Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 24 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

24: KAKI TANGAN KONGCU BERGAJUL

Siok Eng sedang sibuk di dapur mempersiapkan makan malam dan kesempatan itu dipergunakan suami isteri ini untuk bicara dengan ayah mereka mengenai diri Siok Eng.

“Mari kita rundingkan masak-masak!”

“Ayah, kami berdua bukan sekadar membujuk untuk kepentingan diri kami atau diri Ayah dan Adik Eng saja, melainkan demi keselamatan dan keamanan hidup kita semua. Kukira apa yang dikatakan suamiku benar dan memerlukan pertimbangan Ayah secara mendalam,” kata Siok Hwa kepada Siok Kan yang hanya menghela napas.

“Akan tetapi bagaimana dengan pertunangannya dengan pendekar Suma Cun Giok? Cun Giok dan kakeknya, Suma Tiang Bun, adalah penolong kami. Kalau tidak ada mereka mungkin Siok Eng sekarang juga sudah tewas membunuh diri, seperti adikmu Siok Li.”

“Karena itulah, Gak-hu, kita perlu membicarakan masalah ini agar jangan menyesal setelah terlambat. Kita semua menyadari bahwa Eng-moi (Adik Eng) telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik menarik. Buktinya, sudah puluhan kali orang datang melamar yang selalu Gak-hu tolak.”

“Bagaimana tidak harus kutolak, Chao Kung? Adik iparmu itu sudah ditunangkan, sudah menjadi calon isteri orang!”

“Akan tetapi, Ayah,” bantah Siok Hwa. “Kalau Suma Cun Giok itu memang benar-benar menghendaki agar Eng-moi menjadi isterinya, mengapa telah tiga tahun dia tidak datang menjenguk atau memberi kabar? Eng-moi tidak mungkin harus menunggu terus sampai tua!” Mengingat hal ini Siok Hwa panas hatinya. “Biarpun dia itu seorang pendekar, namun agaknya dia tidak setia kepada janjinya dan kini mungkin saja telah melupakan Eng-moi!”

“Aku tidak percaya Suma Cun Giok akan bersikap seperti itu!” kata Siok Kan menggelengkan kepalanya.

“Memang mungkin sekali tidak. Akan tetapi dia ada kemungkinan lain yang lebih gawat, Gak-hu,” kata Chao Kung.

“Apa itu?”

“Kita mengetahui bahwa Suma Cun Giok dan kakeknya itu adalah pendekar-pendekar petualang. Mereka telah berani menentang bahkan membunuh putera Pembesar Bhong di kota Lan-hui. Perbuatan nekat itu tentu membuat dia dianggap pemberontak oleh pemerintah Kerajaan Goan dan menjadi orang buruan. Siapa tahu sekarang dia bahkan sudah ditangkap, dipenjara atau mungkin juga dihukum mati sebagai pemberontak dan penjahat.”

“Huh, dia bukan penjahat! Yang jahat adalah bangsawan-bangsawan macam Jaksa Bhong dan Bhong-kongcu itu!” Siok Kan membantah.

“Kita tahu bahwa Suma Cun Giok adalah seorang pendekar yang membela rakyat dan menentang penguasa yang jahat. Akan tetapi pemerintah tidak menganggapnya demikian. Ingat, Gak-hu, kalau Adik Eng menjadi isteri Suma Cun Giok, hidupnya tentu juga tidak tenteram, tidak aman. Kalau suaminya dicari-cari dan dijadikan orang buruan pemerintah, bagaimana mungkin Adik Eng dapat hidup tenang dan bahagia?”

Siok Kan menundukkan mukanya, alisnya berkerut dan berulang-ulang dia menghela napas panjang. Suami isteri itu saling pandang dan Siok Hwa memberi isyarat kepada suaminya agar jangan terlalu menekan ayahnya. Chao Kung menghela napas dan berkata dengan lembut.

“Gak-hu, maafkan kelancangan saya. Akan tetapi, saya melihat kenyataan-kenyataan yang amat mengkhawatirkan. Karena Adik Eng selalu menolak pinangan orang, para pemuda yang ditolak itu tentu saja menjadi kecewa dan marah. Kalau sampai ada putera pembesar yang tertarik kepada Adik Eng... ah, saya sungguh khawatir apa yang Gak-hu alami di dusun Ci-bun dulu akan terulang kembali. Terus terang saja, kemarin dulu ketika saya menyetorkan rempa-rempa yang dipesan orang, pulangnya saya singgah di rumah makan sekadar membeli bakmi dan minum arak manis. Di rumah makan itu saya dipanggil dua orang pemuda yang bukan lain adalah Kim-kongcu (Tuan Muda Kim) dan Kui-kongcu. Mereka membayar makanan dan minuman yang saya pesan dan mereka mengajak saya bicara tentang Adik Eng yang mereka puji-puji kecantikannya. Mereka sudah mendengar bahwa Adik Eng menolak pinangan banyak pemuda, dan mereka menyinggung tentang pertunangan Adik Eng. Mereka bertanya apakah benar Adik Eng sudah ditunangkan, kalau sudah kapan menikahnya dan mengapa selama ini tunangannya tidak pernah muncul di kota ini. Mereka agaknya curiga, Gak-hu. Mereka mengatakan bahwa Adik Eng sudah lebih dari dewasa untuk menikah dan agaknya dua orang itu kagum dan tertarik kepada Adik Eng.”

“Hemm, siapakah mereka itu?” tanya Siok Kan sambil mengerutkan alisnya.

“Kim-kongcu adalah putera Panglima Kim Bayan yang menjadi panglima yang menguasai pasukan yang berada di Propinsi Shan-tung, sedangkan Kui-kongcu adalah putera Kui-thaijin (Pembesar Kui) yang menjadi Kepala Pengadilan di kota ini. Semua orang di Cin-yang ini sudah tahu bahwa Kim-kongcu suka bertindak sewenang-wenang, mengandalkan kedudukan ayahnya. Bahkan para pejabat pun takut kepada Kim Thai-ciangkun (Panglima Kim). Demikianlah, Gak-hu, saya kira kalau Adik Eng sudah menikah, bahayanya tidak akan sebesar kalau ia masih gadis dan menjadi incaran para pemuda di sini.”

Siok Kan mengerutkan alisnya dan dia pun mulai merasa khawatir sekali. “Aku mengerti apa yang kalian maksudkan dan memang pendapat kalian itu benar. Memang sudah sebaiknya kalau adik kalian Siok Eng menikah sehingga mengurangi ancaman. Akan tetapi, bagaimana kalau sewaktu-waktu Suma Cun Giok datang bersama gurunya? Ah, ke mana akan kutaruh mukaku ini? Memutuskan pertalian perjodohan secara sepihak! Padahal mereka itu pernah menyelamatkan Adikmu dari bencana, bahkan membalaskan kematian Adikmu Siok Li? Aku merasa malu sekali dan takut!”

“Gak-hu, saya percaya bahwa orang-orang gagah yang disebut pendekar seperti Suma Cun Giok dan gurunya itu akan dapat memahami kalau kita bicara terus terang tentang bahaya yang mengancam kita sehingga terpaksa Adik Eng kita jodohkan dengan laki-laki lain demi keselamatan kita semua. Biarlah saya yang akan memberi penjelasan kepada mereka kalau sewaktu-waktu mereka datang.”

Siok Kan menghela napas panjang. “Kalau begitu, terserah saja. Akan tetapi bagaimana kalau Siok Eng tidak mau menikah dengan orang lain?”

“Ayah, biarlah aku yang akan menjelaskan dan membujuk Adik Eng. Kukira ia akan mengerti dan mau menikah dengan orang lain demi keselamatan kita semua,” kata Siok Hwa.

Akan tetapi ketika malam hari itu Siok Hwa membicarakan urusan ini dengan Siok Eng, gadis itu menangis. Ia tidak dapat menyatakan setuju atau menolak. Hatinya bingung dan sedih bukan main. Telah tiga tahun lamanya ia menganggap dirinya sebagai calon isteri Cun Giok, menanti-nantinya dengar sabar dan setia dan sudah tumbuh perasaan cinta dan setianya kepada pemuda itu. Sukar bagi hatinya untuk memutuskan tali perjodohan itu dan menjadi isteri pria lain.

Akan tetapi mendengar penjelasan encinya, ia pun mengerti bahwa sukar pula baginya untuk tidak menyetujui pendapat keluarganya. Karena itu, ia tidak dapat memberi jawaban pasti, hanya menyerahkan segalanya kepada ayahnya, encinya dan ci-hunya (kakak iparnya). Akan tetapi sejak malam itu, ia selalu mengurung diri, menangis dan menangis!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Kota Cin-yang mulai gempar ketika tangan-tangan kotor para pejabat yang bertugas mengumpulkan tenaga kerja-paksa mulai menggerayangi daerah itu! Untuk menangani pengumpulan tenaga kerja ini, yang memegang pimpinan adalah Hakim Kui Hok, seorang pembesar bangsa Pribumi Han yang pandai menyenangkan hati para pejabat tinggi Kerajaan Mongol sehingga dia memperoleh kedudukan Hakim yang berkuasa penuh di Cin-yang.

Dialah yang membuat daftar nama orang-orang penduduk daerah itu yang dipilih menjadi tenaga kerja membantu pembangunan Terusan. Tentu saja tidak disebut sebagai kerja paksa, melainkan kerja bakti, merupakan kebaktian rakyat kepada pemerintahnya!

Adapun yang menjadi pelaksana tentu saja pasukan keamanan daerah itu dan sebagai pimpinan tertinggi tentu saja yang berwenang adalah Kim Thai-ciangkun (Panglima Kim), panglima yang paling berkuasa di daerah Propinsi Shan-tung. Panglima Kim adalah seorang Mongol bernama Kim Bayan, dan dia yang paling ditakuti karena dia merupakan seorang panglima yang diangkat oleh Kaisar sendiri. Bahkan Kepala Daerah Cin-yang, Yo-thaijin (Pembesar Yo), dan para pejabat lain seperti Kui Hok yang menjadi hakim atau kepala pengadilan di Cin-yang, mau tidak mau tunduk kepada Panglima Kim Bayan!

Baru beberapa hari saja setelah aksi pengumpulan tenaga kerja dilakukan, Cin-yang menjadi gempar. Mulailah para pejabat, terutama Panglima Kim Bayan dan Hakim Kui Hok, juga kaki tangannya, mengeruk keuntungan sebanyaknya dari peristiwa ini. Mereka yang namanya terdaftar, kebingungan mencari uang untuk menyogok agar terbebas dari kewajiban kerja bakti itu. Bagi mereka yang mempunyai uang, hal ini tidak terlalu meresahkan.

Mereka hanya tinggal mengurangi sebagian harta mereka untuk menyuap, dan beres. Akan tetapi bagi mereka yang tidak kaya, tentu saja menjadi bingung. Mulailah para hartawan menggunakan kesempatan ini untuk mengeduk keuntungan. Mereka memberi hutang kepada orang-orang yang kebingungan itu, dengan bunga besar dan tanah, rumah, atau sawah ladang mereka sebagai tanggungan!

Kalau atasannya kotor, bawahannya tidak mau kalah. Bukankah atasan itu menjadi panutan (tauladan) bagi bawahan? Para anak buah atau kaki tangan Panglima Kim dan Pembesar Kui demikian pula. Mereka berpesta pora dan bertindak sewenang-wenang, mengandalkan kekuasaan dua orang pejabat tinggi itu!

Di rumah Chao Kung, empat orang penghuninya juga gemetar mendengar bermacam berita tentang tindakan sewenang-wenang itu. Mereka merasa khawatir sekali dan setiap hari Chao Kung keluar rumah untuk berbincang-bincang dengan sesama warga kota Cin-yang, mendengar kejadian-kejadian hebat sebagai akibat dari aksi pengumpulan orang-orang lelaki untuk dijadikan 'pekerja bakti'! Kalau pulang dia menceritakan semua peristiwa itu kepada Siok Kan, Siok Hwa dan Siok Eng dan mereka menjadi prihatin sekali, gelisah memikirkan kalau-kalau Chao Kung akan terkena 'cidukan' pula.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali terdengar suara tangis riuh rendah di sebuah rumah tak jauh dari rumah tempat tinggal Chao Kung. Mendengar ini, Chao Kung dan ayah mertuanya, Siok Kan, segera lari bergegas dari rumah menuju ke rumah tetangganya yang sedang bertangisan itu. Siok Hwa dan Siok Eng tidak diperbolehkan keluar karena pada masa seperti itu, lebih aman bagi para wanita muda untuk tinggal di rumah dan tidak memperlihatkan diri di luar rumah.

Tetangga yang terkena musibah itu adalah Thio Sun Ki, laki-laki berusia tigapuluh dua tahun yang hidup di situ bersama ibunya yang sudah menjanda, isterinya yang berusia duapuluh lima tahun dan berwajah manis. Keluarga ini mempunyai seorang pelayan wanita tua. Thio Sun Ki bekerja sebagai pembuat tahu dan penghasilannya cukup untuk menghidupi keluarganya.

Tiga hari yang lalu, Thio Sun Ki terkena 'cidukan'. Dia dibawa ke markas oleh regu perajurit yang bertugas melaksanakan 'cidukan' terhadap mereka yang sudah masuk daftar. Regu perajurit itu yang merupakan regu dari pasukan istimewa, dipimpin oleh Perwira Lai Koan yang bertubuh gendut, berusia empatpuluh tahun dan terkenal galak.

Tentu saja Nyonya Thio yang manis itu menjadi cemas sekali. Orang yang terpilih menjadi pekerja paksa menggali Terusan kebanyakan akan mati oleh penyakit atau kelelahan dan kurang makan! Nyonya muda ini segera membawa semua perhiasannya yang ada, lalu pergi sendiri ke markas pasukan itu untuk 'menyogok' Lai-ciangkun (Perwira Lai) agar suaminya dibebaskan. Ibu mertuanya sudah melarangnya, namun Nyonya Thio yang belum mempunyai anak ini nekat karena apa yang ia lakukan itu berarti menebus nyawa suaminya dari ancaman maut!

Ia tidak pulang selama dua malam dan pada pagi hari yang ketiga itu, Nyonya Thio pulang dalam keadaan lunglai dan ia menggantung diri dalam kamarnya. Ibu mertuanya dan para tetangga perempuan yang menemukan Nyonya Thio sudah mati menggantung diri, menjerit-jerit dan menangis.

Ketika Chao Kung dan Siok Kan tiba di situ, sudah berkumpul banyak tetangga dan mereka mendengar bahwa nyonya muda itu membunuh diri karena ketika ia berusaha menyuap petugas agar membebaskan suaminya, ia malah ditangkap dan selama dua malam ia diperkosa dan dipermainkan Lai-ciangkun dan beberapa orang pembantunya! Nyonya muda itu pulang, menangis menceritakan malapetaka yang menimpanya dan tahu-tahu ia telah menggantung diri dalam kamarnya.

Peristiwa yang menimpa keluarga Thio itu bukan hal aneh terjadi pada masa itu. Perwira Lai Koan dalam waktu beberapa hari saja semenjak datang di Cin-yang dan menjadi kepala pasukan pelaksana 'cidukan' telah dikenal masyarakat sebagai seorang perwira yang mata keranjang. Dia sengaja memilih keluarga yang mempunyai wanita cantik untuk diciduk agar keluarga itu menebusnya dengan menyerahkan wanita cantik itu kepadanya, baik yang masih gadis maupun yang sudah bersuami.

Pada jaman itu, bukan merupakan rahasia lagi bagi masyarakat betapa sebagian besar pejabat adalah koruptor, sewenang-wenang terhadap rakyat mengandalkan kekuasaan mereka, dan hukum yang diadakan pemerintah bahkan merupakan senjata pelindung bagi para pejabat karena hukum yang terdiri dari kata-kata itu dapat diputar-balikkan dengan mudah oleh mereka yang berkuasa!

Kalau penduduk kota Cin-yang gelisah dan ketakutan, sebaliknya di dalam markasnya, Perwira Lai Koan dan para pembantunya berpesta pora. Pada masa itu, setan dan iblis bersuka ria dan tampaknya kejahatan berada di atas angin dan kebenaran seolah disaput kegelapan.

Rakyat hanya menjerit dalam hati mereka menuntut keadilan, akan tetapi mulut siapa yang berani meneriakkan tuntutan itu? Jangankan berteriak, baru membisikkan protes dan tuntutan saja sudah cukup untuk membuat si pemilik mulut itu ditangkap dengan tuduhan memberontak! Karena itu, rakyat hanya mampu menangis dan menyumpah-nyumpah di dalam hati mereka.

Pada suatu pagi yang cerah, jatuh giliran keluarga Siok Kan yang dilanda kegelisahan. Regu perajurit pelaksana pemilihan calon tenaga kerja paksa itu mendatangi rumah Chao Kung. Regu itu terdiri dari dua losin perajurit yang dipimpin sendiri oleh Lai-ciangkun.

Dengan sikapnya yang sombong, Perwira Lai Koan yang berusia empatpuluh tahun dan bertubuh gendut itu, menyentuh kumisnya yang tebal dengan jari tangannya ketika dia disambut oleh Chao Kung dan Siok Kan. Dua losin perajurit menanti di luar.

“Silakan masuk dan duduk, Ciang-kun,” kata Chao Kung dengan sikap hormat dan memaksa senyum walaupun mukanya pucat dan jantungnya berdebar tegang.

“Hemm, kami datang bukan untuk bertamu dan duduk mengobrol,” jawab Sang Perwira yang sombong itu. “Kalian yang bernama Chao Kung dan Siok Kan?” Lai-ciangkun berlagak memeriksa buku catatannya, di mana tertulis nama-nama orang yang akan diciduk dan dijadikan pekerja paksa.

Padahal tentu saja dia sudah tahu karena sebelumnya dia sudah mengetahui dari para penyelidik bahwa di rumah Chao Kung terdapat dua orang wanita muda yang cantik manis, yang seorang adalah isteri Chao Kung dan seorang pula adik iparnya yang masih gadis. Akan tetapi sekali ini perwira itu tidak mempunyai maksud untuk mendapatkan dua orang wanita cantik itu, melainkan untuk menuruti permintaan dua orang muda dengan mendapat imbalan uang!

“Benar, Ciang-kun. Saya bernama Chao Kung dan ini adalah ayah mertua saya bernama Siok Kan,” jawab Chao Kung, memaksa diri agar dapat menjawab tanpa gemetar.

“Bagus, kebetulan sekali kalian berdua berada di rumah. Kami datang memberitahu bahwa menurut daftar calon pekerja bakti, nama kalian tercantum. Kalian harus mempersiapkan diri untuk diberangkatkan membantu pekerjaan penting yang dilakukan pemerintah yaitu menggali Terusan Besar.”

Chao Kung dan Siok Kan yang sudah dapat menduga tidak terkejut mendengar ini, hanya merasa semakin gelisah. Chao Kung lalu memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada dan membungkuk sampai dalam.

“Ciang-kun, maafkan saya. Bukan sekali-kali saya hendak membangkang terhadap perintah itu, akan tetapi mohon dipertimbangkan kembali bahwa saya merupakan kepala keluarga di sini dan sayalah yang mencari nafkah untuk menghidupi keluarga saya. Adapun Ayah mertua saya ini sudah lanjut usianya, maka kami mohon kebijaksanaan Ciang-kun agar sudi mengasihani kami dan membebaskan kami dari Kerja Bakti.”

Sepasang alis tipis di muka yang bulat seperti bola itu dikerutkan, tangan kanan yang besar itu menyentuh ujung kumis dan dimainkannya. “Huh, perintah dari Sribaginda Kaisar tidak boleh ditawar-tawar! Kalian hanya menaati perintah atau siap untuk dihukum sebagai penentang kebijaksanaan Pemerintah Kerajaan! Habis perkara!”

“Ciang-kun yang terhormat, kasihanilah kami!” Chao Kung berkata. “Kalau terpaksa, biarlah saya saja yang bekerja bakti, akan tetapi mohon membebaskan Ayah mertua saya ini. Keluarga kami hanya dua orang laki-laki dan dua orang wanita. Kalau Ciang-kun mengambil kami dua orang laki-laki, yang tinggal hanya dua orang wanita yang lemah tak berdaya. Kasihanilah, Ciang-kun!”

“Sudah! Jangan banyak cerewet lagi! Kami beri waktu tiga hari. Dalam tiga hari itu kalian harus sudah siap dan akan dijemput pasukan!”

Setelah berkata demikian Perwira Lai Koan lalu memutar tubuhnya keluar dari rumah itu dan melangkah tegap diiringkan dua losin orang anak buahnya! Biarpun Chao Kung merasa gelisah sekali, namun dia masih melihat harapan. Diberinya waktu tiga hari itu tentu untuk memberi kesempatan kepadanya agar dia dapat menebus kebebasannya dengan uang sogokan!

Sehari itu, Chao Kung sibuk mengumpulkan emas, bukan hanya dari simpanan keluarganya sendiri, melainkan juga sibuk pinjam dari kenalannya. Siok Kan, Siok Hwa, dan Siok Eng hanya dapat berkeluh-kesah dalam keadaan gelisah sekali. Mereka dapat merasakan bahwa mereka berada di bawah ancaman marabahaya yang hebat.

Pada sore hari itu, Perwira Lai Koan muncul lagi bersama dua losin anak buahnya, sekali ini dia mengiringkan dua orang pemuda yang bukan lain adalah Kim Magu putera Panglima Kim Bayan yang berkuasa di Cin-yang, dan Kui Coa putera dari Kui Hok yang menjadi Kepala Pengadilan di Cin-yang.

Melihat datangnya dua orang pemuda bangsawan ini, jantung Choa Kung berdebar-debar ketika bersama Siok Kan dia menyambut rombongan itu. Dengan hormat Cao Kung mempersilakan Kim-kongcu (Tuan Muda Kim) dan Kui-kongcu untuk masuk dan duduk di ruangan depan. Dua orang pemuda itu tersenyum-senyum dan memasuki ruangan, diantar oleh Perwira Lai Koan sendiri sedangkan regunya menanti di luar.

“Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua),” kata Perwira Lai Koan dengan sikap menjilat kepada dua orang pemuda itu. “Orang tua ini adalah Siok Kan dan ini mantunya bernama Chao Kung...”

“Ha-ha-ha, kami sudah mengenal Chao Kung ini, Lai-ciangkun!” kata Kim Magu. Kemudian dia memandang Chao Kung dan berkata, “Chao Kung, menurut laporan Lai-ciangkun, engkau yang kepala keluarga di sini dan engkau bilang bahwa di sini hanya ada empat orang, dua pria dan dua wanita. Prianya tentu engkau dan Ayah mertuamu itu. Akan tetapi benarkah hanya ada empat orang di rumahmu? Kami ingin membuktikan. Suruh semua penghuni rumah ini ke sini agar kami dapat melihat buktinya!”

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 24

24: KAKI TANGAN KONGCU BERGAJUL

Siok Eng sedang sibuk di dapur mempersiapkan makan malam dan kesempatan itu dipergunakan suami isteri ini untuk bicara dengan ayah mereka mengenai diri Siok Eng.

“Mari kita rundingkan masak-masak!”

“Ayah, kami berdua bukan sekadar membujuk untuk kepentingan diri kami atau diri Ayah dan Adik Eng saja, melainkan demi keselamatan dan keamanan hidup kita semua. Kukira apa yang dikatakan suamiku benar dan memerlukan pertimbangan Ayah secara mendalam,” kata Siok Hwa kepada Siok Kan yang hanya menghela napas.

“Akan tetapi bagaimana dengan pertunangannya dengan pendekar Suma Cun Giok? Cun Giok dan kakeknya, Suma Tiang Bun, adalah penolong kami. Kalau tidak ada mereka mungkin Siok Eng sekarang juga sudah tewas membunuh diri, seperti adikmu Siok Li.”

“Karena itulah, Gak-hu, kita perlu membicarakan masalah ini agar jangan menyesal setelah terlambat. Kita semua menyadari bahwa Eng-moi (Adik Eng) telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik menarik. Buktinya, sudah puluhan kali orang datang melamar yang selalu Gak-hu tolak.”

“Bagaimana tidak harus kutolak, Chao Kung? Adik iparmu itu sudah ditunangkan, sudah menjadi calon isteri orang!”

“Akan tetapi, Ayah,” bantah Siok Hwa. “Kalau Suma Cun Giok itu memang benar-benar menghendaki agar Eng-moi menjadi isterinya, mengapa telah tiga tahun dia tidak datang menjenguk atau memberi kabar? Eng-moi tidak mungkin harus menunggu terus sampai tua!” Mengingat hal ini Siok Hwa panas hatinya. “Biarpun dia itu seorang pendekar, namun agaknya dia tidak setia kepada janjinya dan kini mungkin saja telah melupakan Eng-moi!”

“Aku tidak percaya Suma Cun Giok akan bersikap seperti itu!” kata Siok Kan menggelengkan kepalanya.

“Memang mungkin sekali tidak. Akan tetapi dia ada kemungkinan lain yang lebih gawat, Gak-hu,” kata Chao Kung.

“Apa itu?”

“Kita mengetahui bahwa Suma Cun Giok dan kakeknya itu adalah pendekar-pendekar petualang. Mereka telah berani menentang bahkan membunuh putera Pembesar Bhong di kota Lan-hui. Perbuatan nekat itu tentu membuat dia dianggap pemberontak oleh pemerintah Kerajaan Goan dan menjadi orang buruan. Siapa tahu sekarang dia bahkan sudah ditangkap, dipenjara atau mungkin juga dihukum mati sebagai pemberontak dan penjahat.”

“Huh, dia bukan penjahat! Yang jahat adalah bangsawan-bangsawan macam Jaksa Bhong dan Bhong-kongcu itu!” Siok Kan membantah.

“Kita tahu bahwa Suma Cun Giok adalah seorang pendekar yang membela rakyat dan menentang penguasa yang jahat. Akan tetapi pemerintah tidak menganggapnya demikian. Ingat, Gak-hu, kalau Adik Eng menjadi isteri Suma Cun Giok, hidupnya tentu juga tidak tenteram, tidak aman. Kalau suaminya dicari-cari dan dijadikan orang buruan pemerintah, bagaimana mungkin Adik Eng dapat hidup tenang dan bahagia?”

Siok Kan menundukkan mukanya, alisnya berkerut dan berulang-ulang dia menghela napas panjang. Suami isteri itu saling pandang dan Siok Hwa memberi isyarat kepada suaminya agar jangan terlalu menekan ayahnya. Chao Kung menghela napas dan berkata dengan lembut.

“Gak-hu, maafkan kelancangan saya. Akan tetapi, saya melihat kenyataan-kenyataan yang amat mengkhawatirkan. Karena Adik Eng selalu menolak pinangan orang, para pemuda yang ditolak itu tentu saja menjadi kecewa dan marah. Kalau sampai ada putera pembesar yang tertarik kepada Adik Eng... ah, saya sungguh khawatir apa yang Gak-hu alami di dusun Ci-bun dulu akan terulang kembali. Terus terang saja, kemarin dulu ketika saya menyetorkan rempa-rempa yang dipesan orang, pulangnya saya singgah di rumah makan sekadar membeli bakmi dan minum arak manis. Di rumah makan itu saya dipanggil dua orang pemuda yang bukan lain adalah Kim-kongcu (Tuan Muda Kim) dan Kui-kongcu. Mereka membayar makanan dan minuman yang saya pesan dan mereka mengajak saya bicara tentang Adik Eng yang mereka puji-puji kecantikannya. Mereka sudah mendengar bahwa Adik Eng menolak pinangan banyak pemuda, dan mereka menyinggung tentang pertunangan Adik Eng. Mereka bertanya apakah benar Adik Eng sudah ditunangkan, kalau sudah kapan menikahnya dan mengapa selama ini tunangannya tidak pernah muncul di kota ini. Mereka agaknya curiga, Gak-hu. Mereka mengatakan bahwa Adik Eng sudah lebih dari dewasa untuk menikah dan agaknya dua orang itu kagum dan tertarik kepada Adik Eng.”

“Hemm, siapakah mereka itu?” tanya Siok Kan sambil mengerutkan alisnya.

“Kim-kongcu adalah putera Panglima Kim Bayan yang menjadi panglima yang menguasai pasukan yang berada di Propinsi Shan-tung, sedangkan Kui-kongcu adalah putera Kui-thaijin (Pembesar Kui) yang menjadi Kepala Pengadilan di kota ini. Semua orang di Cin-yang ini sudah tahu bahwa Kim-kongcu suka bertindak sewenang-wenang, mengandalkan kedudukan ayahnya. Bahkan para pejabat pun takut kepada Kim Thai-ciangkun (Panglima Kim). Demikianlah, Gak-hu, saya kira kalau Adik Eng sudah menikah, bahayanya tidak akan sebesar kalau ia masih gadis dan menjadi incaran para pemuda di sini.”

Siok Kan mengerutkan alisnya dan dia pun mulai merasa khawatir sekali. “Aku mengerti apa yang kalian maksudkan dan memang pendapat kalian itu benar. Memang sudah sebaiknya kalau adik kalian Siok Eng menikah sehingga mengurangi ancaman. Akan tetapi, bagaimana kalau sewaktu-waktu Suma Cun Giok datang bersama gurunya? Ah, ke mana akan kutaruh mukaku ini? Memutuskan pertalian perjodohan secara sepihak! Padahal mereka itu pernah menyelamatkan Adikmu dari bencana, bahkan membalaskan kematian Adikmu Siok Li? Aku merasa malu sekali dan takut!”

“Gak-hu, saya percaya bahwa orang-orang gagah yang disebut pendekar seperti Suma Cun Giok dan gurunya itu akan dapat memahami kalau kita bicara terus terang tentang bahaya yang mengancam kita sehingga terpaksa Adik Eng kita jodohkan dengan laki-laki lain demi keselamatan kita semua. Biarlah saya yang akan memberi penjelasan kepada mereka kalau sewaktu-waktu mereka datang.”

Siok Kan menghela napas panjang. “Kalau begitu, terserah saja. Akan tetapi bagaimana kalau Siok Eng tidak mau menikah dengan orang lain?”

“Ayah, biarlah aku yang akan menjelaskan dan membujuk Adik Eng. Kukira ia akan mengerti dan mau menikah dengan orang lain demi keselamatan kita semua,” kata Siok Hwa.

Akan tetapi ketika malam hari itu Siok Hwa membicarakan urusan ini dengan Siok Eng, gadis itu menangis. Ia tidak dapat menyatakan setuju atau menolak. Hatinya bingung dan sedih bukan main. Telah tiga tahun lamanya ia menganggap dirinya sebagai calon isteri Cun Giok, menanti-nantinya dengar sabar dan setia dan sudah tumbuh perasaan cinta dan setianya kepada pemuda itu. Sukar bagi hatinya untuk memutuskan tali perjodohan itu dan menjadi isteri pria lain.

Akan tetapi mendengar penjelasan encinya, ia pun mengerti bahwa sukar pula baginya untuk tidak menyetujui pendapat keluarganya. Karena itu, ia tidak dapat memberi jawaban pasti, hanya menyerahkan segalanya kepada ayahnya, encinya dan ci-hunya (kakak iparnya). Akan tetapi sejak malam itu, ia selalu mengurung diri, menangis dan menangis!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Kota Cin-yang mulai gempar ketika tangan-tangan kotor para pejabat yang bertugas mengumpulkan tenaga kerja-paksa mulai menggerayangi daerah itu! Untuk menangani pengumpulan tenaga kerja ini, yang memegang pimpinan adalah Hakim Kui Hok, seorang pembesar bangsa Pribumi Han yang pandai menyenangkan hati para pejabat tinggi Kerajaan Mongol sehingga dia memperoleh kedudukan Hakim yang berkuasa penuh di Cin-yang.

Dialah yang membuat daftar nama orang-orang penduduk daerah itu yang dipilih menjadi tenaga kerja membantu pembangunan Terusan. Tentu saja tidak disebut sebagai kerja paksa, melainkan kerja bakti, merupakan kebaktian rakyat kepada pemerintahnya!

Adapun yang menjadi pelaksana tentu saja pasukan keamanan daerah itu dan sebagai pimpinan tertinggi tentu saja yang berwenang adalah Kim Thai-ciangkun (Panglima Kim), panglima yang paling berkuasa di daerah Propinsi Shan-tung. Panglima Kim adalah seorang Mongol bernama Kim Bayan, dan dia yang paling ditakuti karena dia merupakan seorang panglima yang diangkat oleh Kaisar sendiri. Bahkan Kepala Daerah Cin-yang, Yo-thaijin (Pembesar Yo), dan para pejabat lain seperti Kui Hok yang menjadi hakim atau kepala pengadilan di Cin-yang, mau tidak mau tunduk kepada Panglima Kim Bayan!

Baru beberapa hari saja setelah aksi pengumpulan tenaga kerja dilakukan, Cin-yang menjadi gempar. Mulailah para pejabat, terutama Panglima Kim Bayan dan Hakim Kui Hok, juga kaki tangannya, mengeruk keuntungan sebanyaknya dari peristiwa ini. Mereka yang namanya terdaftar, kebingungan mencari uang untuk menyogok agar terbebas dari kewajiban kerja bakti itu. Bagi mereka yang mempunyai uang, hal ini tidak terlalu meresahkan.

Mereka hanya tinggal mengurangi sebagian harta mereka untuk menyuap, dan beres. Akan tetapi bagi mereka yang tidak kaya, tentu saja menjadi bingung. Mulailah para hartawan menggunakan kesempatan ini untuk mengeduk keuntungan. Mereka memberi hutang kepada orang-orang yang kebingungan itu, dengan bunga besar dan tanah, rumah, atau sawah ladang mereka sebagai tanggungan!

Kalau atasannya kotor, bawahannya tidak mau kalah. Bukankah atasan itu menjadi panutan (tauladan) bagi bawahan? Para anak buah atau kaki tangan Panglima Kim dan Pembesar Kui demikian pula. Mereka berpesta pora dan bertindak sewenang-wenang, mengandalkan kekuasaan dua orang pejabat tinggi itu!

Di rumah Chao Kung, empat orang penghuninya juga gemetar mendengar bermacam berita tentang tindakan sewenang-wenang itu. Mereka merasa khawatir sekali dan setiap hari Chao Kung keluar rumah untuk berbincang-bincang dengan sesama warga kota Cin-yang, mendengar kejadian-kejadian hebat sebagai akibat dari aksi pengumpulan orang-orang lelaki untuk dijadikan 'pekerja bakti'! Kalau pulang dia menceritakan semua peristiwa itu kepada Siok Kan, Siok Hwa dan Siok Eng dan mereka menjadi prihatin sekali, gelisah memikirkan kalau-kalau Chao Kung akan terkena 'cidukan' pula.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali terdengar suara tangis riuh rendah di sebuah rumah tak jauh dari rumah tempat tinggal Chao Kung. Mendengar ini, Chao Kung dan ayah mertuanya, Siok Kan, segera lari bergegas dari rumah menuju ke rumah tetangganya yang sedang bertangisan itu. Siok Hwa dan Siok Eng tidak diperbolehkan keluar karena pada masa seperti itu, lebih aman bagi para wanita muda untuk tinggal di rumah dan tidak memperlihatkan diri di luar rumah.

Tetangga yang terkena musibah itu adalah Thio Sun Ki, laki-laki berusia tigapuluh dua tahun yang hidup di situ bersama ibunya yang sudah menjanda, isterinya yang berusia duapuluh lima tahun dan berwajah manis. Keluarga ini mempunyai seorang pelayan wanita tua. Thio Sun Ki bekerja sebagai pembuat tahu dan penghasilannya cukup untuk menghidupi keluarganya.

Tiga hari yang lalu, Thio Sun Ki terkena 'cidukan'. Dia dibawa ke markas oleh regu perajurit yang bertugas melaksanakan 'cidukan' terhadap mereka yang sudah masuk daftar. Regu perajurit itu yang merupakan regu dari pasukan istimewa, dipimpin oleh Perwira Lai Koan yang bertubuh gendut, berusia empatpuluh tahun dan terkenal galak.

Tentu saja Nyonya Thio yang manis itu menjadi cemas sekali. Orang yang terpilih menjadi pekerja paksa menggali Terusan kebanyakan akan mati oleh penyakit atau kelelahan dan kurang makan! Nyonya muda ini segera membawa semua perhiasannya yang ada, lalu pergi sendiri ke markas pasukan itu untuk 'menyogok' Lai-ciangkun (Perwira Lai) agar suaminya dibebaskan. Ibu mertuanya sudah melarangnya, namun Nyonya Thio yang belum mempunyai anak ini nekat karena apa yang ia lakukan itu berarti menebus nyawa suaminya dari ancaman maut!

Ia tidak pulang selama dua malam dan pada pagi hari yang ketiga itu, Nyonya Thio pulang dalam keadaan lunglai dan ia menggantung diri dalam kamarnya. Ibu mertuanya dan para tetangga perempuan yang menemukan Nyonya Thio sudah mati menggantung diri, menjerit-jerit dan menangis.

Ketika Chao Kung dan Siok Kan tiba di situ, sudah berkumpul banyak tetangga dan mereka mendengar bahwa nyonya muda itu membunuh diri karena ketika ia berusaha menyuap petugas agar membebaskan suaminya, ia malah ditangkap dan selama dua malam ia diperkosa dan dipermainkan Lai-ciangkun dan beberapa orang pembantunya! Nyonya muda itu pulang, menangis menceritakan malapetaka yang menimpanya dan tahu-tahu ia telah menggantung diri dalam kamarnya.

Peristiwa yang menimpa keluarga Thio itu bukan hal aneh terjadi pada masa itu. Perwira Lai Koan dalam waktu beberapa hari saja semenjak datang di Cin-yang dan menjadi kepala pasukan pelaksana 'cidukan' telah dikenal masyarakat sebagai seorang perwira yang mata keranjang. Dia sengaja memilih keluarga yang mempunyai wanita cantik untuk diciduk agar keluarga itu menebusnya dengan menyerahkan wanita cantik itu kepadanya, baik yang masih gadis maupun yang sudah bersuami.

Pada jaman itu, bukan merupakan rahasia lagi bagi masyarakat betapa sebagian besar pejabat adalah koruptor, sewenang-wenang terhadap rakyat mengandalkan kekuasaan mereka, dan hukum yang diadakan pemerintah bahkan merupakan senjata pelindung bagi para pejabat karena hukum yang terdiri dari kata-kata itu dapat diputar-balikkan dengan mudah oleh mereka yang berkuasa!

Kalau penduduk kota Cin-yang gelisah dan ketakutan, sebaliknya di dalam markasnya, Perwira Lai Koan dan para pembantunya berpesta pora. Pada masa itu, setan dan iblis bersuka ria dan tampaknya kejahatan berada di atas angin dan kebenaran seolah disaput kegelapan.

Rakyat hanya menjerit dalam hati mereka menuntut keadilan, akan tetapi mulut siapa yang berani meneriakkan tuntutan itu? Jangankan berteriak, baru membisikkan protes dan tuntutan saja sudah cukup untuk membuat si pemilik mulut itu ditangkap dengan tuduhan memberontak! Karena itu, rakyat hanya mampu menangis dan menyumpah-nyumpah di dalam hati mereka.

Pada suatu pagi yang cerah, jatuh giliran keluarga Siok Kan yang dilanda kegelisahan. Regu perajurit pelaksana pemilihan calon tenaga kerja paksa itu mendatangi rumah Chao Kung. Regu itu terdiri dari dua losin perajurit yang dipimpin sendiri oleh Lai-ciangkun.

Dengan sikapnya yang sombong, Perwira Lai Koan yang berusia empatpuluh tahun dan bertubuh gendut itu, menyentuh kumisnya yang tebal dengan jari tangannya ketika dia disambut oleh Chao Kung dan Siok Kan. Dua losin perajurit menanti di luar.

“Silakan masuk dan duduk, Ciang-kun,” kata Chao Kung dengan sikap hormat dan memaksa senyum walaupun mukanya pucat dan jantungnya berdebar tegang.

“Hemm, kami datang bukan untuk bertamu dan duduk mengobrol,” jawab Sang Perwira yang sombong itu. “Kalian yang bernama Chao Kung dan Siok Kan?” Lai-ciangkun berlagak memeriksa buku catatannya, di mana tertulis nama-nama orang yang akan diciduk dan dijadikan pekerja paksa.

Padahal tentu saja dia sudah tahu karena sebelumnya dia sudah mengetahui dari para penyelidik bahwa di rumah Chao Kung terdapat dua orang wanita muda yang cantik manis, yang seorang adalah isteri Chao Kung dan seorang pula adik iparnya yang masih gadis. Akan tetapi sekali ini perwira itu tidak mempunyai maksud untuk mendapatkan dua orang wanita cantik itu, melainkan untuk menuruti permintaan dua orang muda dengan mendapat imbalan uang!

“Benar, Ciang-kun. Saya bernama Chao Kung dan ini adalah ayah mertua saya bernama Siok Kan,” jawab Chao Kung, memaksa diri agar dapat menjawab tanpa gemetar.

“Bagus, kebetulan sekali kalian berdua berada di rumah. Kami datang memberitahu bahwa menurut daftar calon pekerja bakti, nama kalian tercantum. Kalian harus mempersiapkan diri untuk diberangkatkan membantu pekerjaan penting yang dilakukan pemerintah yaitu menggali Terusan Besar.”

Chao Kung dan Siok Kan yang sudah dapat menduga tidak terkejut mendengar ini, hanya merasa semakin gelisah. Chao Kung lalu memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada dan membungkuk sampai dalam.

“Ciang-kun, maafkan saya. Bukan sekali-kali saya hendak membangkang terhadap perintah itu, akan tetapi mohon dipertimbangkan kembali bahwa saya merupakan kepala keluarga di sini dan sayalah yang mencari nafkah untuk menghidupi keluarga saya. Adapun Ayah mertua saya ini sudah lanjut usianya, maka kami mohon kebijaksanaan Ciang-kun agar sudi mengasihani kami dan membebaskan kami dari Kerja Bakti.”

Sepasang alis tipis di muka yang bulat seperti bola itu dikerutkan, tangan kanan yang besar itu menyentuh ujung kumis dan dimainkannya. “Huh, perintah dari Sribaginda Kaisar tidak boleh ditawar-tawar! Kalian hanya menaati perintah atau siap untuk dihukum sebagai penentang kebijaksanaan Pemerintah Kerajaan! Habis perkara!”

“Ciang-kun yang terhormat, kasihanilah kami!” Chao Kung berkata. “Kalau terpaksa, biarlah saya saja yang bekerja bakti, akan tetapi mohon membebaskan Ayah mertua saya ini. Keluarga kami hanya dua orang laki-laki dan dua orang wanita. Kalau Ciang-kun mengambil kami dua orang laki-laki, yang tinggal hanya dua orang wanita yang lemah tak berdaya. Kasihanilah, Ciang-kun!”

“Sudah! Jangan banyak cerewet lagi! Kami beri waktu tiga hari. Dalam tiga hari itu kalian harus sudah siap dan akan dijemput pasukan!”

Setelah berkata demikian Perwira Lai Koan lalu memutar tubuhnya keluar dari rumah itu dan melangkah tegap diiringkan dua losin orang anak buahnya! Biarpun Chao Kung merasa gelisah sekali, namun dia masih melihat harapan. Diberinya waktu tiga hari itu tentu untuk memberi kesempatan kepadanya agar dia dapat menebus kebebasannya dengan uang sogokan!

Sehari itu, Chao Kung sibuk mengumpulkan emas, bukan hanya dari simpanan keluarganya sendiri, melainkan juga sibuk pinjam dari kenalannya. Siok Kan, Siok Hwa, dan Siok Eng hanya dapat berkeluh-kesah dalam keadaan gelisah sekali. Mereka dapat merasakan bahwa mereka berada di bawah ancaman marabahaya yang hebat.

Pada sore hari itu, Perwira Lai Koan muncul lagi bersama dua losin anak buahnya, sekali ini dia mengiringkan dua orang pemuda yang bukan lain adalah Kim Magu putera Panglima Kim Bayan yang berkuasa di Cin-yang, dan Kui Coa putera dari Kui Hok yang menjadi Kepala Pengadilan di Cin-yang.

Melihat datangnya dua orang pemuda bangsawan ini, jantung Choa Kung berdebar-debar ketika bersama Siok Kan dia menyambut rombongan itu. Dengan hormat Cao Kung mempersilakan Kim-kongcu (Tuan Muda Kim) dan Kui-kongcu untuk masuk dan duduk di ruangan depan. Dua orang pemuda itu tersenyum-senyum dan memasuki ruangan, diantar oleh Perwira Lai Koan sendiri sedangkan regunya menanti di luar.

“Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua),” kata Perwira Lai Koan dengan sikap menjilat kepada dua orang pemuda itu. “Orang tua ini adalah Siok Kan dan ini mantunya bernama Chao Kung...”

“Ha-ha-ha, kami sudah mengenal Chao Kung ini, Lai-ciangkun!” kata Kim Magu. Kemudian dia memandang Chao Kung dan berkata, “Chao Kung, menurut laporan Lai-ciangkun, engkau yang kepala keluarga di sini dan engkau bilang bahwa di sini hanya ada empat orang, dua pria dan dua wanita. Prianya tentu engkau dan Ayah mertuamu itu. Akan tetapi benarkah hanya ada empat orang di rumahmu? Kami ingin membuktikan. Suruh semua penghuni rumah ini ke sini agar kami dapat melihat buktinya!”