Pedang Ular Merah Jilid 15

Serial jago pedang tak bernama episode pedang ular merah jilid 15 karya kho ping hoo

PEDANG ULAR MERAH JILID 15

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama
Kuda itu meringkik seakan-akan kegirangan dan Tiong Kiat sukar untuk dapat mempercayai apa yang dipandangnya dihadapan itu. Ia merasa terheran-heran dan kagum. Tidak saja kagum melihat kecantikan gadis baju merah ini, akan tetapi juga heran melihat cara gadis itu menghentikan kudanya.

Tidak sembarang orang dapat menghentikan larinya kuda yang secepat itu dalam cara demikian mendadak. Kalau gadis itu tidak memiliki tenaga besar dan kepandaian naik kuda yang luar biasa, tak mungkin ia akan dapat menghentikan kudanya secara itu. Gadis itu sama sekali tidak menghormat Huayen-khan, bahkan datang-datang ia lalu menegur Huayen-khan.

"Kau membawa benda apakah untukku?"

Huayen khan tertawa bergelak. "Ang Hwa (bunga Merah) kau kira aku akan lupa kepadamu?"

Huayen khan mengeluarkan sebuah kotak berukir dari dalam bungkusan di atas sela kudanya dan melemparkannya kepada wanita itu. Lemparan ini keras dan cepat akan tetapi gadis itu menangkap peti kecil ini dengan gerakan yang Iihai sekali sehingga kembaIi Tiong Kiat memujinya.

"Bagus!" katanya tak terasa lagi.

Ang Hwa sedang membuka peti itu dan ketika ia mendengar pujian ini, ia menutup petinya dan memandang ke arah Tiong Kiat. Ia nampak tercengang seakan-akan baru sekarang ia melihat pemuda ini.

"Ha ha ha!" Huayen-khan tertawa pula. "Ang Hwa, kau lihat Sim enghiong ini. Bukankah ia gagah dan tampan sekali."

Akan tetapi sambil merengut, Ang Hwa menegurnya, ”mengapa kau membawa seorang Han ke sini?"

"Ang Hwa, jangan terburu-buru memandang rendah! Pemuda Han ini bukanlah sembarang pemuda dan kalau tidak ada dia, belum tentu hari ini aku dapat pulang!" Kemudian Huayen-khan lalu menceritakan tentang penyerbuan Piloko di luar tembok kota.

"Ha, ha, ha! Ang Hwa, kalau kau melihat betapa seorang panglima kerajaan Tang she Ciok itu berdiri seperti patung, sungguh menyebalkan. Sayang kau tidak ikut dalam rombonganku. Kalau kau ikut, tentu akan kau lihat betapa Piloko si walet itu diusir tunggang langgang oleh Sim-enghiong yang gagah perkasa ini! Ha ha ha!"

Ang Hwa mengerutkan kening. "Kau diserbu oleh Piloko di luar tembok kota raja dan kau tidak mendapat bantuan dari kaisar Tang? Hm, siapa tahu kalau hal itu adalah siasat kaisar sendiri membiarkan serigala dan harimau berkelahi sambil bersembunyi dan kalau keduanya sudah lelah dan terluka lalu muncul untuk menangkap mereka?"

Tiong Kiat merasa tak senang mendengar betapa kaisarnya dituduh berlaku curang, akan tetapi ia makin kagum saja karena ternyata bahwa selain cantik jelita dan berkepandaian cukup tinggi, gadis inipun ahli dalam siasat peperangan dan berotak cerdik pula. Siapakah gadis ini, pikirnya. Tentu setidaknya puteri dari Huayen-khan!

"Aku mendengar bahwa Piloko memang bermusuhan dengan suku bangsamu, maka tanpa dibujuk oleh orang lain, ia akan menyerang rombongan Huayen-khan di manapun juga." kata Tiong Kiat tanpa membela langsung kepada kaisar bangsanya.

Ang Hwa memandang tajam kepadanya, kemudian melirik ke arah pedang yang tergantung di pinggang Tiong Kiat.

"Hm, kau membawa-bawa pedang dan kau telah membantu rombongan kami. Akan tetapi aku belum menyaksikan ilmu pedangmu. Malam nanti terang bulan, aku ingin sekali menyaksikan sampai di mana kehebatan ilmu pedangmu!” Sambil berkata demikian, ia lalu memutar kudanya dan membalapkan kudanya dan mendahului rombongan Huayen khan!

Huayen khan tertawa bergelak dengan gembira sekali "Ha ha ha sim-enghiong, dia memang keras kepala. Kau harus melayaninya malam nanti!"

"Akan tetapi. Huayen khan, aku tidak suka mainkan pedang untuk ditonton,” jawab Tiong Kiat.

"siapa yang mau menonton ilmu pedang? Dia mengajakmu mengadu ilmu kepandaian karena dia sendiripun seorang ahli pedang."

Tiong Kiat tertegun, akan tetapi Huayen-khan tidak memberi kesempatan padanya untuk bicara lagi, karena dia telah majukan kudanya sehingga rombongan itu maju terus menuju perkemahan besar di depan.

Setelah memasuki perkemahan, kembali Tiong Kiat tertegun ketika melihat banyaknya gadis-gadis pelayan yang cantik menyambut Huayen-khan, bahkan di antara mereka ini banyak sekali yang datang dari pedalaman, yakni gadis gadis bangsa Han!

"Bersenanglah dan anggap saja ini sebagai rumahmu sendiri !" kata Huayen-khan.

Tiong Kiat mendapat tempat di sebuah kemah yang cukup besar, dilayani oleh belasan orang gadis pelayan yang cantik-cantik. Tentu saja pemuda mata keranjang ini merasa gembira sekali dan merasa seakan-akan telah memasuki kahyangan yang penuh dengan bidadari-bidadari.

Malam harinya setelah bulan muncul, Huayen khan datang memasuki kemahnya dan mengajaknya keluar menikmati pemandangan di kebun kembang yang terdapat di tepi sungai. Ketika mereka tiba di tempat itu, benar saja pemandangan amat indahnya. Bunga bunga telah mekar dan di bawah sinar bulan purnama, keadaan di situ nampak indah menyenangkan sekali.

Ketika Tiong Kiat melihat bayangan merah berdiri di tempat itu, dikelilingi oleh para pelayan, teringatlah ia akan janji Ang Hwa yang hendak mencoba ilmu pedangnya, diam-diam Tiong Kiat menggigit bibirnya. Ia akan memperlihatkan kepandaiannya agar dapat dikagumi oleh Ang Hwa yang cantik jeIita dan oleh para pelayan itu.

Memang benar seperti yang dikatakan oleh Huayen-khan tadi, karena begitu ia mengajak Tiong Kiat duduk di atas bangku-bangku batu yang telah disediakan di tempat itu, Ang Hwa lalu menghampiri mereka dan berkata kepada Tiong Kiat,

"Sim enghiong, harap kau suka memperlihatkan kepandaianmu agar hati kami tidak ragu-ragu lagi bahwa tamu kami bukanlah seorang pemuda Han yang lemah dan tiada guna belaka!”

Gemaslah hati Tiong Kiat, bukan saja gemas melihat sikap gadis cantik yang memandang rendah ini, akan tetapi gemas pula melihat gadis yang benar-benar jelita dan menarik hati ini. Kalau saja ia tidak mengira bahwa gadis ini putri dari Huayen khan, tentu telah dipeluknya dan dibawa Iari ke dalam kemahnya!

la bangkit berdiri dan berkata dengan senyum. "Nona sudah menjadi kebiasaanku sekali aku mencabut pedang, aku tentu harus memperoleh hasil. Menghadapi seorang musuh, darah musuh pada pedangku adalah hasil pencabutan pedangku. Oleh karena terhadapmu aku tak dapat berIaku demikian maka apakah hadiahnya apabila aku mendapat kemenangan?"

Ang Hwa memandangnya dengan matanya yang indah, sungguhpun matanya nampak berseri, namun bibirnya tetap memperlihatkan kekerasan hati dan kesombongannya.

"Katakan dulu, bagaimana kalau kau kalah? Pembayaran apakah yang akan kau pertaruhkan?"

Tiong Kiat tertegun. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis ini sedemikian sombongnya, seakan-akan sudah yakin akan kemenangannya sehingga berani mengajaknya bertaruh!

"Darahku yang kupertaruhkan." kata Tiong Kiat. "Biarlah aku terluka oleh pedangmu kalau ilmu pedangku terlalu rendah untuk menghadapi ilmu pedangmu."

Tiba-tiba Huayen khan tertawa bergelak. "Ang Hwa, kau terlalu sombong! Mana bisa kau menangkan Sim enghiong? Sim-enghiong, biarlah aku mewakilinya menjawab. Kalau kau menang, aku akan menyerahkannya kepadamu semalam penuh dan ia harus menurut!"

Kali ini benar-benar Tiong Kiat terkejut dan mukanya menjadi marah sekali. Bagaimana Huayen khan dapat menawarkan anaknya seperti itu? Benar ia tidak mengerti akan sikap dan watak orang orang Ouigour ini! Akan tetapi ia masih penasaran dan bertanyalah ia kepada Ang Hwa,

"Nona ucapan tadi dikeluarkan oleh Huayen-khan, bukan olehku."

"Sekali kata-kata sudah diucapkan, takkan ditarik kembali. Aku bersedia menurut perintah kalau aku kalah olehmu!" jawab Ang Hwa dengan singkat, dan gadis ini lalu mencabut sebatang pedang yang mengkilap dan melompat ke tengah pelataran.

Bukan main girangnya hati Tiong Kiat mendengar ini. Gilakah orang-orang ini? Dengan terang-terangan Huayen khan mempertaruhkan kehormatan puterinya sedangkan Ang Hwa sendiri dengan terang-terangan bersedia mentaati perintah itu! Ia lalu mencabut pedangnya dan dengan lompatan ringan sekali ia telah berada di depan Ang Hwa.

"Nona, silakan kau mulai lebih dulu menyerangku!" tantangnya. la mengira bahwa biarpun kepandaian menunggang kuda nona ini hebat, namun ilmu pedangnya tentu tidak berapa berbahaya.

Akan tetapi ia kecele kalau berpikir demikian, karena begitu gadis itu menggerakkan pedangnya, Tiong Kiat merasa terkejut sekali. Gerakan pedang gadis itu sama sekali tak boleh disebut lemah!

Bukan main bahkan pedangnyapun bukan pedang biasa, melainkan pokiam (pedang pusaka) yang kuat sehingga ketika beradu dengan Hui Iiong kiam, hanya bunga-bunga api yang berpijar sedangkan pedang gadis itu sama sekali tidak menjadi rusak!

Timbul kegembiraan di hati Tiong Kiat dan berbareng ia merasa tertarik dan suka kepada gadis ini. Sukarlah menjumpai gadis yang keras hati, cantik, tinggi kepandaiannya seperti Ang Hwa. Apalagi di tempat ini, dalam lingkungan orang-orang Ouigour yang kasar.

Pada waktu itu, Tiong Kiat telah menamatkan pelajaran Ang-coa-kiam dari kitab Ang coa kiam coansi yang dirampasnya dari tangan Tiong Han. maka tingkat ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Bahkan Tiong Han sendiri belum tentu sekarang dapat melawan pemuda ini yang telah berhasil mewarisi seluruh ilmu pedang Ang coa-kiam-sut, kepandaian ilmu pedang pusaka dari Kim-liong pai!

Tadinya Tiong Kiat hanya mempermainkan Ang Hwa dan mainkan ilmu pedangnya untuk bertahan saja. Ia bertambah heran ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu adalah ilmu pedang yang mirip sekali dengan Kun lun kiamhwat! Bagaimana seorang gadis Ouigour dapat mempelajari ilmu pedang dari Kun lun-pai?

la ingin cepat-cepat menyelesaikan pibu ini agar dapat bicara berdua dengan gadis yang menarik hatinya ini. Cepat ia merubah gerakan pedangnya dan sebentar saja terdengar Ang Hwa berseru terkejut. Pedang di tangan pemuda ini tiba-tiba lenyap menjadi segulung sinar putih yang gerakannya aneh dan gesit sekali seperti seekor naga bermain di angkasa.

Betapapun Ang Hwa memutar pedangnya dan mengerahkan seluruh kepandaiannya, tetap saja gulungan sinar pedang itu mengurung dirinya, membuat pandangan matanya kabur dan kepalanya pening!

Baru sekarang ia percaya akan kehebatan ilmu pedang Tiong Kiat. Tiba-tiba ia merasa sampokan hebat sekali yang membuat pedangnya terlepas dari tangan dan ketika sinar pedang lawannya itu lenyap, ternyata Tiong Kiat telah berdiri di hadapannya dengan pedangnya yang terlepas dan berada di tangan kiri pemuda itu!

Tiong Kiat tersenyum dan mengembalikan pedang itu kepada Ang Hwa yang menerimanya dengan muka merah. Huayen-khan menghampiri mereka sambil tersenyum-senyum.

"Bagus, bagus Sim-enghiong. Malam ini kau telah dapat menundukkan bunga merah sungai Selonga! Aku rela memberikannya semalam kepadamu, kau gagah dan cukup berharga untuk itu. Ha, ha, ha! bawalah, bawalah dia ke kemahmu, Sim-enghiong!"

Setelah berkata demikian, kepala suku bangsa Ouigour ini lalu meninggalkan mereka, Tiong Kiat berdiri bengong dengan muka merah dan juga merasa terheran-heran. Akan tetapi ketika ia melihat betapa gadis itu memandangnya dengan mesra dan bibirnya tersenyum.

Ketika melihat betapa Tiong Kiat menatap wajahnya gadis ini menjadi merah mukanya dan menundukkan muka dengan kemalu-maluan, akan tetapi matanya mengerling dan menyambar dari pinggir, membuat pemuda itu menjadi runtuh betul imannya. Dengan girang Tiong Kiat lalu memegang tangan Ang Hwa dan diajaknya masuk ke dalam kemahnya.

Setelah tiba di dalam kemahnya, mereka duduk berhadapan dan Tiong Kiat yang merasa Iebih terheran-heran dari pada gembira itu Ialu bertanya.

"Nona, sungguh aku heran sekali melihat kau. Ilmu silatmu tadi sudah terang berasal dari Kun-lun-pai dan melihat wajah dan juga bicaramu kau Iebih pantas menjadi gadis bangsa Han dari pada menjadi seorang gadis Ouigour. Sesungguhnya, bagaimana kau sampai bisa berada di tempat ini?"

Ang Hwa tersenyum dan memandang kepada Tiong Kiat dengan kagum. "Sim enghiong, kau gagah sekali dan ilmu pedangmu saja sudah cukup menundukkan hatiku. Oleh karena itu, tiada salahnya aku menceritakan riwayatku dan percayalah hanya kepadamu saja aku mau bercerita."

Ang Hwa adalah puteri tunggal seorang guru silat bangsa Han, anak murid Kun-lun-pai. Ayahnya telah membunuh seorang Pembesar tinggi karena istrinya bermain gila dengan pembesar itu. Tentu saja ia menjadi orang buruan pemerintah dan guru silat she Ang ini melarikan diri bersama anaknya ke utara.

Akhirnya ayahnya bertemu dengan Huayen khan dan menjadi pembantunya. Akan tetapi, ketika Ang Hwa berusia lima belas tahun, ayahnya telah meninggal dan ia terserang penyakit berat, sehingga akhirnya gadis ini menjadi yatim piatu dan ikut dengan Huayen khan yang amat mengasihinya.

"Demikianlah, Sim-enghiong, maka sampai sekarang aku berada di sini. Cita-citaku hanya untuk membalas dendam, tidak kepada pembesar tinggi yang sudah terbunuh oleh ayahku akan tetapi kepada pemerintahan Tang terutama kaisarnya yang telah membuat ayah menderita sengsara di tempat asing ini."

"Akan tetapi, bukankah suku bangsa Ouigour bersahabat dengan pemerintah Tang?" tanya Tiong Kiat.

"Benar, akan tetapi itu hanya siasat belaka, keadaan kami belum kuat benar untuk melakukan penyerangan dan jalan terbaik adalah bersahabat dengan kaisar kerajaan Tang."

Tiong Kiat berpikir bahwa tentu Ang Hwa kini diaku anak oleh Huayen-khan. Kalau ia dapat menikah dengan gadis ini dan menjadi menantu Huayen-khan, tentu pengaruhnya akan besar dan kelak ia akan mendapat kesempatan menggantikan kedudukan Huayen khan! Alangkah senangnya menjadi raja dari suku bangsa ini. Akan tetapi, ia tidak senang mendengar betapa Huayen-khan diam-diam hendak menyerang dan menggulingkan kerajaan Tang.

Betapapun juga, Tiong Kiat masih mempunyai darah pahlawan. Ia maklum akan kebijaksanaan Kaisar Tai Cung, dan biarpun ia tidak mundur untuk melakukan pekerjaan rendah seperti jai-hwa cat dan pencuri, namun untuk menghianati Kaisar Tai Cung, ia tidak sudi!

Kalau aku dapat menikah dengan gadis ini dan menjadi mantu dari Huayen-khan, aku akan dapat membujuknya dan mempengaruhinya sehingga selamanya suku bangsa ini akan menjadi sahabat baik dari pemerintahan Tang, pikirnya.

la memandang gadis itu yang makin lama nampak makin cantik menarik. Tak terasa lagi ia mengulurkan tangan memegang lengan gadis itu dan Ang Hwa mendiamkan saja, bahkan tersenyum menantang!

"Alangkah bahagiaku dapat menerima kehormatan ini," kata Tiong Kiat sambil mengagumi mata yang bening itu. "Akan tetapi aku benar-benar masih merasa heran mengapa Huayen khan suka menyerahkan puterinya kepada seorang asing seperti aku. Bukankah ini agak terlalu mudah? Aku ingin menikah dengan kau secara resmi, Ang Hwa, kau cukup pantas menjadi istriku yang tercinta."

Kini Ang Hwa memandang dengan mata terbelalak. "Puterinya? Puterinya yang mana maksudmu, Sim-enghiong?"

"Eh, bukankah kau menjadi puteri Huayen-khan?"

Ang Hwa menggeleng kepalanya. "Aku bukan puterinya, juga tidak diaku anak olehnya. Aku… aku telah menjadi isterinya."

Bagaikan disengat ular berbisa, Tiong Kiat menarik kembali tangannya yang memegang lengan Ang Hwa. Pemuda ini kalau sudah tertarik hatinya oleh seorang wanita, ia tidak akan memperdulikan apakah wanita itu anak orang ataupun puteri orang. Akan tetapi menghadapi Huayen-khan yang menyerahkan istri sendiri kepadanya ini baginya merupakan haI yang aneh dan hebat sekali, yang membuatnya menjadi ngeri juga.

"Apa...?? Kau istrinya? Mengapa... mengapa ia memberikan kau kepadaku untuk melayaniku malam ini? Bagaimana mungkin ada perbuatan yang gila ini?"

Ang Hwa tersenyum menarik dan kini dialah yang menghampiri Tiong Kiat dengan sikap menarik sekali. "Pemuda bodoh. Apa salahnya hal itu kami lakukan? Biarpun aku menjadi isterinya, akan tetapi dia telah berjanji takkan mengikatku. Aku boleh bebas sesuka hatiku. Aku... aku dengan suka sendiri melayanimu dan dia... ah, bukankah dia mengharapkan bantuanmu untuk mengguIingkan kaisar Tang? Kau suka kepadaku, aku sendiripun kagum melihatmu dan suamiku itu ingin menarik tenagamu. Bukankah kita bertiga sudah merupakan tiga serangkai yang cocok sekali?"

Pucatlah muka Tiong Kiat mendengar ini. Ia menjadi marah sekali Jadi orang telah sengaja menggunakan istri sendiri sebagai umpan agar ia mau berlaku khianat terhadap kaisarnya?

"Tidak, tidak ! Kalian sudah gila! Jangan harap akan dapat menarikku melakukan penghianatan! Kalau Huayen-khan hendak menyerang negaraku, lebih dulu dia akan berhadapan dengan aku sebagai musuhnya!"

Ang Hwa menjadi pucat. Senyumnya masih mengembang di bibir, akan tetapi sepasang matanya yang bening kini bernyala-nyala. "Bagus sekali! Kau tidak dapat menerima kebaikan orang!" Setelah berkata demikian, Ang Hwa melompat keluar dari tenda.

Tiong Kiat merasa curiga, cepat ia mengambil bungkusan pakaiannya dan hendak keluar dari tenda akan tetapi di luar tenda itu ternyata telah terkurung oleh pasukan Ouigour yang dipimpin oleh Huayen-khan sendiri bersama istrinya. Ang Hwa!

"Orang she Sim!” kata Huayen-khan dengan suara besar. "Kau telah menghina isteriku dan menolak kebaikanku. Kau tidak mau membantu kami? Baik, jangan harap akan dapat keluar dari sini dalam keadaan bernyawa!" Sambil berkata demikian, Huayen-khan telah menodongnya dengan anak panahnya yang lihai.

Akan tetapi Tiong Kiat tidak menjadi gentar. Ia tersenyum pahit dan berkata, "Kukira aku telah membantu seekor domba yang patut dibela, tidak tahunya di balik kedok domba itu tersembunyi muka serigala yang jahat! Huayen-khan, betapapun juga, aku Sim Tiong Kiat masih tetap seorang Han yang tidak nanti mau melakukan pengkhianatan terhadap negara dan bangsa sendiri!"

SambiI berkata demikian Tiong Kiat cepat mencabut pedangnya. Baiknya ia berlaku cepat, karena belum habis ucapannya keluar dari mulut, tiga batang anak panah yang dilepas sekaligus oleh Huayen-khan telah menyambar ke arahnya! la cepat memutar pedangnya dan dengan menerbitkan suara nyaring, tiga batang anak panah itu dapat dipukul jatuh semua.

Huayen-khan terkejut sekali. Belum pernah ia melihat ada orang yang dapat menangkis tiga anak panahnya secara demikian mudahnya, maka ia lalu cepat memberi aba-aba kepada para anak buahnya. Tiong Kiat mendahuluinya dan cepat menerjang dari samping kiri. Ia maklum bahwa untuk melakukan perlawanan dan menghadapi Huayen-khan, Ang Hwa dan sekian banyaknya pasukan Ouigour, adalah hal yang tidak mungkin dan betapapun tingginya ilmu silatnya, kalau ia melawan ribuan orang ini, akan sama halnya dengan membunuh diri.

Maka ia lalu menerjang ke kiri untuk menjauhi Huayen-khan dan Ang Hwa. Begitu ia menerjang, pedangnya telah menjatuhkan tiga orang perwira Ouigour sehingga para pengepung di bagian ini menjadi jerih dan mundur. Tiong Kiat melompat ke dalam gelap dan mengamuk serta merobohkan para penghadangnya! Keadaan menjadi geger dan di mana saja pemuda itu lari dan dihadang, pasti robohlah beberapa orang!

Akhirnya setelah merobohkan dua puluh orang penghadang lebih, pemuda ini dapat membobolkan pengepungan dan melarikan diri di dalam gelap! Terdengar teriakan-teriakan di belakangnya dari mereka yang mengejarnya, akan tetapi siapakah yang dapat menyusul pemuda yang memiliki ilmu berlari cepat ini? Sebentar saja, suara yang mengejarnya makin lemah dan tak terdengar lagi.

Tiong Kiat melarikan diri terus ke selatan. Tujuan perjalanannya adalah kota raja, karena sebelum bertemu dengan Huayen-khan, ia pun ingin sekali melihat kota raja. Hatinya merasa kecewa dan timbullah kedukaan di dalam dadanya. Teringat ia kepada Suma Eng, nona yang sampai pada saat itu juga masih selalu ia kenangkan dengan penuh kerinduan hati.

Betapapun banyaknya wanita yang dijumpainya, tak seorangpun di antara mereka yang dapat dibandingkan dengan Suma Eng. Ia merasa menyesal sekali mengapa ia dahulu telah mengganggu Suma Eng, karena kalau tidak, tentu nona itu tidak akan memusuhinya dan mungkin sekali ia akan dapat menjadi sahabat baik nona itu. Gemas ia kalau teringat kepada Ang Hwa, gadis yang ternyata menjadi isteri Huayen khan yang amat tidak tahu malu itu.

Ia ingin masuk ke kota raja dan kalau mungkin, akan memberitahukan kepada pemerintah akan maksud Huayen khan yang hendak memberontak itu. Teringat kepada Eng Eng dan Ang Hwa, hatinya menjadi kesal dan ia tidak tertarik oleh gadis-gadis yang dijumpainya di dalam perjalanannya.

Pada suatu hari ia tiba di kota Hong-bun, sebuah kota kecil di sebelah kota raja. Ketika ia sedang berjalan memasuki kota itu ia melihat Iima orang tosu jubah kuning berjalan cepat bersama seorang panglima bertubuh tinggi besar dan nampak gagah sekali. Melihat lima orang tosu ini, terkejutlah hati Tiong Kiat.

Sungguhpun ia belum pernah melihat lima tosu ini namun melihat pakaian mereka yang berwarna kuning dan melihat pula tongkat bambu yang berada di tangan mereka, dengan mudah ia menduga bahwa mereka ini tentulah Go bi Ngo koat-tung (Lima Tongkat Aneh dari Go-bi) yang telah amat terkenal namanya karena ilmu silat mereka yang amat tinggi. Juga hatinya tertarik sekali ketika melihat panglima yang gagah itu.

Panglima itu dan lima tosu baju kuning tadi lalu memasuki pintu benteng yang dijaga oleh belasan orang perajurit. Terpaksa Tiong Kiat bersembunyi di balik pohon karena tentu saja ia tidak dapat masuk. Hatinya makin terheran-heran. Terang sudah panglima tadi adalah Panglima kerajaan, mengapa lima orang tosu ini ikut masuk ke dalam benteng? Ada keperluan apakah para pendeta itu memasuki benteng yang penuh dengan perajurit?

Tiong Kiat adalah seorang perantau yang tidak tentu tujuannya, maka setiap kali melihat kejadian yang ganjil, ia takkan puas sebelum dapat mengetahui sebab-sebabnya. Ia lalu mencari jalan masuk dan berjalan sambil bersembunyi di balik pepohonan mengitari tembok benteng itu.

Seperti biasa pada waktu negara tidak sedang mengalami perang, penjagaan tembok benteng tidak dilakukan dengan keras dan akhirnya, di sebelah belakang benteng itu Tiong Kiat melihat tembok yang tidak terjaga dan nampaknya sunyi saja. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya, melompat dengan gesit ke atas tembok yang tinggi itu.

Setelah mendekam di atas tembok beberapa lama sambil mengintai ke dalam ia melihat bahwa di bagian belakang itu hanya lapangan rumput yang agaknya dipergunakan sebagai tempat latihan perang-perangan, maka ia lalu melompat ke dalam dengan gerakan amat ringan. Tiba-tiba ia mendengar suara orang dan cepat ia bersembunyi di belakang kandang kuda yang penuh dengan kuda-kuda tinggi besar. Dua orang nampak mendatangi sambil membawa rumput makanan kuda.

"Sungguh aneh sekali Oei ciangkun itu," terdengar seorang diantara kedua orang penjaga itu berkata. "biasanya kalau ada orang tertangkap lalu dihukum mati atau dikirim ke kota raja untuk diadili. Akan tetapi siluman wanita itu bahkan diharuskan mendapat perlakuan yang baik."

"Lo Siang, kau tahu apa?" kata orang kedua. "Siluman wanita itu demikian cantik jelita, masih muda pula. Takkan lebih dari dua puluh tahun, bagaikan kembang sedang mekarnya. Siapa yang tega untuk membunuhnya? Lagi pula ilmu silatnya demikian lihai sehingga kalau tidak ada lima orang tosu Gobi Ngo-koai tung itu, siapa yang mampu menangkapnya ? Dan Oei ciangkun sendlri masih muda, belum beristeri... hem! Siapa tahu?"

"Apa maksudmu, Lo Siang?"

“Oei ciangkun gagah perkasa, tawanan ini seorang gadis cantik jelita, apalagi? sudahlah, Lo Kui, kita menanti saja dibagikannya arak wangi! Ha ha ha!"

Tiba-tiba ada angin menyambar dan tahu-tahu seorang pemuda entah dari mana datangnya, telah berdiri di depan mereka! Sebelum mereka sempat membuka suara kedua tangan Tiong Kiat menyambar jalan darah mereka di bagian ya-hu-hiat dan lemaslah tubuh mereka, sedangkan ketika mereka menggerakkan mulut untuk berteriak minta pertolongan kepada kawan-kawan ternyata tak ada sedikitpun suara dapat keluar dari tenggorokan mereka.

Tiong Kiat tidak mau mengganggu atau melukai kedua penjaga ini, karena sesungguhnya ia masuk ke benteng ini hanya untuk memuaskan ingin tahunya saja, dan tidak ada permusuhan sesuatu antara dia dan tentara kerajaan. Akan tetapi, ketika ia mendengar percakapan antara kedua orang penjaga ini, hatinya tertarik sekali. Jadi lima orang tosu itu betuI adalah Gobi Ngo-koai tung? Tiong Kiat makin tertarik ketika mendengar tentang ditangkapnya seorang gadis cantik yang berkepandaian tinggi. Ia ingin sekali melihat gadis ini!

Dengan hati-hati sekali ia lalu menyeret kedua orang penjaga itu dan menyembunyikan mereka di dalam kandang kuda, kemudian ia lalu melanjutkan pemeriksaannya dan berindap-indap menghampiri bangunan besar yang berada di tengah benteng. Ketika terdengar suara riuh dan tindakan kaki banyak orang, ia cepat bersembunyi lagi. Sebentar kemudian muncullah tiga barisan yang dengan gagahnya menuju ke lapangan rumput di belakang itu. Mereka ini hendak mulai dengan latihan mereka, dipimpin beberapa perwira.

Setelah barisan-barisan itu lewat, Tiong Kiat menyelinap ke belakang bangunan besar, sekali ia enjotkan tubuhnya ia telah berada di atas genteng, bersembunyi di wuwungan yang tinggi. Kemudian setelah maju lagi beberapa jauhnya, ia mendengar suara seorang wanita berseru nyaring.

"Aku sudah kalah tertangkap, mau apa lagi? Kalau kau mau membunuhku, bunuhlah siapa takut mati? Hanya sayang sekali bahwa kalian ini orang-orang gagah ternyata hanyalah pengecut-pengecut besar yang melakukan pengeroyokan atas diri seorang wanita untuk memperoleh kemenangan!"

"Nona yang baik," terdengar suara yang tenang dan besar," mengapa kau berkeras hendak memusuhi kami? Kami tidak mempunyai maksud buruk terhadap kau dan apakah kesalahan beberapa anggauta kami itu tak dapat kau maafkan? Kalau saja kau suka membantu pekerjaan kami, bukankah hal ini bagus sekali dan kau berarti akan dapat berbakti kepada negara?"

Tiong Kiat makin tertarik dan hatinya berdebar-debar. Ia seperti pernah mendengar suara wanita yang nyaring dan keras ini. Cepat ia lalu menghampiri ke arah suara itu dan membuka genteng mengintai ke dalam. Hampir saja ia mengeluarkan seruan kaget ketika ia menjenguk ke bawah. Ternyata bahwa wanita itu benar-benar adalah Suma Eng. Nona yang siang malam menjadi buah kenangannya ini duduk di atas bangku dengan sikap marah, sedangkan di sekelilingnya, seakan-akan mengurungnya, duduk panglima yang dilihatnya tadi bersama kelima Gobi Ngo-koai tung!

Bagaimanakah Eng Eng sampai terjatuh ke dalam tangan mereka ini? Baiklah kita mengikuti pengalamannya secara singkat melanjutkan penuturan ini. Setelah Eng Eng berpisah dengan Tiong Han untuk mencari jalan masing-masing dalam usaha mereka berdulu-duluan mencari Tiong Kiat, gadis ini langsung menuju ke kota raja. Ia pikir bahwa seorang pemuda jahat seperti Tiong Kiat tentu akan memilih tempat yang ramai dan indah, maka ia lalu menuju ke kota raja untuk mencari jejak pemuda yang dibencinya itu.

Karena ia belum pernah pergi ke kota raja dan Eng Eng merasa tertarik sekali oleh pemandangan di sebelah barat Propinsi Hopak yang bertapal batas dengan Propinsi Shansi di sebelah barat dan dengan Mongolia di sebelah utara, maka ia telah salah jalan bukannya langsung ke kota raja, akan tetapi lewat di sebelah barat kota raja dan terus ke utara! tanpa disadarinya ia telah melewati kota raja dan kini berada di sebelah utaranya!

Demikianlah, maka pada suatu hari tibalah ia di kota Hong-bun, kota yang jauh letaknya dari benteng itu. Ketika ia sedang berjalan sambil melihat-lihat, tiba-tiba dari depan mendatangi lima orang tentara kerajaan yang berjalan saling bergandengan dan melihbat jalan mereka yang terhuyung-huyung itu, mudah diduga mereka berada dalam keadaan mabok, Eng Eng tidak memperdulikan mereka, akan tetapi sebaliknya lima orang tentara itu ketika melihat Eng Eng dan ketika gadis itu hendak mengelak ke kiri, mereka sengaja bergerak ke kiri pula dan dengan sengaja menghadang perjalanan gadis ini. Marahlah Eng Eng dan dengan muka merah ia membentak.

"Kawanan anjing, apakah kau mau mengganggu orang di tengah jalan? Minggir!"

Akan tetapi sambil tertawa-tawa, lima orang tentara itu lalu berebut maju untuk memeluk atau meraba tubuh gadis yang cantik jelita ini. Akan tetapi, bukan main hebatnya akibatnya kekurang-ajaran mereka ini. Terdengar suara bak bik buk, disusul oleh pekik mereka dan tubuh mereka terlempar ke kanan kiri terkena tendangan kedua kaki Eng Eng! Bagaikan babi-babi disembelih, kelima orang kurang ajar ini mengaduh-aduh dan tak dapat bangun lagi.

Pada hari itu, memang banyak anak buah tentara dalam benteng diberi kesempatan keluar dari benteng dan jumlah mereka ini ada puluhan orang. Ketika mendengar suara ribut-ribut dan melihat lima orang tentara dipukul oleh seorang gadis cantik, kawan-kawan mereka yang berada di kota itu, menjadi marah sekali dan sebentar saja Eng Eng dikurung oleh puluhan orang anggauta tentara.

Mereka ini mula-mula mempergunakan tangan kosong hendak menangkap gadis ini dan menawannya, akan tetapi apakah artinya keroyokan orang-orang yang hanya kuat tenaga akan tetapi tidak memiliki ilmu kepandaian berarti itu terhadap Eng Eng? Gadis ini menggerakkan kaki tangannya seperti kitiran cepatnya dan bagaikan rumput dibabat, robohlah para pengeroyoknya. Hal ini membuat para tentara menjadi marah sekali. Mulailah mereka mencabut golok mereka.

"Gadis liar! Menyerahlah sebelum kami melukaimu!" teriak seorang perwira.

"Bangsat pengecut! Kalian yang mencari perkara, mengapa aku harus menyerah? Siapa takut kepada golokmu yang tumpul itu?" Eng Eng membentak.

Maka menyerbulah para pengeroyoknya, kini dengan senjata tajam di tangan. Namun, tetap saja mereka bukanlah lawan Eng Eng. Gadis ini mencabut pedangnya dan ketika sinar merah dari pedangnya berkelebat, terdengar suara keras dan golok-golok di tangan para pengeroyoknya terbabat putus, runtuh bagaikan daun bambu jatuh berhamburan!

Tentu saja para tentara ini menjadi terkejut sekali. beberapa orang di antaranya cepat melarikan diri ke benteng untuk memberi laporan kepada Oei-ciangkun, panglima yang menjadi komandan di dalam benteng itu. Pada waktu itu, Oei-ciangkun sedang menerima kedatangan kawan-kawan baiknya, yakni Gobi Ngo koai-tung yang bernama Iucu, karena mereka sesungguhnya telah membuang nama asal dan memakai nama yang sederhana saja yakni Thian It Tosu, Thian ji Tosu, Thian Sam Tosu, Thian Si Tosu dan Thian Go Tosu.

Kelima orang tosu dari Go bi-san ini memang pendeta-pendeta yang berilmu tinggi dan penggantian nama mereka ini sesungguhnya ada alasan yang amat kuat bagi mereka. Dahulu, sebelum perkumpulan agama yang disebut Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) belum lenyap dan belum dihancurkan oleh Kaisar Tai Cung yang melihat gejala gejala tidak baik dalam perkumpulan agama ini.

Kelima orang pendeta ini sebetulnya menjadi pengurus-pengurus terkemuka dari Pek-lian-kauw. Oleh karena Pek-lian kauw sudah hancur dan musnah, maka untuk melindungi dirinya, mereka melarikan diri ke Go bi san dan menukar nama, sehingga kini terkenal sebagai Gobi Ngo-koai- tung yang amat lihai.

Adapun Oei-ciangkun ini sebenarnya, bernama Ui Sun dan ia dulu secara bersembunyi adalah seorang pemeluk agama Pek-lian-kauw. Ketua pendeta wanita yang masih muda dan cantik sekali bagaikan bunga teratai, sesungguhnya diam-diam mengadakan perhubungan dengannya dan menjadi kekasihnya. Akan tetapi Oei Sun pandai sekali menyembunyikan dirinya dan berlindung di balik kedudukannya sebagai panglima yang memimpin puluhan ribu tentara.

Setelah kekasihnya itu tewas dalam pembasmian Pek lian-kauw dan perkumpulan ini bubar, diam-diam Oei Sun masih mengadakan perhubungan dengan Gobi Ngo koai-tung yang bersembunyi di pegunungan Go-bi-san.

Demikianlah antara Oei ciangkun dan Gobi Ngo-koai-tung terdapat hubungan yang erat sekali, maka tidak mengherankan apabila pada hari itu mereka berlima datang mengunjungi Oei ciangkun di dalam bentengnya. Gobi Ngo-koai tung telah membuat nama besar maka selain Oei ciangkun boleh dibilang tidak ada orang lain yang mengetahui bahwa mereka adalah bekas-bekas pemimpin Pek lian kauw.

Oei ciangkun dan kelima orang tamunya sedang bercakap-cakap ketika datang laporan tentang seorang gadis yang mengamuk hebat di kota Hong-bun. Panglima ini menjadi marah dan bersama Go bi Ngo koai-tung ia cepat naik kuda menuju ke Hong bun. Di situ benar saja ia melihat seorang gadis muda yang cantik sekali tengah mainkan pedangnya yang mengeluarkan cahaya merah membabat putus setiap golok yang menghadangnya sehingga tempat pertempuran itu telah penuh dengan potongan golok dan tubuh para tentara yang terluka! Biarpun tak seorang di antara para pengeroyok ini ditewaskan oleh Eng Eng, namun pemandangan ini cukup hebat dan mengerikan.

"Gadis liar dari manakah berani melawan tentara pemerintah?" bentak Oei ciangkun yang telah mencabut golok besarnya dan menyerbu ke arah tempat pertempuran itu.

Melihat majunya Oei ciangkun, semua tentara lalu mengundurkan diri, hanya mengurung tempat itu dari jauh, memberi tempat yang cukup luas bagi pemimpin. Semua tentara kini telah menjadi gembira untuk menonton pertempuran yang pasti akan menarik hati ini...!


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.