Pedang Pusaka Naga Putih Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG PUSAKA NAGA PUTIH JILID 04

Pada suatu hari Kam Hong Siansu mengeluarkan sebilah pedang mustika yang terbuat dari logam putih laksana perak dan pedang itu ternyata lemas sekali hingga dapat dililitkan di pinggang merupakan ikat pinggang. Ia serahkan pedang itu kepada Han Liong sambil berkata,

“Anakku, kau berjodoh untuk memiliki pedang ini. Pokiam ini disebut Pek Liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Putih). Karena pokiam ini adalah barang pusaka yang suci, maka untuk memilikinya, orang harus terlebih dahulu dikuatkan tubuhnya oleh racun ouw-pek-coa (ular hitam dan putih) serta ia harus bersumpah dulu.”

Dengan sangat hormat Han Liong menerima pedang itu lalu bersumpah. “Teecu akan menjunjung tinggi prikebenaran, dan pokiam ini hanya akan teecu gunakan untuk membela yang lemah dan menindas yang jahat. Jika teecu gunakan pokiam ini untuk maksud-maksud tidak baik atau hanya untuk keuntungan diri teecu sendiri, biarlah teecu mati mendadak di bawah mata pedang ini sendiri!”

Kam Hong Siansu tersenyum puas mendengar sumpah pemuda itu. “Han Liong, ketahuilah olehmu, pokiam ini kudapat dari suhuku, dan suhu juga menerima dari gurunya. Maka setelah kau menerima pokiam ini, boleh dikata bahwa kaupun menjadi muridku.”

Han Liong segera berlutut dan menyebut. “Suhu!”

“Muridku, di dunia ini hanya ada dua bilah pokiam yang paling tua dan sempurna, ialah Pek-Liong-pokiam yang kau pegang itu dan yang kedua ialah Ouw-liong pokiam (Pedang Pusaka Naga Hitam). Pek-liong pokiam ini mengandung sari hawa Yang, sebaliknya Ouw-liong pokiam mengandung sari hawa Im. Selain merupakan senjata yang tajam dan ampuh, kedua pokiam itu juga dapat mengobati korban-korban racun jahat. Jika seorang terkena racun hingga mukanya berobah hitam, maka air yang dicelupi Pek-liong pokiam akan dapat menyembuhkannya dengan segera. Sebaliknya, jika racun itu membuat korbannya menjadi pucat seperti mayat, air yang dicelupi Ouw-liong-pokiam akan menjadi obatnya.”

“Bolehkah teecu bertanya, suhu. Di manakah adanya Ouw-liong pokiam itu dan siapa pula yang memilikinya?” tanya Han Liong.

“Ouw liong-pokiam berada dalam tangan sumoiku yang bertapa di Gunung Heng san. Nah, sekarang bersiaplah, muridku. Aku akan memberi pelajaran Pek-liong-kiamsut padamu. Belajarlah dengan rajin, karena ilmu pedang ini walaupun nampaknya mudah, namun jika tidak dipelajari dengan tekun dan sepenuh hati, takkan ada manfaatnya. Tapi bila kau sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu ini, kukira, takkan mudah lain ilmu dapat mengalahkannya. Hanya Ouw liong-kiam-sut saja yang barangkali dapat menandingi!”

Mengenai riwayat Pek-Liong-pokiam dan Ouw-liong pokiam silahkan baca Kisah Sepasang Naga

Han Liong yang masih berlutut mengangguk-anggukkan kepala sambil menghaturkan terima kasih. Demikianlah, untuk beberapa bulan ia mempelajari Ilmu Pedang Naga Putih dengan giatnya hingga tak terasa musim Chun telah tiba pula.

Pagi hari di musim Chun itu, ketika Han Liong masuk ke kamar Kam Hong Siansu, ternyata pertapa itu tidak ada dalam kamarnya. Yang ada di situ hanya kakeknya, Si Kim Pauw. Han Liong segera memberi hormat dan bertanya ke mana kakek selama setahun ini pergi hingga tak pernah ia melihatnya.

“Aku bertapa di lain bukit, cucuku. Sungguh kau beruntung, Liong, karena Pek-liong-pokiam menjadi milikmu. Dulu aku pernah mendengar sebuah dongeng tentang pokiam itu. Ribuan tahun yang lalu, di Gunung Kam-hong-san ini bertapa dua ekor naga sakti, seekor jantan berkulit putih dan seekor betina berkulit hitam. Kedua ekor naga sakti itu bertapa dan membersihkan diri untuk menjadi dewa. Hal ini menimbulkan rasa iri hati seorang pertapa yang juga bertapa di gunung itu. Ia merasa iri hati karena ia sendiri gagal dalam pertapaannya dan hatinya mengiri sekali melihat dua ekor naga itu nampak makin hari makin bercahaya karena sudah mendekati kesempurnaannya. Maka rasa iri hatinya menimbulkan pikiran jahat. Dilemparnya dua naga itu, tapi ia tak berhasil karena ternyata dua ekor naga itu amat sakti. Si pertapa menjadi sakit hati dan akhirnya ia berhasil mendapat semacam obat yang jahat dan manjur sekali. Ia masuk dengan diam-diam ke ruang pertapaan kedua naga itu dan menyemburkan obat beracun itu ke arah hidung kedua naga itu. Ketika kedua naga itu mencium bau harum dan tersadar dari samadhi mereka, racun jahat itu telah bekerja. Hebat sekali jalannya racun itu hingga batin kedua naga yang sudah kuat itu tidak tahan menindas pengaruhnya. Mereka berdua dipengaruhi rasa nafsu berahi besar dan keduanya lalu bercampur. Setelah sadar mereka merasa sangat menyesal dan segera mengejar pertapa itu, lalu membunuhnya. Kemudian mereka bertapa kembali dengan hati sedih, tapi karena dosa yang telah mereka perbuat, pertapaan mereka gagal. Maka putuslah harapan mereka, lalu beribu tahun kemudian mereka menjelma menjadi sepasang pedang pusaka dan berniat menebus dosa dengan menjadi pedang guna membantu orang-orang gagah membela keadilan dan kebenaran. Nah, pedang Pek liong-pokiam inilah penjelmaan dari naga putih itu dan naga hitam menjelma menjadi Ouw liong-Pokiam.”

“Kongkong (kakek), benar-benar adakah dongeng itu, maksudku, benarkah terjadi peristiwa aneh itu?”

Kakeknya tertawa. “Aku tadi kan mengatakan bahwa semua itu hanya dongeng. Benar atau tidaknya, siapakah yang dapat menentukan? Kalau benar-benar ada, peristiwa itu telah terjadi ribuan tahun yang lalu. Dan siapakah orangnya di jaman ini dapat mengetahui apa yang terjadi pada waktu itu? Ini hanya dongeng, Liong, namun, sungguhpun hanya dongeng, di dalamnya terkandung arti dan nasehat yang sangat berguna. Maka, kau yang memiliki Pek-liong-pokiam, hati-hatilah dan waspadalah terhadap godaan dari musuh yang tak nampak di mata, musuh yang jauh lebih jahat dan pada musuh yang berupa manusia, yang bagaimanapun buasnya ialah nafsu sendiri! Kuatkanlah batinmu untuk mengalahkan musuh yang seperti ini. Nah, mari kuantarkan kau keluar, karena Kam Hong Siansu kini sedang pergi keluar gunung dengan meninggalkan pesan bahwa hari ini adalah hari terakhir bagimu tinggal di tempat ini. Kau diharuskan keluar gua, turun gunung mulai dengan kewajibanmu.”

Han Liong berlutut memberi hormat ke arah tempat duduk Kam Hong Siansu dengan dilihat oleh kakeknya yang mengangguk-anggukkan kepala memuji kesopanan cucunya. Kemudian mereka keluar gua, melompat ke pohon di depan gua, lalu menggunakan kekuatan mereka melayang ke atas, tiba di tebing jurang dengan selamat.

Ternyata keempat suhunya dan ie-ienya sudah menanti di situ. Yo Toanio memeluk keponakannya dengan mengeluarkan air mata karena suka cita. Si Kim Pauw tidak lama di situ, setelah minta diri ia lalu terjun ke jurang kembali. Tapi ia tidak lupa untuk memberi nasehat-nasehat terakhir kepada cucunya yang tersayang itu.

Han Liong dihujani pertanyaan-pertanyaan oleh kelima orang tua itu. Ia menceritakan pengalamannya dengan ringkas hingga mereka menjadi girang sekali. Pauw Kim Kong menghela napas.

“Tidak percuma Si Kim Pauw lo enghiong menjadi menteri setia dan Si-enghiong menjadi seorang patriot yang mengorbankan nyawanya demi tanah air dan bangsa. Ternyata keturunan mereka telah menjadi orang pandai dan beruntung. Han Liong, kami hanya mempunyai satu keinginan, yakni melihat kau melanjutkan usaha ayahmu dan berbakti kepada bangsa. Negara sekarang sedang kacau, para durna memegang tampuk kekuasaan. Pembesar-pembesar rakus merajalela di kota, menindas rakyat sesuka hatinya. Di mana-mana berlaku hukum rimba, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya menghisap yang miskin. Kasihan rakyat kecil yang tertindas, tiada pembela. Maka sudah menjadi kewajibanmu untuk membantu mereka yang tertindas yang butuh pertolongan. Kami sudah tua, tenaga kami tak seberapa, usia kami tak lama lagi. Maka, berilah kami kebahagiaan terakhir, yaitu, melihat kau yang menjadi murid kami melakukan tugas mulia mewakili kami.”

“Betul kata Pauw suhu, Liong,” menyambung Hong In sambil mengelus jenggotnya yang panjang. “Hanya saja, sebagai tanda peringatan bagi kami, cobalah kau perlihatkan Ilmu Silat Empat Bintang ciptaan Kam Hong Siansu itu, kami ingin sekali melihatnya.”

Dengan segera Han Liong menyanggupi, lalu mulai bersilat. Mula-mula gerakannya lambat, indah dan menarik, makin lama makin cepat hingga tubuhnya tak tampak lagi, hanya kelihatan gundukan putih bergerak-gerak ke sana kemari dengan cepatnya. Tidak sedikitpun debu mengepul dari bawah kakinya, namun kelima orang tua itu merasa betapa angin pukulan yang dingin membuat jubah mereka bergerak-gerak, bagaikan tertiup angin gunung!

Empat orang guru itu dengan tegas sekali melihat betapa ilmu-ilmu pukulan mereka digerakkan dalam cio-hwat Han Liong, tapi pecahan-pecahannya demikian ganjil dan cepat hingga mereka merasa betapa sukarnya menandingi seorang yang bersilat dengan cara demikian sulit. Serta merta mereka bertepuk tangan setelah Han Liong menghentikan gerakannya. Dengan merendah Han Liong berlutut sambil berkata,

“Semua ini berkat didikan suhu sekalian dan ie-ie. Teccu tak tahu bagaimana harus membalasnya!”

“Anak baik,” kata Yo Toanio, “asal engkau menjadi seorang yang kenal pribudi kebaikan dan pembela kebenaran, maka itu sudah merupakan pembalasan budi yang besar terhadap kami.”

Kemudian Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan memberitahu kepada Han Liong bahwa ia mempunyai dua orang murid bernama Bhok Kian Eng dan Lie Kiam yang kedua-duanya kini berada di kota Tong hai. Lain orang murid Pauw Kim Kong adalah Bie Cauw Giok yang berada di kota Lam chiu. Kedua guru ini berpesan agar Han Liong dalam perjalanannya menemui mereka itu. Lain-lain guru tidak mempunyai murid lain kecuali Han Liong.

Setelah menerima nasehat-nasehat penting, Han Liong berangkat merantau, menggendong bungkusan kuning pemberian bibinya yang berisi dua pasang pakaian dan beberapa potong perak dan emas. Keempat suhunya serta bibinya melihat ia pergi dengan hati terharu.

********************

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Si Han Liong yang sudah mendapat petunjuk dari bibinya, langsung menuju ke kota Lam-ciu di mana ibunya dan musuh besarnya tinggal. Tapi alangkah kecewa hatinya ketika tiba di kota itu ia mendapat keterangan bahwa Tiat-kak-liong Lie Ban telah beberapa bulan yang lalu pindah ke kota Hong-lung-cian beserta keluarganya. Kota ini jauhnya ratusan li dari Lam-ciu dan jika ditempuh jalan darat berkuda kira-kira sepuluh hari baru sampai. Ada jalan yang lebih dekat, yaitu jalan air sepanjang Sungai Lien-ho dengan naik perahu.

Karena memang maksudnya pergi merantau meluaskan pengalaman, maka ketika mendengar bahwa jalan melalui sungai lebih indah pemandangannya, Han Liong mengambil keputusan menyewa perahu. Maka pergilah ia ke perkampungan nelayan yang tinggal di dekat Sungai Lien-ho.

Perkampungan itu besar juga, dan penduduknya hidup dari hasil ikan sungai dan ada pula yang khusus berpenghasilan dari menyewakan perahu, baik untuk berpesiar maupun untuk menyeberang sungai yang lebar itu.

“Kalau tuan mau pelesir, sekarang ini musimnya baik sekali, air sungai tenang dan jernih. Jika sedang banjir, ah, jangan harap berpelesir naik perahu,” kata seorang nelayan tua sambil menawarkan perahunya. “Tuan hendak pesiar ke mana?”

Han Liong tersenyum. “Aku tidak hendak pesiar, tapi hendak menyewa perahu untuk membawaku ke kota Hong-lung cian. Berapakah sewanya?”

“Ke kota Hong-lung cian?” Nelayan tua itu geleng-geleng kepala. “Ah, lebih baik jangan tuan.”

“He, apa maksudmu? Kenapa?” tanya Han Liong.

“Dengar tuan muda. Aku adalah nelayan tertua di kampung ini, dan aku memiliki perahu yang terkuat. Naik perahu Lo Sam sama dengan rasa tidur di ranjang, demikian orang-orang kota di sini berkata. Bukan aku hendak menyombong, tapi selama pekerjaanku mengantar orang-orang dengan perahuku dalam tiga puluhan tahun ini, belum pernah aku mengalami kecelakaan, kecuali ketika bajak sungai Hek Sam Ong mencegatku. Ke mana saja tuan akan kuantarkan dengan jaminan keselamatan penuh, tapi ke Hong-lung-cian? Tidak, tuan muda, aku tak berani.”

“Mengapa? Ada apakah di Hong-lung cian?” tanya Han Liong.

"Di Hong-lung-cian sendiri tidak ada apa-apa!” jawab kakek itu, “tapi perjalanan dari sini ke Hong-lung-cian harus melalui Gunung Hek-houw-san yang penuh dengan rimba raya. Sungai Lien-ho ini di daerah itu memasuki hutan lebat sejauh sepuluh li lebih, dan tempat itulah yang ditakuti oleh para nelayan dan pelancong, karena penuh dengan bajak-bajak sungai. Di mulut hutan depan terjaga oleh bajak laut gerombolan Hek Sam Ong dan di mulut belakang dijaga oleh Oei-coa-tai-ong dengan gerombolannya. Kedua bajak ini sudah terkenal kekejaman dan kejahatannya. Andaikata kita bisa melewati Hek Sam Ong dengan selamat, tapi tak mungkin kita bisa keluar dari hutan itu dan melewati Oei-coa-tai-ong si Ular Kuning. Sudahlah, tuan muda batalkan sajalah niat tuan muda itu kalau masih ingin hidup.”

Mendengar keterangan ini, Han Liong menjadi gembira. Tugasku pertama untuk menghalau bahaya rakyat ini, pikirnya. “Lopek yang baik,” katanya tertawa, “kiranya daerah itu aman, bisakah kau antar aku aku ke Hong-lung-cian?”

“Tentu saja bisa.”

“Dan berapa biayanya?”

“Hm, paling sedikit tujuh tail perak.”

Han Liong merogoh buntalannya dan ia mengeluarkan sepuluh tail perak. “Nah, ambilah uang ini kalau kau mau membawa aku ke sana. Dan sesampainya di sana nanti aku tambah satu tail lagi.” sambung Han Liong.

“Eh, eh, lupakah kau, tuan muda? Tadi sudah kuceritakan bahwa di daerah Hek-houw-san…”

“Aku sudah tahu, lopek. Tapi aku tidak takut, dan aku berjanji bahwa bajak-bajak itupun takkan mungkin berani mengganggumu seujung rambutpun!”

Kakek nelayan itu memandangnya dengan tak percaya, maka Han Liong segera menghampiri sebuah batu kali yang besar dan hitam di dekat itu, ia menggunakan sepuluh jari tangannya menyodok batu itu.

“Nah lihatlah, lopek. Bukan aku hendak memamerkan tenaga, tapi apakah kiranya batok kepala kedua raja bajak itu lebih keras dari batu ini?”

Lo Sam tak mengerti maksud pemuda itu lalu datang mendekati Han Liong. Ia sangat kagum dan heran sekali melihat batu hitam yang keras itu berlobang-lobang karena tusukan jari anak muda itu. Ia mengangguk-angguk tapi masih agak sangsi.

“Kau rupanya seorang gagah, tuan muda, tapi jangan lupa, kawan-kawan mereka sangat banyak.”

“Jangan khawatir, Lopek yang baik.”

Akhirnya Lo Sam terima juga tawaran Han Liong dan mereka berangkat. Perahu Lo Sam walaupun sudah tua, tapi masih cukup kuat dan atapnya pun baru saja diganti hingga jika turun hujan tidak bocor.

Betul sebagaimana kata orang, pemandangan di sepanjang jalan sangat indah, hawanya pun sejuk sekali hingga Han Liong merasa sangat gembira. Apalagi Lo Sam ternyata pandai bicara dan banyak dongengnya, maka pemuda Itu tidak merasa kesepian.

Setelah perahu melaju sepanjang tepi sungai sehari semalam lamanya, pada hari kedua pagi-pagi mereka melihat bahwa, sungai itu berbelok memasuki hutan. Di depan mereka nampak gunung kecil tinggi, penuh pohon-pohon belukar.

“Hati-hatilah, kongcu, bukit itu ialah Hek-houw san...”

Belum habis Lo Sam bicara, tiba-tiba terdengar suara bersiutnya sebatang anak panah ke atas kepala mereka!

“Celaka, kongcu!!” Lo Sam mengeluh.

Tapi Han Liong yang sedang membaca buku yang dibelinya di kota Lam-ciu, hanya tersenyum saja sambil melanjutkan bacaannya dengan suara keras. Perahu terus didayung maju menambah kecepatannya hanyut terbawa air sungai. Kedua kali panah melayang di atas kepala mereka, kini lebih rendah.

“Bagaimana baiknya, kongcu?” Lo Sam mulai gemetar dan ketakutan.

“Kayuhlah perahu ke tengah,” berkata Han Liong yang masih tenang.

Perahu didayung ke tengah, tapi dari arah gerombolan pohon di tepi sungai melayang tiga batang anak panah menuju ke arah mereka! Han Liong menggunakan bukunya mengebut dan angin kebutannya membuat anak-anak panah itu mencong ke samping dan masuk ke air. Gerakannya ini, demikian sewajarnya, seakan-akan tak disengaja hingga Lo Sam sama sekali tidak tahu bahwa pemuda itulah yang membuat anak-anak panah itu tidak mengenai sasarannya. Maka ia menjadi gemetar ketakutan hingga kedua tangannya tak kuat mendayung lagi.

“Masuklah saja, lopek, biar aku yang ganti mengemudikan perahu,” kata Han Liong.

Tawaran ini ditolak keras oleh Lo Sam, “Apa kongcu kira aku ini orang yang serendah-rendahnya? Biar usiaku sudah tua, biar tenagaku sudah lenyap, biarpun telah kukatakan terus terang bahwa aku sangat ketakutan, tani aku tidak sudi meninggalkan kewajibanku!” Dan ia terus mendayung, kini ia mulai berani, agaknya diperkuat oleh pernyataannya yang bersemangat itu.

Kemudian dari arah pantai tampak tiga buah perahu dangan sangat cepat mengejar mereka. Ketiga perahu itu bercat hitam dan bergambar ular dan kepala perahunya pun merupakan kepala ular yang sedang membuka lebar mulutnya. Dengan cepatnya perahu itu dapat mengejar perahu Lo Sam, dan sekarang terlihat bahwa di tiap perahu duduk tiga orang tinggi besar memegang golok. Perahu pertama berada paling dekat dan di situ berdiri seorang berpakaian hijau membolak-balikkan goloknya.

“He, perahu di depan, ayoh berhenti dan kepinggir! Tinggalkan dulu barang-barangmu,” teriak bajak itu.

“Yang ada hanya barangku sendiri, kenapa harus ditinggalkan? Kami kan tidak punya hutang padamu.” jawab Han Liong.

“Jangan banyak mulut kau, anjing kecil,” bajak itu mengancam.

“Mulutku hanya satu, anjing besar.” Han Liong mempermainkan bajak itu, hingga ia menjadi marah.

Karena perahu mereka kini hanya terpisah paling jauh satu tombak, bajak itu mengayun kakinya meloncat ke arah perahu Han Liong sambil mengangkat goloknya!

Han Liong tekankan tangan kirinya pada kepala perahunya yang segera meluncur ke samping seakan-akan terdorong dari sisi oleh tenaga yang kuat sekali. Tidak heran bahwa ketika kaki bajak yang melompat itu turun, ia mencebur ke dalam air karena perahu itu seakan-akan berkelit!

Kawan-kawan bajak itu merasa heran, bahkan ada beberapa orang diantara mereka melihat pemimpin mereka begitu bodoh hingga melompat ke perahu begitu dekatpun tidak becus! Sama sekali mereka tidak sangka bahwa bukan pemimpin mereka yang tak dapat melompat, tapi adalah tenaga Han Liong yang kuat telah membuat perahu seakan-akan menyingkir.

“Ayoh serbu!” teriak seorang bajak lain yang segera meloncat pula ke arah perahu Han Liong. Tapi kembali ia menginjak tempat kosong dan mencebur juga ke dalam air.

Sementara itu Lo Sam terheran-heran dan berkaki-kali berteriak, “eh, eh, eh!!” dikala perahunya kelihatan seperti berjiwa dan dapat bergerak ke sana ke mari berkelit menghindarkan kaki para bajak yang melompat. Akhirnya semua bajak yang berjumlah sembilan orang itu masuk ke dalam air.

“Teruskan dayung, Lo Sam.” kata Han Liong.

Tapi di saat itu pemimpin bajak sambil menggigit goloknya telah berenang mendekat dan hendak menggunakan tangannya memegang pinggiran perahu. Lo Sam melihat ini segera mengangkat dayungnya dan memukul tangan yang memegang pinggiran perahunya itu, hingga si bajak menjerit kesakitan karena jari-jari tangannya dipukul keras!

“Bagus, Lo Sam, kau sungguh gagah,” Han Liong memuji dan Lo Sam dengan wajah bangga segera mendayung perahunya laju ke depan, meninggalkan para bajak itu berenang kembali ke arah perahu mereka dan segera mengejar kembali dengan secepat mungkin.

“Cepat, Lo Sam, gunakan seluruh tenagamu. Mereka datang mengejar!” kata Han Liong yang lalu mengambil dayung cadangan yang kecil dari dalam perahu dan mulai membantu dengan perlahan.

“Ayoh bantu, jangan perlahan begitu, kuat-kuat!” teriak Lo Sam yang sibuk juga melihat bajak-bajak dengan pakaian basah kuyup itu membalapkan perahu mereka mengejar.

“Aku tidak biasa, kaulah yang harus mendayung kuat-kuat,” jawab Han Liong, tapi sementara itu ia mengerahkan tenaganya.

Lo Sam juga menggunakan seluruh kepandaian dan tenaganya yang sudah tua untuk membuat perahu mereka meluncur cepat. Sebentar saja perahu mereka dengan laju dan cepat maju ke muka, dan meninggalkan para bajak itu berteriak-teriak.

“Kau kuat sekali, Lo Sam,” Han Liong memuji dan kendurkan tenaganya. Perahu menjadi perlahan majunya dan Lo Sam mengaso dengan napas terengah-engah.

“Kalau cuma bajak-bajak kecil itu saja mana bisa mengejarku,” katanya sombong.

“He, Lo Sam, mengapa bajak-bajak itu berhenti mengejar?” tiba-tiba Han Liong bertanya.

Lo Sam menengok ke belakang, tapi matanya yang tua hanya melihat titik-titik hitam jauh di belakang. “Kau tidak tahu, kongcu, sekarang kita sudah memasuki daerah yang dikuasai Oei-coa-tai-ong, maka kita harus hati-hati. Bajak-bajak yang tadi adalah anak buah Hek Sam Ong.”

Betul saja, ketika perahu mereka sampai di sebuah tikungan, ternyata di depan telah menghadang sepuluh buah perahu besar yang memenuhi sungai. Tiap perahu memuat lebih kurang dua kelas orang berpakaian kuning yang semuanya memegang senjata tajam. Yang terdepan adalah sebuah perahu besar warna kuning pula, di mana berdiri seorang pendek gemuk yang berwajah seperti kanak-kanak. Di pinggang orang ini tergantung pedang.

“Awas, itu dia Oei-tai-ong sendiri mencegat kita,” Lo Sam berbisik dengan suara gemetar.

Han Liong melihat bahwa perahunya tak mungkin lewat, bangun berdiri lalu menjura kepada kepala bajak itu. “Maafkan kami tai-ong, apakah sebabnya maka tai-ong, mencegat kami?”

Kepala bajak itu tersenyum dan balas menjura, “Hohan, kami sudah mendengar akan sepak terjangmu ketika diganggu oleh anak buah Hek sute tadi. Maka kini siauwte sendiri mengundangmu untuk singgah sebentar belajar kenal.”

Han Liong heran akan keluar biasaan orang ini. Demikian cepat ia telah tahu akan peristiwa tadi dan dapat menduga bahwa ia adalah seorang yang berkepandaian. Maka tak ragu-ragu lagi ia menjura sambil menjawab,

“Baiklah, tai-ong, dan terima kasih atas budimu ini.”

Dengan ketakutan, tapi bercampur terheran-heranan. Lo Sam menurut saja ketika perahunya ditarik ke pinggir. Dengan tenang Han Liong melangkah turun lalu bersama-sama Oei-coa-tai-ong Si Ular Kuning, berjalan menuju ke tengah rimba. Di sepanjang jalan menuju ke kemah raja sungai itu nampak barisan bajak berdiri rapi berjajar sambil memegang golok atau tombak, merupakan barisan kehormatan.

Ternyata Hek Sam Ong sendiri juga berada di situ. Ia adalah seorang tinggi besar, berkulit hitam dan cambang bauknya lebat menakutkan. Dialah yang mendahului datang ke situ dengan anak buahnya untuk ikut mencegat anak muda yang istimewa itu.

Di dalam ruangan kemah telah tersedia meja penuh hidangan. Oei-coa-tai-ong duduk di kursi tuan rumah, di kanannya duduk Hek Sam Ong dan di kirinya disediakan kursi untuk Han Liong. Masih ada dua orang lagi duduk di meja itu, ialah Kong Tat dan Kong Ta yang dijuluki orang Sepasang Garuda Sungai Lien-ho dan menjadi pembantu kedua bajak sungai itu.

Hek Sam Ong mengambil sepasang sumpit lalu menghampiri Han Liong. Ia tancapkan sumpit itu di depan Han Liong sambil berkata, “Terimalah sumpit untukmu, tuan yang gagah.” Sepasang sumpit itu menancap di meja sampai satu dim lebih.

Han Liong tersenyum melihat demonstrasi tenaga dalam ini dan ia menepuk-nepuk meja sambil berseru, “Bagus! Bagus!”

Sungguh ajaib, biarpun ia hanya menepuk perlahan saja, namun sepasang sumpit gading yang tertancap di atas meja itu berlompatan ke atas dan jatuh kembali tepat di atas lobang yang tadi hingga tetap berdiri di atas meja.

Hek Sam Ong menjura dan mundur, lalu duduk kembali ke atas kursinya. Tiba-tiba terdengar suara ketawa Oei-coa-tai-ong yang bangun berdiri, sambil menjura ke arah Han Liong.

“Saudara masih muda tapi berilmu tinggi, bolehkah kiranya saya mengetahui namamu?”

“Siauwte yang rendah bernama Han Liong she Si, harap tai-ong tidak tertawakan kebodohan siauwte,” jawab Han Liong.

“Ah, ah, sudah pandai, sopan santun pula. Jarang menjumpai seorang muda seperti kau, Si enghiong. Aku yang kasar sudah sepatutnya memberi hormat dengan secawan arak.”

Ia menutup kata-katanya ini dengan menuangkan arak dari guci secawan penuh. Arak di cawan itu penuh sekali hingga hampir melimpah, tapi aneh benar, seakan-akan ada tenaga yang menahan arak itu hingga tak sampai tumpah, si pendek gemuk itu lalu maju selangkah ke arah Han Liong,

“Terimalah hormatku melalui secawan arak ini, Si enghiong.” Ia berikan cawan arak itu kepada Han Liong, tapi diam-diam ia mengerahkan tenaga Iweekangnya menekan ke bawah.

Ketika Han Liong menerima cawan itu, ia merasa suatu tenaga besar menekan ke bawah. Ia tersenyum dan ingin unjuk kepandaiannya, karena kalau sampai tangannya tertekan dan arak yang hampir melimpah itu tumpah, ia akan mendapat malu. Dengan tenang ia terima cawan itu dan pada saat itu juga Oei-coa-tai-ong diam-diam merasa terkejut sekali, karena ia merasa cawannya itu seakan-akan menyentuh kapas, namun demikian seakan-akan dasar cawan lekat pada tangan pemuda itu!

Oei-coa-tai-ong kerahkan tenaganya makin keras, tapi kali ini ia merasa tangannya sakit sekali karena tenaganya sendiri membalik hingga terasa sampai ke tulang-tulangnya! Terpaksa ia lepaskan cawan itu. Han Liong dengan senyum di bibir mengangkat cawan arak itu ke arah mulutnya lalu memiringkan cawan itu untuk menuangkan arak itu ke mulutnya.

“Ah, arakmu terlalu kental, tai ong,” kata Han Liong.

Semua orang heran melihat arak itu melimpah ke sisi cawan, tapi tidak juga jatuh atau tumpah. Han Liong tanpa minum araknya meletakkan kembali cawan itu ke atas meja. Ketika ia melepaskan tangannya, maka arak itu tumpah dan membasahi meja.

Oei-coa-tai-ong tersenyum menyindir, “Rupanya kau pandai ilmu iweekang, anak muda. Entah bagaimana pula ilmu silatmu!”

“Siauwte hanya bisa satu dua jurus ilmu pukulan yang tidak berarti saja,” jawab Han Liong tetap merendah.

“Jangan banyak tingkah. Marilah kau coba ilmu silatmu dengan kami dua saudara Garuda Sungai Lien-ho,” tiba-tiba Kong Tat menantang.

“Satu sama satu juga aku tidak mungkin menang, apa lagi dikeroyok dua.” kata Han Liong, tapi ia bangun juga berdiri dengan sabar. Tiba-tiba di sudut dilihatnya Lo Sam duduk dengan beberapa orang pemimpin laskar bajak yang sedang menggodanya dan melolohnya dengan arak.

“He, Lo Sam, kesinilah kau!” teriak Han Liong.

Tapi ketika Lo Sam hendak berdiri, beberapa orang bajak memegang lengannya dan memaksanya duduk kembali. Han Liong segera bertindak menghampiri dan memegang lengan Lo Sam untuk diajaknya pindah duduk. Tapi lengan Lo Sam yang sebelah lagi masih dipegang oleh dua orang berandal.

Han Liong menyambar sumpit Lo Sam dan menggunakan sumpit itu untuk mengetok dengan perlahan tangan orang-orang yang memegangi Lo Sam. Terdengar jeritan-jeritan ngeri dan dua orang itu berjingkrak-jingkrak kesakitan sambil memegang lengannya yang terketok sumpit itu. Mulut mereka tiada hentinya mengeluh.

“Aduh, aduh!” Tiga orang bajak lain merasa penasaran dan dengan golok mereka menyerang Han Liong. Han Liong menggunakan sumpit kayu itu menangkis dengan sekali kebut.

“Traang!!” Tiga buah golok itu terpental jauh, bahkan sebuah diantaranya meluncur cepat melukai kaki seorang bajak lain!

Melihat kelihaian pemuda ini para bajak sungai itu menjadi takut dan tak berani bergerak. Dengan tenang Han Liong menggandeng tangan Lo Sam dan kembali ke tempatnya. Kemudian ia menghadapi Sepasang Garuda Sungai Lien-ho yang menantangnya tadi sambil tersenyum.

“Bagaimanakah, jiwi, apakah jiwi ingin maju satu-satu atau terpaksa mengeroyok!”

“Kalau kau takut melawan kami sepasang, kami akan maju satu-satu!” kata Kong Tat dengan kesal.

“Bagaimana, Lo Sam? Beranikah kiranya aku sekali tempur melayani kedua enghiong ini?”

Lo Sam kini percaya penuh akan kegagahan Han Liong. Hatinya telah menjadi tetap dan timbul sifat sombongnya. “Jangankan baru mereka berdua, biar semua maju sekali serentak, kurasa kongcu masih sanggup melayaninya.” Demikian ia membual agar jangan 'kalah muka' dengan para bajak yang dibencinya itu.

“Mari maju kemari!” Kong Tat menjadi marah mendengar ini, ia menantang Han Liong sambil menuju ke tempat yang lapang dengan Kong Ta, lalu berdiri memasang kuda-kuda dengan berjejer, di tangan masing-masing memegang sepasang golok besar.

Han Liong bertindak tenang menghampiri kedua orang itu dengan tangan kosong. Lo Sam melihat jagonya maju tak bersenjata, segera ingat betapa tangkasnya Han Liong tadi memainkan sumpit melayani tiga orang bajak bersenjata golok. Ia meloncat ke arah meja dan memilih sepasang sumpit gading. Diambilnya sumpit itu lalu ia lari ke arah Han Liong.

“Kongcu, kau tak bersenjata, ini senjatamu!” Ia sangka bahwa Han Liong memang biasa bersenjata sumpit!

Han Liong tersenyum dan menerima sumpit itu sambil berkata, “Terima kasih, Lo Sam.”

Sepasang Garuda Sungai Lien-ho sangat kesal dan marah melihat betapa lawan mereka itu sangat memandang rendah kepada mereka.

“Kau hanya bersenjata sepasang sumpit? Jangan menyesal kalau nyawamu melayang karena keangkuhanmu ini, anak muda!” kata Kong Ta dengan mata merah.

“Silakan maju menyerang, jiwi enghiong.” tantang Han Liong...

Pedang Pusaka Naga Putih Jilid 04

PEDANG PUSAKA NAGA PUTIH JILID 04

Pada suatu hari Kam Hong Siansu mengeluarkan sebilah pedang mustika yang terbuat dari logam putih laksana perak dan pedang itu ternyata lemas sekali hingga dapat dililitkan di pinggang merupakan ikat pinggang. Ia serahkan pedang itu kepada Han Liong sambil berkata,

“Anakku, kau berjodoh untuk memiliki pedang ini. Pokiam ini disebut Pek Liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Putih). Karena pokiam ini adalah barang pusaka yang suci, maka untuk memilikinya, orang harus terlebih dahulu dikuatkan tubuhnya oleh racun ouw-pek-coa (ular hitam dan putih) serta ia harus bersumpah dulu.”

Dengan sangat hormat Han Liong menerima pedang itu lalu bersumpah. “Teecu akan menjunjung tinggi prikebenaran, dan pokiam ini hanya akan teecu gunakan untuk membela yang lemah dan menindas yang jahat. Jika teecu gunakan pokiam ini untuk maksud-maksud tidak baik atau hanya untuk keuntungan diri teecu sendiri, biarlah teecu mati mendadak di bawah mata pedang ini sendiri!”

Kam Hong Siansu tersenyum puas mendengar sumpah pemuda itu. “Han Liong, ketahuilah olehmu, pokiam ini kudapat dari suhuku, dan suhu juga menerima dari gurunya. Maka setelah kau menerima pokiam ini, boleh dikata bahwa kaupun menjadi muridku.”

Han Liong segera berlutut dan menyebut. “Suhu!”

“Muridku, di dunia ini hanya ada dua bilah pokiam yang paling tua dan sempurna, ialah Pek-Liong-pokiam yang kau pegang itu dan yang kedua ialah Ouw-liong pokiam (Pedang Pusaka Naga Hitam). Pek-liong pokiam ini mengandung sari hawa Yang, sebaliknya Ouw-liong pokiam mengandung sari hawa Im. Selain merupakan senjata yang tajam dan ampuh, kedua pokiam itu juga dapat mengobati korban-korban racun jahat. Jika seorang terkena racun hingga mukanya berobah hitam, maka air yang dicelupi Pek-liong pokiam akan dapat menyembuhkannya dengan segera. Sebaliknya, jika racun itu membuat korbannya menjadi pucat seperti mayat, air yang dicelupi Ouw-liong-pokiam akan menjadi obatnya.”

“Bolehkah teecu bertanya, suhu. Di manakah adanya Ouw-liong pokiam itu dan siapa pula yang memilikinya?” tanya Han Liong.

“Ouw liong-pokiam berada dalam tangan sumoiku yang bertapa di Gunung Heng san. Nah, sekarang bersiaplah, muridku. Aku akan memberi pelajaran Pek-liong-kiamsut padamu. Belajarlah dengan rajin, karena ilmu pedang ini walaupun nampaknya mudah, namun jika tidak dipelajari dengan tekun dan sepenuh hati, takkan ada manfaatnya. Tapi bila kau sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu ini, kukira, takkan mudah lain ilmu dapat mengalahkannya. Hanya Ouw liong-kiam-sut saja yang barangkali dapat menandingi!”

Mengenai riwayat Pek-Liong-pokiam dan Ouw-liong pokiam silahkan baca Kisah Sepasang Naga

Han Liong yang masih berlutut mengangguk-anggukkan kepala sambil menghaturkan terima kasih. Demikianlah, untuk beberapa bulan ia mempelajari Ilmu Pedang Naga Putih dengan giatnya hingga tak terasa musim Chun telah tiba pula.

Pagi hari di musim Chun itu, ketika Han Liong masuk ke kamar Kam Hong Siansu, ternyata pertapa itu tidak ada dalam kamarnya. Yang ada di situ hanya kakeknya, Si Kim Pauw. Han Liong segera memberi hormat dan bertanya ke mana kakek selama setahun ini pergi hingga tak pernah ia melihatnya.

“Aku bertapa di lain bukit, cucuku. Sungguh kau beruntung, Liong, karena Pek-liong-pokiam menjadi milikmu. Dulu aku pernah mendengar sebuah dongeng tentang pokiam itu. Ribuan tahun yang lalu, di Gunung Kam-hong-san ini bertapa dua ekor naga sakti, seekor jantan berkulit putih dan seekor betina berkulit hitam. Kedua ekor naga sakti itu bertapa dan membersihkan diri untuk menjadi dewa. Hal ini menimbulkan rasa iri hati seorang pertapa yang juga bertapa di gunung itu. Ia merasa iri hati karena ia sendiri gagal dalam pertapaannya dan hatinya mengiri sekali melihat dua ekor naga itu nampak makin hari makin bercahaya karena sudah mendekati kesempurnaannya. Maka rasa iri hatinya menimbulkan pikiran jahat. Dilemparnya dua naga itu, tapi ia tak berhasil karena ternyata dua ekor naga itu amat sakti. Si pertapa menjadi sakit hati dan akhirnya ia berhasil mendapat semacam obat yang jahat dan manjur sekali. Ia masuk dengan diam-diam ke ruang pertapaan kedua naga itu dan menyemburkan obat beracun itu ke arah hidung kedua naga itu. Ketika kedua naga itu mencium bau harum dan tersadar dari samadhi mereka, racun jahat itu telah bekerja. Hebat sekali jalannya racun itu hingga batin kedua naga yang sudah kuat itu tidak tahan menindas pengaruhnya. Mereka berdua dipengaruhi rasa nafsu berahi besar dan keduanya lalu bercampur. Setelah sadar mereka merasa sangat menyesal dan segera mengejar pertapa itu, lalu membunuhnya. Kemudian mereka bertapa kembali dengan hati sedih, tapi karena dosa yang telah mereka perbuat, pertapaan mereka gagal. Maka putuslah harapan mereka, lalu beribu tahun kemudian mereka menjelma menjadi sepasang pedang pusaka dan berniat menebus dosa dengan menjadi pedang guna membantu orang-orang gagah membela keadilan dan kebenaran. Nah, pedang Pek liong-pokiam inilah penjelmaan dari naga putih itu dan naga hitam menjelma menjadi Ouw liong-Pokiam.”

“Kongkong (kakek), benar-benar adakah dongeng itu, maksudku, benarkah terjadi peristiwa aneh itu?”

Kakeknya tertawa. “Aku tadi kan mengatakan bahwa semua itu hanya dongeng. Benar atau tidaknya, siapakah yang dapat menentukan? Kalau benar-benar ada, peristiwa itu telah terjadi ribuan tahun yang lalu. Dan siapakah orangnya di jaman ini dapat mengetahui apa yang terjadi pada waktu itu? Ini hanya dongeng, Liong, namun, sungguhpun hanya dongeng, di dalamnya terkandung arti dan nasehat yang sangat berguna. Maka, kau yang memiliki Pek-liong-pokiam, hati-hatilah dan waspadalah terhadap godaan dari musuh yang tak nampak di mata, musuh yang jauh lebih jahat dan pada musuh yang berupa manusia, yang bagaimanapun buasnya ialah nafsu sendiri! Kuatkanlah batinmu untuk mengalahkan musuh yang seperti ini. Nah, mari kuantarkan kau keluar, karena Kam Hong Siansu kini sedang pergi keluar gunung dengan meninggalkan pesan bahwa hari ini adalah hari terakhir bagimu tinggal di tempat ini. Kau diharuskan keluar gua, turun gunung mulai dengan kewajibanmu.”

Han Liong berlutut memberi hormat ke arah tempat duduk Kam Hong Siansu dengan dilihat oleh kakeknya yang mengangguk-anggukkan kepala memuji kesopanan cucunya. Kemudian mereka keluar gua, melompat ke pohon di depan gua, lalu menggunakan kekuatan mereka melayang ke atas, tiba di tebing jurang dengan selamat.

Ternyata keempat suhunya dan ie-ienya sudah menanti di situ. Yo Toanio memeluk keponakannya dengan mengeluarkan air mata karena suka cita. Si Kim Pauw tidak lama di situ, setelah minta diri ia lalu terjun ke jurang kembali. Tapi ia tidak lupa untuk memberi nasehat-nasehat terakhir kepada cucunya yang tersayang itu.

Han Liong dihujani pertanyaan-pertanyaan oleh kelima orang tua itu. Ia menceritakan pengalamannya dengan ringkas hingga mereka menjadi girang sekali. Pauw Kim Kong menghela napas.

“Tidak percuma Si Kim Pauw lo enghiong menjadi menteri setia dan Si-enghiong menjadi seorang patriot yang mengorbankan nyawanya demi tanah air dan bangsa. Ternyata keturunan mereka telah menjadi orang pandai dan beruntung. Han Liong, kami hanya mempunyai satu keinginan, yakni melihat kau melanjutkan usaha ayahmu dan berbakti kepada bangsa. Negara sekarang sedang kacau, para durna memegang tampuk kekuasaan. Pembesar-pembesar rakus merajalela di kota, menindas rakyat sesuka hatinya. Di mana-mana berlaku hukum rimba, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya menghisap yang miskin. Kasihan rakyat kecil yang tertindas, tiada pembela. Maka sudah menjadi kewajibanmu untuk membantu mereka yang tertindas yang butuh pertolongan. Kami sudah tua, tenaga kami tak seberapa, usia kami tak lama lagi. Maka, berilah kami kebahagiaan terakhir, yaitu, melihat kau yang menjadi murid kami melakukan tugas mulia mewakili kami.”

“Betul kata Pauw suhu, Liong,” menyambung Hong In sambil mengelus jenggotnya yang panjang. “Hanya saja, sebagai tanda peringatan bagi kami, cobalah kau perlihatkan Ilmu Silat Empat Bintang ciptaan Kam Hong Siansu itu, kami ingin sekali melihatnya.”

Dengan segera Han Liong menyanggupi, lalu mulai bersilat. Mula-mula gerakannya lambat, indah dan menarik, makin lama makin cepat hingga tubuhnya tak tampak lagi, hanya kelihatan gundukan putih bergerak-gerak ke sana kemari dengan cepatnya. Tidak sedikitpun debu mengepul dari bawah kakinya, namun kelima orang tua itu merasa betapa angin pukulan yang dingin membuat jubah mereka bergerak-gerak, bagaikan tertiup angin gunung!

Empat orang guru itu dengan tegas sekali melihat betapa ilmu-ilmu pukulan mereka digerakkan dalam cio-hwat Han Liong, tapi pecahan-pecahannya demikian ganjil dan cepat hingga mereka merasa betapa sukarnya menandingi seorang yang bersilat dengan cara demikian sulit. Serta merta mereka bertepuk tangan setelah Han Liong menghentikan gerakannya. Dengan merendah Han Liong berlutut sambil berkata,

“Semua ini berkat didikan suhu sekalian dan ie-ie. Teccu tak tahu bagaimana harus membalasnya!”

“Anak baik,” kata Yo Toanio, “asal engkau menjadi seorang yang kenal pribudi kebaikan dan pembela kebenaran, maka itu sudah merupakan pembalasan budi yang besar terhadap kami.”

Kemudian Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan memberitahu kepada Han Liong bahwa ia mempunyai dua orang murid bernama Bhok Kian Eng dan Lie Kiam yang kedua-duanya kini berada di kota Tong hai. Lain orang murid Pauw Kim Kong adalah Bie Cauw Giok yang berada di kota Lam chiu. Kedua guru ini berpesan agar Han Liong dalam perjalanannya menemui mereka itu. Lain-lain guru tidak mempunyai murid lain kecuali Han Liong.

Setelah menerima nasehat-nasehat penting, Han Liong berangkat merantau, menggendong bungkusan kuning pemberian bibinya yang berisi dua pasang pakaian dan beberapa potong perak dan emas. Keempat suhunya serta bibinya melihat ia pergi dengan hati terharu.

********************

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Si Han Liong yang sudah mendapat petunjuk dari bibinya, langsung menuju ke kota Lam-ciu di mana ibunya dan musuh besarnya tinggal. Tapi alangkah kecewa hatinya ketika tiba di kota itu ia mendapat keterangan bahwa Tiat-kak-liong Lie Ban telah beberapa bulan yang lalu pindah ke kota Hong-lung-cian beserta keluarganya. Kota ini jauhnya ratusan li dari Lam-ciu dan jika ditempuh jalan darat berkuda kira-kira sepuluh hari baru sampai. Ada jalan yang lebih dekat, yaitu jalan air sepanjang Sungai Lien-ho dengan naik perahu.

Karena memang maksudnya pergi merantau meluaskan pengalaman, maka ketika mendengar bahwa jalan melalui sungai lebih indah pemandangannya, Han Liong mengambil keputusan menyewa perahu. Maka pergilah ia ke perkampungan nelayan yang tinggal di dekat Sungai Lien-ho.

Perkampungan itu besar juga, dan penduduknya hidup dari hasil ikan sungai dan ada pula yang khusus berpenghasilan dari menyewakan perahu, baik untuk berpesiar maupun untuk menyeberang sungai yang lebar itu.

“Kalau tuan mau pelesir, sekarang ini musimnya baik sekali, air sungai tenang dan jernih. Jika sedang banjir, ah, jangan harap berpelesir naik perahu,” kata seorang nelayan tua sambil menawarkan perahunya. “Tuan hendak pesiar ke mana?”

Han Liong tersenyum. “Aku tidak hendak pesiar, tapi hendak menyewa perahu untuk membawaku ke kota Hong-lung cian. Berapakah sewanya?”

“Ke kota Hong-lung cian?” Nelayan tua itu geleng-geleng kepala. “Ah, lebih baik jangan tuan.”

“He, apa maksudmu? Kenapa?” tanya Han Liong.

“Dengar tuan muda. Aku adalah nelayan tertua di kampung ini, dan aku memiliki perahu yang terkuat. Naik perahu Lo Sam sama dengan rasa tidur di ranjang, demikian orang-orang kota di sini berkata. Bukan aku hendak menyombong, tapi selama pekerjaanku mengantar orang-orang dengan perahuku dalam tiga puluhan tahun ini, belum pernah aku mengalami kecelakaan, kecuali ketika bajak sungai Hek Sam Ong mencegatku. Ke mana saja tuan akan kuantarkan dengan jaminan keselamatan penuh, tapi ke Hong-lung-cian? Tidak, tuan muda, aku tak berani.”

“Mengapa? Ada apakah di Hong-lung cian?” tanya Han Liong.

"Di Hong-lung-cian sendiri tidak ada apa-apa!” jawab kakek itu, “tapi perjalanan dari sini ke Hong-lung-cian harus melalui Gunung Hek-houw-san yang penuh dengan rimba raya. Sungai Lien-ho ini di daerah itu memasuki hutan lebat sejauh sepuluh li lebih, dan tempat itulah yang ditakuti oleh para nelayan dan pelancong, karena penuh dengan bajak-bajak sungai. Di mulut hutan depan terjaga oleh bajak laut gerombolan Hek Sam Ong dan di mulut belakang dijaga oleh Oei-coa-tai-ong dengan gerombolannya. Kedua bajak ini sudah terkenal kekejaman dan kejahatannya. Andaikata kita bisa melewati Hek Sam Ong dengan selamat, tapi tak mungkin kita bisa keluar dari hutan itu dan melewati Oei-coa-tai-ong si Ular Kuning. Sudahlah, tuan muda batalkan sajalah niat tuan muda itu kalau masih ingin hidup.”

Mendengar keterangan ini, Han Liong menjadi gembira. Tugasku pertama untuk menghalau bahaya rakyat ini, pikirnya. “Lopek yang baik,” katanya tertawa, “kiranya daerah itu aman, bisakah kau antar aku aku ke Hong-lung-cian?”

“Tentu saja bisa.”

“Dan berapa biayanya?”

“Hm, paling sedikit tujuh tail perak.”

Han Liong merogoh buntalannya dan ia mengeluarkan sepuluh tail perak. “Nah, ambilah uang ini kalau kau mau membawa aku ke sana. Dan sesampainya di sana nanti aku tambah satu tail lagi.” sambung Han Liong.

“Eh, eh, lupakah kau, tuan muda? Tadi sudah kuceritakan bahwa di daerah Hek-houw-san…”

“Aku sudah tahu, lopek. Tapi aku tidak takut, dan aku berjanji bahwa bajak-bajak itupun takkan mungkin berani mengganggumu seujung rambutpun!”

Kakek nelayan itu memandangnya dengan tak percaya, maka Han Liong segera menghampiri sebuah batu kali yang besar dan hitam di dekat itu, ia menggunakan sepuluh jari tangannya menyodok batu itu.

“Nah lihatlah, lopek. Bukan aku hendak memamerkan tenaga, tapi apakah kiranya batok kepala kedua raja bajak itu lebih keras dari batu ini?”

Lo Sam tak mengerti maksud pemuda itu lalu datang mendekati Han Liong. Ia sangat kagum dan heran sekali melihat batu hitam yang keras itu berlobang-lobang karena tusukan jari anak muda itu. Ia mengangguk-angguk tapi masih agak sangsi.

“Kau rupanya seorang gagah, tuan muda, tapi jangan lupa, kawan-kawan mereka sangat banyak.”

“Jangan khawatir, Lopek yang baik.”

Akhirnya Lo Sam terima juga tawaran Han Liong dan mereka berangkat. Perahu Lo Sam walaupun sudah tua, tapi masih cukup kuat dan atapnya pun baru saja diganti hingga jika turun hujan tidak bocor.

Betul sebagaimana kata orang, pemandangan di sepanjang jalan sangat indah, hawanya pun sejuk sekali hingga Han Liong merasa sangat gembira. Apalagi Lo Sam ternyata pandai bicara dan banyak dongengnya, maka pemuda Itu tidak merasa kesepian.

Setelah perahu melaju sepanjang tepi sungai sehari semalam lamanya, pada hari kedua pagi-pagi mereka melihat bahwa, sungai itu berbelok memasuki hutan. Di depan mereka nampak gunung kecil tinggi, penuh pohon-pohon belukar.

“Hati-hatilah, kongcu, bukit itu ialah Hek-houw san...”

Belum habis Lo Sam bicara, tiba-tiba terdengar suara bersiutnya sebatang anak panah ke atas kepala mereka!

“Celaka, kongcu!!” Lo Sam mengeluh.

Tapi Han Liong yang sedang membaca buku yang dibelinya di kota Lam-ciu, hanya tersenyum saja sambil melanjutkan bacaannya dengan suara keras. Perahu terus didayung maju menambah kecepatannya hanyut terbawa air sungai. Kedua kali panah melayang di atas kepala mereka, kini lebih rendah.

“Bagaimana baiknya, kongcu?” Lo Sam mulai gemetar dan ketakutan.

“Kayuhlah perahu ke tengah,” berkata Han Liong yang masih tenang.

Perahu didayung ke tengah, tapi dari arah gerombolan pohon di tepi sungai melayang tiga batang anak panah menuju ke arah mereka! Han Liong menggunakan bukunya mengebut dan angin kebutannya membuat anak-anak panah itu mencong ke samping dan masuk ke air. Gerakannya ini, demikian sewajarnya, seakan-akan tak disengaja hingga Lo Sam sama sekali tidak tahu bahwa pemuda itulah yang membuat anak-anak panah itu tidak mengenai sasarannya. Maka ia menjadi gemetar ketakutan hingga kedua tangannya tak kuat mendayung lagi.

“Masuklah saja, lopek, biar aku yang ganti mengemudikan perahu,” kata Han Liong.

Tawaran ini ditolak keras oleh Lo Sam, “Apa kongcu kira aku ini orang yang serendah-rendahnya? Biar usiaku sudah tua, biar tenagaku sudah lenyap, biarpun telah kukatakan terus terang bahwa aku sangat ketakutan, tani aku tidak sudi meninggalkan kewajibanku!” Dan ia terus mendayung, kini ia mulai berani, agaknya diperkuat oleh pernyataannya yang bersemangat itu.

Kemudian dari arah pantai tampak tiga buah perahu dangan sangat cepat mengejar mereka. Ketiga perahu itu bercat hitam dan bergambar ular dan kepala perahunya pun merupakan kepala ular yang sedang membuka lebar mulutnya. Dengan cepatnya perahu itu dapat mengejar perahu Lo Sam, dan sekarang terlihat bahwa di tiap perahu duduk tiga orang tinggi besar memegang golok. Perahu pertama berada paling dekat dan di situ berdiri seorang berpakaian hijau membolak-balikkan goloknya.

“He, perahu di depan, ayoh berhenti dan kepinggir! Tinggalkan dulu barang-barangmu,” teriak bajak itu.

“Yang ada hanya barangku sendiri, kenapa harus ditinggalkan? Kami kan tidak punya hutang padamu.” jawab Han Liong.

“Jangan banyak mulut kau, anjing kecil,” bajak itu mengancam.

“Mulutku hanya satu, anjing besar.” Han Liong mempermainkan bajak itu, hingga ia menjadi marah.

Karena perahu mereka kini hanya terpisah paling jauh satu tombak, bajak itu mengayun kakinya meloncat ke arah perahu Han Liong sambil mengangkat goloknya!

Han Liong tekankan tangan kirinya pada kepala perahunya yang segera meluncur ke samping seakan-akan terdorong dari sisi oleh tenaga yang kuat sekali. Tidak heran bahwa ketika kaki bajak yang melompat itu turun, ia mencebur ke dalam air karena perahu itu seakan-akan berkelit!

Kawan-kawan bajak itu merasa heran, bahkan ada beberapa orang diantara mereka melihat pemimpin mereka begitu bodoh hingga melompat ke perahu begitu dekatpun tidak becus! Sama sekali mereka tidak sangka bahwa bukan pemimpin mereka yang tak dapat melompat, tapi adalah tenaga Han Liong yang kuat telah membuat perahu seakan-akan menyingkir.

“Ayoh serbu!” teriak seorang bajak lain yang segera meloncat pula ke arah perahu Han Liong. Tapi kembali ia menginjak tempat kosong dan mencebur juga ke dalam air.

Sementara itu Lo Sam terheran-heran dan berkaki-kali berteriak, “eh, eh, eh!!” dikala perahunya kelihatan seperti berjiwa dan dapat bergerak ke sana ke mari berkelit menghindarkan kaki para bajak yang melompat. Akhirnya semua bajak yang berjumlah sembilan orang itu masuk ke dalam air.

“Teruskan dayung, Lo Sam.” kata Han Liong.

Tapi di saat itu pemimpin bajak sambil menggigit goloknya telah berenang mendekat dan hendak menggunakan tangannya memegang pinggiran perahu. Lo Sam melihat ini segera mengangkat dayungnya dan memukul tangan yang memegang pinggiran perahunya itu, hingga si bajak menjerit kesakitan karena jari-jari tangannya dipukul keras!

“Bagus, Lo Sam, kau sungguh gagah,” Han Liong memuji dan Lo Sam dengan wajah bangga segera mendayung perahunya laju ke depan, meninggalkan para bajak itu berenang kembali ke arah perahu mereka dan segera mengejar kembali dengan secepat mungkin.

“Cepat, Lo Sam, gunakan seluruh tenagamu. Mereka datang mengejar!” kata Han Liong yang lalu mengambil dayung cadangan yang kecil dari dalam perahu dan mulai membantu dengan perlahan.

“Ayoh bantu, jangan perlahan begitu, kuat-kuat!” teriak Lo Sam yang sibuk juga melihat bajak-bajak dengan pakaian basah kuyup itu membalapkan perahu mereka mengejar.

“Aku tidak biasa, kaulah yang harus mendayung kuat-kuat,” jawab Han Liong, tapi sementara itu ia mengerahkan tenaganya.

Lo Sam juga menggunakan seluruh kepandaian dan tenaganya yang sudah tua untuk membuat perahu mereka meluncur cepat. Sebentar saja perahu mereka dengan laju dan cepat maju ke muka, dan meninggalkan para bajak itu berteriak-teriak.

“Kau kuat sekali, Lo Sam,” Han Liong memuji dan kendurkan tenaganya. Perahu menjadi perlahan majunya dan Lo Sam mengaso dengan napas terengah-engah.

“Kalau cuma bajak-bajak kecil itu saja mana bisa mengejarku,” katanya sombong.

“He, Lo Sam, mengapa bajak-bajak itu berhenti mengejar?” tiba-tiba Han Liong bertanya.

Lo Sam menengok ke belakang, tapi matanya yang tua hanya melihat titik-titik hitam jauh di belakang. “Kau tidak tahu, kongcu, sekarang kita sudah memasuki daerah yang dikuasai Oei-coa-tai-ong, maka kita harus hati-hati. Bajak-bajak yang tadi adalah anak buah Hek Sam Ong.”

Betul saja, ketika perahu mereka sampai di sebuah tikungan, ternyata di depan telah menghadang sepuluh buah perahu besar yang memenuhi sungai. Tiap perahu memuat lebih kurang dua kelas orang berpakaian kuning yang semuanya memegang senjata tajam. Yang terdepan adalah sebuah perahu besar warna kuning pula, di mana berdiri seorang pendek gemuk yang berwajah seperti kanak-kanak. Di pinggang orang ini tergantung pedang.

“Awas, itu dia Oei-tai-ong sendiri mencegat kita,” Lo Sam berbisik dengan suara gemetar.

Han Liong melihat bahwa perahunya tak mungkin lewat, bangun berdiri lalu menjura kepada kepala bajak itu. “Maafkan kami tai-ong, apakah sebabnya maka tai-ong, mencegat kami?”

Kepala bajak itu tersenyum dan balas menjura, “Hohan, kami sudah mendengar akan sepak terjangmu ketika diganggu oleh anak buah Hek sute tadi. Maka kini siauwte sendiri mengundangmu untuk singgah sebentar belajar kenal.”

Han Liong heran akan keluar biasaan orang ini. Demikian cepat ia telah tahu akan peristiwa tadi dan dapat menduga bahwa ia adalah seorang yang berkepandaian. Maka tak ragu-ragu lagi ia menjura sambil menjawab,

“Baiklah, tai-ong, dan terima kasih atas budimu ini.”

Dengan ketakutan, tapi bercampur terheran-heranan. Lo Sam menurut saja ketika perahunya ditarik ke pinggir. Dengan tenang Han Liong melangkah turun lalu bersama-sama Oei-coa-tai-ong Si Ular Kuning, berjalan menuju ke tengah rimba. Di sepanjang jalan menuju ke kemah raja sungai itu nampak barisan bajak berdiri rapi berjajar sambil memegang golok atau tombak, merupakan barisan kehormatan.

Ternyata Hek Sam Ong sendiri juga berada di situ. Ia adalah seorang tinggi besar, berkulit hitam dan cambang bauknya lebat menakutkan. Dialah yang mendahului datang ke situ dengan anak buahnya untuk ikut mencegat anak muda yang istimewa itu.

Di dalam ruangan kemah telah tersedia meja penuh hidangan. Oei-coa-tai-ong duduk di kursi tuan rumah, di kanannya duduk Hek Sam Ong dan di kirinya disediakan kursi untuk Han Liong. Masih ada dua orang lagi duduk di meja itu, ialah Kong Tat dan Kong Ta yang dijuluki orang Sepasang Garuda Sungai Lien-ho dan menjadi pembantu kedua bajak sungai itu.

Hek Sam Ong mengambil sepasang sumpit lalu menghampiri Han Liong. Ia tancapkan sumpit itu di depan Han Liong sambil berkata, “Terimalah sumpit untukmu, tuan yang gagah.” Sepasang sumpit itu menancap di meja sampai satu dim lebih.

Han Liong tersenyum melihat demonstrasi tenaga dalam ini dan ia menepuk-nepuk meja sambil berseru, “Bagus! Bagus!”

Sungguh ajaib, biarpun ia hanya menepuk perlahan saja, namun sepasang sumpit gading yang tertancap di atas meja itu berlompatan ke atas dan jatuh kembali tepat di atas lobang yang tadi hingga tetap berdiri di atas meja.

Hek Sam Ong menjura dan mundur, lalu duduk kembali ke atas kursinya. Tiba-tiba terdengar suara ketawa Oei-coa-tai-ong yang bangun berdiri, sambil menjura ke arah Han Liong.

“Saudara masih muda tapi berilmu tinggi, bolehkah kiranya saya mengetahui namamu?”

“Siauwte yang rendah bernama Han Liong she Si, harap tai-ong tidak tertawakan kebodohan siauwte,” jawab Han Liong.

“Ah, ah, sudah pandai, sopan santun pula. Jarang menjumpai seorang muda seperti kau, Si enghiong. Aku yang kasar sudah sepatutnya memberi hormat dengan secawan arak.”

Ia menutup kata-katanya ini dengan menuangkan arak dari guci secawan penuh. Arak di cawan itu penuh sekali hingga hampir melimpah, tapi aneh benar, seakan-akan ada tenaga yang menahan arak itu hingga tak sampai tumpah, si pendek gemuk itu lalu maju selangkah ke arah Han Liong,

“Terimalah hormatku melalui secawan arak ini, Si enghiong.” Ia berikan cawan arak itu kepada Han Liong, tapi diam-diam ia mengerahkan tenaga Iweekangnya menekan ke bawah.

Ketika Han Liong menerima cawan itu, ia merasa suatu tenaga besar menekan ke bawah. Ia tersenyum dan ingin unjuk kepandaiannya, karena kalau sampai tangannya tertekan dan arak yang hampir melimpah itu tumpah, ia akan mendapat malu. Dengan tenang ia terima cawan itu dan pada saat itu juga Oei-coa-tai-ong diam-diam merasa terkejut sekali, karena ia merasa cawannya itu seakan-akan menyentuh kapas, namun demikian seakan-akan dasar cawan lekat pada tangan pemuda itu!

Oei-coa-tai-ong kerahkan tenaganya makin keras, tapi kali ini ia merasa tangannya sakit sekali karena tenaganya sendiri membalik hingga terasa sampai ke tulang-tulangnya! Terpaksa ia lepaskan cawan itu. Han Liong dengan senyum di bibir mengangkat cawan arak itu ke arah mulutnya lalu memiringkan cawan itu untuk menuangkan arak itu ke mulutnya.

“Ah, arakmu terlalu kental, tai ong,” kata Han Liong.

Semua orang heran melihat arak itu melimpah ke sisi cawan, tapi tidak juga jatuh atau tumpah. Han Liong tanpa minum araknya meletakkan kembali cawan itu ke atas meja. Ketika ia melepaskan tangannya, maka arak itu tumpah dan membasahi meja.

Oei-coa-tai-ong tersenyum menyindir, “Rupanya kau pandai ilmu iweekang, anak muda. Entah bagaimana pula ilmu silatmu!”

“Siauwte hanya bisa satu dua jurus ilmu pukulan yang tidak berarti saja,” jawab Han Liong tetap merendah.

“Jangan banyak tingkah. Marilah kau coba ilmu silatmu dengan kami dua saudara Garuda Sungai Lien-ho,” tiba-tiba Kong Tat menantang.

“Satu sama satu juga aku tidak mungkin menang, apa lagi dikeroyok dua.” kata Han Liong, tapi ia bangun juga berdiri dengan sabar. Tiba-tiba di sudut dilihatnya Lo Sam duduk dengan beberapa orang pemimpin laskar bajak yang sedang menggodanya dan melolohnya dengan arak.

“He, Lo Sam, kesinilah kau!” teriak Han Liong.

Tapi ketika Lo Sam hendak berdiri, beberapa orang bajak memegang lengannya dan memaksanya duduk kembali. Han Liong segera bertindak menghampiri dan memegang lengan Lo Sam untuk diajaknya pindah duduk. Tapi lengan Lo Sam yang sebelah lagi masih dipegang oleh dua orang berandal.

Han Liong menyambar sumpit Lo Sam dan menggunakan sumpit itu untuk mengetok dengan perlahan tangan orang-orang yang memegangi Lo Sam. Terdengar jeritan-jeritan ngeri dan dua orang itu berjingkrak-jingkrak kesakitan sambil memegang lengannya yang terketok sumpit itu. Mulut mereka tiada hentinya mengeluh.

“Aduh, aduh!” Tiga orang bajak lain merasa penasaran dan dengan golok mereka menyerang Han Liong. Han Liong menggunakan sumpit kayu itu menangkis dengan sekali kebut.

“Traang!!” Tiga buah golok itu terpental jauh, bahkan sebuah diantaranya meluncur cepat melukai kaki seorang bajak lain!

Melihat kelihaian pemuda ini para bajak sungai itu menjadi takut dan tak berani bergerak. Dengan tenang Han Liong menggandeng tangan Lo Sam dan kembali ke tempatnya. Kemudian ia menghadapi Sepasang Garuda Sungai Lien-ho yang menantangnya tadi sambil tersenyum.

“Bagaimanakah, jiwi, apakah jiwi ingin maju satu-satu atau terpaksa mengeroyok!”

“Kalau kau takut melawan kami sepasang, kami akan maju satu-satu!” kata Kong Tat dengan kesal.

“Bagaimana, Lo Sam? Beranikah kiranya aku sekali tempur melayani kedua enghiong ini?”

Lo Sam kini percaya penuh akan kegagahan Han Liong. Hatinya telah menjadi tetap dan timbul sifat sombongnya. “Jangankan baru mereka berdua, biar semua maju sekali serentak, kurasa kongcu masih sanggup melayaninya.” Demikian ia membual agar jangan 'kalah muka' dengan para bajak yang dibencinya itu.

“Mari maju kemari!” Kong Tat menjadi marah mendengar ini, ia menantang Han Liong sambil menuju ke tempat yang lapang dengan Kong Ta, lalu berdiri memasang kuda-kuda dengan berjejer, di tangan masing-masing memegang sepasang golok besar.

Han Liong bertindak tenang menghampiri kedua orang itu dengan tangan kosong. Lo Sam melihat jagonya maju tak bersenjata, segera ingat betapa tangkasnya Han Liong tadi memainkan sumpit melayani tiga orang bajak bersenjata golok. Ia meloncat ke arah meja dan memilih sepasang sumpit gading. Diambilnya sumpit itu lalu ia lari ke arah Han Liong.

“Kongcu, kau tak bersenjata, ini senjatamu!” Ia sangka bahwa Han Liong memang biasa bersenjata sumpit!

Han Liong tersenyum dan menerima sumpit itu sambil berkata, “Terima kasih, Lo Sam.”

Sepasang Garuda Sungai Lien-ho sangat kesal dan marah melihat betapa lawan mereka itu sangat memandang rendah kepada mereka.

“Kau hanya bersenjata sepasang sumpit? Jangan menyesal kalau nyawamu melayang karena keangkuhanmu ini, anak muda!” kata Kong Ta dengan mata merah.

“Silakan maju menyerang, jiwi enghiong.” tantang Han Liong...