Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

11. UJIAN KELIHAIAN PENDEKAR MUDA

“Wah, ilmu silatmu pasti lihai sekali, Yauw-twako!” kata Li Hong memuji. Lalu ia memandang ayahnya dan ibu tirinya. “ Ayah dan lbu, kalau Yauw-twako mau membantu aku dan Enci Ceng mencari harta karun Kerajaan Sung itu, hal ini tentu baik sekali!”

“Harta karun...?” Yauw Tek bertanya, keheranan terbayang di wajahnya.

“Ayah, Ibu, bolehkah aku menceritakannya kepada Yauw-twako?” tanya Li Hong.

Tan Kun Tek dan Ban-tok Niocu yang percaya bahwa, pemuda yang dimusuhi pasukan Mongol ini tentu seorang pendekar yang berjiwa patriot, apalagi orang tuanya terbunuh oleh pasukan Mongol. Maka tidak ada lagi yang perlu dicurigakan dan Tan Kun Tek bersama kedua isterinya sudah percaya sepenuhnya kepada pemuda itu. Maka mendengar pertanyaan Li Hong, ayah dan ibu gadis itu mengangguk. Setelah memperoleh persetujuan ayah ibunya, Li Hong lalu bercerita kepada Yauw Tek dengan suara lantang.

“Begini, Twako. Sebelum Lo-cianpwe Liu Bok Eng, Ayah dari Enci Ceng ini, tewas dibunuh Panglima Mongol dan pasukannya, dia meninggalkan sehelai peta harta karun kepada Enci Ceng dengan pesan agar harta karun itu ditemukan kemudian diberikan kepada para pejuang yang hendak menentang dan merobohkan kekuasaan orang Mongol.”

“Ah, baik sekali itu!” seru Yauw Tek. “Akan tetapi, milik siapakah harta karun itu?”

“Harta karun itu berasal dari harta Kerajaan Sung yang dicuri dan disembunyikan oleh seorang Menteri Thaikam yang jahat dan korup. Thaikam itu dibinasakan oleh Panglima Kerajaan Sung, yaitu Lo-cianpwe Liu Bok Eng dan peta itu terjatuh ke tangannya. Setelah Kerajaan Sung jatuh, maka mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng meninggalkan pesan kepada Enci Ceng untuk mencarl harta pusaka itu. Nah, ketika itu aku membantu Enci Ceng Ceng, dibantu pula oleh Pouw Cun Giok yang berjuluk Bu-eng-cu.”

“Bu-eng-cu? Ah, mirip julukan Guru saya, Bu-beng-cu walaupun artinya jauh berbeda. Bu-eng-cu berarti Si Tanpa Bayangan sedangkan Bu-beng-cu berarti Si Tanpa Nama,” kata Yauw Tek yang sejak tadi tertarik sekali mendengar cerita Li Hong.

Li Hong lalu melanjutkan ceritanya sampai ditemukannya peti harta karun oleh Panglima Kim Bayan yang menangkap mereka bertiga dan betapa peti itu kosong. Pencurinya meninggalkan huruf THAI SAN di dasar peti.

“Nah, begitulah ceritanya, Twako. Maka sekarang Enci Ceng Ceng dan aku bertekad untuk menyelidiki ke Thai-san, mencari pencuri itu dan berusaha mendapatkan kembali harta karun untuk diserahkan kepada mereka yang berhak, yaitu para pejuang yang berusaha membasmi penjajah Mongol. Sekarang setelah engkau mendengar cerita ini, maukah engkau membantu kami berdua untuk mencari harta karun itu?”

Yauw Tek mengalihkan pandang matanya kepada Tan Kun Tek dan kedua orang isterinya. “Tentu saja aku bersedia, Hong-moi, kalau Paman Tan dan kedua Bibi mengijinkannya.”

“Ayah dan Ibu tentu setuju, bukan? Kalau Yauw-twako mau membantu kami, selain keadaan kami menjadi lebih kuat, juga lebih besar kemungkinan kami akan berhasil mendapatkan kembali harta karun itu,” kata Li Hong yang lalu bangkit dan merangkul Ban-tok Niocu. “Ibu, tentu boleh dia menemani kami, ya...?” Ia merengek manja. Li Hong tahu benar bahwa kalau gurunya ini menyetujui, tentu Ayah dan Ibu kandungnya juga tidak keberatan.

Ban-tok Niocu tersenyum. “Perjalanan kalian berdua ke Thai-san mencari harta karun itu bukan pekerjaan ringan. Kukira banyak tokoh kang-ouw yang mendengar akan harta karun itu akan berdatangan dan memperebutkannya. Apalagi seperti telah kuberitahukan kepadamu, di Thai-san banyak terdapat tokoh yang sesat dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. O1eh karena itu, Yauw Tek ini baru ada gunanya menemani kalian berdua kalau dia memiliki ilmu kepandaian yang dapat diandalkan. Untuk mengetahui kekuatannya, perlu diuji dulu. Nah, Yauw Tek, bersediakah engkau kami uji kemampuanmu?”

Yauw Tek memberi hormat kepada Ban-tok Niocu Gak Li. “Bibi, saya adalah seorang yang bodoh, akan tetapi saya akan merasa sangat bahagia kalau sedikit kepandaian yang saya miliki ini dapat saya pergunakan untuk membantu Ceng-moi dan Hong-moi menemukan harta karun itu. Tentu saja saya tidak keberatan kalau akan diuji, hanya saya mohon Bibi agar mengasihani dan bertindak lunak terhadap diri saya.”

Ban-tok Niocu tersenyum, girang mendengar ucapan yang merendah itu, menandakan bahwa pemuda ini memang sangat rendah hati, sikap yang menyenangkan dari seseorang.

“Kami ingin melihat kelihaian ilmu silatmu, maka biarlah Li Hong yang menguji ilmu silat tangan kosongmu, kemudian Ceng Ceng yang akan menguji ilmu pedangmu. Bagaimana, bersediakah engkau, Yauw Tek?”

“Saya siap, Bibi.”

“Nah, mari kita ke Lian-bu-thia (Ruangan Berlatih Silat),” kata Tan Kun Tek yang gembira juga mendengar itu. Mereka lalu pergi menuju ke ruangan tempat latihan yang cukup luas.

“Li Hong, engkau ujilah ilmu silat tangan kosong Yauw Tek dan jangan bersikap sungkan, pergunakan seluruh kemampuanmu untuk mengalahkan dia!” Ban-tok Niocu agaknya sudah melihat tanda-tanda bahwa murid yang menjadi anaknya itu agaknya tertarik dan suka kepada Yauw Tek maka dipesannya agar menguji dengan kesungguhan hati.

“Baik, Ibu. Mari, Yauw-twako!” Li Hong mengajak pemuda itu dan ia sudah menuju ke tengah ruangan.

Setelah memberi hormat kepada Tan Kun Tek dan kedua isterinya, Yauw Tek menghampiri Li Hong dan setelah mereka saling berhadapan dia berkata. “Hong-moi, harap engkau menaruh iba kepadaku dan jangan menjatuhkan tangan maut.”

Li Hong tersenyum. “Bersiaplah, Twa-ko.” Ia memasang kuda-kuda dan setelah Yauw Tek juga memasang kuda-kuda dan siap, Li Hong berseru nyaring.

“Twako, sambut seranganku!” Ia lalu menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Karena selain untuk menguji pemuda itu, ia pun ingin memamerkan kelihaiannya, maka begitu menyerang ia sudah menggunakan jurus Pai-in-jut-sui (Dorong Awan Keluar Puncak). Kedua tangannya terbuka dan menyerang dengan dorongan kuat ke arah dada Yauw Tek.

Pukulan ini bukan main-main karena dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang amat kuat ke arah lawan. Hanya saja kalau dalam perkelahian menghadapi musuh Li Hong dapat mengisi serangan ini dengan dorongan yang mengandung hawa beracun, sekali ini ia tidak menggunakannya. Namun angin dorongan itu masih tetap kuat dan terasa menyambar dada pemuda itu sebelum kedua tangan yang menyerang itu menyentuhnya.

Yauw Tek cepat miringkan tubuhnya dan dari samping kedua tangannya membuat gerakan melingkar untuk menangkis kedua tangan Li Hong. Akan tetapi gadis itu menarik kembali kedua tangannya yang gagal menyerang, lalu menyambung dengan tendangan kaki miring dari samping, tendangan yang mencuat dengan cepat ke arah leher lawan. Kaki kanannya itu mencuat tinggi dan mengandung kekuatan besar.

Kembali Yauw Tek mengelak dengan mudah. Li Hong merasa kagum di samping penasaran juga karena dua serangannya yang cukup dahsyat itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Yauw Tek.

“Haiiiittt...!” Kini ia menyerang lebih dahsyat lagi karena ia menggunakan jurus Pai-san-to-hai (Tolak Gunung Uruk Laut). Kedua tangannya menyerang dengan pukulan-pukulan kuat ke arah kepala dan diseling tendangan kaki ke arah perut. Yauw Tek terkejut juga dan diam-diam dia memuji ketangkasan gadis itu. Akan tetapi dengan tenang dia mundur dan setiap kali kaki dan tangan gadis itu menyambar, dia menyambut dengan tangkisan sehingga terdengar suara dak-duk-dak-duk berulang-ulang. Li Hong merasa betapa lengan dan kakinya tergetar setiap kali bertemu tangan pemuda itu yang menangkisnya.

“Twako, jangan mengalah terus. Balas seranganku!” Li Hong berseru ketika pada serangan selanjutnya pemuda itu hanya mengelak atau menangkis. Sampai belasan jurus semua serangannya dapat dihindarkan lawan, akan tetapi pemuda itu belum pernah membalas.

“Haiiiittt...!” Kini Li Hong mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang disebut Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin Hujan)! Gerakannya cepat sekali, tubuhnya seolah menjadi bayangan yang berkelebatan dari delapan penjuru, kedua tangannya menghujankan serangan berupa tamparan, dorongan, pukulan, atau totokan yang amat cepat dan dahsyat. Serangan kedua tangan yang bertubi-tubi masih diselingi tendangan-tendangan yang membahayakan lawan.

Yauw Tek semakin kagum menghadapi serangan ini. “Bagus!” Dia berseru dan tiba-tiba tubuhnya berputar-putar seperti gasing! Demikian cepatnya tubuh itu berputar sehingga yang tampak hanya bayangannya saja, putarannya makin lama semakin cepat.

“Silat Angin Puyuh!” Ban-tok Niocu Gak Li berseru heran dan memandang kagum. Ia pernah mendengar akan ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh berpusing seperti itu yang disebut Silat Angin Puyuh dan menjadi andalan para ahli silat dari daerah barat, terutama dari Tibet!

Li Hong sendiri terkejut sekali karena pandang matanya tidak dapat mengikuti gerakan tubuh lawan yang berpusing itu sehingga ia tidak dapat mengarahkan serangannya. Bahkan ketika pandang matanya mengikuti bayangan yang berpusing itu, kepalanya menjadi pening!

“Haiiitt...!” Dengan nekat Li Hong kini menggunakan pukulannya yang terampuh yang biasanya disebut Hek-tok Tong-sim-ciang (Tangan Racun Hitam Getarkan Hati), akan tetapi sekali ini ia tidak menyertakan hawa beracun pukulannya. Namun tetap saja pukulannya mengandung sin-kang (tenaga sakti) yang kuat sekali.

Yauw Tek menyambut pukulan tangan kanan Li Hong yang terbuka dan didorongkan itu dengan tangan kirinya.

“Plakk...!”

Li Hong terkejut karena merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan telapak tangan yang lembut dan dingin, lunak seperti karet. Ia hampir menjerit karena tangannya itu tidak dapat ditarik kembali, seolah melekat pada telapak tangan pemuda itu. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang tangguh, ia dapat menenangkan hatinya dan kini tangan kirinya menotok ke arah dada Yauw Tek. Kalau totokannya itu mengenai sasaran, tubuh Yauw Tek tentu akan menjadi lemas sehingga ia mampu merenggut lepas tangan kanannya yang melekat pada tangan kiri lawan. Akan tetapi tiba-tiba pergelangan tangan kirinya dapat ditangkap oleh tangan kanan Yauw Tek!

cerita silat online karya kho ping hoo

Ia berusaha untuk memutar lengannya dan berbalik menyerang, akan tetapi tiba-tiba, entah dengan gerakan bagaimana, tanpa dapat dia hindarkan lagi, kedua lengannya itu telah terputar ke belakang tubuhnya dan ia telah ditelikung ke belakang tubuhnya! Betapa pun kuat usahanya untuk melepaskan diri, ia sama sekali gagal. Akan tetapi tiba-tiba Yauw Tek melepaskan kedua lengannya dan tubuhnya berkelebat ke depan Li Hong sehingga mereka saling berhadapan lagi.

“Hong-moi, maafkan aku dan terima kasih bahwa engkau telah banyak mengalah,” kata pemuda itu dengan suara tulus, bukan mengejek.

Muka Li Hong berubah kemerahan dan ia tetap gembira, hal yang bagi Ceng Ceng mengherankan karena ia mengenal adik angkatnya itu sebagai seorang gadis keras hati yang sukar menerima kekalahannya. Diam-diam ia menduga bahwa Li Hong tentu tertarik dan jatuh hati kepada Yauw Tek!

“Aih, Yauw-twako, engkaulah yang banyak mengalah. Ilmu silatmu lihai sekali dan aku merasa kalah,” kata Li Hong dan ia pun lari mendekati keluarganya dan duduk pula di atas bangku.

“Bagus! Lihai sekali gabungan ilmu silat dan Siauw-kin-na-jiu-hwat (1Imu Silat Menangkap dan Mencengkeram) itu!” seru Ban-tok Niocu.

“Engkau lihai sekali, Yauw Tek. Kami merasa kagum!” kata pula Tan Kun Tek. Sebagai seorang murid Bu-tong-pai dia pun mengenal ilmu silat yang aneh dan yang memiliki ciri khas ilmu bela diri dari luar.

“Ah, Paman dan Bibi terlalu memuji. Saya harus menerima banyak petunjuk dari Paman sekalian,” kata Yauw Tek merendah.

“Ceng Ceng, sekarang giliranmu untuk menguji ilmu pedang Yauw Tek!” kata Ban-tok Niocu dengan gembira.

Wanita majikan Pulau Ular ini sudah mendengar dari Li Hong bahwa selain ilmu pengobatannya yang manjur, Ceng Ceng juga memiliki ilmu pedang yang hebat walaupun ia hanya menggunakan sebatang ranting kayu sebagai pengganti pedang.

Ceng Ceng mengangguk dan melangkah lembut ke tengah ruangan sambil memegang sebatang ranting yang sudah ia siapkan. Kini mereka berhadapan dan Ceng Ceng berkata lembut.

“Yauw-twako, marilah kita berlatih pedang sebentar. Kami semua ingin menyaksikan kehebatann ilmu pedangmu. Cabutlah pedangmu, Twako.”

Yauw Tek memandang gadis itu dan ketika melihat gadis itu hanya memegang sebatang ranting yang besarnya seperti lengan tangannya, dia bertanya, “Ceng-moi, mana pedangmu? Mengapa engkau hanya membawa sebatang ranting kayu?”

Ceng Ceng tersenyum, “Twako, aku tidak pernah menggunakan pedang. Aku ngeri melihat pedang yang tajam dan runcing, maka aku akan menggunakan ini sebagai pengganti pedang.”

Yauw Tek mengerutkan alisnya. Dia bukan seorang bodoh. Kalau gadis ini berani menghadapi pedangnya dengan senjata ranting kayu maka sudah dapat diduga bahwa gadis cantik jelita yang lemah lembut ini pasti memiliki ilmu yang amat tinggi! Dia mencabut pedangnya yang ujungnya bercabang, lalu berkata dengan sikap lembut dan hormat.

“Ceng-moi, sebelum kita mulai berlatih silat pedang, bolehkah lebih dulu aku memeriksa ranting yang kau jadikan senjata itu?”

“Eh? Apakah engkau mencurigai rantingku ini, Twako? Kalau engkau ingin memeriksanya, boleh saja!” Ia lalu menjulurkan tangan menyerahkan ranting itu kepada Yauw Tek. Dengan tangan kirinya Yauw Tek menerima ranting itu dan tiba-tiba pedangnya berkelebat cepat.

“Crakk!!”

Ranting itu telah disambar pedang dan terbelah menjadi dua dengan membujur! Kini ranting itu telah menjadi dua batang yang sama panjangnya dan agak tipis. Yauw Tek lalu menyimpan pedangnya dan sambil memegang sebatang belahan ranting dengan tangan kanan seperti orang memegang pedang, dia menyerahkan belahan yang lain kepada Ceng Ceng sambil tersenyum dan berkata, “Maaf, Ceng-moi. Sebaiknya kita berlatih secara adil, masing-masing menggunakan sebatang ranting.”

Tadinya Ceng Ceng dan yang lain-lain terkejut melihat pemuda itu menggunakan pedang membacok ranting, akan tetapi setelah melihat maksud yang sebenarnya, Ceng Ceng menerima ranting itu sambil tersenyum.

Ceng Ceng menerima dengan tangan kanan lalu berkata, “Gerakan pedang Yauw-twako membelah ranting tadi saja sudah membuktikan betapa hebatnya ilmu pedang Twa-ko. Mari kita bermain pedang dengan ranting ini!”

Setelah berkata demikian, Ceng Ceng menyerang dengan tusukan. Akan tetapi sebagai pembukaan, untuk memberi kesempatan kepada lawan menjaga diri, tusukannya itu dilakukan dengan gerakan lambat.

Setelah Yauw Tek mengelak dan memutar rantingnya untuk menjaga diri, barulah Ceng Ceng melanjutkan serangannya dengan gerakan yang cepat bukan main. Yauw Tek terkejut sekali. Tak disangkanya Ceng Ceng memiliki gerakan yang demikian ringan dan cepatnya. Dia segera memutar rantingnya dan terjadilah pertandingan adu ilmu pedang yang seru.

Ceng Ceng berseru lirih dan menyerang dengan tusukan dalam jurus Giok-li-tauw-so (Sang Dewi Menenun) dan begitu tusukannya tertangkis lawan, ia melanjutkan dengan jurus Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Pedang Berantai). Serangannya ini hebat sekali, pedangnya menikam secara sambung menyambung dengan amat cepatnya sehingga sukar untuk dielakkan lawan. Melihat ini, Yauw Tek cepat melindungi dirinya dengan jurus Pek-kong-koan-jit (Pelangi Putih Menutup Matahari).

“Trik-trik-trikk...!” Tiga kali ranting itu bertemu dan sungguh hebat. Biarpun yang bertemu itu hanya ranting kayu, namun tampak bunga api berpijar!

Makin lama pertandingan ilmu pedang itu menjadi semakin hebat, keduanya mengeluarkan jurus-jurus yang dahsyat, namun selalu dapat dielakkan atau ditangkis lawan. Semua serangan kedua pihak selalu gagal. Ceng Ceng mulai memperlihatkan andalannya, yaitu gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa. Kini gerakan tubuh sedemikian cepatnya sehingga tubuh gadis itu seolah berubah dan lenyap berganti bayangan putih yang berkelebatan ke sana-sini.

Melihat ini, agaknya dia merasa tidak mampu menandingi kecepatan gerakan lawan, Yauw Tek mengambil sikap diam dengan kuda-kuda kokoh dan melindungi tubuhnya dengan perisai sinar rantingnya. Pertandingan itu menarik sekali, seolah melihat seekor burung yang amat cepat menyambar-nyambar ke arah lawannya yang seolah menjadi seekor ular yang melingkar diam akan tetapi selalu menyambut serangan burung dengan patukan moncongnya.

“Ah, pantas ia dijuluki Pek-eng Sianli Bayangan Putih), lihat betapa cepat gerakannya!” kata Tan Kun Tek memuji anak angkatnya.

“Bocah she Yauw itu pun hebat,” kata Gak Li atau Ban-tok Niocu. “Lihat, dia menggunakan pertahanan Sin-coa-pai-bwe (Ular Sakti Menyabetkan Ekornya).”

Pertahanan yang dipergunakan Yauw Tek itu memang kuat sekali sehingga semua serangan Ceng Ceng dapat ditangkisnya. Juga karena dia lebih banyak berdiam diri menanti serangan, maka dia tidak membuang banyak tenaga seperti halnya Ceng Ceng yang berkelebat ke sana-sini dan ini menyerap banyak tenaganya. Tentu saja dengan cara menutup diri dan hanya menangkis, Yauw Tek sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menyerang balik. Setelah pertandingan lewat sekitar limapuluh jurus, Ceng Ceng melompat menjauhi dan berdiri sambil tersenyum dan mengusap keringat dari leher dan dahinya.

Yauw Tek juga melompat ke depannya dan menjura. “Ah, Kiam-sut (Ilmu Pedang) Ceng-moi sungguh membuatku kagum sekali. Aku mengaku kalah.”

Ceng Ceng tersenyum dan menoleh ke arah keluarganya yang duduk di pinggir ruangan. Ia menggunakan tangan kirinya menunjuk ke arah rambut kepalanya, lalu menjura kepada Yauw Tek sambil berkata. “Ah, Yauw-twako terlalu merendahkan diri. Akulah yang mengaku kalah. Ilmu pedang Twako sungguh amat lihai, aku masih perlu mendapatkan banyak petunjuk tentang ilmu pedang darimu.”

Semua orang melihat betapa pita sutera putih yang tadinya mengikat rambut Ceng Ceng telah terlepas. Hal ini berarti bahwa dalam gebrakan terakhir tadi ranting di tangan Yauw Tek telah berhasil “mencuri” dan membuat pita rambut itu terlepas...!

Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 11

11. UJIAN KELIHAIAN PENDEKAR MUDA

“Wah, ilmu silatmu pasti lihai sekali, Yauw-twako!” kata Li Hong memuji. Lalu ia memandang ayahnya dan ibu tirinya. “ Ayah dan lbu, kalau Yauw-twako mau membantu aku dan Enci Ceng mencari harta karun Kerajaan Sung itu, hal ini tentu baik sekali!”

“Harta karun...?” Yauw Tek bertanya, keheranan terbayang di wajahnya.

“Ayah, Ibu, bolehkah aku menceritakannya kepada Yauw-twako?” tanya Li Hong.

Tan Kun Tek dan Ban-tok Niocu yang percaya bahwa, pemuda yang dimusuhi pasukan Mongol ini tentu seorang pendekar yang berjiwa patriot, apalagi orang tuanya terbunuh oleh pasukan Mongol. Maka tidak ada lagi yang perlu dicurigakan dan Tan Kun Tek bersama kedua isterinya sudah percaya sepenuhnya kepada pemuda itu. Maka mendengar pertanyaan Li Hong, ayah dan ibu gadis itu mengangguk. Setelah memperoleh persetujuan ayah ibunya, Li Hong lalu bercerita kepada Yauw Tek dengan suara lantang.

“Begini, Twako. Sebelum Lo-cianpwe Liu Bok Eng, Ayah dari Enci Ceng ini, tewas dibunuh Panglima Mongol dan pasukannya, dia meninggalkan sehelai peta harta karun kepada Enci Ceng dengan pesan agar harta karun itu ditemukan kemudian diberikan kepada para pejuang yang hendak menentang dan merobohkan kekuasaan orang Mongol.”

“Ah, baik sekali itu!” seru Yauw Tek. “Akan tetapi, milik siapakah harta karun itu?”

“Harta karun itu berasal dari harta Kerajaan Sung yang dicuri dan disembunyikan oleh seorang Menteri Thaikam yang jahat dan korup. Thaikam itu dibinasakan oleh Panglima Kerajaan Sung, yaitu Lo-cianpwe Liu Bok Eng dan peta itu terjatuh ke tangannya. Setelah Kerajaan Sung jatuh, maka mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng meninggalkan pesan kepada Enci Ceng untuk mencarl harta pusaka itu. Nah, ketika itu aku membantu Enci Ceng Ceng, dibantu pula oleh Pouw Cun Giok yang berjuluk Bu-eng-cu.”

“Bu-eng-cu? Ah, mirip julukan Guru saya, Bu-beng-cu walaupun artinya jauh berbeda. Bu-eng-cu berarti Si Tanpa Bayangan sedangkan Bu-beng-cu berarti Si Tanpa Nama,” kata Yauw Tek yang sejak tadi tertarik sekali mendengar cerita Li Hong.

Li Hong lalu melanjutkan ceritanya sampai ditemukannya peti harta karun oleh Panglima Kim Bayan yang menangkap mereka bertiga dan betapa peti itu kosong. Pencurinya meninggalkan huruf THAI SAN di dasar peti.

“Nah, begitulah ceritanya, Twako. Maka sekarang Enci Ceng Ceng dan aku bertekad untuk menyelidiki ke Thai-san, mencari pencuri itu dan berusaha mendapatkan kembali harta karun untuk diserahkan kepada mereka yang berhak, yaitu para pejuang yang berusaha membasmi penjajah Mongol. Sekarang setelah engkau mendengar cerita ini, maukah engkau membantu kami berdua untuk mencari harta karun itu?”

Yauw Tek mengalihkan pandang matanya kepada Tan Kun Tek dan kedua orang isterinya. “Tentu saja aku bersedia, Hong-moi, kalau Paman Tan dan kedua Bibi mengijinkannya.”

“Ayah dan Ibu tentu setuju, bukan? Kalau Yauw-twako mau membantu kami, selain keadaan kami menjadi lebih kuat, juga lebih besar kemungkinan kami akan berhasil mendapatkan kembali harta karun itu,” kata Li Hong yang lalu bangkit dan merangkul Ban-tok Niocu. “Ibu, tentu boleh dia menemani kami, ya...?” Ia merengek manja. Li Hong tahu benar bahwa kalau gurunya ini menyetujui, tentu Ayah dan Ibu kandungnya juga tidak keberatan.

Ban-tok Niocu tersenyum. “Perjalanan kalian berdua ke Thai-san mencari harta karun itu bukan pekerjaan ringan. Kukira banyak tokoh kang-ouw yang mendengar akan harta karun itu akan berdatangan dan memperebutkannya. Apalagi seperti telah kuberitahukan kepadamu, di Thai-san banyak terdapat tokoh yang sesat dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. O1eh karena itu, Yauw Tek ini baru ada gunanya menemani kalian berdua kalau dia memiliki ilmu kepandaian yang dapat diandalkan. Untuk mengetahui kekuatannya, perlu diuji dulu. Nah, Yauw Tek, bersediakah engkau kami uji kemampuanmu?”

Yauw Tek memberi hormat kepada Ban-tok Niocu Gak Li. “Bibi, saya adalah seorang yang bodoh, akan tetapi saya akan merasa sangat bahagia kalau sedikit kepandaian yang saya miliki ini dapat saya pergunakan untuk membantu Ceng-moi dan Hong-moi menemukan harta karun itu. Tentu saja saya tidak keberatan kalau akan diuji, hanya saya mohon Bibi agar mengasihani dan bertindak lunak terhadap diri saya.”

Ban-tok Niocu tersenyum, girang mendengar ucapan yang merendah itu, menandakan bahwa pemuda ini memang sangat rendah hati, sikap yang menyenangkan dari seseorang.

“Kami ingin melihat kelihaian ilmu silatmu, maka biarlah Li Hong yang menguji ilmu silat tangan kosongmu, kemudian Ceng Ceng yang akan menguji ilmu pedangmu. Bagaimana, bersediakah engkau, Yauw Tek?”

“Saya siap, Bibi.”

“Nah, mari kita ke Lian-bu-thia (Ruangan Berlatih Silat),” kata Tan Kun Tek yang gembira juga mendengar itu. Mereka lalu pergi menuju ke ruangan tempat latihan yang cukup luas.

“Li Hong, engkau ujilah ilmu silat tangan kosong Yauw Tek dan jangan bersikap sungkan, pergunakan seluruh kemampuanmu untuk mengalahkan dia!” Ban-tok Niocu agaknya sudah melihat tanda-tanda bahwa murid yang menjadi anaknya itu agaknya tertarik dan suka kepada Yauw Tek maka dipesannya agar menguji dengan kesungguhan hati.

“Baik, Ibu. Mari, Yauw-twako!” Li Hong mengajak pemuda itu dan ia sudah menuju ke tengah ruangan.

Setelah memberi hormat kepada Tan Kun Tek dan kedua isterinya, Yauw Tek menghampiri Li Hong dan setelah mereka saling berhadapan dia berkata. “Hong-moi, harap engkau menaruh iba kepadaku dan jangan menjatuhkan tangan maut.”

Li Hong tersenyum. “Bersiaplah, Twa-ko.” Ia memasang kuda-kuda dan setelah Yauw Tek juga memasang kuda-kuda dan siap, Li Hong berseru nyaring.

“Twako, sambut seranganku!” Ia lalu menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Karena selain untuk menguji pemuda itu, ia pun ingin memamerkan kelihaiannya, maka begitu menyerang ia sudah menggunakan jurus Pai-in-jut-sui (Dorong Awan Keluar Puncak). Kedua tangannya terbuka dan menyerang dengan dorongan kuat ke arah dada Yauw Tek.

Pukulan ini bukan main-main karena dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang amat kuat ke arah lawan. Hanya saja kalau dalam perkelahian menghadapi musuh Li Hong dapat mengisi serangan ini dengan dorongan yang mengandung hawa beracun, sekali ini ia tidak menggunakannya. Namun angin dorongan itu masih tetap kuat dan terasa menyambar dada pemuda itu sebelum kedua tangan yang menyerang itu menyentuhnya.

Yauw Tek cepat miringkan tubuhnya dan dari samping kedua tangannya membuat gerakan melingkar untuk menangkis kedua tangan Li Hong. Akan tetapi gadis itu menarik kembali kedua tangannya yang gagal menyerang, lalu menyambung dengan tendangan kaki miring dari samping, tendangan yang mencuat dengan cepat ke arah leher lawan. Kaki kanannya itu mencuat tinggi dan mengandung kekuatan besar.

Kembali Yauw Tek mengelak dengan mudah. Li Hong merasa kagum di samping penasaran juga karena dua serangannya yang cukup dahsyat itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Yauw Tek.

“Haiiiittt...!” Kini ia menyerang lebih dahsyat lagi karena ia menggunakan jurus Pai-san-to-hai (Tolak Gunung Uruk Laut). Kedua tangannya menyerang dengan pukulan-pukulan kuat ke arah kepala dan diseling tendangan kaki ke arah perut. Yauw Tek terkejut juga dan diam-diam dia memuji ketangkasan gadis itu. Akan tetapi dengan tenang dia mundur dan setiap kali kaki dan tangan gadis itu menyambar, dia menyambut dengan tangkisan sehingga terdengar suara dak-duk-dak-duk berulang-ulang. Li Hong merasa betapa lengan dan kakinya tergetar setiap kali bertemu tangan pemuda itu yang menangkisnya.

“Twako, jangan mengalah terus. Balas seranganku!” Li Hong berseru ketika pada serangan selanjutnya pemuda itu hanya mengelak atau menangkis. Sampai belasan jurus semua serangannya dapat dihindarkan lawan, akan tetapi pemuda itu belum pernah membalas.

“Haiiiittt...!” Kini Li Hong mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang disebut Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin Hujan)! Gerakannya cepat sekali, tubuhnya seolah menjadi bayangan yang berkelebatan dari delapan penjuru, kedua tangannya menghujankan serangan berupa tamparan, dorongan, pukulan, atau totokan yang amat cepat dan dahsyat. Serangan kedua tangan yang bertubi-tubi masih diselingi tendangan-tendangan yang membahayakan lawan.

Yauw Tek semakin kagum menghadapi serangan ini. “Bagus!” Dia berseru dan tiba-tiba tubuhnya berputar-putar seperti gasing! Demikian cepatnya tubuh itu berputar sehingga yang tampak hanya bayangannya saja, putarannya makin lama semakin cepat.

“Silat Angin Puyuh!” Ban-tok Niocu Gak Li berseru heran dan memandang kagum. Ia pernah mendengar akan ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh berpusing seperti itu yang disebut Silat Angin Puyuh dan menjadi andalan para ahli silat dari daerah barat, terutama dari Tibet!

Li Hong sendiri terkejut sekali karena pandang matanya tidak dapat mengikuti gerakan tubuh lawan yang berpusing itu sehingga ia tidak dapat mengarahkan serangannya. Bahkan ketika pandang matanya mengikuti bayangan yang berpusing itu, kepalanya menjadi pening!

“Haiiitt...!” Dengan nekat Li Hong kini menggunakan pukulannya yang terampuh yang biasanya disebut Hek-tok Tong-sim-ciang (Tangan Racun Hitam Getarkan Hati), akan tetapi sekali ini ia tidak menyertakan hawa beracun pukulannya. Namun tetap saja pukulannya mengandung sin-kang (tenaga sakti) yang kuat sekali.

Yauw Tek menyambut pukulan tangan kanan Li Hong yang terbuka dan didorongkan itu dengan tangan kirinya.

“Plakk...!”

Li Hong terkejut karena merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan telapak tangan yang lembut dan dingin, lunak seperti karet. Ia hampir menjerit karena tangannya itu tidak dapat ditarik kembali, seolah melekat pada telapak tangan pemuda itu. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang tangguh, ia dapat menenangkan hatinya dan kini tangan kirinya menotok ke arah dada Yauw Tek. Kalau totokannya itu mengenai sasaran, tubuh Yauw Tek tentu akan menjadi lemas sehingga ia mampu merenggut lepas tangan kanannya yang melekat pada tangan kiri lawan. Akan tetapi tiba-tiba pergelangan tangan kirinya dapat ditangkap oleh tangan kanan Yauw Tek!

cerita silat online karya kho ping hoo

Ia berusaha untuk memutar lengannya dan berbalik menyerang, akan tetapi tiba-tiba, entah dengan gerakan bagaimana, tanpa dapat dia hindarkan lagi, kedua lengannya itu telah terputar ke belakang tubuhnya dan ia telah ditelikung ke belakang tubuhnya! Betapa pun kuat usahanya untuk melepaskan diri, ia sama sekali gagal. Akan tetapi tiba-tiba Yauw Tek melepaskan kedua lengannya dan tubuhnya berkelebat ke depan Li Hong sehingga mereka saling berhadapan lagi.

“Hong-moi, maafkan aku dan terima kasih bahwa engkau telah banyak mengalah,” kata pemuda itu dengan suara tulus, bukan mengejek.

Muka Li Hong berubah kemerahan dan ia tetap gembira, hal yang bagi Ceng Ceng mengherankan karena ia mengenal adik angkatnya itu sebagai seorang gadis keras hati yang sukar menerima kekalahannya. Diam-diam ia menduga bahwa Li Hong tentu tertarik dan jatuh hati kepada Yauw Tek!

“Aih, Yauw-twako, engkaulah yang banyak mengalah. Ilmu silatmu lihai sekali dan aku merasa kalah,” kata Li Hong dan ia pun lari mendekati keluarganya dan duduk pula di atas bangku.

“Bagus! Lihai sekali gabungan ilmu silat dan Siauw-kin-na-jiu-hwat (1Imu Silat Menangkap dan Mencengkeram) itu!” seru Ban-tok Niocu.

“Engkau lihai sekali, Yauw Tek. Kami merasa kagum!” kata pula Tan Kun Tek. Sebagai seorang murid Bu-tong-pai dia pun mengenal ilmu silat yang aneh dan yang memiliki ciri khas ilmu bela diri dari luar.

“Ah, Paman dan Bibi terlalu memuji. Saya harus menerima banyak petunjuk dari Paman sekalian,” kata Yauw Tek merendah.

“Ceng Ceng, sekarang giliranmu untuk menguji ilmu pedang Yauw Tek!” kata Ban-tok Niocu dengan gembira.

Wanita majikan Pulau Ular ini sudah mendengar dari Li Hong bahwa selain ilmu pengobatannya yang manjur, Ceng Ceng juga memiliki ilmu pedang yang hebat walaupun ia hanya menggunakan sebatang ranting kayu sebagai pengganti pedang.

Ceng Ceng mengangguk dan melangkah lembut ke tengah ruangan sambil memegang sebatang ranting yang sudah ia siapkan. Kini mereka berhadapan dan Ceng Ceng berkata lembut.

“Yauw-twako, marilah kita berlatih pedang sebentar. Kami semua ingin menyaksikan kehebatann ilmu pedangmu. Cabutlah pedangmu, Twako.”

Yauw Tek memandang gadis itu dan ketika melihat gadis itu hanya memegang sebatang ranting yang besarnya seperti lengan tangannya, dia bertanya, “Ceng-moi, mana pedangmu? Mengapa engkau hanya membawa sebatang ranting kayu?”

Ceng Ceng tersenyum, “Twako, aku tidak pernah menggunakan pedang. Aku ngeri melihat pedang yang tajam dan runcing, maka aku akan menggunakan ini sebagai pengganti pedang.”

Yauw Tek mengerutkan alisnya. Dia bukan seorang bodoh. Kalau gadis ini berani menghadapi pedangnya dengan senjata ranting kayu maka sudah dapat diduga bahwa gadis cantik jelita yang lemah lembut ini pasti memiliki ilmu yang amat tinggi! Dia mencabut pedangnya yang ujungnya bercabang, lalu berkata dengan sikap lembut dan hormat.

“Ceng-moi, sebelum kita mulai berlatih silat pedang, bolehkah lebih dulu aku memeriksa ranting yang kau jadikan senjata itu?”

“Eh? Apakah engkau mencurigai rantingku ini, Twako? Kalau engkau ingin memeriksanya, boleh saja!” Ia lalu menjulurkan tangan menyerahkan ranting itu kepada Yauw Tek. Dengan tangan kirinya Yauw Tek menerima ranting itu dan tiba-tiba pedangnya berkelebat cepat.

“Crakk!!”

Ranting itu telah disambar pedang dan terbelah menjadi dua dengan membujur! Kini ranting itu telah menjadi dua batang yang sama panjangnya dan agak tipis. Yauw Tek lalu menyimpan pedangnya dan sambil memegang sebatang belahan ranting dengan tangan kanan seperti orang memegang pedang, dia menyerahkan belahan yang lain kepada Ceng Ceng sambil tersenyum dan berkata, “Maaf, Ceng-moi. Sebaiknya kita berlatih secara adil, masing-masing menggunakan sebatang ranting.”

Tadinya Ceng Ceng dan yang lain-lain terkejut melihat pemuda itu menggunakan pedang membacok ranting, akan tetapi setelah melihat maksud yang sebenarnya, Ceng Ceng menerima ranting itu sambil tersenyum.

Ceng Ceng menerima dengan tangan kanan lalu berkata, “Gerakan pedang Yauw-twako membelah ranting tadi saja sudah membuktikan betapa hebatnya ilmu pedang Twa-ko. Mari kita bermain pedang dengan ranting ini!”

Setelah berkata demikian, Ceng Ceng menyerang dengan tusukan. Akan tetapi sebagai pembukaan, untuk memberi kesempatan kepada lawan menjaga diri, tusukannya itu dilakukan dengan gerakan lambat.

Setelah Yauw Tek mengelak dan memutar rantingnya untuk menjaga diri, barulah Ceng Ceng melanjutkan serangannya dengan gerakan yang cepat bukan main. Yauw Tek terkejut sekali. Tak disangkanya Ceng Ceng memiliki gerakan yang demikian ringan dan cepatnya. Dia segera memutar rantingnya dan terjadilah pertandingan adu ilmu pedang yang seru.

Ceng Ceng berseru lirih dan menyerang dengan tusukan dalam jurus Giok-li-tauw-so (Sang Dewi Menenun) dan begitu tusukannya tertangkis lawan, ia melanjutkan dengan jurus Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Pedang Berantai). Serangannya ini hebat sekali, pedangnya menikam secara sambung menyambung dengan amat cepatnya sehingga sukar untuk dielakkan lawan. Melihat ini, Yauw Tek cepat melindungi dirinya dengan jurus Pek-kong-koan-jit (Pelangi Putih Menutup Matahari).

“Trik-trik-trikk...!” Tiga kali ranting itu bertemu dan sungguh hebat. Biarpun yang bertemu itu hanya ranting kayu, namun tampak bunga api berpijar!

Makin lama pertandingan ilmu pedang itu menjadi semakin hebat, keduanya mengeluarkan jurus-jurus yang dahsyat, namun selalu dapat dielakkan atau ditangkis lawan. Semua serangan kedua pihak selalu gagal. Ceng Ceng mulai memperlihatkan andalannya, yaitu gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa. Kini gerakan tubuh sedemikian cepatnya sehingga tubuh gadis itu seolah berubah dan lenyap berganti bayangan putih yang berkelebatan ke sana-sini.

Melihat ini, agaknya dia merasa tidak mampu menandingi kecepatan gerakan lawan, Yauw Tek mengambil sikap diam dengan kuda-kuda kokoh dan melindungi tubuhnya dengan perisai sinar rantingnya. Pertandingan itu menarik sekali, seolah melihat seekor burung yang amat cepat menyambar-nyambar ke arah lawannya yang seolah menjadi seekor ular yang melingkar diam akan tetapi selalu menyambut serangan burung dengan patukan moncongnya.

“Ah, pantas ia dijuluki Pek-eng Sianli Bayangan Putih), lihat betapa cepat gerakannya!” kata Tan Kun Tek memuji anak angkatnya.

“Bocah she Yauw itu pun hebat,” kata Gak Li atau Ban-tok Niocu. “Lihat, dia menggunakan pertahanan Sin-coa-pai-bwe (Ular Sakti Menyabetkan Ekornya).”

Pertahanan yang dipergunakan Yauw Tek itu memang kuat sekali sehingga semua serangan Ceng Ceng dapat ditangkisnya. Juga karena dia lebih banyak berdiam diri menanti serangan, maka dia tidak membuang banyak tenaga seperti halnya Ceng Ceng yang berkelebat ke sana-sini dan ini menyerap banyak tenaganya. Tentu saja dengan cara menutup diri dan hanya menangkis, Yauw Tek sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menyerang balik. Setelah pertandingan lewat sekitar limapuluh jurus, Ceng Ceng melompat menjauhi dan berdiri sambil tersenyum dan mengusap keringat dari leher dan dahinya.

Yauw Tek juga melompat ke depannya dan menjura. “Ah, Kiam-sut (Ilmu Pedang) Ceng-moi sungguh membuatku kagum sekali. Aku mengaku kalah.”

Ceng Ceng tersenyum dan menoleh ke arah keluarganya yang duduk di pinggir ruangan. Ia menggunakan tangan kirinya menunjuk ke arah rambut kepalanya, lalu menjura kepada Yauw Tek sambil berkata. “Ah, Yauw-twako terlalu merendahkan diri. Akulah yang mengaku kalah. Ilmu pedang Twako sungguh amat lihai, aku masih perlu mendapatkan banyak petunjuk tentang ilmu pedang darimu.”

Semua orang melihat betapa pita sutera putih yang tadinya mengikat rambut Ceng Ceng telah terlepas. Hal ini berarti bahwa dalam gebrakan terakhir tadi ranting di tangan Yauw Tek telah berhasil “mencuri” dan membuat pita rambut itu terlepas...!