Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

02: KEHANCURAN KELUARGA PATRIOT

SAMPAI matahari naik tinggi, tiga orang itu melarikan diri ke arah selatan. Mereka sudah mulai merasa lega karena sejak tadi tidak kelihatan ada orang mengejar.

“In-ko, (Kakak In), kita secara membuta percaya omongan dua orang tadi. Bagaimana kalau mereka itu membohongi kita? Bagaimana kalau sebetulnya tidak ada apa-apa? Aku kasihan sekali melihat So-so (Kakak Ipar) harus melakukan perjalanan begini jauh dan sukar,” kata Sui Hong.

“Agaknya tidak mungkin mereka itu berbohong, Hong-moi. Apa sih perlunya dan untungnya bagi mereka kalau berbohong? Pula, memang hal seperti ini sudah lama kuduga pasti akan datang. Lambat-laun pasti anjing-anjing Mongol itu tahu bahwa kita keluarga Pouw sebetulnya adalah musuh-musuh mereka. Akan tetapi biarlah, Adikku, penderitaan seperti ini memang sudah sewajarnya dialami oleh keluarga Pouw!” Ketika mengucapkan kata-kata itu, Keng In tampak bangga dan bersemangat.

“Bagi kita bertiga memang tidak mengapa,” Bi Lian berkata lemah, “akan tetapi... anakku yang dalam kandungan ini... ah, dia tidak berdosa... aduh, ah, dia meronta... kakinya menendang-nendang! Koko, apakah tidak sebaiknya kalau kita beristirahat dulu? Kasihan dia yang berada dalam perutku...”

“In-ko, sebaiknya kita istirahat dulu. Kasihan So-so,” kata Sui Hong.

“Tidak boleh kita istirahat sebelum malam tiba...” kata Keng In sambil memeluk isterinya semakin erat. Tangan kirinya melingkari perut isterinya dan jari-jari tangan kirinya ikut menahan perut itu agar anak di dalamnya tidak terlalu terguncang. Hatinya merasa pilu dan kasihan kepada isterinya, akan tetapi dia maklum betapa besar bahayanya kalau mereka berhenti.

“In-ko, mereka kan tidak mengejar, mengapa takut?” tanya Sui Hong.

Belum sempat Keng In menjawab, tiba-tiba terdengar derap kaki banyak datang dari belakang! Keng In dan adiknya saling pandang. Sui Hong menjadi pucat sekali dan tangannya yang memegang kendali kuda gemetar.

“Balapkan kuda!” seru Keng In sambil menggebrak kudanya. Sui Hong juga membedal kudanya sehingga debu mengebul dan tiga ekor kuda itu membalap lagi.

“Belok kiri, tinggalkan jalan besar!” kembali Keng In berseru setelah tiba di sebuah jalan simpangan, jalan yang kecil dan sukar.

Memang hal ini perlu sekali dilakukan. Kalau mereka mengikuti jalan besar, pasti mereka akan dapat disusul oleh para pengejar. Sebaliknya jalan simpangan yang kecil itu merupakan usaha untung-untungan. Kalau tidak diketahui mereka bisa selamat, sebaliknya kalau diketahui dan para pengejar juga mengejar lewat jalan kecil itu, apa boleh buat!

Akan tetapi, alangkah cemas dan khawatir hati tiga orang buronan itu ketika mereka masih juga mendengar derap kaki kuda di belakang mereka. Ternyata mereka tahu bahwa yang mereka kejar mengambil jalan kecil itu! Bahkan kini derap kaki banyak kuda mengejar itu semakin dekat!

“Koko... tidak nyana kita akan berpisah dalam... dalam... keadaan begini...” Isteri Keng In sudah mulai menangis perlahan.

“Sstt, mengapa putus asa? Thian (Tuhan) akan melindungi orang yang tidak bersalah, isteriku,” kata Keng In untuk menghibur hati isterinya, padahal dia sendiri sudah tidak dapat menemukan jalan keluar dari ancaman bahaya itu.

“In-ko, So-so, tidak usah takut!” kata Sui Hong gagah. “Kalau kita tersusul, kita melawan mati-matian sampai saat penghabisan!”

Diam-diam Keng In bangga mendengar ucapan adiknya itu, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang lemah dan tidak menguasai ilmu silat, namun bersemangat gagah perkasa, seperti nenek moyang mereka di jaman dahulu!

Setelah membalapkan kuda beberapa lamanya, perjalanan mereka terhalang sebuah sungai yang cukup lebar. Tiga orang itu segera turun dari atas punggung kuda.

“Kita cari sampan!” seru Keng In setelah membantu isterinya turun dari kuda. Lalu dia mencari-cari dengan pandang matanya ke sekitar tempat itu. Demikian pula Sui Hong dan Bi Lian ikut mencari-cari.

“Kita harus dapat menyeberang. Kalau dapat sampai di seberang sana, kita akan selamat!” kata Sui Hong.

Sudah terkenal di masa itu bahwa rakyat di daerah selatan Sungai Huai, yaitu di seberang sana merupakan pejuang-pejuang anti pemerintah Mongol yang gagah berani dan gigih. Biarpun berulang kali balatentara Mongol melakukan aksi pembersihan, namun semangat rakyat di daerah ini tidak pernah padam. Sebagai keturunan patriot bangsa, Sui Hong dan Keng In tentu saja sudah mendengar akan hal itu, maka timbul harapan mereka itu untuk mendapat pertolongan rakyat di seberang sana apabila mereka berhasil menyeberangi Sungai Huai ini.

Akan tetapi agaknya nasib baik sedang menjauhi mereka. Mereka mencari-cari dengan sia-sia. Tidak ada sebuah perahu pun tampak di situ, tidak ada tukang perahu dan tidak ada sampan untuk dipakai menyeberang. Jalan satu-satunya untuk menyeberangi Sungai Huai yang airnya sedang pasang itu hanyalah berenang! Sedangkan derap kaki kuda para pengejar semakin jelas terdengar, bahkan kini terdengar pula teriakan-teriakan mereka.

“Tangkap pemberontak!”

“Tawan Bunga So-couw!”

“Basmi keluarga Pouw!”

Teriakan-teriakan penuh ancaman yang terdengar oleh tiga buronan itu tentu saja membuat mereka menjadi panik. Akan tetapi mereka mengambil keputusan bulat untuk menyeberangi sungai dengan berenang. Di waktu kecil mereka, Keng In dan Sui Hong pernah tinggal bersama ayah bunda mereka di tepi Sungai Yang-ce.

Sedangkan Tan Bi Lian adalah puteri seorang pembesar Kerajaan Sung di kota Seng-hai-lian yang letaknya dekat laut, maka nyonya muda ini pun tidak takut air dan pandai berenang. Keadaan sudah gawat dan mendesak sekali dan tidak ada jalan lain untuk meloloskan diri dari bahaya kecuali berenang ke seberang.

Ketika mereka menengok ke belakang, tampak seorang penunggang kuda mendahului pasukan kuda di belakangnya. Orang itu jelas merupakan komandan pasukan karena pakaian perangnya sudah tampak nyata dari jauh, berkilauan tertimpa sinar matahari.

“Pouw Keng In, pemberontak rendah! Berhenti dan menyerah!” teriak perwira itu dan biarpun jaraknya masih jauh, namun suara orang itu menggeledek nyaring sekali. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa perwira itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat.

“Tidak ada jalan lain, mari kita berenang!” kata Pouw Keng In sambil menggandeng tangan isterinya dan membuang barang bawaan mereka ke dalam air karena tidak ada gunanya lagi. Daripada ditinggal dan diambil oleh pasukan Mongol, lebih baik hilang dan hanyut terbawa air sungai, atau mungkin dapat ditemukan penduduk di hilir sungai sana.

Sui Hong mendahului kakaknya, melompat ke dalam air dengan gerakan loncatan indah. Memang gadis ini pandai sekali berenang. Keng In dan Bi Lian juga melompat ke dalam air. Air hanya muncrat sedikit karena mereka melompat dan terjun ke air dengan kedua tangan lurus lebih dulu. Bagaikan tiga ekor ikan yang aneh bentuknya, mereka mulai berenang ke tengah melawan arus yang datang dari arah kanan mereka menuju ke timur.

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa aneh dan lantang di tepi sungai dan sehelai tali hitam meluncur bagaikan sinar hitam ke sungai. Tali itu mengeluarkan suara bersiutan dan tahu-tahu tali hitam yang ternyata terbuat dari sutera halus yang amat kuat itu telah membelit tubuh Sui Hong!

Tali itu bagaikan seekor ular hidup, berputaran di atas kepala gadis itu, kemudian menyambar ke bawah dan tahu-tahu Sui Hong merasa betapa tubuhnya terbelit tali dan ia ditarik ke pinggir! Sui Hong terkejut dan jijik karena mengira ada ular membelit tubuhnya. Ia meronta-ronta sekuat tenaga namun libatan tali itu kuat bukan main, bahkan ketika ia meronta, libatannya menjadi semakin erat sehingga gadis itu tidak dapat berkutik, hanya dapat menggerak-gerakkan kedua kakinya untuk mencegah agar ia tidak tenggelam.

Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dengan kumis dan jenggot lebat, sikapnya gagah dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang panglima perang, berdiri di tepi sungai dengan kedua kaki terpentang. Panglima perang inilah yang tadi melempar tali sutera hitam yang menangkap Sui Hong.

Ketika dua orang pembantunya yang baru turun dari kuda menghampirinya sambil tertawa-tawa dan menunjuk ke arah gadis yang tampak seperti seekor ikan terkait pancing itu, Sang Komandan lalu memberikan ujung tali sutera hitam dan memerintahkan mereka untuk menarik gadis yang sudah tak berdaya itu ke pantai.

“Jaga jangan sampai ikan tangkapanku itu terlepas,” katanya sambil tertawa. “Dan lihat anak panahku menamatkan riwayat pemberontak Pouw!”

Setelah ber-kata demikian panglima perang yang bertubuh tinggi besar muka hitam ini mengambil busur dan anak panah yang tergantung di punggungnya dan sekali pasang dia menaruh dua batang anak panah pada busurnya.

Beberapa belas orang perajurit Mongol kini berada di belakangnya, menonton dengan kagum karena mereka semua yakin akan kehebatan panah komandan mereka ini. Tali busur ditarik, busur melengkung lalu tali busur dilepas.

“Swingggg...!” Busur menjepret diiringi suara sorak sorai para tentara Mongol yang tahu bahwa dua orang pelarian yang masih berenang di tengah sungai itu pasti akan tewas.

Memang hebat kepandaian memanah panglima muka hitam itu. Begitu kedua batang anak panah itu meluncur, terdengar pekik kesakitan dari tengah sungai. Sebatang anak panah tepat sekali menancap di belakang kepala Pouw Keng In sehingga Keng In tidak sempat menjerit dan seketika tewas. Anak panah kedua dalam saat yang sama, menancap di pundak Bi Lian.

Nyonya muda itulah yang memekik, bukan karena rasa nyeri dan panas yang hebat pada pundaknya, melainkan terutama sekali melihat anak panah menancap di belakang kepala suaminya dan melihat suaminya tenggelam. Semua ini hanya tampak dalam sekejap mata saja karena Bi Lian jatuh pingsan! Tubuhnya hanyut di bawah permukaan air sungai, terbawa aliran sungai yang kuat.

Panglima perang itu adalah Kong Tek Kok, seorang panglima Mongol yang gagah perkasa. Dia merupakan pemimpin barisan yang selalu berhasil melakukan operasinya sehingga dikagumi semua pembesar Mongol. Bahkan Kaisar Kubilai Khan sendiri memujinya dan memberinya hadiah bintang kehormatan.

Dunia kangouw segera mengenalnya sebagai Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis) dan dengan sepasang pedangnya yang terbuat dari kayu besi yang hanya tumbuh di dekat kutub, dia sudah menyebar maut di antara ribuan orang penduduk dari kota dan dusun yang diterjang pasukannya. Selain lihai dan kejam, dia juga sombong sekali. Kesombongannya itulah yang membuat dia lengah. Dia merasa yakin bahwa sekali lepas dua batang anak panah, dia pasti menewaskan Pouw Keng In dan Tan Bi Lian, maka dia tidak lagi menyelidiki atau memperhatikan lebih lanjut hasil serangan anak panahnya tadi.

“Ha-ha-ha-ha! Sekali ini aku puas! Dapat membasmi seluruh keluarga Pouw dan dapat menangkap Kembang So-couw yang begini cantik jelita! Tidak sia-sia jerih payahku melakukan pengejaran jauh, ha-ha-ha!”

Panglima berusia sekitar tiga puluh tahun itu memandang kepada Sui Hong yang sudah ditarik ke pantai dan kini rebah miring dengan tubuh basah kuyup sehingga pakaiannya menempel ketat mencetak seluruh tubuhnya yang tampak lekuk lengkung tubuh yang menggairahkan.

Gadis itu terengah-engah karena tadi menggunakan seluruh tenaga untuk meronta namun sia-sia, dan kini ia merasa takut dan maklum bahwa ia terjatuh ke tangan orang-orang yang berhati iblis.

Kong Tek Kok menelusuri wajah dan tubuh Sui Hong dengan pandang matanya dan dia merasa girang bukan main. Dia memang sudah mendengar bahwa diantara keluarga Pouw yang hendak dibasminya itu terdapat Bunga So-couw yang kabarnya amat cantik jelita. Kini setelah menyaksikan dengan mata sendiri, diam-diam dia merasa beruntung sekali.

“Cepat ambil pakaian pengganti! Kasihan sekali ia kedinginan!” perintahnya sambil menyingkap rambut hitam halus yang menutupi muka gadis itu.

Sui Hong yang sudah ketakutan dan kehabisan tenaga itu tak sadarkan diri ketika melihat muka hitam menyeramkan itu begitu dekat!

Setelah pembantunya memberikan pengganti pakaian, Kong Tek Kok lalu membawa gadis itu ke balik semak-semak, jauh dari penglihatan para perajurit, dan dia sendiri menukar pakaian basah yang menempel di tubuh Sui Hong dengan pakaian kering. Biarpun dia melihat tubuh yang amat menggairahkan itu namun Kong Tek Kok bukanlah seorang laki-laki yang bodoh.

Dia telah memiliki banyak selir yang muda dan cantik, dan biarpun dia akan senang sekali kalau dapat mengambil gadis ini sebagai selir termudanya, namun dia mempunyai rencana yang jauh lebih menguntungkan baginya. Kalau dia mengambil gadis itu sebagai selir, dia harus selalu waspada karena gadis she Pouw ini pasti akan merasa sakit hati dan dendam kepadanya, akan selalu menjadi ancaman baginya. Kalau gadis itu menjadi selirnya, maka akan selalu dekat dengannya dan hal ini berbahaya sekali.

Sebagai seorang panglima dan ahli silat yang banyak pengalamannya, dia maklum bahwa kalau dia sampai memaksa gadis Pouw ini menjadi selirnya, kelak dia akan selalu terancam pula oleh orang-orang dunia kang-ouw yang pasti akan membalas dendam keluarga Pouw. Selain ini, dia mempunyai rencana yang dianggapnya baik sekali.

Dia akan mempersembahkan gadis ini kepada seorang pangeran yang mempunyai kedudukan tinggi dan kuat di istana. Dengan jalan menghadiahkan gadis cantik jelita ini kepada pangeran itu, dia dapat mengambil hatinya. Kalau sudah demikian, soal naik pangkat baginya adalah soal mudah, karena pangeran itu mempunyai pengaruh besar dan dipercaya oleh kaisar yang masih terhitung paman dari pangeran itu.

Demikianlah, dengan amat girang dan bangga, Kong Tek Kok memimpin baris-annya kembali ke So-couw untuk kemudian kembali ke kota raja membuat laporan. Sebelum dia melakukan pengejaran terhadap Pouw Keng In, Tan Bi Lian, dan Pouw Sui Hong, lebih dulu dia telah membasmi keluarga Pouw, membunuh Kakek dan Nenek Pouw Bun, membunuh pula seluruh pelayan yang berada dalam gedung itu.

Tidak hanya itu saja, bahkan dia membiarkan anak buahnya merampok semua harta benda dalam gedung, kemudian dia menyuruh anak buahnya menutup dan menyegel rumah itu sebagai rampasan. Tidak lupa pula Kong Tek Kok memberi bagian kepada jaksa, memberi sebagian harta yang dirampoknya. Dengan girang jaksa membuat laporan dalam bukunya sesuai dengan keinginan Kong Tek Kok, yaitu bahwa seluruh anggauta keluarga Pouw berikut para pelayannya, telah dibunuh.

Seluruh keluarga pemberontak itu telah dibasmi habis. Tentang Pouw Sui Hong, sedikit pun tidak disebut-sebut dalam laporan itu, karena mengambil wanita keluarga pemberontak menjadi selir merupakan larangan kaisar yang tidak boleh dilanggar.

Sebetulnya jaksa juga merasa khawatir karena laporannya sama sekali tidak menyebut soal Pouw Sui Hong yang menjadi tawanan Kong Tek Kok. Akan tetapi, selain dia takut kepada Kong-ciangkun (Panglima Kong), dia juga sudah menerima pembagian harta. Baginya, Pouw Sui Hong hendak dibunuh atau diambil selir, masa bodoh!

Setelah barisan yang dipimpin Kong Tek Kok itu kembali ke kota raja, jaksa tidak melupakan jasa Can Sui yang melapor tentang sajak anti pemerintah yang ditulis Pouw Keng In. Dipanggilnya bekas pelayan keluarga Pouw itu dan diberinya hadiah uang.

Biarpun di luarnya Can Sui menerima dengan terima kasih dan gembira, namun dalam hatinya dia menangis melihat betapa Nona Pouw Sui Hong yang dikasihaninya itu terjatuh ke dalam tangan panglima yang kejam seperti Kong Tek Kok. Ngeri dia membayangkan nasib gadis itu, bagaikan seekor kelinci terjatuh ke dalam cengkeraman harimau yang ganas!

Dia mulai menyesal akan pengkhianatannya. Akan tetapi semua telah terlanjur, telah terjadi, dan dia sama sekali tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolong gadis yang dia cinta. Dia telah melakukan pengkhianatan karena dorongan nafsu, dan kini dia menyesal sekali melihat akibat dari perbuatannya.

Dialah yang menyebabkan Kakek Nenek Pouw dan pelayan terbunuh, juga menyebabkan Pouw Keng In dan isterinya terbunuh, lalu menyebabkan Pouw Sui Hong terjatuh dalam cengkeraman Panglima Mongol itu! Kini hatinya berdarah, penuh penyesalan.

Segala perbuatan jahat merupakan buah dari kekuasaan nafsu yang telah memperbudak manusia. Nafsu adalah Setan yang selalu menggoda manusia dengan pikatan berupa kesenangan dan kenikmatan, dan kalau sampai kita terseret ke dalam lembah dosa dan melakukan kejahatan, bukanlah kesalahan Setan.

Memang sudah menjadi tugas kewajiban Setan untuk menggoda manusia. Bukanlah Setan namanya kalau tidak jahat dan tidak menggoda manusia. Memang pekerjaannyalah di dunia ini untuk membujuk sebanyak mungkin manusia agar masuk ke dalam kerajaan kegelapan.

Kalau sampai kita dikuasai dan melakukan kejahatan, semua itu dapat terjadi hanya karena kita lemah, hanya karena kita mau dikuasai, hanya karena kita tidak tahan uji dan tidak mampu menolak semua bujukan untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan jasmani.

Hanya orang yang teguh beriman kepada Thian (Tuhan) saja yang akan mendapat kekuatan dari Tuhan sehingga memiliki kemampuan untuk tetap tegar dan tidak terpikat oleh semua bujukan Setan yang serba menyenangkan.


********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Air Sungai Huai mengalir terus sepanjang masa. Semenjak jaman sebelum ada catatan sejarah, sebelum jaman Sam Kok (Tiga Negara), jaman Kerajaan Sui, permulaan Kerajaan Tang, sejak jatuhnya Kerajaan Han sampai sekarang, air Su-ngai Huai tiada hentinya mengalir, menuju ke asalnya, yaitu Lautan.

Seperti juga kehidupan ini tiada hentinya mengalir menuju kematian, menuju ke asalnya, sumbernya. Kalau saja riak air itu dapat bercerita, kita akan mendapatkan cerita sejarah yang tiada habisnya, yang hebat dan penuh dengan kengerian, penuh kepahitan dan sedikit saja kemanisan.

Air Sungai Huai dengan tenang dan sabarnya membawa segala apa yang jatuh ke dalamnya, membawa diam-diam tanpa banyak rewel, kalau perlu dibawa terus sampai ke permukaan laut.

Pada senja hari itu, di bawah langit yang hijau kemerahan tanda bahwa matahari mulai mengundurkan diri melaksanakan tugasnya menerangi belahan dunia yang lain, di atas air sungai yang mengalir tenang, meluncur sebuah perahu kecil yang ditumpangi seorang kakek kurus kering jangkung berambut dan berjenggot putih.

Sebetulnya orang ini belum tua benar, usianya baru sekitar empatpuluh tahun. Rambut dan jenggotnya mendadak menjadi putih semua setelah bangsa Mongol menyerbu ke selatan dan mengalahkan Kerajaan Sung yang terpaksa mengungsi ke sebelah selatan Sungai Yang-ce.

Keadaan orang ini kalau dilihat wajah dan pakaiannya yang kuning itu, tidak menarik dan amat bersahaja, tidak ada bedanya dengan nelayan biasa. Akan tetapi melihat gerak-geriknya di tempat sunyi itu, orang akan terheran-heran. Tangan kiri kakek itu memegang dayung yang digerakkan secara aneh.

Kiranya tidak pernah ada nelayan mendayung sampan seperti itu, hanya menggerakkan dayung dengan tangan kiri secara sembarangan, didorong-pukulkan ke air, akan tetapi anehnya, sampan itu meluncur cepat melawan arus air sungai!

Lebih mengherankan lagi, tangan kanannya memegang sebuah kitab yang agaknya tengah dibacanya. Membaca kitab pada senja hari hanya dengan penerangan sinar matahari senja yang hampir tenggelam, pasti membutuhkan sepasang mata yang awas sekali.

Pada masa itu memang terdapat banyak orang pandai yang hidup mengasingkan diri. Mereka itu sebagian besar terdiri dari bekas pembesar Kerajaan Sung yang melarikan diri ke selatan setelah tidak mampu menahan serbuan bangsa Mongol. Karena berduka mereka melarikan dan mengasingkan diri, tidak sudi bekerja di bawah perintah bangsa Mongol, walaupun kalau mereka mau mereka akan memperoleh kedudukan tinggi dan kemuliaan seperti yang dilakukan banyak pengkhianat bangsa di masa itu.

Para pendekar yang berjiwa patriot lebih suka hidup miskin dan sebagian dari mereka menggabungkan diri dengan para pemimpin pejuang rakyat yang menentang Kerajaan Goan dan membuat para pembesar Mongol tak dapat tidur nyenyak. Ada pula yang seolah putus asa dan kehilangan semangat, sengaja tidak mau mencampuri urusan dunia lagi dan hidup di gunung-gunung atau di tempat sunyi dan ada pula yang hidup di pedusunan menjadi petani, nelayan atau pertapa...

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 02

02: KEHANCURAN KELUARGA PATRIOT

SAMPAI matahari naik tinggi, tiga orang itu melarikan diri ke arah selatan. Mereka sudah mulai merasa lega karena sejak tadi tidak kelihatan ada orang mengejar.

“In-ko, (Kakak In), kita secara membuta percaya omongan dua orang tadi. Bagaimana kalau mereka itu membohongi kita? Bagaimana kalau sebetulnya tidak ada apa-apa? Aku kasihan sekali melihat So-so (Kakak Ipar) harus melakukan perjalanan begini jauh dan sukar,” kata Sui Hong.

“Agaknya tidak mungkin mereka itu berbohong, Hong-moi. Apa sih perlunya dan untungnya bagi mereka kalau berbohong? Pula, memang hal seperti ini sudah lama kuduga pasti akan datang. Lambat-laun pasti anjing-anjing Mongol itu tahu bahwa kita keluarga Pouw sebetulnya adalah musuh-musuh mereka. Akan tetapi biarlah, Adikku, penderitaan seperti ini memang sudah sewajarnya dialami oleh keluarga Pouw!” Ketika mengucapkan kata-kata itu, Keng In tampak bangga dan bersemangat.

“Bagi kita bertiga memang tidak mengapa,” Bi Lian berkata lemah, “akan tetapi... anakku yang dalam kandungan ini... ah, dia tidak berdosa... aduh, ah, dia meronta... kakinya menendang-nendang! Koko, apakah tidak sebaiknya kalau kita beristirahat dulu? Kasihan dia yang berada dalam perutku...”

“In-ko, sebaiknya kita istirahat dulu. Kasihan So-so,” kata Sui Hong.

“Tidak boleh kita istirahat sebelum malam tiba...” kata Keng In sambil memeluk isterinya semakin erat. Tangan kirinya melingkari perut isterinya dan jari-jari tangan kirinya ikut menahan perut itu agar anak di dalamnya tidak terlalu terguncang. Hatinya merasa pilu dan kasihan kepada isterinya, akan tetapi dia maklum betapa besar bahayanya kalau mereka berhenti.

“In-ko, mereka kan tidak mengejar, mengapa takut?” tanya Sui Hong.

Belum sempat Keng In menjawab, tiba-tiba terdengar derap kaki banyak datang dari belakang! Keng In dan adiknya saling pandang. Sui Hong menjadi pucat sekali dan tangannya yang memegang kendali kuda gemetar.

“Balapkan kuda!” seru Keng In sambil menggebrak kudanya. Sui Hong juga membedal kudanya sehingga debu mengebul dan tiga ekor kuda itu membalap lagi.

“Belok kiri, tinggalkan jalan besar!” kembali Keng In berseru setelah tiba di sebuah jalan simpangan, jalan yang kecil dan sukar.

Memang hal ini perlu sekali dilakukan. Kalau mereka mengikuti jalan besar, pasti mereka akan dapat disusul oleh para pengejar. Sebaliknya jalan simpangan yang kecil itu merupakan usaha untung-untungan. Kalau tidak diketahui mereka bisa selamat, sebaliknya kalau diketahui dan para pengejar juga mengejar lewat jalan kecil itu, apa boleh buat!

Akan tetapi, alangkah cemas dan khawatir hati tiga orang buronan itu ketika mereka masih juga mendengar derap kaki kuda di belakang mereka. Ternyata mereka tahu bahwa yang mereka kejar mengambil jalan kecil itu! Bahkan kini derap kaki banyak kuda mengejar itu semakin dekat!

“Koko... tidak nyana kita akan berpisah dalam... dalam... keadaan begini...” Isteri Keng In sudah mulai menangis perlahan.

“Sstt, mengapa putus asa? Thian (Tuhan) akan melindungi orang yang tidak bersalah, isteriku,” kata Keng In untuk menghibur hati isterinya, padahal dia sendiri sudah tidak dapat menemukan jalan keluar dari ancaman bahaya itu.

“In-ko, So-so, tidak usah takut!” kata Sui Hong gagah. “Kalau kita tersusul, kita melawan mati-matian sampai saat penghabisan!”

Diam-diam Keng In bangga mendengar ucapan adiknya itu, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang lemah dan tidak menguasai ilmu silat, namun bersemangat gagah perkasa, seperti nenek moyang mereka di jaman dahulu!

Setelah membalapkan kuda beberapa lamanya, perjalanan mereka terhalang sebuah sungai yang cukup lebar. Tiga orang itu segera turun dari atas punggung kuda.

“Kita cari sampan!” seru Keng In setelah membantu isterinya turun dari kuda. Lalu dia mencari-cari dengan pandang matanya ke sekitar tempat itu. Demikian pula Sui Hong dan Bi Lian ikut mencari-cari.

“Kita harus dapat menyeberang. Kalau dapat sampai di seberang sana, kita akan selamat!” kata Sui Hong.

Sudah terkenal di masa itu bahwa rakyat di daerah selatan Sungai Huai, yaitu di seberang sana merupakan pejuang-pejuang anti pemerintah Mongol yang gagah berani dan gigih. Biarpun berulang kali balatentara Mongol melakukan aksi pembersihan, namun semangat rakyat di daerah ini tidak pernah padam. Sebagai keturunan patriot bangsa, Sui Hong dan Keng In tentu saja sudah mendengar akan hal itu, maka timbul harapan mereka itu untuk mendapat pertolongan rakyat di seberang sana apabila mereka berhasil menyeberangi Sungai Huai ini.

Akan tetapi agaknya nasib baik sedang menjauhi mereka. Mereka mencari-cari dengan sia-sia. Tidak ada sebuah perahu pun tampak di situ, tidak ada tukang perahu dan tidak ada sampan untuk dipakai menyeberang. Jalan satu-satunya untuk menyeberangi Sungai Huai yang airnya sedang pasang itu hanyalah berenang! Sedangkan derap kaki kuda para pengejar semakin jelas terdengar, bahkan kini terdengar pula teriakan-teriakan mereka.

“Tangkap pemberontak!”

“Tawan Bunga So-couw!”

“Basmi keluarga Pouw!”

Teriakan-teriakan penuh ancaman yang terdengar oleh tiga buronan itu tentu saja membuat mereka menjadi panik. Akan tetapi mereka mengambil keputusan bulat untuk menyeberangi sungai dengan berenang. Di waktu kecil mereka, Keng In dan Sui Hong pernah tinggal bersama ayah bunda mereka di tepi Sungai Yang-ce.

Sedangkan Tan Bi Lian adalah puteri seorang pembesar Kerajaan Sung di kota Seng-hai-lian yang letaknya dekat laut, maka nyonya muda ini pun tidak takut air dan pandai berenang. Keadaan sudah gawat dan mendesak sekali dan tidak ada jalan lain untuk meloloskan diri dari bahaya kecuali berenang ke seberang.

Ketika mereka menengok ke belakang, tampak seorang penunggang kuda mendahului pasukan kuda di belakangnya. Orang itu jelas merupakan komandan pasukan karena pakaian perangnya sudah tampak nyata dari jauh, berkilauan tertimpa sinar matahari.

“Pouw Keng In, pemberontak rendah! Berhenti dan menyerah!” teriak perwira itu dan biarpun jaraknya masih jauh, namun suara orang itu menggeledek nyaring sekali. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa perwira itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat.

“Tidak ada jalan lain, mari kita berenang!” kata Pouw Keng In sambil menggandeng tangan isterinya dan membuang barang bawaan mereka ke dalam air karena tidak ada gunanya lagi. Daripada ditinggal dan diambil oleh pasukan Mongol, lebih baik hilang dan hanyut terbawa air sungai, atau mungkin dapat ditemukan penduduk di hilir sungai sana.

Sui Hong mendahului kakaknya, melompat ke dalam air dengan gerakan loncatan indah. Memang gadis ini pandai sekali berenang. Keng In dan Bi Lian juga melompat ke dalam air. Air hanya muncrat sedikit karena mereka melompat dan terjun ke air dengan kedua tangan lurus lebih dulu. Bagaikan tiga ekor ikan yang aneh bentuknya, mereka mulai berenang ke tengah melawan arus yang datang dari arah kanan mereka menuju ke timur.

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa aneh dan lantang di tepi sungai dan sehelai tali hitam meluncur bagaikan sinar hitam ke sungai. Tali itu mengeluarkan suara bersiutan dan tahu-tahu tali hitam yang ternyata terbuat dari sutera halus yang amat kuat itu telah membelit tubuh Sui Hong!

Tali itu bagaikan seekor ular hidup, berputaran di atas kepala gadis itu, kemudian menyambar ke bawah dan tahu-tahu Sui Hong merasa betapa tubuhnya terbelit tali dan ia ditarik ke pinggir! Sui Hong terkejut dan jijik karena mengira ada ular membelit tubuhnya. Ia meronta-ronta sekuat tenaga namun libatan tali itu kuat bukan main, bahkan ketika ia meronta, libatannya menjadi semakin erat sehingga gadis itu tidak dapat berkutik, hanya dapat menggerak-gerakkan kedua kakinya untuk mencegah agar ia tidak tenggelam.

Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dengan kumis dan jenggot lebat, sikapnya gagah dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang panglima perang, berdiri di tepi sungai dengan kedua kaki terpentang. Panglima perang inilah yang tadi melempar tali sutera hitam yang menangkap Sui Hong.

Ketika dua orang pembantunya yang baru turun dari kuda menghampirinya sambil tertawa-tawa dan menunjuk ke arah gadis yang tampak seperti seekor ikan terkait pancing itu, Sang Komandan lalu memberikan ujung tali sutera hitam dan memerintahkan mereka untuk menarik gadis yang sudah tak berdaya itu ke pantai.

“Jaga jangan sampai ikan tangkapanku itu terlepas,” katanya sambil tertawa. “Dan lihat anak panahku menamatkan riwayat pemberontak Pouw!”

Setelah ber-kata demikian panglima perang yang bertubuh tinggi besar muka hitam ini mengambil busur dan anak panah yang tergantung di punggungnya dan sekali pasang dia menaruh dua batang anak panah pada busurnya.

Beberapa belas orang perajurit Mongol kini berada di belakangnya, menonton dengan kagum karena mereka semua yakin akan kehebatan panah komandan mereka ini. Tali busur ditarik, busur melengkung lalu tali busur dilepas.

“Swingggg...!” Busur menjepret diiringi suara sorak sorai para tentara Mongol yang tahu bahwa dua orang pelarian yang masih berenang di tengah sungai itu pasti akan tewas.

Memang hebat kepandaian memanah panglima muka hitam itu. Begitu kedua batang anak panah itu meluncur, terdengar pekik kesakitan dari tengah sungai. Sebatang anak panah tepat sekali menancap di belakang kepala Pouw Keng In sehingga Keng In tidak sempat menjerit dan seketika tewas. Anak panah kedua dalam saat yang sama, menancap di pundak Bi Lian.

Nyonya muda itulah yang memekik, bukan karena rasa nyeri dan panas yang hebat pada pundaknya, melainkan terutama sekali melihat anak panah menancap di belakang kepala suaminya dan melihat suaminya tenggelam. Semua ini hanya tampak dalam sekejap mata saja karena Bi Lian jatuh pingsan! Tubuhnya hanyut di bawah permukaan air sungai, terbawa aliran sungai yang kuat.

Panglima perang itu adalah Kong Tek Kok, seorang panglima Mongol yang gagah perkasa. Dia merupakan pemimpin barisan yang selalu berhasil melakukan operasinya sehingga dikagumi semua pembesar Mongol. Bahkan Kaisar Kubilai Khan sendiri memujinya dan memberinya hadiah bintang kehormatan.

Dunia kangouw segera mengenalnya sebagai Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis) dan dengan sepasang pedangnya yang terbuat dari kayu besi yang hanya tumbuh di dekat kutub, dia sudah menyebar maut di antara ribuan orang penduduk dari kota dan dusun yang diterjang pasukannya. Selain lihai dan kejam, dia juga sombong sekali. Kesombongannya itulah yang membuat dia lengah. Dia merasa yakin bahwa sekali lepas dua batang anak panah, dia pasti menewaskan Pouw Keng In dan Tan Bi Lian, maka dia tidak lagi menyelidiki atau memperhatikan lebih lanjut hasil serangan anak panahnya tadi.

“Ha-ha-ha-ha! Sekali ini aku puas! Dapat membasmi seluruh keluarga Pouw dan dapat menangkap Kembang So-couw yang begini cantik jelita! Tidak sia-sia jerih payahku melakukan pengejaran jauh, ha-ha-ha!”

Panglima berusia sekitar tiga puluh tahun itu memandang kepada Sui Hong yang sudah ditarik ke pantai dan kini rebah miring dengan tubuh basah kuyup sehingga pakaiannya menempel ketat mencetak seluruh tubuhnya yang tampak lekuk lengkung tubuh yang menggairahkan.

Gadis itu terengah-engah karena tadi menggunakan seluruh tenaga untuk meronta namun sia-sia, dan kini ia merasa takut dan maklum bahwa ia terjatuh ke tangan orang-orang yang berhati iblis.

Kong Tek Kok menelusuri wajah dan tubuh Sui Hong dengan pandang matanya dan dia merasa girang bukan main. Dia memang sudah mendengar bahwa diantara keluarga Pouw yang hendak dibasminya itu terdapat Bunga So-couw yang kabarnya amat cantik jelita. Kini setelah menyaksikan dengan mata sendiri, diam-diam dia merasa beruntung sekali.

“Cepat ambil pakaian pengganti! Kasihan sekali ia kedinginan!” perintahnya sambil menyingkap rambut hitam halus yang menutupi muka gadis itu.

Sui Hong yang sudah ketakutan dan kehabisan tenaga itu tak sadarkan diri ketika melihat muka hitam menyeramkan itu begitu dekat!

Setelah pembantunya memberikan pengganti pakaian, Kong Tek Kok lalu membawa gadis itu ke balik semak-semak, jauh dari penglihatan para perajurit, dan dia sendiri menukar pakaian basah yang menempel di tubuh Sui Hong dengan pakaian kering. Biarpun dia melihat tubuh yang amat menggairahkan itu namun Kong Tek Kok bukanlah seorang laki-laki yang bodoh.

Dia telah memiliki banyak selir yang muda dan cantik, dan biarpun dia akan senang sekali kalau dapat mengambil gadis ini sebagai selir termudanya, namun dia mempunyai rencana yang jauh lebih menguntungkan baginya. Kalau dia mengambil gadis itu sebagai selir, dia harus selalu waspada karena gadis she Pouw ini pasti akan merasa sakit hati dan dendam kepadanya, akan selalu menjadi ancaman baginya. Kalau gadis itu menjadi selirnya, maka akan selalu dekat dengannya dan hal ini berbahaya sekali.

Sebagai seorang panglima dan ahli silat yang banyak pengalamannya, dia maklum bahwa kalau dia sampai memaksa gadis Pouw ini menjadi selirnya, kelak dia akan selalu terancam pula oleh orang-orang dunia kang-ouw yang pasti akan membalas dendam keluarga Pouw. Selain ini, dia mempunyai rencana yang dianggapnya baik sekali.

Dia akan mempersembahkan gadis ini kepada seorang pangeran yang mempunyai kedudukan tinggi dan kuat di istana. Dengan jalan menghadiahkan gadis cantik jelita ini kepada pangeran itu, dia dapat mengambil hatinya. Kalau sudah demikian, soal naik pangkat baginya adalah soal mudah, karena pangeran itu mempunyai pengaruh besar dan dipercaya oleh kaisar yang masih terhitung paman dari pangeran itu.

Demikianlah, dengan amat girang dan bangga, Kong Tek Kok memimpin baris-annya kembali ke So-couw untuk kemudian kembali ke kota raja membuat laporan. Sebelum dia melakukan pengejaran terhadap Pouw Keng In, Tan Bi Lian, dan Pouw Sui Hong, lebih dulu dia telah membasmi keluarga Pouw, membunuh Kakek dan Nenek Pouw Bun, membunuh pula seluruh pelayan yang berada dalam gedung itu.

Tidak hanya itu saja, bahkan dia membiarkan anak buahnya merampok semua harta benda dalam gedung, kemudian dia menyuruh anak buahnya menutup dan menyegel rumah itu sebagai rampasan. Tidak lupa pula Kong Tek Kok memberi bagian kepada jaksa, memberi sebagian harta yang dirampoknya. Dengan girang jaksa membuat laporan dalam bukunya sesuai dengan keinginan Kong Tek Kok, yaitu bahwa seluruh anggauta keluarga Pouw berikut para pelayannya, telah dibunuh.

Seluruh keluarga pemberontak itu telah dibasmi habis. Tentang Pouw Sui Hong, sedikit pun tidak disebut-sebut dalam laporan itu, karena mengambil wanita keluarga pemberontak menjadi selir merupakan larangan kaisar yang tidak boleh dilanggar.

Sebetulnya jaksa juga merasa khawatir karena laporannya sama sekali tidak menyebut soal Pouw Sui Hong yang menjadi tawanan Kong Tek Kok. Akan tetapi, selain dia takut kepada Kong-ciangkun (Panglima Kong), dia juga sudah menerima pembagian harta. Baginya, Pouw Sui Hong hendak dibunuh atau diambil selir, masa bodoh!

Setelah barisan yang dipimpin Kong Tek Kok itu kembali ke kota raja, jaksa tidak melupakan jasa Can Sui yang melapor tentang sajak anti pemerintah yang ditulis Pouw Keng In. Dipanggilnya bekas pelayan keluarga Pouw itu dan diberinya hadiah uang.

Biarpun di luarnya Can Sui menerima dengan terima kasih dan gembira, namun dalam hatinya dia menangis melihat betapa Nona Pouw Sui Hong yang dikasihaninya itu terjatuh ke dalam tangan panglima yang kejam seperti Kong Tek Kok. Ngeri dia membayangkan nasib gadis itu, bagaikan seekor kelinci terjatuh ke dalam cengkeraman harimau yang ganas!

Dia mulai menyesal akan pengkhianatannya. Akan tetapi semua telah terlanjur, telah terjadi, dan dia sama sekali tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolong gadis yang dia cinta. Dia telah melakukan pengkhianatan karena dorongan nafsu, dan kini dia menyesal sekali melihat akibat dari perbuatannya.

Dialah yang menyebabkan Kakek Nenek Pouw dan pelayan terbunuh, juga menyebabkan Pouw Keng In dan isterinya terbunuh, lalu menyebabkan Pouw Sui Hong terjatuh dalam cengkeraman Panglima Mongol itu! Kini hatinya berdarah, penuh penyesalan.

Segala perbuatan jahat merupakan buah dari kekuasaan nafsu yang telah memperbudak manusia. Nafsu adalah Setan yang selalu menggoda manusia dengan pikatan berupa kesenangan dan kenikmatan, dan kalau sampai kita terseret ke dalam lembah dosa dan melakukan kejahatan, bukanlah kesalahan Setan.

Memang sudah menjadi tugas kewajiban Setan untuk menggoda manusia. Bukanlah Setan namanya kalau tidak jahat dan tidak menggoda manusia. Memang pekerjaannyalah di dunia ini untuk membujuk sebanyak mungkin manusia agar masuk ke dalam kerajaan kegelapan.

Kalau sampai kita dikuasai dan melakukan kejahatan, semua itu dapat terjadi hanya karena kita lemah, hanya karena kita mau dikuasai, hanya karena kita tidak tahan uji dan tidak mampu menolak semua bujukan untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan jasmani.

Hanya orang yang teguh beriman kepada Thian (Tuhan) saja yang akan mendapat kekuatan dari Tuhan sehingga memiliki kemampuan untuk tetap tegar dan tidak terpikat oleh semua bujukan Setan yang serba menyenangkan.


********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Air Sungai Huai mengalir terus sepanjang masa. Semenjak jaman sebelum ada catatan sejarah, sebelum jaman Sam Kok (Tiga Negara), jaman Kerajaan Sui, permulaan Kerajaan Tang, sejak jatuhnya Kerajaan Han sampai sekarang, air Su-ngai Huai tiada hentinya mengalir, menuju ke asalnya, yaitu Lautan.

Seperti juga kehidupan ini tiada hentinya mengalir menuju kematian, menuju ke asalnya, sumbernya. Kalau saja riak air itu dapat bercerita, kita akan mendapatkan cerita sejarah yang tiada habisnya, yang hebat dan penuh dengan kengerian, penuh kepahitan dan sedikit saja kemanisan.

Air Sungai Huai dengan tenang dan sabarnya membawa segala apa yang jatuh ke dalamnya, membawa diam-diam tanpa banyak rewel, kalau perlu dibawa terus sampai ke permukaan laut.

Pada senja hari itu, di bawah langit yang hijau kemerahan tanda bahwa matahari mulai mengundurkan diri melaksanakan tugasnya menerangi belahan dunia yang lain, di atas air sungai yang mengalir tenang, meluncur sebuah perahu kecil yang ditumpangi seorang kakek kurus kering jangkung berambut dan berjenggot putih.

Sebetulnya orang ini belum tua benar, usianya baru sekitar empatpuluh tahun. Rambut dan jenggotnya mendadak menjadi putih semua setelah bangsa Mongol menyerbu ke selatan dan mengalahkan Kerajaan Sung yang terpaksa mengungsi ke sebelah selatan Sungai Yang-ce.

Keadaan orang ini kalau dilihat wajah dan pakaiannya yang kuning itu, tidak menarik dan amat bersahaja, tidak ada bedanya dengan nelayan biasa. Akan tetapi melihat gerak-geriknya di tempat sunyi itu, orang akan terheran-heran. Tangan kiri kakek itu memegang dayung yang digerakkan secara aneh.

Kiranya tidak pernah ada nelayan mendayung sampan seperti itu, hanya menggerakkan dayung dengan tangan kiri secara sembarangan, didorong-pukulkan ke air, akan tetapi anehnya, sampan itu meluncur cepat melawan arus air sungai!

Lebih mengherankan lagi, tangan kanannya memegang sebuah kitab yang agaknya tengah dibacanya. Membaca kitab pada senja hari hanya dengan penerangan sinar matahari senja yang hampir tenggelam, pasti membutuhkan sepasang mata yang awas sekali.

Pada masa itu memang terdapat banyak orang pandai yang hidup mengasingkan diri. Mereka itu sebagian besar terdiri dari bekas pembesar Kerajaan Sung yang melarikan diri ke selatan setelah tidak mampu menahan serbuan bangsa Mongol. Karena berduka mereka melarikan dan mengasingkan diri, tidak sudi bekerja di bawah perintah bangsa Mongol, walaupun kalau mereka mau mereka akan memperoleh kedudukan tinggi dan kemuliaan seperti yang dilakukan banyak pengkhianat bangsa di masa itu.

Para pendekar yang berjiwa patriot lebih suka hidup miskin dan sebagian dari mereka menggabungkan diri dengan para pemimpin pejuang rakyat yang menentang Kerajaan Goan dan membuat para pembesar Mongol tak dapat tidur nyenyak. Ada pula yang seolah putus asa dan kehilangan semangat, sengaja tidak mau mencampuri urusan dunia lagi dan hidup di gunung-gunung atau di tempat sunyi dan ada pula yang hidup di pedusunan menjadi petani, nelayan atau pertapa...