Kisah Sepasang Naga Jilid 20 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

KISAH SEPASANG NAGA JILID 20

Memikir sampai di situ, Sin Wan dan terutama Giok Ciu, merasa tersinggung dan tersindir, maka mereka menundukkan muka dengan wajah merah. Sementara itu, kedua mata Giok Ciu mengalir air mata. Sin Wan dan Giok Ciu, tanpa diminta lalu menggunakan pedang mereka mereka untuk membantu menggali lubang untuk menguburkan Suma Li Lian. Setelah jenazah gadis yang bernasib malang itu dikubur baik-baik, jembel gila itu lalu berkata kepada Sin Wan dan Giok Ciu.

“Kalian anak-anak baik. Nah, aku pergi hendak mencari Bu Beng.”

Melihat betapa pikiran kakek itu agaknya mulai ingat, Sin Wan cepat berkata, “Lo-Cianpwe, teecu berdua adalah murid-murid Bu Beng Lojin!”

Kakek itu memandang tajam kepada mereka. “Bagus, dimana sekarang adanya Bu Beng?”

Sin Wan tak dapat menjawab, dan Giok Ciu yang menjawab, “Teecu tidak tahu di mana Suhu berada, karena Suhu telah meninggalkan Kam-Hong-San dan berjanji hendak bertemu dengan teecu berdua sepuluh tahun kemudian.”

“Ha ha ha! Bu Beng memang gila!” kata kakek itu dan sekali berkelebat tubuhnya telah lenyap dari situ!

Sin Wan dan Giok Ciu yang ditinggal di situ saling pandang. Giok Ciu lalu berlutut di depan makam Suma Li Lian dan berkata dalam bisikan, “Li Lian... Li Lian... Aku telah banyak menyakiti hatimu. Kau orang baik dan setia, tidak seperti... ah, Li Lian, kau tentu dapat mengampunkan aku, sungguhpun aku sendiri tidak akan sanggup mengampunkan diri sendiri.”

Sin Wan lalu berkata kepada Giok Ciu, “Sumoi, marilah di depan makam Li Lian kita mengadakan pembicaraan sungguh-sungguh dan dari hati ke hati.”

Kedua anak muda itu di pagi hari yang cerah itu duduk di depan makam yang masih baru, saling berhadapan. Sikap mereka tenang dan sungguh-sungguh.

“Giok Ciu,” kata Sin Wan sambil memandang wajah yang menunduk di depannya itu.

“Bagaimanakah pikiranmu setelah sekarang semua menjadi terang dan kau tahu akan duduknya persoalan yang sebenarnya?”

Giok Ciu mengangkat mukanya dan menahan air matanya yang hendak menitik turun. “Suheng, untuk apa kita bicarakan hal ini? Kau tahu, aku merasa menyesal dan malu sekali.”

“Bukan begitu, Sumoi, hal itu tak perlu lagi dimalukan atau disesalkan. Semua telah lewat dan habis, seperti halnya Li Lian yang telah menjadi gundukan tanah ini. Tak perlu lagi dipersoalkan. Yang penting adalah persoalan kita, yang akan datang, Sumoi. Kesalahpahaman diantara kita telah lenyap. Bagaimanakah sekarang pendirianmu mengenai... perjodohan kita?”

Gadis itu sekali lagi mengangkat muka dan memandang wajah Sin Wan dengan terharu, “Kau sendiri bagaimana, Suheng? Bagaimana pendirianmu?”

Sin Wan merasa tak enak mendengar sebutan gadis itu kepadanya kini telah berubah. Dulu menyebut koko atau kanda, sekarang menyebut Suheng atau kakak seperguruan. Ia lalu mengangkat tangan ke arah leher dan mengeluarkan sepatu kecil yang tergantung di lehernya.

“Kau lihatlah sendiri, barang ini selalu masih menempel di dadaku! Masih kurang jelaskah ini?”

Giok Ciu merasa terpukul dan teringatlah ia akan suling tanda perjodohan yang dulu ia hancurkan, maka tiba-tiba ia menangis perlahan.

“Giok Ciu terus terang saja kukatakan bahwa betapapun juga dan apapun yang terjadi, cintaku kepadamu tetap tak berubah. Mungkin terjadi perubahan sedikit, yakni tentang sifat cintaku itu. Kalau dulu cintaku disertai kandungan harapan untuk menjadikan kau sebagai isteriku sekarang sifat cintaku itu berubah setelah mendengar kata-kata Li Lian. Cintaku bukan berdasarkan hendak mengawinimu saja, tapi hendak melihat kau bahagia, Giok Ciu.”

Giok Ciu makin terharu dan tak dapat menjawab, maka Sin Wan lalu melanjutkan kata-katanya.

“Sumoi, jangan kau terlalu bersedih, Yang lalu biarlah lalu, sekarang marilah kita hadapi kenyataan. Aku hendak berterus terang saja kepadamu agar jangan sampai terulang lagi kesalahpahaman di antara kita. Aku masih tetap cinta kepadamu, tetapi aku sekali-kali tidak akan menggunakan hakku dan memaksamu menjadi isteriku. Terserah kepadamu, Sumoi, apakah kau hendak melanjutkan perjodohan kita atau tidak. Tapi yang pasti, selain dengan engkau, selama hidup takkan ada wanita lain yang dapat menjadi isteriku!”

Giok Ciu tunduk untuk beberapa lama, akhirnya ia dapat juga menjawab, “Suheng, kau memang seorang pemuda yang mulia. Hal ini seharusnya telah kuketahui sejak dulu dan seharusnya memperkuat kepercayaanku. Tapi memang aku gadis bodoh. Bodoh, lemah, dan tolol, tepat seperti dikatakan oleh Li Lian dulu! Setelah segala kebodohan yang kulakukan, termasuk penghancuran tanda perjodohan yang kuterima darimu, rasanya tak mungkin aku ada muka untuk menjadi isterimu, Suheng! Tentang cinta dan perasaan hatiku kepadamu... Entahlah! Aku menjadi ragu-ragu sekali untuk memikirkan tentang ini setelah mendengar ucapan-ucapan Li Lian dulu itu. Aku menjadi ragu-ragu apakah benar-benar ada cinta suci di dunia ini! Kalau ku sesuaikan dengan ajaran Suhu kepada kita tentang pemiliharaan tenaga rohani, aku menjadi ragu-ragu. Aku... Aku tidak berani berkata secara membuta membuat pengakuan bahwa aku… aku cinta padamu, Suheng. Maafkan aku yang bodoh...”

Sin Wan tersenyum pahit dan memegang lengan Sumoinya. “Bagus, Sumoi, memang seharusnya demikianlah sikap kita sebagai orang-orang yang telah mendapat latihan Suhu. Kita harus berani menghadapi kenyataan, betapa pahit dan tidak enaknya kenyataan itu.”

Giok Ciu memandang Sin Wan dengan kasihan. “Maafkan kalau aku menyakiti hatimu, Suheng. Aku juga tidak berani berkata bahwa aku tidak cinta kepadamu, karena percayalah bahwa selain dengan engkau, akupun tak mungkin kawin dengan seorang pemuda lain. Aku hanya malu dan ragu-ragu mengaku akan cintaku padamu, karena kalau benar-benar cinta, mengapa sikap dan tindakanku yang sudah-sudah demikian macamnya terhadapmu? Sekarang, biarlah kita berpisah dan meluaskan pengalaman masing-masing, sementara itu, berilah waktu padaku, Suheng.”

Sin Wan menghela napas panjang dan dengan jari-jari tangan gemetar ia melepaskan tali pengikat sepatu kecil itu, lalu diberikannya kepada Giok Ciu.

“Terimalah ini, Sumoi. Aku tak berhak menyimpannya."

Giok Ciu menganggap bahwa hal itu sepantasnya, maka sambil mengeraskan hatinya yang sangat terharu, iapun menerima barang itu dengan tangan gemetar pula.

“Sebelum kita berpisah, beritahukanlah di mana kau titipkan anak Li Lian dulu itu Suheng?”

Karena tidak menduga sesuatu, Sin Wan lalu menceritakan betapa Li Lian meninggalkan anaknya demikian saja hingga ia menjadi bingung dan akhirnya menitipkan anak Li Lian itu kepada seorang janda she Thio di kampung kecil di kaki gunung Kam-Hong-San itu.

Kemudian mereka lalu berpisah dan melanjutkan perjalanan masing-masing. Biarpun kini di dalam lubuk hati kedua anak muda itu terdapat sesuatu yang mengganjal dan membuat mereka merasa sunyi dan kosong, namun tidak ada pula segala kejengkelan, kekecewaan dan kemarahan mengganggu mereka.

********************

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Sin Wan merantau ke daratan sebelah Timur dan ia melakukan perjalanan menjelajah sepanjang pantai timur. Pada waktu itu, daratan timur di Tiongkok seringkali terganggu oleh bajak-bajak laut yang ganas. Bajak-bajak laut itu menggunakan perahu-perahu layar yang cepat gerakannya dan mereka terkenal mempunyai anggota-anggota yang rata-rata berilmu silat tinggi.

Tubuh mereka pendek dengan tangan yang panjang-panjang, sedangkan mereka biasa bersenjata pedang panjang yang mereka mainkan dengan secara cepat dan ganas. Banyaklah sudah dusun-dusun di pinggir pantai yang menjadi kurban keganasan para bajak laut ini, dan para penduduk dusun itu tidak tahu dari manakah datangnya bajak-bajak itu. Bahasa yang digunakan oleh para bajak laut itu walaupun tidak mereka mengerti, namun ada persamaan dengan Bahasa dusun pantai timur.

Pemerintah setempat telah pula mendengar tentang gangguan bajak laut ini, tapi karena pemerintah pada waktu itu sangat lemah dan sama sekali kurang menaruh perhatian akan nasib rakyat, maka hal itupun tidak diperdulikan. Pendirian pemerintah Tiongkok di kala itu, asalkan kedudukan para bangsawan dan Kaisar tidak terancam dan tidak terganggu, maka amanlah!

Rakyat dirampok? Rakyat diganggu bajak laut? Rakyat kelaparan? Aah, itu soal kecil dan soal biasa, tidak ada sangkut pautnya dengan mereka yang menduduki pangkat. Asal saja gangguan-gangguan itu tidak merugikan mereka! Karena keadaan pemerintah yang lalim dan alat-alat pemerintah yang buruk sekali ini, maka para bajak laut itu makin ganas dan kurang ajar.

Mereka bahkan berani menculik wanita-wanita dan membawanya ke pulau tempat tinggal mereka. Bahkan tiga buah dusun kecil di dekat pantai yang tadinya merupakan dusun nelayan yang ramai dan makmur, kini boleh dibilang menjadi dusun para bajak laut itu!

Tiga dusun itu dijadikan seksi pendaratan mereka, bahkan yang memerintah disitu sekarang orang-orang anggauta bajak laut itu! Bukan tidak ada orang-orang gagah dan hohan-hohan yang mencoba untuk memberantas keganjilan ini, tapi karena jumlah bajak laut sangat banyak dan semua memiliki kepandaian berkelahi yang baik sekali sedangkan fihak orang-orang gagah hanya ada beberapa orang saja sedangkan alat pemerintah tidak ada yang membantu, beberapa kali mereka ini tidak berhasil, bahkan mengalami kekalahan yang pahit!

Ketika di dalam perantauannya mendengar tentang hal ini, Sin Wan merasa marah dan penasaran sekali. Ia lalu langsung menuju ke dusun Tin-Siang, sebuah daripada tiga dusun yang menjadi sarang bajak laut di timur itu. Tapi alangkah herannya ketika ia memasuki dusun itu, karena keadaan dusun bukanlah seperti yang disangkanya semula.

Tadinya ia menduga akan melihat sebuah dusun yang sengsara di mana penduduknya hidup tertindas dan serba kekurangan. Sebaliknya, dusun itu ramai sekali dan penghidupan penduduk dusun Tin-Siang tampak seperti biasa, juga wajah orang-orang disitu tidak kelihatan sedih!

Ini sungguh aneh sekali, pikir Sin Wan. Lalu ia berjalan-jalan ke pantai laut melihat kapal-kapal layar yang berlabuh disitu. Ternyata kapal-kapal dari pedalaman, juga mengangkut kayu-kayu dari hutan, yakni kayu untuk pembangunan yang disebut kayu besi yang sukar dicari dan mahal harganya. Semua pekerjaan dilakukan oleh penduduk dusun itu dan yang mengepalai mereka adalah beberapa orang pendek yang tampaknya ramah tamah.

Maka otak yang cerdik dari pemuda itu lalu dapat menduga. Ia pikir bahwa bajak-bajak laut itu tentu menggunakan siasat halus untuk membujuk para penduduk dusun itu hingga tenaga mereka digunakan. Bajak-bajak itu tentu tidak mengganggu mereka, tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari mereka, karena hasilnya tak seberapa besar. Sebaliknya, mereka melakukan perampokan di dalam hutan-hutan dan mengangkut pergi hasil-hasil bumi Tiongkok yang kaya, dan yang mengerjakan semua itu adalah tenaga-tenaga penduduk dusun itu, mungkin dengan diberi sedikit upah!

Sin Wan melanjutkan penyelidikannya. Ia memasuki sebuah rumah makan dan memesan arak serta makanan. Karena ada beberapa orang yang sedang duduk di dalam rumah makan itu dan tampaknya seperti orang-orang pedagang dari lain tempat, sengaja Sin Wan mendekati mereka, lalu secara iseng-iseng ia berkata,

“Dusun ini tampaknya ramai dan penduduknya hidup senang.”

Seorang di antara mereka yang menengok dan mendengar kata-katanya itu, lalu menghampiri. Agaknya orang ini telah minum arak agak terlampau banyak, maka lidahnya terlepas,

“Mengapa tidak, kawan? Kau tentu bukan orang sini maka agaknya heran melihat keadaan kami! Sudah banyak orang-orang seperti engkau yang datang ke sini. Tentu kau tadinya menyangka bahwa kita tentu hidup sengsara, bukan? Ha ha ha! Tidak, kita tidak merasa terganggu. Mereka itu mengangkut hasil-hasil hutan dan tanah bukan milik kami. Mereka menguasai kami tapi tidak membuat kami sengsara. Tahukah kau bahwa dulu sebelum mereka datang, kepala dusun ini, seorang bangsa kita sendiri, bahkan merupakkan lintah darat yang menghisap habis darah kami? Aah, kami lebih senang mempunyai kepala dusun bangsa lain daripada kepala dusun bangsa sendiri yang menindas kami!”

Mendengar kata-kata ini Sin Wan merasa muak sekali. Celaka dua belas! Beginilah kalau pemerintah sendiri tidak becus memerintah dan buruk keadaannya! Rakyat menjadi penasaran dan sakit hati, hingga bahkan mereka lebih suka diperintah oleh pemerintah asing daripada oleh pemerintah bangsa sendiri, karena mereka itu hanya menghendaki hidup senang! Celaka sekali!

Tentu saja bagi orang-orang beriman dan mempunyai jiwa gagah perkasa seperti Sin Wan, diperintah oleh orang-orang asing itu merupakan hinaan yang besar sekali. Apalagi ketika melihat betapa kekayaan tanah air dibawa dan diangkut pergi oleh orang-orang kate itu, Sin Wan merasa mendongkol sekali.

Pada saat itu, tiba-tiba orang yang doyan mengobrol itu diam bagaikan orong-orong terpijak, karena dari luar masuklah seorang kate yang agak gemuk. Orang kate itu memandang Sin Wan dengan curiga dan ia lalu menunding ke arah Sin wan sambil bertanya kepada pengobrol tadi,

“Siapakah orang ini? Dan dari mana datang?”

Sebelum ada yang menjawab, Sin Wan menghampiri orang itu dan bertanya, “Kau perduli apakah? Kau siapa dan apa hakmu maka bertanya demikian?”

Orang itu tersenyum menghina. “Kau mencari susah sendiri!”

Dan ia membalikkan tubuh hendak pergi, tetapi Sin Wan telah menangkap lengan tangan orang itu. “Tahan dulu, bukankah kau ini anggota bajak-bajak asing yang mengganggu pantai Tiongkok?”

Orang itu memandang dengan ancaman di matanya. “Habis kau mau apa?”

Sehabis berkata demikian, dengan sekali renggut terlepaslah tangannya dari pegangan Sin Wan sehingga pemuda itu diam-diam terkejut sekali karena tidak disangkanya bahwa si pendek ini memiliki tenaga besar. Kemudian si pendek itu menyerang dengan pukulan yang mempunyai gerakan aneh. Datangnya serangan ini cepat sekali dan kedua tangannya digunakan bagaikan cengkeraman garuda.

Inilah semacam ilmu Eng-Jiauw-Kang atau Cengkeraman Garuda, dan ilmu ini mengandalkan tenaga dan kecepatan mencengkeram tubuh atau tangan musuh. Tapi Sin Wan dengan mudahnya dapat berkelit dan balas menyerang. Setelah bergerak tiga jurus saja, Sin Wan berhasil mendorong tubuh yang kate itu sehingga bergulingan menabrak meja.

Orang kate itu bersuit keras dan dari arah pantai berlari-larilah beberapa orang kate lain, yakni anggauta-anggauta dan anak buah bajak laut yang bertugas di situ. Bahkan ada beberapa penduduk aseli, yakni orang-orang kampung di situ ikut pula datang dengan wajah mengancam seakan-akan mereka juga hendak mengeroyok Sin Wan!

Sin Wan mencabut pedangnya dan sebentar saja ia dikeroyok banyak orang yang bersenjata pedang panjang dan yang kesemuanya memiliki ilmu pedang yang cukup baik. Tapi menghadapi Pek Liong Kiam-sut, mereka ini tidak berdaya. Yang mengherankan Sin Wan ialah betapa pedang-pedang mereka ini kesemuanya terbuat daripada bahan yang baik dan keras hingga tidak mudah terbabat putus oleh pokiamnya! Ini sungguh mengagumkan!

Kemudian, penduduk kampung ikut pula mengeroyok dengan segala macam senjata yang dapat mereka pakai, karena mereka menganggap bahwa pemuda itu hanya membuat kacau saja di kampung mereka. Melihat hal ini, Sin Wan lalu memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga empat orang kate roboh dengan mandi darah, kemudian Sin Wan berseru keras,

“Hai, saudara-saudara! Tidak tahukah kalian bahwa bajak-bajak kate ini menguras kekayaan di negeri kita? Mereka ini tidak saja membajak bangsa kita, tapi juga merampok hasil bumi kita! Hayo kita usir mereka ini!”

Tapi orang-orang kampung ini tak seorangpun mau mendengarkan kata-katanya, bahkan ada seorang yang berteriak keras,

“Aah, obrolan apa yang kau jual ke sini? Kau rupanya bukan hendak menolong, tetapi bahkan hendak mengacau dan mencelakakan kami!”

Tiba-tiba Sin Wan ingat bahwa kalau ia mengusir bajak-bajak ini, tentu para bajak yang banyak sekali jumlahnya itu akan sakit hati sekali kepada orang-orang kampung dan akhirnya penduduk dusun itulah yang akan menerima balasan dan tertimpa bencana besar. Mengingat demikian, Sin Wan lalu meloncat pergi dan lari keluar dari dusun itu dengan cepat. Ia merasa bingung dan tidak tahu dengan cara bagaimana ia dapat mengusir para bajak laut itu.

Malam itu ia bermalam di dalam sebuah dusun yang terdapat di hutan yang memanjang di tepi laut. Berbeda dengan keadaan dusun yang dikuasai para bajak itu, di dusun ini orang-orang hidup sederhana sekali dan keadaan mereka sungguh-sungguh miskin! Tapi mereka sangat ramah tamah dan seorang keluarga yang terdiri dari seorang kakek dan seorang puteranya yang sudah duda, menerima Sin Wan dan memberi tempat kepadanya untuk bermalam.

Karena lelahnya Sin Wan tidur nyenyak sekali. Tapi menjelang fajar, ia dikejutkan oleh suara gemuruh dari kaki kuda dan sepatu-sepatu dari ratusan pasang kaki orang yang mendatangi ke arah dusun itu! Ia segera bangun dan terdengar pekik dan jerit tangis penduduk dusun di situ.

“Ada apakah?” Sin Wan meloncat keluar dan bertanya kepada seorang yang lari ketakutan.

“Bajak-bajak itu mengganas lagi!” katanya.

Sin Wan menjadi gemas sekali. Jadi kalau di sekitar pantai bajak-bajak itu berlaku baik terhadap penduduk di situ untuk memikat hati mereka, di pedalaman mereka merampok dengan kejam. Dalam marahnya, Sin Wan mencabut pedangnya dan lari memapaki kedatangan para bajak itu. Dan apa yang dilihatnya membuat dia kaget sekali! Yang datang itu, bukanlah bajak-bajak biasa, karena pakaian yang dipakai oleh orang-orang kate itu adalah seragam hingga mereka lebih tepat disebut tentara yang berdisplin dan teratur!

Pergerakan mereka teratur sekali dan disana-sini terdengar aba-aba yang dikeluarkan dengan suara keras dari atas kuda! Tentara yang bergerak ini jumlahnya cukup besar, ditaksir tidak kurang dari lima puluh orang. Hendak menyerbu kemanakah rombongan bajak yang merupakan barisan teratur ini, pikir Sin Wan. Tapi pada saat itu telah terlihat oleh seorang anggota barisan itu dan atas aba-aba seorang pemimpin, beberapa belas orang dengan pedang dan tombak lari menyerbu.

Sin Wan menerima kedatangan mereka dengan pedang di tangan dan ia lalu mengamuk hebat! Tapi segera ia mendapat kenyataan bahwa para pengeroyoknya ini benar-benar orang berilmu silat lumayan juga dan jika dibandingkan dengan kepandaian para pengawal Kaisar, maka agaknya tidak boleh disebut lebih lemah!

Terutama ilmu pedang mereka yang mempunyai gerakan aneh, sungguh sukar dilawan. Baiknya ia memiliki ilmu pedang yang cepat dan hebat gerakannya, maka sebentar saja ia dapat merobohkan beberapa orang hingga tempat itu menjadi ramai dengan pekikan-pekikan mereka dan rumput-rumput di situ menjadi basah oleh darah!

Tapi keberanian dan kenekatan orang-orang itu sungguh membuat Sin Wan merasa bingung dan gugup. Jatuh seorang datang dua dan jatuh dua datang empat! Ia sampai merasa kewalahan dan kini dirinya terkurung rapat! Ia telah merobohkan sepuluh orang lebih, tapi tenaganya mulai lemah karena ternyata musuh-musuhnya makin banyak saja.

Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan nyaring dan kepungan Sin Wan menjadi buyar dan keadaan menjadi kacau balau! Ketika Sin Wan merasa kepungan yang mengurung dirinya mengendur, ia lalu meloncat keluar dari kepungan untuk melihat apa yang telah terjadi di luar kepungannya.

Ternyata terdapat dua bayangan putih dengan jubah lebar berkibar-kibar sedang mengamuk hebat! Dua bayangan itu menyambar-nyambar ke sana kemari dan dimana saja mereka tiba, tentu terdengar pekik ngeri dan tampak tubuh seorang pengeroyok roboh! Sin Wan terkejut sekali melihat kehebatan sepak terjang dua orang itu, karena mengingatkan ia akan kakek jembel gila.

Tiba-tiba dua orang itu menghentikan gerakan mereka dan mereka berdiri di atas sebuah batu besar sambil bertolak pinggang. Ternyata bahwa mereka adalah dua orang kakek yang berwajah angker dan gagah sekali. Pakaian mereka seperti dua orang petani dan jubah mereka longgar, di punggung mereka tampak gagang pedang. Rambut mereka yang putih dan panjang digelung ke atas dan kini ujung rambut itu berkibar-kibar tertiup angin. Mereka sungguh gagah perkasa!

“He, kamu sekalain bajak laut, dengarlah! Kamu telah melihat sepak terjang kami berdua dan ternyata baru kami dua orang tanpa memegang senjata saja kalian sudah tak dapat melawan. Apalagi kalau bangsa kami bangkit serentak melawan kalian, pasti kalian akan dilempar semua ke laut! Kembalilah ke negarimu sendiri dan jangan mengganggu rakyat kami! Kalau dalam tiga hari kami masih melihat kamu, maka jangan harap akan mendapat ampun lagi!”

Kedua kakek itu berbicara perlahan, lalu seorang diantara mereka berkata lagi dengan suara keras, “Ketahuilah, kami berdua adalah Pai-San Sianjin dan Nam-Hai Sianjin. Dan jangan kira bahwa di negeri kami hanya ada kami dua orang saja yang memiliki kepandaian! Masih ribuan orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada kami. Kalian lihatlah pohon siong disana itu dan lihat apakah diantara kalian ada yang sanggup menahan serangan pedang kami seperti yang hendak kami lakukan kepada pohon itu!”

Setelah berkata demikian dua orang kakek itu lalu mencabut pedang dari punggung, lalu berbareng mereka enjot tubuh mereka. Dua bayangan putih berkelebat ke arah puncak pohon itu dan tiba-tiba daun-daun dan ranting-ranting kecil jatuh berhamburan ketika dua orang kakek itu gerakkan pedang mereka membabat!

Sebentar saja keduanya telah melayang turun di atas batu yang tadi dan ketika semua orang melihat ke arah pohon, mereka leletkan lidah karena daun-daun pohon itu telah dicukur sedemikian rupa hingga pinggirnya rata dan potongannya bundar!

Setelah menyaksikan demonstrasi ini, terdengar aba-aba keras di fihak bajak laut dan mereka lalu lari mundur dengan cepat! Kedua kakek itu tertawa bergelak-gelak menyaksikan mereka. Kemudian mereka memandang ke arah Sin Wan dan memberi tanda kepada pemuda itu supaya datang mendekat. Sin Wan lalu memberi hormat sambil berlutut.

“He, anak muda yang gagah perkasa. Bukankah kau mendapat pelajaran dari Bu Beng?” tegur Nam-Hai Sianjin.

“Benar, Lo-Cianpwe. Teecu adalah murid dari Bu Beng Lojin dan mendengar nama jiwi Lo-Cianpwe yang besar serta menyaksikan kehebatan ilmu pedang jiwi Lo-Cianpwe, sungguh teecu merasa beruntung sekali sudah dapat bertemu dengan jiwi Lo-Cianpwe!”

Terdengar Pai-San Sianjin menghela napas, “Sayang sekali orang-orang seperti kita kebanyakan berlaku sesat dan tidak melihat akan penderitaan rakyat. Kau mendengar tadi betapa kami membohong agar mereka jangan berani datang lagi. Nah, sampaikan salam kami kepada Suhumu?”

Dan kedua tokoh persilatan yang terkenal itu berkelebat menghilang dari pandangan Sin Wan.

********************

Setelah kenyang merantau, lima tahun kemudian, Sin Wan kembali ke Kam-Hong-San. Maksudnya hendak mulai mendidik anak perempuan Li Lian yang dulu dititipkan kepada janda Thio. Tapi alangkah herannya ketika mendapat keterangan bahwa anak itu telah dibawa oleh Giok Ciu. Sin Wan lalu mengejar dan menjumpai Giok Ciu di bekas tempat tinggal Ayahnya, yakni di sebelah timur bukit Kam-Hong-San.

“Sumoi,” katanya ketika bertemu dan melihat betapa benar-benar anak itu berada disitu. “Kau berikanlah anak ini kepadaku untuk kudidik menjadi muridku.”

“Tidak Suheng. Akulah orangnya yang mempunyai dosa terhadap Li Lian, maka biarlah aku menebus dosa itu dengan memberi didikan kepada anaknya ini,” jawab Giok Ciu.

Mereka berdua mempertahankan pendirian mereka sendiri-sendiri, karena Sin Wan juga suka sekali melihat anak perempuan yang mungil itu dan yang wajahnya mirip sekali dengan Li Lian. Akhirnya sambil tersenyum Giok Ciu mencabut ouw Liong Pokiam dan berkata tenang.

“Suheng, kalau begitu, biarlah pedang kita yang memutuskan.”

“Apa maksudmu?” tanya Sin Wan terkejut.

“Marilah kita mengukur kepandaian masing-masing, yang lebih tinggi berhak menjadi guru anak itu!”

Sin Wan tersenyum dan heran, karena biarpun sikap dan bicara gadis itu telah berubah dan tenang tapi sebenarnya watak keras masih ada di dalam hatinya. Iapun lalu mencabut Pek Liong Pokiam dan menghadapi Sumoinya. Mereka lalu menggerakkan kedua pedangnya itu dan sebentar kemudian pertemuan mereka ini dirayakan dengan adu pedang!

Mereka dalam hal memberi pelajaran kepada kedua muridnya, Bu Beng Lojin tidak berlaku berat sebelah, maka kepandaian mereka berimbang. Sin Wan dapat merobohkan Sumoinya yang keras hati ini, tapi ia tidak tega dan pula agaknya ia takkan dapat merobohkan kalau tidak dengan menggunakan kekerasan. Karena inilah maka mereka bertempur sampai ratusan jurus bagaikan dua ekor naga sakti berebut mustika.

Anak perempuan yang baru berusia kurang lebih lima tahun itu bertepuk-tepuk tangan gembira dan suka sekali melihat pertempuran itu, seakan-akan ia melihat pertunjukan yang bagus sekali. Tiba-tiba terdengar suara lemah lembut dan suara tertawa menyeramkan. Sin Wan dan Giok Ciu kenal suara ini maka mereka segera meloncat mundur dan menjatuhkan diri berlutut. Bu Beng Lojin dan kakek jembel gila yang lihai itu telah berada di depan mereka.

“Sin Wan dan Giok Ciu! Bagaimana keputusanmu yang terakahir? Perlukah kedua pokiam itu kau kembalikan kepadaku? Biarlah aku yang menyimpannya!”

Sin Wan memberi hormat dan berkata, “Suhu, hal ini murid hanya menyerahkan sepenuhnya kepada Giok Ciu!”

Giok Ciu menundukkan muka dan kulit mukanya berubah merah. Ia pandang Ouw Liong Pokiam di tangannya dan agaknya ia tak mungkin dapat berpisah dari pedang ini. Pula, niatnya untuk berumah tangga, biar dengan Sin Wan sekalipun, telah lenyap dari sanubarinya.

“Maaf, Suhu. Teecu telah bersumpah hendak hidup menyendiri dengan pokiam ini.”

Bu Beng Lojin tertawa bergelak-gelak, diiringi oleh suara tertawa oleh kakek jembel gila itu. “Kalau begitu, kau bertapalah disini, dan Sin Wan boleh tinggal di gua naga. Ketahuilah murid-muridku, memang kalianlah yang berjodoh untuk mengembangkan Sin-Liong Kiam-Sut dan kelak kalian pulalah yang akan menurunkan kepandaian dan kedua pokiam ini kepada orang-orang atau murid-murid yang berbakat. Dengan demikian, takkan sia-sialah hidupmu di dunia ini. Kalian telah memilih jalan benar, karena sekarang aku mau membuka rahasia, yakni menurut penglihatanku, kalian mempunyai watak yang bertentangan dan jika tertangkap menjadi suami isteri, maka akan lebih banyak pahitnya daripada manisnya kalian rasakan!”

“Suhu, mohon petunjuk Suhu tentang anak ini,” kata Sin Wan, juga Giok Ciu mendesak gurunya.

Tiba-tiba si kakek jembel gila berkata dengan suaranya yang parau. “Hanya akulah seorang yang berhak menjadi Suhunya!”

Giok Ciu dan Sin Wan terkejut, tapi Bu Beng mengangguk-angguk, “Kalian masih terlampau muda untuk menerima murid. Matangkanlah dulu kepandaianmu, dan kalian taruhlah kasihan kepada kawan baikku ini. Anak ini akan menjadi obat penawar baginya.”

Akhirnya Sin Wan dan Giok Ciu menurut dan mengalah.

Semenjak saat itu, Bun Sin Wan bertapa di puncak gunung Kam-Hong-San sedangkan Kwie Giok Ciu bertapa di bekas tempat tinggal Ayahnya. Keduanya telah dapat menahan segala nafsu keduniaan dan tekun memperdalam ilmu mereka. Tapi adat yang terbawa ketika lahir tak dapat dirobah dengan mudah, karena dalam beberapa tahun sekali, tentu Giok Ciu mengunjungi Sin Wan untuk diajak bertanding mengukur kepandaian!

Sering pula Sin Wan atau Giok Ciu turun gunung untuk melakukan tugas sebagai pendekar-pendekar gagah pembela keadilan, hingga nama Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam makin terkenal di kalangan persilatan sebagai dua pedang naga sakti yang hebat dan sebagai penggempur kejahatan!

Kelak, berpuluh puluh tahun kemudian, setelah mereka menjadi orang-orang tua, Bun Sin Wan akan menggunakan nama Kam Hong Siansu, sedangkan Kwie Giok Ciu tak mengubah nama hingga disebut orang Kwie Giok Ciu Suthai.

T A M A T

Seri Ketiga Serial Jago Pedang Tak Bernama PEDANG ULAR MERAH

Kisah Sepasang Naga Jilid 20

KISAH SEPASANG NAGA JILID 20

Memikir sampai di situ, Sin Wan dan terutama Giok Ciu, merasa tersinggung dan tersindir, maka mereka menundukkan muka dengan wajah merah. Sementara itu, kedua mata Giok Ciu mengalir air mata. Sin Wan dan Giok Ciu, tanpa diminta lalu menggunakan pedang mereka mereka untuk membantu menggali lubang untuk menguburkan Suma Li Lian. Setelah jenazah gadis yang bernasib malang itu dikubur baik-baik, jembel gila itu lalu berkata kepada Sin Wan dan Giok Ciu.

“Kalian anak-anak baik. Nah, aku pergi hendak mencari Bu Beng.”

Melihat betapa pikiran kakek itu agaknya mulai ingat, Sin Wan cepat berkata, “Lo-Cianpwe, teecu berdua adalah murid-murid Bu Beng Lojin!”

Kakek itu memandang tajam kepada mereka. “Bagus, dimana sekarang adanya Bu Beng?”

Sin Wan tak dapat menjawab, dan Giok Ciu yang menjawab, “Teecu tidak tahu di mana Suhu berada, karena Suhu telah meninggalkan Kam-Hong-San dan berjanji hendak bertemu dengan teecu berdua sepuluh tahun kemudian.”

“Ha ha ha! Bu Beng memang gila!” kata kakek itu dan sekali berkelebat tubuhnya telah lenyap dari situ!

Sin Wan dan Giok Ciu yang ditinggal di situ saling pandang. Giok Ciu lalu berlutut di depan makam Suma Li Lian dan berkata dalam bisikan, “Li Lian... Li Lian... Aku telah banyak menyakiti hatimu. Kau orang baik dan setia, tidak seperti... ah, Li Lian, kau tentu dapat mengampunkan aku, sungguhpun aku sendiri tidak akan sanggup mengampunkan diri sendiri.”

Sin Wan lalu berkata kepada Giok Ciu, “Sumoi, marilah di depan makam Li Lian kita mengadakan pembicaraan sungguh-sungguh dan dari hati ke hati.”

Kedua anak muda itu di pagi hari yang cerah itu duduk di depan makam yang masih baru, saling berhadapan. Sikap mereka tenang dan sungguh-sungguh.

“Giok Ciu,” kata Sin Wan sambil memandang wajah yang menunduk di depannya itu.

“Bagaimanakah pikiranmu setelah sekarang semua menjadi terang dan kau tahu akan duduknya persoalan yang sebenarnya?”

Giok Ciu mengangkat mukanya dan menahan air matanya yang hendak menitik turun. “Suheng, untuk apa kita bicarakan hal ini? Kau tahu, aku merasa menyesal dan malu sekali.”

“Bukan begitu, Sumoi, hal itu tak perlu lagi dimalukan atau disesalkan. Semua telah lewat dan habis, seperti halnya Li Lian yang telah menjadi gundukan tanah ini. Tak perlu lagi dipersoalkan. Yang penting adalah persoalan kita, yang akan datang, Sumoi. Kesalahpahaman diantara kita telah lenyap. Bagaimanakah sekarang pendirianmu mengenai... perjodohan kita?”

Gadis itu sekali lagi mengangkat muka dan memandang wajah Sin Wan dengan terharu, “Kau sendiri bagaimana, Suheng? Bagaimana pendirianmu?”

Sin Wan merasa tak enak mendengar sebutan gadis itu kepadanya kini telah berubah. Dulu menyebut koko atau kanda, sekarang menyebut Suheng atau kakak seperguruan. Ia lalu mengangkat tangan ke arah leher dan mengeluarkan sepatu kecil yang tergantung di lehernya.

“Kau lihatlah sendiri, barang ini selalu masih menempel di dadaku! Masih kurang jelaskah ini?”

Giok Ciu merasa terpukul dan teringatlah ia akan suling tanda perjodohan yang dulu ia hancurkan, maka tiba-tiba ia menangis perlahan.

“Giok Ciu terus terang saja kukatakan bahwa betapapun juga dan apapun yang terjadi, cintaku kepadamu tetap tak berubah. Mungkin terjadi perubahan sedikit, yakni tentang sifat cintaku itu. Kalau dulu cintaku disertai kandungan harapan untuk menjadikan kau sebagai isteriku sekarang sifat cintaku itu berubah setelah mendengar kata-kata Li Lian. Cintaku bukan berdasarkan hendak mengawinimu saja, tapi hendak melihat kau bahagia, Giok Ciu.”

Giok Ciu makin terharu dan tak dapat menjawab, maka Sin Wan lalu melanjutkan kata-katanya.

“Sumoi, jangan kau terlalu bersedih, Yang lalu biarlah lalu, sekarang marilah kita hadapi kenyataan. Aku hendak berterus terang saja kepadamu agar jangan sampai terulang lagi kesalahpahaman di antara kita. Aku masih tetap cinta kepadamu, tetapi aku sekali-kali tidak akan menggunakan hakku dan memaksamu menjadi isteriku. Terserah kepadamu, Sumoi, apakah kau hendak melanjutkan perjodohan kita atau tidak. Tapi yang pasti, selain dengan engkau, selama hidup takkan ada wanita lain yang dapat menjadi isteriku!”

Giok Ciu tunduk untuk beberapa lama, akhirnya ia dapat juga menjawab, “Suheng, kau memang seorang pemuda yang mulia. Hal ini seharusnya telah kuketahui sejak dulu dan seharusnya memperkuat kepercayaanku. Tapi memang aku gadis bodoh. Bodoh, lemah, dan tolol, tepat seperti dikatakan oleh Li Lian dulu! Setelah segala kebodohan yang kulakukan, termasuk penghancuran tanda perjodohan yang kuterima darimu, rasanya tak mungkin aku ada muka untuk menjadi isterimu, Suheng! Tentang cinta dan perasaan hatiku kepadamu... Entahlah! Aku menjadi ragu-ragu sekali untuk memikirkan tentang ini setelah mendengar ucapan-ucapan Li Lian dulu itu. Aku menjadi ragu-ragu apakah benar-benar ada cinta suci di dunia ini! Kalau ku sesuaikan dengan ajaran Suhu kepada kita tentang pemiliharaan tenaga rohani, aku menjadi ragu-ragu. Aku... Aku tidak berani berkata secara membuta membuat pengakuan bahwa aku… aku cinta padamu, Suheng. Maafkan aku yang bodoh...”

Sin Wan tersenyum pahit dan memegang lengan Sumoinya. “Bagus, Sumoi, memang seharusnya demikianlah sikap kita sebagai orang-orang yang telah mendapat latihan Suhu. Kita harus berani menghadapi kenyataan, betapa pahit dan tidak enaknya kenyataan itu.”

Giok Ciu memandang Sin Wan dengan kasihan. “Maafkan kalau aku menyakiti hatimu, Suheng. Aku juga tidak berani berkata bahwa aku tidak cinta kepadamu, karena percayalah bahwa selain dengan engkau, akupun tak mungkin kawin dengan seorang pemuda lain. Aku hanya malu dan ragu-ragu mengaku akan cintaku padamu, karena kalau benar-benar cinta, mengapa sikap dan tindakanku yang sudah-sudah demikian macamnya terhadapmu? Sekarang, biarlah kita berpisah dan meluaskan pengalaman masing-masing, sementara itu, berilah waktu padaku, Suheng.”

Sin Wan menghela napas panjang dan dengan jari-jari tangan gemetar ia melepaskan tali pengikat sepatu kecil itu, lalu diberikannya kepada Giok Ciu.

“Terimalah ini, Sumoi. Aku tak berhak menyimpannya."

Giok Ciu menganggap bahwa hal itu sepantasnya, maka sambil mengeraskan hatinya yang sangat terharu, iapun menerima barang itu dengan tangan gemetar pula.

“Sebelum kita berpisah, beritahukanlah di mana kau titipkan anak Li Lian dulu itu Suheng?”

Karena tidak menduga sesuatu, Sin Wan lalu menceritakan betapa Li Lian meninggalkan anaknya demikian saja hingga ia menjadi bingung dan akhirnya menitipkan anak Li Lian itu kepada seorang janda she Thio di kampung kecil di kaki gunung Kam-Hong-San itu.

Kemudian mereka lalu berpisah dan melanjutkan perjalanan masing-masing. Biarpun kini di dalam lubuk hati kedua anak muda itu terdapat sesuatu yang mengganjal dan membuat mereka merasa sunyi dan kosong, namun tidak ada pula segala kejengkelan, kekecewaan dan kemarahan mengganggu mereka.

********************

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Sin Wan merantau ke daratan sebelah Timur dan ia melakukan perjalanan menjelajah sepanjang pantai timur. Pada waktu itu, daratan timur di Tiongkok seringkali terganggu oleh bajak-bajak laut yang ganas. Bajak-bajak laut itu menggunakan perahu-perahu layar yang cepat gerakannya dan mereka terkenal mempunyai anggota-anggota yang rata-rata berilmu silat tinggi.

Tubuh mereka pendek dengan tangan yang panjang-panjang, sedangkan mereka biasa bersenjata pedang panjang yang mereka mainkan dengan secara cepat dan ganas. Banyaklah sudah dusun-dusun di pinggir pantai yang menjadi kurban keganasan para bajak laut ini, dan para penduduk dusun itu tidak tahu dari manakah datangnya bajak-bajak itu. Bahasa yang digunakan oleh para bajak laut itu walaupun tidak mereka mengerti, namun ada persamaan dengan Bahasa dusun pantai timur.

Pemerintah setempat telah pula mendengar tentang gangguan bajak laut ini, tapi karena pemerintah pada waktu itu sangat lemah dan sama sekali kurang menaruh perhatian akan nasib rakyat, maka hal itupun tidak diperdulikan. Pendirian pemerintah Tiongkok di kala itu, asalkan kedudukan para bangsawan dan Kaisar tidak terancam dan tidak terganggu, maka amanlah!

Rakyat dirampok? Rakyat diganggu bajak laut? Rakyat kelaparan? Aah, itu soal kecil dan soal biasa, tidak ada sangkut pautnya dengan mereka yang menduduki pangkat. Asal saja gangguan-gangguan itu tidak merugikan mereka! Karena keadaan pemerintah yang lalim dan alat-alat pemerintah yang buruk sekali ini, maka para bajak laut itu makin ganas dan kurang ajar.

Mereka bahkan berani menculik wanita-wanita dan membawanya ke pulau tempat tinggal mereka. Bahkan tiga buah dusun kecil di dekat pantai yang tadinya merupakan dusun nelayan yang ramai dan makmur, kini boleh dibilang menjadi dusun para bajak laut itu!

Tiga dusun itu dijadikan seksi pendaratan mereka, bahkan yang memerintah disitu sekarang orang-orang anggauta bajak laut itu! Bukan tidak ada orang-orang gagah dan hohan-hohan yang mencoba untuk memberantas keganjilan ini, tapi karena jumlah bajak laut sangat banyak dan semua memiliki kepandaian berkelahi yang baik sekali sedangkan fihak orang-orang gagah hanya ada beberapa orang saja sedangkan alat pemerintah tidak ada yang membantu, beberapa kali mereka ini tidak berhasil, bahkan mengalami kekalahan yang pahit!

Ketika di dalam perantauannya mendengar tentang hal ini, Sin Wan merasa marah dan penasaran sekali. Ia lalu langsung menuju ke dusun Tin-Siang, sebuah daripada tiga dusun yang menjadi sarang bajak laut di timur itu. Tapi alangkah herannya ketika ia memasuki dusun itu, karena keadaan dusun bukanlah seperti yang disangkanya semula.

Tadinya ia menduga akan melihat sebuah dusun yang sengsara di mana penduduknya hidup tertindas dan serba kekurangan. Sebaliknya, dusun itu ramai sekali dan penghidupan penduduk dusun Tin-Siang tampak seperti biasa, juga wajah orang-orang disitu tidak kelihatan sedih!

Ini sungguh aneh sekali, pikir Sin Wan. Lalu ia berjalan-jalan ke pantai laut melihat kapal-kapal layar yang berlabuh disitu. Ternyata kapal-kapal dari pedalaman, juga mengangkut kayu-kayu dari hutan, yakni kayu untuk pembangunan yang disebut kayu besi yang sukar dicari dan mahal harganya. Semua pekerjaan dilakukan oleh penduduk dusun itu dan yang mengepalai mereka adalah beberapa orang pendek yang tampaknya ramah tamah.

Maka otak yang cerdik dari pemuda itu lalu dapat menduga. Ia pikir bahwa bajak-bajak laut itu tentu menggunakan siasat halus untuk membujuk para penduduk dusun itu hingga tenaga mereka digunakan. Bajak-bajak itu tentu tidak mengganggu mereka, tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari mereka, karena hasilnya tak seberapa besar. Sebaliknya, mereka melakukan perampokan di dalam hutan-hutan dan mengangkut pergi hasil-hasil bumi Tiongkok yang kaya, dan yang mengerjakan semua itu adalah tenaga-tenaga penduduk dusun itu, mungkin dengan diberi sedikit upah!

Sin Wan melanjutkan penyelidikannya. Ia memasuki sebuah rumah makan dan memesan arak serta makanan. Karena ada beberapa orang yang sedang duduk di dalam rumah makan itu dan tampaknya seperti orang-orang pedagang dari lain tempat, sengaja Sin Wan mendekati mereka, lalu secara iseng-iseng ia berkata,

“Dusun ini tampaknya ramai dan penduduknya hidup senang.”

Seorang di antara mereka yang menengok dan mendengar kata-katanya itu, lalu menghampiri. Agaknya orang ini telah minum arak agak terlampau banyak, maka lidahnya terlepas,

“Mengapa tidak, kawan? Kau tentu bukan orang sini maka agaknya heran melihat keadaan kami! Sudah banyak orang-orang seperti engkau yang datang ke sini. Tentu kau tadinya menyangka bahwa kita tentu hidup sengsara, bukan? Ha ha ha! Tidak, kita tidak merasa terganggu. Mereka itu mengangkut hasil-hasil hutan dan tanah bukan milik kami. Mereka menguasai kami tapi tidak membuat kami sengsara. Tahukah kau bahwa dulu sebelum mereka datang, kepala dusun ini, seorang bangsa kita sendiri, bahkan merupakkan lintah darat yang menghisap habis darah kami? Aah, kami lebih senang mempunyai kepala dusun bangsa lain daripada kepala dusun bangsa sendiri yang menindas kami!”

Mendengar kata-kata ini Sin Wan merasa muak sekali. Celaka dua belas! Beginilah kalau pemerintah sendiri tidak becus memerintah dan buruk keadaannya! Rakyat menjadi penasaran dan sakit hati, hingga bahkan mereka lebih suka diperintah oleh pemerintah asing daripada oleh pemerintah bangsa sendiri, karena mereka itu hanya menghendaki hidup senang! Celaka sekali!

Tentu saja bagi orang-orang beriman dan mempunyai jiwa gagah perkasa seperti Sin Wan, diperintah oleh orang-orang asing itu merupakan hinaan yang besar sekali. Apalagi ketika melihat betapa kekayaan tanah air dibawa dan diangkut pergi oleh orang-orang kate itu, Sin Wan merasa mendongkol sekali.

Pada saat itu, tiba-tiba orang yang doyan mengobrol itu diam bagaikan orong-orong terpijak, karena dari luar masuklah seorang kate yang agak gemuk. Orang kate itu memandang Sin Wan dengan curiga dan ia lalu menunding ke arah Sin wan sambil bertanya kepada pengobrol tadi,

“Siapakah orang ini? Dan dari mana datang?”

Sebelum ada yang menjawab, Sin Wan menghampiri orang itu dan bertanya, “Kau perduli apakah? Kau siapa dan apa hakmu maka bertanya demikian?”

Orang itu tersenyum menghina. “Kau mencari susah sendiri!”

Dan ia membalikkan tubuh hendak pergi, tetapi Sin Wan telah menangkap lengan tangan orang itu. “Tahan dulu, bukankah kau ini anggota bajak-bajak asing yang mengganggu pantai Tiongkok?”

Orang itu memandang dengan ancaman di matanya. “Habis kau mau apa?”

Sehabis berkata demikian, dengan sekali renggut terlepaslah tangannya dari pegangan Sin Wan sehingga pemuda itu diam-diam terkejut sekali karena tidak disangkanya bahwa si pendek ini memiliki tenaga besar. Kemudian si pendek itu menyerang dengan pukulan yang mempunyai gerakan aneh. Datangnya serangan ini cepat sekali dan kedua tangannya digunakan bagaikan cengkeraman garuda.

Inilah semacam ilmu Eng-Jiauw-Kang atau Cengkeraman Garuda, dan ilmu ini mengandalkan tenaga dan kecepatan mencengkeram tubuh atau tangan musuh. Tapi Sin Wan dengan mudahnya dapat berkelit dan balas menyerang. Setelah bergerak tiga jurus saja, Sin Wan berhasil mendorong tubuh yang kate itu sehingga bergulingan menabrak meja.

Orang kate itu bersuit keras dan dari arah pantai berlari-larilah beberapa orang kate lain, yakni anggauta-anggauta dan anak buah bajak laut yang bertugas di situ. Bahkan ada beberapa penduduk aseli, yakni orang-orang kampung di situ ikut pula datang dengan wajah mengancam seakan-akan mereka juga hendak mengeroyok Sin Wan!

Sin Wan mencabut pedangnya dan sebentar saja ia dikeroyok banyak orang yang bersenjata pedang panjang dan yang kesemuanya memiliki ilmu pedang yang cukup baik. Tapi menghadapi Pek Liong Kiam-sut, mereka ini tidak berdaya. Yang mengherankan Sin Wan ialah betapa pedang-pedang mereka ini kesemuanya terbuat daripada bahan yang baik dan keras hingga tidak mudah terbabat putus oleh pokiamnya! Ini sungguh mengagumkan!

Kemudian, penduduk kampung ikut pula mengeroyok dengan segala macam senjata yang dapat mereka pakai, karena mereka menganggap bahwa pemuda itu hanya membuat kacau saja di kampung mereka. Melihat hal ini, Sin Wan lalu memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga empat orang kate roboh dengan mandi darah, kemudian Sin Wan berseru keras,

“Hai, saudara-saudara! Tidak tahukah kalian bahwa bajak-bajak kate ini menguras kekayaan di negeri kita? Mereka ini tidak saja membajak bangsa kita, tapi juga merampok hasil bumi kita! Hayo kita usir mereka ini!”

Tapi orang-orang kampung ini tak seorangpun mau mendengarkan kata-katanya, bahkan ada seorang yang berteriak keras,

“Aah, obrolan apa yang kau jual ke sini? Kau rupanya bukan hendak menolong, tetapi bahkan hendak mengacau dan mencelakakan kami!”

Tiba-tiba Sin Wan ingat bahwa kalau ia mengusir bajak-bajak ini, tentu para bajak yang banyak sekali jumlahnya itu akan sakit hati sekali kepada orang-orang kampung dan akhirnya penduduk dusun itulah yang akan menerima balasan dan tertimpa bencana besar. Mengingat demikian, Sin Wan lalu meloncat pergi dan lari keluar dari dusun itu dengan cepat. Ia merasa bingung dan tidak tahu dengan cara bagaimana ia dapat mengusir para bajak laut itu.

Malam itu ia bermalam di dalam sebuah dusun yang terdapat di hutan yang memanjang di tepi laut. Berbeda dengan keadaan dusun yang dikuasai para bajak itu, di dusun ini orang-orang hidup sederhana sekali dan keadaan mereka sungguh-sungguh miskin! Tapi mereka sangat ramah tamah dan seorang keluarga yang terdiri dari seorang kakek dan seorang puteranya yang sudah duda, menerima Sin Wan dan memberi tempat kepadanya untuk bermalam.

Karena lelahnya Sin Wan tidur nyenyak sekali. Tapi menjelang fajar, ia dikejutkan oleh suara gemuruh dari kaki kuda dan sepatu-sepatu dari ratusan pasang kaki orang yang mendatangi ke arah dusun itu! Ia segera bangun dan terdengar pekik dan jerit tangis penduduk dusun di situ.

“Ada apakah?” Sin Wan meloncat keluar dan bertanya kepada seorang yang lari ketakutan.

“Bajak-bajak itu mengganas lagi!” katanya.

Sin Wan menjadi gemas sekali. Jadi kalau di sekitar pantai bajak-bajak itu berlaku baik terhadap penduduk di situ untuk memikat hati mereka, di pedalaman mereka merampok dengan kejam. Dalam marahnya, Sin Wan mencabut pedangnya dan lari memapaki kedatangan para bajak itu. Dan apa yang dilihatnya membuat dia kaget sekali! Yang datang itu, bukanlah bajak-bajak biasa, karena pakaian yang dipakai oleh orang-orang kate itu adalah seragam hingga mereka lebih tepat disebut tentara yang berdisplin dan teratur!

Pergerakan mereka teratur sekali dan disana-sini terdengar aba-aba yang dikeluarkan dengan suara keras dari atas kuda! Tentara yang bergerak ini jumlahnya cukup besar, ditaksir tidak kurang dari lima puluh orang. Hendak menyerbu kemanakah rombongan bajak yang merupakan barisan teratur ini, pikir Sin Wan. Tapi pada saat itu telah terlihat oleh seorang anggota barisan itu dan atas aba-aba seorang pemimpin, beberapa belas orang dengan pedang dan tombak lari menyerbu.

Sin Wan menerima kedatangan mereka dengan pedang di tangan dan ia lalu mengamuk hebat! Tapi segera ia mendapat kenyataan bahwa para pengeroyoknya ini benar-benar orang berilmu silat lumayan juga dan jika dibandingkan dengan kepandaian para pengawal Kaisar, maka agaknya tidak boleh disebut lebih lemah!

Terutama ilmu pedang mereka yang mempunyai gerakan aneh, sungguh sukar dilawan. Baiknya ia memiliki ilmu pedang yang cepat dan hebat gerakannya, maka sebentar saja ia dapat merobohkan beberapa orang hingga tempat itu menjadi ramai dengan pekikan-pekikan mereka dan rumput-rumput di situ menjadi basah oleh darah!

Tapi keberanian dan kenekatan orang-orang itu sungguh membuat Sin Wan merasa bingung dan gugup. Jatuh seorang datang dua dan jatuh dua datang empat! Ia sampai merasa kewalahan dan kini dirinya terkurung rapat! Ia telah merobohkan sepuluh orang lebih, tapi tenaganya mulai lemah karena ternyata musuh-musuhnya makin banyak saja.

Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan nyaring dan kepungan Sin Wan menjadi buyar dan keadaan menjadi kacau balau! Ketika Sin Wan merasa kepungan yang mengurung dirinya mengendur, ia lalu meloncat keluar dari kepungan untuk melihat apa yang telah terjadi di luar kepungannya.

Ternyata terdapat dua bayangan putih dengan jubah lebar berkibar-kibar sedang mengamuk hebat! Dua bayangan itu menyambar-nyambar ke sana kemari dan dimana saja mereka tiba, tentu terdengar pekik ngeri dan tampak tubuh seorang pengeroyok roboh! Sin Wan terkejut sekali melihat kehebatan sepak terjang dua orang itu, karena mengingatkan ia akan kakek jembel gila.

Tiba-tiba dua orang itu menghentikan gerakan mereka dan mereka berdiri di atas sebuah batu besar sambil bertolak pinggang. Ternyata bahwa mereka adalah dua orang kakek yang berwajah angker dan gagah sekali. Pakaian mereka seperti dua orang petani dan jubah mereka longgar, di punggung mereka tampak gagang pedang. Rambut mereka yang putih dan panjang digelung ke atas dan kini ujung rambut itu berkibar-kibar tertiup angin. Mereka sungguh gagah perkasa!

“He, kamu sekalain bajak laut, dengarlah! Kamu telah melihat sepak terjang kami berdua dan ternyata baru kami dua orang tanpa memegang senjata saja kalian sudah tak dapat melawan. Apalagi kalau bangsa kami bangkit serentak melawan kalian, pasti kalian akan dilempar semua ke laut! Kembalilah ke negarimu sendiri dan jangan mengganggu rakyat kami! Kalau dalam tiga hari kami masih melihat kamu, maka jangan harap akan mendapat ampun lagi!”

Kedua kakek itu berbicara perlahan, lalu seorang diantara mereka berkata lagi dengan suara keras, “Ketahuilah, kami berdua adalah Pai-San Sianjin dan Nam-Hai Sianjin. Dan jangan kira bahwa di negeri kami hanya ada kami dua orang saja yang memiliki kepandaian! Masih ribuan orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada kami. Kalian lihatlah pohon siong disana itu dan lihat apakah diantara kalian ada yang sanggup menahan serangan pedang kami seperti yang hendak kami lakukan kepada pohon itu!”

Setelah berkata demikian dua orang kakek itu lalu mencabut pedang dari punggung, lalu berbareng mereka enjot tubuh mereka. Dua bayangan putih berkelebat ke arah puncak pohon itu dan tiba-tiba daun-daun dan ranting-ranting kecil jatuh berhamburan ketika dua orang kakek itu gerakkan pedang mereka membabat!

Sebentar saja keduanya telah melayang turun di atas batu yang tadi dan ketika semua orang melihat ke arah pohon, mereka leletkan lidah karena daun-daun pohon itu telah dicukur sedemikian rupa hingga pinggirnya rata dan potongannya bundar!

Setelah menyaksikan demonstrasi ini, terdengar aba-aba keras di fihak bajak laut dan mereka lalu lari mundur dengan cepat! Kedua kakek itu tertawa bergelak-gelak menyaksikan mereka. Kemudian mereka memandang ke arah Sin Wan dan memberi tanda kepada pemuda itu supaya datang mendekat. Sin Wan lalu memberi hormat sambil berlutut.

“He, anak muda yang gagah perkasa. Bukankah kau mendapat pelajaran dari Bu Beng?” tegur Nam-Hai Sianjin.

“Benar, Lo-Cianpwe. Teecu adalah murid dari Bu Beng Lojin dan mendengar nama jiwi Lo-Cianpwe yang besar serta menyaksikan kehebatan ilmu pedang jiwi Lo-Cianpwe, sungguh teecu merasa beruntung sekali sudah dapat bertemu dengan jiwi Lo-Cianpwe!”

Terdengar Pai-San Sianjin menghela napas, “Sayang sekali orang-orang seperti kita kebanyakan berlaku sesat dan tidak melihat akan penderitaan rakyat. Kau mendengar tadi betapa kami membohong agar mereka jangan berani datang lagi. Nah, sampaikan salam kami kepada Suhumu?”

Dan kedua tokoh persilatan yang terkenal itu berkelebat menghilang dari pandangan Sin Wan.

********************

Setelah kenyang merantau, lima tahun kemudian, Sin Wan kembali ke Kam-Hong-San. Maksudnya hendak mulai mendidik anak perempuan Li Lian yang dulu dititipkan kepada janda Thio. Tapi alangkah herannya ketika mendapat keterangan bahwa anak itu telah dibawa oleh Giok Ciu. Sin Wan lalu mengejar dan menjumpai Giok Ciu di bekas tempat tinggal Ayahnya, yakni di sebelah timur bukit Kam-Hong-San.

“Sumoi,” katanya ketika bertemu dan melihat betapa benar-benar anak itu berada disitu. “Kau berikanlah anak ini kepadaku untuk kudidik menjadi muridku.”

“Tidak Suheng. Akulah orangnya yang mempunyai dosa terhadap Li Lian, maka biarlah aku menebus dosa itu dengan memberi didikan kepada anaknya ini,” jawab Giok Ciu.

Mereka berdua mempertahankan pendirian mereka sendiri-sendiri, karena Sin Wan juga suka sekali melihat anak perempuan yang mungil itu dan yang wajahnya mirip sekali dengan Li Lian. Akhirnya sambil tersenyum Giok Ciu mencabut ouw Liong Pokiam dan berkata tenang.

“Suheng, kalau begitu, biarlah pedang kita yang memutuskan.”

“Apa maksudmu?” tanya Sin Wan terkejut.

“Marilah kita mengukur kepandaian masing-masing, yang lebih tinggi berhak menjadi guru anak itu!”

Sin Wan tersenyum dan heran, karena biarpun sikap dan bicara gadis itu telah berubah dan tenang tapi sebenarnya watak keras masih ada di dalam hatinya. Iapun lalu mencabut Pek Liong Pokiam dan menghadapi Sumoinya. Mereka lalu menggerakkan kedua pedangnya itu dan sebentar kemudian pertemuan mereka ini dirayakan dengan adu pedang!

Mereka dalam hal memberi pelajaran kepada kedua muridnya, Bu Beng Lojin tidak berlaku berat sebelah, maka kepandaian mereka berimbang. Sin Wan dapat merobohkan Sumoinya yang keras hati ini, tapi ia tidak tega dan pula agaknya ia takkan dapat merobohkan kalau tidak dengan menggunakan kekerasan. Karena inilah maka mereka bertempur sampai ratusan jurus bagaikan dua ekor naga sakti berebut mustika.

Anak perempuan yang baru berusia kurang lebih lima tahun itu bertepuk-tepuk tangan gembira dan suka sekali melihat pertempuran itu, seakan-akan ia melihat pertunjukan yang bagus sekali. Tiba-tiba terdengar suara lemah lembut dan suara tertawa menyeramkan. Sin Wan dan Giok Ciu kenal suara ini maka mereka segera meloncat mundur dan menjatuhkan diri berlutut. Bu Beng Lojin dan kakek jembel gila yang lihai itu telah berada di depan mereka.

“Sin Wan dan Giok Ciu! Bagaimana keputusanmu yang terakahir? Perlukah kedua pokiam itu kau kembalikan kepadaku? Biarlah aku yang menyimpannya!”

Sin Wan memberi hormat dan berkata, “Suhu, hal ini murid hanya menyerahkan sepenuhnya kepada Giok Ciu!”

Giok Ciu menundukkan muka dan kulit mukanya berubah merah. Ia pandang Ouw Liong Pokiam di tangannya dan agaknya ia tak mungkin dapat berpisah dari pedang ini. Pula, niatnya untuk berumah tangga, biar dengan Sin Wan sekalipun, telah lenyap dari sanubarinya.

“Maaf, Suhu. Teecu telah bersumpah hendak hidup menyendiri dengan pokiam ini.”

Bu Beng Lojin tertawa bergelak-gelak, diiringi oleh suara tertawa oleh kakek jembel gila itu. “Kalau begitu, kau bertapalah disini, dan Sin Wan boleh tinggal di gua naga. Ketahuilah murid-muridku, memang kalianlah yang berjodoh untuk mengembangkan Sin-Liong Kiam-Sut dan kelak kalian pulalah yang akan menurunkan kepandaian dan kedua pokiam ini kepada orang-orang atau murid-murid yang berbakat. Dengan demikian, takkan sia-sialah hidupmu di dunia ini. Kalian telah memilih jalan benar, karena sekarang aku mau membuka rahasia, yakni menurut penglihatanku, kalian mempunyai watak yang bertentangan dan jika tertangkap menjadi suami isteri, maka akan lebih banyak pahitnya daripada manisnya kalian rasakan!”

“Suhu, mohon petunjuk Suhu tentang anak ini,” kata Sin Wan, juga Giok Ciu mendesak gurunya.

Tiba-tiba si kakek jembel gila berkata dengan suaranya yang parau. “Hanya akulah seorang yang berhak menjadi Suhunya!”

Giok Ciu dan Sin Wan terkejut, tapi Bu Beng mengangguk-angguk, “Kalian masih terlampau muda untuk menerima murid. Matangkanlah dulu kepandaianmu, dan kalian taruhlah kasihan kepada kawan baikku ini. Anak ini akan menjadi obat penawar baginya.”

Akhirnya Sin Wan dan Giok Ciu menurut dan mengalah.

Semenjak saat itu, Bun Sin Wan bertapa di puncak gunung Kam-Hong-San sedangkan Kwie Giok Ciu bertapa di bekas tempat tinggal Ayahnya. Keduanya telah dapat menahan segala nafsu keduniaan dan tekun memperdalam ilmu mereka. Tapi adat yang terbawa ketika lahir tak dapat dirobah dengan mudah, karena dalam beberapa tahun sekali, tentu Giok Ciu mengunjungi Sin Wan untuk diajak bertanding mengukur kepandaian!

Sering pula Sin Wan atau Giok Ciu turun gunung untuk melakukan tugas sebagai pendekar-pendekar gagah pembela keadilan, hingga nama Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam makin terkenal di kalangan persilatan sebagai dua pedang naga sakti yang hebat dan sebagai penggempur kejahatan!

Kelak, berpuluh puluh tahun kemudian, setelah mereka menjadi orang-orang tua, Bun Sin Wan akan menggunakan nama Kam Hong Siansu, sedangkan Kwie Giok Ciu tak mengubah nama hingga disebut orang Kwie Giok Ciu Suthai.

T A M A T

Seri Ketiga Serial Jago Pedang Tak Bernama PEDANG ULAR MERAH