Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 23 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

23: AKU TIDAK SUKA JADI ISTRINYA, TITIK!

Kong Sek berdiri dengan muka pucat, memandang wajah sumoinya, lalu menoleh dan memandang wajah Cun Giok penuh kebencian, dan menoleh ke kanan kiri melihat anak buahnya yang mulai merangkak bangun. Dia merasa marah, kecewa dan malu sekali. Dia membungkuk, mengambil pedangnya dan sekali lagi menatap wajah sumoinya.

“Baik, Sumoi. Aku akan melapor kepada Suhu!” Setelah berkata demikian, dia lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu menuju kota raja.

Selosin pengawal itu saling bantu dan akhirnya mereka pun naik kuda masing-masing dan pergi sambil merintih-rintih. Masih untung bagi mereka bahwa Cun Giok tidak membunuh mereka.

Setelah derap kaki kuda rombongan itu tidak terdengar lagi, Ai Yin berkata dengan cemberut dan pandang mata marah. “Engkau menipuku! Engkau pura-pura tak berdaya dan terbelenggu. Ternyata engkau hanya pura-pura dan dengan mudah engkau dapat melepaskan diri kalau kau kehendaki! Huh, engkau membodohi aku, ataukah hendak pamer kepandaianmu, ya?”

Cun Giok menghela napas panjang. “Sama sekali tidak, Nona Cu. Aku menyerah di sana tadi karena aku tidak berani menentang Ayahmu yang telah begitu baik bersamamu menolongku dan menerimaku sebagai tamu. Aku pura-pura menyerah di depan Ayahmu. Kalau aku ketika itu melarikan diri dari depan Ayahmu seperti yang kau anjurkan, berarti aku mempermalukan Ayahmu karena aku dapat lolos di depannya! Akan tetapi kalau aku meloloskan diri di tengah perjalanan, ini di luar tanggung jawab Ayahmu. Nah, bukan sekali-kali aku membodohimu atau pamer kekuatan karena aku sama sekali tidak mengira bahwa engkau membayangi rombongan itu. Ah, Nona Cu, berulang kali engkau menolongku. Mengapa engkau menolongku ketika Kongcu (Tuan Muda) tadi hendak memenggal leherku?”

“Huh, tanpa kucegah sekalipun engkau pasti tidak akan menyerahkan nyawamu begitu saja!”

“Memang benar. Akan tetapi mengapa engkau mencegah dia membunuhku? Mengapa engkau menolongku, Nona Cu?”

Mulut gadis itu berjebi, “Huh, kau jangan mengira macam-macam, ya? Aku mencegah Suheng melanggar janjinya dan melanggar peraturan, sama sekali bukan untuk menolongmu! Hemm, kau kira kenapa aku menolongmu?”

“Maafkan aku yang salah bicara. Nona Cu. Sungguh aku tidak menduga macam-macam. Aku yakin bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita yang budiman dan tadi engkau melihat orang yang sudah dibelenggu dan tidak mampu melawan akan dibunuh begitu saja tentu timbul jiwa pendekarmu dan mencegahnya. Sekali lagi terima kasih, Nona. Budimu amat besar dan aku tidak akan melupakannya.”

Cun Giok memberi hormat dan menjura. Agaknya kata-kata dan sikap Cun Giok itu meredakan kemarahan gadis itu. Ia menghela napas dan pandang matanya tampak berduka.

“Hemm, gara-gara engkau aku bertentangan dengan Ayahku. Setelah apa yang terjadi tadi, tentu Suheng Kong Sek akan melapor kepada Ayah dan Ayah tentu akan marah sekali kepadaku. Ahh, aku tidak berani pulang, bukan takut kepada Ayah. Ayah terlalu mengasihi aku dan tidak akan mau menghukum dan menyakiti aku. Akan tetapi hatiku akan sedih sekali kalau melihat Ayah marah dan berduka. Aku tidak tahan melihatnya berduka...” Lalu ia cemberut lagi, memandang kepada Cun Giok dan mencela. “Engkau sih yang menjadi gara-gara. Andaikata aku tidak bertemu denganmu yang menggeletak pingsan di tepi sungai dan engkau tidak menjadi tamu kami, sekarang tentu aku dan Ayah tidak saling bertentangan!”

Cun Giok merasa menyesal sekali. Tak disangkanya bahwa pertemuannya dengan gadis itu menimbulkan masalah besar pada gadis cantik dan gagah itu. “Aih, aku menyesal sekali, Nona Cu. Kalau saja engkau ketika itu tidak melihatku, tidak menolongku dan membawa aku ke rumahmu, aku pasti sudah mati dan tidak timbul bermacam-macam urusan ini! Ah, diriku ini membawa kesialan saja kepada semua orang!”

Ucapan pemuda itu menyadarkan Ai Yin bahwa ia terlalu menyalahkan pemuda yang sebetulnya tidak mempunyai kesalahan apa-apa itu. “Bukan, bukan itu sebetulnya yang membuat aku kesal dan terpaksa bertentangan dengan Ayahku. Yang membuat aku kesal adalah karena aku... karena Ayah... hendak menjodohkan aku dengan Suheng...”

“Dengan Kong Sek itu?”

Cu Ai Yin teringat akan pertentangannya dengan ayahnya dan ia tidak dapat menahan mengalirnya air mata ke atas sepasang pipinya.

“Ah, jangan bersedih, Nona Cu. Aku kira Ayahmu itu seorang yang bijaksana dan amat menyayangmu. Kalau dia menghendaki engkau berjodoh, aku yakin dia akan memilihkan pasangan yang terbaik bagimu. Aku yakin bahwa Kong Sek seorang pemuda yang amat baik. Wajahnya tampan dan gagah, dia berbakti kepada orang tua, taat kepada guru dan dia Suhengmu sendiri. Berarti engkau sudah bergaul lama dengan dia dan sudah mengenal wataknya, bukan?”

“Huh, aku tidak butuh ketampanan, kegagahan, kaya raya atau keturunan panglima! Yang jelas, hatiku tidak suka dan aku tidak ingin menjadi isterinya. Apalagi setelah aku mendengar betapa jahat Ayahhnya, mendiang Panglima Kong itu!”

Cun Giok menghela napas panjang. Dia tahu bahwa kalau Ai Yin mendengar lebih banyak lagi tentang Panglima Kong Tek Kok, ia tentu akan semakin membencinya. “Memang, mendiang Panglima Kong adalah seorang yang kejam dan jahat. Akan tetapi menilai seseorang jangan dari ayahnya. Banyak saja terdapat pendeta dan orang-orang yang baik budi mempunyai anak yang tersesat dan menjadi jahat. Sebaliknya banyak pula orang-orang yang termasuk golongan penjahat mempunyai anak yang baik dan bijaksana.”

“Sudahlah! Aku tidak suka menjadi isterinya, titik, dan tidak ada seorang pun di dunia ini boleh memaksa aku menjadi isteri Suheng Kong Sek, Ayahku pun tidak boleh! Nah, aku pergi!” kata gadis itu sambil membalikkan tubuhnya.

“Nona Cu, kalau engkau tidak berani pulang, engkau hendak pergi ke manakah?” tanya Cun Giok dengan hati iba.

“Ke mana saja!” gadis itu menjawab, akan tetapi ia sudah lari jauh.

Cun Giok berdiri termenung, lalu melangkah pergi. Ah, betapa dalam kehidupan ini banyak sekali terjadi hal-hal yang menyedihkan. Dia sendiri merasa tertekan batinnya oleh kematian Siang Ni yang begitu menyedihkan. Dia merasa amat iba kepada adik misannya itu, satu-satunya keluarganya yang masih hidup. Akan tetapi, adik misannya itu pun kini tiada lagi, tewas dengan cara membunuh diri di depan makam orang tuanya!

Dan sekarang, dia melihat Cu Ai Yin yang telah menolongnya itu juga dalam keadaan yang menyedihkan! Anak tunggal yang bertentangan dengan ayahnya karena hendak dijodohkan dengan seorang pemuda di luar keinginannya. Kini gadis itu tidak mau pulang dan dia dapat membayangkan betapa sengsaranya seorang gadis yang biasa hidup serba kecukupan seperti Ai Yin kini merantau seorang diri!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Sejak pertahanan para panglima yang setia kepada Kerajaan Sung dikalahkan pasukan Mongol, bahkan pertahanan terakhir di Kanton juga dihancurkan, Kaisar yang masih kecil yang diangkat oleh para panglima itu akhirnya oleh seorang panglima dibawa loncat ke lautan dan tenggelam ketika kapal mereka diserbu oleh pasukan Mongol yang mengejarnya, yaitu pada tahun 1279, Cina dikuasai sepenuhnya oleh bangsa Mongol yang mendirikan Kerajaan atau Wangsa Goan (1279-1368).

Pada saat ini, Pouw Cun Giok telah berusia dua puluh satu tahun. Yang menjadi kaisar adalah Kubilai Khan, kaisar yang namanya tercatat dalam sejarah sebagai seorang Kaisar Mongol yang hebat dan besar setelah Jenghis Khan, pendiri Kerajaan Goan. Seperti juga Jenghis Khan, Kubilai Khan juga seorang ahli perang dan gila perang. Dia mengirim pasukan Mongol yang terkenal ganas itu ke negeri seberang. Walaupun hasilnya tidak sebesar ketika Jenghis Khan memimpin pasukannya, namun tetap saja gerakan-gerakan Kubilai Khan membuatnya tersohor di dunia.

Setelah Kanton jatuh dan Kubilai Khan menjadi Kaisar dari seluruh daratan Cina, dia telah melakukan banyak hal yang hebat, sehingga nama besar Kubilai Khan sebagai penerus kakeknya, Jenghis Khan dikenal di seluruh dunia. Belum pernah tercatat dalam sejarah ada Kerajaan di Cina yang berhasil menyerang, menalukkan demikian banyak negara sampai jauh seperti di jaman Kerajaan Goan yang dipimpin oleh Kaisar Kubilai Khan.

Bagaikan seekor burung rajawali yang memiliki paruh dan cakar yang amat kuat dan ganas, pasukan Mongol yang ahli menunggang kuda dan ahli perang itu sudah memperlebar sayapnya ke empat penjuru. Di utara, mereka menyerbu dan menguasai sampai ke Siberia dan bagian selatan Russia, di timur mereka menaklukkan Mancuria, Korea bahkan pernah menyerbu Jepang walaupun mengalami kegagalan. Kekuasaan Kerajaan Mongol di timur sampai ke lautan antara daratan Cina dan Jepang. Di barat, gerakan pasukan Mongol amat luas dan jauh.

Bahkan menjelajah daerah yang hampir seluas daratan Cina sendiri. Pasukan mereka menyerbu Turkestan, Persia sampai memasuki Baghdad dan Irak, bahkan sudah mencapai sebagian Europa timur seperti Anatolia. Dunia Timur Tengah dan Europa menjadi gempar! Kemudian gerakan pasukan Mongol ke selatan juga menggemparkan. Mereka menguasai Tibet, bagian utara dari India, Birma, juga Champa (Kamboja)!

Akan tetapi setelah Kubilai menarik kembali semua pasukannya, karena daerah yang ditaklukkannya itu terlampau luas dan daerah-daerah barat yang sudah ditalukkan itu masih terus melakukan perlawanan, yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Goan hanya sampai daerah Tibet dan Nepal saja.

Di Cina sendiri, harus diakui bahwa Kaisar Kubilai Khan melakukan banyak hal yang menggemparkan, baik yang akibatnya mengagumkan maupun yang akibatnya kesengsaraan bagi rakyat jelata. Dia membangun banyak istana yang serba indah dan mewah, mendatangkan para ahli bangunan dari segala bangsa.

Kubilai Khan adalah seorang yang tidak membeda-bedakan bangsa atau agama. Yang dapat dia pergunakan tenaga dan keahliannya, tentu dia beri kedudukan yang pantas dan sesuai dengan jasa mereka. Karena itu, seperti tercatat dalam sejarah, di bawah pemerintahan Kubilai Khan terdapat pejabat-pejabat pemerintah terdiri dari bermacam bangsa yang beragama Islam, Kristen, Buddha, atau Agama To.

Sesungguhnya, hal ini bukan merupakan sikap yang luar biasa bagi rakyat Cina karena sejak jaman Dinasti Han, para penguasa tidak pernah membedakan agama karena yang dinilai adalah manusianya, yang tampak dari sikap dan perbuatannya, bukan Agamanya.

Hanya bedanya antara kerajaan-kerajaan yang dipimpin bangsa Pribumi dan Kerajaan Mongol adalah bahwa Kerajaan Goan tidak membedakan bangsa dan agama dan memberi kedudukan yang penting kepada banyak orang asing, namun terhadap bangsa Pribumi mereka memilih dengan ketat.

Tidak sembarang orang Han (Pribumi) yang dapat memperoleh kedudukan tinggi, kecuali orang-orang yang sudah diyakini kesetiaannya. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh kekhawatiran kalau-kalau ada orang Han yang setelah memperoleh kedudukan tinggi, akan membuat gerakan pemberontakan!

Dengan sendirinya, para pembesar yang berbangsa Han dan terpilih oleh Kerajaan Mongol, merasa dirinya dipilih sehingga mereka menjadi sombong karena merasa lebih daripada orang-orang biasa! Rakyat jelata menganggap para pembesar Pribumi yang hidup mewah karena korupsi itu sebagai pengkhianat-pengkhianat bangsa dan diam-diam membenci mereka, bahkan melebihi kebencian mereka terhadap orang Mongol sendiri.

Untuk melaksanakan pembangunan-pembangunan besar-besaran, biarpun hal itu di satu pihak baik, namun di lain pihak mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat. Pada jaman Kerajaan Sui lalu diteruskan dalam Kerajaan Sung, telah digali Terusan Besar yang menghubungkan Sungai Yang-ce dan Huang-ho.

Kini, Kaisar Kubilai Khan memerintahkan agar digali Terusan yang menghubungkan kota raja Peking dengan Sungai Kuning (Huang-ho), yaitu melanjutkan Terusan yang sudah ada dari Sungai Yang-ce ke Sungai Huang-ho. Hal ini untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi, terutama beras, yang terdapat melimpah di Lembah Yang-ce.

Untuk dapat melaksanakan perintah Kaisar yang merupakan pekerjaan amat besar itu, tentu saja dibutuhkan banyak sekali tenaga manusia. Para pembesar tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk memperkaya diri. Biaya dari kerajaan yang disediakan untuk membayar para pekerja, seperti sudah umum terjadi pada masa itu, dikorup secara besar-besaran.

Mereka menggunakan kekuasaan mereka untuk memerintahkan para kepala dusun agar para kepala dusun mengerahkan rakyat petani yang miskin. Para petani itu, puluhan bahkan ratusan ribu jumlahnya dari berbagai daerah, dipaksa oleh kepala dusun mereka untuk meninggalkan sawah ladang dan dipaksa bekerja pada penggalian Terusan.

Para petugas dusun juga mempergunakan kesempatan ini untuk mengeduk keuntungan sebesarnya. Siapa yang mampu membayar uang sogokan, tentu dapat ditangguhkan atau bahkan dibebaskan sama sekali dari 'kewajiban' membangun Terusan. Akan tetapi mereka yang tidak mampu, dipaksa dengan ancaman untuk berangkat membantu kerajaan yang dipropagandakan akan menyejahterakan rakyat dengan adanya Terusan dari Terusan Lama ke Peking itu. Terjadilah penyelewengan-penyelewengan dilakukan oleh hamba-hamba kerajaan yang sekaligus menjadi hamba-hamba nafsu mereka sendiri.

Segala peristiwa keji terjadi dalam masa itu. Ada petani yang terpaksa mengorbankan segalanya agar terbebas dari kerja-paksa itu karena takut setelah mendengar betapa banyaknya mereka yang melakukan kerja-paksa mati di tempat mereka bekerja. Mati karena kelelahan, mati karena kurang makan, mati karena siksaan para mandor, atau mati karena timbulnya penyakit, juga ada yang karena kecelakaan ketika melakukan penggalian di daerah-daerah yang sukar.

Ada yang mengorbankan sawah ladangnya, dijual dengan harga murah kepada para tuan tanah yang sudah bersekongkol dengan para pejabat pemerintah, uangnya untuk menyogok agar bebas dari kerja paksa. Bahkan ada yang rela menyerahkan isterinya atau anak gadisnya, kalau isteri atau anak itu cantik menarik.

Kaisar Kubilai Khan sebetulnya tidak menghendaki terjadinya tindakan keji akibat korupsi dan penyelewengan yang dilakukan para pejabat. Hampir semua pejabat itu bekerja sama, saling merahasiakan penyelewengan mereka sehingga laporan yang sampai ke telinga Kaisar hanyalah yang terbaik saja. Di sana beres, di sini tidak ada halangan, semua berjalan sesuai dengan yang dikehendaki kaisar, rakyat dalam keadaan aman sejahtera!

Memang, dalam kenyataannya, hampir semua pejabat menyeleweng. Bukan berarti tidak ada pejabat yang bijaksana dan jujur, namun mereka yang bersih itu biasanya tersingkir, kalah pengaruh dan kuasa oleh yang kotor karena kalah banyak dan kalah suara. Dengan demikian, maka yang bersih bergaul dengan yang kotor dan yang lebih banyak, dengan sendirinya juga terkena kotoran.

Keadaan ini membuat rakyat kecil amat membenci para pejabat Kerajaan Mongol. Bukan saja kepada penjajah rakyat membenci, melainkan juga kepada para hartawan yang menumpuk kekayaan secara curang, memeras rakyat dan bersekongkol dengan para pejabat. Para hartawan itu, tentu tidak seluruhnya, terutama yang tinggal di dusun-dusun, memberi pinjaman kepada rakyat yang hendak menebus diri dari kerja-paksa.

Pinjaman itu disertai bunga yang mencekik leher sehingga dalam waktu beberapa tahun saja si petani terpaksa membayar hutangnya dengan disitanya sawah dan ladangnya, atau juga dengan menyerahkan gadisnya yang berwajah cantik untuk menjadi alat pemuas berahi para hartawan dan pejabat.

Melihat keadaan rakyat yang tertindas oleh pejabat daerah dan hartawan pemeras, tentu saja hal ini membangkitkan kemarahan para pendekar yang masih bersih budi pekertinya, yang tidak ikut menggila dengan keadaan di mana manusia sudah dipermainkan oleh uang.

Maka di sana sini timbullah perlawanan. Pembela-pembela rakyat tertindas mulai menentang para pejabat daerah sehingga di sana sini timbul pertempuran kecil. Biarpun diam-diam rakyat bersyukur dengan aksi para pendekar yang membela mereka, namun nasib mereka tidak banyak berubah.

Pihak lawan, yaitu para pejabat dan para hartawan dengan pemberian hadiah uang, berhasil mengundang banyak pendekar dan mereka yang memiliki ilmu silat tinggi dan menjadikan mereka sebagai pengawal dan tukang pukul sehingga seringkali terjadi bentrokan antara para pembela rakyat dan pembela pejabat dan hartawan!

Kota Cin-yang di Propinsi Shan-tung juga dilanda keadaan yang meresahkan rakyat itu. Dalam sebuah rumah yang sederhana namun cukup besar tinggal Chao Kung dan keluarganya. Chao Kung adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Wajahnya tidak terlalu tampan namun tidak buruk, bahkan sikapnya gagah walaupun tubuhnya tinggi kurus. Dia berdagang rempah-rempah secara kecil-kecilan dan hasilnya hanya cukup untuk keperluan hidup sehari-hari dengan keluarganya. Biarpun kurus dan tampak lemah, Chao Kung ini cukup pandai ilmu silat dan karena itu dia membayangkan ketabahan dan kegagahan.

Keluarganya terdiri dari isterinya yang bernama Siok Hwa, berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Sudah hampir sepuluh tahun mereka menikah, akan tetapi belum juga mempunyai anak. Tadinya, Chao Kung hanya hidup berdua dengan isterinya, dibantu oleh seorang pelayan wanita setengah tua yang sesungguhnya masih merupakan bibi jauh dari Chao Kung. Siok Hwa seorang wanita yang sebetulnya cukup cantik, akan tetapi sayang, ketika kecilnya ia terserang penyakit cacar sehingga kini masih ada bekas pada wajahnya, menjadi bopeng.

Akan tetapi, semenjak kurang lebih tiga tahun yang lalu, suami isteri ini kedatangan tamu dua orang. Mereka adalah Siok Kan, ayah dari Siok Hwa yang sudah duda bersama adik Siok Hwa yang bernama Siok Eng.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Siok Kan dan puterinya, Siok Eng yang ketika itu berusia sekitar enam belas tahun, diantar oleh Suma Tiang Bun yang bersama Cun Giok menyelamatkan gadis itu dari tangan seorang putera Pembesar Mongol yang hendak memaksanya menjadi selirnya. Ayah dan anak gadisnya itu lalu mengungsi ke kota Cin-yang di Shan-tung di mana tinggal puteri sulungnya Siok Hwa dan mantunya, Chao Kung yang menerima mereka dengan senang hati.

Seperti kita ketahui, di rumah ini Siok Kan mengusulkan perjodohan antara Siok Eng dan Cun Giok. Biarpun ketika itu Cun Giok baru berusia tujuh belas tahun lebih dan Siok Eng berusia lima belas tahun lebih, namun keduanya menurut saja keinginan orang-orang tua yang menjodohkan mereka. Sebagai tanda ikatan, Cun Giok memberikan sebatang pedangnya, sedangkan Siok Eng memberikan sebuah hiasan rambut berbentuk pohon Yang-liu dari perak.

Siok Kan dan Siok Eng lalu tinggal di situ. Siok Kan membantu pekerjaan mantunya, sedangkan Siok Eng membantu encinya di rumah. Mereka hidup cukup bahagia dan selama tiga tahun lebih ini Siok Eng tumbuh menjadi seorang gadis dewasa berusia sembilan belas tahun yang cantik jelita!

Ada suatu hal yang seringkali membuat Siok Kan mengerutkan alis dan menghela napas panjang berulang-ulang, dan membuat Siok Eng diam-diam menangis dalam kamarnya. Hal ini adalah tidak adanya berita dari Cun Giok!

Juga dari Suma Tiang Bun tidak pernah ada beritanya. Padahal, sudah banyak pemuda di Cin-yang tertarik kepada Siok Eng yang cantik manis. Sampai kesal dan lelah Siok Kan menolak pinangan-pinangan yang diajukan melalui comblang, menolak dengan halus sambil mengatakan bahwa Siok Eng sudah mempunyai calon suami.

Hal ini membuat Chao Kung, mantu Siok Kan, menjadi khawatir sekali. Adik iparnya itu adalah seorang gadis dewasa yang cantik menarik, dan pada masa itu kecantikan pada wajah seorang wanita seringkali malah mendatangkan malapetaka pada dirinya. Yang terbaik bagi seorang gadis cantik adalah menikah secepatnya karena walaupun seorang wanita muda cantik yang sudah bersuami itu tidak merupakan jaminan keamanannya, setidaknya para penggodanya tidaklah sebanyak yang dihadapi seorang gadis cantik.

“Gak-hu (Ayah Mertua),” pada suatu sore Chao Kung yang didampingi Siok Hwa, bicara bertiga di ruangan tengah.

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 23

23: AKU TIDAK SUKA JADI ISTRINYA, TITIK!

Kong Sek berdiri dengan muka pucat, memandang wajah sumoinya, lalu menoleh dan memandang wajah Cun Giok penuh kebencian, dan menoleh ke kanan kiri melihat anak buahnya yang mulai merangkak bangun. Dia merasa marah, kecewa dan malu sekali. Dia membungkuk, mengambil pedangnya dan sekali lagi menatap wajah sumoinya.

“Baik, Sumoi. Aku akan melapor kepada Suhu!” Setelah berkata demikian, dia lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu menuju kota raja.

Selosin pengawal itu saling bantu dan akhirnya mereka pun naik kuda masing-masing dan pergi sambil merintih-rintih. Masih untung bagi mereka bahwa Cun Giok tidak membunuh mereka.

Setelah derap kaki kuda rombongan itu tidak terdengar lagi, Ai Yin berkata dengan cemberut dan pandang mata marah. “Engkau menipuku! Engkau pura-pura tak berdaya dan terbelenggu. Ternyata engkau hanya pura-pura dan dengan mudah engkau dapat melepaskan diri kalau kau kehendaki! Huh, engkau membodohi aku, ataukah hendak pamer kepandaianmu, ya?”

Cun Giok menghela napas panjang. “Sama sekali tidak, Nona Cu. Aku menyerah di sana tadi karena aku tidak berani menentang Ayahmu yang telah begitu baik bersamamu menolongku dan menerimaku sebagai tamu. Aku pura-pura menyerah di depan Ayahmu. Kalau aku ketika itu melarikan diri dari depan Ayahmu seperti yang kau anjurkan, berarti aku mempermalukan Ayahmu karena aku dapat lolos di depannya! Akan tetapi kalau aku meloloskan diri di tengah perjalanan, ini di luar tanggung jawab Ayahmu. Nah, bukan sekali-kali aku membodohimu atau pamer kekuatan karena aku sama sekali tidak mengira bahwa engkau membayangi rombongan itu. Ah, Nona Cu, berulang kali engkau menolongku. Mengapa engkau menolongku ketika Kongcu (Tuan Muda) tadi hendak memenggal leherku?”

“Huh, tanpa kucegah sekalipun engkau pasti tidak akan menyerahkan nyawamu begitu saja!”

“Memang benar. Akan tetapi mengapa engkau mencegah dia membunuhku? Mengapa engkau menolongku, Nona Cu?”

Mulut gadis itu berjebi, “Huh, kau jangan mengira macam-macam, ya? Aku mencegah Suheng melanggar janjinya dan melanggar peraturan, sama sekali bukan untuk menolongmu! Hemm, kau kira kenapa aku menolongmu?”

“Maafkan aku yang salah bicara. Nona Cu. Sungguh aku tidak menduga macam-macam. Aku yakin bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita yang budiman dan tadi engkau melihat orang yang sudah dibelenggu dan tidak mampu melawan akan dibunuh begitu saja tentu timbul jiwa pendekarmu dan mencegahnya. Sekali lagi terima kasih, Nona. Budimu amat besar dan aku tidak akan melupakannya.”

Cun Giok memberi hormat dan menjura. Agaknya kata-kata dan sikap Cun Giok itu meredakan kemarahan gadis itu. Ia menghela napas dan pandang matanya tampak berduka.

“Hemm, gara-gara engkau aku bertentangan dengan Ayahku. Setelah apa yang terjadi tadi, tentu Suheng Kong Sek akan melapor kepada Ayah dan Ayah tentu akan marah sekali kepadaku. Ahh, aku tidak berani pulang, bukan takut kepada Ayah. Ayah terlalu mengasihi aku dan tidak akan mau menghukum dan menyakiti aku. Akan tetapi hatiku akan sedih sekali kalau melihat Ayah marah dan berduka. Aku tidak tahan melihatnya berduka...” Lalu ia cemberut lagi, memandang kepada Cun Giok dan mencela. “Engkau sih yang menjadi gara-gara. Andaikata aku tidak bertemu denganmu yang menggeletak pingsan di tepi sungai dan engkau tidak menjadi tamu kami, sekarang tentu aku dan Ayah tidak saling bertentangan!”

Cun Giok merasa menyesal sekali. Tak disangkanya bahwa pertemuannya dengan gadis itu menimbulkan masalah besar pada gadis cantik dan gagah itu. “Aih, aku menyesal sekali, Nona Cu. Kalau saja engkau ketika itu tidak melihatku, tidak menolongku dan membawa aku ke rumahmu, aku pasti sudah mati dan tidak timbul bermacam-macam urusan ini! Ah, diriku ini membawa kesialan saja kepada semua orang!”

Ucapan pemuda itu menyadarkan Ai Yin bahwa ia terlalu menyalahkan pemuda yang sebetulnya tidak mempunyai kesalahan apa-apa itu. “Bukan, bukan itu sebetulnya yang membuat aku kesal dan terpaksa bertentangan dengan Ayahku. Yang membuat aku kesal adalah karena aku... karena Ayah... hendak menjodohkan aku dengan Suheng...”

“Dengan Kong Sek itu?”

Cu Ai Yin teringat akan pertentangannya dengan ayahnya dan ia tidak dapat menahan mengalirnya air mata ke atas sepasang pipinya.

“Ah, jangan bersedih, Nona Cu. Aku kira Ayahmu itu seorang yang bijaksana dan amat menyayangmu. Kalau dia menghendaki engkau berjodoh, aku yakin dia akan memilihkan pasangan yang terbaik bagimu. Aku yakin bahwa Kong Sek seorang pemuda yang amat baik. Wajahnya tampan dan gagah, dia berbakti kepada orang tua, taat kepada guru dan dia Suhengmu sendiri. Berarti engkau sudah bergaul lama dengan dia dan sudah mengenal wataknya, bukan?”

“Huh, aku tidak butuh ketampanan, kegagahan, kaya raya atau keturunan panglima! Yang jelas, hatiku tidak suka dan aku tidak ingin menjadi isterinya. Apalagi setelah aku mendengar betapa jahat Ayahhnya, mendiang Panglima Kong itu!”

Cun Giok menghela napas panjang. Dia tahu bahwa kalau Ai Yin mendengar lebih banyak lagi tentang Panglima Kong Tek Kok, ia tentu akan semakin membencinya. “Memang, mendiang Panglima Kong adalah seorang yang kejam dan jahat. Akan tetapi menilai seseorang jangan dari ayahnya. Banyak saja terdapat pendeta dan orang-orang yang baik budi mempunyai anak yang tersesat dan menjadi jahat. Sebaliknya banyak pula orang-orang yang termasuk golongan penjahat mempunyai anak yang baik dan bijaksana.”

“Sudahlah! Aku tidak suka menjadi isterinya, titik, dan tidak ada seorang pun di dunia ini boleh memaksa aku menjadi isteri Suheng Kong Sek, Ayahku pun tidak boleh! Nah, aku pergi!” kata gadis itu sambil membalikkan tubuhnya.

“Nona Cu, kalau engkau tidak berani pulang, engkau hendak pergi ke manakah?” tanya Cun Giok dengan hati iba.

“Ke mana saja!” gadis itu menjawab, akan tetapi ia sudah lari jauh.

Cun Giok berdiri termenung, lalu melangkah pergi. Ah, betapa dalam kehidupan ini banyak sekali terjadi hal-hal yang menyedihkan. Dia sendiri merasa tertekan batinnya oleh kematian Siang Ni yang begitu menyedihkan. Dia merasa amat iba kepada adik misannya itu, satu-satunya keluarganya yang masih hidup. Akan tetapi, adik misannya itu pun kini tiada lagi, tewas dengan cara membunuh diri di depan makam orang tuanya!

Dan sekarang, dia melihat Cu Ai Yin yang telah menolongnya itu juga dalam keadaan yang menyedihkan! Anak tunggal yang bertentangan dengan ayahnya karena hendak dijodohkan dengan seorang pemuda di luar keinginannya. Kini gadis itu tidak mau pulang dan dia dapat membayangkan betapa sengsaranya seorang gadis yang biasa hidup serba kecukupan seperti Ai Yin kini merantau seorang diri!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Sejak pertahanan para panglima yang setia kepada Kerajaan Sung dikalahkan pasukan Mongol, bahkan pertahanan terakhir di Kanton juga dihancurkan, Kaisar yang masih kecil yang diangkat oleh para panglima itu akhirnya oleh seorang panglima dibawa loncat ke lautan dan tenggelam ketika kapal mereka diserbu oleh pasukan Mongol yang mengejarnya, yaitu pada tahun 1279, Cina dikuasai sepenuhnya oleh bangsa Mongol yang mendirikan Kerajaan atau Wangsa Goan (1279-1368).

Pada saat ini, Pouw Cun Giok telah berusia dua puluh satu tahun. Yang menjadi kaisar adalah Kubilai Khan, kaisar yang namanya tercatat dalam sejarah sebagai seorang Kaisar Mongol yang hebat dan besar setelah Jenghis Khan, pendiri Kerajaan Goan. Seperti juga Jenghis Khan, Kubilai Khan juga seorang ahli perang dan gila perang. Dia mengirim pasukan Mongol yang terkenal ganas itu ke negeri seberang. Walaupun hasilnya tidak sebesar ketika Jenghis Khan memimpin pasukannya, namun tetap saja gerakan-gerakan Kubilai Khan membuatnya tersohor di dunia.

Setelah Kanton jatuh dan Kubilai Khan menjadi Kaisar dari seluruh daratan Cina, dia telah melakukan banyak hal yang hebat, sehingga nama besar Kubilai Khan sebagai penerus kakeknya, Jenghis Khan dikenal di seluruh dunia. Belum pernah tercatat dalam sejarah ada Kerajaan di Cina yang berhasil menyerang, menalukkan demikian banyak negara sampai jauh seperti di jaman Kerajaan Goan yang dipimpin oleh Kaisar Kubilai Khan.

Bagaikan seekor burung rajawali yang memiliki paruh dan cakar yang amat kuat dan ganas, pasukan Mongol yang ahli menunggang kuda dan ahli perang itu sudah memperlebar sayapnya ke empat penjuru. Di utara, mereka menyerbu dan menguasai sampai ke Siberia dan bagian selatan Russia, di timur mereka menaklukkan Mancuria, Korea bahkan pernah menyerbu Jepang walaupun mengalami kegagalan. Kekuasaan Kerajaan Mongol di timur sampai ke lautan antara daratan Cina dan Jepang. Di barat, gerakan pasukan Mongol amat luas dan jauh.

Bahkan menjelajah daerah yang hampir seluas daratan Cina sendiri. Pasukan mereka menyerbu Turkestan, Persia sampai memasuki Baghdad dan Irak, bahkan sudah mencapai sebagian Europa timur seperti Anatolia. Dunia Timur Tengah dan Europa menjadi gempar! Kemudian gerakan pasukan Mongol ke selatan juga menggemparkan. Mereka menguasai Tibet, bagian utara dari India, Birma, juga Champa (Kamboja)!

Akan tetapi setelah Kubilai menarik kembali semua pasukannya, karena daerah yang ditaklukkannya itu terlampau luas dan daerah-daerah barat yang sudah ditalukkan itu masih terus melakukan perlawanan, yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Goan hanya sampai daerah Tibet dan Nepal saja.

Di Cina sendiri, harus diakui bahwa Kaisar Kubilai Khan melakukan banyak hal yang menggemparkan, baik yang akibatnya mengagumkan maupun yang akibatnya kesengsaraan bagi rakyat jelata. Dia membangun banyak istana yang serba indah dan mewah, mendatangkan para ahli bangunan dari segala bangsa.

Kubilai Khan adalah seorang yang tidak membeda-bedakan bangsa atau agama. Yang dapat dia pergunakan tenaga dan keahliannya, tentu dia beri kedudukan yang pantas dan sesuai dengan jasa mereka. Karena itu, seperti tercatat dalam sejarah, di bawah pemerintahan Kubilai Khan terdapat pejabat-pejabat pemerintah terdiri dari bermacam bangsa yang beragama Islam, Kristen, Buddha, atau Agama To.

Sesungguhnya, hal ini bukan merupakan sikap yang luar biasa bagi rakyat Cina karena sejak jaman Dinasti Han, para penguasa tidak pernah membedakan agama karena yang dinilai adalah manusianya, yang tampak dari sikap dan perbuatannya, bukan Agamanya.

Hanya bedanya antara kerajaan-kerajaan yang dipimpin bangsa Pribumi dan Kerajaan Mongol adalah bahwa Kerajaan Goan tidak membedakan bangsa dan agama dan memberi kedudukan yang penting kepada banyak orang asing, namun terhadap bangsa Pribumi mereka memilih dengan ketat.

Tidak sembarang orang Han (Pribumi) yang dapat memperoleh kedudukan tinggi, kecuali orang-orang yang sudah diyakini kesetiaannya. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh kekhawatiran kalau-kalau ada orang Han yang setelah memperoleh kedudukan tinggi, akan membuat gerakan pemberontakan!

Dengan sendirinya, para pembesar yang berbangsa Han dan terpilih oleh Kerajaan Mongol, merasa dirinya dipilih sehingga mereka menjadi sombong karena merasa lebih daripada orang-orang biasa! Rakyat jelata menganggap para pembesar Pribumi yang hidup mewah karena korupsi itu sebagai pengkhianat-pengkhianat bangsa dan diam-diam membenci mereka, bahkan melebihi kebencian mereka terhadap orang Mongol sendiri.

Untuk melaksanakan pembangunan-pembangunan besar-besaran, biarpun hal itu di satu pihak baik, namun di lain pihak mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat. Pada jaman Kerajaan Sui lalu diteruskan dalam Kerajaan Sung, telah digali Terusan Besar yang menghubungkan Sungai Yang-ce dan Huang-ho.

Kini, Kaisar Kubilai Khan memerintahkan agar digali Terusan yang menghubungkan kota raja Peking dengan Sungai Kuning (Huang-ho), yaitu melanjutkan Terusan yang sudah ada dari Sungai Yang-ce ke Sungai Huang-ho. Hal ini untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi, terutama beras, yang terdapat melimpah di Lembah Yang-ce.

Untuk dapat melaksanakan perintah Kaisar yang merupakan pekerjaan amat besar itu, tentu saja dibutuhkan banyak sekali tenaga manusia. Para pembesar tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk memperkaya diri. Biaya dari kerajaan yang disediakan untuk membayar para pekerja, seperti sudah umum terjadi pada masa itu, dikorup secara besar-besaran.

Mereka menggunakan kekuasaan mereka untuk memerintahkan para kepala dusun agar para kepala dusun mengerahkan rakyat petani yang miskin. Para petani itu, puluhan bahkan ratusan ribu jumlahnya dari berbagai daerah, dipaksa oleh kepala dusun mereka untuk meninggalkan sawah ladang dan dipaksa bekerja pada penggalian Terusan.

Para petugas dusun juga mempergunakan kesempatan ini untuk mengeduk keuntungan sebesarnya. Siapa yang mampu membayar uang sogokan, tentu dapat ditangguhkan atau bahkan dibebaskan sama sekali dari 'kewajiban' membangun Terusan. Akan tetapi mereka yang tidak mampu, dipaksa dengan ancaman untuk berangkat membantu kerajaan yang dipropagandakan akan menyejahterakan rakyat dengan adanya Terusan dari Terusan Lama ke Peking itu. Terjadilah penyelewengan-penyelewengan dilakukan oleh hamba-hamba kerajaan yang sekaligus menjadi hamba-hamba nafsu mereka sendiri.

Segala peristiwa keji terjadi dalam masa itu. Ada petani yang terpaksa mengorbankan segalanya agar terbebas dari kerja-paksa itu karena takut setelah mendengar betapa banyaknya mereka yang melakukan kerja-paksa mati di tempat mereka bekerja. Mati karena kelelahan, mati karena kurang makan, mati karena siksaan para mandor, atau mati karena timbulnya penyakit, juga ada yang karena kecelakaan ketika melakukan penggalian di daerah-daerah yang sukar.

Ada yang mengorbankan sawah ladangnya, dijual dengan harga murah kepada para tuan tanah yang sudah bersekongkol dengan para pejabat pemerintah, uangnya untuk menyogok agar bebas dari kerja paksa. Bahkan ada yang rela menyerahkan isterinya atau anak gadisnya, kalau isteri atau anak itu cantik menarik.

Kaisar Kubilai Khan sebetulnya tidak menghendaki terjadinya tindakan keji akibat korupsi dan penyelewengan yang dilakukan para pejabat. Hampir semua pejabat itu bekerja sama, saling merahasiakan penyelewengan mereka sehingga laporan yang sampai ke telinga Kaisar hanyalah yang terbaik saja. Di sana beres, di sini tidak ada halangan, semua berjalan sesuai dengan yang dikehendaki kaisar, rakyat dalam keadaan aman sejahtera!

Memang, dalam kenyataannya, hampir semua pejabat menyeleweng. Bukan berarti tidak ada pejabat yang bijaksana dan jujur, namun mereka yang bersih itu biasanya tersingkir, kalah pengaruh dan kuasa oleh yang kotor karena kalah banyak dan kalah suara. Dengan demikian, maka yang bersih bergaul dengan yang kotor dan yang lebih banyak, dengan sendirinya juga terkena kotoran.

Keadaan ini membuat rakyat kecil amat membenci para pejabat Kerajaan Mongol. Bukan saja kepada penjajah rakyat membenci, melainkan juga kepada para hartawan yang menumpuk kekayaan secara curang, memeras rakyat dan bersekongkol dengan para pejabat. Para hartawan itu, tentu tidak seluruhnya, terutama yang tinggal di dusun-dusun, memberi pinjaman kepada rakyat yang hendak menebus diri dari kerja-paksa.

Pinjaman itu disertai bunga yang mencekik leher sehingga dalam waktu beberapa tahun saja si petani terpaksa membayar hutangnya dengan disitanya sawah dan ladangnya, atau juga dengan menyerahkan gadisnya yang berwajah cantik untuk menjadi alat pemuas berahi para hartawan dan pejabat.

Melihat keadaan rakyat yang tertindas oleh pejabat daerah dan hartawan pemeras, tentu saja hal ini membangkitkan kemarahan para pendekar yang masih bersih budi pekertinya, yang tidak ikut menggila dengan keadaan di mana manusia sudah dipermainkan oleh uang.

Maka di sana sini timbullah perlawanan. Pembela-pembela rakyat tertindas mulai menentang para pejabat daerah sehingga di sana sini timbul pertempuran kecil. Biarpun diam-diam rakyat bersyukur dengan aksi para pendekar yang membela mereka, namun nasib mereka tidak banyak berubah.

Pihak lawan, yaitu para pejabat dan para hartawan dengan pemberian hadiah uang, berhasil mengundang banyak pendekar dan mereka yang memiliki ilmu silat tinggi dan menjadikan mereka sebagai pengawal dan tukang pukul sehingga seringkali terjadi bentrokan antara para pembela rakyat dan pembela pejabat dan hartawan!

Kota Cin-yang di Propinsi Shan-tung juga dilanda keadaan yang meresahkan rakyat itu. Dalam sebuah rumah yang sederhana namun cukup besar tinggal Chao Kung dan keluarganya. Chao Kung adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Wajahnya tidak terlalu tampan namun tidak buruk, bahkan sikapnya gagah walaupun tubuhnya tinggi kurus. Dia berdagang rempah-rempah secara kecil-kecilan dan hasilnya hanya cukup untuk keperluan hidup sehari-hari dengan keluarganya. Biarpun kurus dan tampak lemah, Chao Kung ini cukup pandai ilmu silat dan karena itu dia membayangkan ketabahan dan kegagahan.

Keluarganya terdiri dari isterinya yang bernama Siok Hwa, berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Sudah hampir sepuluh tahun mereka menikah, akan tetapi belum juga mempunyai anak. Tadinya, Chao Kung hanya hidup berdua dengan isterinya, dibantu oleh seorang pelayan wanita setengah tua yang sesungguhnya masih merupakan bibi jauh dari Chao Kung. Siok Hwa seorang wanita yang sebetulnya cukup cantik, akan tetapi sayang, ketika kecilnya ia terserang penyakit cacar sehingga kini masih ada bekas pada wajahnya, menjadi bopeng.

Akan tetapi, semenjak kurang lebih tiga tahun yang lalu, suami isteri ini kedatangan tamu dua orang. Mereka adalah Siok Kan, ayah dari Siok Hwa yang sudah duda bersama adik Siok Hwa yang bernama Siok Eng.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Siok Kan dan puterinya, Siok Eng yang ketika itu berusia sekitar enam belas tahun, diantar oleh Suma Tiang Bun yang bersama Cun Giok menyelamatkan gadis itu dari tangan seorang putera Pembesar Mongol yang hendak memaksanya menjadi selirnya. Ayah dan anak gadisnya itu lalu mengungsi ke kota Cin-yang di Shan-tung di mana tinggal puteri sulungnya Siok Hwa dan mantunya, Chao Kung yang menerima mereka dengan senang hati.

Seperti kita ketahui, di rumah ini Siok Kan mengusulkan perjodohan antara Siok Eng dan Cun Giok. Biarpun ketika itu Cun Giok baru berusia tujuh belas tahun lebih dan Siok Eng berusia lima belas tahun lebih, namun keduanya menurut saja keinginan orang-orang tua yang menjodohkan mereka. Sebagai tanda ikatan, Cun Giok memberikan sebatang pedangnya, sedangkan Siok Eng memberikan sebuah hiasan rambut berbentuk pohon Yang-liu dari perak.

Siok Kan dan Siok Eng lalu tinggal di situ. Siok Kan membantu pekerjaan mantunya, sedangkan Siok Eng membantu encinya di rumah. Mereka hidup cukup bahagia dan selama tiga tahun lebih ini Siok Eng tumbuh menjadi seorang gadis dewasa berusia sembilan belas tahun yang cantik jelita!

Ada suatu hal yang seringkali membuat Siok Kan mengerutkan alis dan menghela napas panjang berulang-ulang, dan membuat Siok Eng diam-diam menangis dalam kamarnya. Hal ini adalah tidak adanya berita dari Cun Giok!

Juga dari Suma Tiang Bun tidak pernah ada beritanya. Padahal, sudah banyak pemuda di Cin-yang tertarik kepada Siok Eng yang cantik manis. Sampai kesal dan lelah Siok Kan menolak pinangan-pinangan yang diajukan melalui comblang, menolak dengan halus sambil mengatakan bahwa Siok Eng sudah mempunyai calon suami.

Hal ini membuat Chao Kung, mantu Siok Kan, menjadi khawatir sekali. Adik iparnya itu adalah seorang gadis dewasa yang cantik menarik, dan pada masa itu kecantikan pada wajah seorang wanita seringkali malah mendatangkan malapetaka pada dirinya. Yang terbaik bagi seorang gadis cantik adalah menikah secepatnya karena walaupun seorang wanita muda cantik yang sudah bersuami itu tidak merupakan jaminan keamanannya, setidaknya para penggodanya tidaklah sebanyak yang dihadapi seorang gadis cantik.

“Gak-hu (Ayah Mertua),” pada suatu sore Chao Kung yang didampingi Siok Hwa, bicara bertiga di ruangan tengah.