Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

07: PUTERI PANGERAN LU KONG KOK
NAMUN, banyak pula gadis yang tidak sudi dan hanya menurut karena dipaksa. Gadis-gadis seperti ini terpaksa ikut dengan hati hancur dan air mata bercucuran di sepanjang perjalanan ketika mereka dibawa oleh pasukan istana. Para ayah memukul-mukul dada sendiri dan para ibu menangis bergulingan seperti anak kecil. Akan tetapi, bagi rakyat jelata di jaman itu, Kaisar adalah Cin Beng Thian-cu (Putera Allah)! Siapa berani menentang kehendaknya?

Peristiwa pengumpulan gadis cantik ini, setelah Tiongkok berada dalam jajahan bangsa Mongol, menjadi semakin hebat. Kalau pada masa pemerintahan kerajaan-kerajaan atau dinasti yang lalu yang memerintahkan pengumpulan Siu-li hanya kaisar saja, sekarang boleh dibilang setiap orang pembesar suka menggunakan wewenang atau kekuasannya untuk memaksa gadis-gadis itu berkumpul dan dibawa ke kota raja untuk mereka berikan sebagai 'hadiah' atau semacam sogokan kepada para pembesar yang menjadi atasan mereka, atau kepada kaisar untuk menjilat atau mencari muka!

Pada suatu hari di kota Pao-ting sebelah selatan kota raja, pembesar setempat mencari duapuluh empat orang gadis dengan maksud untuk dipersembahkan kepada kaisar. Pada masa itu, hampir sebagian besar pejabat tinggi adalah orang-orang berwatak rendah yang bisanya hanya melakukan korupsi dan mencekik rakyat dan kepandaiannya hanya dipergunakan untuk menjilat atasan agar pangkatnya dinaikkan.

Semua pembesar berebut untuk mendapatkan perhatian kaisar, maka seringkali kaisar menerima persembahan berupa barang-barang kuno yang indah berharga, atau barang-barang hidup, yaitu gadis-gadis cantik jelita untuk dijadikan Siu-li.

Di antara para gadis yang menjadi korban pemilihan kali ini, terdapat seorang gadis dari keluarga Cong yang miskin. Cong Siu Hwa terkenal di kota Pao-ting sebagai seorang gadis yang amat pandai dan cantik jelita. Pandai dalam hal pekerjaan wanita, menyulam dan pekerjaan tangan lainnya, adapun kecantikannya membuat ia dikenal sebagai Bunga kota Pao-ting. Banyak pria, muda maupun tua, tergila-gila kepadanya.

Ayahnya bekerja sebagai seorang pedagang tahu dan sekeluarga Cong ini bekerja giat dalam perusahaan tahu mereka. Tahu buatan keluarga Cong terkenal lezat dan langganannya terdiri dari orang-orang berpangkat. Perusahaan ini membuat kehidupan mereka cukup berada, dan selain itu juga mereka dianggap terlindung karena mempunyai langganan para pembesar di kota Pao-ting.

Hari dan saat penyerahan gadis cantik Cong Siu Hwa telah ditetapkan dan diminta kepada Cong Kai untuk mengantarkan puterinya ke gedung Kui-thaijin (Pembesar Kui). Cong Kai, isterinya, dan Cong Siu Hwa bertangis-tangisan dan sampai tiba saat yang ditentukan, Siu Hwa tidak mau pergi ke gedung Pembesar Kui itu. Juga ayah ibunya tidak rela menyerahkan puteri mereka untuk dijadikan Siu-li.

Ayah, ibu, dan anak ini menanti akibat penolakan mereka itu dengan rasa takut dan penuh kekhawatiran. Sudah tiga hari tiga malam sejak datang perintah untuk mengantarkan Siu Hwa, mereka tidak dapat tidur dan pada hari yang keempat mereka duduk dengan muka pucat dan hati bingung dan gelisah.

Tidak lama kemudian apa yang mereka khawatirkan terjadi. Sepasukan perajurit, dipimpin seorang perwira yang bertubuh gemuk berkumis tebal, dengan garangnya mendatangi rumah keluarga Cong.

“Cong Kai, kami datang untuk mengambil puterimu. Suruh ia cepat berkemas. Kui-thaijin sudah tidak sabar lagi menunggu!” kata perwira itu tanpa memberi salam lagi.

Empat belas orang anak buahnya menjenguk ke dalam rumah dan tersenyum-senyum ceriwis ketika melihat Siu Hwa yang biarpun mukanya pucat dan rambutnya awut-awutan pakaiannya kusut, tetap saja tampak cantik jelita menggairahkan hati mereka.

“Tidak, jangan sekarang! Harap beri waktu satu dua hari lagi,” jawab Cong Kai sambil berdiri dan menghadang di depan pintu, membentangkan kedua lengannya.

Penolakan Cong Kai ini adalah usaha penolakan orang yang sudah nekad. Dia tidak dapat menemukan jalan untuk keluar dari musibah ini. Sudah lelah dia pergi kepada beberapa orang pembesar langganannya untuk mohon bantuan agar anak perempuannya jangan menjadi korban pemilihan Siu-li. Akan tetapi semua usahanya sia-sia. Tidak ada seorang pun berani menentang Kui-thaijin yang hendak mempersembahkan Siu-li kepada kaisar.

“Ciang-kun (Perwira), ampuni dan kasihanilah kami! Jangan bawa anak kami yang hanya seorang ini...” Nyonya Cong menangis sambil berlutut di depan komandan pasukan yang gemuk berkumis itu. Sedangkan Cong Siu Hwa sendiri menangis terisak-isak dalam rangkulan ibunya.

Akan tetapi Si Gendut berkumis tebal itu menyeringai dan sepasang matanya berkedip-kedip, mulutnya mengejek. “Huh, kalian ini bagaimana sih? Orang lain menyambut kedatangan kami dengan senyum bahagia dan menghidangkan arak dan makanan untuk menyatakan rasa terima kasih dan kegirangan mereka! Mengapa kalian menyambut kami dengan tangisan seolah-olah anakmu akan dihukum gantung? Menjadi Siu-li adalah hal yang amat baik dan menguntungkan, juga amat membanggakan. Kalau sampai puteri kalian ini menjadi Siu-li di istana, bukankah hal itu merupakan sebuah kehormatan besar sekali bagi kalian? Sudahlah, jangan banyak rewel agar kami tidak menjadi marah. Nona, lekas engkau berkemas, berdandan yang cantik dan keringkan air matamu. Sungguh tidak baik kalau nanti Kui-thaijin melihat engkau habis menangis.”

“Tidak, aku tidak sudi menjadi Siu-li, lebih baik aku mati!” gadis itu berseru sambil menangis tersedu-sedu.

Ibunya memeluknya dan berkata di antara isaknya. “Tidak, Anakku, jangan takut. Aku melarang siapapun juga membawamu pergi.”

Cong Kai yang tidak rela kalau puterinya dibawa pergi lalu berdiri menghadang di depan isteri dan anaknya. Melihat ini, perwira itu mulai marah.

“Kalian jangan main-main! Tidak tahukah engkau, Cong Kai, bahwa orang yang membantah perintah Sribaginda Kaisar berarti dia pemberontak dan akan dihukum mati seluruh keluarganya?”

Mendengar ancaman ini, Cong Kai gemetar ketakutan dan akhirnya dia menjatuhkan diri, menangis seperti isteri dan anaknya. “Thai-ciangkun (Perwira Tinggi), kasihanilah kami. Kami tidak memberontak, kami hanya mohon dengan segala hormat dan kerendahan hati agar anak kami jangan dibawa pergi. Biarlah saya menebusnya dengan kepala saya, dengan nyawa saya...”

Melihat kekerasan kepala keluarga itu, Sang Perwira kehabisan kesabaran. “Anjing busuk, menyingkir kau!”

Kakinya menendang dan Cong Kai mengaduh kesakitan, tubuhnya terlempar membentur tembok terkena tendangan kaki Sang Perwira. Dia roboh dan tidak dapat bangkit lagi, hanya mencoba untuk merangkak namun dadanya yang tertendang terasa nyeri sekali sehingga dia hanya dapat merintih-rintih.

“Anakku tidak boleh dibawa! Tidak boleh! Kalian orang-orang jahat yang kejam!” Nyonya Cong menjerit-jerit sambil menangis dan merangkul puterinya erat-erat.

Perwira gendut itu melangkah maju dan kaki tangannya sudah merasa gatal-gatal untuk menendang dan memukul wanita itu. Akan tetapi agaknya dia merasa malu sebagai seorang perwira kalau memukul seorang perempuan setengah tua yang lemah, maka dia menoleh dan memberi perintah kepada anak buahnya.

“Lempar anjing betina itu, jangan biarkan ia menggonggong terus!”

Beberapa orang perajurit serentak maju dan mencoba untuk menarik lengan Nyonya Cong. Akan tetapi wanita itu sudah nekat. Betapapun kuatnya perajurit-perajurit itu menarik dan membetot, ia tidak mau melepaskan Siu Hwa yang dipeluknya erat-erat. Ibu dan anaknya itu menangis sambil mengeluh dan menyebut-nyebut nama Thian (Tuhan).

“Goblok semua, masa melemparkan anjing betina tua ini saja tidak mampu?” Perwira gemuk berkumis tebal itu marah sekali. Dia melompat ke depan lalu menggerakkan tangan menampar.

“Plakk!!” Nyonya Cong menjerit dan tubuhnya terpental saking kuatnya tamparan itu dan rangkulannya pada Siu Hwa terlepas.

Perwira itu tertawa bergelak dan di lain saat dia sudah menyeret Siu Hwa keluar dari rumah itu. Siu Hwa meronta-ronta, menjerit-jerit, namun sia-sia belaka.

“Kalau engkau bukan calon Siu-li, sudah kupukul kau!” Perwira itu mengomel panjang pendek sambil terus menarik gadis itu dengan memegang pergelangan tangannya. Semua orang di sepanjang jalan yang melihat peristiwa ini hanya dapat menghela napas panjang. Siapakah yang berani melawan pasukan pemerintah? Pasti akan dicap pemberontak dan bukan hanya si pelaku, bahkan seluruh keluarganya akan dibasmi habis!

cerita silat online karya kho ping hoo

Ketika rombongan pasukan itu tiba di sebuah jalan raya yang ramai, dari tengah-tengah orang banyak melompat keluar seorang gadis yang berpakaian mewah dan sikapnya lincah sekali. Gadis ini masih remaja puteri, usianya paling banyak limabelas tahun. Rambutnya dikepang model puteri-puteri bangsawan, dihias tusuk rambut yang indah sekali terbuat dari emas dan batu kemala berbentuk Burung Hong yang indah. Pakaiannya dari sutera halus, celananya berwarna biru dan bajunya berkembang-kembang merah kuning.

Tidak ada yang tahu dari mana datangnya gadis remaja ini karena yang tampak tadi hanya bayangan berkelebat dan tahu-tahu ia telah berdiri di depan perwira gendut berkumis tebal yang sedang menarik lengan dan menyeret tubuh Siu Hwa.

“Kamu babi gemuk tak tahu malu!” Tiba-tiba gadis itu memaki dan kedua tangannya bergerak cepat.

“Plak-plak-plak-plak!” Kedua pipi perwira itu ditampar bertubi-tubi sehingga mukanya bergoyang ke kanan kiri dan menjadi matang biru! Luar biasa sekali! Kedua tangan yang mungil dan lembut itu dapat bergerak dengan cepat luar biasa dan ternyata mengandung tenaga yang dahsyat!

Untuk beberapa detik sepasang mata perwira itu melotot lebar seolah-olah hendak melompat keluar dari rongga mata saking marah dan herannya. “Keparat...! Kau setan perempuan...”

“Wuuuttt... Crattt... Aduuuuhhh...!”

Makian perwira itu disusul oleh jeritnya dan darah mengucur dari bawah hidungnya. Ternyata kumisnya yang tebal itu telah copot disambar secepat kilat oleh lima jari tangan yang mungil dan runcing halus itu!

“Tidak pantas seekor babi gemuk macam engkau berkumis tebal,” gadis itu mengejek sambil melempar kumis itu dengan sikap jijik. “Engkau menghina seorang gadis. Ia tidak mau menjadi Siu-li, mengapa engkau memaksanya? Kaisar tidak pernah menginginkan Siu-li paksaan, kau tahu?”

Perwira itu tampak lucu dan juga patut dikasihani. Lucu karena dia tidak kelihatan garang lagi dan mukanya menjadi lucu dan jelek seperti seekor kucing tak berkumis. Akan tetapi melihat darah menetes-netes dari atas bibirnya membuat orang merasa ngeri dan menaruh iba.

Akan tetapi perwira itu marah sekali. Dia adalah seorang perwira dan biasanya dia amat dihormati dan ditakuti orang, juga ditaati, bukan saja oleh para perajurit bawahannya, melainkan juga oleh rakyat pada umumnya. Kini dia mengalami penghinaan seperti itu, sungguh membuat dia hampir gila saking marahnya.

Dia mencabut goloknya dan hendak menyerang gadis remaja yang berdiri di depannya sambil bertolak pinggang menantang dan tersenyum mengejek. Akan tetapi tiba-tiba seorang perajurit melompat ke depan dan membisikkan sesuatu dekat telinga Sang Perwira.

Wajah perwira tanpa kumis itu berubah pucat sekali dan otomatis goloknya kembali ke pinggangnya. Dia tampak lemas dan kedua kakinya gemetar, lalu dia memberi hormat kepada gadis remaja itu sambil membungkuk-bungkuk.

“Mohon maaf sebesarnya karena saya tadi tidak mengenal Siocia (Nona). Akan tetapi... tentang gadis ini… saya... saya hanya menjalankan tugas, saya hanya diperintah oleh Kui-thaijin...”

“Tidak peduli yang memerintahmu pembesar atau setan she Kui, tidak boleh engkau memaksa seorang gadis yang tidak suka menjadi Siu-li! Hayo engkau antarkan kembali Nona ini ke rumahnya dan selanjutnya kalau sampai dia diganggu, pengganggunya akan kubikin pecah kepalanya! Tentang si orang she Kui, biar sekarang juga aku yang akan bereskan!”

Aneh sekali! Perwira itu sambil meringis menahan rasa nyeri dan malu, mengangguk-angguk lalu memberi perintah kepada anak buahnya untuk mengantarkan kembali Cong Siu Hwa pulang ke rumah orang tuanya. Gadis remaja lincah dan galak itu setelah melihat perintahnya ditaati, tersenyum puas, mengangguk-angguk lalu pergi menuju ke gedung Kui-thaijin. Tentu saja rakyat yang kebetulan melihat peristiwa itu, menjadi heran dan bertanya-tanya.

“Siapa ia?”

“Hebat betul gadis remaja itu. Siapakah ia?”

“Bagaimana mungkin perwira itu begitu takut kepadanya?”

Bagi semua orang yang melihat peristiwa tadi, memang terasa aneh sekali dan kalau mereka hanya mendengar cerita orang lain, pasti tidak akan percaya. Seorang di antara mereka, yang berpakaian sebagai seorang pedagang keliling dan dia sudah menjelajah banyak tempat sampai ke kota raja, merasa bangga akan pengetahuannya dan dia menceritakan kepada mereka yang bergerombol dan mendengarkan ceritanya.

“Bagaimana perwira itu tidak akan takut? Nona tadi adalah Lu-siocia, puteri tunggal dari Pangeran Lu Kok Kong di kota raja. Pangeran Lu adalah keluarga Sribaginda Kaisar yang dekat dan besar sekali pengaruhnya, bahkan beliau merupakan seorang yang menjadi seorang di antara para penasehat Sribaginda Kaisar! Kukira sekarang Kui-thaijin juga menghadapi perkara yang amat tidak enak baginya. Syukurlah, pada musim pemilihan Siu-li di sini muncul Lu-siocia, benar-benar penduduk Pao-ting bernasib baik, pada waktu susah muncul bintang penolong.”

Apa yang diceritakan pedagang itu memang benar. Gadis remaja yang lincah dan cantik jelita itu adalah puteri tunggal Pangeran Lu Kok Kong, seorang keluarga istana yang memiliki kedudukan tinggi di kota raja dan memiliki pengaruh yang besar. Gadis itu merupakan anak tunggal dan tentu saja amat disayang oleh ayahnya.

Lu Kok Kong adalah seorang pangeran yang sejak mudanya terkenal mata keranjang dan sudah puluhan kali berganti selir. Bahkan sekarang juga, selain isteri pertama yang masih keluarga bangsawan besar, dia mempunyai sembilan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik!

Mungkin karena sejak mudanya dia terlalu suka pelesir mengumbar nafsu berahinya sebagai seorang yang gila perempuan, maka di antara semua selirnya, hanya seorang saja yang melahirkan anak, yaitu selir terakhir atau termuda yang diambilnya sebagai selir sekitar tujuh belas tahun yang lalu secara paksa. Lebih tepat lagi dikatakan bahwa selir terakhir ini dia dapatkan sebagai 'persembahan' atau hadiah dari seorang panglima besar bernama Kong Tek Kok, seorang panglima Mongol yang amat lihai dan terkenal sebagai seorang 'jagoan' di kota raja.

Tentu mudah diduga siapa adanya selir ini kalau kita ingat akan peristiwa yang terjadi pada awal cerita ini. Selir termuda itu bukan lain adalah Pouw Sui Hong, adik perempuan Pouw Keng In. Seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, ketika keluarga Pouw dibasmi oleh pasukan yang dipimpin Panglima Kong Tek Kok di So-couw, Pouw Keng In bersama isterinya yang mengandung tua dan adiknya perempuan melarikan diri.

Akhirnya Pouw Keng In tewas oleh anak panah yang dilepas Panglima Kong Tek Kok, juga isterinya, Tan Bi Lian, terluka dan hanyut terbawa arus Sungai Huai. Akan tetapi Pouw Sui Hong, adiknya yang menjadi kembang kota So-couw itu, ditawan Panglima Kong Tek Kok.

Sebetulnya, melihat kecantikan Pouw Sui Hong, Panglima Kong Tek Kok juga tergila-gila, akan tetapi nafsunya untuk mendapatkan kedudukan tinggi lebih besar daripada rasa cintanya terhadap gadis tawanannya itu. Maka dia lalu membawa Pouw Sui Hong ke kota raja dan mempersembahkannya kepada seorang pangeran yang mempunyai kedudukan tinggi dan pengaruh besar di istana, yaitu Pangeran Lu Kok Kong.

Pangeran yang mata keranjang ini tentu saja menerima persembahan itu dengan girang karena memang kecantikan Sui Hong membuat jantungnya hampir copot. Demikianlah, pada hari itu Pouw Sui Hong yang tidak berdaya terjatuh ke dalam tangan pangeran yang mata keranjang itu dan menjadi selirnya yang kesembilan!

Akan tetapi, Pouw Sui Hong yang tadinya berduka dan ingin sekali membunuh diri, lambat laun merasa betapa besar cinta kasih pangeran itu kepadanya. Perlakuan yang amat baik dan manis, sikap yang amat mencinta, akhirnya menjatuhkan hatinya. Kemudian Sui Hong berjanji dengan suka rela suka menjadi selir pangeran itu asalkan pangeran itu bersumpah bahwa selanjutnya tidak akan mengganggu gadis lain dan tidak akan menambah jumlah selirnya.

Memang aneh sekali kalau orang sudah jatuh cinta. Kalau yang mengajukan syarat itu wanita lain, mungkin Pangeran Lu Kok Kong akan marah sekali dan setelah puas mempermainkannya dengan paksa, akan melemparkannya menjadi permainan anak buahnya!

Akan tetapi sebaliknya, Pangeran Lu Kok Kong mau bersumpah dan memenuhi keinginan selir terbarunya itu. Ternyata kemudian bahwa pangeran itu memang benar-benar amat mencinta dan tunduk, bahkan menjadi lemah menghadapi Sui Hong yang bersikap wajar, tidak pernah bersikap genit bermuka-muka kepadanya seperti para selir lain yang seolah berlumba untuk menarik hatinya. Lebih-lebih lagi setelah dia mendapat kenyataan bahwa Pouw Sui Hong mengandung!

Pangeran Lu menjadi girang sekali dan cintanya makin mendalam. Kalau saja Sui Hong tidak mencegahnya, tentu Pangeran Lu Kok Kong sudah mengusir dan menceraikan semua selir yang lain, bahkan mau mengangkat Sui Hong sebagai Toa Hujin, sebagai isteri pertama. Akan tetapi Sui Hong tidak membolehkannya. Ia adalah seorang wanita dari keturunan baik-baik, keturunan orang-orang gagah yang tidak sudi membuat sengsara orang lain demi kesenangan diri sendiri.

Hubungannya dengan para madunya, yaitu selir-selir yang lain, amat baik, dan terhadap isteri pertama Pangeran Lu ia tetap menghormati sebagai saudara tua. Oleh karena itu, baik isteri pertama maupun para selir Pangeran Lu, mereka semua suka dan berterima kasih kepada Sui Hong. Sikap Pangeran Lu berubah banyak dan menjadi baik dan lembut sehingga kehidupan keluarga Lu selalu aman dan damai semenjak Sui Hong menjadi penghuni gedung itu.

Beberapa kali Pouw Sui Hong menyatakan rasa sakit hatinya yang mendalam terhadap Panglima Kong Tek Kok, bahkan pernah ia membujuk suaminya untuk membalaskan sakit hati keluarganya. Ia membujuk suaminya agar suka mempergunakan pengaruh dan kekuasannya untuk menjatuhkan Kong Tek Kok. Akan tetapi Pangeran Lu Kok Kong membujuknya dan menyabarkan hatinya, dengan halus menjawab.

“Sui Hong sayang, hal itu mudah dibicarakan akan tetapi sukar dilaksanakan. Kong Tek Kok adalah seorang panglima yang banyak jasanya terhadap negara dan Kaisar. Memusuhi seorang seperti dia, bagiku memang mudah, akan tetapi akibatnya juga akan hebat dan berbahaya. Sui Hong, mengapa engkau tidak mau melupakan hal-hal yang sudah lalu? Ingatlah bahwa Panglima Kong Tek Kok membasmi keluargamu bukan karena rasa benci atau permusuhan pribadi, melainkan karena dia harus menjalankan tugas dan memenuhi kewajibannya. Bagi seorang petugas, siapa saja yang menjadi musuh negara harus dibasminya, tidak peduli siapa orangnya.”

“Pendapat Paduka ini memang tidak dapat saya bantah, akan tetapi saya yang melihat keluarga saya dibasmi orang, bagaimana mungkin tidak merasa sakit hati? Biarpun yang menyuruh pembasmian atas keluarga saya itu pemerintah, tetapi yang melaksanakannya adalah Panglima Kong. Kalau bukan kepada dia saya menaruh dendam, lalu kepada siapa?”

Sepasang mata Sui Hong mulai membasah, bibir yang halus lunak itu mulai gemetar, hendak menangis...

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 07

07: PUTERI PANGERAN LU KONG KOK
NAMUN, banyak pula gadis yang tidak sudi dan hanya menurut karena dipaksa. Gadis-gadis seperti ini terpaksa ikut dengan hati hancur dan air mata bercucuran di sepanjang perjalanan ketika mereka dibawa oleh pasukan istana. Para ayah memukul-mukul dada sendiri dan para ibu menangis bergulingan seperti anak kecil. Akan tetapi, bagi rakyat jelata di jaman itu, Kaisar adalah Cin Beng Thian-cu (Putera Allah)! Siapa berani menentang kehendaknya?

Peristiwa pengumpulan gadis cantik ini, setelah Tiongkok berada dalam jajahan bangsa Mongol, menjadi semakin hebat. Kalau pada masa pemerintahan kerajaan-kerajaan atau dinasti yang lalu yang memerintahkan pengumpulan Siu-li hanya kaisar saja, sekarang boleh dibilang setiap orang pembesar suka menggunakan wewenang atau kekuasannya untuk memaksa gadis-gadis itu berkumpul dan dibawa ke kota raja untuk mereka berikan sebagai 'hadiah' atau semacam sogokan kepada para pembesar yang menjadi atasan mereka, atau kepada kaisar untuk menjilat atau mencari muka!

Pada suatu hari di kota Pao-ting sebelah selatan kota raja, pembesar setempat mencari duapuluh empat orang gadis dengan maksud untuk dipersembahkan kepada kaisar. Pada masa itu, hampir sebagian besar pejabat tinggi adalah orang-orang berwatak rendah yang bisanya hanya melakukan korupsi dan mencekik rakyat dan kepandaiannya hanya dipergunakan untuk menjilat atasan agar pangkatnya dinaikkan.

Semua pembesar berebut untuk mendapatkan perhatian kaisar, maka seringkali kaisar menerima persembahan berupa barang-barang kuno yang indah berharga, atau barang-barang hidup, yaitu gadis-gadis cantik jelita untuk dijadikan Siu-li.

Di antara para gadis yang menjadi korban pemilihan kali ini, terdapat seorang gadis dari keluarga Cong yang miskin. Cong Siu Hwa terkenal di kota Pao-ting sebagai seorang gadis yang amat pandai dan cantik jelita. Pandai dalam hal pekerjaan wanita, menyulam dan pekerjaan tangan lainnya, adapun kecantikannya membuat ia dikenal sebagai Bunga kota Pao-ting. Banyak pria, muda maupun tua, tergila-gila kepadanya.

Ayahnya bekerja sebagai seorang pedagang tahu dan sekeluarga Cong ini bekerja giat dalam perusahaan tahu mereka. Tahu buatan keluarga Cong terkenal lezat dan langganannya terdiri dari orang-orang berpangkat. Perusahaan ini membuat kehidupan mereka cukup berada, dan selain itu juga mereka dianggap terlindung karena mempunyai langganan para pembesar di kota Pao-ting.

Hari dan saat penyerahan gadis cantik Cong Siu Hwa telah ditetapkan dan diminta kepada Cong Kai untuk mengantarkan puterinya ke gedung Kui-thaijin (Pembesar Kui). Cong Kai, isterinya, dan Cong Siu Hwa bertangis-tangisan dan sampai tiba saat yang ditentukan, Siu Hwa tidak mau pergi ke gedung Pembesar Kui itu. Juga ayah ibunya tidak rela menyerahkan puteri mereka untuk dijadikan Siu-li.

Ayah, ibu, dan anak ini menanti akibat penolakan mereka itu dengan rasa takut dan penuh kekhawatiran. Sudah tiga hari tiga malam sejak datang perintah untuk mengantarkan Siu Hwa, mereka tidak dapat tidur dan pada hari yang keempat mereka duduk dengan muka pucat dan hati bingung dan gelisah.

Tidak lama kemudian apa yang mereka khawatirkan terjadi. Sepasukan perajurit, dipimpin seorang perwira yang bertubuh gemuk berkumis tebal, dengan garangnya mendatangi rumah keluarga Cong.

“Cong Kai, kami datang untuk mengambil puterimu. Suruh ia cepat berkemas. Kui-thaijin sudah tidak sabar lagi menunggu!” kata perwira itu tanpa memberi salam lagi.

Empat belas orang anak buahnya menjenguk ke dalam rumah dan tersenyum-senyum ceriwis ketika melihat Siu Hwa yang biarpun mukanya pucat dan rambutnya awut-awutan pakaiannya kusut, tetap saja tampak cantik jelita menggairahkan hati mereka.

“Tidak, jangan sekarang! Harap beri waktu satu dua hari lagi,” jawab Cong Kai sambil berdiri dan menghadang di depan pintu, membentangkan kedua lengannya.

Penolakan Cong Kai ini adalah usaha penolakan orang yang sudah nekad. Dia tidak dapat menemukan jalan untuk keluar dari musibah ini. Sudah lelah dia pergi kepada beberapa orang pembesar langganannya untuk mohon bantuan agar anak perempuannya jangan menjadi korban pemilihan Siu-li. Akan tetapi semua usahanya sia-sia. Tidak ada seorang pun berani menentang Kui-thaijin yang hendak mempersembahkan Siu-li kepada kaisar.

“Ciang-kun (Perwira), ampuni dan kasihanilah kami! Jangan bawa anak kami yang hanya seorang ini...” Nyonya Cong menangis sambil berlutut di depan komandan pasukan yang gemuk berkumis itu. Sedangkan Cong Siu Hwa sendiri menangis terisak-isak dalam rangkulan ibunya.

Akan tetapi Si Gendut berkumis tebal itu menyeringai dan sepasang matanya berkedip-kedip, mulutnya mengejek. “Huh, kalian ini bagaimana sih? Orang lain menyambut kedatangan kami dengan senyum bahagia dan menghidangkan arak dan makanan untuk menyatakan rasa terima kasih dan kegirangan mereka! Mengapa kalian menyambut kami dengan tangisan seolah-olah anakmu akan dihukum gantung? Menjadi Siu-li adalah hal yang amat baik dan menguntungkan, juga amat membanggakan. Kalau sampai puteri kalian ini menjadi Siu-li di istana, bukankah hal itu merupakan sebuah kehormatan besar sekali bagi kalian? Sudahlah, jangan banyak rewel agar kami tidak menjadi marah. Nona, lekas engkau berkemas, berdandan yang cantik dan keringkan air matamu. Sungguh tidak baik kalau nanti Kui-thaijin melihat engkau habis menangis.”

“Tidak, aku tidak sudi menjadi Siu-li, lebih baik aku mati!” gadis itu berseru sambil menangis tersedu-sedu.

Ibunya memeluknya dan berkata di antara isaknya. “Tidak, Anakku, jangan takut. Aku melarang siapapun juga membawamu pergi.”

Cong Kai yang tidak rela kalau puterinya dibawa pergi lalu berdiri menghadang di depan isteri dan anaknya. Melihat ini, perwira itu mulai marah.

“Kalian jangan main-main! Tidak tahukah engkau, Cong Kai, bahwa orang yang membantah perintah Sribaginda Kaisar berarti dia pemberontak dan akan dihukum mati seluruh keluarganya?”

Mendengar ancaman ini, Cong Kai gemetar ketakutan dan akhirnya dia menjatuhkan diri, menangis seperti isteri dan anaknya. “Thai-ciangkun (Perwira Tinggi), kasihanilah kami. Kami tidak memberontak, kami hanya mohon dengan segala hormat dan kerendahan hati agar anak kami jangan dibawa pergi. Biarlah saya menebusnya dengan kepala saya, dengan nyawa saya...”

Melihat kekerasan kepala keluarga itu, Sang Perwira kehabisan kesabaran. “Anjing busuk, menyingkir kau!”

Kakinya menendang dan Cong Kai mengaduh kesakitan, tubuhnya terlempar membentur tembok terkena tendangan kaki Sang Perwira. Dia roboh dan tidak dapat bangkit lagi, hanya mencoba untuk merangkak namun dadanya yang tertendang terasa nyeri sekali sehingga dia hanya dapat merintih-rintih.

“Anakku tidak boleh dibawa! Tidak boleh! Kalian orang-orang jahat yang kejam!” Nyonya Cong menjerit-jerit sambil menangis dan merangkul puterinya erat-erat.

Perwira gendut itu melangkah maju dan kaki tangannya sudah merasa gatal-gatal untuk menendang dan memukul wanita itu. Akan tetapi agaknya dia merasa malu sebagai seorang perwira kalau memukul seorang perempuan setengah tua yang lemah, maka dia menoleh dan memberi perintah kepada anak buahnya.

“Lempar anjing betina itu, jangan biarkan ia menggonggong terus!”

Beberapa orang perajurit serentak maju dan mencoba untuk menarik lengan Nyonya Cong. Akan tetapi wanita itu sudah nekat. Betapapun kuatnya perajurit-perajurit itu menarik dan membetot, ia tidak mau melepaskan Siu Hwa yang dipeluknya erat-erat. Ibu dan anaknya itu menangis sambil mengeluh dan menyebut-nyebut nama Thian (Tuhan).

“Goblok semua, masa melemparkan anjing betina tua ini saja tidak mampu?” Perwira gemuk berkumis tebal itu marah sekali. Dia melompat ke depan lalu menggerakkan tangan menampar.

“Plakk!!” Nyonya Cong menjerit dan tubuhnya terpental saking kuatnya tamparan itu dan rangkulannya pada Siu Hwa terlepas.

Perwira itu tertawa bergelak dan di lain saat dia sudah menyeret Siu Hwa keluar dari rumah itu. Siu Hwa meronta-ronta, menjerit-jerit, namun sia-sia belaka.

“Kalau engkau bukan calon Siu-li, sudah kupukul kau!” Perwira itu mengomel panjang pendek sambil terus menarik gadis itu dengan memegang pergelangan tangannya. Semua orang di sepanjang jalan yang melihat peristiwa ini hanya dapat menghela napas panjang. Siapakah yang berani melawan pasukan pemerintah? Pasti akan dicap pemberontak dan bukan hanya si pelaku, bahkan seluruh keluarganya akan dibasmi habis!

cerita silat online karya kho ping hoo

Ketika rombongan pasukan itu tiba di sebuah jalan raya yang ramai, dari tengah-tengah orang banyak melompat keluar seorang gadis yang berpakaian mewah dan sikapnya lincah sekali. Gadis ini masih remaja puteri, usianya paling banyak limabelas tahun. Rambutnya dikepang model puteri-puteri bangsawan, dihias tusuk rambut yang indah sekali terbuat dari emas dan batu kemala berbentuk Burung Hong yang indah. Pakaiannya dari sutera halus, celananya berwarna biru dan bajunya berkembang-kembang merah kuning.

Tidak ada yang tahu dari mana datangnya gadis remaja ini karena yang tampak tadi hanya bayangan berkelebat dan tahu-tahu ia telah berdiri di depan perwira gendut berkumis tebal yang sedang menarik lengan dan menyeret tubuh Siu Hwa.

“Kamu babi gemuk tak tahu malu!” Tiba-tiba gadis itu memaki dan kedua tangannya bergerak cepat.

“Plak-plak-plak-plak!” Kedua pipi perwira itu ditampar bertubi-tubi sehingga mukanya bergoyang ke kanan kiri dan menjadi matang biru! Luar biasa sekali! Kedua tangan yang mungil dan lembut itu dapat bergerak dengan cepat luar biasa dan ternyata mengandung tenaga yang dahsyat!

Untuk beberapa detik sepasang mata perwira itu melotot lebar seolah-olah hendak melompat keluar dari rongga mata saking marah dan herannya. “Keparat...! Kau setan perempuan...”

“Wuuuttt... Crattt... Aduuuuhhh...!”

Makian perwira itu disusul oleh jeritnya dan darah mengucur dari bawah hidungnya. Ternyata kumisnya yang tebal itu telah copot disambar secepat kilat oleh lima jari tangan yang mungil dan runcing halus itu!

“Tidak pantas seekor babi gemuk macam engkau berkumis tebal,” gadis itu mengejek sambil melempar kumis itu dengan sikap jijik. “Engkau menghina seorang gadis. Ia tidak mau menjadi Siu-li, mengapa engkau memaksanya? Kaisar tidak pernah menginginkan Siu-li paksaan, kau tahu?”

Perwira itu tampak lucu dan juga patut dikasihani. Lucu karena dia tidak kelihatan garang lagi dan mukanya menjadi lucu dan jelek seperti seekor kucing tak berkumis. Akan tetapi melihat darah menetes-netes dari atas bibirnya membuat orang merasa ngeri dan menaruh iba.

Akan tetapi perwira itu marah sekali. Dia adalah seorang perwira dan biasanya dia amat dihormati dan ditakuti orang, juga ditaati, bukan saja oleh para perajurit bawahannya, melainkan juga oleh rakyat pada umumnya. Kini dia mengalami penghinaan seperti itu, sungguh membuat dia hampir gila saking marahnya.

Dia mencabut goloknya dan hendak menyerang gadis remaja yang berdiri di depannya sambil bertolak pinggang menantang dan tersenyum mengejek. Akan tetapi tiba-tiba seorang perajurit melompat ke depan dan membisikkan sesuatu dekat telinga Sang Perwira.

Wajah perwira tanpa kumis itu berubah pucat sekali dan otomatis goloknya kembali ke pinggangnya. Dia tampak lemas dan kedua kakinya gemetar, lalu dia memberi hormat kepada gadis remaja itu sambil membungkuk-bungkuk.

“Mohon maaf sebesarnya karena saya tadi tidak mengenal Siocia (Nona). Akan tetapi... tentang gadis ini… saya... saya hanya menjalankan tugas, saya hanya diperintah oleh Kui-thaijin...”

“Tidak peduli yang memerintahmu pembesar atau setan she Kui, tidak boleh engkau memaksa seorang gadis yang tidak suka menjadi Siu-li! Hayo engkau antarkan kembali Nona ini ke rumahnya dan selanjutnya kalau sampai dia diganggu, pengganggunya akan kubikin pecah kepalanya! Tentang si orang she Kui, biar sekarang juga aku yang akan bereskan!”

Aneh sekali! Perwira itu sambil meringis menahan rasa nyeri dan malu, mengangguk-angguk lalu memberi perintah kepada anak buahnya untuk mengantarkan kembali Cong Siu Hwa pulang ke rumah orang tuanya. Gadis remaja lincah dan galak itu setelah melihat perintahnya ditaati, tersenyum puas, mengangguk-angguk lalu pergi menuju ke gedung Kui-thaijin. Tentu saja rakyat yang kebetulan melihat peristiwa itu, menjadi heran dan bertanya-tanya.

“Siapa ia?”

“Hebat betul gadis remaja itu. Siapakah ia?”

“Bagaimana mungkin perwira itu begitu takut kepadanya?”

Bagi semua orang yang melihat peristiwa tadi, memang terasa aneh sekali dan kalau mereka hanya mendengar cerita orang lain, pasti tidak akan percaya. Seorang di antara mereka, yang berpakaian sebagai seorang pedagang keliling dan dia sudah menjelajah banyak tempat sampai ke kota raja, merasa bangga akan pengetahuannya dan dia menceritakan kepada mereka yang bergerombol dan mendengarkan ceritanya.

“Bagaimana perwira itu tidak akan takut? Nona tadi adalah Lu-siocia, puteri tunggal dari Pangeran Lu Kok Kong di kota raja. Pangeran Lu adalah keluarga Sribaginda Kaisar yang dekat dan besar sekali pengaruhnya, bahkan beliau merupakan seorang yang menjadi seorang di antara para penasehat Sribaginda Kaisar! Kukira sekarang Kui-thaijin juga menghadapi perkara yang amat tidak enak baginya. Syukurlah, pada musim pemilihan Siu-li di sini muncul Lu-siocia, benar-benar penduduk Pao-ting bernasib baik, pada waktu susah muncul bintang penolong.”

Apa yang diceritakan pedagang itu memang benar. Gadis remaja yang lincah dan cantik jelita itu adalah puteri tunggal Pangeran Lu Kok Kong, seorang keluarga istana yang memiliki kedudukan tinggi di kota raja dan memiliki pengaruh yang besar. Gadis itu merupakan anak tunggal dan tentu saja amat disayang oleh ayahnya.

Lu Kok Kong adalah seorang pangeran yang sejak mudanya terkenal mata keranjang dan sudah puluhan kali berganti selir. Bahkan sekarang juga, selain isteri pertama yang masih keluarga bangsawan besar, dia mempunyai sembilan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik!

Mungkin karena sejak mudanya dia terlalu suka pelesir mengumbar nafsu berahinya sebagai seorang yang gila perempuan, maka di antara semua selirnya, hanya seorang saja yang melahirkan anak, yaitu selir terakhir atau termuda yang diambilnya sebagai selir sekitar tujuh belas tahun yang lalu secara paksa. Lebih tepat lagi dikatakan bahwa selir terakhir ini dia dapatkan sebagai 'persembahan' atau hadiah dari seorang panglima besar bernama Kong Tek Kok, seorang panglima Mongol yang amat lihai dan terkenal sebagai seorang 'jagoan' di kota raja.

Tentu mudah diduga siapa adanya selir ini kalau kita ingat akan peristiwa yang terjadi pada awal cerita ini. Selir termuda itu bukan lain adalah Pouw Sui Hong, adik perempuan Pouw Keng In. Seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, ketika keluarga Pouw dibasmi oleh pasukan yang dipimpin Panglima Kong Tek Kok di So-couw, Pouw Keng In bersama isterinya yang mengandung tua dan adiknya perempuan melarikan diri.

Akhirnya Pouw Keng In tewas oleh anak panah yang dilepas Panglima Kong Tek Kok, juga isterinya, Tan Bi Lian, terluka dan hanyut terbawa arus Sungai Huai. Akan tetapi Pouw Sui Hong, adiknya yang menjadi kembang kota So-couw itu, ditawan Panglima Kong Tek Kok.

Sebetulnya, melihat kecantikan Pouw Sui Hong, Panglima Kong Tek Kok juga tergila-gila, akan tetapi nafsunya untuk mendapatkan kedudukan tinggi lebih besar daripada rasa cintanya terhadap gadis tawanannya itu. Maka dia lalu membawa Pouw Sui Hong ke kota raja dan mempersembahkannya kepada seorang pangeran yang mempunyai kedudukan tinggi dan pengaruh besar di istana, yaitu Pangeran Lu Kok Kong.

Pangeran yang mata keranjang ini tentu saja menerima persembahan itu dengan girang karena memang kecantikan Sui Hong membuat jantungnya hampir copot. Demikianlah, pada hari itu Pouw Sui Hong yang tidak berdaya terjatuh ke dalam tangan pangeran yang mata keranjang itu dan menjadi selirnya yang kesembilan!

Akan tetapi, Pouw Sui Hong yang tadinya berduka dan ingin sekali membunuh diri, lambat laun merasa betapa besar cinta kasih pangeran itu kepadanya. Perlakuan yang amat baik dan manis, sikap yang amat mencinta, akhirnya menjatuhkan hatinya. Kemudian Sui Hong berjanji dengan suka rela suka menjadi selir pangeran itu asalkan pangeran itu bersumpah bahwa selanjutnya tidak akan mengganggu gadis lain dan tidak akan menambah jumlah selirnya.

Memang aneh sekali kalau orang sudah jatuh cinta. Kalau yang mengajukan syarat itu wanita lain, mungkin Pangeran Lu Kok Kong akan marah sekali dan setelah puas mempermainkannya dengan paksa, akan melemparkannya menjadi permainan anak buahnya!

Akan tetapi sebaliknya, Pangeran Lu Kok Kong mau bersumpah dan memenuhi keinginan selir terbarunya itu. Ternyata kemudian bahwa pangeran itu memang benar-benar amat mencinta dan tunduk, bahkan menjadi lemah menghadapi Sui Hong yang bersikap wajar, tidak pernah bersikap genit bermuka-muka kepadanya seperti para selir lain yang seolah berlumba untuk menarik hatinya. Lebih-lebih lagi setelah dia mendapat kenyataan bahwa Pouw Sui Hong mengandung!

Pangeran Lu menjadi girang sekali dan cintanya makin mendalam. Kalau saja Sui Hong tidak mencegahnya, tentu Pangeran Lu Kok Kong sudah mengusir dan menceraikan semua selir yang lain, bahkan mau mengangkat Sui Hong sebagai Toa Hujin, sebagai isteri pertama. Akan tetapi Sui Hong tidak membolehkannya. Ia adalah seorang wanita dari keturunan baik-baik, keturunan orang-orang gagah yang tidak sudi membuat sengsara orang lain demi kesenangan diri sendiri.

Hubungannya dengan para madunya, yaitu selir-selir yang lain, amat baik, dan terhadap isteri pertama Pangeran Lu ia tetap menghormati sebagai saudara tua. Oleh karena itu, baik isteri pertama maupun para selir Pangeran Lu, mereka semua suka dan berterima kasih kepada Sui Hong. Sikap Pangeran Lu berubah banyak dan menjadi baik dan lembut sehingga kehidupan keluarga Lu selalu aman dan damai semenjak Sui Hong menjadi penghuni gedung itu.

Beberapa kali Pouw Sui Hong menyatakan rasa sakit hatinya yang mendalam terhadap Panglima Kong Tek Kok, bahkan pernah ia membujuk suaminya untuk membalaskan sakit hati keluarganya. Ia membujuk suaminya agar suka mempergunakan pengaruh dan kekuasannya untuk menjatuhkan Kong Tek Kok. Akan tetapi Pangeran Lu Kok Kong membujuknya dan menyabarkan hatinya, dengan halus menjawab.

“Sui Hong sayang, hal itu mudah dibicarakan akan tetapi sukar dilaksanakan. Kong Tek Kok adalah seorang panglima yang banyak jasanya terhadap negara dan Kaisar. Memusuhi seorang seperti dia, bagiku memang mudah, akan tetapi akibatnya juga akan hebat dan berbahaya. Sui Hong, mengapa engkau tidak mau melupakan hal-hal yang sudah lalu? Ingatlah bahwa Panglima Kong Tek Kok membasmi keluargamu bukan karena rasa benci atau permusuhan pribadi, melainkan karena dia harus menjalankan tugas dan memenuhi kewajibannya. Bagi seorang petugas, siapa saja yang menjadi musuh negara harus dibasminya, tidak peduli siapa orangnya.”

“Pendapat Paduka ini memang tidak dapat saya bantah, akan tetapi saya yang melihat keluarga saya dibasmi orang, bagaimana mungkin tidak merasa sakit hati? Biarpun yang menyuruh pembasmian atas keluarga saya itu pemerintah, tetapi yang melaksanakannya adalah Panglima Kong. Kalau bukan kepada dia saya menaruh dendam, lalu kepada siapa?”

Sepasang mata Sui Hong mulai membasah, bibir yang halus lunak itu mulai gemetar, hendak menangis...