Pedang Ular Merah Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG ULAR MERAH JILID 02

Ketika ia siuman kembali, ia berjalan terhuyung-huyung keluar dari goa seperti seorang pemabok. Tubuhnya lemas, kepalanya pening dan seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit yang terdengar dari mulutnya hanyalah bisikan yang merupakan keluhan menyayat hati.

"Suhu... suhu... suhu...!"

Akhirnya kakinya membawanya ke pinggir sebuah anak sungai dan melihat air yang jernih itu gadis ini lalu berlutut dan mencelupkan kepalanya kedalam air! Sampai setengah hari lamanya ia duduk termenung di pinggir anak sungai, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia bingung, sedih, lapar, dan juga hawa mayat membuatnya pening sekali.

Kemudian jalan pikirannya dapat ia pergunakan dan karena teringat akan keadaan binatang-binatang yang mati dan bangkainya berbau seperti bau mayat suhunya, ia dapat juga menduga bahwa suhunya tentu telah mati. Ia menangis lagi tersedu sedan dan bagaikan seorang gila ia lalu lari keluar dari hutan itu!

Segila-gilanya Hek Sin-mo, karena ia pernah hidup di dunia ramai dan tahu akan adat istiadat dan kesopanan, maka biarpun ia tidak memperdulikan pakaian sendiri, untuk muridnya ia selalu mencarikan pakaian yang bersih dan baik. Apalagi setelah Eng Eng menjadi dewasa dan melihat betapa cantiknya murid yang amat dikasihaninya itu, ia meninggalkan hutan dan bagaikan seorang iblis ia memasuki rumah-rumah orang dusun yang kaya dan mencuri pakaian yang indah-indah. Oleh karena itulah maka Eng Eng selalu mengenakan pakaian yang cukup sopan dan indah.

Akan tetapi oleh karena Hek Sin-mo mencari pakaian tanpa melihat potongannya, diantara banyak pakaian itu terdapat pula pakaian laki-laki dan anehnya, Eng Eng juga tidak memperdulikan perbedaan potongan pakaian itu. Kadang-kadang gadis ini mengenakan pakaian wanita dan kadang-kadang mengenakan pakaian laki-laki. Seorang gadis yang sementara tinggal di dalam hutan liar bersama kakek gila, tentu saja tidak tahu mana baju untuk wanita dan mana untuk laki laki. Jangankan tentang model pakaian terakhir, lebih baik jangan ditanyakan kepadanya!

Ketika Eng Eng berlari keluar dari hutan dengan hati bingung dan berduka, ia kebetulan mengenakan pakaian laki-laki dan rambutnya tertutup oleh ikat kepala untuk laki-laki maka ia kelihatan seperti seorang pemuda yang amat tampan wajahnya. Gadis ini semenjak kecil tidak mengenal bedak atau yanci (pemerah pipi, bibir), maka kulit mukanya putih halus sewajarnya. Ia tidak membawa apa-apa melainkan pedang Ang coa-kiam yang dibelitkan pada pinggang karena pedang ini memang lemas sekali.

Ketika dibawa oleh suhunya yang gila Eng Eng telah berusia enam tahun dan biarpun semenjak itu sampai dewasa ia selalu berada dalam hutan, jauh dari masyarakat ramai,akan tetapi ia masih ingat akan keadaan di dunia dan tahu bahwa selain dia dan suhunya, di dunia ini masih banyak manusia lain dengan rumah-rumah besar.

Memang pada waktu pertamakali ia bertemu dengan dusun semenjak turun gunung, ia merasa kagum dan terheran-heran. Juga ia merasa gembira sekali melihat orang-orang yang tinggal di dusun itu. Sebaliknya, semua orang yang dijumpainya di jalan juga memandangnya dengan heran dan kagum. Ia merupakan seorang pemuda yang tampan dan yang tersenyum pada setiap orang yang memandangnya, pemuda yang nampak tolol karena menengok ke kanan ke kiri memandangi rumah-rumah bagaikan seorang dusun yang bodoh masuk ke kantor besar!

Pada suatu hari, Eng Eng tiba di sebuah dusun yang cukup ramai. Telah beberapa kali ia pernah melihat sebuah rumah makan dl dalam dusun dan melihat betapa banyak orang makan di dalam rumah makan itu. Akan tetapi ia sendiri belum pernah makan di rumah makan dan selalu apabila merasa lapar ia makan seperti yang biasa ia lakukan dengan suhunya, yakni mencari buah-buahan di hutan atau menangkap kelinci lalu dipanggang dagingnya.

Kali ini, ketika ia memasuki dusun itu hidungnya mencium bau daging panggang yang amat sedap. Ia menghampiri rumah makan di pinggir dusun itu dan sampai lama berdiri di depan pintunya, menikmati bau sedap yang keluar dari dapur makan. Seorang pelayan yang melihat dia berdiri di depan pintu cepat menghampirinya. Seperti biasa, melihat orang yang pakaiannya cukup indah, pelayan itu berlaku ramah tamah dan manis budi.

"Silakan masuk, kongcu. Masih banyak bangku kosong. Silakan!"

Eng Eng belum pernah makan di rumah makan dan tidak tahu cara bagaimana memesan makanan, tidak tahu pula bahwa makanan yang dihidangkan di situ harus dibayar! Kini ada orang yang dengan manis mempersilakannya masuk, tentu saja ia mengangguk tersenyum dan mengikuti pelayan itu masuk ke dalam rumah makan. Gerakan tangan pelayan itu membuatnya mengerti bahwa la dipersilakan masuk, maka tanpa banyak sungkan lagi Eng Eng lalu mengambil tempat duduk di atas bangku.

Seorang laki-laki muda yang berpakaian seperti piauwsu (pengantar barang) kebetulan duduk di atas bangku itu. Tentu saja orang yang sedang makan mi ini menjadi terheran melihat betapa seorang pemuda tampan tanpa permisi tahu-tahu menduduki bangku di mejanya dan memandangnya dengan mata jenaka!

Memang perbuatan Eng Eng yang tak disengaja ini amat aneh dalam pandangan orang itu. Ruang rumah makan itu masih kosong dan banyak meja dan bangku yang belum terisi tamu akan tetapi pemuda ini duduk di bangku di meja yang telah dipakai orang! Piauwsu muda itu mengira bahwa pemuda tampan ini hendak memperkenalkan diri kepadanya maka ia lalu mengangguk ramah yang dibalas oleh Eng Eng dengan anggukan kepala pula!

Piauwsu itu menanti sampai mengganggunya memperkenalkan diri akan tetapi pemuda tampan itu duduk tanpa membuka mulut, hanya tersenyum-senyum saja dengan tarikan mata yang manis dan lucu,

"Sahabat," piauwsu itu menjadi tak sabar dan berkata, "aku adalah Ting Kwan Ek wakil kepala piauwkiok dari kota Han leng"

Eng Eng mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu menjawab, "Bagus, bagus kau tentu lapar sekali!"

Tentu saja Ting piauwsu menjadi melongo mendengar ucapan ini. Apakah ia salah dengar? "Maaf, sahabat," katanya, "apakah maksudmu?"

Eng Eng memandang ke arah mangkok mie-nya yang sudah hampir kosong lalu berkata lagi, "Kau tentu lapar sekali, makanmu amat gembul!"

Memang gadis ini sudah biasa makan berdua dengan suhunya dan ucapan seperti ini sudah biasa ia keluarkan kepada suhunya. Akan tetapi, ia menjadi tidak mengerti mengapa orang yang mengaku Ting Kwan Ek ini ketika mendengar kata - katanya menjadi merah mukanya dan terbatuk-batuk seakan-akan ada mie yang melintang dan mengganjal kerongkongannya!

"Kalau makan jangan terburu-buru, selain kau bisa tercekik karenanya juga makanan ini sukar menjadi hancur di dalam perut sehingga kau akan sukar buang air pula?" Eng Eng memberi nasehat yang seringkali ia dengar dari suhunya dulu.

Kini Ting Kwan Ek benar-benar menjadi melongo. la merasa marah, heran dan juga bingung. Gilakah pemuda ini? Tak mungkin, mukanya begitu terang dan sinar matanya lembut dan tajam, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa otaknya miring. Apakah pemuda ini sengaja hendak mempermainkannya? Akan tetapi hal ini meragukan pula, karena sikap pemuda tampan ini demikian sungguh-sungguh. Ah, barangkali dia seorang perampok tunggal yang tinggi kepandaiannya dan sengaja datang hendak mencari perkara!

Dalam pekerjaannya sebagai piauwsu, Tan Kwan Ek sudah seringkali bertemu dengan penjahat-penjahat yang berilmu tinggi dan berwatak aneh, maka kini timbul perkiraannya bahwa pemuda tampan ini tentulah seorang dari golongan hek-to (jalan hidup golongan penjahat) yang datang hendak mengganggunya. Ia bersikap hati-hati dan merasa bahwa lebih baik menjauhi permusuhan dengan orang ini. Ia berdiri dan berkata,

"Maaf sahabat, karena aku mengganggumu lebih baik aku pindah ke lain meja."

Piauwsu ini lalu mengangkat mangkok dan sumpitnya dan duduknya pindah ke lain bangku. Akan tetapi Eng Eng menganggap hal ini biasa saja, sama sekali tidak mau memperdulikan orang lain. Hanya saja ia merasa kecewa mengapa orang itu tidak mau membagi makanannya dengan dia dan membawa pergi mangkok terisi mi itu!

Pelayan yang tadi menyambutnya lalu menghampirinya dan karena pemuda ini sejak tadi tidak memesan makanan ia Ialu berkata, "Kongcu, kau hendak makan apakah?"

Eng Eng memandangnya dengan heran lalu bertanya, "Kau punya makanan apa?"

Pelayan itu menyebutkan nama beberapa macam masakan sehingga Eng Eng menjadi bingung. Kemudian ia memutar tubuhnya dan sambil menuding ke arah mangkok mi di depan piauwsu tadi, ia berkata,

"Aku ingin makan seperti yang dimakannya itu!"

Pelayan tersenyum geli dan piauwsu itu menjadi makin merah mukanya. Benar-benar orang muda yang tampan itu telah berlaku kurang ajar sekali dan benar-benar hendak mencari perkara dengan dia. la maklum bahwa orang ini tentulah seorang dari kalangan perampok yang sengaja hendak memperlihatkan sikap bermusuhan dengan dia.

Sebagai seorang piauwsu ia mengerti bahwa dirinya tentulah dimusuhi oleh para perampok, dan tentu pemuda ini sedang memancing-mancing kemarahannya. Akan tetapi, Ting piauwsu biarpun usianya baru tiga puluh tahun, namun ia telah mempunyai banyak pengalaman. la pura-pura tidak mendengar omongan Eng Eng ini dan melanjutkan makan mie-nya, diselingi dengan meneguk cawan araknya.

Tak lama kemudian pelayan datang membawa semangkok mie. Karena Eng Eng sudah merasa amat lapar, maka cepat ia menyikat habis mie semangkok itu. Ting piauwsu memperhatikan cara Eng Eng makan dan hatinya berdebar. Mie yang dihidangkan itu masih amat panas, akan tetapi pemuda tampan ini dapat makan begitu saja tanpa merasakan panas dan mempergunakan sumpitnya juga istimewa.

Orang Iain tentu akan mempergunakan sepasang sumpit untuk menjepit mie, akan tetapi pemuda tampan ini hanya rnemakai sebatang sumpit saja. Sumpit yang hanya sebatang ini digerakkan dengan cepat dan dengan dua kali putaran saja mie yang panjang-panjang itu telah membelit sumpit dan ketika sumpit diangkat, mi semangkok itu telah terangkat semua dari mangkok lalu dimakan seperti orang menggerogoti paha kelinci yang gemuk!

Melihat cara Eng Eng makan mie, makin yakinlah hati Ting piauwsu bahwa pemuda itu tentulah seorang penjahat yang kejam dan yang sengaja datang hendak mengganggunya. Sebagai seorang piauwsu, memang sudah sering kali ia bertempur melawan perampok-perampok dan seringkali pula merobohkan para penjahat.

Piauwkiok (perusahaan pengawal barang) yang dipegangnya, yakni Pek Eng Piauw-Kiok (Ekspedisi Garuda Putih) dari kota Hun-leng sudah amat terkenal sebagai sebuah perusahaan ekspedisi yang besar dan kuat. Bendera piauwkiok yang bersulam seekor burung garuda putih sudah merupakan bendera yang garang dan jarang sekali ada perampok berani mengganggu barang-barang yang dikirim apabila melihat bendera ini berkibar di kendaraan barang.

Yang paling disegani oleh para penjahat, adalah ketua dan wakil ketua Pek Eng Piauw Kiok. Ketuanya adalah seorang ahli silat bernama Ouw Teng Sin yang menjadi suheng (kakak seperguruan) dari Ting Kwan Ek sendiri. Ouw piauwsu berjuluk Pek eng-to (Golok Garuda Putih) dan karena julukannya inilah maka perusahaan piauwkiok yang dipimpinnya memakal nama Pek Eng Piauwkiok.

Sudah hampir dua puluh tahun Ouw-piauwsu mendirikan perusahaan di kota Hun-leng dan mendapat banyak kemajuan. Nama perusahannya sudah amat terkenal dan mendapat kepercayaan besar. Apalagi setelah sepuluh tahun yang lalu ia dibantu oleh sutenya (adik seperguruannya) yakni Ting Kwan Ek yang kepandaiannya sudah hampir setingkat dengan kepandaian Ouw-piauwsu, maka perusahaan ini berjalan makin lancar.

Selain pandai dalam hal ilmu silat, Ting piauwsu adalah seorang yang cerdik dan pandai mengurus perusahaan. Dengan bantuan Ting Kwan Ek, Ouw-piauwsu dapat duduk dengan enak dirumahnya dan menyerahkan segala pekerjaan kepada adik seperguruannya itu.

Kini setelah dalam perjalanannya, Ting Kwan Ek bertemu dengan Eng Eng, piauwsu yang cerdik dan baik hati ini lalu sengaja menjauhkan diri. Hal ini bukan karena ia berhati kecil dan penakut, akan tetapi oleh karena pada saat itu ia sedang melakukan tugas yang amat penting. Ia tidak mau mengacaukan tugasnya dengan melibatkan diri dalam pertempuran atau meladeni pancingan serta kehendak pemuda tampan yang nampaknya mencari perkara dengan dia itu. Tugas ini adalah tugas mengirimkan sebuah benda yang tak ternilai harganya dari kotaraja ke Hun leng dan benda berharga itu kini telah tersimpan baik-baik di kantong bajunya sebelah dalam.

Ketika ia melihat Eng Eng sedang makan mie dengan enaknya dan begitu mie semangkok habis, lalu minta tambah semangkok lagi sambil berkata berkali-kali,

"Enak... enak...!"

Ting Kwan Ek tidak mau membuang waktu lagi. la menaruh sepotong uang perak di dekat mangkoknya yang sudah kosong. kemudian dengan tergesa-gesa ia bertindak keluar.

Eng Eng tanpa menengok dapat mendengar bahwa orang yang tadi duduk menjauhinya telah melangkah keluar, akan tetapi tanpa memperdulikannya ia menyerang mie dalam mangkok kedua dengan lahap dan nikmatnya. Tiba-tiba ia mendengar suara ribut-ribut di luar rumah makan. Biarpun ia menjadi amat tertarik ketika suara ribut-ribut itu disusul oleh suara beradunya senjata, ia belum mau berdiri melihat sebelum mie dalam mangkoknya habis.

Ternyata bahwa ketika Ting piauwsu melangkah keluar dari rumah makan, tiba-tiba mendengar bentakan orang,

"Ting Kwan Ek, perlahan dulu jalan!"

Ting piauwsu cepat menengok dan ia amat terkejut ketika melihat bahwa yang menegurnya adalah seorang tosu (pendeta To) tua berjanggut hitam berdiri menghadang di depannya.

"Ban Yang Tojin!" hatinya berteriak, akan tetapi, saking kagetnya, mulutnya ikut pula berseru menyebut nama yang amat menyeramkan hatinya ini.

Siapakah orangnya tidak menjadi gugup melihat Ban Yang Tojin, apalagi kalau orang itu membawa barang berharga seperti yang dibawa oleh Ting Kwan Ek. Ban Yang Tojin adalah orang kedua dari tiga saudara seperguruan yang terkenal dengan sebutan Thian-te Sam-kui (Tiga Setan Langit Bumi) dan telah menggemparkan kalangan kang-ouw karena selain mereka ini berkepandaian tinggi sekali, juga sepak terjang mereka amat ganas.

Orang pertama adalah seorang Hwesio (pendeta Budha) yang bernama Ban Im Hosiang, sedangkan orang ketiga adalah seorang laki laki setengah tua dan pesolek bernama Ban Hwa Yong. Biarpun ketiga orang saudara seperguruan ini terkenal sebagai tiga setan yang selalu saling membantu, namun mereka berlainan, baik melihat rupa, pakaian, maupun kesukaan masing-masing.

Ban Im Hosiang adalah seorang hwesio gundul yang amat sakti dan kesukaannya adalah mendatangi tokoh-tokoh persilatan untuk menantang pibu (mengadu kepandaian) akan tetapi kemudian ia menjatuhkan tangan maut. Sebagian besar orang yang sudah berpibu dengan dia, tentu akan tewas atau sedikitnya menjadi penderita cacat selama hidupnya! Oleh karena itu, apabila ada seorang ahli silat yang mendengar akan kedatangan hwesio itu, lebih dulu ia telah pergi dan menjauhkan diri.

Orang kedua adalah Ban Yang Tojin ini yang rnempunyai kesukaan untuk merampok. Akan tetapi ia bukanlah perampok biasa yang cukup merasa puas dengan hasil rampokan berupa benda benda berharga yang kecil seperti perhiasan-perhiasan, permata dan emas dan yang dijadikan korbannya selain adalah pembawa-pembawa benda yang amat besar harganya!

Adapun Ban Hwa Yong adalah seorang berusia empat puluh tahun yang selalu berpakaian rapi dan indah, ia pesolek sekali dan kesukaannya mengganggu anak bini orang! Ia adaiah seorang penjahat pemetik bunga (Jai hwa-cat) yang banyak dikutuk orang karena kekejamannya!

Ting Kwan Ek adalah seorang piauwsu yang sudah banyak merantau dan mengalami hal-hal yang berbahaya, akan tetapi kali ini ketika tahu-tahu ia berhadapan dengan Ban Yang Tojin, ia menjadi pucat juga. Kalau saja ia tidak sedang membawa patung Buddha dari emas yang disembunyikan di dalam saku baju dalamnya, tentu ia tidak akan merasa gelisah bertemu dengan Ban Yang Tojin. la telah mendengar bahwa tosu ini selamanya tidak mau rnengganggu orang, kecuali kalau ia sedang berusaha merampok orang itu!

Kini tosu jahat ini tahu-tahu muncul dan menegurnya pada saat ia membawa benda yang amat berharga itu maka tentu saja tosu ini telah tahu akan benda berharga yang dibawanya!

"Ban Yang Totiang!" la menekan rasa takutnya dan menjura sambil memberi hormat. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagiku telah bertemu dengan totiang di tempat ini..."

Tosu itu tersenyum dan senyumnya membuat Ting piauwsu merasa dingin pada belakang lehernya. Senyumnya itu merupakan senyum ejekan yang penuh arti.

"Ting piauwsu, apakah arti penghormatan besar? Hanya berarti dan berguna bagi si kepala angin, orang sombong yang tidak tahu bahwa dibalik penghormatan besar itu tersembunyi maksud-maksud tertentu ? Bagiku penghormatan besar tiada gunanya seperti angin lalu, hanya terasa selama penghormatannya masih berada di depan muka, memandang dengan sinar mata merendah, mulutnya memuji-muji. Palsu celaka! Aku tidak butuh penghormatan, baik yang sudah lalu, sekarang, maupun kelak. Tidak butuh, apalagi dari seorang seperti engkau yang mempergunakan penghormatan untuk menyembunyikan sesuatu. Ha ha ha!"

Ting Kwan Ek adalah seorang gagah. Biarpun ia maklum bahwa tosu ini amat berbahaya, namun kata-katanya yang amat tajam itu menyakiti hatinya dan membuatnya mendongkol sekali. Namun ia masih menahan sabar dan bertanya dengan suara tetap halus,

"Maaf, totiang, kalau kiranya aku melakukan sesuatu tanpa kusadari yang membuat totiang menjadi tersinggung. Akan tetapi, sepanjang ingatanku yang dangkal, kita belum pernah bertemu dan belum pernah berurusan. Bolehkah aku mengetahui sebetulnya apakah yang totiang kehendaki dari orang seperti aku?"

"Yang ku hendaki? Ha ha ha! tak laku, tanggalkanlah penghormatanmu berikut disaku bajumu."

Biarpun ia sudah menduga bahwa tosu ini berniat buruk, akan tetapi pucat jugalah wajah Ting Kwan Ek ketika tosu itu menyatakan niatnya merampas benda berharga yang dibawanya dengan demikian terang-terangan. Ia bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan dan dengan hati-hati ia lalu melangkah mundur dua tindak sambil menjura dan berkata,

"Totiang, sepanjang ingatanku baik aku sendiri maupun Pek-eng Piauwkiok, belum pernah menganggu kepadamu orang tua. Tentu totiang maklum bahwa aku bersedia memberikan semua barang yang menjadi milikku apabila totiang membutuhkannya, akan tetapi sebagai seorang piauwsu, tidak mungkin aku memberikan sesuatu yang bukan milikku. Harap saja totiang suka memandang nama piauwkiok kami dan menjaga tali persahabatan antara orang kang-ouw."

"Tikus kecil, siapakah kau ini maka berani menyebut-nyebut tentang tali persahabatan dengan aku? Tak usah banyak membuka mulut, hayo lekas kau keluarkan isi sakumu sebelum aku menjadi tak sabar dan minta kau mengeluarken semua isi perutmu!"

"Ban Yang Totiang" jawab Ting Piauwsu marah. "kusangka bahwa seorang pertapa seperti totiang dapat mengeluarkan ucapan serendah itu!"

"Bangsat rendah, kau perlu diberi pelajaran" ucap Ban Yang Tosu sambil mencabut keluar senjatanya, yakni sebatang baja runcing yang panjangnya tiga kaki dengan ujungnya berbentuk bintang.

"Ingin aku melihat pengajaran macam apa yang hendak kau berikan." kata Ting Kwan Ek tenang sambil mencabut keluar goloknya yang lebar.

Seperti juga suhengnya Ting piauwsu adalah seorang ahli golok yang pandai dan permainan goloknya yang berdasarkan Pek eng to hwat (ilmu golok garuda Putih) amat terkenal kelihaiannya.

Dengan mengeluarkan tertawa mengejek, tiba-tiba Ban Yang Tosu lalu menyerang hebat dengan senjatanya yang aneh bentuknya itu. Gerakan serangannya selain cepat, juga berat sekali sehingga ketika Ting piauwsu menangkis dengan goloknya, piauwsu ini merasa betapa goloknya terpental dan telapak tangannya terasa pedas dan panas!

Kembali tosu itu tertawa mengejek dan senjatanya meluncur lagi, kini menyambar ke arah muka Ting piauwsu, mendatangkan angin dingin menyambar muka lawan. Ting Kwan Ek tidak mendapat kesempatan menangkis lagi, maka dengan cepat dan sambil mengeluarkan seruan terkejut, ia lalu membuang diri ke belakang menendangkan kaki kanan ke depan untuk menjaga serangan susuIan lalu mengayun tubuhnya itu ke belakang dengan gerak tipu Burung Walet Menyambar Ikan. Dengan gerakan ini ia berjungkir balik dan terus melompat ke belakang sehingga ia dapat terhindar dari bahaya maut.

"Ha ha ha Ting Kwan Ek, kau masih tidak mau meninggalkan patung Buddha Itu?" seru Ban Yang Tojin sambil melangkah maju.

"Aku takkan menyerah sebelum putus napasku!" kata Ting Kwan Ek dengan gagah dan piauwsu ini mendahului lawannya mengirim serangan dengan goloknya.

la membuka serangan dengan gerak tipu pek-eng Kai-peng (Garuda Putih membuka Sayap) sebuah tipu serangan dari ilmu golok Pek-eng to-hwat. Ketika tosu itu mengelak dengan mudah, Ting piauwsu lalu menyusul dengan serangan bertubi-tubi yang dihadapi dengan tertawa bergelak oleh tosu yang lihai itu. Tiba-tiba Ting Kwan Ek menjadi terkejut ketika lawannya mempercepat gerakan senjatanya dan cepat ia terdesak hebat.

"Tidak kau serahkan patung itu?" tosu itu masih mengejeknya, akan tetapi Ting piauwsu tentu saja tidak mau mengalah.

Patung itu adalah milik seorang pembesar tinggi yang telah mempercayainya. Kalau ia mengalah dan memberikan benda itu kepada tosu perampok ini, tidak saja namanya dan nama Pek eng Piauwkiok akan tercemar, akan tetapi juga ia harus mempertanggung-jawabkannya di depan pembesar itu.

Maka, mendengar seruan Ban Yang Tojin ia tidak menjawab, hanya memutar goloknya lebih cepat lagi untuk melindungi tubuhnya dan juga untuk membalas dengan serangan nekad dan mati-matian. Terdengar Ban Yang Tojin tertawa panjang dan dibarengi dengan gerakan senjatanya yang llhai, la membentak.

"Lepas senjata!"

Dua senjata itu bertumbuk nyaring bunga berpijar dan tahu-tahu golok Ting piauwsu telah terlepas dari pegangan dan melayang ke atas!

Tiba-tiba nampak berkelebat bayangan yang ringan sekali gerakannya dan bayangan itu melompat ke atas dan dalam sekejap mata golok yang terlempar ke atas itu telah dipegangnya. Bayangan ini bukan lain adalah Eng Eng yang semenjak tadl menonton pertempuran itu bersama pelayan yang tadi melayaninya. Sambil tersenyum-senyum, Eng Eng memandang kepada Ting Kwan Ek dan berkata,

"Hm, kau agaknya lebih pandai makan mie daripada mainkan golok! Menghadapi seekor kambing bandot tua berjenggot hitam seperti ini saja, kau sudah kepayahan!"

Ting Kwan Ek merasa sangat mendongkol mendengar ucapan ini, akan tetapi diam-diam iapun mengharapkan pertolongan pemuda tampan yang bersikap aneh ini. Juga ia merasa senang mendengar betapa pemuda ini memaki Ban Yang Tojin sebagai kambing bandot berjenggot hitam!

Padahal sama sekali Eng Eng tidak berniat memaki atau membenci tosu itu. la tidak tahu mengapa kedua orang itu bertempur, hanya yang ia ketahui bahwa kepandaian Ting Kwan Ek masih jauh lebih rendah daripada kepandaian lawannya. Melihat permainan silat Ban Yang Tojin, tlmbul kegembiraan dalam hati Eng Eng untuk mencoba kepandaian tosu ini.

Sebaliknya, ketika melihat gerakan pemuda ini dan mendengar ia dimaki kambing bandot, tentu saja Ban Yang tojin merasa marah sekali,

"Ah, tikus kecil! Kenapa kau berani berlaku lancang mencampuri urusanku? Hayo lekas pergi sebelum aku menjadi marah dan menelanjangimu di depan orang banyak!"

Sesungguhnya di antara binatang yang pernah dilihatnya di dalam hutan, Eng Eng memang paling takut dan benci terhadap binatang tikus. Ketakutan dan kebencian yang berdasarkan kejijikan. Maka kini mendengar ia dimaki tikus kecil, dan bahkan akan ditelanjangi pula, tentu saja senyumnya menghilang terganti oleh kemarahan yang membuat gadis yang manis Itu cemberut. Ia tidak tahu bahwa Ban Yan Tojin mengira ia seorang pemuda tulen, kalau tosu itu mengetahui bahwa pemuda ini sebenarnya seorang gadis, kiranya tidak akan mengeluarkan hinaan seperti itu.

"Kau ini monyet tua yang bermuka kambing! Kau berani menghinaku. Maka sebelum kau pergi, kau harus meninggalkan jenggotmu lebih dulu?"

Sambil berkata demikian Eng Eng menggerakkan golok di tangannya ke arah muka Ban Yang Tojin. Angin menyambar dan tosu itu merasa betapa dinginnya sambaran angin golok itu. Ia terkejut sekali dan cepat mengelak, akan tetapi golok Itu menyambar sangat dekat sehingga terlambat sedikit saja jenggotnya akan benar-benar terbabat habis. Bukan main marahnya dan ia tahu pula bahwa pemuda yang nampak tampan dan lemah-lembut ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada Ting Kwan Ek.

"Bagus kiranya kau sengaja membela orang she Ting itu! Aku harus robohkan kau dulu dengan beberapa gebukan!" Katanya dan segera ia menyerang kalang kabut.

Akan tetapi tak lama kemudian tosu ini berseru kaget, juga Ting Kwan Ek berseru karena kagum dan heran. Dengan amat cepatnya Eng Eng bergerak melayani tosu itu akan tetapi gerakannya benar-benar kacau balau seperti gerakan orang yang tidak pandai silat. Bahkan goIoknya yang dipegang secara sembarangan itu digerakkan dengan ngawur saja, dan bukan hanya dipergunakan untuk menusuk dan membacok, akan tetapi juga untuk mengemplang dengan punggung golok.

Hal ini tidak mengherankan, karena memang begitulah orang yang tidak pandai ilmu silat akan tetapi anehnya, biarpun gerakannya kacau balau setiap gerakan merupakan tangkisan, elakan ataupun serangan yang amat berbahaya!

Biarpun Ban Yang Tojin sudah mengeIuarkan seluruh ketangkasan dan tenaganya, namun ia masih belum berhasil mendesak lawannya. Jangankan mendesak bahkan senjatanya itu belum dapat menyentuh ujung baju lawannya. Sebaliknya golok di tangan Eng Eng itu seakan-akan bermata dan selalu mengikuti jenggotnya! Berkali-kali pemuda yang nakal itu berseru sambil tersenyum.

"Jenggotmu, jenggotmu! Tak pantas monyet berjenggot seperti kambing! Tinggalkan jenggotmu!"

Sebenarnya, ilmu silat yang dipelajari oleh Eng Eng dari suhunya, yaitu Hek Sin-mo yang gila, adalah semacam ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat yang amat tinggi dan lihai sekali. Setiap gerakan dari ilmu silat ini berkembang sesuai dengan gerakan lawan dan untuk setiap serangan maupun tangkisan lawan, selalu dengan otomatis menimbulkan gerakan pembalasan yang luar biasa sekali. Akan tetapi, dasar ilmu silat ini tertutup oleh gerakan luar yang benar-benar kacau balau dan gerakan kacau balau ini sesungguhnya tak pernah dipelajari oleh Eng Eng.

Baik Hek sin-mo maupun Eng Eng, membuat gerakan kacau balau dengan sengaja sesuai dengan watak mereka yang bebas, namun demikian, di balik gerakan kacau balau ini, keaslian ilmu silatnya sendiri masih tidak berobah dan tetap menjadi dasar gerakan yang amat kuat. Kalau dibandingkan, sesungguhnya ilmu kepandaian Ban Yang Tojin tidak seharusnya kalah oleh Eng Eng yang masih muda dan belum mempunyai banyak pengalaman bertempur.

Akan tetapi, tosu ini yang selamanya hidup belum pernah menghadapi seorang lawan yang memiliki ilmu silat seaneh itu, menjadi bingung dan pikiran serta ketenangannya dapat dlkacaukan oleh gerakan-gerakan Eng Eng. Selain itu, memang dalam mempelajari ilmu Iweekang, Eng Eng melatih diri dengan cara terbalik sehingga biarpun dibandingkan dengan Ban Yang Tojin ia masih kalah latihan, namun apabila senjata mereka beradu Ban Yang Tojin merasakan getaran yang amat luar biasa dan yang membuat tangannya tergetar!

Semua ini ditambah lagi dengan ejekan yang diucapkan Eng Eng dan yang membuatnya makin tak dapat mengendalikan ketenangannya, maka kini ia berada dalam keadaan terdesak. Yang amat membuatnya mendongkol adalah golok di tangan lawannya itu benar-benar mengancam jenggotnya dan tentu saja hal ini berarti pula mengancam lehernya!

Setelah mendesak tosu itu sehingga mundur tiga empat langkah, tiba-tiba Eng Eng melakukan serangan yang luar biasa cepat dan kuatnya, sambil membentak,

"Lepas jenggotmu!"

Serangan ini benar-benar hebat sekali dan golok di tangannya berkelebat menyilaukan mata. Ban Yang Tojin terkejut sekali. Ia menangkis dengan senjatanya, akan tetapi begitu senjata golok itu tertangkis, golok ini terpental miring dan masih terus melanjutkan tuju-annya ke arah jenggot dan tenggorokannya! Ban Yang Tojin tak keburu menangkis lagi dan cepat memutar tubuh mengelak akan tetapi terlambat.

"Brettt!" Golok di tangan Eng Eng telah makan pundak kirinya, membuat kulit dan sedikit daging pundak yang terobek bersama dengan bajunya!

Ban Yang Tojin terbelalak kaget dan menahan sakit. la tidak saja merasa pundaknya sakit dan perih, akan tetapi juga merasa malu tercampur heran bagaimana seorang anak muda yang lemah lembut seperti itu dapat melukainya dalam pertempuran kurang dari tiga puluh jurus! Ia lebih merasa malu dari pada sakit, maka sambil melompat jauh ia berseru,

"Ting piauwsu! Lain kali aku akan datang lagi membayar kebaikanmu dan pembelamu ini!"

Eng Eng tertawa geli lalu menyerahkan golok yang masih berlepotan darah itu kepada pemiliknya. "Jangan terlalu banyak makan sebaliknya perbanyaklah latihan golokmu!" katanya kepada Ting Kwan Ek.

Piauwsu itu kini tidak mendongkol atau marah mendengar ucapan Eng Eng yang berkali-kali seperti menghinanya itu. Ia sedang terheran-heran memikirkan siapa adanya pemuda yang aneh ini dan amat kagumlah ia menyaksikan kepandaian pemuda yang dapat mengalahkan Ban Yang Tojin secara demikian aneh dan mudah.

Ting Kwan Ek menjura dengan penuh hormat lalu berkata, "Taihiap telah menolong nyawaku dari bahaya maut dan kepandaian taihiap telah membuka mataku dan membuat hatiku merasa kagum sekali. Percayalah, taihiap pertolonganmu takkan mudah kulupakan begitu saja. Aku Ting Kwan Ek, dan juga semua anggauta Pek-eng Piauwkiok bukanlah orang-orang yang mudah melupakan kawan atau lawan. Mohon tanya nama taihiap agar dapat kucatat dalam kepalaku."

Ucapan ini sukar sekali dimengerti maksudnya oleh Eng Eng, akan tetapi ketika mendengar Ting piauwsu menanyakan namanya, ia tertawa dan mukanya berseri jenaka ketika ia meniru jawaban suhunya tentang namanya.

"Siapa aku dan siapa namaku? Aku adalah aku!" Ia lalu tertawa dengan bebas kemudian ia lalu bernyanyi perlahan sambil berjalan pergi.

Tentu saja, Ting Kwan Ek menjadi bengong, demikianpun pelayan dan orang-orang lain yang berada di situ, apa lagi ketika Ting piauwsu mendengar nyanyian itu. la mengerutkan keningnya. Gilakah pemuda ini? ataukah sengaja mempermainkannya? Ia maklum bahwa memang banyak sekali terdapat orang-orang luar biasa dan sakti di dunia ini, orang-orang yang mempunyai watak yang amat aneh dan berbeda dengan manusia biasa, akan tetapi belum pernah ia menyaksikan atau bertemu dengan orang seaneh pemuda tampan ini!

Dengan penasaran ia lalu mengikuti pemuda yang pergi dengan langkah lambat itu sambil memperhatikan kata-kata yang dinyanyikan oleh Eng Eng.

Aku bukan dewata, bukan pula setan!
Akan tetapi baik dewata maupun setan
Takkan dapat menguasai aku.
Biar dewata berbisik, biar setan menggoda
Aku tak hendak patuh tak sudi tunduk.
Aku tertawa kalau ingin menangis
Menangis kalau ingin tertawa.
Siapa perduli! Aku adalah aku.
Bukan dewata Bukan pula setan!


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Ting Kwan Ek terkejut sekali mendengar nyanyian ini. Kata-kata nyanyian ini mengingatkan ia akan seorang tokoh yang amat ditakuti oleh orang di dunia Kang-ouw. la pernah mendengar suhengnya bercerita bahwa di dunia persilatan terdapat seorang aneh yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi dan luar biasa, juga beradat aneh dan dianggap berotak miring. Ia segera mempercepat langkah kakinya mengejar.

"Taihiap, tunggu dulu!" Ia berseru.

Eng Eng menoleh dan melihat betapa piauwsu itu mempercepat langkah mengejarnya, ia tertawa geli lalu berlari cepat! Ting piauwsu merasa gemas sekali melihat dirinya dipermainkan, ia lalu mengerahkan kepandaiannya berlari cepat. Akan tetapi Eng Eng juga mempercepat larinya sehingga jarak diantara mereka tak banyak berobah

Ting Kwan Ek merasa makin penasaran. Kalau dalam hal ilmu silat ia memang kalah jauh, akan tetapi apakah ia mau kalah juga dalam ilmu berlari cepat? Di dunia Kang ouw. ia telah mendapat julukan Hui ma (Kuda Terbang) karena ia memang telah mempelajari ilmu berlari cepat yang disebut Couw yang-hui (Terbang di Atas Rumput) sehingga biarpun diadu balap dengan seekor kuda, belum tentu ia kalah. Akan tetapi sekarang, betapapun ia mengerahkan kepandaiannya, tetap saja ia tidak dapat mengejar pemuda tampan itu.

"Taihiap, sudahlah jangan mempermainkan aku lagi. Aku menerima kalah!" ia berseru sambil menahan napasnya yang terengah-engah.

Tiba-tiba terdengar Eng Eng tertawa dan ketika ia menggerakkan kedua kakinya tubuhnya mencelat ke atas dan berjungkir balik di udara, lalu melompat ke belakang dan berdiri di depan Ting Kwan Ek!

Piauwsu ini memang sejak tadi sudah merasa heran sekali melihat pemuda tampan ini. la menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda yang lemah lembut, bersuara merdu seperti wanita, akan tetapi yang bersikap aneh dan berkepandaian Iuar biasa tlngglnya ini? Kini melihat Eng Eng tersenyum-senyum di hadapannya dan bertanya,

"Kenapa kau mengejar dan mengikutiku. Kau mau apakah sebetulnya?"

"Maaf taihiap. Sesungguhnya aku tidak mempunyai niat buruk. Kalau aku tidak salah sangka, taihiap tentu mempunyai hubungan dengan Hek Sin-mo orang tua yang luar biasa itu, bukan?"

Sebetulnya Eng Eng tidak pernah tahu siapa nama suhunya, akan tetapi dulu suhunya pernah sambil tertawa-tawa berkata,

Ha ha ha, orang-orang gila itu menyebutku Hek Sin-mo! Nama yang bagus. ha ha ha!"

Kini mendengar Ting piauwsu menyebut nama suhunya, ia melengak dan cepat menjawab, "Hek Sin-mo adalah suhuku!"

SambiI berkata demikian, karena merasa panas Eng Eng lalu merenggut kain pengikat kepalanya dan menggunakan kain itu untuk menghapus peluh di mukanya. Kemudian ia memakai lagi pengikat kepalanya. Untnk sesaat Ting Kwan Ek memandang dengan kagum. Belum pernah ia melihat seorang pemuda yang mempunyai rambut sebagus itu. Hitam panjang dan bagus sekali, seperti rambut seorang wanita.

"Dan bolehkah kiranya aku mengetahui nama taihiap? Juga kalau taihiap sudi aku mempersilakan taihiap supaya suka menjadi tamu kehormatan Pek-eng Piauwkiok di Hun-leng."

Eng Eng tidak mengerti apakah yang disebut piauwkiok dan mengapa orang ini menjadikan dia sebagai tamu kehormatan. Akan tetapi melihat wajah orang yang bersungguh-sungguh dan tidak mengandung bayangan jahat, ia merasa suka berkenalan dengan Ting piauwsu ini.

"Baik, baik! Memang aku tidak mempunyai seorangpun kenalan di tempat ini."

Bukan main girangnya di dalam hati Ting Kwan Ek. Kini ia telah dapat menduga bahwa pemuda ini agaknya tidak waras otaknya, akan tetapi melihat ilmu silatnya yang sangat tinggi, maka kalau ia bisa menarik tenaga pemuda ini dipihaknya, ia boleh berhati lega.

la masih merasa ngeri akan ucapan Ban Yang Tojin yang mengancam hendak membalas dendam. Baru menghadapi Ban Yang Tojin seorang saja, ia tidak berdaya. la yakin bahwa Ban Yang Tojin akan datang bersama Ban Im Hosiang dan Ban Hwa Yong! Bagaimana ia bisa menghadapi Thian-te Sam-kui yang terkenal ganas dan lihai? Kepada siapa ia harus minta bantuan?

Pedang Ular Merah Jilid 02

PEDANG ULAR MERAH JILID 02

Ketika ia siuman kembali, ia berjalan terhuyung-huyung keluar dari goa seperti seorang pemabok. Tubuhnya lemas, kepalanya pening dan seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit yang terdengar dari mulutnya hanyalah bisikan yang merupakan keluhan menyayat hati.

"Suhu... suhu... suhu...!"

Akhirnya kakinya membawanya ke pinggir sebuah anak sungai dan melihat air yang jernih itu gadis ini lalu berlutut dan mencelupkan kepalanya kedalam air! Sampai setengah hari lamanya ia duduk termenung di pinggir anak sungai, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia bingung, sedih, lapar, dan juga hawa mayat membuatnya pening sekali.

Kemudian jalan pikirannya dapat ia pergunakan dan karena teringat akan keadaan binatang-binatang yang mati dan bangkainya berbau seperti bau mayat suhunya, ia dapat juga menduga bahwa suhunya tentu telah mati. Ia menangis lagi tersedu sedan dan bagaikan seorang gila ia lalu lari keluar dari hutan itu!

Segila-gilanya Hek Sin-mo, karena ia pernah hidup di dunia ramai dan tahu akan adat istiadat dan kesopanan, maka biarpun ia tidak memperdulikan pakaian sendiri, untuk muridnya ia selalu mencarikan pakaian yang bersih dan baik. Apalagi setelah Eng Eng menjadi dewasa dan melihat betapa cantiknya murid yang amat dikasihaninya itu, ia meninggalkan hutan dan bagaikan seorang iblis ia memasuki rumah-rumah orang dusun yang kaya dan mencuri pakaian yang indah-indah. Oleh karena itulah maka Eng Eng selalu mengenakan pakaian yang cukup sopan dan indah.

Akan tetapi oleh karena Hek Sin-mo mencari pakaian tanpa melihat potongannya, diantara banyak pakaian itu terdapat pula pakaian laki-laki dan anehnya, Eng Eng juga tidak memperdulikan perbedaan potongan pakaian itu. Kadang-kadang gadis ini mengenakan pakaian wanita dan kadang-kadang mengenakan pakaian laki-laki. Seorang gadis yang sementara tinggal di dalam hutan liar bersama kakek gila, tentu saja tidak tahu mana baju untuk wanita dan mana untuk laki laki. Jangankan tentang model pakaian terakhir, lebih baik jangan ditanyakan kepadanya!

Ketika Eng Eng berlari keluar dari hutan dengan hati bingung dan berduka, ia kebetulan mengenakan pakaian laki-laki dan rambutnya tertutup oleh ikat kepala untuk laki-laki maka ia kelihatan seperti seorang pemuda yang amat tampan wajahnya. Gadis ini semenjak kecil tidak mengenal bedak atau yanci (pemerah pipi, bibir), maka kulit mukanya putih halus sewajarnya. Ia tidak membawa apa-apa melainkan pedang Ang coa-kiam yang dibelitkan pada pinggang karena pedang ini memang lemas sekali.

Ketika dibawa oleh suhunya yang gila Eng Eng telah berusia enam tahun dan biarpun semenjak itu sampai dewasa ia selalu berada dalam hutan, jauh dari masyarakat ramai,akan tetapi ia masih ingat akan keadaan di dunia dan tahu bahwa selain dia dan suhunya, di dunia ini masih banyak manusia lain dengan rumah-rumah besar.

Memang pada waktu pertamakali ia bertemu dengan dusun semenjak turun gunung, ia merasa kagum dan terheran-heran. Juga ia merasa gembira sekali melihat orang-orang yang tinggal di dusun itu. Sebaliknya, semua orang yang dijumpainya di jalan juga memandangnya dengan heran dan kagum. Ia merupakan seorang pemuda yang tampan dan yang tersenyum pada setiap orang yang memandangnya, pemuda yang nampak tolol karena menengok ke kanan ke kiri memandangi rumah-rumah bagaikan seorang dusun yang bodoh masuk ke kantor besar!

Pada suatu hari, Eng Eng tiba di sebuah dusun yang cukup ramai. Telah beberapa kali ia pernah melihat sebuah rumah makan dl dalam dusun dan melihat betapa banyak orang makan di dalam rumah makan itu. Akan tetapi ia sendiri belum pernah makan di rumah makan dan selalu apabila merasa lapar ia makan seperti yang biasa ia lakukan dengan suhunya, yakni mencari buah-buahan di hutan atau menangkap kelinci lalu dipanggang dagingnya.

Kali ini, ketika ia memasuki dusun itu hidungnya mencium bau daging panggang yang amat sedap. Ia menghampiri rumah makan di pinggir dusun itu dan sampai lama berdiri di depan pintunya, menikmati bau sedap yang keluar dari dapur makan. Seorang pelayan yang melihat dia berdiri di depan pintu cepat menghampirinya. Seperti biasa, melihat orang yang pakaiannya cukup indah, pelayan itu berlaku ramah tamah dan manis budi.

"Silakan masuk, kongcu. Masih banyak bangku kosong. Silakan!"

Eng Eng belum pernah makan di rumah makan dan tidak tahu cara bagaimana memesan makanan, tidak tahu pula bahwa makanan yang dihidangkan di situ harus dibayar! Kini ada orang yang dengan manis mempersilakannya masuk, tentu saja ia mengangguk tersenyum dan mengikuti pelayan itu masuk ke dalam rumah makan. Gerakan tangan pelayan itu membuatnya mengerti bahwa la dipersilakan masuk, maka tanpa banyak sungkan lagi Eng Eng lalu mengambil tempat duduk di atas bangku.

Seorang laki-laki muda yang berpakaian seperti piauwsu (pengantar barang) kebetulan duduk di atas bangku itu. Tentu saja orang yang sedang makan mi ini menjadi terheran melihat betapa seorang pemuda tampan tanpa permisi tahu-tahu menduduki bangku di mejanya dan memandangnya dengan mata jenaka!

Memang perbuatan Eng Eng yang tak disengaja ini amat aneh dalam pandangan orang itu. Ruang rumah makan itu masih kosong dan banyak meja dan bangku yang belum terisi tamu akan tetapi pemuda ini duduk di bangku di meja yang telah dipakai orang! Piauwsu muda itu mengira bahwa pemuda tampan ini hendak memperkenalkan diri kepadanya maka ia lalu mengangguk ramah yang dibalas oleh Eng Eng dengan anggukan kepala pula!

Piauwsu itu menanti sampai mengganggunya memperkenalkan diri akan tetapi pemuda tampan itu duduk tanpa membuka mulut, hanya tersenyum-senyum saja dengan tarikan mata yang manis dan lucu,

"Sahabat," piauwsu itu menjadi tak sabar dan berkata, "aku adalah Ting Kwan Ek wakil kepala piauwkiok dari kota Han leng"

Eng Eng mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu menjawab, "Bagus, bagus kau tentu lapar sekali!"

Tentu saja Ting piauwsu menjadi melongo mendengar ucapan ini. Apakah ia salah dengar? "Maaf, sahabat," katanya, "apakah maksudmu?"

Eng Eng memandang ke arah mangkok mie-nya yang sudah hampir kosong lalu berkata lagi, "Kau tentu lapar sekali, makanmu amat gembul!"

Memang gadis ini sudah biasa makan berdua dengan suhunya dan ucapan seperti ini sudah biasa ia keluarkan kepada suhunya. Akan tetapi, ia menjadi tidak mengerti mengapa orang yang mengaku Ting Kwan Ek ini ketika mendengar kata - katanya menjadi merah mukanya dan terbatuk-batuk seakan-akan ada mie yang melintang dan mengganjal kerongkongannya!

"Kalau makan jangan terburu-buru, selain kau bisa tercekik karenanya juga makanan ini sukar menjadi hancur di dalam perut sehingga kau akan sukar buang air pula?" Eng Eng memberi nasehat yang seringkali ia dengar dari suhunya dulu.

Kini Ting Kwan Ek benar-benar menjadi melongo. la merasa marah, heran dan juga bingung. Gilakah pemuda ini? Tak mungkin, mukanya begitu terang dan sinar matanya lembut dan tajam, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa otaknya miring. Apakah pemuda ini sengaja hendak mempermainkannya? Akan tetapi hal ini meragukan pula, karena sikap pemuda tampan ini demikian sungguh-sungguh. Ah, barangkali dia seorang perampok tunggal yang tinggi kepandaiannya dan sengaja datang hendak mencari perkara!

Dalam pekerjaannya sebagai piauwsu, Tan Kwan Ek sudah seringkali bertemu dengan penjahat-penjahat yang berilmu tinggi dan berwatak aneh, maka kini timbul perkiraannya bahwa pemuda tampan ini tentulah seorang dari golongan hek-to (jalan hidup golongan penjahat) yang datang hendak mengganggunya. Ia bersikap hati-hati dan merasa bahwa lebih baik menjauhi permusuhan dengan orang ini. Ia berdiri dan berkata,

"Maaf sahabat, karena aku mengganggumu lebih baik aku pindah ke lain meja."

Piauwsu ini lalu mengangkat mangkok dan sumpitnya dan duduknya pindah ke lain bangku. Akan tetapi Eng Eng menganggap hal ini biasa saja, sama sekali tidak mau memperdulikan orang lain. Hanya saja ia merasa kecewa mengapa orang itu tidak mau membagi makanannya dengan dia dan membawa pergi mangkok terisi mi itu!

Pelayan yang tadi menyambutnya lalu menghampirinya dan karena pemuda ini sejak tadi tidak memesan makanan ia Ialu berkata, "Kongcu, kau hendak makan apakah?"

Eng Eng memandangnya dengan heran lalu bertanya, "Kau punya makanan apa?"

Pelayan itu menyebutkan nama beberapa macam masakan sehingga Eng Eng menjadi bingung. Kemudian ia memutar tubuhnya dan sambil menuding ke arah mangkok mi di depan piauwsu tadi, ia berkata,

"Aku ingin makan seperti yang dimakannya itu!"

Pelayan tersenyum geli dan piauwsu itu menjadi makin merah mukanya. Benar-benar orang muda yang tampan itu telah berlaku kurang ajar sekali dan benar-benar hendak mencari perkara dengan dia. la maklum bahwa orang ini tentulah seorang dari kalangan perampok yang sengaja hendak memperlihatkan sikap bermusuhan dengan dia.

Sebagai seorang piauwsu ia mengerti bahwa dirinya tentulah dimusuhi oleh para perampok, dan tentu pemuda ini sedang memancing-mancing kemarahannya. Akan tetapi, Ting piauwsu biarpun usianya baru tiga puluh tahun, namun ia telah mempunyai banyak pengalaman. la pura-pura tidak mendengar omongan Eng Eng ini dan melanjutkan makan mie-nya, diselingi dengan meneguk cawan araknya.

Tak lama kemudian pelayan datang membawa semangkok mie. Karena Eng Eng sudah merasa amat lapar, maka cepat ia menyikat habis mie semangkok itu. Ting piauwsu memperhatikan cara Eng Eng makan dan hatinya berdebar. Mie yang dihidangkan itu masih amat panas, akan tetapi pemuda tampan ini dapat makan begitu saja tanpa merasakan panas dan mempergunakan sumpitnya juga istimewa.

Orang Iain tentu akan mempergunakan sepasang sumpit untuk menjepit mie, akan tetapi pemuda tampan ini hanya rnemakai sebatang sumpit saja. Sumpit yang hanya sebatang ini digerakkan dengan cepat dan dengan dua kali putaran saja mie yang panjang-panjang itu telah membelit sumpit dan ketika sumpit diangkat, mi semangkok itu telah terangkat semua dari mangkok lalu dimakan seperti orang menggerogoti paha kelinci yang gemuk!

Melihat cara Eng Eng makan mie, makin yakinlah hati Ting piauwsu bahwa pemuda itu tentulah seorang penjahat yang kejam dan yang sengaja datang hendak mengganggunya. Sebagai seorang piauwsu, memang sudah sering kali ia bertempur melawan perampok-perampok dan seringkali pula merobohkan para penjahat.

Piauwkiok (perusahaan pengawal barang) yang dipegangnya, yakni Pek Eng Piauw-Kiok (Ekspedisi Garuda Putih) dari kota Hun-leng sudah amat terkenal sebagai sebuah perusahaan ekspedisi yang besar dan kuat. Bendera piauwkiok yang bersulam seekor burung garuda putih sudah merupakan bendera yang garang dan jarang sekali ada perampok berani mengganggu barang-barang yang dikirim apabila melihat bendera ini berkibar di kendaraan barang.

Yang paling disegani oleh para penjahat, adalah ketua dan wakil ketua Pek Eng Piauw Kiok. Ketuanya adalah seorang ahli silat bernama Ouw Teng Sin yang menjadi suheng (kakak seperguruan) dari Ting Kwan Ek sendiri. Ouw piauwsu berjuluk Pek eng-to (Golok Garuda Putih) dan karena julukannya inilah maka perusahaan piauwkiok yang dipimpinnya memakal nama Pek Eng Piauwkiok.

Sudah hampir dua puluh tahun Ouw-piauwsu mendirikan perusahaan di kota Hun-leng dan mendapat banyak kemajuan. Nama perusahannya sudah amat terkenal dan mendapat kepercayaan besar. Apalagi setelah sepuluh tahun yang lalu ia dibantu oleh sutenya (adik seperguruannya) yakni Ting Kwan Ek yang kepandaiannya sudah hampir setingkat dengan kepandaian Ouw-piauwsu, maka perusahaan ini berjalan makin lancar.

Selain pandai dalam hal ilmu silat, Ting piauwsu adalah seorang yang cerdik dan pandai mengurus perusahaan. Dengan bantuan Ting Kwan Ek, Ouw-piauwsu dapat duduk dengan enak dirumahnya dan menyerahkan segala pekerjaan kepada adik seperguruannya itu.

Kini setelah dalam perjalanannya, Ting Kwan Ek bertemu dengan Eng Eng, piauwsu yang cerdik dan baik hati ini lalu sengaja menjauhkan diri. Hal ini bukan karena ia berhati kecil dan penakut, akan tetapi oleh karena pada saat itu ia sedang melakukan tugas yang amat penting. Ia tidak mau mengacaukan tugasnya dengan melibatkan diri dalam pertempuran atau meladeni pancingan serta kehendak pemuda tampan yang nampaknya mencari perkara dengan dia itu. Tugas ini adalah tugas mengirimkan sebuah benda yang tak ternilai harganya dari kotaraja ke Hun leng dan benda berharga itu kini telah tersimpan baik-baik di kantong bajunya sebelah dalam.

Ketika ia melihat Eng Eng sedang makan mie dengan enaknya dan begitu mie semangkok habis, lalu minta tambah semangkok lagi sambil berkata berkali-kali,

"Enak... enak...!"

Ting Kwan Ek tidak mau membuang waktu lagi. la menaruh sepotong uang perak di dekat mangkoknya yang sudah kosong. kemudian dengan tergesa-gesa ia bertindak keluar.

Eng Eng tanpa menengok dapat mendengar bahwa orang yang tadi duduk menjauhinya telah melangkah keluar, akan tetapi tanpa memperdulikannya ia menyerang mie dalam mangkok kedua dengan lahap dan nikmatnya. Tiba-tiba ia mendengar suara ribut-ribut di luar rumah makan. Biarpun ia menjadi amat tertarik ketika suara ribut-ribut itu disusul oleh suara beradunya senjata, ia belum mau berdiri melihat sebelum mie dalam mangkoknya habis.

Ternyata bahwa ketika Ting piauwsu melangkah keluar dari rumah makan, tiba-tiba mendengar bentakan orang,

"Ting Kwan Ek, perlahan dulu jalan!"

Ting piauwsu cepat menengok dan ia amat terkejut ketika melihat bahwa yang menegurnya adalah seorang tosu (pendeta To) tua berjanggut hitam berdiri menghadang di depannya.

"Ban Yang Tojin!" hatinya berteriak, akan tetapi, saking kagetnya, mulutnya ikut pula berseru menyebut nama yang amat menyeramkan hatinya ini.

Siapakah orangnya tidak menjadi gugup melihat Ban Yang Tojin, apalagi kalau orang itu membawa barang berharga seperti yang dibawa oleh Ting Kwan Ek. Ban Yang Tojin adalah orang kedua dari tiga saudara seperguruan yang terkenal dengan sebutan Thian-te Sam-kui (Tiga Setan Langit Bumi) dan telah menggemparkan kalangan kang-ouw karena selain mereka ini berkepandaian tinggi sekali, juga sepak terjang mereka amat ganas.

Orang pertama adalah seorang Hwesio (pendeta Budha) yang bernama Ban Im Hosiang, sedangkan orang ketiga adalah seorang laki laki setengah tua dan pesolek bernama Ban Hwa Yong. Biarpun ketiga orang saudara seperguruan ini terkenal sebagai tiga setan yang selalu saling membantu, namun mereka berlainan, baik melihat rupa, pakaian, maupun kesukaan masing-masing.

Ban Im Hosiang adalah seorang hwesio gundul yang amat sakti dan kesukaannya adalah mendatangi tokoh-tokoh persilatan untuk menantang pibu (mengadu kepandaian) akan tetapi kemudian ia menjatuhkan tangan maut. Sebagian besar orang yang sudah berpibu dengan dia, tentu akan tewas atau sedikitnya menjadi penderita cacat selama hidupnya! Oleh karena itu, apabila ada seorang ahli silat yang mendengar akan kedatangan hwesio itu, lebih dulu ia telah pergi dan menjauhkan diri.

Orang kedua adalah Ban Yang Tojin ini yang rnempunyai kesukaan untuk merampok. Akan tetapi ia bukanlah perampok biasa yang cukup merasa puas dengan hasil rampokan berupa benda benda berharga yang kecil seperti perhiasan-perhiasan, permata dan emas dan yang dijadikan korbannya selain adalah pembawa-pembawa benda yang amat besar harganya!

Adapun Ban Hwa Yong adalah seorang berusia empat puluh tahun yang selalu berpakaian rapi dan indah, ia pesolek sekali dan kesukaannya mengganggu anak bini orang! Ia adaiah seorang penjahat pemetik bunga (Jai hwa-cat) yang banyak dikutuk orang karena kekejamannya!

Ting Kwan Ek adalah seorang piauwsu yang sudah banyak merantau dan mengalami hal-hal yang berbahaya, akan tetapi kali ini ketika tahu-tahu ia berhadapan dengan Ban Yang Tojin, ia menjadi pucat juga. Kalau saja ia tidak sedang membawa patung Buddha dari emas yang disembunyikan di dalam saku baju dalamnya, tentu ia tidak akan merasa gelisah bertemu dengan Ban Yang Tojin. la telah mendengar bahwa tosu ini selamanya tidak mau rnengganggu orang, kecuali kalau ia sedang berusaha merampok orang itu!

Kini tosu jahat ini tahu-tahu muncul dan menegurnya pada saat ia membawa benda yang amat berharga itu maka tentu saja tosu ini telah tahu akan benda berharga yang dibawanya!

"Ban Yang Totiang!" la menekan rasa takutnya dan menjura sambil memberi hormat. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagiku telah bertemu dengan totiang di tempat ini..."

Tosu itu tersenyum dan senyumnya membuat Ting piauwsu merasa dingin pada belakang lehernya. Senyumnya itu merupakan senyum ejekan yang penuh arti.

"Ting piauwsu, apakah arti penghormatan besar? Hanya berarti dan berguna bagi si kepala angin, orang sombong yang tidak tahu bahwa dibalik penghormatan besar itu tersembunyi maksud-maksud tertentu ? Bagiku penghormatan besar tiada gunanya seperti angin lalu, hanya terasa selama penghormatannya masih berada di depan muka, memandang dengan sinar mata merendah, mulutnya memuji-muji. Palsu celaka! Aku tidak butuh penghormatan, baik yang sudah lalu, sekarang, maupun kelak. Tidak butuh, apalagi dari seorang seperti engkau yang mempergunakan penghormatan untuk menyembunyikan sesuatu. Ha ha ha!"

Ting Kwan Ek adalah seorang gagah. Biarpun ia maklum bahwa tosu ini amat berbahaya, namun kata-katanya yang amat tajam itu menyakiti hatinya dan membuatnya mendongkol sekali. Namun ia masih menahan sabar dan bertanya dengan suara tetap halus,

"Maaf, totiang, kalau kiranya aku melakukan sesuatu tanpa kusadari yang membuat totiang menjadi tersinggung. Akan tetapi, sepanjang ingatanku yang dangkal, kita belum pernah bertemu dan belum pernah berurusan. Bolehkah aku mengetahui sebetulnya apakah yang totiang kehendaki dari orang seperti aku?"

"Yang ku hendaki? Ha ha ha! tak laku, tanggalkanlah penghormatanmu berikut disaku bajumu."

Biarpun ia sudah menduga bahwa tosu ini berniat buruk, akan tetapi pucat jugalah wajah Ting Kwan Ek ketika tosu itu menyatakan niatnya merampas benda berharga yang dibawanya dengan demikian terang-terangan. Ia bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan dan dengan hati-hati ia lalu melangkah mundur dua tindak sambil menjura dan berkata,

"Totiang, sepanjang ingatanku baik aku sendiri maupun Pek-eng Piauwkiok, belum pernah menganggu kepadamu orang tua. Tentu totiang maklum bahwa aku bersedia memberikan semua barang yang menjadi milikku apabila totiang membutuhkannya, akan tetapi sebagai seorang piauwsu, tidak mungkin aku memberikan sesuatu yang bukan milikku. Harap saja totiang suka memandang nama piauwkiok kami dan menjaga tali persahabatan antara orang kang-ouw."

"Tikus kecil, siapakah kau ini maka berani menyebut-nyebut tentang tali persahabatan dengan aku? Tak usah banyak membuka mulut, hayo lekas kau keluarkan isi sakumu sebelum aku menjadi tak sabar dan minta kau mengeluarken semua isi perutmu!"

"Ban Yang Totiang" jawab Ting Piauwsu marah. "kusangka bahwa seorang pertapa seperti totiang dapat mengeluarkan ucapan serendah itu!"

"Bangsat rendah, kau perlu diberi pelajaran" ucap Ban Yang Tosu sambil mencabut keluar senjatanya, yakni sebatang baja runcing yang panjangnya tiga kaki dengan ujungnya berbentuk bintang.

"Ingin aku melihat pengajaran macam apa yang hendak kau berikan." kata Ting Kwan Ek tenang sambil mencabut keluar goloknya yang lebar.

Seperti juga suhengnya Ting piauwsu adalah seorang ahli golok yang pandai dan permainan goloknya yang berdasarkan Pek eng to hwat (ilmu golok garuda Putih) amat terkenal kelihaiannya.

Dengan mengeluarkan tertawa mengejek, tiba-tiba Ban Yang Tosu lalu menyerang hebat dengan senjatanya yang aneh bentuknya itu. Gerakan serangannya selain cepat, juga berat sekali sehingga ketika Ting piauwsu menangkis dengan goloknya, piauwsu ini merasa betapa goloknya terpental dan telapak tangannya terasa pedas dan panas!

Kembali tosu itu tertawa mengejek dan senjatanya meluncur lagi, kini menyambar ke arah muka Ting piauwsu, mendatangkan angin dingin menyambar muka lawan. Ting Kwan Ek tidak mendapat kesempatan menangkis lagi, maka dengan cepat dan sambil mengeluarkan seruan terkejut, ia lalu membuang diri ke belakang menendangkan kaki kanan ke depan untuk menjaga serangan susuIan lalu mengayun tubuhnya itu ke belakang dengan gerak tipu Burung Walet Menyambar Ikan. Dengan gerakan ini ia berjungkir balik dan terus melompat ke belakang sehingga ia dapat terhindar dari bahaya maut.

"Ha ha ha Ting Kwan Ek, kau masih tidak mau meninggalkan patung Buddha Itu?" seru Ban Yang Tojin sambil melangkah maju.

"Aku takkan menyerah sebelum putus napasku!" kata Ting Kwan Ek dengan gagah dan piauwsu ini mendahului lawannya mengirim serangan dengan goloknya.

la membuka serangan dengan gerak tipu pek-eng Kai-peng (Garuda Putih membuka Sayap) sebuah tipu serangan dari ilmu golok Pek-eng to-hwat. Ketika tosu itu mengelak dengan mudah, Ting piauwsu lalu menyusul dengan serangan bertubi-tubi yang dihadapi dengan tertawa bergelak oleh tosu yang lihai itu. Tiba-tiba Ting Kwan Ek menjadi terkejut ketika lawannya mempercepat gerakan senjatanya dan cepat ia terdesak hebat.

"Tidak kau serahkan patung itu?" tosu itu masih mengejeknya, akan tetapi Ting piauwsu tentu saja tidak mau mengalah.

Patung itu adalah milik seorang pembesar tinggi yang telah mempercayainya. Kalau ia mengalah dan memberikan benda itu kepada tosu perampok ini, tidak saja namanya dan nama Pek eng Piauwkiok akan tercemar, akan tetapi juga ia harus mempertanggung-jawabkannya di depan pembesar itu.

Maka, mendengar seruan Ban Yang Tojin ia tidak menjawab, hanya memutar goloknya lebih cepat lagi untuk melindungi tubuhnya dan juga untuk membalas dengan serangan nekad dan mati-matian. Terdengar Ban Yang Tojin tertawa panjang dan dibarengi dengan gerakan senjatanya yang llhai, la membentak.

"Lepas senjata!"

Dua senjata itu bertumbuk nyaring bunga berpijar dan tahu-tahu golok Ting piauwsu telah terlepas dari pegangan dan melayang ke atas!

Tiba-tiba nampak berkelebat bayangan yang ringan sekali gerakannya dan bayangan itu melompat ke atas dan dalam sekejap mata golok yang terlempar ke atas itu telah dipegangnya. Bayangan ini bukan lain adalah Eng Eng yang semenjak tadl menonton pertempuran itu bersama pelayan yang tadi melayaninya. Sambil tersenyum-senyum, Eng Eng memandang kepada Ting Kwan Ek dan berkata,

"Hm, kau agaknya lebih pandai makan mie daripada mainkan golok! Menghadapi seekor kambing bandot tua berjenggot hitam seperti ini saja, kau sudah kepayahan!"

Ting Kwan Ek merasa sangat mendongkol mendengar ucapan ini, akan tetapi diam-diam iapun mengharapkan pertolongan pemuda tampan yang bersikap aneh ini. Juga ia merasa senang mendengar betapa pemuda ini memaki Ban Yang Tojin sebagai kambing bandot berjenggot hitam!

Padahal sama sekali Eng Eng tidak berniat memaki atau membenci tosu itu. la tidak tahu mengapa kedua orang itu bertempur, hanya yang ia ketahui bahwa kepandaian Ting Kwan Ek masih jauh lebih rendah daripada kepandaian lawannya. Melihat permainan silat Ban Yang Tojin, tlmbul kegembiraan dalam hati Eng Eng untuk mencoba kepandaian tosu ini.

Sebaliknya, ketika melihat gerakan pemuda ini dan mendengar ia dimaki kambing bandot, tentu saja Ban Yang tojin merasa marah sekali,

"Ah, tikus kecil! Kenapa kau berani berlaku lancang mencampuri urusanku? Hayo lekas pergi sebelum aku menjadi marah dan menelanjangimu di depan orang banyak!"

Sesungguhnya di antara binatang yang pernah dilihatnya di dalam hutan, Eng Eng memang paling takut dan benci terhadap binatang tikus. Ketakutan dan kebencian yang berdasarkan kejijikan. Maka kini mendengar ia dimaki tikus kecil, dan bahkan akan ditelanjangi pula, tentu saja senyumnya menghilang terganti oleh kemarahan yang membuat gadis yang manis Itu cemberut. Ia tidak tahu bahwa Ban Yan Tojin mengira ia seorang pemuda tulen, kalau tosu itu mengetahui bahwa pemuda ini sebenarnya seorang gadis, kiranya tidak akan mengeluarkan hinaan seperti itu.

"Kau ini monyet tua yang bermuka kambing! Kau berani menghinaku. Maka sebelum kau pergi, kau harus meninggalkan jenggotmu lebih dulu?"

Sambil berkata demikian Eng Eng menggerakkan golok di tangannya ke arah muka Ban Yang Tojin. Angin menyambar dan tosu itu merasa betapa dinginnya sambaran angin golok itu. Ia terkejut sekali dan cepat mengelak, akan tetapi golok Itu menyambar sangat dekat sehingga terlambat sedikit saja jenggotnya akan benar-benar terbabat habis. Bukan main marahnya dan ia tahu pula bahwa pemuda yang nampak tampan dan lemah-lembut ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada Ting Kwan Ek.

"Bagus kiranya kau sengaja membela orang she Ting itu! Aku harus robohkan kau dulu dengan beberapa gebukan!" Katanya dan segera ia menyerang kalang kabut.

Akan tetapi tak lama kemudian tosu ini berseru kaget, juga Ting Kwan Ek berseru karena kagum dan heran. Dengan amat cepatnya Eng Eng bergerak melayani tosu itu akan tetapi gerakannya benar-benar kacau balau seperti gerakan orang yang tidak pandai silat. Bahkan goIoknya yang dipegang secara sembarangan itu digerakkan dengan ngawur saja, dan bukan hanya dipergunakan untuk menusuk dan membacok, akan tetapi juga untuk mengemplang dengan punggung golok.

Hal ini tidak mengherankan, karena memang begitulah orang yang tidak pandai ilmu silat akan tetapi anehnya, biarpun gerakannya kacau balau setiap gerakan merupakan tangkisan, elakan ataupun serangan yang amat berbahaya!

Biarpun Ban Yang Tojin sudah mengeIuarkan seluruh ketangkasan dan tenaganya, namun ia masih belum berhasil mendesak lawannya. Jangankan mendesak bahkan senjatanya itu belum dapat menyentuh ujung baju lawannya. Sebaliknya golok di tangan Eng Eng itu seakan-akan bermata dan selalu mengikuti jenggotnya! Berkali-kali pemuda yang nakal itu berseru sambil tersenyum.

"Jenggotmu, jenggotmu! Tak pantas monyet berjenggot seperti kambing! Tinggalkan jenggotmu!"

Sebenarnya, ilmu silat yang dipelajari oleh Eng Eng dari suhunya, yaitu Hek Sin-mo yang gila, adalah semacam ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat yang amat tinggi dan lihai sekali. Setiap gerakan dari ilmu silat ini berkembang sesuai dengan gerakan lawan dan untuk setiap serangan maupun tangkisan lawan, selalu dengan otomatis menimbulkan gerakan pembalasan yang luar biasa sekali. Akan tetapi, dasar ilmu silat ini tertutup oleh gerakan luar yang benar-benar kacau balau dan gerakan kacau balau ini sesungguhnya tak pernah dipelajari oleh Eng Eng.

Baik Hek sin-mo maupun Eng Eng, membuat gerakan kacau balau dengan sengaja sesuai dengan watak mereka yang bebas, namun demikian, di balik gerakan kacau balau ini, keaslian ilmu silatnya sendiri masih tidak berobah dan tetap menjadi dasar gerakan yang amat kuat. Kalau dibandingkan, sesungguhnya ilmu kepandaian Ban Yang Tojin tidak seharusnya kalah oleh Eng Eng yang masih muda dan belum mempunyai banyak pengalaman bertempur.

Akan tetapi, tosu ini yang selamanya hidup belum pernah menghadapi seorang lawan yang memiliki ilmu silat seaneh itu, menjadi bingung dan pikiran serta ketenangannya dapat dlkacaukan oleh gerakan-gerakan Eng Eng. Selain itu, memang dalam mempelajari ilmu Iweekang, Eng Eng melatih diri dengan cara terbalik sehingga biarpun dibandingkan dengan Ban Yang Tojin ia masih kalah latihan, namun apabila senjata mereka beradu Ban Yang Tojin merasakan getaran yang amat luar biasa dan yang membuat tangannya tergetar!

Semua ini ditambah lagi dengan ejekan yang diucapkan Eng Eng dan yang membuatnya makin tak dapat mengendalikan ketenangannya, maka kini ia berada dalam keadaan terdesak. Yang amat membuatnya mendongkol adalah golok di tangan lawannya itu benar-benar mengancam jenggotnya dan tentu saja hal ini berarti pula mengancam lehernya!

Setelah mendesak tosu itu sehingga mundur tiga empat langkah, tiba-tiba Eng Eng melakukan serangan yang luar biasa cepat dan kuatnya, sambil membentak,

"Lepas jenggotmu!"

Serangan ini benar-benar hebat sekali dan golok di tangannya berkelebat menyilaukan mata. Ban Yang Tojin terkejut sekali. Ia menangkis dengan senjatanya, akan tetapi begitu senjata golok itu tertangkis, golok ini terpental miring dan masih terus melanjutkan tuju-annya ke arah jenggot dan tenggorokannya! Ban Yang Tojin tak keburu menangkis lagi dan cepat memutar tubuh mengelak akan tetapi terlambat.

"Brettt!" Golok di tangan Eng Eng telah makan pundak kirinya, membuat kulit dan sedikit daging pundak yang terobek bersama dengan bajunya!

Ban Yang Tojin terbelalak kaget dan menahan sakit. la tidak saja merasa pundaknya sakit dan perih, akan tetapi juga merasa malu tercampur heran bagaimana seorang anak muda yang lemah lembut seperti itu dapat melukainya dalam pertempuran kurang dari tiga puluh jurus! Ia lebih merasa malu dari pada sakit, maka sambil melompat jauh ia berseru,

"Ting piauwsu! Lain kali aku akan datang lagi membayar kebaikanmu dan pembelamu ini!"

Eng Eng tertawa geli lalu menyerahkan golok yang masih berlepotan darah itu kepada pemiliknya. "Jangan terlalu banyak makan sebaliknya perbanyaklah latihan golokmu!" katanya kepada Ting Kwan Ek.

Piauwsu itu kini tidak mendongkol atau marah mendengar ucapan Eng Eng yang berkali-kali seperti menghinanya itu. Ia sedang terheran-heran memikirkan siapa adanya pemuda yang aneh ini dan amat kagumlah ia menyaksikan kepandaian pemuda yang dapat mengalahkan Ban Yang Tojin secara demikian aneh dan mudah.

Ting Kwan Ek menjura dengan penuh hormat lalu berkata, "Taihiap telah menolong nyawaku dari bahaya maut dan kepandaian taihiap telah membuka mataku dan membuat hatiku merasa kagum sekali. Percayalah, taihiap pertolonganmu takkan mudah kulupakan begitu saja. Aku Ting Kwan Ek, dan juga semua anggauta Pek-eng Piauwkiok bukanlah orang-orang yang mudah melupakan kawan atau lawan. Mohon tanya nama taihiap agar dapat kucatat dalam kepalaku."

Ucapan ini sukar sekali dimengerti maksudnya oleh Eng Eng, akan tetapi ketika mendengar Ting piauwsu menanyakan namanya, ia tertawa dan mukanya berseri jenaka ketika ia meniru jawaban suhunya tentang namanya.

"Siapa aku dan siapa namaku? Aku adalah aku!" Ia lalu tertawa dengan bebas kemudian ia lalu bernyanyi perlahan sambil berjalan pergi.

Tentu saja, Ting Kwan Ek menjadi bengong, demikianpun pelayan dan orang-orang lain yang berada di situ, apa lagi ketika Ting piauwsu mendengar nyanyian itu. la mengerutkan keningnya. Gilakah pemuda ini? ataukah sengaja mempermainkannya? Ia maklum bahwa memang banyak sekali terdapat orang-orang luar biasa dan sakti di dunia ini, orang-orang yang mempunyai watak yang amat aneh dan berbeda dengan manusia biasa, akan tetapi belum pernah ia menyaksikan atau bertemu dengan orang seaneh pemuda tampan ini!

Dengan penasaran ia lalu mengikuti pemuda yang pergi dengan langkah lambat itu sambil memperhatikan kata-kata yang dinyanyikan oleh Eng Eng.

Aku bukan dewata, bukan pula setan!
Akan tetapi baik dewata maupun setan
Takkan dapat menguasai aku.
Biar dewata berbisik, biar setan menggoda
Aku tak hendak patuh tak sudi tunduk.
Aku tertawa kalau ingin menangis
Menangis kalau ingin tertawa.
Siapa perduli! Aku adalah aku.
Bukan dewata Bukan pula setan!


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Ting Kwan Ek terkejut sekali mendengar nyanyian ini. Kata-kata nyanyian ini mengingatkan ia akan seorang tokoh yang amat ditakuti oleh orang di dunia Kang-ouw. la pernah mendengar suhengnya bercerita bahwa di dunia persilatan terdapat seorang aneh yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi dan luar biasa, juga beradat aneh dan dianggap berotak miring. Ia segera mempercepat langkah kakinya mengejar.

"Taihiap, tunggu dulu!" Ia berseru.

Eng Eng menoleh dan melihat betapa piauwsu itu mempercepat langkah mengejarnya, ia tertawa geli lalu berlari cepat! Ting piauwsu merasa gemas sekali melihat dirinya dipermainkan, ia lalu mengerahkan kepandaiannya berlari cepat. Akan tetapi Eng Eng juga mempercepat larinya sehingga jarak diantara mereka tak banyak berobah

Ting Kwan Ek merasa makin penasaran. Kalau dalam hal ilmu silat ia memang kalah jauh, akan tetapi apakah ia mau kalah juga dalam ilmu berlari cepat? Di dunia Kang ouw. ia telah mendapat julukan Hui ma (Kuda Terbang) karena ia memang telah mempelajari ilmu berlari cepat yang disebut Couw yang-hui (Terbang di Atas Rumput) sehingga biarpun diadu balap dengan seekor kuda, belum tentu ia kalah. Akan tetapi sekarang, betapapun ia mengerahkan kepandaiannya, tetap saja ia tidak dapat mengejar pemuda tampan itu.

"Taihiap, sudahlah jangan mempermainkan aku lagi. Aku menerima kalah!" ia berseru sambil menahan napasnya yang terengah-engah.

Tiba-tiba terdengar Eng Eng tertawa dan ketika ia menggerakkan kedua kakinya tubuhnya mencelat ke atas dan berjungkir balik di udara, lalu melompat ke belakang dan berdiri di depan Ting Kwan Ek!

Piauwsu ini memang sejak tadi sudah merasa heran sekali melihat pemuda tampan ini. la menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda yang lemah lembut, bersuara merdu seperti wanita, akan tetapi yang bersikap aneh dan berkepandaian Iuar biasa tlngglnya ini? Kini melihat Eng Eng tersenyum-senyum di hadapannya dan bertanya,

"Kenapa kau mengejar dan mengikutiku. Kau mau apakah sebetulnya?"

"Maaf taihiap. Sesungguhnya aku tidak mempunyai niat buruk. Kalau aku tidak salah sangka, taihiap tentu mempunyai hubungan dengan Hek Sin-mo orang tua yang luar biasa itu, bukan?"

Sebetulnya Eng Eng tidak pernah tahu siapa nama suhunya, akan tetapi dulu suhunya pernah sambil tertawa-tawa berkata,

Ha ha ha, orang-orang gila itu menyebutku Hek Sin-mo! Nama yang bagus. ha ha ha!"

Kini mendengar Ting piauwsu menyebut nama suhunya, ia melengak dan cepat menjawab, "Hek Sin-mo adalah suhuku!"

SambiI berkata demikian, karena merasa panas Eng Eng lalu merenggut kain pengikat kepalanya dan menggunakan kain itu untuk menghapus peluh di mukanya. Kemudian ia memakai lagi pengikat kepalanya. Untnk sesaat Ting Kwan Ek memandang dengan kagum. Belum pernah ia melihat seorang pemuda yang mempunyai rambut sebagus itu. Hitam panjang dan bagus sekali, seperti rambut seorang wanita.

"Dan bolehkah kiranya aku mengetahui nama taihiap? Juga kalau taihiap sudi aku mempersilakan taihiap supaya suka menjadi tamu kehormatan Pek-eng Piauwkiok di Hun-leng."

Eng Eng tidak mengerti apakah yang disebut piauwkiok dan mengapa orang ini menjadikan dia sebagai tamu kehormatan. Akan tetapi melihat wajah orang yang bersungguh-sungguh dan tidak mengandung bayangan jahat, ia merasa suka berkenalan dengan Ting piauwsu ini.

"Baik, baik! Memang aku tidak mempunyai seorangpun kenalan di tempat ini."

Bukan main girangnya di dalam hati Ting Kwan Ek. Kini ia telah dapat menduga bahwa pemuda ini agaknya tidak waras otaknya, akan tetapi melihat ilmu silatnya yang sangat tinggi, maka kalau ia bisa menarik tenaga pemuda ini dipihaknya, ia boleh berhati lega.

la masih merasa ngeri akan ucapan Ban Yang Tojin yang mengancam hendak membalas dendam. Baru menghadapi Ban Yang Tojin seorang saja, ia tidak berdaya. la yakin bahwa Ban Yang Tojin akan datang bersama Ban Im Hosiang dan Ban Hwa Yong! Bagaimana ia bisa menghadapi Thian-te Sam-kui yang terkenal ganas dan lihai? Kepada siapa ia harus minta bantuan?