Pendekar Kelana Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MELIHAT ini Ji Ok merasa semakin penasaran! Sekarang pecutnya menyambar-nyambar ke bawah, membelit golok-golok yang berada di bawah dan menyambitkan golok-golok itu ke arah Si Kong.

Golok-golok itu beterbangan menyambar. Akan tetapi dengan sigap dan mudah Si Kong mengelak sehingga semua golok yang disambitkan dengan pecut itu tak ada sebuah pun yang mengenai dirinya. Tidak kurang dari sembilan buah golok yang menyambar ke arah tubuhnya dan semua dapat dielakkan. Sekarang Ji Ok merasa heran juga. Sambitannya tadi cepat dan kuat sekali, akan tetapi bocah itu dapat mengelak dengan amat mudahnya.

"Ha-ha-ha, Ji Ok. Sekali ini engkau dipermainkan seorang bocah cilik!"

"Jangan mentertawakan aku, Toa Ok! Kulihat anak ini bukan anak sembarangan, kalau tidak mana mungkin dia dapat mengelak dari semua golok itu?"

"Hemmm, kalau dia sampai lolos lantas menceritakan di dunia kangouw betapa dia sudah mampu menghindarkan diri dari seranganmu, bukankah kita akan menjadi buah tertawaan orang sedunia? Sekarang selagi tidak ada orang lain yang melihatnya, mari kita berlomba, siapa antara kita yang lebih dulu dapat membunuhnya!"

"Baik!" kata Ji Ok, kemudian mereka berdua sudah melayang dari atas batu itu ke arah Si Kong.

Anak ini sudah tahu akan niat mereka. Walau pun dia tahu bahwa kedua orang kakek itu bukanlah lawannya, namun dia tidak putus asa. Selama masih hidup dia harus berusaha mempertahankan hidupnya. Dia sudah menurunkan buntalan pakaiannya dan memegang pikulan bambunya sebagai tongkat.

Begitu menyambar dan sebelum kaki mereka turun ke tanah, dua orang kakek itu sudah menggerakkan senjata. Tongkat ular di tangan Toa Ok berlomba cepat dengan pecut di tangan Ji Ok.

"Wuuuuutttt...!"

Si Kong maklum betapa besar bahayanya penyerangan itu. Dia segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya Liok-te Hui-teng dan berkelebat dengan cepatnya mengelak dari sambaran kedua senjata itu.

"Wuuuutt...! Tarrr...!"

Tongkat dan pecut itu menyambar ganas, akan tetapi tidak mengenai sasarannya. Kedua orang datuk itu terkejut dan heran bukan kepalang. Mereka berdua menyerang dengan berbareng dan anak itu dapat menghindarkan diri! Ini saja sudah merupakan hal yang luar biasa sekali. Jarang ada tokoh-tokoh kang-ouw yang mampu menghindarkan diri apa bila mereka menyerang seperti tadi, namun bocah itu menggunakan ginkang yang amat hebat sehingga dapat bergerak lebih cepat dari pada sambaran senjata mereka!

Toa Ok mengeluarkan suara gerengan aneh saking penasaran dan marahnya, kemudian dia sudah menyerang dengan tongkatnya yang ditusukkan ke arah dada Si Kong dengan penuh keyakinan bahwa sekali ini pemuda itu pasti akan tewas. Si Kong melihat gerakan tongkat, maka dia pun segera menggerakkan tongkat bambunya untuk menangkis sambil menggetarkan ujung tongkat bambunya.

"Tukkk...!"

Dua batang tongkat bertemu dengan kuatnya. Si Kong membuat tongkatnya terpental dan dia pun ikut meloncat sehingga serangan Toa Ok gagal lagi.

Melihat ini, Ji Ok juga menyerang dengan pecutnya yang dibuat menjadi lemas. Pecut itu menyambar ke arah leher Si Kong, apa bila mengenai sasaran akan membelit leher dan sekali sentak dengan tenaga sinkang, maka leher bocah itu tentu akan putus!

Akan tetapi kembali tongkat di tangan Si Kong menangkis sehingga ketika ujung cambuk hendak membelit tongkat bambu, Si Kong telah lebih dahulu mengirim tendangan kakinya ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang cambuk.

Ji Ok melihat betapa tendangan itu kuat sekali. Dia tak ingin pergelangan tangannya kena ditendang, maka terpaksa dia menarik kembali cambuknya, tidak jadi melibat tongkat. Kini kedua orang datuk itu marah sekali, akan tetapi mereka juga merasa malu apa bila harus mengeroyok seorang pemuda remaja dengan menggunakan senjata mereka!

"Ji Ok, kita bunuh anak ini dengan tangan kosong saja!" kata Toa Ok dengan muka yang berubah merah karena merasa malu.

"Baik!" kata Ji Ok yang cepat menyimpan sabuknya, diikatkan di pinggangnya sedangkan Toa Ok menancapkan tongkatnya di tanah.

Sekarang mereka menghampiri Si Kong dengan tangan kosong. Akan tetapi jangan dikira dengan tangan kosong itu mereka menjadi kurang berbahaya. Kedua orang datuk ini telah memiliki tenaga dalam yang luar biasa kuatnya.

Toa Ok yang berkepala besar itu memiliki sinkang yang berhawa panas sehingga dengan pukulannya itu dia dapat menghanguskan tubuh lawan. Sebaliknya Ji Ok memiliki sinkang berhawa dingin. Dengan pukulan tangannya dia mampu membuat lawan roboh dan tewas dengan darah membeku!

Si Kong bukan tidak maklum akan kesaktian dua orang kakek itu. Juga dia paham bahwa dua orang datuk besar ini merasa marah dan malu sehingga berniat untuk membunuhnya.

"Kenapa ji-wi locianpwe berkeras hendak membunuhku? Apa kesalahanku terhadap ji-wi (anda berdua)?" Si Kong bertanya, suaranya nyaring, sama sekali tidak ada tanda-tanda takut pada wajah dan sikapnya.

"Bocah setan, engkau harus mampus di tanganku!" Ji Ok membentak.

"Kalau tidak ingin mati di tangan kami, maka bunuhlah dirimu sendiri dengan tongkatmu!" kata Toa Ok yang masih merasa malu jika harus membunuh lawan yang melihat usianya pantas menjadi cucunya itu.

"Aku tidak bersalah, aku tidak ingin mati di tangan siapa pun!" kata Si Kong, siap dengan tongkatnya.

"Heeeiiiitt...!"

Ji Ok langsung menyerang dengan tangan kirinya yang membentuk cakar harimau. Akan tetapi Si Kong mengelak dengan cepat dan ujung tongkatnya sudah menyerang ke arah siku tangan yang menyerangnya itu. Ji Ok terkejut dan menarik tangan kirinya, kini tangan kanannya menyambar dengan sebuah tamparan ke arah muka Si Kong.

Si Kong cepat mengelak ke belakang. Akan tetapi secara tidak terduga, sambil mengelak itu tongkatnya secepat kilat menyambar ke bawah.

"Takkk!"

Tongkatnya mengenai kaki Ji Ok. Kalau bukan Ji Ok yang terkena hantaman tongkat itu, tentu sudah terpelanting jatuh. Akan tetapi Ji Ok tidak bergeming, hanya kedua matanya terbelalak lebar.

"Tung-hoat (ilmu tongkat) yang hebat!"

Sementara itu Toa Ok juga sudah menyerang dengan tamparan tangan kanannya disusul tamparan tangan kiri. Tamparan kedua tangannya ini mempergunakan sinkang sehingga dapat menyerang orang dari jarak jauh. Akan tetapi Si Kong sudah melayang ke atas dan melewati kepala Toa Ok. Ketika turun tongkatnya sudah menghantam ke belakang tubuh lawannya.

"Bukkk!"

Pinggul Toa Ok kena dihantam tongkat. Tongkat itu terpental, akan tetapi Toa Ok sudah menjadi merah sekali mukanya karena dalam segebrakan saja dia sudah terkena pukulan tongkat biar pun pukulan pada pinggulnya itu tidak ada artinya baginya. Dia hanya merasa heran dan terkejut, lantas teringatlah dia akan ilmu tongkat yang terkenal paling ampuh di dunia persilatan.

"Ta-kaw Sin-tung...!" Teriaknya dan kembali mereka menghadapi Si Kong.

Kini mereka menyerang dengan berbareng. Si Kong menjadi terdesak hebat dan terpaksa dia harus menggunakan Yan-cu Hui-kun yang membuat tubuhnya menjadi seperti seekor burung walet gesitnya, mengelak ke sana sini sambil berloncatan dan kadang menangkis dengan tongkatnya.

Setelah lewat belasan jurus, sebuah pukulan jarak jauh dari Toa Ok menyerempet pundak Si Kong sehingga dia pun terpelanting dan merasa tubuhnya panas sekali, Ji Ok dan Toa Ok maju menyerang lagi dari kanan kiri, menggunakan pukulan jarak jauh dengan tenaga sakti keluar dari telapak tangan mereka.

Si Kong sudah tidak mampu menghindar lagi. Akan tetapi, walau pun maut mengancam dirinya, anak ini sama sekali tidak takut dan dia hanya menunggu datangnya pukulan dengan mata terbelalak penuh keberanian.

"Siancai..!" pada saat itu pula terdengar seruan orang, kemudian nampak bayangan orang berkelebat.

Tahu-tahu di dekat Si Kong telah berdiri seorang kakek dan kakek ini segera mementang dua tangannya ke kanan kiri untuk menyambut pukulan Toa Ok dan Ji Ok yang ditujukan kepada Si Kong.

"Plakkk! Plakkk!"

Kakek itu menerima kedua tangan dari kanan kiri. Dia dapat merasakan betapa telapak tangan Toa Ok mengandung hawa panas dan telapak tangan Ji Ok mengandung hawa dingin. Akan tetapi dengan tenangnya kakek itu menyambut tangan mereka.

Toa Ok dan Ji Ok terkejut sekali ketika merasa betapa telapak tangan mereka bertemu dengan telapak tangan yang lembut dan hangat. Akan tetapi Toa Ok dan Ji Ok adalah dua orang datuk sesat yang tidak mempedulikan nasib orang lain. Mereka dapat membunuh orang tanpa berkedip mata.

Dan sekarang, ketika melihat seorang kakek menolong Si Kong dan kakek itu terhimpit di tengah-tengah antara mereka, dua orang datuk ini tidak menarik kembali tangan mereka, bahkan sebaliknya mereka segera mengerahkan tenaga sinkang untuk membunuh kakek yang menghalangi niat mereka membunuh Si Kong itu.

Mereka menggunakan tangan mereka itu untuk mendorong dengan pengerahan tenaga. Akan tetapi mereka terkejut bukan main. Pada saat mendorong dengan tenaga sakti yang mengandung hawa panas, Toa Ok merasa betapa ada hawa dingin yang menyambut dorongannya. Sebaliknya Ji Ok yang mendorong dengan hawa sinkang dingin, merasa betapa ada hawa panas menyambut dari telapak tangan kakek itu.

Mereka berdua terengah-engah karena sambutan hawa sinkang dari kedua tangan kakek itu demikian kuat. Mereka merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong kembali.

"Haiiiiiitt...!" Ji Ok berseru nyaring.

"Hyaaaaaatttt...!" Toa Ok juga membentak sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

Akan tetapi dua orang kakek itu merasa betapa makin kuat mereka mendorong, semakin kuat pula hawa sakti menyambut sehingga mereka tidak kuat bertahan lantas keduanya terjengkang roboh. Toa Ok merasa tubuhnya diserang hawa dingin, dan sebaliknya Ji Ok merasa tubuhnya di serang hawa panas.

Mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya kakek itu hanya menyalurkan saja hawa pukulan mereka itu melalui kedua tangannya, kemudian membuat dua tenaga yang berlawanan itu bertemu dan saling serang sendiri. Ini merupakan ilmu menyimpan dan menyalurkan hawa sakti dari luar, sebuah ilmu yang amat tinggi dan jarang ada orang mampu melakukannya. Dengan penyaluran itu, Toa Ok tertangkis oleh tenaga Ji Ok sebaliknya Ji Ok tertangkis oleh tenaga Toa Ok yang mengakibatkan keduanya roboh terluka!

Kedua orang datuk itu bukanlah orang-orang bodoh yang nekat. Mereka maklum bahwa mereka sudah kalah dan mengalami luka dalam. Mereka maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang yang luar biasa saktinya. Mereka lantas bangkit dan sejenak duduk bersila untuk mengatur pernapasan dan mengambil hawa murni untuk melindungi jantung mereka. Kemudian keduanya bangkit berdiri. Ada sedikit darah kelihatan di ujung bibir mereka.

"Siapakah engkau yang telah berani mencampuri urusan kami?" Toa Ok bertanya dengan suara mengandung penasaran sekali.

"Siancai...!" Kakek itu berseru sambil tersenyum. "Kiranya yang berjuluk Toa Ok dan Ji Ok bahkan lebih kejam dari pada namanya! Aku yang bertapa di Pulau Teratai Merah belum pernah bertemu dengan orang yang sekejam kalian berdua!" Berkata demikian kakek itu memandang ke arah mayat-mayat yang malang melintang di tempat itu, lalu kepada Si Kong yang sudah bangkit berdiri.

Dua orang datuk ini terkejut bukan kepalang mendengar bahwa kakek ini adalah pertapa di Pulau Teratai Merah. Mereka sudah pernah mendengar tentang seorang pertapa sakti yang pada puluhan tahun yang silam namanya sangat terkenal dan ditakuti oleh seluruh tokoh kang-ouw, terutama kaum sesat amat takut mendengar nama itu.

Puluhan tahun yang lalu di dunia kang-ouw muncul seorang pendekar yang demikian gigih memberantas kaum sesat tanpa mengenal ampun sehingga orang-orang memberi julukan Pendekar Sadis kepadanya! Pendekar Sadis inilah yang setelah tua lantas mengundurkan diri dan bertapa di Pulau Teratai Merah di Laut Selatan. Sekarang, tanpa disangka sama sekali, pertapa itu agaknya meninggalkan Pulau Teratai Merah dan kebetulan berjumpa dengan Toa Ok dan Ji Ok, sepasang Raja Iblis yang merupakan orang-orang paling kejam di antara semua tokoh sesat.

"Pendekar Sadis...!" Toa Ok dan Ji Ok berseru dengan suara berbareng kemudian tanpa berkata apa-apa lagi kedua orang itu melompat jauh dan pergi dari situ dengan hati jeri!

Kakek itu memang benar Pendekas Sadis yang bernama Ceng Thian Sin. Akan tetapi dia kini telah menjadi seorang kakek tua renta yang usianya sudah mencapai hampir seratus tahun! Belasan tahun yang lalu kakek ini tinggal di Pulau Teratai Merah bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang sukar dicari tandingannya.

Setelah isterinya yang bernama Toan Kim Hong dan yang pernah menjadi datuk selatan dengan julukan Lam Sin itu meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun lebih, kakek Ceng Thian Sin lantas hidup seorang diri di pulau itu sebagai seorang pertapa. Dia sama sekali tidak mencampuri urusan dunia, bahkan lama sebelum itu dia telah hidup menyepi berdua dengan isterinya, hidup dengan tenteram penuh kedamaian di pulau itu.

Si Kong terheran-heran memandang kakek tua renta itu. Dia menatap penuh perhatian. Seorang kakek yang jangkung kurus, rambut jenggot dan kumisnya sudah putih semua akan tetapi wajahnya masih nampak sehat kemerahan seperti orang muda. Alisnya yang tebal juga sudah putih semua dan pakaiannya sangat sederhana namun bersih, dari kain kuning dan putih.

Tadi dia melihat betapa kakek itu menahan kedua tangan Toa Ok dan Ji Ok, kemudian melihat kedua orang datuk sesat itu roboh terjengkang seperti ditolak tenaga yang sangat kuat. Melihat itu saja maklumlah Si Kong bahwa yang menyelamatkan nyawanya adalah seorang kakek yang sangat sakti. Dia tidak ragu lagi untuk menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan kakek itu dan memberi hormat berulang kali.

"Saya Si Kong yang bodoh merasa amat bersyukur atas pertolongan locianpwe yang telah menyelamatkan jiwa saya dari tangan maut Toa Ok dan Ji Ok. Kalau tidak ada locianpwe tentu sekarang saya sudah menjadi mayat. Banyak terima kasih saya haturkan kepada locianpwe."

Kakek itu mengelus-elus jenggot putihnya yang panjang. "Siancai...! Kau tahu apa tentang tolong menolong, hutang dan balas budi, hutang atau balas dendam?" Kemudian Ceng Thian Sin berdongak ke langit dan mulutnya membaca sajak!

"Begitu semua orang mengenal keindahan dengan sendirinya muncul kejelekan, Begitu semua orang tahu apa itu kebaikan mereka pun tahu apa itu kejahatan... Karena itu ada dan tiada saling melahirkan sukar dan mudah saling melengkapi panjang dan pendek saling mewujudkan tinggi atau rendah saling bersandar bunyi dan suara saling mengimbangi dahulu dan kemudian saling menyusul..."

Mendengar ini, saking tertariknya karena dia mengenal sajak itu, ketika kakek itu berhenti sebentar untuk menarik napas, Si Kong sudah melanjutkan sajak itu.

"Itulah sebabnya orang sudi bekerja tanpa bertindak mengejar tanpa berkata. Maka segala benda berkembang tanpa dia mendorongnya tumbuh tanpa dia mau memilikinya berbuat tanpa dia menjadi sandarannya. walau pun berjasa dia tidak menuntut, justru karena tidak menuntut, maka tidak akan musnah."

"Siancai....! Ternyata engkau hafal akan ujar-ujar dalam kitab To-tek-keng! Bagus sekali, akan tetapi mengertikah engkau akan inti sari pelajaran dalam ujar-ujar kuno itu?"

"Maafkan saya, locianpwe. Jika tidak salah, ujar-ujar itu mengajarkan kepada orang untuk melakukan segala sesuatu tanpa pamrih untuk keuntungan atau kesenangan diri pribadi karena perbuatan apa pun yang berpamrih untuk diri sendiri, maka perbuatan itu tidaklah timbul dari hati sanubari yang bersih, melainkan dipakai sebagai alat agar bisa mencapai kesenangan diri sendiri. Benarkah demikian, locianpwe?"

"Ha-ha-ha-ha, engkau seorang bocah yang cerdik dan pemberani. Kulihat bahkan engkau tadi berani melawan Toa Ok dan Ji Ok dengan ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung! Gerakanmu juga amat gesit, tentu engkau pernah mempelajari Liok-te Hui-teng dan Yan-cu Hui-kun!"

Si Kong merasa kagum dan tunduk sekali. Dia memberi hormat lagi sambil berlutut. "Apa yang locianpwe katakan semuanya benar. Saya yang bodoh mohon petunjuk locianpwe."

"Aku pernah mendengar bahwa ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung yang menjadi ilmu tertinggi dari para pengemis, dimiliki oleh Lok-sian Lo-kai. Sedangkan Liok-te Hui-teng dan Yan-cu Hui-kun dikuasai oleh si penyair gila Kwa Siucai. Apa hubunganmu dengan kedua orang itu?"

"Mereka berdua adalah guru-guru saya, locianpwe," kata Si Kong yang kini menjadi lebih kagum lagi. Kakek tua renta ini agaknya mengetahui segalanya.

"Pantas saja engkau mengenal To-tek-keng." Kakek itu kembali melayangkan pandangan matanya kepada sembilan belas buah mayat yang malang melintang di tempat itu. "Siapa yang membunuh mereka?" tanyanya.

"Dua orang kakek tadi, locianpwe."

"Ceritakan dari semula semua yang terjadi di sini."

"Secara kebetulan saya mendaki bukit ini karena mendengar dari orang-orang dusun di lain bukit bahwa bukit ini diberi nama Bukit Iblis. Saya merasa tertarik mengapa bukit ini disebut demikian karena saya sendiri tidak percaya adanya iblis."

"Siancai...! Jangan bilang tidak percaya karena sesungguhnya iblis itu ada. Hanya saja keadaannya tidak terlihat mata, dan pekerjaan iblis itu menggoda manusia. Dua orang tadi melakukan kekejaman seperti itu, kau kira karena apa? Karena iblis yang masuk ke dalam batin mereka. Lanjutkan ceritamu."

"Mula-mula saya melihat enam belas orang itu berkumpul di sini, dan pemimpin mereka menyatakan bahwa sekarang mereka hendak mempergunakan bukit ini sebagai sarang mereka. Lalu muncul tiga orang yang menyebut diri mereka Liok-te Sam-kwi. Tiga orang itu mengalahkan enam belas orang ini dan memaksa mereka menjadi anak buah Liok-te Sam-kwi. Kemudian muncul Toa Ok dan Ji Ok yang menyuruh mereka semua membunuh diri. Karena mereka tidak mau, lalu terjadilah pertempuran dan akhirnya Toa Ok dan Ji Ok membunuh mereka. Ketika saya hendak pergi dari sini, dua orang datuk itu melihat saya lantas mereka menyerang saya seperti yang locianpwe lihat tadi."

"Siancai...! Bunuh membunuh, sejak dahulu sampai sekarang. Orang-orang sesat di dunia kang-ouw rupanya tidak memiliki pekerjaan lain kecuali saling bunuh dan saling berebut kekuasaan. Dan sekarang engkau hendak pergi ke mana, Si Kong?"

"Saya... pertama-tama saya harus menguburkan semua jenazah ini baik-baik, locianpwe. Setelah itu baru saya akan meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalanan saya."

Kakek itu mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya dan memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Sinar kagum terpancar dari pandangan matanya.

"Selanjutkan perjalanan ke mana?"

"Entah ke mana, locianpwe. Ke mana saja hati dan kaki ini membawa saya. Saya seorang yatim piatu, sebatang kara, dan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Saya berkelana seperti seekor burung di angkasa, sendirian saja."

Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis yang kini telah menjadi seorang pertapa tua renta itu menjadi semakin kagum. Dia sendiri juga hidup menyendiri. Sesudah isterinya meninggal dunia belasan tahun yang lampau, dia hidup seorang diri di Pulau Teratai Merah, bahkan tanpa pembantu. Dia dan isterinya hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Ceng Sui Cin yang kini sudah berusia enam puluh tahun lebih.

Ceng Sui Cin hidup bersama suaminya yang bernama Cia Hui Song dan sekarang tinggal bersama puteri mereka yang menjadi ketua Cin-ling-pai. Meski pun puterinya dan cucunya mendesaknya untuk tinggal bersama mereka di Cin-ling-pai, dia selalu menolak. Dia ingin hidup menyendiri sebagai seorang pertapa, dan kadang-kadang saja puterinya, mantunya atau cucunya datang menjenguknya di pulau Teratai Merah. Setelah tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, kakek ini memperkenalkan diri dan disebut sebagai Ceng Lojin (orang tua bermarga Ceng).

Si Kong segera menggunakan golok yang banyak bertebaran di tempat itu untuk menggali sembilan belas buah lubang kuburan. Pekerjaan berat itu dilakukan tanpa kenal lelah dan setelah matahari tenggelam di langit barat, barulah dia selesai mengubur semua jenazah itu. Sejak Si Kong bekerja, Ceng Lojin hanya menonton saja, kemudian dia malah bersila di atas batu besar sambil memejamkan matanya.

Setelah selesai, dia hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi melihat kakek tua renta itu masih duduk bersila dan memejamkan matanya seperti orang tidur, dia merasa tidak tega meninggalkannya. Kakek itu sudah tua sekali, kasihan kalau ditiggalkan seorang diri saja di Puncak bukit itu, padahal malam hampir tiba.

Karena tidak tega pergi meninggalkan kakek itu seorang diri saja, terlebih lagi pergi tanpa pamit, Si Kong menunda kepergiannya. Dia segera mengumpulkan kayu dan daun kering, lalu membuat api unggun di dekat batu besar untuk mengusir nyamuk serta hawa dingin yang mulai datang mengganggu. Dia sendiri lalu merebahkan diri di atas daun-daun kering di dekat batu besar dan mencoba untuk melepaskan lelah.

Pikirannya tidak pernah dapat lepas dari kakek yang duduk bersila di atas batu besar itu. Kakek itu pun seperti dia, agaknya hidup sebatang kara. Bagi dia yang seorang pemuda tidaklah terasa berat benar. Untuk mencari makan, dia dapat bekerja di mana saja. akan tetapi kakek tua renta itu? Biar pun dia memiliki kesaktian hebat, mana mungkin kakek itu bekerja untuk mencari nafkah?

Dia makin merasa kasihan kepadanya. Apa lagi kakek itu baru saja telah menyelamatkan nyawanya. Dia pun harus berbuat sesuatu untuk kakek itu. Setidaknya malam ini dia akan menjaga agar kakek itu tidak terganggu dalam semedhinya.

Dijaganya api unggun itu agar tidak padam. Dia pun mengaso dan mencoba tidur, walau pun hanya sebentar-sebentar karena dia harus bangun untuk menambahkan kayu bakar pada api unggunnya. Setiap kali teringat kepada gundukan-gundukan tanah di dekat situ, mau tak mau bulu tengkuknya meremang. Tadi dia sama sekali tidak ingat kepada mayat-mayat yang dikubur itu. Kini setelah teringat, timbullah rasa ngeri dan takut!

Jelas bahwa rasa takut itu bukannya datang tanpa diundang. Yang mengundang adalah ingatan yang mengingat-ingat serta membayangkan yang bukan-bukan, membayangkan hal-hal yang menyeramkan. Ingatan mengada-ada, mengingat-ingat dan membayangkan kalau saja mayat-mayat itu bangun lagi. Kalau saja roh-roh yang mati menjadi penasaran dan mengamuk. Kalau saja, kalau saja.... demikianlah pikiran sering mengingat-ingat dan membayang-bayangkan sesuatu sehingga rasa takut datang menyelinap dalam batin.

cerita silat online karya kho ping hoo

Si Kong pernah mendengar wejangan Penyair Gila tentang timbulnya rasa takut itu, dan sekarang dia merasakannya sendiri. Setelah dia merasa jelas betul dari mana timbulnya rasa takut yang membuat bulu tengkuknya berdiri, dia lalu 'memasuki' rasa takutnya itu dan menjenguk di balik rasa takut itu. Dan dia pun merasa geli terhadap ulahnya sendiri dan rasa takut itu pun segera menghilang.

Pada esok harinya, pagi-pagi sekali kakek itu telah sadar dari semedhinya, atau tidurnya sambil duduk bersila. Melihat kakek itu bangkit berdiri, Si Kong segera meloncat bangun pula.

"Siancai...!" kata kakek itu tersenyum. "Engkau masih berada di sini, Si Kong? Bukankah kau katakan bahwa engkau hendak melanjutkan perantauanmu?"

"Maaf, locianpwe, saya belum dapat pergi karena melihat locianpwe sedang bersemedhi. Saya tidak mungkin pergi meninggalkan locianpwe begitu saja tanpa pamit."

Ceng Lojin menghela napas panjang. "Dasar jodoh, dasar jodoh! Semua peristiwa di dunia Thian yang menentukan, manusia hanya bisa berusaha sekuat dan sebaik mungkin," kata kakek itu perlahan seperti kepada dirinya sendiri. "Si Kong, bagaimana pendapatmu kalau aku mengambilmu sebagai murid?"

Pertanyaan seperti ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Si Kong, bahkan dia tidak pernah berani mengharapkan kakek seperti ini mau menjadi gurunya. Karena itu, begitu mendengar kata-kata itu, langsung dia menjatuhkan diri berlutut di bawah batu besar itu dan wajahnya berseri gembira ketika dia menjawab.

"Locianpwe, tidak ada kegembiraan yang melebih apa yang saya dengar dari locianpwe. Kalau locianpwe sudi mengambil saya sebagai murid, saya merasa mendapat anugerah besar dari Tuhan. Saya hanya dapat berjanji akan mentaati semua perintah dan petunjuk locianpwe."

"Baiklah, mulai sekarang engkau menjadi muridku dan harus mentaati semua perintahku," kata kakek tua renta itu.

Dengan hati girang bukan kepalang Si Kong lantas menjatuhkan dirinya berlutut lagi dan memberi hormat delapan kali kepada kakek itu dan menyebut, 'suhu!'

"Teecu akan mempersiapkan sarapan pagi untuk Suhu," kata pemuda itu.

Ceng Lojin tersenyum. "Harapan apa yang hendak kau berikan kepadaku?"

"Teecu dapat berburu burung, ayam alas atau kelinci di hutan lereng itu."

Ceng Lojin menggoyangkan tangannya, "Tidak usah, telah lama aku tidak lagi menyentuh makanan yang berasal dari binatang. Aku hanya makan dari tumbuh-tumbuhan saja dan aku sudah membawa bekal roti kering. Engkau juga boleh makan bersamaku. Aku hanya membutuhkan air jernih, kau boleh mencarikan itu untukku."

Si Kong cepat membuka buntalannya. Dia memang selalu membawa sebuah panci untuk keperluan mencari air jernih atau memasak makanan. Dengan panci di tangan dia segera berlari cepat sekali ke sebuah hutan di lereng. Tidak lama kemudian dia sudah kembali sambil membawa sepanci air jernih yang ditemukan dari sebuah sumber air. Ceng Lojin mengeluarkan beberapa potong roti kering dari buntalannya, lalu guru beserta muridnya itu makan makanan sederhana itu dengan nikmat.

"Suhu, maafkan kelancangan teecu (murid). Teecu pernah mempelajari dari kitab-kitab suci bahwa makanan bernyawa tidak baik bagi batin kita, bahkan menurut ilmu pelajaran pengobatan, makanan bernyawa itu juga tidak baik bagi kesehatan tubuh. Teecu dapat mengerti mengapa Suhu sebagai seorang pertapa berpantang makanan bernyawa. Akan tetapi yang ingin teecu tanyakan, Suhu, apakah kita dapat terbebas dari makan binatang bernyawa? Menurut suhu Lok-sian Lo-kai, di dalam setiap cawan air jernih bisa terdapat ratusan atau bahkan ribuan binatang-binatang kecil yang tidak dapat nampak oleh mata biasa. Demikian pula di dalam tumbuh-tumbuhan seperti daun-daun untuk sayur dan juga buah-buahan, besar kemungkinan mengandung binatang-binatang kecil sehingga tak bisa dihindarkan lagi, kita terpaksa makan binatang-binatanag bernyawa, mau atau tidak."

Ceng Lojin mengangguk-angguk. "Benar sekali keterangan Lo-kai Lojin itu. Bahkan dalam setiap tarikan napas ada banyak binatang-binatang kecil yang ikut masuk ke dalam tubuh kita. Akan tetapi hal itu kita lakukan tanpa disengaja dan tidak dapat dihindarkan. Berbeda dengan kalau kita makan daging binatang sambil menikmati kelezatannya. Yang namanya membunuh, apa pun alasannya, tetap saja itu merupakan pembunuhan dan pembunuhan selalu didukung oleh kekejaman."

"Maaf, Suhu. Bukan sekali-kali teecu hendak membantah, akan tetapi teecu mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini karena ingin tahu dan ingin mengerti benar. Dengan pendapat bahwa membunuh untuk makan itu adalah perbuatan jahat dan kejam, apakah binatang pemakan daging seperti harimau, singa, buaya dan binatang buas lain juga jahat?"

"Sama sekali tidak, Si Kong. Binatang buas itu memang membunuh, namun membunuh untuk makan karena dia tidak dapat makan yang lain. Harimau dan lain-lain binatang buas itu tidak dapat makan daun, dan kalau tidak ada binatang buruan lain mereka akan mati kelaparan. Mereka memang ditakdirkan untuk itu. Tetapi manusia tidak dapat disamakan dengan binatang buas. Manusia dapat hidup tanpa makan daging binatang. Jadi orang-orang yang pantang makan daging binatang itu hanya berusaha agar mereka tidak terlalu diperngaruhi oleh nafsu binatang yang tentunya ikut masuk bersama dengan daging yang dimakannya. Akan tetapi bukan jaminan pula bahwa orang-orang yang berpantang makan daging adalah orang-orang baik dan mereka yang makan daging adalah orang-orang yang jahat. Seperti kukatakan tadi, pantang makan daging hanya suatu cara untuk mengurangi pengaruh nafsu binatang. Karena itu, biar pun engkau sudah menjadi muridku, aku tidak akan melarang engkau makan daging."

"Ahh, tidak Suhu. Seorang murid haruslah menjadikan gurunya sebagai teladan. Bila Suhu tidak makan daging, teecu juga ikut tidak makan daging, karena teecu hendak merasakan sendiri bagaimana rasa dan akibatnya kalau berpantang makan daging."

Setelah selesai makan roti kering dan minum air jernih, Si Kong mengikuti gurunya turun bukit. Gurunya nampak hanya melangkah biasa saja, akan tetapi tubuh suhu-nya seolah tidak berjalan melainkan melayang. Kedua kakinya seakan tidak menyentuh tanah. Dia pun harus mengerahkan ilmu Liok-te Hui-teng agar bisa mengimbangi kecepatan langkah gurunya.

Ceng Lojin mengajak Si Kong pergi ke selatan dan setelah tiba di pantai Laut Selatan lalu menyeberang ke sebuah pulau kecil yang tanahnya subur. Pulau itu mempunyai beberapa buah danau dan pada permukaan danau itu tumbuh banyak bunga teratai merah. Karena inilah maka pulau itu disebut Pulau Teratai Merah yang menjadi tempat tinggal Ceng Lojin. Di tengah pulau terdapat sebuah pondok kayu yang cukup besar dan kokoh kuat.

Ceng Lojin yang usianya sudah mendekati seratus tahun itu, dahulu ketika masih muda terkenal dengan julukan Pendekar Sadis karena dia amat membenci golongan sesat. Bila dia bertemu dengan penjahat, dia tidak akan memberi ampun sehingga semua penjahat di dunia kang-ouw merasa gentar kalau mendengar namanya yang menjadi algojonya para penjahat.

Ilmu kepandaian kakek ini sangat tinggi dan sukar dicari lawan yang dapat mengimbangi tingkat kepandaiannya. Dia menguasai banyak ilmu silat tinggi yang aneh-aneh. Di antara semua ilmu silat itu terdapat ilmu silat Thai-kek Sin-kun (Silat Sakti Pokok Terbesar), San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit Bumi), Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin).

Akan tetapi ilmu yang paling hebat di antara semua ilmu silat tinggi itu adalah Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Mendekam) yang hanya terdiri dari delapan jurus dan ilmu tenaga sakti yang disebut Thi-khi I-beng, semacam ilmu sakti yang mengerikan karena dengan ilmu itu dia dapat menyedot tenaga sakti lawan ke dalam dirinya sehingga menambah kekuatannya sendiri sedangkan lawan menjadi lemas akibat tenaga dalamnya disedot habis!

Thi-khi I-beng ini merupakan ilmu rahasia dari para ketua Cin-ling-pai, akan tetapi pada waktu itu tidak ada orang lain kecuali Ceng Lojin yang menguasainya. Tidak sembarang orang dapat menguasai Thi-khi I-beng. Bahkan puterinya sendiri yang bernama Ceng Sui Cin tidak dapat menguasai ilmu itu.

Tentu saja amat besar keberuntungan Si Kong dapat diambil murid oleh Ceng Lojin. Hal ini adalah karena begitu bertemu dengan Si Kong, Ceng Lojin segera mengetahui bahwa pemuda remaja itu mempunyai tulang yang baik dan bakat yang besar, juga mempunyai kecerdikan dan keberanian. Apa lagi sesudah dia mengetahui bahwa Si Kong juga pandai membaca sajak dan ujar-ujar kitab suci, maka hatinya makin tertarik lagi. Inilah anak yang boleh dia harapkan untuk mempergunakan ilmu-ilmunya sebaik mungkin, untuk kebaikan manusia serta menegakkan kebenaran dan keadilan.

Karena tahu bahwa muridnya telah memiliki ilmu silat dasar yang cukup tinggi, tentu saja Ceng Lojin tidak mengajarkan semua ilmu yang dia kuasai. Dia hanya mengajarkan ilmu silat sakti Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan jurus, akan tetapi yang delapan jurus itu dapat dikembangkan sendiri menjadi puluhan jurus. Setiap jurus merupakan gerakan dasar yang sangat sulit sehingga untuk menguasai delapan jurus Hok-liong Sin-ciang itu Si Kong harus mempergunakan waktu dua tahun berlatih dengan tekun, barulah dia dapat menguasai ilmu Hok-liong Sin-ciang itu dan dapat mengembangkannya sehingga menjadi banyak jurus.

Setelah Si Kong menguasai ilmu silat yang amat sulit ini dan usianya telah delapan belas tahun barulah Ceng Lojin mengajarkan ilmu yang lebih sukar lagi, yaitu ilmu tenaga sakti Thi-khi I-beng! Agar dapat menghimpun tenaga sakti yang amat langka ini, Si Kong harus bersemedhi dengan berbagai macam cara. Selama berbulan-bulan dia harus bersemedhi dengan berjungkir balik agar dia menguasai benar tenaga sakti yang berada di tubuhnya dan dapat menggunakan sesuai dengan kebutuhannya. Dia dapat membuat tenaga sakti dalam tubuh itu menjadi hawa panas, hawa dingin, menjadi tenaga keras atau lunak.

Selama Si Kong berada di Pulau Teratai Merah, pulau itu beberapa kali saja menerima tamu. Yang pertama datang adalah puteri dan mantu Ceng Lojin, yaitu pendekar Cia Hui Song yang telah berusia tujuh puluh tahun, dan puteri Ceng Lojin yang bernama Ceng Sui Cin dan sudah berusia enam puluh lima tahun. Dua kali suami isteri ini datang menjenguk Ceng Lojin dan setiap kali datang mereka selalu membujuk Ceng Lojin untuk ikut dengan mereka ke Cin-ling-san, di mana kakek itu dapat tinggal bersama keluarganya.

"Tidak, aku tidak ingin pindah dari sini. Ibumu meninggal dan dimakamkan di sini, aku pun kelak ingin dimakamkan di sini bila saat terakhirku tiba. Dan jangan khawatir, di sini ada Si Kong. Dia adalah murid yang amat berbakti," demikian kakek itu menolak dengan halus.

Ceng Sui Cin dan suaminya merasa kagum sekali terhadap Si Kong. Dia tidak merasa iri melihat Si Kong yang dilatih Hok-liong Sin-cang bahkan Thi-khi I-beng, padahal dia sendiri tidak mempelajarinya karena bakatnya masih kurang.

"Sute Si Kong." kata Ceng Sui Cin pada kunjungannya yang terakhir ketika Si Kong sudah berusia sembilan belas tahun, "Engkau beruntung sekali mendapat kepercayaan ayahku sehingga diangkat murid dan mewarisi ilmu-ilmu rahasia milik Cin-ling-pai. Akan tetapi di samping keberuntungan itu, berarti engkau bertanggung jawab berat sekali. Kelak engkau harus dapat mempergunakan semua ilmu itu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan sekali-kali tak boleh kau gunakan untuk maksud jahat dan menguntungkan diri sendiri saja. ingat, kalau engkau melakukan penyelewengan itu, kami seluruh anggota besar Cin-ling-pai akan menghadapimu dan minta pertanggung jawaban darimu."

"Saya mengerti benar akan apa yang Suci maksudkan. Saya hanyalah seorang manusia biasa, Suci, maka saya tidak berani takabur dan menjanjikan sesuatu yang nantinya tidak akan dapat saya penuhi. Saya hanya berdoa kepada Tuhan, semoga Tuhan akan selalu membimbing saya ke arah jalan yang benar!"

Ucapan Si Kong ini malah lebih melegakan hati Ceng Sui Cin dari pada kalau pemuda itu mengucapkan janji yang muluk-muluk. Ia suka akan kerendahan hati pemuda ini. Sayang bahwa pemuda yang sebaik dan sebesar ini bakatnya bukan keluarga besar Cin-ling-pai.

Selain suami isteri itu yang berkunjung dua kali selama Si Kong berada di Pulau Teratai Merah, juga cucu Ceng Lojin, yaitu Cia Kui Hong yang berusia empat puluh tujuh tahun dan menjadi ketua Cin-ling-pai datang berkunjung bersama suaminya yang bernama Tang Hay.

Sebagai puteri Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, tentu saja Cia Kui Hong juga merupakan seorang wanita sakti maka dia diangkat menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi suaminya yang bernama Tang Hay itu bahkan lebih lihai dari pada dia. Cia Kui Hong juga pernah digembleng di Pulau Teratai Merah oleh kakek dan neneknya, bahkan telah mewarisi ilmu pedang pasangan Hok-mo Siang-kim (Sepasang Pedang Pembunuh Iblis) dari neneknya. Tetapi Cia Kui Hong ini pun dianggap kurang berbakat untuk mewarisi Hok-liong Sin-ciang dan Thi-khi I-beng. Sedangkan suaminya, Tang Hay adalah seorang pendekar sakti yang bukan saja mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari isterinya, akan tetapi dia pun mahir ilmu sihir!

Seperti juga nenek Ceng Sui Cin, Cia Kui Hong sengaja menemui Si Kong berdua saja ketika Si Kong bekerja di sebuah ladang kecil di mana dia menanam sayur-sayuran untuk keperluan dia dan gurunya. Seperti ibunya, Cia Kui Hong juga berkata kepada Si Kong,

"Si Kong, engkau telah memperoleh kepercayaan kongkong dan diberi pelajaran ilmu silat tinggi. Aku ingin memperingatkanmu agar kelak engkau menggunakan ilmu-ilmu itu untuk membela kebenaran dan keadilan, jangan sekali-kali kau gunakan untuk kejahatan karena dengan begitu engkau akan mencemarkan nama baik Cin-ling-pai dan kami semua tentu akan menghadapimu sebagai musuh!"

Si Kong tersenyum. Alangkah miripnya nyonya ini dengan ibunya! Ibu dan anak ini sudah memperingatkannya dengan keras. "Harap Pangcu tidak khawatir. Saya sudah berjanji di hadapan suci Ceng Sui Cin bahwa saya akan mentaati semua pesan dan perintah suhu. Semoga Tuhan akan selalu membimbing saya ke dalam jalan kebenaran."

Ketua Cin-ling-pai dan suaminya itu hanya tinggal tiga hari di Pulau Teratai Merah, lantas mereka pulang karena mereka pun tidak berhasil membujuk kakek Ceng Lojin untuk ikut dengan mereka tinggal di Cin-ling-san.

Diam-diam Si Kong merasa ngeri juga. Dia sudah mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi pusaka dari keluarga besar para ketua Cin-ling-pai dan dia tahu bahwa mereka itu bukan omong kosong saja dengan peringatan mereka. Akan tetapi hatinya tidak merasa khawatir karena sedikit pun tak ada niat di hatinya untuk berbuat jahat atau seenaknya sendiri saja mengandalkan semua ilmunya. Di samping ilmu silat, dia pun mendapat banyak wejangan dan pelajaran tentang kehidupan dari Yok-sian Lo-kai, Kwa Siucai dan Ceng Lojin sendiri.

Waktu berlalu amat cepat bagaikan anak panah terlepas dari gendewanya. Tanpa terasa dua tahun lagi sudah lewat semenjak kunjungan ketua Cin-ling-pai Cia Kui Hong bersama suaminya itu. Sekarang Si Kong telah menjadi seorang pemuda dewasa yang berusia dua puluh tahun. Dia pun sudah menguasai Thi-khi I-beng.

Ceng Lojin juga bertambah tua, kini usianya sudah seratus tahun lebih. Tubuhnya makin kurus akan tetapi masih tegak dan tidak bongkok. Pandangan matanya masih tajam dan juga pendengarannya masih baik. Pada suatu pagi, kakek itu menghampiri Si Kong yang sedang memikul air dari sumber air itu.

"Berhentilah dulu bekerja. Aku ingin menguji apakah engkau benar-benar telah menguasai Thi-khi I-beng secara benar."

Si Kong cepat menurunkan pikulannya dan menghampiri kakek itu.

"Teecu siap melaksanakan perintah suhu!" katanya dengan suaranya yang selalu bernada gembira dan tegas.

"Si Kong, bagian paling sukar dari Thi-khi I-beng adalah menghentikan tenaga menyedot sinkang dari luar. Kalau hal itu belum dapat kau lakukan dengan sempurna, secara mudah engkau dapat membunuh orang tanpa disengaja karena tenaga sinkang orang itu akan membanjir ke dalam tubuhmu. Jangan sekali-kali mencoba untuk mempergunakan Thi-khi I-beng kalau engkau belum mampu mengendalikan tenagamu dengan sempurna. Karena itu, sekarang aku akan mengujimu. Aku akan mencengkeram pundakmu. Salurkan Thi-khi I-beng ke pundak yang dicengkeram, maka tenaga dalamku akan tersedot olehmu melalui pundak yang kucengkeram. Bila mana sudah begitu, cobalah engkau cepat-cepat menarik kembali tenagamu agar sinkang dariku tidak tersedot terus."

"Baik, Suhu. Akan teecu coba sebaik mungkin!"

"Lihat serangan!" Kakek itu berseru kemudian secepat kilat tahu-tahu tangan kirinya telah mencengkeram pundak kanan Si Kong.

Begitu merasa pundaknya dicengkeram, Si Kong segera mengerahkan Thi-khi I-beng ke tangan kakek itu yang menempel pada pundaknya, sehingga timbul tenaga sedotan yang besar sekali menyedot tenaga sinkang kakek itu melalui pundak Si Kong. Setelah merasa betapa ada hawa panas memasuki tubuhnya, maka tahulah Si Kong bahwa ilmunya telah bekerja dengan baik. Dia lalu mengerahkan tenaga untuk menarik kembali tenaga sedotan itu sambil menggerakkan pundaknya sehingga terlepas dari tempelan tangan Ceng Lojin. Ceng Lojin sendiri terhuyung ke belakang dan melihat ini Si Kong cepat menghampirinya.

"Suhu baik-baik saja?"

Ceng Lojin tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, akan tetapi hatiku senang sekali. Engkau telah mampu mengendalikan Thi-khi I-beng! Hal itu baik sekali, Si Kong, karena kalau tidak, engkau akan membunuh banyak orang dengan tenaga sedotan Thi-khi I-beng yang tidak dapat kau hentikan."

Melihat kakek itu agak terengah dan mukanya agak pucat, Si Kong cepat memegang nadi tangan gurunya untuk memeriksa keadaannya. Dia pun terkejut!

"Jantung Suhu terguncang dan lemah sekali! Suhu harus beristirahat...!"

Kembali Ceng Lojin tersenyum. "Beginilah kalau badan sudah dimakan umur. Tiada yang kekal di dunia ini, juga kekuatan badan. Oleh karena itu, selagi badan kuat engkau harus dapat menggunakannya demi keadilan dan kebenaran Si Kong. Bila kelak engkau sudah setua aku, engkau pun akan kehilangan kekuatanmu dan kalau sudah jompo, apa yang dapat kau lakukan?"

"Akan tetapi, Suhu, kesehatan Suhu terancam. Suhu tak boleh mengerahkan tenaga dan harus beristirahat. Saya akan membuat obat untuk memperkuat daya tahan tubuh Suhu!"

Ceng Lojin menggeleng kepala. "Tidak, Si Kong. Pengobatan manusia pun ada batasnya. Badan yang tua tidak dapat dipulihkan lagi. Mengingat keadaanku ini, patut kunasehatkan kepadamu, tengoklah ke atas, maka engkau akan melihat betapa banyaknya orang yang lebih pandai, lebih kaya bahkan lebih segala-galanya dari pada engkau dan engkau boleh berkata pada dirimu sendiri: enyahlah keangkuhan dan kesombongan! Namun jangan lupa menengok ke bawah! Tengoklah ke bawah, maka engkau akan melihat betapa banyaknya orang yang lebih bodoh, lebih miskin dan lebih menderita dari pada engkau, dan engkau boleh berkata kepada dirimu sendiri: pergilah keputus-asaan dan kerendah-dirian! Dengan menengok ke atas dan ke bawah itu engkau akan selalu merasa bersyukur atas segala karunia Tuhan kepadamu, engkau akan selalu rendah hati tetapi tidak rendah diri. Engkau akan menjadi manusia yang jauh lebih gagah perkasa apa bila engkau mampu menguasai nafsu-nafsu sendiri dari pada kalau engkau mengalahkan seratus orang lawan!"

"Teecu akan menyimpan dalam hati dan akan selalu ingat semua nasehat suhu." Tiba-tiba Si Kong melompat berdiri dan memandang ke arah selatan.

Tempat tinggal mereka berada di dataran paling tinggi di pulau itu sehingga dari situ orang dapat melihat ke empat penjuru yang terletak lebih rendah. Pendengarannya yang sangat tajam sudah menangkap suara orang dari arah selatan, maka dia memandang ke sana dengan penuh perhatian.

"Ada orang-orang datang mengunjungi kita," kata Ceng Lojin lirih. Ini membuktikan bahwa pendengaran kakek itu masih amat tajam.

Si Kong melihat bayangan tujuh orang datang dari pantai pulau dan kini mereka berlari cepat bukan main menuju ke arah tempat dia berdiri, Si Kong dapat melihat jelas betapa cepatnya tujuh orang itu berlari, menunjukkan bahwa mereka tentu bukanlah orang-orang sembarangan.

"Benar Suhu, ada tujuh orang datang berkunjung dan mereka menggunakan ilmu berlari cepat tingkat tinggi. Mereka tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, Suhu."

"Siapa pun adanya mereka, mari kita sambut mereka di depan pondok. Setiap orang yang datang berkunjung ke pulau ini adalah tamu yang harus kita hormati, Si Kong."

"Baik, suhu..."

Mereka lalu berjalan menuju ke depan pondok dan berdiri dengan sikap tenang menanti datangnya tujuh orang itu. Benar seperti yang dikatakan Si Kong, sebentar saja ketujuh orang itu sudah tiba di depan mereka. Pemuda itu terkejut ketika mengenal dua orang di antara mereka, seorang yang kepalanya besar dan botak berpakaian putih dan seorang yang rambutnya panjang sampai ke pinggang dan mukanya juga berambut seperti muka monyet. Mereka itu bukan lain adalah Toa Ok atau Thai-mo-ong dan dan Ji Ok atau Ji-mo-ong, dua orang yang disebut Si Jahat Nomor Satu dan Si Jahat Nomor Dua.

Si Kong melihat lima orang yang lain. Mereka adalah lima orang kakek yang usianya lebih kurang enam puluhan tahun dengan rambut dipotong pendek dan pakaian mereka seperti jubah pendeta.

"a-ha-ha-ha, ternyata Pendekar Sadis masih hidup dan berada di pulau pertapaannya ini! Dan si bocah setan juga berada di sini. Bagus, kami dapat membalas kekalahan kami tempo hari kepada kalian!" kata Toa Ok sambil tertawa-tawa dan menggerakkan tongkat ularnya.

"Sekali ini engkau tak akan dapat lolos dari tanganku, Pendekar Sadis!" kata Ji Ok sambil mencabut pecutnya.

"Pendekar Sadis sudah tidak ada, yang ada ini adalah Ceng Lojin," kata Ceng Lojin, lalu menghadapi lima orang yang menemani Toa Ok dan Ji Ok itu. "Agaknya Toa Ok dan Ji Ok belum jera setelah kekalahannya di Bukit Iblis dulu, akan tetapi ngo-wi (anda berlima) ini siapakah dan ada keperluan apa dengan kami?"

"Kami berlima dikenal dengan sebutan Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tandingan), datang dari barat dan kami sahabat Thai-mo-ng dan Ji-mo-ong. Telah puluhan tahun kami mendengar betapa Pendekar Sadis sangat sewenang-wenang dan kejam terhadap orang-orang kang-ouw. Akan tetapi karena kami juga mendengar bahwa Pendekar Sadis sudah mengundurkan diri dan bertapa di Pulau Teratai Merah, tadinya kami telah melupakan dan membiarkan dia bertapa menyesali kekejaman-kekejaman yang dulu pernah dia lakukan. Akan tetapi kami bertemu dengan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong, lantas mendengar bahwa Pendekar Sadis kembali mencampuri dunia kang-ouw bahkan sudah mengalahkan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong, juga melukai mereka. Maka kami berlima mengambil keputusan untuk ikut dengan mereka mengunjungi Pulau Teratai Merah untuk membalaskan roh-roh penasaran dari banyak tokoh kang-ouw yang telah tewas di tangan Pendekar Sadis."

"Siancai...! Jadi kalian bertujuh ini sengaja datang ke sini untuk membunuhku?"

"Kami datang ke sini untuk menantangmu, Ceng Lojin!" kata Toa Ok.

"Mengeroyok? Tujuh lawan satu? Kalian pengecut curang!" kata Si Kong dengan marah.

Pemuda itu tahu benar keadaan suhu-nya yang sedang lemah setelah tadi menguji Thi-khi I-beng miliknya. Jantungnya berdetak lemah sehingga suhu-nya harus beristirahat, sama sekali tak boleh mengerahkan tenaga sinkang untuk berkelahi, apa lagi tujuh lawan satu!

"Si Kong, kau jangan ikut campur. Ini adalah urusan pribadiku!" Ceng Lojin berseru kepada muridnya dengan sikap gagah dan tenang sekali. Kemudian dia bertanya kepada Toa Ok, "Kalian bertujuh menantangku untuk mengeroyokku?"

"Ha-ha-ha, aku pernah mendengar bahwa dalam menghadapi lawan, Pendekar Sadis tak pernah menanyakan dikeroyok atau tidak. Memang kami bertujuh hendak maju bersama melawanmu, akan tetapi kalau engkau takut, kami bersedia memberi pengampunan dan memperbolehkan engkau membunuh dirimu di depan kami!"

Mendengar ini Si Kong menjadi marah sekali. "Aturan apa itu? Memberi pengampunan dengan jalan menyuruh orang membunuh diri!"

"Hemm, seumur hidupku belum pernah aku menolak tantangan dari siapa pun juga. Nah, kalian boleh maju bersama!" kata Ceng Lojin dan dia berdiri dengan sikap penuh wibawa, sedikit pun tidak ada bayangan rasa takut pada wajah dan sikapnya.

"Tidak tahu malu! Mengeroyok seorang yang sudah tua dan tidak bersenjata dengan tujuh orang dan semuanya bersenjata!" teriak lagi Si Kong yang tak dapat menahan amarahnya lagi.

Merah juga wajah tujuh orang itu. Mereka adalah datuk-datuk besar yang terkenal di dunia kang-ouw. Lima orang yang menyebut diri mereka sebagai Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding) itu adalah bekas pendeta-pendeta Lama jubah hitam yang terusir keluar dari negara mereka karena telah melakukan penyelewengan. Mereka lalu lari ke timur dan sebentar saja sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw karena kepandaian mereka yang tinggi. Mereka adalah kenalan Toa Ok dan Ji Ok, maka dengan senang hati mereka membantu kedua orang sahabat ini menghadapi Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. Ucapan pemuda ini memang menampar harga diri mereka.

"Pendekar Sadis, mengingat bahwa sekarang engkau sudah tua renta, maka kami akan menghadapimu tanpa senjata. Lihat, kutinggalkan tongkatku di sini!" kata Toa Ok sambil menancapkan tongkatnya ke atas tanah.

Ji Ok menyimpan kembali pecutnya yang dilingkarkan di pinggang menjadi sabuk. Melihat ini Bu-tek Ngo-sian yang membawa pedang pada punggung masing-masing juga tak mau mencabut senjata mereka.

"Bagus! Kiranya kalian masih memiliki sifat jantan. Nah, mulailah dengan usahamu untuk membunuh orang tua seperti aku!" kata Ceng Lojin.

Si Kong tadi sengaja mengejek untuk menolong suhu-nya. Jika mereka mempergunakan senjata, maka gurunya terpaksa harus menggunakan kecepatan dan tenaga sinkang dan hal ini amat berbahaya bagi keselamatan suhu-nya yang sedang lemah. Akan tetapi kalau mereka tidak bersenjata, dia mengharapkan suhu-nya akan mampu mengalahkan mereka dengan Thi-khi I-beng.

Ceng Lojin memaklumi akal muridnya ini, sebab itu dia pun tersenyum. Ia mengerti bahwa kondisi tubuhnya tidak memungkinkan dia untuk bertahan dalam pertandingan yang lama. Dia harus mampu mengalahkan tujuh orang lawannya secepat mungkin atau dialah yang akan tewas di tangan mereka.

Namun bagaimana mungkin dia dapat mengalahkan mereka yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai datuk persilatan itu? Tidak lain hanya dengan Thi-khi I-beng! Akan tetapi kalau dia membiarkan tenaga sinkang ketujuh orang itu membanjir ke dalam dirinya, tubuhnya yang sudah lemah itu pun tidak akan kuat bertahan. Secara diam-diam Ceng Lojin yang telah memiliki banyak pengalaman bertanding ini mencari akal agar dapat memenangkan pertandingan dalam waktu secepat mungkin dengan menggunakan tenaga sesedikit mungkin.

Toa Ok dan Ji Ok memelopori pengeroyokan itu. Mereka maju bersama dan menyerang dengan pukulan mereka yang cepat dan kuat. Toa Ok mencengkeram ke arah pundak kiri Ceng Lojin, sedangkan Ji Ok menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka ke arah perutnya.

Ceng Lojin tidak berani mengerahkan tenaga sinkang untuk menangkis, tapi mengerahkan Thi-khi I-beng untuk menerima dua macam serangan ini. Dengan sedikit miringkan tubuh dia menerima cengkeraman pada pundaknya itu, maka pukulan Ji Ok bukan menghantam perut akan tetapi mengenai lambungnya.

"Plakk! Plakk!"

Tangan kanan Toa Ok yang mencengkeram pundak bertemu dengan pundak yang lunak, begitu pula tangan kanan Ji Ok yang menghantam lambung. Mereka berdua kaget sekali. Akan tetapi pada saat mereka hendak menarik kembali tangan mereka, tangan itu sudah melekat pada pundak dan lambung Ceng Lojin.

Sebelum hilang rasa kaget mereka, dua orang datuk itu menjadi terkejut bukan kepalang ketika merasa betapa tenaga sinkang mereka melalui tangan yang melekat di tubuh orang tua itu memberobot keluar seperti disedot oleh tenaga yang tidak mampu mereka lawan! Mereka cepat berusaha mencegah, tetapi mereka tidak mampu menahan tenaga sinkang yang membanjir keluar itu. Selagi mereka terkejut dan menarik-narik tangan mereka, saat itu dipergunakan oleh Ceng Lojin untuk memukul mereka dengan ilmu silat Hok-liong Sin-ciang.

"Desss...! Desss...!"

Toa Ok dan Ji Ok terpental ke belakang kemudian terhuyung-huyung. Mereka tahu bahwa mereka telah terluka dalam. Pada saat itu lima orang Bu-tek Ngo-sian sudah berloncatan ke depan dan menerkam Ceng Lojin dengan serangan tangan mereka. Ilmu kepandaian kelima orang bekas Lama ini setingkat dengan ilmu kepandaian Toa Ok dan Ji Ok, maka bisa dibayangkan betapa hebatnya ketika mereka berlima maju untuk menyerang dengan pukulan mereka yang ampuh dan mengandung tenaga sinkang kuat!

Tetapi alangkah terkejut rasa hati mereka ketika semua pukulan mereka itu ternyata tidak dielakkan mau pun ditangkis oleh kakek tua renta itu, melainkan diterima begitu saja dan mereka merasakan pukulan mereka diterima oleh tubuh yang lunak. Kekagetan mereka semakin bertambah ketika mereka merasakan tangan mereka melekat pada tubuh kakek itu dan tenaga sinkang mereka membanjir keluar dari tubuh mereka melalui tangan yang menempel di tubuh itu!

Mereka menarik-narik tangan mereka sambil mengerahkan sinkang. Akan tetapi, semakin kuat mereka mengerahkan sinkang, semakin kuat pula tangan itu menempel pada tubuh Ceng Lojin dan semakin besar tenaga sinkang mereka membanjir keluar!

Sementara itu Ceng Lojin tidak tinggal diam. Melihat mereka semua sedang kebingungan, dia mainkan Hok-liong Sin-cing, memukul lima orang itu sehingga mereka semua terpental satu demi satu kemudian terhuyung-huyung dan akhirnya roboh ke tanah!

Ceng Lojin berdiri tegak sambil memandang penuh wibawa kepada tujuh orang lawannya yang sudah diberi satu kali pukulan dan yang kini mencoba untuk bangkit berdiri. Pukulan yang hanya satu kali itu telah membuat mereka terluka dalam. Sekarang mereka bertujuh memandang kepada Ceng Lojin dengan mata terbelalak, jelas nampak keraguan dan rasa ketakutan membayang pada wajah mereka.

Melihat betapa gurunya dalam keadaan sedang lemah itu dapat merobohkan tujuh orang pengeroyoknya dalam segebrakan saja, Si Kong merasa kagum dan bangga, akan tetapi juga merasa khawatir sekali. Suhu-nya sudah menggunakan Thi-khi I-beng, hal itu masih tidak mengapa karena penggunaan ilmu ini tak perlu mengerahkan tenaga sinkang, akan tetapi ketika suhu-nya memukul roboh ketujuh orang itu dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang, jelas bahwa suhu-nya telah mengerahkan tenaga sinkang-nya dan hal ini amat berbahaya bagi jantung suhu-nya yang sudah amat lemah itu.

Melihat tujuh orang itu sudah bangkit kembali, Si Kong khawatir kalau-kalau mereka akan menggunakan senjata untuk mengeroyok suhu-nya lagi, maka dia pun segera menyambar sebatang tongkat bambu kemudian dengan gerakan yang cepat bagaikan kilat dia sudah meloncat ke depan tujuh orang itu. Dia melintangkan tongkatnya di depan dada, kemudian membentak dengan pengerahan khikang sehingga suaranya terdengar mengguntur penuh wibawa.

"Suhu sudah mengampuni kalian karena tidak menggunakan pukulan maut, apakah kalian masih juga belum jera dan minta mati?"

Memang tujuh orang itu tadi sudah terkejut sekali menyaksikan kelihaian Pendekar Sadis yang kini telah menjadi kakek tua renta itu. Mereka sudah merasa jeri menghadapi kakek ini. Kini, begitu melihat gerakan Si Kong yang demikian tangkas dan kokoh kuat, sedikit keberanian mereka untuk tetap menyerang dengan senjata menjadi buyar.

"Mari kita pergi!" Toa Ok cepat berseru. Tujuh orang itu langsung melarikan diri dengan agak terhuyung-huyung karena mereka semua menderita luka dalam.

Si Kong memandang sampai bayangan mereka lenyap ke dalam sebuah perahu yang tadi mereka daratkan dan dia cepat memutar tubuhnya ketika mendengar suara rintihan suhu-nya. Begitu memutar tubuh, dia melihat suhu-nya terhuyung-huyung, karena itu dia cepat meloncat dan menahan tubuh suhu-nya yang sudah terguling roboh. Di lain saat kakek itu sudah jatuh pingsan dalam rangkulan Si Kong.

Si Kong cepat memondong tubuh suhu-nya. Alangkah ringan tubuh suhu-nya dan barulah Si Kong teringat bahwa suhu-nya sudah amat tua dan tubuhnya kurus sekali. Dengan hati terharu dan khawatir dia merebahkan suhu-nya di atas pembaringan dan cepat melakukan pemeriksaan. Ternyata detak jantung suhu-nya itu lemah sekali, bahkan hampir berhenti! Si Kong terkejut sekali, kemudian cepat memeriksa pernapasan suhu-nya. Ternyata juga amat lemah dan terengah-engah. Hampir Si Kong menangis.

Dengan pengetahuannya tentang ilmu pengobatan, tahulah dia bahwa keadaan gurunya gawat sekali dan tidak mungkin tertolong lagi. Suhu-nya telah menggunakan seluruh sisa daya tahannya untuk mengerahkan sinkang dan kini telah kehabisan tenaga sama sekali. Suhu-nya tidak mengalami luka dalam, akan tetapi karena keadaan tubuhnya yang tua itu lemah sekali, maka penggunaan tenaga sinkang itu menghabiskan daya tahannya.

Si Kong lalu menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan pada dada gurunya dan mengerahkan sinkang-nya untuk membantu suhu-nya agar jantungnya dapat bekerja lagi. Hawa hangat yang mengalir keluar dari kedua telapak tangannya memasuki tubuh tua itu dan tidak lama kemudian suhu-nya membuka matanya, memandang kepada Si Kong dan tersenyum!

"Suhu...!" kata Si Kong terharu melihat betapa dalam keadaan seperti itu suhu-nya masih dapat tersenyum sedemikian cerahnya!

"Si Kong... aku... telah kalah...!" katanya lirih, suaranya seolah-olah sukar sekali keluar dari kerongkongannya.

"Tidak, Suhu! Suhu sudah berhasil mengusir ketujuh iblis itu dari sini!" Si Kong menghibur suhu-nya.

"He-he... menghadapi tujuh iblis kecil itu... aku tidak pernah kalah..., akan tetapi aku harus menyerah kalah... terhadap usiaku..."

"Suhu, teecu akan merawat dan mengobati suhu sekuat dan semampu teecu."

Kakek itu menggeleng kepalanya. "Akan sia-sia saja, Si Kong... dan engkau juga sudah tahu akan hal itu... ilmu perngobatanmu juga tidak berdaya melawan serangan usia tua...! Kematian adalah hal yang wajar, merupakan kelanjutan dari pada kehidupan... maka tidak perlu disesalkan..."

Pada saat itu Si Kong mendengar gerakan di luar pondok. Cepat sekali tubuhnya segera berkelebat dan dia sudah meloncat keluar karena dia khawatir kalau-kalau para musuh itu datang lagi.

Akan tetapi, begitu tiba di luar pondok dia terbelalak dan jantungnya berdebar tegang dan bingung. Sama sekali bukan para iblis tadi yang datang, melainkan seorang gadis yang jelita dan manis sekali.

Usia gadis itu sekitar delapan belas tahun. Kulit mukanya nampak putih kemerahan tanpa bedak dan yanci (pemerah kulit), tubuhnya langsing sekali, pinggangnya kecil, dada dan pinggulnya membusung. Pakaiannya serba merah muda dan pada punggungnya terdapat sepasang pedang.

Si Kong menatap wajah itu. Sungguh manis sekali dengan dahinya yang dihias anak-anak rambut yang gemulai dan alis yang kecil panjang hitam seperti dilukis. Sepasang matanya begitu tajam bersinar-sinar seperti bintang kejora. Hidungnya kecil mancung, serasi sekali dengan mulutnya yang tersenyum mengejek dengan bibir yang merah basah. Dagunya runcing membuat muka itu berbentuk bulat telur.

Karena tidak menyangka sama sekali bahwa dia akan berhadapan dengan seorang gadis yang demikian cantik jelitanya, Si Kong sampai tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Gadis itu pun terkejut ketika melihatnya berkelebat secepat itu, akan tetapi dia cepat berkata,

"Ahh, engkau tentu yang bernama Si Kong, murid dari kakek buyut itu!"

Si Kong juga terkejut. Gadis ini menyebut suhu-nya kakek buyut! Dia sudah mengenal cucu gurunya, wanita perkasa yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu bersama suaminya yang gagah perkasa. Gadis ini tentu puteri mereka.

"Nona... siapakah...?" tanyanya dengan ragu.

Pada saat itu terdengar suara pria yang nyaring bergema, "Hui Lan, apakah engkau telah bertemu dengan kakek buyutmu?" Baru saja suaranya terhenti, orangnya sudah muncul di situ. Seorang lelaki berusia lima puluh tahun lebih bersama seorang wanita berusia empat puluh delapan tahun.

Melihat mereka, Si Kong segera memberi hormat. Biar pun dia murid kakek mereka, akan tetapi karena usianya jauh lebih muda, dia menyebut paman dan bibi kepada mereka. Hal ini pun sudah disetujui oleh gurunya agar tidak menempatkan Si Kong dalam kedudukan yang terlalu tinggi.

"Si Kong, bagaimana keadaan kongkong? Di manakah dia?" tanya Cia Kui Hong kepada pemuda itu.

"Paman dan Bibi, suhu berada dalam keadaan yang gawat. Silakan ji-wi (anda berdua) masuk. Suhu berada di dalam kamarnya."

Mendengar ini, Tang Hay dan Cia Kui Hong terkejut dan cepat mereka masuk, diikuti oleh puteri mereka Tang Hui Lan. Si Kong mengikuti dari belakang.

"ongkong...!" Cia Kui Hong berseru dan cepat berlutut di dekat pembaringan.

"Kongkong, bagaimana keadaanmu?" Tang Hay juga berlutut.

Suami isteri ini memeriksa denyut nadi tangan kakek itu dan mereka terkejut bukan main. Denyut itu sebentar terasa sebentar tidak. Kakek mereka dalam keadaan sangat gawat, bahkan dalam sekarat!

Kakek itu yang tadinya telah memejamkan kedua matanya. Mendengar suara mereka dia membuka kembali kedua matanya. Dia memandang kepada cucu, cucu mantu, lalu cucu buyutnya. Senyumnya mengembang lagi di mulutnya.

"Beruntung sekali... kalian datang... Hampir terlambat..."

"Kakek kenapa?" tanya Kui Hong dengan gugup, lantas berkata kepada suaminya, "Tepat keluarkan batu giok mustika itu untuk mengobati kakek!"

Tang Hay mengeluarkan sebuah batu giok yang tadinya disimpan di dalam saku bajunya, "Si Kong, minta air minum..., cepat!"

Si Kong tahu bahwa semua itu tidak ada gunanya, akan tetapi dia tidak membantah dan cepat menuangkan semangkuk air teh lalu menyerahkannya kepada Tang Hay. Pendekar ini segera memasukkan batu gioknya ke dalam air teh, dibantu oleh isterinya memberikan obat itu untuk di minum Ceng Lojin. Kakek itu meminumnya sedikit, lalu berkata lemah,

"Tak ada gunanya lagi... tidak ada obat... bagi penyakit usia lanjut... kalau dapat diobati... tentu Si Kong... telah menyembuhkanku..."

Baru Tang Hay dan Cia Kui Hong teringat bahwa Si Kong juga pernah mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai. Kui Hong segera bertanya kepada Si Kong, "Bagaimana keadaannya?"

"Keadaannya gawat, tidak bisa diobati lagi. Jantungnya sudah terlampau lemah dan paru-parunya juga tak bekerja dengan baik, sudah terlalu lemah. Saya telah berbuat semampu saya, akan tetapi tidak dapat menolongnya, Bibi. Dalam keadaan lemah sekali suhu telah mengeluarkan seluruh sisa-sisa tenaganya untuk memukul tujuh iblis itu, dan inilah yang menghabiskan tenaganya dan membuat semakin lemah."

"Tujuh iblis? Apa yang telah terjadi? Siapa mereka itu?" tanya Kui Hong dengan cepat dan penasaran.

"Tanpa diduga-duga mereka datang, Toa Ok dan Ji Ok. Ji Ok dan mereka berlima yang menyebut diri Bu-tek Ngo-sian. Mereka mengeroyok suhu."

"Mengapa engkau tidak membantu suhu?" Tang Hay bertanya dengan suara mengandung teguran.

Pendekar Kelana Jilid 04

MELIHAT ini Ji Ok merasa semakin penasaran! Sekarang pecutnya menyambar-nyambar ke bawah, membelit golok-golok yang berada di bawah dan menyambitkan golok-golok itu ke arah Si Kong.

Golok-golok itu beterbangan menyambar. Akan tetapi dengan sigap dan mudah Si Kong mengelak sehingga semua golok yang disambitkan dengan pecut itu tak ada sebuah pun yang mengenai dirinya. Tidak kurang dari sembilan buah golok yang menyambar ke arah tubuhnya dan semua dapat dielakkan. Sekarang Ji Ok merasa heran juga. Sambitannya tadi cepat dan kuat sekali, akan tetapi bocah itu dapat mengelak dengan amat mudahnya.

"Ha-ha-ha, Ji Ok. Sekali ini engkau dipermainkan seorang bocah cilik!"

"Jangan mentertawakan aku, Toa Ok! Kulihat anak ini bukan anak sembarangan, kalau tidak mana mungkin dia dapat mengelak dari semua golok itu?"

"Hemmm, kalau dia sampai lolos lantas menceritakan di dunia kangouw betapa dia sudah mampu menghindarkan diri dari seranganmu, bukankah kita akan menjadi buah tertawaan orang sedunia? Sekarang selagi tidak ada orang lain yang melihatnya, mari kita berlomba, siapa antara kita yang lebih dulu dapat membunuhnya!"

"Baik!" kata Ji Ok, kemudian mereka berdua sudah melayang dari atas batu itu ke arah Si Kong.

Anak ini sudah tahu akan niat mereka. Walau pun dia tahu bahwa kedua orang kakek itu bukanlah lawannya, namun dia tidak putus asa. Selama masih hidup dia harus berusaha mempertahankan hidupnya. Dia sudah menurunkan buntalan pakaiannya dan memegang pikulan bambunya sebagai tongkat.

Begitu menyambar dan sebelum kaki mereka turun ke tanah, dua orang kakek itu sudah menggerakkan senjata. Tongkat ular di tangan Toa Ok berlomba cepat dengan pecut di tangan Ji Ok.

"Wuuuuutttt...!"

Si Kong maklum betapa besar bahayanya penyerangan itu. Dia segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya Liok-te Hui-teng dan berkelebat dengan cepatnya mengelak dari sambaran kedua senjata itu.

"Wuuuutt...! Tarrr...!"

Tongkat dan pecut itu menyambar ganas, akan tetapi tidak mengenai sasarannya. Kedua orang datuk itu terkejut dan heran bukan kepalang. Mereka berdua menyerang dengan berbareng dan anak itu dapat menghindarkan diri! Ini saja sudah merupakan hal yang luar biasa sekali. Jarang ada tokoh-tokoh kang-ouw yang mampu menghindarkan diri apa bila mereka menyerang seperti tadi, namun bocah itu menggunakan ginkang yang amat hebat sehingga dapat bergerak lebih cepat dari pada sambaran senjata mereka!

Toa Ok mengeluarkan suara gerengan aneh saking penasaran dan marahnya, kemudian dia sudah menyerang dengan tongkatnya yang ditusukkan ke arah dada Si Kong dengan penuh keyakinan bahwa sekali ini pemuda itu pasti akan tewas. Si Kong melihat gerakan tongkat, maka dia pun segera menggerakkan tongkat bambunya untuk menangkis sambil menggetarkan ujung tongkat bambunya.

"Tukkk...!"

Dua batang tongkat bertemu dengan kuatnya. Si Kong membuat tongkatnya terpental dan dia pun ikut meloncat sehingga serangan Toa Ok gagal lagi.

Melihat ini, Ji Ok juga menyerang dengan pecutnya yang dibuat menjadi lemas. Pecut itu menyambar ke arah leher Si Kong, apa bila mengenai sasaran akan membelit leher dan sekali sentak dengan tenaga sinkang, maka leher bocah itu tentu akan putus!

Akan tetapi kembali tongkat di tangan Si Kong menangkis sehingga ketika ujung cambuk hendak membelit tongkat bambu, Si Kong telah lebih dahulu mengirim tendangan kakinya ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang cambuk.

Ji Ok melihat betapa tendangan itu kuat sekali. Dia tak ingin pergelangan tangannya kena ditendang, maka terpaksa dia menarik kembali cambuknya, tidak jadi melibat tongkat. Kini kedua orang datuk itu marah sekali, akan tetapi mereka juga merasa malu apa bila harus mengeroyok seorang pemuda remaja dengan menggunakan senjata mereka!

"Ji Ok, kita bunuh anak ini dengan tangan kosong saja!" kata Toa Ok dengan muka yang berubah merah karena merasa malu.

"Baik!" kata Ji Ok yang cepat menyimpan sabuknya, diikatkan di pinggangnya sedangkan Toa Ok menancapkan tongkatnya di tanah.

Sekarang mereka menghampiri Si Kong dengan tangan kosong. Akan tetapi jangan dikira dengan tangan kosong itu mereka menjadi kurang berbahaya. Kedua orang datuk ini telah memiliki tenaga dalam yang luar biasa kuatnya.

Toa Ok yang berkepala besar itu memiliki sinkang yang berhawa panas sehingga dengan pukulannya itu dia dapat menghanguskan tubuh lawan. Sebaliknya Ji Ok memiliki sinkang berhawa dingin. Dengan pukulan tangannya dia mampu membuat lawan roboh dan tewas dengan darah membeku!

Si Kong bukan tidak maklum akan kesaktian dua orang kakek itu. Juga dia paham bahwa dua orang datuk besar ini merasa marah dan malu sehingga berniat untuk membunuhnya.

"Kenapa ji-wi locianpwe berkeras hendak membunuhku? Apa kesalahanku terhadap ji-wi (anda berdua)?" Si Kong bertanya, suaranya nyaring, sama sekali tidak ada tanda-tanda takut pada wajah dan sikapnya.

"Bocah setan, engkau harus mampus di tanganku!" Ji Ok membentak.

"Kalau tidak ingin mati di tangan kami, maka bunuhlah dirimu sendiri dengan tongkatmu!" kata Toa Ok yang masih merasa malu jika harus membunuh lawan yang melihat usianya pantas menjadi cucunya itu.

"Aku tidak bersalah, aku tidak ingin mati di tangan siapa pun!" kata Si Kong, siap dengan tongkatnya.

"Heeeiiiitt...!"

Ji Ok langsung menyerang dengan tangan kirinya yang membentuk cakar harimau. Akan tetapi Si Kong mengelak dengan cepat dan ujung tongkatnya sudah menyerang ke arah siku tangan yang menyerangnya itu. Ji Ok terkejut dan menarik tangan kirinya, kini tangan kanannya menyambar dengan sebuah tamparan ke arah muka Si Kong.

Si Kong cepat mengelak ke belakang. Akan tetapi secara tidak terduga, sambil mengelak itu tongkatnya secepat kilat menyambar ke bawah.

"Takkk!"

Tongkatnya mengenai kaki Ji Ok. Kalau bukan Ji Ok yang terkena hantaman tongkat itu, tentu sudah terpelanting jatuh. Akan tetapi Ji Ok tidak bergeming, hanya kedua matanya terbelalak lebar.

"Tung-hoat (ilmu tongkat) yang hebat!"

Sementara itu Toa Ok juga sudah menyerang dengan tamparan tangan kanannya disusul tamparan tangan kiri. Tamparan kedua tangannya ini mempergunakan sinkang sehingga dapat menyerang orang dari jarak jauh. Akan tetapi Si Kong sudah melayang ke atas dan melewati kepala Toa Ok. Ketika turun tongkatnya sudah menghantam ke belakang tubuh lawannya.

"Bukkk!"

Pinggul Toa Ok kena dihantam tongkat. Tongkat itu terpental, akan tetapi Toa Ok sudah menjadi merah sekali mukanya karena dalam segebrakan saja dia sudah terkena pukulan tongkat biar pun pukulan pada pinggulnya itu tidak ada artinya baginya. Dia hanya merasa heran dan terkejut, lantas teringatlah dia akan ilmu tongkat yang terkenal paling ampuh di dunia persilatan.

"Ta-kaw Sin-tung...!" Teriaknya dan kembali mereka menghadapi Si Kong.

Kini mereka menyerang dengan berbareng. Si Kong menjadi terdesak hebat dan terpaksa dia harus menggunakan Yan-cu Hui-kun yang membuat tubuhnya menjadi seperti seekor burung walet gesitnya, mengelak ke sana sini sambil berloncatan dan kadang menangkis dengan tongkatnya.

Setelah lewat belasan jurus, sebuah pukulan jarak jauh dari Toa Ok menyerempet pundak Si Kong sehingga dia pun terpelanting dan merasa tubuhnya panas sekali, Ji Ok dan Toa Ok maju menyerang lagi dari kanan kiri, menggunakan pukulan jarak jauh dengan tenaga sakti keluar dari telapak tangan mereka.

Si Kong sudah tidak mampu menghindar lagi. Akan tetapi, walau pun maut mengancam dirinya, anak ini sama sekali tidak takut dan dia hanya menunggu datangnya pukulan dengan mata terbelalak penuh keberanian.

"Siancai..!" pada saat itu pula terdengar seruan orang, kemudian nampak bayangan orang berkelebat.

Tahu-tahu di dekat Si Kong telah berdiri seorang kakek dan kakek ini segera mementang dua tangannya ke kanan kiri untuk menyambut pukulan Toa Ok dan Ji Ok yang ditujukan kepada Si Kong.

"Plakkk! Plakkk!"

Kakek itu menerima kedua tangan dari kanan kiri. Dia dapat merasakan betapa telapak tangan Toa Ok mengandung hawa panas dan telapak tangan Ji Ok mengandung hawa dingin. Akan tetapi dengan tenangnya kakek itu menyambut tangan mereka.

Toa Ok dan Ji Ok terkejut sekali ketika merasa betapa telapak tangan mereka bertemu dengan telapak tangan yang lembut dan hangat. Akan tetapi Toa Ok dan Ji Ok adalah dua orang datuk sesat yang tidak mempedulikan nasib orang lain. Mereka dapat membunuh orang tanpa berkedip mata.

Dan sekarang, ketika melihat seorang kakek menolong Si Kong dan kakek itu terhimpit di tengah-tengah antara mereka, dua orang datuk ini tidak menarik kembali tangan mereka, bahkan sebaliknya mereka segera mengerahkan tenaga sinkang untuk membunuh kakek yang menghalangi niat mereka membunuh Si Kong itu.

Mereka menggunakan tangan mereka itu untuk mendorong dengan pengerahan tenaga. Akan tetapi mereka terkejut bukan main. Pada saat mendorong dengan tenaga sakti yang mengandung hawa panas, Toa Ok merasa betapa ada hawa dingin yang menyambut dorongannya. Sebaliknya Ji Ok yang mendorong dengan hawa sinkang dingin, merasa betapa ada hawa panas menyambut dari telapak tangan kakek itu.

Mereka berdua terengah-engah karena sambutan hawa sinkang dari kedua tangan kakek itu demikian kuat. Mereka merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong kembali.

"Haiiiiiitt...!" Ji Ok berseru nyaring.

"Hyaaaaaatttt...!" Toa Ok juga membentak sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

Akan tetapi dua orang kakek itu merasa betapa makin kuat mereka mendorong, semakin kuat pula hawa sakti menyambut sehingga mereka tidak kuat bertahan lantas keduanya terjengkang roboh. Toa Ok merasa tubuhnya diserang hawa dingin, dan sebaliknya Ji Ok merasa tubuhnya di serang hawa panas.

Mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya kakek itu hanya menyalurkan saja hawa pukulan mereka itu melalui kedua tangannya, kemudian membuat dua tenaga yang berlawanan itu bertemu dan saling serang sendiri. Ini merupakan ilmu menyimpan dan menyalurkan hawa sakti dari luar, sebuah ilmu yang amat tinggi dan jarang ada orang mampu melakukannya. Dengan penyaluran itu, Toa Ok tertangkis oleh tenaga Ji Ok sebaliknya Ji Ok tertangkis oleh tenaga Toa Ok yang mengakibatkan keduanya roboh terluka!

Kedua orang datuk itu bukanlah orang-orang bodoh yang nekat. Mereka maklum bahwa mereka sudah kalah dan mengalami luka dalam. Mereka maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang yang luar biasa saktinya. Mereka lantas bangkit dan sejenak duduk bersila untuk mengatur pernapasan dan mengambil hawa murni untuk melindungi jantung mereka. Kemudian keduanya bangkit berdiri. Ada sedikit darah kelihatan di ujung bibir mereka.

"Siapakah engkau yang telah berani mencampuri urusan kami?" Toa Ok bertanya dengan suara mengandung penasaran sekali.

"Siancai...!" Kakek itu berseru sambil tersenyum. "Kiranya yang berjuluk Toa Ok dan Ji Ok bahkan lebih kejam dari pada namanya! Aku yang bertapa di Pulau Teratai Merah belum pernah bertemu dengan orang yang sekejam kalian berdua!" Berkata demikian kakek itu memandang ke arah mayat-mayat yang malang melintang di tempat itu, lalu kepada Si Kong yang sudah bangkit berdiri.

Dua orang datuk ini terkejut bukan kepalang mendengar bahwa kakek ini adalah pertapa di Pulau Teratai Merah. Mereka sudah pernah mendengar tentang seorang pertapa sakti yang pada puluhan tahun yang silam namanya sangat terkenal dan ditakuti oleh seluruh tokoh kang-ouw, terutama kaum sesat amat takut mendengar nama itu.

Puluhan tahun yang lalu di dunia kang-ouw muncul seorang pendekar yang demikian gigih memberantas kaum sesat tanpa mengenal ampun sehingga orang-orang memberi julukan Pendekar Sadis kepadanya! Pendekar Sadis inilah yang setelah tua lantas mengundurkan diri dan bertapa di Pulau Teratai Merah di Laut Selatan. Sekarang, tanpa disangka sama sekali, pertapa itu agaknya meninggalkan Pulau Teratai Merah dan kebetulan berjumpa dengan Toa Ok dan Ji Ok, sepasang Raja Iblis yang merupakan orang-orang paling kejam di antara semua tokoh sesat.

"Pendekar Sadis...!" Toa Ok dan Ji Ok berseru dengan suara berbareng kemudian tanpa berkata apa-apa lagi kedua orang itu melompat jauh dan pergi dari situ dengan hati jeri!

Kakek itu memang benar Pendekas Sadis yang bernama Ceng Thian Sin. Akan tetapi dia kini telah menjadi seorang kakek tua renta yang usianya sudah mencapai hampir seratus tahun! Belasan tahun yang lalu kakek ini tinggal di Pulau Teratai Merah bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang sukar dicari tandingannya.

Setelah isterinya yang bernama Toan Kim Hong dan yang pernah menjadi datuk selatan dengan julukan Lam Sin itu meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun lebih, kakek Ceng Thian Sin lantas hidup seorang diri di pulau itu sebagai seorang pertapa. Dia sama sekali tidak mencampuri urusan dunia, bahkan lama sebelum itu dia telah hidup menyepi berdua dengan isterinya, hidup dengan tenteram penuh kedamaian di pulau itu.

Si Kong terheran-heran memandang kakek tua renta itu. Dia menatap penuh perhatian. Seorang kakek yang jangkung kurus, rambut jenggot dan kumisnya sudah putih semua akan tetapi wajahnya masih nampak sehat kemerahan seperti orang muda. Alisnya yang tebal juga sudah putih semua dan pakaiannya sangat sederhana namun bersih, dari kain kuning dan putih.

Tadi dia melihat betapa kakek itu menahan kedua tangan Toa Ok dan Ji Ok, kemudian melihat kedua orang datuk sesat itu roboh terjengkang seperti ditolak tenaga yang sangat kuat. Melihat itu saja maklumlah Si Kong bahwa yang menyelamatkan nyawanya adalah seorang kakek yang sangat sakti. Dia tidak ragu lagi untuk menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan kakek itu dan memberi hormat berulang kali.

"Saya Si Kong yang bodoh merasa amat bersyukur atas pertolongan locianpwe yang telah menyelamatkan jiwa saya dari tangan maut Toa Ok dan Ji Ok. Kalau tidak ada locianpwe tentu sekarang saya sudah menjadi mayat. Banyak terima kasih saya haturkan kepada locianpwe."

Kakek itu mengelus-elus jenggot putihnya yang panjang. "Siancai...! Kau tahu apa tentang tolong menolong, hutang dan balas budi, hutang atau balas dendam?" Kemudian Ceng Thian Sin berdongak ke langit dan mulutnya membaca sajak!

"Begitu semua orang mengenal keindahan dengan sendirinya muncul kejelekan, Begitu semua orang tahu apa itu kebaikan mereka pun tahu apa itu kejahatan... Karena itu ada dan tiada saling melahirkan sukar dan mudah saling melengkapi panjang dan pendek saling mewujudkan tinggi atau rendah saling bersandar bunyi dan suara saling mengimbangi dahulu dan kemudian saling menyusul..."

Mendengar ini, saking tertariknya karena dia mengenal sajak itu, ketika kakek itu berhenti sebentar untuk menarik napas, Si Kong sudah melanjutkan sajak itu.

"Itulah sebabnya orang sudi bekerja tanpa bertindak mengejar tanpa berkata. Maka segala benda berkembang tanpa dia mendorongnya tumbuh tanpa dia mau memilikinya berbuat tanpa dia menjadi sandarannya. walau pun berjasa dia tidak menuntut, justru karena tidak menuntut, maka tidak akan musnah."

"Siancai....! Ternyata engkau hafal akan ujar-ujar dalam kitab To-tek-keng! Bagus sekali, akan tetapi mengertikah engkau akan inti sari pelajaran dalam ujar-ujar kuno itu?"

"Maafkan saya, locianpwe. Jika tidak salah, ujar-ujar itu mengajarkan kepada orang untuk melakukan segala sesuatu tanpa pamrih untuk keuntungan atau kesenangan diri pribadi karena perbuatan apa pun yang berpamrih untuk diri sendiri, maka perbuatan itu tidaklah timbul dari hati sanubari yang bersih, melainkan dipakai sebagai alat agar bisa mencapai kesenangan diri sendiri. Benarkah demikian, locianpwe?"

"Ha-ha-ha-ha, engkau seorang bocah yang cerdik dan pemberani. Kulihat bahkan engkau tadi berani melawan Toa Ok dan Ji Ok dengan ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung! Gerakanmu juga amat gesit, tentu engkau pernah mempelajari Liok-te Hui-teng dan Yan-cu Hui-kun!"

Si Kong merasa kagum dan tunduk sekali. Dia memberi hormat lagi sambil berlutut. "Apa yang locianpwe katakan semuanya benar. Saya yang bodoh mohon petunjuk locianpwe."

"Aku pernah mendengar bahwa ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung yang menjadi ilmu tertinggi dari para pengemis, dimiliki oleh Lok-sian Lo-kai. Sedangkan Liok-te Hui-teng dan Yan-cu Hui-kun dikuasai oleh si penyair gila Kwa Siucai. Apa hubunganmu dengan kedua orang itu?"

"Mereka berdua adalah guru-guru saya, locianpwe," kata Si Kong yang kini menjadi lebih kagum lagi. Kakek tua renta ini agaknya mengetahui segalanya.

"Pantas saja engkau mengenal To-tek-keng." Kakek itu kembali melayangkan pandangan matanya kepada sembilan belas buah mayat yang malang melintang di tempat itu. "Siapa yang membunuh mereka?" tanyanya.

"Dua orang kakek tadi, locianpwe."

"Ceritakan dari semula semua yang terjadi di sini."

"Secara kebetulan saya mendaki bukit ini karena mendengar dari orang-orang dusun di lain bukit bahwa bukit ini diberi nama Bukit Iblis. Saya merasa tertarik mengapa bukit ini disebut demikian karena saya sendiri tidak percaya adanya iblis."

"Siancai...! Jangan bilang tidak percaya karena sesungguhnya iblis itu ada. Hanya saja keadaannya tidak terlihat mata, dan pekerjaan iblis itu menggoda manusia. Dua orang tadi melakukan kekejaman seperti itu, kau kira karena apa? Karena iblis yang masuk ke dalam batin mereka. Lanjutkan ceritamu."

"Mula-mula saya melihat enam belas orang itu berkumpul di sini, dan pemimpin mereka menyatakan bahwa sekarang mereka hendak mempergunakan bukit ini sebagai sarang mereka. Lalu muncul tiga orang yang menyebut diri mereka Liok-te Sam-kwi. Tiga orang itu mengalahkan enam belas orang ini dan memaksa mereka menjadi anak buah Liok-te Sam-kwi. Kemudian muncul Toa Ok dan Ji Ok yang menyuruh mereka semua membunuh diri. Karena mereka tidak mau, lalu terjadilah pertempuran dan akhirnya Toa Ok dan Ji Ok membunuh mereka. Ketika saya hendak pergi dari sini, dua orang datuk itu melihat saya lantas mereka menyerang saya seperti yang locianpwe lihat tadi."

"Siancai...! Bunuh membunuh, sejak dahulu sampai sekarang. Orang-orang sesat di dunia kang-ouw rupanya tidak memiliki pekerjaan lain kecuali saling bunuh dan saling berebut kekuasaan. Dan sekarang engkau hendak pergi ke mana, Si Kong?"

"Saya... pertama-tama saya harus menguburkan semua jenazah ini baik-baik, locianpwe. Setelah itu baru saya akan meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalanan saya."

Kakek itu mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya dan memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Sinar kagum terpancar dari pandangan matanya.

"Selanjutkan perjalanan ke mana?"

"Entah ke mana, locianpwe. Ke mana saja hati dan kaki ini membawa saya. Saya seorang yatim piatu, sebatang kara, dan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Saya berkelana seperti seekor burung di angkasa, sendirian saja."

Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis yang kini telah menjadi seorang pertapa tua renta itu menjadi semakin kagum. Dia sendiri juga hidup menyendiri. Sesudah isterinya meninggal dunia belasan tahun yang lampau, dia hidup seorang diri di Pulau Teratai Merah, bahkan tanpa pembantu. Dia dan isterinya hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Ceng Sui Cin yang kini sudah berusia enam puluh tahun lebih.

Ceng Sui Cin hidup bersama suaminya yang bernama Cia Hui Song dan sekarang tinggal bersama puteri mereka yang menjadi ketua Cin-ling-pai. Meski pun puterinya dan cucunya mendesaknya untuk tinggal bersama mereka di Cin-ling-pai, dia selalu menolak. Dia ingin hidup menyendiri sebagai seorang pertapa, dan kadang-kadang saja puterinya, mantunya atau cucunya datang menjenguknya di pulau Teratai Merah. Setelah tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, kakek ini memperkenalkan diri dan disebut sebagai Ceng Lojin (orang tua bermarga Ceng).

Si Kong segera menggunakan golok yang banyak bertebaran di tempat itu untuk menggali sembilan belas buah lubang kuburan. Pekerjaan berat itu dilakukan tanpa kenal lelah dan setelah matahari tenggelam di langit barat, barulah dia selesai mengubur semua jenazah itu. Sejak Si Kong bekerja, Ceng Lojin hanya menonton saja, kemudian dia malah bersila di atas batu besar sambil memejamkan matanya.

Setelah selesai, dia hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi melihat kakek tua renta itu masih duduk bersila dan memejamkan matanya seperti orang tidur, dia merasa tidak tega meninggalkannya. Kakek itu sudah tua sekali, kasihan kalau ditiggalkan seorang diri saja di Puncak bukit itu, padahal malam hampir tiba.

Karena tidak tega pergi meninggalkan kakek itu seorang diri saja, terlebih lagi pergi tanpa pamit, Si Kong menunda kepergiannya. Dia segera mengumpulkan kayu dan daun kering, lalu membuat api unggun di dekat batu besar untuk mengusir nyamuk serta hawa dingin yang mulai datang mengganggu. Dia sendiri lalu merebahkan diri di atas daun-daun kering di dekat batu besar dan mencoba untuk melepaskan lelah.

Pikirannya tidak pernah dapat lepas dari kakek yang duduk bersila di atas batu besar itu. Kakek itu pun seperti dia, agaknya hidup sebatang kara. Bagi dia yang seorang pemuda tidaklah terasa berat benar. Untuk mencari makan, dia dapat bekerja di mana saja. akan tetapi kakek tua renta itu? Biar pun dia memiliki kesaktian hebat, mana mungkin kakek itu bekerja untuk mencari nafkah?

Dia makin merasa kasihan kepadanya. Apa lagi kakek itu baru saja telah menyelamatkan nyawanya. Dia pun harus berbuat sesuatu untuk kakek itu. Setidaknya malam ini dia akan menjaga agar kakek itu tidak terganggu dalam semedhinya.

Dijaganya api unggun itu agar tidak padam. Dia pun mengaso dan mencoba tidur, walau pun hanya sebentar-sebentar karena dia harus bangun untuk menambahkan kayu bakar pada api unggunnya. Setiap kali teringat kepada gundukan-gundukan tanah di dekat situ, mau tak mau bulu tengkuknya meremang. Tadi dia sama sekali tidak ingat kepada mayat-mayat yang dikubur itu. Kini setelah teringat, timbullah rasa ngeri dan takut!

Jelas bahwa rasa takut itu bukannya datang tanpa diundang. Yang mengundang adalah ingatan yang mengingat-ingat serta membayangkan yang bukan-bukan, membayangkan hal-hal yang menyeramkan. Ingatan mengada-ada, mengingat-ingat dan membayangkan kalau saja mayat-mayat itu bangun lagi. Kalau saja roh-roh yang mati menjadi penasaran dan mengamuk. Kalau saja, kalau saja.... demikianlah pikiran sering mengingat-ingat dan membayang-bayangkan sesuatu sehingga rasa takut datang menyelinap dalam batin.

cerita silat online karya kho ping hoo

Si Kong pernah mendengar wejangan Penyair Gila tentang timbulnya rasa takut itu, dan sekarang dia merasakannya sendiri. Setelah dia merasa jelas betul dari mana timbulnya rasa takut yang membuat bulu tengkuknya berdiri, dia lalu 'memasuki' rasa takutnya itu dan menjenguk di balik rasa takut itu. Dan dia pun merasa geli terhadap ulahnya sendiri dan rasa takut itu pun segera menghilang.

Pada esok harinya, pagi-pagi sekali kakek itu telah sadar dari semedhinya, atau tidurnya sambil duduk bersila. Melihat kakek itu bangkit berdiri, Si Kong segera meloncat bangun pula.

"Siancai...!" kata kakek itu tersenyum. "Engkau masih berada di sini, Si Kong? Bukankah kau katakan bahwa engkau hendak melanjutkan perantauanmu?"

"Maaf, locianpwe, saya belum dapat pergi karena melihat locianpwe sedang bersemedhi. Saya tidak mungkin pergi meninggalkan locianpwe begitu saja tanpa pamit."

Ceng Lojin menghela napas panjang. "Dasar jodoh, dasar jodoh! Semua peristiwa di dunia Thian yang menentukan, manusia hanya bisa berusaha sekuat dan sebaik mungkin," kata kakek itu perlahan seperti kepada dirinya sendiri. "Si Kong, bagaimana pendapatmu kalau aku mengambilmu sebagai murid?"

Pertanyaan seperti ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Si Kong, bahkan dia tidak pernah berani mengharapkan kakek seperti ini mau menjadi gurunya. Karena itu, begitu mendengar kata-kata itu, langsung dia menjatuhkan diri berlutut di bawah batu besar itu dan wajahnya berseri gembira ketika dia menjawab.

"Locianpwe, tidak ada kegembiraan yang melebih apa yang saya dengar dari locianpwe. Kalau locianpwe sudi mengambil saya sebagai murid, saya merasa mendapat anugerah besar dari Tuhan. Saya hanya dapat berjanji akan mentaati semua perintah dan petunjuk locianpwe."

"Baiklah, mulai sekarang engkau menjadi muridku dan harus mentaati semua perintahku," kata kakek tua renta itu.

Dengan hati girang bukan kepalang Si Kong lantas menjatuhkan dirinya berlutut lagi dan memberi hormat delapan kali kepada kakek itu dan menyebut, 'suhu!'

"Teecu akan mempersiapkan sarapan pagi untuk Suhu," kata pemuda itu.

Ceng Lojin tersenyum. "Harapan apa yang hendak kau berikan kepadaku?"

"Teecu dapat berburu burung, ayam alas atau kelinci di hutan lereng itu."

Ceng Lojin menggoyangkan tangannya, "Tidak usah, telah lama aku tidak lagi menyentuh makanan yang berasal dari binatang. Aku hanya makan dari tumbuh-tumbuhan saja dan aku sudah membawa bekal roti kering. Engkau juga boleh makan bersamaku. Aku hanya membutuhkan air jernih, kau boleh mencarikan itu untukku."

Si Kong cepat membuka buntalannya. Dia memang selalu membawa sebuah panci untuk keperluan mencari air jernih atau memasak makanan. Dengan panci di tangan dia segera berlari cepat sekali ke sebuah hutan di lereng. Tidak lama kemudian dia sudah kembali sambil membawa sepanci air jernih yang ditemukan dari sebuah sumber air. Ceng Lojin mengeluarkan beberapa potong roti kering dari buntalannya, lalu guru beserta muridnya itu makan makanan sederhana itu dengan nikmat.

"Suhu, maafkan kelancangan teecu (murid). Teecu pernah mempelajari dari kitab-kitab suci bahwa makanan bernyawa tidak baik bagi batin kita, bahkan menurut ilmu pelajaran pengobatan, makanan bernyawa itu juga tidak baik bagi kesehatan tubuh. Teecu dapat mengerti mengapa Suhu sebagai seorang pertapa berpantang makanan bernyawa. Akan tetapi yang ingin teecu tanyakan, Suhu, apakah kita dapat terbebas dari makan binatang bernyawa? Menurut suhu Lok-sian Lo-kai, di dalam setiap cawan air jernih bisa terdapat ratusan atau bahkan ribuan binatang-binatang kecil yang tidak dapat nampak oleh mata biasa. Demikian pula di dalam tumbuh-tumbuhan seperti daun-daun untuk sayur dan juga buah-buahan, besar kemungkinan mengandung binatang-binatang kecil sehingga tak bisa dihindarkan lagi, kita terpaksa makan binatang-binatanag bernyawa, mau atau tidak."

Ceng Lojin mengangguk-angguk. "Benar sekali keterangan Lo-kai Lojin itu. Bahkan dalam setiap tarikan napas ada banyak binatang-binatang kecil yang ikut masuk ke dalam tubuh kita. Akan tetapi hal itu kita lakukan tanpa disengaja dan tidak dapat dihindarkan. Berbeda dengan kalau kita makan daging binatang sambil menikmati kelezatannya. Yang namanya membunuh, apa pun alasannya, tetap saja itu merupakan pembunuhan dan pembunuhan selalu didukung oleh kekejaman."

"Maaf, Suhu. Bukan sekali-kali teecu hendak membantah, akan tetapi teecu mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini karena ingin tahu dan ingin mengerti benar. Dengan pendapat bahwa membunuh untuk makan itu adalah perbuatan jahat dan kejam, apakah binatang pemakan daging seperti harimau, singa, buaya dan binatang buas lain juga jahat?"

"Sama sekali tidak, Si Kong. Binatang buas itu memang membunuh, namun membunuh untuk makan karena dia tidak dapat makan yang lain. Harimau dan lain-lain binatang buas itu tidak dapat makan daun, dan kalau tidak ada binatang buruan lain mereka akan mati kelaparan. Mereka memang ditakdirkan untuk itu. Tetapi manusia tidak dapat disamakan dengan binatang buas. Manusia dapat hidup tanpa makan daging binatang. Jadi orang-orang yang pantang makan daging binatang itu hanya berusaha agar mereka tidak terlalu diperngaruhi oleh nafsu binatang yang tentunya ikut masuk bersama dengan daging yang dimakannya. Akan tetapi bukan jaminan pula bahwa orang-orang yang berpantang makan daging adalah orang-orang baik dan mereka yang makan daging adalah orang-orang yang jahat. Seperti kukatakan tadi, pantang makan daging hanya suatu cara untuk mengurangi pengaruh nafsu binatang. Karena itu, biar pun engkau sudah menjadi muridku, aku tidak akan melarang engkau makan daging."

"Ahh, tidak Suhu. Seorang murid haruslah menjadikan gurunya sebagai teladan. Bila Suhu tidak makan daging, teecu juga ikut tidak makan daging, karena teecu hendak merasakan sendiri bagaimana rasa dan akibatnya kalau berpantang makan daging."

Setelah selesai makan roti kering dan minum air jernih, Si Kong mengikuti gurunya turun bukit. Gurunya nampak hanya melangkah biasa saja, akan tetapi tubuh suhu-nya seolah tidak berjalan melainkan melayang. Kedua kakinya seakan tidak menyentuh tanah. Dia pun harus mengerahkan ilmu Liok-te Hui-teng agar bisa mengimbangi kecepatan langkah gurunya.

Ceng Lojin mengajak Si Kong pergi ke selatan dan setelah tiba di pantai Laut Selatan lalu menyeberang ke sebuah pulau kecil yang tanahnya subur. Pulau itu mempunyai beberapa buah danau dan pada permukaan danau itu tumbuh banyak bunga teratai merah. Karena inilah maka pulau itu disebut Pulau Teratai Merah yang menjadi tempat tinggal Ceng Lojin. Di tengah pulau terdapat sebuah pondok kayu yang cukup besar dan kokoh kuat.

Ceng Lojin yang usianya sudah mendekati seratus tahun itu, dahulu ketika masih muda terkenal dengan julukan Pendekar Sadis karena dia amat membenci golongan sesat. Bila dia bertemu dengan penjahat, dia tidak akan memberi ampun sehingga semua penjahat di dunia kang-ouw merasa gentar kalau mendengar namanya yang menjadi algojonya para penjahat.

Ilmu kepandaian kakek ini sangat tinggi dan sukar dicari lawan yang dapat mengimbangi tingkat kepandaiannya. Dia menguasai banyak ilmu silat tinggi yang aneh-aneh. Di antara semua ilmu silat itu terdapat ilmu silat Thai-kek Sin-kun (Silat Sakti Pokok Terbesar), San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit Bumi), Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin).

Akan tetapi ilmu yang paling hebat di antara semua ilmu silat tinggi itu adalah Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Mendekam) yang hanya terdiri dari delapan jurus dan ilmu tenaga sakti yang disebut Thi-khi I-beng, semacam ilmu sakti yang mengerikan karena dengan ilmu itu dia dapat menyedot tenaga sakti lawan ke dalam dirinya sehingga menambah kekuatannya sendiri sedangkan lawan menjadi lemas akibat tenaga dalamnya disedot habis!

Thi-khi I-beng ini merupakan ilmu rahasia dari para ketua Cin-ling-pai, akan tetapi pada waktu itu tidak ada orang lain kecuali Ceng Lojin yang menguasainya. Tidak sembarang orang dapat menguasai Thi-khi I-beng. Bahkan puterinya sendiri yang bernama Ceng Sui Cin tidak dapat menguasai ilmu itu.

Tentu saja amat besar keberuntungan Si Kong dapat diambil murid oleh Ceng Lojin. Hal ini adalah karena begitu bertemu dengan Si Kong, Ceng Lojin segera mengetahui bahwa pemuda remaja itu mempunyai tulang yang baik dan bakat yang besar, juga mempunyai kecerdikan dan keberanian. Apa lagi sesudah dia mengetahui bahwa Si Kong juga pandai membaca sajak dan ujar-ujar kitab suci, maka hatinya makin tertarik lagi. Inilah anak yang boleh dia harapkan untuk mempergunakan ilmu-ilmunya sebaik mungkin, untuk kebaikan manusia serta menegakkan kebenaran dan keadilan.

Karena tahu bahwa muridnya telah memiliki ilmu silat dasar yang cukup tinggi, tentu saja Ceng Lojin tidak mengajarkan semua ilmu yang dia kuasai. Dia hanya mengajarkan ilmu silat sakti Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan jurus, akan tetapi yang delapan jurus itu dapat dikembangkan sendiri menjadi puluhan jurus. Setiap jurus merupakan gerakan dasar yang sangat sulit sehingga untuk menguasai delapan jurus Hok-liong Sin-ciang itu Si Kong harus mempergunakan waktu dua tahun berlatih dengan tekun, barulah dia dapat menguasai ilmu Hok-liong Sin-ciang itu dan dapat mengembangkannya sehingga menjadi banyak jurus.

Setelah Si Kong menguasai ilmu silat yang amat sulit ini dan usianya telah delapan belas tahun barulah Ceng Lojin mengajarkan ilmu yang lebih sukar lagi, yaitu ilmu tenaga sakti Thi-khi I-beng! Agar dapat menghimpun tenaga sakti yang amat langka ini, Si Kong harus bersemedhi dengan berbagai macam cara. Selama berbulan-bulan dia harus bersemedhi dengan berjungkir balik agar dia menguasai benar tenaga sakti yang berada di tubuhnya dan dapat menggunakan sesuai dengan kebutuhannya. Dia dapat membuat tenaga sakti dalam tubuh itu menjadi hawa panas, hawa dingin, menjadi tenaga keras atau lunak.

Selama Si Kong berada di Pulau Teratai Merah, pulau itu beberapa kali saja menerima tamu. Yang pertama datang adalah puteri dan mantu Ceng Lojin, yaitu pendekar Cia Hui Song yang telah berusia tujuh puluh tahun, dan puteri Ceng Lojin yang bernama Ceng Sui Cin dan sudah berusia enam puluh lima tahun. Dua kali suami isteri ini datang menjenguk Ceng Lojin dan setiap kali datang mereka selalu membujuk Ceng Lojin untuk ikut dengan mereka ke Cin-ling-san, di mana kakek itu dapat tinggal bersama keluarganya.

"Tidak, aku tidak ingin pindah dari sini. Ibumu meninggal dan dimakamkan di sini, aku pun kelak ingin dimakamkan di sini bila saat terakhirku tiba. Dan jangan khawatir, di sini ada Si Kong. Dia adalah murid yang amat berbakti," demikian kakek itu menolak dengan halus.

Ceng Sui Cin dan suaminya merasa kagum sekali terhadap Si Kong. Dia tidak merasa iri melihat Si Kong yang dilatih Hok-liong Sin-cang bahkan Thi-khi I-beng, padahal dia sendiri tidak mempelajarinya karena bakatnya masih kurang.

"Sute Si Kong." kata Ceng Sui Cin pada kunjungannya yang terakhir ketika Si Kong sudah berusia sembilan belas tahun, "Engkau beruntung sekali mendapat kepercayaan ayahku sehingga diangkat murid dan mewarisi ilmu-ilmu rahasia milik Cin-ling-pai. Akan tetapi di samping keberuntungan itu, berarti engkau bertanggung jawab berat sekali. Kelak engkau harus dapat mempergunakan semua ilmu itu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan sekali-kali tak boleh kau gunakan untuk maksud jahat dan menguntungkan diri sendiri saja. ingat, kalau engkau melakukan penyelewengan itu, kami seluruh anggota besar Cin-ling-pai akan menghadapimu dan minta pertanggung jawaban darimu."

"Saya mengerti benar akan apa yang Suci maksudkan. Saya hanyalah seorang manusia biasa, Suci, maka saya tidak berani takabur dan menjanjikan sesuatu yang nantinya tidak akan dapat saya penuhi. Saya hanya berdoa kepada Tuhan, semoga Tuhan akan selalu membimbing saya ke arah jalan yang benar!"

Ucapan Si Kong ini malah lebih melegakan hati Ceng Sui Cin dari pada kalau pemuda itu mengucapkan janji yang muluk-muluk. Ia suka akan kerendahan hati pemuda ini. Sayang bahwa pemuda yang sebaik dan sebesar ini bakatnya bukan keluarga besar Cin-ling-pai.

Selain suami isteri itu yang berkunjung dua kali selama Si Kong berada di Pulau Teratai Merah, juga cucu Ceng Lojin, yaitu Cia Kui Hong yang berusia empat puluh tujuh tahun dan menjadi ketua Cin-ling-pai datang berkunjung bersama suaminya yang bernama Tang Hay.

Sebagai puteri Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, tentu saja Cia Kui Hong juga merupakan seorang wanita sakti maka dia diangkat menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi suaminya yang bernama Tang Hay itu bahkan lebih lihai dari pada dia. Cia Kui Hong juga pernah digembleng di Pulau Teratai Merah oleh kakek dan neneknya, bahkan telah mewarisi ilmu pedang pasangan Hok-mo Siang-kim (Sepasang Pedang Pembunuh Iblis) dari neneknya. Tetapi Cia Kui Hong ini pun dianggap kurang berbakat untuk mewarisi Hok-liong Sin-ciang dan Thi-khi I-beng. Sedangkan suaminya, Tang Hay adalah seorang pendekar sakti yang bukan saja mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari isterinya, akan tetapi dia pun mahir ilmu sihir!

Seperti juga nenek Ceng Sui Cin, Cia Kui Hong sengaja menemui Si Kong berdua saja ketika Si Kong bekerja di sebuah ladang kecil di mana dia menanam sayur-sayuran untuk keperluan dia dan gurunya. Seperti ibunya, Cia Kui Hong juga berkata kepada Si Kong,

"Si Kong, engkau telah memperoleh kepercayaan kongkong dan diberi pelajaran ilmu silat tinggi. Aku ingin memperingatkanmu agar kelak engkau menggunakan ilmu-ilmu itu untuk membela kebenaran dan keadilan, jangan sekali-kali kau gunakan untuk kejahatan karena dengan begitu engkau akan mencemarkan nama baik Cin-ling-pai dan kami semua tentu akan menghadapimu sebagai musuh!"

Si Kong tersenyum. Alangkah miripnya nyonya ini dengan ibunya! Ibu dan anak ini sudah memperingatkannya dengan keras. "Harap Pangcu tidak khawatir. Saya sudah berjanji di hadapan suci Ceng Sui Cin bahwa saya akan mentaati semua pesan dan perintah suhu. Semoga Tuhan akan selalu membimbing saya ke dalam jalan kebenaran."

Ketua Cin-ling-pai dan suaminya itu hanya tinggal tiga hari di Pulau Teratai Merah, lantas mereka pulang karena mereka pun tidak berhasil membujuk kakek Ceng Lojin untuk ikut dengan mereka tinggal di Cin-ling-san.

Diam-diam Si Kong merasa ngeri juga. Dia sudah mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi pusaka dari keluarga besar para ketua Cin-ling-pai dan dia tahu bahwa mereka itu bukan omong kosong saja dengan peringatan mereka. Akan tetapi hatinya tidak merasa khawatir karena sedikit pun tak ada niat di hatinya untuk berbuat jahat atau seenaknya sendiri saja mengandalkan semua ilmunya. Di samping ilmu silat, dia pun mendapat banyak wejangan dan pelajaran tentang kehidupan dari Yok-sian Lo-kai, Kwa Siucai dan Ceng Lojin sendiri.

Waktu berlalu amat cepat bagaikan anak panah terlepas dari gendewanya. Tanpa terasa dua tahun lagi sudah lewat semenjak kunjungan ketua Cin-ling-pai Cia Kui Hong bersama suaminya itu. Sekarang Si Kong telah menjadi seorang pemuda dewasa yang berusia dua puluh tahun. Dia pun sudah menguasai Thi-khi I-beng.

Ceng Lojin juga bertambah tua, kini usianya sudah seratus tahun lebih. Tubuhnya makin kurus akan tetapi masih tegak dan tidak bongkok. Pandangan matanya masih tajam dan juga pendengarannya masih baik. Pada suatu pagi, kakek itu menghampiri Si Kong yang sedang memikul air dari sumber air itu.

"Berhentilah dulu bekerja. Aku ingin menguji apakah engkau benar-benar telah menguasai Thi-khi I-beng secara benar."

Si Kong cepat menurunkan pikulannya dan menghampiri kakek itu.

"Teecu siap melaksanakan perintah suhu!" katanya dengan suaranya yang selalu bernada gembira dan tegas.

"Si Kong, bagian paling sukar dari Thi-khi I-beng adalah menghentikan tenaga menyedot sinkang dari luar. Kalau hal itu belum dapat kau lakukan dengan sempurna, secara mudah engkau dapat membunuh orang tanpa disengaja karena tenaga sinkang orang itu akan membanjir ke dalam tubuhmu. Jangan sekali-kali mencoba untuk mempergunakan Thi-khi I-beng kalau engkau belum mampu mengendalikan tenagamu dengan sempurna. Karena itu, sekarang aku akan mengujimu. Aku akan mencengkeram pundakmu. Salurkan Thi-khi I-beng ke pundak yang dicengkeram, maka tenaga dalamku akan tersedot olehmu melalui pundak yang kucengkeram. Bila mana sudah begitu, cobalah engkau cepat-cepat menarik kembali tenagamu agar sinkang dariku tidak tersedot terus."

"Baik, Suhu. Akan teecu coba sebaik mungkin!"

"Lihat serangan!" Kakek itu berseru kemudian secepat kilat tahu-tahu tangan kirinya telah mencengkeram pundak kanan Si Kong.

Begitu merasa pundaknya dicengkeram, Si Kong segera mengerahkan Thi-khi I-beng ke tangan kakek itu yang menempel pada pundaknya, sehingga timbul tenaga sedotan yang besar sekali menyedot tenaga sinkang kakek itu melalui pundak Si Kong. Setelah merasa betapa ada hawa panas memasuki tubuhnya, maka tahulah Si Kong bahwa ilmunya telah bekerja dengan baik. Dia lalu mengerahkan tenaga untuk menarik kembali tenaga sedotan itu sambil menggerakkan pundaknya sehingga terlepas dari tempelan tangan Ceng Lojin. Ceng Lojin sendiri terhuyung ke belakang dan melihat ini Si Kong cepat menghampirinya.

"Suhu baik-baik saja?"

Ceng Lojin tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, akan tetapi hatiku senang sekali. Engkau telah mampu mengendalikan Thi-khi I-beng! Hal itu baik sekali, Si Kong, karena kalau tidak, engkau akan membunuh banyak orang dengan tenaga sedotan Thi-khi I-beng yang tidak dapat kau hentikan."

Melihat kakek itu agak terengah dan mukanya agak pucat, Si Kong cepat memegang nadi tangan gurunya untuk memeriksa keadaannya. Dia pun terkejut!

"Jantung Suhu terguncang dan lemah sekali! Suhu harus beristirahat...!"

Kembali Ceng Lojin tersenyum. "Beginilah kalau badan sudah dimakan umur. Tiada yang kekal di dunia ini, juga kekuatan badan. Oleh karena itu, selagi badan kuat engkau harus dapat menggunakannya demi keadilan dan kebenaran Si Kong. Bila kelak engkau sudah setua aku, engkau pun akan kehilangan kekuatanmu dan kalau sudah jompo, apa yang dapat kau lakukan?"

"Akan tetapi, Suhu, kesehatan Suhu terancam. Suhu tak boleh mengerahkan tenaga dan harus beristirahat. Saya akan membuat obat untuk memperkuat daya tahan tubuh Suhu!"

Ceng Lojin menggeleng kepala. "Tidak, Si Kong. Pengobatan manusia pun ada batasnya. Badan yang tua tidak dapat dipulihkan lagi. Mengingat keadaanku ini, patut kunasehatkan kepadamu, tengoklah ke atas, maka engkau akan melihat betapa banyaknya orang yang lebih pandai, lebih kaya bahkan lebih segala-galanya dari pada engkau dan engkau boleh berkata pada dirimu sendiri: enyahlah keangkuhan dan kesombongan! Namun jangan lupa menengok ke bawah! Tengoklah ke bawah, maka engkau akan melihat betapa banyaknya orang yang lebih bodoh, lebih miskin dan lebih menderita dari pada engkau, dan engkau boleh berkata kepada dirimu sendiri: pergilah keputus-asaan dan kerendah-dirian! Dengan menengok ke atas dan ke bawah itu engkau akan selalu merasa bersyukur atas segala karunia Tuhan kepadamu, engkau akan selalu rendah hati tetapi tidak rendah diri. Engkau akan menjadi manusia yang jauh lebih gagah perkasa apa bila engkau mampu menguasai nafsu-nafsu sendiri dari pada kalau engkau mengalahkan seratus orang lawan!"

"Teecu akan menyimpan dalam hati dan akan selalu ingat semua nasehat suhu." Tiba-tiba Si Kong melompat berdiri dan memandang ke arah selatan.

Tempat tinggal mereka berada di dataran paling tinggi di pulau itu sehingga dari situ orang dapat melihat ke empat penjuru yang terletak lebih rendah. Pendengarannya yang sangat tajam sudah menangkap suara orang dari arah selatan, maka dia memandang ke sana dengan penuh perhatian.

"Ada orang-orang datang mengunjungi kita," kata Ceng Lojin lirih. Ini membuktikan bahwa pendengaran kakek itu masih amat tajam.

Si Kong melihat bayangan tujuh orang datang dari pantai pulau dan kini mereka berlari cepat bukan main menuju ke arah tempat dia berdiri, Si Kong dapat melihat jelas betapa cepatnya tujuh orang itu berlari, menunjukkan bahwa mereka tentu bukanlah orang-orang sembarangan.

"Benar Suhu, ada tujuh orang datang berkunjung dan mereka menggunakan ilmu berlari cepat tingkat tinggi. Mereka tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, Suhu."

"Siapa pun adanya mereka, mari kita sambut mereka di depan pondok. Setiap orang yang datang berkunjung ke pulau ini adalah tamu yang harus kita hormati, Si Kong."

"Baik, suhu..."

Mereka lalu berjalan menuju ke depan pondok dan berdiri dengan sikap tenang menanti datangnya tujuh orang itu. Benar seperti yang dikatakan Si Kong, sebentar saja ketujuh orang itu sudah tiba di depan mereka. Pemuda itu terkejut ketika mengenal dua orang di antara mereka, seorang yang kepalanya besar dan botak berpakaian putih dan seorang yang rambutnya panjang sampai ke pinggang dan mukanya juga berambut seperti muka monyet. Mereka itu bukan lain adalah Toa Ok atau Thai-mo-ong dan dan Ji Ok atau Ji-mo-ong, dua orang yang disebut Si Jahat Nomor Satu dan Si Jahat Nomor Dua.

Si Kong melihat lima orang yang lain. Mereka adalah lima orang kakek yang usianya lebih kurang enam puluhan tahun dengan rambut dipotong pendek dan pakaian mereka seperti jubah pendeta.

"a-ha-ha-ha, ternyata Pendekar Sadis masih hidup dan berada di pulau pertapaannya ini! Dan si bocah setan juga berada di sini. Bagus, kami dapat membalas kekalahan kami tempo hari kepada kalian!" kata Toa Ok sambil tertawa-tawa dan menggerakkan tongkat ularnya.

"Sekali ini engkau tak akan dapat lolos dari tanganku, Pendekar Sadis!" kata Ji Ok sambil mencabut pecutnya.

"Pendekar Sadis sudah tidak ada, yang ada ini adalah Ceng Lojin," kata Ceng Lojin, lalu menghadapi lima orang yang menemani Toa Ok dan Ji Ok itu. "Agaknya Toa Ok dan Ji Ok belum jera setelah kekalahannya di Bukit Iblis dulu, akan tetapi ngo-wi (anda berlima) ini siapakah dan ada keperluan apa dengan kami?"

"Kami berlima dikenal dengan sebutan Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tandingan), datang dari barat dan kami sahabat Thai-mo-ng dan Ji-mo-ong. Telah puluhan tahun kami mendengar betapa Pendekar Sadis sangat sewenang-wenang dan kejam terhadap orang-orang kang-ouw. Akan tetapi karena kami juga mendengar bahwa Pendekar Sadis sudah mengundurkan diri dan bertapa di Pulau Teratai Merah, tadinya kami telah melupakan dan membiarkan dia bertapa menyesali kekejaman-kekejaman yang dulu pernah dia lakukan. Akan tetapi kami bertemu dengan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong, lantas mendengar bahwa Pendekar Sadis kembali mencampuri dunia kang-ouw bahkan sudah mengalahkan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong, juga melukai mereka. Maka kami berlima mengambil keputusan untuk ikut dengan mereka mengunjungi Pulau Teratai Merah untuk membalaskan roh-roh penasaran dari banyak tokoh kang-ouw yang telah tewas di tangan Pendekar Sadis."

"Siancai...! Jadi kalian bertujuh ini sengaja datang ke sini untuk membunuhku?"

"Kami datang ke sini untuk menantangmu, Ceng Lojin!" kata Toa Ok.

"Mengeroyok? Tujuh lawan satu? Kalian pengecut curang!" kata Si Kong dengan marah.

Pemuda itu tahu benar keadaan suhu-nya yang sedang lemah setelah tadi menguji Thi-khi I-beng miliknya. Jantungnya berdetak lemah sehingga suhu-nya harus beristirahat, sama sekali tak boleh mengerahkan tenaga sinkang untuk berkelahi, apa lagi tujuh lawan satu!

"Si Kong, kau jangan ikut campur. Ini adalah urusan pribadiku!" Ceng Lojin berseru kepada muridnya dengan sikap gagah dan tenang sekali. Kemudian dia bertanya kepada Toa Ok, "Kalian bertujuh menantangku untuk mengeroyokku?"

"Ha-ha-ha, aku pernah mendengar bahwa dalam menghadapi lawan, Pendekar Sadis tak pernah menanyakan dikeroyok atau tidak. Memang kami bertujuh hendak maju bersama melawanmu, akan tetapi kalau engkau takut, kami bersedia memberi pengampunan dan memperbolehkan engkau membunuh dirimu di depan kami!"

Mendengar ini Si Kong menjadi marah sekali. "Aturan apa itu? Memberi pengampunan dengan jalan menyuruh orang membunuh diri!"

"Hemm, seumur hidupku belum pernah aku menolak tantangan dari siapa pun juga. Nah, kalian boleh maju bersama!" kata Ceng Lojin dan dia berdiri dengan sikap penuh wibawa, sedikit pun tidak ada bayangan rasa takut pada wajah dan sikapnya.

"Tidak tahu malu! Mengeroyok seorang yang sudah tua dan tidak bersenjata dengan tujuh orang dan semuanya bersenjata!" teriak lagi Si Kong yang tak dapat menahan amarahnya lagi.

Merah juga wajah tujuh orang itu. Mereka adalah datuk-datuk besar yang terkenal di dunia kang-ouw. Lima orang yang menyebut diri mereka sebagai Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding) itu adalah bekas pendeta-pendeta Lama jubah hitam yang terusir keluar dari negara mereka karena telah melakukan penyelewengan. Mereka lalu lari ke timur dan sebentar saja sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw karena kepandaian mereka yang tinggi. Mereka adalah kenalan Toa Ok dan Ji Ok, maka dengan senang hati mereka membantu kedua orang sahabat ini menghadapi Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. Ucapan pemuda ini memang menampar harga diri mereka.

"Pendekar Sadis, mengingat bahwa sekarang engkau sudah tua renta, maka kami akan menghadapimu tanpa senjata. Lihat, kutinggalkan tongkatku di sini!" kata Toa Ok sambil menancapkan tongkatnya ke atas tanah.

Ji Ok menyimpan kembali pecutnya yang dilingkarkan di pinggang menjadi sabuk. Melihat ini Bu-tek Ngo-sian yang membawa pedang pada punggung masing-masing juga tak mau mencabut senjata mereka.

"Bagus! Kiranya kalian masih memiliki sifat jantan. Nah, mulailah dengan usahamu untuk membunuh orang tua seperti aku!" kata Ceng Lojin.

Si Kong tadi sengaja mengejek untuk menolong suhu-nya. Jika mereka mempergunakan senjata, maka gurunya terpaksa harus menggunakan kecepatan dan tenaga sinkang dan hal ini amat berbahaya bagi keselamatan suhu-nya yang sedang lemah. Akan tetapi kalau mereka tidak bersenjata, dia mengharapkan suhu-nya akan mampu mengalahkan mereka dengan Thi-khi I-beng.

Ceng Lojin memaklumi akal muridnya ini, sebab itu dia pun tersenyum. Ia mengerti bahwa kondisi tubuhnya tidak memungkinkan dia untuk bertahan dalam pertandingan yang lama. Dia harus mampu mengalahkan tujuh orang lawannya secepat mungkin atau dialah yang akan tewas di tangan mereka.

Namun bagaimana mungkin dia dapat mengalahkan mereka yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai datuk persilatan itu? Tidak lain hanya dengan Thi-khi I-beng! Akan tetapi kalau dia membiarkan tenaga sinkang ketujuh orang itu membanjir ke dalam dirinya, tubuhnya yang sudah lemah itu pun tidak akan kuat bertahan. Secara diam-diam Ceng Lojin yang telah memiliki banyak pengalaman bertanding ini mencari akal agar dapat memenangkan pertandingan dalam waktu secepat mungkin dengan menggunakan tenaga sesedikit mungkin.

Toa Ok dan Ji Ok memelopori pengeroyokan itu. Mereka maju bersama dan menyerang dengan pukulan mereka yang cepat dan kuat. Toa Ok mencengkeram ke arah pundak kiri Ceng Lojin, sedangkan Ji Ok menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka ke arah perutnya.

Ceng Lojin tidak berani mengerahkan tenaga sinkang untuk menangkis, tapi mengerahkan Thi-khi I-beng untuk menerima dua macam serangan ini. Dengan sedikit miringkan tubuh dia menerima cengkeraman pada pundaknya itu, maka pukulan Ji Ok bukan menghantam perut akan tetapi mengenai lambungnya.

"Plakk! Plakk!"

Tangan kanan Toa Ok yang mencengkeram pundak bertemu dengan pundak yang lunak, begitu pula tangan kanan Ji Ok yang menghantam lambung. Mereka berdua kaget sekali. Akan tetapi pada saat mereka hendak menarik kembali tangan mereka, tangan itu sudah melekat pada pundak dan lambung Ceng Lojin.

Sebelum hilang rasa kaget mereka, dua orang datuk itu menjadi terkejut bukan kepalang ketika merasa betapa tenaga sinkang mereka melalui tangan yang melekat di tubuh orang tua itu memberobot keluar seperti disedot oleh tenaga yang tidak mampu mereka lawan! Mereka cepat berusaha mencegah, tetapi mereka tidak mampu menahan tenaga sinkang yang membanjir keluar itu. Selagi mereka terkejut dan menarik-narik tangan mereka, saat itu dipergunakan oleh Ceng Lojin untuk memukul mereka dengan ilmu silat Hok-liong Sin-ciang.

"Desss...! Desss...!"

Toa Ok dan Ji Ok terpental ke belakang kemudian terhuyung-huyung. Mereka tahu bahwa mereka telah terluka dalam. Pada saat itu lima orang Bu-tek Ngo-sian sudah berloncatan ke depan dan menerkam Ceng Lojin dengan serangan tangan mereka. Ilmu kepandaian kelima orang bekas Lama ini setingkat dengan ilmu kepandaian Toa Ok dan Ji Ok, maka bisa dibayangkan betapa hebatnya ketika mereka berlima maju untuk menyerang dengan pukulan mereka yang ampuh dan mengandung tenaga sinkang kuat!

Tetapi alangkah terkejut rasa hati mereka ketika semua pukulan mereka itu ternyata tidak dielakkan mau pun ditangkis oleh kakek tua renta itu, melainkan diterima begitu saja dan mereka merasakan pukulan mereka diterima oleh tubuh yang lunak. Kekagetan mereka semakin bertambah ketika mereka merasakan tangan mereka melekat pada tubuh kakek itu dan tenaga sinkang mereka membanjir keluar dari tubuh mereka melalui tangan yang menempel di tubuh itu!

Mereka menarik-narik tangan mereka sambil mengerahkan sinkang. Akan tetapi, semakin kuat mereka mengerahkan sinkang, semakin kuat pula tangan itu menempel pada tubuh Ceng Lojin dan semakin besar tenaga sinkang mereka membanjir keluar!

Sementara itu Ceng Lojin tidak tinggal diam. Melihat mereka semua sedang kebingungan, dia mainkan Hok-liong Sin-cing, memukul lima orang itu sehingga mereka semua terpental satu demi satu kemudian terhuyung-huyung dan akhirnya roboh ke tanah!

Ceng Lojin berdiri tegak sambil memandang penuh wibawa kepada tujuh orang lawannya yang sudah diberi satu kali pukulan dan yang kini mencoba untuk bangkit berdiri. Pukulan yang hanya satu kali itu telah membuat mereka terluka dalam. Sekarang mereka bertujuh memandang kepada Ceng Lojin dengan mata terbelalak, jelas nampak keraguan dan rasa ketakutan membayang pada wajah mereka.

Melihat betapa gurunya dalam keadaan sedang lemah itu dapat merobohkan tujuh orang pengeroyoknya dalam segebrakan saja, Si Kong merasa kagum dan bangga, akan tetapi juga merasa khawatir sekali. Suhu-nya sudah menggunakan Thi-khi I-beng, hal itu masih tidak mengapa karena penggunaan ilmu ini tak perlu mengerahkan tenaga sinkang, akan tetapi ketika suhu-nya memukul roboh ketujuh orang itu dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang, jelas bahwa suhu-nya telah mengerahkan tenaga sinkang-nya dan hal ini amat berbahaya bagi jantung suhu-nya yang sudah amat lemah itu.

Melihat tujuh orang itu sudah bangkit kembali, Si Kong khawatir kalau-kalau mereka akan menggunakan senjata untuk mengeroyok suhu-nya lagi, maka dia pun segera menyambar sebatang tongkat bambu kemudian dengan gerakan yang cepat bagaikan kilat dia sudah meloncat ke depan tujuh orang itu. Dia melintangkan tongkatnya di depan dada, kemudian membentak dengan pengerahan khikang sehingga suaranya terdengar mengguntur penuh wibawa.

"Suhu sudah mengampuni kalian karena tidak menggunakan pukulan maut, apakah kalian masih juga belum jera dan minta mati?"

Memang tujuh orang itu tadi sudah terkejut sekali menyaksikan kelihaian Pendekar Sadis yang kini telah menjadi kakek tua renta itu. Mereka sudah merasa jeri menghadapi kakek ini. Kini, begitu melihat gerakan Si Kong yang demikian tangkas dan kokoh kuat, sedikit keberanian mereka untuk tetap menyerang dengan senjata menjadi buyar.

"Mari kita pergi!" Toa Ok cepat berseru. Tujuh orang itu langsung melarikan diri dengan agak terhuyung-huyung karena mereka semua menderita luka dalam.

Si Kong memandang sampai bayangan mereka lenyap ke dalam sebuah perahu yang tadi mereka daratkan dan dia cepat memutar tubuhnya ketika mendengar suara rintihan suhu-nya. Begitu memutar tubuh, dia melihat suhu-nya terhuyung-huyung, karena itu dia cepat meloncat dan menahan tubuh suhu-nya yang sudah terguling roboh. Di lain saat kakek itu sudah jatuh pingsan dalam rangkulan Si Kong.

Si Kong cepat memondong tubuh suhu-nya. Alangkah ringan tubuh suhu-nya dan barulah Si Kong teringat bahwa suhu-nya sudah amat tua dan tubuhnya kurus sekali. Dengan hati terharu dan khawatir dia merebahkan suhu-nya di atas pembaringan dan cepat melakukan pemeriksaan. Ternyata detak jantung suhu-nya itu lemah sekali, bahkan hampir berhenti! Si Kong terkejut sekali, kemudian cepat memeriksa pernapasan suhu-nya. Ternyata juga amat lemah dan terengah-engah. Hampir Si Kong menangis.

Dengan pengetahuannya tentang ilmu pengobatan, tahulah dia bahwa keadaan gurunya gawat sekali dan tidak mungkin tertolong lagi. Suhu-nya telah menggunakan seluruh sisa daya tahannya untuk mengerahkan sinkang dan kini telah kehabisan tenaga sama sekali. Suhu-nya tidak mengalami luka dalam, akan tetapi karena keadaan tubuhnya yang tua itu lemah sekali, maka penggunaan tenaga sinkang itu menghabiskan daya tahannya.

Si Kong lalu menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan pada dada gurunya dan mengerahkan sinkang-nya untuk membantu suhu-nya agar jantungnya dapat bekerja lagi. Hawa hangat yang mengalir keluar dari kedua telapak tangannya memasuki tubuh tua itu dan tidak lama kemudian suhu-nya membuka matanya, memandang kepada Si Kong dan tersenyum!

"Suhu...!" kata Si Kong terharu melihat betapa dalam keadaan seperti itu suhu-nya masih dapat tersenyum sedemikian cerahnya!

"Si Kong... aku... telah kalah...!" katanya lirih, suaranya seolah-olah sukar sekali keluar dari kerongkongannya.

"Tidak, Suhu! Suhu sudah berhasil mengusir ketujuh iblis itu dari sini!" Si Kong menghibur suhu-nya.

"He-he... menghadapi tujuh iblis kecil itu... aku tidak pernah kalah..., akan tetapi aku harus menyerah kalah... terhadap usiaku..."

"Suhu, teecu akan merawat dan mengobati suhu sekuat dan semampu teecu."

Kakek itu menggeleng kepalanya. "Akan sia-sia saja, Si Kong... dan engkau juga sudah tahu akan hal itu... ilmu perngobatanmu juga tidak berdaya melawan serangan usia tua...! Kematian adalah hal yang wajar, merupakan kelanjutan dari pada kehidupan... maka tidak perlu disesalkan..."

Pada saat itu Si Kong mendengar gerakan di luar pondok. Cepat sekali tubuhnya segera berkelebat dan dia sudah meloncat keluar karena dia khawatir kalau-kalau para musuh itu datang lagi.

Akan tetapi, begitu tiba di luar pondok dia terbelalak dan jantungnya berdebar tegang dan bingung. Sama sekali bukan para iblis tadi yang datang, melainkan seorang gadis yang jelita dan manis sekali.

Usia gadis itu sekitar delapan belas tahun. Kulit mukanya nampak putih kemerahan tanpa bedak dan yanci (pemerah kulit), tubuhnya langsing sekali, pinggangnya kecil, dada dan pinggulnya membusung. Pakaiannya serba merah muda dan pada punggungnya terdapat sepasang pedang.

Si Kong menatap wajah itu. Sungguh manis sekali dengan dahinya yang dihias anak-anak rambut yang gemulai dan alis yang kecil panjang hitam seperti dilukis. Sepasang matanya begitu tajam bersinar-sinar seperti bintang kejora. Hidungnya kecil mancung, serasi sekali dengan mulutnya yang tersenyum mengejek dengan bibir yang merah basah. Dagunya runcing membuat muka itu berbentuk bulat telur.

Karena tidak menyangka sama sekali bahwa dia akan berhadapan dengan seorang gadis yang demikian cantik jelitanya, Si Kong sampai tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Gadis itu pun terkejut ketika melihatnya berkelebat secepat itu, akan tetapi dia cepat berkata,

"Ahh, engkau tentu yang bernama Si Kong, murid dari kakek buyut itu!"

Si Kong juga terkejut. Gadis ini menyebut suhu-nya kakek buyut! Dia sudah mengenal cucu gurunya, wanita perkasa yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu bersama suaminya yang gagah perkasa. Gadis ini tentu puteri mereka.

"Nona... siapakah...?" tanyanya dengan ragu.

Pada saat itu terdengar suara pria yang nyaring bergema, "Hui Lan, apakah engkau telah bertemu dengan kakek buyutmu?" Baru saja suaranya terhenti, orangnya sudah muncul di situ. Seorang lelaki berusia lima puluh tahun lebih bersama seorang wanita berusia empat puluh delapan tahun.

Melihat mereka, Si Kong segera memberi hormat. Biar pun dia murid kakek mereka, akan tetapi karena usianya jauh lebih muda, dia menyebut paman dan bibi kepada mereka. Hal ini pun sudah disetujui oleh gurunya agar tidak menempatkan Si Kong dalam kedudukan yang terlalu tinggi.

"Si Kong, bagaimana keadaan kongkong? Di manakah dia?" tanya Cia Kui Hong kepada pemuda itu.

"Paman dan Bibi, suhu berada dalam keadaan yang gawat. Silakan ji-wi (anda berdua) masuk. Suhu berada di dalam kamarnya."

Mendengar ini, Tang Hay dan Cia Kui Hong terkejut dan cepat mereka masuk, diikuti oleh puteri mereka Tang Hui Lan. Si Kong mengikuti dari belakang.

"ongkong...!" Cia Kui Hong berseru dan cepat berlutut di dekat pembaringan.

"Kongkong, bagaimana keadaanmu?" Tang Hay juga berlutut.

Suami isteri ini memeriksa denyut nadi tangan kakek itu dan mereka terkejut bukan main. Denyut itu sebentar terasa sebentar tidak. Kakek mereka dalam keadaan sangat gawat, bahkan dalam sekarat!

Kakek itu yang tadinya telah memejamkan kedua matanya. Mendengar suara mereka dia membuka kembali kedua matanya. Dia memandang kepada cucu, cucu mantu, lalu cucu buyutnya. Senyumnya mengembang lagi di mulutnya.

"Beruntung sekali... kalian datang... Hampir terlambat..."

"Kakek kenapa?" tanya Kui Hong dengan gugup, lantas berkata kepada suaminya, "Tepat keluarkan batu giok mustika itu untuk mengobati kakek!"

Tang Hay mengeluarkan sebuah batu giok yang tadinya disimpan di dalam saku bajunya, "Si Kong, minta air minum..., cepat!"

Si Kong tahu bahwa semua itu tidak ada gunanya, akan tetapi dia tidak membantah dan cepat menuangkan semangkuk air teh lalu menyerahkannya kepada Tang Hay. Pendekar ini segera memasukkan batu gioknya ke dalam air teh, dibantu oleh isterinya memberikan obat itu untuk di minum Ceng Lojin. Kakek itu meminumnya sedikit, lalu berkata lemah,

"Tak ada gunanya lagi... tidak ada obat... bagi penyakit usia lanjut... kalau dapat diobati... tentu Si Kong... telah menyembuhkanku..."

Baru Tang Hay dan Cia Kui Hong teringat bahwa Si Kong juga pernah mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai. Kui Hong segera bertanya kepada Si Kong, "Bagaimana keadaannya?"

"Keadaannya gawat, tidak bisa diobati lagi. Jantungnya sudah terlampau lemah dan paru-parunya juga tak bekerja dengan baik, sudah terlalu lemah. Saya telah berbuat semampu saya, akan tetapi tidak dapat menolongnya, Bibi. Dalam keadaan lemah sekali suhu telah mengeluarkan seluruh sisa-sisa tenaganya untuk memukul tujuh iblis itu, dan inilah yang menghabiskan tenaganya dan membuat semakin lemah."

"Tujuh iblis? Apa yang telah terjadi? Siapa mereka itu?" tanya Kui Hong dengan cepat dan penasaran.

"Tanpa diduga-duga mereka datang, Toa Ok dan Ji Ok. Ji Ok dan mereka berlima yang menyebut diri Bu-tek Ngo-sian. Mereka mengeroyok suhu."

"Mengapa engkau tidak membantu suhu?" Tang Hay bertanya dengan suara mengandung teguran.