Pendekar Kelana Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Ang I Sianjin merasa penasaran. Melihat betapa para anak buahnya sudah jatuh bangun, bahkan banyak yang tidak mampu membantunya lagi, dia pun menyerang dengan ganas, menusukkan pedangnya ke arah dada sambil menggerakkan kipasnya menyerang bagian muka Toa Ok.

Melihat ini Toa Ok mengerahkan tenaga dan cepat menggerakkan tongkatnya, menangkis pedang dan sekaligus menangkis kipas.

“Trangg...! Trakk...!”

Pedang di tangan Ang I Sianjin patah dan kipasnya juga terlepas dari tangan kirinya. Ang I Sianjian menjadi kaget dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan serangan Toa Ok. Ketika dia menoleh ke arah anak buahnya yang mengeroyok Ji Ok, dia melihat betapa anak buahnya juga sudah jatuh bangun dihajar oleh Ji Ok. Maklum bahwa kalau dilanjutkan hanya berarti mala petaka bagi anak buahnya, Ang I Sianjin berteriak.

“Hentikan pengeroyokan!”

Para anggota Kui-jiauw-pang menghentikan gerakan mereka dengan hati lega. Mereka menolong kawan-kawan yang terluka dan mundur. Ada di antara mereka yang menderita luka memar dan tulang patah, tetapi tidak ada yang terluka berat. Mereka memandang ke arah ketua mereka.

Ang I Sianjin menggerakkan tangan ke bawah jubahnya dan pada saat tangannya ditarik, maka keluarlah sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Ketika pedang digerakkan, nampak sinar laksana kilat menyambar dan membuat mata yang memandangnya menjadi silau!

Mudah mereka semua menduga pedang apakah itu. Tentu pedang yang dijadikan rebutan di antara orang-orang kangouw, yaitu pedang yang disebut Pek-lui-kiam (Pedang Kilat)!

Melihat pedang yang berada di tangan Ang I Sianjin itu, mata Toa Ok dan Ji Ok bersinar-sinar dan wajah mereka menjadi berseri-seri.

“Pek-lui-kiam,” kata mereka berbareng dan Ji Ok telah melangkah maju menghampiri Ang I Sianjin.

“Cepat berikan pedang itu kepada kami!” kata Ji Ok sambil menjulurkan tangan kanannya.

Namun Ang I Sianjin tidak mau menyerahkan pedang itu begitu saja. Dia menjura kepada dua orang datuk itu dan berkata dengan lantang. “Kami telah mendapat pelajaran dari ji-wi dan kami mengakui bahwa kami telah kalah. Akan tetapi pedang ini saya peroleh dengan susah payah. Karena itu, untuk mendapatkan pedang ini, siapa saja orangnya, harus bisa merampasnya dari tangan saya. Saya harap ji-wi tak mengabaikan aturan dunia kangouw ini!”

“Biarkan aku yang maju merampasnya, Ji Ok!” kata Toa Ok.

“Tidak perlu engkau yang turun tangan, Toa Ok,” jawab Ji Ok. “Cukup aku yang maju merampas Pek-lui-kiam dari tangan Ang I Sianjin!”

Ji Ok melangkah maju mendekati Ang I Sianjin. “Bersiaplah engkau, Ang I Sianjin. Aku hendak merampas Pek-lui-kiam dari tanganmu!”

“Silakan, saya sudah siap!” jawab Ang I Sianjin sambil melintangkan pedang pusaka itu di depan dadanya.

Dia maklum bahwa dalam ilmu silat, dia seimbang dengan tingkat kepandaian Ji Ok. Tadi dia sudah melihat gerakan datuk itu ketika dikeroyok banyak anak buahnya. Dengan Toa Ok pun dia hanya kalah sedikit, akan tetapi hanya sinkang yang amat kuat dari Toa Ok yang tidak dapat dia lawan.

Ji Ok juga maklum setelah memegang Pek-lui-kiam, Ang I Sianjin merupakan lawan yang sangat berbahaya dan tangguh. Senjata cambuknya tentu akan segera putus rusak ketika bertemu dengan pedang pusaka itu. Dia harus berhati-hati, karena sesudah Ang I Sianjin menggunakan pedang pusaka itu sebagai senjata, apa bila dia tidak berhati-hati, mungkin dia akan menjadi korban ketajaman Pek-lui-kiam.

“Awas serangan!” bentak Ji Ok dan cambuknya sudah menyambar dengan cepat ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang.

Ang I Sianjin menggerakan pergelangan tangannya dan pedang Pek-lui-kiam menyambar turun untuk menyambut pecut itu. Dia merasa yakin bahwa sekali sabet saja tentu pecut itu akan putus. Akan tetapi Ji Ok cepat menarik cambuknya dan kini cambuk menyambar ke arah kepala Ang I Sianjin. Ketua Kui-jiauw-pang ini cepat mengelak dengan miringkan kepala, lantas pedangnya menyambar dari bawah, mengarah lambung lawan.

Ji Ok terkejut. Tadinya dia mengira bahwa Ang I Sianjin akan menggunakan pedangnya hanya untuk melepaskan pedang dari bahaya terampas. Namun tidak tahunya pedang itu sekarang menyambar bagaikan tangan maut yang hendak menjangkaunya! Dia pun cepat meloncat ke belakang dan balas menyerang. Cambuknya meledak-ledak di angkasa dan berputar membentuk gulungan sinar.

Kedua orang itu segera terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian. Melihat betapa sukarnya dia merampas pedang, kini Ji Ok juga mempergunakan serangan bukan hanya untuk merampas pedang belaka, melainkan untuk melukai atau bahkan membunuh lawannya!

Terjadilah pertandingan yang sangat seru dan hebat. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga yang kelihatan hanyalah segulung sinar pedang yang berkilauan serta segulung sinar cambuk yang menghitam. Begitulah dalam penglihatan para anggota Kui-jiauw-pang.

Akan tetapi bagi Toa Ok, tentu saja dia dapat mengikuti jalannya perkelahian itu dengan jelas dan mulailah dia merasa khawatir. Bila tadi dia dapat mengalahkan Ang I Sianjin dan puluhan orang pembantunya karena dia menang tenaga sinkang, sekarang keadaannya lain lagi. Ang I Sianjin memegang sebatang pedang pusaka yang amat ampuh, sedangkan tingkat kepandaian silat ketua Kui-jiauw-pang itu tidak berselisih banyak jika dibandingkan tingkat Ji Ok. Karena itu dia khawatir sekali kalau-kalau Ji Ok tak akan mampu merampas pedang pusaka, bahkan dia mungkin akan menjadi korban pedang ampuh itu.

Pertandingan itu memang seru bukan kepalang. Ang I Sianjin menang senjata, akan tetapi Ji Ok menang tenaga sinkang dinginnya. Berulang kali Ji Ok menyerang dengan tangan kirinnya, menghantam dan pukulannya mendatangkan hawa dingin yang kadang membuat Ang I Sianjin gemetar.

Namun sambaran pedang Pek-lui-kiam juga membuat Ji Ok terdesak sehingga kadang-kadang dia terpaksa meloncat ke belakang dan mundur. Dengan demikian maka keadaan kedua orang tokoh ini menjadi berimbang sehingga sukar diduga siapa di antara mereka yang akan keluar sebagai pemenang.

Melihat hal ini Toa Ok menjadi khawatir. Oleh karena itu, pada saat pedang di tangan Ang I Sianjin terbelit oleh ujung cambuk di tangan Ji Ok, mendadak Toa Ok meloncat dengan tongkat ular di tangannya dan tongkat itu menyambar dengan cepat sekali ke depan.

Agaknya Ji Ok hendak merampas pedang itu dengan membelitkan cambuknya kemudian menarik cambuk supaya pedang itu terlepas dari pegangan Ang I Sianjin. Akan tetapi Ang I Sianjin menahan pedangnya, bahkan menggunakan gagang kipasnya untuk menotok ke arah dada Ji Ok.

Ketika Ji Ok mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk menarik pedang sedangkan tangan kirinya menyambut kipas dengan cengkeraman, tepat pada saat itu pula tongkat di tangan Toa Ok datang menyambar.

Ang I Sianjin terhuyung ke belakang, dan Ji Ok juga terhuyung ke belakang. Akan tetapi pedang itu sudah terlepas dari tangan Ang I Sianjiin dan langsung disambar oleh Toa Ok dengan cepatnya. Ternyata Toa Ok telah menotok siku lengan kanan Ang I Sianjin sambil mendorong dengan tangan kirinya hingga Ang I Sianjin terpaksa melepaskan pedangnya dan tubuhnya terdorong ke belakang. Sebaliknya cambuk di tangan Ji Ok putus dan Ji Ok terdorong oleh tenaga tarikannya sendiri sehingga terhuyung ke belakang.

Kini Ang I Sianjin sudah dapat berdiri tegak kembali. Dia tidak terluka dan dia memandang kepada Toa Ok dengan pemasaran. Melihat pedang pusakanya berada di tangan datuk yang bertubuh gendut itu, dia berkata dengan penasaran.

“Kalian telah bertindak curang! Kalian mengeroyokku!”

Toa Ok tertawa dan sama sekali dia tidak merasa malu disebut curang. Segala perbuatan keji dan jahat sudah dia lakukan bersama Ji Ok, apa lagi bertindak curang.

“Ha-ha-ha, Ang I Sianjin, jangan berlaku bodoh dan pura-pura gagah! Ketika kami berdua melawanmu beserta puluhan orang anak buahmu, bukankah itu juga suatu pengeroyokan? Kalau engkau masih penasaran, engkau boleh mencoba untuk merampas pedang ini dari tanganku, akan tetapi aku tidak mau berjanji untuk tidak membunuhmu!”

Ditantang demikian, Ang I Sianjin diam saja. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan menang melawan datuk gendut ini, apa lagi Toa Ok sudah memegang Pek-lui-kiam.

“Baiklah, Toa Ok. Aku mengaku kalah dan seperti yang sudah kujanjikan, aku bersama semua anggota Kui-jiauw-pang mengangkatmu sebagai pimpinan. Akan tetapi aku minta agar dapat menjadi saudara kalian dan disebut Sam Ok (Jahat Ketiga). Bagaimana?”

Toa Ok dan Ji Ok saling pandang lantas mereka berpikir. Mendapatkan pembantu seperti Ang I Sianjin sungguh menguntungkan, apa lagi beserta seratus orang lebih anggota Kui-jiauw-pang yang boleh diandalkan. Sebaliknya kalau mereka menolak, tentu pernyataan takluk dari Ang I Sianjin hanya pada lahirnya saja, namun kelak orang itu dapat menjadi musuh dalam selimut yang berbahaya.

“Baiklah, Sam Ok!” kata Toa Ok.

Ji Ok tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, bagus sekali! Kami senang sekali mempunyai saudara ke tiga, dan sekarang kita harus merayakan peristiwa ini, Sam Ok!”

Diam-diam Ang I Sianjin juga merasa girang. Dia tahu bahwa banyak orang yang memiliki kepandaian tinggi sedang berlomba-lomba untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Tadinya dia mengandalkan anak buahnya yang banyak. Akan tetapi ternyata anak buahnya yang banyak itu tak mampu melindunginya dari Toa Ok dan Ji Ok. Dengan bergabung menjadi satu kini mereka bertiga merupakan kekuatan yang dapat menentang siapa pun juga, apa lagi ditambah dengan anak-anak buahnya.

Bagaimana pun juga kekalahannya dan kehilangan pedang pusaka itu tidak membuatnya kehilangan muka, karena kini dia bahkan menjadi Sam Ok, sebuah kedudukan yang lebih besar dari pada ketua Kui-jiauw-pang. Dengan julukan Sam Ok berarti dia telah terangkat menjadi anggota dari persaudaraan yang dikenal sebagai datuk barat!

Ang I Sianjin atau Sam Ok berpaling memandang anak buahnya dan dia berkata dengan lantang. “Kalian semua tentu sudah melihat dan mendengar sendiri! Mulai saat ini kalian memanggil Toa Ok dengan Toa-pangcu (Ketua Pertama), Ji Ok dengan Ji-pangcu (Ketua Kedua) dan aku Sam Ok dengan Sam-pangcu (Ketua Ketiga). Mengertikah kalian semua? Kalian sekarang dipimpin oleh tiga orang ketua sehingga kedudukan kita semakin kuat!”

Para anak buah itu sudah melihat sendiri kehebatan ilmu kepandaian dua orang datuk itu, karena itu dengan serentak mereka menjawab dengan sorakan gembira. Sam Ok segera memerintahkan para anak buahnya untuk mengadakan pesta merayakan peristiwa itu dan mereka makan minum dengan penuh kegembiraan.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Gadis yang mendaki Kui-liong-san dari barat itu sangat cantik dan gagah. Mukanya bulat telur, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dan setitik tahi lalat menghias dagunya, menambah kemanisan wajahnya yang putih kemerahan walau pun tanpa dirias dengan bedak dan yanci. Tubuhnya ramping padat dan langkahnya gemulai namun tetap. Dara itu masih muda, paling banyak baru sembilan belas tahun usianya. Rambutnya yang hitam dan panjang lebat itu digelung ke atas, dihias dengan tusuk konde perak berbentuk teratai.

Setelah agak lama memandang ke arah puncak Kui-liong-san, tanpa ragu lagi mulailah dia mendaki bukit itu. Melihat ada seorang gadis muda melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi dan berbahaya itu, mudah diduga dia tentulah seorang gadis kangouw yang mempunyai ilmu silat tinggi. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya sebatang pedang yang tergantung di punggungnya.

Memang dia bukan gadis biasa yang lemah. Sama sekali bukan. Ia adalah seorang gadis yang mempunyai ilmu silat yang tangguh sekali. Dia adalah Pek Bwe Hwa yang telah kita kenal.

Dara perkasa ini pernah berjumpa bahkan bertanding melawan Si Kong ketika dia menjadi tamu ketua Hek I Kaipang. Sesudah bertanding mereka saling mengenal dan bersahabat. Akan tetapi Si Kong langsung pergi sehingga Bwe Hwa tidak sempat mengenalnya lebih baik. Gadis itu meninggalkan kota Ci-bun dan melanjutkan perjalanannya mencari dan ikut memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam seperti yang dipesan ayahnya.

Pek Bwe Hwa adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Sing. Ibunya adalah Siangkoan Bi Lian yang pernah menggemparkan dunia persilatan pula. Ia mewarisi ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya, bahkan tahi lalat di dagunya itu persis milik ibunya. Bwe Hwa memiliki kekerasan dan keberanian hati seperti ibunya, namun memiliki ketenangan seperti ayahnya.

Dalam usianya yang sembilan belas tahun itu dia telah mahir ilmu silat Pek-sim-pang yang dimainkan dengan tongkat, juga ilmu Kwan-im Kiam-sut dan Kwan Im Sin-kun, yaitu ilmu pedang dan ilmu silat tangan kosong yang lemah lembut namun menyembunyikan daya serang yang amat kuat, dan Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas). Selain semua ilmu silat yang tinggi-tinggi itu, dia masih mempelajari ilmu sihir dari ayahnya! Karena itu tidak mengherankan kalau ayah bundanya merelakan dia pergi merantau, ikut memperebutkan Pek-lui-kiam karena mereka yakin Bwe Hwa cukup kuat untuk menjaga diri sendiri.

Meski pun masih muda namun Bwe Hwa memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya. Juga nama besar ayahnya sangat menolongnya ketika dia mencari keterangan tentang pedang pusaka Pek-lui-kiam. Akhirnya ia mendapat keterangan bahwa pedang pusaka itu berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang amat terkenal.

Sebelum berangkat merantau Bwe Hwa mendapat pesan dari ayah ibunya bahwa kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan penjahat, dia harus berusaha untuk merampasnya, akan tetapi jika terjatuh ke tangan seorang pendekar budiman, dia bahkan harus membela pendekar itu kalau diganggu orang jahat.

Kini dia mendengar betapa Kui-jiauw-pang merupakan sebuah perkumpulan orang-orang kejam dan jahat yang sudah sangat terkenal mempunyai pengaruh besar sekali terhadap dunia kangouw di sekitar daerah Kui-liong-san. Karena itulah maka pada pagi hari itu Bwe Hwa telah tiba di kaki gunung Kui-liong-san.

Matahari telah naik tinggi, tetapi sinarnya masih belum dapat menembus kegelapan hutan yang dimasuki Bwe Hwa itu. Di dalam hutan itu cuaca masih remang-remang karena sinar matahari hanya dapat menyusup masuk melalui celah-celah daun pepohonan. Akan tetapi pemandangan itu begitu indah. Sinar-sinar matahari itu membentuk garis-garis keputihan karena disambut hawa lembab yang keluar dari tanah yang selalu terlindung pohon-pohon itu.

Bwe Hwa melangkah terus. Pagi-pagi tadi dia telah berhenti di sebuah dusun dan sarapan di sebuah kedai bubur yang sederhana. Penjaga kedai itu terbelalak sesudah mendengar bahwa gadis itu hendak mendaki Kui-liong-san.

“Maaf, nona. Nona hendak mendaki Kui-liong-san, mempunyai keperluan apakah?” tanya kakek penjual bubur itu.

Bwe Hwa tersenyum. “Aku mendaki gunung untuk pesiar, paman.”

Orang itu memandang penuh kekhawatiran. “Ah, nona keliru memilih tempat untuk pesiar! Kui-liong-san bukan tempat untuk pesiar, nona. Di sana sudah menanti bahaya-bahaya maut bagi siapa saja yang berani memasuki hutan-hutan di bukit itu.”

“Ada bahaya apakah, paman?” tanya Bwe Hwa, pura-pura tidak tahu padahal dia sudah mendengar bahwa bukit itu merupakan sarang perkumpulan Kui-jiauw-pang yang tersohor jahat.

“Apakah nona belum mendengar? Gunung itu mempunyai hutan-hutan yang liar, penuh dengan binatang-binatang buas yang berbahaya sekali!”

Bwe Hwa tersenyum lagi. “Aku tidak takut terhadap binatang buas, paman. Aku memiliki pedang untuk mengusir kalau ada yang berani menggangguku.”

“Akan tetapi... ah, apakah nona belum mendengar?” Orang itu memandang ke kanan kiri, agaknya takut kalau-kalau ada yang mendengar ucapannya. “Gunung itu sudah menjadi sarang setan dan iblis! Siapa yang berani mendaki bukit itu, tentu tidak akan dapat turun kembali. Karena itu kunasehatkan, lebih baiik pilihlah tempat lain untuk pesiar, nona.”

Bwe Hwa melangkah maju dengan tenang. Sama sekali hatinya tidak menjadi jeri setelah mendengar keterangan pemilik kedai bubur itu. Dia dapat menduga bahwa setan dan iblis yang dimaksudkan oleh penjual bubur itu tentu anak-anak buah Kui-jiauw-pang.

Tiba-tiba dia mendengar suara berkeresekan dari arah kiri. Di situ terdapat semak-semak belukar yang lebat. Dia menjadi waspada karena hidungnya mencium bau yang mencolok hidung. Bau yang keras dan apek. Kemudian dia mendengar suara gerengan halus tetapi menggetarkan jantung.

Bwe Hwa berhenti melangkah dan menghadapi semak belukar itu. Ia merasa yakin bahwa di dalam semak-semak itu tentu bersembunyi seekor binatang buas. Dia sudah siap siaga menghadapi binatang buas apa pun.

Kemudian muncullah binatang itu. Mula-mula hanya kepalanya saja yang muncul keluar. Kepala seekor harimau yang besar! Mata harimau itu mencorong dan gerengannya makin lama semakin kuat, menggetarkan jantung. Akan tetapi Bwe Hwa menghadapi harimau itu dengan tenang dan siap.

Harimau itu keluar dari dalam semak-semak dan melihat perutnya yang kempis, Bwe Hwa bisa menduga bahwa binatang itu sedang kelaparan. Dan seekor harimau yang kelaparan merupakan binatang yang sangat buas dan berbahaya, berani menyerang apa saja yang kiranya dapat dijadikan mangsanya.

Perlahan-lahan harimau itu berjalan menghampiri Bwe Hwa. Setelah jarak antara harimau dan gadis itu tinggal empat meter lagi, harimau itu berhenti dan kembali mengaum dengan dahsyatnya, lalu dia mendekam. Nampak otot-ototnya yang menggeletar.

Kemudian dengan tiba-tiba sekali dia meloncat ke depan dan loncatan yang kedua kalinya dilakukan dengan kuat sehingga tubuhnya melambung ke atas dan menyerang Bwe Hwa dengan terkaman dua kaki depannya yang kuat.

Bwe Hwa yang sejak tadi bersikap tenang dan waspada, cepat mengelak dan menyusup di bawah perut harimau itu. Tubrukan itu luput dan harimau itu mengaum kembali sambil membalikkan tubuhnya dengan cepat. Agaknya kegagalannya dengan serangan tadi telah membuat dia marah sekali.

Bwe Hwa langsung mencabut pedangnya. Dia tidak boleh main-main dengan harimau itu karena binatang itu amat buas dan cepat kuat. Binatang itu mengaum lagi dan sekarang menyerang dengan terkaman rendah, kedua kaki depan mencengkeram dan moncongnya telah siap untuk menggigit bila korbannya dapat dicengkeram dengan dua kaki depannya. Bwe Hwa sudah siap pula. Ketika harimau itu menerkamnya, dia cepat menggeser kaki ke kiri lalu pedangnya membalik dan membacok ke arah kedua kaki itu.

“Crokkk…!”

Kedua kaki depan itu terbacok putus dan harimau itu terbanting ke atas tanah, kemudian menggereng-gereng dan berusaha bangkit akan tetapi selalu terpelanting roboh kembali. Darah bercucuran dari kedua kaki depan yang buntung itu.

Melihat harimau itu menggereng-gereng kesakitan dan tubuhnya bergulingan tidak mampu bangkit, timbullah perasaan iba di hati Bwe Hwa. Bagaimana pun juga harimau itu tidak jahat. Ia menyerang siapa saja yang bisa dijadikan mangsanya, untuk mencegahnya dari mati kelaparan. Tidak pantas kalau dia menyiksanya. Harimau itu takkan dapat bertahan hidup dengan kedua kaki depan buntung, tentu tidak dapat menangkap mangsa lagi dan akan mati kelaparan.

Sesudah sejenak mempertimbangkan, Bwe Hwa melompat ke depan, pedangnya terayun lantas harimau itu pun rebah dan tidak dapat bergerak lagi. Leher harimau yang kokoh itu terbabat pedang pusaka Kwan-im-kiam hingga hampir putus!

Mendadak terdengar orang bertepuk tangan memuji, disusul kata-katanya kagum, “Wah, hebat sekali!”

Bwe Hwa cepat membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang pemuda tampan berdiri tak jauh darinya. Pemuda itu berpakaian serba putih, rambutnya diikat dengan pita kuning dan pada ikat pinggangnya yang merah itu terselip sebatang suling perak.

Pemuda itu nampak tampan, dan terutama amat bersih sehingga sama sekali tak sesuai dengan keadaan sekelilingnya. Baju putih itu sama sekali tidak ternoda, seolah baru saja dia mengenakannya. Usia pemuda itu sekitar dua puluh lima tahun, gerak-geriknya lembut dan senyumnya memikat.

Bwe Hwa hanya memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia belum pernah melihat pemuda ini dan hatinya bertanya-tanya siapakah pemuda yang amat pesolek dan tampan ini dan apa pula maksudnya muncul di dalam hutan di kaki gunung Kui-liong-san ini.

Pemuda itu pun seolah-olah terpesona. Dia melihat seorang dara yang cantik jelita seperti dewi dari langit, akan tetapi selain cantik jelita juga gagah perkasa karena berani melawan seekor harimau besar yang kelaparan, bahkan telah membunuhnya. Akhirnya pemuda itu menyadari bahwa kemunculannya tentu mengejutkan dan mencurigakan gadis itu, maka dia pun tersenyum dan menjura memberi hormat.

“Maafkan aku, nona. Tadi ketika aku sedang berjalan di dalam hutan ini, tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh auman suara harimau yang marah. Aku terkejut dan cepat menuju ke sini, dan aku masih sempat melihat nona memenggal leher harimau itu. Sungguh aku merasa kagum sekali kepadamu, nona. Akan tetapi yang mengherankan hatiku, harimau itu telah buntung kedua kaki depannya dan tak mungkin dapat menyerangmu lagi. Kenapa engkau membunuhnya, Nona?”

Bwe Hwa merasa tidak senang ditegur oleh lekaki yang sama sekali tidak dikenalnya ini, akan tetapi karena pemuda ini bersikap sopan dan ucapannya juga teratur dan sopan, dia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.

“Justru karena kedua kaki depannya putus maka aku membunuhnya untuk menghentikan derita siksaan sampai dia mati kelaparan.”

Pemuda itu mengangkat dua tangannya ke depan dada dengan sikap hormat dan kagum. “Bukan main! Nona seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi, juga sangat bijaksana. Apa yang nona lakukan itu memang tepat sekali, membuktikan akan kemuliaan hati nona. Nona, secara kebetulan sekali kita bertemu di sini, karena itu sudah sepatutnya kalau kita saling berkenalan, tentu saja kalau nona tidak merasa terlampau tinggi dan mulia untuk mengenalku, seorang yang bodoh dan tak berarti. Namaku adalah Coa Leng Kun, nona.”

Kita pernah berkenalan dengan pemuda ini. Dia adalah pemuda yang pernah beberapa kali membantu Tang Hui Lan bahkan sudah berkenalan dengan Tang Hui Lan. Pemuda itu adalah Coa Leng Kun. Pemuda ini sudah yatim piatu dan sudah mewarisi ilmu silat dari mendiang Hek Tok Siansu.

Pada saat Hek Tok Siansu tewas di tangan Hay Hay, dia telah menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid yang bernama Giam Tit. Giam Tit inilah yang mengajarkan semua ilmunya kepada Coa Leng Kun. Ketika Giam Tit yang menjadi seorang perampok tunggal terluka parah oleh keroyokan beberapa orang pendekar Bu-tong-pai, sebelum meninggal dunia dia berpesan kepada muridnya supaya membalaskan kematian kakek gurunya. Dia sendiri tidak dapat melakukan balas dendam itu, maka dia minta supaya Coa Leng Kun mewakili gurunya membalaskan dendam atas kematian Hek Tok Siansu kepada Hay Hay dan keluarganya.

Ketika bertemu dengan Tang Hui Lan, diam-diam Coa Leng Kun merasa gembira sekali. Hui Lan adalah puteri musuh besarnya. Dia ingin mendekati gadis itu dan kalau mungkin memperisterinya sehingga kelak dengan mudah dia dapat mengatur untuk membalaskan dendam gurunya dan menyeret keluarga musuh besarnya itu ke lembah kehancuran.

Akan tetapi Hui Lan meninggalkannya dan tidak mau dekat dengannya, karena itu dia pun berusaha untuk mengejar. Akan tetapi dia telah kehilangan jejak gadis perkasa itu. Maka ia pun melakukan perjalanan ke Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam dan kalau mungkin merampasnya. Inilah sebabnya kenapa dia berada di hutan di kaki gunung Kui-liong-san dan secara kebetulan dapat bertemu dengan Bwe Hwa.

Bwe Hwa adalah seorang gadis yang keras hati. Kalau orang bersikap keras kepadanya tentu dia akan menjadi marah. Tapi kalau orang bersikap lembut dan hormat kepadanya, dia menjadi seorang gadis yang lembut pula. Mendengar pemuda itu memperkenalkan diri dan bersikap demikian sopan, dia merasa tidak enak kalau tidak menanggapinya. Dia pun membalas penghormatan orang dan memperkenalkan dirinya.

“Aku bernama Pek Bwe Hwa,” katanya singkat.

Coa Leng Kun mengerutkan alis dan menatap tajam. “She Pek? Aku pernah mendengar tentang keluarga Pek yang menjadi ketua dari perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) yang berada di kota Kong-goan di propinsi Secuan. Entah apa hubungan nona dengan mereka?”

Bwe Hwa tersenyum. Pemuda ini agaknya mengenal dunia kangouw karena perkumpulan Pek-sim-pang yang berada di tempat yang demikian jauhnya, dapat dia kenali.

“Ketua Pek-sim-pang adalah kakekku,” dia menerangkan dengan pendek.

“Ahh, kalau begitu aku sudah bersikap kurang hormat kepadamu, nona Pek!” Coa Leng Kun kembali menjura dan memberi hormat. “Tidak mengherankan kalau nona begini lihai dan budiman, kiranya nona adalah cucu ketua Pek-sim-pang!”

“Sudahlah, tidak perlu basa basi ini. Sebenarnya apa yang mendorongmu datang ke Kui-liong-san ini, saudara Coa Leng Kun? Tempat ini tidak layak untuk didatangi orang yang berpesiar.”

Coa Leng Kun tersenyum. “Tepat sekali pertanyaanmu ini, nona Pek. Di dalam hatiku juga ada pertanyaan seperti itu untukmu. Engkau adalah seorang gadis, lebih aneh lagi berada di tempat liar dan berbahaya seperti ini. Akan tetapi kalau melihat kelihaianmu agaknya aku mengerti jawabannya.”

“Hemm, coba terangkan kalau benar engkau mengerti mengapa aku datang ke tempat ini.”

“Menurut dugaanku, engkau tentu datang ke tempat ini sehubungan dengan Pek-lui-kiam! Kui-liong-san terkenal sebagai tempat yang gawat, berbahaya dan ditakuti semua orang. Akan tetapi tempat ini juga menarik karena ada desas-desus bahwa Pek-lui-kiam berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang berpusat di puncak bukit ini. Maka, apa lagi yang menarik hatimu untuk berkunjung ke sini kalau tidak karena Pek-lui-kiam?”

Bwe Hwa tersenyum. Dia mulai tertarik kepada pemuda ini. Sikapnya halus dan sopan, akan tetapi ramah dan terbuka sehingga dara ini menilai bahwa Leng Kun tentu seorang pemuda yang jujur, terpelajar dan juga pandai ilmu silat.

“Kalau dugaanmu memang begitu, maka demikian pula dugaanku. Engkau tentu datang ke sini karena Pek-lui-kiam pula,” katanya.

Coa Leng Kun tertawa. “Engkau sangat cerdik dan menduga dengan tepat sekali, nona. Akan tetapi sedikit sekali harapan bagiku untuk dapat merebut pusaka itu jika mengingat bahwa orang-orang pandai seperti nona juga ikut memperebutkannya. Biarlah aku hanya meramaikan suasana dan ikut menonton saja.”

Pemuda ini sangat pandai merendahkan dirinya sendiri, sikap rendah hati yang baik, pikir Bwe Hwa. Timbul keinginannya untuk mengukur sampai di mana kehebatan ilmu silatnya.

“Engkau terlalu merendahkan diri, saudara Coa. Aku yakin bahwa engkau tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Karena itu kuharap engkau tidak menolak untuk saling mengukur ilmu silat masing-masing.”

Leng Kun melangkah mundur dan mengangkat tangan kanannya ke atas. “Ahh, mana aku berani, nona? Jangan-jangan baru satu dua jurus saja aku bernasib seperti harimau ini!”

Bwe Hwa lalu tersenyum. “Engkau bukan harimau yang hendak menerkam aku. Lagi pula mengukur kepandaian tidak sama dengan bertanding karena bermusuhan. Tentu saja kita tak perlu saling melukai. Akan tetapi aku ingin sekali mencoba ilmu silatmu, saudara Coa. Bila kita sudah saling mengetahui kepandaian masing-masing, barulah kita dapat menjadi sahabat.”

“Ah, engkau bersahabat dengan aku yang tolol ini, nona? Terima kasih, dan kalau begitu pendapatmu, aku tidak berani menolak lagi. Akan tetapi harap engkau kasihani diriku dan tidak mendesak terlalu hebat.”

“Keluarkanlah senjatamu, saudara Coa!” kata Bwe Hwa yang segera mencabut Kwan-im-kiam dari punggungnya dan melintangkan pedang itu di depan dadanya.

Seperti yang diduga oleh Bwe Hwa, pemuda itu lalu mencabut suling perak yang terselip di ikat pinggangnya dan begitu suling itu digerakkan, terdengar suara melengking seolah suling itu ditiup dan dimainkan. Baru gerakan ini saja sudah membuat dia maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga sinkang yang kuat, maka dia menjadi semakin gembira dan kagum. Akan tetapi dia merasa khawatir kalau-kalau pedangnya akan merusak suling itu, maka dia pun berkata dengan suara lembut.

“Saudara Coa, ketahuilah bahwa pedangku ini adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh dan tajam sekali. Aku khawatir sulingmu yang terbuat dari perak itu akan menjadi rusak kalau bertemu dengan pedangku.”

Leng Kun tersenyum lebar. “Jangan khawatir, nona. Sulingku ini juga merupakan pusaka yang ampuh dan terbuat dari pada baja biru yang kuat. Warna perak itu hanya merupakan selimut saja, agar nampak indah dan kalau dimainkan merdu suaranya. Jangan khawatir, sulingku ini tidak akan rusak.” Setelah berkata demikian, Leng Kun memasang kuda-kuda dengan suling diangkat di atas kepala dan menuding ke depan, tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat menempel kaki kanan. Kuda-kudanya ini kokoh dan juga gagah sekali.

“Aku telah siap, nona. Mulailah!”

Bwe Hwa tidak banyak cakap lagi. Dia memang ingin sekali melihat kelihaian pemuda ini. Kalau kepandaiannya hanya rendah saja, untuk apa bersahabat dengannya?

“Lihat pedang!” bentaknya dan pedangnya sudah bergerak menusuk ke arah dada.

Leng Kun menurunkan dan menggeser kakinya mengelak, lalu sulingnya menyambar ke arah leher Bwe Hwa. Gadis ini cepat mengelak kemudian membalas dengan pedangnya, membabat kaki Leng Kun. Namun dengan ringan Leng Kun meloncat ke atas, sulingnya menyambar ke bawah untuk menangkis pedang.

“Cringgg…! Trangg...!” Dua kali suling bertemu pedang dan bunga api berpijar, akan tetapi benar seperti yang dikatakan Leng Kun, suling itu tidak menjadi rusak.

Mereka lalu saling serang dengan seru. Bwe Hwa sudah memainkan Kwan-im Kiam-sut. Tubuhnya berkelabatan ke sana-sini menjadi bayangan yang dilindungi oleh sinar pedang yang bergulung-gulung. Akan tetapi Leng Kun memainkan sulingnya dengan sangat hebat dan aneh pula. Nampak gulungan sinar putih berkeredapan dibarengi suara melengking-lengking!

Setelah bertanding selama lima puluh jurus, tahulah Bwe Hwa bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Dia akan menang apa bila mereka berkelahi benar-benar, namun akan memakan waktu yang cukup lama. Sesudah puas menguji ilmu silat pemuda itu, dia membentak dengan suara penuh getaran berwibawa.

“Coa Leng Kun, tidak mungkin engkau mampu melawan pedangku yang berubah menjadi sepuluh batang!” Gadis itu mengerahkan tenaga batin, menggunakan sihir untuk mencoba pemuda itu. Ternyata ia telah menggunakan kekuatan batinnya dan mempengaruhi pikiran pemuda itu.

Coa Leng Kun terbelalak melihat betapa gadis itu kini memainkan sepuluh batang pedang yang mengepungnya dari segala penjuru! Dia melompat jauh ke belakang sambil berseru, “Nona Pek Bwe Hwa, aku mengaku kalah!”

Bwe Hwa tersenyum dan dia pun menghentikan serangannya. Pemuda itu masih bengong keheranan. “Nona, ilmu pedang apakah yang kau mainkan tadi? Tiba-tiba saja pedangmu menjadi banyak sekali sehingga aku terkurung dan tidak mampu lagi melawan.”

Bwe Hwa merasa senang. Walau pun dalam ilmu silat dia hanya menang sedikit saja dari pemuda ini, namun dengan menggunakan kekuatan sihirnya dia mampu mengalahkannya dalam waktu singkat saja.

“Ahh, ilmu pedangku tidak seberapa kalau dibandingkan dengan ilmu silat sulingmu yang lihai itu, saudara Coa.”

“Nona Pek, engkau tidak perlu merendahkan diri, aku tahu betul bahwa aku tidak mampu menandingimu. Sekarang kita telah berkenalan, bahkan telah bertanding pula yang berarti bahwa kita sudah menjadi sahabat. Mengapa engkau masih menyebutku saudara Coa? Terdengarnya begitu asing.”

“Habis engkau juga menyebut aku nona, lalu aku harus menyebutmu apa?”

“Engkau lebih muda dariku, pantas kusebut moi-moi (adik perempuan) dan kalau engkau tidak keberatan, aku akan senang sekali kalau kau sebut twako (kakak pria). Bagaimana pendapatmu, Hwa-moi?”

Bwe Hwa sudah mengenal watak dan sikap pemuda itu yang sopan dan lembut, maka dia pun tidak keberatan untuk menganggap pemuda itu sebagai sahabat atau kakaknya.

“Baiklah, Kun-ko,” jawabnya sederhana.

Bukan main girangnya rasa hati Leng Kun. “Kita sudah menjadi sahabat baik atau bahkan saudara, akan tetapi kita tidak saling mengenal keadaan masing-masing. Maukah engkau menceritakan siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu, dan di manakah engkau tinggal. Hwa-moi? Akan tetapi biarlah aku yang lebih dulu bercerita. Seperti telah kuperkenalkan tadi, namaku Coa Leng Kun. Kini aku tidak mempunyai orang tua lagi, juga guruku telah meninggal dunia. Aku hidup seorang diri, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan suka berkelana. Dalam perjalananku aku mendengar tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya berada di tangan Ang I Sianjin. Pusaka itu tadinya adalah milik pendekar besar Tan Tiong Bu yang tinggal di Sia-lin. Akan tetapi pada suatu hari pendekar Tan Tiong Bu dibunuh orang dan pedang pusaka Pek-lui-kiam lenyap. Menurut dugaan orang, tentu Ang I Sianjin yang membunuh pendekar itu dan mencuri pedangnya. Nah, demikianlah keadaan diriku. Tidak menarik sama sekali.”

“Dari siapa engkau mempelajari ilmu silatmu yang lihai itu? Siapakah gurumu yang sudah meninggal dunia itu?”

“Tentu saja aku mempelajarinya dari guruku. Beliau adalah seorang pertapa yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri dari dunia ramai. Bahkan pun tidak ada seorang pun yang mengetahui namanya. Kepadaku dia hanya mengatakan bahwa dia sudah lupa akan namanya dan minta disebut Bu-beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama). Nah, sekarang aku ingin mendengar tentang dirimu, Hwa-moi.”

“Tidak ada yang aneh tentang diriku, Twako. Seperti telah kukatakan kepadamu, namaku Pek Bwe Hwa. Guruku adalah orang tuaku sendiri dan kami tinggal di Kong-goan, propinsi Secuan, bersama kakekku yang menjadi ketua Pek-sim-pang. Kini aku sedang merantau untuk meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman di dunia kangouw. Ayah dan ibuku sudah memesan kepadaku agar aku ikut pula menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Aku pun mendengar juga tentang kematian Tan Tiong Bu dan pembunuhnya adalah seorang kakek berpakaian merah yang tinggi kurus. Dunia kangouw langsung dapat menduganya bahwa pembunuh itu adalah Ang I Sianjin ketua Kwi-jiauw-pang di bukit ini. Maka aku pun datang ke sini untuk menyelidikinya.”

“Dengan kepandaianmu aku yakin bahwa engkau tentu akan berhasil merampas pedang pusaka itu, Hwa-moi.”

“Aihh, belum tentu, twako. Setidaknya di sini ada engkau pula yang tidak kalah lihai. Kalau ada kemungkinan bahwa aku yang akan berhasil, tentulah ada kemungkinan pula bahwa engkau juga akan berhasil.”

“Tidak, Hwa-moi. Aku tidak mau berebut denganmu, malah aku akan membantumu untuk mendapatkan pedang pusaka itu!”

Bwe Hwa memandang tajam penuh selidik. Ia merasa heran dan curiga kepada Coa Leng Kun. Pemuda itu baru saja bertemu dan berkenalan dengannya, tapi mengapa begitu baik dan hendak membantunya mendapatkan Pek-lui-kiam? Kebaikan yang berlebihan ini tentu mengandung niat dan pamrih tertentu. Ayahnya sudah menasehatkan kepadanya bahwa lawan yang paling berbahaya adalah orang yang bersikap terlalu baik kepadanya. Apakah pemuda ini diam-diam mengandung maksud jahat terhadap dirinya? Ia harus berhati-hati.

“Kun-ko, kenapa engkau begitu baik kepadaku?”:

Leng Kun tersenyum. “Tentu saja, Hwa-moi. Bukankah kita telah bersahabat?”

“Hemm, baru saja kita bertemu dan berkenalan.”

“Akan tetapi kita sudah bertanding dan mengenal keadaan masing-masing. Aku merasa seolah sudah lama sekali kita berkenalan, Hwa-moi. Aku merasa amat kagum kepadamu, dan suka sekali. Ahh, sampai lupa aku! Hwa-moi, harimau ini telah kau bunuh, akan tetapi sia-sialah kalau dibiarkan begitu saja. Pernahkah engkau merasakan daging harimau?”

“Daging harimau?” Bwe Hwa memandang heran ketika percakapan mereka tiba-tiba saja membelok ke arah lain. “Aku belum pernah memakannya.”

“Wah, engkau harus merasakannya, Hwa-moi. Apa bila pandai memasaknya maka daging harimau itu lezat sekali. Biar pun kita tidak membawa alat masak, aku tahu cara yang baik untuk memanggang dagingnya. Aku membawa bumbu penyedap untuk itu.”

Tanpa banyak cakap lagi Leng Kun lalu mengambil sebuah pisau belati dari pinggangnya dan dia mulai mengerat daging harimau itu, mengambil bagian pahanya. Bwe Hwa hanya menonton saja, kecurigaannya sudah terlupa lagi olehnya.

Dia hanya duduk di atas batu sambil melihat pemuda itu bekerja. Dengan cekatan Leng Kun menguliti potongan paha itu, kemudian mengiris dagingnya menjadi beberapa potong. Diambilnya bumbu garam, merica dan lain-lain dari buntalannya. Setelah memberi bumbu kepada daging-daging itu, lantas dibuatnya api unggun. Daging-daging paha yang menjadi beberapa potong sebesar kepalan tangan itu lalu ditusuk dengan belahan bambu yang dia dapatkan di sekitar tempat itu, dan dipanggangnyalah daging-daging itu. Bwe Hwa segera mencium bau yang sangat sedap sehingga timbul seleranya. Dia kini membantu Leng Kun memanggang daging-daging itu.

“Coba cicipilah!” kata Leng Kun sambil memberikan sepotong bambu yang menusuk dua potong daging kepada Bwe Hwa.

“Hemm, baunya sedap sekali!” kata Bwe Hwa terus terang dan sesudah daging itu agak mendingin, dia segera menggigitnya. Ternyata memang lezat sekali, ada rasa gurih dan manis, berbau sedap karena dibumbui. Mereka lalu makan habis semua potongan daging harimau panggang itu dan mereka minum dari bekal minuman masing-masing. Bwe Hwa membawa bekal minuman air jernih, sedangkan Leng Kun membawa seguci arak.

Setelah makan dan minum, Leng Kun berkata kepada Bwe Hwa, “Sekarang kita lanjutkan pendakian ke sarang Kwi-jiauw-pang, Hwa-moi. Akan tetapi karena penjagaan tentu ketat, sebaiknya kalau kita berpisah. Engkau jalan dari arah kiri dan aku akan mendaki dari arah kanan. Nanti kita bertemu lagi di atas. Dengan berpencar kita akan lebih mudah masuk ke sarang mereka. Setidaknya seorang di antara kita tentu berhasil.”

Bwe Hwa mengangguk. “Pendapatmu benar sekali. Perkumpulan Kui-jiauw-pang itu kuat sekali, siapa tahu mereka memasang perangkap di sepanjang jalan menuju ke atas.”

“Harap engkau suka berhati-hati, Hwa-moi. “

“Sampai nanti, Kun-ko.”

Bwe Hwa lalu meloncat ke kiri dan sebentar saja dia sudah lenyap dari pandangan mata Leng Kun. Pemuda ini menarik napas panjang, merasa kagum bukan main. Dia pun lalu berlari ke arah kanan dengan cepatnya.

Coa Leng Kun berlari dengan cepat sekali, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak belukar. Melihat cara dia berlari tanpa ragu, mudah diduga bahwa pemuda ini sudah tak asing dengan daerah pegunungan itu. Dan dia mengambil jalan pintas, tidak menurut jalan setapak melainkan menerobos semak-semak. Tak lama kemudian dia telah sampai di depan pintu gerbang perkumpulan Kui-jiaw-pang yang berdiri di tengah puncak bukit yang datar.

Selusin anggota Kui-jiaw-pang muncul dari gardu penjagaan dan segera menghadang di tengah pintu gerbang. Mereka memandang heran dan penuh kecurigaan kepada pemuda tampan berpakaian putih yang tahu-tahu tiba di depan pintu gerbang. Tentu pemuda itu tidak menggunakan jalan setapak sehingga dapat tiba di situ tanpa mereka ketahui. Kalau melalui jalan setapak, tentu pemuda itu akan menemui rintangan dan jebakan yang telah mereka pasang.

“Heii, berhenti! Siapa engkau yang berani datang ke sini tanpa diundang?” bentak kepala jaga dengan suara lantang.

Leng Kun tersenyum sambil berdiri tegak, matanya menentang pandangan mata selusin orang itu. “Bagus, kalian sudah melakukan penjagaan dengan ketat dan baik. Akan tetapi aku bukanlah lawan, melainkan kawan.”

Dia mengeluarkan sebuah bendera kecil dari saku bajunya. Bendera itu berdasar warna biru dan di tengahnya terdapat sulaman gambar setangkai bunga teratai putih. “Serahkan ini kepada ketua kalian!”

Sikap kepala jaga segera berubah ketika melihat bendera itu. Dia menerima bendera itu, lalu memberikan kepada seorang anak buah untuk membawa bendera itu kepada ketua mereka, dan kepada Leng Kun dia berkata ramah, “Harap kongcu suka menanti sebentar di dalam gardu, menunggu kembalinya pelapor tadi.”

Leng Kun mengangguk sambil tersenyum kemudian duduk di dalam pos penjagaan. Para penjaga tidak ada yang berbicara, akan tetapi pandangan mata mereka ke arah pemuda itu memperlihatkan perasaan takut.

Tak lama kemudian pelapor itu kembali sambil mengikuti Ang I Sianjin atau Sam Ok yang melangkah dengan cepat menuju gardu itu. Dia memandang kepada Leng Kun dengan tercengang. Tadinya dia mengira bahwa utusan Pek-lian-pai yang memiliki bendera tanda utusan yang berkuasa penuh itu adalah seorang pendeta Pek-lian-kauw yang telah lanjut usianya. Siapa kira bahwa utusan itu seorang pemuda tampan yang berpakaian rapi.

Leng Kun bangkit berdiri kemudian merangkapkan kedua tangannya di depan dada ketika melihat laki-laki berjubah merah itu. “Apakah aku berhadapan dengan Kui-jiauw-pangcu sendiri?” tanya Leng Kun.

Ang I Sianjin atau Sam Ok membalas penghormatan itu kemudian menjawab, “Benar, aku adalah Sam Pangcu (Ketua ketiga). Mari silahkan, sicu.”

Leng Kun mengikuti Sam Ok memasuki pintu gerbang. Dia melihat sebuah perkampungan yang dikitari oleh pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Dalam perkampungan itu terdapat banyak rumah tembok yang mengelilingi sebuah rumah induk yang besar dan megah. Ke rumah besar inilah dia diajak masuk.

Mereka memasuki sebuah ruangan yang luas dan Leng Kun melihat dua orang kakek lain sedang duduk di atas kursi. Orang pertama bertubuh gendut, kepalanya besar dan botak, dan telinganya lebar. Orang ini menyambut kedatangannya dengan senyuman lebar. Dia kelihatan penyabar dan baik hati.

Ada pun orang kedua bertubuh kurus pendek, mukanya penuh rambut seperti monyet dan rambutnya panjang tebal sampai ke pinggang. Jika orang pertama berpakaian serba putih, orang kedua ini berpakaian serba hitam. Usia mereka sebaya dibandingkan Ang I Sianjin.

Begitu memasuki ruangan itu, Coa Leng Kun yang tak dapat menahan keinginan tahunya, segera bertanya kepada Ang I Sianjin, “Ang I Sianjin, aku mendapat keterangan bahwa engkau adalah ketua Kui-jiauw-pang, akan tetapi kenapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau adalah Sam Pangcu?”

“Sicu, jangan sebut aku Ang I Sianjin lagi. Sekarang nama julukanku adalah Sam Ok dan menjadi ketua nomor tiga di Kui-jiauw-pang. Perkenalkanlah, kedua orang ini adalah Toa Ok dan Ji Ok yang menjadi Toa-pangcu dan Ji-pangcu di perkumpulan kami. Tetapi kami belum mengetahui siapa namamu.”

“Namaku adalah Coa Leng Kun,” jawab pemuda itu, “aku diutus oleh para pimpinan Pek-lian-pai untuk membantumu. Namun dengan adanya Toa-pangcu dan Ji-pangcu, kepada siapakah aku akan melakukan perundingan?” Pemuda itu memandang dengan ragu-ragu kepada dua orang kakek itu.

“He-heh-heh-heh, kami merasa senang sekali dapat bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Engkau bisa melakukan perundingan dengan kami bertiga di sini. Akan tetapi keadaanmu benar-benar membuat kami ragu dan sangsi. Mengapa utusan yang berkuasa penuh dari Pek-lian-pai hanya seorang pemuda? Sungguh sembrono sekali para pimpinan Pek-lian-pai mengutus seorang muda untuk melaksanakan pekerjaan yang sangat penting,” kata Toa Ok.

“Selama ini, pihak Pek-lian-pai selalu mengirim utusan yang sudah tua dan matang dalam pengalaman, baru sekali ini mengirim utusan muda,” kata Sam Ok. “Ini memang aneh dan mencurigakan. Akan tetapi bendera utusan itu asli. Toa Ok, bagaimana kalau kita menguji dia terlebih dulu?”

“Bagus, memang sebaiknya begitu. Coa Leng Kun, kami ragu melihat engkau yang muda menjadi utusan Pek-lian-pai. Kami hendak menguji kemampuanmu dahulu karena orang yang tidak mempunyai cukup kepandaian tidak patut untuk merundingkan urusan penting dengan kami.”

Coa Leng Kun tersenyum mengejek. “Para pimpinan Pek-lian-pai tentu tidak akan senang mendengar ketidak percayaan kalian. Tentu saja aku siap untuk menghadapi pertandingan ujian dengan siapa pun juga.”

Mulutnya berkata demikian, akan tetapi di dalam hatinya dia terkejut mendapat kenyataan bahwa Kui-jiauw-pang kini dipimpin oleh tiga ketua, dan yang dua orang adalah Toa Ok dan Ji Ok. Dia sudah mendengar akan nama besar dua orang datuk sesat dari barat itu. Akan tetapi dia tetap bersikap tenang.

Ang I Sianjin atau Sam Ok sudah lama menjalin hubungan dengan pihak Pek-lian-kauw, bahkan dia dan mereka telah bersekutu untuk mencoba lagi melakukan permberontakan terhadap kerajaan Beng yang sekarang dipimpin oleh Kaisar Wan Li.

Pek-lian-pai ingin melakukan gerakan pemberontakan lagi sesudah usahanya berkali-kali gagal berkat kepandaian dua orang menteri, yaitu Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng. Akan tetapi sekarang kedua orang menteri arif bijaksana dan pandai itu telah tidak ada, telah meninggal dunia, karena itu pihak Pek-lian-pai menjadi berani untuk bergerak. Mereka mengumpulkan perkumpulan-perkumpulan sesat untuk ditarik menjadi sekutu mereka dan di antara perkumpulan sesat itu adalah Kui-jiauw-pang.

Ang I Sianjin yang kini menjadi Sam Ok terkejut sekali mendengar bahwa Toa Ok dan Ji Ok akan menguji kepandaian Coa Leng Kun. Dia sudah tahu akan kehebatan ilmu kedua orang datuk itu. Akan tidak enaklah dia terhadap Pek-lian-pai jika sampai utusan mereka dikalahkan dan dilukai. Maka, dia segera bangkit berdiri dan berkata,

“Harap Toa Ok dan Ji Ok tidak perlu turun tangan sendiri menguji kepandaian utusan Pek-lian-pai ini. Aku sendiri yang akan mengujinya.”

Toa Ok dan Jik Ok mengangguk-angguk. Mereka berdua juga sudah mendengar bahwa Pek-lian-pai adalah perkumpulan besar yang sangat kuat dan dipimpin oleh banyak orang pandai. Mereka tidak ingin bermusuhan dengan Pek-lian-pai, dan mereka pun tahu bahwa tingkat kepandaian Sam Ok tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian mereka. Walau pun Sam Ok yang menguji, mereka berdua pun sudah dapat menilai ketangguhan pemuda itu.

Sam Ok sudah melangkah ke tengah ruangan yang luas itu, dan dia berkata, “Coa-sicu, aku sudah siap untuk menguji kepandaianmu!”

Diam-diam Leng Kun merasa lega hatinya. Dia belum pernah melihat tingkat kepandaian ketua Kui-jiauw-pang ini, akan tetapi dia menduga bahwa tingkat kepandaiannya tentu berada di bawah tingkat Toa Ok dan Ji Ok. Hal ini dapat diduga karena di perkumpulan itu dia hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua ke Tiga), sedangkan dua orang datuk besar itu menjadi ketua pertama dan kedua.

“Baiklah, Sam Pangcu. Sebagai utusan kepercayaan Pek-lian-pai aku akan membuktikan bahwa aku cukup pantas untuk berunding dengan kalian.”

Leng Kun melangkah maju ke depan Sam Ok. Melihat Sam Ok tidak memegang senjata, dia pun tidak mencabut sulingnya dan memasang kuda-kuda dengan tangan kosong. Ang I Sianjin memang tak ingin terlampau mendesak tamunya ini karena dia merasa khawatir kalau-kalau pihak Pek-lian-pai menjadi marah dan mengirim pasukan untuk menyerbu dan membalas dendam. Karena itulah dia mengajak bertanding dengan tangan kosong saja. Andai kata dia menang, dia tidak akan memukul terlalu kuat sehingga tidak akan melukai pemuda itu.

“Cao-sicu, aku sudah siap. Mulailah!” kata Sam Ok.

“Aku adalah tamu dan akulah yang akan diuji, maka sepatutnya engkau yang menyerang dulu, Sam Ok!” kata Leng Kun dengan sikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri.

“Bagus! Lihat seranganku!” Sam Ok membentak.

Dia pun sudah maju menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Biar pun dia menjadi ketua Kui-jiauw-pang, dia tidak memakai sambungan tangan berupa cakar setan seperti semua anak buahnya. Akan tetapi cengkeraman jari-jari tangannya tidak kalah hebatnya apa bila dibandingkan dengan cakar setan. Dia menggunakan kedua tangannya yang membentuk cakar untuk menyerang dada dan perut Leng Kun.

Melihat serangan yang dahsyat ini Leng Kun mengelak mundur selangkah, kemudian dia balas menyerang tidak kalah dahsyatnya. Serangannya datang bergelombang bertubi-tubi karena yang menyerang adalah kedua tangan dan kedua kakinya, bergantian dan susul-menyusul mengirim pukulan dan tendangan. Pemuda itu telah mengeluarkan ilmu silatnya yang ampuh, yaitu Ilmu Silat Gelombang Samudera!

“Haiittttt...!” Sam Ok meloncat ke belakang dan ketika pemuda itu mendesaknya, dia pun mengerahkan sinkang untuk menangkis.

“Dukkk...!” Pertemuan kedua lengan itu membuat Sam Ok terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi Leng Kun juga mundur empat langkah. Hal ini berarti bahwa dalam hal tenaga dalam, Leng Kun kalah kuat.

Akan tetapi pemuda ini hendak menutupi kekurangannya di dalam hal tenaga itu dengan kelebihan ginkang-nya. Dia bergerak sangat cepat dan kini tubuhnya berpusing sehingga menjadi bayangan berputar-putar yang menghampiri lawan. Itulah Ilmu Silat Angin Taufan yang membuat lawan menjadi bingung menghadapinya. Demikian pula dengan Sam Ok. Menghadapi serangan yang dilakukan dengan tubuh berputar itu, dia menjadi bingung dan gugup sehingga dia terdesak hebat dan terpaksa mundur.

Pada saat itu pula Toa Ok berseru, “Hentikan pertandingan!”

Legalah hati Sam Ok. Ia harus mengakui bahwa menghadapi ilmu silat yang berpusing itu dia menjadi bingung dan tidak tahu harus bagaimana menghadapi lawan sehingga kalau dilanjutkan besar kemungkinan dia akan kalah. Mendengar bentakan Toa Ok, dia segera meloncat jauh ke belakang dan Leng Kun juga menghentikan gerakannya.

“Cukup sudah Coa Leng Kun. Akan tetapi engkau tadi memainkan ilmu silat Gelombang Samudera dan Angin Taufan. Setahu kami, kedua ilmu itu adalah ilmu mendiang Hek Tok Siansu. Bagaimana engkau yang menjadi utusan Pek-lian-pai tidak mempergunakan ilmu silat dari Pek-lian-pai melainkan ilmu-ilmu silat mendiang Hek Tok Siansu?”

Leng Kun maklum bahwa Toa Ok dan Ji Ok adalah dua orang datuk besar dari barat yang luas pengetahuannya sehingga dapat mengenal kedua ilmu silatnya tadi. Oleh karena itu dia pun berterus terang.

“Mendiang Hek Tok Siansu adalah kakek guruku!”

Mendengar jawaban ini Toa Ok dan Ji Ok saling pandang dan wajah mereka berseri-seri. “Bagus sekali! Dahulu Hek Tok Siansu bekerja sama dengan Pek-lian-pai dan sekarang cucu muridnya melanjutkan kerja sama itu hingga diangkat menjadi utusan yang penting. Silakan duduk, Coa-sicu!” kata Toa Ok dan nada suaranya lebih ramah.

“Kami mengucapkan selamat datang, Coa-sicu. Berita apakah yang kau bawa?”

“Pimpinan Pek-lian-pai mengutus aku pergi ke sini untuk membantu Kui-jiauw-pang yang akan kedatangan banyak orang pandai karena ingin merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam. Kami tidak tahu bahwa sekarang Kui-jiauw-pang mempunyai dua orang ketua baru sehingga keadaannya menjadi lebih kuat lagi. Untuk itu, sebagai utusan Pek-lian-pai aku mengucapkan selamat kepada para ketua baru.”

Tiga orang ketua itu tersenyum lebar dan Toa Ok berkata lantang, “Jangan khawatir, Cao-sicu. Kami telah tahu mengenai hal itu dan kami telah siap siaga. Siapa pun yang datang hendak merampas pedang pusaka, tentu tidak akan mampu keluar lagi dari daerah Kui-liong-san. Apa lagi engkau datang membantu sehingga keadaan kita lebih kuat lagi.”

“Ketika hendak mendaki bukit ini, aku memisahkan diri dari seorang gadis yang berilmu tinggi. Dia tidak boleh dipandang ringan karena dia adalah cucu dari ketua Pek-sim-pang!”

Tiga orang ketua itu saling pandang dan Toa Ok berseru, di dalam suaranya terkandung kekhawatiran. “Cucu ketua Pek-sim-pang? Siapa namanya, sicu?”

“Namanya Pek Bwe Hwa.”

“Ahh, tidak salah lagi. Dia memang keturunan keluaraga Pek, dan mengingat bahwa ketua Pek-sim-pang hanya mempunyai seorang putera yang sangat terkenal sebagai seorang pendekar yang sakti, maka tak salah lagi, gadis itu tentu puteri Pek Han Siong!” kata Toa Ok sambil mengerutkan alisnya. “Ayah gadis itu, Pek Han Siong, akan merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi kita tidak perlu khawatir, dengan kepandaian kita semua, biar Pek Han Siong sekali pun tidak perlu kita takuti.”

Coa Leng Kun mengerutkan alisnya. “Kalau begitu, dari pada harus menghadapi gadis itu sebagai lawan, lebih baik kalau dia ditarik menjadi sahabat atau sekutu kita.”

Tiga pasang mata menatap wajah Leng Kun dengan penuh pertanyaan dan Ji Ok berseru, “Aneh! Mana mungkin puteri Pek Han Siong kita ajak kerja sama? Jika dia datang ke sini, tentu dia menginginkan pedang pusaka itu!”

“Benar apa yang dikatakan Ji Ok, Coa-sicu. Bagaimana mungkin gadis itu mau bekerja sama dengan kita? Sejak dulu ayah gadis itu selalu menentang pemberontakan terhadap kerajaan, bahkan dia juga menjadi musuh besar Pek-lian-pai. Bagaimana mungkin kini kita mengajak puterinya untuk bekerja sama?” tanya Sam Ok.

“Harap sam-wi pangcu (Ketiga Ketua) tidak menjadi bingung. Ketika menuju ke Kui-liong-san, aku berjumpa dan berkenalan dengan Pek Bwe Hwa, bahkan kini menjadi sahabat. Tentu saja dara itu tidak tahu bahwa aku adalah utusan Pek-lian-pai. Dia menyangka aku adalah seorang di antara mereka yang ingin merampas pedang Pek-lui-kiam. Malah kami telah bersepakat untuk bekerja sama dalam hal ini dan aku akan membantunya. Nah, jika aku sekarang mengawaninya naik ke sini dan memperkenalkan dia kepada sam-wi, tentu dia akan merasa senang sekali. Tentu saja sam-wi harus menjanjikan kepadanya hendak menyerahkan pedang pusaka itu.”

“Ahhh...!” Tiga orang ketua itu berseru kaget.

“Harap tenang, sam-wi pangcu. Kita harus menggunakan akal, yaitu menyerahkan pedang pusaka tiruan atau palsu. Dan kalau pedang pusaka berada di tangannya, tentu orang-orang yang ingin memperebutkan pedang pusaka itu akan memusuhinya. Nah, pada saat itulah kita turun tangan membantunya sehingga kita akan dapat membasmi orang-orang itu.”

Tiga orang ketua itu mengangguk-angguk sambil saling pandang. “Akan tetapi kita harus merahasiakan bahwa aku adalah utusan Pek-lian-pai, karena kalau dia mengetahui hal ini, tentu sikapnya kepadaku akan berubah dan dia akan menganggap aku sebagai musuh. Ketika berkenalan dengannya, aku mengaku sebagai seorang perantau yang ingin pula memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Sam-wi hanya perlu bersikap baik padanya dan segalanya aku yang akan mengaturnya agar dia percaya.”

“Baiklah, Coa-sicu. Kami menyerahkan kepadamu untuk mengurus pendekar wanita itu,” akhirnya Toa Ok menyatakan setuju karena kalau benar pendekar wanita puteri pendekar Pek Han Siong itu dapat ditarik untuk bekerja sama, maka kedudukan mereka tentu akan lebih kuat lagi. “Tetapi agaknya engkau membenci wanita itu. Ada urusan apakah antara engkau dengannya?”

Leng Kun menarik napas panjang lalu berkata, “Di dunia ini hanya ada dua keluarga yang paling kubenci sebab merekalah yang menyebabkan kakek guruku Hek Tok Siansu tewas penasaran. Kedua keluarga itu adalah keluarga Tang Hay dan keluarga Pek Han Siong. Terutama keluarga Tang Hay karena di tangan dialah kakekku itu tewas.”

Tiga orang kepala perkumpulan Kui-jiauw-pang itu saling pandang dan Toa Ok berseru, “Ahh, musuh-musuhmu itu adalah musuh kami juga, dan juga musuh besar Pek-lian-pai sebab mereka berdua inilah yang paling banyak menentang Pek-lian-pai dalam perjuangan mereka. Akan tetapi harus diakui bahwa mereka berdua itu mempunyai kepandaian yang amat hebat.”

Leng Kun mengerutkan sepasang alisnya. “Aku tidak takut, dan sekarang kebetulan sekali puteri keluarga Pek berada di sini.”

“Kenapa dia tidak kita bunuh saja karena dia adalah puteri musuh besarmu, sicu?” tanya Sam Ok.

“Ah, pembalasan seperti itu terlampau lunak, Sam Pangcu. Juga kita tidak dapat memetik keuntungan apa pun. Aku mempunyai rencana yang lebih hebat dari pada itu. Selain kita dapat menggunakan tenaganya untuk membantu kita menghadapi mereka yang hendak merebut pedang pusaka Pek-lui-kiam, aku juga ingin menjatuhkan hatinya. Kalau sampai aku bisa mempermainkannya sebagai isteriku, berarti aku telah melakukan balas dendam yang memuaskan sekali karena seluruh keluarganya akan merasa menyesal sekali. Dan akhirnya, sebagai suaminya, aku mempunyai kesempatan lebih banyak untuk membasmi keluarga Pek!”

Toa Ok, Ji Ok dan Sam Ok tertawa bergelak. “Bagus! Engkau yang masih muda ternyata memiliki kecerdikan yang tinggi. Kami suka sekali mendengar siasatmu itu, sicu. Baiklah, laksanakan siasatmu itu dan kami semua akan berpura-pura baik terhadap gadis itu,” kata Toa Ok.

“Sekarang aku minta agar sam-wi pangcu mengirim satu regu anak buah Kui-jiauw-pang untuk menghadang gadis itu di lereng. Nanti aku akan muncul dan melerai mereka.”

“Akan tetapi jalan menuju ke puncak sudah kami beri perangkap dan juga kami menyebar racun sehingga siapa saja yang hendak mendaki ke puncak ini akan menghadapi bahaya maut! Kami juga sudah memasang para anggota untuk menjadi baris pendam, menyerang siapa saja yang mendaki puncak. Tentu saja jalan yang kau lalui itu tidak kami pasangi jebakan karena jalan itu dipakai oleh kita semua sebagai jalan rahasia.”

“Gadis itu sangat lihai dan cerdik, tentu dia akan mampu menghindarkan diri dari jebakan dan racun. Biar aku turun dan menyambutnya! Akan tetapi aku minta belasan orang anak buah Kui-jiauw-pang untuk mengeroyoknya.”

Leng Kun lantas memimpin lima belas orang anak buah Kui-jiauw-pang menuruni puncak itu. Dia berpesan kepada lima belas orang itu agar nanti mengeroyok Pek Bwe Hwa, akan tetapi segera mundur kalau dia muncul melerai perkelahian mereka.

Pendekar Kelana Jilid 15

Ang I Sianjin merasa penasaran. Melihat betapa para anak buahnya sudah jatuh bangun, bahkan banyak yang tidak mampu membantunya lagi, dia pun menyerang dengan ganas, menusukkan pedangnya ke arah dada sambil menggerakkan kipasnya menyerang bagian muka Toa Ok.

Melihat ini Toa Ok mengerahkan tenaga dan cepat menggerakkan tongkatnya, menangkis pedang dan sekaligus menangkis kipas.

“Trangg...! Trakk...!”

Pedang di tangan Ang I Sianjin patah dan kipasnya juga terlepas dari tangan kirinya. Ang I Sianjian menjadi kaget dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan serangan Toa Ok. Ketika dia menoleh ke arah anak buahnya yang mengeroyok Ji Ok, dia melihat betapa anak buahnya juga sudah jatuh bangun dihajar oleh Ji Ok. Maklum bahwa kalau dilanjutkan hanya berarti mala petaka bagi anak buahnya, Ang I Sianjin berteriak.

“Hentikan pengeroyokan!”

Para anggota Kui-jiauw-pang menghentikan gerakan mereka dengan hati lega. Mereka menolong kawan-kawan yang terluka dan mundur. Ada di antara mereka yang menderita luka memar dan tulang patah, tetapi tidak ada yang terluka berat. Mereka memandang ke arah ketua mereka.

Ang I Sianjin menggerakkan tangan ke bawah jubahnya dan pada saat tangannya ditarik, maka keluarlah sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Ketika pedang digerakkan, nampak sinar laksana kilat menyambar dan membuat mata yang memandangnya menjadi silau!

Mudah mereka semua menduga pedang apakah itu. Tentu pedang yang dijadikan rebutan di antara orang-orang kangouw, yaitu pedang yang disebut Pek-lui-kiam (Pedang Kilat)!

Melihat pedang yang berada di tangan Ang I Sianjin itu, mata Toa Ok dan Ji Ok bersinar-sinar dan wajah mereka menjadi berseri-seri.

“Pek-lui-kiam,” kata mereka berbareng dan Ji Ok telah melangkah maju menghampiri Ang I Sianjin.

“Cepat berikan pedang itu kepada kami!” kata Ji Ok sambil menjulurkan tangan kanannya.

Namun Ang I Sianjin tidak mau menyerahkan pedang itu begitu saja. Dia menjura kepada dua orang datuk itu dan berkata dengan lantang. “Kami telah mendapat pelajaran dari ji-wi dan kami mengakui bahwa kami telah kalah. Akan tetapi pedang ini saya peroleh dengan susah payah. Karena itu, untuk mendapatkan pedang ini, siapa saja orangnya, harus bisa merampasnya dari tangan saya. Saya harap ji-wi tak mengabaikan aturan dunia kangouw ini!”

“Biarkan aku yang maju merampasnya, Ji Ok!” kata Toa Ok.

“Tidak perlu engkau yang turun tangan, Toa Ok,” jawab Ji Ok. “Cukup aku yang maju merampas Pek-lui-kiam dari tangan Ang I Sianjin!”

Ji Ok melangkah maju mendekati Ang I Sianjin. “Bersiaplah engkau, Ang I Sianjin. Aku hendak merampas Pek-lui-kiam dari tanganmu!”

“Silakan, saya sudah siap!” jawab Ang I Sianjin sambil melintangkan pedang pusaka itu di depan dadanya.

Dia maklum bahwa dalam ilmu silat, dia seimbang dengan tingkat kepandaian Ji Ok. Tadi dia sudah melihat gerakan datuk itu ketika dikeroyok banyak anak buahnya. Dengan Toa Ok pun dia hanya kalah sedikit, akan tetapi hanya sinkang yang amat kuat dari Toa Ok yang tidak dapat dia lawan.

Ji Ok juga maklum setelah memegang Pek-lui-kiam, Ang I Sianjin merupakan lawan yang sangat berbahaya dan tangguh. Senjata cambuknya tentu akan segera putus rusak ketika bertemu dengan pedang pusaka itu. Dia harus berhati-hati, karena sesudah Ang I Sianjin menggunakan pedang pusaka itu sebagai senjata, apa bila dia tidak berhati-hati, mungkin dia akan menjadi korban ketajaman Pek-lui-kiam.

“Awas serangan!” bentak Ji Ok dan cambuknya sudah menyambar dengan cepat ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang.

Ang I Sianjin menggerakan pergelangan tangannya dan pedang Pek-lui-kiam menyambar turun untuk menyambut pecut itu. Dia merasa yakin bahwa sekali sabet saja tentu pecut itu akan putus. Akan tetapi Ji Ok cepat menarik cambuknya dan kini cambuk menyambar ke arah kepala Ang I Sianjin. Ketua Kui-jiauw-pang ini cepat mengelak dengan miringkan kepala, lantas pedangnya menyambar dari bawah, mengarah lambung lawan.

Ji Ok terkejut. Tadinya dia mengira bahwa Ang I Sianjin akan menggunakan pedangnya hanya untuk melepaskan pedang dari bahaya terampas. Namun tidak tahunya pedang itu sekarang menyambar bagaikan tangan maut yang hendak menjangkaunya! Dia pun cepat meloncat ke belakang dan balas menyerang. Cambuknya meledak-ledak di angkasa dan berputar membentuk gulungan sinar.

Kedua orang itu segera terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian. Melihat betapa sukarnya dia merampas pedang, kini Ji Ok juga mempergunakan serangan bukan hanya untuk merampas pedang belaka, melainkan untuk melukai atau bahkan membunuh lawannya!

Terjadilah pertandingan yang sangat seru dan hebat. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga yang kelihatan hanyalah segulung sinar pedang yang berkilauan serta segulung sinar cambuk yang menghitam. Begitulah dalam penglihatan para anggota Kui-jiauw-pang.

Akan tetapi bagi Toa Ok, tentu saja dia dapat mengikuti jalannya perkelahian itu dengan jelas dan mulailah dia merasa khawatir. Bila tadi dia dapat mengalahkan Ang I Sianjin dan puluhan orang pembantunya karena dia menang tenaga sinkang, sekarang keadaannya lain lagi. Ang I Sianjin memegang sebatang pedang pusaka yang amat ampuh, sedangkan tingkat kepandaian silat ketua Kui-jiauw-pang itu tidak berselisih banyak jika dibandingkan tingkat Ji Ok. Karena itu dia khawatir sekali kalau-kalau Ji Ok tak akan mampu merampas pedang pusaka, bahkan dia mungkin akan menjadi korban pedang ampuh itu.

Pertandingan itu memang seru bukan kepalang. Ang I Sianjin menang senjata, akan tetapi Ji Ok menang tenaga sinkang dinginnya. Berulang kali Ji Ok menyerang dengan tangan kirinnya, menghantam dan pukulannya mendatangkan hawa dingin yang kadang membuat Ang I Sianjin gemetar.

Namun sambaran pedang Pek-lui-kiam juga membuat Ji Ok terdesak sehingga kadang-kadang dia terpaksa meloncat ke belakang dan mundur. Dengan demikian maka keadaan kedua orang tokoh ini menjadi berimbang sehingga sukar diduga siapa di antara mereka yang akan keluar sebagai pemenang.

Melihat hal ini Toa Ok menjadi khawatir. Oleh karena itu, pada saat pedang di tangan Ang I Sianjin terbelit oleh ujung cambuk di tangan Ji Ok, mendadak Toa Ok meloncat dengan tongkat ular di tangannya dan tongkat itu menyambar dengan cepat sekali ke depan.

Agaknya Ji Ok hendak merampas pedang itu dengan membelitkan cambuknya kemudian menarik cambuk supaya pedang itu terlepas dari pegangan Ang I Sianjin. Akan tetapi Ang I Sianjin menahan pedangnya, bahkan menggunakan gagang kipasnya untuk menotok ke arah dada Ji Ok.

Ketika Ji Ok mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk menarik pedang sedangkan tangan kirinya menyambut kipas dengan cengkeraman, tepat pada saat itu pula tongkat di tangan Toa Ok datang menyambar.

Ang I Sianjin terhuyung ke belakang, dan Ji Ok juga terhuyung ke belakang. Akan tetapi pedang itu sudah terlepas dari tangan Ang I Sianjiin dan langsung disambar oleh Toa Ok dengan cepatnya. Ternyata Toa Ok telah menotok siku lengan kanan Ang I Sianjin sambil mendorong dengan tangan kirinya hingga Ang I Sianjin terpaksa melepaskan pedangnya dan tubuhnya terdorong ke belakang. Sebaliknya cambuk di tangan Ji Ok putus dan Ji Ok terdorong oleh tenaga tarikannya sendiri sehingga terhuyung ke belakang.

Kini Ang I Sianjin sudah dapat berdiri tegak kembali. Dia tidak terluka dan dia memandang kepada Toa Ok dengan pemasaran. Melihat pedang pusakanya berada di tangan datuk yang bertubuh gendut itu, dia berkata dengan penasaran.

“Kalian telah bertindak curang! Kalian mengeroyokku!”

Toa Ok tertawa dan sama sekali dia tidak merasa malu disebut curang. Segala perbuatan keji dan jahat sudah dia lakukan bersama Ji Ok, apa lagi bertindak curang.

“Ha-ha-ha, Ang I Sianjin, jangan berlaku bodoh dan pura-pura gagah! Ketika kami berdua melawanmu beserta puluhan orang anak buahmu, bukankah itu juga suatu pengeroyokan? Kalau engkau masih penasaran, engkau boleh mencoba untuk merampas pedang ini dari tanganku, akan tetapi aku tidak mau berjanji untuk tidak membunuhmu!”

Ditantang demikian, Ang I Sianjin diam saja. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan menang melawan datuk gendut ini, apa lagi Toa Ok sudah memegang Pek-lui-kiam.

“Baiklah, Toa Ok. Aku mengaku kalah dan seperti yang sudah kujanjikan, aku bersama semua anggota Kui-jiauw-pang mengangkatmu sebagai pimpinan. Akan tetapi aku minta agar dapat menjadi saudara kalian dan disebut Sam Ok (Jahat Ketiga). Bagaimana?”

Toa Ok dan Ji Ok saling pandang lantas mereka berpikir. Mendapatkan pembantu seperti Ang I Sianjin sungguh menguntungkan, apa lagi beserta seratus orang lebih anggota Kui-jiauw-pang yang boleh diandalkan. Sebaliknya kalau mereka menolak, tentu pernyataan takluk dari Ang I Sianjin hanya pada lahirnya saja, namun kelak orang itu dapat menjadi musuh dalam selimut yang berbahaya.

“Baiklah, Sam Ok!” kata Toa Ok.

Ji Ok tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, bagus sekali! Kami senang sekali mempunyai saudara ke tiga, dan sekarang kita harus merayakan peristiwa ini, Sam Ok!”

Diam-diam Ang I Sianjin juga merasa girang. Dia tahu bahwa banyak orang yang memiliki kepandaian tinggi sedang berlomba-lomba untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Tadinya dia mengandalkan anak buahnya yang banyak. Akan tetapi ternyata anak buahnya yang banyak itu tak mampu melindunginya dari Toa Ok dan Ji Ok. Dengan bergabung menjadi satu kini mereka bertiga merupakan kekuatan yang dapat menentang siapa pun juga, apa lagi ditambah dengan anak-anak buahnya.

Bagaimana pun juga kekalahannya dan kehilangan pedang pusaka itu tidak membuatnya kehilangan muka, karena kini dia bahkan menjadi Sam Ok, sebuah kedudukan yang lebih besar dari pada ketua Kui-jiauw-pang. Dengan julukan Sam Ok berarti dia telah terangkat menjadi anggota dari persaudaraan yang dikenal sebagai datuk barat!

Ang I Sianjin atau Sam Ok berpaling memandang anak buahnya dan dia berkata dengan lantang. “Kalian semua tentu sudah melihat dan mendengar sendiri! Mulai saat ini kalian memanggil Toa Ok dengan Toa-pangcu (Ketua Pertama), Ji Ok dengan Ji-pangcu (Ketua Kedua) dan aku Sam Ok dengan Sam-pangcu (Ketua Ketiga). Mengertikah kalian semua? Kalian sekarang dipimpin oleh tiga orang ketua sehingga kedudukan kita semakin kuat!”

Para anak buah itu sudah melihat sendiri kehebatan ilmu kepandaian dua orang datuk itu, karena itu dengan serentak mereka menjawab dengan sorakan gembira. Sam Ok segera memerintahkan para anak buahnya untuk mengadakan pesta merayakan peristiwa itu dan mereka makan minum dengan penuh kegembiraan.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Gadis yang mendaki Kui-liong-san dari barat itu sangat cantik dan gagah. Mukanya bulat telur, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dan setitik tahi lalat menghias dagunya, menambah kemanisan wajahnya yang putih kemerahan walau pun tanpa dirias dengan bedak dan yanci. Tubuhnya ramping padat dan langkahnya gemulai namun tetap. Dara itu masih muda, paling banyak baru sembilan belas tahun usianya. Rambutnya yang hitam dan panjang lebat itu digelung ke atas, dihias dengan tusuk konde perak berbentuk teratai.

Setelah agak lama memandang ke arah puncak Kui-liong-san, tanpa ragu lagi mulailah dia mendaki bukit itu. Melihat ada seorang gadis muda melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi dan berbahaya itu, mudah diduga dia tentulah seorang gadis kangouw yang mempunyai ilmu silat tinggi. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya sebatang pedang yang tergantung di punggungnya.

Memang dia bukan gadis biasa yang lemah. Sama sekali bukan. Ia adalah seorang gadis yang mempunyai ilmu silat yang tangguh sekali. Dia adalah Pek Bwe Hwa yang telah kita kenal.

Dara perkasa ini pernah berjumpa bahkan bertanding melawan Si Kong ketika dia menjadi tamu ketua Hek I Kaipang. Sesudah bertanding mereka saling mengenal dan bersahabat. Akan tetapi Si Kong langsung pergi sehingga Bwe Hwa tidak sempat mengenalnya lebih baik. Gadis itu meninggalkan kota Ci-bun dan melanjutkan perjalanannya mencari dan ikut memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam seperti yang dipesan ayahnya.

Pek Bwe Hwa adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Sing. Ibunya adalah Siangkoan Bi Lian yang pernah menggemparkan dunia persilatan pula. Ia mewarisi ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya, bahkan tahi lalat di dagunya itu persis milik ibunya. Bwe Hwa memiliki kekerasan dan keberanian hati seperti ibunya, namun memiliki ketenangan seperti ayahnya.

Dalam usianya yang sembilan belas tahun itu dia telah mahir ilmu silat Pek-sim-pang yang dimainkan dengan tongkat, juga ilmu Kwan-im Kiam-sut dan Kwan Im Sin-kun, yaitu ilmu pedang dan ilmu silat tangan kosong yang lemah lembut namun menyembunyikan daya serang yang amat kuat, dan Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas). Selain semua ilmu silat yang tinggi-tinggi itu, dia masih mempelajari ilmu sihir dari ayahnya! Karena itu tidak mengherankan kalau ayah bundanya merelakan dia pergi merantau, ikut memperebutkan Pek-lui-kiam karena mereka yakin Bwe Hwa cukup kuat untuk menjaga diri sendiri.

Meski pun masih muda namun Bwe Hwa memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya. Juga nama besar ayahnya sangat menolongnya ketika dia mencari keterangan tentang pedang pusaka Pek-lui-kiam. Akhirnya ia mendapat keterangan bahwa pedang pusaka itu berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang amat terkenal.

Sebelum berangkat merantau Bwe Hwa mendapat pesan dari ayah ibunya bahwa kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan penjahat, dia harus berusaha untuk merampasnya, akan tetapi jika terjatuh ke tangan seorang pendekar budiman, dia bahkan harus membela pendekar itu kalau diganggu orang jahat.

Kini dia mendengar betapa Kui-jiauw-pang merupakan sebuah perkumpulan orang-orang kejam dan jahat yang sudah sangat terkenal mempunyai pengaruh besar sekali terhadap dunia kangouw di sekitar daerah Kui-liong-san. Karena itulah maka pada pagi hari itu Bwe Hwa telah tiba di kaki gunung Kui-liong-san.

Matahari telah naik tinggi, tetapi sinarnya masih belum dapat menembus kegelapan hutan yang dimasuki Bwe Hwa itu. Di dalam hutan itu cuaca masih remang-remang karena sinar matahari hanya dapat menyusup masuk melalui celah-celah daun pepohonan. Akan tetapi pemandangan itu begitu indah. Sinar-sinar matahari itu membentuk garis-garis keputihan karena disambut hawa lembab yang keluar dari tanah yang selalu terlindung pohon-pohon itu.

Bwe Hwa melangkah terus. Pagi-pagi tadi dia telah berhenti di sebuah dusun dan sarapan di sebuah kedai bubur yang sederhana. Penjaga kedai itu terbelalak sesudah mendengar bahwa gadis itu hendak mendaki Kui-liong-san.

“Maaf, nona. Nona hendak mendaki Kui-liong-san, mempunyai keperluan apakah?” tanya kakek penjual bubur itu.

Bwe Hwa tersenyum. “Aku mendaki gunung untuk pesiar, paman.”

Orang itu memandang penuh kekhawatiran. “Ah, nona keliru memilih tempat untuk pesiar! Kui-liong-san bukan tempat untuk pesiar, nona. Di sana sudah menanti bahaya-bahaya maut bagi siapa saja yang berani memasuki hutan-hutan di bukit itu.”

“Ada bahaya apakah, paman?” tanya Bwe Hwa, pura-pura tidak tahu padahal dia sudah mendengar bahwa bukit itu merupakan sarang perkumpulan Kui-jiauw-pang yang tersohor jahat.

“Apakah nona belum mendengar? Gunung itu mempunyai hutan-hutan yang liar, penuh dengan binatang-binatang buas yang berbahaya sekali!”

Bwe Hwa tersenyum lagi. “Aku tidak takut terhadap binatang buas, paman. Aku memiliki pedang untuk mengusir kalau ada yang berani menggangguku.”

“Akan tetapi... ah, apakah nona belum mendengar?” Orang itu memandang ke kanan kiri, agaknya takut kalau-kalau ada yang mendengar ucapannya. “Gunung itu sudah menjadi sarang setan dan iblis! Siapa yang berani mendaki bukit itu, tentu tidak akan dapat turun kembali. Karena itu kunasehatkan, lebih baiik pilihlah tempat lain untuk pesiar, nona.”

Bwe Hwa melangkah maju dengan tenang. Sama sekali hatinya tidak menjadi jeri setelah mendengar keterangan pemilik kedai bubur itu. Dia dapat menduga bahwa setan dan iblis yang dimaksudkan oleh penjual bubur itu tentu anak-anak buah Kui-jiauw-pang.

Tiba-tiba dia mendengar suara berkeresekan dari arah kiri. Di situ terdapat semak-semak belukar yang lebat. Dia menjadi waspada karena hidungnya mencium bau yang mencolok hidung. Bau yang keras dan apek. Kemudian dia mendengar suara gerengan halus tetapi menggetarkan jantung.

Bwe Hwa berhenti melangkah dan menghadapi semak belukar itu. Ia merasa yakin bahwa di dalam semak-semak itu tentu bersembunyi seekor binatang buas. Dia sudah siap siaga menghadapi binatang buas apa pun.

Kemudian muncullah binatang itu. Mula-mula hanya kepalanya saja yang muncul keluar. Kepala seekor harimau yang besar! Mata harimau itu mencorong dan gerengannya makin lama semakin kuat, menggetarkan jantung. Akan tetapi Bwe Hwa menghadapi harimau itu dengan tenang dan siap.

Harimau itu keluar dari dalam semak-semak dan melihat perutnya yang kempis, Bwe Hwa bisa menduga bahwa binatang itu sedang kelaparan. Dan seekor harimau yang kelaparan merupakan binatang yang sangat buas dan berbahaya, berani menyerang apa saja yang kiranya dapat dijadikan mangsanya.

Perlahan-lahan harimau itu berjalan menghampiri Bwe Hwa. Setelah jarak antara harimau dan gadis itu tinggal empat meter lagi, harimau itu berhenti dan kembali mengaum dengan dahsyatnya, lalu dia mendekam. Nampak otot-ototnya yang menggeletar.

Kemudian dengan tiba-tiba sekali dia meloncat ke depan dan loncatan yang kedua kalinya dilakukan dengan kuat sehingga tubuhnya melambung ke atas dan menyerang Bwe Hwa dengan terkaman dua kaki depannya yang kuat.

Bwe Hwa yang sejak tadi bersikap tenang dan waspada, cepat mengelak dan menyusup di bawah perut harimau itu. Tubrukan itu luput dan harimau itu mengaum kembali sambil membalikkan tubuhnya dengan cepat. Agaknya kegagalannya dengan serangan tadi telah membuat dia marah sekali.

Bwe Hwa langsung mencabut pedangnya. Dia tidak boleh main-main dengan harimau itu karena binatang itu amat buas dan cepat kuat. Binatang itu mengaum lagi dan sekarang menyerang dengan terkaman rendah, kedua kaki depan mencengkeram dan moncongnya telah siap untuk menggigit bila korbannya dapat dicengkeram dengan dua kaki depannya. Bwe Hwa sudah siap pula. Ketika harimau itu menerkamnya, dia cepat menggeser kaki ke kiri lalu pedangnya membalik dan membacok ke arah kedua kaki itu.

“Crokkk…!”

Kedua kaki depan itu terbacok putus dan harimau itu terbanting ke atas tanah, kemudian menggereng-gereng dan berusaha bangkit akan tetapi selalu terpelanting roboh kembali. Darah bercucuran dari kedua kaki depan yang buntung itu.

Melihat harimau itu menggereng-gereng kesakitan dan tubuhnya bergulingan tidak mampu bangkit, timbullah perasaan iba di hati Bwe Hwa. Bagaimana pun juga harimau itu tidak jahat. Ia menyerang siapa saja yang bisa dijadikan mangsanya, untuk mencegahnya dari mati kelaparan. Tidak pantas kalau dia menyiksanya. Harimau itu takkan dapat bertahan hidup dengan kedua kaki depan buntung, tentu tidak dapat menangkap mangsa lagi dan akan mati kelaparan.

Sesudah sejenak mempertimbangkan, Bwe Hwa melompat ke depan, pedangnya terayun lantas harimau itu pun rebah dan tidak dapat bergerak lagi. Leher harimau yang kokoh itu terbabat pedang pusaka Kwan-im-kiam hingga hampir putus!

Mendadak terdengar orang bertepuk tangan memuji, disusul kata-katanya kagum, “Wah, hebat sekali!”

Bwe Hwa cepat membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang pemuda tampan berdiri tak jauh darinya. Pemuda itu berpakaian serba putih, rambutnya diikat dengan pita kuning dan pada ikat pinggangnya yang merah itu terselip sebatang suling perak.

Pemuda itu nampak tampan, dan terutama amat bersih sehingga sama sekali tak sesuai dengan keadaan sekelilingnya. Baju putih itu sama sekali tidak ternoda, seolah baru saja dia mengenakannya. Usia pemuda itu sekitar dua puluh lima tahun, gerak-geriknya lembut dan senyumnya memikat.

Bwe Hwa hanya memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia belum pernah melihat pemuda ini dan hatinya bertanya-tanya siapakah pemuda yang amat pesolek dan tampan ini dan apa pula maksudnya muncul di dalam hutan di kaki gunung Kui-liong-san ini.

Pemuda itu pun seolah-olah terpesona. Dia melihat seorang dara yang cantik jelita seperti dewi dari langit, akan tetapi selain cantik jelita juga gagah perkasa karena berani melawan seekor harimau besar yang kelaparan, bahkan telah membunuhnya. Akhirnya pemuda itu menyadari bahwa kemunculannya tentu mengejutkan dan mencurigakan gadis itu, maka dia pun tersenyum dan menjura memberi hormat.

“Maafkan aku, nona. Tadi ketika aku sedang berjalan di dalam hutan ini, tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh auman suara harimau yang marah. Aku terkejut dan cepat menuju ke sini, dan aku masih sempat melihat nona memenggal leher harimau itu. Sungguh aku merasa kagum sekali kepadamu, nona. Akan tetapi yang mengherankan hatiku, harimau itu telah buntung kedua kaki depannya dan tak mungkin dapat menyerangmu lagi. Kenapa engkau membunuhnya, Nona?”

Bwe Hwa merasa tidak senang ditegur oleh lekaki yang sama sekali tidak dikenalnya ini, akan tetapi karena pemuda ini bersikap sopan dan ucapannya juga teratur dan sopan, dia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.

“Justru karena kedua kaki depannya putus maka aku membunuhnya untuk menghentikan derita siksaan sampai dia mati kelaparan.”

Pemuda itu mengangkat dua tangannya ke depan dada dengan sikap hormat dan kagum. “Bukan main! Nona seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi, juga sangat bijaksana. Apa yang nona lakukan itu memang tepat sekali, membuktikan akan kemuliaan hati nona. Nona, secara kebetulan sekali kita bertemu di sini, karena itu sudah sepatutnya kalau kita saling berkenalan, tentu saja kalau nona tidak merasa terlampau tinggi dan mulia untuk mengenalku, seorang yang bodoh dan tak berarti. Namaku adalah Coa Leng Kun, nona.”

Kita pernah berkenalan dengan pemuda ini. Dia adalah pemuda yang pernah beberapa kali membantu Tang Hui Lan bahkan sudah berkenalan dengan Tang Hui Lan. Pemuda itu adalah Coa Leng Kun. Pemuda ini sudah yatim piatu dan sudah mewarisi ilmu silat dari mendiang Hek Tok Siansu.

Pada saat Hek Tok Siansu tewas di tangan Hay Hay, dia telah menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid yang bernama Giam Tit. Giam Tit inilah yang mengajarkan semua ilmunya kepada Coa Leng Kun. Ketika Giam Tit yang menjadi seorang perampok tunggal terluka parah oleh keroyokan beberapa orang pendekar Bu-tong-pai, sebelum meninggal dunia dia berpesan kepada muridnya supaya membalaskan kematian kakek gurunya. Dia sendiri tidak dapat melakukan balas dendam itu, maka dia minta supaya Coa Leng Kun mewakili gurunya membalaskan dendam atas kematian Hek Tok Siansu kepada Hay Hay dan keluarganya.

Ketika bertemu dengan Tang Hui Lan, diam-diam Coa Leng Kun merasa gembira sekali. Hui Lan adalah puteri musuh besarnya. Dia ingin mendekati gadis itu dan kalau mungkin memperisterinya sehingga kelak dengan mudah dia dapat mengatur untuk membalaskan dendam gurunya dan menyeret keluarga musuh besarnya itu ke lembah kehancuran.

Akan tetapi Hui Lan meninggalkannya dan tidak mau dekat dengannya, karena itu dia pun berusaha untuk mengejar. Akan tetapi dia telah kehilangan jejak gadis perkasa itu. Maka ia pun melakukan perjalanan ke Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam dan kalau mungkin merampasnya. Inilah sebabnya kenapa dia berada di hutan di kaki gunung Kui-liong-san dan secara kebetulan dapat bertemu dengan Bwe Hwa.

Bwe Hwa adalah seorang gadis yang keras hati. Kalau orang bersikap keras kepadanya tentu dia akan menjadi marah. Tapi kalau orang bersikap lembut dan hormat kepadanya, dia menjadi seorang gadis yang lembut pula. Mendengar pemuda itu memperkenalkan diri dan bersikap demikian sopan, dia merasa tidak enak kalau tidak menanggapinya. Dia pun membalas penghormatan orang dan memperkenalkan dirinya.

“Aku bernama Pek Bwe Hwa,” katanya singkat.

Coa Leng Kun mengerutkan alis dan menatap tajam. “She Pek? Aku pernah mendengar tentang keluarga Pek yang menjadi ketua dari perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) yang berada di kota Kong-goan di propinsi Secuan. Entah apa hubungan nona dengan mereka?”

Bwe Hwa tersenyum. Pemuda ini agaknya mengenal dunia kangouw karena perkumpulan Pek-sim-pang yang berada di tempat yang demikian jauhnya, dapat dia kenali.

“Ketua Pek-sim-pang adalah kakekku,” dia menerangkan dengan pendek.

“Ahh, kalau begitu aku sudah bersikap kurang hormat kepadamu, nona Pek!” Coa Leng Kun kembali menjura dan memberi hormat. “Tidak mengherankan kalau nona begini lihai dan budiman, kiranya nona adalah cucu ketua Pek-sim-pang!”

“Sudahlah, tidak perlu basa basi ini. Sebenarnya apa yang mendorongmu datang ke Kui-liong-san ini, saudara Coa Leng Kun? Tempat ini tidak layak untuk didatangi orang yang berpesiar.”

Coa Leng Kun tersenyum. “Tepat sekali pertanyaanmu ini, nona Pek. Di dalam hatiku juga ada pertanyaan seperti itu untukmu. Engkau adalah seorang gadis, lebih aneh lagi berada di tempat liar dan berbahaya seperti ini. Akan tetapi kalau melihat kelihaianmu agaknya aku mengerti jawabannya.”

“Hemm, coba terangkan kalau benar engkau mengerti mengapa aku datang ke tempat ini.”

“Menurut dugaanku, engkau tentu datang ke tempat ini sehubungan dengan Pek-lui-kiam! Kui-liong-san terkenal sebagai tempat yang gawat, berbahaya dan ditakuti semua orang. Akan tetapi tempat ini juga menarik karena ada desas-desus bahwa Pek-lui-kiam berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang berpusat di puncak bukit ini. Maka, apa lagi yang menarik hatimu untuk berkunjung ke sini kalau tidak karena Pek-lui-kiam?”

Bwe Hwa tersenyum. Dia mulai tertarik kepada pemuda ini. Sikapnya halus dan sopan, akan tetapi ramah dan terbuka sehingga dara ini menilai bahwa Leng Kun tentu seorang pemuda yang jujur, terpelajar dan juga pandai ilmu silat.

“Kalau dugaanmu memang begitu, maka demikian pula dugaanku. Engkau tentu datang ke sini karena Pek-lui-kiam pula,” katanya.

Coa Leng Kun tertawa. “Engkau sangat cerdik dan menduga dengan tepat sekali, nona. Akan tetapi sedikit sekali harapan bagiku untuk dapat merebut pusaka itu jika mengingat bahwa orang-orang pandai seperti nona juga ikut memperebutkannya. Biarlah aku hanya meramaikan suasana dan ikut menonton saja.”

Pemuda ini sangat pandai merendahkan dirinya sendiri, sikap rendah hati yang baik, pikir Bwe Hwa. Timbul keinginannya untuk mengukur sampai di mana kehebatan ilmu silatnya.

“Engkau terlalu merendahkan diri, saudara Coa. Aku yakin bahwa engkau tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Karena itu kuharap engkau tidak menolak untuk saling mengukur ilmu silat masing-masing.”

Leng Kun melangkah mundur dan mengangkat tangan kanannya ke atas. “Ahh, mana aku berani, nona? Jangan-jangan baru satu dua jurus saja aku bernasib seperti harimau ini!”

Bwe Hwa lalu tersenyum. “Engkau bukan harimau yang hendak menerkam aku. Lagi pula mengukur kepandaian tidak sama dengan bertanding karena bermusuhan. Tentu saja kita tak perlu saling melukai. Akan tetapi aku ingin sekali mencoba ilmu silatmu, saudara Coa. Bila kita sudah saling mengetahui kepandaian masing-masing, barulah kita dapat menjadi sahabat.”

“Ah, engkau bersahabat dengan aku yang tolol ini, nona? Terima kasih, dan kalau begitu pendapatmu, aku tidak berani menolak lagi. Akan tetapi harap engkau kasihani diriku dan tidak mendesak terlalu hebat.”

“Keluarkanlah senjatamu, saudara Coa!” kata Bwe Hwa yang segera mencabut Kwan-im-kiam dari punggungnya dan melintangkan pedang itu di depan dadanya.

Seperti yang diduga oleh Bwe Hwa, pemuda itu lalu mencabut suling perak yang terselip di ikat pinggangnya dan begitu suling itu digerakkan, terdengar suara melengking seolah suling itu ditiup dan dimainkan. Baru gerakan ini saja sudah membuat dia maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga sinkang yang kuat, maka dia menjadi semakin gembira dan kagum. Akan tetapi dia merasa khawatir kalau-kalau pedangnya akan merusak suling itu, maka dia pun berkata dengan suara lembut.

“Saudara Coa, ketahuilah bahwa pedangku ini adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh dan tajam sekali. Aku khawatir sulingmu yang terbuat dari perak itu akan menjadi rusak kalau bertemu dengan pedangku.”

Leng Kun tersenyum lebar. “Jangan khawatir, nona. Sulingku ini juga merupakan pusaka yang ampuh dan terbuat dari pada baja biru yang kuat. Warna perak itu hanya merupakan selimut saja, agar nampak indah dan kalau dimainkan merdu suaranya. Jangan khawatir, sulingku ini tidak akan rusak.” Setelah berkata demikian, Leng Kun memasang kuda-kuda dengan suling diangkat di atas kepala dan menuding ke depan, tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat menempel kaki kanan. Kuda-kudanya ini kokoh dan juga gagah sekali.

“Aku telah siap, nona. Mulailah!”

Bwe Hwa tidak banyak cakap lagi. Dia memang ingin sekali melihat kelihaian pemuda ini. Kalau kepandaiannya hanya rendah saja, untuk apa bersahabat dengannya?

“Lihat pedang!” bentaknya dan pedangnya sudah bergerak menusuk ke arah dada.

Leng Kun menurunkan dan menggeser kakinya mengelak, lalu sulingnya menyambar ke arah leher Bwe Hwa. Gadis ini cepat mengelak kemudian membalas dengan pedangnya, membabat kaki Leng Kun. Namun dengan ringan Leng Kun meloncat ke atas, sulingnya menyambar ke bawah untuk menangkis pedang.

“Cringgg…! Trangg...!” Dua kali suling bertemu pedang dan bunga api berpijar, akan tetapi benar seperti yang dikatakan Leng Kun, suling itu tidak menjadi rusak.

Mereka lalu saling serang dengan seru. Bwe Hwa sudah memainkan Kwan-im Kiam-sut. Tubuhnya berkelabatan ke sana-sini menjadi bayangan yang dilindungi oleh sinar pedang yang bergulung-gulung. Akan tetapi Leng Kun memainkan sulingnya dengan sangat hebat dan aneh pula. Nampak gulungan sinar putih berkeredapan dibarengi suara melengking-lengking!

Setelah bertanding selama lima puluh jurus, tahulah Bwe Hwa bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Dia akan menang apa bila mereka berkelahi benar-benar, namun akan memakan waktu yang cukup lama. Sesudah puas menguji ilmu silat pemuda itu, dia membentak dengan suara penuh getaran berwibawa.

“Coa Leng Kun, tidak mungkin engkau mampu melawan pedangku yang berubah menjadi sepuluh batang!” Gadis itu mengerahkan tenaga batin, menggunakan sihir untuk mencoba pemuda itu. Ternyata ia telah menggunakan kekuatan batinnya dan mempengaruhi pikiran pemuda itu.

Coa Leng Kun terbelalak melihat betapa gadis itu kini memainkan sepuluh batang pedang yang mengepungnya dari segala penjuru! Dia melompat jauh ke belakang sambil berseru, “Nona Pek Bwe Hwa, aku mengaku kalah!”

Bwe Hwa tersenyum dan dia pun menghentikan serangannya. Pemuda itu masih bengong keheranan. “Nona, ilmu pedang apakah yang kau mainkan tadi? Tiba-tiba saja pedangmu menjadi banyak sekali sehingga aku terkurung dan tidak mampu lagi melawan.”

Bwe Hwa merasa senang. Walau pun dalam ilmu silat dia hanya menang sedikit saja dari pemuda ini, namun dengan menggunakan kekuatan sihirnya dia mampu mengalahkannya dalam waktu singkat saja.

“Ahh, ilmu pedangku tidak seberapa kalau dibandingkan dengan ilmu silat sulingmu yang lihai itu, saudara Coa.”

“Nona Pek, engkau tidak perlu merendahkan diri, aku tahu betul bahwa aku tidak mampu menandingimu. Sekarang kita telah berkenalan, bahkan telah bertanding pula yang berarti bahwa kita sudah menjadi sahabat. Mengapa engkau masih menyebutku saudara Coa? Terdengarnya begitu asing.”

“Habis engkau juga menyebut aku nona, lalu aku harus menyebutmu apa?”

“Engkau lebih muda dariku, pantas kusebut moi-moi (adik perempuan) dan kalau engkau tidak keberatan, aku akan senang sekali kalau kau sebut twako (kakak pria). Bagaimana pendapatmu, Hwa-moi?”

Bwe Hwa sudah mengenal watak dan sikap pemuda itu yang sopan dan lembut, maka dia pun tidak keberatan untuk menganggap pemuda itu sebagai sahabat atau kakaknya.

“Baiklah, Kun-ko,” jawabnya sederhana.

Bukan main girangnya rasa hati Leng Kun. “Kita sudah menjadi sahabat baik atau bahkan saudara, akan tetapi kita tidak saling mengenal keadaan masing-masing. Maukah engkau menceritakan siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu, dan di manakah engkau tinggal. Hwa-moi? Akan tetapi biarlah aku yang lebih dulu bercerita. Seperti telah kuperkenalkan tadi, namaku Coa Leng Kun. Kini aku tidak mempunyai orang tua lagi, juga guruku telah meninggal dunia. Aku hidup seorang diri, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan suka berkelana. Dalam perjalananku aku mendengar tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya berada di tangan Ang I Sianjin. Pusaka itu tadinya adalah milik pendekar besar Tan Tiong Bu yang tinggal di Sia-lin. Akan tetapi pada suatu hari pendekar Tan Tiong Bu dibunuh orang dan pedang pusaka Pek-lui-kiam lenyap. Menurut dugaan orang, tentu Ang I Sianjin yang membunuh pendekar itu dan mencuri pedangnya. Nah, demikianlah keadaan diriku. Tidak menarik sama sekali.”

“Dari siapa engkau mempelajari ilmu silatmu yang lihai itu? Siapakah gurumu yang sudah meninggal dunia itu?”

“Tentu saja aku mempelajarinya dari guruku. Beliau adalah seorang pertapa yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri dari dunia ramai. Bahkan pun tidak ada seorang pun yang mengetahui namanya. Kepadaku dia hanya mengatakan bahwa dia sudah lupa akan namanya dan minta disebut Bu-beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama). Nah, sekarang aku ingin mendengar tentang dirimu, Hwa-moi.”

“Tidak ada yang aneh tentang diriku, Twako. Seperti telah kukatakan kepadamu, namaku Pek Bwe Hwa. Guruku adalah orang tuaku sendiri dan kami tinggal di Kong-goan, propinsi Secuan, bersama kakekku yang menjadi ketua Pek-sim-pang. Kini aku sedang merantau untuk meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman di dunia kangouw. Ayah dan ibuku sudah memesan kepadaku agar aku ikut pula menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Aku pun mendengar juga tentang kematian Tan Tiong Bu dan pembunuhnya adalah seorang kakek berpakaian merah yang tinggi kurus. Dunia kangouw langsung dapat menduganya bahwa pembunuh itu adalah Ang I Sianjin ketua Kwi-jiauw-pang di bukit ini. Maka aku pun datang ke sini untuk menyelidikinya.”

“Dengan kepandaianmu aku yakin bahwa engkau tentu akan berhasil merampas pedang pusaka itu, Hwa-moi.”

“Aihh, belum tentu, twako. Setidaknya di sini ada engkau pula yang tidak kalah lihai. Kalau ada kemungkinan bahwa aku yang akan berhasil, tentulah ada kemungkinan pula bahwa engkau juga akan berhasil.”

“Tidak, Hwa-moi. Aku tidak mau berebut denganmu, malah aku akan membantumu untuk mendapatkan pedang pusaka itu!”

Bwe Hwa memandang tajam penuh selidik. Ia merasa heran dan curiga kepada Coa Leng Kun. Pemuda itu baru saja bertemu dan berkenalan dengannya, tapi mengapa begitu baik dan hendak membantunya mendapatkan Pek-lui-kiam? Kebaikan yang berlebihan ini tentu mengandung niat dan pamrih tertentu. Ayahnya sudah menasehatkan kepadanya bahwa lawan yang paling berbahaya adalah orang yang bersikap terlalu baik kepadanya. Apakah pemuda ini diam-diam mengandung maksud jahat terhadap dirinya? Ia harus berhati-hati.

“Kun-ko, kenapa engkau begitu baik kepadaku?”:

Leng Kun tersenyum. “Tentu saja, Hwa-moi. Bukankah kita telah bersahabat?”

“Hemm, baru saja kita bertemu dan berkenalan.”

“Akan tetapi kita sudah bertanding dan mengenal keadaan masing-masing. Aku merasa seolah sudah lama sekali kita berkenalan, Hwa-moi. Aku merasa amat kagum kepadamu, dan suka sekali. Ahh, sampai lupa aku! Hwa-moi, harimau ini telah kau bunuh, akan tetapi sia-sialah kalau dibiarkan begitu saja. Pernahkah engkau merasakan daging harimau?”

“Daging harimau?” Bwe Hwa memandang heran ketika percakapan mereka tiba-tiba saja membelok ke arah lain. “Aku belum pernah memakannya.”

“Wah, engkau harus merasakannya, Hwa-moi. Apa bila pandai memasaknya maka daging harimau itu lezat sekali. Biar pun kita tidak membawa alat masak, aku tahu cara yang baik untuk memanggang dagingnya. Aku membawa bumbu penyedap untuk itu.”

Tanpa banyak cakap lagi Leng Kun lalu mengambil sebuah pisau belati dari pinggangnya dan dia mulai mengerat daging harimau itu, mengambil bagian pahanya. Bwe Hwa hanya menonton saja, kecurigaannya sudah terlupa lagi olehnya.

Dia hanya duduk di atas batu sambil melihat pemuda itu bekerja. Dengan cekatan Leng Kun menguliti potongan paha itu, kemudian mengiris dagingnya menjadi beberapa potong. Diambilnya bumbu garam, merica dan lain-lain dari buntalannya. Setelah memberi bumbu kepada daging-daging itu, lantas dibuatnya api unggun. Daging-daging paha yang menjadi beberapa potong sebesar kepalan tangan itu lalu ditusuk dengan belahan bambu yang dia dapatkan di sekitar tempat itu, dan dipanggangnyalah daging-daging itu. Bwe Hwa segera mencium bau yang sangat sedap sehingga timbul seleranya. Dia kini membantu Leng Kun memanggang daging-daging itu.

“Coba cicipilah!” kata Leng Kun sambil memberikan sepotong bambu yang menusuk dua potong daging kepada Bwe Hwa.

“Hemm, baunya sedap sekali!” kata Bwe Hwa terus terang dan sesudah daging itu agak mendingin, dia segera menggigitnya. Ternyata memang lezat sekali, ada rasa gurih dan manis, berbau sedap karena dibumbui. Mereka lalu makan habis semua potongan daging harimau panggang itu dan mereka minum dari bekal minuman masing-masing. Bwe Hwa membawa bekal minuman air jernih, sedangkan Leng Kun membawa seguci arak.

Setelah makan dan minum, Leng Kun berkata kepada Bwe Hwa, “Sekarang kita lanjutkan pendakian ke sarang Kwi-jiauw-pang, Hwa-moi. Akan tetapi karena penjagaan tentu ketat, sebaiknya kalau kita berpisah. Engkau jalan dari arah kiri dan aku akan mendaki dari arah kanan. Nanti kita bertemu lagi di atas. Dengan berpencar kita akan lebih mudah masuk ke sarang mereka. Setidaknya seorang di antara kita tentu berhasil.”

Bwe Hwa mengangguk. “Pendapatmu benar sekali. Perkumpulan Kui-jiauw-pang itu kuat sekali, siapa tahu mereka memasang perangkap di sepanjang jalan menuju ke atas.”

“Harap engkau suka berhati-hati, Hwa-moi. “

“Sampai nanti, Kun-ko.”

Bwe Hwa lalu meloncat ke kiri dan sebentar saja dia sudah lenyap dari pandangan mata Leng Kun. Pemuda ini menarik napas panjang, merasa kagum bukan main. Dia pun lalu berlari ke arah kanan dengan cepatnya.

Coa Leng Kun berlari dengan cepat sekali, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak belukar. Melihat cara dia berlari tanpa ragu, mudah diduga bahwa pemuda ini sudah tak asing dengan daerah pegunungan itu. Dan dia mengambil jalan pintas, tidak menurut jalan setapak melainkan menerobos semak-semak. Tak lama kemudian dia telah sampai di depan pintu gerbang perkumpulan Kui-jiaw-pang yang berdiri di tengah puncak bukit yang datar.

Selusin anggota Kui-jiaw-pang muncul dari gardu penjagaan dan segera menghadang di tengah pintu gerbang. Mereka memandang heran dan penuh kecurigaan kepada pemuda tampan berpakaian putih yang tahu-tahu tiba di depan pintu gerbang. Tentu pemuda itu tidak menggunakan jalan setapak sehingga dapat tiba di situ tanpa mereka ketahui. Kalau melalui jalan setapak, tentu pemuda itu akan menemui rintangan dan jebakan yang telah mereka pasang.

“Heii, berhenti! Siapa engkau yang berani datang ke sini tanpa diundang?” bentak kepala jaga dengan suara lantang.

Leng Kun tersenyum sambil berdiri tegak, matanya menentang pandangan mata selusin orang itu. “Bagus, kalian sudah melakukan penjagaan dengan ketat dan baik. Akan tetapi aku bukanlah lawan, melainkan kawan.”

Dia mengeluarkan sebuah bendera kecil dari saku bajunya. Bendera itu berdasar warna biru dan di tengahnya terdapat sulaman gambar setangkai bunga teratai putih. “Serahkan ini kepada ketua kalian!”

Sikap kepala jaga segera berubah ketika melihat bendera itu. Dia menerima bendera itu, lalu memberikan kepada seorang anak buah untuk membawa bendera itu kepada ketua mereka, dan kepada Leng Kun dia berkata ramah, “Harap kongcu suka menanti sebentar di dalam gardu, menunggu kembalinya pelapor tadi.”

Leng Kun mengangguk sambil tersenyum kemudian duduk di dalam pos penjagaan. Para penjaga tidak ada yang berbicara, akan tetapi pandangan mata mereka ke arah pemuda itu memperlihatkan perasaan takut.

Tak lama kemudian pelapor itu kembali sambil mengikuti Ang I Sianjin atau Sam Ok yang melangkah dengan cepat menuju gardu itu. Dia memandang kepada Leng Kun dengan tercengang. Tadinya dia mengira bahwa utusan Pek-lian-pai yang memiliki bendera tanda utusan yang berkuasa penuh itu adalah seorang pendeta Pek-lian-kauw yang telah lanjut usianya. Siapa kira bahwa utusan itu seorang pemuda tampan yang berpakaian rapi.

Leng Kun bangkit berdiri kemudian merangkapkan kedua tangannya di depan dada ketika melihat laki-laki berjubah merah itu. “Apakah aku berhadapan dengan Kui-jiauw-pangcu sendiri?” tanya Leng Kun.

Ang I Sianjin atau Sam Ok membalas penghormatan itu kemudian menjawab, “Benar, aku adalah Sam Pangcu (Ketua ketiga). Mari silahkan, sicu.”

Leng Kun mengikuti Sam Ok memasuki pintu gerbang. Dia melihat sebuah perkampungan yang dikitari oleh pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Dalam perkampungan itu terdapat banyak rumah tembok yang mengelilingi sebuah rumah induk yang besar dan megah. Ke rumah besar inilah dia diajak masuk.

Mereka memasuki sebuah ruangan yang luas dan Leng Kun melihat dua orang kakek lain sedang duduk di atas kursi. Orang pertama bertubuh gendut, kepalanya besar dan botak, dan telinganya lebar. Orang ini menyambut kedatangannya dengan senyuman lebar. Dia kelihatan penyabar dan baik hati.

Ada pun orang kedua bertubuh kurus pendek, mukanya penuh rambut seperti monyet dan rambutnya panjang tebal sampai ke pinggang. Jika orang pertama berpakaian serba putih, orang kedua ini berpakaian serba hitam. Usia mereka sebaya dibandingkan Ang I Sianjin.

Begitu memasuki ruangan itu, Coa Leng Kun yang tak dapat menahan keinginan tahunya, segera bertanya kepada Ang I Sianjin, “Ang I Sianjin, aku mendapat keterangan bahwa engkau adalah ketua Kui-jiauw-pang, akan tetapi kenapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau adalah Sam Pangcu?”

“Sicu, jangan sebut aku Ang I Sianjin lagi. Sekarang nama julukanku adalah Sam Ok dan menjadi ketua nomor tiga di Kui-jiauw-pang. Perkenalkanlah, kedua orang ini adalah Toa Ok dan Ji Ok yang menjadi Toa-pangcu dan Ji-pangcu di perkumpulan kami. Tetapi kami belum mengetahui siapa namamu.”

“Namaku adalah Coa Leng Kun,” jawab pemuda itu, “aku diutus oleh para pimpinan Pek-lian-pai untuk membantumu. Namun dengan adanya Toa-pangcu dan Ji-pangcu, kepada siapakah aku akan melakukan perundingan?” Pemuda itu memandang dengan ragu-ragu kepada dua orang kakek itu.

“He-heh-heh-heh, kami merasa senang sekali dapat bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Engkau bisa melakukan perundingan dengan kami bertiga di sini. Akan tetapi keadaanmu benar-benar membuat kami ragu dan sangsi. Mengapa utusan yang berkuasa penuh dari Pek-lian-pai hanya seorang pemuda? Sungguh sembrono sekali para pimpinan Pek-lian-pai mengutus seorang muda untuk melaksanakan pekerjaan yang sangat penting,” kata Toa Ok.

“Selama ini, pihak Pek-lian-pai selalu mengirim utusan yang sudah tua dan matang dalam pengalaman, baru sekali ini mengirim utusan muda,” kata Sam Ok. “Ini memang aneh dan mencurigakan. Akan tetapi bendera utusan itu asli. Toa Ok, bagaimana kalau kita menguji dia terlebih dulu?”

“Bagus, memang sebaiknya begitu. Coa Leng Kun, kami ragu melihat engkau yang muda menjadi utusan Pek-lian-pai. Kami hendak menguji kemampuanmu dahulu karena orang yang tidak mempunyai cukup kepandaian tidak patut untuk merundingkan urusan penting dengan kami.”

Coa Leng Kun tersenyum mengejek. “Para pimpinan Pek-lian-pai tentu tidak akan senang mendengar ketidak percayaan kalian. Tentu saja aku siap untuk menghadapi pertandingan ujian dengan siapa pun juga.”

Mulutnya berkata demikian, akan tetapi di dalam hatinya dia terkejut mendapat kenyataan bahwa Kui-jiauw-pang kini dipimpin oleh tiga ketua, dan yang dua orang adalah Toa Ok dan Ji Ok. Dia sudah mendengar akan nama besar dua orang datuk sesat dari barat itu. Akan tetapi dia tetap bersikap tenang.

Ang I Sianjin atau Sam Ok sudah lama menjalin hubungan dengan pihak Pek-lian-kauw, bahkan dia dan mereka telah bersekutu untuk mencoba lagi melakukan permberontakan terhadap kerajaan Beng yang sekarang dipimpin oleh Kaisar Wan Li.

Pek-lian-pai ingin melakukan gerakan pemberontakan lagi sesudah usahanya berkali-kali gagal berkat kepandaian dua orang menteri, yaitu Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng. Akan tetapi sekarang kedua orang menteri arif bijaksana dan pandai itu telah tidak ada, telah meninggal dunia, karena itu pihak Pek-lian-pai menjadi berani untuk bergerak. Mereka mengumpulkan perkumpulan-perkumpulan sesat untuk ditarik menjadi sekutu mereka dan di antara perkumpulan sesat itu adalah Kui-jiauw-pang.

Ang I Sianjin yang kini menjadi Sam Ok terkejut sekali mendengar bahwa Toa Ok dan Ji Ok akan menguji kepandaian Coa Leng Kun. Dia sudah tahu akan kehebatan ilmu kedua orang datuk itu. Akan tidak enaklah dia terhadap Pek-lian-pai jika sampai utusan mereka dikalahkan dan dilukai. Maka, dia segera bangkit berdiri dan berkata,

“Harap Toa Ok dan Ji Ok tidak perlu turun tangan sendiri menguji kepandaian utusan Pek-lian-pai ini. Aku sendiri yang akan mengujinya.”

Toa Ok dan Jik Ok mengangguk-angguk. Mereka berdua juga sudah mendengar bahwa Pek-lian-pai adalah perkumpulan besar yang sangat kuat dan dipimpin oleh banyak orang pandai. Mereka tidak ingin bermusuhan dengan Pek-lian-pai, dan mereka pun tahu bahwa tingkat kepandaian Sam Ok tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian mereka. Walau pun Sam Ok yang menguji, mereka berdua pun sudah dapat menilai ketangguhan pemuda itu.

Sam Ok sudah melangkah ke tengah ruangan yang luas itu, dan dia berkata, “Coa-sicu, aku sudah siap untuk menguji kepandaianmu!”

Diam-diam Leng Kun merasa lega hatinya. Dia belum pernah melihat tingkat kepandaian ketua Kui-jiauw-pang ini, akan tetapi dia menduga bahwa tingkat kepandaiannya tentu berada di bawah tingkat Toa Ok dan Ji Ok. Hal ini dapat diduga karena di perkumpulan itu dia hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua ke Tiga), sedangkan dua orang datuk besar itu menjadi ketua pertama dan kedua.

“Baiklah, Sam Pangcu. Sebagai utusan kepercayaan Pek-lian-pai aku akan membuktikan bahwa aku cukup pantas untuk berunding dengan kalian.”

Leng Kun melangkah maju ke depan Sam Ok. Melihat Sam Ok tidak memegang senjata, dia pun tidak mencabut sulingnya dan memasang kuda-kuda dengan tangan kosong. Ang I Sianjin memang tak ingin terlampau mendesak tamunya ini karena dia merasa khawatir kalau-kalau pihak Pek-lian-pai menjadi marah dan mengirim pasukan untuk menyerbu dan membalas dendam. Karena itulah dia mengajak bertanding dengan tangan kosong saja. Andai kata dia menang, dia tidak akan memukul terlalu kuat sehingga tidak akan melukai pemuda itu.

“Cao-sicu, aku sudah siap. Mulailah!” kata Sam Ok.

“Aku adalah tamu dan akulah yang akan diuji, maka sepatutnya engkau yang menyerang dulu, Sam Ok!” kata Leng Kun dengan sikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri.

“Bagus! Lihat seranganku!” Sam Ok membentak.

Dia pun sudah maju menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Biar pun dia menjadi ketua Kui-jiauw-pang, dia tidak memakai sambungan tangan berupa cakar setan seperti semua anak buahnya. Akan tetapi cengkeraman jari-jari tangannya tidak kalah hebatnya apa bila dibandingkan dengan cakar setan. Dia menggunakan kedua tangannya yang membentuk cakar untuk menyerang dada dan perut Leng Kun.

Melihat serangan yang dahsyat ini Leng Kun mengelak mundur selangkah, kemudian dia balas menyerang tidak kalah dahsyatnya. Serangannya datang bergelombang bertubi-tubi karena yang menyerang adalah kedua tangan dan kedua kakinya, bergantian dan susul-menyusul mengirim pukulan dan tendangan. Pemuda itu telah mengeluarkan ilmu silatnya yang ampuh, yaitu Ilmu Silat Gelombang Samudera!

“Haiittttt...!” Sam Ok meloncat ke belakang dan ketika pemuda itu mendesaknya, dia pun mengerahkan sinkang untuk menangkis.

“Dukkk...!” Pertemuan kedua lengan itu membuat Sam Ok terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi Leng Kun juga mundur empat langkah. Hal ini berarti bahwa dalam hal tenaga dalam, Leng Kun kalah kuat.

Akan tetapi pemuda ini hendak menutupi kekurangannya di dalam hal tenaga itu dengan kelebihan ginkang-nya. Dia bergerak sangat cepat dan kini tubuhnya berpusing sehingga menjadi bayangan berputar-putar yang menghampiri lawan. Itulah Ilmu Silat Angin Taufan yang membuat lawan menjadi bingung menghadapinya. Demikian pula dengan Sam Ok. Menghadapi serangan yang dilakukan dengan tubuh berputar itu, dia menjadi bingung dan gugup sehingga dia terdesak hebat dan terpaksa mundur.

Pada saat itu pula Toa Ok berseru, “Hentikan pertandingan!”

Legalah hati Sam Ok. Ia harus mengakui bahwa menghadapi ilmu silat yang berpusing itu dia menjadi bingung dan tidak tahu harus bagaimana menghadapi lawan sehingga kalau dilanjutkan besar kemungkinan dia akan kalah. Mendengar bentakan Toa Ok, dia segera meloncat jauh ke belakang dan Leng Kun juga menghentikan gerakannya.

“Cukup sudah Coa Leng Kun. Akan tetapi engkau tadi memainkan ilmu silat Gelombang Samudera dan Angin Taufan. Setahu kami, kedua ilmu itu adalah ilmu mendiang Hek Tok Siansu. Bagaimana engkau yang menjadi utusan Pek-lian-pai tidak mempergunakan ilmu silat dari Pek-lian-pai melainkan ilmu-ilmu silat mendiang Hek Tok Siansu?”

Leng Kun maklum bahwa Toa Ok dan Ji Ok adalah dua orang datuk besar dari barat yang luas pengetahuannya sehingga dapat mengenal kedua ilmu silatnya tadi. Oleh karena itu dia pun berterus terang.

“Mendiang Hek Tok Siansu adalah kakek guruku!”

Mendengar jawaban ini Toa Ok dan Ji Ok saling pandang dan wajah mereka berseri-seri. “Bagus sekali! Dahulu Hek Tok Siansu bekerja sama dengan Pek-lian-pai dan sekarang cucu muridnya melanjutkan kerja sama itu hingga diangkat menjadi utusan yang penting. Silakan duduk, Coa-sicu!” kata Toa Ok dan nada suaranya lebih ramah.

“Kami mengucapkan selamat datang, Coa-sicu. Berita apakah yang kau bawa?”

“Pimpinan Pek-lian-pai mengutus aku pergi ke sini untuk membantu Kui-jiauw-pang yang akan kedatangan banyak orang pandai karena ingin merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam. Kami tidak tahu bahwa sekarang Kui-jiauw-pang mempunyai dua orang ketua baru sehingga keadaannya menjadi lebih kuat lagi. Untuk itu, sebagai utusan Pek-lian-pai aku mengucapkan selamat kepada para ketua baru.”

Tiga orang ketua itu tersenyum lebar dan Toa Ok berkata lantang, “Jangan khawatir, Cao-sicu. Kami telah tahu mengenai hal itu dan kami telah siap siaga. Siapa pun yang datang hendak merampas pedang pusaka, tentu tidak akan mampu keluar lagi dari daerah Kui-liong-san. Apa lagi engkau datang membantu sehingga keadaan kita lebih kuat lagi.”

“Ketika hendak mendaki bukit ini, aku memisahkan diri dari seorang gadis yang berilmu tinggi. Dia tidak boleh dipandang ringan karena dia adalah cucu dari ketua Pek-sim-pang!”

Tiga orang ketua itu saling pandang dan Toa Ok berseru, di dalam suaranya terkandung kekhawatiran. “Cucu ketua Pek-sim-pang? Siapa namanya, sicu?”

“Namanya Pek Bwe Hwa.”

“Ahh, tidak salah lagi. Dia memang keturunan keluaraga Pek, dan mengingat bahwa ketua Pek-sim-pang hanya mempunyai seorang putera yang sangat terkenal sebagai seorang pendekar yang sakti, maka tak salah lagi, gadis itu tentu puteri Pek Han Siong!” kata Toa Ok sambil mengerutkan alisnya. “Ayah gadis itu, Pek Han Siong, akan merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi kita tidak perlu khawatir, dengan kepandaian kita semua, biar Pek Han Siong sekali pun tidak perlu kita takuti.”

Coa Leng Kun mengerutkan alisnya. “Kalau begitu, dari pada harus menghadapi gadis itu sebagai lawan, lebih baik kalau dia ditarik menjadi sahabat atau sekutu kita.”

Tiga pasang mata menatap wajah Leng Kun dengan penuh pertanyaan dan Ji Ok berseru, “Aneh! Mana mungkin puteri Pek Han Siong kita ajak kerja sama? Jika dia datang ke sini, tentu dia menginginkan pedang pusaka itu!”

“Benar apa yang dikatakan Ji Ok, Coa-sicu. Bagaimana mungkin gadis itu mau bekerja sama dengan kita? Sejak dulu ayah gadis itu selalu menentang pemberontakan terhadap kerajaan, bahkan dia juga menjadi musuh besar Pek-lian-pai. Bagaimana mungkin kini kita mengajak puterinya untuk bekerja sama?” tanya Sam Ok.

“Harap sam-wi pangcu (Ketiga Ketua) tidak menjadi bingung. Ketika menuju ke Kui-liong-san, aku berjumpa dan berkenalan dengan Pek Bwe Hwa, bahkan kini menjadi sahabat. Tentu saja dara itu tidak tahu bahwa aku adalah utusan Pek-lian-pai. Dia menyangka aku adalah seorang di antara mereka yang ingin merampas pedang Pek-lui-kiam. Malah kami telah bersepakat untuk bekerja sama dalam hal ini dan aku akan membantunya. Nah, jika aku sekarang mengawaninya naik ke sini dan memperkenalkan dia kepada sam-wi, tentu dia akan merasa senang sekali. Tentu saja sam-wi harus menjanjikan kepadanya hendak menyerahkan pedang pusaka itu.”

“Ahhh...!” Tiga orang ketua itu berseru kaget.

“Harap tenang, sam-wi pangcu. Kita harus menggunakan akal, yaitu menyerahkan pedang pusaka tiruan atau palsu. Dan kalau pedang pusaka berada di tangannya, tentu orang-orang yang ingin memperebutkan pedang pusaka itu akan memusuhinya. Nah, pada saat itulah kita turun tangan membantunya sehingga kita akan dapat membasmi orang-orang itu.”

Tiga orang ketua itu mengangguk-angguk sambil saling pandang. “Akan tetapi kita harus merahasiakan bahwa aku adalah utusan Pek-lian-pai, karena kalau dia mengetahui hal ini, tentu sikapnya kepadaku akan berubah dan dia akan menganggap aku sebagai musuh. Ketika berkenalan dengannya, aku mengaku sebagai seorang perantau yang ingin pula memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Sam-wi hanya perlu bersikap baik padanya dan segalanya aku yang akan mengaturnya agar dia percaya.”

“Baiklah, Coa-sicu. Kami menyerahkan kepadamu untuk mengurus pendekar wanita itu,” akhirnya Toa Ok menyatakan setuju karena kalau benar pendekar wanita puteri pendekar Pek Han Siong itu dapat ditarik untuk bekerja sama, maka kedudukan mereka tentu akan lebih kuat lagi. “Tetapi agaknya engkau membenci wanita itu. Ada urusan apakah antara engkau dengannya?”

Leng Kun menarik napas panjang lalu berkata, “Di dunia ini hanya ada dua keluarga yang paling kubenci sebab merekalah yang menyebabkan kakek guruku Hek Tok Siansu tewas penasaran. Kedua keluarga itu adalah keluarga Tang Hay dan keluarga Pek Han Siong. Terutama keluarga Tang Hay karena di tangan dialah kakekku itu tewas.”

Tiga orang kepala perkumpulan Kui-jiauw-pang itu saling pandang dan Toa Ok berseru, “Ahh, musuh-musuhmu itu adalah musuh kami juga, dan juga musuh besar Pek-lian-pai sebab mereka berdua inilah yang paling banyak menentang Pek-lian-pai dalam perjuangan mereka. Akan tetapi harus diakui bahwa mereka berdua itu mempunyai kepandaian yang amat hebat.”

Leng Kun mengerutkan sepasang alisnya. “Aku tidak takut, dan sekarang kebetulan sekali puteri keluarga Pek berada di sini.”

“Kenapa dia tidak kita bunuh saja karena dia adalah puteri musuh besarmu, sicu?” tanya Sam Ok.

“Ah, pembalasan seperti itu terlampau lunak, Sam Pangcu. Juga kita tidak dapat memetik keuntungan apa pun. Aku mempunyai rencana yang lebih hebat dari pada itu. Selain kita dapat menggunakan tenaganya untuk membantu kita menghadapi mereka yang hendak merebut pedang pusaka Pek-lui-kiam, aku juga ingin menjatuhkan hatinya. Kalau sampai aku bisa mempermainkannya sebagai isteriku, berarti aku telah melakukan balas dendam yang memuaskan sekali karena seluruh keluarganya akan merasa menyesal sekali. Dan akhirnya, sebagai suaminya, aku mempunyai kesempatan lebih banyak untuk membasmi keluarga Pek!”

Toa Ok, Ji Ok dan Sam Ok tertawa bergelak. “Bagus! Engkau yang masih muda ternyata memiliki kecerdikan yang tinggi. Kami suka sekali mendengar siasatmu itu, sicu. Baiklah, laksanakan siasatmu itu dan kami semua akan berpura-pura baik terhadap gadis itu,” kata Toa Ok.

“Sekarang aku minta agar sam-wi pangcu mengirim satu regu anak buah Kui-jiauw-pang untuk menghadang gadis itu di lereng. Nanti aku akan muncul dan melerai mereka.”

“Akan tetapi jalan menuju ke puncak sudah kami beri perangkap dan juga kami menyebar racun sehingga siapa saja yang hendak mendaki ke puncak ini akan menghadapi bahaya maut! Kami juga sudah memasang para anggota untuk menjadi baris pendam, menyerang siapa saja yang mendaki puncak. Tentu saja jalan yang kau lalui itu tidak kami pasangi jebakan karena jalan itu dipakai oleh kita semua sebagai jalan rahasia.”

“Gadis itu sangat lihai dan cerdik, tentu dia akan mampu menghindarkan diri dari jebakan dan racun. Biar aku turun dan menyambutnya! Akan tetapi aku minta belasan orang anak buah Kui-jiauw-pang untuk mengeroyoknya.”

Leng Kun lantas memimpin lima belas orang anak buah Kui-jiauw-pang menuruni puncak itu. Dia berpesan kepada lima belas orang itu agar nanti mengeroyok Pek Bwe Hwa, akan tetapi segera mundur kalau dia muncul melerai perkelahian mereka.