Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MENDENGAR jerit tangis wanita itu, belasan orang yang memukulinya segera menghentikan pemukulan mereka. Orang-orang dusun itu marah, akan tetapi mereka bukan pembunuh. Mereka hanya ingin menghajar laki-laki asing yang mengganggu isteri orang. Mendengar pengantin itu menangis dan memohon agar jangan membunuh laki-laki asing itu, mereka khawatir kalau-kalau mereka akan membunuh orang. Wajah dan tubuh laki-laki itu sudah benjut-benjut, mukanya berdarah-darah dan babak belur.

Tetapi pengantin pria yang tinggi besar dan bermuka hitam itu telah dibakar api cemburu. "Kau perempuan tak bermalu! Baru beberapa hari menjadi pengantin sudah menyeleweng dengan laki-laki lain! Engkau mau saja dipeluk dan dicium! Engkau perempuan hina yang layak dihajar!"

Suami Cing Ling yang sudah marah sekali itu kemudian melangkah maju menghampiri isterinya yang berlutut sambil menangis, ada pun kawan-kawannya hanya menonton saja karena tentu saja mereka tidak berhak mencampuri kalau suami itu menghajar isterinya.

"Tahan dulu... !" Hay Hay bangkit dengan muka bengkak-bengkak dan babak belur, dan dia berdiri menghadang melindungi wanita itu.

Hal ini justru membuat si muka hitam menjadi semakin marah. Dia membelalakkan kedua matanya, "Jahanam busuk! Apa kau minta mampus? Berani engkau membela isteriku?"

Secara diam-diam Hay Hay mengerahkan kekuatan sihirnya. Bagaimana pun juga Cing Ling tak bersalah dan dia harus menolongnya, membebaskannya dari hukuman suaminya dan dia tahu bagaimana harus berbuat.

Ia pun tertawa bergelak, membuat si muka hitam dan teman-temannya terkejut dan heran. Tentu laki-laki asing ini telah menjadi gila, pikir mereka dan mereka pun khawatir. Jangan-jangan pemukulan bertubi-tubi tadi membuat dia menjadi gila!

"Ha-ha-ha-ha, kalian ini orang-orang tolol! Kalian tidak tahu siapa aku ini? Lihat baik-baik, aku adalah penjaga sungai ini, aku raksasa penjaga sungai ini, ha-ha-ha!"

Belasan orang itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat sekali ketika mereka melihat betapa pemuda yang mereka pukuli tadi kini menjadi tinggi besar seperti raksasa, dua kali lebih tinggi dari pada manusia biasa!

"Hei, muka hitam! Beraninya engkau hendak memukuli isterimu! Wanita itu tak bersalah. Karena tadi dia bersama kawan-kawannya mandi di sini dan mengotori tempatku, maka aku sengaja menghukum dan menggodanya. Dia tidak bersalah sama sekali! Engkau tadi memaki aku dan hendak memukul isterimu, ya? Nah, sekarang kubikin engkau jungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas!"

Si muka hitam mengeluarkan teriakan ketakutan, sedangkan belasan orang kawannya juga memandang dengan mata terbelalak dan tubuh menggigil setelah mereka melihat si muka hitam itu tiba-tiba sudah jungkir balik, kakinya di atas dan kepala di bawah! Wanita itu pun menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan memandang. Dia tidak berada di dalam pengaruh sihir, karena itu dia pun melihat keadaan suaminya biasa saja, hanya anehnya, suaminya itu nampak seperti orang ketakutan, begitu pula belasan orang dusun.

"Ampun... ampunkan saya..." Si muka hitam memohon dengan suara gemetar.

Hay Hay tertawa lagi. "Bersumpahlah bahwa engkau takkan memukul isterimu lagi, tidak akan cemburu dan marah kepadanya, dan selama hidupmu akan bersikap manis dan baik kepadanya. Kalau sekali saja engkau melanggar, maka aku akan datang menghukummu, akan membuat engkau jungkir balik seperti ini sampai engkau mati!"

"Saya bersumpah... saya bersumpah...," kata si muka hitam dengan penuh kesungguhan.

Sekarang Hay Hay berkata kepada belasan orang kawan-kawan si muka hitam. "Kalian semua penghuni dusun menjadi saksi. Awas, kalau kalian kelak melihat si muka hitam ini memukuli isterinya atau bersikap kasar namun kalian tidak mencegahnya, maka aku akan datang menghukum kalian dan menyeret kalian semua ke dalam sungai kuberikan kepada setan-setan untuk dimakan hidup-hidup!"

Tentu saja belasan orang itu menjadi semakin ketakutan. Seperti dikomando saja mereka lalu bersama-sama menjatuhkan diri berlutut dan berlomba menjawab dengan cepat, "Kami berjanji akan mentaati perintah..."

"Bagus! Cing Ling seorang wanita yang baik sekali, tidak bersalah, dia harus diperlakukan dengan hormat dan manis budi. Sekarang aku akan kembali ke tempat asalku! Kau, muka hitam, sekali ini kuampuni. Nah, berlututlah seperti kawan-kawanmu!"

Dan tiba-tiba si muka hitam merasa dirinya normal kembali, maka dia cepat menjatuhkan diri seperti kawan-kawannya. Mereka semua melihat 'raksasa' itu berjalan ke tepi sungai, lalu melihat dia terjun ke sungai yang dangkal itu, yang dalamnya hanya sepinggang. Akan tetapi begitu raksasa itu terjun, dia pun langsung lenyap seperti ditelan sungai!

Sesudah mereka semua berani bangkit, si muka hitam segara menghampiri isterinya yang masih berlutut, menarik bangun isterinya, merangkulnya dan berkata dengan lembut, "Cing Ling, maafkan aku..."

Juga kawan-kawan suami Cing Ling yang kini menghadapi wanita itu memberi hormat dan berkata, "Kami juga mohon maaf..."

Cing Ling hanya bisa mengangguk. Dia masih tertegun dan terheran-heran melihat semua peristiwa tadi. Pemuda asing tadi amat menarik hatinya, bahkan dia akui bahwa dia terpikat dan terpesona. Kemudian pemuda itu dihajar habis-habisan tanpa melawan sampai babak belur. Akan tetapi pemuda itu lalu mengaku sebagai penjaga sungai, dan suaminya beserta belasan orang laki-laki yang tadi menghajarnya kemudian berlutut dan minta-minta ampun! Dan pemuda tampan itu lalu pergi begitu saja sesudah meninggalkan pesan dan ancaman agar semua orang menghormatinya, dan agar suaminya selalu bersikap baik kepadanya.

Sejak saat itu Cing Ling diperlakukan seperti dewi, bukan saja oleh suaminya, mertuanya dan seluruh keluarga mertuanya, bahkan seluruh penduduk dusun yang mendengar cerita belasan orang itu kemudian menganggap dia seperti seorang dewi yang dilindungi penjaga sungai! Sampai-sampai kepala dusun juga menghormatinya.

Dan suaminya bukan saja bersikap sangat hormat dan lembut, juga suaminya selalu merasa bangga mempunyai isteri yang dianggap dewi! Cing Ling dihormati, dimanja, dan hidupnya penuh kemuliaan. Tetapi pada waktu malam wanita ini sering kali termenung, teringat kepada Hay Hay, dan perasaan rindu menggerogoti hatinya!

********************

"Rasakan kau sekarang! Mata keranjang, Jai-hwa-cat! Kau cabul dan mesum, kau hamba nafsu! Rasakan sekarang!" Hay Hay memaki-maki diri sendiri sambil meringis kesakitan ketika dia mencuci mukanya dengan air sungai, jauh di sebelah hilir dari sungai yang tadi.

Senja sudah lewat dan malam mulai tiba, cuaca remang-remang dan dia berada jauh dari dusun. Sesudah mencuci mukanya yang berdarah, bengkak-bengkak dan babak belur, dia pun duduk di tepi sungai, mengeringkan mukanya dengan kain, lalu duduk termenung.

Dia paham benar apa yang terjadi di dalam dirinya. Makanan siang tadi, daging harimau hitam dan ubi merah, telah mengobarkan api nafsu birahinya, membuat dia bergairah dan lupa diri. Biar pun dia telah membiarkan dirinya dihajar orang banyak untuk menyiksa diri, untuk menebus dosa, namun dia tetap merasa dirinya kotor.

Dia merasa yakin bahwa ini tentulah karena darah ayah kandungnya, si penjahat pemetik bunga tersohor, Si Kumbang Merah! Dia memiliki darah seorang hamba nafsu birahi yang tidak ketulungan lagi seperti mendiang ayah kandungnya, Si Kumbang Merah! Apa bila dia membiarkan nafsu menguasai dirinya, maka dia akan menjadi jai-hwa-cat yang lebih jahat dari pada ayahnya.

Untung tadi orang-orang dusun itu keburu datang. Bila tidak, tentu akan terjadi hubungan mesum itu. Dia akan menyeret wanita yang suci bersih ke dalam lumpur kotor, dan sekali melangkah mungkin dia tidak akan dapat mundur kembali, bahkan akan menjadi semakin tersesat!

Ia memiliki banyak kelebihan yang menyeretnya ke arah kesesatan itu. Begitu mudahnya dia menundukkan wanita, baik dengan rayuan, dengan ketampanannya, dengan ilmu silat, atau dengan sihir! Kelebihan yang merupakan kekuasaan adalah berkah dari Tuhan, tentu saja sebagai perlengkapan hidup, sebagai alat untuk melakukan hal-hal yang baik selama hidup. Akan tetapi begitu nafsu berkuasa, maka semua kelebihan dan kekuasaan itu akan dipergunakan untuk pengejaran kesenangan diri pribadi, karena itu lalu membuta dan tidak pantang melakukan kejahatan apa saja demi tercapainya kesenangan yang selalu dikejar-kejar. Seperti mendiang ayahnya, Si Kumbang Merah yang tidak pantang memperkosa wanita, menggoda dan menyeret isteri orang dalam lembah perzinahan yang hina, bahkan tidak pantang membunuh atau menyiksa untuk memaksakan kehendak nafsunya.

Dengan bersenjatakan wewenang serta kekuasaannya untuk mendapatkan kesenangan, orang yang berkedudukan sering kali mabuk kekuasaan sebab nafsu menyeretnya untuk melakukan apa saja. Si hartawan juga mempergunakan kekayaannya untuk memperoleh kesenangan, yang pintar dan pandai menjadi curang, yang berkuasa menjadi sewenang-wenang, dan seterusnya. Semua itu adalah karena ulah si nafsu yang menguasai hati dan akal pikiran.

Nafsu membuat kita selalu mengejar kesenangan dan kenikmatan. Bukan yang baik dan yang bermanfaat lagi yang dikejar orang, melainkan yang enak, yang nikmat. Kita makan bukan lagi atas desakan kebutuhan perut, bukan demi kesehatan, tapi demi kelezatan, demi keenakan. Biar bermanfaat bagi kesehatan namun kita enggan memakannya kalau tidak enak. Sebaliknya, meski membahayakan kesehatan tetapi kalau enak maka akan kita makan dengan lahapnya.

Demikian pula dengan pakaian, bukan lagi untuk melindungi tubuh dari angin hujan dan panas, melainkan demi kesenangan yang timbul dari kebanggaan. Kita memilih pakaian bukan karena manfaatnya, melainkan karena kebagusannya, sebagai hiasan tubuh.

Dalam kehidupan ini segala perbuatan kita selalu menunjukkan atau mengarah kepada tercapainya kesenangan yang kita idamkan dan kita sebut kebutuhan atau kepentingan. Karena setiap pribadi, setiap kelompok atau golongan, mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, maka tak dapat dicegah lagi, timbullah bentrokan-bentrokan antara kepentingan dan timbullah pertentangan-pertentangan demi mencapai kepentingan masing-masing.


Hay Hay mengamati dirinya sendiri. Dia sudah cukup dewasa sehingga gairah nafsu birahi yang bergejolak di dalam dirinya merupakan suatu hal yang wajar. Jalan keluarnya hanya satu, yaitu dia harus segera menikah! Akan tetapi dengan siapa? Banyak, bahkan hampir setiap orang wanita disukainya, akan tetapi jarang yang dicintanya.

Selama ini yang benar-benar menjatuhkan hatinya, yang benar-benar dicintanya, sampai saat ini hanyalah Cia Kui Hong seorang! Selain Cia Kui Hong memang banyak pula gadis yang pernah menarik hatinya, dan agaknya mereka itu akan dapat menjadi pengganti Kui Hong, seandainya saja dia tidak berjodoh dengan Kui Hong. Akan tetapi gadis-gadis yang dikaguminya itu sekarang telah menikah semua, telah menjadi isteri orang lain.

Hay Hay memejamkan mata sambil bersandar pada batang pohon di tepi sungai itu. Dan nampaklah bayangan gadis-gadis yang pernah dikaguminya itu! Pertama-tama tentu saja Kok Hui Lian yang biar pun lebih tua sepuluh tahun darinya, akan tetapi merupakan wanita pertama yang bercumbuan dengannya dan menjadi gurunya di dalam soal asmara karena Hui Lian telah dua kali menjanda ketika bertemu dengan dia. Sekarang Kok Hui Lian telah menjadi isteri pendekar Ciang Su Kiat.

Kemudian Bi Lian, Siangkoan Bi Lian yang kini menjadi isteri Pek Han Siong. Lalu Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong yang kini telah menjadi isteri Song Bu Kok. Kemudian Cia Ling atau Ling Ling yang kini menjadi isteri Can Sun Hok. Bahkan Mayang pun pernah menjadi calon isterinya, akan tetapi ternyata kemudian bahwa Mayang adalah adik tirinya sendiri, tunggal ayah berlainan ibu.

Tinggal Cia Kui Hong, satu-satunya gadis yang sebenarnya dicintanya sampai sekarang, tetapi kedua orang tua gadis itu tidak menyetujui perjodohan mereka. Dia pun tidak terlalu menyalahkan ayah ibu gadis itu.

Cia Kui Hong adalah puteri sepasang pendekar yang sangat terkenal, tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Ayahnya adalah ketua Cin-ling-pai, dan ibunya adalah anak Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah. Tentu saja suami isteri pendekar terkenal itu tidak dapat dipersalahkan bila mereka melarang puterinya menikah dengan keturunan penjahat cabul Si Kumbang Merah.

Dia sendiri yang menjauhkan diri dari Kui Hong pada waktu mengetahui bahwa sepasang pendekar itu tidak sudi mempunyai mantu seperti dia. Menjauhkan diri dengan hati terluka dan sejak itu dia merana walau pun dia tahu bahwa keadaan seperti itu tidaklah benar.

Hidup adalah perjuangan, berkali-kali dia meyakinkan diri sendiri. Perjuangan adalah tekad dan usaha menghadapi tantangan sebab hidup penuh dengan tantangan yang datang dari segenap penjuru, baik tantangan terhadap kesehatan, terhadap kesejahteraan, terhadap kehormatan, mau pun beribu macam lainnya. ltulah romantika hidup dan seni kehidupan terletak kepada penanggulangan semua tantangan itu! Menghadapi setiap tantangan dan mengatasinya, itulah seninya hidup! Justru ini yang membuat kehidupan menjadi berarti, beromantika, bervariasi.

Tantangan dapat merupakan keadaan yang bagaimana pahit pun. Itulah suatu kenyataan, suatu tantangan. Melarikan diri dari tantangan adalah sikap pengecut. Putus asa hanyalah permainan batin orang lemah. Hadapi setiap tantangan, setiap keadaan, setiap masalah, dengan keyakinan bahwa itu adalah suatu kewajaran, suatu bagian yang tidak terpisahkan dari hidup yang memang isinya baik buruk, senang susah itu.

Hadapi dan usahakan sekuat tenaga untuk mengatasinya. Itulah perjuangan dan seninya! Landasannya hanya satu, ialah penyerahan diri kepada Tuhan, lahir batin, dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Ikhlas kalau perjuangan gagal, karena yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baru dapat terjadi setelah dikehendaki Tuhan. Kehendak Tuhan pun jadilah, setiap saat dan di mana saja! Hasil atau gagal usaha perjuangan kita bukan masalah, yang penting adalah pelaksanaan perjuangan itu.

Hay Hay tersenyum! Dia dapat menerima kenyataan saat itu. Muka serta seluruh bagian tubuhnya berdenyut-denyut bekas pukulan orang-orang tadi. Saat itu dia menerima rasa denyut-denyut itu tanpa menilainya dan tanpa memberinya nama sebagai nyeri atau sakit. Dan yang ada hanyalah rasa denyut-denyut itu. Kalau sudah begini, sukarlah menentukan apakah rasa berdenyut-denyut itu menyusahkan atau menyenangkan, nyeri atau nyaman, derita atau nikmat!

Hay Hay merasa heran sendiri dan teringat akan suasana yang aneh itu, dia merasa lucu dan dia pun tertawa bergelak. Kalau ada orang yang melihatnya, tentu akan menganggap dia orang yang miring otaknya, tertawa-tawa seorang diri seperti itu.

Namun tiga pasang mata yang mengamati gerak-geriknya tidak menganggapnya seperti orang gila. Sebaliknya mereka mengamati penuh kewaspadaan. Mereka melihat betapa pemuda yang mereka amati itu duduk bersandar di tepi sungai. Ketika dia tertawa-tawa, batang pohon yang disandarinya ikut bergoyang-goyang! Akan tetapi yang menjadi pusat perhatian tiga orang itu bukan hanya si pemuda, tetapi terutama sekali buntalan pakaian yang berada di atas tanah dekat pemuda itu.

Mereka itu tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, berpakaian seperti orang-orang dari dunia persilatan. Yang seorang tinggi kurus, seorang lagi pendek gendut dan seorang yang terakhir brewok tinggi besar. Agaknya orang yang tinggi kurus merupakan pemimpin mereka . Dia berbisik,

"Kalian berdua harus menyerang dia secara mendadak dan nanti selagi dia membela diri, aku akan menyambar buntalan pakaiannya."

Namun Si brewok menyeringai, "Hemm, Toako," katanya dengan nada mengejek. "Perlu apa semua ini? Datangi saja dia, minta benda itu, kalau dia menolak, kita bunuh dia dan rampas bendanya, habis perkara. Cacing seperti dia itu bisa apakah? Paling-paling hanya menggoda perempuan saja. Tadi pun hampir mampus dipukuli orang-orang dusun."

"Siauwte, Jangan bantah toako," kata si gendut. "Kukira toako benar, biar pun pemuda itu tadi dipukuli oleh orang-orang dusun, akan tetapi kukira dia bukan orang sembarangan. Pertama, kalau orang sembarangan tidak mungkin menerima benda itu, dan tidakkah kau lihat ketika dia tertawa-tawa tadi? Pohon yang disandarinya itu bergoyang-goyang!"

"Sudahlah, kerjakan saja perintahku. Kalian mengambil jalan memutar, lantas menyerang dari samping kiri, sementara itu aku akan menyambar buntalannya dari sebelah sini. Nah, cepat laksanakan!" kata si tinggi kurus.

Dua orang itu segera menyelinap pergi. Gerakan mereka gesit dan ringan sekali, seperti gerakan harimau sedang mengintai korbannya. Hay Hay masih duduk bersandar pohon, akan tetapi dia tentu bukan Hay Hay apa bila tidak tahu bahwa dirinya diintai orang yang mencurigakan. Tawanya tadi pun bukan hanya mentertawakan keadaan diri sendiri, tetapi juga mentertawakan ketiga orang yang bersembunyi dan mengamatinya. Dia miskin tidak punya apa-apa, tetapi kenapa ada saja orang-orang yang mengamatinya seperti hendak merampoknya? Beberapa helai pakaian tua itukah yang akan mereka rampas?

Dengan pendengarannya yang terlatih dan amat tajam, sekarang Hay Hay yang mengikuti gerakan mereka. Dia tahu bahwa dua di antara tiga orang telah mengambil jalan memutar dan menghampirinya dari arah kiri, sedangkan yang seorang lagi menghampiri dari arah kanan. Dia pun kelihatan tenang walau pun tentu saja dia sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Karena sikapnya itu, maka ketika dua orang, yaitu orang gendut dan orang tinggi besar menubruknya seperti dua ekor singa menubruk domba, mereka hanya menerkam tempat kosong karena yang mereka terkam sudah mengelak dengan lompatan ke depan. Pada saat itu pula si tinggi kurus langsung menyambar buntalan pakaian Hay Hay yang sudah berdiri memandang mereka dalam jarak lima meter.

"Hemmm, agaknya kalian bertiga hanyalah perampok kecil yang menginginkan buntalan pakaianku. Kalau saja kalian minta terus terang, tentu pakaian butut itu akan kuberikan tanpa kalian harus menggunakan kekerasan!" kata Hay Hay.

Ditegur demikian, tiga orang itu diam saja, tetapi mereka bertiga sedang asyik membuka buntalan kemudian memeriksa isinya. Hanya terdapat beberapa potong celana dan baju, sebungkus obat-obatan, dan sisa bumbu seperti bawang, garam dan juga seguci anggur. Tidak ada apa-apanya lagi yang berharga.

Si tinggi kurus lalu menyerahkan buntalan itu kepada si brewok yang bersama si gendut segera memeriksa kembali dengan teliti, sedangkan dia sendiri menghadapi Hay Hay dan memandang tajam, lalu berkata dengan suaranya yang berwibawa.

"Hei, orang muda. Kami bukan perampok dan kami tidak menginginkan pakaianmu. Nah, keluarkanlan benda itu dan serahkan kepada kami. Kami akan berterima kasih dan tidak akan mengganggumu lagi."

Hay Hay memandang heran, "Ehhh? Bukan perampok akan tetapi menyerang orang dan menyambar buntalan pakaian? Dan engkau minta benda apakah, Paman? Aku hanyalah seorang perantau miskin yang tidak punya uang." Hay Hay segera teringat akan mustika batu kemala yang tergantung di lehernya, di balik bajunya.

Tadi ketika dia dipukuli orang-orang dusun, dia masih ingat untuk melindungi batu mustika itu sehingga tidak terpukul atau terenggut lepas. Dia tidak akan merasa heran kalau ada orang kang-ouw menghendaki batu mustika itu, karena mereka tentu tidak segan-segan mempergunakan kekerasan untuk merampas mustika itu kalau para tokoh kang-ouw itu mengetahuinya. Batu kemala itukah yang dikehendaki tiga orang ini?

Dia menerima batu mustika itu sebagai hadiah dari Kwan Taijin, seorang jaksa tinggi yang bijaksana dari kota Siang-tan. Batu giok (kemala) itu memiliki khasiat yang sangat ampuh sebagai obat dan penolak segala macam racun. Warnanya hijau dengan belang-belang merah dan selalu tergantung di lehernya, tersembunyi di balik baju. Tentu benda mustika itulah yang dimaksudkan tiga orang ini.

"Orang muda, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Cepat serahkan gulungan surat yang kau terima dari Yu Siucai!"

Hay Hay terkejut. Ahh, ternyata itu yang dikehendaki tiga orang ini. Gulungan surat yang dia terima dari kakek bijaksana yang tewas oleh anak panah si pecemburu pendek cebol itu! Dia memang sudah menduga bahwa benda itu sangat penting, maka dia pun selalu menyimpan surat itu di dalam saku baju bagian dalam dan saat ini pun benda itu berada di balik bajunya.

Dia tidak tahu apa isi surat gulungan itu, tetapi mengingat bahwa surat itu diterimanya dari seorang kakek yang sangat bijaksana dan harus diserahkan kepada salah satu di antara dua menteri setia yang paling dia hormati, yaitu Menteri Cang Ku Ceng atau Menteri Yang Ting Hoo, maka dia merasa yakin bahwa benda itu sangat penting. Bagaimana tiga orang ini dapat mengetahui bahwa dia menerima benda itu dari kakek bijaksana yang ternyata oleh si tinggi kurus ini disebut Yu Siucai (Sasterawan Yu)?

"Ahh, kiranya surat itukah yang kalian cari? Benda itu adalah wasiat seorang yang sudah meninggal dunia yang ditinggalkan kepadaku. Tidak mungkin kuberikan kepada siapa pun juga kecuali mereka yang berhak menerima."

Kini buntalan itu sudah dirapikan kembali dan diletakkan di tempatnya semula. Perbuatan ini saja menunjukkan bahwa tiga orang itu bukan orang-orang kasar atau liar, melainkan mengenal sopan santun. Akan tetapi mendengar ucapan Hay Hay, mereka bertiga segera maju menghadapi Hay Hay dan si tinggi kurus berkata dengan suara membujuk.

"Orang muda, benda itu amat penting bagi kami, tapi sebaliknya tidak ada artinya bagimu. Serahkan saja kepada kami, maka kami akan memberi hadiah yang cukup banyak. Lihat, sekantong emas ini akan kuberikan kepadamu sebagai penukar gulungan surat itu. Cepat serahkan kepada kami!"

Hay Hay melihat kantong yang dikeluarkan si tinggi kurus. Dia menjadi semakin heran. Emas di dalam kantong itu ditaksirnya tidak kurang dari dua kati, merupakan harta yang cukup banyak. Juga sikap ini memperlihatkan bahwa dia tidak berhadapan dengan orang-orang kasar yang biasanya melakukan perampasan. Mereka ini menawarkan emas untuk membeli gulungan surat itu! Makin dihargai orang, semakin menarik pula sesuatu benda. Emas dan permata menjadi mahal harganya karena dihargai orang.

"Maaf, Paman. Tidak mungkin aku dapat menjual wasiat yang dititipkan orang yang sudah mati. Aku akan berdosa besar, Paman. Sudahlah, harap Paman bertiga tidak memaksaku menjadi orang yang mengkhianati pesan wasiat seorang tua terhormat. Aku yakin Paman bertiga bukan orang-orang sembarangan dan tahu akan budi pekerti yang baik."

Si brewok meloncat mendengar ucapan itu. "Heii, orang muda, jangan berlagak dan coba-coba untuk menguliahi kami! Sebaiknya kau serahkan benda itu atau terpaksa aku akan memaksamu!"

Si tinggi kurus memberi isyarat dengan tangan agar kawannya itu diam, lalu dia kembali menghadapi Hay Hay. "Orang muda, ketahuilah bahwa benda itu amat berbahaya. Tentu engkau tidak ingin melihat bangsamu sendiri saling bermusuhan kemudian terjadi perang saudara yang mengorbankan nyawa ribuan orang bangsa sendiri, bukan?"

Tentu saja Hay Hay terkejut mendengar ini. "Paman, apa maksudmu? Apa sih gulungan surat ini dan mengapa dapat mengakibatkan perang saudara?"

"Toako, perlukah berbicara panjang lebar dengan bocah ini? Kalau dia berkeras tidak mau menyerahkan, biar kurampas darinya!" kata si gendut kehilangan kesabaran.

Akan tetapi si tinggi kurus agaknya seorang yang berhati-hati dan berpandangan tajam. Tadi dia sempat melihat betapa mudahnya pemuda itu menghindarkan diri dari terkaman dua orang kawannya, maka dia dapat menduga bahwa pemuda itu, biar pun tadi dijadikan bulan-bulan pukulan para penduduk dusun, tentu mempunyai ilmu kepandaian yang cukup tangguh. Dia memberi isyarat kepada si gendut untuk diam.

"Orang muda, ketahuilah bahwa gulungan kertas yang ada padamu itu berisi surat fitnah yang dapat mengadu domba. Sama sekali tak ada hubungannya dengan dirimu. Surat itu harus dimusnahkan agar jangan menimbulkan kekacauan dan perang saudara. Nah, tentu engkau adalah orang yang cukup gagah dan tak ingin melihat timbulnya perang saudara, bukan?"

"Tentu saja aku tidak ingin timbul perang saudara, Paman. Akan tetapi aku pun tidak ingin menyerahkan wasiat itu kepada siapa pun juga kecuali kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan pesan mendiang kakek itu," kata Hay Hay dengan tegas.

"Siapa yang kau maksudkan dengan yang berhak itu?"

Hay Hay menatap wajah kakek tinggi kurus itu, menduga-duga siapakah mereka bertiga ini dan mengapa pula mereka ini berkeras hendak memiliki gulungan surat itu. Siapa yang berhak menerima wasiat itu adalah rahasianya sendiri, tidak perlu diberi tahukan kepada orang lain. Dia mengambil keputusan untuk merahasiakan pesan kakek bijaksana itu.

"Aku tidak dapat memberi tahu kepada siapa pun, Paman."

"Bocah sombong!" tiba-tiba si brewok berteriak, "Tidak perlu banyak cakap lagi, serahkan surat itu!"

鈥淗ayo berikan kepada kami kalau tidak ingin kami hajar seperti ketika kau dihajar orang-orang dusun itu!" teriak pula si gendut.

Hay Hay tertegun. Kiranya mereka ini mengetahui ketika dia dikeroyok dan dipukuli orang-orang dusun. Kalau begitu agaknya mereka sudah lama membayanginya atau melakukan pengejaran terhadap dirinya. Mungkin mereka mengetahui bahwa dia menerima gulungan surat dari kakek itu jauh hari sebelumnya. Padahal yang mengetahui bahwa dia menerima gulungan surat itu hanyalah suami cebol pencemburu itu.

Tentu tiga orang ini mendengar dari si cebol itu! Dia merasa gemas sekali kepada si cebol yang membuka rahasia itu. Ataukah tiga orang ini masih mempunyai hubungan dengan si cebol yang juga dapat dibilang memiliki ilmu kepandaian yang lumayan itu?

Kini si tinggi kurus tidak melarang dua orang kawannya, bahkan dia pun berkata dengan suara bernada mengancam, "Orang muda, kami bertiga bukanlah orang-orang yang biasa memaksakan kehendak. Tetapi sekali ini, karena surat itu amat penting bagi keselamatan rakyat, maka terpaksa kami akan mempergunakan kekerasan apa bila engkau tidak mau menyerahkan dengan cara baik-baik."

"Maaf, aku tidak dapat menyerahkan." kata Hay Hay.

Dan dengan sikap tenang dia pun mengambil buntalan pakaiannya, mengikatkan buntalan itu di punggungnya dan bersiap meninggalkan mereka. Tiga orang itu saling pandang dan akhirnya si tinggi kurus mengangguk, memberi isyarat untuk turun tangan.

"Orang muda, engkau mencari penyakit sendiri!" teriak si brewok.

Dia pun sudah menerjang dengan serangan dahsyat ke arah Hay Hay. Agaknya si brewok ini merasa yakin bahwa dengan sekali hantaman yang sangat kuat itu, dia akan berhasil merobohkan Hay Hay untuk digeledah dan dirampas gulungan surat itu darinya.

Akan tetapi Hay Hay cepat mengelak sambil tetap melanjutkan kesibukan dua tangannya mengikatkan ujung kain buntalan di depan dada. Dengan enak saja dia mengelak, seolah serangan itu sama sekali tidak berbahaya dan nampak amat lambat baginya! Padahal si brewok itu menyerang dengan pengerahan tenaga dan cepat sekali sehingga terdengarlah suara angin bersiut ketika tangan yang besar itu menyambar.

Pukulan itu mengenai tempat kosong, dan pada saat itu si gendut sudah menggelundung seperti trenggiling menuju ke arah Hay Hay. Dengan sekali melompat dia sudah mengirim totokan tiga kali berturut-turut.

"Hemmm...!" Hay Hay kembali mengelak dengan loncatan jauh ke samping dan di sini dia segera disambut oleh sambaran tangan kakek tinggi kurus yang mencengkeram ke arah pundaknya, agaknya hendak menangkapnya seperti seekor rajawali menerkam kelinci.

"Plakkk!"

Hay Hay menangkis dan kakek tinggi kurus itu terkejut. Bukan saja tangannya terpental, akan tetapi dia juga merasa nyeri dan lengannya tergetar hebat oleh tangkisan itu.

Hay Hay tak mau membuang tenaga dan waktu untuk melayani tiga orang itu, karena itu begitu mendapat kesempatan dia lalu melompat pergi.

"Selamat tinggal, Paman-paman!" katanya.

Melihat pemuda itu melarikan diri, tiga orang itu cepat mengejar. Si brewok menggerakkan tangan kanannya.

"Singgg...!"

Sebatang pisau pendek yang runcing mengkilap menyambar ke arah punggung Hay Hay. Pemuda ini tiba-tiba membalik, lantas menangkap pisau itu dari samping dengan tangan kirinya.

"Wirrrrr...!"

Si gendut juga melepaskan senjata rahasia berupa piauw. Melihat menyambarnya senjata rahasia itu, Hay Hay melemparkan pisau pendek yang tadi ditangkapnya.

"Tranggg...!" Pisau dan piauw bertemu di udara dan keduanya runtuh.

Hay Hay berlari terus. Tiga orang itu mengejar, namun pemuda itu dapat bergerak dengan amat cepatnya, seperti terbang saja.

"Tarrr...! Siuuuutttt...!"

Hay Hay terkejut bukan main. Nyaris kepalanya termakan peluru panas yang lewat dekat telinganya. Begitu meledak peluru telah tiba di dekat telinganya. Betapa cepatnya senjata rahasia itu dan tahulah dia bahwa tentu kakek tinggi kurus itu mempergunakan senjata api, yaitu senjata rahasia yang dibawa orang-orang kulit putih dan terkenal sangat ampuh dan berbahaya.

Banyak sudah ahli-ahli silat yang tewas oleh senjata api seperti itu, senjata yang mampu memuntahkan peluru dengan kecepatan yang sukar untuk dapat dielakkan. Masih untung bidikan si tinggi kurus itu kurang sempurna sehingga peluru itu lewat di dekat telinganya, nyaris mengenai kepalanya. Beberapa sentimeter saja menyimpang maka peluru itu akan menembus kepalanya dan dia tentu sudah roboh tewas! Sungguh berbahaya!

Hay Hay melompat jauh ke depan, lalu berlari cepat seperti orang terhuyung ke kanan kiri sehingga sukarlah bagi si tinggi kurus untuk membidikkan lagi pistolnya. Sebentar saja Hay Hay sudah jauh meninggalkan mereka, kemudian lenyap di balik pohon-pohon di tepi sungai.

Setelah merasa yakin bahwa tiga orang itu tidak mengejarnya lagi dan dia terlindung oleh kegelapan malam yang mulai tiba, terpaksa malam itu dia tinggal di pinggir sungai setelah melewati dua buah hutan. Di situ terdapat lapangan rumput yang terlindung oleh beberapa batang pohon besar. Karena lapangan itu cukup luas, maka dia dapat melihat kalau ada orang datang menuju ke tempat itu. Kini dia harus waspada sesudah mengetahui bahwa ada orang-orang lihai yang mencarinya.

Hay Hay merebahkan diri di atas rumput dan hingga jauh malam dia tidak tidur, melainkan hanya termenung. Setelah keadaan amat sunyi dan bulan sepotong telah mulai menyinari tempat itu, dia lalu membuat api unggun kecil agar mendapat penerangan karena dia ingin sekali melihat gulungan surat yang dititipkan kepadanya.

Tadinya sedikit pun tidak ada keinginan dalam hatinya untuk mengetahui apa isi gulungan surat itu. Ia hanya mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja kemudian menyerahkan gulungan surat itu kepada Menteri Cang atau Menteri Yang. Apa pun isi gulungan surat itu tidak penting dia ketahui karena tak ada sangkut pautnya dengan dia. Lagi pula dia harus menghormati wasiat dari kakek bijaksana itu.

Akan tetapi kini persoalannya menjadi lain. Dari tiga orang itu dia mendengar bahwa surat itu amat penting karena dapat menimbulkan perang saudara! Hal inilah yang membuat dia ingin sekali tahu, bukan saja untuk melampiaskan rasa penasaran dan keinginan tahunya, melainkan juga untuk menjaga kalau-kalau surat itu akhirnya terampas orang. Apa bila dia sudah mengetahuinya, maka secara lisan dia masih bisa melaporkan isi surat itu kepada seorang di antara dua menteri itu, biar pun surat itu terampas oleh orang lain,.

Di bawah sinar bulan sepotong dan dengan bantuan sinar api unggun kecil, dia membuka gulungan surat itu. Tulisan tangan itu amat indah dan isinya singkat padat. Ternyata isinya merupakan sebuah laporan tentang keadaan di kota Cang-cow di Propinsi Hok-kian.

Dilaporkan bahwa orang-orang kulit putih bangsa Portugis yang banyak tinggal di kota itu sekarang telah membangun sebuah benteng. Orang-orang kulit putih itu juga mengadakan persekutuan dengan para bajak laut Jepang dan dengan Pek-lian-kauw. Persekutuan ini mulai mempengaruhi para pejabat tinggi di Cang-cow, bahkan kepala daerah juga sudah mereka tempel dan mereka pengaruhi. Ada tanda-tanda bahwa orang-orang kulit putih, bajak laut Jepang dan gerombolan Pek-lian-kauw itu siap untuk mendorong kepala daerah dan sekutunya agar melakukan pemberontakan.

Surat laporan itu dibuat oleh Yu Siucai. Putera Yu Siucai yang menjadi jaksa di Cang-cow telah dibunuh bersama seluruh keluarganya, sebab berani menentang persekutuan itu dan berusaha menyadarkan atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow. Hanya Yu Siucai yang berhasil lolos, lantas dia membuat surat laporan itu dan hendak menghadap Menteri Cang atau Menteri Yang di kota raja. Namun nasib membuat dia tewas oleh anak panah suami cebol pencemburu.

Sesudah membaca gulungan surat itu, Hay Hay cepat-cepat menyimpannya kembali dan kini mengertilah dia. Bukan perang saudara yang menjadi akibat dari surat itu apa bila dia sampaikan ke kota raja, melainkan pembersihan! Tentu seorang di antara kedua Menteri itu akan melapor kepada kaisar, kemudian pasukan besar akan dikerahkan ke Cang-cow untuk membasmi pemberontak.

Jelas bahwa tiga orang itu merupakan orang-orang dari persekutuan itu yang bermaksud menghalangi agar surat laporan itu tidak sampai ke tangan kedua menteri itu. Pantas saja si tinggi kurus itu pandai menggunakan pistol, kiranya merupakan anak buah persekutuan orang kulit putih!

Karena surat itu dianggapnya sangat penting, Hay Hay segera memadamkan api unggun dan tidak jadi bermalam di tepi sungai itu. Malam itu juga dia melanjutkan perjalanan. Dia harus cepat tiba di kota raja untuk menyerahkan surat laporan itu kepada yang berhak.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Sebenarnya apakah yang terjadi di kota Cang-ouw di Propinsi Hok-kian? Isi surat laporan itu memang benar, menceritakan keadaan yang sesungguhnya sedang bergejolak secara diam-diam dan rahasia di kota itu.

Sesuai sejarah, orang-orang bangsa Portugis merupakan orang kulit putih pertama yang menjelajah ke Asia. Ketika para pelaut Portugis itu pertama kali mendarat di Cina, mereka diterima dengan baik dan senang hati oleh pemerintah setempat dan rakyat, diperlakukan sama dengan orang-orang asing yang sudah jauh lebih dahulu berkunjung dan berdagang di Cina, seperti orang-orang Arab dan Melayu yang semenjak puluhan tahun yang lampau sudah berdatangan dan berdagang dengan tenteram dan saling menguntungkan dengan rakyat Cina.

Kapal pertama orang-orang Portugis yang mendarat adalah kepunyaan Perestrello. Anak kapal yang dipimpin oleh Perestrello ini diterima dengan ramah dan mereka diperbolehkan berdagang tukar-menukar barang di darat. Beberapa bulan kemudian datang empat buah kapal besar dipimpin oleh De Andrada yang ditugaskan mengantarkan seorang duta yang juga merupakan pejabat tinggi Portugis di Goa.

Rombongan empat kapal ini pun diterima dengan amat baik seperti bangsa-bangsa asing lainnya, bahkan rombongan duta Portugis diantar ke Peking untuk menghadap Kaisar dan seperti lajimnya pada waktu itu, para pedagang ini membawa semacam upeti atau hadiah yang akan dibalas dengan hadiah lain dari kaisar. Tali persahabatan pertama diikat.

Namun kemudian terdengar desas-desus yang tidak enak selagi rombongan duta Portugis masih berada di kota raja. Dikabarkan dan berita ini sampai ke istana bahwa orang-orang Portugis yang semula datang sebagai pedagang yang ramah itu mulai menunjukkan sifat asli mereka setelah memperoleh kesempatan tinggal di darat. Bagaikan harimau berkedok domba mereka mulai mengganas dan melakukan berbagai perbuatan kekerasan dengan mengandalkan senjata api, bahkan melawan pemerintah setempat, mendirikan kedaulatan dan kekuasaan mereka sendiri.

Juga terdengar berita bahwa orang-orang Portugis yang berada di Kanton, yang dipimpin oleh Kapten Simon De Andrada, sering kali melakukan pembajakan di sepanjang sungai Mutiara (Muara Kwang-tung). Selain merampoki perahu-perahu bahkan juga membunuh, menculik dan memperkosa wanita! Semakin lama gerombolan orang Portugis itu semakin liar dan jahat.

Mendengar ini pasukan keamanan daerah di Kanton segera mengambil tindakan. Mereka lantas menyerang orang-orang Portugis dan berhasil mengusir kapal-kapal Portugis keluar dari muara itu. Ternyata orang-orang Portugis itu adalah bajak-bajak laut yang menyamar sebagai pedagang.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1522, ketika armada kapal Portugis yang dipimpin oleh Alphonso de Mello muncul di perairan Kanton, mereka lantas diserang oleh armada kapal Cina. Setelah terjadi pertempuran di lautan, kapal-kapal Portugis itu berhasil diusir dan sebuah kapal dapat ditangkap. Para anak buah kapal itu lalu dihukum sebagai bajak-bajak laut. Sejak saat itu hingga puluhan tahun lamanya tidak terdengar lagi tentang orang-orang Portugis.

Pada tahun 1542, yaitu enam tujuh tahun yang lampau, akhirnya muncul lagi kapal-kapal Portugis di pantai Cina. Namun pengalaman dua puluh enam tahun yang silam membuat mereka tidak berani mendarat di kota Kanton. Sekarang mereka memilih kota Ning-po di Propinsi Cekiang, yaitu di bagian utara, dan di sini mereka diterima dengan baik oleh para pejabat di Ning-po.

Waktu yang sudah dua puluh tahun itu agaknya membuat rakyat lupa dengan peristiwa di Kanton. Rakyat dan para pejabat di kota Ning-po menerima orang-orang Portugis dengan ramah seperti mereka menerima bangsa-bangsa asing lain yang datang berkunjung untuk berdagang.

Mula-mula orang-orang Portugis bisa membawa diri dan mereka melakukan perdagangan yang makin lama semakin besar tapi menguntungkan kedua pihak. Lalu semakin banyak kapal Portugis datang ke Ning-po, dan semakin banyak pula orang-orang Portugis tinggal di Ning-po. Dalam waktu kurang lebih dua tahun saja sudah terdapat tidak kurang dari tiga ribu orang Portugis yang tinggal di pelabuhan ini.

Akan tetapi, sesudah orang-orang Portugis ini merasa diri kuat karena mereka berjumlah banyak, terlebih lagi mengandalkan senjata api mereka, maka mulailah tampak lagi watak mereka yang seperti bajak laut, apa lagi sesudah mereka dalam keadaan mabuk. Bahkan mereka lantas membangun sebuah tembok benteng yang kokoh untuk melindungi warga mereka, lengkap dengan meriam-meriam mereka.

Mereka mulai memperlihatkan kekuasaannya, memandang rendah kepada kaum pribumi. Dengan mudah mereka memukul bahkan membunuh orang, menculik serta memperkosa wanita. Akhirnya para pejabat mendapat peringatan dari kota raja yang sudah mendengar tentang keadaan di Ning-po. Pemerintah mengerahkan pasukan besar menyerbu benteng Portugis itu dan terjadilah pertempuran hebat. Akhirnya benteng itu pun bobol dan mereka yang tidak sempat melarikan diri ke kapal mereka, dibunuh.

Demikianlah, dua peristiwa permusuhan terhadap orang-orang Portugis terjadi di Kanton pada tahun 1522 dan di Ning-po pada tahun 1542. Tetapi seperti semut yang tertarik oleh gula, setelah beberapa tahun tidak memperlihatkan diri, beberapa orang Portugis kembali bermunculan di Cang-cow di Propinsi Hok-kian.

Sekitar tahun 1548 itu, kota Cang-cow merupakan sebuah kota yang sangat terkenal bagi orang-orang di luar Cina. Bahkan semenjak beberapa abad yang silam bangsa Arab dan Melayu sudah menjadi pedagang-pedagang yang berhubungan sangat baik dengan kaum pribumi, melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Bangsa Arab mengenal kota Cang-cow sebagai kota Jaitun seperti tercatat dalam sejarah mereka.

Di kota yang dengan tangan terbuka menerima hubungan dagang dengan semua bangsa asing ini, bangsa Portugis juga diterima tanpa banyak kecurigaan. Maka mulailah orang-orang Portugis berdatangan untuk berdagang dan di tempat inilah orang-orang Portugis itu menggunakan siasat lain.

Mereka sudah berpengalaman, maka kini mereka melakukan perdagangan dan bersiasat halus. Bukan saja mereka terorganisir, bahkan mereka dipimpin oleh seorang berpangkat kolonel bernama Simon De Andrada, putera dari mendiang Simon De Andrada yang juga pernah memimpin orang-orang Portugis yang kemudian melakukan pembajakan di sekitar sungai Mutiara dan muara Kwan-tung.

Kolonel Simon De Andrada yang telah mendapat pesan dari atasannya melakukan siasat yang halus, menekan anak buahnya secara keras agar mereka tak melakukan kejahatan. Bahkan Kolonel Simon De Andrada ini melakukan pendekatan dan berhasil menyuap dan berhubungan baik sekali dengan para pejabat tinggi di Cang-cow. Di samping itu dia pun melakukan hubungan dengan orang-orang dari Pek-lian-kauw, juga dengan para pimpinan bajak laut Jepang.

Dengan taktik seperti ini mulailah orang-orang Portugis menancapkan kuku-kuku mereka di Cang-cow dan karena para pejabat sudah menjadi sekutu mereka, maka laporan para pejabat ke kota raja selalu memuji-muji orang-orang Portugis. Mereka dikatakan sebagai pedagang-pedagang yang mendatangkan keuntungan bagi Tionggoan dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat di daerah Cang-cow!

Seperti yang sudah-sudah, bangsa Portugis kembali mendirikan sebuah benteng di dekat laut, benteng besar di mana semua bangsa Portugis tinggal untuk memudahkan mereka berlindung kalau terjadi sesuatu. Akan tetapi Kolonel Simon De Andrada memberi alasan bahwa benteng itu digunakan untuk memusatkan anak buahnya agar mereka lebih mudah dapat diawasi dan diatur.

Para pejabat yang sudah kenyang menerima sogok dan suap hanya mengangguk-angguk membenarkan saja. Padahal bangsa asing lainnya, seperti bangsa Arab dan Melayu, tak ada yang membuat benteng, tak ada pula yang membawa pasukan bersenjata, melainkan tinggal bersama rakyat di kampung-kampung, walau pun mereka itu tetap berkelompok.

Karena keadaan di Cang-cow dianggap aman dan menyenangkan, bangsa Portugis mulai mendatangkan sanak keluarga mereka, wanita dan anak-anak, bahkan mereka pun mulai mendirikan sekolah untuk keperluan anak-anak mereka, juga membangun tempat ibadah dan mendatangkan pendeta-pendeta.

Kolonel Simon De Andrada mempunyai dua orang pembantu yang sangat dipercaya dan diandalkan. Yang seorang adalah Kapten Armando yang kini berusia lima puluhan tahun. Kapten Armando hanya datang bersama puterinya yang bernama Sarah, sebab dia adalah seorang duda yang sudah bercerai dari isterinya. Sedangkan orang ke dua yang menjadi pembantu utama kolonel itu adalah Kapten Gonsalo yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan masih membujang.

Kapten Armando adalah seorang pria setengah tua yang berwajah ganteng sekali, dengan rambut keemasan, matanya biru dan hidungnya yang mancung tidak terlampau besar dan panjang. Mulutnya membayangkan keberanian dan dagunya yang berlekuk membuat dia nampak jantan, apa lagi ditambah dengan kumisnya yang melintang dan jenggotnya yang tidak terlalu panjang. Wajah seorang laki-laki yang berwatak keras, namun sinar matanya yang biru laut itu nampak lembut.

Puterinya, Sarah Armando, adalah seorang gadis berusia tujuh betas tahun, cantik jelita dengan raut wajah mirip ayahnya. Rambutnya kuning keemasan, matanya juga biru dan amat jernihnya, tenang menghanyutkan seperti air laut. Biar pun usianya baru tujuh betas tahun, namun tubuhnya sudah dewasa dan matang, dengan lekuk-lengkung sempurna.

Bagaikan setangkai bunga, Sarah sedang mekar dan semerbak harum, karena itu tidaklah mengherankan apa bila para pria Portugis, bahkan juga bangsa lain, bagaikan kumbang-kumbang kehausan madu kalau melihatnya. Namun meski pun dara ini lincah jenaka dan berwatak gembira, dia sama sekali tidak genit dan tidak pernah mau memberi hati kepada pria mana pun juga sehingga tidak ada pria yang berani menggodanya.

Kehormatan seorang wanita memang terletak pada sikapnya apa bila berhadapan dengan pria. Kerlingnya, senyumnya, gerak-gerik dan suaranya, semua itu dapat menunjukkan apakah wanita itu dapat digoda ataukah tidak.

Seorang wanita yang menjaga kehormatan dan pandai menjaga diri akan bersikap tenang dan terbayang keagungan pada setiap gerak-geriknya, membuat pria merasa segan dan sungkan untuk bersikap kurang ajar, karena wanita semacam ini seolah-olah setiap saat dapat meledak marah kalau diganggu secara tidak layak dan tidak sopan.

Sebaliknya, setiap orang pria sudah pasti condong untuk menggoda wanita yang sikapnya genit, yang pembawaannya seakan merupakan tantangan, dengan kerling tajam memikat, senyum menantang. Dengan sikap seperti ini otomatis wanita itu telah membanting harga dirinya dan setiap orang pria akan senang sekali menggodanya!

Kapten Gonsalo, pembantu Kapten Armando dan merupakan orang ke dua yang menjadi pembantu dan kepercayaan Kolonel Simon De Andrada, adalah seorang di antara mereka yang tergila-gila kepada Sarah. Dia yang masih membujang dan sudah berusia tiga puluh tahun itu memang memiliki lebih banyak harapan untuk menang berlomba mendapatkan diri Sarah.

Dia seorang kapten, pembantu ayah gadis itu sehingga paling dekat hubungannya dengan Sarah. Juga Kapten Gonsalo adalah seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar, ganteng dan jantan, dengan kumis tipis dan dagu dicukur bersih sehingga terlihat kebiruan karena jenggotnya memang tebal andai dibiarkan tumbuh.

Biar pun biasanya Kapten Gonsalo ini adalah seorang laki-laki yang amat kasar dan suka memamerkan kekuasaan dan kekuatannya, apa lagi karena dia seorang jago tinju dan ahli tembak, namun di depan Sarah dia dapat bersikap lunak dan jinak seperti seekor domba! Dengan segala daya dia berusaha untuk memikat hati gadis yang sudah membuat dirinya tergila-gila itu.

Selain kuat Kapten Gonsalo juga seorang yang mempunyai ambisi besar, dan amat cerdik pula. Oleh karena itu dia bisa menjadi orang kepercayaan Kolonel Simon De Andrada dan diperbantukan kepada Kapten Armando. Setengah tahun yang lalu Kapten Gonsalo malah pernah diutus oleh sang kolonel untuk pergi ke kota raja menghadap kaisar, namun tentu saja diantar oleh pejabat daerah.

Di hadapan kaisar, atas nama Kolonel Simon De Andrada serta seluruh bangsa Portugis, Kapten Gonsalo menghaturkan salam sambil tidak lupa menyerahkan hadiah yang berupa benda-benda berharga dari Portugis. Yang amat menyenangkan hati Kaisar Cia Ceng dari Kerajaan Beng adalah hadiah yang berupa sebuah senjata api pistol yang dilapisi emas! Karena itu ketika meninggalkan istana Kapten Gonsalo juga membawa hadiah yang cukup berharga dari kaisar untuk disampaikan kepada Kolonel Simon De Andrada.

Sejak diterimanya utusan itu oleh kaisar maka semakin dekat pula hubungan para pejabat daerah dengan orang Portugis, dan bangsa ini kemudian dianggap sebagai bangsa yang diterima baik oleh kaisar sendiri!

Demikian pandainya orang-orang Portugis di Cang-cow membawa diri sehingga tidak ada seorang pun pejabat tinggi di kota raja yang curiga terhadap mereka. Jangankan kaisar, sedangkan dua menteri tertinggi yang merupakan tulang punggung pemerintahan kaisar, yaitu Menteri Cang Ku Ceng dan Menteri Yang Ting Hoo, tidak mengetahui akan bahaya yang mengancam dari persekutuan gelap di Cang-cow itu.

Ketika beberapa bulan yang lampau seorang jaksa di Cang-cow, yaitu Jaksa Yu, melihat persekutuan itu, tentu saja dia terkejut dan cepat-cepat menemui atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow. Jaksa Yu hendak menyadarkannya betapa tidak benarnya persekutuan dengan orang-orang Portugis, bahkan dengan para bajak laut Jepang dan pemberontak Pek-lian-kauw.

Kepala daerah itu menjadi terkejut. Dia tahu bahwa Jaksa Yu seorang yang sangat setia dan jujur. Kalau kini dia sudah tahu akan rahasia itu, tentu dia akan melapor ke kota raja. Maka kepala daerah itu cepat mengambil tindakan tegas. Jaksa Yu sekeluarga ditangkap, dituduh hendak memberontak dan dijatuhi hukuman mati! Maka habislah seluruh keluarga Jaksa Yu dan berarti aman pula rahasia persekutuan itu.

Akan tetapi kemudian barulah kepala daerah mendengar bahwa ayah dari Jaksa Yu yang sudah tua, yaitu Yu Siucai yang ketika itu kebetulan sedang keluar kota, sudah lolos dari pembasmian sekeluarga itu. Karena khawatir bahwa kakek itu tahu pula mengenai rahasia persekutuan mereka, maka dengan bantuan dari para sekutunya, mereka lalu mengutus pembunuh-pembunuh untuk melakukan pengejaran dan membunuh Yu Siucai.

Mereka tidak tahu benar apakah rahasia itu terbawa oleh Kakek Yu, akan tetapi mereka tetap khawatir. Setelah melihat kakek itu tewas, para pembunuh itu lalu mengejar-ngejar seorang pemuda yang berada di dekat kakek itu sebelum Yu Siucai meninggal dunia. Dan pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay seperti yang telah diceritakan di bagian depan.

Meski pun kakek Yu sudah tewas, tetap saja kepala daerah merasa khawatir dan mulailah ia melakukan pembersihan, menangkapi pejabat-pejabat yang dianggapnya dekat dengan Jaksa Yu. Banyak orang tak berdosa ikut ditangkap, bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa juga tertangkap dan dihukum mati dengan tuduhan memberontak!

Pada suatu pagi di dalam benteng tempat tinggal orang-orang Portugis. Di sebuah gedung terbesar dalam perbentengan itu, semenjak pagi sekali Sarah sudah bangun dari tidurnya, lalu mandi sambil bernyanyi-nyanyi gembira menyaingi burung-burung yang riuh berkicau di pohon-pohon yang tumbuh di taman dalam benteng itu. Setelah bertukar pakaian dara ini lalu membantu pelayan membuatkan sarapan pagi untuk ayahnya dan dia sendiri.

Pagi itu dia merasa gembira bukan kepalang karena kemarin ayahnya sudah berjanji akan mengajaknya naik kuda ke perbukitan di luar kota Cang-cow. Memang sejak kecil gadis ini mempunyai kegemaran menunggang kuda dan bahkan ketika berusia dua belas tahun dia pernah menggondol kejuaraan menunggang kuda di negerinya.

Setelah mengikuti ayahnya ke Cina dan tinggal di dalam perbentengan kota Cang-cow, ia tidak pernah meninggalkan kegemaran ini. Akan tetapi dia merasa kurang leluasa karena berada di negeri asing dan hidup terkurung di dalam benteng. Ia hanya bisa menunggang kuda dan berputar-putar di dalam benteng atau kalau pun diperbolehkan ayahnya berkuda keluar benteng, dia tidak boleh seorang diri tetapi harus ada pengawal.

Tidak begitu menyenangkan berkuda di dalam kota, karena selain jalan-jalan terlalu ramai sehingga dia harus menunggang kuda yang dijalankan dengan perlahan, dia pun menjadi tontonan. Akan tetapi kalau sekali waktu ayahnya mengajaknya menunggang kuda keluar kota, ke bukit-bukit, ke padang rumput, sungguh dia baru dapat menikmati kegemarannya itu. Dia dapat melarikan kudanya dengan bebas tanpa gangguan! Dan kemarin ayahnya menjanjikan untuk mengajak puterinya pagi hari ini berkuda di perbukitan di luar kota!

Sesudah menghidangkan roti panggang dengan mentega, selai dan telur mata sapi yang menjadi kegemaran ayahnya, Sarah lalu menghampiri kamar ayahnya. Diketuknya pintu kamar itu. Hanya dia seoranglah yang berani mengetuk pintu kamar ayahnya sepagi itu! Apa bila orang lain yang mengganggunya sepagi itu, tentu Kapten Armando akan marah sekali.

Ketika pintu terketuk, terdengar dia sudah menyumpah-nyumpah, lantas terdengar sandal diseret dan daun pintu terbuka. Wajah yang masih kusut dan sudah siap untuk memaki itu tiba-tiba saja menjadi cerah dan mulut yang cemberut berubah menjadi senyuman ramah. Memang lelaki setengah tua ini sangat mencinta puterinya yang merupakan anak tunggal dan merupakan satu-satunya orang yang dekat dengan dia. Dia mengasihi Sarah melebihi dirinya sendiri.

"Selamat pagi, Ayah!" kata Sarah, tidak peduli melihat ayahnya yang tampak masih belum sadar benar dari tidurnya.

"Selamat pagi, Sarah. Dan sepagi ini engkau telah menggugah ayahmu?" teguran ini lebih merupakan salam dari pada kemarahan.

"Maafkan aku, Ayah. Agaknya Ayah lupa akan janjimu padaku. Bukankah kemarin Ayah berjanji akan mengajak aku berkuda diperbukitan? Semakin pagi kita berangkat, semakin indah menyenangkan, Ayah. Hayo, mandilah, sarapan pagi sudah kusediakan!"

Kapten Armando memandang kepada puterinya dengan mata dibelalakkan, kemudian dia menepuk kepala sendiri, "Ahh, semalam aku minum terlalu banyak anggur, terlalu banyak hal penting yang dibicarakan dengan para pejabat sehingga aku sampai lupa memberitahu kepadamu semalam. Aihh, sayangku, sungguh aku menyesal sekali, akan tetapi pagi hari ini ayahmu tidak mungkin dapat menemanimu..."

"Ayah...!" Sarah merajuk. Bibirnya yang merah basah itu cemberut, alisnya berkerut dan matanya yang lebar itu tiba-tiba saja menjadi basah.

Kapten Armando melangkah maju dan merangkul puterinya, diajaknya masuk ke kamar, lantas diajaknya duduk di atas kursi panjang yang lunak. "Anakku, jangan kecewa. Bukan ayahmu tidak suka menemanimu, akan tetapi pagi ini tak mungkin aku dapat pergi karena aku harus menghadiri pelaksanaan hukuman pemberontak."

Dengan punggung tangan Sarah menekan kedua matanya sehingga air mata yang sudah memenuhi pelupuk itu terjatuh menjadi dua tetes air mata. Dia memandang ayahnya.

"Sekali ini siapakah pemberontak yang akan dihukum mati, Ayah?"

Kapten Armando menghela napas panjang. "Tidak kita sangka sama sekali. Dia adalah Perwira Cung "

Sarah membelalakkan matanya yang sudah lebar. "Perwira Cung yang gagah dan sopan itu, yang pernah berkunjung ke mari beberapa kali?"

Kapten Armando mengangguk. "Benar, dia ditangkap karena ada bukti bahwa dia sudah bersekongkol dengan keluarga Jaksa Yu yang telah dihukum beberapa bulan yang lalu."

"Aihh, Ayah. Tidak perlu Ayah menyaksikan pelaksanaan hukuman terhadap orang yang tadinya menjadi sahabat baik Ayah. Lebih baik Ayah berkuda denganku. Kita ke luar kota untuk melupakan peristiwa yang mengerikan itu."

Namun ayah itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, sayang. Pelaksanaan hukuman terhadap seorang pemberontak harus dihadiri semua yang diundang karena dimaksudkan sebagai peringatan bagi mereka yang menyaksikan agar jangan ada yang mencoba-coba untuk melakukan pemberontakan lagi."

Sarah mencibir sehingga bibir bawahnya yang berjebi itu seperti menantang untuk dicium. "Huhh, siapa sih yang hendak memberontak? Yang pasti, Ayah tidak, bukan? Ayah, sejak pagi sekali aku sudah bangun dan hatiku gembira sekali karena membayangkan hendak berkuda dengan Ayah ke bukit-bukit. Siapa tahu akan berakhir mengecewakan begini...! Huhh, melihat orang dihukum mati!"

Kapten Armando mengusap rambut kepala puterinya dengan belaian penuh kasih sayang. "Jangan kecewa, Anakku. Pagi ini engkau tetap boleh berkuda di perbukitan, bahkan tadi malam sudah kuminta Gonsalo untuk menemanimu."

"Kenapa Gonsalo? Aihh, aku tidak suka, Ayah!" kata dara itu merajuk.

"Ehh? Jadi engkau tidak suka pergi pagi ini?"

"Aku tetap ingin pergi berkuda, tetapi tidak dengan Kapten Gonsalo! Lebih baik bersama prajurit pengawal biasa saja, Ayah."

Kapten Armando mengerutkan alisnya yang tebal, "Sarah sayang, kenapa engkau selalu nampak tidak suka pada Gonsalo? Dia adalah pembantu ayahmu, dan dia seorang kapten yang baik pula. Selain itu, bukankah dia seorang pemuda yang belum menikah, tampan dan gagah pula? Dia juara tinju, dia ahli tembak cepat, dia..."

"Sudahlah, Ayah! Tak ada gunanya memuji-muji dia seperti Ayah hendak menjual barang dagangan saja! Bagaimana pun juga, aku tidak tertarik, aku aku bahkan membencinya!"

"Ehh? Engkau sungguh aneh, Sarah. Kalau tanpa alasan, bagaimana mungkin membenci seseorang? Tentu ada sebabnya sehingga membuat engkau membencinya. Nah, katakan kepada ayahmu, apakah sebab itu?"

Sarah bersungut-sungut. Memang kapten muda itu tidak pernah melakukan sesuatu yang dapat dia laporkan kepada ayahnya. Kapten Gonsalo selalu bersikap sopan dan lembut kepadanya. Bagaimana pun juga dia tidak berbohong ketika mengatakan bahwa dia tidak suka kepada kapten itu. Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang yang berhati keras dan selalu menuntut kejujuran. Ayahnya pasti tidak mau menerima pendapatnya tanpa alasan, tak mau menerima pernyataannya membenci kapten Gonsalo tanpa dia bisa memberikan sebabnya.

"Dia... dia..., pandangan matanya itulah yang tidak kusukai, Ayah. Pandangan matanya membuat aku merasa benci..."

"Hemmm? Pandangan matanya kenapa, Sarah?"

"Entahlah, Ayah. Pandangan matanya seperti pandangan mata seekor anjing bila sedang marah. Aku tidak suka, Ayah. Aku ingin pergi berkuda dengan seorang prajurit saja, atau kalau Ayah tidak setuju, biarlah aku berkuda seorang diri saja."

"Ahhh...!"

"Jangan khawatir, Ayah. Aku dapat pergi membawa sebuah pistol untuk menjaga diri."

"Tidak, engkau tidak boleh pergi seorang diri! Juga tidak boleh dikawal prajurit biasa saja. Hanya Kapten Gonsalo seoranglah yang kupercaya sepenuhnya untuk mengawalmu. Apa bila dia yang mengawalmu maka sama saja dengan kalau aku sendiri yang mengawalmu dan hatiku akan tenang. Jika engkau pergi tanpa dia, aku akan selalu merasa gelisah dan khawatir. Sudahlah, jangan banyak membantah lagi, Sarah. Dia telah kuperintahkan untuk mengawalmu pagi ini. Nah, aku sudah mendengar derap kaki kudanya. Pergilah berkuda dengan dia. Kalau dia melakukan sesuatu yang tidak layak, katakan kepadaku. Aku yang akan menghukumnya."

Kapten Armando meninggalkan puterinya dan memasuki kamar mandi yang bersebelahan dengan kamar itu. Sarah bersungut-sungut, maklum bahwa keputusan ayahnya tak dapat ditawar-tawar lagi. Hanya ada dua pilihan baginya. Pergi berkuda dengan dikawal Gonsalo atau tidak pergi sama sekali.

Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 14

MENDENGAR jerit tangis wanita itu, belasan orang yang memukulinya segera menghentikan pemukulan mereka. Orang-orang dusun itu marah, akan tetapi mereka bukan pembunuh. Mereka hanya ingin menghajar laki-laki asing yang mengganggu isteri orang. Mendengar pengantin itu menangis dan memohon agar jangan membunuh laki-laki asing itu, mereka khawatir kalau-kalau mereka akan membunuh orang. Wajah dan tubuh laki-laki itu sudah benjut-benjut, mukanya berdarah-darah dan babak belur.

Tetapi pengantin pria yang tinggi besar dan bermuka hitam itu telah dibakar api cemburu. "Kau perempuan tak bermalu! Baru beberapa hari menjadi pengantin sudah menyeleweng dengan laki-laki lain! Engkau mau saja dipeluk dan dicium! Engkau perempuan hina yang layak dihajar!"

Suami Cing Ling yang sudah marah sekali itu kemudian melangkah maju menghampiri isterinya yang berlutut sambil menangis, ada pun kawan-kawannya hanya menonton saja karena tentu saja mereka tidak berhak mencampuri kalau suami itu menghajar isterinya.

"Tahan dulu... !" Hay Hay bangkit dengan muka bengkak-bengkak dan babak belur, dan dia berdiri menghadang melindungi wanita itu.

Hal ini justru membuat si muka hitam menjadi semakin marah. Dia membelalakkan kedua matanya, "Jahanam busuk! Apa kau minta mampus? Berani engkau membela isteriku?"

Secara diam-diam Hay Hay mengerahkan kekuatan sihirnya. Bagaimana pun juga Cing Ling tak bersalah dan dia harus menolongnya, membebaskannya dari hukuman suaminya dan dia tahu bagaimana harus berbuat.

Ia pun tertawa bergelak, membuat si muka hitam dan teman-temannya terkejut dan heran. Tentu laki-laki asing ini telah menjadi gila, pikir mereka dan mereka pun khawatir. Jangan-jangan pemukulan bertubi-tubi tadi membuat dia menjadi gila!

"Ha-ha-ha-ha, kalian ini orang-orang tolol! Kalian tidak tahu siapa aku ini? Lihat baik-baik, aku adalah penjaga sungai ini, aku raksasa penjaga sungai ini, ha-ha-ha!"

Belasan orang itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat sekali ketika mereka melihat betapa pemuda yang mereka pukuli tadi kini menjadi tinggi besar seperti raksasa, dua kali lebih tinggi dari pada manusia biasa!

"Hei, muka hitam! Beraninya engkau hendak memukuli isterimu! Wanita itu tak bersalah. Karena tadi dia bersama kawan-kawannya mandi di sini dan mengotori tempatku, maka aku sengaja menghukum dan menggodanya. Dia tidak bersalah sama sekali! Engkau tadi memaki aku dan hendak memukul isterimu, ya? Nah, sekarang kubikin engkau jungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas!"

Si muka hitam mengeluarkan teriakan ketakutan, sedangkan belasan orang kawannya juga memandang dengan mata terbelalak dan tubuh menggigil setelah mereka melihat si muka hitam itu tiba-tiba sudah jungkir balik, kakinya di atas dan kepala di bawah! Wanita itu pun menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan memandang. Dia tidak berada di dalam pengaruh sihir, karena itu dia pun melihat keadaan suaminya biasa saja, hanya anehnya, suaminya itu nampak seperti orang ketakutan, begitu pula belasan orang dusun.

"Ampun... ampunkan saya..." Si muka hitam memohon dengan suara gemetar.

Hay Hay tertawa lagi. "Bersumpahlah bahwa engkau takkan memukul isterimu lagi, tidak akan cemburu dan marah kepadanya, dan selama hidupmu akan bersikap manis dan baik kepadanya. Kalau sekali saja engkau melanggar, maka aku akan datang menghukummu, akan membuat engkau jungkir balik seperti ini sampai engkau mati!"

"Saya bersumpah... saya bersumpah...," kata si muka hitam dengan penuh kesungguhan.

Sekarang Hay Hay berkata kepada belasan orang kawan-kawan si muka hitam. "Kalian semua penghuni dusun menjadi saksi. Awas, kalau kalian kelak melihat si muka hitam ini memukuli isterinya atau bersikap kasar namun kalian tidak mencegahnya, maka aku akan datang menghukum kalian dan menyeret kalian semua ke dalam sungai kuberikan kepada setan-setan untuk dimakan hidup-hidup!"

Tentu saja belasan orang itu menjadi semakin ketakutan. Seperti dikomando saja mereka lalu bersama-sama menjatuhkan diri berlutut dan berlomba menjawab dengan cepat, "Kami berjanji akan mentaati perintah..."

"Bagus! Cing Ling seorang wanita yang baik sekali, tidak bersalah, dia harus diperlakukan dengan hormat dan manis budi. Sekarang aku akan kembali ke tempat asalku! Kau, muka hitam, sekali ini kuampuni. Nah, berlututlah seperti kawan-kawanmu!"

Dan tiba-tiba si muka hitam merasa dirinya normal kembali, maka dia cepat menjatuhkan diri seperti kawan-kawannya. Mereka semua melihat 'raksasa' itu berjalan ke tepi sungai, lalu melihat dia terjun ke sungai yang dangkal itu, yang dalamnya hanya sepinggang. Akan tetapi begitu raksasa itu terjun, dia pun langsung lenyap seperti ditelan sungai!

Sesudah mereka semua berani bangkit, si muka hitam segara menghampiri isterinya yang masih berlutut, menarik bangun isterinya, merangkulnya dan berkata dengan lembut, "Cing Ling, maafkan aku..."

Juga kawan-kawan suami Cing Ling yang kini menghadapi wanita itu memberi hormat dan berkata, "Kami juga mohon maaf..."

Cing Ling hanya bisa mengangguk. Dia masih tertegun dan terheran-heran melihat semua peristiwa tadi. Pemuda asing tadi amat menarik hatinya, bahkan dia akui bahwa dia terpikat dan terpesona. Kemudian pemuda itu dihajar habis-habisan tanpa melawan sampai babak belur. Akan tetapi pemuda itu lalu mengaku sebagai penjaga sungai, dan suaminya beserta belasan orang laki-laki yang tadi menghajarnya kemudian berlutut dan minta-minta ampun! Dan pemuda tampan itu lalu pergi begitu saja sesudah meninggalkan pesan dan ancaman agar semua orang menghormatinya, dan agar suaminya selalu bersikap baik kepadanya.

Sejak saat itu Cing Ling diperlakukan seperti dewi, bukan saja oleh suaminya, mertuanya dan seluruh keluarga mertuanya, bahkan seluruh penduduk dusun yang mendengar cerita belasan orang itu kemudian menganggap dia seperti seorang dewi yang dilindungi penjaga sungai! Sampai-sampai kepala dusun juga menghormatinya.

Dan suaminya bukan saja bersikap sangat hormat dan lembut, juga suaminya selalu merasa bangga mempunyai isteri yang dianggap dewi! Cing Ling dihormati, dimanja, dan hidupnya penuh kemuliaan. Tetapi pada waktu malam wanita ini sering kali termenung, teringat kepada Hay Hay, dan perasaan rindu menggerogoti hatinya!

********************

"Rasakan kau sekarang! Mata keranjang, Jai-hwa-cat! Kau cabul dan mesum, kau hamba nafsu! Rasakan sekarang!" Hay Hay memaki-maki diri sendiri sambil meringis kesakitan ketika dia mencuci mukanya dengan air sungai, jauh di sebelah hilir dari sungai yang tadi.

Senja sudah lewat dan malam mulai tiba, cuaca remang-remang dan dia berada jauh dari dusun. Sesudah mencuci mukanya yang berdarah, bengkak-bengkak dan babak belur, dia pun duduk di tepi sungai, mengeringkan mukanya dengan kain, lalu duduk termenung.

Dia paham benar apa yang terjadi di dalam dirinya. Makanan siang tadi, daging harimau hitam dan ubi merah, telah mengobarkan api nafsu birahinya, membuat dia bergairah dan lupa diri. Biar pun dia telah membiarkan dirinya dihajar orang banyak untuk menyiksa diri, untuk menebus dosa, namun dia tetap merasa dirinya kotor.

Dia merasa yakin bahwa ini tentulah karena darah ayah kandungnya, si penjahat pemetik bunga tersohor, Si Kumbang Merah! Dia memiliki darah seorang hamba nafsu birahi yang tidak ketulungan lagi seperti mendiang ayah kandungnya, Si Kumbang Merah! Apa bila dia membiarkan nafsu menguasai dirinya, maka dia akan menjadi jai-hwa-cat yang lebih jahat dari pada ayahnya.

Untung tadi orang-orang dusun itu keburu datang. Bila tidak, tentu akan terjadi hubungan mesum itu. Dia akan menyeret wanita yang suci bersih ke dalam lumpur kotor, dan sekali melangkah mungkin dia tidak akan dapat mundur kembali, bahkan akan menjadi semakin tersesat!

Ia memiliki banyak kelebihan yang menyeretnya ke arah kesesatan itu. Begitu mudahnya dia menundukkan wanita, baik dengan rayuan, dengan ketampanannya, dengan ilmu silat, atau dengan sihir! Kelebihan yang merupakan kekuasaan adalah berkah dari Tuhan, tentu saja sebagai perlengkapan hidup, sebagai alat untuk melakukan hal-hal yang baik selama hidup. Akan tetapi begitu nafsu berkuasa, maka semua kelebihan dan kekuasaan itu akan dipergunakan untuk pengejaran kesenangan diri pribadi, karena itu lalu membuta dan tidak pantang melakukan kejahatan apa saja demi tercapainya kesenangan yang selalu dikejar-kejar. Seperti mendiang ayahnya, Si Kumbang Merah yang tidak pantang memperkosa wanita, menggoda dan menyeret isteri orang dalam lembah perzinahan yang hina, bahkan tidak pantang membunuh atau menyiksa untuk memaksakan kehendak nafsunya.

Dengan bersenjatakan wewenang serta kekuasaannya untuk mendapatkan kesenangan, orang yang berkedudukan sering kali mabuk kekuasaan sebab nafsu menyeretnya untuk melakukan apa saja. Si hartawan juga mempergunakan kekayaannya untuk memperoleh kesenangan, yang pintar dan pandai menjadi curang, yang berkuasa menjadi sewenang-wenang, dan seterusnya. Semua itu adalah karena ulah si nafsu yang menguasai hati dan akal pikiran.

Nafsu membuat kita selalu mengejar kesenangan dan kenikmatan. Bukan yang baik dan yang bermanfaat lagi yang dikejar orang, melainkan yang enak, yang nikmat. Kita makan bukan lagi atas desakan kebutuhan perut, bukan demi kesehatan, tapi demi kelezatan, demi keenakan. Biar bermanfaat bagi kesehatan namun kita enggan memakannya kalau tidak enak. Sebaliknya, meski membahayakan kesehatan tetapi kalau enak maka akan kita makan dengan lahapnya.

Demikian pula dengan pakaian, bukan lagi untuk melindungi tubuh dari angin hujan dan panas, melainkan demi kesenangan yang timbul dari kebanggaan. Kita memilih pakaian bukan karena manfaatnya, melainkan karena kebagusannya, sebagai hiasan tubuh.

Dalam kehidupan ini segala perbuatan kita selalu menunjukkan atau mengarah kepada tercapainya kesenangan yang kita idamkan dan kita sebut kebutuhan atau kepentingan. Karena setiap pribadi, setiap kelompok atau golongan, mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, maka tak dapat dicegah lagi, timbullah bentrokan-bentrokan antara kepentingan dan timbullah pertentangan-pertentangan demi mencapai kepentingan masing-masing.


Hay Hay mengamati dirinya sendiri. Dia sudah cukup dewasa sehingga gairah nafsu birahi yang bergejolak di dalam dirinya merupakan suatu hal yang wajar. Jalan keluarnya hanya satu, yaitu dia harus segera menikah! Akan tetapi dengan siapa? Banyak, bahkan hampir setiap orang wanita disukainya, akan tetapi jarang yang dicintanya.

Selama ini yang benar-benar menjatuhkan hatinya, yang benar-benar dicintanya, sampai saat ini hanyalah Cia Kui Hong seorang! Selain Cia Kui Hong memang banyak pula gadis yang pernah menarik hatinya, dan agaknya mereka itu akan dapat menjadi pengganti Kui Hong, seandainya saja dia tidak berjodoh dengan Kui Hong. Akan tetapi gadis-gadis yang dikaguminya itu sekarang telah menikah semua, telah menjadi isteri orang lain.

Hay Hay memejamkan mata sambil bersandar pada batang pohon di tepi sungai itu. Dan nampaklah bayangan gadis-gadis yang pernah dikaguminya itu! Pertama-tama tentu saja Kok Hui Lian yang biar pun lebih tua sepuluh tahun darinya, akan tetapi merupakan wanita pertama yang bercumbuan dengannya dan menjadi gurunya di dalam soal asmara karena Hui Lian telah dua kali menjanda ketika bertemu dengan dia. Sekarang Kok Hui Lian telah menjadi isteri pendekar Ciang Su Kiat.

Kemudian Bi Lian, Siangkoan Bi Lian yang kini menjadi isteri Pek Han Siong. Lalu Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong yang kini telah menjadi isteri Song Bu Kok. Kemudian Cia Ling atau Ling Ling yang kini menjadi isteri Can Sun Hok. Bahkan Mayang pun pernah menjadi calon isterinya, akan tetapi ternyata kemudian bahwa Mayang adalah adik tirinya sendiri, tunggal ayah berlainan ibu.

Tinggal Cia Kui Hong, satu-satunya gadis yang sebenarnya dicintanya sampai sekarang, tetapi kedua orang tua gadis itu tidak menyetujui perjodohan mereka. Dia pun tidak terlalu menyalahkan ayah ibu gadis itu.

Cia Kui Hong adalah puteri sepasang pendekar yang sangat terkenal, tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Ayahnya adalah ketua Cin-ling-pai, dan ibunya adalah anak Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah. Tentu saja suami isteri pendekar terkenal itu tidak dapat dipersalahkan bila mereka melarang puterinya menikah dengan keturunan penjahat cabul Si Kumbang Merah.

Dia sendiri yang menjauhkan diri dari Kui Hong pada waktu mengetahui bahwa sepasang pendekar itu tidak sudi mempunyai mantu seperti dia. Menjauhkan diri dengan hati terluka dan sejak itu dia merana walau pun dia tahu bahwa keadaan seperti itu tidaklah benar.

Hidup adalah perjuangan, berkali-kali dia meyakinkan diri sendiri. Perjuangan adalah tekad dan usaha menghadapi tantangan sebab hidup penuh dengan tantangan yang datang dari segenap penjuru, baik tantangan terhadap kesehatan, terhadap kesejahteraan, terhadap kehormatan, mau pun beribu macam lainnya. ltulah romantika hidup dan seni kehidupan terletak kepada penanggulangan semua tantangan itu! Menghadapi setiap tantangan dan mengatasinya, itulah seninya hidup! Justru ini yang membuat kehidupan menjadi berarti, beromantika, bervariasi.

Tantangan dapat merupakan keadaan yang bagaimana pahit pun. Itulah suatu kenyataan, suatu tantangan. Melarikan diri dari tantangan adalah sikap pengecut. Putus asa hanyalah permainan batin orang lemah. Hadapi setiap tantangan, setiap keadaan, setiap masalah, dengan keyakinan bahwa itu adalah suatu kewajaran, suatu bagian yang tidak terpisahkan dari hidup yang memang isinya baik buruk, senang susah itu.

Hadapi dan usahakan sekuat tenaga untuk mengatasinya. Itulah perjuangan dan seninya! Landasannya hanya satu, ialah penyerahan diri kepada Tuhan, lahir batin, dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Ikhlas kalau perjuangan gagal, karena yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baru dapat terjadi setelah dikehendaki Tuhan. Kehendak Tuhan pun jadilah, setiap saat dan di mana saja! Hasil atau gagal usaha perjuangan kita bukan masalah, yang penting adalah pelaksanaan perjuangan itu.

Hay Hay tersenyum! Dia dapat menerima kenyataan saat itu. Muka serta seluruh bagian tubuhnya berdenyut-denyut bekas pukulan orang-orang tadi. Saat itu dia menerima rasa denyut-denyut itu tanpa menilainya dan tanpa memberinya nama sebagai nyeri atau sakit. Dan yang ada hanyalah rasa denyut-denyut itu. Kalau sudah begini, sukarlah menentukan apakah rasa berdenyut-denyut itu menyusahkan atau menyenangkan, nyeri atau nyaman, derita atau nikmat!

Hay Hay merasa heran sendiri dan teringat akan suasana yang aneh itu, dia merasa lucu dan dia pun tertawa bergelak. Kalau ada orang yang melihatnya, tentu akan menganggap dia orang yang miring otaknya, tertawa-tawa seorang diri seperti itu.

Namun tiga pasang mata yang mengamati gerak-geriknya tidak menganggapnya seperti orang gila. Sebaliknya mereka mengamati penuh kewaspadaan. Mereka melihat betapa pemuda yang mereka amati itu duduk bersandar di tepi sungai. Ketika dia tertawa-tawa, batang pohon yang disandarinya ikut bergoyang-goyang! Akan tetapi yang menjadi pusat perhatian tiga orang itu bukan hanya si pemuda, tetapi terutama sekali buntalan pakaian yang berada di atas tanah dekat pemuda itu.

Mereka itu tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, berpakaian seperti orang-orang dari dunia persilatan. Yang seorang tinggi kurus, seorang lagi pendek gendut dan seorang yang terakhir brewok tinggi besar. Agaknya orang yang tinggi kurus merupakan pemimpin mereka . Dia berbisik,

"Kalian berdua harus menyerang dia secara mendadak dan nanti selagi dia membela diri, aku akan menyambar buntalan pakaiannya."

Namun Si brewok menyeringai, "Hemm, Toako," katanya dengan nada mengejek. "Perlu apa semua ini? Datangi saja dia, minta benda itu, kalau dia menolak, kita bunuh dia dan rampas bendanya, habis perkara. Cacing seperti dia itu bisa apakah? Paling-paling hanya menggoda perempuan saja. Tadi pun hampir mampus dipukuli orang-orang dusun."

"Siauwte, Jangan bantah toako," kata si gendut. "Kukira toako benar, biar pun pemuda itu tadi dipukuli oleh orang-orang dusun, akan tetapi kukira dia bukan orang sembarangan. Pertama, kalau orang sembarangan tidak mungkin menerima benda itu, dan tidakkah kau lihat ketika dia tertawa-tawa tadi? Pohon yang disandarinya itu bergoyang-goyang!"

"Sudahlah, kerjakan saja perintahku. Kalian mengambil jalan memutar, lantas menyerang dari samping kiri, sementara itu aku akan menyambar buntalannya dari sebelah sini. Nah, cepat laksanakan!" kata si tinggi kurus.

Dua orang itu segera menyelinap pergi. Gerakan mereka gesit dan ringan sekali, seperti gerakan harimau sedang mengintai korbannya. Hay Hay masih duduk bersandar pohon, akan tetapi dia tentu bukan Hay Hay apa bila tidak tahu bahwa dirinya diintai orang yang mencurigakan. Tawanya tadi pun bukan hanya mentertawakan keadaan diri sendiri, tetapi juga mentertawakan ketiga orang yang bersembunyi dan mengamatinya. Dia miskin tidak punya apa-apa, tetapi kenapa ada saja orang-orang yang mengamatinya seperti hendak merampoknya? Beberapa helai pakaian tua itukah yang akan mereka rampas?

Dengan pendengarannya yang terlatih dan amat tajam, sekarang Hay Hay yang mengikuti gerakan mereka. Dia tahu bahwa dua di antara tiga orang telah mengambil jalan memutar dan menghampirinya dari arah kiri, sedangkan yang seorang lagi menghampiri dari arah kanan. Dia pun kelihatan tenang walau pun tentu saja dia sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Karena sikapnya itu, maka ketika dua orang, yaitu orang gendut dan orang tinggi besar menubruknya seperti dua ekor singa menubruk domba, mereka hanya menerkam tempat kosong karena yang mereka terkam sudah mengelak dengan lompatan ke depan. Pada saat itu pula si tinggi kurus langsung menyambar buntalan pakaian Hay Hay yang sudah berdiri memandang mereka dalam jarak lima meter.

"Hemmm, agaknya kalian bertiga hanyalah perampok kecil yang menginginkan buntalan pakaianku. Kalau saja kalian minta terus terang, tentu pakaian butut itu akan kuberikan tanpa kalian harus menggunakan kekerasan!" kata Hay Hay.

Ditegur demikian, tiga orang itu diam saja, tetapi mereka bertiga sedang asyik membuka buntalan kemudian memeriksa isinya. Hanya terdapat beberapa potong celana dan baju, sebungkus obat-obatan, dan sisa bumbu seperti bawang, garam dan juga seguci anggur. Tidak ada apa-apanya lagi yang berharga.

Si tinggi kurus lalu menyerahkan buntalan itu kepada si brewok yang bersama si gendut segera memeriksa kembali dengan teliti, sedangkan dia sendiri menghadapi Hay Hay dan memandang tajam, lalu berkata dengan suaranya yang berwibawa.

"Hei, orang muda. Kami bukan perampok dan kami tidak menginginkan pakaianmu. Nah, keluarkanlan benda itu dan serahkan kepada kami. Kami akan berterima kasih dan tidak akan mengganggumu lagi."

Hay Hay memandang heran, "Ehhh? Bukan perampok akan tetapi menyerang orang dan menyambar buntalan pakaian? Dan engkau minta benda apakah, Paman? Aku hanyalah seorang perantau miskin yang tidak punya uang." Hay Hay segera teringat akan mustika batu kemala yang tergantung di lehernya, di balik bajunya.

Tadi ketika dia dipukuli orang-orang dusun, dia masih ingat untuk melindungi batu mustika itu sehingga tidak terpukul atau terenggut lepas. Dia tidak akan merasa heran kalau ada orang kang-ouw menghendaki batu mustika itu, karena mereka tentu tidak segan-segan mempergunakan kekerasan untuk merampas mustika itu kalau para tokoh kang-ouw itu mengetahuinya. Batu kemala itukah yang dikehendaki tiga orang ini?

Dia menerima batu mustika itu sebagai hadiah dari Kwan Taijin, seorang jaksa tinggi yang bijaksana dari kota Siang-tan. Batu giok (kemala) itu memiliki khasiat yang sangat ampuh sebagai obat dan penolak segala macam racun. Warnanya hijau dengan belang-belang merah dan selalu tergantung di lehernya, tersembunyi di balik baju. Tentu benda mustika itulah yang dimaksudkan tiga orang ini.

"Orang muda, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Cepat serahkan gulungan surat yang kau terima dari Yu Siucai!"

Hay Hay terkejut. Ahh, ternyata itu yang dikehendaki tiga orang ini. Gulungan surat yang dia terima dari kakek bijaksana yang tewas oleh anak panah si pecemburu pendek cebol itu! Dia memang sudah menduga bahwa benda itu sangat penting, maka dia pun selalu menyimpan surat itu di dalam saku baju bagian dalam dan saat ini pun benda itu berada di balik bajunya.

Dia tidak tahu apa isi surat gulungan itu, tetapi mengingat bahwa surat itu diterimanya dari seorang kakek yang sangat bijaksana dan harus diserahkan kepada salah satu di antara dua menteri setia yang paling dia hormati, yaitu Menteri Cang Ku Ceng atau Menteri Yang Ting Hoo, maka dia merasa yakin bahwa benda itu sangat penting. Bagaimana tiga orang ini dapat mengetahui bahwa dia menerima benda itu dari kakek bijaksana yang ternyata oleh si tinggi kurus ini disebut Yu Siucai (Sasterawan Yu)?

"Ahh, kiranya surat itukah yang kalian cari? Benda itu adalah wasiat seorang yang sudah meninggal dunia yang ditinggalkan kepadaku. Tidak mungkin kuberikan kepada siapa pun juga kecuali mereka yang berhak menerima."

Kini buntalan itu sudah dirapikan kembali dan diletakkan di tempatnya semula. Perbuatan ini saja menunjukkan bahwa tiga orang itu bukan orang-orang kasar atau liar, melainkan mengenal sopan santun. Akan tetapi mendengar ucapan Hay Hay, mereka bertiga segera maju menghadapi Hay Hay dan si tinggi kurus berkata dengan suara membujuk.

"Orang muda, benda itu amat penting bagi kami, tapi sebaliknya tidak ada artinya bagimu. Serahkan saja kepada kami, maka kami akan memberi hadiah yang cukup banyak. Lihat, sekantong emas ini akan kuberikan kepadamu sebagai penukar gulungan surat itu. Cepat serahkan kepada kami!"

Hay Hay melihat kantong yang dikeluarkan si tinggi kurus. Dia menjadi semakin heran. Emas di dalam kantong itu ditaksirnya tidak kurang dari dua kati, merupakan harta yang cukup banyak. Juga sikap ini memperlihatkan bahwa dia tidak berhadapan dengan orang-orang kasar yang biasanya melakukan perampasan. Mereka ini menawarkan emas untuk membeli gulungan surat itu! Makin dihargai orang, semakin menarik pula sesuatu benda. Emas dan permata menjadi mahal harganya karena dihargai orang.

"Maaf, Paman. Tidak mungkin aku dapat menjual wasiat yang dititipkan orang yang sudah mati. Aku akan berdosa besar, Paman. Sudahlah, harap Paman bertiga tidak memaksaku menjadi orang yang mengkhianati pesan wasiat seorang tua terhormat. Aku yakin Paman bertiga bukan orang-orang sembarangan dan tahu akan budi pekerti yang baik."

Si brewok meloncat mendengar ucapan itu. "Heii, orang muda, jangan berlagak dan coba-coba untuk menguliahi kami! Sebaiknya kau serahkan benda itu atau terpaksa aku akan memaksamu!"

Si tinggi kurus memberi isyarat dengan tangan agar kawannya itu diam, lalu dia kembali menghadapi Hay Hay. "Orang muda, ketahuilah bahwa benda itu amat berbahaya. Tentu engkau tidak ingin melihat bangsamu sendiri saling bermusuhan kemudian terjadi perang saudara yang mengorbankan nyawa ribuan orang bangsa sendiri, bukan?"

Tentu saja Hay Hay terkejut mendengar ini. "Paman, apa maksudmu? Apa sih gulungan surat ini dan mengapa dapat mengakibatkan perang saudara?"

"Toako, perlukah berbicara panjang lebar dengan bocah ini? Kalau dia berkeras tidak mau menyerahkan, biar kurampas darinya!" kata si gendut kehilangan kesabaran.

Akan tetapi si tinggi kurus agaknya seorang yang berhati-hati dan berpandangan tajam. Tadi dia sempat melihat betapa mudahnya pemuda itu menghindarkan diri dari terkaman dua orang kawannya, maka dia dapat menduga bahwa pemuda itu, biar pun tadi dijadikan bulan-bulan pukulan para penduduk dusun, tentu mempunyai ilmu kepandaian yang cukup tangguh. Dia memberi isyarat kepada si gendut untuk diam.

"Orang muda, ketahuilah bahwa gulungan kertas yang ada padamu itu berisi surat fitnah yang dapat mengadu domba. Sama sekali tak ada hubungannya dengan dirimu. Surat itu harus dimusnahkan agar jangan menimbulkan kekacauan dan perang saudara. Nah, tentu engkau adalah orang yang cukup gagah dan tak ingin melihat timbulnya perang saudara, bukan?"

"Tentu saja aku tidak ingin timbul perang saudara, Paman. Akan tetapi aku pun tidak ingin menyerahkan wasiat itu kepada siapa pun juga kecuali kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan pesan mendiang kakek itu," kata Hay Hay dengan tegas.

"Siapa yang kau maksudkan dengan yang berhak itu?"

Hay Hay menatap wajah kakek tinggi kurus itu, menduga-duga siapakah mereka bertiga ini dan mengapa pula mereka ini berkeras hendak memiliki gulungan surat itu. Siapa yang berhak menerima wasiat itu adalah rahasianya sendiri, tidak perlu diberi tahukan kepada orang lain. Dia mengambil keputusan untuk merahasiakan pesan kakek bijaksana itu.

"Aku tidak dapat memberi tahu kepada siapa pun, Paman."

"Bocah sombong!" tiba-tiba si brewok berteriak, "Tidak perlu banyak cakap lagi, serahkan surat itu!"

鈥淗ayo berikan kepada kami kalau tidak ingin kami hajar seperti ketika kau dihajar orang-orang dusun itu!" teriak pula si gendut.

Hay Hay tertegun. Kiranya mereka ini mengetahui ketika dia dikeroyok dan dipukuli orang-orang dusun. Kalau begitu agaknya mereka sudah lama membayanginya atau melakukan pengejaran terhadap dirinya. Mungkin mereka mengetahui bahwa dia menerima gulungan surat dari kakek itu jauh hari sebelumnya. Padahal yang mengetahui bahwa dia menerima gulungan surat itu hanyalah suami cebol pencemburu itu.

Tentu tiga orang ini mendengar dari si cebol itu! Dia merasa gemas sekali kepada si cebol yang membuka rahasia itu. Ataukah tiga orang ini masih mempunyai hubungan dengan si cebol yang juga dapat dibilang memiliki ilmu kepandaian yang lumayan itu?

Kini si tinggi kurus tidak melarang dua orang kawannya, bahkan dia pun berkata dengan suara bernada mengancam, "Orang muda, kami bertiga bukanlah orang-orang yang biasa memaksakan kehendak. Tetapi sekali ini, karena surat itu amat penting bagi keselamatan rakyat, maka terpaksa kami akan mempergunakan kekerasan apa bila engkau tidak mau menyerahkan dengan cara baik-baik."

"Maaf, aku tidak dapat menyerahkan." kata Hay Hay.

Dan dengan sikap tenang dia pun mengambil buntalan pakaiannya, mengikatkan buntalan itu di punggungnya dan bersiap meninggalkan mereka. Tiga orang itu saling pandang dan akhirnya si tinggi kurus mengangguk, memberi isyarat untuk turun tangan.

"Orang muda, engkau mencari penyakit sendiri!" teriak si brewok.

Dia pun sudah menerjang dengan serangan dahsyat ke arah Hay Hay. Agaknya si brewok ini merasa yakin bahwa dengan sekali hantaman yang sangat kuat itu, dia akan berhasil merobohkan Hay Hay untuk digeledah dan dirampas gulungan surat itu darinya.

Akan tetapi Hay Hay cepat mengelak sambil tetap melanjutkan kesibukan dua tangannya mengikatkan ujung kain buntalan di depan dada. Dengan enak saja dia mengelak, seolah serangan itu sama sekali tidak berbahaya dan nampak amat lambat baginya! Padahal si brewok itu menyerang dengan pengerahan tenaga dan cepat sekali sehingga terdengarlah suara angin bersiut ketika tangan yang besar itu menyambar.

Pukulan itu mengenai tempat kosong, dan pada saat itu si gendut sudah menggelundung seperti trenggiling menuju ke arah Hay Hay. Dengan sekali melompat dia sudah mengirim totokan tiga kali berturut-turut.

"Hemmm...!" Hay Hay kembali mengelak dengan loncatan jauh ke samping dan di sini dia segera disambut oleh sambaran tangan kakek tinggi kurus yang mencengkeram ke arah pundaknya, agaknya hendak menangkapnya seperti seekor rajawali menerkam kelinci.

"Plakkk!"

Hay Hay menangkis dan kakek tinggi kurus itu terkejut. Bukan saja tangannya terpental, akan tetapi dia juga merasa nyeri dan lengannya tergetar hebat oleh tangkisan itu.

Hay Hay tak mau membuang tenaga dan waktu untuk melayani tiga orang itu, karena itu begitu mendapat kesempatan dia lalu melompat pergi.

"Selamat tinggal, Paman-paman!" katanya.

Melihat pemuda itu melarikan diri, tiga orang itu cepat mengejar. Si brewok menggerakkan tangan kanannya.

"Singgg...!"

Sebatang pisau pendek yang runcing mengkilap menyambar ke arah punggung Hay Hay. Pemuda ini tiba-tiba membalik, lantas menangkap pisau itu dari samping dengan tangan kirinya.

"Wirrrrr...!"

Si gendut juga melepaskan senjata rahasia berupa piauw. Melihat menyambarnya senjata rahasia itu, Hay Hay melemparkan pisau pendek yang tadi ditangkapnya.

"Tranggg...!" Pisau dan piauw bertemu di udara dan keduanya runtuh.

Hay Hay berlari terus. Tiga orang itu mengejar, namun pemuda itu dapat bergerak dengan amat cepatnya, seperti terbang saja.

"Tarrr...! Siuuuutttt...!"

Hay Hay terkejut bukan main. Nyaris kepalanya termakan peluru panas yang lewat dekat telinganya. Begitu meledak peluru telah tiba di dekat telinganya. Betapa cepatnya senjata rahasia itu dan tahulah dia bahwa tentu kakek tinggi kurus itu mempergunakan senjata api, yaitu senjata rahasia yang dibawa orang-orang kulit putih dan terkenal sangat ampuh dan berbahaya.

Banyak sudah ahli-ahli silat yang tewas oleh senjata api seperti itu, senjata yang mampu memuntahkan peluru dengan kecepatan yang sukar untuk dapat dielakkan. Masih untung bidikan si tinggi kurus itu kurang sempurna sehingga peluru itu lewat di dekat telinganya, nyaris mengenai kepalanya. Beberapa sentimeter saja menyimpang maka peluru itu akan menembus kepalanya dan dia tentu sudah roboh tewas! Sungguh berbahaya!

Hay Hay melompat jauh ke depan, lalu berlari cepat seperti orang terhuyung ke kanan kiri sehingga sukarlah bagi si tinggi kurus untuk membidikkan lagi pistolnya. Sebentar saja Hay Hay sudah jauh meninggalkan mereka, kemudian lenyap di balik pohon-pohon di tepi sungai.

Setelah merasa yakin bahwa tiga orang itu tidak mengejarnya lagi dan dia terlindung oleh kegelapan malam yang mulai tiba, terpaksa malam itu dia tinggal di pinggir sungai setelah melewati dua buah hutan. Di situ terdapat lapangan rumput yang terlindung oleh beberapa batang pohon besar. Karena lapangan itu cukup luas, maka dia dapat melihat kalau ada orang datang menuju ke tempat itu. Kini dia harus waspada sesudah mengetahui bahwa ada orang-orang lihai yang mencarinya.

Hay Hay merebahkan diri di atas rumput dan hingga jauh malam dia tidak tidur, melainkan hanya termenung. Setelah keadaan amat sunyi dan bulan sepotong telah mulai menyinari tempat itu, dia lalu membuat api unggun kecil agar mendapat penerangan karena dia ingin sekali melihat gulungan surat yang dititipkan kepadanya.

Tadinya sedikit pun tidak ada keinginan dalam hatinya untuk mengetahui apa isi gulungan surat itu. Ia hanya mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja kemudian menyerahkan gulungan surat itu kepada Menteri Cang atau Menteri Yang. Apa pun isi gulungan surat itu tidak penting dia ketahui karena tak ada sangkut pautnya dengan dia. Lagi pula dia harus menghormati wasiat dari kakek bijaksana itu.

Akan tetapi kini persoalannya menjadi lain. Dari tiga orang itu dia mendengar bahwa surat itu amat penting karena dapat menimbulkan perang saudara! Hal inilah yang membuat dia ingin sekali tahu, bukan saja untuk melampiaskan rasa penasaran dan keinginan tahunya, melainkan juga untuk menjaga kalau-kalau surat itu akhirnya terampas orang. Apa bila dia sudah mengetahuinya, maka secara lisan dia masih bisa melaporkan isi surat itu kepada seorang di antara dua menteri itu, biar pun surat itu terampas oleh orang lain,.

Di bawah sinar bulan sepotong dan dengan bantuan sinar api unggun kecil, dia membuka gulungan surat itu. Tulisan tangan itu amat indah dan isinya singkat padat. Ternyata isinya merupakan sebuah laporan tentang keadaan di kota Cang-cow di Propinsi Hok-kian.

Dilaporkan bahwa orang-orang kulit putih bangsa Portugis yang banyak tinggal di kota itu sekarang telah membangun sebuah benteng. Orang-orang kulit putih itu juga mengadakan persekutuan dengan para bajak laut Jepang dan dengan Pek-lian-kauw. Persekutuan ini mulai mempengaruhi para pejabat tinggi di Cang-cow, bahkan kepala daerah juga sudah mereka tempel dan mereka pengaruhi. Ada tanda-tanda bahwa orang-orang kulit putih, bajak laut Jepang dan gerombolan Pek-lian-kauw itu siap untuk mendorong kepala daerah dan sekutunya agar melakukan pemberontakan.

Surat laporan itu dibuat oleh Yu Siucai. Putera Yu Siucai yang menjadi jaksa di Cang-cow telah dibunuh bersama seluruh keluarganya, sebab berani menentang persekutuan itu dan berusaha menyadarkan atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow. Hanya Yu Siucai yang berhasil lolos, lantas dia membuat surat laporan itu dan hendak menghadap Menteri Cang atau Menteri Yang di kota raja. Namun nasib membuat dia tewas oleh anak panah suami cebol pencemburu.

Sesudah membaca gulungan surat itu, Hay Hay cepat-cepat menyimpannya kembali dan kini mengertilah dia. Bukan perang saudara yang menjadi akibat dari surat itu apa bila dia sampaikan ke kota raja, melainkan pembersihan! Tentu seorang di antara kedua Menteri itu akan melapor kepada kaisar, kemudian pasukan besar akan dikerahkan ke Cang-cow untuk membasmi pemberontak.

Jelas bahwa tiga orang itu merupakan orang-orang dari persekutuan itu yang bermaksud menghalangi agar surat laporan itu tidak sampai ke tangan kedua menteri itu. Pantas saja si tinggi kurus itu pandai menggunakan pistol, kiranya merupakan anak buah persekutuan orang kulit putih!

Karena surat itu dianggapnya sangat penting, Hay Hay segera memadamkan api unggun dan tidak jadi bermalam di tepi sungai itu. Malam itu juga dia melanjutkan perjalanan. Dia harus cepat tiba di kota raja untuk menyerahkan surat laporan itu kepada yang berhak.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Sebenarnya apakah yang terjadi di kota Cang-ouw di Propinsi Hok-kian? Isi surat laporan itu memang benar, menceritakan keadaan yang sesungguhnya sedang bergejolak secara diam-diam dan rahasia di kota itu.

Sesuai sejarah, orang-orang bangsa Portugis merupakan orang kulit putih pertama yang menjelajah ke Asia. Ketika para pelaut Portugis itu pertama kali mendarat di Cina, mereka diterima dengan baik dan senang hati oleh pemerintah setempat dan rakyat, diperlakukan sama dengan orang-orang asing yang sudah jauh lebih dahulu berkunjung dan berdagang di Cina, seperti orang-orang Arab dan Melayu yang semenjak puluhan tahun yang lampau sudah berdatangan dan berdagang dengan tenteram dan saling menguntungkan dengan rakyat Cina.

Kapal pertama orang-orang Portugis yang mendarat adalah kepunyaan Perestrello. Anak kapal yang dipimpin oleh Perestrello ini diterima dengan ramah dan mereka diperbolehkan berdagang tukar-menukar barang di darat. Beberapa bulan kemudian datang empat buah kapal besar dipimpin oleh De Andrada yang ditugaskan mengantarkan seorang duta yang juga merupakan pejabat tinggi Portugis di Goa.

Rombongan empat kapal ini pun diterima dengan amat baik seperti bangsa-bangsa asing lainnya, bahkan rombongan duta Portugis diantar ke Peking untuk menghadap Kaisar dan seperti lajimnya pada waktu itu, para pedagang ini membawa semacam upeti atau hadiah yang akan dibalas dengan hadiah lain dari kaisar. Tali persahabatan pertama diikat.

Namun kemudian terdengar desas-desus yang tidak enak selagi rombongan duta Portugis masih berada di kota raja. Dikabarkan dan berita ini sampai ke istana bahwa orang-orang Portugis yang semula datang sebagai pedagang yang ramah itu mulai menunjukkan sifat asli mereka setelah memperoleh kesempatan tinggal di darat. Bagaikan harimau berkedok domba mereka mulai mengganas dan melakukan berbagai perbuatan kekerasan dengan mengandalkan senjata api, bahkan melawan pemerintah setempat, mendirikan kedaulatan dan kekuasaan mereka sendiri.

Juga terdengar berita bahwa orang-orang Portugis yang berada di Kanton, yang dipimpin oleh Kapten Simon De Andrada, sering kali melakukan pembajakan di sepanjang sungai Mutiara (Muara Kwang-tung). Selain merampoki perahu-perahu bahkan juga membunuh, menculik dan memperkosa wanita! Semakin lama gerombolan orang Portugis itu semakin liar dan jahat.

Mendengar ini pasukan keamanan daerah di Kanton segera mengambil tindakan. Mereka lantas menyerang orang-orang Portugis dan berhasil mengusir kapal-kapal Portugis keluar dari muara itu. Ternyata orang-orang Portugis itu adalah bajak-bajak laut yang menyamar sebagai pedagang.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1522, ketika armada kapal Portugis yang dipimpin oleh Alphonso de Mello muncul di perairan Kanton, mereka lantas diserang oleh armada kapal Cina. Setelah terjadi pertempuran di lautan, kapal-kapal Portugis itu berhasil diusir dan sebuah kapal dapat ditangkap. Para anak buah kapal itu lalu dihukum sebagai bajak-bajak laut. Sejak saat itu hingga puluhan tahun lamanya tidak terdengar lagi tentang orang-orang Portugis.

Pada tahun 1542, yaitu enam tujuh tahun yang lampau, akhirnya muncul lagi kapal-kapal Portugis di pantai Cina. Namun pengalaman dua puluh enam tahun yang silam membuat mereka tidak berani mendarat di kota Kanton. Sekarang mereka memilih kota Ning-po di Propinsi Cekiang, yaitu di bagian utara, dan di sini mereka diterima dengan baik oleh para pejabat di Ning-po.

Waktu yang sudah dua puluh tahun itu agaknya membuat rakyat lupa dengan peristiwa di Kanton. Rakyat dan para pejabat di kota Ning-po menerima orang-orang Portugis dengan ramah seperti mereka menerima bangsa-bangsa asing lain yang datang berkunjung untuk berdagang.

Mula-mula orang-orang Portugis bisa membawa diri dan mereka melakukan perdagangan yang makin lama semakin besar tapi menguntungkan kedua pihak. Lalu semakin banyak kapal Portugis datang ke Ning-po, dan semakin banyak pula orang-orang Portugis tinggal di Ning-po. Dalam waktu kurang lebih dua tahun saja sudah terdapat tidak kurang dari tiga ribu orang Portugis yang tinggal di pelabuhan ini.

Akan tetapi, sesudah orang-orang Portugis ini merasa diri kuat karena mereka berjumlah banyak, terlebih lagi mengandalkan senjata api mereka, maka mulailah tampak lagi watak mereka yang seperti bajak laut, apa lagi sesudah mereka dalam keadaan mabuk. Bahkan mereka lantas membangun sebuah tembok benteng yang kokoh untuk melindungi warga mereka, lengkap dengan meriam-meriam mereka.

Mereka mulai memperlihatkan kekuasaannya, memandang rendah kepada kaum pribumi. Dengan mudah mereka memukul bahkan membunuh orang, menculik serta memperkosa wanita. Akhirnya para pejabat mendapat peringatan dari kota raja yang sudah mendengar tentang keadaan di Ning-po. Pemerintah mengerahkan pasukan besar menyerbu benteng Portugis itu dan terjadilah pertempuran hebat. Akhirnya benteng itu pun bobol dan mereka yang tidak sempat melarikan diri ke kapal mereka, dibunuh.

Demikianlah, dua peristiwa permusuhan terhadap orang-orang Portugis terjadi di Kanton pada tahun 1522 dan di Ning-po pada tahun 1542. Tetapi seperti semut yang tertarik oleh gula, setelah beberapa tahun tidak memperlihatkan diri, beberapa orang Portugis kembali bermunculan di Cang-cow di Propinsi Hok-kian.

Sekitar tahun 1548 itu, kota Cang-cow merupakan sebuah kota yang sangat terkenal bagi orang-orang di luar Cina. Bahkan semenjak beberapa abad yang silam bangsa Arab dan Melayu sudah menjadi pedagang-pedagang yang berhubungan sangat baik dengan kaum pribumi, melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Bangsa Arab mengenal kota Cang-cow sebagai kota Jaitun seperti tercatat dalam sejarah mereka.

Di kota yang dengan tangan terbuka menerima hubungan dagang dengan semua bangsa asing ini, bangsa Portugis juga diterima tanpa banyak kecurigaan. Maka mulailah orang-orang Portugis berdatangan untuk berdagang dan di tempat inilah orang-orang Portugis itu menggunakan siasat lain.

Mereka sudah berpengalaman, maka kini mereka melakukan perdagangan dan bersiasat halus. Bukan saja mereka terorganisir, bahkan mereka dipimpin oleh seorang berpangkat kolonel bernama Simon De Andrada, putera dari mendiang Simon De Andrada yang juga pernah memimpin orang-orang Portugis yang kemudian melakukan pembajakan di sekitar sungai Mutiara dan muara Kwan-tung.

Kolonel Simon De Andrada yang telah mendapat pesan dari atasannya melakukan siasat yang halus, menekan anak buahnya secara keras agar mereka tak melakukan kejahatan. Bahkan Kolonel Simon De Andrada ini melakukan pendekatan dan berhasil menyuap dan berhubungan baik sekali dengan para pejabat tinggi di Cang-cow. Di samping itu dia pun melakukan hubungan dengan orang-orang dari Pek-lian-kauw, juga dengan para pimpinan bajak laut Jepang.

Dengan taktik seperti ini mulailah orang-orang Portugis menancapkan kuku-kuku mereka di Cang-cow dan karena para pejabat sudah menjadi sekutu mereka, maka laporan para pejabat ke kota raja selalu memuji-muji orang-orang Portugis. Mereka dikatakan sebagai pedagang-pedagang yang mendatangkan keuntungan bagi Tionggoan dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat di daerah Cang-cow!

Seperti yang sudah-sudah, bangsa Portugis kembali mendirikan sebuah benteng di dekat laut, benteng besar di mana semua bangsa Portugis tinggal untuk memudahkan mereka berlindung kalau terjadi sesuatu. Akan tetapi Kolonel Simon De Andrada memberi alasan bahwa benteng itu digunakan untuk memusatkan anak buahnya agar mereka lebih mudah dapat diawasi dan diatur.

Para pejabat yang sudah kenyang menerima sogok dan suap hanya mengangguk-angguk membenarkan saja. Padahal bangsa asing lainnya, seperti bangsa Arab dan Melayu, tak ada yang membuat benteng, tak ada pula yang membawa pasukan bersenjata, melainkan tinggal bersama rakyat di kampung-kampung, walau pun mereka itu tetap berkelompok.

Karena keadaan di Cang-cow dianggap aman dan menyenangkan, bangsa Portugis mulai mendatangkan sanak keluarga mereka, wanita dan anak-anak, bahkan mereka pun mulai mendirikan sekolah untuk keperluan anak-anak mereka, juga membangun tempat ibadah dan mendatangkan pendeta-pendeta.

Kolonel Simon De Andrada mempunyai dua orang pembantu yang sangat dipercaya dan diandalkan. Yang seorang adalah Kapten Armando yang kini berusia lima puluhan tahun. Kapten Armando hanya datang bersama puterinya yang bernama Sarah, sebab dia adalah seorang duda yang sudah bercerai dari isterinya. Sedangkan orang ke dua yang menjadi pembantu utama kolonel itu adalah Kapten Gonsalo yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan masih membujang.

Kapten Armando adalah seorang pria setengah tua yang berwajah ganteng sekali, dengan rambut keemasan, matanya biru dan hidungnya yang mancung tidak terlampau besar dan panjang. Mulutnya membayangkan keberanian dan dagunya yang berlekuk membuat dia nampak jantan, apa lagi ditambah dengan kumisnya yang melintang dan jenggotnya yang tidak terlalu panjang. Wajah seorang laki-laki yang berwatak keras, namun sinar matanya yang biru laut itu nampak lembut.

Puterinya, Sarah Armando, adalah seorang gadis berusia tujuh betas tahun, cantik jelita dengan raut wajah mirip ayahnya. Rambutnya kuning keemasan, matanya juga biru dan amat jernihnya, tenang menghanyutkan seperti air laut. Biar pun usianya baru tujuh betas tahun, namun tubuhnya sudah dewasa dan matang, dengan lekuk-lengkung sempurna.

Bagaikan setangkai bunga, Sarah sedang mekar dan semerbak harum, karena itu tidaklah mengherankan apa bila para pria Portugis, bahkan juga bangsa lain, bagaikan kumbang-kumbang kehausan madu kalau melihatnya. Namun meski pun dara ini lincah jenaka dan berwatak gembira, dia sama sekali tidak genit dan tidak pernah mau memberi hati kepada pria mana pun juga sehingga tidak ada pria yang berani menggodanya.

Kehormatan seorang wanita memang terletak pada sikapnya apa bila berhadapan dengan pria. Kerlingnya, senyumnya, gerak-gerik dan suaranya, semua itu dapat menunjukkan apakah wanita itu dapat digoda ataukah tidak.

Seorang wanita yang menjaga kehormatan dan pandai menjaga diri akan bersikap tenang dan terbayang keagungan pada setiap gerak-geriknya, membuat pria merasa segan dan sungkan untuk bersikap kurang ajar, karena wanita semacam ini seolah-olah setiap saat dapat meledak marah kalau diganggu secara tidak layak dan tidak sopan.

Sebaliknya, setiap orang pria sudah pasti condong untuk menggoda wanita yang sikapnya genit, yang pembawaannya seakan merupakan tantangan, dengan kerling tajam memikat, senyum menantang. Dengan sikap seperti ini otomatis wanita itu telah membanting harga dirinya dan setiap orang pria akan senang sekali menggodanya!

Kapten Gonsalo, pembantu Kapten Armando dan merupakan orang ke dua yang menjadi pembantu dan kepercayaan Kolonel Simon De Andrada, adalah seorang di antara mereka yang tergila-gila kepada Sarah. Dia yang masih membujang dan sudah berusia tiga puluh tahun itu memang memiliki lebih banyak harapan untuk menang berlomba mendapatkan diri Sarah.

Dia seorang kapten, pembantu ayah gadis itu sehingga paling dekat hubungannya dengan Sarah. Juga Kapten Gonsalo adalah seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar, ganteng dan jantan, dengan kumis tipis dan dagu dicukur bersih sehingga terlihat kebiruan karena jenggotnya memang tebal andai dibiarkan tumbuh.

Biar pun biasanya Kapten Gonsalo ini adalah seorang laki-laki yang amat kasar dan suka memamerkan kekuasaan dan kekuatannya, apa lagi karena dia seorang jago tinju dan ahli tembak, namun di depan Sarah dia dapat bersikap lunak dan jinak seperti seekor domba! Dengan segala daya dia berusaha untuk memikat hati gadis yang sudah membuat dirinya tergila-gila itu.

Selain kuat Kapten Gonsalo juga seorang yang mempunyai ambisi besar, dan amat cerdik pula. Oleh karena itu dia bisa menjadi orang kepercayaan Kolonel Simon De Andrada dan diperbantukan kepada Kapten Armando. Setengah tahun yang lalu Kapten Gonsalo malah pernah diutus oleh sang kolonel untuk pergi ke kota raja menghadap kaisar, namun tentu saja diantar oleh pejabat daerah.

Di hadapan kaisar, atas nama Kolonel Simon De Andrada serta seluruh bangsa Portugis, Kapten Gonsalo menghaturkan salam sambil tidak lupa menyerahkan hadiah yang berupa benda-benda berharga dari Portugis. Yang amat menyenangkan hati Kaisar Cia Ceng dari Kerajaan Beng adalah hadiah yang berupa sebuah senjata api pistol yang dilapisi emas! Karena itu ketika meninggalkan istana Kapten Gonsalo juga membawa hadiah yang cukup berharga dari kaisar untuk disampaikan kepada Kolonel Simon De Andrada.

Sejak diterimanya utusan itu oleh kaisar maka semakin dekat pula hubungan para pejabat daerah dengan orang Portugis, dan bangsa ini kemudian dianggap sebagai bangsa yang diterima baik oleh kaisar sendiri!

Demikian pandainya orang-orang Portugis di Cang-cow membawa diri sehingga tidak ada seorang pun pejabat tinggi di kota raja yang curiga terhadap mereka. Jangankan kaisar, sedangkan dua menteri tertinggi yang merupakan tulang punggung pemerintahan kaisar, yaitu Menteri Cang Ku Ceng dan Menteri Yang Ting Hoo, tidak mengetahui akan bahaya yang mengancam dari persekutuan gelap di Cang-cow itu.

Ketika beberapa bulan yang lampau seorang jaksa di Cang-cow, yaitu Jaksa Yu, melihat persekutuan itu, tentu saja dia terkejut dan cepat-cepat menemui atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow. Jaksa Yu hendak menyadarkannya betapa tidak benarnya persekutuan dengan orang-orang Portugis, bahkan dengan para bajak laut Jepang dan pemberontak Pek-lian-kauw.

Kepala daerah itu menjadi terkejut. Dia tahu bahwa Jaksa Yu seorang yang sangat setia dan jujur. Kalau kini dia sudah tahu akan rahasia itu, tentu dia akan melapor ke kota raja. Maka kepala daerah itu cepat mengambil tindakan tegas. Jaksa Yu sekeluarga ditangkap, dituduh hendak memberontak dan dijatuhi hukuman mati! Maka habislah seluruh keluarga Jaksa Yu dan berarti aman pula rahasia persekutuan itu.

Akan tetapi kemudian barulah kepala daerah mendengar bahwa ayah dari Jaksa Yu yang sudah tua, yaitu Yu Siucai yang ketika itu kebetulan sedang keluar kota, sudah lolos dari pembasmian sekeluarga itu. Karena khawatir bahwa kakek itu tahu pula mengenai rahasia persekutuan mereka, maka dengan bantuan dari para sekutunya, mereka lalu mengutus pembunuh-pembunuh untuk melakukan pengejaran dan membunuh Yu Siucai.

Mereka tidak tahu benar apakah rahasia itu terbawa oleh Kakek Yu, akan tetapi mereka tetap khawatir. Setelah melihat kakek itu tewas, para pembunuh itu lalu mengejar-ngejar seorang pemuda yang berada di dekat kakek itu sebelum Yu Siucai meninggal dunia. Dan pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay seperti yang telah diceritakan di bagian depan.

Meski pun kakek Yu sudah tewas, tetap saja kepala daerah merasa khawatir dan mulailah ia melakukan pembersihan, menangkapi pejabat-pejabat yang dianggapnya dekat dengan Jaksa Yu. Banyak orang tak berdosa ikut ditangkap, bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa juga tertangkap dan dihukum mati dengan tuduhan memberontak!

Pada suatu pagi di dalam benteng tempat tinggal orang-orang Portugis. Di sebuah gedung terbesar dalam perbentengan itu, semenjak pagi sekali Sarah sudah bangun dari tidurnya, lalu mandi sambil bernyanyi-nyanyi gembira menyaingi burung-burung yang riuh berkicau di pohon-pohon yang tumbuh di taman dalam benteng itu. Setelah bertukar pakaian dara ini lalu membantu pelayan membuatkan sarapan pagi untuk ayahnya dan dia sendiri.

Pagi itu dia merasa gembira bukan kepalang karena kemarin ayahnya sudah berjanji akan mengajaknya naik kuda ke perbukitan di luar kota Cang-cow. Memang sejak kecil gadis ini mempunyai kegemaran menunggang kuda dan bahkan ketika berusia dua belas tahun dia pernah menggondol kejuaraan menunggang kuda di negerinya.

Setelah mengikuti ayahnya ke Cina dan tinggal di dalam perbentengan kota Cang-cow, ia tidak pernah meninggalkan kegemaran ini. Akan tetapi dia merasa kurang leluasa karena berada di negeri asing dan hidup terkurung di dalam benteng. Ia hanya bisa menunggang kuda dan berputar-putar di dalam benteng atau kalau pun diperbolehkan ayahnya berkuda keluar benteng, dia tidak boleh seorang diri tetapi harus ada pengawal.

Tidak begitu menyenangkan berkuda di dalam kota, karena selain jalan-jalan terlalu ramai sehingga dia harus menunggang kuda yang dijalankan dengan perlahan, dia pun menjadi tontonan. Akan tetapi kalau sekali waktu ayahnya mengajaknya menunggang kuda keluar kota, ke bukit-bukit, ke padang rumput, sungguh dia baru dapat menikmati kegemarannya itu. Dia dapat melarikan kudanya dengan bebas tanpa gangguan! Dan kemarin ayahnya menjanjikan untuk mengajak puterinya pagi hari ini berkuda di perbukitan di luar kota!

Sesudah menghidangkan roti panggang dengan mentega, selai dan telur mata sapi yang menjadi kegemaran ayahnya, Sarah lalu menghampiri kamar ayahnya. Diketuknya pintu kamar itu. Hanya dia seoranglah yang berani mengetuk pintu kamar ayahnya sepagi itu! Apa bila orang lain yang mengganggunya sepagi itu, tentu Kapten Armando akan marah sekali.

Ketika pintu terketuk, terdengar dia sudah menyumpah-nyumpah, lantas terdengar sandal diseret dan daun pintu terbuka. Wajah yang masih kusut dan sudah siap untuk memaki itu tiba-tiba saja menjadi cerah dan mulut yang cemberut berubah menjadi senyuman ramah. Memang lelaki setengah tua ini sangat mencinta puterinya yang merupakan anak tunggal dan merupakan satu-satunya orang yang dekat dengan dia. Dia mengasihi Sarah melebihi dirinya sendiri.

"Selamat pagi, Ayah!" kata Sarah, tidak peduli melihat ayahnya yang tampak masih belum sadar benar dari tidurnya.

"Selamat pagi, Sarah. Dan sepagi ini engkau telah menggugah ayahmu?" teguran ini lebih merupakan salam dari pada kemarahan.

"Maafkan aku, Ayah. Agaknya Ayah lupa akan janjimu padaku. Bukankah kemarin Ayah berjanji akan mengajak aku berkuda diperbukitan? Semakin pagi kita berangkat, semakin indah menyenangkan, Ayah. Hayo, mandilah, sarapan pagi sudah kusediakan!"

Kapten Armando memandang kepada puterinya dengan mata dibelalakkan, kemudian dia menepuk kepala sendiri, "Ahh, semalam aku minum terlalu banyak anggur, terlalu banyak hal penting yang dibicarakan dengan para pejabat sehingga aku sampai lupa memberitahu kepadamu semalam. Aihh, sayangku, sungguh aku menyesal sekali, akan tetapi pagi hari ini ayahmu tidak mungkin dapat menemanimu..."

"Ayah...!" Sarah merajuk. Bibirnya yang merah basah itu cemberut, alisnya berkerut dan matanya yang lebar itu tiba-tiba saja menjadi basah.

Kapten Armando melangkah maju dan merangkul puterinya, diajaknya masuk ke kamar, lantas diajaknya duduk di atas kursi panjang yang lunak. "Anakku, jangan kecewa. Bukan ayahmu tidak suka menemanimu, akan tetapi pagi ini tak mungkin aku dapat pergi karena aku harus menghadiri pelaksanaan hukuman pemberontak."

Dengan punggung tangan Sarah menekan kedua matanya sehingga air mata yang sudah memenuhi pelupuk itu terjatuh menjadi dua tetes air mata. Dia memandang ayahnya.

"Sekali ini siapakah pemberontak yang akan dihukum mati, Ayah?"

Kapten Armando menghela napas panjang. "Tidak kita sangka sama sekali. Dia adalah Perwira Cung "

Sarah membelalakkan matanya yang sudah lebar. "Perwira Cung yang gagah dan sopan itu, yang pernah berkunjung ke mari beberapa kali?"

Kapten Armando mengangguk. "Benar, dia ditangkap karena ada bukti bahwa dia sudah bersekongkol dengan keluarga Jaksa Yu yang telah dihukum beberapa bulan yang lalu."

"Aihh, Ayah. Tidak perlu Ayah menyaksikan pelaksanaan hukuman terhadap orang yang tadinya menjadi sahabat baik Ayah. Lebih baik Ayah berkuda denganku. Kita ke luar kota untuk melupakan peristiwa yang mengerikan itu."

Namun ayah itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, sayang. Pelaksanaan hukuman terhadap seorang pemberontak harus dihadiri semua yang diundang karena dimaksudkan sebagai peringatan bagi mereka yang menyaksikan agar jangan ada yang mencoba-coba untuk melakukan pemberontakan lagi."

Sarah mencibir sehingga bibir bawahnya yang berjebi itu seperti menantang untuk dicium. "Huhh, siapa sih yang hendak memberontak? Yang pasti, Ayah tidak, bukan? Ayah, sejak pagi sekali aku sudah bangun dan hatiku gembira sekali karena membayangkan hendak berkuda dengan Ayah ke bukit-bukit. Siapa tahu akan berakhir mengecewakan begini...! Huhh, melihat orang dihukum mati!"

Kapten Armando mengusap rambut kepala puterinya dengan belaian penuh kasih sayang. "Jangan kecewa, Anakku. Pagi ini engkau tetap boleh berkuda di perbukitan, bahkan tadi malam sudah kuminta Gonsalo untuk menemanimu."

"Kenapa Gonsalo? Aihh, aku tidak suka, Ayah!" kata dara itu merajuk.

"Ehh? Jadi engkau tidak suka pergi pagi ini?"

"Aku tetap ingin pergi berkuda, tetapi tidak dengan Kapten Gonsalo! Lebih baik bersama prajurit pengawal biasa saja, Ayah."

Kapten Armando mengerutkan alisnya yang tebal, "Sarah sayang, kenapa engkau selalu nampak tidak suka pada Gonsalo? Dia adalah pembantu ayahmu, dan dia seorang kapten yang baik pula. Selain itu, bukankah dia seorang pemuda yang belum menikah, tampan dan gagah pula? Dia juara tinju, dia ahli tembak cepat, dia..."

"Sudahlah, Ayah! Tak ada gunanya memuji-muji dia seperti Ayah hendak menjual barang dagangan saja! Bagaimana pun juga, aku tidak tertarik, aku aku bahkan membencinya!"

"Ehh? Engkau sungguh aneh, Sarah. Kalau tanpa alasan, bagaimana mungkin membenci seseorang? Tentu ada sebabnya sehingga membuat engkau membencinya. Nah, katakan kepada ayahmu, apakah sebab itu?"

Sarah bersungut-sungut. Memang kapten muda itu tidak pernah melakukan sesuatu yang dapat dia laporkan kepada ayahnya. Kapten Gonsalo selalu bersikap sopan dan lembut kepadanya. Bagaimana pun juga dia tidak berbohong ketika mengatakan bahwa dia tidak suka kepada kapten itu. Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang yang berhati keras dan selalu menuntut kejujuran. Ayahnya pasti tidak mau menerima pendapatnya tanpa alasan, tak mau menerima pernyataannya membenci kapten Gonsalo tanpa dia bisa memberikan sebabnya.

"Dia... dia..., pandangan matanya itulah yang tidak kusukai, Ayah. Pandangan matanya membuat aku merasa benci..."

"Hemmm? Pandangan matanya kenapa, Sarah?"

"Entahlah, Ayah. Pandangan matanya seperti pandangan mata seekor anjing bila sedang marah. Aku tidak suka, Ayah. Aku ingin pergi berkuda dengan seorang prajurit saja, atau kalau Ayah tidak setuju, biarlah aku berkuda seorang diri saja."

"Ahhh...!"

"Jangan khawatir, Ayah. Aku dapat pergi membawa sebuah pistol untuk menjaga diri."

"Tidak, engkau tidak boleh pergi seorang diri! Juga tidak boleh dikawal prajurit biasa saja. Hanya Kapten Gonsalo seoranglah yang kupercaya sepenuhnya untuk mengawalmu. Apa bila dia yang mengawalmu maka sama saja dengan kalau aku sendiri yang mengawalmu dan hatiku akan tenang. Jika engkau pergi tanpa dia, aku akan selalu merasa gelisah dan khawatir. Sudahlah, jangan banyak membantah lagi, Sarah. Dia telah kuperintahkan untuk mengawalmu pagi ini. Nah, aku sudah mendengar derap kaki kudanya. Pergilah berkuda dengan dia. Kalau dia melakukan sesuatu yang tidak layak, katakan kepadaku. Aku yang akan menghukumnya."

Kapten Armando meninggalkan puterinya dan memasuki kamar mandi yang bersebelahan dengan kamar itu. Sarah bersungut-sungut, maklum bahwa keputusan ayahnya tak dapat ditawar-tawar lagi. Hanya ada dua pilihan baginya. Pergi berkuda dengan dikawal Gonsalo atau tidak pergi sama sekali.