Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

06. TAMU UNDANGAN LEMBAH SERIBU BUNGA

TERNYATA pedang di tangan gadis itu bentuknya seperti seekor naga. Cun Giok pernah mendengar bahwa di antara pedang-pedang ampuh yang terdapat di dunia persilatan, adalah pedang Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam). Tentu pedang di tangan gadis itu yang dimaksudkan!

“Hek-liong-kiam yang ampuh!” katanya sambil mencabut pedangnya sendiri.

“Engkau mengenal Hek-liong-kiam?” gadis itu bertanya, dan melihat pedang yang mengeluarkan sinar keemasan dan dipegang pemuda itu, ia berkata bimbang.

“Kim-kong-kiamkah itu?”

“Benar, Nona. Sebaiknya kita tidak mengadukan pedang kita agar tidak ada yang rusak,” kata Cun Giok. Sebetulnya, menghadapi gadis berpedang itu dengan tangan kosong pun dia tidak takut, akan tetapi kalau dia melakukan hal ini, dia tentu akan dianggap meremehkan dan memandang rendah gadis pendiam itu.

“Bukan pedang yang kita adu, melainkan keahlian memainkannya. Nah, bersiaplah engkau dan sambut seranganku ini!” setelah berkata demikian gadis itu lalu menggerakkan pedangnya, menyerang dengan gerak tipu Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Berantai). Gerakannya cepat sekali dan pedang itu berubah menjadi sinar hitam yang menyambar dan menyerang dengan tikaman bertubi, tiga kali sambung menyambung. Cun Giok menjadi kagum juga sambil mundur, dua kali mengelak dan yang terakhir ditangkisnya.

“Cringgg...!” Bunga api berpijar ketika dua batang pedang bertemu. Gadis itu terkejut, merasa tangannya tergetar hebat sehingga ia melompat ke belakang. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar, bahkan kini menerjang lagi sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung.

Tahulah Cun Giok bahwa gadis ini memang lihai bukan main dan memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat. Maka dia pun mengandalkan gin-kangnya untuk mengelak dari serangan lawan. Saking cepatnya dia bergerak, sampai tidak tampak bayangannya, seolah tubuhnya dapat menghilang. Akan tetapi gadis itu yang dari perkelahian melawan adiknya tadi maklum bahwa pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, kini memutar pedangnya lebih cepat lagi, menggunakan gerak tipu yang disebut Hui-pau-liu-coan (Air Terjun Berpancaran). Cepat sekali gerakannya sehingga ujung pedangnya seolah menjadi titik-titik air yang menyerang bagaikan hujan ke arah sekelilingnya.

Kalau bayangan Cun Giok tampak, maka serangan itu sepenuhnya menjurus ke arah pemuda itu. Cun Giok semakin kagum dan tahu akan bahayanya serangan itu, dia lalu menggerakkan pedangnya, diputarnya sehingga membentuk sinar emas yang melindunginya. Itulah jurus Kim-kong-koan-jit (Sinar Emas Menutupi Matahari).

Sejak tadi Cun Giok, seperti ketika melawan Kui Lin, kini juga banyak mengalah dan belum pernah membalas serangan pedang lawan yang susul-menyusul dengan cepatnya itu. Dia hanya membela diri dengan elakan atau tangkisan. Jurus Kim-kong-koan-jit yang dimainkannya benar-benar membuat gadis itu kehabisan akal karena ke mana pun sinar pedangnya berkelebat menyerang, selalu bertemu dengan perisai sinar emas itu, seolah air hujan yang tidak mampu menembus atap rumah yang kokoh kuat dan rapat. Ia mulai merasa penasaran sekali. Sudah hampir limapuluh jurus mereka berkelahi dan tak pernah satu kalipun pemuda itu membalas serangannya! Ia merasa seperti seorang anak kecil yang baru mulai belajar menggunakan pedang dipermainkan oleh seorang dewasa yang ahli.

“Balas seranganku!” bentaknya dan bentakan ini membuat Cun Giok menyadari bahwa kalau dia terus mengalah, tentu gadis itu merasa dipermainkan. Dengan jurus Po-in-gan-jit (Menyapu Awan Melihat Matahari) pedangnya kini menyambut pedang gadis itu.

“Takk!”

Dia mengerahkan tenaga saktinya dengan daya menempel sehingga kedua pedang itu menempel dan biarpun gadis itu berusaha melepaskan tempelan tetap saja ia gagal dan tiba-tiba Cun Giok menggerakkan pedangnya dengan sentakan dan... pedang hitam itu terlepas dari pegangan pemiliknya, terlempar ke atas dan disambut tangan kiri Cun Giok. Gadis itu terbelalak, kaget dan bingung melihat betapa pedangnya telah pindah tangan! Akan tetapi Cun Giok lalu membalikkan pedang hitam itu, memegang ujungnya lalu menjulurkan gagangnya ke arah Si Pemilik Pedang.

“Maafkan aku, Nona,” katanya lembut.

Dengan wajah berubah merah gadis itu menerima kembali pedangnya, lalu ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan berkata. “Sobat, sekarang kami berdua mengaku kalah dan maafkanlah sikap kami tadi yang mempermainkanmu.”

Cun Giok cepat membalas penghormatan itu dan kini sambil menghadapi dua orang gadis kembar yang berdiri berjejer, dia berkata. “Ah, sama sekali tidak, Ji-wi Siocia (Nona Berdua). Bukan kalian yang bersalah, melainkan aku yang bersalah walaupun tidak kusengaja aku telah melanggar wilayah yang menjadi milik kalian. Maafkan aku, Nona.”

“Dia benar, Enci Lan. Dia lah yang bersalah lebih dulu karena dia melanggar wilayah kita. Akan tetapi setelah dia dapat mengalahkan kita, dia bukan pelanggar lagi, melainkan menjadi tamu kita. Tidakkah begitu, Enci?” kata gadis kedua yang lincah.

Encinya mengangguk dan menahan senyum, lalu memandang kepada Cun Giok. “Adikku berkata benar. Sobat, sekarang kami menganggap engkau sebagai tamu kami. Mari, silakan singgah di rumah kami agar dapat kami perkenalkan dengan Ibu kami.”

Cun Giok yang merasa tidak enak telah mengganggu orang, hendak menolak, akan tetapi baru saja dia menggerakkan tangan menolak dan belum sempat bicara, gadis kedua yang lincah sudah berkata,

“Enci, bagaimana dia dapat menjadi tamu kalau kita belum berkenalan dengannya? Sobat, perkenalkan, kami berdua sebagai nona rumah adalah puteri kembar Ibu kami. Namaku The Kui Lin dan ini Enciku, The Kui Lan. Ibu kami biasa disebut The Toanio (Nyonya Besar The) dan menjadi majikan dari Lembah Seribu Bunga. Nah, perkenalkan dirimu, sobat, agar engkau tidak menjadi tamu yang asing.”

The Kui Lan hendak melarang adiknya memperkenalkan keluarga mereka seperti itu, akan tetapi mana ia mampu menghentikan adiknya yang bicara seperti hujan deras tak dapat dihentikan lagi itu? Maka ia diam saja dan hanya menegur adiknya dengan pandang matanya. Akan tetapi The Kui Lin pura-pura tidak tahu akan kemarahan encinya. Cun Giok tersenyum melihat kelincahan Kui Lin dan sambil membungkuk hormat dia terpaksa memperkenaIkan dirinya.

“Namaku Pouw Cun Giok,” katanya singkat.

“Di mana tempat tinggalmu?” tanya Kui Lin.

“Aku pengembara, tidak mempunyai tempat tinggal.”

“Siapa orang tuamu?”

“Orang tuaku sudah meninggal dunia.”

“Jadi engkau yatim piatu? Tiada sanak keluarga?”

“Aku yatim piatu dan sebatang kara, tiada sanak keluarga lagi.”

“Lalu apa maksud dan tujuanmu datang ke sini?”

“Aku hanya menuju ke mana saja hati dan kakiku membawaku.”

“Apakah...”

“Lin-moi (Adik Lin), engkau sungguh keterlaluan, menanyai tamu seperti hakim memeriksa pesakitan saja. Tidak sopan itu!” tegur Kui Lan yang memotong pertanyaan berikutnya.

“Ah, Lan-ci (Kakak Lan), nona rumah harus mengenal betul siapa tamunya. Betul tidak, Tuan Pouw Cun Giok?” Kui Lin membantah lalu bertanya kepada Cun Giok mengharapkan dukungannya.

Akan tetapi Cun Giok tidak mau berpihak melihat kakak dan adik itu bercekcok. “Nona, harap engkau tidak memanggil aku Tuan, aku bukan hartawan atau bangsawan.”

“Hemm, mau enaknya sendiri saja!” kata Kui Lin. “Engkau sendiri memanggil kami Nona, tentu saja kami memanggilmu Tuan. Kalau bukan Tuan, lalu memanggil apa?”

“Sebut saja aku Saudara, atau Kakak, atau namaku saja, Nona.”

“Hemm, dan engkau tetap menyebut Nona? Aku akan menyebutmu Kakak Pouw Cun Giok, atau Giok-ko (Kakak Giok) kalau engkau mau menyebutku Lin-moi (Adik Lin). Kalau engkau tetap menyebut Nona, akupun akan tetap menyebutmu Tuan.”

Diam-diam Cun Giok merasa girang. Gadis ini ternyata ramah, di samping wataknya yang agak liar dan galak. Dia tersenyum dan berkata, “Baiklah, Lin-moi, asal saja... Lan-moi tidak keberatan!”

Dengan tenang Kui Lan menjawab, “Mengapa keberatan? Bagaimanapun juga, engkau pasti lebih tua daripada kami, Giok-ko.”

“Terima kasih, Lan-moi dan Lin-moi, kalian sungguh ramah dan baik budi terhadap aku, seorang perantau sebatang kara dan miskin lagi bodoh.”

“Aih, sudahlah, Giok-ko. Tidak perlu merendahkan diri. Setelah kami berkenalan, kami persilakan engkau untuk singgah di rumah kami. Kami jarang kedatangan tamu, maka ibu kami tentu akan girang melihatmu,” kata Kui Lin.

Tentu saja Cun Giok tidak dapat menolak lagi, khawatir penolakan itu akan membuat dua orang gadis yang ramah ini menjadi marah dan merasa terhina karena undangan mereka dia tolak.

cerita silat online karya kho ping hoo

Mereka bertiga lalu memasuki hutan itu yang ternyata setelah tiba di tengah, jalannya mulai mendaki sebuah bukit. Lembah Seribu Bunga terletak di lereng bukit kecil dan setelah berjalan sekitar empat lie (mil) jauhnya, tibalah mereka di luar sebuah taman yang penuh dengan pohon-pohon dan tanaman bunga-bunga yang beraneka warna dan indah sekali. Taman itu amat luas, ada rumpun bambu yang beraneka ragam, ada pula semak-semak yang teratur indah, padang rumput dan bunga-bunga yang amat banyak macamnya dan sebagian besar belum pernah ditemui Cun Giok. Sungguh bukan nama kosong kalau tempat itu dinamakan Lembah Seribu Bunga!

Cun Giok berdiri dan memandang kagum sekali. Taman yang luas itu dikelilingi pagar tembok yang tingginya hanya setengah badannya sehingga dia dapat melihat tetumbuhan yang berada di balik pagar. Amat luas dan terdapat jalan setapak yang terbuat dari batu-batu rata berwarna putih. Dari situ tampak agak jauh sebuah rumah berdiri megah di tengah taman, dan di sana-sini terdapat pula bangunan-bangunan kecil tanpa dinding yang merupakan tempat peristirahatan, berikut kolam-kolam ikan. Taman itu dibuat seperti daerah perbukitan, ada yang menonjol dan menurun di sana-sini sehingga amat sedap dipandang. Anak sungai yang kecil dan jernih airnya mengalir di tengah-tengah taman, berkelak-kelok dan agaknya sungai inilah yang menembus ke tepi hutan di mana dia mandi tadi.

“Giok-ko, sekarang engkau kami persilakan menuju ke rumah kami di sana itu. Akan tetapi ada peraturan dari ibu kami bahwa hanya tamu yang mampu menembus taman ini yang dapat diterima kunjungannya. Karena itu, silakan twako memasuki taman dan mencari jalan menuju rumah kami di sana itu,” kata Kui Lan dengan suaranya yang tenang.

“Akan tetapi bukankah kalian yang mengundangku dan kalian dapat menjadi penunjuk jalan bagiku?”

“Maaf, tidak ada penunjuk jalan di sini, Giok-ko,” kata pula Kui Lan.

“Akan tetapi kalau engkau mau mengikuti kami, silakan kalau engkau bisa, Twako!” kata Kui Lin sambil tertawa, sikapnya mengejek.

Cun Giok menahan tawanya. Gadis ini sungguh nakal dan sombong. Dengan gin-kangnya yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka, bagaimana mungkin dia tidak akan mampu mengikuti mereka? “Akan kucoba untuk mengikuti kalian,” katanya.

Dua orang gadis itu tanpa bicara lagi lalu memasuki taman lewat pintu pagar yang bercat merah. Tanpa tergesa-gesa Cun Giok mengikuti mereka. Dia santai saja, tidak mau tampak bersicepat seperti orang yang takut tertinggal. Dengan santai pun dia akan dapat mengikuti mereka ke manapun juga mereka pergi! Bahkan, seandainya dia kehilangan mereka sekalipun, apa sih sukarnya menemukan rumah yang sudah tampak dari luar taman? Gadis-gadis itu terlalu memandang rendah padanya.

Makin diingat kata-kata Kui Lin tadi yang menantangnya seolah dia tidak akan mampu mengikuti mereka, Cun Giok semakin memperjauh jaraknya dari mereka. Biarlah mereka mengira dia tidak mampu mengikuti mereka! Biar mereka mentertawakannya, nanti dialah yang tertawa karena dia akan mendahului mereka tiba di rumah itu!

Melihat dua orang gadis itu sudah lari agak jauh, Cun Giok tersenyum dan segera mengerahkan gin-kang untuk mengejar. Tubuhnya berkelebat cepat sekali seperti terbang. Dia melihat dua orang gadis itu, yang berlari di atas jalan setapak, berbelok ke kiri dan tertutup rumpun bambu kuning. Ketika dia tiba di dekat rumpun bambu dan memandang ternyata dua orang gadis itu telah lenyap!

“Hemm, kalian boleh mengambil jalan pintas yang bagaimanapun, aku tetap akan dapat mendahului kalian!” katanya sambil menahan tawa.

Kini dia tidak mempedulikan lagi dua orang gadis kembar itu, tidak ingin mengikuti jejak mereka melainkan hendak mengambil jalan sendiri menuju rumah itu, mendahului mereka. Maka, di jalan simpang empat itu dia mengambil jalan yang langsung menuju ke arah rumah itu. Tumbuh-tumbuhan menghalanginya melihat gedung itu, akan tetapi dia yakin bahwa jalan setapak pasti menuju ke gedung di depan seperti yang dilihatnya tadi sebelum semak-semak yang tinggi menghalangi penglihatannya.

Setelah melewati deretan semak-semak yang cukup panjang dan tiba di tempat yang tidak terhalang, dia memandang ke depan dan...... gedung itu tidak tampak lagi berada di depannya! Dia merasa heran lalu menoleh ke kiri dan ternyata gedung itu kini berada di sebelah kirinya, hanya saja tidak sedekat tadi, melainkan semakin jauh.

Ah, jalan setapak yang diikutinya itu tentu telah membelok tanpa dia sadari sehingga dia malah menjauhi gedung, bukan mendekati! Kini gedung itu sudah tampak lagi dan dia pun cepat berlari mengikuti jalan setapak yang menuju ke arah gedung itu. Kembali ada pohon-pohon yang menghalangi penglihatannya dan setelah dia berlari cukup lama, dia merasa heran mengapa belum juga dia tiba di gedung yang tadi sudah kelihatan itu. Dia berlari lebih cepat dan melewati kelompok pohon yang menghalangi penglihatannya lalu memandang ke depan. Gedung itu hilang lagi dan setelah dia memandang ke sekeliling, gedung itu tampak di sebelah kanannya, semakin jauh!

Cun Giok merasa semakin penasaran. Bagaimana ini dapat terjadi? Apakah jalan setapak itu yang menipunya sehingga dia mengikuti arah yang membalik tanpa disadarinya? Dia terus berlari menuju ke arah gedung, akan tetapi sampai berjam-jam lamanya, dia tidak pernah tiba di dekat gedung. Terkadang agak dekat, terkadang malah semakin jauh!

Matahari mulai condong ke barat. Cun Giok yang tidak mau menyerah dan sejak tadi mengerahkan gin-kang berlari-lari, mulai berkeringat. Kegembiraannya untuk mentertawakan dua orang gadis kembar karena dia mendahului mereka, sudah lenyap sama sekali dan sekarang mulai timbul rasa gelisah di dalam hatinya. Dia tadi terlalu memandang rendah mereka! Kiranya Taman Seribu Bunga ini merupakan taman yang penuh rahasia dan tipuan! Dia mulai merasa ragu apakah akan mampu melewati taman itu dan tiba di gedung yang sudah tampak dari situ...

Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 06

06. TAMU UNDANGAN LEMBAH SERIBU BUNGA

TERNYATA pedang di tangan gadis itu bentuknya seperti seekor naga. Cun Giok pernah mendengar bahwa di antara pedang-pedang ampuh yang terdapat di dunia persilatan, adalah pedang Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam). Tentu pedang di tangan gadis itu yang dimaksudkan!

“Hek-liong-kiam yang ampuh!” katanya sambil mencabut pedangnya sendiri.

“Engkau mengenal Hek-liong-kiam?” gadis itu bertanya, dan melihat pedang yang mengeluarkan sinar keemasan dan dipegang pemuda itu, ia berkata bimbang.

“Kim-kong-kiamkah itu?”

“Benar, Nona. Sebaiknya kita tidak mengadukan pedang kita agar tidak ada yang rusak,” kata Cun Giok. Sebetulnya, menghadapi gadis berpedang itu dengan tangan kosong pun dia tidak takut, akan tetapi kalau dia melakukan hal ini, dia tentu akan dianggap meremehkan dan memandang rendah gadis pendiam itu.

“Bukan pedang yang kita adu, melainkan keahlian memainkannya. Nah, bersiaplah engkau dan sambut seranganku ini!” setelah berkata demikian gadis itu lalu menggerakkan pedangnya, menyerang dengan gerak tipu Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Berantai). Gerakannya cepat sekali dan pedang itu berubah menjadi sinar hitam yang menyambar dan menyerang dengan tikaman bertubi, tiga kali sambung menyambung. Cun Giok menjadi kagum juga sambil mundur, dua kali mengelak dan yang terakhir ditangkisnya.

“Cringgg...!” Bunga api berpijar ketika dua batang pedang bertemu. Gadis itu terkejut, merasa tangannya tergetar hebat sehingga ia melompat ke belakang. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar, bahkan kini menerjang lagi sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung.

Tahulah Cun Giok bahwa gadis ini memang lihai bukan main dan memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat. Maka dia pun mengandalkan gin-kangnya untuk mengelak dari serangan lawan. Saking cepatnya dia bergerak, sampai tidak tampak bayangannya, seolah tubuhnya dapat menghilang. Akan tetapi gadis itu yang dari perkelahian melawan adiknya tadi maklum bahwa pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, kini memutar pedangnya lebih cepat lagi, menggunakan gerak tipu yang disebut Hui-pau-liu-coan (Air Terjun Berpancaran). Cepat sekali gerakannya sehingga ujung pedangnya seolah menjadi titik-titik air yang menyerang bagaikan hujan ke arah sekelilingnya.

Kalau bayangan Cun Giok tampak, maka serangan itu sepenuhnya menjurus ke arah pemuda itu. Cun Giok semakin kagum dan tahu akan bahayanya serangan itu, dia lalu menggerakkan pedangnya, diputarnya sehingga membentuk sinar emas yang melindunginya. Itulah jurus Kim-kong-koan-jit (Sinar Emas Menutupi Matahari).

Sejak tadi Cun Giok, seperti ketika melawan Kui Lin, kini juga banyak mengalah dan belum pernah membalas serangan pedang lawan yang susul-menyusul dengan cepatnya itu. Dia hanya membela diri dengan elakan atau tangkisan. Jurus Kim-kong-koan-jit yang dimainkannya benar-benar membuat gadis itu kehabisan akal karena ke mana pun sinar pedangnya berkelebat menyerang, selalu bertemu dengan perisai sinar emas itu, seolah air hujan yang tidak mampu menembus atap rumah yang kokoh kuat dan rapat. Ia mulai merasa penasaran sekali. Sudah hampir limapuluh jurus mereka berkelahi dan tak pernah satu kalipun pemuda itu membalas serangannya! Ia merasa seperti seorang anak kecil yang baru mulai belajar menggunakan pedang dipermainkan oleh seorang dewasa yang ahli.

“Balas seranganku!” bentaknya dan bentakan ini membuat Cun Giok menyadari bahwa kalau dia terus mengalah, tentu gadis itu merasa dipermainkan. Dengan jurus Po-in-gan-jit (Menyapu Awan Melihat Matahari) pedangnya kini menyambut pedang gadis itu.

“Takk!”

Dia mengerahkan tenaga saktinya dengan daya menempel sehingga kedua pedang itu menempel dan biarpun gadis itu berusaha melepaskan tempelan tetap saja ia gagal dan tiba-tiba Cun Giok menggerakkan pedangnya dengan sentakan dan... pedang hitam itu terlepas dari pegangan pemiliknya, terlempar ke atas dan disambut tangan kiri Cun Giok. Gadis itu terbelalak, kaget dan bingung melihat betapa pedangnya telah pindah tangan! Akan tetapi Cun Giok lalu membalikkan pedang hitam itu, memegang ujungnya lalu menjulurkan gagangnya ke arah Si Pemilik Pedang.

“Maafkan aku, Nona,” katanya lembut.

Dengan wajah berubah merah gadis itu menerima kembali pedangnya, lalu ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan berkata. “Sobat, sekarang kami berdua mengaku kalah dan maafkanlah sikap kami tadi yang mempermainkanmu.”

Cun Giok cepat membalas penghormatan itu dan kini sambil menghadapi dua orang gadis kembar yang berdiri berjejer, dia berkata. “Ah, sama sekali tidak, Ji-wi Siocia (Nona Berdua). Bukan kalian yang bersalah, melainkan aku yang bersalah walaupun tidak kusengaja aku telah melanggar wilayah yang menjadi milik kalian. Maafkan aku, Nona.”

“Dia benar, Enci Lan. Dia lah yang bersalah lebih dulu karena dia melanggar wilayah kita. Akan tetapi setelah dia dapat mengalahkan kita, dia bukan pelanggar lagi, melainkan menjadi tamu kita. Tidakkah begitu, Enci?” kata gadis kedua yang lincah.

Encinya mengangguk dan menahan senyum, lalu memandang kepada Cun Giok. “Adikku berkata benar. Sobat, sekarang kami menganggap engkau sebagai tamu kami. Mari, silakan singgah di rumah kami agar dapat kami perkenalkan dengan Ibu kami.”

Cun Giok yang merasa tidak enak telah mengganggu orang, hendak menolak, akan tetapi baru saja dia menggerakkan tangan menolak dan belum sempat bicara, gadis kedua yang lincah sudah berkata,

“Enci, bagaimana dia dapat menjadi tamu kalau kita belum berkenalan dengannya? Sobat, perkenalkan, kami berdua sebagai nona rumah adalah puteri kembar Ibu kami. Namaku The Kui Lin dan ini Enciku, The Kui Lan. Ibu kami biasa disebut The Toanio (Nyonya Besar The) dan menjadi majikan dari Lembah Seribu Bunga. Nah, perkenalkan dirimu, sobat, agar engkau tidak menjadi tamu yang asing.”

The Kui Lan hendak melarang adiknya memperkenalkan keluarga mereka seperti itu, akan tetapi mana ia mampu menghentikan adiknya yang bicara seperti hujan deras tak dapat dihentikan lagi itu? Maka ia diam saja dan hanya menegur adiknya dengan pandang matanya. Akan tetapi The Kui Lin pura-pura tidak tahu akan kemarahan encinya. Cun Giok tersenyum melihat kelincahan Kui Lin dan sambil membungkuk hormat dia terpaksa memperkenaIkan dirinya.

“Namaku Pouw Cun Giok,” katanya singkat.

“Di mana tempat tinggalmu?” tanya Kui Lin.

“Aku pengembara, tidak mempunyai tempat tinggal.”

“Siapa orang tuamu?”

“Orang tuaku sudah meninggal dunia.”

“Jadi engkau yatim piatu? Tiada sanak keluarga?”

“Aku yatim piatu dan sebatang kara, tiada sanak keluarga lagi.”

“Lalu apa maksud dan tujuanmu datang ke sini?”

“Aku hanya menuju ke mana saja hati dan kakiku membawaku.”

“Apakah...”

“Lin-moi (Adik Lin), engkau sungguh keterlaluan, menanyai tamu seperti hakim memeriksa pesakitan saja. Tidak sopan itu!” tegur Kui Lan yang memotong pertanyaan berikutnya.

“Ah, Lan-ci (Kakak Lan), nona rumah harus mengenal betul siapa tamunya. Betul tidak, Tuan Pouw Cun Giok?” Kui Lin membantah lalu bertanya kepada Cun Giok mengharapkan dukungannya.

Akan tetapi Cun Giok tidak mau berpihak melihat kakak dan adik itu bercekcok. “Nona, harap engkau tidak memanggil aku Tuan, aku bukan hartawan atau bangsawan.”

“Hemm, mau enaknya sendiri saja!” kata Kui Lin. “Engkau sendiri memanggil kami Nona, tentu saja kami memanggilmu Tuan. Kalau bukan Tuan, lalu memanggil apa?”

“Sebut saja aku Saudara, atau Kakak, atau namaku saja, Nona.”

“Hemm, dan engkau tetap menyebut Nona? Aku akan menyebutmu Kakak Pouw Cun Giok, atau Giok-ko (Kakak Giok) kalau engkau mau menyebutku Lin-moi (Adik Lin). Kalau engkau tetap menyebut Nona, akupun akan tetap menyebutmu Tuan.”

Diam-diam Cun Giok merasa girang. Gadis ini ternyata ramah, di samping wataknya yang agak liar dan galak. Dia tersenyum dan berkata, “Baiklah, Lin-moi, asal saja... Lan-moi tidak keberatan!”

Dengan tenang Kui Lan menjawab, “Mengapa keberatan? Bagaimanapun juga, engkau pasti lebih tua daripada kami, Giok-ko.”

“Terima kasih, Lan-moi dan Lin-moi, kalian sungguh ramah dan baik budi terhadap aku, seorang perantau sebatang kara dan miskin lagi bodoh.”

“Aih, sudahlah, Giok-ko. Tidak perlu merendahkan diri. Setelah kami berkenalan, kami persilakan engkau untuk singgah di rumah kami. Kami jarang kedatangan tamu, maka ibu kami tentu akan girang melihatmu,” kata Kui Lin.

Tentu saja Cun Giok tidak dapat menolak lagi, khawatir penolakan itu akan membuat dua orang gadis yang ramah ini menjadi marah dan merasa terhina karena undangan mereka dia tolak.

cerita silat online karya kho ping hoo

Mereka bertiga lalu memasuki hutan itu yang ternyata setelah tiba di tengah, jalannya mulai mendaki sebuah bukit. Lembah Seribu Bunga terletak di lereng bukit kecil dan setelah berjalan sekitar empat lie (mil) jauhnya, tibalah mereka di luar sebuah taman yang penuh dengan pohon-pohon dan tanaman bunga-bunga yang beraneka warna dan indah sekali. Taman itu amat luas, ada rumpun bambu yang beraneka ragam, ada pula semak-semak yang teratur indah, padang rumput dan bunga-bunga yang amat banyak macamnya dan sebagian besar belum pernah ditemui Cun Giok. Sungguh bukan nama kosong kalau tempat itu dinamakan Lembah Seribu Bunga!

Cun Giok berdiri dan memandang kagum sekali. Taman yang luas itu dikelilingi pagar tembok yang tingginya hanya setengah badannya sehingga dia dapat melihat tetumbuhan yang berada di balik pagar. Amat luas dan terdapat jalan setapak yang terbuat dari batu-batu rata berwarna putih. Dari situ tampak agak jauh sebuah rumah berdiri megah di tengah taman, dan di sana-sini terdapat pula bangunan-bangunan kecil tanpa dinding yang merupakan tempat peristirahatan, berikut kolam-kolam ikan. Taman itu dibuat seperti daerah perbukitan, ada yang menonjol dan menurun di sana-sini sehingga amat sedap dipandang. Anak sungai yang kecil dan jernih airnya mengalir di tengah-tengah taman, berkelak-kelok dan agaknya sungai inilah yang menembus ke tepi hutan di mana dia mandi tadi.

“Giok-ko, sekarang engkau kami persilakan menuju ke rumah kami di sana itu. Akan tetapi ada peraturan dari ibu kami bahwa hanya tamu yang mampu menembus taman ini yang dapat diterima kunjungannya. Karena itu, silakan twako memasuki taman dan mencari jalan menuju rumah kami di sana itu,” kata Kui Lan dengan suaranya yang tenang.

“Akan tetapi bukankah kalian yang mengundangku dan kalian dapat menjadi penunjuk jalan bagiku?”

“Maaf, tidak ada penunjuk jalan di sini, Giok-ko,” kata pula Kui Lan.

“Akan tetapi kalau engkau mau mengikuti kami, silakan kalau engkau bisa, Twako!” kata Kui Lin sambil tertawa, sikapnya mengejek.

Cun Giok menahan tawanya. Gadis ini sungguh nakal dan sombong. Dengan gin-kangnya yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka, bagaimana mungkin dia tidak akan mampu mengikuti mereka? “Akan kucoba untuk mengikuti kalian,” katanya.

Dua orang gadis itu tanpa bicara lagi lalu memasuki taman lewat pintu pagar yang bercat merah. Tanpa tergesa-gesa Cun Giok mengikuti mereka. Dia santai saja, tidak mau tampak bersicepat seperti orang yang takut tertinggal. Dengan santai pun dia akan dapat mengikuti mereka ke manapun juga mereka pergi! Bahkan, seandainya dia kehilangan mereka sekalipun, apa sih sukarnya menemukan rumah yang sudah tampak dari luar taman? Gadis-gadis itu terlalu memandang rendah padanya.

Makin diingat kata-kata Kui Lin tadi yang menantangnya seolah dia tidak akan mampu mengikuti mereka, Cun Giok semakin memperjauh jaraknya dari mereka. Biarlah mereka mengira dia tidak mampu mengikuti mereka! Biar mereka mentertawakannya, nanti dialah yang tertawa karena dia akan mendahului mereka tiba di rumah itu!

Melihat dua orang gadis itu sudah lari agak jauh, Cun Giok tersenyum dan segera mengerahkan gin-kang untuk mengejar. Tubuhnya berkelebat cepat sekali seperti terbang. Dia melihat dua orang gadis itu, yang berlari di atas jalan setapak, berbelok ke kiri dan tertutup rumpun bambu kuning. Ketika dia tiba di dekat rumpun bambu dan memandang ternyata dua orang gadis itu telah lenyap!

“Hemm, kalian boleh mengambil jalan pintas yang bagaimanapun, aku tetap akan dapat mendahului kalian!” katanya sambil menahan tawa.

Kini dia tidak mempedulikan lagi dua orang gadis kembar itu, tidak ingin mengikuti jejak mereka melainkan hendak mengambil jalan sendiri menuju rumah itu, mendahului mereka. Maka, di jalan simpang empat itu dia mengambil jalan yang langsung menuju ke arah rumah itu. Tumbuh-tumbuhan menghalanginya melihat gedung itu, akan tetapi dia yakin bahwa jalan setapak pasti menuju ke gedung di depan seperti yang dilihatnya tadi sebelum semak-semak yang tinggi menghalangi penglihatannya.

Setelah melewati deretan semak-semak yang cukup panjang dan tiba di tempat yang tidak terhalang, dia memandang ke depan dan...... gedung itu tidak tampak lagi berada di depannya! Dia merasa heran lalu menoleh ke kiri dan ternyata gedung itu kini berada di sebelah kirinya, hanya saja tidak sedekat tadi, melainkan semakin jauh.

Ah, jalan setapak yang diikutinya itu tentu telah membelok tanpa dia sadari sehingga dia malah menjauhi gedung, bukan mendekati! Kini gedung itu sudah tampak lagi dan dia pun cepat berlari mengikuti jalan setapak yang menuju ke arah gedung itu. Kembali ada pohon-pohon yang menghalangi penglihatannya dan setelah dia berlari cukup lama, dia merasa heran mengapa belum juga dia tiba di gedung yang tadi sudah kelihatan itu. Dia berlari lebih cepat dan melewati kelompok pohon yang menghalangi penglihatannya lalu memandang ke depan. Gedung itu hilang lagi dan setelah dia memandang ke sekeliling, gedung itu tampak di sebelah kanannya, semakin jauh!

Cun Giok merasa semakin penasaran. Bagaimana ini dapat terjadi? Apakah jalan setapak itu yang menipunya sehingga dia mengikuti arah yang membalik tanpa disadarinya? Dia terus berlari menuju ke arah gedung, akan tetapi sampai berjam-jam lamanya, dia tidak pernah tiba di dekat gedung. Terkadang agak dekat, terkadang malah semakin jauh!

Matahari mulai condong ke barat. Cun Giok yang tidak mau menyerah dan sejak tadi mengerahkan gin-kang berlari-lari, mulai berkeringat. Kegembiraannya untuk mentertawakan dua orang gadis kembar karena dia mendahului mereka, sudah lenyap sama sekali dan sekarang mulai timbul rasa gelisah di dalam hatinya. Dia tadi terlalu memandang rendah mereka! Kiranya Taman Seribu Bunga ini merupakan taman yang penuh rahasia dan tipuan! Dia mulai merasa ragu apakah akan mampu melewati taman itu dan tiba di gedung yang sudah tampak dari situ...