Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

10. PENYELAMATAN SEORANG PENDEKAR MUDA

SETELAH tiba di pantai pulau itu, mereka berempat melihat seorang laki-laki yang berpakaian serba biru sedang dikeroyok duapuluh orang lebih. Laki-laki itu bagaikan seekor burung berlompatan dari satu ke lain perahu besar, mengamuk dengan pedangnya dan tampak dia merobohkan beberapa orang pengeroyok. Biarpun dari pantai itu tidak dapat dilihat jelas, namun dari seragam para pengeroyok mudah dikenal bahwa mereka adalah para perajurit Mongol.

“Mari kita bantu orang yang dikeroyok pasukan Mongol itu!” kata Tan Kun Tek.

Dia dan Ban-tok Niocu masuk ke sebuah perahu kecil, sedangkan Li Hong dan Ceng Ceng masuk ke perahu lain. Dua buah perahu itu segera didayung cepat menuju ke tempat di mana perkelahian masih berlangsung seru.

Setelah agak dekat, mereka melihat bahwa yang dikeroyok itu adalah seorang pemuda berpakaian serba biru yang cukup lihai. Biarpun dikeroyok demikian banyaknya lawan, dia dapat bergerak lincah dan tidak terdesak. Akan tetapi kini empat buah perahu besar itu saling mendekat dan para perajurit berkumpul di sebuah perahu di mana pemuda itu dikeroyok sehingga kini dia dikeroyok banyak perajurit Mongol.

Karena yang mengeroyoknya banyak sekali, mulailah pemuda itu memutar pedang melindungi dirinya sambil mundur dan dia melompat ke arah perahu kecil yang tadi ditinggalkannya ketika dia melompat ke atas perahu besar para pengeroyoknya. Perahu itu berada di tempatnya karena sebelum melompat ke perahu besar, pemuda itu telah melepas jangkar untuk menahan perahu agar jangan hanyut oleh ombak.

Pada saat dia melompat itu, beberapa orang perajurit melepaskan anak panah ke arah tubuh yang masih melayang dari perahu besar ke perahu kecil itu! Pemuda itu memutar pedangnya sehingga beberapa batang anak panah tertangkis dan terpental. Akan tetapi sebatang anak panah agaknya mengenai tubuhnya karena sebelum dia mencapai perahu kecil, tubuhnya sudah terjungkal ke air laut!

“Ah, dia terkena anak panah!” seru Li Hong.

“Kalian jaga serbuan mereka, biar aku yang menolongnya!” kata Tan Kun Tek yang mempunyai keahlian renang. Dia lalu terjun ke air dan berenang dengan cepat ke arah pemuda yang kini tampak tersembul di permukaan air dan berusaha untuk berenang dengan gerakan kaku karena dia telah terluka. Sementara itu, Ban-tok Niocu cepat mendayung perahunya ke arah perahu besar seperti yang dilakukan Li Hong dan Ceng Ceng.

Ketika banyak anak panah meluncur ke arah mereka, Ceng Ceng memutar dayung menangkis sehingga banyak anak panah terpental. Li Hong dan Ban-tok Niocu berhasil menangkap masing-masing dua batang anak panah, lalu mereka melemparkan anak panah ke arah para perajurit di atas perahu besar. Terdengar teriakan mengaduh dan empat orang perajurit di perahu besar itu roboh!

Melihat ini, perwira yang memimpin pasukan itu agaknya menjadi jerih dan dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk memutar perahu mereka dan meninggalkan tempat yang berbahaya itu. Mereka agaknya maklum bahwa empat orang yang datang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Apalagi mereka memang sudah mendengar akan berbahayanya Pulau Ular.

Tan Kun Tek berhasil merangkul pemuda baju biru yang tampaknya sudah lemas dan membawanya berenang mendekati perahu Ban-tok Niocu. Pemuda itu lalu dinaikkan ke perahu dan mereka lalu mendayung perahu menuju pulau.

Pemuda itu agaknya pingsan. Sebatang anak panah menancap di pundak kanannya. Untung tidak terlalu dalam dan Tan Kun Tek segera mencabut anak panah itu selagi pemuda itu masih pingsan sehingga tidak merasakan kenyerian hebat. Karena tidak membawa obat, maka Tan Kun Tek lalu menggunakan robekan baju pemuda itu untuk membalut luka itu. Agar darahnya tidak banyak keluar, dia menotok jalan darah di sekitar pundak.

Pemuda itu masih pingsan dan suami isteri itu mengamati wajah itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu berusia sekitar duapuluh dua tahun. Tubuhnya sedang namun tegap berisi, dengan dada bidang dan pinggang kecil. Wajahnya berkulit putih bersih. Alisnya tebal hitam berbentuk golok. Hidungnya mancung dan bentuk bibirnya bagus. Sebuah wajah yang amat tampan! Pakaiannya dari sutera biru dengan pakaian dalam putih. Melihat sutera yang dijadikan pakaian itu, dapat diduga bahwa dia pemuda dusun yang sederhana.

Ketika dia ditolong oleh Tan Kun Tek, walaupun dalam keadaan pingsan pemuda itu masih memegang pedangnya! Kini pedang itu oleh Kun Tek diletakkan di perahu. Sebatang pedang yang indah, namun agak aneh karena ujungnya terbelah dua. Sebagai ahli silat tinggi, suami isteri itu maklum bahwa keadaan pedang yang ujungnya bercabang ini dapat dipergunakan untuk merampas senjata lawan.

Dua buah perahu itu tiba di tepi pulau dan pada saat itu, pemuda baju biru itu siuman dari pingsannya. Begitu membuka kedua matanya, dia cepat bangkit duduk, lalu melompat ke daratan dalam sikap siap bertanding! Akan tetapi ketika melihat Tan Kun Tek, Ban-tok Niocu, Ceng Ceng dan Li Hong menghampirinya dan berdiri di depannya, dia membelalakkan sepasang matanya yang lebar dan bersinar tajam, memandang heran dan mengendurkan kembali urat-urat tubuhnya yang tadi siap membela diri.

“Kami bukan musuh, orang muda. Kami bahkan tadi membantumu, mengusir para perajurit Mongol dan aku menolongmu dari air,” kata Tan Kun Tek sambil tersenyum dan menjulurkan tangannya yang memegang pedang pennuda itu. “Ini pedangmu, terimalah.”

Akan tetapi pemuda itu tidak menerima pedangnya, melainkan menjatuhkan diri berlutut. “Ah, Lo-cianpwe (Orang Tuan Gagah) sekalian telah menolong dan menyelamatkan nyawa saya, sungguh saya berhutang budi dan nyawa. Banyak terima kasih saya haturkan...” Tiba-tiba dia terkulai dan terguling roboh. Pingsan!

Ceng Ceng yang memiliki keahlian mengobati orang sakit tanpa disuruh lagi cepat menghampiri tubuh pemuda yang rebah telentang itu. Setelah memeriksa denyut nadi, biji mata, dan meraba dada pemuda itu, ia bangkit dan berkata kepada ayah, ibu, dan adiknya.

“Bagaimana keadaannya, Enci Ceng?” tanya Li Hong yang sejak tadi memandang ke arah pemuda itu dengan jantung berdebar. Baginya, wajah itu tampan, dan gagah menarik sekali.

“Luka tusukan anak panah di pundaknya itu tidak berbahaya, akan tetapi aku mendapatkan bahwa dalam tubuhnya terdapat luka-dalam yang cukup hebat, yang membuat detak jantungnya lemah sekali dan jalan darahnya kacau. Kalau tidak segera diobati, keadaannya dapat membahayakan nyawanya.”

Mendengar ini, Ban-tok Niocu berjongkok dan meraba-raba dada pemuda itu dengan tangan kirinya. Lalu ia bangkit berdiri dan berkata kepada Ceng Ceng. “Aku tidak menemukan akibat keracunan dalam tubuhnya.”

“Benar, Ibu. Luka dalam tubuhnya bukan karena hawa beracun, melainkan oleh getaran hebat, mungkin pukulan sakti yang membuat jalan darahnya kacau dan ini mengancam jantungnya.”

Tan Kun Tek lalu menyuruh anak buah Pulau Ular yang sudah berdatangan di situ untuk menggotong pemuda itu menuju perkampungan mereka. Ceng Ceng diserahi tugas merawat dan mengobati pemuda itu. Gadis itu memeriksa dengan teliti lalu memberi obat. Malam itu, dengan ditemani seorang pelayan wanita setengah tua yang siap membantu Ceng Ceng mempersiapkan keperluan berobat, Ceng Ceng menjaga pemuda yang dirawatnya. Hal ini adalah wajar saja karena memang ia yang menjadi tabibnya dan yang bertanggung jawab atas kesembuhan orang itu. Tadinya Li Hong menemaninya, akan tetapi gadis ini lalu kembali ke kamarnya sedangkan Ceng Ceng duduk di atas kursi, tak jauh dari pembaringan di mana pemuda itu rebah telentang.

Sekitar tengah malam, keadaan yang sunyi itu membuat Ceng Ceng yang duduk di kursi mulai tenggelam dalam samadhi. Tubuhnya seperti orang tidur akan tetapi perasaannya masih peka sehingga apabila terdengar suara yang tidak wajar, ia pasti akan terbangun. Pelayan setengah tua itu sudah tidur nyenyak di atas lantai yang bertilam babut.

Tiba-tiba Ceng Ceng membuka matanya. Ia melihat pemuda itu telah berdiri di depannya. Sepasang mata pemuda itu tampak bersinar-sinar tertimpa cahaya lampu dalam kamar itu. Sejenak pandang mata pemuda itu seperti terpesona, kemudian tiba-tiba saja dia menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Ceng dan berkata lembut, dengan suara agak gemetar dan seperti kata-katanya ketika pertama kali dia bicara, dalam katanya terkandung logat asing yang aneh.

“Saya telah merasa sehat, dalam dada saya sudah tidak ada lagi rasa nyeri dan sesak. Melihat Nona yang berada di sini, pasti Nona yang telah mengobati dan menyembuhkan saya. Ah, Nona seperti seorang bidadari yang menyelamatkan nyawaku.” Dia memberi hormat sambil berlutut.

Tentu saja Ceng Ceng menjadi tersipu dan cepat ia turun dari kursi dan mundur agak jauh sambil membalikkan tubuh, tidak mau menerima penghormatan yang berlebihan seolah-olah ia seorang bidadari yang menerima penghormatan seorang manusia biasa.

“Jangan bersikap begitu, sobat. Aku hanya seorang manusia biasa. Bangunlah dan bersikaplah wajar saja!”

“Hi-hik, engkau memang benar, sobat! Ia memang seorang dewi yang berjuluk Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih), ahli pengobatan yang berhati mulia!” Tiba-tiba Li Hong muncul dan berkata sambil tersenyum lebar. Li Hong menghampiri pemuda itu yang kini sudah bangkit berdiri.

“Engkau sudah sembuh? Bagus, sekarang engkau harus menceritakan siapa namamu, di mana tempat tinggalmu, dan mengapa engkau dikeroyok pasukan Mongol itu?” Li Hong menghujankan pertanyaannya.

“Hong-moi, jangan ganggu dia. Dia baru saja sembuh dan masih lemah. Sobat, engkau istirahat dan tidurlah dulu agar kesehatanmu pulih. Besok saja engkau ceritakan keadaanmu kepada Ayah dan kedua Ibu kami.” Setelah berkata demikian, Ceng Ceng memegang tangan Li Hong, membangunkan pelayan yang tidur lalu mereka semua keluar dari kamar itu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pada keesokan harinya, setelah mandi dan bertukar pakaian, Ceng Ceng dan Li Hong yang tidur sekamar keluar dari kamar mereka. Matahari pagi telah menyinari taman di luar rumah itu, sebuah taman yang penuh dengan bunga beraneka warna. Ketika mereka melewati kamar yang dipergunakan oleh pemuda baju biru itu untuk tidur, mereka melihat seorang pelayan wanita setengah tua sedang membersihkan kamar itu. Dari pintu yang terbuka Li Hong bertanya kepada pelayan itu.

“Di mana tamunya yang tidur di kamar ini?”

“Dia tadi menyuruh saya membersihkan kamar dan setelah mandi, dia keluar memasuki taman, Nona.”

Li Hong dan Ceng Ceng saling pandang. Tentu pemuda itu telah sembuh betul. Pagi-pagi sudah bangun, mandi, dan berjalan-jalan di taman. Tanpa bicara, hanya dengan pandang mata, mereka berdua sepakat keluar dan memasuki taman. Di tengah taman itu, dari balik rumpun bambu, mereka melihat pemuda itu sedang berlatih silat pedang. Setelah menonton beberapa saat lamanya, Ceng Ceng berbisik.

“Bagus, dia telah sembuh dan sehat kembali.” Dari kecepatan gerakan dan tenaga yang mendukung gerakan itu Ceng Ceng maklum bahwa pemuda itu sudah sehat kembali.

“Wah, kiam-hoat (Ilmu Pedang) itu lihai sekali!” Li Hong berseru dan suaranya cukup kuat sehingga terdengar oleh pemuda itu yang segera menghentikan latihan pedangnya dan dia pun dengan cepat menghampiri dua orang gadis yang berada di balik rumpun bambu.

Dengan sikap hormat dan bibir tersenyum ramah pemuda itu mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi salam. “Maafkan, saya telah lancang berlatih di dalam taman ini, Nona.”

“Ah, tidak mengapa. Kami malah senang sekali melihat ilmu pedangmu yang hebat!” kata Li Hong dengan gembira.

“Aih, harap jangan terlalu memuji, Nona. Saya hanya dapat mainkan beberapa gerakan sederhana saja dan masih banyak mengharapkan petunjuk dari Nona berdua,” kata pemuda itu yang ternyata selain berwajah tampan dan bersikap gagah, juga pandai bicara dan sopan, juga rendah hati.

Li Hong semakin tertarik. Memang tadinya, walaupun ia mengalah terhadap Ceng Ceng, hatinya masih terisi bayangan Pouw Cun Giok. Akan tetapi setelah mendengar dari ayahnya bahwa Cun Giok adalah kakak misannya, putera dari bibinya, ia sudah menghilangkan bayangan itu. Sekarang, ia benar-benar terpesona dan tertarik sekali kepada pemuda yang belum dikenalnya ini.

“Sobat, mari kita menghadap Ayah dan kedua Ibu kami yang biasanya sepagi ini sudah berada di ruangan depan,” kata Ceng Ceng.

Pemuda itu mengangguk, menghapus keringatnya dengan saputangan dan menyimpan pedangnya, lalu mengikuti mereka memasuki gedung. Benar saja seperti dugaan Ceng Ceng tadi.

Tan Kun Tek bersama dua orang isterinya telah duduk di ruangan depan menghadapi meja di mana dihidangkan minuman air teh dan makanan kecil. Melihat dua orang puterinya datang bersama pemuda yang menjadi tamu mereka, Kun Tek berkata dengan gembira, “Ah, orang muda, agaknya engkau telah sembuh benar!”

Pemuda itu sudah memberi hormat kepada mereka dan berkata dengan lembut. “Berkat budi kebaikan Lo-cianpwe berlima yang telah menolong dan menyelamatkan saya.”

“Duduklah, orang muda. Kami sama sekali tidak melepas budi. Memang sudah menjadi kewajiban kami untuk membantu orang yang dimusuhi pasukan Mongol.”

Pemuda itu mengangguk, lalu duduk di atas kursi. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Tan Kun Tek lalu melanjutkan kata-katanya.

“Sebaiknya sebagai tuan rumah kami memperkenalkan diri kami lebih dulu. Orang muda, kini engkau berada di Pulau Ular dan kami sekeluarga berlima tinggal di pulau ini bersama anak buah kami. Aku bernama Tan Kun Tek, ini isteriku pertama bernama Lu Siang dan yang itu isteriku kedua bernama Gak Li. Dua orang gadis ini adalah anak-anak kami, yang ini bernama Ceng Ceng dan yang itu bernama Li Hong. Nah, sekarang kami ingin mendengar tentang dirimu dan bagaimana engkau sampai dikeroyok pasukan Mongol itu.”

“Sungguh berbahagia sekali saya dapat bertemu dengan keluarga Lo-cianpwe yang gagah perkasa...”

“Mengapa menyebut Lo-cianpwe? Ayahku akan lebih senang kalau engkau menyebutnya Paman saja. Bukankah begitu, Ayah?” kata Li Hong.

“Ha-ha-ha, memang lebih baik begitu, karena bukankah kita semua memiliki pendirian yang sama, yaitu menentang kejahatan, apalagi yang dilakukan oleh para pembesar Mongol?”

“Terima kasih atas keramahan dan kehormatan yang diberikan kepada saya. Baiklah, Paman Tan, saya akan menceritakan tentang diri saya yang tak berharga dan bodoh ini. Nama saya Yauw Tek. Saya tidak tahu siapa orang tua saya. Ketika terjadi perang, balatentara Mongol menyerbu dan masuk desa kami. Ketika itu saya berusia tiga tahun dan tidak tahu apa-apa. Yang saya ingat hanyalah rumah-rumah terbakar dan saya lari keluar rumah. Saya ditolong seorang kakek tua yang membawa saya lari keluar dusun kami yang terbakar. Kakek itu menanyai saya, akan tetapi saya yang tahu hanyalah bahwa saya Yauw Tek. Maklum, ketika itu usia saya baru tiga tahun.”

“Aduh kasihan”' kata Nyonya Tan yang bernama Lu Siang. “Lalu bagaimana selanjutnya? di mana orang tuamu?”

“Pendeta yang menolong saya itu sudah menyelidiki dan katanya seluruh dusun terbakar dan... Ayah Ibu saya... menjadi korban, tewas di tangan pasukan Mongol,” kata pemuda itu dengan suara mengandung kedukaan.

“Jahanam benar pasukan Mongol!” Li Hong berseru marah. “Sudah banyak sekali rakyat yang tidak berdosa menjadi korban!”

“Tenanglah, Hong-moi, biarkan Yauw-twako (Kakak Yauw) melanjutkan ceritanya,” kata Ceng Ceng.

“Mulai hari itu saya menjadi murid Suhu Bu Beng Cu, yaitu pertapa yang telah menolong saya. Saya diajak pergi ke Pegunungan Himalaya dan hidup bersama Suhu selama belasan tahun sampai Suhu meninggal dunia karena usia tua.”

“Nanti dulu, Yauw-sicu, engkau belum menceritakan dari dusun mana asalmu.”

“Dusun kami yang dibasmi itu adalah dusun Kao-chun, sebuah dusun kecil di Propinsi Sin-kiang. Setelah Suhu meninggal dunia, saya lalu merantau sampai ke Tibet dan berguru kepada para Pendeta Lhama di Tibet.”

“Ah, pantas ilmu silatmu lihai sekali, Yauw-twako!” kata Li Hong.

“Sekarang aku tahu mengapa logat bicaramu terdengar kaku dan asing. Kiranya engkau berasa1 dari Sin-kiang dan tumbuh besar di Himalaya dan Tibet,” kata Ceng Ceng.

“Akan tetapi bagaimana engkau bisa berada di Laut Timur ini dan dikeroyok pasukan Mongol!” tanya Ban-tok Niocu.

Yauw Tek menghela napas dan termenung, agaknya mengumpulkan ingatannya lalu dia melanjutkan ceritanya. “Setelah saya mempelajari ilmu dari para Lhama di Tibet dan sudah merasa dewasa, maka sekitar dua tahun yang lalu saya meninggalkan Tibet. Saya pergi ke dusun Kao-chun untuk menyelidiki, dan memang benar, hampir seluruh penduduk dusun itu, termasuk Ayah lbu saya, tewas oleh pasukan Mongol yang lewat di dusun itu. Saya lalu mengambil keputusan untuk merantau ke timur dan membalas dendam dengan menentang para pembesar Mongol di mana pun saya berada. Sudah banyak saya menentang, memusuhi bahkan membunuh para pembesar yang menindas rakyat sehingga saya menjadi buronan. Saya terus merantau dan dalam perjalanan saya mendengar akan nama-nama besar para datuk dan tokoh kang-ouw yang berjiwa patriot dan menentang penjajah, di antaranya saya mendengar akan nama Pulau Ular. Maka, saya mencoba untuk datang berkunjung dan berkenalan dengan Paman sekalian. Akan tetapi ketika saya sedang mendayung perahu, ada empat perahu besar penuh perajurit Mongol mengejar dan mengepung. Agaknya mereka memang sudah membayangi saya sejak di daratan sana. Saya berusaha untuk melawan mati-matian, akan tetapi karena saya tidak biasa bermain di air, saya takut kalau terjatuh ke air sehingga saya harus berlompatan dari perahu ke perahu. Akan tetapi akhirnya, ketika saya hendak melarikan diri dan melompat ke perahu kecil saya, saya dihujani anak panah. Saya sudah mencoba untuk menangkis, akan tetapi sebatang anak panah mengenai pundak saya sehingga saya terjatuh ke dalam air...”

“Ya, selanjutnya kami sudah melihat sendiri,” kata Ban-tok Niocu.

“Untung Paman berempat datang menolong, kalau tidak, tentu saya tewas tenggelam dalam air laut, atau mati dihujani anak panah dari perahu mereka. Maka, sekali lagi saya menghaturkan banyak terima kasih kepada Cu-wi (Anda Sekalian).” Yauw Tek segera berlutut dan memberi hormat kepada mereka berlima.

Tan Kun Tek cepat menghampiri dan mengangkat bangun pemuda itu. “Sudahlah, Yauw Tek, jangan terlalu sungkan. Orang-orang seperti kita adalah segolongan, sudah sepatutnya kalau di antara kita saling menolong. Tidak perlu berterima kasih kepada kami. Akan tetapi ada satu hal yang ingin kuketahui. Kemarin ketika aku melihat permainan pedangmu melawan pengeroyokan para perajurit, aku melihat ilmu pedangmu aneh dan lihai. Mirip ilmu pedang Go-bi-pai, akan tetapi agak lain. Apakah ilmu pedangmu itu, Yauw Tek?” kata Tan Kun Tek dengan ramah.

“Paman, seperti sudah saya ceritakan, guru saya yang pertama adalah pertapa yang merawat dan membesarkan saya sejak dia menolong saya sewaktu saya kecil. Mendiang guru saya itu hanya saya ketahui mengaku bernama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama), juga tidak pernah mengatakan ilmu silatnya dari aliran perguruan mana. Kemudian, saya berguru kepada para pendeta Lhama di Tibet selama sekitar dua tahun dan saya menghimpun ilmu-ilmu yang saya pelajari dari Suhu Bu-beng-cu dan para Suhu Pendeta Lhama, maka terbentuklah ilmu pedang saya itu...”

Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 10

10. PENYELAMATAN SEORANG PENDEKAR MUDA

SETELAH tiba di pantai pulau itu, mereka berempat melihat seorang laki-laki yang berpakaian serba biru sedang dikeroyok duapuluh orang lebih. Laki-laki itu bagaikan seekor burung berlompatan dari satu ke lain perahu besar, mengamuk dengan pedangnya dan tampak dia merobohkan beberapa orang pengeroyok. Biarpun dari pantai itu tidak dapat dilihat jelas, namun dari seragam para pengeroyok mudah dikenal bahwa mereka adalah para perajurit Mongol.

“Mari kita bantu orang yang dikeroyok pasukan Mongol itu!” kata Tan Kun Tek.

Dia dan Ban-tok Niocu masuk ke sebuah perahu kecil, sedangkan Li Hong dan Ceng Ceng masuk ke perahu lain. Dua buah perahu itu segera didayung cepat menuju ke tempat di mana perkelahian masih berlangsung seru.

Setelah agak dekat, mereka melihat bahwa yang dikeroyok itu adalah seorang pemuda berpakaian serba biru yang cukup lihai. Biarpun dikeroyok demikian banyaknya lawan, dia dapat bergerak lincah dan tidak terdesak. Akan tetapi kini empat buah perahu besar itu saling mendekat dan para perajurit berkumpul di sebuah perahu di mana pemuda itu dikeroyok sehingga kini dia dikeroyok banyak perajurit Mongol.

Karena yang mengeroyoknya banyak sekali, mulailah pemuda itu memutar pedang melindungi dirinya sambil mundur dan dia melompat ke arah perahu kecil yang tadi ditinggalkannya ketika dia melompat ke atas perahu besar para pengeroyoknya. Perahu itu berada di tempatnya karena sebelum melompat ke perahu besar, pemuda itu telah melepas jangkar untuk menahan perahu agar jangan hanyut oleh ombak.

Pada saat dia melompat itu, beberapa orang perajurit melepaskan anak panah ke arah tubuh yang masih melayang dari perahu besar ke perahu kecil itu! Pemuda itu memutar pedangnya sehingga beberapa batang anak panah tertangkis dan terpental. Akan tetapi sebatang anak panah agaknya mengenai tubuhnya karena sebelum dia mencapai perahu kecil, tubuhnya sudah terjungkal ke air laut!

“Ah, dia terkena anak panah!” seru Li Hong.

“Kalian jaga serbuan mereka, biar aku yang menolongnya!” kata Tan Kun Tek yang mempunyai keahlian renang. Dia lalu terjun ke air dan berenang dengan cepat ke arah pemuda yang kini tampak tersembul di permukaan air dan berusaha untuk berenang dengan gerakan kaku karena dia telah terluka. Sementara itu, Ban-tok Niocu cepat mendayung perahunya ke arah perahu besar seperti yang dilakukan Li Hong dan Ceng Ceng.

Ketika banyak anak panah meluncur ke arah mereka, Ceng Ceng memutar dayung menangkis sehingga banyak anak panah terpental. Li Hong dan Ban-tok Niocu berhasil menangkap masing-masing dua batang anak panah, lalu mereka melemparkan anak panah ke arah para perajurit di atas perahu besar. Terdengar teriakan mengaduh dan empat orang perajurit di perahu besar itu roboh!

Melihat ini, perwira yang memimpin pasukan itu agaknya menjadi jerih dan dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk memutar perahu mereka dan meninggalkan tempat yang berbahaya itu. Mereka agaknya maklum bahwa empat orang yang datang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Apalagi mereka memang sudah mendengar akan berbahayanya Pulau Ular.

Tan Kun Tek berhasil merangkul pemuda baju biru yang tampaknya sudah lemas dan membawanya berenang mendekati perahu Ban-tok Niocu. Pemuda itu lalu dinaikkan ke perahu dan mereka lalu mendayung perahu menuju pulau.

Pemuda itu agaknya pingsan. Sebatang anak panah menancap di pundak kanannya. Untung tidak terlalu dalam dan Tan Kun Tek segera mencabut anak panah itu selagi pemuda itu masih pingsan sehingga tidak merasakan kenyerian hebat. Karena tidak membawa obat, maka Tan Kun Tek lalu menggunakan robekan baju pemuda itu untuk membalut luka itu. Agar darahnya tidak banyak keluar, dia menotok jalan darah di sekitar pundak.

Pemuda itu masih pingsan dan suami isteri itu mengamati wajah itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu berusia sekitar duapuluh dua tahun. Tubuhnya sedang namun tegap berisi, dengan dada bidang dan pinggang kecil. Wajahnya berkulit putih bersih. Alisnya tebal hitam berbentuk golok. Hidungnya mancung dan bentuk bibirnya bagus. Sebuah wajah yang amat tampan! Pakaiannya dari sutera biru dengan pakaian dalam putih. Melihat sutera yang dijadikan pakaian itu, dapat diduga bahwa dia pemuda dusun yang sederhana.

Ketika dia ditolong oleh Tan Kun Tek, walaupun dalam keadaan pingsan pemuda itu masih memegang pedangnya! Kini pedang itu oleh Kun Tek diletakkan di perahu. Sebatang pedang yang indah, namun agak aneh karena ujungnya terbelah dua. Sebagai ahli silat tinggi, suami isteri itu maklum bahwa keadaan pedang yang ujungnya bercabang ini dapat dipergunakan untuk merampas senjata lawan.

Dua buah perahu itu tiba di tepi pulau dan pada saat itu, pemuda baju biru itu siuman dari pingsannya. Begitu membuka kedua matanya, dia cepat bangkit duduk, lalu melompat ke daratan dalam sikap siap bertanding! Akan tetapi ketika melihat Tan Kun Tek, Ban-tok Niocu, Ceng Ceng dan Li Hong menghampirinya dan berdiri di depannya, dia membelalakkan sepasang matanya yang lebar dan bersinar tajam, memandang heran dan mengendurkan kembali urat-urat tubuhnya yang tadi siap membela diri.

“Kami bukan musuh, orang muda. Kami bahkan tadi membantumu, mengusir para perajurit Mongol dan aku menolongmu dari air,” kata Tan Kun Tek sambil tersenyum dan menjulurkan tangannya yang memegang pedang pennuda itu. “Ini pedangmu, terimalah.”

Akan tetapi pemuda itu tidak menerima pedangnya, melainkan menjatuhkan diri berlutut. “Ah, Lo-cianpwe (Orang Tuan Gagah) sekalian telah menolong dan menyelamatkan nyawa saya, sungguh saya berhutang budi dan nyawa. Banyak terima kasih saya haturkan...” Tiba-tiba dia terkulai dan terguling roboh. Pingsan!

Ceng Ceng yang memiliki keahlian mengobati orang sakit tanpa disuruh lagi cepat menghampiri tubuh pemuda yang rebah telentang itu. Setelah memeriksa denyut nadi, biji mata, dan meraba dada pemuda itu, ia bangkit dan berkata kepada ayah, ibu, dan adiknya.

“Bagaimana keadaannya, Enci Ceng?” tanya Li Hong yang sejak tadi memandang ke arah pemuda itu dengan jantung berdebar. Baginya, wajah itu tampan, dan gagah menarik sekali.

“Luka tusukan anak panah di pundaknya itu tidak berbahaya, akan tetapi aku mendapatkan bahwa dalam tubuhnya terdapat luka-dalam yang cukup hebat, yang membuat detak jantungnya lemah sekali dan jalan darahnya kacau. Kalau tidak segera diobati, keadaannya dapat membahayakan nyawanya.”

Mendengar ini, Ban-tok Niocu berjongkok dan meraba-raba dada pemuda itu dengan tangan kirinya. Lalu ia bangkit berdiri dan berkata kepada Ceng Ceng. “Aku tidak menemukan akibat keracunan dalam tubuhnya.”

“Benar, Ibu. Luka dalam tubuhnya bukan karena hawa beracun, melainkan oleh getaran hebat, mungkin pukulan sakti yang membuat jalan darahnya kacau dan ini mengancam jantungnya.”

Tan Kun Tek lalu menyuruh anak buah Pulau Ular yang sudah berdatangan di situ untuk menggotong pemuda itu menuju perkampungan mereka. Ceng Ceng diserahi tugas merawat dan mengobati pemuda itu. Gadis itu memeriksa dengan teliti lalu memberi obat. Malam itu, dengan ditemani seorang pelayan wanita setengah tua yang siap membantu Ceng Ceng mempersiapkan keperluan berobat, Ceng Ceng menjaga pemuda yang dirawatnya. Hal ini adalah wajar saja karena memang ia yang menjadi tabibnya dan yang bertanggung jawab atas kesembuhan orang itu. Tadinya Li Hong menemaninya, akan tetapi gadis ini lalu kembali ke kamarnya sedangkan Ceng Ceng duduk di atas kursi, tak jauh dari pembaringan di mana pemuda itu rebah telentang.

Sekitar tengah malam, keadaan yang sunyi itu membuat Ceng Ceng yang duduk di kursi mulai tenggelam dalam samadhi. Tubuhnya seperti orang tidur akan tetapi perasaannya masih peka sehingga apabila terdengar suara yang tidak wajar, ia pasti akan terbangun. Pelayan setengah tua itu sudah tidur nyenyak di atas lantai yang bertilam babut.

Tiba-tiba Ceng Ceng membuka matanya. Ia melihat pemuda itu telah berdiri di depannya. Sepasang mata pemuda itu tampak bersinar-sinar tertimpa cahaya lampu dalam kamar itu. Sejenak pandang mata pemuda itu seperti terpesona, kemudian tiba-tiba saja dia menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Ceng dan berkata lembut, dengan suara agak gemetar dan seperti kata-katanya ketika pertama kali dia bicara, dalam katanya terkandung logat asing yang aneh.

“Saya telah merasa sehat, dalam dada saya sudah tidak ada lagi rasa nyeri dan sesak. Melihat Nona yang berada di sini, pasti Nona yang telah mengobati dan menyembuhkan saya. Ah, Nona seperti seorang bidadari yang menyelamatkan nyawaku.” Dia memberi hormat sambil berlutut.

Tentu saja Ceng Ceng menjadi tersipu dan cepat ia turun dari kursi dan mundur agak jauh sambil membalikkan tubuh, tidak mau menerima penghormatan yang berlebihan seolah-olah ia seorang bidadari yang menerima penghormatan seorang manusia biasa.

“Jangan bersikap begitu, sobat. Aku hanya seorang manusia biasa. Bangunlah dan bersikaplah wajar saja!”

“Hi-hik, engkau memang benar, sobat! Ia memang seorang dewi yang berjuluk Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih), ahli pengobatan yang berhati mulia!” Tiba-tiba Li Hong muncul dan berkata sambil tersenyum lebar. Li Hong menghampiri pemuda itu yang kini sudah bangkit berdiri.

“Engkau sudah sembuh? Bagus, sekarang engkau harus menceritakan siapa namamu, di mana tempat tinggalmu, dan mengapa engkau dikeroyok pasukan Mongol itu?” Li Hong menghujankan pertanyaannya.

“Hong-moi, jangan ganggu dia. Dia baru saja sembuh dan masih lemah. Sobat, engkau istirahat dan tidurlah dulu agar kesehatanmu pulih. Besok saja engkau ceritakan keadaanmu kepada Ayah dan kedua Ibu kami.” Setelah berkata demikian, Ceng Ceng memegang tangan Li Hong, membangunkan pelayan yang tidur lalu mereka semua keluar dari kamar itu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pada keesokan harinya, setelah mandi dan bertukar pakaian, Ceng Ceng dan Li Hong yang tidur sekamar keluar dari kamar mereka. Matahari pagi telah menyinari taman di luar rumah itu, sebuah taman yang penuh dengan bunga beraneka warna. Ketika mereka melewati kamar yang dipergunakan oleh pemuda baju biru itu untuk tidur, mereka melihat seorang pelayan wanita setengah tua sedang membersihkan kamar itu. Dari pintu yang terbuka Li Hong bertanya kepada pelayan itu.

“Di mana tamunya yang tidur di kamar ini?”

“Dia tadi menyuruh saya membersihkan kamar dan setelah mandi, dia keluar memasuki taman, Nona.”

Li Hong dan Ceng Ceng saling pandang. Tentu pemuda itu telah sembuh betul. Pagi-pagi sudah bangun, mandi, dan berjalan-jalan di taman. Tanpa bicara, hanya dengan pandang mata, mereka berdua sepakat keluar dan memasuki taman. Di tengah taman itu, dari balik rumpun bambu, mereka melihat pemuda itu sedang berlatih silat pedang. Setelah menonton beberapa saat lamanya, Ceng Ceng berbisik.

“Bagus, dia telah sembuh dan sehat kembali.” Dari kecepatan gerakan dan tenaga yang mendukung gerakan itu Ceng Ceng maklum bahwa pemuda itu sudah sehat kembali.

“Wah, kiam-hoat (Ilmu Pedang) itu lihai sekali!” Li Hong berseru dan suaranya cukup kuat sehingga terdengar oleh pemuda itu yang segera menghentikan latihan pedangnya dan dia pun dengan cepat menghampiri dua orang gadis yang berada di balik rumpun bambu.

Dengan sikap hormat dan bibir tersenyum ramah pemuda itu mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi salam. “Maafkan, saya telah lancang berlatih di dalam taman ini, Nona.”

“Ah, tidak mengapa. Kami malah senang sekali melihat ilmu pedangmu yang hebat!” kata Li Hong dengan gembira.

“Aih, harap jangan terlalu memuji, Nona. Saya hanya dapat mainkan beberapa gerakan sederhana saja dan masih banyak mengharapkan petunjuk dari Nona berdua,” kata pemuda itu yang ternyata selain berwajah tampan dan bersikap gagah, juga pandai bicara dan sopan, juga rendah hati.

Li Hong semakin tertarik. Memang tadinya, walaupun ia mengalah terhadap Ceng Ceng, hatinya masih terisi bayangan Pouw Cun Giok. Akan tetapi setelah mendengar dari ayahnya bahwa Cun Giok adalah kakak misannya, putera dari bibinya, ia sudah menghilangkan bayangan itu. Sekarang, ia benar-benar terpesona dan tertarik sekali kepada pemuda yang belum dikenalnya ini.

“Sobat, mari kita menghadap Ayah dan kedua Ibu kami yang biasanya sepagi ini sudah berada di ruangan depan,” kata Ceng Ceng.

Pemuda itu mengangguk, menghapus keringatnya dengan saputangan dan menyimpan pedangnya, lalu mengikuti mereka memasuki gedung. Benar saja seperti dugaan Ceng Ceng tadi.

Tan Kun Tek bersama dua orang isterinya telah duduk di ruangan depan menghadapi meja di mana dihidangkan minuman air teh dan makanan kecil. Melihat dua orang puterinya datang bersama pemuda yang menjadi tamu mereka, Kun Tek berkata dengan gembira, “Ah, orang muda, agaknya engkau telah sembuh benar!”

Pemuda itu sudah memberi hormat kepada mereka dan berkata dengan lembut. “Berkat budi kebaikan Lo-cianpwe berlima yang telah menolong dan menyelamatkan saya.”

“Duduklah, orang muda. Kami sama sekali tidak melepas budi. Memang sudah menjadi kewajiban kami untuk membantu orang yang dimusuhi pasukan Mongol.”

Pemuda itu mengangguk, lalu duduk di atas kursi. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Tan Kun Tek lalu melanjutkan kata-katanya.

“Sebaiknya sebagai tuan rumah kami memperkenalkan diri kami lebih dulu. Orang muda, kini engkau berada di Pulau Ular dan kami sekeluarga berlima tinggal di pulau ini bersama anak buah kami. Aku bernama Tan Kun Tek, ini isteriku pertama bernama Lu Siang dan yang itu isteriku kedua bernama Gak Li. Dua orang gadis ini adalah anak-anak kami, yang ini bernama Ceng Ceng dan yang itu bernama Li Hong. Nah, sekarang kami ingin mendengar tentang dirimu dan bagaimana engkau sampai dikeroyok pasukan Mongol itu.”

“Sungguh berbahagia sekali saya dapat bertemu dengan keluarga Lo-cianpwe yang gagah perkasa...”

“Mengapa menyebut Lo-cianpwe? Ayahku akan lebih senang kalau engkau menyebutnya Paman saja. Bukankah begitu, Ayah?” kata Li Hong.

“Ha-ha-ha, memang lebih baik begitu, karena bukankah kita semua memiliki pendirian yang sama, yaitu menentang kejahatan, apalagi yang dilakukan oleh para pembesar Mongol?”

“Terima kasih atas keramahan dan kehormatan yang diberikan kepada saya. Baiklah, Paman Tan, saya akan menceritakan tentang diri saya yang tak berharga dan bodoh ini. Nama saya Yauw Tek. Saya tidak tahu siapa orang tua saya. Ketika terjadi perang, balatentara Mongol menyerbu dan masuk desa kami. Ketika itu saya berusia tiga tahun dan tidak tahu apa-apa. Yang saya ingat hanyalah rumah-rumah terbakar dan saya lari keluar rumah. Saya ditolong seorang kakek tua yang membawa saya lari keluar dusun kami yang terbakar. Kakek itu menanyai saya, akan tetapi saya yang tahu hanyalah bahwa saya Yauw Tek. Maklum, ketika itu usia saya baru tiga tahun.”

“Aduh kasihan”' kata Nyonya Tan yang bernama Lu Siang. “Lalu bagaimana selanjutnya? di mana orang tuamu?”

“Pendeta yang menolong saya itu sudah menyelidiki dan katanya seluruh dusun terbakar dan... Ayah Ibu saya... menjadi korban, tewas di tangan pasukan Mongol,” kata pemuda itu dengan suara mengandung kedukaan.

“Jahanam benar pasukan Mongol!” Li Hong berseru marah. “Sudah banyak sekali rakyat yang tidak berdosa menjadi korban!”

“Tenanglah, Hong-moi, biarkan Yauw-twako (Kakak Yauw) melanjutkan ceritanya,” kata Ceng Ceng.

“Mulai hari itu saya menjadi murid Suhu Bu Beng Cu, yaitu pertapa yang telah menolong saya. Saya diajak pergi ke Pegunungan Himalaya dan hidup bersama Suhu selama belasan tahun sampai Suhu meninggal dunia karena usia tua.”

“Nanti dulu, Yauw-sicu, engkau belum menceritakan dari dusun mana asalmu.”

“Dusun kami yang dibasmi itu adalah dusun Kao-chun, sebuah dusun kecil di Propinsi Sin-kiang. Setelah Suhu meninggal dunia, saya lalu merantau sampai ke Tibet dan berguru kepada para Pendeta Lhama di Tibet.”

“Ah, pantas ilmu silatmu lihai sekali, Yauw-twako!” kata Li Hong.

“Sekarang aku tahu mengapa logat bicaramu terdengar kaku dan asing. Kiranya engkau berasa1 dari Sin-kiang dan tumbuh besar di Himalaya dan Tibet,” kata Ceng Ceng.

“Akan tetapi bagaimana engkau bisa berada di Laut Timur ini dan dikeroyok pasukan Mongol!” tanya Ban-tok Niocu.

Yauw Tek menghela napas dan termenung, agaknya mengumpulkan ingatannya lalu dia melanjutkan ceritanya. “Setelah saya mempelajari ilmu dari para Lhama di Tibet dan sudah merasa dewasa, maka sekitar dua tahun yang lalu saya meninggalkan Tibet. Saya pergi ke dusun Kao-chun untuk menyelidiki, dan memang benar, hampir seluruh penduduk dusun itu, termasuk Ayah lbu saya, tewas oleh pasukan Mongol yang lewat di dusun itu. Saya lalu mengambil keputusan untuk merantau ke timur dan membalas dendam dengan menentang para pembesar Mongol di mana pun saya berada. Sudah banyak saya menentang, memusuhi bahkan membunuh para pembesar yang menindas rakyat sehingga saya menjadi buronan. Saya terus merantau dan dalam perjalanan saya mendengar akan nama-nama besar para datuk dan tokoh kang-ouw yang berjiwa patriot dan menentang penjajah, di antaranya saya mendengar akan nama Pulau Ular. Maka, saya mencoba untuk datang berkunjung dan berkenalan dengan Paman sekalian. Akan tetapi ketika saya sedang mendayung perahu, ada empat perahu besar penuh perajurit Mongol mengejar dan mengepung. Agaknya mereka memang sudah membayangi saya sejak di daratan sana. Saya berusaha untuk melawan mati-matian, akan tetapi karena saya tidak biasa bermain di air, saya takut kalau terjatuh ke air sehingga saya harus berlompatan dari perahu ke perahu. Akan tetapi akhirnya, ketika saya hendak melarikan diri dan melompat ke perahu kecil saya, saya dihujani anak panah. Saya sudah mencoba untuk menangkis, akan tetapi sebatang anak panah mengenai pundak saya sehingga saya terjatuh ke dalam air...”

“Ya, selanjutnya kami sudah melihat sendiri,” kata Ban-tok Niocu.

“Untung Paman berempat datang menolong, kalau tidak, tentu saya tewas tenggelam dalam air laut, atau mati dihujani anak panah dari perahu mereka. Maka, sekali lagi saya menghaturkan banyak terima kasih kepada Cu-wi (Anda Sekalian).” Yauw Tek segera berlutut dan memberi hormat kepada mereka berlima.

Tan Kun Tek cepat menghampiri dan mengangkat bangun pemuda itu. “Sudahlah, Yauw Tek, jangan terlalu sungkan. Orang-orang seperti kita adalah segolongan, sudah sepatutnya kalau di antara kita saling menolong. Tidak perlu berterima kasih kepada kami. Akan tetapi ada satu hal yang ingin kuketahui. Kemarin ketika aku melihat permainan pedangmu melawan pengeroyokan para perajurit, aku melihat ilmu pedangmu aneh dan lihai. Mirip ilmu pedang Go-bi-pai, akan tetapi agak lain. Apakah ilmu pedangmu itu, Yauw Tek?” kata Tan Kun Tek dengan ramah.

“Paman, seperti sudah saya ceritakan, guru saya yang pertama adalah pertapa yang merawat dan membesarkan saya sejak dia menolong saya sewaktu saya kecil. Mendiang guru saya itu hanya saya ketahui mengaku bernama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama), juga tidak pernah mengatakan ilmu silatnya dari aliran perguruan mana. Kemudian, saya berguru kepada para pendeta Lhama di Tibet selama sekitar dua tahun dan saya menghimpun ilmu-ilmu yang saya pelajari dari Suhu Bu-beng-cu dan para Suhu Pendeta Lhama, maka terbentuklah ilmu pedang saya itu...”