Pedang Ular Merah Jilid 24 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG ULAR MERAH JILID 24

Tiba-tiba Tiong Kiat berkata sambil menangkap tangan Ang Hwa. "Nona Suma... sungguh mati, perempuan ini tidak ada artinya bagiku! Di dunia ini... hanya kau seorang yang boleh memenuhi ruang hatiku. Perempuan ini...? Hm, dia bukan lain adalah seorang perempuan lacur yang hina dina. Aku membunuh Huayen khan karena dia seorang pengkhianat, sama sekali bukan karena perempuan ini!"

Ketika Tiong Kiat melihat betapa Eng Eng tersenyum menghina dan mengejek, ia menyambung kata-katanya. "Kau tidak percaya? Lihat, perempuan ini sesungguhnya bukan apa-apa bagiku!”

Dan secepat kilat Tiong Kiat menggerakkan Ang coa kiam dan sebelum Ang Hwa yang semenjak tadi mendengarkan ucapan Tiong Kiat dengan wajah pucat dan mata terbelalak itu dapat mengetahui gerakan pemuda ini, pedang Ang coa kiam di tangan Tiong Kiat telah membabat lehernya!

Ang Hwa tak sempat mengeluarkan sedikitpun suara dan tubuhnya roboh tergelimpang di dekat mayat suaminya dalam keadaan tak bernyawa lagi dan lehernya hampir putus!

"Bangsat she Sim! Jangankan baru kau membunuh anjing betina ini yang sama kotornya dengan engkau, biar kau membunuh ayah bundamu sendiri dihadapanku tetap saja kebencianku terhadapmu takkan berkurangl Kau harus mampus!"

"Suma Eng... sungguh kau kejam dan keterlaluan! Kau tahu bahwa aku cinta kepadamu. Aku telah merobah hidupku, lihat, bukankah aku telah menjadi seorang perwira kerajaan? Bukankah aku telah memilih jalan yang benar? Mengapa kau masih saja membenciku? Eng Eng, lupakanlah urusan dahulu dan berilah kesempatan kepadaku untuk menebus dosa. Katakan bahwa kau suka menjadi istriku, dan aku akan menurut apa saja yang kau kehendaki."

"Bangsat rendah bermulut kotor! Jangan kau berani sebut-sebut hal itu lagi. Kau telah mencemarkan nama orang tuamu, nama perguruanmu, bahkan kau telah mencelakakan kehidupan kakakmu yang amat berbudi dan mencintaimu, kau... kau manusia rendah...!"

"Ha, agaknya kau lebih suka kepada kakakku dari pada kepadaku?" pertanyaan Tiong Kiat ini terdengar penuh cemburu sehingga Tiong Han yang mendengarkan percakapan itu merasa mukanya panas dan warna merah menjalar dari leher ke mukanya.

"Tutup mulutmu! Dia seribu kali lebih berharga dari pada engkau! Untuk menggosok sepatunya saja kau masih terlalu kotor, jangankan menjadi adiknya, tahu?"

"Eng Eng kau terlalu…"

"Siapa yang terlalu? Kau seorang rendah, seorang hina dan sekarang menjadi pemberontak pula!"

"Pemberontak? Apa maksudmu? Eng Eng kalau orang sudah membenci, selalu buruk saja pandangannya. Aku bukan pemberontak, aku bahkan melawan pemberontak she Gak itu dan…"

"Bangsat lihat pedang!" Eng Eng tidak sabar lagi dan cepat menyerang dengan pedangnya. Ucapan Tiong Kiat tadi dianggapnya sebagai bujukan belaka. Mana bisa jenderal Gak disebut pemberontak?

Tiong Kiat menangkis dengan pedang Hui liong-kiam di tangan kirinya. Dengan dua batang pedang di tangan, ia selalu menghindarkan diri dari serangan gadis itu yang mendesak dengan hebat. Diam-diam Tiong Han memuji kepandaian adiknya itu. Tiong Kiat dengan kedua tangan memegang pedang, sanggup memainkan Ang-coa-kiamsut dengan dua pedang itu!

"Sungguh benar kata-kata suhu dulu bahwa dia memang berbakat sekali." kata Tiong Han dalam hatinya.

Ia harus akui bahwa dia sendiri tak mungkin dapat mainkan Ang-coa-kiamsut sekaligus dengan dua batang pedang. Akan tetapi, sekarang ia sanggup untuk menghadapi Tiong Kiat, biarpun dengan tangan kosong setelah ia digembleng oleh Pat jiu Toanio dan Lui-kong jiu. Melihat betapa Eng Eng tak mungkin dapat merobohkan Tiong Kiat yang menangkis sambil mundur, agaknya hendak memancing gadis itu ke arah markas besar Tiong Han lalu melompat keluar.

"Tahan dulu!” katanya lalu tahu-tahu tubuhnya telah berada di depan Tiong Kiat. Ia hendak mempraktekkan gerakan Lutung Sakti Memetik Buah yang ia pelajari dari Pat jiu Toanio untuk merampas pedang.

Tiong Kiat mencoba untuk menarik kembali pedang di tangan kirinya, akan tetapi ternyata kalah cepat, ia hanya mengerahkan tenaganya dan memegang pedang Hui-liong-kiam itu erat erat karena kalau sampai pedang itu direbut, belum tentu lawan akan berhasil merenggutnya. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa Tiong Han mempergunakan ilmu silat baru.

Tiba-tiba ia merasa pergelangan tangan kirinya lemas dan otomatis pegangannya terbuka sehingga pedang itu tahu-tahu sudah pindah ke tangan Tiong Han! Tiong Kiat terkejut dan heran, akan tetapi sifat sombongnya keluar dan sambil tersenyum-senyum ia berkata,

"Ambillah, memang itu pedangmu!"

Sementara itu ketika melihat Tiong Han, wajah Eng Eng berseri sebentar, akan tetapi segera ia menghadapi segala gerak-gerik dari Tiong Kiat lagi, dengan marah sambil berkata kepada Tiong Han.

"Aku yang mendapatkannya lebih dulu, maka aku yang hendak membunuhnya."

“Maaf, nona Suma, sekarang bukan waktunya untuk mengurus urusan pribadi. Aku datang sebagai utusan dari Jenderal Gak untuk melakukan pembicaraan dengan Oei Sun dan kaki tangannya.” Kemudian ia memandang dengan tajam kepada Tiong Kiat.

"Kau tentu kaki tangan Oei Sun pula, bukan?" Suaranya mengandung penyesalan dan juga ejekan, lalu disambungnya.

"Pergilah sampaikan kepada Oei Sun bahwa aku utusan Gak-goanswe sengaja datang untuk bertemu dan bicara !" Sambil berkata demikian, Tiong Han lalu mencabut sehelai kain putih yang merupakan bendera tanda utusan dari Gak goanswe. Tentu saja Tiong Kiat memandang dengan mata terbelalak. Wajahnya menjadi pucat seperti melihat setan di tengah hari.

"Engko Tiong Han"

"Tutup mulut! Jangan menyebut engko, aku bukan saudaramu! Kau seorang perwira pemberontak dan aku seorang utusan dari tentara kerajaan! Lekas kau melaporkan kedatanganku, ataukah aku sendiri harus masuk ke sana?” Ia menunjuk ke arah bayangan tenda di kejauhan.

Tiong Kiat menggigil seluruh tubuhnya. "Apakah artinya ini?? Tiong Han… demi kehormatan ayah... demi Tuhan, katakanlah, apa artinya ini? Benar-benarkah Oei ciangkun memimpin barisan pemberontak, bukankah jenderal she Gak itu yang memberontak?"

"Kebiasaan jahat mendatangkan pemandangan yang sempit dan jiwa yang hampa!" kata Tiong Han. "Entah kau berpura-pura atau tidak, akan tetapi sungguh amat lucu kalau tidak tahu bahwa Oei Sun yang bersekutu dengan Huayen-khan adalah pemberontak-pemberontak keji yang patut dibasmi! Sungguh menyebalkan mendengar orang berkata bahwa Jenderal Gak yang gagah perkasa adalah seorang pemberontak. Pemutarbalikan yang tidak kenal malu! Siapa tidak tahu bahwa pemberontak Oei Sun adalah bekas tokoh Pek-lian-kauw dan bahwa dia dibantu oleh lima orang bekas pemimpin Pek-Iian-kauw yang kini bernama Go bi Ngo-koai-tung? Entah matamu yang buta, entah batinmu yang sudah tak dapat melihat lagi."

Makin pucat wajah Tiong Kiat mendengar ini dan bibirnya bergetar. Sukar sekali ia dapat mengeluarkan kata-kata, akan tetapi akhirnya dapat juga ia berkata, "Tiong Han... demi mendiang ayah kita… tidak bohongkah kau? Bersumpahlah...!"

"Aku bukan seperti kau, tak sudi berbohong dan tak perlu bersumpah."

Mendengar ini, terdengar isak tangis tertahan dari dada Tiong Kiat. la membanting-banting kaki beberapa kali kemudian membalikkan tubuh terus berlari secepat terbang menuju kepada tenda-tenda yang terpasang di luar hutan.

"Bangsat hendak lari ke mana?" Eng Eng membentak nyaring dan mengejar, akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang orang dari belakang. Ia menengok dan memandang kepada Tiong Han dengan heran.

"Eh, eh, saudara Sim. Mengapa kau memegang tanganku? Apakah kau kembali hendak membela adikmu yang murtad itu?"

Tiong Han melepaskan pegangannya dan menggeleng kepalanya. "Nona Eng Eng, jangan salah sangka. Aku hanya mencegahmu untuk mengejarnya oleh karena hal itu amat berbahaya. Baru Tiong Kiat seorang saja agaknya amat sukar kau menjatuhkannya, apalagi di sana masih banyak orang-orang kosen dan berkepandaian tinggi. Go-bi Ngo koai tung dan Oei Sun adalah lawan-lawan yang amat berat, kalau kau mengejarnya, bukankah itu sama saja dengan mengantarkan nyawa?"

"Kau perduli apakah, Saudara Sim ? Aku tidak takut mati." jawab Eng Eng sambil mengedikkan kepalanya.

"Aku tidak meragukan kegagahanmu, nona. Akan tetapi… aku tidak rela kalau kau mati begitu saja..."

Wajah nona itu berubah merah, menambah kecantikannya yang amat menarik hati Tiong Han, "Apakah maksudmu? Apa hubungannya kematianku dengan rela atau tidaknya kau, saudara Sim?" Dengan jujur dan tajam mata pemuda itu menatap wajah Eng Eng, lalu disusul oleh kata-katanya yang jelas.

"Nona Suma Eng, terus terang saja, aku amat kasihan kepadamu, dan juga aku amat suka dan tertarik oleh kegagahan dan nasibmu. Selain itu, aku merasa ikut bertanggung jawab atas kejahatan adikku itu, maka… aku ingin sekali… menebus dosa adikku terhadapmu, aku ingin sekali memperbaiki segala kesalahan adikku terhadapmu, dan aku tidak ingin melihat kau mengalami penderitaan lebih lanjut karena adikku yang jahat, Ketahuilah bahwa semenjak pertemuan kita, aku selalu memikirkan keadaanmu, nona. Hanya dua macam tugas suci dalam hidupku, pertama-tama membela negara dan menghancurkan adikku sendiri yang jahat. Kedua kalinya, mendatangkan kebahagiaan padamu dengan jalan apa saja yang kau kehendaki!"

“Eh, eh... saudara Sim, dalam keadaan seperti ini, mengapa kau bicara yang bukan-bukan? Sudahlah, nanti saja kita bicara kalau urusan sudah selesai. Aku harus menyusul dan mengadu nyawa dengan adikmu!"

Kembali Eng Eng hendak berlari mengejar Tiong Kiat, akan tetapi Tiong Han mencegahnya lagi.

"Nanti dulu nona. Ucapanku tadi pun ada hubungannya dengan urusan ini. Kukatakan tadi bahwa tugasku pertama-tama membela negara. Urusan Tiong Kiat mudah diselesaikan kemudian kalau tugas pertama ini sudah selesai. Aku adalah seorang utusan dari jenderal Gak. Kau ikutlah dengan aku menjumpai Oei Sun dan kaki tangannya. Aku ditugaskan untuk membujuk mereka menyerah agar tidak terjadi perang antara bangsa sendiri. Setelah itu kita bersama mengejar Tiong Kiat. Bagaimana pikiranmu? Kalau kau pergi sekarang mengejar akan mengacaukan dan menggagalkan rencanaku karena fihak pemberontak tentu akan menjadi geger dan mencurigaiku.”

Eng Eng berpikir sebentar, kemudian ia mengangguk. "Baiklah, saudara Sim, aku turut nasihatmu."

Tiong Han tersenyum. "Nona, dulu ketika bertemu, kau menyatakan hendak menyebut twako kepadaku, akan tetapi sekarang agaknya kau telah lupa akan sebutan itu. Tak enak melihat kau berlaku sungkan-sungkan lagi setelah kita menjadi sahabat baik."

Gadis itu tersenyum dan tanpa menjawab ia lalu melangkah maju, bersama dengan pemuda itu menuju ke arah tenda-tenda yang kini nampak terang di bawah sinar matahari.

Tenda yang ditempati oleh Oei Sun adalah tenda atau kemah di tengah-tengah yang paling besar. Di depannya terdapat sebuah bendera besar dengan huruf OEI yang besar pula, berkibar-kibar tertiup angin. Kemah yang besar ini dikelilingi oleh lima buah kemah lain yang menjadi tempat tinggal Go bi Ngo koai tung. Ada pun Tiong Kiat biasanya bermalam di dalam kemah terbesar bersama Oei Sun, atau seperti seringkali terjadi, ia bermalam di kemah lain, tentu bersama Ang Hwa!

Ketika Tiong Han dan Eng Eng tiba di perkemahan paling depan mereka disambut oleh barisan penjaga pertama yang segera menodong mereka dengan tombak. Tadinya para penjaga itu merasa ragu-ragu dan menyangka bahwa pemuda ini tentu Sim ciangkun yang menyamar akan tetapi melihat sikap pemuda ini berbeda dari Sim ciangkun mereka lalu berlaku hati hati dan membentak,

"Siapakah kalian dan ada keperluan apa datang ke sini?”

Tiong Han tidak mau banyak cakap, lalu mengeluarkan bendera putihnya. Para penjaga terkejut dan seorang di antaranya cepat-cepat memberi laporan ke dalam. Kemudian keduanya dipersilakan masuk melalui perkemahan pertama. Tiong Han menjadi heran mengapa agaknya para penjaga itu belum tahu akan kedatangannya. Apakah Tiong Kiat belum memberi laporan kepada pimpinan pemberontak?

Akan tetapi ia tidak banyak cakap dan berjalan terus dengan sikap waspada. Ia memegangi bendera putih itu di depan dadanya sedangkan Eng Eng dengan gagah sekali berjalan di belakang Tiong Han. Gadis ini menyimpan pedang di punggung dan nampak cantik dan gagah sehingga para penjaga memandangnya dengan kagum.

Setelah melalui beberapa lapis penjaga akhirnya mereka tiba juga di barisan tenda Go-bi Ngo Koai-tung yang mengelilingi tenda tempat tinggal Oei Sun. Di sana sini nampak perajurit berdiri menjaga bagaikan patung. Ternyata penjagaan dilakukan amat rapi dan teguh.

Tidak seperti pada lapisan-lapisan perkemahan di luar, di sini mereka tidak di sambut oleh penjaga-penjaga, bahkan para penjaga yang berdiri menjaga bagaikan patung tidak bergerak sama sekali seakan-akan tidak melihat mereka, Tiong Han menjadi ragu-ragu.

Jalan untuk memasuki lingkungan tenda itu tidak ada, karena antara tenda satu dengan yang lainnya, yakni antara lima buah tenda tempat tinggal Go-bi Ngo-koai tung dipasangi tali yang menghubungkan yang Iain dan juga merupakan penghalang bagi mereka yang hendak masuk. Akan tetapi dari luar, Tiong Han dan Eng Eng dapat melihat bendera yang bertuliskan huruf OEI. Adapun pada tenda yang lima buah banyaknya itu dipasangi bendera bendera hitam yang model bentuknya menyeramkan seperti bendera yang biasa dipergunakan oleh pendeta-pendeta untuk mengusir roh jahat.

"Bagaimana kita harus masuk!" Kata Tiong Han perlahan kepada Eng Eng.

"Putuskan saja tali yag menghalang ini," kata gadis itu.

Tiong Han menggeleng kepala. "Seorang utusan tidak boleh berlaku kasar dan menghina tuan rumah, sebaliknya tuan rumah juga tidak boleh menghina utusan lawan."

Setelah berkata demikian, Tiong Han mengumpulkan khikangnya, lalu berseru, "Utusan dari Gak goanswe telah tiba, mohon menghadap kepada pemimpin she Oei!"

la sengaja tidak mau menyebut Oei ciangkun, karena setelah menjadi pemberontak otomatis ia tidak bisa menganggap orang she Oei itu sebagai perwira lagi. Suara yang dikeluarkan oleh Tiong Han ini bergema sampai jauh. Sampai lama mereka menanti, barulah terdengar jawaban dari dalam tenda Oei Sun.

"Utusan Gak goanswe silakan masuk saja. Tenda kami tidak berapa tinggi!”

Tiong Han memandang ke atas. Hem, mereka sengaja menguji kepandaiannya, pikirnya, ia memberi isyarat kepada Eng Eng, kemudian mereka lalu mengenjot tubuh, melompat ke atas tenda yang berbendera hitam itu. Gerakan mereka bagaikan dua ekor burung walet saja gesitnya. Setelah berdiri di atas tenda itu, Tiong Han lalu melompat turun ke dalam diikuti oleh Eng Eng yang masih terus berada di belakangnya!

Sepasang orang muda ini benar-benar nampak gagah dan elok ketika mereka melompat turun tanpa mengeluarkan suara. Keadaan di situ sunyi saja, akan tetapi perasaan mereka memberitahukan bahwa diam-diam banyak mata mengikuti gerak-gerik mereka. Tiong Han dan Eng Eng menghampiri pintu tenda terbesar yang masih tertutup. Mereka berdiri, tidak berani masuk.

"Masuklah saja, kami telah menanti kedatanganmu!" Suara tadi terdengar lagi dari dalam tenda.

"Hati-hati, nona Eng Eng" bisik Tiong Han dan sambil membawa bendera putih yang tadi dimasukan dalam saku ketika ia melompati tenda, lalu membuka pintu tenda besar itu. Dengan gagah ia berjalan masuk diiringi oleh Eng Eng.

Ternyata di dalam tenda itu telah duduk enam orang, yakni Oei Sun dan Go-bi Ngo koai-tung yang kesemuanya pernah dilihat oleh Eng Eng dan Tiong Han.

Oei Sun tertawa bergelak, lalu berkata, "Aah, tidak tahunya saudara Sim Tiong Han dan nona Suma Eng yang menjadi utusan dari Gak goanswe! Ini namanya berurusan dengan sahabat-sahabat lama. Bagus, bagus!”

"Menurut pendapatku, kita bukan sahabat-sahabat. Cuwi (tuan-tuan sekalian) adalah pemimpin pemimpin pemberontak, adapun kami berdua adalah utusan dari Jenderal Gak pemimpin balatentara kerajaan." jawab Tiong Han dengan tegas karena ia hendak menyatakan bahwa tak mungkin dengan dia dan Eng Eng dapat diadakan persekutuan!

"Bukan sahabat juga tidak mengapa " Thian It Tosu berkata dengan senyum menyindir, "kamipun tidak suka menjadi sahabat dari orang-orang yang pernah kami kalahkan."

Tiong Han dan Eng Eng merasa panas, akan tetapi karena merasa Tiong Han maklum bahwa mereka itu memancing 'suasana panas' agar ia sebagai utusan melakukan pelanggaran dan kekerasan, hanya tersenyum saja dan tidak mau menjawab.

"Kau datang sebagai utusan membawa kabar apakah? Apakah Jenderal Gak mengajak damai?"

"Memang mengajak damai, hanya dengan satu syarat, yakni supaya kau dan semua bekas pemimpin Pek Iian kauw dan pemimpin-pemimpin pemberontak menyerahkan diri untuk dibawa ke kota raja. Dengan begitu, barulah barisanmu akan diampuni. Kalau tidak, kepungan akan lakukan terus sampai kalian kehabisan ransum sama sekali!"

Bukan main marahnya hati Oei Sun mendengar ini akan tetapi ia dapat menyembunyikan kemarahannya di balik ketawanya yang bergelak-gelak. "Ha, ha, ha, lucu sekali kau ini. Orang macam kau bisa dijadikan utusan. Ha ha ha. Ingin aku melihat bagaimana pendapat Sim-ciangkun melihat kakaknya yang menjadi pelawak ini. Penjaga! Coba kau cari Sim ciangkun dan panggil dia ke sini!" teriaknya kepada penjaga yang segera memberi hormat dari luar dan pergi. Kemudian Oei Sun berkata lagi kepada Tiong Han.

"Apakah Gak-goanswe berani menjamin bahwa aku dan kawan-kawanku takkan dihukum apabila kami sudah dibawa ke kota raja?"

“Hal ini tentu saja Gak-goanswe tidak dapat menjamin. Tergantung kepada keputusan Hong-siang sendiri." jawab Tiong Han, sementara itu, pemuda ini dan juga Eng Eng merasa heran mengapa Tiong Kiat tidak berada di situ dan bahkan tidak kelihatan sehingga dicari oleh Oei Sun.

"Kalau jenderal Gak mau membuka jalan untuk kami melarikan diri dari kepungan, kami suka meninggalkan barisan dan tidak melakukan perlawanan lagi" kata Oei Sun.

"Akan kusampaikan permintaan ini." jawab Tiong Han "Akan tetapi kurasa sia-sia belaka karena jenderal Gak adalah seorang yang memegang teguh disiplin. Membebaskan pemimpin pemberontak berarti sebuah pelanggaran yang besar!"

Pada saat itu, dengan wajah pucat masuklah tiga orang suku bangsa Ouigour yang melaporkan bahwa Huayen-khan dan Ang Hwa didapatkan telah mati terbunuh di dalam hutan. Oei Sun berseru keras sambil mencabut goloknya, demikian pula Go bi Ngo koai tung bangkit sambil meloloskan tongkat mereka. Ketika Oei Sun mengeluarkan suitan keras, sebentar saja kemah itu telah dikepung oleh barisan yang banyak sekali!

"Sim Tiong Han! Kau benar-benar utusan yang tidak patut! Bagaimana kau berani membunuh Huayen khan dan Ang Hwa? Kau melanggar peraturan!"

"Bukan kami yang membunuh mereka," jawab Tiong Han dengan tenang, "yang membunuh mereka adalah pembantumu yang bernama Sim Tiong Kiat!"

Oei Sun dan Go bi Ngo-koai tung saling pandang.

"Kalau begitu bangsat itu telah berkhianat!" kata Thian lt Tosu dan dengan suara menyesal ia berkata kepada Oei Sun. "Apa kataku dulu? Tidak baik mempercayai orang jahat itu. Tangkap yang dua ini sekalian si bangsat she Sim agar dapat kita pergunakan sebagai orang tahanan dan pembuka jalan kita melarikan diri!"

Eng Eng berseru keras dan mencabut pedang merahnya. Sedangkan Tiong Han pun bersiap sedia dan berkata kepada Eng Eng, "Nona, mari keluar!”

la menarik tangan Eng Eng dan keduanya melompat keluar dari tenda ini. Di luar mereka telah dicegat oleh banyak sekali tentara yang terdiri dari perwira-perwira pemberontak, yakni sebagian besar bekas orang orang Pek-lian-kauw yang diangkat oleh Oei Sun.

Eng Eng memutar pedangnya dan Tiong Han lalu mengeluarkan kepandaiannya. Biarpun ia bertangan kosong, akan tetapi kehebatan sepak terjangnya tidak kalah oleh Eng Eng yang berpedang. Tiap kali tangannya mengena tubuh lawan, berteriaklah lawan itu dan roboh tak dapat bangun lagi.

"Mundur semua, biarkan kami menangkap mereka!" Oei Sun berseru keras dan para pengeroyok itu mundur cepat-cepat, mengatur barisan kepungan sehingga tidak memungkinkan dua orang itu melarikan diri.

Tiong Han menendangi tubuh para pengeroyok yang tadi sudah roboh sehingga ia dan Eng Eng mendapatkan tanah lapang cukup luas. Dari dalam tenda muncul lima orang tosu itu bersama Oei Sun yang bergerak menyerang mereka.

Eng Eng menyambut Oei Sun dan karena Oei Sun sudah pernah merasai kelihaian gadis ini, maka ia minta tolong kepada Thian It Tosu yang segera membantunya. Adapun Tiong Han yang bertangan kosong menghadapi keroyokan Thian Ji Tosu dan tiga orang adik seperguruannya. Pertempuran berjalan seru sekali. Eng Eng yang dikeroyok dua dapat mengimbangi permainan kedua lawannya.

Pedangnya bagaikan seekor naga merah menyambar-nyambar di antara tongkat dan golok kedua lawannya. Akan tetapi ia merasa betapa lihai permainan tongkat dari Thian It Tosu. Kalau saja tidak dibantu oleh Oei Sun, agaknya sanggup ia mendesak tosu ini. Akan tetapi golok besar Oei Sun juga tidak boleh di pandang ringan, sehingga gadis ini harus bertempur dengan hati-hati sekali.

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Adapun Tiong Han, dengan menggunakan ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari Pat jiu Toanio dan Lui-kong-jiu, dapat mengimbangi permainan tongkat keempat orang pengeroyoknya bahkan ia mulai mendesak mereka dengan angin pukulannya yang lihai. Kalau lawan-lawannya kurang hati-hati, baru terkena sambaran pukulannya saja tentu akan terluka. Empat orang tosu itu maklum akan kelihaian pemuda ini, maka mereka selalu menjauhkan diri dan hanya mempergunakan tongkat untuk menyerang sambil mengepung.

Yang membuat Tiong Han dan Eng Eng gelisah adalah kepungan para perwira yang makin lama datang makin banyak itu. Ratusan orang mengepung tempat itu dan mereka tahu bahwa di situ masih ada ribuan orang tentara lagi. Bagaimana mereka bisa keluar dari situ dengan selamat?

Beberapa orang perwira yang berkepandaian lumayan, mulai masuk pula dalam kalangan pertempuran sehingga kini Eng Eng dikeroyok oleh lima orang dan Tiong Han menghadapi tujuh orang pengeroyok. Terpaksa pemuda ini menggunakan kepandaiannya untuk merobohkan seorang perwira, dan dengan pedang Hui-liong kiam yang tadi dirampas dari Tiong Kiat, ia lalu mengamuk dengan pedang di tangan kanan dan pukulan di tangan kiri masih mainkan ilmu silat Kong-jiu-cap-ji-kun!

Bukan main ramainya pertempuran itu. Sudah beberapa orang perwira lagi roboh oleh amukan Tiong Han dan Eng Eng, akan tetapi kedua orang muda ini tetap saja masih belum berhasil merobohkan Go-bi Ngo-koai-tung dan Oei Sun, pengeroyok-pengeroyok yang paling berbahaya.

Kini keadaan Tiong Han dan Eng Eng mulai berbahaya. Perwira-perwira yang jatuh ditarik mundur dan diganti oleh perwira Iain yang kepandaiannya lumayan juga. Kedua orang muda itu mulai menjadi lelah! Dan Go-bi Ngo koai tung mulai kemak kemik membaca mantera untuk mempergunakan hoatsut (ilmu sihir) guna merobohkan dua orang lawan muda yang lihai ini!

"Semua mundur biarkan kami menjatuhkan mereka!" kembali Thian lt Tosu berseru keras dan para perwira lalu mengundurkan diri. Sambil menunjuk ke arah Eng Eng, tosu ini lalu mengerahkan tenaga batinnya dan berseru,"Rebah engkau… rebah…!"

Eng Eng merasa tiba-tiba kepalanya pening dan ia mulai terhuyung-huyung! Permainan pedangnya kacau balau dan hampir saja ia celaka. Tiong Han terkejut sekali dan cepat ia melompat ke dekat gadis itu sambil berseru,

"Eng moi!" Seruan ini keluar dari hati yang amat gelisah, mengandung kasih sayang dan kekuatiran atas diri gadis yang dicintanya itu!

Aneh sekali begitu telinga Eng Eng mendengar panggilan ini, seketika itu juga lenyaplah rasa pening dan mabok. Alangkah mesra dan merdunya suara panggilan dari Tiong Han itu. Jantungnya berdebar, darahnya berdenyut keras dan terusirlah pengaruh hoatsut yang dijalankan oleh Thian It Tosu! Ia mengamuk lagi dengan hebat setelah mengerling dan melempar senyum manis ke arah Tiong Han!

"Han-ko, jangan takut akan segala ilmu siluman ini!" katanya dan bagi Tiong Han kata-kata gadis ini merupakan panambahan semangat yang luar biasa sehingga kembali ia dapat mendesak keempat orang pengeroyoknya, sehingga kembali para perwira yang tadi mundur kini maju lagi mengeroyok. Akan tetapi mereka itu hanya menjadi seperti kupu-kupu mendekati api lilin. Baru saja masuk, beberapa orang telah menjadi korban lagi!

Betapapun juga, Eng Eng dan Tiong Han mulai menjadi lelah dan peluh telah mengalir membasahi seluruh tubuh mereka. Tiong Han telah berhasil merobohkan Thian Sam Tosu dan Thian Ngo Tosu, orang ketiga dan kelima dari Go bi Ngo koai-tung. Akan tetapi jumlah pengeroyok makin bertambah.

Adapun Eng Eng, biarpun telah banyak merobohkan perwira yang mengeroyok, namun masih amat sukar baginya untuk menjatuhkan Oei Sun dan Thian It Tosu. Tosu ini tidak dapat mempergunakan hoatsutnya lagi setelah beberapa kali dicobanya tidak mempan, bahkan ia lalu mengomel keras.

"Keparat, tidak tahunya saling mencinta lagi dua ekor tikus ini!"

Ucapan dan Thian It Tosu ini membuat Tiong Han dan Eng Eng menjadi merah mukanya, karena mereka maklum bahwa yang dimaksudkan oleh Thian lt Tosu tentu mereka. Agaknya rasa cinta yang tumbuh di dalam hati kedua orang muda di dalam bahaya ini merupakan daya penahan atau penolak yang amat kuat bagi serangan ilmu hitam dari tosu itu tadi!

Pada saat Eng Eng dan Tiong Han mulai terdesak, tiba-tiba terjadi geger di luar kepungan dan teriakan-teriakan keras. "Api…api… Gudang ransum kebakaran…! Ah... tenda-tenda mulai kebakar… tolong! Kebakaran!"

Keadaan menjadi kacau balau. Benar saja, mulai nampak asap bergulung-gulung dan api mengamuk hebat, membakari tenda-tenda yang seperti jamur di bawah itu. Para pengeroyok menjadi panik dan ketakutan, bahkan banyak yang meninggalkan tempat itu untuk menolong tenda mereka sendiri.

Dan tiba-tiba, sebuah bayangan biru berkelebat dengan cepatnya, didahului oleh cahaya merah dan tahu-tahu Thian Ji Tosu dan Thian Su Tosu, orang kedua dan keempat yang mengeroyok Tiong Han roboh mandi darah.

"Tiong Kiat...!" Tiong Han berseru, ketika melihat pemuda yang kini sudah berganti pakaian biru-biru itu.

"Sim ciangkun… kau… pengkhianat!" Oei Sun berseru keras dengan amat marahnya, lalu meninggalkan Eng Eng dan menyerang Tiong Kiat dengan goloknya.

"Jahanam besar, sekarang kau binasa!" Eng Eng ikut berteriak dan melompat ke arah Tiong Kiat, menyerang dengan pedangnya ditusukkan ke arah lambung Tiong Kiat yang sedang menangkis golok Oei Sun.

Tiong Kiat mengelak cepat sambil berteriak. "Nona Suma, awas serangan gelap!"

Akan tetapi terlambat, Eng Eng yang hanya mencurahkan perhatiannya kepada Tiong Kiat telah meninggalkan Thian It Tosu dan tidak memperdulikannya lagi. Kesempatan baik ini dipergunakan oleh Thian It Tosu. Ketika dilihatnya Eng Eng berbalik menyerang Tiong Kiat, tosu ini mengeluarkan sebatang Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) dan disambitkan ke arah Eng Eng. Gadis itu mengeluh, dan cepat meraba pangkal lengan kirinya yang dirasa amat sakit dan gatal. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa kepalanya pening dan robohlah ia dengan tubuh lemas!

"Thian It totiang, kau tahanlah pengkhianat ini!" seru Oei Sun yang segera diturut oleh Thian lt Tosu. Oei Sun sendiri setelah Tiong Kiat dihadapi oleh Thian It Tosu, lalu melompat ke arah Eng Eng, menyambar tubuh gadis ini dengan tangan kanan dan menjemput pedang merah gadis itu dengan tangan kiri, lalu melarikan diri!

"Bangsat lepaskan dia!" teriak Tiong Han akan tetapi lebih dari sepuluh orang perwira menghadangnya sehingga terpaksa ia membabat mereka dalam amukan hebat.

Tiong Kiat dengan marah sekali lalu mainkan ilmu silat pedang Ang coa kiamsut yang paling tinggi, dan Thian It Tosu yang sudah tua dan sudah lelah itu tidak dapat menangkis lagi. la berseru keras dan roboh dengan dada tertembus pedang Ang-coa-kiam!

"Han-ko jangan khawatir, aku akan menolong nona Suma Eng!" seru Tiong Kiat yang cepat mengejar ke arah Oei Sun melarikan diri tadi.

Tiong Han tak dapat membantah karena ia sendiri sedang dikepung dan tidak kuasa melakukan pengejaran. Terpaksa ia mengamuk dan sebentar saja mayat bekas pemimpin Pek-lian-kauw bergelimpangan di sekitarnya.

Sementara itu, Jenderal Gak yang tidak melihat Tiong Han kembali dan mendengar laporan bahwa di tempat markas besar pemberontak yang terkepung itu nampak asap mengepul segera memerintahkan pasukannya bergerak menyerbu!

Tiong Han yang mengamuk seperti naga terluka itu hampir saja roboh saking lelahnya ketika barisan Jenderal Gak sudah tiba di situ.

"Menyerahlah semua! Jangan kena dibujuk dan ditipu oleh pemimpin kamu orang-orang Pek-lian-kauw!"

Tiong Han dan Jenderal Gak dibantu oleh panglima-panglima lain mengerahkan tenaga khikang berteriak-teriak kepada para pemberontak. Tak lama kemudian, para pemberontak yang sudah terkepung dan kehilangan pimpinan itu lalu melemparkan senjata dan menyerah.

Tiong Han biarpun masih lelah, biarpun ditahan oleh Jenderal Gak, memaksa pergi sambil berkata singkat, "Maaf, goanswe, saya masih mempunyai urusan penting sekali yang harus diselesaikan!" Setelah berkata demikian, dengan pedang Hui liong kiam di tangan, ia lalu berlari secepat mungkin mengejar ke utara!

Ketika tiba di tepi Sungai Sungari yang lebar ia melihat dua buah perahu terapung-apung. Ternyata bahwa di dalam perahu yang tidak beratap ia melihat Eng Eng rebah miring seperti orang tidur, sedangkan seorang pemuda baju biru berlutut di dekatnya sambil memegangi lengan kirinya. Ternyata pemuda itu adalah Tiong Kiat yang sedang memeriksa luka di lengan Eng Eng!

Ketika tadi Tiong Kiat mengejar, ternyata Oei Sun telah mendapatkan seekor kuda dan melarikan Eng Eng dengan amat cepatnya ke utara. Maksud Oei Sun melarikan Eng Eng ialah untuk dijadikan tanggungan agar ia dapat melarikan diri. Benar saja, ketika ia bertemu dengan tentara mengepung di sebelah utara, ia dapat mengancam mereka, akan membunuh Eng Eng kalau tidak diberi jalan. Di antara para perwira ada yang sudah mengenal Eng Eng, maka terpaksa mereka melepaskan Oei Sun pergi.

Tiong Kiat menjadi marah sekali dan biarpun tentara pengepung menghadangnya, ia mengamuk dan dapat merobohkan beberapa orang tentara kerajaan dan dapat lolos dari kepungan, lalu melanjutkan pengejarannya!

Ternyata bahwa Tiong Kiat-lah yang tadi melepas api dan membakari gudang ransum dan tenda-tenda. Pemuda ini demikian sakit hati karena telah ditipu dan dibujuk sehingga ia membalas dendam dengan hebatnya. Kini biarpun ia amat lelah, ia memaksa diri untuk melakukan pengejaran terhadap Oei Sun yang menggendong pergi tubuh Eng Eng yang terluka.

Oei Sun tiba di tepi Sungai Sungari dengan selamat. Ia merampas sebuah perahu dengan mendorong nelayannya ke sungai, kemudian ia meletakkan tubuh Eng Eng di atas perahu dan mendayung perahu itu ke tengah sungai.

Ia tidak tahu bahwa diam-diam Tiong Kiat mengikuti gerak-geriknya, dan tanpa diketahui oleh Oei Sun, Tiong Kiat lalu menceburkan diri ke dalam sungai dan berenang menghampiri perahu itu. Alangkah kagetnya hati Oei Sun ketika tiba-tiba muncul kepala Tiong Kiat di pinggir perahunya!

Sebelum ia dapat menyerang, Tiong Kiat telah melompat ke dalam perahu dan dalam beberapa gerakan saja Oei Sun roboh ke dalam sungai dengan kepala terbelah oleh pedang Ang-coa-kiam!

Tiong Kiat cepat minggirkan perahu itu. Beberapa orang nelayan yang melihat peristiwa ini menjadi ketakutan dan melarikan diri, meninggalkan perahu-perahu mereka sehingga di situ banyak terdapat perahu-perahu kosong di tepi sungai bergolek-golek tanpa penumpang dan terikat pada sebatang patok. Tiong Kiat segera memeriksa luka di lengan Eng Eng dan merobek baju pada lengan yang luka itu.

Melihat jarum hitam itu masih menancap, ia lalu mencabutnya dan berkerutlah keningnya melihat betapa luka itu menghitam dan membengkak. Ia lalu mendekatkan mulutnya dan dihisapnya luka itu sehingga darah yang hitam membeku keluar dari luka itu ke dalam mulutnya.

Beberapa kali ia menyedoti luka di lengan itu dan sebagai orang yang sudah lama bergaul dengan Thian It Tosu, ia membawa obat penawar Hek tok-ciam. Diambilnya obat penawar yang berupa bubuk putih yang sudah basah kuyup itu, lalu ditempelkan di atas luka setelah darah yang terkena racun telah disedotnya habis. Ia membalur luka itu dengan kain pengikat kepalanya.

Pada saat itu Eng Eng sadar akan tetapi masih pening. Gadis itu memandang muka pemuda yang berlutut di dekatnya, lalu berbisik lemah.

"Han-ko… kau baik sekali… alangkah jauh bedanya dengan adikmu yang jahat..." Lalu gadis itu meramkan lagi kedua matanya dan bibirnya yang manis tersenyum.

Dua titik air mata melompat keluar dari mata Tiong Kiat ketika ia mendengar bisikan ini. la merasa ulu hatinya seperti ditikam pedang. Ia menyambar pedang Ang coa kiam, mengamat-amatinya lalu berdiri di pinggir perahu. Dengan muka pucat ia menengadah, lalu berkata keras.

"Ayah, aku juga seorang perwira... seorang perwira gagah…" Lalu ia menggerak-gerakkan pedang sambil bernyanyi, nyanyian yang dulu ketika kecil sering ia nyanyikan bersama Tiong Han.

Pedang telanjang di tangan berlumur darah musuh jahanam!

Anak panah beterbangan bagai maut mengintai nyawa!

Pasukan musuh di mana?

Serbu…! Maju gembira!

Inilah tugas tiap ksatria!

Mati? Hanya gugur bagai bunga.

Aku hanya ingin menang... menang!

Biar takkan mendapat jasa

Biar takkan menerima pahala.

Tidak perduli, aku ingin menang!

Aku ingin menjadi pahlawan

Seperti ayah seperti ayah…!


Air mata turun bagaikan hujan dari kedua matanya ketika berkali-kali ia menyebut bait terakhir. "Seperti ayah… seperti ayah…!”

“Ayah, aku ingin seperti engkau…akan tetapi aku… aku perwira pemberontak! Ha ha ha... perwira pemberontak harus mampus!"

Setelah tertawa seperti mayat hidup, ia mengerak-gerakkan pedang Ang-coa-kiam ke arah lehernya.

"Tiong Kiat…!" terdengar seruan keras dari pinggir sungai dan Tiong Han datang berlari-lari. Pemuda inipun menumpahkan air mata ketika ia mendengar adiknya bernyanyi tadi.

Tiong Kiat menahan pedangnya dan menoleh. "Han-ko, kau perlu hidup, Eng Eng mencintaimu. Berbahagialah kau dengan dia, Han-Ko!"

Pada saat Tong Kiat berkata demikian Eng Eng baru saja sadar dan gadis ini mulai bangkit dan duduk. Akan tetapi Tiong Kiat tidak melihat lagi karena ia telah mengayun pedang yang kini menancap ke dadanya dan tubuhnya beserta pedang itu terjungkal ke dalam air yang dalam!

Tiong Han melompat ke dalam perahu dan hanya melihat air sedikit kemerahan. Ia berjongkok dan dengan saputangannya, dihapus tiga titik darah dari Tiong Kiat yang tadi jatuh di atas papan perahu. Kemudian ia menyimpan saputangan itu untuk bukti kepada suhunya kelak dan duduk menghadapi Eng Eng.

Perahu itu bergerak perlahan terbawa aliran air Sungai Sungari. Angin senja bertiup perIahan, bermain-main dengan rambut kepala Eng Eng yang berjuntai dengan kacau di atas jidatnya.

"Kau sudah mendengar ucapan terakhir dari Tiong Kiat?" tanyanya.

Eng Eng mengangguk diam. Akhirnya ia bertanya, "Kita ke mana, Han-ko?"

Tiong Han terkejut menjawab. "Ke mana...? Ke… pantai bahagia, Eng-moi kau bersedia bukan?"

Kembali Eng Eng mengangguk diam. Keduanya menikmati rasa bahagia tanpa banyak cakap, perahu meluncur terus dengan lancar!

T A M A T

SERI SELANJUTNYA: PEDANG PUSAKA NAGA PUTIH

Pedang Ular Merah Jilid 24

PEDANG ULAR MERAH JILID 24

Tiba-tiba Tiong Kiat berkata sambil menangkap tangan Ang Hwa. "Nona Suma... sungguh mati, perempuan ini tidak ada artinya bagiku! Di dunia ini... hanya kau seorang yang boleh memenuhi ruang hatiku. Perempuan ini...? Hm, dia bukan lain adalah seorang perempuan lacur yang hina dina. Aku membunuh Huayen khan karena dia seorang pengkhianat, sama sekali bukan karena perempuan ini!"

Ketika Tiong Kiat melihat betapa Eng Eng tersenyum menghina dan mengejek, ia menyambung kata-katanya. "Kau tidak percaya? Lihat, perempuan ini sesungguhnya bukan apa-apa bagiku!”

Dan secepat kilat Tiong Kiat menggerakkan Ang coa kiam dan sebelum Ang Hwa yang semenjak tadi mendengarkan ucapan Tiong Kiat dengan wajah pucat dan mata terbelalak itu dapat mengetahui gerakan pemuda ini, pedang Ang coa kiam di tangan Tiong Kiat telah membabat lehernya!

Ang Hwa tak sempat mengeluarkan sedikitpun suara dan tubuhnya roboh tergelimpang di dekat mayat suaminya dalam keadaan tak bernyawa lagi dan lehernya hampir putus!

"Bangsat she Sim! Jangankan baru kau membunuh anjing betina ini yang sama kotornya dengan engkau, biar kau membunuh ayah bundamu sendiri dihadapanku tetap saja kebencianku terhadapmu takkan berkurangl Kau harus mampus!"

"Suma Eng... sungguh kau kejam dan keterlaluan! Kau tahu bahwa aku cinta kepadamu. Aku telah merobah hidupku, lihat, bukankah aku telah menjadi seorang perwira kerajaan? Bukankah aku telah memilih jalan yang benar? Mengapa kau masih saja membenciku? Eng Eng, lupakanlah urusan dahulu dan berilah kesempatan kepadaku untuk menebus dosa. Katakan bahwa kau suka menjadi istriku, dan aku akan menurut apa saja yang kau kehendaki."

"Bangsat rendah bermulut kotor! Jangan kau berani sebut-sebut hal itu lagi. Kau telah mencemarkan nama orang tuamu, nama perguruanmu, bahkan kau telah mencelakakan kehidupan kakakmu yang amat berbudi dan mencintaimu, kau... kau manusia rendah...!"

"Ha, agaknya kau lebih suka kepada kakakku dari pada kepadaku?" pertanyaan Tiong Kiat ini terdengar penuh cemburu sehingga Tiong Han yang mendengarkan percakapan itu merasa mukanya panas dan warna merah menjalar dari leher ke mukanya.

"Tutup mulutmu! Dia seribu kali lebih berharga dari pada engkau! Untuk menggosok sepatunya saja kau masih terlalu kotor, jangankan menjadi adiknya, tahu?"

"Eng Eng kau terlalu…"

"Siapa yang terlalu? Kau seorang rendah, seorang hina dan sekarang menjadi pemberontak pula!"

"Pemberontak? Apa maksudmu? Eng Eng kalau orang sudah membenci, selalu buruk saja pandangannya. Aku bukan pemberontak, aku bahkan melawan pemberontak she Gak itu dan…"

"Bangsat lihat pedang!" Eng Eng tidak sabar lagi dan cepat menyerang dengan pedangnya. Ucapan Tiong Kiat tadi dianggapnya sebagai bujukan belaka. Mana bisa jenderal Gak disebut pemberontak?

Tiong Kiat menangkis dengan pedang Hui liong-kiam di tangan kirinya. Dengan dua batang pedang di tangan, ia selalu menghindarkan diri dari serangan gadis itu yang mendesak dengan hebat. Diam-diam Tiong Han memuji kepandaian adiknya itu. Tiong Kiat dengan kedua tangan memegang pedang, sanggup memainkan Ang-coa-kiamsut dengan dua pedang itu!

"Sungguh benar kata-kata suhu dulu bahwa dia memang berbakat sekali." kata Tiong Han dalam hatinya.

Ia harus akui bahwa dia sendiri tak mungkin dapat mainkan Ang-coa-kiamsut sekaligus dengan dua batang pedang. Akan tetapi, sekarang ia sanggup untuk menghadapi Tiong Kiat, biarpun dengan tangan kosong setelah ia digembleng oleh Pat jiu Toanio dan Lui-kong jiu. Melihat betapa Eng Eng tak mungkin dapat merobohkan Tiong Kiat yang menangkis sambil mundur, agaknya hendak memancing gadis itu ke arah markas besar Tiong Han lalu melompat keluar.

"Tahan dulu!” katanya lalu tahu-tahu tubuhnya telah berada di depan Tiong Kiat. Ia hendak mempraktekkan gerakan Lutung Sakti Memetik Buah yang ia pelajari dari Pat jiu Toanio untuk merampas pedang.

Tiong Kiat mencoba untuk menarik kembali pedang di tangan kirinya, akan tetapi ternyata kalah cepat, ia hanya mengerahkan tenaganya dan memegang pedang Hui-liong-kiam itu erat erat karena kalau sampai pedang itu direbut, belum tentu lawan akan berhasil merenggutnya. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa Tiong Han mempergunakan ilmu silat baru.

Tiba-tiba ia merasa pergelangan tangan kirinya lemas dan otomatis pegangannya terbuka sehingga pedang itu tahu-tahu sudah pindah ke tangan Tiong Han! Tiong Kiat terkejut dan heran, akan tetapi sifat sombongnya keluar dan sambil tersenyum-senyum ia berkata,

"Ambillah, memang itu pedangmu!"

Sementara itu ketika melihat Tiong Han, wajah Eng Eng berseri sebentar, akan tetapi segera ia menghadapi segala gerak-gerik dari Tiong Kiat lagi, dengan marah sambil berkata kepada Tiong Han.

"Aku yang mendapatkannya lebih dulu, maka aku yang hendak membunuhnya."

“Maaf, nona Suma, sekarang bukan waktunya untuk mengurus urusan pribadi. Aku datang sebagai utusan dari Jenderal Gak untuk melakukan pembicaraan dengan Oei Sun dan kaki tangannya.” Kemudian ia memandang dengan tajam kepada Tiong Kiat.

"Kau tentu kaki tangan Oei Sun pula, bukan?" Suaranya mengandung penyesalan dan juga ejekan, lalu disambungnya.

"Pergilah sampaikan kepada Oei Sun bahwa aku utusan Gak-goanswe sengaja datang untuk bertemu dan bicara !" Sambil berkata demikian, Tiong Han lalu mencabut sehelai kain putih yang merupakan bendera tanda utusan dari Gak goanswe. Tentu saja Tiong Kiat memandang dengan mata terbelalak. Wajahnya menjadi pucat seperti melihat setan di tengah hari.

"Engko Tiong Han"

"Tutup mulut! Jangan menyebut engko, aku bukan saudaramu! Kau seorang perwira pemberontak dan aku seorang utusan dari tentara kerajaan! Lekas kau melaporkan kedatanganku, ataukah aku sendiri harus masuk ke sana?” Ia menunjuk ke arah bayangan tenda di kejauhan.

Tiong Kiat menggigil seluruh tubuhnya. "Apakah artinya ini?? Tiong Han… demi kehormatan ayah... demi Tuhan, katakanlah, apa artinya ini? Benar-benarkah Oei ciangkun memimpin barisan pemberontak, bukankah jenderal she Gak itu yang memberontak?"

"Kebiasaan jahat mendatangkan pemandangan yang sempit dan jiwa yang hampa!" kata Tiong Han. "Entah kau berpura-pura atau tidak, akan tetapi sungguh amat lucu kalau tidak tahu bahwa Oei Sun yang bersekutu dengan Huayen-khan adalah pemberontak-pemberontak keji yang patut dibasmi! Sungguh menyebalkan mendengar orang berkata bahwa Jenderal Gak yang gagah perkasa adalah seorang pemberontak. Pemutarbalikan yang tidak kenal malu! Siapa tidak tahu bahwa pemberontak Oei Sun adalah bekas tokoh Pek-lian-kauw dan bahwa dia dibantu oleh lima orang bekas pemimpin Pek-Iian-kauw yang kini bernama Go bi Ngo-koai-tung? Entah matamu yang buta, entah batinmu yang sudah tak dapat melihat lagi."

Makin pucat wajah Tiong Kiat mendengar ini dan bibirnya bergetar. Sukar sekali ia dapat mengeluarkan kata-kata, akan tetapi akhirnya dapat juga ia berkata, "Tiong Han... demi mendiang ayah kita… tidak bohongkah kau? Bersumpahlah...!"

"Aku bukan seperti kau, tak sudi berbohong dan tak perlu bersumpah."

Mendengar ini, terdengar isak tangis tertahan dari dada Tiong Kiat. la membanting-banting kaki beberapa kali kemudian membalikkan tubuh terus berlari secepat terbang menuju kepada tenda-tenda yang terpasang di luar hutan.

"Bangsat hendak lari ke mana?" Eng Eng membentak nyaring dan mengejar, akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang orang dari belakang. Ia menengok dan memandang kepada Tiong Han dengan heran.

"Eh, eh, saudara Sim. Mengapa kau memegang tanganku? Apakah kau kembali hendak membela adikmu yang murtad itu?"

Tiong Han melepaskan pegangannya dan menggeleng kepalanya. "Nona Eng Eng, jangan salah sangka. Aku hanya mencegahmu untuk mengejarnya oleh karena hal itu amat berbahaya. Baru Tiong Kiat seorang saja agaknya amat sukar kau menjatuhkannya, apalagi di sana masih banyak orang-orang kosen dan berkepandaian tinggi. Go-bi Ngo koai tung dan Oei Sun adalah lawan-lawan yang amat berat, kalau kau mengejarnya, bukankah itu sama saja dengan mengantarkan nyawa?"

"Kau perduli apakah, Saudara Sim ? Aku tidak takut mati." jawab Eng Eng sambil mengedikkan kepalanya.

"Aku tidak meragukan kegagahanmu, nona. Akan tetapi… aku tidak rela kalau kau mati begitu saja..."

Wajah nona itu berubah merah, menambah kecantikannya yang amat menarik hati Tiong Han, "Apakah maksudmu? Apa hubungannya kematianku dengan rela atau tidaknya kau, saudara Sim?" Dengan jujur dan tajam mata pemuda itu menatap wajah Eng Eng, lalu disusul oleh kata-katanya yang jelas.

"Nona Suma Eng, terus terang saja, aku amat kasihan kepadamu, dan juga aku amat suka dan tertarik oleh kegagahan dan nasibmu. Selain itu, aku merasa ikut bertanggung jawab atas kejahatan adikku itu, maka… aku ingin sekali… menebus dosa adikku terhadapmu, aku ingin sekali memperbaiki segala kesalahan adikku terhadapmu, dan aku tidak ingin melihat kau mengalami penderitaan lebih lanjut karena adikku yang jahat, Ketahuilah bahwa semenjak pertemuan kita, aku selalu memikirkan keadaanmu, nona. Hanya dua macam tugas suci dalam hidupku, pertama-tama membela negara dan menghancurkan adikku sendiri yang jahat. Kedua kalinya, mendatangkan kebahagiaan padamu dengan jalan apa saja yang kau kehendaki!"

“Eh, eh... saudara Sim, dalam keadaan seperti ini, mengapa kau bicara yang bukan-bukan? Sudahlah, nanti saja kita bicara kalau urusan sudah selesai. Aku harus menyusul dan mengadu nyawa dengan adikmu!"

Kembali Eng Eng hendak berlari mengejar Tiong Kiat, akan tetapi Tiong Han mencegahnya lagi.

"Nanti dulu nona. Ucapanku tadi pun ada hubungannya dengan urusan ini. Kukatakan tadi bahwa tugasku pertama-tama membela negara. Urusan Tiong Kiat mudah diselesaikan kemudian kalau tugas pertama ini sudah selesai. Aku adalah seorang utusan dari jenderal Gak. Kau ikutlah dengan aku menjumpai Oei Sun dan kaki tangannya. Aku ditugaskan untuk membujuk mereka menyerah agar tidak terjadi perang antara bangsa sendiri. Setelah itu kita bersama mengejar Tiong Kiat. Bagaimana pikiranmu? Kalau kau pergi sekarang mengejar akan mengacaukan dan menggagalkan rencanaku karena fihak pemberontak tentu akan menjadi geger dan mencurigaiku.”

Eng Eng berpikir sebentar, kemudian ia mengangguk. "Baiklah, saudara Sim, aku turut nasihatmu."

Tiong Han tersenyum. "Nona, dulu ketika bertemu, kau menyatakan hendak menyebut twako kepadaku, akan tetapi sekarang agaknya kau telah lupa akan sebutan itu. Tak enak melihat kau berlaku sungkan-sungkan lagi setelah kita menjadi sahabat baik."

Gadis itu tersenyum dan tanpa menjawab ia lalu melangkah maju, bersama dengan pemuda itu menuju ke arah tenda-tenda yang kini nampak terang di bawah sinar matahari.

Tenda yang ditempati oleh Oei Sun adalah tenda atau kemah di tengah-tengah yang paling besar. Di depannya terdapat sebuah bendera besar dengan huruf OEI yang besar pula, berkibar-kibar tertiup angin. Kemah yang besar ini dikelilingi oleh lima buah kemah lain yang menjadi tempat tinggal Go bi Ngo koai tung. Ada pun Tiong Kiat biasanya bermalam di dalam kemah terbesar bersama Oei Sun, atau seperti seringkali terjadi, ia bermalam di kemah lain, tentu bersama Ang Hwa!

Ketika Tiong Han dan Eng Eng tiba di perkemahan paling depan mereka disambut oleh barisan penjaga pertama yang segera menodong mereka dengan tombak. Tadinya para penjaga itu merasa ragu-ragu dan menyangka bahwa pemuda ini tentu Sim ciangkun yang menyamar akan tetapi melihat sikap pemuda ini berbeda dari Sim ciangkun mereka lalu berlaku hati hati dan membentak,

"Siapakah kalian dan ada keperluan apa datang ke sini?”

Tiong Han tidak mau banyak cakap, lalu mengeluarkan bendera putihnya. Para penjaga terkejut dan seorang di antaranya cepat-cepat memberi laporan ke dalam. Kemudian keduanya dipersilakan masuk melalui perkemahan pertama. Tiong Han menjadi heran mengapa agaknya para penjaga itu belum tahu akan kedatangannya. Apakah Tiong Kiat belum memberi laporan kepada pimpinan pemberontak?

Akan tetapi ia tidak banyak cakap dan berjalan terus dengan sikap waspada. Ia memegangi bendera putih itu di depan dadanya sedangkan Eng Eng dengan gagah sekali berjalan di belakang Tiong Han. Gadis ini menyimpan pedang di punggung dan nampak cantik dan gagah sehingga para penjaga memandangnya dengan kagum.

Setelah melalui beberapa lapis penjaga akhirnya mereka tiba juga di barisan tenda Go-bi Ngo Koai-tung yang mengelilingi tenda tempat tinggal Oei Sun. Di sana sini nampak perajurit berdiri menjaga bagaikan patung. Ternyata penjagaan dilakukan amat rapi dan teguh.

Tidak seperti pada lapisan-lapisan perkemahan di luar, di sini mereka tidak di sambut oleh penjaga-penjaga, bahkan para penjaga yang berdiri menjaga bagaikan patung tidak bergerak sama sekali seakan-akan tidak melihat mereka, Tiong Han menjadi ragu-ragu.

Jalan untuk memasuki lingkungan tenda itu tidak ada, karena antara tenda satu dengan yang lainnya, yakni antara lima buah tenda tempat tinggal Go-bi Ngo-koai tung dipasangi tali yang menghubungkan yang Iain dan juga merupakan penghalang bagi mereka yang hendak masuk. Akan tetapi dari luar, Tiong Han dan Eng Eng dapat melihat bendera yang bertuliskan huruf OEI. Adapun pada tenda yang lima buah banyaknya itu dipasangi bendera bendera hitam yang model bentuknya menyeramkan seperti bendera yang biasa dipergunakan oleh pendeta-pendeta untuk mengusir roh jahat.

"Bagaimana kita harus masuk!" Kata Tiong Han perlahan kepada Eng Eng.

"Putuskan saja tali yag menghalang ini," kata gadis itu.

Tiong Han menggeleng kepala. "Seorang utusan tidak boleh berlaku kasar dan menghina tuan rumah, sebaliknya tuan rumah juga tidak boleh menghina utusan lawan."

Setelah berkata demikian, Tiong Han mengumpulkan khikangnya, lalu berseru, "Utusan dari Gak goanswe telah tiba, mohon menghadap kepada pemimpin she Oei!"

la sengaja tidak mau menyebut Oei ciangkun, karena setelah menjadi pemberontak otomatis ia tidak bisa menganggap orang she Oei itu sebagai perwira lagi. Suara yang dikeluarkan oleh Tiong Han ini bergema sampai jauh. Sampai lama mereka menanti, barulah terdengar jawaban dari dalam tenda Oei Sun.

"Utusan Gak goanswe silakan masuk saja. Tenda kami tidak berapa tinggi!”

Tiong Han memandang ke atas. Hem, mereka sengaja menguji kepandaiannya, pikirnya, ia memberi isyarat kepada Eng Eng, kemudian mereka lalu mengenjot tubuh, melompat ke atas tenda yang berbendera hitam itu. Gerakan mereka bagaikan dua ekor burung walet saja gesitnya. Setelah berdiri di atas tenda itu, Tiong Han lalu melompat turun ke dalam diikuti oleh Eng Eng yang masih terus berada di belakangnya!

Sepasang orang muda ini benar-benar nampak gagah dan elok ketika mereka melompat turun tanpa mengeluarkan suara. Keadaan di situ sunyi saja, akan tetapi perasaan mereka memberitahukan bahwa diam-diam banyak mata mengikuti gerak-gerik mereka. Tiong Han dan Eng Eng menghampiri pintu tenda terbesar yang masih tertutup. Mereka berdiri, tidak berani masuk.

"Masuklah saja, kami telah menanti kedatanganmu!" Suara tadi terdengar lagi dari dalam tenda.

"Hati-hati, nona Eng Eng" bisik Tiong Han dan sambil membawa bendera putih yang tadi dimasukan dalam saku ketika ia melompati tenda, lalu membuka pintu tenda besar itu. Dengan gagah ia berjalan masuk diiringi oleh Eng Eng.

Ternyata di dalam tenda itu telah duduk enam orang, yakni Oei Sun dan Go-bi Ngo koai-tung yang kesemuanya pernah dilihat oleh Eng Eng dan Tiong Han.

Oei Sun tertawa bergelak, lalu berkata, "Aah, tidak tahunya saudara Sim Tiong Han dan nona Suma Eng yang menjadi utusan dari Gak goanswe! Ini namanya berurusan dengan sahabat-sahabat lama. Bagus, bagus!”

"Menurut pendapatku, kita bukan sahabat-sahabat. Cuwi (tuan-tuan sekalian) adalah pemimpin pemimpin pemberontak, adapun kami berdua adalah utusan dari Jenderal Gak pemimpin balatentara kerajaan." jawab Tiong Han dengan tegas karena ia hendak menyatakan bahwa tak mungkin dengan dia dan Eng Eng dapat diadakan persekutuan!

"Bukan sahabat juga tidak mengapa " Thian It Tosu berkata dengan senyum menyindir, "kamipun tidak suka menjadi sahabat dari orang-orang yang pernah kami kalahkan."

Tiong Han dan Eng Eng merasa panas, akan tetapi karena merasa Tiong Han maklum bahwa mereka itu memancing 'suasana panas' agar ia sebagai utusan melakukan pelanggaran dan kekerasan, hanya tersenyum saja dan tidak mau menjawab.

"Kau datang sebagai utusan membawa kabar apakah? Apakah Jenderal Gak mengajak damai?"

"Memang mengajak damai, hanya dengan satu syarat, yakni supaya kau dan semua bekas pemimpin Pek Iian kauw dan pemimpin-pemimpin pemberontak menyerahkan diri untuk dibawa ke kota raja. Dengan begitu, barulah barisanmu akan diampuni. Kalau tidak, kepungan akan lakukan terus sampai kalian kehabisan ransum sama sekali!"

Bukan main marahnya hati Oei Sun mendengar ini akan tetapi ia dapat menyembunyikan kemarahannya di balik ketawanya yang bergelak-gelak. "Ha, ha, ha, lucu sekali kau ini. Orang macam kau bisa dijadikan utusan. Ha ha ha. Ingin aku melihat bagaimana pendapat Sim-ciangkun melihat kakaknya yang menjadi pelawak ini. Penjaga! Coba kau cari Sim ciangkun dan panggil dia ke sini!" teriaknya kepada penjaga yang segera memberi hormat dari luar dan pergi. Kemudian Oei Sun berkata lagi kepada Tiong Han.

"Apakah Gak-goanswe berani menjamin bahwa aku dan kawan-kawanku takkan dihukum apabila kami sudah dibawa ke kota raja?"

“Hal ini tentu saja Gak-goanswe tidak dapat menjamin. Tergantung kepada keputusan Hong-siang sendiri." jawab Tiong Han, sementara itu, pemuda ini dan juga Eng Eng merasa heran mengapa Tiong Kiat tidak berada di situ dan bahkan tidak kelihatan sehingga dicari oleh Oei Sun.

"Kalau jenderal Gak mau membuka jalan untuk kami melarikan diri dari kepungan, kami suka meninggalkan barisan dan tidak melakukan perlawanan lagi" kata Oei Sun.

"Akan kusampaikan permintaan ini." jawab Tiong Han "Akan tetapi kurasa sia-sia belaka karena jenderal Gak adalah seorang yang memegang teguh disiplin. Membebaskan pemimpin pemberontak berarti sebuah pelanggaran yang besar!"

Pada saat itu, dengan wajah pucat masuklah tiga orang suku bangsa Ouigour yang melaporkan bahwa Huayen-khan dan Ang Hwa didapatkan telah mati terbunuh di dalam hutan. Oei Sun berseru keras sambil mencabut goloknya, demikian pula Go bi Ngo koai tung bangkit sambil meloloskan tongkat mereka. Ketika Oei Sun mengeluarkan suitan keras, sebentar saja kemah itu telah dikepung oleh barisan yang banyak sekali!

"Sim Tiong Han! Kau benar-benar utusan yang tidak patut! Bagaimana kau berani membunuh Huayen khan dan Ang Hwa? Kau melanggar peraturan!"

"Bukan kami yang membunuh mereka," jawab Tiong Han dengan tenang, "yang membunuh mereka adalah pembantumu yang bernama Sim Tiong Kiat!"

Oei Sun dan Go bi Ngo-koai tung saling pandang.

"Kalau begitu bangsat itu telah berkhianat!" kata Thian lt Tosu dan dengan suara menyesal ia berkata kepada Oei Sun. "Apa kataku dulu? Tidak baik mempercayai orang jahat itu. Tangkap yang dua ini sekalian si bangsat she Sim agar dapat kita pergunakan sebagai orang tahanan dan pembuka jalan kita melarikan diri!"

Eng Eng berseru keras dan mencabut pedang merahnya. Sedangkan Tiong Han pun bersiap sedia dan berkata kepada Eng Eng, "Nona, mari keluar!”

la menarik tangan Eng Eng dan keduanya melompat keluar dari tenda ini. Di luar mereka telah dicegat oleh banyak sekali tentara yang terdiri dari perwira-perwira pemberontak, yakni sebagian besar bekas orang orang Pek-lian-kauw yang diangkat oleh Oei Sun.

Eng Eng memutar pedangnya dan Tiong Han lalu mengeluarkan kepandaiannya. Biarpun ia bertangan kosong, akan tetapi kehebatan sepak terjangnya tidak kalah oleh Eng Eng yang berpedang. Tiap kali tangannya mengena tubuh lawan, berteriaklah lawan itu dan roboh tak dapat bangun lagi.

"Mundur semua, biarkan kami menangkap mereka!" Oei Sun berseru keras dan para pengeroyok itu mundur cepat-cepat, mengatur barisan kepungan sehingga tidak memungkinkan dua orang itu melarikan diri.

Tiong Han menendangi tubuh para pengeroyok yang tadi sudah roboh sehingga ia dan Eng Eng mendapatkan tanah lapang cukup luas. Dari dalam tenda muncul lima orang tosu itu bersama Oei Sun yang bergerak menyerang mereka.

Eng Eng menyambut Oei Sun dan karena Oei Sun sudah pernah merasai kelihaian gadis ini, maka ia minta tolong kepada Thian It Tosu yang segera membantunya. Adapun Tiong Han yang bertangan kosong menghadapi keroyokan Thian Ji Tosu dan tiga orang adik seperguruannya. Pertempuran berjalan seru sekali. Eng Eng yang dikeroyok dua dapat mengimbangi permainan kedua lawannya.

Pedangnya bagaikan seekor naga merah menyambar-nyambar di antara tongkat dan golok kedua lawannya. Akan tetapi ia merasa betapa lihai permainan tongkat dari Thian It Tosu. Kalau saja tidak dibantu oleh Oei Sun, agaknya sanggup ia mendesak tosu ini. Akan tetapi golok besar Oei Sun juga tidak boleh di pandang ringan, sehingga gadis ini harus bertempur dengan hati-hati sekali.

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Adapun Tiong Han, dengan menggunakan ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari Pat jiu Toanio dan Lui-kong-jiu, dapat mengimbangi permainan tongkat keempat orang pengeroyoknya bahkan ia mulai mendesak mereka dengan angin pukulannya yang lihai. Kalau lawan-lawannya kurang hati-hati, baru terkena sambaran pukulannya saja tentu akan terluka. Empat orang tosu itu maklum akan kelihaian pemuda ini, maka mereka selalu menjauhkan diri dan hanya mempergunakan tongkat untuk menyerang sambil mengepung.

Yang membuat Tiong Han dan Eng Eng gelisah adalah kepungan para perwira yang makin lama datang makin banyak itu. Ratusan orang mengepung tempat itu dan mereka tahu bahwa di situ masih ada ribuan orang tentara lagi. Bagaimana mereka bisa keluar dari situ dengan selamat?

Beberapa orang perwira yang berkepandaian lumayan, mulai masuk pula dalam kalangan pertempuran sehingga kini Eng Eng dikeroyok oleh lima orang dan Tiong Han menghadapi tujuh orang pengeroyok. Terpaksa pemuda ini menggunakan kepandaiannya untuk merobohkan seorang perwira, dan dengan pedang Hui-liong kiam yang tadi dirampas dari Tiong Kiat, ia lalu mengamuk dengan pedang di tangan kanan dan pukulan di tangan kiri masih mainkan ilmu silat Kong-jiu-cap-ji-kun!

Bukan main ramainya pertempuran itu. Sudah beberapa orang perwira lagi roboh oleh amukan Tiong Han dan Eng Eng, akan tetapi kedua orang muda ini tetap saja masih belum berhasil merobohkan Go-bi Ngo-koai-tung dan Oei Sun, pengeroyok-pengeroyok yang paling berbahaya.

Kini keadaan Tiong Han dan Eng Eng mulai berbahaya. Perwira-perwira yang jatuh ditarik mundur dan diganti oleh perwira Iain yang kepandaiannya lumayan juga. Kedua orang muda itu mulai menjadi lelah! Dan Go-bi Ngo koai tung mulai kemak kemik membaca mantera untuk mempergunakan hoatsut (ilmu sihir) guna merobohkan dua orang lawan muda yang lihai ini!

"Semua mundur biarkan kami menjatuhkan mereka!" kembali Thian lt Tosu berseru keras dan para perwira lalu mengundurkan diri. Sambil menunjuk ke arah Eng Eng, tosu ini lalu mengerahkan tenaga batinnya dan berseru,"Rebah engkau… rebah…!"

Eng Eng merasa tiba-tiba kepalanya pening dan ia mulai terhuyung-huyung! Permainan pedangnya kacau balau dan hampir saja ia celaka. Tiong Han terkejut sekali dan cepat ia melompat ke dekat gadis itu sambil berseru,

"Eng moi!" Seruan ini keluar dari hati yang amat gelisah, mengandung kasih sayang dan kekuatiran atas diri gadis yang dicintanya itu!

Aneh sekali begitu telinga Eng Eng mendengar panggilan ini, seketika itu juga lenyaplah rasa pening dan mabok. Alangkah mesra dan merdunya suara panggilan dari Tiong Han itu. Jantungnya berdebar, darahnya berdenyut keras dan terusirlah pengaruh hoatsut yang dijalankan oleh Thian It Tosu! Ia mengamuk lagi dengan hebat setelah mengerling dan melempar senyum manis ke arah Tiong Han!

"Han-ko, jangan takut akan segala ilmu siluman ini!" katanya dan bagi Tiong Han kata-kata gadis ini merupakan panambahan semangat yang luar biasa sehingga kembali ia dapat mendesak keempat orang pengeroyoknya, sehingga kembali para perwira yang tadi mundur kini maju lagi mengeroyok. Akan tetapi mereka itu hanya menjadi seperti kupu-kupu mendekati api lilin. Baru saja masuk, beberapa orang telah menjadi korban lagi!

Betapapun juga, Eng Eng dan Tiong Han mulai menjadi lelah dan peluh telah mengalir membasahi seluruh tubuh mereka. Tiong Han telah berhasil merobohkan Thian Sam Tosu dan Thian Ngo Tosu, orang ketiga dan kelima dari Go bi Ngo koai-tung. Akan tetapi jumlah pengeroyok makin bertambah.

Adapun Eng Eng, biarpun telah banyak merobohkan perwira yang mengeroyok, namun masih amat sukar baginya untuk menjatuhkan Oei Sun dan Thian It Tosu. Tosu ini tidak dapat mempergunakan hoatsutnya lagi setelah beberapa kali dicobanya tidak mempan, bahkan ia lalu mengomel keras.

"Keparat, tidak tahunya saling mencinta lagi dua ekor tikus ini!"

Ucapan dan Thian It Tosu ini membuat Tiong Han dan Eng Eng menjadi merah mukanya, karena mereka maklum bahwa yang dimaksudkan oleh Thian lt Tosu tentu mereka. Agaknya rasa cinta yang tumbuh di dalam hati kedua orang muda di dalam bahaya ini merupakan daya penahan atau penolak yang amat kuat bagi serangan ilmu hitam dari tosu itu tadi!

Pada saat Eng Eng dan Tiong Han mulai terdesak, tiba-tiba terjadi geger di luar kepungan dan teriakan-teriakan keras. "Api…api… Gudang ransum kebakaran…! Ah... tenda-tenda mulai kebakar… tolong! Kebakaran!"

Keadaan menjadi kacau balau. Benar saja, mulai nampak asap bergulung-gulung dan api mengamuk hebat, membakari tenda-tenda yang seperti jamur di bawah itu. Para pengeroyok menjadi panik dan ketakutan, bahkan banyak yang meninggalkan tempat itu untuk menolong tenda mereka sendiri.

Dan tiba-tiba, sebuah bayangan biru berkelebat dengan cepatnya, didahului oleh cahaya merah dan tahu-tahu Thian Ji Tosu dan Thian Su Tosu, orang kedua dan keempat yang mengeroyok Tiong Han roboh mandi darah.

"Tiong Kiat...!" Tiong Han berseru, ketika melihat pemuda yang kini sudah berganti pakaian biru-biru itu.

"Sim ciangkun… kau… pengkhianat!" Oei Sun berseru keras dengan amat marahnya, lalu meninggalkan Eng Eng dan menyerang Tiong Kiat dengan goloknya.

"Jahanam besar, sekarang kau binasa!" Eng Eng ikut berteriak dan melompat ke arah Tiong Kiat, menyerang dengan pedangnya ditusukkan ke arah lambung Tiong Kiat yang sedang menangkis golok Oei Sun.

Tiong Kiat mengelak cepat sambil berteriak. "Nona Suma, awas serangan gelap!"

Akan tetapi terlambat, Eng Eng yang hanya mencurahkan perhatiannya kepada Tiong Kiat telah meninggalkan Thian It Tosu dan tidak memperdulikannya lagi. Kesempatan baik ini dipergunakan oleh Thian It Tosu. Ketika dilihatnya Eng Eng berbalik menyerang Tiong Kiat, tosu ini mengeluarkan sebatang Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) dan disambitkan ke arah Eng Eng. Gadis itu mengeluh, dan cepat meraba pangkal lengan kirinya yang dirasa amat sakit dan gatal. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa kepalanya pening dan robohlah ia dengan tubuh lemas!

"Thian It totiang, kau tahanlah pengkhianat ini!" seru Oei Sun yang segera diturut oleh Thian lt Tosu. Oei Sun sendiri setelah Tiong Kiat dihadapi oleh Thian It Tosu, lalu melompat ke arah Eng Eng, menyambar tubuh gadis ini dengan tangan kanan dan menjemput pedang merah gadis itu dengan tangan kiri, lalu melarikan diri!

"Bangsat lepaskan dia!" teriak Tiong Han akan tetapi lebih dari sepuluh orang perwira menghadangnya sehingga terpaksa ia membabat mereka dalam amukan hebat.

Tiong Kiat dengan marah sekali lalu mainkan ilmu silat pedang Ang coa kiamsut yang paling tinggi, dan Thian It Tosu yang sudah tua dan sudah lelah itu tidak dapat menangkis lagi. la berseru keras dan roboh dengan dada tertembus pedang Ang-coa-kiam!

"Han-ko jangan khawatir, aku akan menolong nona Suma Eng!" seru Tiong Kiat yang cepat mengejar ke arah Oei Sun melarikan diri tadi.

Tiong Han tak dapat membantah karena ia sendiri sedang dikepung dan tidak kuasa melakukan pengejaran. Terpaksa ia mengamuk dan sebentar saja mayat bekas pemimpin Pek-lian-kauw bergelimpangan di sekitarnya.

Sementara itu, Jenderal Gak yang tidak melihat Tiong Han kembali dan mendengar laporan bahwa di tempat markas besar pemberontak yang terkepung itu nampak asap mengepul segera memerintahkan pasukannya bergerak menyerbu!

Tiong Han yang mengamuk seperti naga terluka itu hampir saja roboh saking lelahnya ketika barisan Jenderal Gak sudah tiba di situ.

"Menyerahlah semua! Jangan kena dibujuk dan ditipu oleh pemimpin kamu orang-orang Pek-lian-kauw!"

Tiong Han dan Jenderal Gak dibantu oleh panglima-panglima lain mengerahkan tenaga khikang berteriak-teriak kepada para pemberontak. Tak lama kemudian, para pemberontak yang sudah terkepung dan kehilangan pimpinan itu lalu melemparkan senjata dan menyerah.

Tiong Han biarpun masih lelah, biarpun ditahan oleh Jenderal Gak, memaksa pergi sambil berkata singkat, "Maaf, goanswe, saya masih mempunyai urusan penting sekali yang harus diselesaikan!" Setelah berkata demikian, dengan pedang Hui liong kiam di tangan, ia lalu berlari secepat mungkin mengejar ke utara!

Ketika tiba di tepi Sungai Sungari yang lebar ia melihat dua buah perahu terapung-apung. Ternyata bahwa di dalam perahu yang tidak beratap ia melihat Eng Eng rebah miring seperti orang tidur, sedangkan seorang pemuda baju biru berlutut di dekatnya sambil memegangi lengan kirinya. Ternyata pemuda itu adalah Tiong Kiat yang sedang memeriksa luka di lengan Eng Eng!

Ketika tadi Tiong Kiat mengejar, ternyata Oei Sun telah mendapatkan seekor kuda dan melarikan Eng Eng dengan amat cepatnya ke utara. Maksud Oei Sun melarikan Eng Eng ialah untuk dijadikan tanggungan agar ia dapat melarikan diri. Benar saja, ketika ia bertemu dengan tentara mengepung di sebelah utara, ia dapat mengancam mereka, akan membunuh Eng Eng kalau tidak diberi jalan. Di antara para perwira ada yang sudah mengenal Eng Eng, maka terpaksa mereka melepaskan Oei Sun pergi.

Tiong Kiat menjadi marah sekali dan biarpun tentara pengepung menghadangnya, ia mengamuk dan dapat merobohkan beberapa orang tentara kerajaan dan dapat lolos dari kepungan, lalu melanjutkan pengejarannya!

Ternyata bahwa Tiong Kiat-lah yang tadi melepas api dan membakari gudang ransum dan tenda-tenda. Pemuda ini demikian sakit hati karena telah ditipu dan dibujuk sehingga ia membalas dendam dengan hebatnya. Kini biarpun ia amat lelah, ia memaksa diri untuk melakukan pengejaran terhadap Oei Sun yang menggendong pergi tubuh Eng Eng yang terluka.

Oei Sun tiba di tepi Sungai Sungari dengan selamat. Ia merampas sebuah perahu dengan mendorong nelayannya ke sungai, kemudian ia meletakkan tubuh Eng Eng di atas perahu dan mendayung perahu itu ke tengah sungai.

Ia tidak tahu bahwa diam-diam Tiong Kiat mengikuti gerak-geriknya, dan tanpa diketahui oleh Oei Sun, Tiong Kiat lalu menceburkan diri ke dalam sungai dan berenang menghampiri perahu itu. Alangkah kagetnya hati Oei Sun ketika tiba-tiba muncul kepala Tiong Kiat di pinggir perahunya!

Sebelum ia dapat menyerang, Tiong Kiat telah melompat ke dalam perahu dan dalam beberapa gerakan saja Oei Sun roboh ke dalam sungai dengan kepala terbelah oleh pedang Ang-coa-kiam!

Tiong Kiat cepat minggirkan perahu itu. Beberapa orang nelayan yang melihat peristiwa ini menjadi ketakutan dan melarikan diri, meninggalkan perahu-perahu mereka sehingga di situ banyak terdapat perahu-perahu kosong di tepi sungai bergolek-golek tanpa penumpang dan terikat pada sebatang patok. Tiong Kiat segera memeriksa luka di lengan Eng Eng dan merobek baju pada lengan yang luka itu.

Melihat jarum hitam itu masih menancap, ia lalu mencabutnya dan berkerutlah keningnya melihat betapa luka itu menghitam dan membengkak. Ia lalu mendekatkan mulutnya dan dihisapnya luka itu sehingga darah yang hitam membeku keluar dari luka itu ke dalam mulutnya.

Beberapa kali ia menyedoti luka di lengan itu dan sebagai orang yang sudah lama bergaul dengan Thian It Tosu, ia membawa obat penawar Hek tok-ciam. Diambilnya obat penawar yang berupa bubuk putih yang sudah basah kuyup itu, lalu ditempelkan di atas luka setelah darah yang terkena racun telah disedotnya habis. Ia membalur luka itu dengan kain pengikat kepalanya.

Pada saat itu Eng Eng sadar akan tetapi masih pening. Gadis itu memandang muka pemuda yang berlutut di dekatnya, lalu berbisik lemah.

"Han-ko… kau baik sekali… alangkah jauh bedanya dengan adikmu yang jahat..." Lalu gadis itu meramkan lagi kedua matanya dan bibirnya yang manis tersenyum.

Dua titik air mata melompat keluar dari mata Tiong Kiat ketika ia mendengar bisikan ini. la merasa ulu hatinya seperti ditikam pedang. Ia menyambar pedang Ang coa kiam, mengamat-amatinya lalu berdiri di pinggir perahu. Dengan muka pucat ia menengadah, lalu berkata keras.

"Ayah, aku juga seorang perwira... seorang perwira gagah…" Lalu ia menggerak-gerakkan pedang sambil bernyanyi, nyanyian yang dulu ketika kecil sering ia nyanyikan bersama Tiong Han.

Pedang telanjang di tangan berlumur darah musuh jahanam!

Anak panah beterbangan bagai maut mengintai nyawa!

Pasukan musuh di mana?

Serbu…! Maju gembira!

Inilah tugas tiap ksatria!

Mati? Hanya gugur bagai bunga.

Aku hanya ingin menang... menang!

Biar takkan mendapat jasa

Biar takkan menerima pahala.

Tidak perduli, aku ingin menang!

Aku ingin menjadi pahlawan

Seperti ayah seperti ayah…!


Air mata turun bagaikan hujan dari kedua matanya ketika berkali-kali ia menyebut bait terakhir. "Seperti ayah… seperti ayah…!”

“Ayah, aku ingin seperti engkau…akan tetapi aku… aku perwira pemberontak! Ha ha ha... perwira pemberontak harus mampus!"

Setelah tertawa seperti mayat hidup, ia mengerak-gerakkan pedang Ang-coa-kiam ke arah lehernya.

"Tiong Kiat…!" terdengar seruan keras dari pinggir sungai dan Tiong Han datang berlari-lari. Pemuda inipun menumpahkan air mata ketika ia mendengar adiknya bernyanyi tadi.

Tiong Kiat menahan pedangnya dan menoleh. "Han-ko, kau perlu hidup, Eng Eng mencintaimu. Berbahagialah kau dengan dia, Han-Ko!"

Pada saat Tong Kiat berkata demikian Eng Eng baru saja sadar dan gadis ini mulai bangkit dan duduk. Akan tetapi Tiong Kiat tidak melihat lagi karena ia telah mengayun pedang yang kini menancap ke dadanya dan tubuhnya beserta pedang itu terjungkal ke dalam air yang dalam!

Tiong Han melompat ke dalam perahu dan hanya melihat air sedikit kemerahan. Ia berjongkok dan dengan saputangannya, dihapus tiga titik darah dari Tiong Kiat yang tadi jatuh di atas papan perahu. Kemudian ia menyimpan saputangan itu untuk bukti kepada suhunya kelak dan duduk menghadapi Eng Eng.

Perahu itu bergerak perlahan terbawa aliran air Sungai Sungari. Angin senja bertiup perIahan, bermain-main dengan rambut kepala Eng Eng yang berjuntai dengan kacau di atas jidatnya.

"Kau sudah mendengar ucapan terakhir dari Tiong Kiat?" tanyanya.

Eng Eng mengangguk diam. Akhirnya ia bertanya, "Kita ke mana, Han-ko?"

Tiong Han terkejut menjawab. "Ke mana...? Ke… pantai bahagia, Eng-moi kau bersedia bukan?"

Kembali Eng Eng mengangguk diam. Keduanya menikmati rasa bahagia tanpa banyak cakap, perahu meluncur terus dengan lancar!

T A M A T

SERI SELANJUTNYA: PEDANG PUSAKA NAGA PUTIH