Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

09: PERILAKU KEPALA DAERAH POA-TING

Peristiwa apa yang menimpa lima orang penjaga di luar gedung tadi sama sekali tidak diketahuinya.

“Aku mendengar bahwa engkau mengumpulkan gadis-gadis di daerah ini. Untuk apakah itu?” Siang Ni bertanya, suaranya masih biasa.

Pembesar Kui tertawa dan dia melirik kepada empat orang bawahannya dan bukan main herannya melihat empat orang pembesar itu menundukkan muka dan tampak seperti orang-orang yang ketakutan. Akan tetapi hal ini belum menyadarkannya, maka dia berkata lagi dengan lagak dibuat-buat agar tampak gagah berwibawa dan menarik.

“Benar, Nona manis. Aku mengumpulkan dan membutuhkan duapuluh empat orang calon Siu-li untuk Sribaginda Kaisar. Apakah engkau ingin... ah, jangan! Lebih baik engkau ikut saja dengan aku di sini dan hidup makmur bahagia. Bagaimana, engkau mau, bukan?”

Tiba-tiba Pembesar Kui terkejut sekali dan menjadi semakin terheran-heran ketika dia melihat empat orang pembesar bawahan itu bangkit dari kursi mereka dan mereka berempat menghadap gadis itu, menjura dan membungkuk dengan sikap hormat sekali kepada Siang Ni dan seorang dari mereka berkata dengan sikap hormat dan takut-takut.

“Lu-siocia, mohon maaf sebanyaknya kalau Kui-thaijin bicara main-main karena agaknya dia belum mengenal Siocia.” Kemudian pembesar itu menoleh kepada Kui-thaijin dan berkata, “Kui-thaijin, ketahuilah bahwa Nona ini adalah Lu-siocia, puteri tunggal dari Pangeran Lu Kok Kong di kota raja.”

Kalau ada petir menyambar kepalanya saat itu, agaknya Pembesar Kui tidak akan begitu kaget seperti ketika mendengar ucapan bawahannya ini. Mukanya menjadi pucat sekali dan dia merasa mulutnya mendadak kering. Dia bangkit dari kursinya dengan kedua kaki menggigil, lalu menjura dengan hormat dan berkata dengan lirih dan gagap.

“Saya... eh,... Nona, harap Nona maafkan... mengapa Nona tidak memberitahu dari tadi? Eh... Lu-siocia, bagaimana... bagaimana kabarnya ayah Nona yang mulia? Saya harap dalam keadaan baik dan selamat, dan saya harap... Nona sudi menyampaikan hormat saya yang setingginya kepada beliau...”

Melihat perubahan sikap pembesar itu, Siang Ni menggerakkan bibirnya dan tersenyum mengejek. “Orang she Kui, baru saja menjabat pangkat di kota ini, engkau sudah memperlihatkan sikap sombong dan tengik! Kau tahu apa dosamu?” bentaknya.

Kui-thaijin merasa terkejut dan ketakutan karena dia sudah mendengar akan nama besar Pangeran Lu Kok Kong dan tahu bahwa pangeran itu mempunyai pengaruh besar di istana. Akan tetapi kalau puteri pangeran itu sampai begini kurang ajar, dia sungguh tidak mengerti. Apa yang diandalkan seorang gadis remaja yang lemah biarpun ia puteri bangsawan? Bagaimana seorang gadis bangsaaan dapat bersikap begini liar dan kasar?

“Nona, harap suka maafkan sikap saya tadi. Saya hanya main-main dan sungguh mati saya tidak tahu bahwa Nona adalah Lu-siocia yang terhormat,” kembali dia memberi hormat sambil membungkuk.

“Bukan itu, tikus!” Siang Ni membentak marah. “Untuk kesalahanmu yang itu, baik nanti aku bicarakan lagi. Sekarang yang kuurus dan kutanyakan, tahukah engkau akan dosamu dalam hal mengumpulkan calon Siu-li?”

“Dosa saya? Apakah yang Nona maksudkan? Saya mengumpulkan calon Siu-li untuk Yang Mulia Hong-siang, apakah salahnya dengan itu?” tanya Pembesar Kui dengan sikap setengah menantang.

Dia pikir bahwa mengumpulkan Siu-li untuk kaisar merupakan jasa besar dan dengan menggunakan nama kaisar, siapa berani menentang? Dia tidak perlu takut akan gertakan seorang bocah perempuan yang manja!

“Tikus tua busuk! Engkau mengumpulkan Siu-li, katamu? Engkau tidak mengumpulkan, melainkan memaksa anak orang dengan kekerasan untuk menyerahkan anak perempuan mereka! Sungguh kepalamu yang penuh kotoran itu harus dipukul!”

Pembesar Kui tampak marah dan hendak membantah, akan tetapi tiba-tiba tubuh gadis itu berkelebat dan terdengar suara "takk!", topi kebesaran di atas kepala Kui-thaijin terlempar jatuh dan kulit kepalanya terasa nyeri dan di situ timbul benjolan sebesar telur ayam!

Pembesar Kui menjadi pucat sekali dan meringis kesakitan, tangan kiri mengelus benjol kepalanya dan tangan kanan mencari topinya yang terjatuh. Hampir saja dia memaki dan memanggil penjaga, akan tetapi empat orang bawahannya sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Siang Ni sambil memintakan ampun untuknya.

Kui-thaijin merasa heran sekali melihat empat orang bawahannya demikian takut terhadap gadis remaja itu. Hal ini membuat dia merasa agak gentar pula, apalagi kalau dia mengingat betapa ketika menampar kepalanya tadi, gadis remaja itu bergerak sedemikian cepatnya. Ini membuka matanya bahwa gadis itu bukan hanya galak dan liar, akan tetapi juga memiliki kecepatan gerakan dan kuat sekali. Tadi tampak perlahan saja ia menampar, namun kepalanya menjadi benjol dan sakitnya bukan kepalang. Merasa bahwa dia tidak bersalah, pembesar itu membela diri dan berkata dengan nada penasaran.

“Lu-siocia, sungguh saya tidak mengerti mengapa Nona marah dan memukul kepala saya, seorang tua. Memang benar saya yang menyuruh pasukan mengambil gadis-gadis yang dipilih untuk menjadi calon Siu-li. Ada di antara mereka yang tidak setuju, terpaksa harus dilakukan kekerasan. Nah, apakah salahnya dengan itu?”

“Memilih calon Siu-li boleh saja, akan tetapi harus gadis yang memang sukarela ingin menjadi Siu-li. Tidak boleh memaksa gadis yang memang tidak mau. Gaya dan lagakmu seperti kepala perampok saja, tidak pantas menjadi Kepala Daerah!”

Kui Thaijin menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya, masih berusaha membela diri. “Habis bagaimana baiknya, Nona? Gadis-gadis yang dikirim ke kota raja haruslah yang cantik dan bersih, maka diadakan pemilihan. Kalau yang dipilih tidak mau dan tidak dilakukan paksaan, saya khawatir tidak akan ada Siu-li yang dapat dikirim ke istana.”

“Bohong! Engkau bilang sendiri bahwa di antara mereka ada yang tidak mau, ini berarti bahwa banyak pula di antara mereka yang mau, bukan? Nah, kau pilih saja yang mau dan dengan sukarela dikirim ke istana, yang tidak mau tidak boleh dipaksa. Gadis keluarga Cong dipaksa dan diseret-seret, baiknya aku melihat dan menolongnya. Engkau benar-benar tidak patut menjadi Kepala Daerah yang harus memimpin dan mengayomi rakyatnya! Hemm, ingin aku tahu apa kata ayah kalau kuceritakan hal ini kepadanya!”

Mendengar ini, Pembesar Kui makin ketakutan. Akan tetapi dia masih berpegang kepada pendapatnya bahwa mengumpulkan Siu-li untuk kaisar adalah jasa besar, maka dia mencoba untuk membantah.

“Nona, harap maafkan kalau pendapat saya keliru. Akan tetapi, semua ini saya lakukan agar dapat mengumpulkan calon Siu-li yang terbaik dan tercantik untuk Hong-siang, semua saya lakukan demi kesenangan Sribaginda Kaisar. Bukankah hal itu baik sekali?”

Siang Ni melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Kui-thaijin sehingga pembesar itu melangkah mundur ketakutan, khawatir akan digampar lagi. “Tikus goblok! Orang macam engkau ini bisa mendapatkan kedudukan Kepala Daerah? Sungguh menggelikan! Buka telingamu dan dengarkan baik-baik, Kaisar mengumpulkan Siu-li untuk menjadi pelayan istana, untuk menghibur hati Kaisar dan keluarga Kaisar. Untuk pekerjaan ini harus dipilih gadis-gadis yang selain cantik, juga yang dengan sukarela dan senang hati ingin melayani keluarga Kaisar di istana. Kalau engkau memilih secara paksa, memaksa gadis-gadis yang tidak suka menjadi Siu-li, bukankah itu sama halnya dengan engkau memasukkan musuh dan memancing timbulnya bahaya dalam istana? Apakah engkau berani bertanggung-jawab bahwa gadis-gadis yang kau paksa itu kelak tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan keselamatan keluarga Kaisar untuk membalas dendam karena mereka dipaksa? Nah, coba engkau mau bicara apa lagi, kau tikus tua yang bodoh!”

Kui-thaijin tertegun. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis remaja ini demikian lincah dan pandai bicara. Untuk menghadapi serangan kata-kata yang tidak dapat dielakkan lagi itu, dia dapat bicara apa lagi? Dia hanya mampu mengangguk-anggukkan kepalanya dan mendengar empat orang kawannya berkata dengan penuh hormat.

“Lu-siocia benar sekali!”

Siang Ni tidak mempedulikan mereka karena gadis yang besar di kota raja ini sudah hafal akan sikap menjilat para pembesar macam Kui-thaijin dan empat orang kawannya ini. Orang-orang macam mereka merupakan orang-orang berwatak rendah yang biasanya suka menjilat atasan dan menginjak bawahan.

“Nah, sekarang perlihatkan kepadaku gadis-gadis yang telah dikumpulkan. Cepat!”

Pembesar Kui sudah mati kutu. Tanpa berani bercuit lagi dia lalu mengiringi Siang Ni masuk ke ruangan dalam di mana para gadis calon Siu-li berkumpul. Begitu Siang Ni memasuki ruangan itu, sebagian besar para gadis cantik menyambutnya dengan senyum manis dan terdengar mereka berkomentar.

“Ah, inilah orang terakhir. Kita segera diberangkatkan ke kota raja!”

“Ia cantik dan manis sekali!”

“Alangkah indah pakaiannya!”

“He, rambutnya model sanggul puteri bangsawan! Berani benar ia!”

Demikianlah, di antara para gadis yang dengan sukarela ingin menjadi Siu-li, terdengar sambutan-sambutan dan pendapat-pendapat tentang diri Siang Ni. Akan tetapi alangkah kaget dan heran hati mereka ketika Pembesar Kui berkata dengan suara lantang.

cerita silat online karya kho ping hoo

“Nona sekalian, ketahuilah, Siocia ini adalah Lu-siocia, puteri Pangeran Lu di kota raja. Semua memberi hormat kepada Lu-siocia!”

Semua gadis yang berada di ruangan itu, kecuali enam orang gadis yang masih bertangisan, menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada Siang Ni dengan berbagai gaya. Akan tetapi Siang Ni yang bermata tajam dan sejak tadi memperhatikan mereka, langsung saja menghampiri enam orang gadis yang memisahkan diri di sudut. Dengan lembut ia bertanya kepada mereka.

“Enci sekalian, hentikan tangis kalian dan jawablah pertanyaanku. Mengapa kalian bersedih dan menangis? Bukankah mestinya kalian bergembira terpilih menjadi calon Siu-li seperti yang lain ini?”

Enam orang gadis itu mengangkat muka dan seorang di antara mereka menjawab, “Siocia, kami dipisahkan dari ayah ibu, bagaimana kami tidak gelisah dan bersedih?”

“Kalian hendak dibawa ke kota raja, dipersembahkan kepada Sri Baginda Kaisar untuk dipilih menjadi Siu-li. Menjadi pelayan di istana pekerjaannya ringan, hidupnya senang, pakaiannya selalu indah, makan selalu yang enak-enak. Kalau baik peruntungan kalian, dapat dipilih menjadi selir dan hidup mulia dan dihormati, mengapa kalian tidak mau? Apakah kalian membenci Sribaginda Kaisar?”

Ketika bertanya, Siang Ni bertolak pinggang dan memandang tajam. Kalau saja ada yang berani bilang membenci kaisar, tentu akan ditampar orang itu. Bahkan sebagai anggauta keluarga istana yang setia kepada kaisar, Siang Ni tidak akan ragu-ragu untuk membunuh orang yang berani berkhianat atau menghina kaisar.

“Kami tidak membenci Sri Baginda Kaisar, Siocia. Bertemu pun belum pernah, melihat pun belum, bagaimana bisa membenci? Bukan sekali-kali kami tidak suka menjadi calon Siu-li dan tidak suka hidup senang, akan tetapi... kami lebih suka melayani ayah ibu kami sendiri...” Gadis itu menangis, diikuti lima orang kawannya senasib.

Siang Ni menoleh kepada Kui-thaijin. “Enam orang ini harus dikembalikan kepada orang tua masing-masing dan diberi uang kerugian masing-masing tiga puluh tail perak. Selanjutnya, engkau harus menjaga agar tidak ada yang mengganggu mereka!”

Pembesar Kui hanya dapat mengangguk akan tetapi mukanya cemberut. Kemudian Siang Ni berkata kepada tujuh belas orang gadis yang lain, yang masih berlutut di atas lantai.

“Kalian yang memang dengan sukarela suka dipilih menjadi calon Siu-li, perhatikan baik-baik. Kalau di antara kalian mendapat perlakuan tidak baik dari para petugas, baik di sini maupun di tengah perjalanan ke kota raja, ingat saja siapa orangnya. Kelak kalau kalian sudah menghadap Sribaginda Kaisar, sebut saja nama orang jahat itu dan Sribaginda pasti akan mengambil tindakan dan menjatuhkan hukuman berat. Aku mendengar ada pembesar yang suka merampas atau menahan seorang dua orang calon Siu-li yang disukainya untuk diambil sebagai selirnya sendiri. Nah, kalau terjadi hal demikian dengan seorang di antara kalian, yang lain kelak harus melaporkannya kepada Sribaginda Kaisar. Hanya dengan persatuan dan saling menolong kalian akan selalu mendapat perIakuan baik di sepanjang perjalanan.”

Tentu saja nasehat ini diingat baik-baik oleh semua gadis yang berada di situ, akan tetapi sebaliknya membuat Kui-thaijin dan kawan-kawannya meringis. Sudah barang tentu dia dan kawan-kawannya tidak berani berkutik, takkan berani berbuat kurang ajar terhadap gadis-gadis itu yang sudah mendapat nasihat dari Siang Ni.

“Gadis setan...!” Diam-diam Pembesar Kui dan kawan-kawannya memaki Siang Ni dalam hati mereka.

Setelah memberi peringatan keras kepada Kui-thaijin untuk menjalankan tugas sebagai pembesar dengan bijaksana dan adil, Siang Ni lalu keluar dari tempat itu, mengambil kudanya yang dititipkan di luar kota, kemudian membalapkan kudanya pulang ke kota raja. Ia tahu bahwa ayahnya tidak akan marah kepadanya karena ayahnya tidak pernah melarangnya melakukan perjalanan ke luar kota raja.

Akan tetapi ibunya yang selalu menegurnya, karena ibunya khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak baik atas diri puteri tunggalnya. Betul saja, begitu ia melompat dari kuda yang diterima oleh pelayan dan penjaga kuda, lalu berlari memasuki gedung ayahnya, ia disambut ibunya dengan alis berkerut.

“Ibu, engkau tampak semakin muda dan cantik saja!” Siang Ni mendahului merangkul dan mencium ibunya.

Bagaikan sepotong es terkena panas, seketika kemarahan ibunya mencair demi mendengar kata-kata pujian dan melihat sikap Siang Ni. “Anakku, engkau selalu menggelisahkan hati orang tua,” Ibunya menegur lembut. “Dari mana sajakah engkau?”

“Mari kita masuk dulu, Ibu. Tidak enak bicara di sini.”

Gadis itu dengan sikap manja menarik tangan ibunya masuk ke ruangan dalam. Di ruangan dalam, Siang Ni memberi hormat kepada ibu-ibu tirinya yang berjumlah delapan orang. Para ibu tiri yang tidak mempunyai anak itu semua amat sayang kepada Siang Ni dan memperlakukan gadis itu seperti anak mereka sendiri sehingga gadis bangsawan yang beribu sembilan orang ini tentu saja menjadi semakin manja!

Akhirnya ibu dan anak itu duduk berdua dalam kamar. Pouw Sui Hiong atau Nyonya Lu Kok Kong yang kesembilan, duduk di tepi pembaringan sedangkan Siang Ni yang sudah berganti pakaian cepat-cepat melempar dirinya ke atas pembaringan, memeluk guling dan menceritakan pengalamannya, terkadang sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Pouw Sui Hong atau Nyonya Lu memang akhir-akhir ini mengetahui juga bahwa puterinya memiliki ilmu silat yang tinggi. Ia hanya menghela napas panjang ketika ia mengetahui akan hal ini. Akan tetapi kadang-kadang ia pun menjadi amat gelisah mendengar puterinya menceritakan pengalamannya yang hebat-hebat seperti yang diceritakannya sekarang.

Dengan gaya manja dan juga lucu, Siang Ni menceritakan bagaimana ia telah menghajar Kepala Daerah Pao-ting bersama kaki tangannya, dan betapa ia menolong gadis-gadis yang hendak dipaksa menjadi calon Siu-li.

Tidak seperti biasanya kalau mendengarkan puterinya bercerita tentang pertempurannya melawan para penjahat yang membuat hatinya gelisah dan takut, sekali ini mendengar betapa puterinya menolong para gadis yang dipaksa menjadi calon Siu-li, hati nyonya itu merasa terharu sekali. Dipeluknya Siang Ni dan Nyonya Lu menangis terisak-isak.

Siang Ni terkejut sekali. Ia bangkit duduk sambil melepaskan rangkulan ibunya, untuk melihat wajah ibunya. “Eh, lbu. Ada apakah? Apakah kesalahanku, apakah aku membuat Ibu berduka?”

Ibunya menggeleng-gelengkan kepala dan mengelus-elus rambut puterinya dengan penuh kasih sayang.

“Habis, mengapa Ibu menangis? Apakah...” Siang Ni berhenti dan menatap wajah ibunya dengan pandang mata penuh selidik. “Apakah Ayah marah kepada Ibu? Apakah seorang di antara ibu-ibu lain itu...”

Sui Hong merangkul puterinya. “Tidak, Anakku. Jangan menyangka yang bukan-bukan. Aku hanya terharu mendengar betapa engkau telah menolong gadis-gadis yang patut dikasihani itu. Aku merasa bersyukur sekali, Siang Ni, bahwa engkau Anakku dapat melakukan pekerjaan mulia itu. Alangkah akan sengsaranya hati mereka itu kalau engkau tidak menolong mereka.”

Siang Ni adalah seorang gadis remaja yang cerdik sekali. Ia pandai merangkai kenyataan yang satu dengan hal-hal lainnya. Menyaksikan keharuan ibunya, ia menjadi semakin curiga. Sejak masih kecil, seringkali ia minta ibunya mendongeng tentang riwayat ibunya. Ia hanya mengenal nenek moyang dan keluarga ayahnya, keturunan pangeran ini, pembesar-pembesar ini, bahkan dari kaisar itu sampai ia menjadi bosan.

Juga ia mendengar riwayat para ibu tirinya yang kesemuanya mempunyai keluarga, mempunyai kampung halaman dan cerita mereka itu amat menarik hati. Akan tetapi ibunya sendiri tidak pernah menceritakan riwayat dirinya sebelum menjadi isteri ayahnya.

“Aku seorang yatim piatu, tak berayah ibu lagi, tidak ada saudara, tidak mempunyai kampung halaman.” hanya demikian jawaban ibunya kalau dahulu ia bertanya.

Padahal ia ingin ibunya menceritakan apa yang dialami ibunya ketika masih kanak-kanak sampai dewasa, seperti para ibu lain bercerita. Kini menghadapi ibunya yang menjadi terharu dan menangis tersedu-sedu mendengar akan nasib para calon Siu-li yang dipaksa, diam-diam Siang Ni mempunyai dugaan bahwa nasib ibunya dahulu tentu mirip dengan nasib para calon Siu-li paksaan itu. Maka dengan manja ia menjatuhkan kepalanya di atas pangkuan ibunya.

“Ibu, apakah Ibu mencinta Siang Ni?”

Seketika Nyonya Lu menghentikan tangisnya dan menghapus air mata untuk dapat memandang puterinya baik-baik. Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan hatinya.

“Apa maksudmu, Anakku? Mengapa engkau bertanya begitu? Sudah tentu aku mencintamu, lebih daripada segala apa pun di dunia ini!”

“Kalau benar Ibu mencintaku, mengapa Ibu selalu membuat aku bimbang dan penasaran? Mengapa Ibu selalu merahasiakan sesuatu?”

Sui Hong terkejut dan dapat menduga ke mana tujuan kata-kata anaknya yang amat cerdik itu, akan tetapi ia pura-pura tidak mengerti. “Eh, Siang Ni, kau bicara apa? Rahasia apa...?”

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 09

09: PERILAKU KEPALA DAERAH POA-TING

Peristiwa apa yang menimpa lima orang penjaga di luar gedung tadi sama sekali tidak diketahuinya.

“Aku mendengar bahwa engkau mengumpulkan gadis-gadis di daerah ini. Untuk apakah itu?” Siang Ni bertanya, suaranya masih biasa.

Pembesar Kui tertawa dan dia melirik kepada empat orang bawahannya dan bukan main herannya melihat empat orang pembesar itu menundukkan muka dan tampak seperti orang-orang yang ketakutan. Akan tetapi hal ini belum menyadarkannya, maka dia berkata lagi dengan lagak dibuat-buat agar tampak gagah berwibawa dan menarik.

“Benar, Nona manis. Aku mengumpulkan dan membutuhkan duapuluh empat orang calon Siu-li untuk Sribaginda Kaisar. Apakah engkau ingin... ah, jangan! Lebih baik engkau ikut saja dengan aku di sini dan hidup makmur bahagia. Bagaimana, engkau mau, bukan?”

Tiba-tiba Pembesar Kui terkejut sekali dan menjadi semakin terheran-heran ketika dia melihat empat orang pembesar bawahan itu bangkit dari kursi mereka dan mereka berempat menghadap gadis itu, menjura dan membungkuk dengan sikap hormat sekali kepada Siang Ni dan seorang dari mereka berkata dengan sikap hormat dan takut-takut.

“Lu-siocia, mohon maaf sebanyaknya kalau Kui-thaijin bicara main-main karena agaknya dia belum mengenal Siocia.” Kemudian pembesar itu menoleh kepada Kui-thaijin dan berkata, “Kui-thaijin, ketahuilah bahwa Nona ini adalah Lu-siocia, puteri tunggal dari Pangeran Lu Kok Kong di kota raja.”

Kalau ada petir menyambar kepalanya saat itu, agaknya Pembesar Kui tidak akan begitu kaget seperti ketika mendengar ucapan bawahannya ini. Mukanya menjadi pucat sekali dan dia merasa mulutnya mendadak kering. Dia bangkit dari kursinya dengan kedua kaki menggigil, lalu menjura dengan hormat dan berkata dengan lirih dan gagap.

“Saya... eh,... Nona, harap Nona maafkan... mengapa Nona tidak memberitahu dari tadi? Eh... Lu-siocia, bagaimana... bagaimana kabarnya ayah Nona yang mulia? Saya harap dalam keadaan baik dan selamat, dan saya harap... Nona sudi menyampaikan hormat saya yang setingginya kepada beliau...”

Melihat perubahan sikap pembesar itu, Siang Ni menggerakkan bibirnya dan tersenyum mengejek. “Orang she Kui, baru saja menjabat pangkat di kota ini, engkau sudah memperlihatkan sikap sombong dan tengik! Kau tahu apa dosamu?” bentaknya.

Kui-thaijin merasa terkejut dan ketakutan karena dia sudah mendengar akan nama besar Pangeran Lu Kok Kong dan tahu bahwa pangeran itu mempunyai pengaruh besar di istana. Akan tetapi kalau puteri pangeran itu sampai begini kurang ajar, dia sungguh tidak mengerti. Apa yang diandalkan seorang gadis remaja yang lemah biarpun ia puteri bangsawan? Bagaimana seorang gadis bangsaaan dapat bersikap begini liar dan kasar?

“Nona, harap suka maafkan sikap saya tadi. Saya hanya main-main dan sungguh mati saya tidak tahu bahwa Nona adalah Lu-siocia yang terhormat,” kembali dia memberi hormat sambil membungkuk.

“Bukan itu, tikus!” Siang Ni membentak marah. “Untuk kesalahanmu yang itu, baik nanti aku bicarakan lagi. Sekarang yang kuurus dan kutanyakan, tahukah engkau akan dosamu dalam hal mengumpulkan calon Siu-li?”

“Dosa saya? Apakah yang Nona maksudkan? Saya mengumpulkan calon Siu-li untuk Yang Mulia Hong-siang, apakah salahnya dengan itu?” tanya Pembesar Kui dengan sikap setengah menantang.

Dia pikir bahwa mengumpulkan Siu-li untuk kaisar merupakan jasa besar dan dengan menggunakan nama kaisar, siapa berani menentang? Dia tidak perlu takut akan gertakan seorang bocah perempuan yang manja!

“Tikus tua busuk! Engkau mengumpulkan Siu-li, katamu? Engkau tidak mengumpulkan, melainkan memaksa anak orang dengan kekerasan untuk menyerahkan anak perempuan mereka! Sungguh kepalamu yang penuh kotoran itu harus dipukul!”

Pembesar Kui tampak marah dan hendak membantah, akan tetapi tiba-tiba tubuh gadis itu berkelebat dan terdengar suara "takk!", topi kebesaran di atas kepala Kui-thaijin terlempar jatuh dan kulit kepalanya terasa nyeri dan di situ timbul benjolan sebesar telur ayam!

Pembesar Kui menjadi pucat sekali dan meringis kesakitan, tangan kiri mengelus benjol kepalanya dan tangan kanan mencari topinya yang terjatuh. Hampir saja dia memaki dan memanggil penjaga, akan tetapi empat orang bawahannya sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Siang Ni sambil memintakan ampun untuknya.

Kui-thaijin merasa heran sekali melihat empat orang bawahannya demikian takut terhadap gadis remaja itu. Hal ini membuat dia merasa agak gentar pula, apalagi kalau dia mengingat betapa ketika menampar kepalanya tadi, gadis remaja itu bergerak sedemikian cepatnya. Ini membuka matanya bahwa gadis itu bukan hanya galak dan liar, akan tetapi juga memiliki kecepatan gerakan dan kuat sekali. Tadi tampak perlahan saja ia menampar, namun kepalanya menjadi benjol dan sakitnya bukan kepalang. Merasa bahwa dia tidak bersalah, pembesar itu membela diri dan berkata dengan nada penasaran.

“Lu-siocia, sungguh saya tidak mengerti mengapa Nona marah dan memukul kepala saya, seorang tua. Memang benar saya yang menyuruh pasukan mengambil gadis-gadis yang dipilih untuk menjadi calon Siu-li. Ada di antara mereka yang tidak setuju, terpaksa harus dilakukan kekerasan. Nah, apakah salahnya dengan itu?”

“Memilih calon Siu-li boleh saja, akan tetapi harus gadis yang memang sukarela ingin menjadi Siu-li. Tidak boleh memaksa gadis yang memang tidak mau. Gaya dan lagakmu seperti kepala perampok saja, tidak pantas menjadi Kepala Daerah!”

Kui Thaijin menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya, masih berusaha membela diri. “Habis bagaimana baiknya, Nona? Gadis-gadis yang dikirim ke kota raja haruslah yang cantik dan bersih, maka diadakan pemilihan. Kalau yang dipilih tidak mau dan tidak dilakukan paksaan, saya khawatir tidak akan ada Siu-li yang dapat dikirim ke istana.”

“Bohong! Engkau bilang sendiri bahwa di antara mereka ada yang tidak mau, ini berarti bahwa banyak pula di antara mereka yang mau, bukan? Nah, kau pilih saja yang mau dan dengan sukarela dikirim ke istana, yang tidak mau tidak boleh dipaksa. Gadis keluarga Cong dipaksa dan diseret-seret, baiknya aku melihat dan menolongnya. Engkau benar-benar tidak patut menjadi Kepala Daerah yang harus memimpin dan mengayomi rakyatnya! Hemm, ingin aku tahu apa kata ayah kalau kuceritakan hal ini kepadanya!”

Mendengar ini, Pembesar Kui makin ketakutan. Akan tetapi dia masih berpegang kepada pendapatnya bahwa mengumpulkan Siu-li untuk kaisar adalah jasa besar, maka dia mencoba untuk membantah.

“Nona, harap maafkan kalau pendapat saya keliru. Akan tetapi, semua ini saya lakukan agar dapat mengumpulkan calon Siu-li yang terbaik dan tercantik untuk Hong-siang, semua saya lakukan demi kesenangan Sribaginda Kaisar. Bukankah hal itu baik sekali?”

Siang Ni melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Kui-thaijin sehingga pembesar itu melangkah mundur ketakutan, khawatir akan digampar lagi. “Tikus goblok! Orang macam engkau ini bisa mendapatkan kedudukan Kepala Daerah? Sungguh menggelikan! Buka telingamu dan dengarkan baik-baik, Kaisar mengumpulkan Siu-li untuk menjadi pelayan istana, untuk menghibur hati Kaisar dan keluarga Kaisar. Untuk pekerjaan ini harus dipilih gadis-gadis yang selain cantik, juga yang dengan sukarela dan senang hati ingin melayani keluarga Kaisar di istana. Kalau engkau memilih secara paksa, memaksa gadis-gadis yang tidak suka menjadi Siu-li, bukankah itu sama halnya dengan engkau memasukkan musuh dan memancing timbulnya bahaya dalam istana? Apakah engkau berani bertanggung-jawab bahwa gadis-gadis yang kau paksa itu kelak tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan keselamatan keluarga Kaisar untuk membalas dendam karena mereka dipaksa? Nah, coba engkau mau bicara apa lagi, kau tikus tua yang bodoh!”

Kui-thaijin tertegun. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis remaja ini demikian lincah dan pandai bicara. Untuk menghadapi serangan kata-kata yang tidak dapat dielakkan lagi itu, dia dapat bicara apa lagi? Dia hanya mampu mengangguk-anggukkan kepalanya dan mendengar empat orang kawannya berkata dengan penuh hormat.

“Lu-siocia benar sekali!”

Siang Ni tidak mempedulikan mereka karena gadis yang besar di kota raja ini sudah hafal akan sikap menjilat para pembesar macam Kui-thaijin dan empat orang kawannya ini. Orang-orang macam mereka merupakan orang-orang berwatak rendah yang biasanya suka menjilat atasan dan menginjak bawahan.

“Nah, sekarang perlihatkan kepadaku gadis-gadis yang telah dikumpulkan. Cepat!”

Pembesar Kui sudah mati kutu. Tanpa berani bercuit lagi dia lalu mengiringi Siang Ni masuk ke ruangan dalam di mana para gadis calon Siu-li berkumpul. Begitu Siang Ni memasuki ruangan itu, sebagian besar para gadis cantik menyambutnya dengan senyum manis dan terdengar mereka berkomentar.

“Ah, inilah orang terakhir. Kita segera diberangkatkan ke kota raja!”

“Ia cantik dan manis sekali!”

“Alangkah indah pakaiannya!”

“He, rambutnya model sanggul puteri bangsawan! Berani benar ia!”

Demikianlah, di antara para gadis yang dengan sukarela ingin menjadi Siu-li, terdengar sambutan-sambutan dan pendapat-pendapat tentang diri Siang Ni. Akan tetapi alangkah kaget dan heran hati mereka ketika Pembesar Kui berkata dengan suara lantang.

cerita silat online karya kho ping hoo

“Nona sekalian, ketahuilah, Siocia ini adalah Lu-siocia, puteri Pangeran Lu di kota raja. Semua memberi hormat kepada Lu-siocia!”

Semua gadis yang berada di ruangan itu, kecuali enam orang gadis yang masih bertangisan, menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada Siang Ni dengan berbagai gaya. Akan tetapi Siang Ni yang bermata tajam dan sejak tadi memperhatikan mereka, langsung saja menghampiri enam orang gadis yang memisahkan diri di sudut. Dengan lembut ia bertanya kepada mereka.

“Enci sekalian, hentikan tangis kalian dan jawablah pertanyaanku. Mengapa kalian bersedih dan menangis? Bukankah mestinya kalian bergembira terpilih menjadi calon Siu-li seperti yang lain ini?”

Enam orang gadis itu mengangkat muka dan seorang di antara mereka menjawab, “Siocia, kami dipisahkan dari ayah ibu, bagaimana kami tidak gelisah dan bersedih?”

“Kalian hendak dibawa ke kota raja, dipersembahkan kepada Sri Baginda Kaisar untuk dipilih menjadi Siu-li. Menjadi pelayan di istana pekerjaannya ringan, hidupnya senang, pakaiannya selalu indah, makan selalu yang enak-enak. Kalau baik peruntungan kalian, dapat dipilih menjadi selir dan hidup mulia dan dihormati, mengapa kalian tidak mau? Apakah kalian membenci Sribaginda Kaisar?”

Ketika bertanya, Siang Ni bertolak pinggang dan memandang tajam. Kalau saja ada yang berani bilang membenci kaisar, tentu akan ditampar orang itu. Bahkan sebagai anggauta keluarga istana yang setia kepada kaisar, Siang Ni tidak akan ragu-ragu untuk membunuh orang yang berani berkhianat atau menghina kaisar.

“Kami tidak membenci Sri Baginda Kaisar, Siocia. Bertemu pun belum pernah, melihat pun belum, bagaimana bisa membenci? Bukan sekali-kali kami tidak suka menjadi calon Siu-li dan tidak suka hidup senang, akan tetapi... kami lebih suka melayani ayah ibu kami sendiri...” Gadis itu menangis, diikuti lima orang kawannya senasib.

Siang Ni menoleh kepada Kui-thaijin. “Enam orang ini harus dikembalikan kepada orang tua masing-masing dan diberi uang kerugian masing-masing tiga puluh tail perak. Selanjutnya, engkau harus menjaga agar tidak ada yang mengganggu mereka!”

Pembesar Kui hanya dapat mengangguk akan tetapi mukanya cemberut. Kemudian Siang Ni berkata kepada tujuh belas orang gadis yang lain, yang masih berlutut di atas lantai.

“Kalian yang memang dengan sukarela suka dipilih menjadi calon Siu-li, perhatikan baik-baik. Kalau di antara kalian mendapat perlakuan tidak baik dari para petugas, baik di sini maupun di tengah perjalanan ke kota raja, ingat saja siapa orangnya. Kelak kalau kalian sudah menghadap Sribaginda Kaisar, sebut saja nama orang jahat itu dan Sribaginda pasti akan mengambil tindakan dan menjatuhkan hukuman berat. Aku mendengar ada pembesar yang suka merampas atau menahan seorang dua orang calon Siu-li yang disukainya untuk diambil sebagai selirnya sendiri. Nah, kalau terjadi hal demikian dengan seorang di antara kalian, yang lain kelak harus melaporkannya kepada Sribaginda Kaisar. Hanya dengan persatuan dan saling menolong kalian akan selalu mendapat perIakuan baik di sepanjang perjalanan.”

Tentu saja nasehat ini diingat baik-baik oleh semua gadis yang berada di situ, akan tetapi sebaliknya membuat Kui-thaijin dan kawan-kawannya meringis. Sudah barang tentu dia dan kawan-kawannya tidak berani berkutik, takkan berani berbuat kurang ajar terhadap gadis-gadis itu yang sudah mendapat nasihat dari Siang Ni.

“Gadis setan...!” Diam-diam Pembesar Kui dan kawan-kawannya memaki Siang Ni dalam hati mereka.

Setelah memberi peringatan keras kepada Kui-thaijin untuk menjalankan tugas sebagai pembesar dengan bijaksana dan adil, Siang Ni lalu keluar dari tempat itu, mengambil kudanya yang dititipkan di luar kota, kemudian membalapkan kudanya pulang ke kota raja. Ia tahu bahwa ayahnya tidak akan marah kepadanya karena ayahnya tidak pernah melarangnya melakukan perjalanan ke luar kota raja.

Akan tetapi ibunya yang selalu menegurnya, karena ibunya khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak baik atas diri puteri tunggalnya. Betul saja, begitu ia melompat dari kuda yang diterima oleh pelayan dan penjaga kuda, lalu berlari memasuki gedung ayahnya, ia disambut ibunya dengan alis berkerut.

“Ibu, engkau tampak semakin muda dan cantik saja!” Siang Ni mendahului merangkul dan mencium ibunya.

Bagaikan sepotong es terkena panas, seketika kemarahan ibunya mencair demi mendengar kata-kata pujian dan melihat sikap Siang Ni. “Anakku, engkau selalu menggelisahkan hati orang tua,” Ibunya menegur lembut. “Dari mana sajakah engkau?”

“Mari kita masuk dulu, Ibu. Tidak enak bicara di sini.”

Gadis itu dengan sikap manja menarik tangan ibunya masuk ke ruangan dalam. Di ruangan dalam, Siang Ni memberi hormat kepada ibu-ibu tirinya yang berjumlah delapan orang. Para ibu tiri yang tidak mempunyai anak itu semua amat sayang kepada Siang Ni dan memperlakukan gadis itu seperti anak mereka sendiri sehingga gadis bangsawan yang beribu sembilan orang ini tentu saja menjadi semakin manja!

Akhirnya ibu dan anak itu duduk berdua dalam kamar. Pouw Sui Hiong atau Nyonya Lu Kok Kong yang kesembilan, duduk di tepi pembaringan sedangkan Siang Ni yang sudah berganti pakaian cepat-cepat melempar dirinya ke atas pembaringan, memeluk guling dan menceritakan pengalamannya, terkadang sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Pouw Sui Hong atau Nyonya Lu memang akhir-akhir ini mengetahui juga bahwa puterinya memiliki ilmu silat yang tinggi. Ia hanya menghela napas panjang ketika ia mengetahui akan hal ini. Akan tetapi kadang-kadang ia pun menjadi amat gelisah mendengar puterinya menceritakan pengalamannya yang hebat-hebat seperti yang diceritakannya sekarang.

Dengan gaya manja dan juga lucu, Siang Ni menceritakan bagaimana ia telah menghajar Kepala Daerah Pao-ting bersama kaki tangannya, dan betapa ia menolong gadis-gadis yang hendak dipaksa menjadi calon Siu-li.

Tidak seperti biasanya kalau mendengarkan puterinya bercerita tentang pertempurannya melawan para penjahat yang membuat hatinya gelisah dan takut, sekali ini mendengar betapa puterinya menolong para gadis yang dipaksa menjadi calon Siu-li, hati nyonya itu merasa terharu sekali. Dipeluknya Siang Ni dan Nyonya Lu menangis terisak-isak.

Siang Ni terkejut sekali. Ia bangkit duduk sambil melepaskan rangkulan ibunya, untuk melihat wajah ibunya. “Eh, lbu. Ada apakah? Apakah kesalahanku, apakah aku membuat Ibu berduka?”

Ibunya menggeleng-gelengkan kepala dan mengelus-elus rambut puterinya dengan penuh kasih sayang.

“Habis, mengapa Ibu menangis? Apakah...” Siang Ni berhenti dan menatap wajah ibunya dengan pandang mata penuh selidik. “Apakah Ayah marah kepada Ibu? Apakah seorang di antara ibu-ibu lain itu...”

Sui Hong merangkul puterinya. “Tidak, Anakku. Jangan menyangka yang bukan-bukan. Aku hanya terharu mendengar betapa engkau telah menolong gadis-gadis yang patut dikasihani itu. Aku merasa bersyukur sekali, Siang Ni, bahwa engkau Anakku dapat melakukan pekerjaan mulia itu. Alangkah akan sengsaranya hati mereka itu kalau engkau tidak menolong mereka.”

Siang Ni adalah seorang gadis remaja yang cerdik sekali. Ia pandai merangkai kenyataan yang satu dengan hal-hal lainnya. Menyaksikan keharuan ibunya, ia menjadi semakin curiga. Sejak masih kecil, seringkali ia minta ibunya mendongeng tentang riwayat ibunya. Ia hanya mengenal nenek moyang dan keluarga ayahnya, keturunan pangeran ini, pembesar-pembesar ini, bahkan dari kaisar itu sampai ia menjadi bosan.

Juga ia mendengar riwayat para ibu tirinya yang kesemuanya mempunyai keluarga, mempunyai kampung halaman dan cerita mereka itu amat menarik hati. Akan tetapi ibunya sendiri tidak pernah menceritakan riwayat dirinya sebelum menjadi isteri ayahnya.

“Aku seorang yatim piatu, tak berayah ibu lagi, tidak ada saudara, tidak mempunyai kampung halaman.” hanya demikian jawaban ibunya kalau dahulu ia bertanya.

Padahal ia ingin ibunya menceritakan apa yang dialami ibunya ketika masih kanak-kanak sampai dewasa, seperti para ibu lain bercerita. Kini menghadapi ibunya yang menjadi terharu dan menangis tersedu-sedu mendengar akan nasib para calon Siu-li yang dipaksa, diam-diam Siang Ni mempunyai dugaan bahwa nasib ibunya dahulu tentu mirip dengan nasib para calon Siu-li paksaan itu. Maka dengan manja ia menjatuhkan kepalanya di atas pangkuan ibunya.

“Ibu, apakah Ibu mencinta Siang Ni?”

Seketika Nyonya Lu menghentikan tangisnya dan menghapus air mata untuk dapat memandang puterinya baik-baik. Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan hatinya.

“Apa maksudmu, Anakku? Mengapa engkau bertanya begitu? Sudah tentu aku mencintamu, lebih daripada segala apa pun di dunia ini!”

“Kalau benar Ibu mencintaku, mengapa Ibu selalu membuat aku bimbang dan penasaran? Mengapa Ibu selalu merahasiakan sesuatu?”

Sui Hong terkejut dan dapat menduga ke mana tujuan kata-kata anaknya yang amat cerdik itu, akan tetapi ia pura-pura tidak mengerti. “Eh, Siang Ni, kau bicara apa? Rahasia apa...?”