Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

05. KENAKALAN DUA GADIS KEMBAR!

PERNAH gadis itu mengatakan bahwa dendam dapat menimbulkan perilaku yang kejam sekali. Seperti yang dia lakukan terhadap Kim Magu dan Kui Con? Ceng Ceng pernah berkata kepadanya bahwa dendam merupakan racun dalam hati, merupakan ulah nafsu pementingan diri yang berbahaya karena kalau kita diperbudak oleh dendam, kita dapat melakukan hal-hal yang tidak kalah jahatnya dengan apa yang dilakukan orang kepada siapa kita mendendam.

Benarkah bahwa dia terlalu kejam? Dipengaruhi nafsu mendendam? Dia mengerutkan alisnya dan seolah mendengar pula suara lembut Ceng Ceng bahwa menuruti dendam dan balas membalas berarti menyambung terus rantai Karma yang melibat diri tiada hentinya. Balas dendam yang dia lakukan itu akan menimbulkan dendam lain di pihak Kim Magu dan Kui Con! Mereka pasti menaruh dendam dan akan berusaha untuk membalas dendam mereka kepadanya! Dia telah menanam bibit dendam yang akan membuahkan dendam lain lagi.

Cun Giok menghela napas panjang dan teringat kembali kepada Siok Eng sehingga wajah di permukaan air itu berubah menjadi wajah Siok Eng kembali. Wajah yang seolah memandang kepadanya penuh penantian, wajah yang menimbulkan rasa sedih dan haru.

“Tidak, Eng-moi, aku tidak menyesal. Aku melakukan semua itu untuk membalas apa yang mereka lakukan terhadap dirimu, Ayahmu, Encimu, dan Cihumu (Kakak Iparmu). Aku akan menanggung semua akibatnya. Hanya itulah yang dapat kulakukan untuk menebus kesalahanku mengabaikanmu selama ini, Eng-moi, kulakukan untuk membuat arwahmu tenang, isteriku.”

Dia mengamati tusuk sanggul perak ditangannya dan teringat bahwa Siok Eng sudah tidak ada lagi, hampir dia membuang tusuk sanggul itu ke air sungai. Tanda perjodohan itu hanya akan mengingatkan dia akan Siok Eng dan mendatangkan kesedihan dan penyesalan. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan wajah Ceng Ceng yang seolah menegurnya.

“Giok-ko, bukan watak seorang gagah untuk membiarkan dirinya terlalu lama tenggelam ke dalam kesedihan. Segala hal yang telah terjadi tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi, namun dapat menjadi contoh yang menambah kesadaran kita akan yang salah dan yang benar.”

Seolah ucapan gadis itu terngiang di telinganya dan Cun Giok bangkit dari kesedihannya. Ceng Ceng benar! Tak perlu terbenam ke dalam kesedihan. Betapa sering dia membiarkan dirinya hanyut dalam duka. Pertama ketika dahulu dia kehilangan adik misannya, Lu Siang Ni yang membunuh diri di depannya tanpa dia dapat menghalanginya. Sekarang dia pun hanyut dalam kesedihan dan penyesalan karena kematian Siok Eng dan keluarganya. Tidak, dia tidak boleh hanyut dalam kesedihan. Yang sudah terjadi biarlah terjadi. Kalau ada akibatnya kelak, akan dia hadapi dengan gagah dan penuh tanggung jawab. Dia mencium tusuk sanggul perak itu dan menyimpannya kembali.

“Eng-moi, biarpun engkau sudah meninggal, namun tusuk sanggulmu ini akan selalu kusimpan dan tidak akan terpisah dariku sampai hayat meninggalkan badanku.”

Setelah berkata demikian, Cun Giok menjadi tenang kembali dan tidak ada lagi kesedihan atau penyesalan mengganggunya dan tidak ada lagi bayangan Siok Eng atau Ceng Ceng tampak. Tiba-tiba dia merasa lesu dan tidak nyaman. Dia lalu melihat keadaan sekelilingnya dan setelah merasa yakin bahwa tempat itu sunyi, tidak tampak ada orang lain dan juga tidak ada tanda-tanda tempat itu dekat dengan rumah orang, dia lalu menanggalkan pakaian dan masuk ke dalam air sungai yang jernih. Bukan main segar rasanya ketika tubuhnya terendam dalam air itu. Bukan hanya badan terasa segar, juga pikiran menjadi terang seolah air jernih itu telah membawa hanyut semua masalah yang memenuhi benaknya.

Saking segarnya mandi dalam air sungai yang jernih itu, pendengaran Cun Giok terganggu percikan air sehingga dia tidak mendengar sedikit suara tak wajar yang terdengar tak jauh dari situ. Akan tetapi kemudian suara tawa cekikikan membuat dia terkejut dan cepat menoleh ke tepi sungai. Alangkah kagetnya ketika dia melihat bahwa pakaiannya yang tadi ditanggalkan dan ditaruh di atas batu, telah lenyap. Juga buntalan pakaiannya, di mana terdapat pula pedang Kim-kong-kiam, juga tidak tampak!

Celaka, pikirnya. Semua pakaiannya dicuri orang, padahal dia mandi dalam keadaan telanjang bulat! Bagaimana dia dapat keluar dari dalam air dalam keadaan seperti itu? Dia memandang ke sana-sini, akan tetapi dia tidak melihat orang yang mencuri pakaiannya. Dia teringat akan suara tawa cekikikan itu. Seperti suara tawa wanita! Maka dia menduga bahwa tentu ada orang bersembunyi di balik batu-batu besar di tepi sungai itu. Dia lalu mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) ke dalam suaranya dan berseru,

“Nona yang mencuri pakaianku! Bagaimana engkau tidak tahu malu mencuri pakaianku? Kembalikan pakaianku!”

Kembali terdengar suara tawa cekikikan seperti tadi dan dari suara itu Cun Giok dapat menduga bahwa di balik batu-batu besar di tepi sungai itu tentu ada dua orang wanita yang bersembunyi dan menertawakannya.

“Hi-hi-hik, ambil saja sendiri pakaianmu ke sini!”

Cun Giok menjadi malu dan mendongkol. Sungguh nakal dan kurang ajar sekali gadis atau wanita itu. Dia menduga bahwa pencurinya tentulah seorang gadis, suara tawanya menunjukkan bahwa ia tentu masih muda. Gadis-gadis yang nakal sekali. Kalau dia membujuk terus, mungkin saja mereka itu akan makin menggodanya. Maka dia lalu mendapatkan akal.

“Baiklah, kalau begitu aku akan datang kepada kalian dalam keadaan seperti ini. Telanjang bulat!!” Cun Giok menjadi merah mukanya ketika mengucapkan ini, akan tetapi karena itu cara satu-satunya untuk menghadapi gadis-gadis nakal itu, dia memberanikan diri dan melangkah hendak naik ke sungai!

“Hi-hi-hik! Jangan! Jangan ke sini, kau laki-laki tidak sopan, kurang ajar dan tidak tahu malu!” terdengar mereka cekikikan lagi. Hati Cun Giok menjadi semakin panas.

“Siapa yang tidak sopan, kurang ajar dan tidak tahu malu? Kalian berdua yang mencuri pakaianku! Hayo kembalikan, kalau tidak aku akan nekat menemui kalian dalam keadaan telanjang bulat!”

“Nanti dulu!” terdengar suara seorang gadis lain. “Kami melihat sebatang pedang yang baik sekali dalam buntalan pakaianmu. Nah, berjanjilah dulu bahwa engkau akan menandingi ilmu silat tangan kosong melawan Adikku, kemudian engkau menandingi ilmu silat pedangku. Kalau engkau mau berjanji, baru aku akan melemparkan pakaian ini kepadamu!”

Kurang ajar. Gadis-gadis itu sungguh nakal sekali dan juga berani menantangnya. Dia pasti akan menghajar mereka untuk kekurangajaran itu. “Baik, aku berjanji bahwa kalau kalian mengembalikan pakaianku aku akan menandingimu berkelahi sampai seribu jurus!”

Kembali terdengar suara cekikikan dan tiba-tiba buntalan pakaian berikut pakaian yang tadi ditanggalkan Cun Giok dan ditaruh di atas batu, meluncur ke arahnya dengan luncuran kuat dan cepat sekali!

Cun Giok cepat menangkap pakaiannya dan buntalan pakaiannya, dan ketika dia menangkap buntalan itu, dia dapat merasakan betapa kuatnya tenaga lontaran itu, juga merasa bahwa pedangnya sudah tidak berada dalam buntalan itu lagi. “Heii! Kalian mencuri pedangku! Hayo kembalikan!” teriaknya marah, lalu dia cepat mengenakan pakaiannya sambil bersembunyi di balik batu.

Kembali dua orang gadis itu cekikikan. “Enak saja. Kalau sudah kami kembalikan engkau lalu melarikan diri, ya? Tidak akan kami kembalikan sebelum engkau memenuhi janjimu untuk bertanding melawan kami.”

Cun Giok cepat membereskan rambutnya yang basah kuyup, mengikatnya dengan pita biru, kemudian sambil menggendong buntalan pakaiannya dia melompat ke arah batu besar di balik mana dua orang gadis itu bersembunyi. Dua sosok bayangan hitam berkelebat keluar dari balik batu besar dan Cun Giok berhadapan dengan dua orang gadis. Dia berdiri tercengang dan terheran-heran menatap wajah dua orang gadis itu. Mereka benar-benar cantik jelita dan dengan pakaian mereka yang serba hitam itu, kulit tangan, muka dan leher mereka tampak amat putih mulus seperti salju! Yang membuat Cun Giok memandang tercengang bukan sekadar kecantikan mereka karena dia pernah bertemu dengan gadis-gadis cantik seperti Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, Pek-hwa Sianli, dan Tan Li Hong yang ketiganya juga cantik jelita.

Akan tetapi sekali ini dia benar-benar tercengang dan kagum karena melihat betapa dua orang gadis itu sama benar, seperti pinang dibelah dua. Sanggul rambutnya sama, disanggul ke atas dan dihias burung Hong dari emas. Pakaiannya yang dari sutera hitam itu pun serupa, bentuk tubuh mereka juga sama tinggi semampai dan ramping, dan wajah itu! Tak mungkin agaknya membedakan antara satu dengan yang lain karena wajah itu persis sama, seperti seorang gadis dan bayangannya di cermin! Gadis kembar, pikirnya dan dia menduga-duga siapa yang kakak dan siapa pula yang adik dan harus mengakui bahwa dia tidak dapat menduganya!

Dua orang gadis itu melihat wajah Cun Giok yang keheranan, lalu tertawa cekikikan, mereka tertawa tanpa menutupi mulut, menunjukkan bahwa sepasang gadis kembar ini adalah gadis-gadis yang biasa dengan kehidupan di dunia kang-ouw di mana para wanitanya tidak terlalu keras terikat oleh adat istiadat kuno. Gadis-gadis pingitan selalu bersikap sopan, tidak banyak bicara, gerak-geriknya halus dan diatur, kalau tertawa tidak bersuara dan itu pun masih dipersopan dengan menutupkan tangan di depan mulut. Akan tetapi gadis kang-ouw sikapnya lebih terbuka dan tidak malu-malu, lebih bebas sehingga bagi rakyat Cina yang pada masa itu masih berpendidikan kolot, gadis-gadis kang-ouw dianggap binal dan kasar.

Cun Giok yang sudah banyak bergaul dengan gadis-gadis kang-ouw yang bebas sekali seperti itu, misalnya dengan Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin puteri Bu-tek Sin-liong Cu Liong, datuk besar yang menjadi majikan Bukit Merak, lalu dengan Tan Li Hong, murid Ban-tok Kuibo Gak Li, datuk wanita yang menjadi majikan Pulau Ular, tentu saja tidak merasa heran melihat sikap sepasang gadis kembar ini. Hanya Liu Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, puteri mendiang pendekar besar Liu Bok Eng, biarpun memiliki kepandaian tinggi dan sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, sikapnya tetap halus lembut dan sopan, bukan dibuat-buat karena memang watak dasarnya demikian. Liu Ceng Ceng adalah seorang gadis yang lembut lahir batinnya, bukan hanya lembut sikapnya, melainkan juga amat lembut hatinya.

“Hi-hi-hik, Enci Lan. Lihat muka pemuda ini kemerahan. Agaknya dia seorang berasal dari dusun yang malu-malu!”

“Adik Lin, belum tentu orang dusun itu malu-malu! Buktinya kita ini orang dusun, bahkan orang gunung, tidak malu-malu!” kata gadis kedua.

“Aih, dia tampan juga, Enci Lan!” kata gadis yang disebut Adik Lin sambil tersenyum.

Di sini Cun Giok mulai melihat perbedaan antara kedua orang gadis itu. Gadis pertama yang disebut Enci Lan wajahnya lebih serius dan sejak tadi belum pernah tersenyum, sedangkan yang disebut Adik Lin selalu tersenyum dan dia menduga bahwa yang tadi tertawa cekikikan tentulah gadis kembar yang menjadi adik ini walaupun di antara mereka tidak ada yang tampak lebih tua atau lebih muda.

“Kui Lin, jangan bicara sembarangan! Kita belum tahu dia ini orang macam apa!” Gadis yang jarang tersenyum itu berkata dengan suara keren. Kedua orang gadis itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, seolah ingin mengetahui keadaan Cun Giok yang sebenarnya.

Setelah keduanya bersikap serius, tidak tampak senyum di bibir Sang Adik, Cun Giok tertegun. Sungguh tidak ada perbedaan sedikitpun juga di antara mereka berdua kalau senyum itu menghilang dari wajah Sang Adik! Akan tetapi dia masih dapat membedakan karena seorang di antara mereka mempunyai dua buah pedang tergantung di punggungnya dan sebuah di antaranya adalah Kim-kong-kiam miliknya. Tentu yang membawa pedang itu Sang Enci karena mereka tadi mengatakan bahwa dia harus menandingi ilmu silat tangan kosong Sang Adik dan ilmu pedang Sang Enci!

cerita silat online karya kho ping hoo

Tiba-tiba wajah Cun Giok berseri. Dia menemukan lagi tanda yang dapat membedakan antara mereka berdua. Biarpun senyum Sang Adik sudah menghilang dan wajahnya serius seperti wajah encinya, namun pada sinar matanya masih tampak kelincahannya yang nakal! Mata itu lebih hidup, penuh gairah dan selalu terdapat senyum di sana! Dia kini akan dapat mengenal dan membedakan mereka dengan mudah, hanya dengan melihat mata dan sinar mata mereka. Cun Giok mengangkat kedua tangan ke depan dada untuk memberi hormat.

“Ji-wi Siocia (Nona Berdua), di antara kita tidak pernah terdapat hubungan persahabatan, apalagi permusuhan, akan tetapi mengapa kalian menggangguku?”

Sang Enci yang bernama Lan itu menjawab dengan alis berkerut. “Hemm, siapa yang mengganggu? Jangan memutar balikkan kenyataan! Engkaulah yang mengganggu kami dan kalau Adikku menyembunyikan pakaianmu itu hanya untuk memberi peringatan kepadamu!”

Kini Cun Giok yang mengerutkan alisnya. “Eh, Nona, apa sih yang kalian maksudkan? Aku mandi dalam sungai, tidak memikirkan kalian, tidak bicara apa-apa atau melakukan sesuatu kepada kalian, bagaimana kini dituduh mengganggu? Gangguan apa yang telah kulakukan terhadap kalian berdua?”

Kini Sang Adik yang dipanggil Lin itu yang menjawab. Suaranya lantang dan sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia berkata. “Huh, berlagak bodoh, ya? Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu, ya? Hanya pengecut yang tidak mengakui kesalahannya dan tidak bertanggung jawab terhadap perbuatannya!”

“Eh-eh! Nona-nona ini menuduh seenaknya saja. Aku belum pernah bertemu dengan kalian, bagaimana mungkin mengganggu kalian? Apakah gangguan itu kulakukan dalam penjelmaanku dahulu? Jelaskanlah dan jangan membuat aku penasaran dengan fitnah!”

“Hemm, engkau belum merasa bersalah?” kata Kui Lan dengan sinar mata mencorong. “Sekarang aku hendak bertanya, kalau ada seorang asing memasuki rumahmu, berbuat sesukanya dengan tidak sopan, tidak tahu malu dan melanggar kesusilaan, apa yang akan kau lakukan terhadap orang itu?”

“Aku tidak mempunyai rumah,” kata Cun Giok, “akan tetapi andaikata aku mempunyai rumah dan orang yang berbuat seperti itu, tentu aku akan menghajar si kurang ajar itu.”

“Nah, engkaulah si kurang ajar itu! Tempat ini termasuk wilayah kami, air sungai yang mengalir di sini juga termasuk milik kami, tempat di mana kami biasanya mandi. Sekarang, tanpa minta ijin, tanpa permisi dulu, engkau mandi begitu saja di sini, bertelanjang bulat pula! Apakah itu bukan kurang ajar namanya?” kata Kui Lin.

Cun Giok tertegun dan baru dia tahu mengapa dua orang gadis ini marah-marah kepadanya! “Ah, kiranya begitu duduknya perkara. Kalau begitu, aku mengaku bersalah, Nona-nona. Akan tetapi karena pelanggaran itu kulakukan tanpa sengaja dan di luar pengetahuanku, maka kuharap kalian berdua suka memaafkan aku.” Dia kembali mengangkat kedua tangan ke depan dada.

“Enak saja minta maaf!” Kui Lin berkata sambil tersenyum mengejek. “Tadi engkau sudah berjanji bahwa engkau akan melawan ilmu silat tangan kosong dariku, dan ilmu pedang dari Enci Lan. Hayo bersiaplah untuk menandingi aku!”

Setelah berkata demikian, Kui Lin dengan gesitnya telah melompat ke depan Cun Giok dan memasang kuda-kuda yang lucu dan gagah. Kaki kanannya diangkat menempel di betis kaki kiri, tubuhnya tegak dan kedua lengannya dipentang lurus ke kanan kiri dengan kedua tangan menunjuk ke atas, kepalanya agak menoleh ke kiri dan matanya melirik ke kanan memandang Cun Giok.

Pemuda itu mengenal kuda-kuda yang disebut Pek-ho-tian-ci (Bangau Putih Pentang Sayap) itu, akan tetapi dilakukan dengan cara yang kocak, dengan kepala menoleh dan mata mengerling tajam. Lucu dan lincah sekali gadis ini. Cun Giok masih berdiri biasa saja, dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya, sama sekali tidak membuat pasangan kuda-kuda seperti biasanya orang bersilat.

Setelah menanti beberapa lamanya, Kui Lin menjadi kesal melihat lawannya diam saja, tidak segera memasang kuda-kuda. Kalau dibiarkan begini, kakinya bisa pegal sendiri! “Hayo cepat mulai!” bentaknya dan kerling matanya makin tajam.

“Mulai apa, Nona?” tanya Cun Giok.

Gadis itu menurunkan kaki kanannya dan kedua lengannya, lalu membanting kaki beberapa kali dan mukanya merah karena marah. Susah-susah memasang kuda-kuda sejak tadi sampai kakinya pegal dan matanya pedas, eh, pemuda itu malah bertanya mau mulai apa!

“Mulai apa! Mulai apa! Ya mulai memasang kuda-kuda, siap bertanding!” katanya gemas, mulutnya cemberut.

“Lho! Sejak tadi saya sudah siap, Nona.”

“Mana siap? kuda-kuda kok begitu?”

“Memang begini kuda-kudaku, akan tetapi aku sudah siap!”

“Kalau sudah siap, mulailah menyerang!” tantang Kui Lin sambil memasang kuda-kudanya lagi, seperti tadi.

“Engkau yang menantang, Nona, sudah semestinya engkau pula yang mulai menyerang!”

“Hoho! Engkau mau menipuku, ya? Kau kira aku tidak tahu bahwa menyerang lebih dulu berarti membuka pula dirinya untuk diserang balik! Akan tetapi aku tidak takut. Nah, terimalah!”

Dengan gerakan cepat sekali gadis itu menyerang, kedua lengan yang dipentang itu kini menyambar dari kanan kiri. Itulah pembukaan dari jurus Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Mematuk Ikan), kedua tangan itu membentuk paruh burung dan menotok ke arah kedua telinga Cun Giok. Serangan ini cukup ampuh dan berbahaya, akan tetapi dengan menarik tubuh atas ke belakang, Cun Giok dapat menghindarkan kedua telinganya dipatuk tangan tangan mungil itu. Dari sambaran angin pukulan itu, tahulah Cun Giok bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan karena memiliki sin-kang yang cukup kuat!

Melihat patukan kedua tangannya luput, gadis itu melanjutkan jurusnya dengan tendangan kaki dengan tubuh melayang, seolah seekor bangau mengejar buruannya setelah patukannya luput. Tendangan sambil melayang itu pun berbahaya sekali. Akan tetapi dengan tenang Cun Giok menggunakan kedua lengannya untuk menangkis. Akan tetapi dia mengerahkan sin-kang lunak sehingga ketika kedua kaki gadis itu bertemu dengan kedua lengan Cun Giok, Kui Lin merasa seperti kakinya bertemu dengan karet yang lentur dan kuat sehingga begitu tertangkis, tubuh gadis itu terpental ke belakang! Akan tetapi dengan amat lincahnya ia membuat pok-sai (salto) sampai lima kali sebelum kedua kakinya menginjak tanah dengan tegak!

Marahlah gadis itu. Sambil mengeluarkan seruan melengking ia maju menerjang lagi, mengirim serangan bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Akan tetapi Cun Giok memang tidak berniat menyakiti atau merobohkan lawan, maka dia hanya mengandalkan gin-kangnya yang istimewa untuk mengelak dan menghindarkan semua serangan gadis itu. Gadis itu menjadi semakin penasaran.

Ibu dan encinya selalu memujinya yang merupakan ahli ilmu silat tangan kosong dan sudah banyak jagoan di dunia kang-ouw dikalahkannya. Akan tetapi sekarang, menyerang seorang pemuda tak terkenal, walaupun ia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus simpanan sampai tiga puluh jurus lebih, belum juga ia mampu mengalahkan lawan ini. Jangankan mengalahkan atau merobohkan, bahkan semua pukulannya tidak ada yang menyentuh sasaran!

Saking penasaran, gadis itu lalu memainkan ilmu silat simpanannya yang jarang dimainkan karena ilmu ini berbahaya sekali bagi lawan dan dapat mematikan. Ilmu silatnya itu disebut Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Serbu Ratusan Golok) dan di dalamnya terkandung jurus-jurus pukulan mematikan seperti Pek-lek-jiu (Pukulan Tangan GeIedek), Cam-liong-jiu (Pukulan Membunuh Naga), Tok-ciang (Tangan Beracun) dan beberapa macam pukulan yang mengandung hawa beracun pula!

Cun Giok terkejut. Gadis ini sungguh tak boleh dipandang ringan karena tingkat kepandaiannya agaknya tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian Ceng Ceng, dan beberapa orang gadis lain yang pernah dijumpainya! Maka, dia pun cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai puncaknya sehingga tiba-tiba saja gadis itu berseru kaget karena ia kehilangan lawannya!

“Pengecut! Kalau berani jangan lari sembunyi, hayo balas serang aku!” Gadis itu berteriak-terlak dan ketika Cun Giok muncul pula di depannya, ia cepat menyerang lagi dengan lebih gencar!

Tubuh Cun Giok berkelebat lenyap dan tiba-tiba gadis itu berseru kaget karena ubun-ubun kepalanya disentuh orang! Kalau saja yang menyentuh itu berniat buruk, mengganti sentuhan dengan totokan atau pukulan, ia tentu sudah tewas seketika! Maka wajahnya berubah pucat lalu kemerahan ketika ia melompat ke belakang dan memandang Cun Giok yang sudah berdiri di depannya dengan mata terbelalak.

Cun Giok membungkuk, mengambil sesuatu dari atas tanah lalu bangkit berdiri dan menjulurkan tangannya kepada gadis itu dan berkata. “Maaf, Nona, hiasan rambutmu terjatuh!”

Wajah gadis itu semakin merah karena tadi ia melihat bahwa pemuda itu hanya berpura-pura mengambil hiasan rambutnya dari atas tanah karena sebetulnya hiasan rambutnya itu sudah berada di tangan pemuda itu yang tentu tadi telah merampasnya dari rambutnya. Tanpa bicara sesuatu ia menjulurkan tangan memenerima hiasan rambut itu dari Cun Giok dan memasangnya kembali ke atas kepalanya.

Gadis pertama yang bernama Lan kini maju. Ia melepaskan pedang Kim-kong-kiam berikut sarungnya yang ia ikatkan di punggungnya lalu melemparkan kepada Cun Giok. Pemuda itu menerima pedangnya dan dia mulai merasa kagum karena dengan mengembalikan pedangnya membuktikan bahwa gadis-gadis ini tidak mempunyai niat jahat kepadanya.

“Sobat, ilmu silat tangan kosong yang engkau perlihatkan tadi sungguh lihai. Engkau sudah mengalahkan Adikku dalam ilmu silat tangan kosong. Sekarang coba kau tandingi ilmu pedangku!”

Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut pedangnya dan tampak sinar hitam berkelebat ketika pedang itu dicabutnya...

Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 05

05. KENAKALAN DUA GADIS KEMBAR!

PERNAH gadis itu mengatakan bahwa dendam dapat menimbulkan perilaku yang kejam sekali. Seperti yang dia lakukan terhadap Kim Magu dan Kui Con? Ceng Ceng pernah berkata kepadanya bahwa dendam merupakan racun dalam hati, merupakan ulah nafsu pementingan diri yang berbahaya karena kalau kita diperbudak oleh dendam, kita dapat melakukan hal-hal yang tidak kalah jahatnya dengan apa yang dilakukan orang kepada siapa kita mendendam.

Benarkah bahwa dia terlalu kejam? Dipengaruhi nafsu mendendam? Dia mengerutkan alisnya dan seolah mendengar pula suara lembut Ceng Ceng bahwa menuruti dendam dan balas membalas berarti menyambung terus rantai Karma yang melibat diri tiada hentinya. Balas dendam yang dia lakukan itu akan menimbulkan dendam lain di pihak Kim Magu dan Kui Con! Mereka pasti menaruh dendam dan akan berusaha untuk membalas dendam mereka kepadanya! Dia telah menanam bibit dendam yang akan membuahkan dendam lain lagi.

Cun Giok menghela napas panjang dan teringat kembali kepada Siok Eng sehingga wajah di permukaan air itu berubah menjadi wajah Siok Eng kembali. Wajah yang seolah memandang kepadanya penuh penantian, wajah yang menimbulkan rasa sedih dan haru.

“Tidak, Eng-moi, aku tidak menyesal. Aku melakukan semua itu untuk membalas apa yang mereka lakukan terhadap dirimu, Ayahmu, Encimu, dan Cihumu (Kakak Iparmu). Aku akan menanggung semua akibatnya. Hanya itulah yang dapat kulakukan untuk menebus kesalahanku mengabaikanmu selama ini, Eng-moi, kulakukan untuk membuat arwahmu tenang, isteriku.”

Dia mengamati tusuk sanggul perak ditangannya dan teringat bahwa Siok Eng sudah tidak ada lagi, hampir dia membuang tusuk sanggul itu ke air sungai. Tanda perjodohan itu hanya akan mengingatkan dia akan Siok Eng dan mendatangkan kesedihan dan penyesalan. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan wajah Ceng Ceng yang seolah menegurnya.

“Giok-ko, bukan watak seorang gagah untuk membiarkan dirinya terlalu lama tenggelam ke dalam kesedihan. Segala hal yang telah terjadi tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi, namun dapat menjadi contoh yang menambah kesadaran kita akan yang salah dan yang benar.”

Seolah ucapan gadis itu terngiang di telinganya dan Cun Giok bangkit dari kesedihannya. Ceng Ceng benar! Tak perlu terbenam ke dalam kesedihan. Betapa sering dia membiarkan dirinya hanyut dalam duka. Pertama ketika dahulu dia kehilangan adik misannya, Lu Siang Ni yang membunuh diri di depannya tanpa dia dapat menghalanginya. Sekarang dia pun hanyut dalam kesedihan dan penyesalan karena kematian Siok Eng dan keluarganya. Tidak, dia tidak boleh hanyut dalam kesedihan. Yang sudah terjadi biarlah terjadi. Kalau ada akibatnya kelak, akan dia hadapi dengan gagah dan penuh tanggung jawab. Dia mencium tusuk sanggul perak itu dan menyimpannya kembali.

“Eng-moi, biarpun engkau sudah meninggal, namun tusuk sanggulmu ini akan selalu kusimpan dan tidak akan terpisah dariku sampai hayat meninggalkan badanku.”

Setelah berkata demikian, Cun Giok menjadi tenang kembali dan tidak ada lagi kesedihan atau penyesalan mengganggunya dan tidak ada lagi bayangan Siok Eng atau Ceng Ceng tampak. Tiba-tiba dia merasa lesu dan tidak nyaman. Dia lalu melihat keadaan sekelilingnya dan setelah merasa yakin bahwa tempat itu sunyi, tidak tampak ada orang lain dan juga tidak ada tanda-tanda tempat itu dekat dengan rumah orang, dia lalu menanggalkan pakaian dan masuk ke dalam air sungai yang jernih. Bukan main segar rasanya ketika tubuhnya terendam dalam air itu. Bukan hanya badan terasa segar, juga pikiran menjadi terang seolah air jernih itu telah membawa hanyut semua masalah yang memenuhi benaknya.

Saking segarnya mandi dalam air sungai yang jernih itu, pendengaran Cun Giok terganggu percikan air sehingga dia tidak mendengar sedikit suara tak wajar yang terdengar tak jauh dari situ. Akan tetapi kemudian suara tawa cekikikan membuat dia terkejut dan cepat menoleh ke tepi sungai. Alangkah kagetnya ketika dia melihat bahwa pakaiannya yang tadi ditanggalkan dan ditaruh di atas batu, telah lenyap. Juga buntalan pakaiannya, di mana terdapat pula pedang Kim-kong-kiam, juga tidak tampak!

Celaka, pikirnya. Semua pakaiannya dicuri orang, padahal dia mandi dalam keadaan telanjang bulat! Bagaimana dia dapat keluar dari dalam air dalam keadaan seperti itu? Dia memandang ke sana-sini, akan tetapi dia tidak melihat orang yang mencuri pakaiannya. Dia teringat akan suara tawa cekikikan itu. Seperti suara tawa wanita! Maka dia menduga bahwa tentu ada orang bersembunyi di balik batu-batu besar di tepi sungai itu. Dia lalu mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) ke dalam suaranya dan berseru,

“Nona yang mencuri pakaianku! Bagaimana engkau tidak tahu malu mencuri pakaianku? Kembalikan pakaianku!”

Kembali terdengar suara tawa cekikikan seperti tadi dan dari suara itu Cun Giok dapat menduga bahwa di balik batu-batu besar di tepi sungai itu tentu ada dua orang wanita yang bersembunyi dan menertawakannya.

“Hi-hi-hik, ambil saja sendiri pakaianmu ke sini!”

Cun Giok menjadi malu dan mendongkol. Sungguh nakal dan kurang ajar sekali gadis atau wanita itu. Dia menduga bahwa pencurinya tentulah seorang gadis, suara tawanya menunjukkan bahwa ia tentu masih muda. Gadis-gadis yang nakal sekali. Kalau dia membujuk terus, mungkin saja mereka itu akan makin menggodanya. Maka dia lalu mendapatkan akal.

“Baiklah, kalau begitu aku akan datang kepada kalian dalam keadaan seperti ini. Telanjang bulat!!” Cun Giok menjadi merah mukanya ketika mengucapkan ini, akan tetapi karena itu cara satu-satunya untuk menghadapi gadis-gadis nakal itu, dia memberanikan diri dan melangkah hendak naik ke sungai!

“Hi-hi-hik! Jangan! Jangan ke sini, kau laki-laki tidak sopan, kurang ajar dan tidak tahu malu!” terdengar mereka cekikikan lagi. Hati Cun Giok menjadi semakin panas.

“Siapa yang tidak sopan, kurang ajar dan tidak tahu malu? Kalian berdua yang mencuri pakaianku! Hayo kembalikan, kalau tidak aku akan nekat menemui kalian dalam keadaan telanjang bulat!”

“Nanti dulu!” terdengar suara seorang gadis lain. “Kami melihat sebatang pedang yang baik sekali dalam buntalan pakaianmu. Nah, berjanjilah dulu bahwa engkau akan menandingi ilmu silat tangan kosong melawan Adikku, kemudian engkau menandingi ilmu silat pedangku. Kalau engkau mau berjanji, baru aku akan melemparkan pakaian ini kepadamu!”

Kurang ajar. Gadis-gadis itu sungguh nakal sekali dan juga berani menantangnya. Dia pasti akan menghajar mereka untuk kekurangajaran itu. “Baik, aku berjanji bahwa kalau kalian mengembalikan pakaianku aku akan menandingimu berkelahi sampai seribu jurus!”

Kembali terdengar suara cekikikan dan tiba-tiba buntalan pakaian berikut pakaian yang tadi ditanggalkan Cun Giok dan ditaruh di atas batu, meluncur ke arahnya dengan luncuran kuat dan cepat sekali!

Cun Giok cepat menangkap pakaiannya dan buntalan pakaiannya, dan ketika dia menangkap buntalan itu, dia dapat merasakan betapa kuatnya tenaga lontaran itu, juga merasa bahwa pedangnya sudah tidak berada dalam buntalan itu lagi. “Heii! Kalian mencuri pedangku! Hayo kembalikan!” teriaknya marah, lalu dia cepat mengenakan pakaiannya sambil bersembunyi di balik batu.

Kembali dua orang gadis itu cekikikan. “Enak saja. Kalau sudah kami kembalikan engkau lalu melarikan diri, ya? Tidak akan kami kembalikan sebelum engkau memenuhi janjimu untuk bertanding melawan kami.”

Cun Giok cepat membereskan rambutnya yang basah kuyup, mengikatnya dengan pita biru, kemudian sambil menggendong buntalan pakaiannya dia melompat ke arah batu besar di balik mana dua orang gadis itu bersembunyi. Dua sosok bayangan hitam berkelebat keluar dari balik batu besar dan Cun Giok berhadapan dengan dua orang gadis. Dia berdiri tercengang dan terheran-heran menatap wajah dua orang gadis itu. Mereka benar-benar cantik jelita dan dengan pakaian mereka yang serba hitam itu, kulit tangan, muka dan leher mereka tampak amat putih mulus seperti salju! Yang membuat Cun Giok memandang tercengang bukan sekadar kecantikan mereka karena dia pernah bertemu dengan gadis-gadis cantik seperti Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, Pek-hwa Sianli, dan Tan Li Hong yang ketiganya juga cantik jelita.

Akan tetapi sekali ini dia benar-benar tercengang dan kagum karena melihat betapa dua orang gadis itu sama benar, seperti pinang dibelah dua. Sanggul rambutnya sama, disanggul ke atas dan dihias burung Hong dari emas. Pakaiannya yang dari sutera hitam itu pun serupa, bentuk tubuh mereka juga sama tinggi semampai dan ramping, dan wajah itu! Tak mungkin agaknya membedakan antara satu dengan yang lain karena wajah itu persis sama, seperti seorang gadis dan bayangannya di cermin! Gadis kembar, pikirnya dan dia menduga-duga siapa yang kakak dan siapa pula yang adik dan harus mengakui bahwa dia tidak dapat menduganya!

Dua orang gadis itu melihat wajah Cun Giok yang keheranan, lalu tertawa cekikikan, mereka tertawa tanpa menutupi mulut, menunjukkan bahwa sepasang gadis kembar ini adalah gadis-gadis yang biasa dengan kehidupan di dunia kang-ouw di mana para wanitanya tidak terlalu keras terikat oleh adat istiadat kuno. Gadis-gadis pingitan selalu bersikap sopan, tidak banyak bicara, gerak-geriknya halus dan diatur, kalau tertawa tidak bersuara dan itu pun masih dipersopan dengan menutupkan tangan di depan mulut. Akan tetapi gadis kang-ouw sikapnya lebih terbuka dan tidak malu-malu, lebih bebas sehingga bagi rakyat Cina yang pada masa itu masih berpendidikan kolot, gadis-gadis kang-ouw dianggap binal dan kasar.

Cun Giok yang sudah banyak bergaul dengan gadis-gadis kang-ouw yang bebas sekali seperti itu, misalnya dengan Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin puteri Bu-tek Sin-liong Cu Liong, datuk besar yang menjadi majikan Bukit Merak, lalu dengan Tan Li Hong, murid Ban-tok Kuibo Gak Li, datuk wanita yang menjadi majikan Pulau Ular, tentu saja tidak merasa heran melihat sikap sepasang gadis kembar ini. Hanya Liu Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, puteri mendiang pendekar besar Liu Bok Eng, biarpun memiliki kepandaian tinggi dan sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, sikapnya tetap halus lembut dan sopan, bukan dibuat-buat karena memang watak dasarnya demikian. Liu Ceng Ceng adalah seorang gadis yang lembut lahir batinnya, bukan hanya lembut sikapnya, melainkan juga amat lembut hatinya.

“Hi-hi-hik, Enci Lan. Lihat muka pemuda ini kemerahan. Agaknya dia seorang berasal dari dusun yang malu-malu!”

“Adik Lin, belum tentu orang dusun itu malu-malu! Buktinya kita ini orang dusun, bahkan orang gunung, tidak malu-malu!” kata gadis kedua.

“Aih, dia tampan juga, Enci Lan!” kata gadis yang disebut Adik Lin sambil tersenyum.

Di sini Cun Giok mulai melihat perbedaan antara kedua orang gadis itu. Gadis pertama yang disebut Enci Lan wajahnya lebih serius dan sejak tadi belum pernah tersenyum, sedangkan yang disebut Adik Lin selalu tersenyum dan dia menduga bahwa yang tadi tertawa cekikikan tentulah gadis kembar yang menjadi adik ini walaupun di antara mereka tidak ada yang tampak lebih tua atau lebih muda.

“Kui Lin, jangan bicara sembarangan! Kita belum tahu dia ini orang macam apa!” Gadis yang jarang tersenyum itu berkata dengan suara keren. Kedua orang gadis itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, seolah ingin mengetahui keadaan Cun Giok yang sebenarnya.

Setelah keduanya bersikap serius, tidak tampak senyum di bibir Sang Adik, Cun Giok tertegun. Sungguh tidak ada perbedaan sedikitpun juga di antara mereka berdua kalau senyum itu menghilang dari wajah Sang Adik! Akan tetapi dia masih dapat membedakan karena seorang di antara mereka mempunyai dua buah pedang tergantung di punggungnya dan sebuah di antaranya adalah Kim-kong-kiam miliknya. Tentu yang membawa pedang itu Sang Enci karena mereka tadi mengatakan bahwa dia harus menandingi ilmu silat tangan kosong Sang Adik dan ilmu pedang Sang Enci!

cerita silat online karya kho ping hoo

Tiba-tiba wajah Cun Giok berseri. Dia menemukan lagi tanda yang dapat membedakan antara mereka berdua. Biarpun senyum Sang Adik sudah menghilang dan wajahnya serius seperti wajah encinya, namun pada sinar matanya masih tampak kelincahannya yang nakal! Mata itu lebih hidup, penuh gairah dan selalu terdapat senyum di sana! Dia kini akan dapat mengenal dan membedakan mereka dengan mudah, hanya dengan melihat mata dan sinar mata mereka. Cun Giok mengangkat kedua tangan ke depan dada untuk memberi hormat.

“Ji-wi Siocia (Nona Berdua), di antara kita tidak pernah terdapat hubungan persahabatan, apalagi permusuhan, akan tetapi mengapa kalian menggangguku?”

Sang Enci yang bernama Lan itu menjawab dengan alis berkerut. “Hemm, siapa yang mengganggu? Jangan memutar balikkan kenyataan! Engkaulah yang mengganggu kami dan kalau Adikku menyembunyikan pakaianmu itu hanya untuk memberi peringatan kepadamu!”

Kini Cun Giok yang mengerutkan alisnya. “Eh, Nona, apa sih yang kalian maksudkan? Aku mandi dalam sungai, tidak memikirkan kalian, tidak bicara apa-apa atau melakukan sesuatu kepada kalian, bagaimana kini dituduh mengganggu? Gangguan apa yang telah kulakukan terhadap kalian berdua?”

Kini Sang Adik yang dipanggil Lin itu yang menjawab. Suaranya lantang dan sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia berkata. “Huh, berlagak bodoh, ya? Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu, ya? Hanya pengecut yang tidak mengakui kesalahannya dan tidak bertanggung jawab terhadap perbuatannya!”

“Eh-eh! Nona-nona ini menuduh seenaknya saja. Aku belum pernah bertemu dengan kalian, bagaimana mungkin mengganggu kalian? Apakah gangguan itu kulakukan dalam penjelmaanku dahulu? Jelaskanlah dan jangan membuat aku penasaran dengan fitnah!”

“Hemm, engkau belum merasa bersalah?” kata Kui Lan dengan sinar mata mencorong. “Sekarang aku hendak bertanya, kalau ada seorang asing memasuki rumahmu, berbuat sesukanya dengan tidak sopan, tidak tahu malu dan melanggar kesusilaan, apa yang akan kau lakukan terhadap orang itu?”

“Aku tidak mempunyai rumah,” kata Cun Giok, “akan tetapi andaikata aku mempunyai rumah dan orang yang berbuat seperti itu, tentu aku akan menghajar si kurang ajar itu.”

“Nah, engkaulah si kurang ajar itu! Tempat ini termasuk wilayah kami, air sungai yang mengalir di sini juga termasuk milik kami, tempat di mana kami biasanya mandi. Sekarang, tanpa minta ijin, tanpa permisi dulu, engkau mandi begitu saja di sini, bertelanjang bulat pula! Apakah itu bukan kurang ajar namanya?” kata Kui Lin.

Cun Giok tertegun dan baru dia tahu mengapa dua orang gadis ini marah-marah kepadanya! “Ah, kiranya begitu duduknya perkara. Kalau begitu, aku mengaku bersalah, Nona-nona. Akan tetapi karena pelanggaran itu kulakukan tanpa sengaja dan di luar pengetahuanku, maka kuharap kalian berdua suka memaafkan aku.” Dia kembali mengangkat kedua tangan ke depan dada.

“Enak saja minta maaf!” Kui Lin berkata sambil tersenyum mengejek. “Tadi engkau sudah berjanji bahwa engkau akan melawan ilmu silat tangan kosong dariku, dan ilmu pedang dari Enci Lan. Hayo bersiaplah untuk menandingi aku!”

Setelah berkata demikian, Kui Lin dengan gesitnya telah melompat ke depan Cun Giok dan memasang kuda-kuda yang lucu dan gagah. Kaki kanannya diangkat menempel di betis kaki kiri, tubuhnya tegak dan kedua lengannya dipentang lurus ke kanan kiri dengan kedua tangan menunjuk ke atas, kepalanya agak menoleh ke kiri dan matanya melirik ke kanan memandang Cun Giok.

Pemuda itu mengenal kuda-kuda yang disebut Pek-ho-tian-ci (Bangau Putih Pentang Sayap) itu, akan tetapi dilakukan dengan cara yang kocak, dengan kepala menoleh dan mata mengerling tajam. Lucu dan lincah sekali gadis ini. Cun Giok masih berdiri biasa saja, dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya, sama sekali tidak membuat pasangan kuda-kuda seperti biasanya orang bersilat.

Setelah menanti beberapa lamanya, Kui Lin menjadi kesal melihat lawannya diam saja, tidak segera memasang kuda-kuda. Kalau dibiarkan begini, kakinya bisa pegal sendiri! “Hayo cepat mulai!” bentaknya dan kerling matanya makin tajam.

“Mulai apa, Nona?” tanya Cun Giok.

Gadis itu menurunkan kaki kanannya dan kedua lengannya, lalu membanting kaki beberapa kali dan mukanya merah karena marah. Susah-susah memasang kuda-kuda sejak tadi sampai kakinya pegal dan matanya pedas, eh, pemuda itu malah bertanya mau mulai apa!

“Mulai apa! Mulai apa! Ya mulai memasang kuda-kuda, siap bertanding!” katanya gemas, mulutnya cemberut.

“Lho! Sejak tadi saya sudah siap, Nona.”

“Mana siap? kuda-kuda kok begitu?”

“Memang begini kuda-kudaku, akan tetapi aku sudah siap!”

“Kalau sudah siap, mulailah menyerang!” tantang Kui Lin sambil memasang kuda-kudanya lagi, seperti tadi.

“Engkau yang menantang, Nona, sudah semestinya engkau pula yang mulai menyerang!”

“Hoho! Engkau mau menipuku, ya? Kau kira aku tidak tahu bahwa menyerang lebih dulu berarti membuka pula dirinya untuk diserang balik! Akan tetapi aku tidak takut. Nah, terimalah!”

Dengan gerakan cepat sekali gadis itu menyerang, kedua lengan yang dipentang itu kini menyambar dari kanan kiri. Itulah pembukaan dari jurus Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Mematuk Ikan), kedua tangan itu membentuk paruh burung dan menotok ke arah kedua telinga Cun Giok. Serangan ini cukup ampuh dan berbahaya, akan tetapi dengan menarik tubuh atas ke belakang, Cun Giok dapat menghindarkan kedua telinganya dipatuk tangan tangan mungil itu. Dari sambaran angin pukulan itu, tahulah Cun Giok bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan karena memiliki sin-kang yang cukup kuat!

Melihat patukan kedua tangannya luput, gadis itu melanjutkan jurusnya dengan tendangan kaki dengan tubuh melayang, seolah seekor bangau mengejar buruannya setelah patukannya luput. Tendangan sambil melayang itu pun berbahaya sekali. Akan tetapi dengan tenang Cun Giok menggunakan kedua lengannya untuk menangkis. Akan tetapi dia mengerahkan sin-kang lunak sehingga ketika kedua kaki gadis itu bertemu dengan kedua lengan Cun Giok, Kui Lin merasa seperti kakinya bertemu dengan karet yang lentur dan kuat sehingga begitu tertangkis, tubuh gadis itu terpental ke belakang! Akan tetapi dengan amat lincahnya ia membuat pok-sai (salto) sampai lima kali sebelum kedua kakinya menginjak tanah dengan tegak!

Marahlah gadis itu. Sambil mengeluarkan seruan melengking ia maju menerjang lagi, mengirim serangan bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Akan tetapi Cun Giok memang tidak berniat menyakiti atau merobohkan lawan, maka dia hanya mengandalkan gin-kangnya yang istimewa untuk mengelak dan menghindarkan semua serangan gadis itu. Gadis itu menjadi semakin penasaran.

Ibu dan encinya selalu memujinya yang merupakan ahli ilmu silat tangan kosong dan sudah banyak jagoan di dunia kang-ouw dikalahkannya. Akan tetapi sekarang, menyerang seorang pemuda tak terkenal, walaupun ia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus simpanan sampai tiga puluh jurus lebih, belum juga ia mampu mengalahkan lawan ini. Jangankan mengalahkan atau merobohkan, bahkan semua pukulannya tidak ada yang menyentuh sasaran!

Saking penasaran, gadis itu lalu memainkan ilmu silat simpanannya yang jarang dimainkan karena ilmu ini berbahaya sekali bagi lawan dan dapat mematikan. Ilmu silatnya itu disebut Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Serbu Ratusan Golok) dan di dalamnya terkandung jurus-jurus pukulan mematikan seperti Pek-lek-jiu (Pukulan Tangan GeIedek), Cam-liong-jiu (Pukulan Membunuh Naga), Tok-ciang (Tangan Beracun) dan beberapa macam pukulan yang mengandung hawa beracun pula!

Cun Giok terkejut. Gadis ini sungguh tak boleh dipandang ringan karena tingkat kepandaiannya agaknya tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian Ceng Ceng, dan beberapa orang gadis lain yang pernah dijumpainya! Maka, dia pun cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai puncaknya sehingga tiba-tiba saja gadis itu berseru kaget karena ia kehilangan lawannya!

“Pengecut! Kalau berani jangan lari sembunyi, hayo balas serang aku!” Gadis itu berteriak-terlak dan ketika Cun Giok muncul pula di depannya, ia cepat menyerang lagi dengan lebih gencar!

Tubuh Cun Giok berkelebat lenyap dan tiba-tiba gadis itu berseru kaget karena ubun-ubun kepalanya disentuh orang! Kalau saja yang menyentuh itu berniat buruk, mengganti sentuhan dengan totokan atau pukulan, ia tentu sudah tewas seketika! Maka wajahnya berubah pucat lalu kemerahan ketika ia melompat ke belakang dan memandang Cun Giok yang sudah berdiri di depannya dengan mata terbelalak.

Cun Giok membungkuk, mengambil sesuatu dari atas tanah lalu bangkit berdiri dan menjulurkan tangannya kepada gadis itu dan berkata. “Maaf, Nona, hiasan rambutmu terjatuh!”

Wajah gadis itu semakin merah karena tadi ia melihat bahwa pemuda itu hanya berpura-pura mengambil hiasan rambutnya dari atas tanah karena sebetulnya hiasan rambutnya itu sudah berada di tangan pemuda itu yang tentu tadi telah merampasnya dari rambutnya. Tanpa bicara sesuatu ia menjulurkan tangan memenerima hiasan rambut itu dari Cun Giok dan memasangnya kembali ke atas kepalanya.

Gadis pertama yang bernama Lan kini maju. Ia melepaskan pedang Kim-kong-kiam berikut sarungnya yang ia ikatkan di punggungnya lalu melemparkan kepada Cun Giok. Pemuda itu menerima pedangnya dan dia mulai merasa kagum karena dengan mengembalikan pedangnya membuktikan bahwa gadis-gadis ini tidak mempunyai niat jahat kepadanya.

“Sobat, ilmu silat tangan kosong yang engkau perlihatkan tadi sungguh lihai. Engkau sudah mengalahkan Adikku dalam ilmu silat tangan kosong. Sekarang coba kau tandingi ilmu pedangku!”

Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut pedangnya dan tampak sinar hitam berkelebat ketika pedang itu dicabutnya...