Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

09. PENYAMBUTAN AYAH DAN IBU ANGKAT

SETELAH tiba di gedung tempat tinggal ayah dan kedua ibunya, Li Hong dan Ceng Ceng disambut dengan gembira sekali. Tan Kun Tek dan isterinya gembira melihat Li Hong pulang. Juga Ban-tok Niocu gembira karena Li Hong yang diberi waktu satu setengah tahun untuk merantau kini baru kurang dari setahun telah pulang. Lebih-lebih lagi karena murid atau anak angkatnya itu ditemani oleh Liu Ceng Ceng, gadis berpakaian putih yang ia kagumi.

Li Hong memperkenalkan Ceng Ceng kepada ayah dan ibunya. Tan Kui Tek merasa girang mendengar bahwa gadis berpakaian putih yang diakui oleh Li Hong sebagai kakak angkatnya itu adalah puteri mendiang Liu Bok Eng yang diketahuinya sebagai seorang pendekar patriot. Ayah dan kedua ibu Li Hong menjadi kagum dan senang sekali ketika melihat Ceng Ceng yang diperkenalkan kepada mereka, segera memberi hormat sebagai seorang anak kepada orang tuanya! Ini menunjukkan bahwa Ceng Ceng yang sudah mengangkat persaudaraan dengan Li Hong, juga menganggap mereka sebagai orang tuanya sendiri!

“Ceng Ceng, kami girang sekali bahwa engkau telah menjadi kakak dari Li Hong. Kami harapkan engkau akan dapat memberi bimbingan kepada anak kami, Adikmu itu,” kata Tan Kun Tek.

Ibu kandung Li Hong merangkul Ceng Ceng. “Aku sungguh beruntung, bukan hanya dapat menemukan anakku kembali, bahkan kini bertambah mempunyai anak lain lagi.”

Ban-tok Niocu juga berkata, “Ceng Ceng, bangga sekali hatiku mendapatkan seorang anak seperti engkau!”

Ceng Ceng merasa amat terharu. Ia sendiri sudah yatim piatu dan kini ia mendapatkan bukan hanya seorang adik, akan tetapi juga seorang ayah dan dua orang ibu yang menerima dan mengakuinya sebagai seorang anak!

Dua orang gadis itu disambut dengan sebuah pesta keluarga dan mereka berlima makan minum dengan gembira. Setelah selesai makan minum, mereka duduk di ruangan dalam dan di situ Li Hong diminta untuk menceritakan semua pengalamannya ketika meninggalkan pulau selama hampir satu tahun lamanya.

Dengan gayanya yang lincah Li Hong lalu menceritakan semua pengalamannya ketika ia bertemu dengan Ceng Ceng dan Cun Giok, lalu mereka bertiga sama-sama menentang Kim Bayan dan rekan-rekannya. Ia bercerita tentang peta harta karun peninggalan mendiang Liu Bok Eng yang diwariskan kepada Ceng Ceng, kemudian betapa mereka tertawan oleh Kim Bayan yang memaksa mereka untuk menyerahkan peta dan membantu Kim Bayan mencari harta karun itu menurut petunjuk peta yang dirampasnya.

“Akan tetapi mengapa engkau menyerahkan peta itu kepada Kim Bayan, Ceng Ceng?” tanya Ban-tok Niocu kepada Ceng Ceng yang tidak dapat menjawab, melainkan hanya memandang kepada Li Hong dengan ragu. Tentu saja ia tidak mau menceritakan betapa Li Hong pernah memusuhinya dan bahkan bergabung dengan Kim Bayan! Li Hong cepat menjawab pertanyaan ibu tiri yang juga gurunya itu.

“Ibu, karena kurang hati-hati aku terjebak dan menjadi tawanan Kim Bayan. Aku dijadikan sandera dan mengancam akan membunuhku kalau Enci Ceng Ceng tidak mau menyerahkan peta. Untuk menolongku, maka Enci Ceng Ceng lalu menyerahkan peta dan bersama Giok-ko ia lalu menyerah dan terpaksa mau membantu mencari harta karun karena aku tetap dijadikan sandera.”

“Ah, betapa mulia hatimu, Ceng, Ceng!” Ibu Li Hong berseru terharu.

“Engkau telah menyelamatkan Adikmu, Ceng Ceng. Kami berterima kasih sekali,” kata Tan Kun Tek.

“Lalu bagaimana dengan pencarian harta karun Kerajaan Sung itu?” tanya Ban-tok Niocu kepada Li Hong.

“Tempat di mana harta karun itu tersimpan, dengan bantuan peta dapat ditemukan. Akan tetapi ketika peti harta karun dibuka, ternyata telah kosong dan di dasar peti terdapat tulisan huruf THAI SAN. Giok-ko dan Enci Ceng Ceng dapat meloloskan diri dan membebaskan aku. Kami bertiga lalu dapat melarikan diri dari sarang mereka.” Li Hong menceritakan semua pengalamannya, akan tetapi tentu saja ia tidak berani menceritakan tentang urusan cinta dan kesalahan-pahamannya dengan Ceng Ceng dan Cun Giok.

“Hemm, setelah itu, bagaimana engkau akan bertindak untuk memenuhi pesan mendiang Ayahmu, Ceng Ceng?” tanya Ban-tok Niocu.

“Saya bertekad untuk mencari harta karun itu... Ibu, dan Hong-moi hendak membantu saya. Karena itulah maka kami pulang ke Coa-to, selain untuk menjenguk Ayah dan Ibu berdua, juga untuk minta petunjuk Ibu yang mungkin dapat menduga siapa kiranya tokoh Thai-san yang mengambil harta karun itu.”

Ban-tok Niocu mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat. “Hemm, setahuku, aliran persilatan terbesar yang berada di sana adalah Thai-san-pai yang diketuai oleh Thai-san Sianjin Thio Kong. Thai-san-pai terkenal sebagai sebuah di antara partai-partai persilatan besar yang gagah perkasa, murid-muridnya menjadi pendekar-pendekar. Tidak mungkin mereka itu mencuri harta karun untuk kepentingan mereka sendiri. Andaikata mereka mengambilnya, tentu harta karun itu akan mereka sumbangkan untuk kebaikan!”

“Kalau begitu, kita kunjungi Thai-san-pai dan bertanya kepada mereka. Kalau betul mereka yang ambil, kita minta agar harta karun itu diserahkan kepada yang berhak, yaitu para pejuang,” kata Li Hong.

“Aku masih sangsi, Hong-moi. Menurut keterangan Ibu tadi, mereka adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Kiranya kalau mereka yang mengambilnya, mereka tidak akan meninggalkan tulisan THAI SAN itu di dalam peti karena perbuatan itu menunjukkan bahwa yang mengambilnya adalah seorang yang sombong. Tullsan itu seolah merupakan tantangan.”

“Pendapat Ceng Ceng itu ada benarnya. Aku pun sangsi kalau Thai-san-pai yang mengambilnya,” kata Tan Kun Tek.

“Aku pun berpendapat begitu,” kata Ban-tok Niocu. “Selain Thai-san-pai ada lagi beberapa tokoh sesat yang bermukim di sekitar pegunungan Thai-san-pai yang luas itu. Yang sudah kuketahui ada beberapa orang. Pertama adalah Huo Lo-sian (Dewa Api Tua) yang berwatak ganas dan dia memiliki banyak pengikut yang mudah dikenal karena pakaian mereka serba merah. Huo Lo-sian itu selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga dia pandai menggunakan ilmu sihir. Akan tetapi dia tidak pernah berani mengganggu Thai-san-pai yang memiliki banyak murid pandai.”

“Huh, patut dicurigai orang itu!” kata Li Hong.

“Apakah masih ada tokoh lain di Thai-san, Ibu?” tanya Ceng Ceng.

“Masih ada beberapa orang lagi. Orang kedua yang patut dicurigai adalah Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam Putih), sepasang saudara kembar yang dlsebut Hek Mo-ko (Iblis Hitam) dan Pek Mo-ko (Iblis Putih). Mereka berdua ini biarpun tidak mempunyai pengikut, namun mereka berdua juga terkenal sebagai datuk kang-ouw yang sesat, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginan mereka.

Adapun pihak keempat adalah Ang-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah). Ang-tung Kai-pang terdapat di mana-mana sebagai cabangnya, terutama di kota-kota besar. Ciri-ciri mereka adalah setiap orang anggautanya memegang sebatang tongkat merah. Yang berada di Thai-san adalah pusatnya di mana terdapat ketuanya yang berjuluk Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan)! Nah, yang empat inilah setahuku yang bermukim di Thai-san dan masing-masing memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi hanya Thai-san-pai tergolong pendekar, sedangkan tiga yang lain adalah tokoh-tokoh sesat. Kalau ada penghuni baru lagi, aku belum mengenalnya.”

“Wah, kiranya Thai-san dihuni banyak tokoh sesat!” kata Li Hong.

“Menghadapi orang-orang seperti mereka engkau harus sangat hati-hati, Li Hong. Mereka itu berbahaya dan terutama sekali ilmu sihir dan kelicikan mereka yang harus diwaspadai,” kata Tan Kun Tek.

“Bukan saja mereka lihai, akan tetapi juga di antara mereka memiliki banyak anak buah,” kata Ban-tok Niocu. “Pekerjaan kalian itu dapat berbahaya sekali. Kalian masih muda dan belum mempunyai banyak pengalaman, bertemu dengan tokoh-tokoh sesat seperti itu, dapat berbahaya sekali.”

“Ah, aku tidak takut, Ibu. Enci Ceng memiliki kepandaian yang tinggi, baik ilmu silat maupun ilmu pengobatan! Apalagi kalau dibantu Giok-ko, eh... tentu kami tidak khawatir lagi. Sayang... dia telah pergi...”

“Maksudmu pemuda yang dulu datang bersama Ceng Ceng dahulu itu? Hemm, memang, dia itu lihai sekali, terutama ilmu pedangnya. Dan aku sudah tahu akan kelihaian Ceng Ceng dan Cun Giok. Ceng Ceng berjuluk Pek Eng Sianli, sedangkan Cun Giok berjuluk Bu-eng-cu, keduanya memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, aku sendiri pun tidak mampu menandinginya.”

“Ah, Ibu terlalu memuji saya,” kata Ceng Ceng.

“Hemm, aku menjadi tertarik. Siapakah pemuda yang kalian semua amat mengaguminya itu?” tanya Tan Kun Tek.

“Dia memang seorang pendekar muda yang luar biasa, Ayah. Ilmunya amat tinggi, wataknya juga gagah perkasa dan bijaksana, akan tetapi...”

Li Hong memandang Ceng Ceng dan tanpa diketahui orang lain, Ceng Ceng memberi isyarat dengan kedipan mata dan gelengan kepala agar tidak menceritakan tentang peristiwa asmara mereka bertiga.

“Akan tetapi apa, Li Hong?” tanya ayahnya.

“Tidak apa-apa, Ayah. Pendeknya, Giok-ko adalah seorang pendekar yang pantas menjadi keturunan keluarga Pouw yang gagah perkasa dan terkenal sebagai patriot-patriot besar, demikianlah yang kudengar.”

cerita silat online karya kho ping hoo

“Keturunan keluarga Pouw? Maksudmu, dia itu bermarga Pouw?” tanya Kun Tek dan tampaknya terkejut.

Melihat Li Hong agak ragu-ragu seolah takut kesalahan bicara dan menoleh, memandang kepadanya, Ceng Ceng lalu menjawab. “Benar sekali... Ayah. Giok-ko adalah keturunan keluarga Pouw yang terkenal sekali dan tinggal di So-couw.”

“Akan tetapi... aku telah menyelidiki ke So-couw setelah mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga itu. Menurut keterangan yang kuperoleh, mereka semua tewas dan tidak ada seorang pun keturunan keluarga Pouw yang tersisa dan selamat. Ceng Ceng, dari mana engkau mengetahui bahwa Pouw Cun Giok itu keturunan keluarga Pouw di So-couw?”

“Saya mendengar cerita dari Giok-ko sendiri, Ayah,” kata Ceng Ceng tenang.

“Apakah dia menceritakan siapakah nama ayah ibunya?” Kini Tan Kun Tek bangkit dari tempat duduknya dan mengamati wajah Ceng Ceng penuh perhatian.

“Kalau saya tidak salah ingat, nama ayahnya Pouw Keng In dan nama ibunya Tan Bi Lian...”

“Tidak mungkin...!” Tan Kun Tek berteriak sedemikian kuatnya sehingga mereka semua terkejut.

“Ayah, apa artinya ini? Mengapa Ayah terkejut mendengar nama orang tua Giok-ko?”

Juga Nyonya Tan dan Ban-tok Niocu memandang heran dan hampir mereka bertanya berbareng. “Apa artinya semua ini?”

“Tan Bi Lian itu adalah Adikku yang menikah dengan Pouw Keng In! Ketika aku menyelidiki di So-couw, aku mendapat keterangan bahwa keduanya telah mati di tangan pasukan Mongol dan ketika mereka tewas, mereka belum mempunyai anak.”

“Ah, mengapa Ayah tidak pernah menceritakan hal ini kepada aku atau Ibu?” tanya Li Hong, dan ibunya juga memandang heran.

Tan Kun Tek menghela napas. “Adikku Tan Bi Lian sudah ditunangkan dengan pemuda lain, akan tetapi ia jatuh cinta kepada Pouw Keng In dan melarikan diri, meninggalkan orang tua kami dan sejak itu kami putus hubungan. Belakangan aku mendengar bahwa mereka di So-couw, akan tetapi karena khawatir aku tidak akan diterima dengan baik, aku pun tidak berani berkunjung ke sana. Setelah aku mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga Pouw, aku pergi ke sana dan mendengar bahwa mereka semua, termasuk Adikku Tan Bi Lian, telah tewas. Ceng Ceng, ceritakanlah apa lagi yang kaudengar dari Pouw Cun Giok? Apa dia menceritakan tentang orang tuanya?”

“Dia menceritakan semuanya padaku, Ayah. Dia menceritakan bahwa ketika malapetaka itu menimpa keluarga Pouw, dia masih berada dalam kandungan ibunya. Ayah dan ibunya melarikan diri, akan tetapi dapat dikejar Panglima Kong Tek Kok yang menyerang dengan anak panah sehingga Pouw Keng In tewas, juga ibu Giok-ko terluka dan hanyut di sungai. Akan tetapi ibunya ditolong oleh seorang pendekar...”

“Wah, Bibi Tan Bi Lian tertolong? Bagaimana selanjutnya, Enci Ceng?” Li Hong bertanya, wajahnya berubah merah dan matanya bersinar-sinar. Pouw Cun Giok itu kakak misannya!

“Suma Tiang Bun adalah pendekar yang menyelamatkan Tan Bi Lian dan merawatnya sampai wanita itu melahirkan. Akan tetapi... ia meninggal ketika melahirkan dan puteranya itu adalah...”

“Pouw Cun Giok! Jadi benar, dia adalah putera Bibi Tan Bi Lian! Aku mempunyai seorang Piauw-ko (Kakak Misan)!” Kembali Li Hong berseru girang mendengar bahwa pemuda yang pernah dicintanya itu adalah kakak misannya.

Wajah Tan Kun Tek berubah pucat dan bayangan duka menyelimuti wajahnya. “Aduh, kasihan Adikku Tan Bi Lian. Ceng Ceng, engkau yang sudah mendengar riwayat keponakanku Pouw Cun Giok itu, ceritakanlah bagaimana selanjutnya.”

Ceng Ceng menceritakan kembali apa yang pernah didengarnya dari Cun Giok. Betapa Cun Giok dibesarkan oleh Suma Tiang Bun sebagai muridnya dan betapa kemudian Cun Giok dapat membalas dendam, membunuh Panglima Kong Tek Kok. Akan tetapi gurunya juga tewas di tangan panglima itu.

Setelah Ceng Ceng selesai bercerita, Tan Kun Tek berseru. “Terima kasih Tuhan! Aku bangga mempunyai seorang keponakan seperti Pouw Cun Giok!” Berita tentang Pouw Cun Giok itu bagaikan secercah sinar yang menerangi kegelapan yang menyelubungi hatinya mendengar akan nasib adiknya.

“Ayah, ada yang lebih menggembirakan lagi! Kakak Pouw Cun Giok dan Enci Ceng Ceng saling mencinta...!”

“Hong-moi...!” Ceng Ceng menegur Li Hong lalu menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.

“Heh-heh, ketika Ceng Ceng datang ke sini bersama Cun Giok dahulu, aku sudah menduga bahwa di antara mereka terdapat hubungan batin yang erat, dapat dilihat dari pandang mata dan suara mereka ketika bicara!” Ban-tok Niocu tertawa.

“Bagus sekali! Aku akan merasa berbahagia kalau keponakanku itu menjadi jodohmu, Ceng Ceng!” kata Tan Kun Tek sambil tertawa pula.

“Akan tetapi... bolehkah anak kita menikah dengan keponakan kita? Mereka bersaudara misan...” Nyonya Tan ragu.

“Mengapa tidak boleh? Biarpun kita telah menerima Ceng Ceng seperti anak kita sendiri, akan tetapi ia tidak mempunyai hubungan darah dengan Cun Giok!”

“Kalau begitu, aku pun akan merasa gembira,” kata Nyonya Tan.

“Ayah dan Ibu berdua, saya harap janganlah membicarakan urusan ini lagi karena... karena Giok-ko sudah mempunyai tunangan.”

“Hemm, ketika Giok-ko mengaku bahwa dia telah bertunangan, aku marah sekali dan menyerangnya! Karena itulah maka kami berdua berpisah darinya!” kata Li Hong cemberut.

“Sudahlah, Ceng Ceng berkata benar. Untuk sementara ini kita tidak perlu bicara soal perjodohan ltu. Tunggu sampai kita bertemu dengan Cun Giok.”

Pada saat itu, seorang anak buah Pulau Ular datang berlari-lari memasuki gedung. Dengan terengah-engah dia berdiri di ambang pintu dan memberi hormat dengan membungkuk. Ban-tok Niocu mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mencorong tanda kemarahan. Sebelum ia menjadi isteri Tan Kun Tek, kelancangan anak buah ini cukup untuk membuat ia menjatuhkan hukuman mati kepada pelanggar itu. Akan tetapi semenjak Tan Kun Tek berada di situ sebagai suaminya, wataknya sudah berubah sama sekali. Hal ini terjadi karena wajahnya yang dulu cacat kini mencadi sembuh dan mulus kembali, ditambah lagi Tan Kun Tek kini menjadi suaminya!

Kebahagiaan ini mengubah wataknya yang kejam mengembalikan wataknya semula ketika ia masih muda dan menjadi seorang pendekar wanita. Bahkan kesembuhan wajahnya itu saja sudah membuat ia membuang julukan Kui-bo (Biang Iblis) menjadi Niocu (Nona). Akan tetapi karena mereka terganggu, ia menghardik anak buahnya itu.

“Hemm, engkau datang mengganggu kami tanpa dipanggil ada kepentingan apakah?”

“Ampunkan kalau saya mengganggu, Niocu. Saya hendak melaporkan bahwa tak jauh dari pulau ini tampak ada seorang laki-laki berperahu dikepung dan dikeroyok pasukan Mongol yang berada di empat buah perahu besar. Kami tidak berani mengambil tindakan sebelum ada perintah dari Niocu.”

“Ibu, kita harus bantu siapa saja yang dimusuhi pasukan Mongol!” kata Li Hong yang sudah bangkit berdiri.

Ibu atau gurunya mengangguk. “Mari kita lihat!”

Ban-tok Niocu, Tan Kun Tek, Li Hong, dan Ceng Ceng segera berlari keluar dari gedung itu mengikuti anak buah yang menjadi penunjuk jalan. Adapun Nyonya Tan yang tidak memiliki ilmu silat tinggl, tidak ikut dan berdiam di rumah saja...

Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 09

09. PENYAMBUTAN AYAH DAN IBU ANGKAT

SETELAH tiba di gedung tempat tinggal ayah dan kedua ibunya, Li Hong dan Ceng Ceng disambut dengan gembira sekali. Tan Kun Tek dan isterinya gembira melihat Li Hong pulang. Juga Ban-tok Niocu gembira karena Li Hong yang diberi waktu satu setengah tahun untuk merantau kini baru kurang dari setahun telah pulang. Lebih-lebih lagi karena murid atau anak angkatnya itu ditemani oleh Liu Ceng Ceng, gadis berpakaian putih yang ia kagumi.

Li Hong memperkenalkan Ceng Ceng kepada ayah dan ibunya. Tan Kui Tek merasa girang mendengar bahwa gadis berpakaian putih yang diakui oleh Li Hong sebagai kakak angkatnya itu adalah puteri mendiang Liu Bok Eng yang diketahuinya sebagai seorang pendekar patriot. Ayah dan kedua ibu Li Hong menjadi kagum dan senang sekali ketika melihat Ceng Ceng yang diperkenalkan kepada mereka, segera memberi hormat sebagai seorang anak kepada orang tuanya! Ini menunjukkan bahwa Ceng Ceng yang sudah mengangkat persaudaraan dengan Li Hong, juga menganggap mereka sebagai orang tuanya sendiri!

“Ceng Ceng, kami girang sekali bahwa engkau telah menjadi kakak dari Li Hong. Kami harapkan engkau akan dapat memberi bimbingan kepada anak kami, Adikmu itu,” kata Tan Kun Tek.

Ibu kandung Li Hong merangkul Ceng Ceng. “Aku sungguh beruntung, bukan hanya dapat menemukan anakku kembali, bahkan kini bertambah mempunyai anak lain lagi.”

Ban-tok Niocu juga berkata, “Ceng Ceng, bangga sekali hatiku mendapatkan seorang anak seperti engkau!”

Ceng Ceng merasa amat terharu. Ia sendiri sudah yatim piatu dan kini ia mendapatkan bukan hanya seorang adik, akan tetapi juga seorang ayah dan dua orang ibu yang menerima dan mengakuinya sebagai seorang anak!

Dua orang gadis itu disambut dengan sebuah pesta keluarga dan mereka berlima makan minum dengan gembira. Setelah selesai makan minum, mereka duduk di ruangan dalam dan di situ Li Hong diminta untuk menceritakan semua pengalamannya ketika meninggalkan pulau selama hampir satu tahun lamanya.

Dengan gayanya yang lincah Li Hong lalu menceritakan semua pengalamannya ketika ia bertemu dengan Ceng Ceng dan Cun Giok, lalu mereka bertiga sama-sama menentang Kim Bayan dan rekan-rekannya. Ia bercerita tentang peta harta karun peninggalan mendiang Liu Bok Eng yang diwariskan kepada Ceng Ceng, kemudian betapa mereka tertawan oleh Kim Bayan yang memaksa mereka untuk menyerahkan peta dan membantu Kim Bayan mencari harta karun itu menurut petunjuk peta yang dirampasnya.

“Akan tetapi mengapa engkau menyerahkan peta itu kepada Kim Bayan, Ceng Ceng?” tanya Ban-tok Niocu kepada Ceng Ceng yang tidak dapat menjawab, melainkan hanya memandang kepada Li Hong dengan ragu. Tentu saja ia tidak mau menceritakan betapa Li Hong pernah memusuhinya dan bahkan bergabung dengan Kim Bayan! Li Hong cepat menjawab pertanyaan ibu tiri yang juga gurunya itu.

“Ibu, karena kurang hati-hati aku terjebak dan menjadi tawanan Kim Bayan. Aku dijadikan sandera dan mengancam akan membunuhku kalau Enci Ceng Ceng tidak mau menyerahkan peta. Untuk menolongku, maka Enci Ceng Ceng lalu menyerahkan peta dan bersama Giok-ko ia lalu menyerah dan terpaksa mau membantu mencari harta karun karena aku tetap dijadikan sandera.”

“Ah, betapa mulia hatimu, Ceng, Ceng!” Ibu Li Hong berseru terharu.

“Engkau telah menyelamatkan Adikmu, Ceng Ceng. Kami berterima kasih sekali,” kata Tan Kun Tek.

“Lalu bagaimana dengan pencarian harta karun Kerajaan Sung itu?” tanya Ban-tok Niocu kepada Li Hong.

“Tempat di mana harta karun itu tersimpan, dengan bantuan peta dapat ditemukan. Akan tetapi ketika peti harta karun dibuka, ternyata telah kosong dan di dasar peti terdapat tulisan huruf THAI SAN. Giok-ko dan Enci Ceng Ceng dapat meloloskan diri dan membebaskan aku. Kami bertiga lalu dapat melarikan diri dari sarang mereka.” Li Hong menceritakan semua pengalamannya, akan tetapi tentu saja ia tidak berani menceritakan tentang urusan cinta dan kesalahan-pahamannya dengan Ceng Ceng dan Cun Giok.

“Hemm, setelah itu, bagaimana engkau akan bertindak untuk memenuhi pesan mendiang Ayahmu, Ceng Ceng?” tanya Ban-tok Niocu.

“Saya bertekad untuk mencari harta karun itu... Ibu, dan Hong-moi hendak membantu saya. Karena itulah maka kami pulang ke Coa-to, selain untuk menjenguk Ayah dan Ibu berdua, juga untuk minta petunjuk Ibu yang mungkin dapat menduga siapa kiranya tokoh Thai-san yang mengambil harta karun itu.”

Ban-tok Niocu mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat. “Hemm, setahuku, aliran persilatan terbesar yang berada di sana adalah Thai-san-pai yang diketuai oleh Thai-san Sianjin Thio Kong. Thai-san-pai terkenal sebagai sebuah di antara partai-partai persilatan besar yang gagah perkasa, murid-muridnya menjadi pendekar-pendekar. Tidak mungkin mereka itu mencuri harta karun untuk kepentingan mereka sendiri. Andaikata mereka mengambilnya, tentu harta karun itu akan mereka sumbangkan untuk kebaikan!”

“Kalau begitu, kita kunjungi Thai-san-pai dan bertanya kepada mereka. Kalau betul mereka yang ambil, kita minta agar harta karun itu diserahkan kepada yang berhak, yaitu para pejuang,” kata Li Hong.

“Aku masih sangsi, Hong-moi. Menurut keterangan Ibu tadi, mereka adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Kiranya kalau mereka yang mengambilnya, mereka tidak akan meninggalkan tulisan THAI SAN itu di dalam peti karena perbuatan itu menunjukkan bahwa yang mengambilnya adalah seorang yang sombong. Tullsan itu seolah merupakan tantangan.”

“Pendapat Ceng Ceng itu ada benarnya. Aku pun sangsi kalau Thai-san-pai yang mengambilnya,” kata Tan Kun Tek.

“Aku pun berpendapat begitu,” kata Ban-tok Niocu. “Selain Thai-san-pai ada lagi beberapa tokoh sesat yang bermukim di sekitar pegunungan Thai-san-pai yang luas itu. Yang sudah kuketahui ada beberapa orang. Pertama adalah Huo Lo-sian (Dewa Api Tua) yang berwatak ganas dan dia memiliki banyak pengikut yang mudah dikenal karena pakaian mereka serba merah. Huo Lo-sian itu selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga dia pandai menggunakan ilmu sihir. Akan tetapi dia tidak pernah berani mengganggu Thai-san-pai yang memiliki banyak murid pandai.”

“Huh, patut dicurigai orang itu!” kata Li Hong.

“Apakah masih ada tokoh lain di Thai-san, Ibu?” tanya Ceng Ceng.

“Masih ada beberapa orang lagi. Orang kedua yang patut dicurigai adalah Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam Putih), sepasang saudara kembar yang dlsebut Hek Mo-ko (Iblis Hitam) dan Pek Mo-ko (Iblis Putih). Mereka berdua ini biarpun tidak mempunyai pengikut, namun mereka berdua juga terkenal sebagai datuk kang-ouw yang sesat, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginan mereka.

Adapun pihak keempat adalah Ang-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah). Ang-tung Kai-pang terdapat di mana-mana sebagai cabangnya, terutama di kota-kota besar. Ciri-ciri mereka adalah setiap orang anggautanya memegang sebatang tongkat merah. Yang berada di Thai-san adalah pusatnya di mana terdapat ketuanya yang berjuluk Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan)! Nah, yang empat inilah setahuku yang bermukim di Thai-san dan masing-masing memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi hanya Thai-san-pai tergolong pendekar, sedangkan tiga yang lain adalah tokoh-tokoh sesat. Kalau ada penghuni baru lagi, aku belum mengenalnya.”

“Wah, kiranya Thai-san dihuni banyak tokoh sesat!” kata Li Hong.

“Menghadapi orang-orang seperti mereka engkau harus sangat hati-hati, Li Hong. Mereka itu berbahaya dan terutama sekali ilmu sihir dan kelicikan mereka yang harus diwaspadai,” kata Tan Kun Tek.

“Bukan saja mereka lihai, akan tetapi juga di antara mereka memiliki banyak anak buah,” kata Ban-tok Niocu. “Pekerjaan kalian itu dapat berbahaya sekali. Kalian masih muda dan belum mempunyai banyak pengalaman, bertemu dengan tokoh-tokoh sesat seperti itu, dapat berbahaya sekali.”

“Ah, aku tidak takut, Ibu. Enci Ceng memiliki kepandaian yang tinggi, baik ilmu silat maupun ilmu pengobatan! Apalagi kalau dibantu Giok-ko, eh... tentu kami tidak khawatir lagi. Sayang... dia telah pergi...”

“Maksudmu pemuda yang dulu datang bersama Ceng Ceng dahulu itu? Hemm, memang, dia itu lihai sekali, terutama ilmu pedangnya. Dan aku sudah tahu akan kelihaian Ceng Ceng dan Cun Giok. Ceng Ceng berjuluk Pek Eng Sianli, sedangkan Cun Giok berjuluk Bu-eng-cu, keduanya memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, aku sendiri pun tidak mampu menandinginya.”

“Ah, Ibu terlalu memuji saya,” kata Ceng Ceng.

“Hemm, aku menjadi tertarik. Siapakah pemuda yang kalian semua amat mengaguminya itu?” tanya Tan Kun Tek.

“Dia memang seorang pendekar muda yang luar biasa, Ayah. Ilmunya amat tinggi, wataknya juga gagah perkasa dan bijaksana, akan tetapi...”

Li Hong memandang Ceng Ceng dan tanpa diketahui orang lain, Ceng Ceng memberi isyarat dengan kedipan mata dan gelengan kepala agar tidak menceritakan tentang peristiwa asmara mereka bertiga.

“Akan tetapi apa, Li Hong?” tanya ayahnya.

“Tidak apa-apa, Ayah. Pendeknya, Giok-ko adalah seorang pendekar yang pantas menjadi keturunan keluarga Pouw yang gagah perkasa dan terkenal sebagai patriot-patriot besar, demikianlah yang kudengar.”

cerita silat online karya kho ping hoo

“Keturunan keluarga Pouw? Maksudmu, dia itu bermarga Pouw?” tanya Kun Tek dan tampaknya terkejut.

Melihat Li Hong agak ragu-ragu seolah takut kesalahan bicara dan menoleh, memandang kepadanya, Ceng Ceng lalu menjawab. “Benar sekali... Ayah. Giok-ko adalah keturunan keluarga Pouw yang terkenal sekali dan tinggal di So-couw.”

“Akan tetapi... aku telah menyelidiki ke So-couw setelah mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga itu. Menurut keterangan yang kuperoleh, mereka semua tewas dan tidak ada seorang pun keturunan keluarga Pouw yang tersisa dan selamat. Ceng Ceng, dari mana engkau mengetahui bahwa Pouw Cun Giok itu keturunan keluarga Pouw di So-couw?”

“Saya mendengar cerita dari Giok-ko sendiri, Ayah,” kata Ceng Ceng tenang.

“Apakah dia menceritakan siapakah nama ayah ibunya?” Kini Tan Kun Tek bangkit dari tempat duduknya dan mengamati wajah Ceng Ceng penuh perhatian.

“Kalau saya tidak salah ingat, nama ayahnya Pouw Keng In dan nama ibunya Tan Bi Lian...”

“Tidak mungkin...!” Tan Kun Tek berteriak sedemikian kuatnya sehingga mereka semua terkejut.

“Ayah, apa artinya ini? Mengapa Ayah terkejut mendengar nama orang tua Giok-ko?”

Juga Nyonya Tan dan Ban-tok Niocu memandang heran dan hampir mereka bertanya berbareng. “Apa artinya semua ini?”

“Tan Bi Lian itu adalah Adikku yang menikah dengan Pouw Keng In! Ketika aku menyelidiki di So-couw, aku mendapat keterangan bahwa keduanya telah mati di tangan pasukan Mongol dan ketika mereka tewas, mereka belum mempunyai anak.”

“Ah, mengapa Ayah tidak pernah menceritakan hal ini kepada aku atau Ibu?” tanya Li Hong, dan ibunya juga memandang heran.

Tan Kun Tek menghela napas. “Adikku Tan Bi Lian sudah ditunangkan dengan pemuda lain, akan tetapi ia jatuh cinta kepada Pouw Keng In dan melarikan diri, meninggalkan orang tua kami dan sejak itu kami putus hubungan. Belakangan aku mendengar bahwa mereka di So-couw, akan tetapi karena khawatir aku tidak akan diterima dengan baik, aku pun tidak berani berkunjung ke sana. Setelah aku mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga Pouw, aku pergi ke sana dan mendengar bahwa mereka semua, termasuk Adikku Tan Bi Lian, telah tewas. Ceng Ceng, ceritakanlah apa lagi yang kaudengar dari Pouw Cun Giok? Apa dia menceritakan tentang orang tuanya?”

“Dia menceritakan semuanya padaku, Ayah. Dia menceritakan bahwa ketika malapetaka itu menimpa keluarga Pouw, dia masih berada dalam kandungan ibunya. Ayah dan ibunya melarikan diri, akan tetapi dapat dikejar Panglima Kong Tek Kok yang menyerang dengan anak panah sehingga Pouw Keng In tewas, juga ibu Giok-ko terluka dan hanyut di sungai. Akan tetapi ibunya ditolong oleh seorang pendekar...”

“Wah, Bibi Tan Bi Lian tertolong? Bagaimana selanjutnya, Enci Ceng?” Li Hong bertanya, wajahnya berubah merah dan matanya bersinar-sinar. Pouw Cun Giok itu kakak misannya!

“Suma Tiang Bun adalah pendekar yang menyelamatkan Tan Bi Lian dan merawatnya sampai wanita itu melahirkan. Akan tetapi... ia meninggal ketika melahirkan dan puteranya itu adalah...”

“Pouw Cun Giok! Jadi benar, dia adalah putera Bibi Tan Bi Lian! Aku mempunyai seorang Piauw-ko (Kakak Misan)!” Kembali Li Hong berseru girang mendengar bahwa pemuda yang pernah dicintanya itu adalah kakak misannya.

Wajah Tan Kun Tek berubah pucat dan bayangan duka menyelimuti wajahnya. “Aduh, kasihan Adikku Tan Bi Lian. Ceng Ceng, engkau yang sudah mendengar riwayat keponakanku Pouw Cun Giok itu, ceritakanlah bagaimana selanjutnya.”

Ceng Ceng menceritakan kembali apa yang pernah didengarnya dari Cun Giok. Betapa Cun Giok dibesarkan oleh Suma Tiang Bun sebagai muridnya dan betapa kemudian Cun Giok dapat membalas dendam, membunuh Panglima Kong Tek Kok. Akan tetapi gurunya juga tewas di tangan panglima itu.

Setelah Ceng Ceng selesai bercerita, Tan Kun Tek berseru. “Terima kasih Tuhan! Aku bangga mempunyai seorang keponakan seperti Pouw Cun Giok!” Berita tentang Pouw Cun Giok itu bagaikan secercah sinar yang menerangi kegelapan yang menyelubungi hatinya mendengar akan nasib adiknya.

“Ayah, ada yang lebih menggembirakan lagi! Kakak Pouw Cun Giok dan Enci Ceng Ceng saling mencinta...!”

“Hong-moi...!” Ceng Ceng menegur Li Hong lalu menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.

“Heh-heh, ketika Ceng Ceng datang ke sini bersama Cun Giok dahulu, aku sudah menduga bahwa di antara mereka terdapat hubungan batin yang erat, dapat dilihat dari pandang mata dan suara mereka ketika bicara!” Ban-tok Niocu tertawa.

“Bagus sekali! Aku akan merasa berbahagia kalau keponakanku itu menjadi jodohmu, Ceng Ceng!” kata Tan Kun Tek sambil tertawa pula.

“Akan tetapi... bolehkah anak kita menikah dengan keponakan kita? Mereka bersaudara misan...” Nyonya Tan ragu.

“Mengapa tidak boleh? Biarpun kita telah menerima Ceng Ceng seperti anak kita sendiri, akan tetapi ia tidak mempunyai hubungan darah dengan Cun Giok!”

“Kalau begitu, aku pun akan merasa gembira,” kata Nyonya Tan.

“Ayah dan Ibu berdua, saya harap janganlah membicarakan urusan ini lagi karena... karena Giok-ko sudah mempunyai tunangan.”

“Hemm, ketika Giok-ko mengaku bahwa dia telah bertunangan, aku marah sekali dan menyerangnya! Karena itulah maka kami berdua berpisah darinya!” kata Li Hong cemberut.

“Sudahlah, Ceng Ceng berkata benar. Untuk sementara ini kita tidak perlu bicara soal perjodohan ltu. Tunggu sampai kita bertemu dengan Cun Giok.”

Pada saat itu, seorang anak buah Pulau Ular datang berlari-lari memasuki gedung. Dengan terengah-engah dia berdiri di ambang pintu dan memberi hormat dengan membungkuk. Ban-tok Niocu mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mencorong tanda kemarahan. Sebelum ia menjadi isteri Tan Kun Tek, kelancangan anak buah ini cukup untuk membuat ia menjatuhkan hukuman mati kepada pelanggar itu. Akan tetapi semenjak Tan Kun Tek berada di situ sebagai suaminya, wataknya sudah berubah sama sekali. Hal ini terjadi karena wajahnya yang dulu cacat kini mencadi sembuh dan mulus kembali, ditambah lagi Tan Kun Tek kini menjadi suaminya!

Kebahagiaan ini mengubah wataknya yang kejam mengembalikan wataknya semula ketika ia masih muda dan menjadi seorang pendekar wanita. Bahkan kesembuhan wajahnya itu saja sudah membuat ia membuang julukan Kui-bo (Biang Iblis) menjadi Niocu (Nona). Akan tetapi karena mereka terganggu, ia menghardik anak buahnya itu.

“Hemm, engkau datang mengganggu kami tanpa dipanggil ada kepentingan apakah?”

“Ampunkan kalau saya mengganggu, Niocu. Saya hendak melaporkan bahwa tak jauh dari pulau ini tampak ada seorang laki-laki berperahu dikepung dan dikeroyok pasukan Mongol yang berada di empat buah perahu besar. Kami tidak berani mengambil tindakan sebelum ada perintah dari Niocu.”

“Ibu, kita harus bantu siapa saja yang dimusuhi pasukan Mongol!” kata Li Hong yang sudah bangkit berdiri.

Ibu atau gurunya mengangguk. “Mari kita lihat!”

Ban-tok Niocu, Tan Kun Tek, Li Hong, dan Ceng Ceng segera berlari keluar dari gedung itu mengikuti anak buah yang menjadi penunjuk jalan. Adapun Nyonya Tan yang tidak memiliki ilmu silat tinggl, tidak ikut dan berdiam di rumah saja...