terpukul oleh kejadian itu.

Tapi dasar manusia dijuluki Pangeran segala cerdik segala akal, segala ilmu, segala licik, segala congkak, walau kesal namun sikapnya tenang-tenang saja. Hanya dalam hati dia berkata. "Tua bangka keparat pengamen itu. Dia pasti bukan manusia biasa. Siapa dia sebenarnya? Tokoh berkepandaian tinggi yang menyamar? Bukan mustahil kemunculannya ada sangkut paut dengan Pendekar Tahun 2000 yang dikatakan guru. Jangan-jangan dia kaki tangan Sinto Gendeng."

Dalam soal berpikir, kecerdikan dan penggunaan akal Pangeran Matahari memang hebat. Dia sudah bisa menduga kalau kakek pengamen punya hubungan dengan Sinto Gendeng. Baru saja Pangeran Matahari berkata dalam hati tiba-tiba seorang bertangan kiri buntung, bungkuk, berpakaian rombeng dengan wajah sepucat kain kafan, muncul di hadapannya. Dua mata yang terpuruk angker pada rongga dalam memandang penuh marah pada sang Pangeran.

"Guru!" kaget Pangeran Matahari bukan kepalang ketika dia mengangkat kepala dan melihat siapa adanya orang tua itu. Buru-buru dia berdiri lalu membungkuk memberi hormat.

"Murid tolol! Kecongkakanmu hari ini amblas dalam comberan!" Begitu membuka mulut orang tua yang bukan lain adalah Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat menyemprot kasar.

Pangeran Matahari tentu saja sudah tahu sebab apa si orang tua mendampratnya begitu rupa. Tapi dasar licik panjang akal dia berpura-pura terkejut dan heran. "Guru, gerangan apa sampai membuatmu marah besar seperti ini? Murid menduga jangan-jangan..."

Dari tenggorokan Si Muka Bangkai keluar suara menggembor pertanda dia benar-benar marah sekali. "Pangeran goblok! Tutup mulutmu!"

Dibentak atau dihardik bagi Pangeran Matahari bukan soal. Tapi dimaki Pangeran goblok membuatnya sakit hati. Kalau yang memaki bukan gurunya saat itu juga pasti sudah dirobek mulut atau dipecahkannya kepalanya. Rahang menggembung, pelipis bergerak-gerak. Pangeran Matahari menatap tajam wajah sang guru.

"Untung aku berlaku waspada. Kalau tidak Batu Penyusup Batin itu akan lenyap selama-lamanya."

"Guru, maafkan diriku. Apakah guru telah menemukan kembali batu sakti itu? Batu itu aku taruh dalam saku mantel. Tapi lenyap dicuri seorang kakek pengamen."

"Selama ini kau terlalu sombong, terlalu congkak..."

"Guru, tunggu dulu!" tiba-tiba Pangeran Matahari berkata.

"Murid kurang ajar! Beraninya kau memotong ucapanku!" hardik Si Muka Bangkai.

Pangeran Matahari tidak perduli. "Apa kau lupa, guru? Bukankah kau sendiri ikut menanamkan semua sifat itu di dalam diriku ketika kau menggembleng aku di puncak Merapi?"

Dua mata Si Muka Bangkai yang ada dalam rongga cekung seperti mau melompat keluar. "Dasar kampret!"

"Kampret?!" Pangeran Matahari melotot heran.

"Waktu dulu kau kutemukan di desa Sleman, itu sebutan yang aku berikan padamu. Setelah puluhan tahun berlalu ternyata kau masih saja manusia kampret!"

Pangeran Matahari menatap muka pucat sang guru, melirik pada tangan kirinya yang buntung lalu tertawa gelak-gelak.

Untuk mengetahui riwayat Pangeran Matahari harap baca serial Wiro Sableng berjudul Pangeran Matahari

Di pintu gudang, penjaga asyik membaca buku po*no turunkan buku yang dipegangnya, memandang ke dalam gudang. "Siapa yang tertawa...?" tanyanya dalam hati.

Dia turun dari tumpukan balok kayu, masuk sampai beberapa langkah ke dalam gudang, memperhatikan ke segala penjuru. Dia tidak melihat siapa-siapa. Bulu kuduknya mendadak merinding. "Jangan-jangan setannya si Tukijan," katanya dalam hati. Lalu cepat-cepat dia keluar dari dalam gudang.

Tukijan adalah buruh bangunan yang mati akibat kecelakaan sebulan lalu. Jatuh dari tingkat empat gedung yang tengah dibangun.

"Pangeran Matahari, kau dengar baik-baik. Sejak kecil sifat segala licik, congkak sombong bahkan kejam telah ada dalam dirimu! Mungkin karena kau merasa diri sebagai seorang Pangeran. Mungkin juga itu sudah warisan darah daging dari orang tuamu!"

"Aku tidak pernah ingat siapa orang tuaku. Aku tidak pernah kenal mereka sejelas aku melihat dua telapak tanganku!" kata Pangeran Matahari sambil memandang ke atas ke arah atap seng gudang.

"Tidak heran! Tidak heran kalau kau juga tidak tahu siapa dirimu sendiri!" tukas Si Muka Bangkai yang membuat merah padam tampang Pangeran Matahari. "Kecongkakan dan kesombonganmu semakin berlipat ganda setelah kau mewarisi semua ilmu kepandaian dariku! Tapi hari ini semua akal licik, kesombongan dan kecongkakanmu, seperti kataku tadi, amblas dalam comberan ketololan! Batu biru yang kuberikan padamu lenyap dicuri orang. Dan tololmu lagi, kau menganggap si pencuri adalah manusia biasa, pengamen tua bangka! Kau tahu siapa orang itu?"

Tenang saja Pangeran Matahari gelengkan kepala.

"Dia adalah mahluk berkepandaian tinggi, tersesat dari negeri seribu dua ratus tahun silam. Di negeri sana dia dikenal dengan nama Si Pelawak Sinting. Di dunia sini dia muncul sebagai kaki tangan Sinto Gendeng! Nenek keparat dari Gunung Gede itulah yang telah memperalatnya untuk mencuri Batu Penyusup Batin yang ada dalam saku mantelmu!"

"Aku memang sudah menduga," kata Pangeran Matahari sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. "Tapi tadi guru berkata bahwa berkat kewaspadaan guru, batu sakti itu tidak..."

"Batu yang asli! Batu Penyusup Batin yang asli memang masih ada padaku! Yang kuberikan padamu hanya batu tiruan. Batu kawinan. Kalau saja aku tidak berlaku cerdik melakukan hal itu, batu yang asli sudah amblas dibawa kabur."

"Batu kawinan, aku tidak mengerti maksud guru," kata Pangeran Matahari pula.

"Dalam keadaan seperti sekarang ini, membawa batu asli tanpa mampu menjaganya adalah sangat berbahaya. Banyak mata bisa melihat, banyak tangan jahat bisa mengambil. Itu sebabnya, batu yang asli aku ikatkan ke batu tiruan. Selama satu minggu aku bersamadi. Kesaktian yang ada dalam Batu Penyusup Batin yang asli mengalir ke dalam batu tiruan. Namun kekuatannya hanya dua tiga hari saja. Batu tiruan itulah yang aku berikan padamu."

"Kalau begitu, guru, apakah kau masih punya banyak batu tiruan?" tanya Pangeran Matahari.

"Kampret besar!" maki Si Muka Bangkai.

"Syukur..." ujar Pangeran Matahari.

"Eh, apa maksudmu berkata syukur?!" tanya sang guru.

"Dulu aku dibilang kampret kecil. Sekarang sudah jadi kampret besar. Salahkah kalau aku bersyukur?"

Si Muka Bangkai mendelik besar lalu tertawa gelak-gelak. Di depan pintu gudang kembali si penjaga tersentak kaget. "Suara tertawa," katanya dalam hati. "Tapi suaranya berbeda dengan yang pertama tadi..."

Untuk memeriksa kembali ke dalam gudang dia merasa takut. Penjaga ini tinggalkan tempat itu mencari teman-temannya.

"Pangeran Matahari, aku tidak membawa batu tiruan. Aku punya cara lain untuk membuatmu bisa menyusup ke dalam tubuh seseorang. Kekuatan dan kemampuannya lebih lama dibanding batu kawinan. Mendekat ke sini."

Pangeran Matahari melangkah maju mendekati sang guru. Kakek bungkuk masukkan tangan kanannya ke balik baju rombeng. Sesaat kemudian di tangan kanan itu tampak sebuah benda memancarkan cahaya biru. Itulah Batu Penyusup Batin asli yang diterimanya dari gurunya Eyang Kunti Api. Dengan mulut berkomat-kamit membaca mantera Si Muka Bangkai usapkan Batu Penyusup Batin ke kepala dan muka muridnya. Usapan turun ke leher, dada, perut, dua paha dan dua kaki.

"Pejamkan matamu," perintah si kakek. Pangeran Matahari pejamkan dua mata. Si Muka Bangkai tempelkan batu sakti di kening muridnya, di bawah ikat kepala kain merah. Kembali dia berkomat kamit membaca mantera. Saat itulah sang murid berkata.

"Guru, apakah kau mencium bau sesuatu?"

Tadinya Si Muka Bangkai hendak membentak marah karena ucapan Pangeran Matahari membuyarkan pemusatan perhatiannya. Tapi ketika mengendus, dia memang membaui sesuatu. Bau yang membuat jantungnya berdetak keras dan tampangnya berubah membesi. Bau pesing!

Karena sang guru tidak keluarkan jawaban, Pangeran Matahari perlahan-lahan buka sepasang matanya. Begitu mata dibuka, pada saat itulah dari atas tumpukan kantong-kantong semen di ujung kiri gudang, berkelebat satu bayangan disertai menebarnya bau pesing yang amat santar. Mendahului kelebatan bayangan yang laksana terbang, melesat dua buah senjata rahasia memancarkan cahaya putih.

"Guru! Awas serangan!" teriak Pangeran Matahari. Cepat dia dorong dada Si Muka Bangkai hingga kakek ini terjengkang jatuh.

Dalam kejutnya Batu Penyusup Batin yang tadi ditempelkan di kening Pangeran Matahari, tidak sempat digenggam kembali oleh Si Muka Bangkai. Bersamaan dengan terjengkangnya tubuhnya, batu yang terlepas dari pegangannya itu ikut mental ke udara.

Selagi Pangeran Matahari membungkuk selamatkan diri dari serangan dua senjata rahasia, sosok yang melayang membuat gerakan berjumpalitan dua kali berturut-turut, lalu menukik turun. Sambil turun orang ini hantamkan kaki kirinya kepunggung Si Muka Bangkai. Bersamaan dengan itu tangan kanannya menyambar Batu Penyusup Batin yang mental ke udara!

"Batu Penyusup Batin!" teriak Si Muk Bangkai yang saat itu terkapar di lantai gudang. Dia berusaha bangkit tapi roboh kembali. Tendangan orang telah meremukkan tulang punggungnya hingga selain menahan sakit luar biasa kakek muka mayat ini juga kehilangan keseimbangan.

Cepat sekali, begitu berhasil menangkap Batu Penyusup Batin orang di atas sana kembali membuat gerakan kilat, melesat ke arah celah besar di dinding atas ujung kiri gudang.

"Bangsat berani mati!" teriak Pangeran Matahari. Dalam keadaan setengah terduduk di lantai dia hantamkan tangan kanannya.

Sesaat udara terasa redup. Lalu tiba-tiba berkiblat sinar kuning, hitam dan merah. Menderu panas dan ganas ke arah orang yang berkelebat di atas sana. Jangankan tubuh manusia, tembok bajapun akan hancur dihantam pukulan sakti itu. Karena pukulan yang dilepaskan Pangeran Matahari adala salah satu pukulan sakti paling ditakuti dalam rimba persilatan yaitu Pukulan Gerhana Matahari.

Namun sasaran yang dihantam telah lebih dulu lolos di balik celah dinding gudang. Begitu Pukulan Gerhana Matahari melabrak dinding gudang yang terbuat dari seng, tak ampun lagi dinding itu hancur berantakan. Kepingan-kepingan seng melesat tinggi ke udara terbungkus nyala api. Bukan itu saja. Hawa panas pukulan sakti membakar seluruh dinding gudang yang masih utuh.

Api merambat dengan cepat, berkobar ganas karena dalam gudang itu tersimpan berbagai bahan mengandung kimi antara lain cat. Lalu di salah satu sudut terdapat beberapa tabung gas yang biasanya dipergunakan untuk mengelas. Kebakaran besar serta merta menggegerkan kawasan itu.

Pangeran Matahari cepat menolong gurunya. "Kita harus pergi sebelum api lebih besar. Sebelum orang-orang masuk ke tempat ini!" kata sang murid.

"Tunggu," jawab Si Muka Bangkai. Dia melompat ke lantai di depan tumpukan tinggi kayu triplek. Di lantai itu menancap dua buah senjata rahasia yang tadi menyerang Pangeran Matahari. Si Muka Bangkai mencabut dua benda itu. Ketika diperhatikan, mukanya berubah kelam. Ternyata benda itu adalah dua buah tusuk konde perak.

"Tusuk konde perak! Siapa lagi pemiliknya kalau bukan keparat Sinto Gendeng!" Si kakek keluarkan suara menggerung. Amarahnya bukan kepalang. Lebih lagi begitu dia ingat bahwa si nenek itu juga yang tadi telah merampas Batu Penyusup Batin. "Nenek keparat itu. Dia keluar dari sarangnya. Kalau tidak segera dicegah, bahaya besar akan mengancam diriku dan para tokoh golongan hitam."

********************

11. BUKAN TRIPING BUKAN NGEPRIT

PULANG sekolah hari itu Boma dan teman-temannya kecuali Gita Parwati kumpul di warung bakso Mang Asep. "Heran... kata Boma. "Siapa yang usil punya mulut kayak kompor dua belas sumbu. Hampir semua anak Nusantara Tiga udah pada tau kejadian Allan tripping. Malah katanya ada guru yang juga udah tau. Gila banget!"

Ronny langsung memandang pada Vino. "Vin, kau yang liat Allan tripping. Kamu yang ceritain sama kita-kita. Kamu ceritain sama anak lain nggak."

"Sumpah Ron! Aku nggak cerita sama siapa-siapa," jawab Vino.

"Mungkin kita perlu ngomong lagi sama Gita," berkata Rio sambil memperhatikan Ronny mengeluarkan bungkusan rokok dari tasnya.

"Ron, lu jangan gila. Emang sih udah bubaran sekolah. Tapi jangan ngacok berani ngerokok di sini." Andi mengingatkan.

"Mulut gue asem banget!" jawab Ronny.

"Kalau asem kumur-kumur sono sama air cucian mangkok baksonya Mang Asep." kata Boma.

"Sial!" Ronny masukkan kembali rokoknya ke dalam tas. Lalu bertanya. 'Bom, waktu kamu ketemu Gita, 'tu anak bilang apa?"

"Katanya Allan bukan bangsa anak begituan. Jangan kan tripping, nenggak minuman keras aja nggak, ngerokok juga nggak. Malah dia bilang Vino ngarang."

"Wah, kalau gitu gua musti ikutan ngomong sama dia," kata Vino. "Buktinya sekarang kok udah dua hari si Allan nggak masuk-masuk."

"Aku rasa dia pindah sekolah gara-raga yang beginian juga. Ketauan ngeprit." Ucap Firman.

"Bisa jadi," menyahuti Andi.

"Besok kalau Si Allan masih belon masuk, aku mau ngomong lagi sama Gita. Di, kau sama Vino musti ngelacak. Siapa yang punya mulut jahil sampai kejadian ini bocor. Bukan cuma anak-anak kelas lain yang tau, tapi juga guru."

"Kalau ngomong sama Gita, kamu musti hati-hati Bom," kata Ronny.

"hati-hatinya?"

"Belakangan aku liat tu anak sering ngelamun. Nggak mau gabung sama kita-kita. Kelihatannya jadi sensitip. Gampang tersinggung..."

"Mungkin lagi mens 'kali," kata Vino.

"Perempuan kalau lagi dateng bulan sifatnya kadang-kadang 'kan aneh-aneh!"

"Sok tahu lu Vin!" sembur Andi. "Kayak lu udah pernah ngalamin mens aja!"

"Sialan! Emangnya gue cewek!" jawab Vino. Semua anak tertawa riuh.

********************

Serial Boma Gendenk Karya Bastian Tito

SIANG itu, waktu jam istirahat, Kelas II-9 sepi. Di dalam kelas hanya ada Gita Parwati duduk sendirian. Asyik membaca majalah. Boma berdiri di sudut pintu, memperhatikan. Dia menduga Gita tahu kalau dia berdiri di situ memperhatikan, tapi pura-pura terus membaca. Ronny dan teman-teman yang berdiri di ujung kelas sebelah luar memberi isyarat agar Boma segera masuk dan bicara dengan Gita. Boma akhirnya masuk ke dalam kelas.

"Asyik banget Git, pasti majalah po*no," Boma menegur. Sengaja memancing dengan ucapan seperti itu untuk melihat reaksi Gita.

"Enak aja lu," jawab Gita. "Liat dulu!" Gita mengangkat majalah yang dibacanya memperlihatkan cover depan. Ternyata sebuah majalah pelajar bahasa Inggris.

"Git, aku mau ngomong," kata Boma.

"Aku udah tahu. Ngomong aja..."

"Gimana kabarnya Allan?"

"Baik."

"Baik? Kok masih nggak masuk?"

"Baik bukan berarti sehat tau."

"Beneran sakitnya apa sih?" tanya Boma lagi.

"Mana aku tau Bom. Tanya sama dokternya atau sama ortunya."

"Kamu kan sering kesana."

"Siapa bilang?" Gita angkat kepala dari majalah yang dibacanya, menatap Boma sebentar lalu kembali memandang ke majalah di atas meja.

Boma merapatkan badannya ke samping meja. Lalu pegang lengan Gita. Dia merasakan denyutan cepat sekali pada urat nadi di lengan temannya ini. "Git, jujur aja. Kau tau si Allan itu ngeprit?"

"Itu lagi yang diomongin. Kemarin aku udah bilang. Dia bukan bangsa cowok gituan Bom." Gita menjawab, tapi melengos, tidak berani memandang mata Boma.

"Aku nggak ada maksud apa-apa Git. Kita kan teman. Aku kasian sama kamu, sama Allan."

"Buat apa ngasianin orang kayak aku Bom? Tapi ya makasih untuk pengasianannya," jawab Gita.

"Git, keadaan mungkin tidak seperti yang kami duga. Tadi pagi aku liat orang tua Allan menemui Kepala Sekolah."

"Biar aja. Biar jelas semuanya..."

"Kamu ngebelain Allan nggak tanggung-tanggung. Memangnya kamu cintrong banget sama dia?" tanya Boma.

Gita diam. Tatapannya ke wajah Boma seperti ingin menyampaikan suara hatinya. Ketika akhirnya anak perempuan ini menjawab, suaranya terdengar perlahan.

"Habis, siapa sih yang suka sama aku Bom? Gendut, item. Jelek begini. Allan selalu meratiin aku. Memang sih dia nggak pernah bilang sayang sama aku. Tapi aku tau perasaan kami sama."

Boma terdiam. Hatinya sangat tersentuh. Perasaan haru biru merenyuh lubuk kalbunya. Ditowelnya hidungnya. Lalu dilihatnya ada air mata meggelinding jatuh dari tanggul kelopak mata anak perempuan itu. Kalau sudah begini Boma jadi tidak tahan.

"Bom..."

"Udah Git, nanti kita ngomong lagi. Kalau ketemu Allan bilang salam dari teman-teman."

"Aku tau kamu dan teman-teman semua baik..." Gita menyeka air matanya. "Bom..."

Tapi Boma sudah keluar dari dalam kelas.

********************

KETIKA lonceng tanda jam pelajaran berikutnya dimulai, yang masuk ke dalam Kelas II-9 bukannya guru Fisika, tetapi guru bahasa Inggris Ibu Renata.

"Selamat siang Bu," anak-anak satu kelas memberi salam.

"Selamat siang," jawab Ibu Renata. Sejak sakit ini kali pertama dia masuk ke Kelas II-9. Badannya agak susut sedikit namun tidak mengurangi kecantikannya. Sesaat dia memandang berkeliling, memperhatikan bangku yang kosong, bangkunya Allan. Lalu melirik ke sudut kelas sebelah kiri di mana Boma duduk.

Firman yang duduk di sebelah Boma langsung berbisik. "Boma, kamu dilirik sama Ibu Renata..."

"Kamu kali yang dilirik, bukan aku." Jawab Boma. Dua anak ini sama-sama menutupi mulut menahan tertawa.

"Sudah sembuh Bu?" Tiba-tiba seorang anak bertanya.

Ibu Renata anggukkan kepala, tersenyum sedikit dan sekilas kembali melirik ke sudut kiri kelas.

"Sakitnya apa sih Bu?" seorang anak lain bertanya.

Yang menjawab teman di belakangnya. "Ah, mau tau aja sakitnya Ibu Renata. Emangnya kamu dokter?"

"Dukun, kali!" menimpali suara anak perempuan. Yang bicara ternyata adalah Si Centil Sulastri, anak baru pindahan dari Semarang. Suara tawa terdengar di mana-mana.

Ibu Renata juga tertawa walau kelihatan agak dipaksakan. "Anak-anak, saya mewakili Wali Kelas II-9 yang hari ini berhalangan hadir. Saya meneruskan permintaan dari Bapak Kepala Sekolah, Bapak Nugroho, untuk menyampaikan pesan atau pemberitahuan. Hal ini sehubungan dengan sakitnya teman kalian Allan."

Sampai di situ Ibu Renata berhenti sebentar. Apa yang barusan dikatakannya menimbulkan berbagai dugaan di hati dan benak anak-anak Kelas II-9. Banyak dari anak-anak itu mengira setelah diketahui tripping di sekolah. Allan akan dikeluarkan atau minta keluar. Itu sebabnya pagi tadi ayah Allan datang menemui Kepala Sekolah. Hampir semua mata ditujukan pada Gita. Anak perempuan ini hanya bisa tundukkan kepala sambil mencungkil-cungkil kuku jari tangannya.

"Anak-anak..." Ibu Renata meneruskan ucapannya. "Sebelumnya pada Kepala Sekolah telah masuk laporan bahwa Allan diketahui tripping di sekolah..."

"Siapa yang melapor Bu?" Tiba-tiba ada yangi bertanya. Boma.

Ibu Renata memandang ke sudut kiri Kelas; II-9. Dia menatap ke arah Boma sebentar lalu mengalihkan pandangan ke jurusan lain seraya berkata. "Siapa yang melapor tidak perlu kalian ketahui. Yang penting kalian ketahui adalah bahwa Allan sama sekali tidak melakukan tripping. Dia tidak minum o*at terlarang..."

Kelas II-9 sesaat dicekam kesunyian. Semua anak seperti tidak percaya mendengar kata-kata Ibu Renata itu. Ketika banyak mata diarahkan kembali pada Gita Parwati, anak-anak di bangku terdekat saling berbisik.

"Liat, si Gita nangis..."

Saat itu Gita Parwati duduk menundukkan kepala. Sehelai sapu tangan dipergunakan menutupi sebagian wajah, terutama sepasang matanya.

"Memang ada yang melihat Allan menelan sesuatu, minum segelas Aqua lalu goyang-goyang kepala di sekolah. Tapi saat itu sebenarnya dia bukan sedang tripping. Bukan menelan ecs*asy. Melainkan minum o*at. Obat dari dokter. Di dapat berdasarkan resep dokter. Anak-anak, Kepala Sekolah minta saya menyampaikan, memberi tahu pada kamu bahwa Allan sejak lama menderita penyakit epilepsi..."

Epilepsi apa-an sih Di," tanya Rio yang duduk di sampingnya. "Sipilis ya?"

Andi menutupi mulutnya menahan ketawa. "Epilepsi aja nggak tau. Anak sekolah malu-maluin. Ngakunya kelas dua lagi..."

"Gue kan bukannya dokter!" Rio jadi sengit.

"Epilepsi sama dengan ayan. Tau nggak?!"

Diberi tahu Rio cuma ngangguk sambil monyongkan mulut.

"Kalian mungkin banyak yang tidak tahu penyakit ini. Sebab dan jenisnya bermacam-macam. Allan rentan terhadap udara pengap, terutama di tempat-tempat ramai, rentan terhadap stres. Penyakitnya bisa kambuh tidak terduga. Ketika ada yang melihat dia menelan sesuatu dan meneguk Aqua, sebenarnya dia tengah minum obat dokter. Jadi anak-anak, sekali lagi saya menyampaikan pesan Kepala Sekolah. Allan bukan pecandu o*at terlarang. Dia tidak pecandu ecs*asy atau obat apapun. Sekarang dia masih istirahat di rumah. Kita doakan agar dia segera masuk sekolah lagi..."

"Amin!" beberapa anak mengamini.

Saat itulah Boma, Firman dan Andi, disusul, Ronny dan Rio mendatangi Gita yang sesenggukan dibangkunya. Anak-anak lain melakukah hal yang sama. Gita dikerubungi. Anak-anak perempuan menciumnya. Termasuk Sulastri. Trini satu-satunya anak perempuan yang hanya tegak tertegun dan tak beranjak di bangkunya.

Boma pegang tangan Gita dengan tangan kanan. Tangan kiri mengusap punggung anak perempuan itu. "Git maafin aku Git. Maafin juga teman-teman. Tadinya kami udah nyangka yang nggak-nggak sama Allan..."

Sesenggukan Gita berubah jadi tangis mengharukan. Dia mengangkat kepalanya, menurunkan sapu tangan yang menutupi dua matanya sedikit. Diantara isakannya anak perempuan ini berkata,

"Bom, sebenarnya aku sudah tau lama sakitnya Allan. Tapi aku mau bilang sama kalian nggak tega. Akibatnya dia dituduh tripping..."

"Sekarang udah nggak lagi Git," kata Ronny.

Ibu Renata sesaat masih berdiri di depan kelas memperhatikan semua simpati yang diberikan anak-anak pada Gita. Kemudian dia memberi isyarat pada Boma. Melihat isyarat ini Boma datang mendekat.

"Ibu manggil saya?" tanya Boma.

"Selesai sekolah, kamu Ibu tunggu di kantor."

"Baik Bu."

"Jangan lupa."

"Iyya Bu."

Ketika anak-anak yang mengerumuni Gita bubar dan Boma kembali ke bangkunya, kini Boma yang mereka kerumuni. Ronny bertanya. "Ibu Renata ngomongin apa sama kamu?"

"Pulang sekolah dia suruh aku datang kekantor."

"Ngapain?" tanya Firman.

"Nggak tau," jawab Boma sambil menowel hidung. "Yang jelas sikapnya dingin. Belum pernah aku liat Ibu Renata seperti itu."

"Jangan-jangan dia tau kita pada kasak-kusuk curiga sama si Allan," kata Vino.

"Kalau memang begitu berarti kamu yang dipanggil Vin, bukan Boma. Kamu yang pertama kali ngeliat Allan, nyangka dia lagi tripping," kata Andi pula.

Boma menowel hidungnya. "Kayaknya ada soal lain yang mau diomongin Ibu Renata. Tapi aku nggak tau soal apa."

Semua anak memandang pada Boma. Ronny hendak mengatakan sesuatu tapi saat itu guru Fisika sudah masuk ke dalam kelas.

********************

12. SUMPAH BOMA - AIR MATA IBU RENATA

HUJAN turun rintik-rintik ketika Boma melangkah seorang diri menuju Kantor Sekolah. Di Ruang Tamu Kepala Sekolah beberapa orang guru duduk bercakap-cakap. Mereka kemudian meninggalkan tempat itu sebelum hujan berubah lebat. Ketika berpapasan, Boma segera memberi hormat. Di Ruang Guru Ibu Renata duduk seoran diri di belakang meja sambil menulis. Dia ber henti menulis ketika melihat Boma muncul di ambang pintu.

"Selamat siang Bu," Boma memberi salam.

Ibu Renata menjawab dengan anggukan kepala. Wajahnya tidak cerah seperti biasa mungkin karena habis sakit. Sikapnya masih kelihatan dingin. Guru Bahasa Inggris ini menunjuk ke bangku di depan mejanya, memberi isyarat agar Boma duduk di situ. Boma duduk. Ibu Renata meneruskan menulis sesuatu lalu meletakkan bolpen di atas meja, melipat kertas yang barusan ditulis, memasukkan ke dalam tas.

"Boma."

"Ya Bu."

"Kamu masih ingat. Waktu di kelas satu saya pernah ngajak kamu sama-sama nonton film..."

"Ya Bu, saya ingat," jawab Boma.

"Saat itu kamu menolak."

Boma mengangguk. "Benar Bu," katanya kemudian.

Ibu Renata diam. Boma memberanikan diri bertanya. "Ibu marah saya menolak?"

"Film yang saya mau lihat itu bukan cuma bagus. Tapi banyak kesamaannya dengan kehidupan saya..." Guru Bahasa Inggris itu diam kembali. Lalu gelengkan kepala. "Tidak, saya tidak marah kamu menolak. Yang saya tidak menduga dan benar-benar marah, mengapa kamu menyebarkan, memberi tahu orang lain bahwa saya pernah mengajakmu nonton."

Boma tercengang. Ditatapnya wajah cantik Guru Bahasa Inggris itu. "Bu, saya nggak pernah cerita sama siapa-siapa kalau Ibu ngajak saya nonton."

"Jangan dusta Boma. Kamu menyebar omongan..."

"Sumpah Bu. Saya nggak pernah nyebar-nyebar omongan begitu..."

Dalam wajah yang tetap dingin Ibu Renata tunjukkan air muka tidak percaya. Matanya mulai merah. Dia berusaha keras membendung tangis. Tapi isakannya tak tertahankan lagi. Dua telapak tangannya ditutupkan ke mukanya. Bahunya bergoncang turun naik.

"Saya tidak menyangka seburuk itu budi pekertimu. Kalau kau tidak suka sama Ibu, jangan ceritanya disampaikan sama orang lain."

"Sumpah Bu," kata Boma.

"Jangan bersumpah Boma. Saya paling benci pada orang yang suka mengangkat sumpah tapi ternyata palsu..."

"Bu, saya..."

"Tidak mungkin Boma. Tidak mungkin. Waktu kita bicara pada akhir jam pelajaran hari Sabtu itu, hanya kita berdua di dalam kelas. Tidak ada orang lain. Tidak ada siapa-siapa. Lalu bagaimana ceritanya jadi tersebar kalau bukan kamu sendiri yang melakukan? Saya malu sekali. Malu sekali Boma. Mungkin, mungkin saya terpaksa minta berhenti mengajar disekolah ini. Saya akan keluar..."

"Jangan Bu. Jangan minta berhenti. Jangan keluar," kata Boma.

Ucapan polos anak ini membuat air mata yang sejak tadi terbendung menggelinding jatuh ke pipi putih Ibu Renata. Isak tangis perempuan ini semakin keras. Boma memandang ke ara pintu. Dia takut saat itu ada guru atau orang lain yang melihat.

"Bu, bagaimana Ibu tau kalau saya menyebar cerita itu? Ada yang melapor?" Boma tiba-tiba ajukan pertanyaan.

"Kamu tidak perlu tau siapa yang memberi tahu, siapa yang melapor. Pak Nugroho Kepala Sekolah tadi pagi memanggil saya. Dia tau cerita itu karena katanya sudah tersebar di antara anak-anak sekolah, di antara para guru. Kamu tahu apa yang Pak Nugroho bilang?"

Boma menggeleng. "Kamu mau tahu?"

Boma tak berani menjawab.

"Pak Nugroho bilang apa yang saya lakukan sangat tidak pantas. Seorang guru perempuan mengajak muridnya menonton! Bukan saja merupakan satu tindakan yang keliru, tapi juga merusak image guru." Ibu Renata menyeka air mata yang semakin banyak bercucuran.

Boma mulai bingung. Dia bangkit dari bangku. Hendak dipegangnya tangan Ibu Renata. Dia takut. Akhirnya ditowelnya hidungnya sendiri lalu melangkah keluar Ruangan Guru. Di pintu anak ini hentikan langkahnya dan membalik. Untuk beberapa lamanya dipandanginya Guru Bahasa Inggris itu. Sikap dingin masih belum pupus dari wajah perempuan muda itu.

"Pergi Boma, pergilah..." kata Ibu Renata sambil melambaikan tangan menyuruh Boma pergi.

Tapi Boma tidak beranjak dari tempatnya berdiri. "Ibu Renata, sekali lagi saya sumpah. Saya tidak berbuat sejahat itu." Ibu Renata geleng-gelengkan kepala. "Kalau sumpah saya palsu, biar saya nggak selamat."

Habis berkata begitu Boma menowel hidungnya sampai tiga kali lalu membalikkan badan, melangkah cepat-cepat meninggalkan Ruang Guru. Setelah Boma keluar dari ruangan guru, Ibu Renata masih tertegak di belakang meja. Ucapan Boma terngiang di telinganya.

"Kalau sumpah saya palsu, biar saya nggak selamat."

"Berani sekali. Seberani itu dia bersumpah," kata Ibu Renata dalam hati.

********************

BOMA berjalan sambil memukul-mukulkan tinju kanannya ke dalam telapak tangan kiri. "Ajie Gilel" Kenapa jadi begini urusannya? Musti gua selidikin siapa yang punya kerjaan!"

Saat itu Boma ingin sekali ada kawan-kawannya yang masih belum pulang. Ingin sekali dia menceritakan apa yang barusan dibicarakannya dengan Ibu Renata. Mungkin dengan menyampaikan hal itu dadanya bisa lega, perasaannya bisa tenang. Namun baik Ronny, Firman, Vino, maupun Andi dan Rio, tak satupun yang ada di sekolah. Semua sudah pulang. Boma berdiri di pintu gerbang sekolah.

Suara deru motor yang bising membuat dia berpaling. Guru Olahraga Bapak Sanyoto lewat dengan sepeda motor yang bocor kenalpotnya.

"Siang Pak," kata Boma sambil anggukkan kepala.

Mungkin tidak melihat, mungkin juga tidak mendengar salam anak muridnya, Guru Olahraga itu lewat saja tanpa menjawab hormat Boma.

"Nggak denger sih mungkin," kata Boma jadi kesal karena penghormatannya seolah tidak diacuhkan. "Budek sih mungkin. Soalnya tuh motor udah kayak suara speed boat aja. Tapi buta jelas nggak. Rugi gua ngasih hormat. Sialan! Tapi udahlah. Buat apa aku pikirin." Borna menowel hidungnya.

Langit semakin gelap. Hujan rintik-rintik berubah lebat. Boma tutupi kepalanya dengan tas, melangkah tinggalkan pintu gerbang sekolah. Tapi langkahnya tertahan ketika di belakangnya ada suara deru mobil. Menoleh ke belakang sebuah Suzuki Katana putih meluncur perlahan. Di belakang kemudi duduk Ibu Renata. Hujan lebat turun mendera. Boma masih tegak di pintu gerbang berpayung tas sekolah.

Suzuki Katana lewat di sampingnya. Saat itu ingin sekali Boma melihat. Ibu Renata menurunkan kaca jendela kiri Suzuki Katana, ingin sekali mendengar Guru Bahasa Inggris itu menyapanya.

"Boma, ayo ikutan sama saya..."

Namun harapan itu hanyalah suara hati Boma Tri Sumitro sendiri. Suzuki Katana meluncur melewatinya. Boma baru sadar dan beranjak dari pintu gerbang sekolah setelah sekujur tubuh dan pakaiannya basah kuyup.

Honda Tiger merah berhenti di ujung gang. "Di sini aja Ron. Nggak usah masuk," kata Boma. Begitu motor berhenti Boma segera turun.

"Aku juga males masuk Bom. Takut didamprat kakek tetangga kamu itu. Dikit-dikit mau ngeguyur kepala gua sama air kencing. Padahal gue rasa tu kakek boro-boro kencing, kentut aja udah nggak bisa!"

Boma tertawa lebar mendengar ucapan Ronny Celepuk. "Besok hari Minggu gimana?" tanya Ronny

"Jadi ke rumah Allan?"

"Boleh, tapi awas lu, jangan keliwat siang. Janji pagi dateng siang, siang dateng sore. janji malem bisa-bisa lu dateng subuh."

Ronny menyengir. Boma lambaikan tangan. Anak ini tengah berjalan ke tukang rokok diseberang jalan untuk membeli Gudang Garam Filter pesanan ayahnya ketika tiba-tiba dari arah belakang sebuah Toyota Hardtop berhenti. Dua orang keluar dari sebelah depan, tiga lainnya melompat dari bagian belakang kendaraan.

Boma yang mendadak mendapat firasat tidak enak, cepat menyeberang, melangkah ke arah tembok tinggi sebuah bangunan. Karena mau berbalik dan masuk ke gang. Di mulut gang sudah dihadang dua dari lima orang yang barusan turun dari jip. Anak lelaki ini sekarang ingat. Toyota jip itu sebelumnya mengikuti dia dan Ronny lalu lenyap di satu tikungan jalan. Tahu-tahu kini muncul di belakangnya. Dugaan Boma tidak keliru. Dia mendengar ada suara seseorang berkata.

"Bener dia Fred! Sayang temannya udah pergi!"

Fred. Boma ingat. Itu nama lelaki berewok yang memukulinya di toilet Gramedia. Dan suara orang yang barusan bicara sama dengan suara temannya si berewok. Boma mencapai tembok, membalik. Lima orang berdiri di hadapannya. Si berewok di tengah-tengah.

"Jagoan tengik! Gua mau liat kehebatan lu sekali lagi!" si berewok membuka mulut. Dia memberi isyarat dengan gerakan tangan.

Empat orang temannya, dua di kiri dua di kanan tanpa banyak bicara langsung menyerbu Boma. Perkelahian tidak seimbang segera terjadi. Walau mampu melayangkan tinjunya beberapa kali dengan telak ke arah lawan namun dengan cepat Boma terdesak. Lebih-lebih setelah si berewok ikut membantu empat temannya.

Pedagang rokok yang melihat kejadian itu berteriak kaget. Tapi kembali masuk ke dalam kios rokoknya dengan ketakutan ketika dua orang penyerang mengancam. "Berani macem-macem gua bakar kios lu!" ancam salah seorang pengeroyok.

Darah mengucur dari hidung dan mulut Boma. Kakinya mulai goyah. Ketika satu jotosan melanda perutnya dan satu tendangan menghajar tulang kering kaki kirinya, anak ini langsung roboh.

"Abisin! Bikin mampus!"

"Jangan dibunuh Fred! Nanti jadi urusan!"

"Bunuh! Urusan belakangan!" kata si berewok. Lalu dia mengeluarkan sebilah belati dari pinggangnya, diserahkan pada salah seorang temannya.

Pada saat itulah seperti kejadian di toilet toko buku Gramedia. Boma tiba-tiba merasakan ada hawa dingin di tengkuknya. Tubuhnya bergeletar panas. Nafasnya seperti membara. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat keatas. Lima orang yang mengeroyoknya sama terkejut. Dua orang berlaku lengah. Tinju Boma bersarang di hidung lelaki sebelah kanan.

"Praakk!"

Orang ini meraung keras. Tulang hidungnya pecah. Darah mengucur deras. Korban kedua muntah darah ketika tendangan Boma mendarat di dadanya. Orang ini langsung jatuh terduduk, mengerang kesakitan beberapa lamanya lalu susah payah berusaha berdiri. Lelaki yang memegang belati tusukkan senjata di tangan kanannya ke perut Boma. Nasibnya tak kalah jelek dari dua temannya. Tinju kanan Boma menyodok ulu hatinya. Orang ini megap-megap sambil pegangi perut. Belatinya jatuh entah kemana. Boma melompat. Tangan kiri dihantamkan ke kening orang.

Seekor burung putih, entah dari mana datangnya, terbang di atas tempat terjadinya perkelahian lalu hinggap di cabang pohon dekat kios rokok. Sesaat lagi tangan kiri Boma akan menghantam batok kepala orang yang tadi hendak menikamnya dengan belati, tiba-tiba Boma merasa ada yang mencekal lengan kirinya. Bersamaan dengan itu ada suara berkata.

"Anak setan! Kau membunuh orang dengan tangan mautmu? Apa kau lupa telapak tangan kirimu ada tanda silang, tanda kematian? Apa kau lupa tangan kirimu sudah kuisi ilmu kesaktian?!"

Boma terkejut. Dia memandang ke kiri dan kanan. Dia tak melihat orang yang bicara. Anak ini mencium bau pesing. Dia coba berontak. Tapi tak mampu lepaskan diri dari cekalan tangan yang tak kelihatan. Boma kemudian mendengar seseorang berteriak.

"Fred! Cabut Fred!"

Lima orang pengeroyok berhamburan naik keatas Toyota Hardtop. Kendaraan itu tancap gas, lenyap dalam beberapa detik saja.

Boma tersurut mundur ketika di depannya kelihatan satu sosok samar bungkuk sementara bau pesing tercium makin santar. Sosok samar perlahan-lahan kelihatan semakin nyata. Boma tambah tersurut.

"Nek..." Boma mengenali.

Nenek hitam bermuka kulit pembungkus tulang dengan lima tusuk konde di atas batok kepalanya. Nenek inilah yang menolongnya sewaktu ditimpa malapetaka di Gunung Gede. Nenek ini pula yang memberikan ilmu secara aneh padanya. Saat itu beberapa orang berdatangan ke tempat kejadian itu, termasuk tukang rokok dipinggir jalan. Si nenek menggerendeng.

"Anak setan, nanti aku datang lagi menemuimu. Sekarang kau telan ini..." Begitu berucap si nenek sumpalkan satu benda hitam sebesar ujung ibu jari. Empuk-empuk pahit.

"Nek, kau menjejali aku tai kambing apa racun?"

Si nenek tertawa cekikian. "Itu obat yang akan menyembuhkan seluruh luka yang kau alami. Sudah, jangan banyak tanya. Telan saja! Namanya saja obat. Mana ada obat semanis gulanya cendol! Hik hik hik!"

Si nenek cabut sesuatu dari pinggangnya. "Ini satu lagi aku berikan padamu!"

Boma kerenyitkan keningnya. "Apa ini Nek?" tanya Boma.

"Mana tahu aku apa ini namanya! Dikampungku di puncak Gunung Gede tak pernah ada benda beginian. Ambil. Pasti nanti ada gunanya bagimu!"

Boma mengambil benda yang diberikan si nenek. Ternyata benda itu adalah kaleng tipis plat nomor mobil. Plat nomor polisi sebelah belakang Toyota jip yang dikendarai lima pengeroyok. Ketika Boma masih bingung dan mau bertanya, si nenek bau pesing telah lenyap dari hadapannya.

T A M A T