Pedang Pusaka Naga Putih Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG PUSAKA NAGA PUTIH JILID 08

Ketika mereka tiba di kaki bukit Lui-san hari telah mulai gelap. Bwee Lan mengajak susioknya berhenti di depan sebuah rumah sederhana di kampung Lim-cun di dekat situ, di mana tinggal supeknya yang menderita luka.

Kedatangan mereka disambut oleh seorang wanita yang masih merah matanya karena kebanyakan menangis. Ketika diperkenalkan, Han Liong tahu bahwa itu adalah isteri suhengnya, maka ia segara memberi hormat. Segera mereka diantarkan memasuki kamar Lie Kiam yang tampak berbaring di atas tempat tidur dengan wajah pucat.

“Suheng, sutemu datang terlambat sehingga suheng dilukai orang.”

Han Liong memberi hormat sambil memandang laki-laki yang sudah setengah tua yang masih tampak gagah itu. Dengan agak payah Lie Kiam bangkit duduk, lalu memandang wajah anak muda itu dengan agak heran.

“Aku telah mendengar dari Bhok suheng bahwa suhu telah mempunyai seoang murid baru, tapi tak kusangka bahwa ia masih semuda ini,” katanya perlahan.

“Siokhu dipukul orang dan putera siokhu diculik, sebenarnya ada perkara apakah?” tiba-tiba Hong Ing yang kasihan melihat keadaan Lie Kiam itu bertanya. Han Liong mengerling adiknya, tapi Lie Kiam memandangnya lalu bertanya.

“Siapakah anak ini, sute?”

“Ia adalah adikku, suheng.”

Lie Kiam mengangguk-angguk, kemudian hendak mulai bercerita. Tapi Han Liong cepat berkata kepada Hong Ing. “Adik Ing, kau lihat suheng perlu mengaso, pula, cerita ita dapat ditunda kelak, Kini yang perlu ialah menolong puteranya.”

Mendengar orang menyebut puteranya, Lie Kiam timbul rasa khawatir dan sedihnya, maka tiba-tiba ia batuk-batuk dan dari mulutnya keluar darah!

Han Liong segera menghampiri. “Ah, suheng, kau terluka di dalam,” katanya, lalu tanpa minta permisi lagi, ia membuka baju suhengnya dan memeriksa dadanya.

“Suheng, kau terpukul dan mendapat luka dalam yang berbahaya juga, selain itu jalan darah di bawah tulang iga kanan telah terotok. Maaf, suheng, biarlah sute mencoba memulihkan jalan darah itu.”

Ia segera menggunakan kedua jari tangan dan telunjuknya mengurut-urut dada di bawah iga lalu menepuk punggung suhengnya. Lie Kiam yang terheran-heran kini merasa sakit di dadanya agak berkurang.

“Nah, ini dua butir obat, harap suheng makan dua kali, malam ini dan besok pagi.” Ia menyerahkan dua butir pil pemberian suhunya yang paham akan ilmu obat-obatan, ialah Pauw Kim Kong.

“Eh, sute, darimana kau peroleh kepandaian mengobati ini?” tanya Lie Kiam.

“Dari suhunya yang bernama Pauw Kim Kong!” Hong Ing menyahut.

Lie Kiam terheran mendengar ini. Bukankah sutenya itu murid suhunya sendiri? Tapi Han Liong segera berkata, “Biarlah besok saja kita bicara, suheng. Riwayat sutemu ini panjang untuk diceritakan seketika juga. Yang perlu sekarang adalah urusan anakmu. Biarlah kedua nona Bwee ini mengantarkan siauwte merampasnya kembali dari tangan Ban Hok.”

“Jangan, sute, ia sangat berbahaya. Kau akan mendapat celaka.”

Han Liong tersenyum. “Jangan khawatir, suheng, kurasa ada jalan untuk mengalahkannya. Pula, biar siauwte mendapat celaka sekalipun, siauwte tidak akan menyesal, karena siauwte telah memenuhi kewajiban sebagai saudara seperguruan.”

“Tapi adikmu ini lebih baik tinggal di sini saja dan biar Bwee Lan saja mengantarkan kau. Bwee Hwa juga jangan ikut,” kata Lie Kiam pula. Han Liong mengerling ke arah Hong Ing yang tampak merengut, maka dengan ketawa ia menjawab, “'Biarlah adikku ikut, suheng, karena iapun dapat menjaga dirinya sendiri.”

Dengan terpaksa Lie Kiam melepaskan mereka pergi. Hanya Bwee Hwa saja yang dilarangnya pergi, karena ia tahu akan tabiat anak itu dan khawatir akan keselamatannya. Untung saja Han Liong dan dua kawannya bahwa malam itu angkasa diterangi oleh ribuan bintang sehingga mereka dapat maju dengan cepat ke tempat kediaman Ban Hok si Harimau Hitam.

Terbukti menurut penuturan Bwee Lan, penculik itu tinggal dalam sebuah kelenteng tua yang telah tak terpakai lagi. Ketika mereka sampai di depan kelenteng itu, Ban Hok telah kelihatan berdiri di depan bertolak pinggang. Tubuhnya tinggi besar dan kulitnya hitam, sehingga di tempat agak gelap itu hanya tampak putih mata dan giginya ketika ia menyeringai. Han Liong maju dan tunduk menghormat dan Ban Hok segera membalasnya.

“Apakah siauwte berhadapan dengan Ban-enghiong?” tanya Han Liong dengan sopan.

“Betul. Dan saudara ini suruhan Lie Kiam si Angin Ribut?”

“Memang siauwte mewakili Lie Kiam suheng untuk menjumpaimu dan menjemput anaknya.” jawab Han Liong.

“Ha, ha! Lie Kiam ternyata berpikiran luas juga. Baik, kau boleh mengambil anak itu, ia sehat dan selamat, tapi lebih dulu serahkan uangnya padaku!”

Matanya berganti-ganti memandang tiga tamunya ingin tahu segera apakah mereka ini sudah membawa uang tebusan yang dimintanya.

“Perkara uang mudah, Ban-enghiong. Tapi cobalah kau sebutkan alasan-alasanmu menggunakan cara penculikan dan minta tebusan ini. Karena caramu ini sungguh membikin aku kecewa. Tak kusangka bahwa namamu yang besar itu tak sesuai dengan perbuatanmu. Maka kuduga pasti ada apa-apanya di belakang perbuatanmu ini.”

“Hm, kau masih muda tapi pandai bicara. Kau tadi bilang bahwa Lie Kiam itu suhengmu? Baik, dengarlah alasanku mengapa aku melakukan semua ini. Lima tahun yang lalu ketika aku mencegat seorang hartawan yang lewat di daerahku dan merampok uangnya sebanyak sepuluh ribu tail perak, Lie Kiam telah turut campur dan membela hartawan itu! Kami bertempur dan Lie Kiam telah memukulku sehingga aku hampir mati. Nah, aku lalu belajar silat lagi dan sekarang aku menagih hutang. Apakah ini perbuatan salah? Hutang uang membayar uang, hutang pukulan membalas pukulan, bukankah ini sudah adil namanya?”

“Hm, begitukah? Tapi kenapa kau masih menculik anaknya? Bukankah itu perbuatan rendah?” ujar Han Liong.

“Penculikan ini hanya untuk menagih uangku yang dulu. Lie Kiam telah merugikan aku sepuluh ribu tail, kini aku hanya minta lima ribu, ini masih murah sekali. Sudahlah, jangan banyak cakap, segera bayar uang itu dan anak Lie Kiam akan kuserahkan padamu.”

“Tuan Ban! Kau telah menggunakan kepandaianmu untuk menjatuhkan suhengku dan menculik anaknya, maka bagaimana kalau sekarang suheng menggunakan kepandaian pula untuk mengalahkan kau dan minta kembali anaknya?”

“Boleh, boleh! Kalau ia masih tidak mau mengaku kalah dan ingin mengadu kepandaian, silahkan! Kalau aku salah, biarlah aku bersumpah takkan mengganggunya lagi dan anaknya akan kukembalikan dengan selamat.”

“Bagaimana kalau adik seperguruannya mewakilinya berhadapan dengan kau dan mengadu tenaga?”

“Ha ha ha! Sedangkan suhengmu saja tak mampu melawanku, apa lagi sutenya? Silahkan, siapakah yang akan mewakilinya melawan aku?” tanyanya sombong.

“Aku sendiri.”

“Kau?” sepasang mata Ban Hok memandang Han Liong dengan tajam seakan-akan menaksir anak muda itu, tapi Han Liong hanya merupakan seorang pemuda yang halus kulitnya dan halus pula gerak-gerik serta tutur sapanya, maka ia sangat mengganggap enteng. “Baik, datanglah besok pagi, kita mengukur kepandaian di waktu terang hari di depan kelenteng ini.”

“Baik, tuan Ban, aku percaya bicaramu. Nah, sampai besok!”

Walaupun Hong Ing dan Bwee Lan tidak setuju dengan perjanjian ini, namun Han Liong segera mengajak mereka pergi. Di tengah jalan Han Liong menerangkan kepada mereka bahwa sebagai seorang yang mengerti aturan, ia harus menerima permintaan Ban Hok untuk bertempur besok karena malam itu terlampau gelap untuk orang mengadu kepandaian secara jujur. Sesampainya di rumah Lie Kiam, ternyata suhengnya sedang tidur nyenyak.

“Setelah menelan sebutir pil, ia nampak agak lumayan dan dapat tidar enak” kata isterinya kepada Han Liong dengan pandangan berterima kasih.

Maka Han Liong lalu beristirahat pula dalam sebuah kamar yang telah disediakan. Hong Ing pun pergi tidur dalam kamar lain. Ia mendapat kamar sendiri karena ia lebih dulu memajukan alasan bahwa ia tidak bisa tidur sekamar dengan lain orang, walaupun dengan kakaknya sendiri!

Keesokan harinya, Han Liong mengajak Hong Ing berangkat. Kedua nona Bwee yang akan ikut, dilarang oleh Han Liong dengan alasan bahwa Ban Hok mungkin akan menganggap ia mengandalkan banyak orang untuk mengeroyok. Dengan cepat mereka tiba di kelenteng tua itu. Betul saja Ban Hok telah menanti kedatangan mereka.

Kini mereka dapat melihat orang she Ban itu lebih nyata. Ternyata ia adalah seorang berusia kira-kira empat puluh tahun, berkulit hitam dengan sepasang mata tajam. Kedua lengan tangannya yang hitam itu berkilap seakan-akan digosok minyak.

Diam-diam Han Liong terkejut karena ia dapat menduga bahwa Harimau Hitam itu tentu seorang ahli tangan pasir, ialah ahli silat yang melatih tangannya dengan pasir dan bubuk besi hingga kedua lengan itu menjadi sangat berbahaya dan kuat. Pula tindakan kakinya ketika ia maju melangkah membayangkan sebuah tenaga Iweekang yang tinggi karena tindakan kakinya tetap dan berdirinya seakan-akan kedua kakinya berakar!

Han Liong segera memberi hormat yang dibalas oleh Ban Hok. Sebaliknya Harimau Hitam ini diam-diam tidak berani memandang ringan kepada Han Liong ketika ia lihat betapa sepasang sinar mata pemuda itu menyambar-nyambar bagaikan sapasang mata seekor naga sakti!

“Anak muda, betulkah kau hendak mewakili suhengmu melawan aku!” tanyanya.

“Akan kucoba.” jawab Han Liong.

“Dengan cara apa kau hendak melawanku? Tangan kosong atau bersenjata?”

“Kaulah yang berhak memilih, tuan Ban, karena kaulah tuan rumahnya. Aku sebagai tamu hanya menurut saja,” kata Han Liong.

“Hm, kau masih muda, tapi tahu aturan. Siapakah namamu dan apa gelarmu?” tanya Ban Hok.

“Aku yang bodoh she Si bernama Han Liong, orang-orang kampung menyebut aku dan adikku ini Thian-jiauw-siang hiap.”

“Eh, jadi adikmu ini juga ahli silat?” tanya Ban Hok dengan pandangan kagum. “Kalau begitu, begini saja, anak muda. Jangan sampai kalangan kang-ouw menyebut aku sebagai orang tua hendak menghina yang muda. Karena suhengmu sendiri tak dapat melawan aku, maka keterlaluanlah kalau aku melawan kau yang menjadi sutenya. Baiknya kau majulah bersama-sama dengan adikmu ini, agar keadaan kita agak berimbang. Nah, marilah kita coba-coba, kepandaian kita, majulah kalian bersama-sama, kita bertempur dengan tangan kosong.”

Han Liong ragu-ragu, tapi Hong Ing yang merasa gemas melihat kesombongan orang yang memandang rendah mereka, berkata,

“Koko, biarlah aku maju dulu minta pengajaran dari Ban lo-enghiong ini.”

Sebelum Han Liong sempat menjawabnya, Hong Ing sudah maju selangkah, memasang kuda-kuda dan berkata kepada Ban Hok. “Nah, marilah aku yang muda minta pelajaran barang lima jurus darimu, lo enghiong!”

Sikap yang lucu dan berani dari Hong Ing ini nembuat Ban Hok tertawa lebar, kemudian melompat mendekati dan berkata, “Baik, baik, seranglah, anak muda!”

Hong Ing tanpa membuang tempo lagi, segera menggeser kakinya maju dan secepat kilat melayangkan kepalan kanannya memukul dada lawan dengan tipu Dewa Suguhkan Arak, Ban Hok yang memandang rendah lawannya, melibat datangnya pukulan yang cepat ini segera miringkan tubuh dan menggunakan telapak tangan kiri untuk memukul lengan lawan.

Tapi Hong Ing awas matanya dan cepat gerakannya. Sebelum tangannya terpukul ia robah gerakannya, menarik kembali kepalan tangan dan meloncat ke sebelah kanan musuh lalu melayangkan kepalan kiri dengan tipu Burung Kepinis Mematuk buah. Gerakannya yang sebat dan cepat sekali ini tidak terduga sedikit juga oleh Ban Hok sehingga hanya dengan melompat jungkir balik ke belakang saja, ia dapat menyelamatkan diri dari pukulan.

Ia mulai hati-hati dan tidak berani memandang ringan lawannya yang kecil dan muda itu! Hong Ing terus mendesak maju dengan mengeluarkan tipu-tipu yang istimewa dari cabang Siauw-lim. Dikeluarkannya tipu-tipu silat yang berbahaya dan sepasang kepalan tangannya yang kecil meninju tempat-tempat berbahaya dari lawan.

Ban Hok tadinya hanya ingin mempermainkan lawannya saja, tapi melihat bahwa lawan kecil ini sedikitpun tak boleh dipandang ringan, maka ia merasa panas lalu mulai balas menyerang. Ternyata setelah bertempur lebih dari lima belas jurus, pukulan-pukulan silat biasa saja tak dapat mendesak Hong Ing. Ban Hok merasa malu sekali, lalu mulai mengeluarkan kepandaiannya yang ditakuti lawan, yaitu pukulan-pukulan tangan pasir.

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Ketika ia gerakkan kedua lengannya, terdengar suara berderak-derak dan kulit lengan yang sudah hitam itu kini bertambah-tambah hitam bersemu merah. Pukulannya berat dan mendatangkan angin dingin. Hong Ing sangat terkejut ketika ia berbalik ke samping mengelak, ternyata angin pukulan lawannya itu menyambar dan merasa pundaknya tertimpa tenaga kuat!

Ia berhati-hati dan tidak mau menangkis lengan lawannya, tapi karena desakan-desakan Ban Hok yang gerakannya juga gesit sekali, hampir tiada ketika baginya untuk selalu mengelak saja.

Han Liong melihat dengan khawatir. Ia maklum bahwa Jika Hong Ing menggunakan lengan untuk menangkis, maka sekali saja lengannya beradu dengan lengan lawan, dapat dipastikan ia akan mendapat luka berat, kalau tidak, patah lengannya! Maka pada saat Ban Hok melayangkan pukulan mautnya segera ia gerakkan tubuhnya untuk menangkis dengan tangannya karena Hong Ing sudah terdesak betul-betul sehingga itulah jalan satu-satunya.

Han Liong menyambar tangan Hong Ing dan merenggutkannya. Gadis itu merasakan tubuhnya melayang ke atas bagaikan tertiup angin puyuh, tapi ia dapat turun ke tanah dengan selamat. Hampir saja gadis itu menegur kakaknya dengan marah, tapi ia sempat melihat Han Liong berkedip padanya dan Ban Hok berdiri sambil tertawa.

"Bagus sekali gerakanmu. Angin Puyuh Menyambar Pohon itu! Syukur adikmu tertolong oleh gerakanmu yang cepat dan tangkas!" ia memuji.

Han Liong menjura. "Adikku mengaku kalah, lo-enghiong. Kini siauwte mohon pengajaranmu. Tapi sebelum kita bertanding ilmu silat, bagaimanakan perjanjian kita?"

"Haruskah dijelaskan lagi? Kalau kau kalah, maka kau harus penuhi permintaanku yaitu sediakan uang lima ribu tail perak untuk menebus anak Lie Kiam, sebaliknya kalau aku sampai kalah, kau boleh ambil kembali anak itu dan habis perkara!"

"Terima kasih, lo-enghiong. Nah, silahkan!"

"Kaulah yang menyerang dulu, anak muda!"

Han Liong segera menggunakan tangan kanannya menyerang dengan gerakan sembarangan saja, tapi hal ini tidak membuat Ban Hok berlaku kurang waspada, karena orang gagah ini maklum bahwa kalau adiknya saja sudah demikian pandai, kakaknya tentu lebih pandai lagi. Maka, tanpa pikir panjang lagi ia menggunakan ilmu tangan pasir untuk melayani Han Liong.

Pemuda ini sengaja tidak menangkis atau balas menyerang, tapi pergunakan seluruh kegesitan tubuhnya, warisan dari Liok-tee-sin-mo Hong In, untuk berkelit kesana kemari. Ban Hok diam-diam memuji ilmu meringankan tubuh anak muda itu yang bagaikan seekor burung kecil berkelebat ke sana ke mari menghindarkan segala serangannya. Tiga puluh jurus telah lewat tanpa ia mampu menowel ujung baju pemuda itu, hingga ia merasa sangat kesal dan berteriak,

"He, jangan licik! Tak beranikah kau menyambut tanganku?"

"Maaf, sekarang akan kusambut. Bersiaplah!" seru Han Liong dan ketika si Harimau Hitam kerahkan seluruh tenaga dalamnya di sepanjang lengan dan tangan kanannya sambil melayangkan pukulan ke arah dada Han Liong, anak muda itu mengerahkan seluruh kekuatannya dan gunakan tangan kiri dengan kepalan terbuka menumbuk kepalan lawan!

Terdengar suara 'buk' seakan-akan dua benda lunak tapi berat beradu! Han Liong yang sedang memasang kuda-kudanya merasa tergetar dan terpaksa menggerakkan kaki kirinya mundur setindak, tapi kesudahannya sungguh hebat di fihak Ban Hok. Ia terpental ke belakang seolah-olah terdorong oleh tenaga yang luar biasa besarnya sehingga terhuyung-huyung dan hampir saja jatuh terjengkang setelah mundur lebih dari enam langkah!

Baiknya Han Liong tidak hendak mencelakakannya dan hanya gunakan tenaga keras lawan keras untuk memunahkan tenaga lawan. Sesungguhnya dalam hal lweekang, anak muda itu jauh lebih tinggi tingkatnya daripada Ban Hok.

Kalau saja Han Liong dalam pertumbukan tenaga itu mempergunakan lweekang lemas untuk membuat tenaga Ban Hok mental balik, akan celakalah Harimau Hitam itu. Pasti ia akan terpukul oleh tenaganya sendiri dan ia akan mendapat luka dalam yang dapat membuat jantungnya putus. Setelah Ban Hok dapat tetapkan kakinya, ia menghampiri anak muda itu dengan pandangan heran dan kagum.

"Sungguh tak kusangka Lie Kiam mempunyai sute seperti kau, Si enghiong," katanya. "Biar bagaimana jugapun, ilmu silat dan tenagamu itu membuat aku tidak percaya bahwa kau adalah sute dari Lie Kiam. Betul kegesitanmu dan gerakan-gerakanmu sama dengan Lie Kiam, tapi ada juga perbedaannya. Dan tenaga dalammu ketika kau menyambut pukulanku tadi, ah, tak pantas kau menjadi adik seperguruan Lie Kiam."

"Bagaimanapun, memang benar siauwte adalah sute dari Lie Kiam suheng," jawab Han Liong.

"Aku tidak malu mengaku bahwa dalam hal ilmu pukulan, kau lebih pandai dari aku, tapi aku belum mau mengaku kalah, anak muda. Marilah kita mencoba kemahiran senjata!"

Ia lalu melompat ke dekat pintu kelenteng dan mengambil sebatang toya besi yang berat. Dalam hal ilmu tangan kosong, Ban Hok ini sudah lebih tinggi dari Lie Kiam, karena lima tahun yang lalu ketika ia jatuh di tangan Lie Kiam, ilmu silatnya sudah cukup tinggi dan hanya kalah sedikit saja dari Lie Kiam yang terkenal gesit.

Tapi setelah menggembleng dirinya selama lima tahun dengan sungguh-sungguh, kini dapat dibayangkan betapa majunya ia. Lebih-lebih dalam ilmu toyanya, jarang ia menemukan tandingan. Ia sangat membanggakan ilmu toya gabungan dari Siauw-lim dan Bhok-san-pai yang dinamakannya Ilmu Toya Lima Iblis Mengamuk.

"Nah, anak muda. Kulihat kau tak bersenjata, maka kau boleh meminjam pedang yang tergantung di pinggang adikmu itu untuk melawanku!"

Tapi Han Liong tahu bahwa toya lawannya itu sedikitnya beratnya ada lebih kurang lima puluh kati dan pedang Hong Ing bukanlah pedang mustika, sedangkan kalau menggunakan Pek-liong pokiam yang terlilit di pinggangnya itu, ia merasa belum waktunya. Bila keadaan tidak sangat mendesak dan perlu, ia tidak mau mengeluarkan pedang pusakanya itu. Selagi ia memikir-mikir, Hong Ing yang duduk di bawah sebatang pohon menikmati hawa sejuk sambil nonton pertempuran itu, berkata,

"Koko, ini toyamu tertinggal di sini!"

Han Liong menengok heran, dan ia tersenyum ketika melihat adiknya itu mengangsurkan sebatang ranting pohon liu yang panjangnya tidak lebih dari tiga kaki dan besarnya tidak melebihi ibu jari kakinya! Namun ia terima juga 'senjata' itu dan berkata,

"terima kasihi adikku." Lalu dengan tenang ia menghadapi Ban Hok.

Si Harimau Hitam melihat anak muda itu dengan mata merah. Ia merasa dihina sekali. "Jangan takabur, anak muda. Kau hendak melawan toyaku dengan ranting itu?"

"Memang itulah senjatanya, lo-enghiong!" dari bawah pohon, Hong Ing menjawab sambil tertawa.

Gadis ini yakin sekali akan ilmu silat kakaknya, maka ia sengaja menggunakan kesempatan ini untuk menyaksikan kelihaian kakaknya, sambil hendak memperolok-olokkan Ban Hok yang telah mengalahkannya tadi. Jadi dalam hal ini, sebenarnya Hong Inglah yang berlaku sombong.

Maka tak heran kalau Ban Hok menjadi marah sekali dan tanpa berkata apa-apa lagi ia segera memutar toyanya sehingga mengeluarkan suara angin mendesir, lalu ujung toyanya melayang ke arah dada Han Liong disertai bentakannya.

"Lihat toya!"

Kalau ranting yang diberikan oleh Hong Ing itu sudah kering, tentu Han Liong tidak berani menggunakannya, tapi ranting itu masih hijau dan basah, ia yakin bahwa kayu kecil itu merupakan senjata yang ulet dan tidak khawatir terpukul patah. Melihat datangnya luncuran ujung toya lawan, ia segera mengelak ke samping dan menggunakan rantingnya menangkis dengan meminjam tenaga lawan sehingga toya itu meleset arahnya.

Namun Ban Hok memutar balik toyanya dan menggunakan ujung sebelah lagi untuk mengemplang kepala! Han Liong memperlihatkan kegesitannya dengan miringkan kepala dan tubuh sambil menggunakan rantingnya dari bawah menotok ke arah iga lawan!

Gerakan ini dinamakan tipu Naga Sakti Mengulur Lidah, tubuhnya merendah dengan pinggang tertekuk bagaikan naga menggeliat dan ranting itu seakan-akan lidah naga yang menjulur cepat ke depan! Melihat gerakan yang cepat dan indah ini, tanpa terasa Ban Hok berseru,

"Bagus!" dan ia terpaksa membuang diri ke samping untuk menghindarkan totokan berbahaya itu, karena untuk menangkis ia tiada waktu lagi.

Ban Hok segera mengeluarkan ilmu toyanya Lima Iblis Mengamuk dengan mengerahkan semua tenaga dalamnya, hingga sekejap kemudian toyanya terputar-putar merupakan lingkaran hitam yang mengurung tubuh Han Liong! Ujung toya menjadi berpuluh-puluh banyaknya. Tapi dengan menggunakan keringanan tubuh dan kegesitan warisan keempat gurunya.

Han Liong dapat melayaninya dengan seimbang, Ilmu Pukulan Empat Bintang dapat ia mainkan di ujung ranting itu dan di sini ternyata betapa hebatnya ilmu gabungan ciptaan Kam Hong Siansu itu, karena menggunakan ilmu silat gabungan ini, walaupun hanya menggunakan sebatang ranting kecil saja, numun cukup untuk melayani ilmu Toya Lima Iblis Mengamuk yang demikian hebatnya!

Lebih-lebih lagi karena dalam gerakan-gerakan Han Liong digunakan ilmu totok warisan suhunya Hee Ban Kiat si mata satu, maka tak heran bahwa Ban Hok harus berlaku sangat waspada agar jangan sampai dijatuhkan oleh lawan yang muda dan hanya menggunakan ranting itu!

Demikianlah, mereka bertempur sampai enam puluh jurus lebih. Mata Hong In yang menonton dari bawah pohon sampai menjadi kabur rasanya, dan diam-diam ia memuji dan kagum melihat kehebatan ilmu silat kakaknya. Matanya berkunang-kunang melihat toya Ban Hok merupakan gulungan hitam bergerak-gerak cepat dan di tengah-tengah gulungan hitam itu tampak berkelebat sinar kecil putih kehihau-hijauan dari ranting Han Liong.

Pada saat itu Han Liong merasa sudah cukup mencoba kepandaian Ban Hok yang telah menjatuhkan suhengnva itu. Iapun diam-diam mengaku bahwa baru sekali ini ia menemukan lawan yang agak tangguh. Maka ia segera mengubah ilmu silatnya. Tiba-tiba Ban Hok terkejut sekali karena ketika ranting berkelebat dan menyambar ujung tovanya, ternyata ranting itu seakan-akan digerakkan oleh tenaga raksasa dan bukan merupakan ranting kecil lemah lagi, tetapi seakan-akan merupakan sebuah senjata yang lebih berat daripada toyanya sendiri.

Kemudian ranting itu berkelebat amat cepat dan gerakan-gerakannya tidak terduga sama sekali dan tahu-tahu ranting itu membesit tangan kanannya hingga ia merasa seakan-akan tulang lengan itu akan remuk dan kulitnya bagaikan terbakar! Ia tidak tahan lagi dan tanpa disengaja toyanya terlepas dari pegangan!

"Aku mengaku kalah!" katanya dengan suara penuh kekecewaan dan kemenyesalan, sambil memandang pemuda itu dengan penuh keheranan.

Sebenarnya tak usah dibuat heran, karena Han Liong tadi telah menggunakan dua jurus Ilmu dari Pek-liong-kiam-hoat! Gerakan pertama ketika ia menangkis ujung toya lawan adalah tipu Naga Putih Mencakar Gunung dan ketika ia membesit lengan lawan tadi ialah tipu Naga Putih Memukulkan Ekornya.

Baru saja ia menggunakan dua jurus tipu dari Pek-liong-kiam-hoat, ia telah berhasil mengalahkan Ban Hok, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu pedang Pek-liong-kiam-hoat itu! Memikirkan hal ini, Han Liong diam-diam merasa sangat girang dan berterima kasih kepada Kam Hong Siansu yang telah membimbingnya itu.

"Si enghiong, kau benar pandai dan gagah. Aku terima kalah. Hanya yang membuat aku penasaran, mengapa kau yang menjadi sute dari Lie Kiam setinggi ini ilmu silatmu? Katakanlah, anak muda, siapa yang mengajar kau ilmu silai tadi? Siapakah gurumu, selainnya guru Lie Kiam?"

"Ban lo-enghiong, jangan terlalu memuji. Karena kau jujur, maka terus terang kukatakan bahwa selain suhuku Lie Kiam, aku masih mempunyai tiga orang guru lain. Tapi yang mengajar aku dalam ilmu silat yang kupakai tadi sehingga akau berhasil membuat kau mengalah, adalah seorang guru lain yang tak dapat kusebut namanya, karena suhuku itu tidak suka namanya diperkenal kepada umum."

Ban Hok si Harimau Hitam mengangguk-anggukkan kepala. "Pantas... pantas... Kau jauh lebih hebat dari pada Lie Kiam, rupanya pelajaranmu begitu luas. Aku tidak usah merasa malu jatuh dalam tanganmu. Nah, sakarang kau boleh ambil anak itu dan antar kepada Lie Kiam dan katakan padanya bahwa melihat kau yang semuda ini tapi sudah berkepandaian begitu tinggi, pula sikapmu yang sopan santun ini, aku habiskan saja urusan sampai disini! Biarlah ini menjadi pelajaran bagiku bahwa di dunia ini tidak ada orang yang paling pandai. Pasti ada yang melebihi kepandaian seseorang."

Hong Ing mendengar ini lalu melompat berlari-lari masuk ke kelentang. Tak lama kemudian ia keluar lagi menuntun seorang anak kecil. Ternyata, walaupun bekas seorang perampok tunggal, Ban Hok adalah seorang laki-laki jujur, ia tidak membikin susah anak itu, tetapi dirawatnya baik-baik selama berada dalam tangannya sehingga anak itu tidak mengalami sesuatu kesengsaraan.

Kemudian, setelah menghaturkan terima kasihnya, Han Lion menggendong anak itu, dan bersama Hong Ing meninggalkan tempat itu dengan lari cepat...

********************

Pedang Pusaka Naga Putih Jilid 08

PEDANG PUSAKA NAGA PUTIH JILID 08

Ketika mereka tiba di kaki bukit Lui-san hari telah mulai gelap. Bwee Lan mengajak susioknya berhenti di depan sebuah rumah sederhana di kampung Lim-cun di dekat situ, di mana tinggal supeknya yang menderita luka.

Kedatangan mereka disambut oleh seorang wanita yang masih merah matanya karena kebanyakan menangis. Ketika diperkenalkan, Han Liong tahu bahwa itu adalah isteri suhengnya, maka ia segara memberi hormat. Segera mereka diantarkan memasuki kamar Lie Kiam yang tampak berbaring di atas tempat tidur dengan wajah pucat.

“Suheng, sutemu datang terlambat sehingga suheng dilukai orang.”

Han Liong memberi hormat sambil memandang laki-laki yang sudah setengah tua yang masih tampak gagah itu. Dengan agak payah Lie Kiam bangkit duduk, lalu memandang wajah anak muda itu dengan agak heran.

“Aku telah mendengar dari Bhok suheng bahwa suhu telah mempunyai seoang murid baru, tapi tak kusangka bahwa ia masih semuda ini,” katanya perlahan.

“Siokhu dipukul orang dan putera siokhu diculik, sebenarnya ada perkara apakah?” tiba-tiba Hong Ing yang kasihan melihat keadaan Lie Kiam itu bertanya. Han Liong mengerling adiknya, tapi Lie Kiam memandangnya lalu bertanya.

“Siapakah anak ini, sute?”

“Ia adalah adikku, suheng.”

Lie Kiam mengangguk-angguk, kemudian hendak mulai bercerita. Tapi Han Liong cepat berkata kepada Hong Ing. “Adik Ing, kau lihat suheng perlu mengaso, pula, cerita ita dapat ditunda kelak, Kini yang perlu ialah menolong puteranya.”

Mendengar orang menyebut puteranya, Lie Kiam timbul rasa khawatir dan sedihnya, maka tiba-tiba ia batuk-batuk dan dari mulutnya keluar darah!

Han Liong segera menghampiri. “Ah, suheng, kau terluka di dalam,” katanya, lalu tanpa minta permisi lagi, ia membuka baju suhengnya dan memeriksa dadanya.

“Suheng, kau terpukul dan mendapat luka dalam yang berbahaya juga, selain itu jalan darah di bawah tulang iga kanan telah terotok. Maaf, suheng, biarlah sute mencoba memulihkan jalan darah itu.”

Ia segera menggunakan kedua jari tangan dan telunjuknya mengurut-urut dada di bawah iga lalu menepuk punggung suhengnya. Lie Kiam yang terheran-heran kini merasa sakit di dadanya agak berkurang.

“Nah, ini dua butir obat, harap suheng makan dua kali, malam ini dan besok pagi.” Ia menyerahkan dua butir pil pemberian suhunya yang paham akan ilmu obat-obatan, ialah Pauw Kim Kong.

“Eh, sute, darimana kau peroleh kepandaian mengobati ini?” tanya Lie Kiam.

“Dari suhunya yang bernama Pauw Kim Kong!” Hong Ing menyahut.

Lie Kiam terheran mendengar ini. Bukankah sutenya itu murid suhunya sendiri? Tapi Han Liong segera berkata, “Biarlah besok saja kita bicara, suheng. Riwayat sutemu ini panjang untuk diceritakan seketika juga. Yang perlu sekarang adalah urusan anakmu. Biarlah kedua nona Bwee ini mengantarkan siauwte merampasnya kembali dari tangan Ban Hok.”

“Jangan, sute, ia sangat berbahaya. Kau akan mendapat celaka.”

Han Liong tersenyum. “Jangan khawatir, suheng, kurasa ada jalan untuk mengalahkannya. Pula, biar siauwte mendapat celaka sekalipun, siauwte tidak akan menyesal, karena siauwte telah memenuhi kewajiban sebagai saudara seperguruan.”

“Tapi adikmu ini lebih baik tinggal di sini saja dan biar Bwee Lan saja mengantarkan kau. Bwee Hwa juga jangan ikut,” kata Lie Kiam pula. Han Liong mengerling ke arah Hong Ing yang tampak merengut, maka dengan ketawa ia menjawab, “'Biarlah adikku ikut, suheng, karena iapun dapat menjaga dirinya sendiri.”

Dengan terpaksa Lie Kiam melepaskan mereka pergi. Hanya Bwee Hwa saja yang dilarangnya pergi, karena ia tahu akan tabiat anak itu dan khawatir akan keselamatannya. Untung saja Han Liong dan dua kawannya bahwa malam itu angkasa diterangi oleh ribuan bintang sehingga mereka dapat maju dengan cepat ke tempat kediaman Ban Hok si Harimau Hitam.

Terbukti menurut penuturan Bwee Lan, penculik itu tinggal dalam sebuah kelenteng tua yang telah tak terpakai lagi. Ketika mereka sampai di depan kelenteng itu, Ban Hok telah kelihatan berdiri di depan bertolak pinggang. Tubuhnya tinggi besar dan kulitnya hitam, sehingga di tempat agak gelap itu hanya tampak putih mata dan giginya ketika ia menyeringai. Han Liong maju dan tunduk menghormat dan Ban Hok segera membalasnya.

“Apakah siauwte berhadapan dengan Ban-enghiong?” tanya Han Liong dengan sopan.

“Betul. Dan saudara ini suruhan Lie Kiam si Angin Ribut?”

“Memang siauwte mewakili Lie Kiam suheng untuk menjumpaimu dan menjemput anaknya.” jawab Han Liong.

“Ha, ha! Lie Kiam ternyata berpikiran luas juga. Baik, kau boleh mengambil anak itu, ia sehat dan selamat, tapi lebih dulu serahkan uangnya padaku!”

Matanya berganti-ganti memandang tiga tamunya ingin tahu segera apakah mereka ini sudah membawa uang tebusan yang dimintanya.

“Perkara uang mudah, Ban-enghiong. Tapi cobalah kau sebutkan alasan-alasanmu menggunakan cara penculikan dan minta tebusan ini. Karena caramu ini sungguh membikin aku kecewa. Tak kusangka bahwa namamu yang besar itu tak sesuai dengan perbuatanmu. Maka kuduga pasti ada apa-apanya di belakang perbuatanmu ini.”

“Hm, kau masih muda tapi pandai bicara. Kau tadi bilang bahwa Lie Kiam itu suhengmu? Baik, dengarlah alasanku mengapa aku melakukan semua ini. Lima tahun yang lalu ketika aku mencegat seorang hartawan yang lewat di daerahku dan merampok uangnya sebanyak sepuluh ribu tail perak, Lie Kiam telah turut campur dan membela hartawan itu! Kami bertempur dan Lie Kiam telah memukulku sehingga aku hampir mati. Nah, aku lalu belajar silat lagi dan sekarang aku menagih hutang. Apakah ini perbuatan salah? Hutang uang membayar uang, hutang pukulan membalas pukulan, bukankah ini sudah adil namanya?”

“Hm, begitukah? Tapi kenapa kau masih menculik anaknya? Bukankah itu perbuatan rendah?” ujar Han Liong.

“Penculikan ini hanya untuk menagih uangku yang dulu. Lie Kiam telah merugikan aku sepuluh ribu tail, kini aku hanya minta lima ribu, ini masih murah sekali. Sudahlah, jangan banyak cakap, segera bayar uang itu dan anak Lie Kiam akan kuserahkan padamu.”

“Tuan Ban! Kau telah menggunakan kepandaianmu untuk menjatuhkan suhengku dan menculik anaknya, maka bagaimana kalau sekarang suheng menggunakan kepandaian pula untuk mengalahkan kau dan minta kembali anaknya?”

“Boleh, boleh! Kalau ia masih tidak mau mengaku kalah dan ingin mengadu kepandaian, silahkan! Kalau aku salah, biarlah aku bersumpah takkan mengganggunya lagi dan anaknya akan kukembalikan dengan selamat.”

“Bagaimana kalau adik seperguruannya mewakilinya berhadapan dengan kau dan mengadu tenaga?”

“Ha ha ha! Sedangkan suhengmu saja tak mampu melawanku, apa lagi sutenya? Silahkan, siapakah yang akan mewakilinya melawan aku?” tanyanya sombong.

“Aku sendiri.”

“Kau?” sepasang mata Ban Hok memandang Han Liong dengan tajam seakan-akan menaksir anak muda itu, tapi Han Liong hanya merupakan seorang pemuda yang halus kulitnya dan halus pula gerak-gerik serta tutur sapanya, maka ia sangat mengganggap enteng. “Baik, datanglah besok pagi, kita mengukur kepandaian di waktu terang hari di depan kelenteng ini.”

“Baik, tuan Ban, aku percaya bicaramu. Nah, sampai besok!”

Walaupun Hong Ing dan Bwee Lan tidak setuju dengan perjanjian ini, namun Han Liong segera mengajak mereka pergi. Di tengah jalan Han Liong menerangkan kepada mereka bahwa sebagai seorang yang mengerti aturan, ia harus menerima permintaan Ban Hok untuk bertempur besok karena malam itu terlampau gelap untuk orang mengadu kepandaian secara jujur. Sesampainya di rumah Lie Kiam, ternyata suhengnya sedang tidur nyenyak.

“Setelah menelan sebutir pil, ia nampak agak lumayan dan dapat tidar enak” kata isterinya kepada Han Liong dengan pandangan berterima kasih.

Maka Han Liong lalu beristirahat pula dalam sebuah kamar yang telah disediakan. Hong Ing pun pergi tidur dalam kamar lain. Ia mendapat kamar sendiri karena ia lebih dulu memajukan alasan bahwa ia tidak bisa tidur sekamar dengan lain orang, walaupun dengan kakaknya sendiri!

Keesokan harinya, Han Liong mengajak Hong Ing berangkat. Kedua nona Bwee yang akan ikut, dilarang oleh Han Liong dengan alasan bahwa Ban Hok mungkin akan menganggap ia mengandalkan banyak orang untuk mengeroyok. Dengan cepat mereka tiba di kelenteng tua itu. Betul saja Ban Hok telah menanti kedatangan mereka.

Kini mereka dapat melihat orang she Ban itu lebih nyata. Ternyata ia adalah seorang berusia kira-kira empat puluh tahun, berkulit hitam dengan sepasang mata tajam. Kedua lengan tangannya yang hitam itu berkilap seakan-akan digosok minyak.

Diam-diam Han Liong terkejut karena ia dapat menduga bahwa Harimau Hitam itu tentu seorang ahli tangan pasir, ialah ahli silat yang melatih tangannya dengan pasir dan bubuk besi hingga kedua lengan itu menjadi sangat berbahaya dan kuat. Pula tindakan kakinya ketika ia maju melangkah membayangkan sebuah tenaga Iweekang yang tinggi karena tindakan kakinya tetap dan berdirinya seakan-akan kedua kakinya berakar!

Han Liong segera memberi hormat yang dibalas oleh Ban Hok. Sebaliknya Harimau Hitam ini diam-diam tidak berani memandang ringan kepada Han Liong ketika ia lihat betapa sepasang sinar mata pemuda itu menyambar-nyambar bagaikan sapasang mata seekor naga sakti!

“Anak muda, betulkah kau hendak mewakili suhengmu melawan aku!” tanyanya.

“Akan kucoba.” jawab Han Liong.

“Dengan cara apa kau hendak melawanku? Tangan kosong atau bersenjata?”

“Kaulah yang berhak memilih, tuan Ban, karena kaulah tuan rumahnya. Aku sebagai tamu hanya menurut saja,” kata Han Liong.

“Hm, kau masih muda, tapi tahu aturan. Siapakah namamu dan apa gelarmu?” tanya Ban Hok.

“Aku yang bodoh she Si bernama Han Liong, orang-orang kampung menyebut aku dan adikku ini Thian-jiauw-siang hiap.”

“Eh, jadi adikmu ini juga ahli silat?” tanya Ban Hok dengan pandangan kagum. “Kalau begitu, begini saja, anak muda. Jangan sampai kalangan kang-ouw menyebut aku sebagai orang tua hendak menghina yang muda. Karena suhengmu sendiri tak dapat melawan aku, maka keterlaluanlah kalau aku melawan kau yang menjadi sutenya. Baiknya kau majulah bersama-sama dengan adikmu ini, agar keadaan kita agak berimbang. Nah, marilah kita coba-coba, kepandaian kita, majulah kalian bersama-sama, kita bertempur dengan tangan kosong.”

Han Liong ragu-ragu, tapi Hong Ing yang merasa gemas melihat kesombongan orang yang memandang rendah mereka, berkata,

“Koko, biarlah aku maju dulu minta pengajaran dari Ban lo-enghiong ini.”

Sebelum Han Liong sempat menjawabnya, Hong Ing sudah maju selangkah, memasang kuda-kuda dan berkata kepada Ban Hok. “Nah, marilah aku yang muda minta pelajaran barang lima jurus darimu, lo enghiong!”

Sikap yang lucu dan berani dari Hong Ing ini nembuat Ban Hok tertawa lebar, kemudian melompat mendekati dan berkata, “Baik, baik, seranglah, anak muda!”

Hong Ing tanpa membuang tempo lagi, segera menggeser kakinya maju dan secepat kilat melayangkan kepalan kanannya memukul dada lawan dengan tipu Dewa Suguhkan Arak, Ban Hok yang memandang rendah lawannya, melibat datangnya pukulan yang cepat ini segera miringkan tubuh dan menggunakan telapak tangan kiri untuk memukul lengan lawan.

Tapi Hong Ing awas matanya dan cepat gerakannya. Sebelum tangannya terpukul ia robah gerakannya, menarik kembali kepalan tangan dan meloncat ke sebelah kanan musuh lalu melayangkan kepalan kiri dengan tipu Burung Kepinis Mematuk buah. Gerakannya yang sebat dan cepat sekali ini tidak terduga sedikit juga oleh Ban Hok sehingga hanya dengan melompat jungkir balik ke belakang saja, ia dapat menyelamatkan diri dari pukulan.

Ia mulai hati-hati dan tidak berani memandang ringan lawannya yang kecil dan muda itu! Hong Ing terus mendesak maju dengan mengeluarkan tipu-tipu yang istimewa dari cabang Siauw-lim. Dikeluarkannya tipu-tipu silat yang berbahaya dan sepasang kepalan tangannya yang kecil meninju tempat-tempat berbahaya dari lawan.

Ban Hok tadinya hanya ingin mempermainkan lawannya saja, tapi melihat bahwa lawan kecil ini sedikitpun tak boleh dipandang ringan, maka ia merasa panas lalu mulai balas menyerang. Ternyata setelah bertempur lebih dari lima belas jurus, pukulan-pukulan silat biasa saja tak dapat mendesak Hong Ing. Ban Hok merasa malu sekali, lalu mulai mengeluarkan kepandaiannya yang ditakuti lawan, yaitu pukulan-pukulan tangan pasir.

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Ketika ia gerakkan kedua lengannya, terdengar suara berderak-derak dan kulit lengan yang sudah hitam itu kini bertambah-tambah hitam bersemu merah. Pukulannya berat dan mendatangkan angin dingin. Hong Ing sangat terkejut ketika ia berbalik ke samping mengelak, ternyata angin pukulan lawannya itu menyambar dan merasa pundaknya tertimpa tenaga kuat!

Ia berhati-hati dan tidak mau menangkis lengan lawannya, tapi karena desakan-desakan Ban Hok yang gerakannya juga gesit sekali, hampir tiada ketika baginya untuk selalu mengelak saja.

Han Liong melihat dengan khawatir. Ia maklum bahwa Jika Hong Ing menggunakan lengan untuk menangkis, maka sekali saja lengannya beradu dengan lengan lawan, dapat dipastikan ia akan mendapat luka berat, kalau tidak, patah lengannya! Maka pada saat Ban Hok melayangkan pukulan mautnya segera ia gerakkan tubuhnya untuk menangkis dengan tangannya karena Hong Ing sudah terdesak betul-betul sehingga itulah jalan satu-satunya.

Han Liong menyambar tangan Hong Ing dan merenggutkannya. Gadis itu merasakan tubuhnya melayang ke atas bagaikan tertiup angin puyuh, tapi ia dapat turun ke tanah dengan selamat. Hampir saja gadis itu menegur kakaknya dengan marah, tapi ia sempat melihat Han Liong berkedip padanya dan Ban Hok berdiri sambil tertawa.

"Bagus sekali gerakanmu. Angin Puyuh Menyambar Pohon itu! Syukur adikmu tertolong oleh gerakanmu yang cepat dan tangkas!" ia memuji.

Han Liong menjura. "Adikku mengaku kalah, lo-enghiong. Kini siauwte mohon pengajaranmu. Tapi sebelum kita bertanding ilmu silat, bagaimanakan perjanjian kita?"

"Haruskah dijelaskan lagi? Kalau kau kalah, maka kau harus penuhi permintaanku yaitu sediakan uang lima ribu tail perak untuk menebus anak Lie Kiam, sebaliknya kalau aku sampai kalah, kau boleh ambil kembali anak itu dan habis perkara!"

"Terima kasih, lo-enghiong. Nah, silahkan!"

"Kaulah yang menyerang dulu, anak muda!"

Han Liong segera menggunakan tangan kanannya menyerang dengan gerakan sembarangan saja, tapi hal ini tidak membuat Ban Hok berlaku kurang waspada, karena orang gagah ini maklum bahwa kalau adiknya saja sudah demikian pandai, kakaknya tentu lebih pandai lagi. Maka, tanpa pikir panjang lagi ia menggunakan ilmu tangan pasir untuk melayani Han Liong.

Pemuda ini sengaja tidak menangkis atau balas menyerang, tapi pergunakan seluruh kegesitan tubuhnya, warisan dari Liok-tee-sin-mo Hong In, untuk berkelit kesana kemari. Ban Hok diam-diam memuji ilmu meringankan tubuh anak muda itu yang bagaikan seekor burung kecil berkelebat ke sana ke mari menghindarkan segala serangannya. Tiga puluh jurus telah lewat tanpa ia mampu menowel ujung baju pemuda itu, hingga ia merasa sangat kesal dan berteriak,

"He, jangan licik! Tak beranikah kau menyambut tanganku?"

"Maaf, sekarang akan kusambut. Bersiaplah!" seru Han Liong dan ketika si Harimau Hitam kerahkan seluruh tenaga dalamnya di sepanjang lengan dan tangan kanannya sambil melayangkan pukulan ke arah dada Han Liong, anak muda itu mengerahkan seluruh kekuatannya dan gunakan tangan kiri dengan kepalan terbuka menumbuk kepalan lawan!

Terdengar suara 'buk' seakan-akan dua benda lunak tapi berat beradu! Han Liong yang sedang memasang kuda-kudanya merasa tergetar dan terpaksa menggerakkan kaki kirinya mundur setindak, tapi kesudahannya sungguh hebat di fihak Ban Hok. Ia terpental ke belakang seolah-olah terdorong oleh tenaga yang luar biasa besarnya sehingga terhuyung-huyung dan hampir saja jatuh terjengkang setelah mundur lebih dari enam langkah!

Baiknya Han Liong tidak hendak mencelakakannya dan hanya gunakan tenaga keras lawan keras untuk memunahkan tenaga lawan. Sesungguhnya dalam hal lweekang, anak muda itu jauh lebih tinggi tingkatnya daripada Ban Hok.

Kalau saja Han Liong dalam pertumbukan tenaga itu mempergunakan lweekang lemas untuk membuat tenaga Ban Hok mental balik, akan celakalah Harimau Hitam itu. Pasti ia akan terpukul oleh tenaganya sendiri dan ia akan mendapat luka dalam yang dapat membuat jantungnya putus. Setelah Ban Hok dapat tetapkan kakinya, ia menghampiri anak muda itu dengan pandangan heran dan kagum.

"Sungguh tak kusangka Lie Kiam mempunyai sute seperti kau, Si enghiong," katanya. "Biar bagaimana jugapun, ilmu silat dan tenagamu itu membuat aku tidak percaya bahwa kau adalah sute dari Lie Kiam. Betul kegesitanmu dan gerakan-gerakanmu sama dengan Lie Kiam, tapi ada juga perbedaannya. Dan tenaga dalammu ketika kau menyambut pukulanku tadi, ah, tak pantas kau menjadi adik seperguruan Lie Kiam."

"Bagaimanapun, memang benar siauwte adalah sute dari Lie Kiam suheng," jawab Han Liong.

"Aku tidak malu mengaku bahwa dalam hal ilmu pukulan, kau lebih pandai dari aku, tapi aku belum mau mengaku kalah, anak muda. Marilah kita mencoba kemahiran senjata!"

Ia lalu melompat ke dekat pintu kelenteng dan mengambil sebatang toya besi yang berat. Dalam hal ilmu tangan kosong, Ban Hok ini sudah lebih tinggi dari Lie Kiam, karena lima tahun yang lalu ketika ia jatuh di tangan Lie Kiam, ilmu silatnya sudah cukup tinggi dan hanya kalah sedikit saja dari Lie Kiam yang terkenal gesit.

Tapi setelah menggembleng dirinya selama lima tahun dengan sungguh-sungguh, kini dapat dibayangkan betapa majunya ia. Lebih-lebih dalam ilmu toyanya, jarang ia menemukan tandingan. Ia sangat membanggakan ilmu toya gabungan dari Siauw-lim dan Bhok-san-pai yang dinamakannya Ilmu Toya Lima Iblis Mengamuk.

"Nah, anak muda. Kulihat kau tak bersenjata, maka kau boleh meminjam pedang yang tergantung di pinggang adikmu itu untuk melawanku!"

Tapi Han Liong tahu bahwa toya lawannya itu sedikitnya beratnya ada lebih kurang lima puluh kati dan pedang Hong Ing bukanlah pedang mustika, sedangkan kalau menggunakan Pek-liong pokiam yang terlilit di pinggangnya itu, ia merasa belum waktunya. Bila keadaan tidak sangat mendesak dan perlu, ia tidak mau mengeluarkan pedang pusakanya itu. Selagi ia memikir-mikir, Hong Ing yang duduk di bawah sebatang pohon menikmati hawa sejuk sambil nonton pertempuran itu, berkata,

"Koko, ini toyamu tertinggal di sini!"

Han Liong menengok heran, dan ia tersenyum ketika melihat adiknya itu mengangsurkan sebatang ranting pohon liu yang panjangnya tidak lebih dari tiga kaki dan besarnya tidak melebihi ibu jari kakinya! Namun ia terima juga 'senjata' itu dan berkata,

"terima kasihi adikku." Lalu dengan tenang ia menghadapi Ban Hok.

Si Harimau Hitam melihat anak muda itu dengan mata merah. Ia merasa dihina sekali. "Jangan takabur, anak muda. Kau hendak melawan toyaku dengan ranting itu?"

"Memang itulah senjatanya, lo-enghiong!" dari bawah pohon, Hong Ing menjawab sambil tertawa.

Gadis ini yakin sekali akan ilmu silat kakaknya, maka ia sengaja menggunakan kesempatan ini untuk menyaksikan kelihaian kakaknya, sambil hendak memperolok-olokkan Ban Hok yang telah mengalahkannya tadi. Jadi dalam hal ini, sebenarnya Hong Inglah yang berlaku sombong.

Maka tak heran kalau Ban Hok menjadi marah sekali dan tanpa berkata apa-apa lagi ia segera memutar toyanya sehingga mengeluarkan suara angin mendesir, lalu ujung toyanya melayang ke arah dada Han Liong disertai bentakannya.

"Lihat toya!"

Kalau ranting yang diberikan oleh Hong Ing itu sudah kering, tentu Han Liong tidak berani menggunakannya, tapi ranting itu masih hijau dan basah, ia yakin bahwa kayu kecil itu merupakan senjata yang ulet dan tidak khawatir terpukul patah. Melihat datangnya luncuran ujung toya lawan, ia segera mengelak ke samping dan menggunakan rantingnya menangkis dengan meminjam tenaga lawan sehingga toya itu meleset arahnya.

Namun Ban Hok memutar balik toyanya dan menggunakan ujung sebelah lagi untuk mengemplang kepala! Han Liong memperlihatkan kegesitannya dengan miringkan kepala dan tubuh sambil menggunakan rantingnya dari bawah menotok ke arah iga lawan!

Gerakan ini dinamakan tipu Naga Sakti Mengulur Lidah, tubuhnya merendah dengan pinggang tertekuk bagaikan naga menggeliat dan ranting itu seakan-akan lidah naga yang menjulur cepat ke depan! Melihat gerakan yang cepat dan indah ini, tanpa terasa Ban Hok berseru,

"Bagus!" dan ia terpaksa membuang diri ke samping untuk menghindarkan totokan berbahaya itu, karena untuk menangkis ia tiada waktu lagi.

Ban Hok segera mengeluarkan ilmu toyanya Lima Iblis Mengamuk dengan mengerahkan semua tenaga dalamnya, hingga sekejap kemudian toyanya terputar-putar merupakan lingkaran hitam yang mengurung tubuh Han Liong! Ujung toya menjadi berpuluh-puluh banyaknya. Tapi dengan menggunakan keringanan tubuh dan kegesitan warisan keempat gurunya.

Han Liong dapat melayaninya dengan seimbang, Ilmu Pukulan Empat Bintang dapat ia mainkan di ujung ranting itu dan di sini ternyata betapa hebatnya ilmu gabungan ciptaan Kam Hong Siansu itu, karena menggunakan ilmu silat gabungan ini, walaupun hanya menggunakan sebatang ranting kecil saja, numun cukup untuk melayani ilmu Toya Lima Iblis Mengamuk yang demikian hebatnya!

Lebih-lebih lagi karena dalam gerakan-gerakan Han Liong digunakan ilmu totok warisan suhunya Hee Ban Kiat si mata satu, maka tak heran bahwa Ban Hok harus berlaku sangat waspada agar jangan sampai dijatuhkan oleh lawan yang muda dan hanya menggunakan ranting itu!

Demikianlah, mereka bertempur sampai enam puluh jurus lebih. Mata Hong In yang menonton dari bawah pohon sampai menjadi kabur rasanya, dan diam-diam ia memuji dan kagum melihat kehebatan ilmu silat kakaknya. Matanya berkunang-kunang melihat toya Ban Hok merupakan gulungan hitam bergerak-gerak cepat dan di tengah-tengah gulungan hitam itu tampak berkelebat sinar kecil putih kehihau-hijauan dari ranting Han Liong.

Pada saat itu Han Liong merasa sudah cukup mencoba kepandaian Ban Hok yang telah menjatuhkan suhengnva itu. Iapun diam-diam mengaku bahwa baru sekali ini ia menemukan lawan yang agak tangguh. Maka ia segera mengubah ilmu silatnya. Tiba-tiba Ban Hok terkejut sekali karena ketika ranting berkelebat dan menyambar ujung tovanya, ternyata ranting itu seakan-akan digerakkan oleh tenaga raksasa dan bukan merupakan ranting kecil lemah lagi, tetapi seakan-akan merupakan sebuah senjata yang lebih berat daripada toyanya sendiri.

Kemudian ranting itu berkelebat amat cepat dan gerakan-gerakannya tidak terduga sama sekali dan tahu-tahu ranting itu membesit tangan kanannya hingga ia merasa seakan-akan tulang lengan itu akan remuk dan kulitnya bagaikan terbakar! Ia tidak tahan lagi dan tanpa disengaja toyanya terlepas dari pegangan!

"Aku mengaku kalah!" katanya dengan suara penuh kekecewaan dan kemenyesalan, sambil memandang pemuda itu dengan penuh keheranan.

Sebenarnya tak usah dibuat heran, karena Han Liong tadi telah menggunakan dua jurus Ilmu dari Pek-liong-kiam-hoat! Gerakan pertama ketika ia menangkis ujung toya lawan adalah tipu Naga Putih Mencakar Gunung dan ketika ia membesit lengan lawan tadi ialah tipu Naga Putih Memukulkan Ekornya.

Baru saja ia menggunakan dua jurus tipu dari Pek-liong-kiam-hoat, ia telah berhasil mengalahkan Ban Hok, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu pedang Pek-liong-kiam-hoat itu! Memikirkan hal ini, Han Liong diam-diam merasa sangat girang dan berterima kasih kepada Kam Hong Siansu yang telah membimbingnya itu.

"Si enghiong, kau benar pandai dan gagah. Aku terima kalah. Hanya yang membuat aku penasaran, mengapa kau yang menjadi sute dari Lie Kiam setinggi ini ilmu silatmu? Katakanlah, anak muda, siapa yang mengajar kau ilmu silai tadi? Siapakah gurumu, selainnya guru Lie Kiam?"

"Ban lo-enghiong, jangan terlalu memuji. Karena kau jujur, maka terus terang kukatakan bahwa selain suhuku Lie Kiam, aku masih mempunyai tiga orang guru lain. Tapi yang mengajar aku dalam ilmu silat yang kupakai tadi sehingga akau berhasil membuat kau mengalah, adalah seorang guru lain yang tak dapat kusebut namanya, karena suhuku itu tidak suka namanya diperkenal kepada umum."

Ban Hok si Harimau Hitam mengangguk-anggukkan kepala. "Pantas... pantas... Kau jauh lebih hebat dari pada Lie Kiam, rupanya pelajaranmu begitu luas. Aku tidak usah merasa malu jatuh dalam tanganmu. Nah, sakarang kau boleh ambil anak itu dan antar kepada Lie Kiam dan katakan padanya bahwa melihat kau yang semuda ini tapi sudah berkepandaian begitu tinggi, pula sikapmu yang sopan santun ini, aku habiskan saja urusan sampai disini! Biarlah ini menjadi pelajaran bagiku bahwa di dunia ini tidak ada orang yang paling pandai. Pasti ada yang melebihi kepandaian seseorang."

Hong Ing mendengar ini lalu melompat berlari-lari masuk ke kelentang. Tak lama kemudian ia keluar lagi menuntun seorang anak kecil. Ternyata, walaupun bekas seorang perampok tunggal, Ban Hok adalah seorang laki-laki jujur, ia tidak membikin susah anak itu, tetapi dirawatnya baik-baik selama berada dalam tangannya sehingga anak itu tidak mengalami sesuatu kesengsaraan.

Kemudian, setelah menghaturkan terima kasihnya, Han Lion menggendong anak itu, dan bersama Hong Ing meninggalkan tempat itu dengan lari cepat...

********************