Kisah Sepasang Naga Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

KISAH SEPASANG NAGA JILID 04

Setelah masakan siap, mereka berempat lalu makan dengan gembira, dan tuan rumah serta anak perempuannya kagum melihat betapa Kang Lam Ciuhiap minum arak bagaikan minum air tawar saja!

“Arak baik, arak baik!” berkali-kali Kakek itu memuji tiap habis minum semangkuk besar.

Kwie Cu Ek walaupun seorang peminum yang kuat juga, namun tiap kali minum ia hanya dapat tuang semangkuk kecil kedalam perutnya, karena arak yang mereka minum itu adalah arak tua yang sangat keras. Sebentar saja, habislah arak wangi seguci besar dan Kakek Bun Gwat Kong itu elus-elus perutnya dengan puas sekali.

“Engkong ini sungguh kuat sekali minum arak!” Berkata Giok Ciu yang ikut-ikutan menyebut Engkong atau Kakek kepada Kang Lam Ciuhiap, meniru Sin Wan.

Mendengar dirinya disebut Kakek, Bun Gwat Kong girang sekali. “Bagus Giok Ciu, memang kau selayaknya menyebut Engkong padaku.”

Lalu ia tertawa bergelak-gelak hingga semua orang ikut tertawa, sedangkan Sin Wan diam-diam agak heran karena tidak pernah ia melihat Kakeknya segembira itu.

“Giok Ciu, kau tidak tahu, Kakek ini adalah Kang Lam Ciuhiap si Pendekar Arak dari Kang Lam. Ia tidak hanya kuat minum, tapi arak di dalam mulutnya dapat dipakai membunuh seekor kerbau besar!”

“Hebat sekali!” kata Giok Ciu ambil leletkan lidahnya, “Kong-kong, perlihatkan ilmu kepandaianmu menyembur dengan arak itu!”

Melihat kegembiraan Giok Ciu, maka empek itu menengok kesana-sini mencari sasaran, kemudian sambil tersenyum dan elus-elus jenggotnya ia berkata kepada Kwie Cu Ek,

“Kwie Enghiong, bolehkah aku bereskan tiang di atas itu?”

Tuan rumah mengangguk dengan tersenyum juga. Kang Lam Ciuhiap lalu tuang sedikit arak yang masih tertinggal di dalam mangkok, dan setelah mengejapkan sebelah matanya kepada Giok Ciu dengan cara yang lucu hingga anak perempuan itu tertawa geli, si empek lalu semburkan arak dari mulutnya, Giok Ciu melihat sinar keputih-putihan tersembur keluar dari mulut orang tua itu bagaikan seekor ular meluncur ke atas dan menyambar tian melintang yang agak kelebihan menumpang di tiang besar dan agaknya dulu lupa dipotong oleh Kwie Cu Ek ketika ia membangun pondok itu. Sinar putih itu melanggar ujung kayu sebesar lengan itu dan,

“Krakk!” ujung itu patah dan jatuh ke bawah!

Kwie Cu Ek memuji, “Bagus sekali, Lo-Ciuhiap! Kau benar-benar patut di sebut ciuhiap, bahkan bagiku kau pantas disebut ciusian karena kau benar-benar dewa arak!”

Juga Sin Wan dan Giok Ciu bertepuk tangan memuji.

“Kong-kong!” kata Giok Ciu lagi, sedangkan matanya yang bagus memandang Kakek itu seperti seorang anak yang meminta sesuatu.

“Apa lagi?” Kakek itu bertanya.

“Itu... suling yang kau selipkan di pinggang itu! Tadi kudengar kau tiup sulingmu ketika kau bertempur melawan Ayah, tapi lagunya buruk sekali hingga telingaku tak sedap mendengarnya! Apakah kau bisa mainkan lagu yang enak didengar? Aku suka sekali mendengar suling!” Giok Ciu menunjuk ke arah pinggang Kakek itu dimana tampak ujung suling tersembul keluar.

“Giok Ciu, jangan kau main-main dengan tiupan Kakekmu! Kalau aku tadi tidak kerahkan seluruh tenaga dan barengi keluarkan siulan untuk menahan pengaruh tiupan suling, aku sudah dirobohkan oleh daya tiupan suling itu! Jangan kau pandang rendah tiupan tadi karena itu adalah sesuatu ilmu yang mujijat dan dapat mematahkan lawan dan melemahkan semangat serta membuat lawan bingung hingga gerak-geriknya menjadi kacau!”

Giok Ciu leletkan lidah, satu kebiasaan darinya untuk menyatakan kekaguman atau keheranan. “Kalau begitu, jangan kau mainkan lagi lagu yang buruk tadi, Kong-kong! Coba mainkan saja lagu merdu yang dapat menghibur kita!”

Kang Lam Ciuhiap sedang gembira, maka mendengar permintaan Giok Ciu ini, ia cabut sulingnya dan pandang Kwie Cu Ek dengan tak berdaya. Ia angkat pundaknya dan berkata,

“Anakmu memang benar, Kwie Enghiong, aku hanya dapat tiup lagu-lagu buruk yang tak sedap didengar. Sebenarnya tadi aku hanya tiup suling untuk menghibur-hibur hatiku yang bingung tak karuan karena serangan-seranganmu yang hebat!” Lau sambil ulur tangan dan elus-elus rambut di kepala Giok Ciu, Kakek itu berkata,

“Kau ingin mendengar lagu merdu? Nah, kau mintalah Sin Wan untuk meniup suling ini. Selain dia tidak ada yang bisa meniup lagu merdu!”

Sin Wan mendengar pujian ini, mukanya berubah merah karena jengah di puji Kakeknya di depan Giok Ciu dan Ayahnya. Sebaliknya, Giok Ciu menjadi girang sekali. Ia ambil suling itu dari tangan Bun Gwat Kong dan geser duduknya mendekati Sin sambil angsurkan suling kecil itu.

“Sin Wan, kau mainlah barang satu dua lagu untuk kami!” Berkata demikian, gadis itu pandang wajah Sin Wan dengan senyum menarik.

Sin Wan tak dapat menolak lagi, karena Kwie Cu Ek juga berkata bahwa iapun ingin sekali mendengar tiupan suling anak itu. Dengan tenang ia ambil suling itu lalu atur jari-jari tangannya diatas lubang-lubang kecil di batang suling, tempelkan peniup di bibirnya dan dengan mata setengah terkatup meniup suling itu. Mula-mula terdengar bunyi lengking yang rendah dan bening serta disertai getaran halus merdu, kemudian lengking rendah itu makin meninggi dengan perlahan dan mulailah terdengar nyanyian suara suling yang merdu, indah dan menggetarkan kalbu.

Giok Ciu dan Kwie Cu Ek tadinya hanya kagum karena pandainya Sin Wan meniup suara yang meninggi rendah, tapi tak lama kemudian kedua Ayah dan anak itu duduk bengong dengan bibir setengah terbuka dan mata tak pernah berkejab menatap wajah Sin Wan. Mereka merasa sekan-akan dibawa melayang naik oleh gelombang ombak yang mengalun tinggi di angkasa dan dibawa ke alam mimpi yang halus dan menakjubkan.

Mula-mula suara suling terdengar gagah dan riang membuat Giok Ciu merasa dadanya berdebar dan wajahnya panas, tapi ketika suara itu makin lama makin lambat dan rendah, ia merasa terharu sekali, ketika ia berpaling kepada Ayahnya dengan perlahan, ia melihat betapa dari kedua mata Ayahnya itu mengalir air mata!

Nyata sekali bahwa suara suling itu telah mempesona dan menimbulkan keharuan hebat di sanubari Kwie Cu Ek hingga pendekar gagah ini teringat akan isterinya dan membuatnya tak dapat menahan kesedihannya. Melihat keadaan Ayahnya sedemikian itu, Giok Ciu berteriak kepada Sin Wan.

“Sin Wan, cukup! Simpan sulingmu!” dan anak perempuan itu menubruk Ayahnya dan menangis di atas pangkuan orang tua itu!

Sin Wan tunda sulingnya dan buka kedua matanya yang tadi hampir tertutup sama sekali, lalu memandang heran. Kwie Cu Ek duduk bengong dengan wajah pucat dan pendekar ini menghela napas berulang-ulang.

“Bukan main! Suara sulingmu sungguh luar biasa, Sin Wan! Lebih hebat dan kuat daripada tiupan Kakekmu, bukankah demikian. Lo-Ciuhiap?”

Kang Lam Ciuhiap yang tadipun duduk sambil tunduk karena terpengaruh tiupan suling cucunya, mengangguk-angguk membenarkan.

“Memang hebat lagu itu, entah bagaimana Sin Wan dapat menciptakan lagu sehebat itu.”

Mendengar ini tiba-tiba Giok Ciu menunda tangisnya dan dengan senyum girang, ia berkata kepada Sin Wan, “Jadi kau sendirikah yang mencipta lagu tadi?”

Kang Lam Ciuhiap dan Sin Wan kini merasa heran sekali melihat sifat Giok Ciu. Baru saja manis menangis sesunggukan, tiba-tiba bisa tersenyum manis. Alangkah ganjilnya! Sin Wan hanya mengangguk sebagai jawab atas pertanyaan Giok Ciu padanya itu.

“Ah, pandai sekali kau! Bagaimana kau bisa mencipta lagu sehebat ini?”

“Sederhana saja,” kata Sin Wan merendah. “Pada suatu hari ketika aku sedang menggembala kerbauku dan duduk di punggung kerbau yang sedang makan rumput di pinggir anak sungai di pagi hari, aku mendengar suara air sungai berpercikan memukul batu mengeluarkan suara seperti sedang berdendang. Dan di atas pohon terdengar burung-burung berkicau girang, diseling bunyi kerbau-kerbauku menguak senang. Tiba-tiba, entah mengapa, seekor monyet kecil yang tadinya bergetungan di dada induknya, terlepas jatuh ke tengah sungai riak menangis, mencicit-cicit menimbulkan suara mengharukan. Nah, ketika itu aku telah keluarkan sulingku dan entah bagaimana, tiba-tiba dapat melagukan nyanyian itu yang kusesuaikan dengan pendengaranku akan keadaan di sekeliling pada saat itu. Dan semenjak itu, aku suka sekali meniup lagu ini.”

“Memang indah!” Giok Ciu memuji kagum. “Aku harus bersihkan mangkuk-mangkuk ini dan mencucinya di belakang,” katanya kemudian.

“Mari kubantu,” kata Sin Wan yang lalu ikut mengangkat mangkuk-mangkuk yang telah kosong untuk dicuci di belakang rumah.

Sementara itu, dengan bangga dan suara berbisik, Kang Lam Ciuhiap berkata kepada tuan rumah. “Bukankah mereka itu rukun sekali? Mereka sudah berjodoh!”

Kwie Cu Ek mengangguk-angguk senang, lalu ia minta diri dari tamunya untuk masuk ke kamar sebentar. Ketika keluar lagi, ia membawa sepasang sepatu kecil dan serahkan benda itu kepada Kang Lam Ciuhiap.

“Kami orang-orang miskin tidak punya apa-apa untuk tanda pengikat perjodohan anakku. Nah, ini sepasang sepatu sulam adalah sepatu Giok Ciu ketika ia berusia setahun. Sepatu ini tadinya kami simpan sebagai barang keramat karena ini adalah buah tangan Ibunya!”

Kang Lam Ciuhiap terima sepasang sepatu kecil itu dan masukkan benda itu kedalam saku bajunya yang lebar. Kemudian ia ambil suling yang tadi ditiup Sin Wan dan berikan barang itu kepada Kwie Cu Ek sambil berkata,

“Dan suling ini kubuat ketika Sin Wan masih kecil dan baru bisa merangkak. Maksudku hanya untuk barang mainan, tapi ternyata sampai besar Sin Wan suka sekali bermain-main dengan suling ini. Nah, biarlah barang ini menjadi tanda mata dan tanda pengikat perjodohannya dengan putrimu!” Kwie Cu Ek terima suling itu dengan girang dan cepat menyimpannya ke dalam kamar, lalu keluar lagi dan bercakap-cakap.

Sementara itu, Sin Wan dan Giok Ciu muncul dari belakang karena pekerjaan mereka telah selesai. Bun Gwat Kong lalu berpamit kepada tuan rumah dan ajak Sin Wan pulang, karena Ibu Sin Wan tentu mengharap-harap kembalinya yang telah dua hari pergi itu. Setelah saling memberi hormat, Kakek dan cucu itu gunakan ilmu lari cepat tinggalkan tempat itu dan beberapa kali Sin Wan menengok dan melambaikan tangan ke arah Giok Ciu sampai bayangan Sin Wan lenyap di satu tikungan jalan. Alangkah terkejutnya hati Sin Wan dan Gwat Kong ketika mereka tiba di rumah, karena Ibu Sin Wan ternyata jatuh sakit dan muntahkan darah!

Sin Wan tubruk Ibunya sambil menangis sedih Nyonya muda yang banyak menderita ternyata tak dapat menindas tekanan dan kekhawatiran hatinya ketika dua hari Sin Wan tidak pulang. Ia cemas sekali hingga tidak dapat tidur, setiap saat memikirkan anaknya itu, hingga akhirnya ia jatuh pingsan. Ketika melihat Sin Wan kembali dengan selamat, nyonya muda itu sembuh seketika!

Tapi kesehatannya makin buruk. Sin Wan menyesal sekali dan berlutut di depan Ibunya meminta ampun dan berjanji bahwa semenjak saat itu ia takkan berani pergi lagi tanpa ijin Ibunya!

Diluar tahunya Sin Wan, Kang Lam Ciuhiap beri tahu anak perempuannya akan ikatan jodoh antara Sin Wan dan puteri Kwie Cu Ek. Nyonya muda itu merasa girang sekali, ia terima sepasang sepatu kecil itu dengan girang. Warta baik ini membuat ia banyak terhibur. Ia percaya sekali akan pilihannya Ayahnya tapi ia nyatakan bahwa ia ingin sekali melihat gadis cilik itu dengan mata sendiri karena ia ingin mengagumi nona calon mantunya!

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Semenjak hari itu, Sin Wan makin tekun mempelajari ilmu silat dan ia di gembleng oleh Kakeknya yang ingin turunkan seluruh kepandaian yang dimilikinya kepada cucu yang terkasih itu. Ia tahu bahwa dengan bantuan keganjilan alam yang telah dialami Sin Wan, maka dengan latihan-latihan keras, anak itu akan menjadi seorang yang mempunyai tenaga dan kesanggupan jauh lebih tinggi dari dia sendiri.

Hal ini membuat ia tak kenal lelah dan selain ilmu silat tinggi, ia juga menuturkan dunia kang-ouw dan aturan-aturannya kepada Sin Wan. Ketika Sin Wan menanyakan sulingnya yag dibawa oleh Kakeknya itu, Kang Lam Ciuhiap terus terang katakan bahwa suling itu diberikannya kepada Giok Ciu sebagai tanda mata.

“Menyesalkah kau?” tanyanya.

Sin Wan geleng kepala dan matanya berseri. “Ah, tidak Ngkong, biarlah. Aku melihat ada bambu kuning di kaki gunung sebelah sana, bambu itu indah lagi kecil. Aku hendak membikin suling sendiri.”

Pada keesokan harinya, Sin Wan telah membuat sebatang suling yang panjanganya tidak kurang dari tiga kaki. Karenanya Engkongnya ahli pembuat suling, ia lalu minta Kakeknya itu yang membuat lobang-lobang agar suaranya tidak sumbang. Ketika Kang Lam Ciuhiap sedang asyik gunakan api melobangi batang suling bambu itu, ia teringat sesuatu dan dengan sungguh-sungguh ia berkata.

“Sin Wan, aku hendak ajar kau menggunakan batang sulingmu sebagai senjata istimewa!”

Sin Wan girang sekali dan mulai saat itu Kakeknya mengajar ia mainkan suling itu bagaikan sebatang pedang dan karena semua gerakan adalah pukulan-pukulan merupakan totokan hebat dan disertai tenaga lweekang, maka suling itu merupakan senjata yang ampuh sekali. Juga Kang Lam Ciuhiap mengajar cucunya untuk bersilat sambil tiup suling untuk mengacaukan gerakan lawan, seperti yang pernah ia lakukan ketika menghadapi si Harimau Terbang dulu!

Karena memang suka sekali meniup sulingmaka mendapat pelajaran baru ini, Sin Wan merasa girang sekali dan ia lebih giat melatih ilmu silatnya hingga memperoleh kemajuan pesat. Juga Sin Wan yang sangat mencinta dan berbakti kepada Ibunya, mentaati permintaan Ibunya dan membuat nyonya muda itu puas melihat kemajuan yang dicapai oleh Sin Wan dalam ilmu surat.

Dengan pesat sekali waktu berjalan tanpa terasa oleh manusia, Tahu-tahu tiga tahun telah lewat. Selama itu Sin Wan yang kini telah berusia hampir empat belas tahun, mendapat kemajuan besar hingga dalam hal ilmu silat ia telah menyusul Kakeknya! Kalau dibuat perbandingan, mungkin Sin Wan lebih gesit dan cepat daripada Kakeknya, tapi tentu saja ia masih kalah dalam hal tenaga lweekang.

Selama tiga tahun itu, tidak jarang Sin Wan terkenang kepada Giok Ciu, teman baru yang begitu bertemu telah mengalami peristiwa-peristiwa aneh bersama dia itu. Semenjak perjumpaan pertama, belum pernah mereka bertemu lagi dan ia sedikitpun tidak menyangka bahwa dirinya telah terikat jodoh dengan anak perempuan itu!

Musim semi telah tiba dan orang-orang dikampung kecil itu menyambut musim chun dengan pesta gembira. Penduduk kampung yang hanya berjumlah dua puluh keluarga dan semuanya kurang dari seratus jiwa itu saling mengantar makanan dan saling selamat. Mereka mengenakan pakaian yang paling baik dan memasang petasan yang didatangkan oleh seseorang dari kota. Sin Wan juga tidak ketinggalan.

Sejak pagi-pagi sekali Ibunya telah menyuruh dia bertukar pakaian dan mengenakan baju warna kuning yang indah. Pemuda itu tidak melupakan kerbaunya dan ia mencari kembang-kembang dan daun-daun yang lalu dibuat karangan bunga dan dikalungkan di leher semua kerbaunya! Kemudian ia pergi dengan anak-anak lain yang berkumpul memasang petasan.

Tiba-tiba dari luar pintu kampung itu terdengar suara kaki kuda banyak sekali. Semua orang kampung terkejut dan heran karena belum pernah kampung itu dikunjungi orang luar. Ketika orang-orang berkuda itu telah melewati pintu kampung, terkejutlah Sin Wan karena yang datang memasuki kampungnya adalah belasan orang besar berpakaian tentara seragam dengan golok atau pedang terhunus di tangan!

Para wanita cepat memanggil anak mereka dan melarikan diri bersembunyi di belakang rumah atau di dalam kamar, sedangkan orang-orang lelaki memandang dengan membongkok hormat dan ketakutan. Ternyata rombongan orang itu berjumlah lima belas orang. Seorang kate gemuk yang agaknya menjadi pemimpin karena pakaiannya paling mewah, loncat turun menghampiri seorang petani tua yang berdiri terdekat.

“He, orang tua! Di manakah rumah Bun Gwat Kong dan anaknya?”

Biarpun orang-orang kampung itu terdiri dari petani-petani lemah, tapi mereka adalah orang-orang jujur dan penuh rasa setiakawan. Melihat lagak rombongan ini ternyata tidak membawa maksud baik, maka Kakek itupun menggelengkan kepala dan berkata,

“Aku tidak tahu!”

Baru saja jawaban itu terlepas dari mulutnya, Kakek itu terlempar ke belakang karena di dorong oleh seorang anggota rombongan yang berdiri di dekat pimpinannya.

“Hayo kalian mengaku, dimana adanya bangsat tua she Bun itu? Kalau tidak mau mengaku kalian semua akan dihukum seratus cambukan!” demikian pendorong Kakek itu berkata dengan putar mata galak sekali.

Bun Sin Wan merasa gemas sekali, tapi ia masih hendak menunggu apa yang akan terjadi, juga ia heran sekali mengapa orang-orang ini mencari Kakeknya. Tapi sebelum rombongan tentara Kaisar itu dapat mengganas lebih jauh terdengar bentakan keras.

“Aku orang she Bun ada disini, kamu anjing-anjing Kaisar lalim mau apakah?”

Dan Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong dengan tolak pinggang berdiri angket menghadapi rombongan itu. Sikapnya yang gagah membuat lima belas orang tinggi besar bersenjata tajam itu mundur beberapa tindak dengan jeri. Tapi orang kate gemuk yang menjadi pemimpin dapat tetapkan hatinya. Ia cabut sepasang ruyung dari pinggangnya dan membentak kepada para anak buahnya.

“Pemberontak she Bun ada disini, hayo tangkap dia!”

Berbareng dengan bentakan itu ia maju ayun ruyungnya di atas kepala lalu maju menyerang, diikuti oleh anak buahnya yang menerjang dengan masing-masing senjata di tangan.

“Ha ha ha! Kamu anjing-anjing kecil berani menggonggong di depan tuanmu? Pergilah!”

Kakek itu lalu bergerak cepat dan tahu-tahu dua orang pengeroyoknya telah kena dipegang dan dilempar sampai beberapa tombok jauhnya bagaikan seorang melempar rumput saja. Kang Lam Ciuhiap lalu perlihatkan kepandaiannya. Dengan kedua tangan kosong ia bergerak cepat dan setiap kali tangan dan kakinya bergerak, tentu terdengar pekik kesakitan dan tubuh seorang pengeroyok terlempar atau roboh.

Sebentar saja ia dapat merobohkan delapan orang pengeroyoknya dan kini yang mengeroyoknya hanya pemimpin yang bersenjata sepasang ruyung itu dan dua orang lain bersenjata pedang. Yang lain telah cemplak kuda dan lari pergi, tak pedulikan makian dan teriakan pemimpin mereka!

Ternyata pemimpin kate gemuk itu lihai juga. Sepasang ruyungnya bergerak-gerak cepat dan kuat hingga untuk beberapa saat tak mudah bagi Kakek itu untuk merobohkannya. Kemudian Kang Lam Ciuhiap mendapat pikiran untuk menguji cucunya. Ia segera merobohkan dua pengeroyok lain hingga kini tinggal si kate gemuk seorang.

“Sin Wan, kau ke sinilah!” Kakek itu berteriak.

Sin Wan yang sejak tadi memang berada di dekat situ dan sengaja tidak mau bantu Kakeknya karena melihat bahwa Kakeknya tak perlu dibantu, dan menonton dengan kagum melihat kegagahan Kakeknya, kini loncat maju.

“Ada apa, Ngkong?” jawabnya.

“Coba kau layani anjing kate gemuk itu,” perintah Kakek itu yang loncat mundur ke belakang.

Si kate gemuk memang telah terdesak hebat oleh Kang Lam Ciuhiap, kini melihat orang tua lihai itu mundur dan diganti oleh seorang pemuda tanggung yang pegang sebatang suling bambu panjang, ia merasa agak lega. Ia pikir, tidak apa kemudian terbunuh oleh Kakek gagah itu asal sudah bisa menjatuhkan anak muda ini. Dengan demikian, maka ia tidak penasaran lagi dan tidak rugi. Maka ia lalu putar-putar kedua ruyungnya dan menyerang tanpa berkata apa-apa lagi.

Sin Wan telah siap dan waspada. Biarpun ia telah mendapat latihan sampai masak oleh Kakeknya, tapi ia belum pernah bertempur betul-betul melawan musuh. Baiknya ia memang mempunyai nyali yang besar dan ketabahannya ini membuat ia dapat bersilat dengan baik. Baru bertempur beberapa gebrakan saja tahulah ia bahwa ilmu kepandaian lawannya ini tidak seberapa hebat. Maka ia tidak mau kasih hati lagi dan balas menyerang dengan sulingnya.

Terkejutlah si kate itu, karena tidak disangkanya sama sekali bahwa suling bambu kecil itu ternyata lihai dan berbahaya sekali karena selalu meluncur ke arah jalan darahnya! Pula gerakan-gerakan suling itu terlalu cepat dan tidak terduga olehnya hingga ia menjadi sibuk sekali karena harus putar-putar ruyung menangkis atau loncat ke sana kemari hindarkan diri dari totokan. Tentu saja Sin Wan tidak mau sulingnya terusak oleh tangkisan ruyung, maka ia tidak mau adukan senjatanya dan percepat gerakannya.

Ketika pada suatu saat lawannya berkelit ke kiri, Sin Wan tusukan sulingnya dan getarkan ujung suling dengan tenaga lweekangnya hingga ujung suling itu menjadi tiga dan sekaligus menyerang tiba bagian tubuh! Lawannya tidak dapat menangkis atau menyingkir dari serangan lihai ini dan tak ampun lagi iganya tertotok dan ia roboh tak berdaya. Tapi pemimpin tentara itu memang seorang peperangan yang berani mati dan keras hati. Ia merasa malu sekali terjatuh dalam tangan seorang pemuda yang masih anak-anak, maka ia segera membentak,

“Kau telah robohkan aku, tidak lekas bunuh mau tunggu apa lagi?”

Sin Wan marah dan hendak jatuhkan pukulan maut dengan sulingnya, tapi tiba-tiba Kakeknya mencegah.

“Tahan, Sin Wan...!”

Kakek ini memang suka melihat orang yang gagah dan berani mati. Selama ia merantau di dunia kang-ouw, jika menemukan lawan yang sifatnya penakut dan jika terluka merintih-rintih, ia segera bunuh lawan itu. Tapi jika lawannya seorang pemberani, ia bahkan selalu memberi ampun! Kini mendengar si kate berkata demikian, ia larang cucunya membunuh orang itu.

“Kau pergilah!” Kata Kang Lam Ciuhiap kepada si kate gemuk itu, “Dan bawa pergi semua kawan-kawanmu itu.” Tangan kirinya dilambaikan ke arah orang-orang yang merintih-rintih di atas tanah. Pemimpin rombongan tentara itu berkata,

“Baik, bagimu sama saja, bunuh aku atau tidak, akhirnya kau juga bakal tertangkap. Ketahuilah, kami diperintahkan menangkapmu oleh Suma Cian Bu, dan sebentar lagi dia dan juga Siauw-San Ngo-Sinto tentu datang kesini!”

Sehabis berkata demikian dengan mata mengandung penuh ancaman, si kate itu lalu bantu anak buahnya yang terluka untuk naiki kuda mereka dan perlahan-lahan tinggalkan kampung itu, disoraki oleh penduduk kampung. Tapi Sin Wan yang memperhatikan Kakeknya betapa Kang Lam Ciuhiap tiba-tiba menjadi pucat dan tampak gelisah. Ia segera menghampiri dan memegang lengan Kakeknya,

“Engkong, kau kenapakah?”

Kakeknya geleng-geleng kepala dan tanpa banyak cakap ia mengajak cucunya pulang. Kemudian, di depan anak perempuannya dan Sin Wan, Kang Lam Ciuhiap berkata dengan sungguh-sungguh.

“Sin Wan, kau ajak Ibumu pergi, sekarang juga! Aku harus menghadapi hal ini sendiri, jangan sampai kalian juga tertimpa bencana!”

“Ayah, mengapa kau kata begitu? Apakah yang terjadi?” Ibu Sin Wan bertanya cemas.

“Ketahuilah, dulu aku telah membasmi habis orang-orang yang memfitnah suamimu. Tidak kurang dari enam jiwa melayang di tanganku. Karena yang kubunuh adalah orang-orang berpangkat, maka sejak saat itu pemerintah telah mencari-cariku. Agaknya kini mereka berhasil dan dapat mengetahui tempat sembunyiku disini.” Kakek itu menghela napas.

“Tapi, Ngkong. Kalau baru orang-orang macam si kate saja yang datang hendak mengganggumu, jangankan baru satu dua orang, biar ada puluhan, kau dan aku masih sanggup mengusirnya!” kata Sin Wan dengan gagah.

Kang Lam Ciuhiap tersenyum girang melihat sikap Sin Wan, tapi ia lalu menggeleng kepala perlahan. “Kau tidak tahu, Sin Wan. Tidakkah kau dengar tadi bahwa ada seorang Cianbu she Suma dan Siauw Ngo-Sinto akan segera datang kesini?”

Sin Wan merasa penasaran, “Takut apa, Ngkong? Macam apakah orang she Suma itu? Aku ingin sekali mengukur kepandaiannya.”

“Kapten she Suma itu sendiri sudah merupakah lawan berat,” kata Kang Lam Ciuhiap perlahan seakan-akan tak mendengar kejumawaan Sin Wan, “tapi lima saudara dari Siauw-San yang dijuluki Ngo-Sinto atau Lima Golok Malaikat benar-benar berat dilawan.”

“Siapakah mereka itu dan mengapa mereka ikut datang membikin susah kau?” tanya Ibu Sin Wan yang merasa khawatir.

“Sum Cian Bu adalah seorang kapten yang sangat terkenal karena kegagahannya. Selain pandai mengatur tentara, iapun tinggi sekali ilmu pedangnya. Kedatangannya itu tentu dengan tugas menangkapku karena Kaisar pun tahu orang macam apakah aku, maka kapten yang konsen itulah yang diutus. Tapi agaknya Sum Cian Bu sendiri jerih untuk datang seorang diri, maka ia ajak kelima setan itu. Memang telah kudengar desas-desus bahwa Ngo-Sinto itu telah mengkhianati dunia kang-ouw dan rela menjadi anjing penjilat Kaisar asing! Mereka adalah lima orang pertapa atau Tosu dari Gunung Siauw-San. Agaknya mereka itupun runtuh iman mereka dan melihat sogokan berupa harta benda dan emas, seperti yang banyak dialami orang-orang gagah yang akhirnya menjadi kaki tangan Kaisar lalim. Sin Wan jangan sia-siakan waktu, kau bawalah Ibumu pergi ke rumah Kwie Cu Ek di balik gunung. Beri tahukan padanya tentang keadaan kita dan titipkan Ibumu di sana untuk sementara waktu. Disini berbahaya sekali.”

“Tapi, Ayah! Rasa takutku sudah lenyap dan segala kengerian telah pergi semenjak Ayah Sin Wan terfitnah oleh bangsat-bangsat itu. Biarlah mereka datang. Biarkan mereka membunuhku. Aku tidak takut!”

Nyonya muda yang lemah dan berpenyakitan itu angkat dada dengan beraninya hingga Sin Wan kagum sekali serta bangga akan Ibunya.

“Kau benar, Ibu. Akupun tidak takut, dan akulah yang akan membelamu mati-matian Ibu!”

Kang Lam Ciuhiap jengkel sekali melihat anak dan cucunya itu. Ia membanting-banting kakinya, lalu bertindak keluar sambil mengomel. “Kau Ibu dan anak sama-sama kepala batu!”

Kakek itu yang merasa bingung dan mengkhawatirkan keselamatan anak dan cucunya, lalu pergi kerumah seorang temannya dikampung itu dan bersama temannya menenggak arak sampai habis beberapa guci. Kemudian ia menyuruh seorang teman untuk keluar dan pergi menyelidiki keadaan musuh yang hendak datang.

Ia sendiri putar otak mencari akal untuk menyingkirkan anak dan cucunya. Terutama Sin Wan harus pergi dari kampung itu. Untuk dirinya sendiri, Kang Lam Ciuhiap tidak khawatir. Ia sudah cukup kenyang mengalami pertempuran, sudah cukup lama hidup di dunia yang penuh derita ini, dan mati baginya hanya berarti pulang ke kampung halaman.

Tapi bagaimana nasib Sin Wan dan Ibunya? Yah, tentang anak perempuannya ia telah tahu isi hatinya. Anak perempuannya yang bernasib malang itupun hanya hidup untuk Sin Wan saja, dan boleh dikata sebagian besar dari dirinya telah ikut mati dengan suaminya. Tentu saja soal mati bagi anak perempuannya yang malang itu bukan soal apa-apa. Tapi Sin Wan masih muda, pengharapannya masih banyak dan luas...

Kisah Sepasang Naga Jilid 04

KISAH SEPASANG NAGA JILID 04

Setelah masakan siap, mereka berempat lalu makan dengan gembira, dan tuan rumah serta anak perempuannya kagum melihat betapa Kang Lam Ciuhiap minum arak bagaikan minum air tawar saja!

“Arak baik, arak baik!” berkali-kali Kakek itu memuji tiap habis minum semangkuk besar.

Kwie Cu Ek walaupun seorang peminum yang kuat juga, namun tiap kali minum ia hanya dapat tuang semangkuk kecil kedalam perutnya, karena arak yang mereka minum itu adalah arak tua yang sangat keras. Sebentar saja, habislah arak wangi seguci besar dan Kakek Bun Gwat Kong itu elus-elus perutnya dengan puas sekali.

“Engkong ini sungguh kuat sekali minum arak!” Berkata Giok Ciu yang ikut-ikutan menyebut Engkong atau Kakek kepada Kang Lam Ciuhiap, meniru Sin Wan.

Mendengar dirinya disebut Kakek, Bun Gwat Kong girang sekali. “Bagus Giok Ciu, memang kau selayaknya menyebut Engkong padaku.”

Lalu ia tertawa bergelak-gelak hingga semua orang ikut tertawa, sedangkan Sin Wan diam-diam agak heran karena tidak pernah ia melihat Kakeknya segembira itu.

“Giok Ciu, kau tidak tahu, Kakek ini adalah Kang Lam Ciuhiap si Pendekar Arak dari Kang Lam. Ia tidak hanya kuat minum, tapi arak di dalam mulutnya dapat dipakai membunuh seekor kerbau besar!”

“Hebat sekali!” kata Giok Ciu ambil leletkan lidahnya, “Kong-kong, perlihatkan ilmu kepandaianmu menyembur dengan arak itu!”

Melihat kegembiraan Giok Ciu, maka empek itu menengok kesana-sini mencari sasaran, kemudian sambil tersenyum dan elus-elus jenggotnya ia berkata kepada Kwie Cu Ek,

“Kwie Enghiong, bolehkah aku bereskan tiang di atas itu?”

Tuan rumah mengangguk dengan tersenyum juga. Kang Lam Ciuhiap lalu tuang sedikit arak yang masih tertinggal di dalam mangkok, dan setelah mengejapkan sebelah matanya kepada Giok Ciu dengan cara yang lucu hingga anak perempuan itu tertawa geli, si empek lalu semburkan arak dari mulutnya, Giok Ciu melihat sinar keputih-putihan tersembur keluar dari mulut orang tua itu bagaikan seekor ular meluncur ke atas dan menyambar tian melintang yang agak kelebihan menumpang di tiang besar dan agaknya dulu lupa dipotong oleh Kwie Cu Ek ketika ia membangun pondok itu. Sinar putih itu melanggar ujung kayu sebesar lengan itu dan,

“Krakk!” ujung itu patah dan jatuh ke bawah!

Kwie Cu Ek memuji, “Bagus sekali, Lo-Ciuhiap! Kau benar-benar patut di sebut ciuhiap, bahkan bagiku kau pantas disebut ciusian karena kau benar-benar dewa arak!”

Juga Sin Wan dan Giok Ciu bertepuk tangan memuji.

“Kong-kong!” kata Giok Ciu lagi, sedangkan matanya yang bagus memandang Kakek itu seperti seorang anak yang meminta sesuatu.

“Apa lagi?” Kakek itu bertanya.

“Itu... suling yang kau selipkan di pinggang itu! Tadi kudengar kau tiup sulingmu ketika kau bertempur melawan Ayah, tapi lagunya buruk sekali hingga telingaku tak sedap mendengarnya! Apakah kau bisa mainkan lagu yang enak didengar? Aku suka sekali mendengar suling!” Giok Ciu menunjuk ke arah pinggang Kakek itu dimana tampak ujung suling tersembul keluar.

“Giok Ciu, jangan kau main-main dengan tiupan Kakekmu! Kalau aku tadi tidak kerahkan seluruh tenaga dan barengi keluarkan siulan untuk menahan pengaruh tiupan suling, aku sudah dirobohkan oleh daya tiupan suling itu! Jangan kau pandang rendah tiupan tadi karena itu adalah sesuatu ilmu yang mujijat dan dapat mematahkan lawan dan melemahkan semangat serta membuat lawan bingung hingga gerak-geriknya menjadi kacau!”

Giok Ciu leletkan lidah, satu kebiasaan darinya untuk menyatakan kekaguman atau keheranan. “Kalau begitu, jangan kau mainkan lagi lagu yang buruk tadi, Kong-kong! Coba mainkan saja lagu merdu yang dapat menghibur kita!”

Kang Lam Ciuhiap sedang gembira, maka mendengar permintaan Giok Ciu ini, ia cabut sulingnya dan pandang Kwie Cu Ek dengan tak berdaya. Ia angkat pundaknya dan berkata,

“Anakmu memang benar, Kwie Enghiong, aku hanya dapat tiup lagu-lagu buruk yang tak sedap didengar. Sebenarnya tadi aku hanya tiup suling untuk menghibur-hibur hatiku yang bingung tak karuan karena serangan-seranganmu yang hebat!” Lau sambil ulur tangan dan elus-elus rambut di kepala Giok Ciu, Kakek itu berkata,

“Kau ingin mendengar lagu merdu? Nah, kau mintalah Sin Wan untuk meniup suling ini. Selain dia tidak ada yang bisa meniup lagu merdu!”

Sin Wan mendengar pujian ini, mukanya berubah merah karena jengah di puji Kakeknya di depan Giok Ciu dan Ayahnya. Sebaliknya, Giok Ciu menjadi girang sekali. Ia ambil suling itu dari tangan Bun Gwat Kong dan geser duduknya mendekati Sin sambil angsurkan suling kecil itu.

“Sin Wan, kau mainlah barang satu dua lagu untuk kami!” Berkata demikian, gadis itu pandang wajah Sin Wan dengan senyum menarik.

Sin Wan tak dapat menolak lagi, karena Kwie Cu Ek juga berkata bahwa iapun ingin sekali mendengar tiupan suling anak itu. Dengan tenang ia ambil suling itu lalu atur jari-jari tangannya diatas lubang-lubang kecil di batang suling, tempelkan peniup di bibirnya dan dengan mata setengah terkatup meniup suling itu. Mula-mula terdengar bunyi lengking yang rendah dan bening serta disertai getaran halus merdu, kemudian lengking rendah itu makin meninggi dengan perlahan dan mulailah terdengar nyanyian suara suling yang merdu, indah dan menggetarkan kalbu.

Giok Ciu dan Kwie Cu Ek tadinya hanya kagum karena pandainya Sin Wan meniup suara yang meninggi rendah, tapi tak lama kemudian kedua Ayah dan anak itu duduk bengong dengan bibir setengah terbuka dan mata tak pernah berkejab menatap wajah Sin Wan. Mereka merasa sekan-akan dibawa melayang naik oleh gelombang ombak yang mengalun tinggi di angkasa dan dibawa ke alam mimpi yang halus dan menakjubkan.

Mula-mula suara suling terdengar gagah dan riang membuat Giok Ciu merasa dadanya berdebar dan wajahnya panas, tapi ketika suara itu makin lama makin lambat dan rendah, ia merasa terharu sekali, ketika ia berpaling kepada Ayahnya dengan perlahan, ia melihat betapa dari kedua mata Ayahnya itu mengalir air mata!

Nyata sekali bahwa suara suling itu telah mempesona dan menimbulkan keharuan hebat di sanubari Kwie Cu Ek hingga pendekar gagah ini teringat akan isterinya dan membuatnya tak dapat menahan kesedihannya. Melihat keadaan Ayahnya sedemikian itu, Giok Ciu berteriak kepada Sin Wan.

“Sin Wan, cukup! Simpan sulingmu!” dan anak perempuan itu menubruk Ayahnya dan menangis di atas pangkuan orang tua itu!

Sin Wan tunda sulingnya dan buka kedua matanya yang tadi hampir tertutup sama sekali, lalu memandang heran. Kwie Cu Ek duduk bengong dengan wajah pucat dan pendekar ini menghela napas berulang-ulang.

“Bukan main! Suara sulingmu sungguh luar biasa, Sin Wan! Lebih hebat dan kuat daripada tiupan Kakekmu, bukankah demikian. Lo-Ciuhiap?”

Kang Lam Ciuhiap yang tadipun duduk sambil tunduk karena terpengaruh tiupan suling cucunya, mengangguk-angguk membenarkan.

“Memang hebat lagu itu, entah bagaimana Sin Wan dapat menciptakan lagu sehebat itu.”

Mendengar ini tiba-tiba Giok Ciu menunda tangisnya dan dengan senyum girang, ia berkata kepada Sin Wan, “Jadi kau sendirikah yang mencipta lagu tadi?”

Kang Lam Ciuhiap dan Sin Wan kini merasa heran sekali melihat sifat Giok Ciu. Baru saja manis menangis sesunggukan, tiba-tiba bisa tersenyum manis. Alangkah ganjilnya! Sin Wan hanya mengangguk sebagai jawab atas pertanyaan Giok Ciu padanya itu.

“Ah, pandai sekali kau! Bagaimana kau bisa mencipta lagu sehebat ini?”

“Sederhana saja,” kata Sin Wan merendah. “Pada suatu hari ketika aku sedang menggembala kerbauku dan duduk di punggung kerbau yang sedang makan rumput di pinggir anak sungai di pagi hari, aku mendengar suara air sungai berpercikan memukul batu mengeluarkan suara seperti sedang berdendang. Dan di atas pohon terdengar burung-burung berkicau girang, diseling bunyi kerbau-kerbauku menguak senang. Tiba-tiba, entah mengapa, seekor monyet kecil yang tadinya bergetungan di dada induknya, terlepas jatuh ke tengah sungai riak menangis, mencicit-cicit menimbulkan suara mengharukan. Nah, ketika itu aku telah keluarkan sulingku dan entah bagaimana, tiba-tiba dapat melagukan nyanyian itu yang kusesuaikan dengan pendengaranku akan keadaan di sekeliling pada saat itu. Dan semenjak itu, aku suka sekali meniup lagu ini.”

“Memang indah!” Giok Ciu memuji kagum. “Aku harus bersihkan mangkuk-mangkuk ini dan mencucinya di belakang,” katanya kemudian.

“Mari kubantu,” kata Sin Wan yang lalu ikut mengangkat mangkuk-mangkuk yang telah kosong untuk dicuci di belakang rumah.

Sementara itu, dengan bangga dan suara berbisik, Kang Lam Ciuhiap berkata kepada tuan rumah. “Bukankah mereka itu rukun sekali? Mereka sudah berjodoh!”

Kwie Cu Ek mengangguk-angguk senang, lalu ia minta diri dari tamunya untuk masuk ke kamar sebentar. Ketika keluar lagi, ia membawa sepasang sepatu kecil dan serahkan benda itu kepada Kang Lam Ciuhiap.

“Kami orang-orang miskin tidak punya apa-apa untuk tanda pengikat perjodohan anakku. Nah, ini sepasang sepatu sulam adalah sepatu Giok Ciu ketika ia berusia setahun. Sepatu ini tadinya kami simpan sebagai barang keramat karena ini adalah buah tangan Ibunya!”

Kang Lam Ciuhiap terima sepasang sepatu kecil itu dan masukkan benda itu kedalam saku bajunya yang lebar. Kemudian ia ambil suling yang tadi ditiup Sin Wan dan berikan barang itu kepada Kwie Cu Ek sambil berkata,

“Dan suling ini kubuat ketika Sin Wan masih kecil dan baru bisa merangkak. Maksudku hanya untuk barang mainan, tapi ternyata sampai besar Sin Wan suka sekali bermain-main dengan suling ini. Nah, biarlah barang ini menjadi tanda mata dan tanda pengikat perjodohannya dengan putrimu!” Kwie Cu Ek terima suling itu dengan girang dan cepat menyimpannya ke dalam kamar, lalu keluar lagi dan bercakap-cakap.

Sementara itu, Sin Wan dan Giok Ciu muncul dari belakang karena pekerjaan mereka telah selesai. Bun Gwat Kong lalu berpamit kepada tuan rumah dan ajak Sin Wan pulang, karena Ibu Sin Wan tentu mengharap-harap kembalinya yang telah dua hari pergi itu. Setelah saling memberi hormat, Kakek dan cucu itu gunakan ilmu lari cepat tinggalkan tempat itu dan beberapa kali Sin Wan menengok dan melambaikan tangan ke arah Giok Ciu sampai bayangan Sin Wan lenyap di satu tikungan jalan. Alangkah terkejutnya hati Sin Wan dan Gwat Kong ketika mereka tiba di rumah, karena Ibu Sin Wan ternyata jatuh sakit dan muntahkan darah!

Sin Wan tubruk Ibunya sambil menangis sedih Nyonya muda yang banyak menderita ternyata tak dapat menindas tekanan dan kekhawatiran hatinya ketika dua hari Sin Wan tidak pulang. Ia cemas sekali hingga tidak dapat tidur, setiap saat memikirkan anaknya itu, hingga akhirnya ia jatuh pingsan. Ketika melihat Sin Wan kembali dengan selamat, nyonya muda itu sembuh seketika!

Tapi kesehatannya makin buruk. Sin Wan menyesal sekali dan berlutut di depan Ibunya meminta ampun dan berjanji bahwa semenjak saat itu ia takkan berani pergi lagi tanpa ijin Ibunya!

Diluar tahunya Sin Wan, Kang Lam Ciuhiap beri tahu anak perempuannya akan ikatan jodoh antara Sin Wan dan puteri Kwie Cu Ek. Nyonya muda itu merasa girang sekali, ia terima sepasang sepatu kecil itu dengan girang. Warta baik ini membuat ia banyak terhibur. Ia percaya sekali akan pilihannya Ayahnya tapi ia nyatakan bahwa ia ingin sekali melihat gadis cilik itu dengan mata sendiri karena ia ingin mengagumi nona calon mantunya!

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Semenjak hari itu, Sin Wan makin tekun mempelajari ilmu silat dan ia di gembleng oleh Kakeknya yang ingin turunkan seluruh kepandaian yang dimilikinya kepada cucu yang terkasih itu. Ia tahu bahwa dengan bantuan keganjilan alam yang telah dialami Sin Wan, maka dengan latihan-latihan keras, anak itu akan menjadi seorang yang mempunyai tenaga dan kesanggupan jauh lebih tinggi dari dia sendiri.

Hal ini membuat ia tak kenal lelah dan selain ilmu silat tinggi, ia juga menuturkan dunia kang-ouw dan aturan-aturannya kepada Sin Wan. Ketika Sin Wan menanyakan sulingnya yag dibawa oleh Kakeknya itu, Kang Lam Ciuhiap terus terang katakan bahwa suling itu diberikannya kepada Giok Ciu sebagai tanda mata.

“Menyesalkah kau?” tanyanya.

Sin Wan geleng kepala dan matanya berseri. “Ah, tidak Ngkong, biarlah. Aku melihat ada bambu kuning di kaki gunung sebelah sana, bambu itu indah lagi kecil. Aku hendak membikin suling sendiri.”

Pada keesokan harinya, Sin Wan telah membuat sebatang suling yang panjanganya tidak kurang dari tiga kaki. Karenanya Engkongnya ahli pembuat suling, ia lalu minta Kakeknya itu yang membuat lobang-lobang agar suaranya tidak sumbang. Ketika Kang Lam Ciuhiap sedang asyik gunakan api melobangi batang suling bambu itu, ia teringat sesuatu dan dengan sungguh-sungguh ia berkata.

“Sin Wan, aku hendak ajar kau menggunakan batang sulingmu sebagai senjata istimewa!”

Sin Wan girang sekali dan mulai saat itu Kakeknya mengajar ia mainkan suling itu bagaikan sebatang pedang dan karena semua gerakan adalah pukulan-pukulan merupakan totokan hebat dan disertai tenaga lweekang, maka suling itu merupakan senjata yang ampuh sekali. Juga Kang Lam Ciuhiap mengajar cucunya untuk bersilat sambil tiup suling untuk mengacaukan gerakan lawan, seperti yang pernah ia lakukan ketika menghadapi si Harimau Terbang dulu!

Karena memang suka sekali meniup sulingmaka mendapat pelajaran baru ini, Sin Wan merasa girang sekali dan ia lebih giat melatih ilmu silatnya hingga memperoleh kemajuan pesat. Juga Sin Wan yang sangat mencinta dan berbakti kepada Ibunya, mentaati permintaan Ibunya dan membuat nyonya muda itu puas melihat kemajuan yang dicapai oleh Sin Wan dalam ilmu surat.

Dengan pesat sekali waktu berjalan tanpa terasa oleh manusia, Tahu-tahu tiga tahun telah lewat. Selama itu Sin Wan yang kini telah berusia hampir empat belas tahun, mendapat kemajuan besar hingga dalam hal ilmu silat ia telah menyusul Kakeknya! Kalau dibuat perbandingan, mungkin Sin Wan lebih gesit dan cepat daripada Kakeknya, tapi tentu saja ia masih kalah dalam hal tenaga lweekang.

Selama tiga tahun itu, tidak jarang Sin Wan terkenang kepada Giok Ciu, teman baru yang begitu bertemu telah mengalami peristiwa-peristiwa aneh bersama dia itu. Semenjak perjumpaan pertama, belum pernah mereka bertemu lagi dan ia sedikitpun tidak menyangka bahwa dirinya telah terikat jodoh dengan anak perempuan itu!

Musim semi telah tiba dan orang-orang dikampung kecil itu menyambut musim chun dengan pesta gembira. Penduduk kampung yang hanya berjumlah dua puluh keluarga dan semuanya kurang dari seratus jiwa itu saling mengantar makanan dan saling selamat. Mereka mengenakan pakaian yang paling baik dan memasang petasan yang didatangkan oleh seseorang dari kota. Sin Wan juga tidak ketinggalan.

Sejak pagi-pagi sekali Ibunya telah menyuruh dia bertukar pakaian dan mengenakan baju warna kuning yang indah. Pemuda itu tidak melupakan kerbaunya dan ia mencari kembang-kembang dan daun-daun yang lalu dibuat karangan bunga dan dikalungkan di leher semua kerbaunya! Kemudian ia pergi dengan anak-anak lain yang berkumpul memasang petasan.

Tiba-tiba dari luar pintu kampung itu terdengar suara kaki kuda banyak sekali. Semua orang kampung terkejut dan heran karena belum pernah kampung itu dikunjungi orang luar. Ketika orang-orang berkuda itu telah melewati pintu kampung, terkejutlah Sin Wan karena yang datang memasuki kampungnya adalah belasan orang besar berpakaian tentara seragam dengan golok atau pedang terhunus di tangan!

Para wanita cepat memanggil anak mereka dan melarikan diri bersembunyi di belakang rumah atau di dalam kamar, sedangkan orang-orang lelaki memandang dengan membongkok hormat dan ketakutan. Ternyata rombongan orang itu berjumlah lima belas orang. Seorang kate gemuk yang agaknya menjadi pemimpin karena pakaiannya paling mewah, loncat turun menghampiri seorang petani tua yang berdiri terdekat.

“He, orang tua! Di manakah rumah Bun Gwat Kong dan anaknya?”

Biarpun orang-orang kampung itu terdiri dari petani-petani lemah, tapi mereka adalah orang-orang jujur dan penuh rasa setiakawan. Melihat lagak rombongan ini ternyata tidak membawa maksud baik, maka Kakek itupun menggelengkan kepala dan berkata,

“Aku tidak tahu!”

Baru saja jawaban itu terlepas dari mulutnya, Kakek itu terlempar ke belakang karena di dorong oleh seorang anggota rombongan yang berdiri di dekat pimpinannya.

“Hayo kalian mengaku, dimana adanya bangsat tua she Bun itu? Kalau tidak mau mengaku kalian semua akan dihukum seratus cambukan!” demikian pendorong Kakek itu berkata dengan putar mata galak sekali.

Bun Sin Wan merasa gemas sekali, tapi ia masih hendak menunggu apa yang akan terjadi, juga ia heran sekali mengapa orang-orang ini mencari Kakeknya. Tapi sebelum rombongan tentara Kaisar itu dapat mengganas lebih jauh terdengar bentakan keras.

“Aku orang she Bun ada disini, kamu anjing-anjing Kaisar lalim mau apakah?”

Dan Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong dengan tolak pinggang berdiri angket menghadapi rombongan itu. Sikapnya yang gagah membuat lima belas orang tinggi besar bersenjata tajam itu mundur beberapa tindak dengan jeri. Tapi orang kate gemuk yang menjadi pemimpin dapat tetapkan hatinya. Ia cabut sepasang ruyung dari pinggangnya dan membentak kepada para anak buahnya.

“Pemberontak she Bun ada disini, hayo tangkap dia!”

Berbareng dengan bentakan itu ia maju ayun ruyungnya di atas kepala lalu maju menyerang, diikuti oleh anak buahnya yang menerjang dengan masing-masing senjata di tangan.

“Ha ha ha! Kamu anjing-anjing kecil berani menggonggong di depan tuanmu? Pergilah!”

Kakek itu lalu bergerak cepat dan tahu-tahu dua orang pengeroyoknya telah kena dipegang dan dilempar sampai beberapa tombok jauhnya bagaikan seorang melempar rumput saja. Kang Lam Ciuhiap lalu perlihatkan kepandaiannya. Dengan kedua tangan kosong ia bergerak cepat dan setiap kali tangan dan kakinya bergerak, tentu terdengar pekik kesakitan dan tubuh seorang pengeroyok terlempar atau roboh.

Sebentar saja ia dapat merobohkan delapan orang pengeroyoknya dan kini yang mengeroyoknya hanya pemimpin yang bersenjata sepasang ruyung itu dan dua orang lain bersenjata pedang. Yang lain telah cemplak kuda dan lari pergi, tak pedulikan makian dan teriakan pemimpin mereka!

Ternyata pemimpin kate gemuk itu lihai juga. Sepasang ruyungnya bergerak-gerak cepat dan kuat hingga untuk beberapa saat tak mudah bagi Kakek itu untuk merobohkannya. Kemudian Kang Lam Ciuhiap mendapat pikiran untuk menguji cucunya. Ia segera merobohkan dua pengeroyok lain hingga kini tinggal si kate gemuk seorang.

“Sin Wan, kau ke sinilah!” Kakek itu berteriak.

Sin Wan yang sejak tadi memang berada di dekat situ dan sengaja tidak mau bantu Kakeknya karena melihat bahwa Kakeknya tak perlu dibantu, dan menonton dengan kagum melihat kegagahan Kakeknya, kini loncat maju.

“Ada apa, Ngkong?” jawabnya.

“Coba kau layani anjing kate gemuk itu,” perintah Kakek itu yang loncat mundur ke belakang.

Si kate gemuk memang telah terdesak hebat oleh Kang Lam Ciuhiap, kini melihat orang tua lihai itu mundur dan diganti oleh seorang pemuda tanggung yang pegang sebatang suling bambu panjang, ia merasa agak lega. Ia pikir, tidak apa kemudian terbunuh oleh Kakek gagah itu asal sudah bisa menjatuhkan anak muda ini. Dengan demikian, maka ia tidak penasaran lagi dan tidak rugi. Maka ia lalu putar-putar kedua ruyungnya dan menyerang tanpa berkata apa-apa lagi.

Sin Wan telah siap dan waspada. Biarpun ia telah mendapat latihan sampai masak oleh Kakeknya, tapi ia belum pernah bertempur betul-betul melawan musuh. Baiknya ia memang mempunyai nyali yang besar dan ketabahannya ini membuat ia dapat bersilat dengan baik. Baru bertempur beberapa gebrakan saja tahulah ia bahwa ilmu kepandaian lawannya ini tidak seberapa hebat. Maka ia tidak mau kasih hati lagi dan balas menyerang dengan sulingnya.

Terkejutlah si kate itu, karena tidak disangkanya sama sekali bahwa suling bambu kecil itu ternyata lihai dan berbahaya sekali karena selalu meluncur ke arah jalan darahnya! Pula gerakan-gerakan suling itu terlalu cepat dan tidak terduga olehnya hingga ia menjadi sibuk sekali karena harus putar-putar ruyung menangkis atau loncat ke sana kemari hindarkan diri dari totokan. Tentu saja Sin Wan tidak mau sulingnya terusak oleh tangkisan ruyung, maka ia tidak mau adukan senjatanya dan percepat gerakannya.

Ketika pada suatu saat lawannya berkelit ke kiri, Sin Wan tusukan sulingnya dan getarkan ujung suling dengan tenaga lweekangnya hingga ujung suling itu menjadi tiga dan sekaligus menyerang tiba bagian tubuh! Lawannya tidak dapat menangkis atau menyingkir dari serangan lihai ini dan tak ampun lagi iganya tertotok dan ia roboh tak berdaya. Tapi pemimpin tentara itu memang seorang peperangan yang berani mati dan keras hati. Ia merasa malu sekali terjatuh dalam tangan seorang pemuda yang masih anak-anak, maka ia segera membentak,

“Kau telah robohkan aku, tidak lekas bunuh mau tunggu apa lagi?”

Sin Wan marah dan hendak jatuhkan pukulan maut dengan sulingnya, tapi tiba-tiba Kakeknya mencegah.

“Tahan, Sin Wan...!”

Kakek ini memang suka melihat orang yang gagah dan berani mati. Selama ia merantau di dunia kang-ouw, jika menemukan lawan yang sifatnya penakut dan jika terluka merintih-rintih, ia segera bunuh lawan itu. Tapi jika lawannya seorang pemberani, ia bahkan selalu memberi ampun! Kini mendengar si kate berkata demikian, ia larang cucunya membunuh orang itu.

“Kau pergilah!” Kata Kang Lam Ciuhiap kepada si kate gemuk itu, “Dan bawa pergi semua kawan-kawanmu itu.” Tangan kirinya dilambaikan ke arah orang-orang yang merintih-rintih di atas tanah. Pemimpin rombongan tentara itu berkata,

“Baik, bagimu sama saja, bunuh aku atau tidak, akhirnya kau juga bakal tertangkap. Ketahuilah, kami diperintahkan menangkapmu oleh Suma Cian Bu, dan sebentar lagi dia dan juga Siauw-San Ngo-Sinto tentu datang kesini!”

Sehabis berkata demikian dengan mata mengandung penuh ancaman, si kate itu lalu bantu anak buahnya yang terluka untuk naiki kuda mereka dan perlahan-lahan tinggalkan kampung itu, disoraki oleh penduduk kampung. Tapi Sin Wan yang memperhatikan Kakeknya betapa Kang Lam Ciuhiap tiba-tiba menjadi pucat dan tampak gelisah. Ia segera menghampiri dan memegang lengan Kakeknya,

“Engkong, kau kenapakah?”

Kakeknya geleng-geleng kepala dan tanpa banyak cakap ia mengajak cucunya pulang. Kemudian, di depan anak perempuannya dan Sin Wan, Kang Lam Ciuhiap berkata dengan sungguh-sungguh.

“Sin Wan, kau ajak Ibumu pergi, sekarang juga! Aku harus menghadapi hal ini sendiri, jangan sampai kalian juga tertimpa bencana!”

“Ayah, mengapa kau kata begitu? Apakah yang terjadi?” Ibu Sin Wan bertanya cemas.

“Ketahuilah, dulu aku telah membasmi habis orang-orang yang memfitnah suamimu. Tidak kurang dari enam jiwa melayang di tanganku. Karena yang kubunuh adalah orang-orang berpangkat, maka sejak saat itu pemerintah telah mencari-cariku. Agaknya kini mereka berhasil dan dapat mengetahui tempat sembunyiku disini.” Kakek itu menghela napas.

“Tapi, Ngkong. Kalau baru orang-orang macam si kate saja yang datang hendak mengganggumu, jangankan baru satu dua orang, biar ada puluhan, kau dan aku masih sanggup mengusirnya!” kata Sin Wan dengan gagah.

Kang Lam Ciuhiap tersenyum girang melihat sikap Sin Wan, tapi ia lalu menggeleng kepala perlahan. “Kau tidak tahu, Sin Wan. Tidakkah kau dengar tadi bahwa ada seorang Cianbu she Suma dan Siauw Ngo-Sinto akan segera datang kesini?”

Sin Wan merasa penasaran, “Takut apa, Ngkong? Macam apakah orang she Suma itu? Aku ingin sekali mengukur kepandaiannya.”

“Kapten she Suma itu sendiri sudah merupakah lawan berat,” kata Kang Lam Ciuhiap perlahan seakan-akan tak mendengar kejumawaan Sin Wan, “tapi lima saudara dari Siauw-San yang dijuluki Ngo-Sinto atau Lima Golok Malaikat benar-benar berat dilawan.”

“Siapakah mereka itu dan mengapa mereka ikut datang membikin susah kau?” tanya Ibu Sin Wan yang merasa khawatir.

“Sum Cian Bu adalah seorang kapten yang sangat terkenal karena kegagahannya. Selain pandai mengatur tentara, iapun tinggi sekali ilmu pedangnya. Kedatangannya itu tentu dengan tugas menangkapku karena Kaisar pun tahu orang macam apakah aku, maka kapten yang konsen itulah yang diutus. Tapi agaknya Sum Cian Bu sendiri jerih untuk datang seorang diri, maka ia ajak kelima setan itu. Memang telah kudengar desas-desus bahwa Ngo-Sinto itu telah mengkhianati dunia kang-ouw dan rela menjadi anjing penjilat Kaisar asing! Mereka adalah lima orang pertapa atau Tosu dari Gunung Siauw-San. Agaknya mereka itupun runtuh iman mereka dan melihat sogokan berupa harta benda dan emas, seperti yang banyak dialami orang-orang gagah yang akhirnya menjadi kaki tangan Kaisar lalim. Sin Wan jangan sia-siakan waktu, kau bawalah Ibumu pergi ke rumah Kwie Cu Ek di balik gunung. Beri tahukan padanya tentang keadaan kita dan titipkan Ibumu di sana untuk sementara waktu. Disini berbahaya sekali.”

“Tapi, Ayah! Rasa takutku sudah lenyap dan segala kengerian telah pergi semenjak Ayah Sin Wan terfitnah oleh bangsat-bangsat itu. Biarlah mereka datang. Biarkan mereka membunuhku. Aku tidak takut!”

Nyonya muda yang lemah dan berpenyakitan itu angkat dada dengan beraninya hingga Sin Wan kagum sekali serta bangga akan Ibunya.

“Kau benar, Ibu. Akupun tidak takut, dan akulah yang akan membelamu mati-matian Ibu!”

Kang Lam Ciuhiap jengkel sekali melihat anak dan cucunya itu. Ia membanting-banting kakinya, lalu bertindak keluar sambil mengomel. “Kau Ibu dan anak sama-sama kepala batu!”

Kakek itu yang merasa bingung dan mengkhawatirkan keselamatan anak dan cucunya, lalu pergi kerumah seorang temannya dikampung itu dan bersama temannya menenggak arak sampai habis beberapa guci. Kemudian ia menyuruh seorang teman untuk keluar dan pergi menyelidiki keadaan musuh yang hendak datang.

Ia sendiri putar otak mencari akal untuk menyingkirkan anak dan cucunya. Terutama Sin Wan harus pergi dari kampung itu. Untuk dirinya sendiri, Kang Lam Ciuhiap tidak khawatir. Ia sudah cukup kenyang mengalami pertempuran, sudah cukup lama hidup di dunia yang penuh derita ini, dan mati baginya hanya berarti pulang ke kampung halaman.

Tapi bagaimana nasib Sin Wan dan Ibunya? Yah, tentang anak perempuannya ia telah tahu isi hatinya. Anak perempuannya yang bernasib malang itupun hanya hidup untuk Sin Wan saja, dan boleh dikata sebagian besar dari dirinya telah ikut mati dengan suaminya. Tentu saja soal mati bagi anak perempuannya yang malang itu bukan soal apa-apa. Tapi Sin Wan masih muda, pengharapannya masih banyak dan luas...