Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

19: KASIHAN KELUARGA POUW!

TIBA-TIBA sebatang tombak yang ditusukkan dari belakang tepat mengenai pundak kanan gadis itu. Terdengar suara tulang patah dan pedang di tangan kanan Siang Ni terlepas, lengan kanannya tergantung lumpuh!

“Siang Ni...!” Cun Giok berteriak, akan tetapi Siang Ni bahkan tertawa nyaring, tubuhnya terhuyung-huyung namun ia masih memutar pedang kirinya menangkis senjata-senjata lawan yang datang menyerangnya bagaikan hujan.

“Jangan bunuh gadis liar itu! Tangkap ia hidup-hidup!” terdengar seruan komandan pasukan dan Siang Ni dikepung ketat. Para perajurit kini hendak mencari kesempatan baik agar dapat meringkus gadis yang akan ditangkap hidup-hidup itu.

Siang Ni masih mengamuk dan tiba-tiba ia mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan. Pekiknya seolah memberinya tenaga baru. Pedang di tangan kirinya membentuk gulungan sinar emas dan menyambar-nyambar sehingga dua orang di sebelah kirinya roboh mandi darah. Dengan gerakan liar Siang Ni terhuyung, terkadang menjatuhkan diri di atas tanah dan bergulingan. Akhirnya ia tiba di depan makam ibunya. Kiranya gadis itu memang sambil melawan dengan tenaga terakhir menghampiri makam itu.

“Tangkap hidup-hidup! Terlalu enak kalau iblis betina itu dibunuh begitu saja!” teriak pula komandan pasukan yang marah sekali, bukan saja melihat panglimanya dibunuh dan mayatnya dicincang oleh Siang Ni, akan tetapi juga melihat betapa banyaknya anak buahnya tewas di tangan gadis yang amat lihai itu.

Setelah tiba di depan makan ibunya, Siang Ni yang tubuhnya lemas sekali karena menderita banyak luka dan kehabisan banyak darah, berseru lantang. “Ibuuuu... tungguuuu anakmu, Ibuuu...! Aku menyusulmu...!”

Tiba-tiba sinar emas berkelebat ke arah lehernya dan ia pun roboh dan tewas mandi darah dengan leher hampir putus terbabat pedang di tangan kirinya sendiri. Pedang Kim-kong-kiam!

Melihat ini, Cun Giok mengeluarkan pekik melengking seperti seekor naga terluka. Pedangnya menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya sehingga empat orang perajurit Mongol terjungkal roboh mandi darah. Tubuhnya lalu berkelebat ke arah makam dan empat orang perajurit lain yang berani mencoba menghadangnya, roboh disambar kilatan pedangnya.

Di lain saat pemuda itu telah menyambar pedang Kim-kong-kiam yang masih dipegang tangan kiri jenazah Siang Ni, menyimpan pedang pusaka yang dulu menjadi milik gurunya, dan dia berjongkok, dengan lembut menggunakan tangannya untuk mengusap muka Siang Ni sehingga sepasang mata yang tadinya terbuka itu dapat terpejam.

“Siang Ni... ahh, Siang Ni...!” Cun Giok mengeluh dengan perasaan hati seperti tertusuk. Rasa sedih, iba, dan penasaran menyesak di dadanya. Tangan kirinya membelai wajah yang cantik jelita, pucat, basah oleh keringat dan darah itu.

“Siang Ni... Piauw-moi (Adik Misan Perempuan)...” Cun Giok mengeluh.

Pada saat itu, dia merasakan adanya sambaran senjata dari belakang, kanan dan kiri. Cepat dia melompat dan membalik, pedangnya berkelebat dan tiga orang perajurit Mongol roboh mandi darah diantar teriakan kematian mereka. Cun Giok mengamuk, akan tetapi melihat betapa semakin banyak perajurit Mongol berdatangan, dia maklum bahwa kalau dia terus melawan, akhirnya dia tidak akan dapat bertahan.

Dia lalu memutar pedangnya dan menerobos keluar dari kepungan para perajurit. Untuk dapat lolos dia harus merobohkan belasan orang perajurit lagi, akan tetapi dia sendiri pun menderita luka-luka, walaupun tidak ada yang parah. Akhirnya, dengan mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan kelihaian ilmu pedangnya, Cun Giok berhasil lolos dari kepungan dan menghilang di antara banyak bong-pai (batu nisan) tanah kuburan itu, ditelan kegelapan malam!

Pada keesokan harinya, kota raja menjadi geger dengan terjadinya peristiwa hebat di tanah kuburan semalam. Dua puluh orang lebih perajurit Mongol yang lihai tewas dalam pertempuran itu. Para pejabat tinggi menjadi bingung dan ketakutan.

Kaisar Kubilai Khan yang mendengar laporan para perwira tentang peristiwa itu lalu mengumumkan bahwa Panglima Besar Kong Tek Kok bersama muridnya, Lu Siang Ni puteri Pangeran Lu Kok Kong yang tewas terbunuh pemberontak, kini tewas pula dalam tangan penjahat ketika mereka berdua bertugas menangkap penjahat pemberontak!

Tentu saja pengumuman kaisar ini dilakukan untuk melindungi kehormatan Keluarga Istana, agar rahasia memalukan antara Panglima Besar Kong Tek Kok dan keluarga Pangeran Lu tidak sampai terdengar orang luar. Juga bukan hanya jenazah Jenderal Kong Tek Kok yang dikuburkan dengan upacara kehormatan, juga jenazah Lu Siang Ni dikubur di samping makam Pangeran Lu Kok Kong dan Pouw Sui Hong, ayah dan ibu gadis itu.

Para perwira dan perajurit yang ikut bertempur di tanah kuburan malam itu, yang lolos dari maut, diancam agar jangan membicarakan peristiwa pembunuhan atas diri Panglima Besar Kong Tek Kok oleh Siang Ni, muridnya sendiri yang juga puteri Pangeran Lu Kok Kong.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pada keesokan harinya, setelah ayam mulai berkeruyuk sahut-sahutan dan burung-burung berceloteh dengan kicau gembira menyambut sinar matahari fajar yang kemerahan, seorang pemuda berjalan perlahan-lahan menyusuri sungai yang mengalir di sebelah selatan kota raja Peking.

Pemuda itu adalah Cun Giok. Dia tampak amat menyedihkan. Rambutnya awut-awutan, pakaiannya kusut kumal ternoda darah kering dan keringat bercampur debu. Tubuhnya lemas lunglai, sehingga langkahnya lambat, satu-satu seolah-olah dia hampir tidak kuat lagi melangkah.

Bukan kelelahan semata yang membuat dia demikian lemah lunglai, melainkan terutama sekali karena badannya kehilangan banyak darah dan batinnya tertekan oleh kesedihan yang mendalam. Wajahnya yang tampan gagah itu kini agak pucat, dan dari kedua matanya yang sayu layu itu kadang-kadang mengalir air mata yang menetes ke atas kedua pipinya.

“Siang Ni...!” Nama ini berulang-ulang disebutnya dalam keluhannya.

Terbayang wajah gadis adik misannya yang cantik jelita itu, sepasang matanya yang bersinar-sinar bagaikan bintang, senyumnya yang manis, sikapnya yang ugal-ugalan, kekerasan hati dan kegagahannya, yang sama sekali tidak gentar menghadapi pengeroyokan puluhan orang perajurit Mongol, dan yang memilih bunuh diri daripada tertangkap hidup-hidup dan mengalami penghinaan.

“Siang Ni...!” Dia mengeluh lemah dan tiba-tiba tubuhnya terkulai di tepi sungai.

Sejenak dia membiarkan dirinya rebah telentang di atas tanah berumput dan dia merasakan kesejukan embun di rumput yang seolah menembus kulitnya. Dia membiarkan lamunannya melayang-layang membayangkan segala peristiwa yang dia alami, terutama sekali yang mengenai diri Siang Ni.

Lu Siang Ni adalah puteri Pangeran Lu Kok Kong yang menjadi suami bibinya, yaitu Pouw Sui Hong. Dan dialah yang menjadi orang pertama yang menghancurkan kehidupan Siang Ni! Dia telah salah sangka, mengira bahwa bibinya, Pouw Sui Hong dipaksa menjadi selir Pangeran Lu sehingga dia membunuh pangeran itu yang dianggap musuh keluarga Pouw!

Tidak tahunya bahwa bibinya itu, Pouw Sui Hong, hidup sebagai selir terkasih dan ia mencinta suaminya, apalagi karena dari pernikahan itu ia telah melahirkan seorang anak perempuan, yaitu Lu Siang Ni! Dan dia telah membunuh Pangeran Lu, ayah kandung Siang Ni! Dia sama sekali salah sangka.

Tadinya dia membunuh Pangeran Lu untuk membalaskan sakit hati bibinya, Pouw Sui Hong, agar bibinya menjadi puas, terhibur dan bahagia. Akan tetapi, ternyata bahwa dia malah mendatangkan malapetaka bagi bibinya sendiri. Dia membunuh Pangeran Lu Kok Kong yang sama sekali tidak bersalah sehingga bibinya, Pouw Sui Hong, jatuh sakit dan mati karena terguncang hatinya. Dia yang membuat Siang Ni menjadi yatim piatu! Dia bersama Siang Ni memang telah berhasil membalas dendam kepada Panglima Besar Kong Tek Kok, akan tetapi Siang Ni juga menjadi korban dan tewas oleh pengeroyokan pasukan Mongol.

“Siang Ni...!” Kembali Cun Giok mengeluh sedih.

Keluarganya, keluarga Pouw, telah punah, terbasmi habis. Tinggal dia satu-satunya keturunan keluarga Pouw, bahkan dia yang menjadi keturunan tunggal itu selama ini menggunakan she (marga) Suma, yaitu marga mendiang gurunya, Suma Tiang Bun, yang juga menjadi ayah angkatnya. Tidak, mulai sekarang dia harus menggunakan marga nenek moyangnya, yaitu she Pouw, agar keturunan Pouw tidak musnah. Kini dia bernama Pouw Cun Giok, bukan lagi Suma Cun Giok.

Terkenang akan keluarga ayahnya, yaitu keluarga Pouw, hati pemuda itu terasa semakin pedih. Semenjak ratusan tahun keluarga Pouw terkenal sebagai sebuah keluarga besar, keturunan bangsawan tinggi Kerajaan Sung (960-1279), terkenal sebagai pahlawan-pahlawan bangsa.

Dahulu seluruh rakyat Kerajaan Sung mengenal dua orang bersaudara Pouw yang dihormati dan dikagumi. Kedua orang kakek canggahnya itu adalah Pouw Goan Keng yang menjabat Menteri Kesusastraan dan adiknya Pouw Cong Keng yang dulu dengan gagahnya memimpin pasukan melawan musuh, yaitu bangsa Kin.

Cun Giok melanjutkan kenangannya yang semakin mengalir. Dari mendiang gurunya dia mendengar akan riwayat nenek moyangnya. Kakeknya, Pouw Seng Ki, mempunyai dua orang anak, yaitu ayahnya, Pouw Keng In dan bibinya, Pouw Sui Hong. Akan tetapi kakek dan neneknya meninggal dunia karena penyakit ketika ayah dan bibinya masih kecil sehingga ayah dan anak bibinya itu ikut kakeknya yang bernama Pouw Bun yang pernah menjadi pejabat sebelum Kerajaan Sung jatuh ke tangan bangsa Mongol.

Ayahnya Pouw Keng In telah menikah dengan ibunya, Tan Bi Lan, yang telah mengandung delapan bulan, ketika malapetaka itu menimpa keluarga Pouw. Ayahnya, Pouw Keng In yang berjiwa patriot penasaran sekali melihat bangsa Mongol menjajah tanah airnya. Dia sering menulis sajak yang isinya mengutuk penjajah bangsa Mongol.

Seorang bekas pelayan bernama Can Sui dikeluarkan oleh keluarga Pouw karena hendak kurang ajar terhadap Pouw Sui Hong. Can Sui lalu mencuri sajak tulisan Pouw Keng In dan menyerahkannya kepada Pembesar Mongol. Maka, malapetaka pun menimpa keluarga Pouw. Kakek dan Nenek Pouw Bun dibunuh.

Pouw Keng In mengajak isterinya yang mengandung delapan bulan dan adiknya, Pouw Sui Hong yang berusia delapanbelas tahun, melarikan diri. Mereka bertiga dikejar pasukan yang dipimpin Jenderal Kong Tek Kok. Akhirnya, Pouw Keng In tewas terkena panah, panglima besar itu, dan Pouw Sui Hong tertawan! Ibunya terluka pundaknya akan tetapi ia dapat ditolong Suma Tiang Bun.

“Kasihan Ibuku… kasihan Ayah, Kong-kong dan Nenek, kasihan sekali Bibi Pouw Sui Hong! Kasihan sekali Adik Siang Ni...” Cun Giok mengeluh.

Kenangannya semakin kabur. Dahulu, gurunya, Suma Tiang Bun yang menceritakan itu semua. Kemudian ibunya melahirkan dia dan ibunya meninggal dunia setelah melahirkan. Dia diangkat anak oleh gurunya, diberi she Suma. Setelah dia dewasa dan hendak membalas dendam, ternyata dia salah sangka dan membunuh Pangeran Lu yang mengambil Bibi Pouw Sui Hong sebagai selir kesembilan!

Karena pembunuhan itu, bibinya meninggal dunia karena duka! Kemudian, Siang Ni yang nekat juga tewas secara menyedihkan. Dia merasa, seolah dia yang menghancurkan keluarga bibinya!

Tiba-tiba kenangan yang makin kabur itu lenyap, terganti awan hitam, gelap dan dia tidak ingat apa-apa lagi. Cun Giok pingsan menggeletak telentang di tepi sungai.

********************

Cun Giok mengerang lirih. Dia merasa kepalanya dibasahi orang dengan kain basah dingin. Rasa dingin itu mengurangi hawa panas yang amat mengganggunya dan membuatnya pening. Lalu ada jari tangan menotok jalan darah di kedua pundaknya, lalu mengurut ulu hatinya. Hidungnya mencium keharuman seribu bunga, lembut dan sedap.

Jari-jari tangan itu masih mengurut dan menekan tubuhnya. Dia merasa betapa jari-jari tangan itu menekan dan mengurut jalan darah dengan tepat sekali. Pasti seorang ahli dan orang itu sedang berusaha untuk melancarkan jalan darahnya. Mimpikah dia?

Cun Giok tidak mau membuka kedua matanya, khawatir kalau mimpinya hilang. Dia teringat bahwa dia tadi rebah di atas tanah berumput, di tepi sungai. Tekanan dan urutan jari tangan itu terasa lembut dan menyenangkan, juga bau harum itu membuat dia merasa nyaman. Sayang kalau dia membuka mata lalu mimpi ini hilang!

Tiba-tiba terdengar langkah kaki berdebum membuat dia merasa tergetar. Seolah ada seekor gajah di dekatnya! Cun Giok membuka matanya dan dia merasa heran sekali melihat dia rebah di dalam sebuah kamar yang besar, di atas pembaringan yang indah dan lunak. Kamar itu mewah sekali dan ketika pandang matanya bertemu dengan orang yang duduk di tepi pembaringan itu, dia terbelalak dan menggosok-gosok kedua matanya.

Setelah membuka matanya dan melihat gadis yang duduk di tepi pembaringan itu, dia merasa bahwa sekarang baru dia mimpi benar-benar! Bukan saja kamar mewah itu yang membuatnya terheran, akan tetapi terutama sekali melihat gadis itu, dia yakin bahwa dia sedang mimpi. Seorang gadis yang berpakaian indah dari sutera merah muda, dihias garis-garis dan bunga-bunga berwarna kuning dan hijau. Terutama wajahnya! Tentu seorang bidadari!

Wajah itu dalam pandangannya demikian cantik jelita sehingga lebih pantas kalau disebut bidadari. Usianya sekitar delapanbelas tahun. Sepasang matanya demikian indah, dengan kedua ujung agak menjungat ke atas, dengan bulu mata lentik dan dipayungi sepasang alis yang hitam kecil panjang, hidungnya mancung dan mulutnya itu!

Entah mana yang lebih indah menggairahkan antara mulut dan mata itu. Tubuh itu pun dalam penilaian Cun Giok amat sempurna, tubuh yang menjelang dewasa bagaikan buah sedang ranum atau bunga mulai mekar, dengan lekuk lengkung sempurna sehingga pakaian dari sutera yang agak ketat itu tidak dapat menyembunyikannya dengan baik. Demikian terpesona Cun Giok memandang gadis itu sehingga dia tidak melihat yang lain lagi.

Tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek. “Siapa suruh orang asing masuk ke sini tanpa ijin? Dia tentu mempunyai niat jahat!” Kemudian menyusul angin pukulan dahsyat menyambar ke arah kepala Cun Giok!

“Wuuuttt... brakkk!”

Cun Giok mengelak sambil melompat turun ke samping dan sebuah tangan yang besar menyambar lewat kepalanya dan mengenai pembaringan yang seketika pecah berantakan terkena pukulan tangan itu!

Cun Giok dapat menghindarkan diri dari pukulan maut itu, akan tetapi dia berdiri di lantai dengan terhuyung karena gerakan mengelak tadi membuat kepalanya pening dan tubuhnya terasa tidak ada tenaganya dan lemas.

Ketika dia memandang penyerangnya, ternyata yang menyerangnya adalah seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa, wajahnya tampan gagah berkulit merah, usianya sekitar limapuluh lima tahun. Pakaiannya mewah seperti seorang hartawan dan muka yang tampan itu tampak keren dan gagah dengan adanya kumis dan jenggot hitam yang pendek dan terawat.

Melihat Cun Giok dapat menghindarkan pukulannya tadi, kakek itu agaknya siap untuk mengirim serangan susulan. Biarpun Cun Giok merasa kepalanya pening dan tubuhnya gemetar, namun dia segera memasang kuda-kuda dan siap menghadapi serangan lawan yang dia tahu memiliki tenaga yang amat kuat.

“Jangan melawan!” tiba-tiba gadis berpakaian merah itu berkelebat mendekati Cun Giok dan secepat kilat tangannya berkelebat dan Cun Giok terkulai lemas karena jalan darah Thian-hu-hiat di tubuhnya telah terkena totokan yang ampuh.

Sebelum tubuhnya yang terkulai itu roboh, tangan gadis itu, yang kecil lembut namun kuat bukan main, telah menangkap pangkal lengan Cun Giok sehingga dia tidak sampai jatuh. Gadis itu lalu menarik dan mendudukkan Cun Giok ke atas sebuah kursi. Cun Giok terduduk dan hanya dapat memandang kepada gadis jelita dan laki-laki gagah perkasa itu.

Kini gadis itu menghadang di antara Cun Giok dan laki-laki itu. “Ayah tentu tidak akan melanggar hak ku! Aku yang membawanya ke sini, maka aku pula yang bertanggung jawab atas dirinya. Tidak seorang pun, termasuk Ayah boleh melanggar hak ku!”

“Ai Yin, engkau telah bertindak lancang sekali!” laki-laki itu berkata, suaranya besar dan nadanya menunjukkan bahwa laki-laki tinggi besar itu berwatak keras. “Apakah engkau mengenal orang ini? Siapa dia dan mengapa engkau membawanya ke sini tanpa memberitahu kepadaku?”

“Ayah, aku melihat dia menggeletak pingsan di tepi sungai. Dia menderita banyak luka senjata tajam, walaupun tidak ada yang parah namun dia kehilangan banyak darah. Kalau tidak kutolong, dia pasti akan terus pingsan dan tidak akan bangun kembali. Maka, aku membawanya ke sini dan ketika aku datang, ayah tidak berada di rumah. Salahkah perbuatanku itu?”

“Hemmm,” kakek itu mengeluarkan suara menggereng seperti seekor singa dan sepasang matanya yang lebar itu bersinar tajam ketika dia memandang wajah Cun Giok yang masih duduk kursi dan tidak mampu bergerak karena tadi ditotok gadis itu. “Akan tetapi aku harus mengetahui dulu macam apa orang ini, pantas mendapat pertolonganmu atau tidak, aku harus mengujinya.”

“Silakan, Ayah. Aku pun tidak akan sudi menolong orang yang tidak memenuhi syarat kita.”

Kakek itu mengeluarkan sebuah guci keramik kecil dari saku jubahnya, membuka tutup guci dan mengeluarkan tiga butir pel merah sebesar kuku jari kelingking.

“Nih, untuk memulihkan darahnya,” Dia menyerahkan tiga butir pel itu kepada puterinya.

“Ah, bukankah obat penambah darah dan penguat tubuh ini merupakan obat langka simpanan Ayah untuk kesehatan Ayah sendiri?” gadis itu membantah.

“Berikanlah padanya, aku masih mempunyai sisanya yang cukup. Tanpa itu, akan terlalu lama tenaganya pulih dan kalau dia selemah ini, bagaimana aku dapat mengujinya?” Kakek itu lalu melangkah keluar kamar. Langkahnya berdebum seperti langkah gajah yang marah!

Gadis itu menghampiri Cun Giok dan membebaskan totokannya sehingga pemuda itu dapat bergerak kembali. Cun Giok memandang gadis itu dengan heran. “Maaf, Nona. Engkau siapakah dan mengapa engkau melakukan semua ini kepadaku?”

Gadis itu mengerutkan alisnya. “Nanti saja kita bicara. Sekarang engkau mengasolah dulu dan tidurlah untuk memulihkan kesehatanmu.”

Cun Giok merasa heran. Kini dia baru mengerti bahwa ketika dia rebah telentang di tepi sungai itu, dia jatuh pingsan sehingga ketika dia diketemukan gadis ini dan dibawa pulang, dia sama sekali tidak sadar. Gadis itu telah menolongnya, bukan hanya menolong ketika dia tergolek pingsan di tepi sungai, malah tadi membela dan melindunginya dari ancaman ayah gadis itu yang agaknya marah melihat dia berada di situ.

Maka, mendengar gadis itu minta dia mengaso dengan nada suara memerintah, dia pun tidak membantah dan segera bangkit, menghampiri pembaringan dan berdiri bingung melihat pembaringan itu telah hancur terkena pukulan kakek tadi.

“Sana, engkau boleh tidur dipembaringanku!” kata gadis itu sambil menuding ke arah sudut kamar yang luas itu.

Cun Giok memandang dan melihat sebuah tempat tidur yang mewah dan indah di sudut. Tentu saja dia meragu untuk tidur di pembaringan gadis itu!

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 19

19: KASIHAN KELUARGA POUW!

TIBA-TIBA sebatang tombak yang ditusukkan dari belakang tepat mengenai pundak kanan gadis itu. Terdengar suara tulang patah dan pedang di tangan kanan Siang Ni terlepas, lengan kanannya tergantung lumpuh!

“Siang Ni...!” Cun Giok berteriak, akan tetapi Siang Ni bahkan tertawa nyaring, tubuhnya terhuyung-huyung namun ia masih memutar pedang kirinya menangkis senjata-senjata lawan yang datang menyerangnya bagaikan hujan.

“Jangan bunuh gadis liar itu! Tangkap ia hidup-hidup!” terdengar seruan komandan pasukan dan Siang Ni dikepung ketat. Para perajurit kini hendak mencari kesempatan baik agar dapat meringkus gadis yang akan ditangkap hidup-hidup itu.

Siang Ni masih mengamuk dan tiba-tiba ia mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan. Pekiknya seolah memberinya tenaga baru. Pedang di tangan kirinya membentuk gulungan sinar emas dan menyambar-nyambar sehingga dua orang di sebelah kirinya roboh mandi darah. Dengan gerakan liar Siang Ni terhuyung, terkadang menjatuhkan diri di atas tanah dan bergulingan. Akhirnya ia tiba di depan makam ibunya. Kiranya gadis itu memang sambil melawan dengan tenaga terakhir menghampiri makam itu.

“Tangkap hidup-hidup! Terlalu enak kalau iblis betina itu dibunuh begitu saja!” teriak pula komandan pasukan yang marah sekali, bukan saja melihat panglimanya dibunuh dan mayatnya dicincang oleh Siang Ni, akan tetapi juga melihat betapa banyaknya anak buahnya tewas di tangan gadis yang amat lihai itu.

Setelah tiba di depan makan ibunya, Siang Ni yang tubuhnya lemas sekali karena menderita banyak luka dan kehabisan banyak darah, berseru lantang. “Ibuuuu... tungguuuu anakmu, Ibuuu...! Aku menyusulmu...!”

Tiba-tiba sinar emas berkelebat ke arah lehernya dan ia pun roboh dan tewas mandi darah dengan leher hampir putus terbabat pedang di tangan kirinya sendiri. Pedang Kim-kong-kiam!

Melihat ini, Cun Giok mengeluarkan pekik melengking seperti seekor naga terluka. Pedangnya menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya sehingga empat orang perajurit Mongol terjungkal roboh mandi darah. Tubuhnya lalu berkelebat ke arah makam dan empat orang perajurit lain yang berani mencoba menghadangnya, roboh disambar kilatan pedangnya.

Di lain saat pemuda itu telah menyambar pedang Kim-kong-kiam yang masih dipegang tangan kiri jenazah Siang Ni, menyimpan pedang pusaka yang dulu menjadi milik gurunya, dan dia berjongkok, dengan lembut menggunakan tangannya untuk mengusap muka Siang Ni sehingga sepasang mata yang tadinya terbuka itu dapat terpejam.

“Siang Ni... ahh, Siang Ni...!” Cun Giok mengeluh dengan perasaan hati seperti tertusuk. Rasa sedih, iba, dan penasaran menyesak di dadanya. Tangan kirinya membelai wajah yang cantik jelita, pucat, basah oleh keringat dan darah itu.

“Siang Ni... Piauw-moi (Adik Misan Perempuan)...” Cun Giok mengeluh.

Pada saat itu, dia merasakan adanya sambaran senjata dari belakang, kanan dan kiri. Cepat dia melompat dan membalik, pedangnya berkelebat dan tiga orang perajurit Mongol roboh mandi darah diantar teriakan kematian mereka. Cun Giok mengamuk, akan tetapi melihat betapa semakin banyak perajurit Mongol berdatangan, dia maklum bahwa kalau dia terus melawan, akhirnya dia tidak akan dapat bertahan.

Dia lalu memutar pedangnya dan menerobos keluar dari kepungan para perajurit. Untuk dapat lolos dia harus merobohkan belasan orang perajurit lagi, akan tetapi dia sendiri pun menderita luka-luka, walaupun tidak ada yang parah. Akhirnya, dengan mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan kelihaian ilmu pedangnya, Cun Giok berhasil lolos dari kepungan dan menghilang di antara banyak bong-pai (batu nisan) tanah kuburan itu, ditelan kegelapan malam!

Pada keesokan harinya, kota raja menjadi geger dengan terjadinya peristiwa hebat di tanah kuburan semalam. Dua puluh orang lebih perajurit Mongol yang lihai tewas dalam pertempuran itu. Para pejabat tinggi menjadi bingung dan ketakutan.

Kaisar Kubilai Khan yang mendengar laporan para perwira tentang peristiwa itu lalu mengumumkan bahwa Panglima Besar Kong Tek Kok bersama muridnya, Lu Siang Ni puteri Pangeran Lu Kok Kong yang tewas terbunuh pemberontak, kini tewas pula dalam tangan penjahat ketika mereka berdua bertugas menangkap penjahat pemberontak!

Tentu saja pengumuman kaisar ini dilakukan untuk melindungi kehormatan Keluarga Istana, agar rahasia memalukan antara Panglima Besar Kong Tek Kok dan keluarga Pangeran Lu tidak sampai terdengar orang luar. Juga bukan hanya jenazah Jenderal Kong Tek Kok yang dikuburkan dengan upacara kehormatan, juga jenazah Lu Siang Ni dikubur di samping makam Pangeran Lu Kok Kong dan Pouw Sui Hong, ayah dan ibu gadis itu.

Para perwira dan perajurit yang ikut bertempur di tanah kuburan malam itu, yang lolos dari maut, diancam agar jangan membicarakan peristiwa pembunuhan atas diri Panglima Besar Kong Tek Kok oleh Siang Ni, muridnya sendiri yang juga puteri Pangeran Lu Kok Kong.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pada keesokan harinya, setelah ayam mulai berkeruyuk sahut-sahutan dan burung-burung berceloteh dengan kicau gembira menyambut sinar matahari fajar yang kemerahan, seorang pemuda berjalan perlahan-lahan menyusuri sungai yang mengalir di sebelah selatan kota raja Peking.

Pemuda itu adalah Cun Giok. Dia tampak amat menyedihkan. Rambutnya awut-awutan, pakaiannya kusut kumal ternoda darah kering dan keringat bercampur debu. Tubuhnya lemas lunglai, sehingga langkahnya lambat, satu-satu seolah-olah dia hampir tidak kuat lagi melangkah.

Bukan kelelahan semata yang membuat dia demikian lemah lunglai, melainkan terutama sekali karena badannya kehilangan banyak darah dan batinnya tertekan oleh kesedihan yang mendalam. Wajahnya yang tampan gagah itu kini agak pucat, dan dari kedua matanya yang sayu layu itu kadang-kadang mengalir air mata yang menetes ke atas kedua pipinya.

“Siang Ni...!” Nama ini berulang-ulang disebutnya dalam keluhannya.

Terbayang wajah gadis adik misannya yang cantik jelita itu, sepasang matanya yang bersinar-sinar bagaikan bintang, senyumnya yang manis, sikapnya yang ugal-ugalan, kekerasan hati dan kegagahannya, yang sama sekali tidak gentar menghadapi pengeroyokan puluhan orang perajurit Mongol, dan yang memilih bunuh diri daripada tertangkap hidup-hidup dan mengalami penghinaan.

“Siang Ni...!” Dia mengeluh lemah dan tiba-tiba tubuhnya terkulai di tepi sungai.

Sejenak dia membiarkan dirinya rebah telentang di atas tanah berumput dan dia merasakan kesejukan embun di rumput yang seolah menembus kulitnya. Dia membiarkan lamunannya melayang-layang membayangkan segala peristiwa yang dia alami, terutama sekali yang mengenai diri Siang Ni.

Lu Siang Ni adalah puteri Pangeran Lu Kok Kong yang menjadi suami bibinya, yaitu Pouw Sui Hong. Dan dialah yang menjadi orang pertama yang menghancurkan kehidupan Siang Ni! Dia telah salah sangka, mengira bahwa bibinya, Pouw Sui Hong dipaksa menjadi selir Pangeran Lu sehingga dia membunuh pangeran itu yang dianggap musuh keluarga Pouw!

Tidak tahunya bahwa bibinya itu, Pouw Sui Hong, hidup sebagai selir terkasih dan ia mencinta suaminya, apalagi karena dari pernikahan itu ia telah melahirkan seorang anak perempuan, yaitu Lu Siang Ni! Dan dia telah membunuh Pangeran Lu, ayah kandung Siang Ni! Dia sama sekali salah sangka.

Tadinya dia membunuh Pangeran Lu untuk membalaskan sakit hati bibinya, Pouw Sui Hong, agar bibinya menjadi puas, terhibur dan bahagia. Akan tetapi, ternyata bahwa dia malah mendatangkan malapetaka bagi bibinya sendiri. Dia membunuh Pangeran Lu Kok Kong yang sama sekali tidak bersalah sehingga bibinya, Pouw Sui Hong, jatuh sakit dan mati karena terguncang hatinya. Dia yang membuat Siang Ni menjadi yatim piatu! Dia bersama Siang Ni memang telah berhasil membalas dendam kepada Panglima Besar Kong Tek Kok, akan tetapi Siang Ni juga menjadi korban dan tewas oleh pengeroyokan pasukan Mongol.

“Siang Ni...!” Kembali Cun Giok mengeluh sedih.

Keluarganya, keluarga Pouw, telah punah, terbasmi habis. Tinggal dia satu-satunya keturunan keluarga Pouw, bahkan dia yang menjadi keturunan tunggal itu selama ini menggunakan she (marga) Suma, yaitu marga mendiang gurunya, Suma Tiang Bun, yang juga menjadi ayah angkatnya. Tidak, mulai sekarang dia harus menggunakan marga nenek moyangnya, yaitu she Pouw, agar keturunan Pouw tidak musnah. Kini dia bernama Pouw Cun Giok, bukan lagi Suma Cun Giok.

Terkenang akan keluarga ayahnya, yaitu keluarga Pouw, hati pemuda itu terasa semakin pedih. Semenjak ratusan tahun keluarga Pouw terkenal sebagai sebuah keluarga besar, keturunan bangsawan tinggi Kerajaan Sung (960-1279), terkenal sebagai pahlawan-pahlawan bangsa.

Dahulu seluruh rakyat Kerajaan Sung mengenal dua orang bersaudara Pouw yang dihormati dan dikagumi. Kedua orang kakek canggahnya itu adalah Pouw Goan Keng yang menjabat Menteri Kesusastraan dan adiknya Pouw Cong Keng yang dulu dengan gagahnya memimpin pasukan melawan musuh, yaitu bangsa Kin.

Cun Giok melanjutkan kenangannya yang semakin mengalir. Dari mendiang gurunya dia mendengar akan riwayat nenek moyangnya. Kakeknya, Pouw Seng Ki, mempunyai dua orang anak, yaitu ayahnya, Pouw Keng In dan bibinya, Pouw Sui Hong. Akan tetapi kakek dan neneknya meninggal dunia karena penyakit ketika ayah dan bibinya masih kecil sehingga ayah dan anak bibinya itu ikut kakeknya yang bernama Pouw Bun yang pernah menjadi pejabat sebelum Kerajaan Sung jatuh ke tangan bangsa Mongol.

Ayahnya Pouw Keng In telah menikah dengan ibunya, Tan Bi Lan, yang telah mengandung delapan bulan, ketika malapetaka itu menimpa keluarga Pouw. Ayahnya, Pouw Keng In yang berjiwa patriot penasaran sekali melihat bangsa Mongol menjajah tanah airnya. Dia sering menulis sajak yang isinya mengutuk penjajah bangsa Mongol.

Seorang bekas pelayan bernama Can Sui dikeluarkan oleh keluarga Pouw karena hendak kurang ajar terhadap Pouw Sui Hong. Can Sui lalu mencuri sajak tulisan Pouw Keng In dan menyerahkannya kepada Pembesar Mongol. Maka, malapetaka pun menimpa keluarga Pouw. Kakek dan Nenek Pouw Bun dibunuh.

Pouw Keng In mengajak isterinya yang mengandung delapan bulan dan adiknya, Pouw Sui Hong yang berusia delapanbelas tahun, melarikan diri. Mereka bertiga dikejar pasukan yang dipimpin Jenderal Kong Tek Kok. Akhirnya, Pouw Keng In tewas terkena panah, panglima besar itu, dan Pouw Sui Hong tertawan! Ibunya terluka pundaknya akan tetapi ia dapat ditolong Suma Tiang Bun.

“Kasihan Ibuku… kasihan Ayah, Kong-kong dan Nenek, kasihan sekali Bibi Pouw Sui Hong! Kasihan sekali Adik Siang Ni...” Cun Giok mengeluh.

Kenangannya semakin kabur. Dahulu, gurunya, Suma Tiang Bun yang menceritakan itu semua. Kemudian ibunya melahirkan dia dan ibunya meninggal dunia setelah melahirkan. Dia diangkat anak oleh gurunya, diberi she Suma. Setelah dia dewasa dan hendak membalas dendam, ternyata dia salah sangka dan membunuh Pangeran Lu yang mengambil Bibi Pouw Sui Hong sebagai selir kesembilan!

Karena pembunuhan itu, bibinya meninggal dunia karena duka! Kemudian, Siang Ni yang nekat juga tewas secara menyedihkan. Dia merasa, seolah dia yang menghancurkan keluarga bibinya!

Tiba-tiba kenangan yang makin kabur itu lenyap, terganti awan hitam, gelap dan dia tidak ingat apa-apa lagi. Cun Giok pingsan menggeletak telentang di tepi sungai.

********************

Cun Giok mengerang lirih. Dia merasa kepalanya dibasahi orang dengan kain basah dingin. Rasa dingin itu mengurangi hawa panas yang amat mengganggunya dan membuatnya pening. Lalu ada jari tangan menotok jalan darah di kedua pundaknya, lalu mengurut ulu hatinya. Hidungnya mencium keharuman seribu bunga, lembut dan sedap.

Jari-jari tangan itu masih mengurut dan menekan tubuhnya. Dia merasa betapa jari-jari tangan itu menekan dan mengurut jalan darah dengan tepat sekali. Pasti seorang ahli dan orang itu sedang berusaha untuk melancarkan jalan darahnya. Mimpikah dia?

Cun Giok tidak mau membuka kedua matanya, khawatir kalau mimpinya hilang. Dia teringat bahwa dia tadi rebah di atas tanah berumput, di tepi sungai. Tekanan dan urutan jari tangan itu terasa lembut dan menyenangkan, juga bau harum itu membuat dia merasa nyaman. Sayang kalau dia membuka mata lalu mimpi ini hilang!

Tiba-tiba terdengar langkah kaki berdebum membuat dia merasa tergetar. Seolah ada seekor gajah di dekatnya! Cun Giok membuka matanya dan dia merasa heran sekali melihat dia rebah di dalam sebuah kamar yang besar, di atas pembaringan yang indah dan lunak. Kamar itu mewah sekali dan ketika pandang matanya bertemu dengan orang yang duduk di tepi pembaringan itu, dia terbelalak dan menggosok-gosok kedua matanya.

Setelah membuka matanya dan melihat gadis yang duduk di tepi pembaringan itu, dia merasa bahwa sekarang baru dia mimpi benar-benar! Bukan saja kamar mewah itu yang membuatnya terheran, akan tetapi terutama sekali melihat gadis itu, dia yakin bahwa dia sedang mimpi. Seorang gadis yang berpakaian indah dari sutera merah muda, dihias garis-garis dan bunga-bunga berwarna kuning dan hijau. Terutama wajahnya! Tentu seorang bidadari!

Wajah itu dalam pandangannya demikian cantik jelita sehingga lebih pantas kalau disebut bidadari. Usianya sekitar delapanbelas tahun. Sepasang matanya demikian indah, dengan kedua ujung agak menjungat ke atas, dengan bulu mata lentik dan dipayungi sepasang alis yang hitam kecil panjang, hidungnya mancung dan mulutnya itu!

Entah mana yang lebih indah menggairahkan antara mulut dan mata itu. Tubuh itu pun dalam penilaian Cun Giok amat sempurna, tubuh yang menjelang dewasa bagaikan buah sedang ranum atau bunga mulai mekar, dengan lekuk lengkung sempurna sehingga pakaian dari sutera yang agak ketat itu tidak dapat menyembunyikannya dengan baik. Demikian terpesona Cun Giok memandang gadis itu sehingga dia tidak melihat yang lain lagi.

Tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek. “Siapa suruh orang asing masuk ke sini tanpa ijin? Dia tentu mempunyai niat jahat!” Kemudian menyusul angin pukulan dahsyat menyambar ke arah kepala Cun Giok!

“Wuuuttt... brakkk!”

Cun Giok mengelak sambil melompat turun ke samping dan sebuah tangan yang besar menyambar lewat kepalanya dan mengenai pembaringan yang seketika pecah berantakan terkena pukulan tangan itu!

Cun Giok dapat menghindarkan diri dari pukulan maut itu, akan tetapi dia berdiri di lantai dengan terhuyung karena gerakan mengelak tadi membuat kepalanya pening dan tubuhnya terasa tidak ada tenaganya dan lemas.

Ketika dia memandang penyerangnya, ternyata yang menyerangnya adalah seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa, wajahnya tampan gagah berkulit merah, usianya sekitar limapuluh lima tahun. Pakaiannya mewah seperti seorang hartawan dan muka yang tampan itu tampak keren dan gagah dengan adanya kumis dan jenggot hitam yang pendek dan terawat.

Melihat Cun Giok dapat menghindarkan pukulannya tadi, kakek itu agaknya siap untuk mengirim serangan susulan. Biarpun Cun Giok merasa kepalanya pening dan tubuhnya gemetar, namun dia segera memasang kuda-kuda dan siap menghadapi serangan lawan yang dia tahu memiliki tenaga yang amat kuat.

“Jangan melawan!” tiba-tiba gadis berpakaian merah itu berkelebat mendekati Cun Giok dan secepat kilat tangannya berkelebat dan Cun Giok terkulai lemas karena jalan darah Thian-hu-hiat di tubuhnya telah terkena totokan yang ampuh.

Sebelum tubuhnya yang terkulai itu roboh, tangan gadis itu, yang kecil lembut namun kuat bukan main, telah menangkap pangkal lengan Cun Giok sehingga dia tidak sampai jatuh. Gadis itu lalu menarik dan mendudukkan Cun Giok ke atas sebuah kursi. Cun Giok terduduk dan hanya dapat memandang kepada gadis jelita dan laki-laki gagah perkasa itu.

Kini gadis itu menghadang di antara Cun Giok dan laki-laki itu. “Ayah tentu tidak akan melanggar hak ku! Aku yang membawanya ke sini, maka aku pula yang bertanggung jawab atas dirinya. Tidak seorang pun, termasuk Ayah boleh melanggar hak ku!”

“Ai Yin, engkau telah bertindak lancang sekali!” laki-laki itu berkata, suaranya besar dan nadanya menunjukkan bahwa laki-laki tinggi besar itu berwatak keras. “Apakah engkau mengenal orang ini? Siapa dia dan mengapa engkau membawanya ke sini tanpa memberitahu kepadaku?”

“Ayah, aku melihat dia menggeletak pingsan di tepi sungai. Dia menderita banyak luka senjata tajam, walaupun tidak ada yang parah namun dia kehilangan banyak darah. Kalau tidak kutolong, dia pasti akan terus pingsan dan tidak akan bangun kembali. Maka, aku membawanya ke sini dan ketika aku datang, ayah tidak berada di rumah. Salahkah perbuatanku itu?”

“Hemmm,” kakek itu mengeluarkan suara menggereng seperti seekor singa dan sepasang matanya yang lebar itu bersinar tajam ketika dia memandang wajah Cun Giok yang masih duduk kursi dan tidak mampu bergerak karena tadi ditotok gadis itu. “Akan tetapi aku harus mengetahui dulu macam apa orang ini, pantas mendapat pertolonganmu atau tidak, aku harus mengujinya.”

“Silakan, Ayah. Aku pun tidak akan sudi menolong orang yang tidak memenuhi syarat kita.”

Kakek itu mengeluarkan sebuah guci keramik kecil dari saku jubahnya, membuka tutup guci dan mengeluarkan tiga butir pel merah sebesar kuku jari kelingking.

“Nih, untuk memulihkan darahnya,” Dia menyerahkan tiga butir pel itu kepada puterinya.

“Ah, bukankah obat penambah darah dan penguat tubuh ini merupakan obat langka simpanan Ayah untuk kesehatan Ayah sendiri?” gadis itu membantah.

“Berikanlah padanya, aku masih mempunyai sisanya yang cukup. Tanpa itu, akan terlalu lama tenaganya pulih dan kalau dia selemah ini, bagaimana aku dapat mengujinya?” Kakek itu lalu melangkah keluar kamar. Langkahnya berdebum seperti langkah gajah yang marah!

Gadis itu menghampiri Cun Giok dan membebaskan totokannya sehingga pemuda itu dapat bergerak kembali. Cun Giok memandang gadis itu dengan heran. “Maaf, Nona. Engkau siapakah dan mengapa engkau melakukan semua ini kepadaku?”

Gadis itu mengerutkan alisnya. “Nanti saja kita bicara. Sekarang engkau mengasolah dulu dan tidurlah untuk memulihkan kesehatanmu.”

Cun Giok merasa heran. Kini dia baru mengerti bahwa ketika dia rebah telentang di tepi sungai itu, dia jatuh pingsan sehingga ketika dia diketemukan gadis ini dan dibawa pulang, dia sama sekali tidak sadar. Gadis itu telah menolongnya, bukan hanya menolong ketika dia tergolek pingsan di tepi sungai, malah tadi membela dan melindunginya dari ancaman ayah gadis itu yang agaknya marah melihat dia berada di situ.

Maka, mendengar gadis itu minta dia mengaso dengan nada suara memerintah, dia pun tidak membantah dan segera bangkit, menghampiri pembaringan dan berdiri bingung melihat pembaringan itu telah hancur terkena pukulan kakek tadi.

“Sana, engkau boleh tidur dipembaringanku!” kata gadis itu sambil menuding ke arah sudut kamar yang luas itu.

Cun Giok memandang dan melihat sebuah tempat tidur yang mewah dan indah di sudut. Tentu saja dia meragu untuk tidur di pembaringan gadis itu!