Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SEJAK pemuda dan gadis itu memasuki rumah penginapan, pemilik sepasang mata jeli ini sudah mengikuti mereka. Akan tetapi Ki Liong dan Mayang tidak tahu bahwa ada orang memperhatikan mereka, karena pemilik mata jeli itu selalu bersembunyi ketika mengikuti gerak-gerik mereka, bahkan mendengarkan percakapan mereka di depan kamar Mayang! Sesudah Ki Liong dan Mayang memasuki kamarnya masing-masing, pemilik mata jeli itu tersenyum dan mengangguk-angguk.

Menjelang tengah malam, Ki Liong yang sudah pulas itu terbangun oleh suara ketukan perlahan di jendela kamarnya. Sebagai seorang ahli silat yang pandai, sedikit suara saja sudah cukup untuk membangunkannya. Dan begitu terbangun dia pun sudah siap siaga, dengan cepat melompat turun dari pembaringan, lantas tanpa mengeluarkan suara sedikit pun dia sudah mendekati jendela kamarnya yang tertutup, mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Tik-tik-tik!” Lirih saja ketukan itu. Tentu pengetuknya menggunakan kuku jari tangan saja untuk mengetuk daun jendela kamarnya.

Karena pengetuk itu bersikap hati-hati dengan ketukan lirih seolah-olah tak ingin membuat gaduh, Ki Liong menyangka bahwa tentu si pengetuk itu adalah Mayang, dan tentu terjadi sesuatu yang sudah membuat kekasihnya itu curiga. Cepat dia membuka daun jendela tanpa mengeluarkan suara. Begitu daun jendela dibuka dia pun segera siap menghadapi serangan kalau yang datang itu musuh. Dia melihat bayangan berkelebat, bayangan yang ramping. Tentu Mayang!

Bayangan itu meloncat menjauhi kamar dan menyelinap ke bagian yang gelap pada sudut taman di luar kamarnya itu. Ki Liong cepat mengenakan sepatunya dan dia pun meloncat keluar dari jendela dengan gerakan seperti seekor burung saja, lalu dia berlari menuju ke tempat gelap itu. Sekarang dia merasa yakin bahwa Mayang tentu menemukan sesuatu dan memanggil dia keluar.

Ketika dia tiba di sudut gelap itu, mendadak bayangan itu muncul bahkan berdiri di bawah lampu gantung sehingga sinar lampu menerangi dirinya dan wajah serta tubuhnya terlihat cukup jelas. Ki Liong terbelalak, kaget dan heran. Bukan Mayang! Walau pun tidak kalah cantiknya!

Dia seorang wanita muda, tapi jauh lebih dewasa dari pada Mayang, usianya sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya lonjong manis dengan senyum memikat, dan matanya tajam dengan kerling yang sangat genit. Wanita itu memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan, dengan sikap menantang berdiri menunggu sambil tersenyum dan mengerling penuh arti. Seorang wanita yang sudah matang!

Ki Liong menghampiri sehingga mereka berdiri berhadapan. Mereka saling pandang dan wanita itu mengamati Ki Liong laksana seorang pedagang kuda yang sedang mengamati dan menilai seekor kuda yang akan dibelinya.

“Nona, siapakah engkau dan mengapa pula mengetuk daun jendela kamarku?” tanya Ki Liong, suaranya lirih supaya jangan sampai terdengar orang lain, terutama Mayang meski pun sekarang kamar gadis itu terletak agak jauh dari situ.

Wanita itu tersenyum lebar hingga nampak deretan gigi putih mengkilap yang menambah kecantikannya. “Kiranya engkau adalah orang yang memiliki kepandaian hebat, seorang pendekar! Caramu melompat keluar dari kamarmu tadi...”

“Nona, siapakah engkau dan mengapa pula...” Ki Liong mengulang pertanyaannya.

“Hi-hik, pendekar kesepian! Aku pun senasib denganmu. Aku pun merasa amat kesepian. Sepi, dingin dan rindu!” Kembali senyum dan kerlingnya memikat.

Ki Liong bukanlah seorang pemuda alim. Sama sekali bukan. Bahkan dia pernah menjadi hamba nafsu yang tidak pantang melakukan apa pun demi pemuasan nafsunya. Dan kini, begitu menghadapi seorang wanita yang demikian cantik manis dan menggairahkan, yang menantang lagi, tentu saja jantungnya langsung berdebar tegang membayangkan hal-hal yang amat menyenangkan. Akan tetapi dia pura-pura tidak mengerti.

“Maksudmu bagaimana?”

“Hi-hik, orang muda yang ganteng. Kita bisa saling menolong mengusir kesepian masing-masing, saling menghangatkan dan saling mengobati rindu di hati. Aku pun bermalam di sini. Kamarku di sana. Marilah kita bicara di kamarku!” Wanita itu menunjuk ke kiri.

Walau pun gairahnya sudah bangkit oleh kecantikan wanita yang menantangnya itu, akan tetapi Ki Liong bukan orang yang ceroboh apa lagi bodoh. Dia selalu berhati-hati karena maklum bahwa dia memiliki banyak musuh. Dia tidak mengenal siapa wanita ini sehingga bahaya tetap saja mungkin mengancamnya. Siapa tahu ini merupakan sebuah perangkap dan dia tidak begitu bodoh untuk memasuki perangkap hanya karena tertarik paras cantik dan sikap genit memikat.

“Nona, usulmu tadi memang baik dan memikat. Kita dapat saling menghibur. Akan tetapi kamarku lebih dekat. Maka, kalau benar engkau menghendaki dan jujur, mari kita bicara di kamarku saja.”

Wanita itu tersenyum lantas mengedipkan matanya. “Tapi... kamar gadis Tibet itu letaknya berdampingan dengan kamarmu. Kalau dia mendengar...”

Ki Liong tersenyum. “Perlukah kita membuat gaduh? Bicara pun dapat berbisik jika mulut dan telinga kita saling berdekatan.” Dia pun balas mengedipkan matanya.

Wanita itu tertawa tanpa menutupi mulutnya. Hal ini memang tidak perlu karena mulutnya amat menarik kalau dia sedang tertawa. Hanya dia menahan diri sehingga suara tawanya tidak nyaring. Dan dia pun mengangguk.

“Mari kita berlomba siapa yang dapat masuk lebih dulu ke kamarmu tanpa mengeluarkan suara gaduh sedikit pun!” kata wanita itu. “Yang kalah harus menuruti semua permintaan yang menang.”

Ki Liong tersenyum. Baginya, kalah atau pun menang sama saja enaknya, baik dia yang memerintah atau yang diperintah, “Baik, silakan!” katanya.

Akan tetapi terkejutlah dia melihat wanita itu bergerak cepat sekali, seperti meluncur saja menuju ke kamarnya. Dia pun segera mengerahkan ginkang-nya mengejar, namun ketika dia meloncat ke dalam kamarnya melalui jendela yang terbuka, wanita itu sudah rebah di atas pembaringan sambil tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya.

“Nah, engkau kalah. Sekarang kuperintahkan menutup dan memalang daun jendela, lalu ke sinilah, aku kedinginan!”

Dengan patuh dan senang hati Ki Liong mentaati perintah itu. Mereka segera memperoleh kenyataan yang sangat menyenangkan hati karena mereka berdua bagaikan minyak yang bertemu dengan api.

Ki Liong menemukan seorang wanita yang benar-benar menggairahkan, berpengalaman dan seperti bunga yang telah mekar sepenuhnya, seperti buah yang sudah masak benar. Di lain pihak, wanita itu pun dengan heran dan gembira menemukan seorang pemuda yang sama sekali tidak hijau seperti yang disangkanya semula, melainkan seorang lelaki yang sudah banyak pengalaman dan pandai menyenangkan hatinya.

Tidak mengherankan bila mereka langsung menjadi sangat mesra dan akrab, tidak seperti dua orang yang baru bertemu melainkan bagaikan sepasang kekasih yang sudah saling berkasih-kasihan selama bertahun-tahun. Keduanya pun menjadi semakin kagum setelah mereka saling menceritakan riwayat masing-masing dengan sejujurnya. Keduanya sama-sama dapat merasakan bahwa mereka masing-masing telah bertemu dengan orang yang bisa dipercaya sepenuhnya, orang yang memiliki kecocokan hati.

Wanita itu memperkenalkan dirinya. Dia bukan lain adalah Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun) Su Bi Hwa! Ketika Sim Ki Liong mendengar bahwa kekasihnya yang cantik manis dan pandai menyenangkan hatinya ini murid Pek-lian Sam-kwi, tahulah dia bahwa wanita ini memang seorang tokoh sesat yang berilmu tinggi sehingga pantas sekali menjadi kekasihnya dan juga sekutunya. Kemudian dia pun bercerita terus terang siapa dirinya.

Ketika mendengar bahwa pemuda ganteng itu adalah murid Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah, Su Bi Hwa menjadi terkejut bukan main sampai dia melompat turun dari atas pembaringan dan memandang pemuda itu dengan muka pucat dan mata terbelalak.

“Pen... Pendekar Sadis...?” Dia berseru dalam bisikan.

Siapa orangnya yang tidak gentar mendengar nama julukan itu? Bahkan para datuk sesat sekali pun menjadi gentar kalau mendengar nama Pendekar Sadis. Pendekar itu memang sekarang jarang meninggalkan pulaunya dan tidak pernah lagi mencampuri urusan dunia persilatan. Akan tetapi sekali dia keluar, apa bila ada penjahat bentrok dengan dia, maka nasib penjahat itu akan mengerikan sekali.

Pendekar Sadis terkenal tidak pernah dapat memberi ampun kepada musuhnya, dan dia bukan hanya membunuh, akan tetapi juga menyiksa lawannya sedemikian rupa sehingga para penjahat lain yang mendengarnya menjadi ngeri dan ketakutan.

Ki Liong tersenyum dan dia pun meloncat turun, merangkul dan menarik Bi Hwa ke dalam pelukannya. “Jangan takut, manis. Memang aku adalah muridnya, namun aku tidak sadis seperti guruku. Lihat, aku tidak sadis terhadap dirimu, bukan?”

Bi Hwa menghela napas panjang. “Ihhh, engkau sungguh mengejutkan hatiku, Ki Liong. Pantas engkau lihai bukan main. Kiranya engkau murid Pendekar Sadis.”

“Bekas muridnya, Bi Hwa. Aku sudah diusir dari pulau Teratai Merah dan tidak diakui lagi sebagai murid.” Ki Liong lalu menceritakan tentang hubungannya yang terputus dari suhu dan subo-nya di pulau itu.

Tanpa malu-malu lagi dia menceritakan betapa dahulu dia melarikan diri sambil mencuri pedang milik gurunya, akan tetapi kemudian dia mengembalikan pedang dengan maksud minta diampuni. Akan tetapi suhu dan subo-nya tidak mau mengampuninya.

“Hatiku sakit sekali, B Hwa. Akan tetapi apa yang dapat kulakukan? Mereka itu lihai bukan main. Lagi pula sebetulnya memang aku pun sama sekali tidak ingin kembali ke sana dan hidup sebagai pertapa. Aku tidak akan kembali lagi ke sana!”

“Bagus, Ki Liong. Cocok sekali dengan aku! Aku pun tak suka terikat seperti itu. Aku ingin bebas menikmati hidup ini. Aku senang sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, bahkan kita menjadi sepasang kekasih yang cocok. Mari kita hidup bersama, kita mencari kesenangan sepuasnya, kita bertualang bersama!” Bi Hwa merangkul. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang kekasih yang sehebat ini, juga yang dia tahu amat lihai. Murid Pendekar Sadis! Bayangkan!

“Aku pun senang sekali sudah bertemu denganmu Bi Hwa. Kita memang cocok dan hidup ini akan menggembirakan sekali kalau kita dapat selalu bersama-sama dan mengadakan petualang bersama. Akan tetapi aku mempunyai teman, bahkan dia adalah tunanganku.”

“Hemm, gadis cantik peranakan Tibet itu?”

“Kau tahu?”

“Tentu saja. Sudah semenjak tadi aku mengintai kalian. Aku pun merasa heran mengapa kalian tidak tidur sekamar. Hemm, agaknya tunanganmu menjaga kehormatannya dengan ketat, ya? Dan engkau bertunangan dengan gadis kuno seperti itu?”

“Hemmm, terus terang saja, Bi Hwa. Aku mencinta Mayang, gadis itu. Bahkan dia pernah menyelamatkan nyawaku waktu aku terancam maut di tangan musuh. Aku cinta padanya, akan tetapi dia memang selalu menjauhkan diri, dan mengatakan bahwa dia hanya mau menyerahkan diri kalau kami sudah menikah. Itulah yang menyusahkan hatiku. Kalau saja dia bersikap seperti engkau ini, betapa akan bahagianya hatiku.”

Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa tertawa. Ia adalah seorang wanita yang tidak lagi mengenal apa artinya cinta. Sejak kecil dia digembleng tiga orang gurunya, yaitu Pek-lian Sam-kwi. Dan sejak dia berusia lima belas tahun, tiga orang gurunya itu sudah menggauli murid ini sehingga mulai saat itu Bi Hwa menjadi murid dan juga kekasih tiga orang gurunya yang mesum akhlak itu.

Semenjak itu pula Bi Hwa menjadi seorang hamba nafsu, melampiaskan nafsunya kepada pria mana saja yang berkenan di hatinya. Dia hanya mengenal nafsu birahi, sama sekali tidak mengenal apa artinya cinta! Karena itu dia pun langsung tertawa ketika mendengar seorang rekan dalam dunia sesat seperti Sim Ki Liong mengaku jatuh cinta pada seorang gadis.

“He-he-hi-hik, Ki Liong, engkau sungguh aneh. Kalau kekasihmu itu tidak mau kau dekati, apa sih sulitnya bagi orang sepandai engkau? Ada banyak jalan yang dapat memaksanya menyerahkan diri kepadamu. Engkau dapat meringkus dan menotoknya, engkau dapat memberi minum obat bius atau perangsang kepadanya. Sekali dia telah menyerahkan diri kepadamu, tentu selanjutnya dia akan menjadi penurut.”

Ki Liong menggeleng kepalanya. “Engkau belum tahu gadis macam apa adanya Mayang! Pertama, dia juga lihai karena dia murid Kim Mo Sian-kouw, jadi walau pun aku mampu mengunggulinya dalam ilmu silat, namun tidak mudah menundukkan Mayang. Kedua, aku ingin dia menyerah dengan cintanya kepadaku seperti sekarang. Kalau aku memaksanya, tentu dia akan membenciku dan aku tidak menghendaki itu. Aku cinta padanya.”

Bi Hwa mencium pipi pemuda itu. “Di sini masih ada aku yang dengan senang hati mau menyerahkan diri kepadamu dengan cinta, mengapa engkau masih menghendaki wanita lain? Apakah aku kurang hangat, kurang memuaskan?”

Ki Liong mencubit dagu yang manis itu. “Engkau hebat, Bi Hwa. Akan tetapi engkau lebih cocok jika menjadi kekasihku dan sekutuku. Kita bertualang bersama, bercinta bersama, saling bantu dan saling bela. Akan tetapi aku ingin Mayang menjadi isteriku, aku ingin dia menjadi ibu dari anak-anakku.”

“Ihh! Aku tidak mau menjadi ibu!” Bi Hwa berkata genit. “Itu hanya membuat aku cepat tua dan akan merusak keindahan tubuh!” wanita itu tertawa-tawa. “Kalau engkau benar-benar menganggap aku sebagai kekasih dan sekutumu, dan selalu akan menyenangkan hatiku seperti sekarang ini, aku mempunyai cara untuk membuat dia menyerah kepadamu tanpa paksaan, melainkan dengan suka rela, Ki Liong.”

Tentu saja Ki Liong merasa girang sekali. “Kalau benar engkau mampu membuat Mayang menyerah kepadaku secara suka rela, aku akan semakin sayang kepadamu, Bi Hwa. Tapi bagaimana caranya? Ingat, hati Mayang keras sekali dan dia amat sukar ditundukkan.”

“Hi-hik-hik, kau lihat saja nanti. Besok pagi perkenalkan aku kepadanya. Katakan bahwa kita pernah berkenalan...” Mereka lalu bisik-bisik mengatur siasat untuk membuat Mayang dapat menerima Bi Hwa sebagai seorang sahabat!

“Engkau tadi telah menuturkan riwayatmu, Ki Liong. Akan tetapi sekarang engkau hendak pergi ke mana bersama Mayang?”

“Aku sendiri bingung sekali, Bi Hwa. Setelah kami pergi dari Pulau Teratai Merah, tadinya Mayang mengajak aku pergi ke barat untuk minta restu dari ibunya dan gurunya supaya kami dapat menikah. Akan tetapi aku tidak ingin melakukan perjalanan jauh dan sukar itu, maka aku usulkan kepadanya untuk mencari Cia Kui Hong di Cin-ling-pai agar Kui Hong memberi surat kepada guru-guruku di pulau Teratai Merah. Tapi setelah kupikir-pikir, tidak enak juga. Sebenarnya aku tidak ingin kembali kepada guru-guruku, hanya Mayang selalu mendesak.”

“Ke Cin-ling-pai?” Bi Hwa bergidik. Baru saja dia meninggalkan Cin-ling-pai setelah gagal menguasai perkumpulan itu, malah dia nyaris tewas dan ketiga orang gurunya juga tewas oleh keluarga Cin-ling-pai.

“Pergi ke Cin-ling-pai sama saja seperti ular mencari penggebuk, Ki Liong. Justru keluarga Cin-ling-pai adalah musuh besarku. Merekalah yang membunuh tiga orang guruku.”

Ki Liong bangkit duduk, lantas mengangguk-angguk sambil mengerutkan kedua alisnya. “Terus terang saja, mereka pun tadinya musuh-musuhku. Cia Kui Hong, ketua Cin-ling-pai itu pun tadinya musuh besarku dan aku hampir saja tewas di tangannya kalau tidak ada Mayang yang menolongku. Aku pun tidak suka kepada mereka yang sombong itu.”

“Kalau begitu, untuk apa pergi ke sana? Lebih baik kalau engkau pergi bersamaku ke kota raja. Bukankah kita hendak bertualang, mencari keuntungan dan kesenangan, menikmati hidup ini? Nah, aku sudah punya rencana yang kalau berhasil akan membuat kita hidup mulia, terhormat, dan kaya raya.”

“Aihh, nampaknya menarik sekali. Apakah rencanamu itu, manis?”

Kembali mereka berbisik-bisik. Malam itu mereka lewatkan dengan mengatur siasat kerja sama dan membiarkan diri hanyut dalam gelombang nafsu birahi. Pada keesokan harinya mereka sudah menjadi sekutu yang saling mencinta karena mereka sudah menemukan pasangan yang amat menyenangkan.

Setelah Mayang bangun dan mandi, dia ditemui Ki Liong yang juga sudah nampak segar biar pun matanya agak sayu karena kurang tidur dan lelah, dan pemuda itu mengajaknya sarapan di sebuah kedai bubur.

Di kedai inilah, pada waktu mereka sedang makan bubur, masuk seorang wanita cantik. Setelah menengok ke kanan kiri mencari tempat kosong, wanita itu melihat Ki Liong dan Mayang lalu dia pun berseru.

“Ki Liong...! Bukankah engkau Ki Liong...?” Wanita itu bukan lain adalah Su Bi Hwa yang mulai memainkan sandiwara yang tadi malam sudah diaturnya bersama Ki Liong.

Ki Liong dan Mayang terkejut dan mereka menengok. Mayang merasa heran sekali saat melihat seorang wanita yang cantik manis, dengan pakaian yang mewah, pesolek, berdiri tak jauh di dalam kedai itu dan memandang kepada Ki Liong dengan senyum ramah.

Ki Liong bangkit berdiri dan dia pun mulai bersandiwara. Dia memandang dengan ragu, lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan sikap hormat dan berkata,

“Maafkan aku, nona. Akan tetapi, siapakah nona?”

Mayang masih duduk, dan dia mengamati wanita itu dengan penuh selidik. Melihat wanita cantik yang sinar mata dan senyumnya genit memikat itu, hatinya menaruh curiga dan dia merasa tak enak hati. Akan tetapi wanita itu tersenyum ramah dan mendekat. Semerbak harum langsung menyengat hidung Mayang ketika wanita itu mendekat, dan dia semakin tidak senang. Dia memang tidak suka melihat wanita memakai minyak wangi sedemikian banyaknya sampai baunya semerbak.

“Ki Liong, benarkah engkau sudah lupa padaku? Bukankah aku yang menjadi sahabatmu bermain-main di dusun pada waktu aku berusia sepuluh tahun? Kita juga pernah bertemu ketika engkau menjadi ketua Kim-lian-pang,.”

Sepasang mata Ki Liong bersinar, wajahnya perlahan-lahan berseri. “Ah, engkau kiranya Bi Hwa! Ya, aku ingat, engkau tentu Bi Hwa!”

Bi Hwa tersenyum ramah. “Bagus, akhirnya engkau ingat juga kepada sahabat lamamu! Engkau tampak agak kurus, Ki Liong dan ini... ehh, siapakah adik manis ini?”

“O ya, mari kuperkenalkan. Mayang, ini adalah Su Bi Hwa, seorang sahabat baikku sejak kami masih kanak-kanak. Sekarang dia sudah menjadi wanita yang sangat lihai. Dan Bi Hwa sahabatku, perkenalkan, ini adalah Mayang, tunanganku.”

“Tunangan? Ahh, kionghi (selamat) kalau begitu! Kiranya engkau sudah bertunangan dan tentu tidak lama lagi akan menikah.” Dengan ramah Bi Hwa memberi hormat yang dibalas oleh Mayang. Bi Hwa dipersilakan duduk di meja mereka, lalu Ki Liong memesan bubur untuk tamu ini.

“Bagaimana engkau dapat berada di Wang-sian ini? Di mana engkau bermalam, Bi Hwa?”

“Di losmen Goat-likoan,” jawab Bi Hwa.

“Ahh, kami juga bermalam di sana!” kata Mayang.

Bi Hwa memandang heran. “Benarkah? Aihh, kita bermalam di dalam satu losmen akan tetapi tidak saling berjumpa!”

Setelah selesai makan mereka melanjutkan percakapan di ruangan tamu losmen di mana mereka bermalam. Mayang segera dapat akrab dengan Bi Hwa. Dia mendapat kenyataan bahwa Bi Hwa adalah seorang wanita yang amat ramah, pula luas pengetahuannya, dan dapat menceritakan hal-hal yang amat menarik.

Maka lenyaplah semua kecurigaannya karena sikap Ki Liong dan Bi Hwa sungguh akrab seperti dua orang sahabat lama. Apa lagi ketika dia mendengar pengakuan Bi Hwa bahwa dia seorang janda, bahwa suaminya sudah meninggal dunia di tangan orang-orang jahat dan dia sudah membalaskan kematian suaminya.

“Sejak itu aku mengambil keputusan untuk tidak menikah lagi, Adik Mayang. Aku pujikan saja engkau dan Ki Liong akan menjadi suami isteri yang baik. Ehh, ngomong-ngomong, kapan menikahnya? Jangan lupa mengundang aku.”

Wajah Mayang berubah kemerahan ketika Ki Liong menjawab terus terang. “Aku sih ingin segera menikah, akan tetapi Mayang hendak meminta restu dari ibunya dan gurunya lebih dahulu. Akan tetapi dia memang benar, apa lagi aku belum mempunyai pekerjaan yang tetap untuk membiayai kehidupan berumah tangga.”

“Bagaimana mungkin aku dapat menikah jika belum mendapat persetujuan ibu dan subo-ku?” kata Mayang membela diri karena dia maklum bahwa kekasihnya masih marah oleh penolakannya tinggal sekamar.

Bi Hwa tersenyum. “Kalian berdua memang benar, namun menurut pendapatku alasan Ki Liong paling kuat. Orang berumah tangga membutuhkan biaya, dan kehidupan setiap hari pun tidak ringan. Seorang suami harus memiliki penghasilan yang tetap dan mantap. Ki Liong, kenapa engkau tidak mencari pekerjaan di kota raja? Dengan kepandaianmu, tentu tidak sukar bagimu untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi.”

“Bi Hwa, kau kira mudah saja mendapatkan kedudukan di kota raja? Di sana gudangnya orang-orang pandai. Lebih banyak orangnya dari pada jabatan yang diperebutkan. Tanpa adanya perantara yang berkuasa, mana mungkin mendapatkan pekerjaan yang baik?”

“Jangan khawatir, Ki Liong. Aku mempunyai seorang kenalan baik, seorang pejabat tinggi di kota raja, sahabat dari mendiang suamiku dahulu. Bila engkau memang membutuhkan pekerjaan, mari bersama dengan aku ke sana. Aku pun sedang pergi ke sana, juga untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanku.”

“Bagus sekali! Ah, bagaimana, Mayang? Ini kesempatan baik sekali! Mari kita ikut Bi Hwa ke kota raja mencari kedudukan yang baik.”

“Tapi bagaimana dengan perjalanan kita yang jadi tertunda-tunda?” Mayang membantah. “Pertama kita hendak pergi ke barat, ke rumah ibuku. Lalu engkau mengubahnya, engkau ingin lebih dahulu bertemu enci Kui Hong di Cin-ling-pai, kemudian sekarang kembali kita mengubah perjalanan, ke kota raja!”

Mendengar ini, Bi Hwa mendekati Mayang dan menaruh tangannya di pundak gadis Tibet itu. “Adik Mayang, kalau kita menghadapi beberapa pilihan, sebaiknya kita memilih yang paling penting lebih dahulu. Biar pun urusan menemui ketua Cin-ling-pai dan menemui ibu dan gurumu juga penting, tetapi dapat ditunda karena mereka itu mempunyai tempat yang tetap dan tidak akan ke mana-mana. Datang hari ini atau lain bulan pun sama saja. Akan tetapi urusan pekerjaan lain lagi. Sekarang ada kesempatan yang sangat baik. Aku akan menjadi perantara, ada kenalanku di sana. Kalau ditunda lain kali, tanpa perantara, maka akan sukar sekali mendapatkan kedudukan yang baik.”

“Benar sekali, Mayang. Lagi pula bagaimana mungkin aku berani menghadap ibumu dan mengajukan lamaran atas diriku kalau aku belum mempunyai pekerjaan apa pun? Kalau ibumu atau subo-mu menanyakan tentang pekerjaanku, bagaimana aku harus menjawab mereka?” Ki Liong membujuk pula.

Dibujuk oleh dua orang yang sebelumnya memang sudah mengatur siasat itu, akhirnya Mayang terpaksa mengalah. Alasan kedua orang itu terlalu kuat. Pula, perlu apa tergesa-gesa mendapat persetujuan menikah? Yang penting Ki Liong sudah mengubah wataknya dan menjadi orang baik-baik, dan mereka berdua saling mencinta. Dia pun ingin merantau ke kota raja sebelum memasuki hidup berumah tangga yang akan mengikat dia di rumah sebagai ibu rumah tangga.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Sebetulnya Kaisar Cia Ceng (1520-1566) dari Kerajaan Beng-tiauw bukan seorang kaisar yang dapat dibilang bijaksana. Bahkan dia lemah dan tentu akan menjadi permainan para penjilat yang menjadi pembesar di sekitarnya kalau saja di dalam pemerintahannya tidak ada dua orang menteri yang pandai dan bijaksana.

Yang pertama adalah Menteri Yang Ting Hoo, seorang ahli siasat yang pandai pula dalam mengatur pemerintahan, dan berwatak sabar serta bijaksana. Usia menteri ini lima puluh tiga tahun dan dia merupakan orang kedua setelah menteri Cang Ku Ceng yang usianya lima puluh enam tahun. Menteri Cang Ku Ceng adalah menteri yang disegani kaisar dan untung bagi negara bahwa kaisar masih suka mendengar nasehat kedua orang menteri itu, terutama Menteri Cang Ku Ceng.

Menteri Cang Ku Ceng yang berusia lima puluh enam tahun itu masih terlihat kokoh kuat. Tinggi besar dan brewok, dengan tubuh tegap akan tetapi sikapnya halus dan dia cerdik bukan main. Kemajuan yang dicapai Kaisar Cia Ceng sebagian besar karena jasa Menteri Cang Ku Ceng.

Akan tetapi Menteri Cang tidak pernah mau menonjolkan dirinya. Dia menganggap bahwa semua hasil jerih payahnya itu merupakan tugas, merupakan kewajiban seorang pejabat pemerintahan. Dia menghembakan diri demi rakyat, demi negara, demi kaisar. Kalau ada penyelewengan di lingkungan istana, dia tidak segan-segan untuk memperingatkan serta menegur kaisar. Hal ini pun dianggapnya sebagai tugas seorang pejabat. Tugas seorang pejabat bukan hanya menyenangkan hati kaisar saja, melainkan juga menjaga agar kaisar dan seluruh pembantunya melaksanakan tugas dengan baik dan adil.

Cang Taijin (Pembesar Cang) atau Menteri Cang ini hanya memiliki seorang putera yang bernama Cang Sun. Dari beberapa orang selirnya, dia hanya mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Cang Hui. Kini Cang Sun berusia tiga puluh tahun, tampan dan lembut, seorang sastrawan yang pandai. Ada pun adik tirinya, Cang Hui, berusia delapan belas tahun, cantik manis dan lincah jenaka.

Biar pun pada waktu itu usianya sudah tiga puluh tahun tetapi Cang Sun belum menikah. Sebenarnya Menteri Cang dan isterinya sudah sering kali membujuk, namun Cang Sun selalu menolak. Pernah Cang Sun jatuh cinta kepada pendekar wanita Cia Kui Hong yang membantu Menteri Cang mengamankan negara, namun pendekar wanita yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu tidak dapat membalas cinta kasih pemuda bangsawan itu karena dia sendiri sudah jatuh cinta pada pendekar petualang Tang Hay yang dijuluki Pendekar Mata Keranjang. Dan sejak kegagalan cinta itu, Cang Sun tidak pernah setuju untuk dinikahkan dengan gadis mana pun pilihan orang tuanya. Padahal di antara yang dicalonkan menjadi isterinya banyak pula dara yang pandai dan cantik, lebih cantik dari Cia Kui Hong, namun Cang Sun selalu menolak.

Hal ini membuat Menteri Cang dan isterinya kadang termenung dan berduka. Pembesar ini terlalu bijaksana untuk memaksa puteranya. Dia tahu bahwa untuk satu hal ini, yaitu pernikahan, sangat tidak baik kalau digunakan paksaan. Dia hendak memberi kebebasan memilih kepada puteranya.

Akan tetapi usia puteranya sudah tiga puluh tahun dan nampaknya Cang Sun belum juga berminat untuk memilih seorang wanita sebagai jodohnya! Dan menurut penyelidikannya melalui para petugas, di dalam pergaulannya Cang Sun tidak pernah mendekati wanita, juga tidak pernah mengunjungi rumah pelesir.

Cang Taijin dan isterinya lantas berusaha untuk mendekatkan putera mereka itu kepada seorang gadis yang baik. Mereka tentu saja merasa cemas. Cang Sun merupakan putera tunggal, penyambung keturunan keluarga Cang! Dan akhirnya mereka dapat menemukan pilihan mereka.

Gadis itu berusia delapan belas tahun dan bukan merupakan orang luar. Namanya Teng Cin Nio, seorang gadis yang cantik jelita, manis, pendiam, pandai serta cerdas. Juga dia masih terhitung saudara misan puteri mereka, jadi masih keponakan dari ibu Cang Hui yang menjadi selir Menteri Cang.

Tentu saja ayah dan gadis itu merasa bangga bahwa puteri mereka dipilih oleh Menteri Cang untuk dijodohkan, atau setidaknya, dicalonkan sebagai jodoh Cang Sun. Karena itu mereka menyetujui sepenuhnya ketika Menteri Cang dan selirnya minta supaya Teng Cin Nio tinggal di rumah bangsawan itu.

Walau pun Cin Nio dan Cang Hui segera akrab sekali karena mereka memang saudara misan, tetapi agaknya Cang Sun tidak kelihatan tertarik. Biar pun demikian, Menteri Cang tidak putus asa dan selirnya selalu berusaha mendekatkan dua orang muda ini.

Bagi Cin Nio sendiri, tentu saja dalam sudut hatinya dia merasa setuju karena sejak kecil dia memang sudah kagum terhadap Cang Sun yang terkenal ganteng dan terpelajar, juga putera seorang bangsawan yang berkedudukan tinggi dan kaya raya! Namun dia seorang gadis pendiam. Biar pun misannya, Cang Hui sering kali menggodanya, dia tidak pernah memperlihatkan rasa kagum dan harapannya terhadap pemuda bangsawan itu.

Cang Hui amat kagum terhadap Cia Kui Hong, pendekar wanita yang pernah membantu ayahnya membasmi para pemberontak, dan tadinya dia telah merasa gembira mendengar bahwa ayahnya ingin mengambil pendekar wanita itu sebagai menantunya. Akan tetapi dia merasa kecewa sekali ketika Kui Hong menolak dan meninggalkan kota raja.

Dia merasa penasaran sekali dan timbul keinginannya untuk belajar ilmu silat! Ketika dia mengajukan permohonan kepada ayahnya, Menteri Cang yang bijaksana hanya tertawa namun tidak keberatan. Ilmu silat memang penting, pikirnya, biar untuk anak perempuan sekali pun. Pertama, ilmu itu menyehatkan badan, ke dua, ilmu itu dapat digunakan untuk membela diri dari ancaman perbuatan jahat dan mendatangkan jiwa pendekar yang gagah dan membela kebenaran.

Dia bukan saja menyetujui, bahkan dia lalu memilih seorang di antara para panglimanya yang ahli silat, yaitu Panglima Coa yang usianya sudah enam puluh tahun, untuk menjadi guru silat bagi puterinya.

Kegembiraan Cang Hui semakin bertambah ketika adik misannya, Teng Cin Nio, yang kini tinggal di rumah keluarganya, ternyata pernah belajar ilmu silat pula. Dengan demikian dia mempunyai teman untuk berlatih silat. Hanya Cang Sun yang tidak suka belajar ilmu silat. Bahkan dia mengejek adiknya yang suka belajar ilmu silat.

“Kau ini anak perempuan untuk apa belajar ilmu silat dan bermain-main dengan pedang? Apakah engkau ingin menjadi prajurit, atau pembunuh?”

“Sun-koko (kakak Sun) jangan begitu! Aku belajar ilmu silat agar aku dapat menjaga diri. Kalau aku lemah, bagaimana aku dapat membela diri apa bila diganggu orang jahat.”

“Hemm, siapa akan berani mengganggu, adikku? Ayah kita adalah seorang menteri, dan banyak prajurit yang siap untuk membela kita apa bila ada mara bahaya datang. Juga di sampingmu ada ayah, ada aku, ada para pengawal. Kelak kalau engkau sudah menikah, ada pengganti kami untuk menjagamu, yaitu suamimu.”

Wajah dara itu berubah merah. “Ihh, Sun-koko, apa-apaan engkau bicara tentang suami? Aku hanya ingin menjadi seorang wanita yang perkasa, seperti enci Kui Hong itu!”

Disebutnya nama pendekar wanita ini membuat Cang Sun mengerutkan alisnya. Dia pun tidak mau menggoda adiknya lagi, apa lagi pada saat itu muncul Cin Nio yang mencari saudara misannya. Cang Sun segera pergi meninggalkan dua orang gadis itu.

Dengan wajah muram Cang Sun meninggalkan taman di mana tadi dia bertemu dengan adiknya. Ucapan adiknya sudah mengingatkan dia kepada seorang gadis pendekar yang sebenarnya merupakan wanita pertama yang pernah menjatuhkan hatinya, Cia Kui Hong! Gadis yang selain cantik jelita dan mempunyai daya tarik yang kuat sekali, juga seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Dan dia pernah tergila-gila kepada Kui Hong.

Tadinya dia sudah merasa yakin bahwa gadis itu tentu akan menjadi isterinya. Alangkah senangnya jika memiliki seorang isteri yang selihai itu, tentu keamanan dan keselamatan keluarganya akan terjamin! Dia merasa yakin karena tahu bahwa dirinya dirindukan oleh hampir semua gadis di kota raja. Tentu Kui Hong juga akan menerima pinangannya. Dia putera Menteri Cang yang terkenal.

Tapi ketika dia menyatakan cintanya, ternyata gadis pendekar itu dengan terang-terangan menolak cintanya, bahkan mengatakan bahwa gadis itu telah mempunyai seorang pilihan hatinya sendiri! Cang Sun merasa terpukul dan sampai kini dia tak pernah mau menerima bujukan orang tuanya untuk memilih seorang gadis sebagai isterinya. Dianggapnya bahwa tidak ada gadis lain yang dapat menggantikan Kui Hong di dalam hatinya, tidak ada gadis lain yang sehebat Kui Hong!

Hatinya terasa tertusuk ketika adiknya menyebut nama Kui Hong, dan kenangan tentang gadis pendekar itu membuat Cang Sun murung. Dia lalu keluar dari taman, terus menuju ke halaman depan kemudian keluar ke jalan raya. Ia menyambut pemberian hormat para petugas jaga di depan dengan sikap acuh, lantas melangkah keluar tanpa tujuan.

Sepasang kakinya membawanya berjalan ke luar kota, dan dia tak mempedulikan orang-orang yang bersimpang jalan memberi hormat kepadanya. Tidak peduli pula akan kerling dan pandang mata banyak mata wanita ditujukan kepadanya.

Pada waktu itu Menteri Cang Ku Ceng bertugas di Nan-king, yaitu ibu kota ke dua setelah Peking, sedangkan Menteri Yang Ting Hoo bertugas di Peking. Kaisar Cia Ceng mengerti bahwa dia hanya bisa percaya dan mengandalkan kebijaksanaan dua orang menteri setia ini. Maka dia sengaja membagi tugas kepada mereka.

Yang Ting Hoo yang lebih ahli dalam urusan ketentaraan bertugas di Peking, sedangkan Cang Ku Ceng yang ahli dalam urusan dalam negeri dan juga pandai mengamankan para pejabat daerah yang suka memberontak, ditugaskan di Nan-king. Karena tugas ini maka Menteri Cang sekeluarga pindah ke Nan-king di mana dia memang mempunyai sebuah gedung yang disediakan pemerintah untuknya.

Di luar kota Nan-king sebelah selatan terdapat sebuah danau kecil yang menjadi tempat di mana Cang Sun sering kali menghibur diri. Pemuda ini senang menyendiri, mendayung sebuah perahu kecil, membawa makanan dan arak, juga alat tulis untuk membuat sajak atau memainkan sebuah yang-kim (semacam gitar) sambil melamun pada bagian danau yang sunyi.

Apa lagi saat itu hatinya sedang gundah karena teringat akan Kui Hong, maka setelah dia mendayung perahunya menuju ke bagian yang sunyi di danau itu, jauh dari perahu lain, dia lalu membiarkan perahunya terapung-apung dan dia sendiri duduk melamun. Dia tidak menulis sajak, tidak pula memetik yang-kim, namun hanya melamun dan membayangkan semua kenangan indah bersama Kui Hong pada saat gadis pendekar itu tinggal di rumah orang tuanya di Peking, pada saat Kui Hong membantu ayahnya melakukan penyelidikan tentang kerusuhan yang terjadi di istana kaisar (baca Kisah Si Kumbang Merah).

Cang Sun sama sekali tidak mengetahui bahwa sejak dia keluar dari pekarangan rumah keluarganya, ada dua pasang mata mengikutinya sampai ke danau itu. Bahkan ketika dia mendayung perahu kecilnya, tidak lama kemudian ada sebuah perahu kecil lain mengikuti dari jauh. Setiap gerak-gerik yang dilakukan Cang Sun diamati pendayung perahu lain itu, yang hanya seorang saja, ada pun pemilik sepasang mata yang lain masih mengamatinya dari jauh, dari tepi danau.

Dia baru sadar sesudah perahu kecil berwarna hitam itu meluncur mendekati perahunya. Dia menengok dan melihat ada seorang laki-laki yang mengenakan caping lebar di atas perahu itu. Sama sekali dia tidak dapat melihat wajah orang itu yang tertutup caping sama sekali. Setelah perahu itu menabrak perahunya sendiri, dia terkejut dan menegur marah.

“Heiiii...! Apa engkau tidak melihat ada perahu di depanmu? Kenapa engkau main tabrak saja?” Cang Sun cepat mempergunakan dayungnya untuk mengembalikan keseimbangan perahunya yang terguncang oleh tabrakan itu.

Orang bercaping itu mengangkat mukanya sehingga sekarang tampaklah wajah di bawah caping lebar itu. Cang Sun terbelalak karena wajah itu tertutup kedok sapu tangan hitam! Yang nampak hanya sepasang mata yang mencorong!

“Heiii! Siapa engkau dan mau apa...!”

Sebelum ucapannya selesai, orang berkedok itu sudah melompat dari perahunya ke atas perahu Cang Sun dan sebelum Cang Sun sempat mengeluarkan suara, tangan orang itu sudah bergerak dan Cang Sun pun tidak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi. Dia telah tertotok! Sekali lagi tangan orang itu menyentuh leher Cang Sun, membuat pemuda bangsawan itu bukan saja tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, bahkan juga tidak mampu mengeluarkan suara! Dia hanya dapat memandang kepada orang berkedok itu dengan sinar mata terkejut, heran dan juga ketakutan.

Orang berkedok itu bicara dengan suara yang parau dan dalam sehingga terdengar aneh menyeramkan. “Engkau kusandera. Hanya kalau ayahmu telah menyerahkan uang seribu tail kepadaku, baru engkau kubebaskan. Jika dalam waktu sehari semalam uang itu tidak diserahkan kepadaku maka aku akan menyiksamu sampai mati.”

Tentu saja Cang Sun terkejut bukan kepalang. Dia memang penakut, dalam arti kata tidak menyukai kekerasan, akan tetapi sama sekali bukan pengecut! Bagaimana ayahnya akan tahu bahwa dia diculik orang dan bagaimana pula akan dapat menebusnya? Akan tetapi karena dia tidak mampu bergerak dan bersuara, maka dia pun diam saja.

Orang itu sudah mendayung perahunya dan meninggalkan perahunya sendiri yang bercat hitam tadi. Dengan cepat orang berkedok itu mendayung perahu ke pantai, dan di pantai itu telah menanti pemilik sepasang mata yang ke dua, yang bersembunyi di balik semak-semak. Pantai itu memang bagian yang sunyi dan tidak nampak seorang pun manusia di situ.

Ketika perahu sudah tiba di dekat pantai, orang berkedok itu berdiri, lalu mencengkeram punggung baju Cang Sun dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah melompat ke darat. Gerakannya demikian ringan dan tangannya demikian kuat sehingga Cang Sun mengerti bahwa dia terjatuh ke tangan orang yang sangat lihai, yang dapat membawanya meloncat dari perahu ke darat seperti membawa benda yang amat ringan saja!

Akan tetapi begitu dia mendarat, terdengar bentakan merdu dan nyaring keluar dari balik semak-semak. “Penculik jahat, lepaskan dia!”

Lantas muncullah seorang wanita cantik. Begitu muncul, wanita itu bergerak cepat bukan kepalang, tubuhnya laksana terbang saja menyerang ke arah pria berkedok yang menjadi terkejut sekali.

“Ihhh...!” Pria berkedok itu menangkis dan terhuyung ke belakang.

Wanita itu kemudian menggerakkan tangannya, membebaskan totokan Cang Sun dengan beberapa kali tusukan jari tangan dan tepukan. Cang Sun mampu bergerak dan bersuara lagi. Akan tetapi dia tidak sempat bicara karena orang berkedok itu kini sudah menyerang si gadis cantik dengan pukulan-pukulan dahsyat. Namun dengan tenang wanita itu segera menyambut serangan itu, mengelak atau menangkis dan membalas tidak kalah cepat dan kuatnya.

Cang Sun yang sudah bebas mendapat kesempatan untuk memperhatikan penolongnya. Wanita itu memang cantik sekali, cantik dan manis dengan muka lonjong, wajahnya cerah dengan senyum selalu membayang di mulutnya, matanya jeli dan sinarnya tajam.

Pertarungan itu berjalan seru. Secara diam-diam Cang Sun merasa khawatir kalau-kalau penolongnya itu akan kalah. Tempat itu amat sunyi sehingga dia tidak minta tolong orang lain. Namun ternyata kekhawatirannya itu tidak perlu. Kini dia melihat betapa wanita cantik itu mulai mendesak si penculik.

Cang Sun menjadi kagum. Wanita cantik itu mengingatkan dia kepada Kui Hong! Seperti juga ketua Cin-ling-pai itu, gadis ini cantik manis dan memiliki ilmu kepandaian yang lihai! Dan gadis itu kini mati-matian menolong dan membelanya dari ancaman si penculik yang jahat dan kejam.

“Penjahat keji! Buka kedokmu dan berlutut minta ampun, baru aku akan mengampunimu!” terdengar wanita gagah itu berseru.

Seorang pendekar wanita, pikir Cang Sun. Seorang pendekar wanita yang berbudi. Akan tetapi nampaknya penculik itu tak mau membuka kedoknya, bahkan menyerang semakin ganas.

“Bagus, engkau memang jahat dan mesti dihajar!” wanita itu berseru lagi sambil mengelak dan balas menyerang. Kembali mereka saling serang, demikian cepatnya sehingga sukar bagi Cang Sun untuk dapat mengikuti gerakan mereka.

“Plakkk!”

Tiba-tiba penculik itu terhuyung ke belakang, agaknya terkena tamparan pada pundaknya. Dia mengaduh, terhuyung dan sebelum pendekar wanita itu sempat menyerang kembali, si penculik sudah meloncat jauh dan melarikan diri!

“Keparat, hendak lari ke mana kau?!” bentak gadis itu dan hendak mengejar, akan tetapi Cang Sun cepat mencegahnya.

“Lihiap, harap jangan kejar dia!”

Gadis itu tidak jadi mengejarnya, membalik dan menghadapi Cang Sun.

“Kenapa, Kongcu? Kenapa aku tidak boleh mengejarnya?” tanyanya dan ketika dia bicara, nampak kilatan giginya yang putih, menambah kecantikannya.

“Dia sudah lari dan sungguh berbahaya mengejar penjahat yang melarikan diri. Lagi pula dia tidak menyakiti aku dan...”

Pada saat itu muncul seorang pemuda dari lain jurusan, seorang pemuda yang tampan dan gagah.

“Bi-moi (Adik Bi), apa yang terjadi?” tanya pemuda itu dan melihat kemunculannya yang tiba-tiba, Cang Sun bisa menduga bahwa pemuda ini pun seorang yang mempunyai ilmu kepandaian silat tinggi.

“Aihh, Ki-koko (Kakak Ki), engkau baru datang? Baru saja aku menolong kongcu ini dari tangan seorang penculik jahat. Dia sudah melarikan diri!”

“Ke mana dia lari?” tanya pemuda itu.

Wanita itu menunjuk ke arah larinya penculik tadi dan tanpa menunggu wanita itu bicara, pemuda gagah tadi segera meloncat dan melakukan pengejaran. Cang Sun yang merasa kagum lantas bertanya kepada gadis itu.

“Lihiap, siapakah orang gagah tadi?”

“Dia adalah kakakku, Kongcu.”

“Ahhh! Kalian kakak beradik yang gagah perkasa sungguh mengagumkan sekali. Engkau sudah menyelamatkan nyawaku, Lihiap. bolehkah aku mengetahui siapakah nama Lihiap dan siapa pula nama kakakmu tadi?”

“Kami she Liong, Kongcu. Kakakku bernama Liong Ki dan namaku sendiri Liong Bi. Kami datang dari selatan dan baru beberapa hari berada di Nan-king. Hari ini kami berpesiar di danau ini. Tadi kami berpisah karena kakakku hendak membeli minuman, dan kebetulan aku melihat Kongcu diculik penjahat berkedok tadi. Siapakah Kongcu dan mengapa pula Kongcu diculik penjahat tadi?”

“Liong-lihiap (Pendekar Wanita Liong), terimalah hormatku serta ucapan terima kasihku,” kata Cang Sun sambil memberi hormat yang cepat dibalas oleh Liong Bi. “Namaku Cang Sun dan penculik tadi menculikku untuk minta uang tebusan, begitu menurut ancamannya tadi. Kalau dalam waktu dua puluh empat jam ayahku tidak memberi uang tebusan seribu tail, maka dia akan menyiksa dan membunuhku.”

“Cang Kongcu, she (nama keturunan) Kongcu mengingatkan aku akan seorang pembesar yang amat terkenal, yaitu Menteri Cang Ku Ceng. Apakah barang kali Kongcu masih ada hubungan keluarga dengan Cang Taijin...?”

“Aku puteranya.”

“Aihhh...!” Gadis itu cepat-cepat memberi hormat yang dibalas oleh Cang Sun. “Maafkan aku, Kongcu. Sungguh mati karena tidak tahu, maka aku bersikap kurang hormat kepada putera Menteri Cang yang sangat terkenal di seluruh penjuru. Beruntung sekali aku dapat bertemu dengan Kongcu!”

“Hemm, Lihiap terlalu merendahkan diri. Ayahku memang seorang menteri yang terkenal, akan tetapi aku ini hanya anaknya yang tidak memiliki kemampuan apa pun.”

“Sekarang aku tidak merasa heran kenapa ada penjahat yang ingin menculikmu, Kongcu. Selain untuk mencari uang tebusan, tentu penjahat itu pernah sakit hati terhadap ayahmu yang terkenal keras kepada para penjahat. Akan tetapi yang membuat aku merasa heran, mengapa Kongcu bepergian seorang diri tanpa pengawal? Itu dapat berbahaya sekali!”

“Hemmm, apa sih bahayanya? Aku hanya orang biasa, dan selama ini belum pernah aku mengalami gangguan, baru tadi. Mungkin penjahat itu agak miring otaknya...”

“Aih, jangan berkata demikian, Cang-kongcu! Andai kata Kongcu sendiri tidak atau belum memiliki kedudukan tinggi dan nama yang terkenal, tetapi Kongcu tidak boleh lupa bahwa Kongcu adalah putera seorang menteri yang amat terkenal! Karena itu sebaiknya Kongcu menjaga diri dengan pengawalan, karena bila terjadi sesuatu terhadap diri Kongcu, tentu ayah Kongcu juga ikut merasa berduka dan menyesal.”

Pada saat itu tampak pemuda tampan gagah tadi datang berlari seperti terbang cepatnya. Gadis cantik itu lalu menyongsongnya. “Bagaimana, Koko, berhasilkah engkau mengejar penjahat tadi?”

Pemuda itu menggeleng kepalanya. “Aku tidak menemukan lagi bayangannya, dan tidak ada orang lain yang melihat orang berlari ke sana.” Pemuda itu memandang kepada Cang Sun. “Bagaimana pun juga, masih untung bahwa penjahat itu tidak melukai saudara ini...”

“Koko, kongcu ini adalah Kongcu Cang Sun, putera Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal itu.”

Pemuda tampan itu nampak terkejut sekali, dan cepat dia memberi hormat kepada Cang Sun. “Maaf, karena tidak tahu maka aku bersikap kurang hormat, Cang-kongcu.”

Cang Sun memandang pada pemuda itu dengan tatapan kagum. Seorang pemuda yang usianya sebaya dengan gadis itu, wajahnya tampan, tubuhnya sedang namun tegap dan sikapnya sopan, bicaranya lembut dan halus pula, tanda bahwa selain ilmu silatnya lihai, pendekar ini juga mengenal tata-susila.

“Liong-taihiap... (pendekar besar Liong).”

Pemuda yang tadi diperkenalkan oleh gadis itu bernama Liong Ki cepat memberi hormat. “Jangan sebut aku taihiap, Kongcu. Namaku Liong Ki, sebut saja namaku.”

Cang Sun semakin kagum dan senang. “Baiklah, saudara Liong Ki, dan juga engkau nona Liong Bi. Aku sungguh berterima kasih sekali dan merasa berhutang budi kepada kalian. Entah bagaimana aku dapat membalas budi kebaikan kalian. Apa bila kalian tidak merasa berkeberatan, aku mengundang kalian untuk datang ke rumah agar aku dapat mengajak kalian makan minum dan kuceritakan peristiwa tadi kepada ayahku.”

Liong Ki dan Liong Bi saling pandang, lantas Liong Ki yang berkata, “Sesungguhnya kami sama sekali tidak mengharapkan balas jasa, Cang Kongcu. Menolong sesama hidup yang sedang berada dalam kesulitan merupakan kewajiban kami. Akan tetapi kami tidak berani menolak undangan Kongcu, bahkan kami merasa gembira dan terhormat sekali.”

“Juga kami harus mengawal Kongcu sampai ke rumah, karena siapa tahu penjahat tadi masih penasaran dan akan muncul lagi mengganggu Kongcu,” kata Liong Bi.

Mereka lalu kembali ke Nan-king dan diam-diam Cang Sun merasa girang sekali. Biar pun baru saja dia terbebas dari ancaman maut, tetapi kini bersama kakak beradik yang lihai itu dia merasa aman dan terjamin keselamatannya!

Setibanya di rumah Cang Sun langsung memerintahkan para pelayan untuk menyediakan hidangan yang serba mahal dan lezat untuk menjamu kakak-beradik itu. Ayahnya masih belum pulang, maka dia mengajak dua orang penolongnya untuk makan minum.

Dua orang muda itu pun tidak sungkan-sungkan lagi sehingga hubungan mereka menjadi akrab. Apa lagi setelah Cang Sun mendapat kenyataan betapa Liong Ki memang memiliki pandangan luas, malah tidak asing pula dengan kesusastraan. Mereka pun makan minum dengan asyik sekali.

“Sekali lagi kuulangi bahwa aku amat berterima kasih kepada kalian. Kalau saja aku dapat membantu kalian untuk sekedar membalas kebaikan itu, maka aku akan merasa gembira sekali.”

Liong Ki tersenyum. “Kongcu, sudah kami katakan tadi bahwa kami tidak mengharapkan balasan karena perbuatan kami itu sudah menjadi kewajiban bagi para pendekar.”

“Tetapi, Koko, siapa tahu Cang Kongcu dapat membantu kita? Bukankah kita jauh-jauh datang ke Nan-king untuk mencari pekerjaan?” kata Liong Bi.

“Ahh, Bi-moi, kita tidak boleh merepotkan Cang-kongcu!” tegur kakaknya.

Wajah Cang Sun berseri. “Ah, kalian membutuhkan pekerjaan? Ceritakan, pekerjaan apa yang kalian butuhkan, tentu aku akan membantu kalian!”

Liong Ki menghela napas panjang. “Sesungguhnya kami tidak ingin merepotkan Kongcu, akan tetapi karena adikku terlanjur lancang bicara, biarlah kami ceritakan kepada Kongcu keadaan kami. Kami dua kakak beradik tinggal di selatan, di lembah Sungai Yangce yang berada di perbatasan Propinsi Secuan dan Hupek. Dusun kami yang berada di tepi sungai mengalami kebanjiran hebat sehingga ludeslah seluruh milik kami. Kami telah yatim piatu, karena itu kami mengambil keputusan untuk mengembara. Bersama tunangan saya yang bernama Mayang, kami bertiga kemudian melakukan perjalanan ke kota Nan-king untuk mencari pekerjaan.”

“Hemm, di mana tunanganmu itu, saudara Ki Liong? Mengapa tidak ikut dengan kalian ke sini?”

“Ia tinggal di rumah penginapan karena tadi merasa kurang enak badan,” jawab Liong Bi.

“Ahhh, begitukah? Nah, sekarang katakan, pekerjaan macam apa yang kalian perlukan. Mungkin aku dapat membantu kalian.”

“Kongcu, kami tidak memiliki kepandaian lain kecuali ilmu silat. Tunanganku juga seorang ahli silat. Maka tak ada pekerjaan lain yang lebih cocok bagi kami bertiga kecuali menjadi pengawal. Tetapi kami tidak ingin menjadi prajurit. Kami ingin menjadi pengawal hartawan yang dermawan, atau pejabat yang bijaksana, keluarga orang berpangkat yang berbudi luhur dan...”

“Aih, kalau begitu kalian bertiga bekerja di sini saja, membantu keluarga kami!” Cang Sun berseru girang. “Saudara Liong Ki dapat menjadi pengwal kami, mengawal ayah sebagai pengawal pribadi, atau menemani aku sebagai kawan dan merangkap pengawal. Ada pun nona Liong Bi dan tunanganmu itu dapat menjadi pengawal keluarga ayah, menemani ibu kalau bepergian sambil menjaga keselamatannya...”

“Aduhh, terima kasih sekali, Kongcu!” Liong Bi berseru dan matanya bersinar-sinar penuh kegirangan, senyumnya manis bukan main.

“Ah, jangan tergesa-gesa, Bi-moi. Setidaknya Cang-kongcu harus memberi tahukan orang tuanya untuk mendapat ijin mereka,” kata Liong Ki.

Pada saat itu pula masuk seorang pelayan memberi laporan kepada Cang Sun yang telah memesannya tadi, bahwa ayahnya baru saja pulang dan sekarang berada di ruang dalam bersama ibunya.

“Laporkan bahwa sebentar lagi aku akan menghadap ayah dan ibu bersama dua orang tamu yang penting, yaitu dua orang sahabatku!” kata pemuda bangsawan itu.

Pelayan segera pergi melaksanakan perintahnya dan tak lama kemudian datang kembali memberi laporan bahwa Menteri Cang Ku Ceng dan isterinya sudah siap menerima Cang Sun dan dua orang sahabatnya. Meski pun Liong Ki dan Liong Bi merupakan dua orang yang berkepandaian tinggi, namun sekali ini mereka merasa tegang dan jantung mereka berdebar keras ketika mereka mengikuti Cang Sun untuk menghadap Cang-taijin. Nama besar Menteri Cang itu mempunyai wibawa yang amat kuat!

Akan tetapi ketika dua orang kakak-beradik itu berhadapan dengan Menteri Cang, mereka merasa kagum dan hati mereka terasa tenang. Pembesar yang amat terkenal itu memang kelihatan amat menyeramkan, tinggi besar dan memakai brewok, masih nampak kuat dan gagah walau pun usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Akan tetapi sinar matanya yang mencorong itu dapat menjadi lembut dan suaranya halus ramah ketika dia bicara.

“Ayah dan Ibu, dua orang kakak-beradik Liong Ki dan Liong Bi ini saya ajak menghadap Ayah dan Ibu karena kalau tidak ada pertolongan mereka berdua ini, mungkin sekali saya sudah dibunuh orang.” Tentu saja ucapan ini mengejutkan ayah bundanya, dan Cang Sun segera menceritakan pengalamannya ketika dia berperahu seorang diri di danau.

Sesudah mendengar semua ini, Menteri Cang Ku Ceng mengerutkan alisnya yang tebal. Sepasang matanya mengamati kedua orang kakak-beradik itu dengan sinar mata penuh selidik, membuat Liong Ki dan Liong Bi merasa tidak enak duduk. Sinar mata itu seolah-olah menembusi dada mereka dan menjenguk isi hati!

Pada saat itu terdengar langkah kaki dan muncullah dua orang gadis yang cantik jelita ke dalam ruangan itu. Mereka itu adalah Cang Hui dan adik misannya, Teng Cin Nio. Kalau Cang Hui masuk dengan sikap bebas, sebaliknya Cin Nio tampak ragu-ragu dan sungkan. Bahkan setelah masuk, Cin Nio memandang ke arah paman bibinya, lalu berkata lirih,

“Nah, Enci Hui, apa kataku tadi, kita mengganggu paman dan bibi yang sedang menerima tamu!” Dia lalu memberi hormat kepada Menteri Cang dan isterinya, dengan sikap hormat berkata, “Mohon maaf kepada Paman dan Bibi kalau saya mengganggu.”

“Tidak mengapa, Hui-ji (anak Hui) dan Cin Nio, kalian duduklah. Kami sedang mendengar cerita kakak kalian yang mengejutkan. Dia baru saja diculik pembunuh dan diselamatkan oleh sepasang kakak-beradik ini!” kata Menteri Cang.

Teng Cin Nio segera duduk di belakang bibinya, sedangkan Cang Hui yang mendengar ucapan itu kemudian mendekati kakaknya. “Sun-ko, benarkah itu? Benarkah engkau telah diculik pembunuh? Dan mereka ini... telah menyelamatkanmu? Apakah mereka ini orang-orang yang pandai silat?” Gadis yang keranjingan silat ini tentu saja merasa tertarik sekali dan matanya yang tajam mengamati dua orang kakak-beradik itu dengan penuh selidik.

“Pandai silat?” kata Cang Sun. “Hemm, adikku yang manis. Mereka ini adalah pendekar-pendekar yang amat lihai, kurasa jauh lebih lihai dibandingkan gurumu itu.”

Sebelum Cang Hui membantah kemudian dua orang kakak beradik itu saling berbantahan seperti biasa, Cang Taijin sudah menengahi, “Sudahlah, Sun-ji (anak Sun). Kakak-beradik Liong ini sudah berjasa, engkau harus memberi hadiah kepada mereka.”

“Itulah masalahnya, Ayah. Mereka sama sekali tidak mengharapkan imbalan jasa. Mereka hanya membutuhkan pekerjaan! Saudara Liong Ki ini bahkan memiliki seorang tunangan yang tidak ikut ke sini, dan mereka bertiga mengharapkan pekerjaan yang sesuai dengan kepandaian mereka. Saya telah berjanji kepada mereka untuk menerima mereka sebagai pengawal-pengawal pribadi, Ayah. Saudara Liong Ki ini dapat menjadi pengawal pribadi Ayah dan saya, sedangkan nona Liong Bi dan tunangan saudara Liong Ki dapat menjadi pengawal keluarga kita. Dengan demikian keamanan keluarga bisa terjamin.”

“Tetapi keluarga kita sudah mempunyai pasukan pengawal!” bantah Cang Hui. “Dan aku sendiri bersama Cin-moi sedang memperdalam ilmu silat. Kami dapat menjaga keamanan keluarga kita.”

“Pasukan pengawal itu terlalu kaku. Sebaiknya jika mereka ini menjadi pengawal pribadi, tidak kentara seperti anggota keluarga saja,” bantah Cang Sun. “Dan ingat, mereka sudah menyelamatkan aku sehingga kalau kita menerima mereka menjadi pengawal pribadi, ada balas budi yang menguntungkan kedua pihak.”

“Tetapi kita sama sekali tidak mengenal mereka. Kita harus benar-benar yakin dulu bahwa mereka dapat kita andalkan. Sebaiknya kalau kita uji dahulu sampai di mana kemampuan mereka, apakah pantas untuk menjamin keamanan keluarga kita,” bantah Cang Hui yang memang lincah dan pandai bicara.

Sejak tadi Liong Ki mengamati Cang Hui dan Teng Cin Nio, secara diam-diam dia merasa kagum terhadap Cang Hui. Dia cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Menteri Cang.

“Kami kakak-beradik mohon maaf sebesarnya jika kedatangan kami hanya mendatangkan gangguan saja. Atas pertanyaan Cang-kongcu, kami berterus terang bahwa kami sedang mencari pekerjaan di Nan-king, yang sesuai dengan kemampuan kami. Cang-kongcu lalu menawarkan pekerjaan sebagai pengawal pribadi di sini. Kalau sekiranya keluarga Cang yang terhormat ini keberatan, tentu saja kami tidak berani memaksakan diri. Kami sangat berterima kasih atas segala perhatian Cang-kongcu.”

“Tidak, saudara Liong Ki. Jangan dengarkan kata-kata adikku! Dia memang cerewet, tapi keputusannya ada pada ayah. Bagaimana, Ayah? Apakah Ayah dapat menerima mereka bekerja sebagai pengawal keluarga di sini?”

Cang Ku Ceng adalah seorang yang cerdik dan berhati-hati, namun dia pun seorang yang berwatak gagah. Kalau puteranya telah menjanjikan kepada mereka, tentu saja amat tidak baik kalau dia menolaknya. Akan tetapi untuk menerimanya begitu saja, juga merupakan perbuatan yang gegabah, karena dia belum mengenal siapa mereka.

“Engkau dan adikmu memang benar. Sebagai seorang yang menerima budi pertolongan, sudah sepantasnya bila engkau membalas budi pertolongan mereka. Akan tetapi adikmu juga benar. Kalau mereka hendak bekerja sebagai pengawal keluarga, kita harus benar-benar yakin akan kemampuan mereka.”

“Tentu saja, Ayah. Aku merasa yakin bahwa kepandaian dua kakak-beradik ini lebih lihai dari pada semua jagoan yang ada di sini, lebih lihai dari pada guru silat Coa yang tua itu! Kalau mereka ini menjadi pengawal keluarga, nona Liong Bi akan dapat menggantikannya dan menjadi guru silat Hui-moi.”

“Baiklah, kita uji dulu kepandaian mereka. Akan tetapi aku ingin bertanya dahulu, apakah kalian dua kakak-beradik Liong suka menerima bila kami beri pekerjaan sebagai pengawal keluarga kami?” tanya Cang Taijin.

“Bertiga dengan tunangan saudara Liong Ki, Ayah,” Cang Hui mengingatkan.

“Oya, tiga orang, dan semua akan diuji dulu kepandaiannya. Bagaimana jawaban kalian? Suka menjadi pengawal keluarga kami melalui ujian kepandaian dulu?”

Liong Bi memandang pada kakaknya, kemudian Liong Ki menjawab dengan sikap gagah. “Tentu saja kami akan menerima dengan perasaan bersyukur dan bangga jika Taijin sudi menerima kami sebagai pengawal kelurga, ada pun tentang ujian, hal itu memang sudah sepatutnya dan semestinya. Kami berdua, dan bersama tunangan saya nanti, siap untuk menghadapi ujian.”

“Ayah, biar kami dan suhu yang melakukan ujian!” kata Cang Hui galak, masih penasaran dan sama sekali tak percaya bahwa dua orang muda yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya itu akan mampu mengalahkan gurunya.

Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 09

SEJAK pemuda dan gadis itu memasuki rumah penginapan, pemilik sepasang mata jeli ini sudah mengikuti mereka. Akan tetapi Ki Liong dan Mayang tidak tahu bahwa ada orang memperhatikan mereka, karena pemilik mata jeli itu selalu bersembunyi ketika mengikuti gerak-gerik mereka, bahkan mendengarkan percakapan mereka di depan kamar Mayang! Sesudah Ki Liong dan Mayang memasuki kamarnya masing-masing, pemilik mata jeli itu tersenyum dan mengangguk-angguk.

Menjelang tengah malam, Ki Liong yang sudah pulas itu terbangun oleh suara ketukan perlahan di jendela kamarnya. Sebagai seorang ahli silat yang pandai, sedikit suara saja sudah cukup untuk membangunkannya. Dan begitu terbangun dia pun sudah siap siaga, dengan cepat melompat turun dari pembaringan, lantas tanpa mengeluarkan suara sedikit pun dia sudah mendekati jendela kamarnya yang tertutup, mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Tik-tik-tik!” Lirih saja ketukan itu. Tentu pengetuknya menggunakan kuku jari tangan saja untuk mengetuk daun jendela kamarnya.

Karena pengetuk itu bersikap hati-hati dengan ketukan lirih seolah-olah tak ingin membuat gaduh, Ki Liong menyangka bahwa tentu si pengetuk itu adalah Mayang, dan tentu terjadi sesuatu yang sudah membuat kekasihnya itu curiga. Cepat dia membuka daun jendela tanpa mengeluarkan suara. Begitu daun jendela dibuka dia pun segera siap menghadapi serangan kalau yang datang itu musuh. Dia melihat bayangan berkelebat, bayangan yang ramping. Tentu Mayang!

Bayangan itu meloncat menjauhi kamar dan menyelinap ke bagian yang gelap pada sudut taman di luar kamarnya itu. Ki Liong cepat mengenakan sepatunya dan dia pun meloncat keluar dari jendela dengan gerakan seperti seekor burung saja, lalu dia berlari menuju ke tempat gelap itu. Sekarang dia merasa yakin bahwa Mayang tentu menemukan sesuatu dan memanggil dia keluar.

Ketika dia tiba di sudut gelap itu, mendadak bayangan itu muncul bahkan berdiri di bawah lampu gantung sehingga sinar lampu menerangi dirinya dan wajah serta tubuhnya terlihat cukup jelas. Ki Liong terbelalak, kaget dan heran. Bukan Mayang! Walau pun tidak kalah cantiknya!

Dia seorang wanita muda, tapi jauh lebih dewasa dari pada Mayang, usianya sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya lonjong manis dengan senyum memikat, dan matanya tajam dengan kerling yang sangat genit. Wanita itu memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan, dengan sikap menantang berdiri menunggu sambil tersenyum dan mengerling penuh arti. Seorang wanita yang sudah matang!

Ki Liong menghampiri sehingga mereka berdiri berhadapan. Mereka saling pandang dan wanita itu mengamati Ki Liong laksana seorang pedagang kuda yang sedang mengamati dan menilai seekor kuda yang akan dibelinya.

“Nona, siapakah engkau dan mengapa pula mengetuk daun jendela kamarku?” tanya Ki Liong, suaranya lirih supaya jangan sampai terdengar orang lain, terutama Mayang meski pun sekarang kamar gadis itu terletak agak jauh dari situ.

Wanita itu tersenyum lebar hingga nampak deretan gigi putih mengkilap yang menambah kecantikannya. “Kiranya engkau adalah orang yang memiliki kepandaian hebat, seorang pendekar! Caramu melompat keluar dari kamarmu tadi...”

“Nona, siapakah engkau dan mengapa pula...” Ki Liong mengulang pertanyaannya.

“Hi-hik, pendekar kesepian! Aku pun senasib denganmu. Aku pun merasa amat kesepian. Sepi, dingin dan rindu!” Kembali senyum dan kerlingnya memikat.

Ki Liong bukanlah seorang pemuda alim. Sama sekali bukan. Bahkan dia pernah menjadi hamba nafsu yang tidak pantang melakukan apa pun demi pemuasan nafsunya. Dan kini, begitu menghadapi seorang wanita yang demikian cantik manis dan menggairahkan, yang menantang lagi, tentu saja jantungnya langsung berdebar tegang membayangkan hal-hal yang amat menyenangkan. Akan tetapi dia pura-pura tidak mengerti.

“Maksudmu bagaimana?”

“Hi-hik, orang muda yang ganteng. Kita bisa saling menolong mengusir kesepian masing-masing, saling menghangatkan dan saling mengobati rindu di hati. Aku pun bermalam di sini. Kamarku di sana. Marilah kita bicara di kamarku!” Wanita itu menunjuk ke kiri.

Walau pun gairahnya sudah bangkit oleh kecantikan wanita yang menantangnya itu, akan tetapi Ki Liong bukan orang yang ceroboh apa lagi bodoh. Dia selalu berhati-hati karena maklum bahwa dia memiliki banyak musuh. Dia tidak mengenal siapa wanita ini sehingga bahaya tetap saja mungkin mengancamnya. Siapa tahu ini merupakan sebuah perangkap dan dia tidak begitu bodoh untuk memasuki perangkap hanya karena tertarik paras cantik dan sikap genit memikat.

“Nona, usulmu tadi memang baik dan memikat. Kita dapat saling menghibur. Akan tetapi kamarku lebih dekat. Maka, kalau benar engkau menghendaki dan jujur, mari kita bicara di kamarku saja.”

Wanita itu tersenyum lantas mengedipkan matanya. “Tapi... kamar gadis Tibet itu letaknya berdampingan dengan kamarmu. Kalau dia mendengar...”

Ki Liong tersenyum. “Perlukah kita membuat gaduh? Bicara pun dapat berbisik jika mulut dan telinga kita saling berdekatan.” Dia pun balas mengedipkan matanya.

Wanita itu tertawa tanpa menutupi mulutnya. Hal ini memang tidak perlu karena mulutnya amat menarik kalau dia sedang tertawa. Hanya dia menahan diri sehingga suara tawanya tidak nyaring. Dan dia pun mengangguk.

“Mari kita berlomba siapa yang dapat masuk lebih dulu ke kamarmu tanpa mengeluarkan suara gaduh sedikit pun!” kata wanita itu. “Yang kalah harus menuruti semua permintaan yang menang.”

Ki Liong tersenyum. Baginya, kalah atau pun menang sama saja enaknya, baik dia yang memerintah atau yang diperintah, “Baik, silakan!” katanya.

Akan tetapi terkejutlah dia melihat wanita itu bergerak cepat sekali, seperti meluncur saja menuju ke kamarnya. Dia pun segera mengerahkan ginkang-nya mengejar, namun ketika dia meloncat ke dalam kamarnya melalui jendela yang terbuka, wanita itu sudah rebah di atas pembaringan sambil tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya.

“Nah, engkau kalah. Sekarang kuperintahkan menutup dan memalang daun jendela, lalu ke sinilah, aku kedinginan!”

Dengan patuh dan senang hati Ki Liong mentaati perintah itu. Mereka segera memperoleh kenyataan yang sangat menyenangkan hati karena mereka berdua bagaikan minyak yang bertemu dengan api.

Ki Liong menemukan seorang wanita yang benar-benar menggairahkan, berpengalaman dan seperti bunga yang telah mekar sepenuhnya, seperti buah yang sudah masak benar. Di lain pihak, wanita itu pun dengan heran dan gembira menemukan seorang pemuda yang sama sekali tidak hijau seperti yang disangkanya semula, melainkan seorang lelaki yang sudah banyak pengalaman dan pandai menyenangkan hatinya.

Tidak mengherankan bila mereka langsung menjadi sangat mesra dan akrab, tidak seperti dua orang yang baru bertemu melainkan bagaikan sepasang kekasih yang sudah saling berkasih-kasihan selama bertahun-tahun. Keduanya pun menjadi semakin kagum setelah mereka saling menceritakan riwayat masing-masing dengan sejujurnya. Keduanya sama-sama dapat merasakan bahwa mereka masing-masing telah bertemu dengan orang yang bisa dipercaya sepenuhnya, orang yang memiliki kecocokan hati.

Wanita itu memperkenalkan dirinya. Dia bukan lain adalah Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun) Su Bi Hwa! Ketika Sim Ki Liong mendengar bahwa kekasihnya yang cantik manis dan pandai menyenangkan hatinya ini murid Pek-lian Sam-kwi, tahulah dia bahwa wanita ini memang seorang tokoh sesat yang berilmu tinggi sehingga pantas sekali menjadi kekasihnya dan juga sekutunya. Kemudian dia pun bercerita terus terang siapa dirinya.

Ketika mendengar bahwa pemuda ganteng itu adalah murid Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah, Su Bi Hwa menjadi terkejut bukan main sampai dia melompat turun dari atas pembaringan dan memandang pemuda itu dengan muka pucat dan mata terbelalak.

“Pen... Pendekar Sadis...?” Dia berseru dalam bisikan.

Siapa orangnya yang tidak gentar mendengar nama julukan itu? Bahkan para datuk sesat sekali pun menjadi gentar kalau mendengar nama Pendekar Sadis. Pendekar itu memang sekarang jarang meninggalkan pulaunya dan tidak pernah lagi mencampuri urusan dunia persilatan. Akan tetapi sekali dia keluar, apa bila ada penjahat bentrok dengan dia, maka nasib penjahat itu akan mengerikan sekali.

Pendekar Sadis terkenal tidak pernah dapat memberi ampun kepada musuhnya, dan dia bukan hanya membunuh, akan tetapi juga menyiksa lawannya sedemikian rupa sehingga para penjahat lain yang mendengarnya menjadi ngeri dan ketakutan.

Ki Liong tersenyum dan dia pun meloncat turun, merangkul dan menarik Bi Hwa ke dalam pelukannya. “Jangan takut, manis. Memang aku adalah muridnya, namun aku tidak sadis seperti guruku. Lihat, aku tidak sadis terhadap dirimu, bukan?”

Bi Hwa menghela napas panjang. “Ihhh, engkau sungguh mengejutkan hatiku, Ki Liong. Pantas engkau lihai bukan main. Kiranya engkau murid Pendekar Sadis.”

“Bekas muridnya, Bi Hwa. Aku sudah diusir dari pulau Teratai Merah dan tidak diakui lagi sebagai murid.” Ki Liong lalu menceritakan tentang hubungannya yang terputus dari suhu dan subo-nya di pulau itu.

Tanpa malu-malu lagi dia menceritakan betapa dahulu dia melarikan diri sambil mencuri pedang milik gurunya, akan tetapi kemudian dia mengembalikan pedang dengan maksud minta diampuni. Akan tetapi suhu dan subo-nya tidak mau mengampuninya.

“Hatiku sakit sekali, B Hwa. Akan tetapi apa yang dapat kulakukan? Mereka itu lihai bukan main. Lagi pula sebetulnya memang aku pun sama sekali tidak ingin kembali ke sana dan hidup sebagai pertapa. Aku tidak akan kembali lagi ke sana!”

“Bagus, Ki Liong. Cocok sekali dengan aku! Aku pun tak suka terikat seperti itu. Aku ingin bebas menikmati hidup ini. Aku senang sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, bahkan kita menjadi sepasang kekasih yang cocok. Mari kita hidup bersama, kita mencari kesenangan sepuasnya, kita bertualang bersama!” Bi Hwa merangkul. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang kekasih yang sehebat ini, juga yang dia tahu amat lihai. Murid Pendekar Sadis! Bayangkan!

“Aku pun senang sekali sudah bertemu denganmu Bi Hwa. Kita memang cocok dan hidup ini akan menggembirakan sekali kalau kita dapat selalu bersama-sama dan mengadakan petualang bersama. Akan tetapi aku mempunyai teman, bahkan dia adalah tunanganku.”

“Hemm, gadis cantik peranakan Tibet itu?”

“Kau tahu?”

“Tentu saja. Sudah semenjak tadi aku mengintai kalian. Aku pun merasa heran mengapa kalian tidak tidur sekamar. Hemm, agaknya tunanganmu menjaga kehormatannya dengan ketat, ya? Dan engkau bertunangan dengan gadis kuno seperti itu?”

“Hemmm, terus terang saja, Bi Hwa. Aku mencinta Mayang, gadis itu. Bahkan dia pernah menyelamatkan nyawaku waktu aku terancam maut di tangan musuh. Aku cinta padanya, akan tetapi dia memang selalu menjauhkan diri, dan mengatakan bahwa dia hanya mau menyerahkan diri kalau kami sudah menikah. Itulah yang menyusahkan hatiku. Kalau saja dia bersikap seperti engkau ini, betapa akan bahagianya hatiku.”

Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa tertawa. Ia adalah seorang wanita yang tidak lagi mengenal apa artinya cinta. Sejak kecil dia digembleng tiga orang gurunya, yaitu Pek-lian Sam-kwi. Dan sejak dia berusia lima belas tahun, tiga orang gurunya itu sudah menggauli murid ini sehingga mulai saat itu Bi Hwa menjadi murid dan juga kekasih tiga orang gurunya yang mesum akhlak itu.

Semenjak itu pula Bi Hwa menjadi seorang hamba nafsu, melampiaskan nafsunya kepada pria mana saja yang berkenan di hatinya. Dia hanya mengenal nafsu birahi, sama sekali tidak mengenal apa artinya cinta! Karena itu dia pun langsung tertawa ketika mendengar seorang rekan dalam dunia sesat seperti Sim Ki Liong mengaku jatuh cinta pada seorang gadis.

“He-he-hi-hik, Ki Liong, engkau sungguh aneh. Kalau kekasihmu itu tidak mau kau dekati, apa sih sulitnya bagi orang sepandai engkau? Ada banyak jalan yang dapat memaksanya menyerahkan diri kepadamu. Engkau dapat meringkus dan menotoknya, engkau dapat memberi minum obat bius atau perangsang kepadanya. Sekali dia telah menyerahkan diri kepadamu, tentu selanjutnya dia akan menjadi penurut.”

Ki Liong menggeleng kepalanya. “Engkau belum tahu gadis macam apa adanya Mayang! Pertama, dia juga lihai karena dia murid Kim Mo Sian-kouw, jadi walau pun aku mampu mengunggulinya dalam ilmu silat, namun tidak mudah menundukkan Mayang. Kedua, aku ingin dia menyerah dengan cintanya kepadaku seperti sekarang. Kalau aku memaksanya, tentu dia akan membenciku dan aku tidak menghendaki itu. Aku cinta padanya.”

Bi Hwa mencium pipi pemuda itu. “Di sini masih ada aku yang dengan senang hati mau menyerahkan diri kepadamu dengan cinta, mengapa engkau masih menghendaki wanita lain? Apakah aku kurang hangat, kurang memuaskan?”

Ki Liong mencubit dagu yang manis itu. “Engkau hebat, Bi Hwa. Akan tetapi engkau lebih cocok jika menjadi kekasihku dan sekutuku. Kita bertualang bersama, bercinta bersama, saling bantu dan saling bela. Akan tetapi aku ingin Mayang menjadi isteriku, aku ingin dia menjadi ibu dari anak-anakku.”

“Ihh! Aku tidak mau menjadi ibu!” Bi Hwa berkata genit. “Itu hanya membuat aku cepat tua dan akan merusak keindahan tubuh!” wanita itu tertawa-tawa. “Kalau engkau benar-benar menganggap aku sebagai kekasih dan sekutumu, dan selalu akan menyenangkan hatiku seperti sekarang ini, aku mempunyai cara untuk membuat dia menyerah kepadamu tanpa paksaan, melainkan dengan suka rela, Ki Liong.”

Tentu saja Ki Liong merasa girang sekali. “Kalau benar engkau mampu membuat Mayang menyerah kepadaku secara suka rela, aku akan semakin sayang kepadamu, Bi Hwa. Tapi bagaimana caranya? Ingat, hati Mayang keras sekali dan dia amat sukar ditundukkan.”

“Hi-hik-hik, kau lihat saja nanti. Besok pagi perkenalkan aku kepadanya. Katakan bahwa kita pernah berkenalan...” Mereka lalu bisik-bisik mengatur siasat untuk membuat Mayang dapat menerima Bi Hwa sebagai seorang sahabat!

“Engkau tadi telah menuturkan riwayatmu, Ki Liong. Akan tetapi sekarang engkau hendak pergi ke mana bersama Mayang?”

“Aku sendiri bingung sekali, Bi Hwa. Setelah kami pergi dari Pulau Teratai Merah, tadinya Mayang mengajak aku pergi ke barat untuk minta restu dari ibunya dan gurunya supaya kami dapat menikah. Akan tetapi aku tidak ingin melakukan perjalanan jauh dan sukar itu, maka aku usulkan kepadanya untuk mencari Cia Kui Hong di Cin-ling-pai agar Kui Hong memberi surat kepada guru-guruku di pulau Teratai Merah. Tapi setelah kupikir-pikir, tidak enak juga. Sebenarnya aku tidak ingin kembali kepada guru-guruku, hanya Mayang selalu mendesak.”

“Ke Cin-ling-pai?” Bi Hwa bergidik. Baru saja dia meninggalkan Cin-ling-pai setelah gagal menguasai perkumpulan itu, malah dia nyaris tewas dan ketiga orang gurunya juga tewas oleh keluarga Cin-ling-pai.

“Pergi ke Cin-ling-pai sama saja seperti ular mencari penggebuk, Ki Liong. Justru keluarga Cin-ling-pai adalah musuh besarku. Merekalah yang membunuh tiga orang guruku.”

Ki Liong bangkit duduk, lantas mengangguk-angguk sambil mengerutkan kedua alisnya. “Terus terang saja, mereka pun tadinya musuh-musuhku. Cia Kui Hong, ketua Cin-ling-pai itu pun tadinya musuh besarku dan aku hampir saja tewas di tangannya kalau tidak ada Mayang yang menolongku. Aku pun tidak suka kepada mereka yang sombong itu.”

“Kalau begitu, untuk apa pergi ke sana? Lebih baik kalau engkau pergi bersamaku ke kota raja. Bukankah kita hendak bertualang, mencari keuntungan dan kesenangan, menikmati hidup ini? Nah, aku sudah punya rencana yang kalau berhasil akan membuat kita hidup mulia, terhormat, dan kaya raya.”

“Aihh, nampaknya menarik sekali. Apakah rencanamu itu, manis?”

Kembali mereka berbisik-bisik. Malam itu mereka lewatkan dengan mengatur siasat kerja sama dan membiarkan diri hanyut dalam gelombang nafsu birahi. Pada keesokan harinya mereka sudah menjadi sekutu yang saling mencinta karena mereka sudah menemukan pasangan yang amat menyenangkan.

Setelah Mayang bangun dan mandi, dia ditemui Ki Liong yang juga sudah nampak segar biar pun matanya agak sayu karena kurang tidur dan lelah, dan pemuda itu mengajaknya sarapan di sebuah kedai bubur.

Di kedai inilah, pada waktu mereka sedang makan bubur, masuk seorang wanita cantik. Setelah menengok ke kanan kiri mencari tempat kosong, wanita itu melihat Ki Liong dan Mayang lalu dia pun berseru.

“Ki Liong...! Bukankah engkau Ki Liong...?” Wanita itu bukan lain adalah Su Bi Hwa yang mulai memainkan sandiwara yang tadi malam sudah diaturnya bersama Ki Liong.

Ki Liong dan Mayang terkejut dan mereka menengok. Mayang merasa heran sekali saat melihat seorang wanita yang cantik manis, dengan pakaian yang mewah, pesolek, berdiri tak jauh di dalam kedai itu dan memandang kepada Ki Liong dengan senyum ramah.

Ki Liong bangkit berdiri dan dia pun mulai bersandiwara. Dia memandang dengan ragu, lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan sikap hormat dan berkata,

“Maafkan aku, nona. Akan tetapi, siapakah nona?”

Mayang masih duduk, dan dia mengamati wanita itu dengan penuh selidik. Melihat wanita cantik yang sinar mata dan senyumnya genit memikat itu, hatinya menaruh curiga dan dia merasa tak enak hati. Akan tetapi wanita itu tersenyum ramah dan mendekat. Semerbak harum langsung menyengat hidung Mayang ketika wanita itu mendekat, dan dia semakin tidak senang. Dia memang tidak suka melihat wanita memakai minyak wangi sedemikian banyaknya sampai baunya semerbak.

“Ki Liong, benarkah engkau sudah lupa padaku? Bukankah aku yang menjadi sahabatmu bermain-main di dusun pada waktu aku berusia sepuluh tahun? Kita juga pernah bertemu ketika engkau menjadi ketua Kim-lian-pang,.”

Sepasang mata Ki Liong bersinar, wajahnya perlahan-lahan berseri. “Ah, engkau kiranya Bi Hwa! Ya, aku ingat, engkau tentu Bi Hwa!”

Bi Hwa tersenyum ramah. “Bagus, akhirnya engkau ingat juga kepada sahabat lamamu! Engkau tampak agak kurus, Ki Liong dan ini... ehh, siapakah adik manis ini?”

“O ya, mari kuperkenalkan. Mayang, ini adalah Su Bi Hwa, seorang sahabat baikku sejak kami masih kanak-kanak. Sekarang dia sudah menjadi wanita yang sangat lihai. Dan Bi Hwa sahabatku, perkenalkan, ini adalah Mayang, tunanganku.”

“Tunangan? Ahh, kionghi (selamat) kalau begitu! Kiranya engkau sudah bertunangan dan tentu tidak lama lagi akan menikah.” Dengan ramah Bi Hwa memberi hormat yang dibalas oleh Mayang. Bi Hwa dipersilakan duduk di meja mereka, lalu Ki Liong memesan bubur untuk tamu ini.

“Bagaimana engkau dapat berada di Wang-sian ini? Di mana engkau bermalam, Bi Hwa?”

“Di losmen Goat-likoan,” jawab Bi Hwa.

“Ahh, kami juga bermalam di sana!” kata Mayang.

Bi Hwa memandang heran. “Benarkah? Aihh, kita bermalam di dalam satu losmen akan tetapi tidak saling berjumpa!”

Setelah selesai makan mereka melanjutkan percakapan di ruangan tamu losmen di mana mereka bermalam. Mayang segera dapat akrab dengan Bi Hwa. Dia mendapat kenyataan bahwa Bi Hwa adalah seorang wanita yang amat ramah, pula luas pengetahuannya, dan dapat menceritakan hal-hal yang amat menarik.

Maka lenyaplah semua kecurigaannya karena sikap Ki Liong dan Bi Hwa sungguh akrab seperti dua orang sahabat lama. Apa lagi ketika dia mendengar pengakuan Bi Hwa bahwa dia seorang janda, bahwa suaminya sudah meninggal dunia di tangan orang-orang jahat dan dia sudah membalaskan kematian suaminya.

“Sejak itu aku mengambil keputusan untuk tidak menikah lagi, Adik Mayang. Aku pujikan saja engkau dan Ki Liong akan menjadi suami isteri yang baik. Ehh, ngomong-ngomong, kapan menikahnya? Jangan lupa mengundang aku.”

Wajah Mayang berubah kemerahan ketika Ki Liong menjawab terus terang. “Aku sih ingin segera menikah, akan tetapi Mayang hendak meminta restu dari ibunya dan gurunya lebih dahulu. Akan tetapi dia memang benar, apa lagi aku belum mempunyai pekerjaan yang tetap untuk membiayai kehidupan berumah tangga.”

“Bagaimana mungkin aku dapat menikah jika belum mendapat persetujuan ibu dan subo-ku?” kata Mayang membela diri karena dia maklum bahwa kekasihnya masih marah oleh penolakannya tinggal sekamar.

Bi Hwa tersenyum. “Kalian berdua memang benar, namun menurut pendapatku alasan Ki Liong paling kuat. Orang berumah tangga membutuhkan biaya, dan kehidupan setiap hari pun tidak ringan. Seorang suami harus memiliki penghasilan yang tetap dan mantap. Ki Liong, kenapa engkau tidak mencari pekerjaan di kota raja? Dengan kepandaianmu, tentu tidak sukar bagimu untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi.”

“Bi Hwa, kau kira mudah saja mendapatkan kedudukan di kota raja? Di sana gudangnya orang-orang pandai. Lebih banyak orangnya dari pada jabatan yang diperebutkan. Tanpa adanya perantara yang berkuasa, mana mungkin mendapatkan pekerjaan yang baik?”

“Jangan khawatir, Ki Liong. Aku mempunyai seorang kenalan baik, seorang pejabat tinggi di kota raja, sahabat dari mendiang suamiku dahulu. Bila engkau memang membutuhkan pekerjaan, mari bersama dengan aku ke sana. Aku pun sedang pergi ke sana, juga untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanku.”

“Bagus sekali! Ah, bagaimana, Mayang? Ini kesempatan baik sekali! Mari kita ikut Bi Hwa ke kota raja mencari kedudukan yang baik.”

“Tapi bagaimana dengan perjalanan kita yang jadi tertunda-tunda?” Mayang membantah. “Pertama kita hendak pergi ke barat, ke rumah ibuku. Lalu engkau mengubahnya, engkau ingin lebih dahulu bertemu enci Kui Hong di Cin-ling-pai, kemudian sekarang kembali kita mengubah perjalanan, ke kota raja!”

Mendengar ini, Bi Hwa mendekati Mayang dan menaruh tangannya di pundak gadis Tibet itu. “Adik Mayang, kalau kita menghadapi beberapa pilihan, sebaiknya kita memilih yang paling penting lebih dahulu. Biar pun urusan menemui ketua Cin-ling-pai dan menemui ibu dan gurumu juga penting, tetapi dapat ditunda karena mereka itu mempunyai tempat yang tetap dan tidak akan ke mana-mana. Datang hari ini atau lain bulan pun sama saja. Akan tetapi urusan pekerjaan lain lagi. Sekarang ada kesempatan yang sangat baik. Aku akan menjadi perantara, ada kenalanku di sana. Kalau ditunda lain kali, tanpa perantara, maka akan sukar sekali mendapatkan kedudukan yang baik.”

“Benar sekali, Mayang. Lagi pula bagaimana mungkin aku berani menghadap ibumu dan mengajukan lamaran atas diriku kalau aku belum mempunyai pekerjaan apa pun? Kalau ibumu atau subo-mu menanyakan tentang pekerjaanku, bagaimana aku harus menjawab mereka?” Ki Liong membujuk pula.

Dibujuk oleh dua orang yang sebelumnya memang sudah mengatur siasat itu, akhirnya Mayang terpaksa mengalah. Alasan kedua orang itu terlalu kuat. Pula, perlu apa tergesa-gesa mendapat persetujuan menikah? Yang penting Ki Liong sudah mengubah wataknya dan menjadi orang baik-baik, dan mereka berdua saling mencinta. Dia pun ingin merantau ke kota raja sebelum memasuki hidup berumah tangga yang akan mengikat dia di rumah sebagai ibu rumah tangga.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Sebetulnya Kaisar Cia Ceng (1520-1566) dari Kerajaan Beng-tiauw bukan seorang kaisar yang dapat dibilang bijaksana. Bahkan dia lemah dan tentu akan menjadi permainan para penjilat yang menjadi pembesar di sekitarnya kalau saja di dalam pemerintahannya tidak ada dua orang menteri yang pandai dan bijaksana.

Yang pertama adalah Menteri Yang Ting Hoo, seorang ahli siasat yang pandai pula dalam mengatur pemerintahan, dan berwatak sabar serta bijaksana. Usia menteri ini lima puluh tiga tahun dan dia merupakan orang kedua setelah menteri Cang Ku Ceng yang usianya lima puluh enam tahun. Menteri Cang Ku Ceng adalah menteri yang disegani kaisar dan untung bagi negara bahwa kaisar masih suka mendengar nasehat kedua orang menteri itu, terutama Menteri Cang Ku Ceng.

Menteri Cang Ku Ceng yang berusia lima puluh enam tahun itu masih terlihat kokoh kuat. Tinggi besar dan brewok, dengan tubuh tegap akan tetapi sikapnya halus dan dia cerdik bukan main. Kemajuan yang dicapai Kaisar Cia Ceng sebagian besar karena jasa Menteri Cang Ku Ceng.

Akan tetapi Menteri Cang tidak pernah mau menonjolkan dirinya. Dia menganggap bahwa semua hasil jerih payahnya itu merupakan tugas, merupakan kewajiban seorang pejabat pemerintahan. Dia menghembakan diri demi rakyat, demi negara, demi kaisar. Kalau ada penyelewengan di lingkungan istana, dia tidak segan-segan untuk memperingatkan serta menegur kaisar. Hal ini pun dianggapnya sebagai tugas seorang pejabat. Tugas seorang pejabat bukan hanya menyenangkan hati kaisar saja, melainkan juga menjaga agar kaisar dan seluruh pembantunya melaksanakan tugas dengan baik dan adil.

Cang Taijin (Pembesar Cang) atau Menteri Cang ini hanya memiliki seorang putera yang bernama Cang Sun. Dari beberapa orang selirnya, dia hanya mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Cang Hui. Kini Cang Sun berusia tiga puluh tahun, tampan dan lembut, seorang sastrawan yang pandai. Ada pun adik tirinya, Cang Hui, berusia delapan belas tahun, cantik manis dan lincah jenaka.

Biar pun pada waktu itu usianya sudah tiga puluh tahun tetapi Cang Sun belum menikah. Sebenarnya Menteri Cang dan isterinya sudah sering kali membujuk, namun Cang Sun selalu menolak. Pernah Cang Sun jatuh cinta kepada pendekar wanita Cia Kui Hong yang membantu Menteri Cang mengamankan negara, namun pendekar wanita yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu tidak dapat membalas cinta kasih pemuda bangsawan itu karena dia sendiri sudah jatuh cinta pada pendekar petualang Tang Hay yang dijuluki Pendekar Mata Keranjang. Dan sejak kegagalan cinta itu, Cang Sun tidak pernah setuju untuk dinikahkan dengan gadis mana pun pilihan orang tuanya. Padahal di antara yang dicalonkan menjadi isterinya banyak pula dara yang pandai dan cantik, lebih cantik dari Cia Kui Hong, namun Cang Sun selalu menolak.

Hal ini membuat Menteri Cang dan isterinya kadang termenung dan berduka. Pembesar ini terlalu bijaksana untuk memaksa puteranya. Dia tahu bahwa untuk satu hal ini, yaitu pernikahan, sangat tidak baik kalau digunakan paksaan. Dia hendak memberi kebebasan memilih kepada puteranya.

Akan tetapi usia puteranya sudah tiga puluh tahun dan nampaknya Cang Sun belum juga berminat untuk memilih seorang wanita sebagai jodohnya! Dan menurut penyelidikannya melalui para petugas, di dalam pergaulannya Cang Sun tidak pernah mendekati wanita, juga tidak pernah mengunjungi rumah pelesir.

Cang Taijin dan isterinya lantas berusaha untuk mendekatkan putera mereka itu kepada seorang gadis yang baik. Mereka tentu saja merasa cemas. Cang Sun merupakan putera tunggal, penyambung keturunan keluarga Cang! Dan akhirnya mereka dapat menemukan pilihan mereka.

Gadis itu berusia delapan belas tahun dan bukan merupakan orang luar. Namanya Teng Cin Nio, seorang gadis yang cantik jelita, manis, pendiam, pandai serta cerdas. Juga dia masih terhitung saudara misan puteri mereka, jadi masih keponakan dari ibu Cang Hui yang menjadi selir Menteri Cang.

Tentu saja ayah dan gadis itu merasa bangga bahwa puteri mereka dipilih oleh Menteri Cang untuk dijodohkan, atau setidaknya, dicalonkan sebagai jodoh Cang Sun. Karena itu mereka menyetujui sepenuhnya ketika Menteri Cang dan selirnya minta supaya Teng Cin Nio tinggal di rumah bangsawan itu.

Walau pun Cin Nio dan Cang Hui segera akrab sekali karena mereka memang saudara misan, tetapi agaknya Cang Sun tidak kelihatan tertarik. Biar pun demikian, Menteri Cang tidak putus asa dan selirnya selalu berusaha mendekatkan dua orang muda ini.

Bagi Cin Nio sendiri, tentu saja dalam sudut hatinya dia merasa setuju karena sejak kecil dia memang sudah kagum terhadap Cang Sun yang terkenal ganteng dan terpelajar, juga putera seorang bangsawan yang berkedudukan tinggi dan kaya raya! Namun dia seorang gadis pendiam. Biar pun misannya, Cang Hui sering kali menggodanya, dia tidak pernah memperlihatkan rasa kagum dan harapannya terhadap pemuda bangsawan itu.

Cang Hui amat kagum terhadap Cia Kui Hong, pendekar wanita yang pernah membantu ayahnya membasmi para pemberontak, dan tadinya dia telah merasa gembira mendengar bahwa ayahnya ingin mengambil pendekar wanita itu sebagai menantunya. Akan tetapi dia merasa kecewa sekali ketika Kui Hong menolak dan meninggalkan kota raja.

Dia merasa penasaran sekali dan timbul keinginannya untuk belajar ilmu silat! Ketika dia mengajukan permohonan kepada ayahnya, Menteri Cang yang bijaksana hanya tertawa namun tidak keberatan. Ilmu silat memang penting, pikirnya, biar untuk anak perempuan sekali pun. Pertama, ilmu itu menyehatkan badan, ke dua, ilmu itu dapat digunakan untuk membela diri dari ancaman perbuatan jahat dan mendatangkan jiwa pendekar yang gagah dan membela kebenaran.

Dia bukan saja menyetujui, bahkan dia lalu memilih seorang di antara para panglimanya yang ahli silat, yaitu Panglima Coa yang usianya sudah enam puluh tahun, untuk menjadi guru silat bagi puterinya.

Kegembiraan Cang Hui semakin bertambah ketika adik misannya, Teng Cin Nio, yang kini tinggal di rumah keluarganya, ternyata pernah belajar ilmu silat pula. Dengan demikian dia mempunyai teman untuk berlatih silat. Hanya Cang Sun yang tidak suka belajar ilmu silat. Bahkan dia mengejek adiknya yang suka belajar ilmu silat.

“Kau ini anak perempuan untuk apa belajar ilmu silat dan bermain-main dengan pedang? Apakah engkau ingin menjadi prajurit, atau pembunuh?”

“Sun-koko (kakak Sun) jangan begitu! Aku belajar ilmu silat agar aku dapat menjaga diri. Kalau aku lemah, bagaimana aku dapat membela diri apa bila diganggu orang jahat.”

“Hemm, siapa akan berani mengganggu, adikku? Ayah kita adalah seorang menteri, dan banyak prajurit yang siap untuk membela kita apa bila ada mara bahaya datang. Juga di sampingmu ada ayah, ada aku, ada para pengawal. Kelak kalau engkau sudah menikah, ada pengganti kami untuk menjagamu, yaitu suamimu.”

Wajah dara itu berubah merah. “Ihh, Sun-koko, apa-apaan engkau bicara tentang suami? Aku hanya ingin menjadi seorang wanita yang perkasa, seperti enci Kui Hong itu!”

Disebutnya nama pendekar wanita ini membuat Cang Sun mengerutkan alisnya. Dia pun tidak mau menggoda adiknya lagi, apa lagi pada saat itu muncul Cin Nio yang mencari saudara misannya. Cang Sun segera pergi meninggalkan dua orang gadis itu.

Dengan wajah muram Cang Sun meninggalkan taman di mana tadi dia bertemu dengan adiknya. Ucapan adiknya sudah mengingatkan dia kepada seorang gadis pendekar yang sebenarnya merupakan wanita pertama yang pernah menjatuhkan hatinya, Cia Kui Hong! Gadis yang selain cantik jelita dan mempunyai daya tarik yang kuat sekali, juga seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Dan dia pernah tergila-gila kepada Kui Hong.

Tadinya dia sudah merasa yakin bahwa gadis itu tentu akan menjadi isterinya. Alangkah senangnya jika memiliki seorang isteri yang selihai itu, tentu keamanan dan keselamatan keluarganya akan terjamin! Dia merasa yakin karena tahu bahwa dirinya dirindukan oleh hampir semua gadis di kota raja. Tentu Kui Hong juga akan menerima pinangannya. Dia putera Menteri Cang yang terkenal.

Tapi ketika dia menyatakan cintanya, ternyata gadis pendekar itu dengan terang-terangan menolak cintanya, bahkan mengatakan bahwa gadis itu telah mempunyai seorang pilihan hatinya sendiri! Cang Sun merasa terpukul dan sampai kini dia tak pernah mau menerima bujukan orang tuanya untuk memilih seorang gadis sebagai isterinya. Dianggapnya bahwa tidak ada gadis lain yang dapat menggantikan Kui Hong di dalam hatinya, tidak ada gadis lain yang sehebat Kui Hong!

Hatinya terasa tertusuk ketika adiknya menyebut nama Kui Hong, dan kenangan tentang gadis pendekar itu membuat Cang Sun murung. Dia lalu keluar dari taman, terus menuju ke halaman depan kemudian keluar ke jalan raya. Ia menyambut pemberian hormat para petugas jaga di depan dengan sikap acuh, lantas melangkah keluar tanpa tujuan.

Sepasang kakinya membawanya berjalan ke luar kota, dan dia tak mempedulikan orang-orang yang bersimpang jalan memberi hormat kepadanya. Tidak peduli pula akan kerling dan pandang mata banyak mata wanita ditujukan kepadanya.

Pada waktu itu Menteri Cang Ku Ceng bertugas di Nan-king, yaitu ibu kota ke dua setelah Peking, sedangkan Menteri Yang Ting Hoo bertugas di Peking. Kaisar Cia Ceng mengerti bahwa dia hanya bisa percaya dan mengandalkan kebijaksanaan dua orang menteri setia ini. Maka dia sengaja membagi tugas kepada mereka.

Yang Ting Hoo yang lebih ahli dalam urusan ketentaraan bertugas di Peking, sedangkan Cang Ku Ceng yang ahli dalam urusan dalam negeri dan juga pandai mengamankan para pejabat daerah yang suka memberontak, ditugaskan di Nan-king. Karena tugas ini maka Menteri Cang sekeluarga pindah ke Nan-king di mana dia memang mempunyai sebuah gedung yang disediakan pemerintah untuknya.

Di luar kota Nan-king sebelah selatan terdapat sebuah danau kecil yang menjadi tempat di mana Cang Sun sering kali menghibur diri. Pemuda ini senang menyendiri, mendayung sebuah perahu kecil, membawa makanan dan arak, juga alat tulis untuk membuat sajak atau memainkan sebuah yang-kim (semacam gitar) sambil melamun pada bagian danau yang sunyi.

Apa lagi saat itu hatinya sedang gundah karena teringat akan Kui Hong, maka setelah dia mendayung perahunya menuju ke bagian yang sunyi di danau itu, jauh dari perahu lain, dia lalu membiarkan perahunya terapung-apung dan dia sendiri duduk melamun. Dia tidak menulis sajak, tidak pula memetik yang-kim, namun hanya melamun dan membayangkan semua kenangan indah bersama Kui Hong pada saat gadis pendekar itu tinggal di rumah orang tuanya di Peking, pada saat Kui Hong membantu ayahnya melakukan penyelidikan tentang kerusuhan yang terjadi di istana kaisar (baca Kisah Si Kumbang Merah).

Cang Sun sama sekali tidak mengetahui bahwa sejak dia keluar dari pekarangan rumah keluarganya, ada dua pasang mata mengikutinya sampai ke danau itu. Bahkan ketika dia mendayung perahu kecilnya, tidak lama kemudian ada sebuah perahu kecil lain mengikuti dari jauh. Setiap gerak-gerik yang dilakukan Cang Sun diamati pendayung perahu lain itu, yang hanya seorang saja, ada pun pemilik sepasang mata yang lain masih mengamatinya dari jauh, dari tepi danau.

Dia baru sadar sesudah perahu kecil berwarna hitam itu meluncur mendekati perahunya. Dia menengok dan melihat ada seorang laki-laki yang mengenakan caping lebar di atas perahu itu. Sama sekali dia tidak dapat melihat wajah orang itu yang tertutup caping sama sekali. Setelah perahu itu menabrak perahunya sendiri, dia terkejut dan menegur marah.

“Heiiii...! Apa engkau tidak melihat ada perahu di depanmu? Kenapa engkau main tabrak saja?” Cang Sun cepat mempergunakan dayungnya untuk mengembalikan keseimbangan perahunya yang terguncang oleh tabrakan itu.

Orang bercaping itu mengangkat mukanya sehingga sekarang tampaklah wajah di bawah caping lebar itu. Cang Sun terbelalak karena wajah itu tertutup kedok sapu tangan hitam! Yang nampak hanya sepasang mata yang mencorong!

“Heiii! Siapa engkau dan mau apa...!”

Sebelum ucapannya selesai, orang berkedok itu sudah melompat dari perahunya ke atas perahu Cang Sun dan sebelum Cang Sun sempat mengeluarkan suara, tangan orang itu sudah bergerak dan Cang Sun pun tidak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi. Dia telah tertotok! Sekali lagi tangan orang itu menyentuh leher Cang Sun, membuat pemuda bangsawan itu bukan saja tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, bahkan juga tidak mampu mengeluarkan suara! Dia hanya dapat memandang kepada orang berkedok itu dengan sinar mata terkejut, heran dan juga ketakutan.

Orang berkedok itu bicara dengan suara yang parau dan dalam sehingga terdengar aneh menyeramkan. “Engkau kusandera. Hanya kalau ayahmu telah menyerahkan uang seribu tail kepadaku, baru engkau kubebaskan. Jika dalam waktu sehari semalam uang itu tidak diserahkan kepadaku maka aku akan menyiksamu sampai mati.”

Tentu saja Cang Sun terkejut bukan kepalang. Dia memang penakut, dalam arti kata tidak menyukai kekerasan, akan tetapi sama sekali bukan pengecut! Bagaimana ayahnya akan tahu bahwa dia diculik orang dan bagaimana pula akan dapat menebusnya? Akan tetapi karena dia tidak mampu bergerak dan bersuara, maka dia pun diam saja.

Orang itu sudah mendayung perahunya dan meninggalkan perahunya sendiri yang bercat hitam tadi. Dengan cepat orang berkedok itu mendayung perahu ke pantai, dan di pantai itu telah menanti pemilik sepasang mata yang ke dua, yang bersembunyi di balik semak-semak. Pantai itu memang bagian yang sunyi dan tidak nampak seorang pun manusia di situ.

Ketika perahu sudah tiba di dekat pantai, orang berkedok itu berdiri, lalu mencengkeram punggung baju Cang Sun dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah melompat ke darat. Gerakannya demikian ringan dan tangannya demikian kuat sehingga Cang Sun mengerti bahwa dia terjatuh ke tangan orang yang sangat lihai, yang dapat membawanya meloncat dari perahu ke darat seperti membawa benda yang amat ringan saja!

Akan tetapi begitu dia mendarat, terdengar bentakan merdu dan nyaring keluar dari balik semak-semak. “Penculik jahat, lepaskan dia!”

Lantas muncullah seorang wanita cantik. Begitu muncul, wanita itu bergerak cepat bukan kepalang, tubuhnya laksana terbang saja menyerang ke arah pria berkedok yang menjadi terkejut sekali.

“Ihhh...!” Pria berkedok itu menangkis dan terhuyung ke belakang.

Wanita itu kemudian menggerakkan tangannya, membebaskan totokan Cang Sun dengan beberapa kali tusukan jari tangan dan tepukan. Cang Sun mampu bergerak dan bersuara lagi. Akan tetapi dia tidak sempat bicara karena orang berkedok itu kini sudah menyerang si gadis cantik dengan pukulan-pukulan dahsyat. Namun dengan tenang wanita itu segera menyambut serangan itu, mengelak atau menangkis dan membalas tidak kalah cepat dan kuatnya.

Cang Sun yang sudah bebas mendapat kesempatan untuk memperhatikan penolongnya. Wanita itu memang cantik sekali, cantik dan manis dengan muka lonjong, wajahnya cerah dengan senyum selalu membayang di mulutnya, matanya jeli dan sinarnya tajam.

Pertarungan itu berjalan seru. Secara diam-diam Cang Sun merasa khawatir kalau-kalau penolongnya itu akan kalah. Tempat itu amat sunyi sehingga dia tidak minta tolong orang lain. Namun ternyata kekhawatirannya itu tidak perlu. Kini dia melihat betapa wanita cantik itu mulai mendesak si penculik.

Cang Sun menjadi kagum. Wanita cantik itu mengingatkan dia kepada Kui Hong! Seperti juga ketua Cin-ling-pai itu, gadis ini cantik manis dan memiliki ilmu kepandaian yang lihai! Dan gadis itu kini mati-matian menolong dan membelanya dari ancaman si penculik yang jahat dan kejam.

“Penjahat keji! Buka kedokmu dan berlutut minta ampun, baru aku akan mengampunimu!” terdengar wanita gagah itu berseru.

Seorang pendekar wanita, pikir Cang Sun. Seorang pendekar wanita yang berbudi. Akan tetapi nampaknya penculik itu tak mau membuka kedoknya, bahkan menyerang semakin ganas.

“Bagus, engkau memang jahat dan mesti dihajar!” wanita itu berseru lagi sambil mengelak dan balas menyerang. Kembali mereka saling serang, demikian cepatnya sehingga sukar bagi Cang Sun untuk dapat mengikuti gerakan mereka.

“Plakkk!”

Tiba-tiba penculik itu terhuyung ke belakang, agaknya terkena tamparan pada pundaknya. Dia mengaduh, terhuyung dan sebelum pendekar wanita itu sempat menyerang kembali, si penculik sudah meloncat jauh dan melarikan diri!

“Keparat, hendak lari ke mana kau?!” bentak gadis itu dan hendak mengejar, akan tetapi Cang Sun cepat mencegahnya.

“Lihiap, harap jangan kejar dia!”

Gadis itu tidak jadi mengejarnya, membalik dan menghadapi Cang Sun.

“Kenapa, Kongcu? Kenapa aku tidak boleh mengejarnya?” tanyanya dan ketika dia bicara, nampak kilatan giginya yang putih, menambah kecantikannya.

“Dia sudah lari dan sungguh berbahaya mengejar penjahat yang melarikan diri. Lagi pula dia tidak menyakiti aku dan...”

Pada saat itu muncul seorang pemuda dari lain jurusan, seorang pemuda yang tampan dan gagah.

“Bi-moi (Adik Bi), apa yang terjadi?” tanya pemuda itu dan melihat kemunculannya yang tiba-tiba, Cang Sun bisa menduga bahwa pemuda ini pun seorang yang mempunyai ilmu kepandaian silat tinggi.

“Aihh, Ki-koko (Kakak Ki), engkau baru datang? Baru saja aku menolong kongcu ini dari tangan seorang penculik jahat. Dia sudah melarikan diri!”

“Ke mana dia lari?” tanya pemuda itu.

Wanita itu menunjuk ke arah larinya penculik tadi dan tanpa menunggu wanita itu bicara, pemuda gagah tadi segera meloncat dan melakukan pengejaran. Cang Sun yang merasa kagum lantas bertanya kepada gadis itu.

“Lihiap, siapakah orang gagah tadi?”

“Dia adalah kakakku, Kongcu.”

“Ahhh! Kalian kakak beradik yang gagah perkasa sungguh mengagumkan sekali. Engkau sudah menyelamatkan nyawaku, Lihiap. bolehkah aku mengetahui siapakah nama Lihiap dan siapa pula nama kakakmu tadi?”

“Kami she Liong, Kongcu. Kakakku bernama Liong Ki dan namaku sendiri Liong Bi. Kami datang dari selatan dan baru beberapa hari berada di Nan-king. Hari ini kami berpesiar di danau ini. Tadi kami berpisah karena kakakku hendak membeli minuman, dan kebetulan aku melihat Kongcu diculik penjahat berkedok tadi. Siapakah Kongcu dan mengapa pula Kongcu diculik penjahat tadi?”

“Liong-lihiap (Pendekar Wanita Liong), terimalah hormatku serta ucapan terima kasihku,” kata Cang Sun sambil memberi hormat yang cepat dibalas oleh Liong Bi. “Namaku Cang Sun dan penculik tadi menculikku untuk minta uang tebusan, begitu menurut ancamannya tadi. Kalau dalam waktu dua puluh empat jam ayahku tidak memberi uang tebusan seribu tail, maka dia akan menyiksa dan membunuhku.”

“Cang Kongcu, she (nama keturunan) Kongcu mengingatkan aku akan seorang pembesar yang amat terkenal, yaitu Menteri Cang Ku Ceng. Apakah barang kali Kongcu masih ada hubungan keluarga dengan Cang Taijin...?”

“Aku puteranya.”

“Aihhh...!” Gadis itu cepat-cepat memberi hormat yang dibalas oleh Cang Sun. “Maafkan aku, Kongcu. Sungguh mati karena tidak tahu, maka aku bersikap kurang hormat kepada putera Menteri Cang yang sangat terkenal di seluruh penjuru. Beruntung sekali aku dapat bertemu dengan Kongcu!”

“Hemm, Lihiap terlalu merendahkan diri. Ayahku memang seorang menteri yang terkenal, akan tetapi aku ini hanya anaknya yang tidak memiliki kemampuan apa pun.”

“Sekarang aku tidak merasa heran kenapa ada penjahat yang ingin menculikmu, Kongcu. Selain untuk mencari uang tebusan, tentu penjahat itu pernah sakit hati terhadap ayahmu yang terkenal keras kepada para penjahat. Akan tetapi yang membuat aku merasa heran, mengapa Kongcu bepergian seorang diri tanpa pengawal? Itu dapat berbahaya sekali!”

“Hemmm, apa sih bahayanya? Aku hanya orang biasa, dan selama ini belum pernah aku mengalami gangguan, baru tadi. Mungkin penjahat itu agak miring otaknya...”

“Aih, jangan berkata demikian, Cang-kongcu! Andai kata Kongcu sendiri tidak atau belum memiliki kedudukan tinggi dan nama yang terkenal, tetapi Kongcu tidak boleh lupa bahwa Kongcu adalah putera seorang menteri yang amat terkenal! Karena itu sebaiknya Kongcu menjaga diri dengan pengawalan, karena bila terjadi sesuatu terhadap diri Kongcu, tentu ayah Kongcu juga ikut merasa berduka dan menyesal.”

Pada saat itu tampak pemuda tampan gagah tadi datang berlari seperti terbang cepatnya. Gadis cantik itu lalu menyongsongnya. “Bagaimana, Koko, berhasilkah engkau mengejar penjahat tadi?”

Pemuda itu menggeleng kepalanya. “Aku tidak menemukan lagi bayangannya, dan tidak ada orang lain yang melihat orang berlari ke sana.” Pemuda itu memandang kepada Cang Sun. “Bagaimana pun juga, masih untung bahwa penjahat itu tidak melukai saudara ini...”

“Koko, kongcu ini adalah Kongcu Cang Sun, putera Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal itu.”

Pemuda tampan itu nampak terkejut sekali, dan cepat dia memberi hormat kepada Cang Sun. “Maaf, karena tidak tahu maka aku bersikap kurang hormat, Cang-kongcu.”

Cang Sun memandang pada pemuda itu dengan tatapan kagum. Seorang pemuda yang usianya sebaya dengan gadis itu, wajahnya tampan, tubuhnya sedang namun tegap dan sikapnya sopan, bicaranya lembut dan halus pula, tanda bahwa selain ilmu silatnya lihai, pendekar ini juga mengenal tata-susila.

“Liong-taihiap... (pendekar besar Liong).”

Pemuda yang tadi diperkenalkan oleh gadis itu bernama Liong Ki cepat memberi hormat. “Jangan sebut aku taihiap, Kongcu. Namaku Liong Ki, sebut saja namaku.”

Cang Sun semakin kagum dan senang. “Baiklah, saudara Liong Ki, dan juga engkau nona Liong Bi. Aku sungguh berterima kasih sekali dan merasa berhutang budi kepada kalian. Entah bagaimana aku dapat membalas budi kebaikan kalian. Apa bila kalian tidak merasa berkeberatan, aku mengundang kalian untuk datang ke rumah agar aku dapat mengajak kalian makan minum dan kuceritakan peristiwa tadi kepada ayahku.”

Liong Ki dan Liong Bi saling pandang, lantas Liong Ki yang berkata, “Sesungguhnya kami sama sekali tidak mengharapkan balas jasa, Cang Kongcu. Menolong sesama hidup yang sedang berada dalam kesulitan merupakan kewajiban kami. Akan tetapi kami tidak berani menolak undangan Kongcu, bahkan kami merasa gembira dan terhormat sekali.”

“Juga kami harus mengawal Kongcu sampai ke rumah, karena siapa tahu penjahat tadi masih penasaran dan akan muncul lagi mengganggu Kongcu,” kata Liong Bi.

Mereka lalu kembali ke Nan-king dan diam-diam Cang Sun merasa girang sekali. Biar pun baru saja dia terbebas dari ancaman maut, tetapi kini bersama kakak beradik yang lihai itu dia merasa aman dan terjamin keselamatannya!

Setibanya di rumah Cang Sun langsung memerintahkan para pelayan untuk menyediakan hidangan yang serba mahal dan lezat untuk menjamu kakak-beradik itu. Ayahnya masih belum pulang, maka dia mengajak dua orang penolongnya untuk makan minum.

Dua orang muda itu pun tidak sungkan-sungkan lagi sehingga hubungan mereka menjadi akrab. Apa lagi setelah Cang Sun mendapat kenyataan betapa Liong Ki memang memiliki pandangan luas, malah tidak asing pula dengan kesusastraan. Mereka pun makan minum dengan asyik sekali.

“Sekali lagi kuulangi bahwa aku amat berterima kasih kepada kalian. Kalau saja aku dapat membantu kalian untuk sekedar membalas kebaikan itu, maka aku akan merasa gembira sekali.”

Liong Ki tersenyum. “Kongcu, sudah kami katakan tadi bahwa kami tidak mengharapkan balasan karena perbuatan kami itu sudah menjadi kewajiban bagi para pendekar.”

“Tetapi, Koko, siapa tahu Cang Kongcu dapat membantu kita? Bukankah kita jauh-jauh datang ke Nan-king untuk mencari pekerjaan?” kata Liong Bi.

“Ahh, Bi-moi, kita tidak boleh merepotkan Cang-kongcu!” tegur kakaknya.

Wajah Cang Sun berseri. “Ah, kalian membutuhkan pekerjaan? Ceritakan, pekerjaan apa yang kalian butuhkan, tentu aku akan membantu kalian!”

Liong Ki menghela napas panjang. “Sesungguhnya kami tidak ingin merepotkan Kongcu, akan tetapi karena adikku terlanjur lancang bicara, biarlah kami ceritakan kepada Kongcu keadaan kami. Kami dua kakak beradik tinggal di selatan, di lembah Sungai Yangce yang berada di perbatasan Propinsi Secuan dan Hupek. Dusun kami yang berada di tepi sungai mengalami kebanjiran hebat sehingga ludeslah seluruh milik kami. Kami telah yatim piatu, karena itu kami mengambil keputusan untuk mengembara. Bersama tunangan saya yang bernama Mayang, kami bertiga kemudian melakukan perjalanan ke kota Nan-king untuk mencari pekerjaan.”

“Hemm, di mana tunanganmu itu, saudara Ki Liong? Mengapa tidak ikut dengan kalian ke sini?”

“Ia tinggal di rumah penginapan karena tadi merasa kurang enak badan,” jawab Liong Bi.

“Ahhh, begitukah? Nah, sekarang katakan, pekerjaan macam apa yang kalian perlukan. Mungkin aku dapat membantu kalian.”

“Kongcu, kami tidak memiliki kepandaian lain kecuali ilmu silat. Tunanganku juga seorang ahli silat. Maka tak ada pekerjaan lain yang lebih cocok bagi kami bertiga kecuali menjadi pengawal. Tetapi kami tidak ingin menjadi prajurit. Kami ingin menjadi pengawal hartawan yang dermawan, atau pejabat yang bijaksana, keluarga orang berpangkat yang berbudi luhur dan...”

“Aih, kalau begitu kalian bertiga bekerja di sini saja, membantu keluarga kami!” Cang Sun berseru girang. “Saudara Liong Ki dapat menjadi pengwal kami, mengawal ayah sebagai pengawal pribadi, atau menemani aku sebagai kawan dan merangkap pengawal. Ada pun nona Liong Bi dan tunanganmu itu dapat menjadi pengawal keluarga ayah, menemani ibu kalau bepergian sambil menjaga keselamatannya...”

“Aduhh, terima kasih sekali, Kongcu!” Liong Bi berseru dan matanya bersinar-sinar penuh kegirangan, senyumnya manis bukan main.

“Ah, jangan tergesa-gesa, Bi-moi. Setidaknya Cang-kongcu harus memberi tahukan orang tuanya untuk mendapat ijin mereka,” kata Liong Ki.

Pada saat itu pula masuk seorang pelayan memberi laporan kepada Cang Sun yang telah memesannya tadi, bahwa ayahnya baru saja pulang dan sekarang berada di ruang dalam bersama ibunya.

“Laporkan bahwa sebentar lagi aku akan menghadap ayah dan ibu bersama dua orang tamu yang penting, yaitu dua orang sahabatku!” kata pemuda bangsawan itu.

Pelayan segera pergi melaksanakan perintahnya dan tak lama kemudian datang kembali memberi laporan bahwa Menteri Cang Ku Ceng dan isterinya sudah siap menerima Cang Sun dan dua orang sahabatnya. Meski pun Liong Ki dan Liong Bi merupakan dua orang yang berkepandaian tinggi, namun sekali ini mereka merasa tegang dan jantung mereka berdebar keras ketika mereka mengikuti Cang Sun untuk menghadap Cang-taijin. Nama besar Menteri Cang itu mempunyai wibawa yang amat kuat!

Akan tetapi ketika dua orang kakak-beradik itu berhadapan dengan Menteri Cang, mereka merasa kagum dan hati mereka terasa tenang. Pembesar yang amat terkenal itu memang kelihatan amat menyeramkan, tinggi besar dan memakai brewok, masih nampak kuat dan gagah walau pun usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Akan tetapi sinar matanya yang mencorong itu dapat menjadi lembut dan suaranya halus ramah ketika dia bicara.

“Ayah dan Ibu, dua orang kakak-beradik Liong Ki dan Liong Bi ini saya ajak menghadap Ayah dan Ibu karena kalau tidak ada pertolongan mereka berdua ini, mungkin sekali saya sudah dibunuh orang.” Tentu saja ucapan ini mengejutkan ayah bundanya, dan Cang Sun segera menceritakan pengalamannya ketika dia berperahu seorang diri di danau.

Sesudah mendengar semua ini, Menteri Cang Ku Ceng mengerutkan alisnya yang tebal. Sepasang matanya mengamati kedua orang kakak-beradik itu dengan sinar mata penuh selidik, membuat Liong Ki dan Liong Bi merasa tidak enak duduk. Sinar mata itu seolah-olah menembusi dada mereka dan menjenguk isi hati!

Pada saat itu terdengar langkah kaki dan muncullah dua orang gadis yang cantik jelita ke dalam ruangan itu. Mereka itu adalah Cang Hui dan adik misannya, Teng Cin Nio. Kalau Cang Hui masuk dengan sikap bebas, sebaliknya Cin Nio tampak ragu-ragu dan sungkan. Bahkan setelah masuk, Cin Nio memandang ke arah paman bibinya, lalu berkata lirih,

“Nah, Enci Hui, apa kataku tadi, kita mengganggu paman dan bibi yang sedang menerima tamu!” Dia lalu memberi hormat kepada Menteri Cang dan isterinya, dengan sikap hormat berkata, “Mohon maaf kepada Paman dan Bibi kalau saya mengganggu.”

“Tidak mengapa, Hui-ji (anak Hui) dan Cin Nio, kalian duduklah. Kami sedang mendengar cerita kakak kalian yang mengejutkan. Dia baru saja diculik pembunuh dan diselamatkan oleh sepasang kakak-beradik ini!” kata Menteri Cang.

Teng Cin Nio segera duduk di belakang bibinya, sedangkan Cang Hui yang mendengar ucapan itu kemudian mendekati kakaknya. “Sun-ko, benarkah itu? Benarkah engkau telah diculik pembunuh? Dan mereka ini... telah menyelamatkanmu? Apakah mereka ini orang-orang yang pandai silat?” Gadis yang keranjingan silat ini tentu saja merasa tertarik sekali dan matanya yang tajam mengamati dua orang kakak-beradik itu dengan penuh selidik.

“Pandai silat?” kata Cang Sun. “Hemm, adikku yang manis. Mereka ini adalah pendekar-pendekar yang amat lihai, kurasa jauh lebih lihai dibandingkan gurumu itu.”

Sebelum Cang Hui membantah kemudian dua orang kakak beradik itu saling berbantahan seperti biasa, Cang Taijin sudah menengahi, “Sudahlah, Sun-ji (anak Sun). Kakak-beradik Liong ini sudah berjasa, engkau harus memberi hadiah kepada mereka.”

“Itulah masalahnya, Ayah. Mereka sama sekali tidak mengharapkan imbalan jasa. Mereka hanya membutuhkan pekerjaan! Saudara Liong Ki ini bahkan memiliki seorang tunangan yang tidak ikut ke sini, dan mereka bertiga mengharapkan pekerjaan yang sesuai dengan kepandaian mereka. Saya telah berjanji kepada mereka untuk menerima mereka sebagai pengawal-pengawal pribadi, Ayah. Saudara Liong Ki ini dapat menjadi pengawal pribadi Ayah dan saya, sedangkan nona Liong Bi dan tunangan saudara Liong Ki dapat menjadi pengawal keluarga kita. Dengan demikian keamanan keluarga bisa terjamin.”

“Tetapi keluarga kita sudah mempunyai pasukan pengawal!” bantah Cang Hui. “Dan aku sendiri bersama Cin-moi sedang memperdalam ilmu silat. Kami dapat menjaga keamanan keluarga kita.”

“Pasukan pengawal itu terlalu kaku. Sebaiknya jika mereka ini menjadi pengawal pribadi, tidak kentara seperti anggota keluarga saja,” bantah Cang Sun. “Dan ingat, mereka sudah menyelamatkan aku sehingga kalau kita menerima mereka menjadi pengawal pribadi, ada balas budi yang menguntungkan kedua pihak.”

“Tetapi kita sama sekali tidak mengenal mereka. Kita harus benar-benar yakin dulu bahwa mereka dapat kita andalkan. Sebaiknya kalau kita uji dahulu sampai di mana kemampuan mereka, apakah pantas untuk menjamin keamanan keluarga kita,” bantah Cang Hui yang memang lincah dan pandai bicara.

Sejak tadi Liong Ki mengamati Cang Hui dan Teng Cin Nio, secara diam-diam dia merasa kagum terhadap Cang Hui. Dia cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Menteri Cang.

“Kami kakak-beradik mohon maaf sebesarnya jika kedatangan kami hanya mendatangkan gangguan saja. Atas pertanyaan Cang-kongcu, kami berterus terang bahwa kami sedang mencari pekerjaan di Nan-king, yang sesuai dengan kemampuan kami. Cang-kongcu lalu menawarkan pekerjaan sebagai pengawal pribadi di sini. Kalau sekiranya keluarga Cang yang terhormat ini keberatan, tentu saja kami tidak berani memaksakan diri. Kami sangat berterima kasih atas segala perhatian Cang-kongcu.”

“Tidak, saudara Liong Ki. Jangan dengarkan kata-kata adikku! Dia memang cerewet, tapi keputusannya ada pada ayah. Bagaimana, Ayah? Apakah Ayah dapat menerima mereka bekerja sebagai pengawal keluarga di sini?”

Cang Ku Ceng adalah seorang yang cerdik dan berhati-hati, namun dia pun seorang yang berwatak gagah. Kalau puteranya telah menjanjikan kepada mereka, tentu saja amat tidak baik kalau dia menolaknya. Akan tetapi untuk menerimanya begitu saja, juga merupakan perbuatan yang gegabah, karena dia belum mengenal siapa mereka.

“Engkau dan adikmu memang benar. Sebagai seorang yang menerima budi pertolongan, sudah sepantasnya bila engkau membalas budi pertolongan mereka. Akan tetapi adikmu juga benar. Kalau mereka hendak bekerja sebagai pengawal keluarga, kita harus benar-benar yakin akan kemampuan mereka.”

“Tentu saja, Ayah. Aku merasa yakin bahwa kepandaian dua kakak-beradik ini lebih lihai dari pada semua jagoan yang ada di sini, lebih lihai dari pada guru silat Coa yang tua itu! Kalau mereka ini menjadi pengawal keluarga, nona Liong Bi akan dapat menggantikannya dan menjadi guru silat Hui-moi.”

“Baiklah, kita uji dulu kepandaian mereka. Akan tetapi aku ingin bertanya dahulu, apakah kalian dua kakak-beradik Liong suka menerima bila kami beri pekerjaan sebagai pengawal keluarga kami?” tanya Cang Taijin.

“Bertiga dengan tunangan saudara Liong Ki, Ayah,” Cang Hui mengingatkan.

“Oya, tiga orang, dan semua akan diuji dulu kepandaiannya. Bagaimana jawaban kalian? Suka menjadi pengawal keluarga kami melalui ujian kepandaian dulu?”

Liong Bi memandang pada kakaknya, kemudian Liong Ki menjawab dengan sikap gagah. “Tentu saja kami akan menerima dengan perasaan bersyukur dan bangga jika Taijin sudi menerima kami sebagai pengawal kelurga, ada pun tentang ujian, hal itu memang sudah sepatutnya dan semestinya. Kami berdua, dan bersama tunangan saya nanti, siap untuk menghadapi ujian.”

“Ayah, biar kami dan suhu yang melakukan ujian!” kata Cang Hui galak, masih penasaran dan sama sekali tak percaya bahwa dua orang muda yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya itu akan mampu mengalahkan gurunya.