Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 33 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

33: JEBAKAN MAUT PULAU COA TO

“Ah, agaknya Nona belum mendengar tentang pulau itu. Baru mendekat saja, perahu akan dapat pecah terdampar karena pulau itu dikelilingi batu-batu karang yang bersembunyi di bawah permukaan air, setiap saat siap untuk memecahkan perahu yang lewat di atasnya. Hanya orang Pulau Ular saja yang mampu mengemudikan perahu mencari permukaan air yang aman. Bahkan andaikata berhasil melewati batu-batu karang itu, di perairan antara batu-batu karang yang mengelilingi pulau itu, terdapat ratusan ekor ikan hiu yang amat ganas. Nah, hanya itu yang kudengar, namun kabarnya keadaan di pulau itu sendiri jauh lebih berbahaya daripada ancaman di air sekeliling pulau.”

“Sudahlah, Nona, daripada mencari mati di sana, mari kita bersenang-senang. Engkau berlayar dengan aku di perahuku, pasti senang. Akan tetapi kawanmu itu tidak boleh ikut. Hanya engkau sendiri dengan aku. Marilah!”

Setelah berkata demikian, nelayan muda yang tinggi besar itu menangkap pergelangan tangan kiri Ceng Ceng dan ditariknya, akan tetapi gadis itu cepat mengelak dan melangkah mundur.

Cun Giok melangkah maju dan Ceng Ceng memperingatkan. “Giok-ko, jangan terlalu keras terhadap orang kasar dan bodoh ini!”

Cun Giok mengangguk dan menghadapi orang tinggi besar yang kasar itu. “Sobat, mulutmu mengeluarkan kata-kata tidak sopan. Hayo engkau minta maaf kepada Nona ini!”

“Minta maaf? Ha-ha-ha, aku berkata benar. Nona manis ini lebih pantas menjadi isteriku karena aku masih belum menikah. Aku dapat melindunginya, tidak seperti engkau yang kecil lemah. Mari, Nona, mari bersenang-senang dan jangan pedulikan pemuda lemah seperti kelenci ini!”

Tanpa mempedulikan Cun Giok, laki-laki itu menjulurkan lengannya yang panjang hendak menangkap lengan Ceng Ceng. Akan tetapi Cun Giok menghalanginya. Orang itu marah dan melayangkan tangan kanannya yang panjang dan besar ke arah muka Cun Giok. Akan tetapi Cun Giok mengelak dan berkata,

“Mulutmu yang kurang ajar patut dihajar!” Tangan kirinya menyambar dan menampar.

“Plakk!” Laki-laki tinggi besar itu mengaduh dan terhuyung ke belakang, meraba-raba mulutnya yang berdarah karena bibirnya pecah terkena tamparan Cun Giok. Dia menjadi marah sekali dan kini dia menerjang dan memukul dengan membabi-buta.

“Tanganmu jahat, patut dihajar!” kata Cun Giok sambil menangkis dan terdengar suara tulang patah ketika lengan yang besar itu bertemu dengan lengan Cun Giok.

“Aduhh...!” Kini nelayan muda yang kasar itu meringis dan mengaduh-aduh karena lengan kirinya terasa nyeri bukan main karena tulang lengan itu patah!

Para nelayan terkejut dan kini baru mereka tahu bahwa pemuda yang tampak lemah itu ternyata lihai! Nelayan tua itu segera memberi hormat kepada Cun Giok.

“Kongcu (Tuan Muda), maafkanlah keponakanku ini.”

“Tidak mengapa, Paman. Mudah-mudahan sedikit hajaran tadi membuat dia jera untuk bersikap kurang ajar terhadap seorang wanita. Sekarang kami minta petunjuk dari Paman, bagaimana caranya agar kami dapat berkunjung ke Pulau Ular?”

Kakek itu menghela napas panjang. “Seperti saya katakan tadi, hal itu sulit sekali, bahkan tidak mungkin, Kongcu.”

“Paman, mengapa agaknya Paman takut? Bukankah di sana tinggal Ban-tok Kui-bo dan anak buahnya?”

“Sssst... jangan keras-keras, Nona. Menyebutkan namanya saja sudah amat berbahaya.”

“Kenapa? Apakah orang-orang Pulau Ular itu suka mengganggu para nelayan,”

“Tidak, mereka tidak mengganggu, akan tetapi mereka juga tidak mau diganggu. Kami semua sudah mendapat peringatan bahwa tidak ada yang boleh ke pulau itu, bahkan memasuki wilayah perairannya pun dilarang. Pernah ada dahulu beberapa kali pencari ikan melanggar dan mereka semua mati secara mengerikan, menjadi santapan ikan-ikan hiu!”

“Apakah sama sekali tidak ada seorang pun yang dapat mengantar kami ke pulau itu, Paman?” tanya Cun Giok.

Kakek itu menggelengkan kepalanya, akan tetapi lalu berkata. “Pernah setahun yang lalu, ketika seorang nona penghuni pulau itu tidak dijemput dan terpaksa menyewa perahu, seorang nelayan di antara kami ada yang mengantarnya sampai ke pulau. Dialah yang tahu jalan masuk bagi perahu agar tidak menabrak batu karang.”

“Ah, di mana dia, Paman? Aku ingin menyewa perahunya!”

Dengan bayaran besar, lima kali lebih besar dari pada kalau menyewa biasa, akhirnya seorang nelayan berusia sekitar empatpuluh tahun yang dipanggil Acong bersedia mengantarkan dengan perahunya. Akan tetapi Cun Giok dan Ceng Ceng harus nienjamin keselamatannya dan setelah tiba di tepi daratan pulau, nelayan itu akan meninggalkan mereka. Tanpa syarat ini, dia tidak mau walau dibayar berapa banyak pun.

Setelah mendayung perahunya ke tengah lautan beberapa lamanya, Acong menunjuk ke depan sambil berkata lirih. “Itu Pulau Ular!”

Cun Giok dan Ceng Ceng memandang. Benar saja, ada sebuah pulau di sana, pulau yang seolah dipenuhi hutan dan sama sekali tidak tampak seperti ular!

“Banyakkah orang-orang di pulau itu?” tanya Cun Giok.

“Banyak juga, ketika saya mengantar nona itu ke sana, pulau itu seperti sebuah perkampungan. Saya melihat puluhan orang di sana, laki-laki perempuan bahkan ada pula anak-anak. Akan tetapi keadaan di sana amat aneh. Begitu banyaknya orang hanya tampak sekejap saja dan tahu-tahu mereka telah menghilang di balik pohon dan semak belukar, juga saya melihat banyak ular berkeliaran sampai dekat pantai.”

“Engkau membawa begini banyak bangkai anjing dan ayam, untuk apakah?” tanya Ceng Ceng.

“Nanti Nona akan melihatnya!” kata Acong yang agaknya tidak berani banyak bicara.

Dua orang muda itu menatap ke arah pulau dengan jantung berdebar. Mereka tidak tahu akan menghadapi apa di pulau itu dan mereka hanya mengharapkan untuk dapat bertemu dengan pembunuh Im Yang Yok-sian dan dapat memperoleh obat penawar racun pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang untuk menyembuhkan Goat-liang Sanjin.

Setelah tiba dekat pulau mereka melihat bahwa pulau itu memang dipenuhi pohon yang berjajar di sepanjang pantai, menutupi pemandangan sehingga orang tidak dapat melihat keadaan tengah pulau itu.

“Duduklah dengan tegak dan hati-hati, kita tiba di bagian yang banyak batu karangnya,” kata Acong berbisik.

Cun Giok dan Ceng Ceng melihat betapa dengan mahirnya Acong mendayung dan mengemudikan perahunya, meluncur di antara batu-batu karang yang berada di bawah permukaan air. Batu-batu karang yang runcing dan tajam. Kalau perahu terdampar dan tertusuk dari bawah, tentu akan berlubang atau pecah! Acong yang sudah pernah membawa seorang gadis ke pulau itu dan diberi petunjuk oleh gadis itu, kini dapat melewati barisan batu karang berbahaya itu.

Pulau sudah tampak dekat. Akan tetapi tukang perahu atau nelayan itu berbisik. “Harap kalian masing-masing menghadap ke kanan dan ke kiri. Kalau muncul sirip-sirip ikan hiu, cepat lempar-lemparkan bangkai itu agak jauh dari perahu. Akan tetapi jangan dihabiskan, disisakan untuk kupakai waktu meninggalkan pulau.”

Ceng Ceng dan Cun Giok siap dan memandang ke permukaan air laut. Tidak tampak batu-batu karang lagi dan tiba-tiba Ceng Ceng melihat tiga sirip meluncur ke dekat perahu! Ia segera mengambil seekor bangkai ayam dan melemparkannya agak jauh dari perahu. Tiga ekor ikan hiu itu segera membalik dan meluncur ke arah bangkai ayam.

Demikianlah pula Cun Giok. Begitu melihat banyak sirip ikan meluncur datang, dia segera merobek bangkai anjing dengan menarik sebuah kakinya. Kaki itu putus membawa daging yang cukup banyak dan ketika dia lemparkan agak jauh dari perahu, sirip-sirip ikan itu meluncur mengejarnya!

Acong cepat mendayung perahunya ke arah pantai pulau, ke arah sebatang pohon yang tumbuh di situ. Cun Giok dan Ceng Ceng sibuk melemparkan umpan agar ikan-ikan hiu yang ganas itu menjauhi perahu. Akan tetapi Cun Giok dan Ceng Ceng girang karena sampai perahu menempel di pantai, tidak ada lagi aral melintang.

Ceng Ceng segera membayar upah melayarkan ke pulau itu dan Acong cepat-cepat mendayung perahunya pergi dari situ. Dengan melempar-lemparkan umpan ke kanan kiri perahu, dia dapat lolos dari kepungan ikan hiu lalu membawa perahunya keluar dari barisan batu karang.

Nelayan itu girang bukan main karena dia selamat dari perjalanan berbahaya itu dan dia sudah mengantongi uang yang kiranya cukup untuk biaya makan satu bulan bersama isteri dan dua orang anaknya!

Kini Ceng Ceng dan Cun Giok yang berdiri di pantai mulai mencoba untuk melihat dan mempelajari keadaan di balik semak belukar itu. Mereka tidak dapat melihat bagian tengah pulau.

“Biar kulihat dari atas pohon!” kata Cun Giok dan dia sudah melompat ke atas dahan pohon yang paling tinggi.

Dari situ melayangkan pandang ke arah tengah pulau. Akan tetapi yang dilihat hanyalah hutan belantara, pohon dan semak belukar memenuhi pulau dan beberapa bagian yang merupakan ladang yang ditanami bermacam-macam sayur. Tak tampak seorang pun di pulau itu! Pulau kosongkah ini? Mengapa para nelayan takut kalau pulau ini hanya kosong? Apa yang mereka takutkan?

cerita silat online karya kho ping hoo

Ketika Cun Giok turun dari atas pohon, dia menceritakan kepada Ceng Ceng bahwa dia tidak melihat bangunan rumah di tengah pulau yang tertutup pohon-pohon dan semak-semak belukar. Juga tidak tampak seorang pun manusia, akan tetapi ada kebun-kebun sayur.

“Melihat adanya ladang-ladang sayur yang cukup luas itu, dapat dipastikan bahwa pulau ini ada penghuninya. Akan tetapi ke mana mereka pergi? Tak seorang pun tampak,” kata Cun Giok.

“Justeru keadaan begini amat berbahaya, Giok-ko. Menurut keterangan ayahku dan Susiok Im Yang Yok-sian, yang berjuluk Ban-tok itu sesungguhnya belum tua benar, belum ada limapuluh tahun usianya. Akan tetapi karena ilmu kepandaiannya hebat dan ia amat kejam terhadap laki-laki, maka ia dianggap sebagai datuk yang ditakuti orang di wilayah Timur ini. Dan mendiang Susiok pernah bercerita bahwa Ban-tok Kui-bo selain lihai sekali ilmu silat dan ilmu penggunaan racun, juga ia amat cerdik dan dapat menyusun jebakan-jebakan yang mengerikan. Maka, biarpun tampaknya tidak ada orang, kita harus berhati-hati terhadap jebakan-jebakan, Giok-ko.”

“Baik, Ceng-moi. Mari kita selidiki ke tengah pulau. Biar aku yang berjalan di depan, engkau berjaga bagian belakang kalau-kalau ada serangan gelap yang datangnya dari belakang.”

Mereka lalu mulai melangkah menuju ke tengah pulau. Yang pertama mereka temukan adalah sebuah hutan dengan pohon-pohon yang letaknya aneh dan pohon-pohon itu pun mempunyai batang dan bentuk ranting dan daun yang sama. Jelas bahwa pohon-pohon itu tidak tumbuh liar, melainkan ditanam dan diatur!

Cun Giok tadi mematahkan sebuah dahan yang panjangnya satu tombak, demikian pula Ceng Ceng membawa sebatang cabang pohon. Dengan kayu ini Cun Giok mengetuk atau menusuk ke tanah yang ditutupi rumput itu untuk melihat apakah tempat itu aman untuk diinjak. Di antara pohon-pohon itu terdapat jalan setapak yang seolah memang dibuat atau sering dilalui kaki orang karena di jalan setapak ini tanahnya gundul, tidak ditumbuhi rumput. Mereka lalu melalui jalan itu dengan hati-hati.

Tiba-tiba Ceng Ceng berseru kaget dan ketika Cun Giok membalikkan tubuh untuk melihat, ternyata Ceng Ceng sudah tergantung di pohon dengan kaki terikat dan kepala di bawah. Agaknya tadi ia menginjak jebakan yang luput dari kaki Cun Giok dan ketika kakinya menginjak jebakan itu, ada tali yang menjerat kakinya dan tali itu seperti ditarik ke atas sehingga tubuh gadis itu tergantung dengan kaki terjerat di atas dan kepala di bawah!

Melihat ini, Cun Giok melompat ke atas dan sinar emas berkelebat, dia telah membabat putus tali yang menggantung Ceng Ceng. Gadis itu ketika tubuhnya jatuh ke bawah, cepat membuat pok-sai (salto) sehingga dapat menginjak tanah dengan selamat.

“Hemm, berbahaya sekali!” kata Ceng Ceng dengan sikap tenang saja. Gadis ini memang memiliki ketenangan yang mengagumkan.

“Ah, kita harus lebih hati-hati, Ceng moi. Benar kata-katamu tadi, di sini terdapat banyak jebakan yang berbahaya. Dan aku mempunyai perasaan bahwa semua gerak gerik kita pasti diam-diam diamati orang.”

Mereka maju terus, lebih hati-hati sekarang. Beberapa kali ujung tongkat yang dipegang Cun Giok menyentuh jebakan dan ada tali jerat yang bergerak ke atas, seperti yang telah menggantung tubuh Ceng Ceng tadi. Akan tetapi mereka berdua dapat melewati jebakan-jebakan itu dan terus melangkah melalui jalan setapak yang berbelak-belok.

“Berhenti dulu, Giok-ko!” Ceng Ceng berseru.

“Mengapa, Ceng-moi?”

Ceng Ceng memandang ke sekelilingnya yang dipenuhi pohon-pohon yang sama atau mirip satu sama lain. “Giok-ko, kita kembali ke tempat tadi! Aku ingat betul, tadi pun kita sudah melewati jalan ini!”

“Aih, benarkah? Kalau begitu, kita disesatkan oleh jalan setapak ini dan hanya berputar-putaran di dalam hutan.” Mereka merasa dongkol juga.

“Kita lanjutkan perjalanan, Giok-ko dan sekarang aku akan memberi tanda kepada setiap pohon yang kita lewati!” Gadis yang cerdik itu berkata.

Cun Giok mengangguk setuju dan mereka mulai maju lagi. Sekarang, setiap tiba di jalan yang bercabang, Ceng Ceng lalu mengambil sebuah kerikil dan melontarkan pada batang pohon terdekat sehingga tampak lubang pada batang pohon itu. Masih beberapa kali mereka tersesat, akan tetapi kini mereka dapat memilih jalan yang benar, melalui jalan setapak di mana pohon-pohonnya belum ditandai sambitan batu kerikil.

Juga mereka selalu dapat terhindar dari beberapa jebakan. Bukan hanya jebakan berupa tali jerat, melainkan alat yang terinjak karena tertutup tanah dan tiba-tiba ada anak panah menyambar dari kanan kiri! Berkat kelincahan gerakan mereka, dua orang muda ini dapat mengelak.

Akhirnya mereka dapat keluar dari hutan pohon yang ternyata tidak berapa luas itu. Hanya pohon-pohonnya diatur sedemikian rupa, dengan jalan setapak yang menyesatkan dan jebakan-jebakan yang berbahaya. Kini mereka menghadapi semak belukar yang berlapis-lapis. Sulitlah untuk menerjang semak belukar yang penuh duri itu.

Mereka mencoba dengan mengambil jalan mengitari semak-semak, akan tetapi pada lapisan kedua, tidak ada jalan yang tak terhalang semak-semak. Mereka harus melompati semak-semak belukar kalau ingin terus maju. Cun Giok mengambil sepotong batu sebesar kepala orang dan melemparkan batu itu melewati semak-semak. Batu itu jatuh berdebuk dan tidak terjadi sesuatu.

“Hemm, aku akan melompati semak-semak ini dan turun ke atas batu tadi yang telah terbukti aman. Engkau dapat menyusul di belakangku.”

Ceng Ceng mengangguk dan Cun Giok segera melompati semak-semak yang tingginya setombak dan tebalnya dua tombak itu. Ceng Ceng berkelebat menyusulnya. Ketika kaki Cun Giok hinggap menginjak batu yang tadi dia lontarkan, tiba-tiba tanah di tempat itu jebol dan terbentuklah sebuah sumur!

Kiranya jebakan itu sudah diatur sedemikian rupa sehingga kalau tertimpa benda seberat manusia barulah penutup sumur itu jebol. Maka ketika dilempari batu sumur itu tetap tertutup dan baru setelah Cun Giok hinggap di atas batu penutup sumur itu jebol dan tubuh Cun Giok jatuh ke bawah!

Akan tetapi pada saat itu, tubuh Ceng Ceng sudah berkelebat dan melihat pemuda itu terjerumus ke dalam sumur, ia cepat menangkap lengan Cun Giok dan menariknya dengan sentakan kuat. Cun Giok mengerahkan gin-kangnya sehingga dia dapat ditarik dan ikut melompat sehingga mereka berdua berhasil turun dan berdiri di tepi sumur itu! Ketika keduanya menjenguk ke dalam sumur, Ceng Ceng mengeluarkan seruan tertahan.

Cun Giok menghela napas panjang. “Ah, sungguh berbahaya sekali!”

Mereka melihat ratusan ekor ular berada di dasar sumur tak berair itu, tumpang tindih dan menggeliat-geliat. Kalau Cun Giok tadi terjatuh ke sana dan dikeroyok ratusan ekor ular berbisa itu, betapapun lihainya, akan sukarlah menghindarkan diri dari gigitan berbisa! “Untung engkau bertindak cepat, Ceng-moi. Terima kasih!”

“Hemm, apa perlu berterima kasih, Giok-ko? Kita bersama berada di tempat berbahaya ini. Mari maju terus dan kita harus lebih hati-hati.”

Setapak demi setapak mereka melangkah ke depan, memeriksa setiap tanah berumput yang akan mereka injak selanjutnya. Cun Giok tetap berada di depan. Ketika mereka berhadapan lagi dengan serumpun semak belukar, mereka berhenti dan meragu karena tidak tahu jebakan apa yang menanti mereka di balik semak belukar itu.

“Giok-ko, aku mempunyai gagasan, mungkin dapat menolong kita. Karena pemilik pulau ini tidak akan mengira ada orang menginjak semak belukar, pasti jebakan-jebakan itu berada di atas tanah berumput. Maka bagaimana kalau kita menggunakan semak-semak itu untuk melanjutkan perjalanan menuju tengah pulau ini?”

“Menggunakan semak-semak? Apa maksudmu? Kalau kita melompat ke atas semak-semak, tentu kaki akan terjeblos ke bawah karena tidak ada tempat yang keras untuk berpijak.”

“Kita membawa ini, Giok-ko!” kata Ceng Ceng sambil berjongkok dan mengambil batu pipih sebesar kaki. Melihat ini, wajah Cun Giok berseri. Dia dapat menangkap maksud gadis itu.

“Gagasan itu baik sekali, Ceng-moi!” katanya dan mereka mulai mengumpulkan batu-batu pipih.

Setelah cukup, Cun Giok mendahului melompat ke atas semak, melemparkan sebuah batu pipih ke atas semak sehingga dia dapat menginjak batu pipih di atas semak itu. Kemudian dia melemparkan sebuah batu berikutnya ke atas semak-semak di depan dan dia menyusul dengan lompatan ringan ke atas semak-semak di depan yang sudah ditumpangi batu pipih. Ceng Ceng juga melakukan hal yang sama.

Bagaikan dua ekor burung saja, dua orang muda itu berloncatan dari semak ke semak dan setelah semak terakhir terlewati, Cun Giok melompat ke atas tanah yang tidak berumput. Ceng Ceng menyusulnya dan mereka berdua girang sekali bahwa mereka telah dapat melampaui barisan semak belukar itu.

Ketika mereka memandang ke depan, kini tampaklah perkampungan itu. Akan tetapi untuk memasuki perkampungan itu mereka masih harus melewati sebuah taman atau kebun yang penuh dengan tumbuh- pohon kecil dan pohon bunga.

“Biarpun kita sudah sampai di sini, kita tidak boleh lengah dan harus tetap berhati-hati, Ceng-moi, karena perkampungan yang tampaknya sepi itu mungkin saja disengaja untuk memancing kita.”

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 33

33: JEBAKAN MAUT PULAU COA TO

“Ah, agaknya Nona belum mendengar tentang pulau itu. Baru mendekat saja, perahu akan dapat pecah terdampar karena pulau itu dikelilingi batu-batu karang yang bersembunyi di bawah permukaan air, setiap saat siap untuk memecahkan perahu yang lewat di atasnya. Hanya orang Pulau Ular saja yang mampu mengemudikan perahu mencari permukaan air yang aman. Bahkan andaikata berhasil melewati batu-batu karang itu, di perairan antara batu-batu karang yang mengelilingi pulau itu, terdapat ratusan ekor ikan hiu yang amat ganas. Nah, hanya itu yang kudengar, namun kabarnya keadaan di pulau itu sendiri jauh lebih berbahaya daripada ancaman di air sekeliling pulau.”

“Sudahlah, Nona, daripada mencari mati di sana, mari kita bersenang-senang. Engkau berlayar dengan aku di perahuku, pasti senang. Akan tetapi kawanmu itu tidak boleh ikut. Hanya engkau sendiri dengan aku. Marilah!”

Setelah berkata demikian, nelayan muda yang tinggi besar itu menangkap pergelangan tangan kiri Ceng Ceng dan ditariknya, akan tetapi gadis itu cepat mengelak dan melangkah mundur.

Cun Giok melangkah maju dan Ceng Ceng memperingatkan. “Giok-ko, jangan terlalu keras terhadap orang kasar dan bodoh ini!”

Cun Giok mengangguk dan menghadapi orang tinggi besar yang kasar itu. “Sobat, mulutmu mengeluarkan kata-kata tidak sopan. Hayo engkau minta maaf kepada Nona ini!”

“Minta maaf? Ha-ha-ha, aku berkata benar. Nona manis ini lebih pantas menjadi isteriku karena aku masih belum menikah. Aku dapat melindunginya, tidak seperti engkau yang kecil lemah. Mari, Nona, mari bersenang-senang dan jangan pedulikan pemuda lemah seperti kelenci ini!”

Tanpa mempedulikan Cun Giok, laki-laki itu menjulurkan lengannya yang panjang hendak menangkap lengan Ceng Ceng. Akan tetapi Cun Giok menghalanginya. Orang itu marah dan melayangkan tangan kanannya yang panjang dan besar ke arah muka Cun Giok. Akan tetapi Cun Giok mengelak dan berkata,

“Mulutmu yang kurang ajar patut dihajar!” Tangan kirinya menyambar dan menampar.

“Plakk!” Laki-laki tinggi besar itu mengaduh dan terhuyung ke belakang, meraba-raba mulutnya yang berdarah karena bibirnya pecah terkena tamparan Cun Giok. Dia menjadi marah sekali dan kini dia menerjang dan memukul dengan membabi-buta.

“Tanganmu jahat, patut dihajar!” kata Cun Giok sambil menangkis dan terdengar suara tulang patah ketika lengan yang besar itu bertemu dengan lengan Cun Giok.

“Aduhh...!” Kini nelayan muda yang kasar itu meringis dan mengaduh-aduh karena lengan kirinya terasa nyeri bukan main karena tulang lengan itu patah!

Para nelayan terkejut dan kini baru mereka tahu bahwa pemuda yang tampak lemah itu ternyata lihai! Nelayan tua itu segera memberi hormat kepada Cun Giok.

“Kongcu (Tuan Muda), maafkanlah keponakanku ini.”

“Tidak mengapa, Paman. Mudah-mudahan sedikit hajaran tadi membuat dia jera untuk bersikap kurang ajar terhadap seorang wanita. Sekarang kami minta petunjuk dari Paman, bagaimana caranya agar kami dapat berkunjung ke Pulau Ular?”

Kakek itu menghela napas panjang. “Seperti saya katakan tadi, hal itu sulit sekali, bahkan tidak mungkin, Kongcu.”

“Paman, mengapa agaknya Paman takut? Bukankah di sana tinggal Ban-tok Kui-bo dan anak buahnya?”

“Sssst... jangan keras-keras, Nona. Menyebutkan namanya saja sudah amat berbahaya.”

“Kenapa? Apakah orang-orang Pulau Ular itu suka mengganggu para nelayan,”

“Tidak, mereka tidak mengganggu, akan tetapi mereka juga tidak mau diganggu. Kami semua sudah mendapat peringatan bahwa tidak ada yang boleh ke pulau itu, bahkan memasuki wilayah perairannya pun dilarang. Pernah ada dahulu beberapa kali pencari ikan melanggar dan mereka semua mati secara mengerikan, menjadi santapan ikan-ikan hiu!”

“Apakah sama sekali tidak ada seorang pun yang dapat mengantar kami ke pulau itu, Paman?” tanya Cun Giok.

Kakek itu menggelengkan kepalanya, akan tetapi lalu berkata. “Pernah setahun yang lalu, ketika seorang nona penghuni pulau itu tidak dijemput dan terpaksa menyewa perahu, seorang nelayan di antara kami ada yang mengantarnya sampai ke pulau. Dialah yang tahu jalan masuk bagi perahu agar tidak menabrak batu karang.”

“Ah, di mana dia, Paman? Aku ingin menyewa perahunya!”

Dengan bayaran besar, lima kali lebih besar dari pada kalau menyewa biasa, akhirnya seorang nelayan berusia sekitar empatpuluh tahun yang dipanggil Acong bersedia mengantarkan dengan perahunya. Akan tetapi Cun Giok dan Ceng Ceng harus nienjamin keselamatannya dan setelah tiba di tepi daratan pulau, nelayan itu akan meninggalkan mereka. Tanpa syarat ini, dia tidak mau walau dibayar berapa banyak pun.

Setelah mendayung perahunya ke tengah lautan beberapa lamanya, Acong menunjuk ke depan sambil berkata lirih. “Itu Pulau Ular!”

Cun Giok dan Ceng Ceng memandang. Benar saja, ada sebuah pulau di sana, pulau yang seolah dipenuhi hutan dan sama sekali tidak tampak seperti ular!

“Banyakkah orang-orang di pulau itu?” tanya Cun Giok.

“Banyak juga, ketika saya mengantar nona itu ke sana, pulau itu seperti sebuah perkampungan. Saya melihat puluhan orang di sana, laki-laki perempuan bahkan ada pula anak-anak. Akan tetapi keadaan di sana amat aneh. Begitu banyaknya orang hanya tampak sekejap saja dan tahu-tahu mereka telah menghilang di balik pohon dan semak belukar, juga saya melihat banyak ular berkeliaran sampai dekat pantai.”

“Engkau membawa begini banyak bangkai anjing dan ayam, untuk apakah?” tanya Ceng Ceng.

“Nanti Nona akan melihatnya!” kata Acong yang agaknya tidak berani banyak bicara.

Dua orang muda itu menatap ke arah pulau dengan jantung berdebar. Mereka tidak tahu akan menghadapi apa di pulau itu dan mereka hanya mengharapkan untuk dapat bertemu dengan pembunuh Im Yang Yok-sian dan dapat memperoleh obat penawar racun pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang untuk menyembuhkan Goat-liang Sanjin.

Setelah tiba dekat pulau mereka melihat bahwa pulau itu memang dipenuhi pohon yang berjajar di sepanjang pantai, menutupi pemandangan sehingga orang tidak dapat melihat keadaan tengah pulau itu.

“Duduklah dengan tegak dan hati-hati, kita tiba di bagian yang banyak batu karangnya,” kata Acong berbisik.

Cun Giok dan Ceng Ceng melihat betapa dengan mahirnya Acong mendayung dan mengemudikan perahunya, meluncur di antara batu-batu karang yang berada di bawah permukaan air. Batu-batu karang yang runcing dan tajam. Kalau perahu terdampar dan tertusuk dari bawah, tentu akan berlubang atau pecah! Acong yang sudah pernah membawa seorang gadis ke pulau itu dan diberi petunjuk oleh gadis itu, kini dapat melewati barisan batu karang berbahaya itu.

Pulau sudah tampak dekat. Akan tetapi tukang perahu atau nelayan itu berbisik. “Harap kalian masing-masing menghadap ke kanan dan ke kiri. Kalau muncul sirip-sirip ikan hiu, cepat lempar-lemparkan bangkai itu agak jauh dari perahu. Akan tetapi jangan dihabiskan, disisakan untuk kupakai waktu meninggalkan pulau.”

Ceng Ceng dan Cun Giok siap dan memandang ke permukaan air laut. Tidak tampak batu-batu karang lagi dan tiba-tiba Ceng Ceng melihat tiga sirip meluncur ke dekat perahu! Ia segera mengambil seekor bangkai ayam dan melemparkannya agak jauh dari perahu. Tiga ekor ikan hiu itu segera membalik dan meluncur ke arah bangkai ayam.

Demikianlah pula Cun Giok. Begitu melihat banyak sirip ikan meluncur datang, dia segera merobek bangkai anjing dengan menarik sebuah kakinya. Kaki itu putus membawa daging yang cukup banyak dan ketika dia lemparkan agak jauh dari perahu, sirip-sirip ikan itu meluncur mengejarnya!

Acong cepat mendayung perahunya ke arah pantai pulau, ke arah sebatang pohon yang tumbuh di situ. Cun Giok dan Ceng Ceng sibuk melemparkan umpan agar ikan-ikan hiu yang ganas itu menjauhi perahu. Akan tetapi Cun Giok dan Ceng Ceng girang karena sampai perahu menempel di pantai, tidak ada lagi aral melintang.

Ceng Ceng segera membayar upah melayarkan ke pulau itu dan Acong cepat-cepat mendayung perahunya pergi dari situ. Dengan melempar-lemparkan umpan ke kanan kiri perahu, dia dapat lolos dari kepungan ikan hiu lalu membawa perahunya keluar dari barisan batu karang.

Nelayan itu girang bukan main karena dia selamat dari perjalanan berbahaya itu dan dia sudah mengantongi uang yang kiranya cukup untuk biaya makan satu bulan bersama isteri dan dua orang anaknya!

Kini Ceng Ceng dan Cun Giok yang berdiri di pantai mulai mencoba untuk melihat dan mempelajari keadaan di balik semak belukar itu. Mereka tidak dapat melihat bagian tengah pulau.

“Biar kulihat dari atas pohon!” kata Cun Giok dan dia sudah melompat ke atas dahan pohon yang paling tinggi.

Dari situ melayangkan pandang ke arah tengah pulau. Akan tetapi yang dilihat hanyalah hutan belantara, pohon dan semak belukar memenuhi pulau dan beberapa bagian yang merupakan ladang yang ditanami bermacam-macam sayur. Tak tampak seorang pun di pulau itu! Pulau kosongkah ini? Mengapa para nelayan takut kalau pulau ini hanya kosong? Apa yang mereka takutkan?

cerita silat online karya kho ping hoo

Ketika Cun Giok turun dari atas pohon, dia menceritakan kepada Ceng Ceng bahwa dia tidak melihat bangunan rumah di tengah pulau yang tertutup pohon-pohon dan semak-semak belukar. Juga tidak tampak seorang pun manusia, akan tetapi ada kebun-kebun sayur.

“Melihat adanya ladang-ladang sayur yang cukup luas itu, dapat dipastikan bahwa pulau ini ada penghuninya. Akan tetapi ke mana mereka pergi? Tak seorang pun tampak,” kata Cun Giok.

“Justeru keadaan begini amat berbahaya, Giok-ko. Menurut keterangan ayahku dan Susiok Im Yang Yok-sian, yang berjuluk Ban-tok itu sesungguhnya belum tua benar, belum ada limapuluh tahun usianya. Akan tetapi karena ilmu kepandaiannya hebat dan ia amat kejam terhadap laki-laki, maka ia dianggap sebagai datuk yang ditakuti orang di wilayah Timur ini. Dan mendiang Susiok pernah bercerita bahwa Ban-tok Kui-bo selain lihai sekali ilmu silat dan ilmu penggunaan racun, juga ia amat cerdik dan dapat menyusun jebakan-jebakan yang mengerikan. Maka, biarpun tampaknya tidak ada orang, kita harus berhati-hati terhadap jebakan-jebakan, Giok-ko.”

“Baik, Ceng-moi. Mari kita selidiki ke tengah pulau. Biar aku yang berjalan di depan, engkau berjaga bagian belakang kalau-kalau ada serangan gelap yang datangnya dari belakang.”

Mereka lalu mulai melangkah menuju ke tengah pulau. Yang pertama mereka temukan adalah sebuah hutan dengan pohon-pohon yang letaknya aneh dan pohon-pohon itu pun mempunyai batang dan bentuk ranting dan daun yang sama. Jelas bahwa pohon-pohon itu tidak tumbuh liar, melainkan ditanam dan diatur!

Cun Giok tadi mematahkan sebuah dahan yang panjangnya satu tombak, demikian pula Ceng Ceng membawa sebatang cabang pohon. Dengan kayu ini Cun Giok mengetuk atau menusuk ke tanah yang ditutupi rumput itu untuk melihat apakah tempat itu aman untuk diinjak. Di antara pohon-pohon itu terdapat jalan setapak yang seolah memang dibuat atau sering dilalui kaki orang karena di jalan setapak ini tanahnya gundul, tidak ditumbuhi rumput. Mereka lalu melalui jalan itu dengan hati-hati.

Tiba-tiba Ceng Ceng berseru kaget dan ketika Cun Giok membalikkan tubuh untuk melihat, ternyata Ceng Ceng sudah tergantung di pohon dengan kaki terikat dan kepala di bawah. Agaknya tadi ia menginjak jebakan yang luput dari kaki Cun Giok dan ketika kakinya menginjak jebakan itu, ada tali yang menjerat kakinya dan tali itu seperti ditarik ke atas sehingga tubuh gadis itu tergantung dengan kaki terjerat di atas dan kepala di bawah!

Melihat ini, Cun Giok melompat ke atas dan sinar emas berkelebat, dia telah membabat putus tali yang menggantung Ceng Ceng. Gadis itu ketika tubuhnya jatuh ke bawah, cepat membuat pok-sai (salto) sehingga dapat menginjak tanah dengan selamat.

“Hemm, berbahaya sekali!” kata Ceng Ceng dengan sikap tenang saja. Gadis ini memang memiliki ketenangan yang mengagumkan.

“Ah, kita harus lebih hati-hati, Ceng moi. Benar kata-katamu tadi, di sini terdapat banyak jebakan yang berbahaya. Dan aku mempunyai perasaan bahwa semua gerak gerik kita pasti diam-diam diamati orang.”

Mereka maju terus, lebih hati-hati sekarang. Beberapa kali ujung tongkat yang dipegang Cun Giok menyentuh jebakan dan ada tali jerat yang bergerak ke atas, seperti yang telah menggantung tubuh Ceng Ceng tadi. Akan tetapi mereka berdua dapat melewati jebakan-jebakan itu dan terus melangkah melalui jalan setapak yang berbelak-belok.

“Berhenti dulu, Giok-ko!” Ceng Ceng berseru.

“Mengapa, Ceng-moi?”

Ceng Ceng memandang ke sekelilingnya yang dipenuhi pohon-pohon yang sama atau mirip satu sama lain. “Giok-ko, kita kembali ke tempat tadi! Aku ingat betul, tadi pun kita sudah melewati jalan ini!”

“Aih, benarkah? Kalau begitu, kita disesatkan oleh jalan setapak ini dan hanya berputar-putaran di dalam hutan.” Mereka merasa dongkol juga.

“Kita lanjutkan perjalanan, Giok-ko dan sekarang aku akan memberi tanda kepada setiap pohon yang kita lewati!” Gadis yang cerdik itu berkata.

Cun Giok mengangguk setuju dan mereka mulai maju lagi. Sekarang, setiap tiba di jalan yang bercabang, Ceng Ceng lalu mengambil sebuah kerikil dan melontarkan pada batang pohon terdekat sehingga tampak lubang pada batang pohon itu. Masih beberapa kali mereka tersesat, akan tetapi kini mereka dapat memilih jalan yang benar, melalui jalan setapak di mana pohon-pohonnya belum ditandai sambitan batu kerikil.

Juga mereka selalu dapat terhindar dari beberapa jebakan. Bukan hanya jebakan berupa tali jerat, melainkan alat yang terinjak karena tertutup tanah dan tiba-tiba ada anak panah menyambar dari kanan kiri! Berkat kelincahan gerakan mereka, dua orang muda ini dapat mengelak.

Akhirnya mereka dapat keluar dari hutan pohon yang ternyata tidak berapa luas itu. Hanya pohon-pohonnya diatur sedemikian rupa, dengan jalan setapak yang menyesatkan dan jebakan-jebakan yang berbahaya. Kini mereka menghadapi semak belukar yang berlapis-lapis. Sulitlah untuk menerjang semak belukar yang penuh duri itu.

Mereka mencoba dengan mengambil jalan mengitari semak-semak, akan tetapi pada lapisan kedua, tidak ada jalan yang tak terhalang semak-semak. Mereka harus melompati semak-semak belukar kalau ingin terus maju. Cun Giok mengambil sepotong batu sebesar kepala orang dan melemparkan batu itu melewati semak-semak. Batu itu jatuh berdebuk dan tidak terjadi sesuatu.

“Hemm, aku akan melompati semak-semak ini dan turun ke atas batu tadi yang telah terbukti aman. Engkau dapat menyusul di belakangku.”

Ceng Ceng mengangguk dan Cun Giok segera melompati semak-semak yang tingginya setombak dan tebalnya dua tombak itu. Ceng Ceng berkelebat menyusulnya. Ketika kaki Cun Giok hinggap menginjak batu yang tadi dia lontarkan, tiba-tiba tanah di tempat itu jebol dan terbentuklah sebuah sumur!

Kiranya jebakan itu sudah diatur sedemikian rupa sehingga kalau tertimpa benda seberat manusia barulah penutup sumur itu jebol. Maka ketika dilempari batu sumur itu tetap tertutup dan baru setelah Cun Giok hinggap di atas batu penutup sumur itu jebol dan tubuh Cun Giok jatuh ke bawah!

Akan tetapi pada saat itu, tubuh Ceng Ceng sudah berkelebat dan melihat pemuda itu terjerumus ke dalam sumur, ia cepat menangkap lengan Cun Giok dan menariknya dengan sentakan kuat. Cun Giok mengerahkan gin-kangnya sehingga dia dapat ditarik dan ikut melompat sehingga mereka berdua berhasil turun dan berdiri di tepi sumur itu! Ketika keduanya menjenguk ke dalam sumur, Ceng Ceng mengeluarkan seruan tertahan.

Cun Giok menghela napas panjang. “Ah, sungguh berbahaya sekali!”

Mereka melihat ratusan ekor ular berada di dasar sumur tak berair itu, tumpang tindih dan menggeliat-geliat. Kalau Cun Giok tadi terjatuh ke sana dan dikeroyok ratusan ekor ular berbisa itu, betapapun lihainya, akan sukarlah menghindarkan diri dari gigitan berbisa! “Untung engkau bertindak cepat, Ceng-moi. Terima kasih!”

“Hemm, apa perlu berterima kasih, Giok-ko? Kita bersama berada di tempat berbahaya ini. Mari maju terus dan kita harus lebih hati-hati.”

Setapak demi setapak mereka melangkah ke depan, memeriksa setiap tanah berumput yang akan mereka injak selanjutnya. Cun Giok tetap berada di depan. Ketika mereka berhadapan lagi dengan serumpun semak belukar, mereka berhenti dan meragu karena tidak tahu jebakan apa yang menanti mereka di balik semak belukar itu.

“Giok-ko, aku mempunyai gagasan, mungkin dapat menolong kita. Karena pemilik pulau ini tidak akan mengira ada orang menginjak semak belukar, pasti jebakan-jebakan itu berada di atas tanah berumput. Maka bagaimana kalau kita menggunakan semak-semak itu untuk melanjutkan perjalanan menuju tengah pulau ini?”

“Menggunakan semak-semak? Apa maksudmu? Kalau kita melompat ke atas semak-semak, tentu kaki akan terjeblos ke bawah karena tidak ada tempat yang keras untuk berpijak.”

“Kita membawa ini, Giok-ko!” kata Ceng Ceng sambil berjongkok dan mengambil batu pipih sebesar kaki. Melihat ini, wajah Cun Giok berseri. Dia dapat menangkap maksud gadis itu.

“Gagasan itu baik sekali, Ceng-moi!” katanya dan mereka mulai mengumpulkan batu-batu pipih.

Setelah cukup, Cun Giok mendahului melompat ke atas semak, melemparkan sebuah batu pipih ke atas semak sehingga dia dapat menginjak batu pipih di atas semak itu. Kemudian dia melemparkan sebuah batu berikutnya ke atas semak-semak di depan dan dia menyusul dengan lompatan ringan ke atas semak-semak di depan yang sudah ditumpangi batu pipih. Ceng Ceng juga melakukan hal yang sama.

Bagaikan dua ekor burung saja, dua orang muda itu berloncatan dari semak ke semak dan setelah semak terakhir terlewati, Cun Giok melompat ke atas tanah yang tidak berumput. Ceng Ceng menyusulnya dan mereka berdua girang sekali bahwa mereka telah dapat melampaui barisan semak belukar itu.

Ketika mereka memandang ke depan, kini tampaklah perkampungan itu. Akan tetapi untuk memasuki perkampungan itu mereka masih harus melewati sebuah taman atau kebun yang penuh dengan tumbuh- pohon kecil dan pohon bunga.

“Biarpun kita sudah sampai di sini, kita tidak boleh lengah dan harus tetap berhati-hati, Ceng-moi, karena perkampungan yang tampaknya sepi itu mungkin saja disengaja untuk memancing kita.”