Kisah Sepasang Naga Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

KISAH SEPASANG NAGA JILID 03

Giok Ciu yang merasa lapar sekali dan belum puas makan roti kering pemberian Sin Wan, segera petik buah itu dan bawa ke mulutnya.

“Giok Ciu, tahan dulu!” kata Sin Wan cepat.

“Ada apa? Kalau kau mau, petiklah itu.” Jawab Giok Ciu.

“Buka begitu, Giok Ciu. Buah ini kita tidak tahu apakah boleh dimakan atau tidak. Bagaimana kalau mengandung racun?”

"Tapi baunya enak sekali, kurasa tidak beracun,” jawab Giok Ciu. “Pula lebih mati makan buah beracun daripada mati kelaparan.”

“Kalau begitu, biarlah aku yang mencobanya dulu!” kata Sin Wan.

“Ah, kau ini anak laki-laki memang hendak mencari enaknya sendiri saja! Apa-apa hendak mendahului!”

“Kalau begitu, biarlah kita makan bersama,” kata Sin Wan yang lalu petik sebuah lagi.

Mereka berbareng gigit buah itu dan saling pandang heran. Ternyata buah itu manis dan harum sekali, rasanya lezat dan segar. Karena hanya ada enam butir di situ, maka masing-masing makan tiga. Dan betul-betul heran, setelah makan tiga butir buah mereka merasa kenyang dan mengantuk sekali hingga hampir-hampir tak kuat menahan pula. Bagaikan orang mabuk, Giok Ciu terhuyung-huyung dan hampir jatuh.

Sin Wan berseru, “Celaka, kita makan buah beracun!” dan ia masih sempat peluk tubuh kawannya yang hendak roboh.

Tapi ternyata Giok Ciu telah tidur pulas dalam pelukannya. Dengan hati-hati dan perlahan Sin Wan baringkan tubuh kawannya itu di atas tanah, sedangkan ia sendiri yang sudah tak dapat menahan rasa kantuknya lagi, segera rebahkan diri di atas tanah yang tertutup pasir itu. Sebentar saja ia mengorok karena tertidur pulas!

Kedua anak itu tidak merasa bahwa mereka terus tidur sampai sumur itu menjadi gelap karena matahari telah terbenam. Semalam penuh lewat tanpa mereka ketahui sama sekali, juga mereka tidak merasa betapa hawa dingin mengalir masuk dari lubang mulut naga itu karena mereka telah tertidur lelap sekali.

Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari telah masuk ke dalam sumur, Giok Ciu bangun lebih dulu. Gadis cilik ini merasa perutnya mulas dan sakit bagaikan diremas-remas dari dalam hingga ia bangun duduk sambil pegang-pegang perutnya. Ia merasa hendak buang air besar, maka ia bingung sekali dan tidak berani bangunkan Sin Wan yang masih tidur enak, karena malu. Ia lari kesana kemari mencari tempat untuk buang air, tapi sekelilingnya hanya dinding batu.

Sedangkan perutnya terasa makin sakit dan terdengar suara berkeruyukan di dalam perutnya. Peluh dingin memenuhi muka Giok Ciu yang menahan-nahan rasa sakit, dan akhirnya ia tak kuat lagi. Dengan cepat ia loncat di sebelah kiri rangka kedua ular itu dan cepat buka pakaiannya. Dan disudut situlah ia buang air besar yang banyak sekali seakan-akan perutnya dikuras habis. Kotoran keluar dari perutnya tiada hentinya hingga Giok Ciu hampir menangis karena malu.

Ah, bagaimana kalau Sin Wan tahu? Ia tekap muka dengan kedua tangan dan tubuhnya terasa lemas sekali karena benar-benar semua kotoran dalam perutnya terkuras keluar! Tapi tiba-tiba Giok Ciu pasang telinga dan mendengarkan dengan teliti. Ia mendengar suara Sin Wan mengeluh dan sebentar lagi ia mendengar suara orang buang air di sebelah kanan rangka ular itu!

Hampir Giok Ciu tak dapat menahan rasa gelinya karena ia maklum apa yang telah terjadi di balik rangka yang menghalangi mereka itu! Ternyata Sin Wan juga telah sadar dari tidurnya dan mengalami nasib yang sama seperti dia! Maka legalah hati Giok Ciu. Kenapa mesti malu kalau pemuda itupun berhal seperti dia?

Karena perut kedua anak itu dikuras bersih dan habis, dan di dalam ruangan itu tersiar bau yang tidak sedap hingga keduanya merasa jengah dan malu. Masing-masing tidak berani berdiri, biarpun buang air itu telah selesai dan tidak ada apa-apa lagi di dalam perut mereka yang dapat keluar. Giok Ciu hanya mendengarkan saja dan tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Juga suara rintihan Sin Wan sudah lenyap dan ia tidak tahu apakah pemuda itu masih berada di balik rangka ular atau tidak. Tak lama kemudian terdengar suara Sin Wan, dibalik rangka.

“Giok Ciu, ternyata kita telah makan buah beracun hingga perut kita dikuras habis! Barusan aku menuju ke tikungan sebelah kiri dan tak jauh dari situ jika kau berjalan terus kau akan menemukan sebuah pancuran air. Tadi aku telah ke situ untuk cuci badan dan cuci pakaian. Kau kesanalah, Giok Ciu!”

Giok Ciu tidak menjawab, tapi diam-diam ia melangkah ke tikungan yang ditunjuk oleh Sin Wan itu. Ketika memasuki tikungan, ia mengerling ke arah Sin Wan dan hatinya berterima kasih sekali ketika melihat Sin Wan sengaja berdiri membelakangi tikungan itu hingga tidak melihatnya. Biarpun tubuhnya lemas tidak bertenaga, Giok Ciu cepat lari ke depan dan betul saja, tak jauh dari situ ia melihat air memancur keluar dari sebuah batu yang terbelah. Ia cepat cuci tubuhnya dan bersihkan dir, maka ia makan waktu yang agak lama.

Ketika dengan badan lemas tapi hati lega ia pakai kembali pakaiannya dan pergi ke ruang rangka ular itu, ia melihat betapa Sin Wan telah menggali lantai pasir di situ dan telah pendam semua kotoran yang berada disitu, juga kotoran Giok Ciu! Perbuatan Sin Wan ini tepat sekali karena dengan terpendamnya semua kotoraan itu, maka bau busuk juga lenyap. Tapi Giok Ciu merasa malu sekali karena kawannya itu dengan tak merasa jijik telah pendam kotorannya pula.

“Kenapa tidak kau biarkan aku melakukan itu sendiri?” ia mencela dengan mulut memberengut, tapi sepasang matanya memandang dengan berterima kasih.

“Ah, apa bedanya Giok Ciu? Tak perlu hal seremeh itu dibicarakan. Yang penting sekarang marilah kita pikirkan nasib kita. Ternyaa bahwa buah putih yang lezat itu mengandung racun hingga is perut kita terkuras kosong! Bagaimana sekarang? Masih baik kita tidak terracun mati, tapi dengan perut kosong dan lapar seperti ini, kita dapat bertahan sampai kapan?”

“Baiknya masih ada air dan kita boleh minum secukupnya,” kata Giok Ciu.

Sin Wan tak sengaja memandang ke atas melihat semacam tetumbuhan di dinding sumur. Tetumbuhan kecil itu juga berbuah dan buahnya berwarna merah dan kecil-kecil. Sayang sekali tempat tetumbuhan itu sangat tinggi hingga tak mungkin ia meloncat mengambilnya.

“Itu ada buah merah, entah buah apa.” Kata Sin Wan dengan sedih.

Giok Ciu berdongak dan juga melihat buah itu. Ia lalu enjot tubuhnya yang lemah ke atas. Dan Sin Wan kagum sekali melihat betapa tubuh gadis cilik itu melakang ke atas dan dapat memetik sekepal buah-buah kecil!

“Kau hebat betul, Giok Ciu!” ia memuji, tapi Giok Ciu pandang ia dengan mata terbelalak.

“Sin Wan sungguh aneh. Mengapa tubuhku menjadi begini ringan? Biasanya tak mungkin aku dapat loncat setinggi dan semudah itu! Apa yang terjadi?”

Sin Wan memang cerdik dan otaknya dapat bekerja cepat. Tentu ini adalah pengaruh buah mujijat yang mereka makan itu. Kalau pengaruhnya menguasai tubuh Giok Ciu, mengapa ia tidak? Sin Wan lalu berdiri di bawah tetumbuhan itu dan iapun enjot tubuhnya. Sungguh heran! Hampir ia berteriak girang karena tubuhnya melayang ke atas demikian cepat dan ringan hingga dengan mudah ia dapat ambil buah-buah itu!

Kedua anak itu girang sekali hingga mereka makan buah yang rasanya manis itu sambil tertawa-tawa. Buah kecil merah itu ternyata berat sekali, tidak sesuai dengan kecilnya. Rasanyapun sedap dan manis, dan baru makan beberapa butir saja mereka telah merasa kenyang. Tentu saja kedua anak itu girang bukan main.

“Giok Ciu, ini tentu pengaruh kesaktian kedua rangka ini yang menolong kita. Kedua macam buah yang telah kita makan itu tentu buah dewa yang hanya terdapat di tempat suci ini. Hayo kita menghaturkan terima kasih kepada dua rangka itu,” kata Sin Wan.

Giok Ciu menyetujui pendapat ini dan mereka berlutut di depan dua buah rangka ular itu untuk menghaturkan terima kasih mereka. Setelah mendapat kenyataan bahwa tubuh mereka menjadi ringan sekali akibat khasiat yang mujijat dari buah-buah yang mereka makan, dua orang ini lalu mencoba keluar lagi dari dasar sumur.

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya keduanya berhasil meloncat ke luar dari sumur. Ilmu ginkang mereka maju demikian pesatnya sehingga dalam melompat keluar ini, tidak saja amat mudah, bahwa mereka masih berhasil menjambret sisa buah-buah merah itu. Giok Ciu ternyata memiliki keringan dan kecepatan lebih hebat sehingga dia berhasil memetik lebih banyak buah-buah merah mujijat.

Melihat bahwa Sin Wan hanya mendapatkan tidak berapa banyak, Giok Ciu dengan rela lalu membagi buah kepada Sin Wan sehingga mereka mendapat bagian jumlah yang sama. Bukan main girang dan gembira hati dua orang anak ini. Mereka lalu berlumba untuk mencoba ginkang mereka, berlari-lari saling kejar dan ternyata gerakan mereka luar biasa pesatnya bagaikan dua ekor burung terbang saja. Tiba-tiba keduanya berhenti berlari.

“Kau mendengar sesuatu?” tanya Sin Wan.

Giok Ciu mengangguk. Keduanya lebih memperhatikan dan terdengarlah oleh mereka suara tiupan suling diselingi siulan-siulan aneh. Terkejutlah mereka karena masing-masing mengenal baik suara itu. Sin Wan mengenal suling itu yang bukan lain adalah tiupan suling Engkongnya, Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong dan kalau Engkongnya meniup suling itu, berarti sedang mainkan ilmu silatnya untuk melawan musuh berat. Sebaliknya, Giok Ciu juga mengenal siulan-siulan itu adalah siulan pertempuran dari Ayahnya, Kwie Cu Ek.

Dua orang anak ini tidak membuang waktu lagi, cepat mereka melesat pergi, berlari-lari seperti terbang menuju ke arah suara itu. Sukar untuk mengikuti gerakan bayangan mereka karena ginkang mereka yang betul-betul luar biasa itu. Ketika keduanya tiba di sebuah jalan tikungan, mendadak mereka berhenti dan berdiri di situ dengan bengong, keduanya tampak khawatir sekali melihat pertempuran antara dua orang yang bagi orang lain tentu dianggap main-main. Tapi Sin Wan dan Giok Cu maklum bahwa kedua orang yang sedang bertempur itu berada dalam kedudukan berbahaya dan keduanya sedang keluarkan ilmu mereka yang tertinggi!

Yang seorang adalah Kang Lam Ciu hiap Kakek yang lihai dari Sin Wan. Kakek itu bertempur sambil pegang sebatang suling dan tiup-tiup suling itu dalam lagu yang tak keruan dan membuat sakit anak telinga! Ia bersilat dengan tenang dan gerak kaki yang teguh sekali sedangkan kedua tangannya memegang sulingnya yang ditiup-tiup hanya kadang-kadang. Ia angkat tangan kanan dan kiri untuk menangkis atau menyerang. Dengan cara demikian gerakannya tak terduga lawannya.

Lawannya juga mempunyai cara bertempur yang aneh. Ia adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan gerak-geriknya gesit sekali. Ia bersilat bagaikan gerakan seekor burung, kedua lengannya terpentang bagaikan sayap dan kakinya berloncat-loncatan keatas, kadang-kadang tinggi sekali dan turunnya langsung menerjang lawannya. Mulutnya dimoncongkan dan dari bibirnya keluarlah siulan-siulan aneh dan nyaring, dan dalam hal menyakiti anak telinga, siulan itu tidak kalah oleh suara suling! Laki-laki ini bukan lain ialah Kwie Cu Ek Ayah Giok Ciu, seorang tokoh Kun-Lun-pai yang sangat terkenal dan digelari orang Hui-Houw atau Macan terbang.

Bagaimana kedua orang gagah itu dapat terlibat pertempuran mati-matian ini? Sebenarnya ini hanyalah suatu kesalah-pahaman yang timbul dari hati bingung karena masing-masing telah sehari semalam berkeliaran di seluruh permukaan bukit Kam-Hong-San, yang seorang mencari cucunya yang seorang mencari anaknya!

Ketika Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, empek yang lihai itu sedang mencari-cari cucunya dengan hati cemas dan bingung karena telah sehari semalam ia mencari dengan sia-sia, ia mulai berteriak-teriak memanggil nama Sin Wan. Karena ia gunakan tenaga Tian-tan yang dikerahkan ke dalam suaranya, maka suara itu dapat terdengar oleh Kwie Cu Ek yang memang semenjak kemarin telah meencari sambil memanggil-manggil.

Karena jarak mereka tadinya sangat jauh, seorang di lereng sebelah timur dan yang seorang laagi di sebelah barat, maka tadinya suara mereka tidak terdengar. Tapi kini mereka telah saling mendekati hingga Kwie Cu Ek mendengar juga teriakan Bun Gwat Kong. Cu Ek sendiri telah berteriak-teriak memanggil nama anaknya sehingga Bun Gwat Kong mendengar pula suaranya.

Setelah saling mendengar suara masing-masing, maka kedua orang tua itu timbul harapan baru dan cepat menuju ke suara yang mereka dengar. Tapi alangkah kecewa hati mereka ketika mereka saling bertemu di sebuah lereng gunung dan melihat bahwa yang muncul hanyalah seorang asing. Timbullah hati curiga di kedua belah pihak.

Kang Lam Ciuhiap yang beradat keras segera mendakwa Kwie Cu Ek menculik cucunya, sebaliknya Kwie Cu Ek melihat seorang Kakek yang aneh dan berada keras itu, memakinya sebagai siluman gunung yang mencuri anaknya. Tak dapat dicegah pula keduanya lalu bertarung!

Baru segebrakan saja, terkejutlah kedua fihak karena ternyata masing-masing memiliki kepandaian silat tinggi dan merupakan lawan yang berat. Namun karena hati mereka telah nekad dan terdorong oleh rasa duka dan bingung kehilangan anak-anak yang dikasihi, mereka tidak mau saling mengalah.

Setelah bertempur ratusan jurus dengan keadaan masih seimbang, tiba-tiba Kang Lam Ciuhiap cabut keluar sulingnya dari ikat pinggang. Ia memang memiliki dua macam kepandaian hebat, yakni yang pertama, ia pandai gunakan arak untuk disemburkan dengan kekuatan lweekang sepenuhnya hingga arak biasa itu dapt menjadi senjata yang ampuh, karena lawan yang kena sembur mukanya jika tidak cepat berkeliat bisa menjadi buta matanya.

Kelihaiannya yang kedua juga berdasarkan ilmu lweekang yang dalam dan terlatih sempurna, jika sambil bertempur ia tiup sulingnya dengan suara demikian nyaring dan tinggi rendah tak karuan hingga tidak saja dapat membingungkan dan menyakiti hati dan telinga lawan, juga bisa membuat jantung berdebar-debar dan melemahkan lawannya! Gerakan bersilat sambil meniup suling juga menjadi lambat dan kokoh kuat, namun semua gerakan disertai tenaga lweekang yang hebat!

Melihat kehebatan lawannya dan merasa betapa isi perutnya bagaikan diaduk dan jantungnya bagaikan ditusuk-tusuk pisau tajam ketika mendengar suara tiupan suling, Kwie Cu Ek merasa terkejut sekali, maka iapun buru-buru mengeluarkan kepandaian simpanannya. Dengan mengatur napasnya menjadi panjang dan lama ia kerahkan lweekang dan ginkangnya lalu mainkan silat Rajawali Sakti.

Yakni ilmu pukulan rahasia yang telah dipelajarinya bertahun-tahun dan merupakan kepandaian simpanan yang membuat ia tak terkalahkan sampai berpuluh-puluh tahun lamanya menjagoi di dunia kang-ouw. Tubuhnya berubah ringan sekali dan berloncatan bagaikan seekor rajawali menyambar-nyambar dari segala jurusan, sedangkan dari mulutnya keluar siulan-siulan tajam mengiris jantung untuk mengimbangi suara suling lawannya.

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Demikianlah, yang seorang bergerak lambat-lambatan tapi kokoh-kuat sedangkan yang seorang lagi bergerak cepat dan lincah sekali hingga merupakan tandingan yang jarang terdapat, tapi keadaan mereka tetap seimbang. Sin Wan dan Giok Ciu yang berdiri berdampingan sambil melihat pertempuran itu, merasa kagum berbareng khawatir kalau-kalau seorang di antara keduanya terluka. Oleh karena itu maka keduanya lalu berseru,

“Hai! Jangan bertempur, kami berada disini!”

Mendengar teriakan kedua anak itu, Kang Lam Ciuhiap dan si Macan terbang kenali cucunya dan anaknya masing-masing, maka dengan heran sekali mereka loncat mundur lalu memandang. Diam-diam kedua orang tua kosen ini merasa terkejut sekali. Bagaimana mereka berdua sampai tidak mendengar kedatangan kedua anak itu?

Padahal, biarpun mereka sedang bertempur mati-matian, mereka pasti akan dapat mendengar jika ada orang lain datang di dekat situ. Untuk ini telinga mereka sudah cukup terlatih. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa kedua anak itu telah memiliki ilmu ginkang yang berlipat ganda kehebatannya dengan kepandaian mereka sebelum mengalami hal-hal yang berbahaya itu.

“Ayah!”

“Ngkong!”

Kedua anak itu lari ke masing-masing orang tuanya dengan gerakan demikian cepatnya hingga membuat Bun Gwat Kong dan Kwie Cu Ek melenggong!

“Eh, eh, anak nakal. Kau datang dari mana?”

kedua orang tua itu berbareng tegur mereka. Maka ramailah keduanya menceritakan pengalaman mereka kepada masing-masing orang tua itu yang mendengarkan dengan mulut ternganga keheranan. Setelah kedua anak itu habis bercerita, Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong lalu menghampiri Kwie Cu Ek dan berkata sambil tertawa dan elus-elus jenggotnya.

“Sungguh lucu, kita orang-orang tua saling sibuk gebuk seperti kerbau gila, sedangkan kedua anak yang kita cari tahu-tahu selamat tidak apa-apa, bahkan mendapat untung besar.”

Kwie Cu Ek juga tertawa besar. “Kau orang tua sungguh lihay sekali membuat aku yang muda tunduk. Bolehkan kiranya aku ketahui nama besarmu?”

“Ha ha ha! Mana aku tua bangka dapat dibandingkan dengan kau yang gagah? Aku sudah lama tinggalkan dunia kang-ouw dan tenaga makin habis tubuh juga makin tua dan bobrok. Namaku Bun Gwat Kong, dan siapakah kau yang selihai ini?”

Terkejutlah Kwi Cu Ek mendengar nama ini, ia lalu tertawa girang dan menjura tanda hormat. “Ah, ah, sungguh benar kata orang. Kalau sengaja dicari-cari, sampai di ujung dunia juga tidak bertemu, kalau tidak disengaja, tiba-tiba saja berhadapan dengan Kang Lam Ciuhiap yang terkenal. Sungguh beruntung! Telah bertahun-tahun aku mendengar nama Kang Lam Ciuhiap yang besar dan hari ini aku Kwie Cu Ek telah membuktikan sendiri kebenaran nama besar itu!”

“Apa? Jadi kau ini Kwie Cu Ek si Harimau Terbang?” berkata Bun Gwat Kong dengan heran. “Pantas saja kau lihai sekali dan masih untung tubuhku tidak terbinasa dalam tanganmu. Tapi yang mengherankan sekali, kenapa kau juga berada disini? Apakah kau juga tinggal di atas gunung ini?”

Kwie Cu Ek menghela napas duka. “Dunia sudah berubah banyak semenjak kau pergi. Dulu aku mendengar tentang malapetaka yang menimpa diri putera mantumu dan aku tahu pula bahwa yang membunuh para pembesar anjing itu adalah kau orang tua. Tapi, memang nasib rakyat jelata yang buruk! Kata orang Kaisar adalah manusia pilihan Thian, tapi agaknya kali ini Thian telah salah memilih orang yang menjadi Kaisar! Raja lalim itu hanya tahu berpelesir dan bersenang-senang saja hingga ia tidak tahu sama sekali keadaan rakyatnya yang tertindas. Tidak tahu bahwa para dorna dan pembesar anjing memegang kekuasaan penuh di seluruh negeri. Rakyat yang sudah tertindas, makin menderita lagi dengan turunnya wabah penyakit bermacam-macam dan bencana alam berupa banjir besar yang menghabiskan jiwa dan harta. Keluargaku juga terkena bencana ketika kampung kami terserang wabah penyakit, hingga isteriku, Ibu anakku Giok Ciu ini meninggal dunia.”

Sampai disini Kwie Cu Ek berhenti dan tampak berduka. Giok Ciu yang mendengar bicara Ayahnya disamping dan melihat Ayahnya bersedih, lalu menubruk orang tua itu. Kang Lam Ciuhiap menghela napas dan diam-diam ia merasa kasih kepada si Harimau Terbang yang biarpun usianya baru empat puluh tahun, tapi sebagian besar rambut kepalanya telah putih. Tapi hanya sebentar saja Kwie Cu Ek berduka, karena ia segera tindas perasaannya yang tertekan dan sambil memandang Sin Wan ia berkata,

“Anak ini cucumu, bukan? Hm, ia baik juga, tidak mengecewakan menjadi cucu Kang Lam Ciuhiap!” demikian ia memuji sejujurnya.

“Anakmu juga berbakat baik,” si Kakek memuji juga.

Tiba-tiba Kwie Cu Ek bangun berdiri. “Setelah kau tersesat sampai disini, kau harus mampir di tempat tinggalku. Tidak jauh dari sini, tuh di atas bukit sebelah timur itu!”

“Baik, baik. Kita memang tetangga dekat dan sudah sepantasnya saling mengunjungi.” Jawab Bun Gwat Kong gembira.

“Giok Ciu, kau ajak temanmu itu pergi dulu dan di rumah kau boleh sediakan makan seadanya untuk tamu-tamu kita!” kata si Harimau Terbang kepada anaknya.

“Baik, Ayah,” jawab Giok Ciu yang lalu berpaling kepada Sin Wan dan berkata, “Hayo, Sin Wan, kita berlumba kerumahku!”

Sin Wan tersenym gembira dan kedua anak itu segera loncat dan lari cepat sekali ke arah bukit yang di tunjuk oleh Kwie Cu Ek tadi. Kwie Cu Ek tertawa gembira melihat tingkah anaknya dan ia berkata kepada Kang Lam Ciuhiap.

“Mereka dapat bergaul rapat sekali!”

Tiba-tiba kedua mata Kakek itu bersinar gembira dan wajahnya berseri. “Eh Kwie Enghiong bagaimana kalau mereka itu dijodohkan saja? Kalau kau tidak mencela Sin Wan dan tidak keberatan mempunyai mantu sebodoh ia, sekarang juga kulamar anakmu itu untuk Sin Wan!”

Kwie Cu Ek terperanjat dan pandang muka Kakek itu dengan heran. “Aah, Ciuhiap mengapa begini aneh? Anakku baru berusia sepuluh tahun dan cucumu itupun paling banyak baru...”

“Ia juga sepuluh tahun lebih, hampir sebelas...” Kakek itu memotong.

“Nah, mereka itu keduanya masih kanak-kanak, tidak pantas dikawinkan!”

Maka tertawalah Kang Lam Ciuhiap dengan keras, “Bukan kawin sekarang, maksudku kita ikat mereka dengan tali pertunangan. Mereka itu kulihat berjodoh.”

Keduanya saling pandang agak lama, agaknya untuk menyelami hati dan pikiran masing-masing, kemudian Kwie Cu Ek maju pegang lengan Kakek itu sambil berkata gembira,

“Baik, orang tua, aku percaya penuh kepadamu. Kau orang jujur. Eh, siapa nama cucumu itu?”

“Bun Sin Wan.”

“Nah, biarlah, mulai saat ini Kwie Giok Ciu anakku itu menjadi calon isteri atau tunangan Bun Sin Wan, cucu Kang Lam Ciuhiap.”

“Ha ha ha! bagus, bagus! Kalau kau perlu tahu, dapat juga aku ceritakan tentang almarhum Ayahnya, mantuku itu.”

“Ah, siapakah yang tidak kenal Bun taijin? Mantumu adalah pembesar yang adil dan jujur, kalau tidak demikian sifatnya, mana dia bisa dihukum mati oleh Kaisar lalim?”

“Kau pintar, sungguh Sin Wan boleh bangga mempunyai mertua seperti kau ini!”

Sekali lagi empek gagah itu tertawa senang. “Nah, hayo kita susul mereka. Kita harus rayakan ikatan ini dengan arak wangi. Kebetulan sekali aku mempunyai simpanan arak dari Hunlim yang telah puluhan tahun umurnya"

Wajah Kang Lam Ciuhiap tiba-tiba berseri. “Apa kau kata? Arak wangi dari Hunlim? Aah, bagus sekali. Hayo kita pergi, mau tunggu apa lagi?”

Maka keduanya menggunakan ilmu lari cepat menyusul kedua anak yang telah pergi lebih dulu itu.

“Eh, Kwi Enghiong, tahukah kau bahwa kedua anak kita kelak akan menjadi pendekar-pendekar yang tiada taranya di muka bumi ini?”

“Akupun sedang berpikir dan tak habis mengerti, Lo-Ciuhiap,” kata Kwie Cu Ek sambil berlari cepat di samping Kakek itu. “Kedua anak itu belum lama mendahului kita, tapi sampai sekarang belum juga kita bisa mengejar mereka. Sungguh ajaib sekali, buah apakah gerangan yang demikian mujijat dan menambah tenaga mereka berlipat ganda?”

“Itulah kurnia Thian Yang Maha Esa, Kwie Enghiong. Dan tepat sekali kalau kukatakan tadi bahwa mereka memang berjodoh satu kepada yang lain,” kata si empek gagah.

Biarpun mereka percepat lari mereka, ternyata ketika mereka tiba di depan pondok kayu tempat tinggal Macan Terbang, kedua anak itu telah tisa disitu dan Giok Ciu sedang sibuk mencabuti bulu ayam dan Sin Wan sibuk mengumpulkan kayu kering. Ternyata menghadapi Giok Ciu yang tentu saja lebih pandai masak dari padanya, Sin Wan tunduk dan taat akan segala perintah Giok Ciu ketika ia menawarkan diri untuk membantunya.

“Kami mempunyai beberapa belas ekor ayam,” kata gadis kecil itu dengan gembira, “Ayah dulu membeli beberapa ekor induk ayam dan kini telah menjadi belasan ekor.”

Kemudian Giok Ciu tangkap dua ekor ayam yang paling gemuk dan suruh Sin Wan memotongnya. Dengan cekatan gadis yang sejak masih kecil telah ditinggal Ibunya dan pandai masak karena terpaksa itu, memotong-motong daging ayam dan memasaknya, dibantu oleh Sin Wan, sedangkan Kang Lam Ciuhiap dan Hui-Houw Kwie Cu Ek bercakap-cakap dengan gembira di luar pondok yang kecil itu.

Kang Lam Ciuhiap memuji Kwie Cu Ek yang dikatakan pandai memilih tempat. Memang tempat di situ indah sekali pemandangannya, lagipula nyaman hawanya. Dibanding dengan lereng-lereng lain di gunung itu tempat ini yang terindah dengan puncak Kam-Hong-An yang tinggi menjulang di atasnya merupakan atap tertutup awan. Kwie Cu Ek semenjak ditinggal mati isterinya, telah lima tahun tinggal di situ dengan anaknya, dan agar Giok Ciu tidak terasing sama sekali dari pergaulan manusia, ia seringkali ajak anak gadisnya turun gunung di kaki gunung.

Setelah Giok Ciu agak besar dan memiliki kepandaian hingga tidak berbahaya baginya untuk turun gunung seorang diri, seringkali anak perempuan ini mengunjungi kampung-kampung itu dan bermain-main. Karena ini maka Giok Ciu tidak merasa sangat kesunyian...

Kisah Sepasang Naga Jilid 03

KISAH SEPASANG NAGA JILID 03

Giok Ciu yang merasa lapar sekali dan belum puas makan roti kering pemberian Sin Wan, segera petik buah itu dan bawa ke mulutnya.

“Giok Ciu, tahan dulu!” kata Sin Wan cepat.

“Ada apa? Kalau kau mau, petiklah itu.” Jawab Giok Ciu.

“Buka begitu, Giok Ciu. Buah ini kita tidak tahu apakah boleh dimakan atau tidak. Bagaimana kalau mengandung racun?”

"Tapi baunya enak sekali, kurasa tidak beracun,” jawab Giok Ciu. “Pula lebih mati makan buah beracun daripada mati kelaparan.”

“Kalau begitu, biarlah aku yang mencobanya dulu!” kata Sin Wan.

“Ah, kau ini anak laki-laki memang hendak mencari enaknya sendiri saja! Apa-apa hendak mendahului!”

“Kalau begitu, biarlah kita makan bersama,” kata Sin Wan yang lalu petik sebuah lagi.

Mereka berbareng gigit buah itu dan saling pandang heran. Ternyata buah itu manis dan harum sekali, rasanya lezat dan segar. Karena hanya ada enam butir di situ, maka masing-masing makan tiga. Dan betul-betul heran, setelah makan tiga butir buah mereka merasa kenyang dan mengantuk sekali hingga hampir-hampir tak kuat menahan pula. Bagaikan orang mabuk, Giok Ciu terhuyung-huyung dan hampir jatuh.

Sin Wan berseru, “Celaka, kita makan buah beracun!” dan ia masih sempat peluk tubuh kawannya yang hendak roboh.

Tapi ternyata Giok Ciu telah tidur pulas dalam pelukannya. Dengan hati-hati dan perlahan Sin Wan baringkan tubuh kawannya itu di atas tanah, sedangkan ia sendiri yang sudah tak dapat menahan rasa kantuknya lagi, segera rebahkan diri di atas tanah yang tertutup pasir itu. Sebentar saja ia mengorok karena tertidur pulas!

Kedua anak itu tidak merasa bahwa mereka terus tidur sampai sumur itu menjadi gelap karena matahari telah terbenam. Semalam penuh lewat tanpa mereka ketahui sama sekali, juga mereka tidak merasa betapa hawa dingin mengalir masuk dari lubang mulut naga itu karena mereka telah tertidur lelap sekali.

Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari telah masuk ke dalam sumur, Giok Ciu bangun lebih dulu. Gadis cilik ini merasa perutnya mulas dan sakit bagaikan diremas-remas dari dalam hingga ia bangun duduk sambil pegang-pegang perutnya. Ia merasa hendak buang air besar, maka ia bingung sekali dan tidak berani bangunkan Sin Wan yang masih tidur enak, karena malu. Ia lari kesana kemari mencari tempat untuk buang air, tapi sekelilingnya hanya dinding batu.

Sedangkan perutnya terasa makin sakit dan terdengar suara berkeruyukan di dalam perutnya. Peluh dingin memenuhi muka Giok Ciu yang menahan-nahan rasa sakit, dan akhirnya ia tak kuat lagi. Dengan cepat ia loncat di sebelah kiri rangka kedua ular itu dan cepat buka pakaiannya. Dan disudut situlah ia buang air besar yang banyak sekali seakan-akan perutnya dikuras habis. Kotoran keluar dari perutnya tiada hentinya hingga Giok Ciu hampir menangis karena malu.

Ah, bagaimana kalau Sin Wan tahu? Ia tekap muka dengan kedua tangan dan tubuhnya terasa lemas sekali karena benar-benar semua kotoran dalam perutnya terkuras keluar! Tapi tiba-tiba Giok Ciu pasang telinga dan mendengarkan dengan teliti. Ia mendengar suara Sin Wan mengeluh dan sebentar lagi ia mendengar suara orang buang air di sebelah kanan rangka ular itu!

Hampir Giok Ciu tak dapat menahan rasa gelinya karena ia maklum apa yang telah terjadi di balik rangka yang menghalangi mereka itu! Ternyata Sin Wan juga telah sadar dari tidurnya dan mengalami nasib yang sama seperti dia! Maka legalah hati Giok Ciu. Kenapa mesti malu kalau pemuda itupun berhal seperti dia?

Karena perut kedua anak itu dikuras bersih dan habis, dan di dalam ruangan itu tersiar bau yang tidak sedap hingga keduanya merasa jengah dan malu. Masing-masing tidak berani berdiri, biarpun buang air itu telah selesai dan tidak ada apa-apa lagi di dalam perut mereka yang dapat keluar. Giok Ciu hanya mendengarkan saja dan tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Juga suara rintihan Sin Wan sudah lenyap dan ia tidak tahu apakah pemuda itu masih berada di balik rangka ular atau tidak. Tak lama kemudian terdengar suara Sin Wan, dibalik rangka.

“Giok Ciu, ternyata kita telah makan buah beracun hingga perut kita dikuras habis! Barusan aku menuju ke tikungan sebelah kiri dan tak jauh dari situ jika kau berjalan terus kau akan menemukan sebuah pancuran air. Tadi aku telah ke situ untuk cuci badan dan cuci pakaian. Kau kesanalah, Giok Ciu!”

Giok Ciu tidak menjawab, tapi diam-diam ia melangkah ke tikungan yang ditunjuk oleh Sin Wan itu. Ketika memasuki tikungan, ia mengerling ke arah Sin Wan dan hatinya berterima kasih sekali ketika melihat Sin Wan sengaja berdiri membelakangi tikungan itu hingga tidak melihatnya. Biarpun tubuhnya lemas tidak bertenaga, Giok Ciu cepat lari ke depan dan betul saja, tak jauh dari situ ia melihat air memancur keluar dari sebuah batu yang terbelah. Ia cepat cuci tubuhnya dan bersihkan dir, maka ia makan waktu yang agak lama.

Ketika dengan badan lemas tapi hati lega ia pakai kembali pakaiannya dan pergi ke ruang rangka ular itu, ia melihat betapa Sin Wan telah menggali lantai pasir di situ dan telah pendam semua kotoran yang berada disitu, juga kotoran Giok Ciu! Perbuatan Sin Wan ini tepat sekali karena dengan terpendamnya semua kotoraan itu, maka bau busuk juga lenyap. Tapi Giok Ciu merasa malu sekali karena kawannya itu dengan tak merasa jijik telah pendam kotorannya pula.

“Kenapa tidak kau biarkan aku melakukan itu sendiri?” ia mencela dengan mulut memberengut, tapi sepasang matanya memandang dengan berterima kasih.

“Ah, apa bedanya Giok Ciu? Tak perlu hal seremeh itu dibicarakan. Yang penting sekarang marilah kita pikirkan nasib kita. Ternyaa bahwa buah putih yang lezat itu mengandung racun hingga is perut kita terkuras kosong! Bagaimana sekarang? Masih baik kita tidak terracun mati, tapi dengan perut kosong dan lapar seperti ini, kita dapat bertahan sampai kapan?”

“Baiknya masih ada air dan kita boleh minum secukupnya,” kata Giok Ciu.

Sin Wan tak sengaja memandang ke atas melihat semacam tetumbuhan di dinding sumur. Tetumbuhan kecil itu juga berbuah dan buahnya berwarna merah dan kecil-kecil. Sayang sekali tempat tetumbuhan itu sangat tinggi hingga tak mungkin ia meloncat mengambilnya.

“Itu ada buah merah, entah buah apa.” Kata Sin Wan dengan sedih.

Giok Ciu berdongak dan juga melihat buah itu. Ia lalu enjot tubuhnya yang lemah ke atas. Dan Sin Wan kagum sekali melihat betapa tubuh gadis cilik itu melakang ke atas dan dapat memetik sekepal buah-buah kecil!

“Kau hebat betul, Giok Ciu!” ia memuji, tapi Giok Ciu pandang ia dengan mata terbelalak.

“Sin Wan sungguh aneh. Mengapa tubuhku menjadi begini ringan? Biasanya tak mungkin aku dapat loncat setinggi dan semudah itu! Apa yang terjadi?”

Sin Wan memang cerdik dan otaknya dapat bekerja cepat. Tentu ini adalah pengaruh buah mujijat yang mereka makan itu. Kalau pengaruhnya menguasai tubuh Giok Ciu, mengapa ia tidak? Sin Wan lalu berdiri di bawah tetumbuhan itu dan iapun enjot tubuhnya. Sungguh heran! Hampir ia berteriak girang karena tubuhnya melayang ke atas demikian cepat dan ringan hingga dengan mudah ia dapat ambil buah-buah itu!

Kedua anak itu girang sekali hingga mereka makan buah yang rasanya manis itu sambil tertawa-tawa. Buah kecil merah itu ternyata berat sekali, tidak sesuai dengan kecilnya. Rasanyapun sedap dan manis, dan baru makan beberapa butir saja mereka telah merasa kenyang. Tentu saja kedua anak itu girang bukan main.

“Giok Ciu, ini tentu pengaruh kesaktian kedua rangka ini yang menolong kita. Kedua macam buah yang telah kita makan itu tentu buah dewa yang hanya terdapat di tempat suci ini. Hayo kita menghaturkan terima kasih kepada dua rangka itu,” kata Sin Wan.

Giok Ciu menyetujui pendapat ini dan mereka berlutut di depan dua buah rangka ular itu untuk menghaturkan terima kasih mereka. Setelah mendapat kenyataan bahwa tubuh mereka menjadi ringan sekali akibat khasiat yang mujijat dari buah-buah yang mereka makan, dua orang ini lalu mencoba keluar lagi dari dasar sumur.

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya keduanya berhasil meloncat ke luar dari sumur. Ilmu ginkang mereka maju demikian pesatnya sehingga dalam melompat keluar ini, tidak saja amat mudah, bahwa mereka masih berhasil menjambret sisa buah-buah merah itu. Giok Ciu ternyata memiliki keringan dan kecepatan lebih hebat sehingga dia berhasil memetik lebih banyak buah-buah merah mujijat.

Melihat bahwa Sin Wan hanya mendapatkan tidak berapa banyak, Giok Ciu dengan rela lalu membagi buah kepada Sin Wan sehingga mereka mendapat bagian jumlah yang sama. Bukan main girang dan gembira hati dua orang anak ini. Mereka lalu berlumba untuk mencoba ginkang mereka, berlari-lari saling kejar dan ternyata gerakan mereka luar biasa pesatnya bagaikan dua ekor burung terbang saja. Tiba-tiba keduanya berhenti berlari.

“Kau mendengar sesuatu?” tanya Sin Wan.

Giok Ciu mengangguk. Keduanya lebih memperhatikan dan terdengarlah oleh mereka suara tiupan suling diselingi siulan-siulan aneh. Terkejutlah mereka karena masing-masing mengenal baik suara itu. Sin Wan mengenal suling itu yang bukan lain adalah tiupan suling Engkongnya, Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong dan kalau Engkongnya meniup suling itu, berarti sedang mainkan ilmu silatnya untuk melawan musuh berat. Sebaliknya, Giok Ciu juga mengenal siulan-siulan itu adalah siulan pertempuran dari Ayahnya, Kwie Cu Ek.

Dua orang anak ini tidak membuang waktu lagi, cepat mereka melesat pergi, berlari-lari seperti terbang menuju ke arah suara itu. Sukar untuk mengikuti gerakan bayangan mereka karena ginkang mereka yang betul-betul luar biasa itu. Ketika keduanya tiba di sebuah jalan tikungan, mendadak mereka berhenti dan berdiri di situ dengan bengong, keduanya tampak khawatir sekali melihat pertempuran antara dua orang yang bagi orang lain tentu dianggap main-main. Tapi Sin Wan dan Giok Cu maklum bahwa kedua orang yang sedang bertempur itu berada dalam kedudukan berbahaya dan keduanya sedang keluarkan ilmu mereka yang tertinggi!

Yang seorang adalah Kang Lam Ciu hiap Kakek yang lihai dari Sin Wan. Kakek itu bertempur sambil pegang sebatang suling dan tiup-tiup suling itu dalam lagu yang tak keruan dan membuat sakit anak telinga! Ia bersilat dengan tenang dan gerak kaki yang teguh sekali sedangkan kedua tangannya memegang sulingnya yang ditiup-tiup hanya kadang-kadang. Ia angkat tangan kanan dan kiri untuk menangkis atau menyerang. Dengan cara demikian gerakannya tak terduga lawannya.

Lawannya juga mempunyai cara bertempur yang aneh. Ia adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan gerak-geriknya gesit sekali. Ia bersilat bagaikan gerakan seekor burung, kedua lengannya terpentang bagaikan sayap dan kakinya berloncat-loncatan keatas, kadang-kadang tinggi sekali dan turunnya langsung menerjang lawannya. Mulutnya dimoncongkan dan dari bibirnya keluarlah siulan-siulan aneh dan nyaring, dan dalam hal menyakiti anak telinga, siulan itu tidak kalah oleh suara suling! Laki-laki ini bukan lain ialah Kwie Cu Ek Ayah Giok Ciu, seorang tokoh Kun-Lun-pai yang sangat terkenal dan digelari orang Hui-Houw atau Macan terbang.

Bagaimana kedua orang gagah itu dapat terlibat pertempuran mati-matian ini? Sebenarnya ini hanyalah suatu kesalah-pahaman yang timbul dari hati bingung karena masing-masing telah sehari semalam berkeliaran di seluruh permukaan bukit Kam-Hong-San, yang seorang mencari cucunya yang seorang mencari anaknya!

Ketika Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, empek yang lihai itu sedang mencari-cari cucunya dengan hati cemas dan bingung karena telah sehari semalam ia mencari dengan sia-sia, ia mulai berteriak-teriak memanggil nama Sin Wan. Karena ia gunakan tenaga Tian-tan yang dikerahkan ke dalam suaranya, maka suara itu dapat terdengar oleh Kwie Cu Ek yang memang semenjak kemarin telah meencari sambil memanggil-manggil.

Karena jarak mereka tadinya sangat jauh, seorang di lereng sebelah timur dan yang seorang laagi di sebelah barat, maka tadinya suara mereka tidak terdengar. Tapi kini mereka telah saling mendekati hingga Kwie Cu Ek mendengar juga teriakan Bun Gwat Kong. Cu Ek sendiri telah berteriak-teriak memanggil nama anaknya sehingga Bun Gwat Kong mendengar pula suaranya.

Setelah saling mendengar suara masing-masing, maka kedua orang tua itu timbul harapan baru dan cepat menuju ke suara yang mereka dengar. Tapi alangkah kecewa hati mereka ketika mereka saling bertemu di sebuah lereng gunung dan melihat bahwa yang muncul hanyalah seorang asing. Timbullah hati curiga di kedua belah pihak.

Kang Lam Ciuhiap yang beradat keras segera mendakwa Kwie Cu Ek menculik cucunya, sebaliknya Kwie Cu Ek melihat seorang Kakek yang aneh dan berada keras itu, memakinya sebagai siluman gunung yang mencuri anaknya. Tak dapat dicegah pula keduanya lalu bertarung!

Baru segebrakan saja, terkejutlah kedua fihak karena ternyata masing-masing memiliki kepandaian silat tinggi dan merupakan lawan yang berat. Namun karena hati mereka telah nekad dan terdorong oleh rasa duka dan bingung kehilangan anak-anak yang dikasihi, mereka tidak mau saling mengalah.

Setelah bertempur ratusan jurus dengan keadaan masih seimbang, tiba-tiba Kang Lam Ciuhiap cabut keluar sulingnya dari ikat pinggang. Ia memang memiliki dua macam kepandaian hebat, yakni yang pertama, ia pandai gunakan arak untuk disemburkan dengan kekuatan lweekang sepenuhnya hingga arak biasa itu dapt menjadi senjata yang ampuh, karena lawan yang kena sembur mukanya jika tidak cepat berkeliat bisa menjadi buta matanya.

Kelihaiannya yang kedua juga berdasarkan ilmu lweekang yang dalam dan terlatih sempurna, jika sambil bertempur ia tiup sulingnya dengan suara demikian nyaring dan tinggi rendah tak karuan hingga tidak saja dapat membingungkan dan menyakiti hati dan telinga lawan, juga bisa membuat jantung berdebar-debar dan melemahkan lawannya! Gerakan bersilat sambil meniup suling juga menjadi lambat dan kokoh kuat, namun semua gerakan disertai tenaga lweekang yang hebat!

Melihat kehebatan lawannya dan merasa betapa isi perutnya bagaikan diaduk dan jantungnya bagaikan ditusuk-tusuk pisau tajam ketika mendengar suara tiupan suling, Kwie Cu Ek merasa terkejut sekali, maka iapun buru-buru mengeluarkan kepandaian simpanannya. Dengan mengatur napasnya menjadi panjang dan lama ia kerahkan lweekang dan ginkangnya lalu mainkan silat Rajawali Sakti.

Yakni ilmu pukulan rahasia yang telah dipelajarinya bertahun-tahun dan merupakan kepandaian simpanan yang membuat ia tak terkalahkan sampai berpuluh-puluh tahun lamanya menjagoi di dunia kang-ouw. Tubuhnya berubah ringan sekali dan berloncatan bagaikan seekor rajawali menyambar-nyambar dari segala jurusan, sedangkan dari mulutnya keluar siulan-siulan tajam mengiris jantung untuk mengimbangi suara suling lawannya.

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Demikianlah, yang seorang bergerak lambat-lambatan tapi kokoh-kuat sedangkan yang seorang lagi bergerak cepat dan lincah sekali hingga merupakan tandingan yang jarang terdapat, tapi keadaan mereka tetap seimbang. Sin Wan dan Giok Ciu yang berdiri berdampingan sambil melihat pertempuran itu, merasa kagum berbareng khawatir kalau-kalau seorang di antara keduanya terluka. Oleh karena itu maka keduanya lalu berseru,

“Hai! Jangan bertempur, kami berada disini!”

Mendengar teriakan kedua anak itu, Kang Lam Ciuhiap dan si Macan terbang kenali cucunya dan anaknya masing-masing, maka dengan heran sekali mereka loncat mundur lalu memandang. Diam-diam kedua orang tua kosen ini merasa terkejut sekali. Bagaimana mereka berdua sampai tidak mendengar kedatangan kedua anak itu?

Padahal, biarpun mereka sedang bertempur mati-matian, mereka pasti akan dapat mendengar jika ada orang lain datang di dekat situ. Untuk ini telinga mereka sudah cukup terlatih. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa kedua anak itu telah memiliki ilmu ginkang yang berlipat ganda kehebatannya dengan kepandaian mereka sebelum mengalami hal-hal yang berbahaya itu.

“Ayah!”

“Ngkong!”

Kedua anak itu lari ke masing-masing orang tuanya dengan gerakan demikian cepatnya hingga membuat Bun Gwat Kong dan Kwie Cu Ek melenggong!

“Eh, eh, anak nakal. Kau datang dari mana?”

kedua orang tua itu berbareng tegur mereka. Maka ramailah keduanya menceritakan pengalaman mereka kepada masing-masing orang tua itu yang mendengarkan dengan mulut ternganga keheranan. Setelah kedua anak itu habis bercerita, Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong lalu menghampiri Kwie Cu Ek dan berkata sambil tertawa dan elus-elus jenggotnya.

“Sungguh lucu, kita orang-orang tua saling sibuk gebuk seperti kerbau gila, sedangkan kedua anak yang kita cari tahu-tahu selamat tidak apa-apa, bahkan mendapat untung besar.”

Kwie Cu Ek juga tertawa besar. “Kau orang tua sungguh lihay sekali membuat aku yang muda tunduk. Bolehkan kiranya aku ketahui nama besarmu?”

“Ha ha ha! Mana aku tua bangka dapat dibandingkan dengan kau yang gagah? Aku sudah lama tinggalkan dunia kang-ouw dan tenaga makin habis tubuh juga makin tua dan bobrok. Namaku Bun Gwat Kong, dan siapakah kau yang selihai ini?”

Terkejutlah Kwi Cu Ek mendengar nama ini, ia lalu tertawa girang dan menjura tanda hormat. “Ah, ah, sungguh benar kata orang. Kalau sengaja dicari-cari, sampai di ujung dunia juga tidak bertemu, kalau tidak disengaja, tiba-tiba saja berhadapan dengan Kang Lam Ciuhiap yang terkenal. Sungguh beruntung! Telah bertahun-tahun aku mendengar nama Kang Lam Ciuhiap yang besar dan hari ini aku Kwie Cu Ek telah membuktikan sendiri kebenaran nama besar itu!”

“Apa? Jadi kau ini Kwie Cu Ek si Harimau Terbang?” berkata Bun Gwat Kong dengan heran. “Pantas saja kau lihai sekali dan masih untung tubuhku tidak terbinasa dalam tanganmu. Tapi yang mengherankan sekali, kenapa kau juga berada disini? Apakah kau juga tinggal di atas gunung ini?”

Kwie Cu Ek menghela napas duka. “Dunia sudah berubah banyak semenjak kau pergi. Dulu aku mendengar tentang malapetaka yang menimpa diri putera mantumu dan aku tahu pula bahwa yang membunuh para pembesar anjing itu adalah kau orang tua. Tapi, memang nasib rakyat jelata yang buruk! Kata orang Kaisar adalah manusia pilihan Thian, tapi agaknya kali ini Thian telah salah memilih orang yang menjadi Kaisar! Raja lalim itu hanya tahu berpelesir dan bersenang-senang saja hingga ia tidak tahu sama sekali keadaan rakyatnya yang tertindas. Tidak tahu bahwa para dorna dan pembesar anjing memegang kekuasaan penuh di seluruh negeri. Rakyat yang sudah tertindas, makin menderita lagi dengan turunnya wabah penyakit bermacam-macam dan bencana alam berupa banjir besar yang menghabiskan jiwa dan harta. Keluargaku juga terkena bencana ketika kampung kami terserang wabah penyakit, hingga isteriku, Ibu anakku Giok Ciu ini meninggal dunia.”

Sampai disini Kwie Cu Ek berhenti dan tampak berduka. Giok Ciu yang mendengar bicara Ayahnya disamping dan melihat Ayahnya bersedih, lalu menubruk orang tua itu. Kang Lam Ciuhiap menghela napas dan diam-diam ia merasa kasih kepada si Harimau Terbang yang biarpun usianya baru empat puluh tahun, tapi sebagian besar rambut kepalanya telah putih. Tapi hanya sebentar saja Kwie Cu Ek berduka, karena ia segera tindas perasaannya yang tertekan dan sambil memandang Sin Wan ia berkata,

“Anak ini cucumu, bukan? Hm, ia baik juga, tidak mengecewakan menjadi cucu Kang Lam Ciuhiap!” demikian ia memuji sejujurnya.

“Anakmu juga berbakat baik,” si Kakek memuji juga.

Tiba-tiba Kwie Cu Ek bangun berdiri. “Setelah kau tersesat sampai disini, kau harus mampir di tempat tinggalku. Tidak jauh dari sini, tuh di atas bukit sebelah timur itu!”

“Baik, baik. Kita memang tetangga dekat dan sudah sepantasnya saling mengunjungi.” Jawab Bun Gwat Kong gembira.

“Giok Ciu, kau ajak temanmu itu pergi dulu dan di rumah kau boleh sediakan makan seadanya untuk tamu-tamu kita!” kata si Harimau Terbang kepada anaknya.

“Baik, Ayah,” jawab Giok Ciu yang lalu berpaling kepada Sin Wan dan berkata, “Hayo, Sin Wan, kita berlumba kerumahku!”

Sin Wan tersenym gembira dan kedua anak itu segera loncat dan lari cepat sekali ke arah bukit yang di tunjuk oleh Kwie Cu Ek tadi. Kwie Cu Ek tertawa gembira melihat tingkah anaknya dan ia berkata kepada Kang Lam Ciuhiap.

“Mereka dapat bergaul rapat sekali!”

Tiba-tiba kedua mata Kakek itu bersinar gembira dan wajahnya berseri. “Eh Kwie Enghiong bagaimana kalau mereka itu dijodohkan saja? Kalau kau tidak mencela Sin Wan dan tidak keberatan mempunyai mantu sebodoh ia, sekarang juga kulamar anakmu itu untuk Sin Wan!”

Kwie Cu Ek terperanjat dan pandang muka Kakek itu dengan heran. “Aah, Ciuhiap mengapa begini aneh? Anakku baru berusia sepuluh tahun dan cucumu itupun paling banyak baru...”

“Ia juga sepuluh tahun lebih, hampir sebelas...” Kakek itu memotong.

“Nah, mereka itu keduanya masih kanak-kanak, tidak pantas dikawinkan!”

Maka tertawalah Kang Lam Ciuhiap dengan keras, “Bukan kawin sekarang, maksudku kita ikat mereka dengan tali pertunangan. Mereka itu kulihat berjodoh.”

Keduanya saling pandang agak lama, agaknya untuk menyelami hati dan pikiran masing-masing, kemudian Kwie Cu Ek maju pegang lengan Kakek itu sambil berkata gembira,

“Baik, orang tua, aku percaya penuh kepadamu. Kau orang jujur. Eh, siapa nama cucumu itu?”

“Bun Sin Wan.”

“Nah, biarlah, mulai saat ini Kwie Giok Ciu anakku itu menjadi calon isteri atau tunangan Bun Sin Wan, cucu Kang Lam Ciuhiap.”

“Ha ha ha! bagus, bagus! Kalau kau perlu tahu, dapat juga aku ceritakan tentang almarhum Ayahnya, mantuku itu.”

“Ah, siapakah yang tidak kenal Bun taijin? Mantumu adalah pembesar yang adil dan jujur, kalau tidak demikian sifatnya, mana dia bisa dihukum mati oleh Kaisar lalim?”

“Kau pintar, sungguh Sin Wan boleh bangga mempunyai mertua seperti kau ini!”

Sekali lagi empek gagah itu tertawa senang. “Nah, hayo kita susul mereka. Kita harus rayakan ikatan ini dengan arak wangi. Kebetulan sekali aku mempunyai simpanan arak dari Hunlim yang telah puluhan tahun umurnya"

Wajah Kang Lam Ciuhiap tiba-tiba berseri. “Apa kau kata? Arak wangi dari Hunlim? Aah, bagus sekali. Hayo kita pergi, mau tunggu apa lagi?”

Maka keduanya menggunakan ilmu lari cepat menyusul kedua anak yang telah pergi lebih dulu itu.

“Eh, Kwi Enghiong, tahukah kau bahwa kedua anak kita kelak akan menjadi pendekar-pendekar yang tiada taranya di muka bumi ini?”

“Akupun sedang berpikir dan tak habis mengerti, Lo-Ciuhiap,” kata Kwie Cu Ek sambil berlari cepat di samping Kakek itu. “Kedua anak itu belum lama mendahului kita, tapi sampai sekarang belum juga kita bisa mengejar mereka. Sungguh ajaib sekali, buah apakah gerangan yang demikian mujijat dan menambah tenaga mereka berlipat ganda?”

“Itulah kurnia Thian Yang Maha Esa, Kwie Enghiong. Dan tepat sekali kalau kukatakan tadi bahwa mereka memang berjodoh satu kepada yang lain,” kata si empek gagah.

Biarpun mereka percepat lari mereka, ternyata ketika mereka tiba di depan pondok kayu tempat tinggal Macan Terbang, kedua anak itu telah tisa disitu dan Giok Ciu sedang sibuk mencabuti bulu ayam dan Sin Wan sibuk mengumpulkan kayu kering. Ternyata menghadapi Giok Ciu yang tentu saja lebih pandai masak dari padanya, Sin Wan tunduk dan taat akan segala perintah Giok Ciu ketika ia menawarkan diri untuk membantunya.

“Kami mempunyai beberapa belas ekor ayam,” kata gadis kecil itu dengan gembira, “Ayah dulu membeli beberapa ekor induk ayam dan kini telah menjadi belasan ekor.”

Kemudian Giok Ciu tangkap dua ekor ayam yang paling gemuk dan suruh Sin Wan memotongnya. Dengan cekatan gadis yang sejak masih kecil telah ditinggal Ibunya dan pandai masak karena terpaksa itu, memotong-motong daging ayam dan memasaknya, dibantu oleh Sin Wan, sedangkan Kang Lam Ciuhiap dan Hui-Houw Kwie Cu Ek bercakap-cakap dengan gembira di luar pondok yang kecil itu.

Kang Lam Ciuhiap memuji Kwie Cu Ek yang dikatakan pandai memilih tempat. Memang tempat di situ indah sekali pemandangannya, lagipula nyaman hawanya. Dibanding dengan lereng-lereng lain di gunung itu tempat ini yang terindah dengan puncak Kam-Hong-An yang tinggi menjulang di atasnya merupakan atap tertutup awan. Kwie Cu Ek semenjak ditinggal mati isterinya, telah lima tahun tinggal di situ dengan anaknya, dan agar Giok Ciu tidak terasing sama sekali dari pergaulan manusia, ia seringkali ajak anak gadisnya turun gunung di kaki gunung.

Setelah Giok Ciu agak besar dan memiliki kepandaian hingga tidak berbahaya baginya untuk turun gunung seorang diri, seringkali anak perempuan ini mengunjungi kampung-kampung itu dan bermain-main. Karena ini maka Giok Ciu tidak merasa sangat kesunyian...