Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

“Untung ada engkau yang mempergunakan sihirmu menguasai Ciok Gun, Hay-ko, kalau tidak, aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya aku dapat membongkar rahasia mereka dan memancing mereka. Sungguh Cin-ling-pai berhutang budi besar terhadapmu,” kata Kui Hong kepada kekasihnya ketika mereka duduk berhadapan di ruangan tamu rumah keluarga Cia.

Hay Hay tertawa dan menepuk punggung tangan gadis itu. “Hushhh, di antara kita mana pantas bicara mengenai budi? Aku membantumu, hal itu sama saja dengan kalau engkau membantuku. Saling bantu antara kita adalah wajar sekali, bukan? Jangan katakan Cin-ling-pai hutang budi kepadaku.”

“Kau tidak tahu, Hay-ko. Bagi kami keluarga Cia, Cin-ling-pai paling kami utamakan. Jatuh bangunnya Cin-ling-pai merupakan jatuh bangunnya kehidupan kami, setidaknya tekad itu merupakan sumpah bagi setiap anggota kami yang menjadi pangcu seperti aku sekarang ini.”

Wajah Hay Hay yang tadinya berseri-seri kini kehilangan kegembiraannya. Dia menatap tajam wajah kekasihnya. “Akan tetapi, Hong-moi, maafkan keterus teranganku ini. Kulihat semua sikap tokoh Cin-ling-pai tidak menunjukkan seperti apa yang kau katakan itu.”

Dengan tajam sinar mata dara itu menyambar wajah Hay Hay. “Apa yang kau maksudkan dengan ucapanmu itu, Hay-ko?”

“Mereka semua itu, dari kakekmu sampai ayah ibumu, juga wakil ketua Cin-ling-pai dan pembantunya, semua menyerah kepada orang-orang Pek-lian-kauw karena mendahulukan kepentingan keluarga. Bukankah demikan? Mereka tidak dapat melawan karena khawatir dengan keselamatan keluarga Cia yang telah tertawan. Namun hal itu bagiku wajar saja. Betapa pun juga setiap manusia pasti akan mementingkan diri sendiri serta keluarganya lebih dahulu, baru mementingkan yang lain.”

“Tidak! Kukatakan tadi bahwa sumpah itu hanya dilakukan oleh seorang ketua Cin-ling-pai. Kakekku pun bersikap demikian ketika dahulu menjadi ketua, juga ayahku. Sekarang akulah yang bersumpah. Karena itu hanya aku seorang yang tidak mau tunduk terhadap mereka dan aku melawan, biar pun perlawananku itu membahayakan keluargaku. Untung engkau yang membantuku sehingga keluarga kami selamat semua dan Cin-ling-pai dapat pula dibersihkan dari para penyelundup itu.”

Hay Hay mengerutkan alis. Pendirian kekasihnya itu merupakan suatu segi yang asing baginya. Tetapi dia menghibur dirinya dan sambil tersenyum berkata, “Tentu saja engkau benar, Hong-moi. Tetapi setelah kita menikah tentu engkau akan melepaskan kedudukan ketua itu kepada orang lain sehingga tidak terikat lagi dengan kewajiban dan tugas yang berat.”

Kui Hong menunduk dan menghela napas panjang. “Tadinya aku pun tidak suka terikat, Hay-ko, maka aku pergi meninggalkan Cin-ling-pai dan menyerahkan tugas kepada susiok Gouw Kian Sun dan suheng Ciok Gun. Aku sendiri lalu pergi merantau untuk menambah pengalaman. Tapi engkau lihat sendiri, apa yang terjadi dengan Cin-ling-pai. Aku merasa menyesal sekali karena aku melihat bahwa aku telah melalaikan kewajibanku. Maka aku berjanji akan membela dan mengatur Cin-ling-pai hingga menjadi kuat dan jaya kembali.”

“Biar pun sudah menikah?”

“Apa salahnya setelah menikah tetap menjadi pangcu?”

“Dan suamimu... ehhh… aku?”

“Dengan sendirinya engkau akan menjadi orang Cin-ling-pai dan bantuanmu sangat kami butuhkan, Hay-ko. Justru dengan adanya engkau, maka aku menjadi besar hati dan yakin akan mampu membuat Cing-ling-pai kembali jaya seperti di jaman nenek moyang dulu.”

Hay Hay tidak bicara lagi karena pada saat itu nampak rombongan keluarga Cia sedang memasuki ruang tamu di mana mereka bercakap-cakap. Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa gelisah.

Dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat dan keinginan hati kekasihnya. Dia ingin bebas, meski pun sudah menikah dengan Kui Hong, dia ingin bersama isterinya bagaikan dua ekor burung terbang di angkasa luas. Tidak terkurung dalam sangkar berupa Cin-ling-pai.

Karena kakek, ayah dan ibu Kui Hong kini memasuki ruangan itu, Hay Hay cepat bangkit berdiri dengan sikap hormat. Diam-diam dia mengagumi keluarga kekasihnya itu. Memang keluarga gagah perkasa, pantas namanya amat terkenal di dunia kang-ouw karena sepak terjang mereka yang keras namun selalu menjunjung kebenaran dan keadilan.

Cia Kong Liang adalah seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih namun tubuhnya masih tegak, wajahnya kereng berwibawa dan tatapan matanya menusuk tajam penuh ketabahan. Cia Hui Song seorang pria berusia empat puluh empat tahun yang juga tampan dan gagah walau pun terlihat lebih tua dari pada usia sebenarnya dengan banyak garis-garis derita di dahinya. Ibu dari Kui Hong, Ceng Sui Cin, berusia tiga puluh sembilan tahun, nampak penuh semangat dan dari sinar matanya jelas nampak kekerasan hati dan keberanian. Dari sikap mereka saja sudah mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang lihai.

Akan tetapi, Hay Hay merasa tidak enak melihat betapa mereka bertiga itu, terutama ibu Kui Hong yang menggandeng tangan anak laki-laki berusia lima tahun, hanya sekilas saja memandang kepadanya dengan bibir cemberut. Malah kakek Cia Kong Liang sama sekali tak memandangnya. Pandang mata kakek itu hanya lewat saja di atas kepalanya. Hanya Cia Hui Song yang memandang kepadanya agak lama, namun bukan dengan sinar mata ramah, melainkan dengan sinar mata penuh selidik!

Sungguh bukan sikap orang-orang yang berterima kasih, walau seujung rambut pun dia tidak mengharapkan terima kasih dari mereka. Yang dia bantu adalah Cia Kui Hong, gadis yang dikasihinya, bukan keluarga Cia atau Cin-ling-pai.

Agaknya Kui Hong juga menjadi curiga. Tentu saja dia mengenal baik ketiga orang tua itu dan merasa bahwa sikap mereka sungguh tidak seperti biasa, tidak semestinya, bahkan tidak pada tempatnya. Mereka jelas mengacuhkan, bahkan meremehkan Hay Hay!

Walau pun hatinya merasa tidak enak, bahkan tidak senang melihat sikap orang tuanya, namun tentu saja Kui Hong tidak berani bertanya secara terang-terangan. Disambutnya ibunya lalu dia memondong adiknya, Cia Kui Bu dan mencium kedua pipi adiknya itu!

“Enci hebat! Kata kongkong, enci yang membebaskan kami. Aihh, kalau saja aku sudah besar dan selihai Enci, tentu akan kubasmi habis semua orang Pek-lian-kauw yang jahat itu!”

Kui Hong tersenyum bangga dan menurunkan adiknya, mengelus kepala adiknya, “Kelak engkau tentu lebih lihai dari pada aku. Ingat selalu bahwa engkau adalah calon ketua Cin-ling-pai yang hebat!”

Mendengar ini Cia Kong Liang lalu berkata, “Mudah-mudahan saja kelak dia akan mampu mengangkat kembali nama Cin-ling-pai yang dirusak oleh para jahanam itu.”

Kui Hong memandang kepada ayahnya. “Ayah, apakah orang-orang dari empat partai itu sudah pergi? Mereka benar-benar menjemukan. Kita sedang tertimpa mala petaka, tetapi mereka bahkan menghimpit kita dengan tuduhan-tuduhan berat!”

“Hemm, jangan engkau berkata seperti itu Kui Hong,” kata Hui Song dengan suara tegas. “Mereka itu menjadi korban, bahkan di antara orang-orang tak berdosa itu ada yang tewas dan terluka. Karena mereka berada di sini, dan yang melakukan menyamar sebagai murid kita, tentu saja tadinya mereka yakin sekali bahwa Cin-ling-pai yang melakukan kejahatan itu. Sungguh sial, Cin-ling-pai telah dinodai dan dicemarkan. Tugasmulah sebagai pangcu untuk mengangkat kembali nama baik Cin-ling-pai, membersihkannya dari noda dengan bertindak tegas dan keras terhadap semua murid dan anggota.”

“Nanti dulu,” kata Ceng Sui Cin sambil memandang kepada Hay Hay. “Sungguh tak patut bicara soal Cin-ling-pai di hadapan orang luar, padahal yang kita bicarakan adalah urusan pribadi Cin-ling-pai. Kui Hong, sahabatmu ini dari partai manakah, dan siapa pula nama selengkapnya, siapa gurunya dan orang tuanya?”

Walau pun pertanyaan itu ditujukan kepada Kui Hong, akan tetapi sinar mata nyonya itu menatap wajah Hay Hay yang sudah penuh senyum kembali, sehingga Hay Hay merasa benar bahwa pertanyaan itu langsung ditujukan padanya.

Memang Sui Cin sengaja bertanya untuk mengalihkan percakapan keluarga dan langsung saja bicara mengenai pemuda yang mendatangkan perasaan tidak suka di hati mereka itu karena pemuda itu adalah putera seorang jai-hwa-cat besar! Sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya tidak senang dan khawatir melihat puterinya akrab dengan putera seorang penjahat yang demikian tersohor seperti Ang-hong-cu.

Kui Hong memandang ibunya. Dia pun merasakan sesuatu yang tidak beres dalam sikap ibunya, ayahnya, dan juga kakeknya. Hal ini membuat dia terheran-heran. Bukankah jasa Hay Hay sangat besar dalam menyelamatkan keluarga Cia tadi sehingga nama baik Cin-ling-pai dapat dibersihkan kembali?

Sepatutnya kalau ibunya setidaknya bersikap bersahabat dengan Hay Hay, bukan malah bersikap dingin dan seperti orang yang tidak menyukai kehadiran pemuda itu di Cin-ling-pai. Dia tidak percaya bahwa orang tuanya memiliki watak yang demikian tak kenal budi.

“Hay-ko, engkau jawablah sendiri pertanyaan ibu,” katanya dengan hati yang tidak puas. Sengaja dia memperlihatkan sikap ini karena dia memang jengkel dan agar ayah ibunya, juga kakeknya tahu akan kejengkelannya itu.

Akan tetapi Hay Hay tetap tenang saja, bahkan senyumnya tidak meninggalkan bibirnya. Sesudah memberi hormat kepada tiga orang tua yang kini juga mengambil tempat duduk dan menghadapinya seperti panitia hakim yang sedang mengadilinya itu, dia pun berkata dengan lembut.

“Saya mohon maaf kepada Kakek, Paman dan Bibi yang terhormat sebagai sesepuh Cin-ling-pai bahwa dengan lancang saya berani datang ke sini dan mencampuri urusan Cin-ling-pai.”

“Hay-ko, engkau datang karena kuajak, dan kedatanganmu bahkan menjadi penyelamat keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Bagaimana engkau malah minta maaf?” Kui Hong berkata setengah berteriak karena hatinya merasa penasaran sekali.

“Kui Hong, kami hanya ingin mengenal pemuda ini lebih dekat, kenapa engkau mendadak bersikap begini kasar?” Hui Song menegur puterinya. Mendapat teguran ayahnya, wajah Kui Hong menjadi marah dan mulutnya cemberut.

“Ayahmu benar, Kui Hong. Aku hanya ingin mengetahui siapakah gurunya dan siapa pula orang tuanya. Bukankah ini wajar saja?” kata ibunya.

“Hemmm, sikap kalian yang tidak wajar,” teriak hati Kui Hong. Akan tetapi karena di situ ada Hay Hay, maka dia tidak ingin memperlihatkan perbantahan antara anak dan orang tua.

Semenjak tadi Hay Hay masih tersenyum saja, sungguh pun pada sudut hatinya dia pun merasa heran mengapa keluarga pendekar yang terkenal berbudi itu bersikap seperti itu, hal yang sesungguhnya amat janggal bila diingat bahwa sejak kemunculannya di situ, dia hanya membantu keluarga itu.

“Kalau cu-wi (anda sekalian) ingin mengetahui siapa guru-guru saya, sesungguhnya saya belum pernah menyebut nama mereka kepada orang lain. Akan tetapi mengingat bahwa keluarga cu-wi merupakan keluarga pendekar besar, dan saya memberi keterangan hanya karena ditanya dan cu-wi menghendaki jawaban, maka biarlah sekali ini saya menyebut nama mereka...”

“Hay-ko, kita sudah berkenalan lama sekali, menghadapi segala macam pengalaman dan bahaya maut, akan tetapi aku belum pernah mendesakmu untuk mengatakan siapa guru-gurumu. Kalau memang nama mereka harus dirahasiakan, engkau tidak perlu memaksa diri untuk menceritakannya kepada orang tuaku!” kembali Kui Hong berseru, hatinya mulai terasa pahit.

“Kui Hong, engkau ini kenapa sih?” mendadak kakek Cia Kong Liang menegurnya. “Ayah ibumu hanya ingin lebih mengenal sahabatmu yang kau ajak ke sini, hal itu kurasa wajar saja! Kenapa engkau seperti orang yang marah-marah?”

Kini Kui Hong tak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Ia memang berwatak keras dan galak seperti ibunya, dan suka berterus terang. “Kongkong, siapakah yang aneh dan siapa pula yang tidak wajar? Hay-ko datang karena kuajak, kemudian di sini kami melihat hal yang tidak wajar, bahkan dia membantuku, dan terang terang saja, tanpa bantuannya belum tentu aku sanggup membereskan para penjahat itu dan membebaskan Cin-ling-pai dari malapetaka dengan mudah. Akan tetapi apa yang kulihat sekarang? Sahabatku ini bukan disambut ramah, melainkan disambut dengan sikap yang tidak sepatutnya, seolah-olah sahabatku ini baru saja melakukan kejahatan!”

Hui Song dan isterinya bertukar pandang, juga kakek Cia Kong Liang merasa canggung. Mereka bertiga bukan tidak tahu bahwa sikap mereka terhadap pemuda itu memang tidak patut kalau mengingat bahwa pemuda itu telah menyelamatkan keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Tetapi mendengar siapa adanya pemuda itu juga membuat mereka mengkhawatirkan hal yang mereka anggap tidak kalah pentingnya, yaitu masa depan Kui Hong yang berarti menyangkut pula nama baik Cin-ling-pai.

Melihat ledakan yang terjadi antara kekasihnya dan orang tua kekasihnya itu, tentu saja Hay Hay yang merasa paling tidak enak. Dia cepat bangkit dan memberi hormat kepada semua orang, lalu berkata kepada Kui Hong.

“Hong-moi, kuminta dengan sangat agar engkau tidak mengira yang bukan-bukan. Biarlah saya memperkenalkan diri kepada orang tuamu, karena mereka juga berhak mengenalku sedalamnya. Nah, Kakek, Paman dan Bibi. Terus terang saya akui bahwa saya memiliki empat orang guru. Yang pertama adalah suhu See-thian Lama atau Gobi San-jin, yang ke dua adalah suhu Ciu-sian Sin-kai, ke tiga ialah suhu Pek Mau Sanjin, dan yang ke empat adalah suhu Song Lojin.”

Mendengar disebutnya nama-nama itu, tiga orang tua itu terkejut bukan main. Dua orang terdahulu adalah dua di antara Delapan Dewa. Kemudian, biar pun nama Pek Mau Sanjin jarang dikenal orang, namun mereka pernah mendengar nama ini sebagai nama seorang aneh yang kabarnya hidup di antara awan-awan di pegunungan tinggi! Nama Song Lojin juga hanya mereka kenal seperti nama tokoh dongeng saja.

Tidak aneh jika pemuda ini memiliki ilmu kepandaian silat dan sihir yang demikian hebat. Mereka kagum sekali, namun kekaguman itu belum cukup kuat untuk mengusir perasaan tidak senang terhadap pemuda putera Ang-hong-cu itu.

“Kiranya guru-gurumu adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang namanya disebut-sebut seperti di dalam dongeng. Mengagumkan sekali!” kata Ceng Sui Cin. “Dan siapakah orang tuamu, orang muda? Apakah nama keluargamu?”

Hay Hay merasa betapa jangtungnya berdebar tegang. Paling tidak enak jika dia ditanya tentang orang tuanya. Kalau orang lain yang bertanya, mudah saja dia menjawab bahwa dia tidak mempunyai orang tua lagi. Akan tetapi sekali ini lain. Yang bertanya adalah ayah dan ibu Cia Kui Hong, gadis yang dicintanya dan diharapkan menjadi isterinya. Tentu saja orang tua gadis itu berhak mengetahui dengan jelas siapakah ayah dan ibunya, biar pun mereka telah tiada.

Apakah akan dia katakan saja bahwa dia tidak berayah? Kalau begitu berarti dia adalah anak haram! Ahh, tidak! Bagaimana pun juga ayahnya, dia takkan mengingkarinya sebab memang benar bahwa ayahnya adalah Tang Bun An, Si Kumbang Merah!

Lebih baik dia berterus terang dari pada menyembunyikan dan kelak diketahui. Akibatnya tentu akan lebih tidak enak. Lebih baik memasuki perjodohan dengan semua mata yang bersangkutan terbuka lebar, dari pada dipejamkan seperti dalam mimpi dan kelak terkejut kalau sadar dan melihat kenyataan.

“Ayah dan ibu saya telah meninggal dunia,” katanya lirih, namun wajahnya masih nampak berseri.

Hui Song dan Sui Cin, juga kakek Cia Kong Liang, masih teringat akan keterangan Tiong Gi Cinjin tokoh Bu-tong-pai bahwa ayah pemuda ini, Ang-hong-cu, memang sudah tewas akibat roboh oleh puteranya ini! Anak penjahat besar ini telah membunuh ayahnya sendiri!

“Ah, jadi engkau sudah yatim piatu? Kasihan sekali!” kata Ceng Sui Cin. “Siapakah nama mendiang ayahmu? Barang kali kami pernah mendengar atau bahkan mengenalnya.”

Kui Hong memandang khawatir. Dia memang sudah mengkhawatirkan hal ini, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat melarang kekasihnya memperkenalkan nama ayahnya.

“Ayah saya she Tang bernama Bun An,” dengan tabah Hay Hay berkata, akan tetapi kini wajahnya serius dan senyumnya menghilang.

“Tang Bun An?” Sui Cin tiba-tiba menoleh kepada puterinya. “Kui Hong, aku mendengar mengenai adik seperguruanmu Ling Ling… apakah Tang Bun An yang itu, ataukah orang lain?”

Kui Hong menegakkan kepalanya dan dengan tabah dia pun menjawab, “Betul sekali, Ibu. Tang Bun An adalah Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) itu, dan Hay-ko juga tahu tentang adik Ling Ling, bahkan tadinya Hay-ko yang dituduh...”

“Dan kami mendengar bahwa Ang-hong-cu telah dibunuh oleh Pendekar Mata Keranjang, putera kandungnya sendiri?” tanya Hui Song sambil memandang kepada Hay Hay.

“Benar sekali, Ayah! Biar pun tidak dibunuh secara langsung, tetapi dikalahkan kemudian Ang-hong-cu membunuh diri sendiri. Dan orang yang disebut Pendekar Mata Keranjang itu adalah Tang Hay, atau Hay-koko inilah!”

Mendengar pengakuan Kui Hong ini, tiga orang tua itu menjadi heran bukan main. Bukan heran mendengar siapa adanya pemuda itu karena memang mereka sudah mendengar sebelumnya, melainkan heran kenapa Kui Hong agaknya menganggap keadaan pemuda itu biasa saja untuk dijadikan sahabat! Bahkan agaknya sahabat yang baik sekali.

“Kui Hong! Engkau tahu bahwa dia ini seorang mata keranjang, anak kandung Ang-hong-cu yang sangat keji dan jahat itu? Dan kau membawa dia datang ke tempat kita? Apakah engkau telah gila?!” Ceng Sui Cin membentak marah sekali kepada puterinya. Kemarahan yang sejak tadi ditahan-tahannya sekarang meledak karena ternyata puterinya sudah tahu akan keadaan pemuda itu.

“Ibu!” Kui Hong yang kemarahannya tidak kalah hebatnya itu menjawab, “Biar pun orang-orang yang tidak suka kepadanya memberi julukan Pendekar Mata Keranjang, akan tetapi Hay-ko bukanlah seorang penjahat cabul. Dia tak boleh disamakan dengan ayahnya, dan buktinya dia malah menentang ayahnya bahkan dialah yang menangkap ayahnya sendiri. Kalau ayahnya yang bersalah, kenapa Ibu menyeret pula anaknya?”

“Kui Hong... uhh...!” Sui Cin membanting kaki lalu memondong tubuh Kui Bu dan pergi ke dalam meninggalkan ruangan itu.

Hui Song memandang anaknya dengan alis berkerut. “Kui Hong, sudah benarkah sikapmu terhadap ibumu?” Lalu dia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Hay Hay dan berkata, “Saudara muda Tang, maafkan kami, akan tetapi terpaksa kami tidak dapat menerima Saudara karena di antara kita terdapat perbedaan golongan.”

“Ayahhh...! Dia ini tamuku, akulah yang mengundangnya!” Kembali Kui Hong membentak marah.

“Hemm...” Hui Song menahan kemarahannya dan mengepal tinju. “Aku belum lupa bahwa engkaulah pangcu dari Cin-ling-pai, jadi engkau pula yang berhak menentukan!” Sesudah berkata demikian, Hui Song juga pergi ke dalam menyusul isterinya. Dia tidak peduli lagi ketika puterinya memanggilnya.

“Ayahhh...!” Melihat ayahnya terus melangkah masuk, Kui Hong berpaling kepada kakek Cia Kong Liang. “Kongkong…!”

Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng kepala. “Kui Hong, kali ini engkaulah yang keliru. Pikirkan dulu baik-baik,” katanya dan dia pun pergi meninggalkan ruangan itu.

Kui Hong berdiri seperti patung, mukanya pucat sekali, napasnya terengah-engah, kedua tangannya terkepal. Suara Hay Hay menyeretnya kembali kepada kenyataan.

“Hong-moi, kata-kata kakekmu benar. Ayah ibumu yang benar dan engkaulah yang keliru karena membelaku. Bagaimana pun juga, pada kenyataannya aku adalah anak kandung Ang-hong-cu yang keji dan jahat, bahkan aku dilahirkan dari hasil perkosaannya terhadap ibuku. Sedangkan engkau, engkau adalah puteri keluarga Cia yang sudah turun temurun menjadi pemimpin Cin-ling-pai yang besar. Tentu saja engkau tidak boleh menyeret Cin-ling-pai sampai demikian rendahnya...”

“Hay-ko..., diam kau! Begitu tega engkau hendak merobek-robek perasaan hatiku dengan ucapan itu? Engkau tahu bagaimana perasaanku terhadapmu. Kita saling mencinta. Aku tahu akan keadaan dirimu dan aku tidak peduli dengan keturunanmu. Mereka tak berhak melarangku bergaul denganmu, bahkan menikah denganmu. Siapa pun tidak berhak! Aku yang akan menentukan sendiri langkah hidupku!”

“Hong-moi, jangan begitu...”

“Hay-ko, katakan, apakah engkau cinta padaku?”

“Perlukah kukatakan lagi? Sudah berapa kali kunyatakan kepadamu? Tentu saja aku cinta padamu, Hong-moi, akan tetapi justru karena cintaku maka aku tidak ingin melihat engkau menderita karena bertentangan dengan keluargamu...”

“Hay-ko, ini urusan keluargaku, engkau tidak bisa mencampuri. Biar kuselesaikan sendiri. Kau tunggu dulu di sini, aku harus bicara dengan mereka sampai tuntas!” Setelah berkata demikian, dengan gesit Kui Hong lalu menyusul ayah, ibu dan kakeknya ke dalam. Masih sempat dia melihat pemuda itu menjatuhkan diri dengan lemas ke atas kursi dan belum pernah dia melihat wajah Hay Hay sepucat itu.

********************

“Kui Hong!” Suara Cia Hui Song kini mengandung kemarahan dan ketegasan. “Ke mana perginya akal sehatmu? Tentu saja ayah ibumu takkan melarang engkau bergaul dengan orang-orang gagah sedunia, terutama dengan pendekar-pendekar budiman yang gagah perkasa. Tetapi bagaimana engkau dapat mengajak putera Ang-hong-cu ke sini? Biar pun dia telah membantu kita, tetap saja kami tidak mungkin dapat menerimanya sebagai tamu kehormatan, apa lagi sahabat anak kita. Lebih-lebih lagi sebagai pilihan hatinya! Engkau tahu, nama Ang-hong-cu dikutuk orang gagah sedunia, dan engkau akrab dengannya?”

“Tapi, Ayah. Kami sudah saling mencinta! Bahkan dia kuajak datang ke mari untuk minta pertimbangan Ayah dan Ibu agar kami diperkenankan menjadi suami isteri!”

“Tidak...!” Bentakan Hui Song dan Sui Cin hampir berbareng. Ini saja telah cukup menjadi bukti bahwa suami isteri itu sependirian dalam hal ini, tidak setuju apa bila puteri mereka berjodoh dengan anak Ang-hong-cu!

Kui Hong adalah seorang gadis berhati baja. Makin ditentang, semakin panas hatinya dan makin berani pula. Dia menghadapi ayah ibunya dengan muka merah dan mata bersinar-sinar, walau pun agak basah.

“Sungguh aku tidak menyangka. Apakah Ayah dan Ibu berpendirian kolot. Apakah Ayah dan Ibu tidak menghargai kesucian dua hati yang saling mencinta? Apakah Ayah dan Ibu hendak menjodohkan aku dengan pria pilihan Ayah dan Ibu sendiri, tidak menghiraukan pilihan hatiku seolah-olah aku ini bukan manusia, melainkan seekor anjing atau sapi saja? Bukankah ayah dan ibu dahulu juga menikah atas dasar saling mencinta?”

Mendengar serangan pertanyaan dari puteri mereka itu, Hui Song dan Sui Cin kemudian saling pandang dan agak berkuranglah rasa marah dan penasaran mereka. Hui Song lalu berkata, suaranya lebih tenang.

“Memang benar, Kui Hong. Ayah ibumu menikah berdasarkan cinta. Akan tetapi tidak ada latar belakang yang buruk pada ayah dan ibumu sehingga pernikahan kami pun tidak ada halangannya. Engkau harus ingat bahwa Ang-hong-cu adalah seorang jai-hwa-cat yang sangat jahat dan keji, entah sudah merusak berapa ratus orang wanita! Bahkan keluarga kita sendiri, Cia Ling, telah menjadi korbannya! Seluruh orang gagah mengutuknya dan...”

“Akan tetapi, Ayah. Aku tidak menikah dengan Ang-hong-cu melainkan dengan Hay-ko!”

“Tetapi dia adalah anak kandung Ang-hong-cu, Kui Hong!” bantah ibunya. Kui Bu sudah disuruh masuk ke kamar oleh ibunya, tidak diperbolehkan ikut mendengarkan percakapan itu. “Dan bagaimana mungkin keluarga kita yang dihormati orang dapat berbesan dengan Ang-hong-cu yang dikutuk oleh semua orang?”

“Tapi Ang-hong-cu sudah mati, Ibu! Yang jahat memang Ang-hong-cu, akan tetapi Hay-ko tidak jahat, bahkan dia seorang pendekar yang budiman dan gagah! Ingat, Ibu, Hay-ko tidak pernah minta dijadikan anak Ang-hong-cu! Bahkan semenjak lahir dia belum pernah melihat muka Ang-hong-cu itu. Baru setelah dia dewasa dan mencari Ang-hong-cu untuk membalaskan dendam ibunya yang diperkosa...” Tiba-tiba Kui Hong menghentikan kata-katanya. Karena emosi dia sampai lupa bahkan sudah membuka rahasia Hay Hay yang tadinya hendak disembunyikan dari orang tuanya itu.

“Ya Tuhan! Bahkan kiranya dia adalah anak akibat perkosaan yang dilakukan Ang-hong-cu terhadap ibunya? Anak haram…?”

“Ibu…! Ibu terlalu kejam kepadanya! Apa dosa Hay-ko dalam peristiwa terkutuk itu? Apa dosanya? Coba Ibu katakan, apa dosanya?”

Tentu saja Sui Cin tidak mampu menjawab, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Jelas bahwa tak mungkin kami dapat menyetujui engkau berjodoh dengan dia, Kui Hong. Ingat, engkau adalah seorang pangcu dari Cin-ling-pai. Ingat dengan sumpahmu? Engkau harus lebih mementingkan Cin-ling-pai dari pada urusan pribadimu.”

“Ayah, kalau aku menikah dengan Hay-koko, hal itu sama sekali tidak merugikan Cin-ling-pai, bahkan Cin-ling-pai akan mendapat tenaga bantuan orang yang memiliki kepandaian amat tinggi. Cin-ling-pai bahkan akan menjadi semakin maju dengan bantuan dari Hay-ko sebagai suamiku.”

“Kui Hong, engkau lupa!” tiba-tiba kakek Cia Kong Liang berkata. “Kalau begitu, lalu apa bedanya dengan Cin-ling-pai maju akibat bantuan Pek-lian-kauw, misalnya? Orang-orang dunia kang-ouw akan mengatakan bahwa Cin-ling-pai menjadi kuat karena ada anak Ang-hong-cu menjadi anggota pimpinan.”

“Kami tidak menghendaki itu!” kata pula Hui Song.

Kui Hong diam saja, sejenak dia memejamkan mata sambil membiarkan dirinya jatuh ke atas kursi. Dia tahu bahwa tak mungkin lagi berbantahan dengan mereka ini. Jelas bahwa apa pun alasan yang dia kemukakan, kakeknya, ayah serta ibunya tidak akan menyetujui perjodohannya dengan Hay Hay. Apa lagi jika mereka menggunakan alasan Cin-ling-pai, tentu dia tidak mampu bergerak lagi.

Suasana di ruangan itu menjadi amat lengang ketika gadis itu berdiam diri. Tiga orang tua itu menatap ke arahnya dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kekhawatiran. Mereka semua mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang hatinya keras dan sukar diduga apa yang akan dilakukan gadis itu.

Akhirnya Kui Hong berdiri dan memandang kepada tiga orang tua itu, mula-mula kepada ibunya, lalu ayahnya, akhirnya kakeknya. “Baiklah, kalau begitu, aku akan mengundurkan diri dari Cin-ling-pai, aku tidak akan menjadi ketua Cin-ling-pai supaya aku dapat menikah dengan suami pilihan hatiku sendiri. Aku hendak memberi tahu kepada Hay-ko mengenai keputusanku ini.” Setelah berkata demikian dia lalu melangkah pergi meninggalkan ruang itu.

“Kui Hong...!” Sui Cin sudah bangkit dan hendak mengejar, akan tetapi tangan suaminya menyentuh pundaknya.

“Jangan, tidak ada gunanya lagi,” kata suaminya.

Sui Cin mengerti sehingga dia pun hanya dapat melempar tubuhnya ke atas kursi lantas menyembunyikan tangisnya di balik kedua tangannya. Suasana menjadi amat mencekam dan tiga orang tua itu tenggelam dalam duka dan kecewa.

********************

Dengan muka dan hati masih panas Kui Hong melangkah masuk ke dalam ruangan tamu di mana Hay Hay menunggunya. Akan tetapi ketika tiba di sana dia tidak melihat Hay Hay yang tadi duduk di kursi. Dia memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandangan matanya sampai keluar ruangan. Namun tidak nampak bayangan Hay Hay.

Dia mendekati meja dan kursi di mana tadi Hay Hay duduk dan melihat selembar kertas dilipat di atas meja. Surat dari Hay Hay! Dengan tangan gemetar serta jantung berdebar dibukanya lipatan surat dan dibacanya.

Adik Kui Hong tersayang,

Kita harus melihat dua buah kenyataan yang membuat perjodohan kita tak mungkin bisa terjadi. Pertama, keluargamu tidak setuju aku menjadi suamimu, dan kedua, aku sendiri tidak suka terikat di Cin-ling-pai kalau menjadi suamimu.

Jangan menjadi anak yang tidak berbakti dan murid Cin-ling-pai yang murtad, Hong-moi. Cinta kasih adalah antara dua buah hati, akan tetapi pernikahan telah diatur oleh Tuhan! Sudah kupertimbangkan. Demi kebaikanmu maka aku harus mundur. Aku harus pergi dan jangan tanya ke mana aku pergi, sayang. Aku sendiri tidak tahu ke mana aku pergi.

Sekali lagi ingat, Hong-moi. Jodoh di tangan Tuhan, maka kalau kita saling berjodoh, biar hari ini berpisah, kelak pasti akan bertemu kembali.

Salam dan doaku, Hay Hay


“Hay-ko…!” Kui Hong menggenggam surat itu dan menjatuhkan kepalanya di atas meja. Kedua pundaknya berguncang dan walau pun tidak terdengar tangisnya, namun di bawah mukanya, meja itu menjadi semakin basah oleh air mata.

Beberapa lama kemudian ketika menyusul ke ruangan tamu, Kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin mendapatkan gadis itu dalam keadaan pingsan, terduduk di kursi dengan kepala di atas meja dan surat masih tergenggam di tangan. Dengan hati-hati Sui Cin mengambil surat itu lantas membacanya. Beberapa butir air mata mengalir turun dari kedua mata nyonya ini.

Ia merasa kasihan sekali kepada Hay Hay dan Kui Hong, akan tetapi juga lega dan girang bahwa pemuda itu telah mengambil keputusan yang demikian bijaksana. Sayang, pikirnya kalau saja bukan putera Ang-hong-cu, keluarga Cia dan dia sendiri pasti akan menerima pemuda itu dengan hati dan tangan terbuka!

Tubuh Kui Hong panas sekali! Dia terserang demam karena tekanan batin. Kakek, ayah dan ibunya membujuk dan menghiburnya penuh dengan kata dan perawatan penuh kasih sayang sehingga akhirnya, bagaimana pun juga, Kui Hong harus membenarkan pendapat dan keputusan kekasihnya.

Dia pulih kembali dan dalam hatinya berjanji akan mengurus Cin-ling-pai sebaiknya, juga tidak akan menikah dengan pria mana pun juga. Jika Tuhan menghendaki, kelak pasti dia akan bertemu kembali dengan Hay Hay dan kalau memang menjodohkan mereka, pasti terbuka jalan sehingga pertalian kasih sayang mereka dapat terjalin dalam pernikahan.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Belum pernah selama hidupnya Hay Hay mengalami perasaan seperti saat itu. Kepalanya terasa berat, seluruh tubuhnya lemas, perasaan hatinya mengambang tidak menentu, dan terasa ada sesuatu yang menekan serta menusuk, seperti himpitan berat yang sekaligus menimbulkan rasa nyeri di dada. Pandang matanya hampa. Dia merasa betapa dia hidup di dunia yang teramat sunyi dan kosong, bahkan tidak ada artinya, hampa.

Wajahnya yang biasanya berseri-seri itu kini muram, senyum yang biasanya tidak pernah meninggalkan bibirnya itu kini terganti tarikan mulut bagaikan orang yang sedang tersiksa oleh nyeri yang amat hebat, sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar dan mencorong itu kini seperti pelita kehabisan minyak yang hampir padam. Rambut yang biasanya bersih dan tersisir rapi itu kini kusut dan kotor, juga pakaian yang biasanya rapi itu kini nampak kusut dan sudah perlu diganti.

Memang sudah dua hari ini Hay Hay tidak makan, tidak tidur, tidak berganti pakaian, tidak mandi. Selama dua hari dua malam dia berjalan terus, berjalan tanpa arah tertentu, kedua kakinya asal melangkah saja. Sudah banyak lembah bukit dan sawah ladang yang dilalui, hutan ditembusi, dan dia tidak tahu berada di mana, dari mana atau hendak ke mana. Dia seperti orang yang kehilangan ingatan atau yang kehabisan semangat, kehilangan gairah hidup. Sejak dia meninggalkan ruangan tamu di rumah keluarga Cia, keluar dari Cin-ling-san, keadaannya sudah seperti itu.

Hanya satu saja yang selalu teringat, selalu terbayang, selalu terngiang, yaitu bahwa dia harus berpisah dari Kui Hong! Dan satu hal ini justru membuat perasaan hatinya laksana ditusuk-tusuk. Ingin dia menjerit, ingin dia menangis, ingin memprotes, akan tetapi dia tak mampu melakukannya. Dia harus meninggalkan kekasihnya. Harus! Hanya satu ini yang menjadi tekadnya. Demi kebaikan Kui Hong. Dia harus pergi meninggalkannya!

Setiap lambaian daun pohon tertiup angin, atau setiap kicau burung, apa saja yang dilihat atau didengarnya, seolah-olah tahu akan keadaannya dan turut berduka dengannya. Ada pula perasaan di hatinya bahwa setiap orang yang dijumpainya dalam perjalanan tanpa arah itu seolah mengejeknya, menyorakinya!

Rasa haus dan lapar membuat dia lemas dan hampir pingsan ketika dia menjatuhkan diri berlutut di pinggir sebuah danau kecil yang airnya jernih. Sejenak dia hanya berlutut saja, memejamkan kedua matanya, masih belum ada gairah untuk minum meski pun air berada didekatnya dan rasa haus amat mencekik lehernya.

Dan ketika dia memejamkan sepasang matanya malah terbayang wajah Kui Hong. Wajah yang demikian manis, mata yang memandangnya dengan pancaran kasih sayang yang demikian mendalam, dengan ujung bibir bergerak-gerak seolah hendak menyatakan kasih sayangnya dengan seribu satu bisikan.

“Hong-moi... aihhh, Hong-moi...,” dan kini Hay Hay tidak mampu lagi menahan tangisnya. Hanya sesenggukan saja, akan tetapi air matanya jatuh bagaikan hujan deras, menetes-netes ke dalam air danau di depannya. Makin dirasakan, semakin perih rasa hatinya dan semakin deras keluarnya air mata. Belum pernah selama hidupnya dia menangis seperti ini!

Tiada hujan yang tak akan mereda, tiada tangis tanpa berhenti. Sesudah berlutut sambil menangis dan memejamkan mata selama hampir setengah jam, akhirnya badai dan topan yang mengamuk di dalam perasaan Hay Hay mereda juga. Kesedihannya terkuras sudah, terkuras bersama air matanya. Kalau awan mendung yang gelap sudah mencair menjadi air hujan dan jatuh, cuaca pun berubah terang. Demikian pula duka nestapa di hati. Kalau sudah mencair menjadi air mata dan tertumpah keluar, hati yang tadinya amat tertekan itu akan terasa ringan.

Tanpa sengaja atau disadari Hay Hay menarik napas panjang. Hawa udara yang sejuk itu mengalir memasuki paru-paru dan seolah-olah memenuhi seluruh rongga-rongga kosong yang tadinya diisi hawa kedukaan. Terasa nyaman dan nikmat sekali, amat melegakan.

Hay Hay membuka matanya, seolah-olah baru bangun dari mimpi buruk. Begitu membuka matanya, teringatlah dia akan segala yang terjadi. Tentang Cin-ling-pai, tentang keluarga Cia, tentang keadaannya selama dua hari dua malam setelah meninggalkan ruang tamu rumah Kui Hong itu. Dia menarik napas panjang, merasa heran kenapa dia sampai dapat bersikap seperti itu. Lantas dia menunduk. Bayangan wajahnya nampak di air danau yang jernih seperti cermin itu. Dia pun terkejut.

“Ehh? Engkaukah itu, Hay Hay?” tanyanya kepada bayangannya.

Pada saat bertanya itu dia melihat bayangannya menggerak-gerakkan bibir yang nampak begitu pucat, kering dan dengan tarikan yang menyedihkan, betapa bayangan itu memiliki pandang mata yang mirip mayat hidup, wajah yang amat kotor dan muram, rambut yang awut-awutan dan pakaian yang lusuh kotor.

“Ihh! Apa-apaan sih kau ini, Hay Hay?” tegurnya kepada bayangannya.

Tiba-tiba dia membungkuk lalu membenamkan kepalanya sendiri ke dalam air sampai ke leher! Air danau yang dingin itu meresap ke seluruh kepalanya seperti menembus ke otak, mengusir semua kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. Yang terasa hanyalah dingin dan dingin, segar dan nyaman.

Dia agak terengah-engah setelah akhirnya mengangkat kembali mukanya dari dalam air. Air menetes-netes dari muka dan rambutnya ketika dia menunduk dan nampak bayangan mukanya yang kacau balau di permukaan air yang pecah.

“Engkau bodoh sekali, Hay Hay! Engkau membiarkan kepalamu terbenam di dalam duka yang hampa. Lebih baik dibenamkan ke dalam air sejuk nyaman, ha-ha-ha!” dan kembali dia membenamkan kepalanya ke dalam air! Hal ini berulang sampai beberapa kali hingga napasnya terengah-engah ketika dia mengangkat kembali kepalanya keluar.

Akan tetapi sekarang dia sudah sadar sepenuhnya. Nampak benar segala sikapnya yang dianggapnya lucu dan bodoh. Ia telah mengambil keputusan untuk mundur dari Kui Hong, karena tahu bahwa hal itu yang sebaiknya bagi Kui Hong, gadis yang dicintanya. Kenapa setelah mengambil keputusan yang dianggapnya sudah tepat itu, dia lalu menyiksa batin dengan penyesalan, kedukaan, kekecewaan dan kehilangan?

Kini dia duduk di tepi danau, melamun akan tetapi tak berduka lagi. Rambutnya telah dia keringkan, masih terurai di pundak. Bahkan dia sudah mandi dan berganti pakaian. Kini dia tinggal menunggu pakaian kotor yang dicucinya menjadi kering, dijemurnya di ranting pohon. Sambil menanti dia memutar otaknya untuk mengatur langkah hidup selanjutnya.

Kini dia dapat mengenang pengalaman pahit itu tanpa mengeluh, tanpa merasa sakit hati lagi. Memang dia telah diremehkan keluarga Cia, namun dengan pikiran jernih dan dingin sekarang dia bisa melihat kenapa keluarga Cia meremehkan dirinya dan tidak menyetujui perjodohan antara dia dan Kui Hong. Dan dia tidak dapat menyalahkan mereka. Semua ini merupakan akibat dari pada sebab yang diperbuat oleh ayah kandungnya, merupakan buah dari pohon yang ditanam oleh Ang-hong-cu.

Kui Hong adalah seorang pangcu yang terhormat dan mempunyai tugas berat, harus bisa menjaga nama baik Cin-ling-pai. Dia juga puteri suami isteri pendekar, tokoh Cin-ling-pai yang amat terkenal. Semua anggota keluarga Cia merupakan pendekar-pendekar besar, pendekar-pendekar gagah perkasa dan budiman yang selalu menentang kejahatan. Lalu bagaimana mungkin gadis seperti Kui Hong dapat berjodoh dengan putera Ang-hong-cu, penjahat cabul yang ditentang, dibenci, bahkan dikutuk oleh semua pendekar? Memang pahit sekali. Namun hal itu merupakan kenyataan yang harus ditelannya!

Dalam segala peristiwa yang terasa pahit dan tidak enak pun terkandung hikmah yang sangat bermanfaat bagi orang yang bersangkutan. Tuhan Maha Kasih. Semua peristiwa yang dikehendaki Tuhan terjadi pada seseorang, pastilah demi kebaikan orang itu sendiri. Tentu saja hati dan pikiran kita yang terbatas ini tak mungkin mampu menjenguk makna atau hikmah yang tersembunyi di dalam setiap peristiwa. Kita hanya melihat kulitnya saja. Bila menguntungkan kita, kita anggap baik. Jika merugikan kita, kita anggap buruk! Kita tidak tahu apa intinya, apa isinya, dan hanya pandai mengeluh kalau terasa tidak enak.

Hay Hay teringat akan dongeng yang diceritakan oleh gurunya yang terakhir, yaitu Song Lojin tentang hikmah yang terkandung pada segala macam peristiwa di dalam kehidupan ini.

Tuhan terus bekerja, tak pernah berhenti sedetik pun. Dan semua pekerjaan Tuhan selalu sempurna, walau pun lika-likunya banyak yang merupakan rahasia bagi kita, atau belum kita mengerti. Kalau ada bagian pekerjaan Tuhan yang sudah kita mengerti benar, maka barulah kita ketahui bahwa hasil pekerjaan Tuhan itu sempurna, sesuai kata-kata Tuhan adalah Maha Sempurna!

Dongeng yang diceritakan Song Lojin kepadanya itu kini kembali teringat olehnya dan dia lantas melamun, mengingat-ingat dongeng yang seperti dongeng kanak-kanak akan tetapi mengandung pelajaran yang bisa membuka mata manusia terhadap kenyataan, terhadap hikmah yang tersembunyi dalam setiap peristiwa.

Ada seorang janda yang hidup berdua saja dengan seorang puteranya yang baru berusia lima tahun. Janda itu beribadat dan saleh, tidak pernah menyimpang dari jalan kebenaran sehingga terkenal sebagai seorang janda yang berbudi baik. Puteranya juga sangat lucu dan mungil sehingga biar pun janda itu hanya hidup berdua, dia cukup bahagia.

Akan tetapi pada suatu hari puteranya jatuh sakit. Segala usaha yang dilakukan janda itu untuk menyembuhkan puteranya selalu gagal sehingga akhirnya anak itu pun meninggal dunia! Hancur luluh perasaan hati janda itu.

Ratap tangisnya terhadap Tuhan untuk minta pertolongan sejak puteranya jatuh sakit, kini berubah menjadi ratap tangis penyesalan. Bahkan demikian hebat kedukaannya sehingga di dalam tangisnya dia berani menegur Tuhan, mengapa Tuhan begitu kejam, mengambil satu-satunya anak, satu-satunya pelipur hatinya yang menjadi teman hidupnya. Mengapa Tuhan membalas semua kebaktiannya dengan siksaan. Dalam tangisnya dia mengatakan bahwa Tuhan tidak adil!

Saking sedihnya, dia lalu jatuh pingsan. Para tetangga mengangkatnya dan merebahkan tubuhnya di atas pembaringan, tidak jauh dari jenazah puteranya. Dan dalam pingsannya itu, semangat janda yang dilanda penasaran itu melayang naik mencari Tuhan! Ia bertekat untuk menghadap Tuhan, untuk memprotes kematian puteranya! Dan semangatnya yang melayang-layang itu bertemu dengan malaikat yang diutus Tuhan menjemputnya.

“Janda saleh, hendak ke manakah engkau?” tanya malaikat.

“Aku ingin mencari Tuhan. Aku ingin menghadap Tuhan!” jawabnya.

“Mengapa?”

“Aku hendak memprotes dan ingin menyatakan penasaran hatiku. Sejak kecil aku selalu beribadat, tak penah lupa sembahyang dan memuji nama Tuhan, tidak pernah melakukan kejahatan karena aku takut kepada Tuhan dan selalu ingin menyenangkan Tuhan dengan perbuatan yang baik. Akan tetapi, ketika masih muda dan memiliki seorang anak, Tuhan mengambil suamiku. Hal itu masih kuterima dengan penuh tawakal. Aku menyerah pada kehendak Tuhan. Aku lantas hidup menjanda bersama puteraku yang kuanggap sebagai anugerah Tuhan. Aku selalu berterima kasih dan juga menjaga diri supaya jangan sampai membikin marah Tuhan dengan perbuatan yang mengandung dosa. Akan tetapi mengapa kini Tuhan mengambil puteraku? Mengapa Tuhan begitu kejam terhadap diriku? Nah, aku akan menghadap Tuhan dan memprotes! Mengapa kehidupan orang-orang yang berdosa malah jauh lebih beruntung dari pada kehidupanku, seorang yang selalu memuja Tuhan?”

Malaikat itu membiarkan sang janda bicara sampai habis untuk mengeluarkan semua isi hatinya yang penuh duka dan penasaran. Kemudian malaikat itu membimbingnya ke atas awan, lalu berkata dengan lembut.

“Janda yang saleh. Sebelum engkau melanjutkan protesmu kepada Tuhan, kami hendak memperlihatkan sesuatu. Nah, kau tengoklah di sana!” Sang malaikat menunujuk ke arah langit biru di barat.

Sang janda melihat ke arah langit yang ditunjuk dari atas gumpalan awan putih itu dan ia pun melihat pemandangan yang luar biasa mengherankan. Ia melihat kehidupan di dunia ramai!

Dia melihat seorang pemuda yang tampan dan gagah sedang melakukan perbuatan yang sangat mengerikan. Dengan bengis dan kejamnya pemuda itu menyerang orang-orang, membunuh dan merampok, bahkan memperkosa. Pemuda itu begitu garang dan begitu jahat, bagaikan iblis sendiri sehingga janda itu tak sanggup lagi menyaksikan kekejaman-kekejaman yang luar biasa itu dan dia memalingkan mukanya, tidak sudi melihat lagi.

“Alangkah kejamnya dan alangkah jahatnya! Mengapa aku yang sudah menderita duka ini diharuskan menyaksikan perbuatan yang demikian kejam dan jahat? Siapakah pemuda yang jahat itu?”

“Ketahuilah olehmu, janda yang baik budi. Pemuda itu adalah puteramu kelak apa bila dia dibiarkan menjadi dewasa.”

Wanita itu terbelalak dan menutup mulut dengan tangan seolah hendak menjaga agar dia jangan menjerit. Dia membalik dan memandang kembali ke arah pemuda itu yang masih mengamuk.

“Ya Allah! Ampunilah hamba, ya Tuhan... jangan... jangan...! Hentikanlah perbuatannya...!” Dan dia pun menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya dengan kedua tangan.

“Lihatlah kenyataan, janda yang baik, lantas sadarilah mengapa kini Tuhan menghendaki anakmu mati dalam usia kecil. Karena engkau, ibunya, adalah seorang wanita yang saleh dan baik budi, maka Tuhan tidak menghendaki kelak engkau tersiksa karena perbuatan anakmu. Nah, sekarang bagaimana? Apakah engkau masih menghendaki agar anakmu dihidupkan kembali dan dibiarkan menjadi dewasa?”

“Tidak… tidak...! Biarlah dia mati sekarang, aku… aku rela..., jangan sampai dia menjadi jahat seperti itu…”


Demikianlah dongeng yang sekarang seolah-olah terbayang di dalam benak Hay Hay. Dia pejamkan mata, tersenyum dan mengangguk-angguk. Kehendak Tuhan jadilah, demikian bisik hatinya.

Semua peristiwa yang terjadi pada diri setiap manusia merupakan suatu kenyataan, suatu kebenaran, suatu keputusan Tuhan yang Maha Adil, Maha Bijaksana, dan Maha Kasih. Manusia wajb berikhtiar dengan cara yang benar untuk mempertahankan hidup, bahkan untuk menikmati hidup. Akan tetapi berhasil atau gagalnya ikhtiar itu hanya Tuhan yang menentukannya. Apa pun yang terjadi adalah kehendak Tuhan!

Kalau kita anggap peristiwa yang menimpa kita menyenangkan, kita patut bersyukur atas kasih sayang Tuhan. Sebaliknya kalau kita anggap menyusahkan maka kita tidak perlu mengeluh, melainkan menerimanya dengan penuh kesadaran bahwa semua yang terjadi sudah kehendak Tuhan dan pasti ada sebabnya, bahkan ada pula hikmahnya. Mungkin merupakan hukuman atau buah dari pohon yang ditanamnya sendiri. Mungkin merupakan cobaan atau ujian. Tidak ada manfaatnya mengeluh, sebaliknya kita harus bersyukur dan menyerah kepada Tuhan Maha Kasih!


Hay Hay tertawa-tawa, mentertawakan kebodohannya sendiri. Pikiran hanya merupakan alat, mengapa kita suka menggunakannya untuk mengenangkan dan membayangkan hal-hal yang lalu dan yang akan datang, hanya untuk menimbulkan rasa duka dan ketakutan? Kenapa kita tidak mempergunakan alat ini untuk hal-hal yang bermanfaat sehingga dapat melahirkan tindakan-tindakan yang bermanfaat pula?

“Ha-ha-ha, dasar otak udang kau, Hay Hay!” katanya sambil tertawa dan sekali lagi dia membenamkan kepalanya ke dalam air sampai ke lehernya!

Ketika dengan terengah-engah dia mengeluarkan lagi kepalanya dari dalam air, dengan rambut basah kuyup menutupi sebagian mukanya, dan air menetes-netes dari hidung dan dagunya, dia mendengar suara tawa di belakangnya. Suara tawa merdu seorang wanita! Kalau saja tadi dia tidak membenamkan kepalanya ke dalam air, tentu dia akan tahu saat wanita itu datang ke situ. Tapi kedua telinganya tadi tertutup air sehingga di belakangnya tahu-tahu ada wanita tanpa dia ketahui. Dia segera menengok dan memandang dengan mata terpentang lebar dan mulut ternganga.

Wanita itu makin geli tertawa, menutupi mulut dengan jari tangan akan tetapi celah-celah jari tangan masih memperlihatkan bibir yang merah, gigi berkilat putih dan rongga mulut yang merah dengan lidah yang jambon. Hidung kecil mancung itu bergerak-gerak ketika dia tertawa. Lucu sekali!

“Hi-hi-hi-hik, lucunya... heh-heh... engkau mirip kura-kura yang baru nongol dari dalam air, hi-hi-hi...!”

Hay Hay turut tertawa lalu menyingkap rambut yang menutupi mukanya. Dengan kepala dan muka basah kuyup seperti itu, memang mungkin sekali dia nampak seperti kura-kura. Setelah dia menyingkap rambutnya maka wanita itu yang ganti ternganga.

“Ihhh…, kiranya kau... kau seorang pemuda yang tampan…,” dia berkata lirih. “Kusangka tadi seorang dari kampungku... maafkan,” akan tetapi kembali wanita itu tersenyum lebar dengan hati yang masih merasa geli.

“Nona, mengapa engkau mentertawaiku?” Hay Hay bertanya.

“Engkau yang aneh. Kenapa engkau membenamkan kepalamu ke dalam air sampai lama benar? Itu namanya mandi bukan, mencuci muka juga bukan. Apa sih yang kau lakukan tadi?”

Hay Hay mengusap mukanya yang basah. Kini wajahnya tidak tertutup air lagi sehingga dia dapat memandang dengan jelas, dapat melihat sepenuhnya pada wanita muda yang berdiri di hadapannya.

Seorang dara yang usianya belum mencapai dua puluh tahun. Pakaiannya memang amat sederhana seperti gadis dusun, akan tetapi wajahnya! Wajah tanpa bedak dan gincu itu bagaikan setangkai bunga hutan yang sangat indah segar seperti selalu mandi air embun. Sejenak dia terpesona.

“Heiii! Kenapa kau diam saja, bengong seperti ikan? Kutanya apa yang kau lakukan tadi!” Gadis itu berkata lagi, hatinya semakin geli. Aduh, selain cantik manis masih lincah genit dan menggemaskan pula!

“Tadi aku mengintai ikan!” jawabnya sambil tersenyum dan timbul kenakalannya melihat sikap yang wajar dan berani dari gadis dusun itu.

“Mengintai ikan?” sepasang mata yang indah itu melebar.

Hay Hay mengangguk, senyumnya semakin cerah dan lupalah sudah betapa sejam yang lalu dia masih tenggelam dalam duka! Pikiran memang seperti ombak lautan, sebentar ke kanan sebentar ke kiri, menjadi permainan suka-duka yang ditimbulkan kenangan masa lalu dan bayangan masa depan.

“Ya, mengintai ikan yang sedang pacaran!”

Sepasang mata indah itu semakin melebar. Jeli dan indahnya!

“Ikan... pacaran? Ikan apa itu?” Gadis itu bertanya, tertarik sekali akan tetapi juga tidak percaya.

“Entah ikan apa, akan tetapi yang betina cantiknya bukan main,” Hay Hay berkata sambil mengamati gadis itu dari kepala sampai ke kaki. “Ikan betina itu bertubuh ramping padat. Wajahnya cantik manis dengan sepasang mata bintang, hidungnya kecil mancung, dan mulutnya... hemmm, bibir kecil merah seperti mencibir, giginya putih mengkilap, dagunya runcing dan ada lesung di sebelah kiri mulutnya. Lehernya panjang seperti tangkai bunga teratai, kulitnya putih halus mulus dan segar, sisiknya berwarna hijau muda, rambutnya dihias ukiran perak berbentuk bunga mawar...”

Gadis itu memandang ke arah bajunya yang hijau muda sambil tangannya meraba rambut di mana terdapat hiasan perak berbentuk mawar.

“Ehh? Seperti aku...?” tanyanya dan tahulah Hay Hay bahwa gadis manis ini agak bodoh. “Bagaimana yang jantan?” tanya pula gadis itu.

Hay Hay tersenyum. Sukar membayangkan gadis manis ini berpacaran dengan orang lain kecuali dengan dia. “Yang jantan? Aihh, buruk sekali...”

“Kalau begitu ikan itu aku!” gadis itu berkata lagi.

Kini Hay Hay yang menjadi heran. Namun sebelum dia berkata sesuatu, nampak seorang laki-laki berlari-larian menuju ke tempat mereka. Dia mengangkat muka memandang dan gadis itu pun menoleh. Ketika melihat laki-laki yang sudah lari mendekat itu, si gadis cepat menyongsongnya lalu mereka pun bertemu dan berpelukan!

“Koko, engkau menyusul...?”

“Ya, akan kubantu engkau mencuci pakaian, Moi-moi!” kata laki-laki itu sambil merangkul leher.

Dan Hay Hay terbelalak. Laki-laki itu seorang pemuda yang sebaya dengan dia, usianya sekitar dua puluh tahun, tubuhnya pendek sehingga kalah tinggi sedikit bila dibandingkan gadis itu, dan mukanya kehitaman, biar pun tidak buruk sekali akan tetapi jauh dari pada tampan. Cukup jelek dengan mata yang sangat sipit, hidung besar mekar, mulutnya juga lebar dengan bibir tebal. Akan tetapi pakaiannya nampak mentereng dan gerak-geriknya kuat namun lembut.

“Moi-moi, dengan siapa engkau bercakap-cakap tadi? Siapakah pemuda ini?” Si pendek itu menatap kepada Hay Hay dengan heran, akan tetapi sedikit pun tidak kelihatan marah.

“Aihh, dia ini?” Wanita itu terkekeh genit. “Dia lucu sekali, Koko. Tadi dia membenamkan kepalanya di air, katanya sedang mengintai ikan, hik-hik! Dan ikan betinanya seperti aku, jantannya seperti engkau, heh-heh!”

Mendengar ucapan gadis itu, mau tidak mau Hay Hay juga tertawa geli. “Ha-ha-ha, benar sekali...!” katanya. Kini dia tahu bahwa biar pun cantik manis sekali, akan tetapi gadis itu juga bodoh!

Pria itu juga tersenyum. “Hemm, kiranya engkau bertemu dengan seorang yang otaknya miring, Moi-moi. Mana ada orang mengintai ikan dan mana ada ikan yang mirip manusia? Tentu kepalanya terlalu panas maka dia membenamkan kepala di dalam air.” Kemudian dia menghampiri Hay Hay dan ketika melihat sebuah batu besar didekatnya, pria itu lalu menggerakkan tangannya ke arah batu.

“Plakkk!”

Ketika tangan itu diangkatnya, di batu tadi nampak bekas telapak tangan yang tertinggal di batu, ada dua sentimeter dalamnya! Kiranya pria itu memiliki tenaga yang cukup hebat, pikir Hay Hay kagum.

“Saudara yang baik,” kata laki-laki itu dengan suara tenang dan sabar. “Aku hanya ingin mengatakan bahwa amat merugikan diri sendiri kalau seorang pria suka mendekati isteri orang lain.”

“Aku tidak mendekati... ohh, kau mau katakan bahwa gadis ini adalah isterimu?” Hay Hay terbelalak.

Pria pendek itu mengangguk. “Dia isteriku, kami pengantin baru, belum ada sebulan kami menikah. Dia cantik manis sekali, bukan? Dia adalah kembangnya kampung kami.”

Hay Hay menutup mulutnya yang tadi ternganga, kemudian menelan ludah. “Isterimu...? Sungguh tak kusangka. Dia memang cantik jelita dan pantas sekali jika menjadi kembang kampung, dan engkau... hemm...” Hay Hay meraba dagunya tanpa bermaksud menghina, “terpaksa kukatakan bahwa engkau tidak terlalu tampan.”

Pria itu tidak marah, bahkan tertawa sehingga tampak giginya yang besar-besar dan tidak rapi. “Ha-ha-ha-ha, katakan saja aku buruk rupa, sobat! Memang aku jelek dan dia cantik. Isteriku merupakan kembang di kampung kami, yang paling cantik. Dan dia telah memilih diriku, memilih yang paling baik!”

“Ehh? Apakah engkau mau bilang bahwa engkau yang paling tampan di dusunmu?” Hay Hay bertanya, tidak percaya.

“Bukan paling tampan, tetapi paling baik! Aku pemuda yang paling kaya, paling terpelajar, paling pandai, paling kuat di dusun kami. Otakku paling terang. Dan isteriku ini gadis yang paling cantik pula di dusun. Keburukan rupaku tidak mengapa karena isteriku amat cantik, ada pun kebodohan isteriku juga tidak mengapa karena aku pandai. Nah, bukankah kami merupakan pasangan yang paling serasi? Kelak kami pasti akan mempunyai anak-anak yang paling hebat!”

“Hemmm, mengapa begitu?” Hay Hay bertanya, menahan perasaan geli hatinya. Agaknya orang ini memang pintar, walau pun terlalu menonjolkan bagian yang baik dari dirinya.

“Kenapa? Wah, engkau seperti isteriku, termasuk orang yang kurang cerdik sehingga tak mampu menangkap inti sari ucapanku tadi. Sobat, tentu saja anak-anak kami yang paling hebat karena mereka akan mewarisi keelokan wajah isteriku dan mewarisi kecerdasan otak dariku, ha-ha-ha-ha!” Dan dengan tangan kirinya si pendek itu menyambar keranjang cucian isterinya, tangan kanan menggandeng isterinya dan berkata, “Mari, isteriku yang tercinta, kita mencuci di tempat lain.”

“Marilah, suamiku tersayang!” kata sang isteri bersikap manja.

Mereka lalu pergi sambil bergandeng tangan mesra, diikuti pandang mata Hay Hay yang masih bengong. Setelah mereka lenyap pada sebuah tikungan, barulah Hay Hay tertawa bergelak, bahkan tertawa sampai mengeluarkan air mata dan memegangi perutnya.

“Aduh, Hay Hay, lihat betapa lucunya dunia ini! Dunia ini seperti panggung sandiwara dan manusia-manusia menjadi pelawaknya! Ha-ha-ha-ha-ha..., pergilah semua duka nestapa, pergilah semua kecewa dan penasaran! Hidup ini masih terlalu indah untuk disusahkan, ha-ha-ha!”

Dan membayangkan kembali suami isteri yang aneh tadi, Hay Hay terus tertawa. Apa lagi ketika dia membayangkan mereka dengan anak-anak mereka, tawanya makin terbahak.

“Ha-ha-ha-heh-heh... anak-anak mereka... ha-ha-ha-ha, aduh, anak-anak mereka ternyata mewarisi wajah ayahnya dan otak ibunya! Ho-ho-ha-ha-ha...!”

Hay Hay terpingkal-pingkal sampai tubuhnya terlipat dan dia memegangi perutnya. Tetapi wajah anak-anak yang mirip si pendek tadi dengan sinar mata kebodohan terus terbayang olehnya sehingga sukar baginya untuk menghentikan tawanya.

********************

Wajah tampan Sim Ki Liong nampak muram dan alisnya berkerut ketika Mayang berkeras minta disediakan dua buah kamar kepada pelayan rumah penginapan di kota Wang-sian di tepi sebelah utara Sungai Yang-ce.

Seperti yang sudah kita ketahui, dua orang muda ini meninggalkan pulau Teratai Merah. Sebelum mereka pergi ke tempat tinggal ibu dan guru Mayang di perbatasan Tibet, lebih dahulu mereka hendak pergi ke Cin-ling-san untuk mencari Cia Kui Hong di Cin-ling-pai. Cin-ling-pai masih cukup jauh di utara. Pegunungan itu terletak di tapal batas Propinsi Se-cuan dan Sen-si, ada pun kota Wang-sian terletak di bagian utara Propinsi Se-cuan.

Sudah berkali-kali Ki Liong merasa amat kecewa karena gadis yang menjadi kekasihnya itu selalu minta disediakan kamar terpisah ketika mereka bermalam di rumah penginapan. Sikap gadis ini mendatangkan dua pukulan baginya. Pertama, keinginannya untuk segera memiliki gadis itu menjadi tidak mungkin apabila dia selalu berpisah kamar. Dan ke dua, sikap gadis itu jelas merupakan bukti bahwa kekasihnya tidak percaya kepadanya!

Tentu saja Ki Liong tidak mau bercekcok dan berbantahan di hadapan pelayan. Sesudah mereka diantarkan dan mendapatkan dua buah kamar yang bersebelahan dan pelayan itu pergi, barulah Ki Liong menegur Mayang.

“Mayang, mengapa sampai sekarang engkau masih belum percaya juga kepadaku? Apa artinya dua kamar terpisah ini? Bukankah kita saling mencinta dan kita merupakan calon suami isteri?” tegurnya marah.

“Baru calon, Liong-ko. Ingat, kita belum menjadi suami isteri, bagaimana mungkin harus tinggal dalam satu kamar?”

“Akan tetapi, apa salahnya bila kita tidak melakukan pelanggaran?” Ki Liong membantah.

“Bukan hanya itu yang harus dijaga, Liong-ko, akan tetapi terutama sekali pandangan dan dugaan orang. Apa yang akan dikata orang kalau mereka tahu bahwa seorang pemuda dan seorang gadis yang bukan suami isteri menginap dalam satu kamar?”

“Peduli amat dengan pandangan dan kata orang, Mayang!”

“Mudah saja engkau berkata demikian karena engkau laki-laki, Liong-ko. Akan tetapi aku perempuan dan aku tidak ingin nama dan kehormatanku tercemar.”

Melihat gadis itu telah merah mukanya dan mulai marah, Ki Liong tersenyum dan menarik napas panjang. “Baiklah, Mayang, mungkin engkau yang benar. Aku pun tidak memiliki niat lain kecuali merasa bahwa lebih aman bagi kita kalau sekamar. Juga tidak bertemu semalam saja denganmu rasanya hati ini merasa kesepian dan rindu. Sudahlah, maafkan aku kalau aku bersalah.”

Melihat sikap Ki Liong yang mengaku salah dan minta maaf, luluh kekerasan hati Mayang dan dia pun tersenyum lalu memegang tangan kekasihnya.

“Kau tahu, Ling-ko. Penolakanku hanya untuk kebaikan kita berdua. Sabarlah, kalau kita telah menghadap ibu dan subo, kalau kita telah menikah, tentu setiap saat kita berkumpul dan takkan berpisah lagi.”

Sejenak Ki Liong menggenggam tangan kekasihnya, kemudian melepaskan dan mereka memasuki kamar masing-masing. Ketika itu ada sepasang mata jeli yang memandang ke arah Ki Liong.

Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 08

“Untung ada engkau yang mempergunakan sihirmu menguasai Ciok Gun, Hay-ko, kalau tidak, aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya aku dapat membongkar rahasia mereka dan memancing mereka. Sungguh Cin-ling-pai berhutang budi besar terhadapmu,” kata Kui Hong kepada kekasihnya ketika mereka duduk berhadapan di ruangan tamu rumah keluarga Cia.

Hay Hay tertawa dan menepuk punggung tangan gadis itu. “Hushhh, di antara kita mana pantas bicara mengenai budi? Aku membantumu, hal itu sama saja dengan kalau engkau membantuku. Saling bantu antara kita adalah wajar sekali, bukan? Jangan katakan Cin-ling-pai hutang budi kepadaku.”

“Kau tidak tahu, Hay-ko. Bagi kami keluarga Cia, Cin-ling-pai paling kami utamakan. Jatuh bangunnya Cin-ling-pai merupakan jatuh bangunnya kehidupan kami, setidaknya tekad itu merupakan sumpah bagi setiap anggota kami yang menjadi pangcu seperti aku sekarang ini.”

Wajah Hay Hay yang tadinya berseri-seri kini kehilangan kegembiraannya. Dia menatap tajam wajah kekasihnya. “Akan tetapi, Hong-moi, maafkan keterus teranganku ini. Kulihat semua sikap tokoh Cin-ling-pai tidak menunjukkan seperti apa yang kau katakan itu.”

Dengan tajam sinar mata dara itu menyambar wajah Hay Hay. “Apa yang kau maksudkan dengan ucapanmu itu, Hay-ko?”

“Mereka semua itu, dari kakekmu sampai ayah ibumu, juga wakil ketua Cin-ling-pai dan pembantunya, semua menyerah kepada orang-orang Pek-lian-kauw karena mendahulukan kepentingan keluarga. Bukankah demikan? Mereka tidak dapat melawan karena khawatir dengan keselamatan keluarga Cia yang telah tertawan. Namun hal itu bagiku wajar saja. Betapa pun juga setiap manusia pasti akan mementingkan diri sendiri serta keluarganya lebih dahulu, baru mementingkan yang lain.”

“Tidak! Kukatakan tadi bahwa sumpah itu hanya dilakukan oleh seorang ketua Cin-ling-pai. Kakekku pun bersikap demikian ketika dahulu menjadi ketua, juga ayahku. Sekarang akulah yang bersumpah. Karena itu hanya aku seorang yang tidak mau tunduk terhadap mereka dan aku melawan, biar pun perlawananku itu membahayakan keluargaku. Untung engkau yang membantuku sehingga keluarga kami selamat semua dan Cin-ling-pai dapat pula dibersihkan dari para penyelundup itu.”

Hay Hay mengerutkan alis. Pendirian kekasihnya itu merupakan suatu segi yang asing baginya. Tetapi dia menghibur dirinya dan sambil tersenyum berkata, “Tentu saja engkau benar, Hong-moi. Tetapi setelah kita menikah tentu engkau akan melepaskan kedudukan ketua itu kepada orang lain sehingga tidak terikat lagi dengan kewajiban dan tugas yang berat.”

Kui Hong menunduk dan menghela napas panjang. “Tadinya aku pun tidak suka terikat, Hay-ko, maka aku pergi meninggalkan Cin-ling-pai dan menyerahkan tugas kepada susiok Gouw Kian Sun dan suheng Ciok Gun. Aku sendiri lalu pergi merantau untuk menambah pengalaman. Tapi engkau lihat sendiri, apa yang terjadi dengan Cin-ling-pai. Aku merasa menyesal sekali karena aku melihat bahwa aku telah melalaikan kewajibanku. Maka aku berjanji akan membela dan mengatur Cin-ling-pai hingga menjadi kuat dan jaya kembali.”

“Biar pun sudah menikah?”

“Apa salahnya setelah menikah tetap menjadi pangcu?”

“Dan suamimu... ehhh… aku?”

“Dengan sendirinya engkau akan menjadi orang Cin-ling-pai dan bantuanmu sangat kami butuhkan, Hay-ko. Justru dengan adanya engkau, maka aku menjadi besar hati dan yakin akan mampu membuat Cing-ling-pai kembali jaya seperti di jaman nenek moyang dulu.”

Hay Hay tidak bicara lagi karena pada saat itu nampak rombongan keluarga Cia sedang memasuki ruang tamu di mana mereka bercakap-cakap. Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa gelisah.

Dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat dan keinginan hati kekasihnya. Dia ingin bebas, meski pun sudah menikah dengan Kui Hong, dia ingin bersama isterinya bagaikan dua ekor burung terbang di angkasa luas. Tidak terkurung dalam sangkar berupa Cin-ling-pai.

Karena kakek, ayah dan ibu Kui Hong kini memasuki ruangan itu, Hay Hay cepat bangkit berdiri dengan sikap hormat. Diam-diam dia mengagumi keluarga kekasihnya itu. Memang keluarga gagah perkasa, pantas namanya amat terkenal di dunia kang-ouw karena sepak terjang mereka yang keras namun selalu menjunjung kebenaran dan keadilan.

Cia Kong Liang adalah seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih namun tubuhnya masih tegak, wajahnya kereng berwibawa dan tatapan matanya menusuk tajam penuh ketabahan. Cia Hui Song seorang pria berusia empat puluh empat tahun yang juga tampan dan gagah walau pun terlihat lebih tua dari pada usia sebenarnya dengan banyak garis-garis derita di dahinya. Ibu dari Kui Hong, Ceng Sui Cin, berusia tiga puluh sembilan tahun, nampak penuh semangat dan dari sinar matanya jelas nampak kekerasan hati dan keberanian. Dari sikap mereka saja sudah mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang lihai.

Akan tetapi, Hay Hay merasa tidak enak melihat betapa mereka bertiga itu, terutama ibu Kui Hong yang menggandeng tangan anak laki-laki berusia lima tahun, hanya sekilas saja memandang kepadanya dengan bibir cemberut. Malah kakek Cia Kong Liang sama sekali tak memandangnya. Pandang mata kakek itu hanya lewat saja di atas kepalanya. Hanya Cia Hui Song yang memandang kepadanya agak lama, namun bukan dengan sinar mata ramah, melainkan dengan sinar mata penuh selidik!

Sungguh bukan sikap orang-orang yang berterima kasih, walau seujung rambut pun dia tidak mengharapkan terima kasih dari mereka. Yang dia bantu adalah Cia Kui Hong, gadis yang dikasihinya, bukan keluarga Cia atau Cin-ling-pai.

Agaknya Kui Hong juga menjadi curiga. Tentu saja dia mengenal baik ketiga orang tua itu dan merasa bahwa sikap mereka sungguh tidak seperti biasa, tidak semestinya, bahkan tidak pada tempatnya. Mereka jelas mengacuhkan, bahkan meremehkan Hay Hay!

Walau pun hatinya merasa tidak enak, bahkan tidak senang melihat sikap orang tuanya, namun tentu saja Kui Hong tidak berani bertanya secara terang-terangan. Disambutnya ibunya lalu dia memondong adiknya, Cia Kui Bu dan mencium kedua pipi adiknya itu!

“Enci hebat! Kata kongkong, enci yang membebaskan kami. Aihh, kalau saja aku sudah besar dan selihai Enci, tentu akan kubasmi habis semua orang Pek-lian-kauw yang jahat itu!”

Kui Hong tersenyum bangga dan menurunkan adiknya, mengelus kepala adiknya, “Kelak engkau tentu lebih lihai dari pada aku. Ingat selalu bahwa engkau adalah calon ketua Cin-ling-pai yang hebat!”

Mendengar ini Cia Kong Liang lalu berkata, “Mudah-mudahan saja kelak dia akan mampu mengangkat kembali nama Cin-ling-pai yang dirusak oleh para jahanam itu.”

Kui Hong memandang kepada ayahnya. “Ayah, apakah orang-orang dari empat partai itu sudah pergi? Mereka benar-benar menjemukan. Kita sedang tertimpa mala petaka, tetapi mereka bahkan menghimpit kita dengan tuduhan-tuduhan berat!”

“Hemm, jangan engkau berkata seperti itu Kui Hong,” kata Hui Song dengan suara tegas. “Mereka itu menjadi korban, bahkan di antara orang-orang tak berdosa itu ada yang tewas dan terluka. Karena mereka berada di sini, dan yang melakukan menyamar sebagai murid kita, tentu saja tadinya mereka yakin sekali bahwa Cin-ling-pai yang melakukan kejahatan itu. Sungguh sial, Cin-ling-pai telah dinodai dan dicemarkan. Tugasmulah sebagai pangcu untuk mengangkat kembali nama baik Cin-ling-pai, membersihkannya dari noda dengan bertindak tegas dan keras terhadap semua murid dan anggota.”

“Nanti dulu,” kata Ceng Sui Cin sambil memandang kepada Hay Hay. “Sungguh tak patut bicara soal Cin-ling-pai di hadapan orang luar, padahal yang kita bicarakan adalah urusan pribadi Cin-ling-pai. Kui Hong, sahabatmu ini dari partai manakah, dan siapa pula nama selengkapnya, siapa gurunya dan orang tuanya?”

Walau pun pertanyaan itu ditujukan kepada Kui Hong, akan tetapi sinar mata nyonya itu menatap wajah Hay Hay yang sudah penuh senyum kembali, sehingga Hay Hay merasa benar bahwa pertanyaan itu langsung ditujukan padanya.

Memang Sui Cin sengaja bertanya untuk mengalihkan percakapan keluarga dan langsung saja bicara mengenai pemuda yang mendatangkan perasaan tidak suka di hati mereka itu karena pemuda itu adalah putera seorang jai-hwa-cat besar! Sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya tidak senang dan khawatir melihat puterinya akrab dengan putera seorang penjahat yang demikian tersohor seperti Ang-hong-cu.

Kui Hong memandang ibunya. Dia pun merasakan sesuatu yang tidak beres dalam sikap ibunya, ayahnya, dan juga kakeknya. Hal ini membuat dia terheran-heran. Bukankah jasa Hay Hay sangat besar dalam menyelamatkan keluarga Cia tadi sehingga nama baik Cin-ling-pai dapat dibersihkan kembali?

Sepatutnya kalau ibunya setidaknya bersikap bersahabat dengan Hay Hay, bukan malah bersikap dingin dan seperti orang yang tidak menyukai kehadiran pemuda itu di Cin-ling-pai. Dia tidak percaya bahwa orang tuanya memiliki watak yang demikian tak kenal budi.

“Hay-ko, engkau jawablah sendiri pertanyaan ibu,” katanya dengan hati yang tidak puas. Sengaja dia memperlihatkan sikap ini karena dia memang jengkel dan agar ayah ibunya, juga kakeknya tahu akan kejengkelannya itu.

Akan tetapi Hay Hay tetap tenang saja, bahkan senyumnya tidak meninggalkan bibirnya. Sesudah memberi hormat kepada tiga orang tua yang kini juga mengambil tempat duduk dan menghadapinya seperti panitia hakim yang sedang mengadilinya itu, dia pun berkata dengan lembut.

“Saya mohon maaf kepada Kakek, Paman dan Bibi yang terhormat sebagai sesepuh Cin-ling-pai bahwa dengan lancang saya berani datang ke sini dan mencampuri urusan Cin-ling-pai.”

“Hay-ko, engkau datang karena kuajak, dan kedatanganmu bahkan menjadi penyelamat keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Bagaimana engkau malah minta maaf?” Kui Hong berkata setengah berteriak karena hatinya merasa penasaran sekali.

“Kui Hong, kami hanya ingin mengenal pemuda ini lebih dekat, kenapa engkau mendadak bersikap begini kasar?” Hui Song menegur puterinya. Mendapat teguran ayahnya, wajah Kui Hong menjadi marah dan mulutnya cemberut.

“Ayahmu benar, Kui Hong. Aku hanya ingin mengetahui siapakah gurunya dan siapa pula orang tuanya. Bukankah ini wajar saja?” kata ibunya.

“Hemmm, sikap kalian yang tidak wajar,” teriak hati Kui Hong. Akan tetapi karena di situ ada Hay Hay, maka dia tidak ingin memperlihatkan perbantahan antara anak dan orang tua.

Semenjak tadi Hay Hay masih tersenyum saja, sungguh pun pada sudut hatinya dia pun merasa heran mengapa keluarga pendekar yang terkenal berbudi itu bersikap seperti itu, hal yang sesungguhnya amat janggal bila diingat bahwa sejak kemunculannya di situ, dia hanya membantu keluarga itu.

“Kalau cu-wi (anda sekalian) ingin mengetahui siapa guru-guru saya, sesungguhnya saya belum pernah menyebut nama mereka kepada orang lain. Akan tetapi mengingat bahwa keluarga cu-wi merupakan keluarga pendekar besar, dan saya memberi keterangan hanya karena ditanya dan cu-wi menghendaki jawaban, maka biarlah sekali ini saya menyebut nama mereka...”

“Hay-ko, kita sudah berkenalan lama sekali, menghadapi segala macam pengalaman dan bahaya maut, akan tetapi aku belum pernah mendesakmu untuk mengatakan siapa guru-gurumu. Kalau memang nama mereka harus dirahasiakan, engkau tidak perlu memaksa diri untuk menceritakannya kepada orang tuaku!” kembali Kui Hong berseru, hatinya mulai terasa pahit.

“Kui Hong, engkau ini kenapa sih?” mendadak kakek Cia Kong Liang menegurnya. “Ayah ibumu hanya ingin lebih mengenal sahabatmu yang kau ajak ke sini, hal itu kurasa wajar saja! Kenapa engkau seperti orang yang marah-marah?”

Kini Kui Hong tak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Ia memang berwatak keras dan galak seperti ibunya, dan suka berterus terang. “Kongkong, siapakah yang aneh dan siapa pula yang tidak wajar? Hay-ko datang karena kuajak, kemudian di sini kami melihat hal yang tidak wajar, bahkan dia membantuku, dan terang terang saja, tanpa bantuannya belum tentu aku sanggup membereskan para penjahat itu dan membebaskan Cin-ling-pai dari malapetaka dengan mudah. Akan tetapi apa yang kulihat sekarang? Sahabatku ini bukan disambut ramah, melainkan disambut dengan sikap yang tidak sepatutnya, seolah-olah sahabatku ini baru saja melakukan kejahatan!”

Hui Song dan isterinya bertukar pandang, juga kakek Cia Kong Liang merasa canggung. Mereka bertiga bukan tidak tahu bahwa sikap mereka terhadap pemuda itu memang tidak patut kalau mengingat bahwa pemuda itu telah menyelamatkan keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Tetapi mendengar siapa adanya pemuda itu juga membuat mereka mengkhawatirkan hal yang mereka anggap tidak kalah pentingnya, yaitu masa depan Kui Hong yang berarti menyangkut pula nama baik Cin-ling-pai.

Melihat ledakan yang terjadi antara kekasihnya dan orang tua kekasihnya itu, tentu saja Hay Hay yang merasa paling tidak enak. Dia cepat bangkit dan memberi hormat kepada semua orang, lalu berkata kepada Kui Hong.

“Hong-moi, kuminta dengan sangat agar engkau tidak mengira yang bukan-bukan. Biarlah saya memperkenalkan diri kepada orang tuamu, karena mereka juga berhak mengenalku sedalamnya. Nah, Kakek, Paman dan Bibi. Terus terang saya akui bahwa saya memiliki empat orang guru. Yang pertama adalah suhu See-thian Lama atau Gobi San-jin, yang ke dua adalah suhu Ciu-sian Sin-kai, ke tiga ialah suhu Pek Mau Sanjin, dan yang ke empat adalah suhu Song Lojin.”

Mendengar disebutnya nama-nama itu, tiga orang tua itu terkejut bukan main. Dua orang terdahulu adalah dua di antara Delapan Dewa. Kemudian, biar pun nama Pek Mau Sanjin jarang dikenal orang, namun mereka pernah mendengar nama ini sebagai nama seorang aneh yang kabarnya hidup di antara awan-awan di pegunungan tinggi! Nama Song Lojin juga hanya mereka kenal seperti nama tokoh dongeng saja.

Tidak aneh jika pemuda ini memiliki ilmu kepandaian silat dan sihir yang demikian hebat. Mereka kagum sekali, namun kekaguman itu belum cukup kuat untuk mengusir perasaan tidak senang terhadap pemuda putera Ang-hong-cu itu.

“Kiranya guru-gurumu adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang namanya disebut-sebut seperti di dalam dongeng. Mengagumkan sekali!” kata Ceng Sui Cin. “Dan siapakah orang tuamu, orang muda? Apakah nama keluargamu?”

Hay Hay merasa betapa jangtungnya berdebar tegang. Paling tidak enak jika dia ditanya tentang orang tuanya. Kalau orang lain yang bertanya, mudah saja dia menjawab bahwa dia tidak mempunyai orang tua lagi. Akan tetapi sekali ini lain. Yang bertanya adalah ayah dan ibu Cia Kui Hong, gadis yang dicintanya dan diharapkan menjadi isterinya. Tentu saja orang tua gadis itu berhak mengetahui dengan jelas siapakah ayah dan ibunya, biar pun mereka telah tiada.

Apakah akan dia katakan saja bahwa dia tidak berayah? Kalau begitu berarti dia adalah anak haram! Ahh, tidak! Bagaimana pun juga ayahnya, dia takkan mengingkarinya sebab memang benar bahwa ayahnya adalah Tang Bun An, Si Kumbang Merah!

Lebih baik dia berterus terang dari pada menyembunyikan dan kelak diketahui. Akibatnya tentu akan lebih tidak enak. Lebih baik memasuki perjodohan dengan semua mata yang bersangkutan terbuka lebar, dari pada dipejamkan seperti dalam mimpi dan kelak terkejut kalau sadar dan melihat kenyataan.

“Ayah dan ibu saya telah meninggal dunia,” katanya lirih, namun wajahnya masih nampak berseri.

Hui Song dan Sui Cin, juga kakek Cia Kong Liang, masih teringat akan keterangan Tiong Gi Cinjin tokoh Bu-tong-pai bahwa ayah pemuda ini, Ang-hong-cu, memang sudah tewas akibat roboh oleh puteranya ini! Anak penjahat besar ini telah membunuh ayahnya sendiri!

“Ah, jadi engkau sudah yatim piatu? Kasihan sekali!” kata Ceng Sui Cin. “Siapakah nama mendiang ayahmu? Barang kali kami pernah mendengar atau bahkan mengenalnya.”

Kui Hong memandang khawatir. Dia memang sudah mengkhawatirkan hal ini, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat melarang kekasihnya memperkenalkan nama ayahnya.

“Ayah saya she Tang bernama Bun An,” dengan tabah Hay Hay berkata, akan tetapi kini wajahnya serius dan senyumnya menghilang.

“Tang Bun An?” Sui Cin tiba-tiba menoleh kepada puterinya. “Kui Hong, aku mendengar mengenai adik seperguruanmu Ling Ling… apakah Tang Bun An yang itu, ataukah orang lain?”

Kui Hong menegakkan kepalanya dan dengan tabah dia pun menjawab, “Betul sekali, Ibu. Tang Bun An adalah Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) itu, dan Hay-ko juga tahu tentang adik Ling Ling, bahkan tadinya Hay-ko yang dituduh...”

“Dan kami mendengar bahwa Ang-hong-cu telah dibunuh oleh Pendekar Mata Keranjang, putera kandungnya sendiri?” tanya Hui Song sambil memandang kepada Hay Hay.

“Benar sekali, Ayah! Biar pun tidak dibunuh secara langsung, tetapi dikalahkan kemudian Ang-hong-cu membunuh diri sendiri. Dan orang yang disebut Pendekar Mata Keranjang itu adalah Tang Hay, atau Hay-koko inilah!”

Mendengar pengakuan Kui Hong ini, tiga orang tua itu menjadi heran bukan main. Bukan heran mendengar siapa adanya pemuda itu karena memang mereka sudah mendengar sebelumnya, melainkan heran kenapa Kui Hong agaknya menganggap keadaan pemuda itu biasa saja untuk dijadikan sahabat! Bahkan agaknya sahabat yang baik sekali.

“Kui Hong! Engkau tahu bahwa dia ini seorang mata keranjang, anak kandung Ang-hong-cu yang sangat keji dan jahat itu? Dan kau membawa dia datang ke tempat kita? Apakah engkau telah gila?!” Ceng Sui Cin membentak marah sekali kepada puterinya. Kemarahan yang sejak tadi ditahan-tahannya sekarang meledak karena ternyata puterinya sudah tahu akan keadaan pemuda itu.

“Ibu!” Kui Hong yang kemarahannya tidak kalah hebatnya itu menjawab, “Biar pun orang-orang yang tidak suka kepadanya memberi julukan Pendekar Mata Keranjang, akan tetapi Hay-ko bukanlah seorang penjahat cabul. Dia tak boleh disamakan dengan ayahnya, dan buktinya dia malah menentang ayahnya bahkan dialah yang menangkap ayahnya sendiri. Kalau ayahnya yang bersalah, kenapa Ibu menyeret pula anaknya?”

“Kui Hong... uhh...!” Sui Cin membanting kaki lalu memondong tubuh Kui Bu dan pergi ke dalam meninggalkan ruangan itu.

Hui Song memandang anaknya dengan alis berkerut. “Kui Hong, sudah benarkah sikapmu terhadap ibumu?” Lalu dia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Hay Hay dan berkata, “Saudara muda Tang, maafkan kami, akan tetapi terpaksa kami tidak dapat menerima Saudara karena di antara kita terdapat perbedaan golongan.”

“Ayahhh...! Dia ini tamuku, akulah yang mengundangnya!” Kembali Kui Hong membentak marah.

“Hemm...” Hui Song menahan kemarahannya dan mengepal tinju. “Aku belum lupa bahwa engkaulah pangcu dari Cin-ling-pai, jadi engkau pula yang berhak menentukan!” Sesudah berkata demikian, Hui Song juga pergi ke dalam menyusul isterinya. Dia tidak peduli lagi ketika puterinya memanggilnya.

“Ayahhh...!” Melihat ayahnya terus melangkah masuk, Kui Hong berpaling kepada kakek Cia Kong Liang. “Kongkong…!”

Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng kepala. “Kui Hong, kali ini engkaulah yang keliru. Pikirkan dulu baik-baik,” katanya dan dia pun pergi meninggalkan ruangan itu.

Kui Hong berdiri seperti patung, mukanya pucat sekali, napasnya terengah-engah, kedua tangannya terkepal. Suara Hay Hay menyeretnya kembali kepada kenyataan.

“Hong-moi, kata-kata kakekmu benar. Ayah ibumu yang benar dan engkaulah yang keliru karena membelaku. Bagaimana pun juga, pada kenyataannya aku adalah anak kandung Ang-hong-cu yang keji dan jahat, bahkan aku dilahirkan dari hasil perkosaannya terhadap ibuku. Sedangkan engkau, engkau adalah puteri keluarga Cia yang sudah turun temurun menjadi pemimpin Cin-ling-pai yang besar. Tentu saja engkau tidak boleh menyeret Cin-ling-pai sampai demikian rendahnya...”

“Hay-ko..., diam kau! Begitu tega engkau hendak merobek-robek perasaan hatiku dengan ucapan itu? Engkau tahu bagaimana perasaanku terhadapmu. Kita saling mencinta. Aku tahu akan keadaan dirimu dan aku tidak peduli dengan keturunanmu. Mereka tak berhak melarangku bergaul denganmu, bahkan menikah denganmu. Siapa pun tidak berhak! Aku yang akan menentukan sendiri langkah hidupku!”

“Hong-moi, jangan begitu...”

“Hay-ko, katakan, apakah engkau cinta padaku?”

“Perlukah kukatakan lagi? Sudah berapa kali kunyatakan kepadamu? Tentu saja aku cinta padamu, Hong-moi, akan tetapi justru karena cintaku maka aku tidak ingin melihat engkau menderita karena bertentangan dengan keluargamu...”

“Hay-ko, ini urusan keluargaku, engkau tidak bisa mencampuri. Biar kuselesaikan sendiri. Kau tunggu dulu di sini, aku harus bicara dengan mereka sampai tuntas!” Setelah berkata demikian, dengan gesit Kui Hong lalu menyusul ayah, ibu dan kakeknya ke dalam. Masih sempat dia melihat pemuda itu menjatuhkan diri dengan lemas ke atas kursi dan belum pernah dia melihat wajah Hay Hay sepucat itu.

********************

“Kui Hong!” Suara Cia Hui Song kini mengandung kemarahan dan ketegasan. “Ke mana perginya akal sehatmu? Tentu saja ayah ibumu takkan melarang engkau bergaul dengan orang-orang gagah sedunia, terutama dengan pendekar-pendekar budiman yang gagah perkasa. Tetapi bagaimana engkau dapat mengajak putera Ang-hong-cu ke sini? Biar pun dia telah membantu kita, tetap saja kami tidak mungkin dapat menerimanya sebagai tamu kehormatan, apa lagi sahabat anak kita. Lebih-lebih lagi sebagai pilihan hatinya! Engkau tahu, nama Ang-hong-cu dikutuk orang gagah sedunia, dan engkau akrab dengannya?”

“Tapi, Ayah. Kami sudah saling mencinta! Bahkan dia kuajak datang ke mari untuk minta pertimbangan Ayah dan Ibu agar kami diperkenankan menjadi suami isteri!”

“Tidak...!” Bentakan Hui Song dan Sui Cin hampir berbareng. Ini saja telah cukup menjadi bukti bahwa suami isteri itu sependirian dalam hal ini, tidak setuju apa bila puteri mereka berjodoh dengan anak Ang-hong-cu!

Kui Hong adalah seorang gadis berhati baja. Makin ditentang, semakin panas hatinya dan makin berani pula. Dia menghadapi ayah ibunya dengan muka merah dan mata bersinar-sinar, walau pun agak basah.

“Sungguh aku tidak menyangka. Apakah Ayah dan Ibu berpendirian kolot. Apakah Ayah dan Ibu tidak menghargai kesucian dua hati yang saling mencinta? Apakah Ayah dan Ibu hendak menjodohkan aku dengan pria pilihan Ayah dan Ibu sendiri, tidak menghiraukan pilihan hatiku seolah-olah aku ini bukan manusia, melainkan seekor anjing atau sapi saja? Bukankah ayah dan ibu dahulu juga menikah atas dasar saling mencinta?”

Mendengar serangan pertanyaan dari puteri mereka itu, Hui Song dan Sui Cin kemudian saling pandang dan agak berkuranglah rasa marah dan penasaran mereka. Hui Song lalu berkata, suaranya lebih tenang.

“Memang benar, Kui Hong. Ayah ibumu menikah berdasarkan cinta. Akan tetapi tidak ada latar belakang yang buruk pada ayah dan ibumu sehingga pernikahan kami pun tidak ada halangannya. Engkau harus ingat bahwa Ang-hong-cu adalah seorang jai-hwa-cat yang sangat jahat dan keji, entah sudah merusak berapa ratus orang wanita! Bahkan keluarga kita sendiri, Cia Ling, telah menjadi korbannya! Seluruh orang gagah mengutuknya dan...”

“Akan tetapi, Ayah. Aku tidak menikah dengan Ang-hong-cu melainkan dengan Hay-ko!”

“Tetapi dia adalah anak kandung Ang-hong-cu, Kui Hong!” bantah ibunya. Kui Bu sudah disuruh masuk ke kamar oleh ibunya, tidak diperbolehkan ikut mendengarkan percakapan itu. “Dan bagaimana mungkin keluarga kita yang dihormati orang dapat berbesan dengan Ang-hong-cu yang dikutuk oleh semua orang?”

“Tapi Ang-hong-cu sudah mati, Ibu! Yang jahat memang Ang-hong-cu, akan tetapi Hay-ko tidak jahat, bahkan dia seorang pendekar yang budiman dan gagah! Ingat, Ibu, Hay-ko tidak pernah minta dijadikan anak Ang-hong-cu! Bahkan semenjak lahir dia belum pernah melihat muka Ang-hong-cu itu. Baru setelah dia dewasa dan mencari Ang-hong-cu untuk membalaskan dendam ibunya yang diperkosa...” Tiba-tiba Kui Hong menghentikan kata-katanya. Karena emosi dia sampai lupa bahkan sudah membuka rahasia Hay Hay yang tadinya hendak disembunyikan dari orang tuanya itu.

“Ya Tuhan! Bahkan kiranya dia adalah anak akibat perkosaan yang dilakukan Ang-hong-cu terhadap ibunya? Anak haram…?”

“Ibu…! Ibu terlalu kejam kepadanya! Apa dosa Hay-ko dalam peristiwa terkutuk itu? Apa dosanya? Coba Ibu katakan, apa dosanya?”

Tentu saja Sui Cin tidak mampu menjawab, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Jelas bahwa tak mungkin kami dapat menyetujui engkau berjodoh dengan dia, Kui Hong. Ingat, engkau adalah seorang pangcu dari Cin-ling-pai. Ingat dengan sumpahmu? Engkau harus lebih mementingkan Cin-ling-pai dari pada urusan pribadimu.”

“Ayah, kalau aku menikah dengan Hay-koko, hal itu sama sekali tidak merugikan Cin-ling-pai, bahkan Cin-ling-pai akan mendapat tenaga bantuan orang yang memiliki kepandaian amat tinggi. Cin-ling-pai bahkan akan menjadi semakin maju dengan bantuan dari Hay-ko sebagai suamiku.”

“Kui Hong, engkau lupa!” tiba-tiba kakek Cia Kong Liang berkata. “Kalau begitu, lalu apa bedanya dengan Cin-ling-pai maju akibat bantuan Pek-lian-kauw, misalnya? Orang-orang dunia kang-ouw akan mengatakan bahwa Cin-ling-pai menjadi kuat karena ada anak Ang-hong-cu menjadi anggota pimpinan.”

“Kami tidak menghendaki itu!” kata pula Hui Song.

Kui Hong diam saja, sejenak dia memejamkan mata sambil membiarkan dirinya jatuh ke atas kursi. Dia tahu bahwa tak mungkin lagi berbantahan dengan mereka ini. Jelas bahwa apa pun alasan yang dia kemukakan, kakeknya, ayah serta ibunya tidak akan menyetujui perjodohannya dengan Hay Hay. Apa lagi jika mereka menggunakan alasan Cin-ling-pai, tentu dia tidak mampu bergerak lagi.

Suasana di ruangan itu menjadi amat lengang ketika gadis itu berdiam diri. Tiga orang tua itu menatap ke arahnya dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kekhawatiran. Mereka semua mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang hatinya keras dan sukar diduga apa yang akan dilakukan gadis itu.

Akhirnya Kui Hong berdiri dan memandang kepada tiga orang tua itu, mula-mula kepada ibunya, lalu ayahnya, akhirnya kakeknya. “Baiklah, kalau begitu, aku akan mengundurkan diri dari Cin-ling-pai, aku tidak akan menjadi ketua Cin-ling-pai supaya aku dapat menikah dengan suami pilihan hatiku sendiri. Aku hendak memberi tahu kepada Hay-ko mengenai keputusanku ini.” Setelah berkata demikian dia lalu melangkah pergi meninggalkan ruang itu.

“Kui Hong...!” Sui Cin sudah bangkit dan hendak mengejar, akan tetapi tangan suaminya menyentuh pundaknya.

“Jangan, tidak ada gunanya lagi,” kata suaminya.

Sui Cin mengerti sehingga dia pun hanya dapat melempar tubuhnya ke atas kursi lantas menyembunyikan tangisnya di balik kedua tangannya. Suasana menjadi amat mencekam dan tiga orang tua itu tenggelam dalam duka dan kecewa.

********************

Dengan muka dan hati masih panas Kui Hong melangkah masuk ke dalam ruangan tamu di mana Hay Hay menunggunya. Akan tetapi ketika tiba di sana dia tidak melihat Hay Hay yang tadi duduk di kursi. Dia memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandangan matanya sampai keluar ruangan. Namun tidak nampak bayangan Hay Hay.

Dia mendekati meja dan kursi di mana tadi Hay Hay duduk dan melihat selembar kertas dilipat di atas meja. Surat dari Hay Hay! Dengan tangan gemetar serta jantung berdebar dibukanya lipatan surat dan dibacanya.

Adik Kui Hong tersayang,

Kita harus melihat dua buah kenyataan yang membuat perjodohan kita tak mungkin bisa terjadi. Pertama, keluargamu tidak setuju aku menjadi suamimu, dan kedua, aku sendiri tidak suka terikat di Cin-ling-pai kalau menjadi suamimu.

Jangan menjadi anak yang tidak berbakti dan murid Cin-ling-pai yang murtad, Hong-moi. Cinta kasih adalah antara dua buah hati, akan tetapi pernikahan telah diatur oleh Tuhan! Sudah kupertimbangkan. Demi kebaikanmu maka aku harus mundur. Aku harus pergi dan jangan tanya ke mana aku pergi, sayang. Aku sendiri tidak tahu ke mana aku pergi.

Sekali lagi ingat, Hong-moi. Jodoh di tangan Tuhan, maka kalau kita saling berjodoh, biar hari ini berpisah, kelak pasti akan bertemu kembali.

Salam dan doaku, Hay Hay


“Hay-ko…!” Kui Hong menggenggam surat itu dan menjatuhkan kepalanya di atas meja. Kedua pundaknya berguncang dan walau pun tidak terdengar tangisnya, namun di bawah mukanya, meja itu menjadi semakin basah oleh air mata.

Beberapa lama kemudian ketika menyusul ke ruangan tamu, Kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin mendapatkan gadis itu dalam keadaan pingsan, terduduk di kursi dengan kepala di atas meja dan surat masih tergenggam di tangan. Dengan hati-hati Sui Cin mengambil surat itu lantas membacanya. Beberapa butir air mata mengalir turun dari kedua mata nyonya ini.

Ia merasa kasihan sekali kepada Hay Hay dan Kui Hong, akan tetapi juga lega dan girang bahwa pemuda itu telah mengambil keputusan yang demikian bijaksana. Sayang, pikirnya kalau saja bukan putera Ang-hong-cu, keluarga Cia dan dia sendiri pasti akan menerima pemuda itu dengan hati dan tangan terbuka!

Tubuh Kui Hong panas sekali! Dia terserang demam karena tekanan batin. Kakek, ayah dan ibunya membujuk dan menghiburnya penuh dengan kata dan perawatan penuh kasih sayang sehingga akhirnya, bagaimana pun juga, Kui Hong harus membenarkan pendapat dan keputusan kekasihnya.

Dia pulih kembali dan dalam hatinya berjanji akan mengurus Cin-ling-pai sebaiknya, juga tidak akan menikah dengan pria mana pun juga. Jika Tuhan menghendaki, kelak pasti dia akan bertemu kembali dengan Hay Hay dan kalau memang menjodohkan mereka, pasti terbuka jalan sehingga pertalian kasih sayang mereka dapat terjalin dalam pernikahan.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Belum pernah selama hidupnya Hay Hay mengalami perasaan seperti saat itu. Kepalanya terasa berat, seluruh tubuhnya lemas, perasaan hatinya mengambang tidak menentu, dan terasa ada sesuatu yang menekan serta menusuk, seperti himpitan berat yang sekaligus menimbulkan rasa nyeri di dada. Pandang matanya hampa. Dia merasa betapa dia hidup di dunia yang teramat sunyi dan kosong, bahkan tidak ada artinya, hampa.

Wajahnya yang biasanya berseri-seri itu kini muram, senyum yang biasanya tidak pernah meninggalkan bibirnya itu kini terganti tarikan mulut bagaikan orang yang sedang tersiksa oleh nyeri yang amat hebat, sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar dan mencorong itu kini seperti pelita kehabisan minyak yang hampir padam. Rambut yang biasanya bersih dan tersisir rapi itu kini kusut dan kotor, juga pakaian yang biasanya rapi itu kini nampak kusut dan sudah perlu diganti.

Memang sudah dua hari ini Hay Hay tidak makan, tidak tidur, tidak berganti pakaian, tidak mandi. Selama dua hari dua malam dia berjalan terus, berjalan tanpa arah tertentu, kedua kakinya asal melangkah saja. Sudah banyak lembah bukit dan sawah ladang yang dilalui, hutan ditembusi, dan dia tidak tahu berada di mana, dari mana atau hendak ke mana. Dia seperti orang yang kehilangan ingatan atau yang kehabisan semangat, kehilangan gairah hidup. Sejak dia meninggalkan ruangan tamu di rumah keluarga Cia, keluar dari Cin-ling-san, keadaannya sudah seperti itu.

Hanya satu saja yang selalu teringat, selalu terbayang, selalu terngiang, yaitu bahwa dia harus berpisah dari Kui Hong! Dan satu hal ini justru membuat perasaan hatinya laksana ditusuk-tusuk. Ingin dia menjerit, ingin dia menangis, ingin memprotes, akan tetapi dia tak mampu melakukannya. Dia harus meninggalkan kekasihnya. Harus! Hanya satu ini yang menjadi tekadnya. Demi kebaikan Kui Hong. Dia harus pergi meninggalkannya!

Setiap lambaian daun pohon tertiup angin, atau setiap kicau burung, apa saja yang dilihat atau didengarnya, seolah-olah tahu akan keadaannya dan turut berduka dengannya. Ada pula perasaan di hatinya bahwa setiap orang yang dijumpainya dalam perjalanan tanpa arah itu seolah mengejeknya, menyorakinya!

Rasa haus dan lapar membuat dia lemas dan hampir pingsan ketika dia menjatuhkan diri berlutut di pinggir sebuah danau kecil yang airnya jernih. Sejenak dia hanya berlutut saja, memejamkan kedua matanya, masih belum ada gairah untuk minum meski pun air berada didekatnya dan rasa haus amat mencekik lehernya.

Dan ketika dia memejamkan sepasang matanya malah terbayang wajah Kui Hong. Wajah yang demikian manis, mata yang memandangnya dengan pancaran kasih sayang yang demikian mendalam, dengan ujung bibir bergerak-gerak seolah hendak menyatakan kasih sayangnya dengan seribu satu bisikan.

“Hong-moi... aihhh, Hong-moi...,” dan kini Hay Hay tidak mampu lagi menahan tangisnya. Hanya sesenggukan saja, akan tetapi air matanya jatuh bagaikan hujan deras, menetes-netes ke dalam air danau di depannya. Makin dirasakan, semakin perih rasa hatinya dan semakin deras keluarnya air mata. Belum pernah selama hidupnya dia menangis seperti ini!

Tiada hujan yang tak akan mereda, tiada tangis tanpa berhenti. Sesudah berlutut sambil menangis dan memejamkan mata selama hampir setengah jam, akhirnya badai dan topan yang mengamuk di dalam perasaan Hay Hay mereda juga. Kesedihannya terkuras sudah, terkuras bersama air matanya. Kalau awan mendung yang gelap sudah mencair menjadi air hujan dan jatuh, cuaca pun berubah terang. Demikian pula duka nestapa di hati. Kalau sudah mencair menjadi air mata dan tertumpah keluar, hati yang tadinya amat tertekan itu akan terasa ringan.

Tanpa sengaja atau disadari Hay Hay menarik napas panjang. Hawa udara yang sejuk itu mengalir memasuki paru-paru dan seolah-olah memenuhi seluruh rongga-rongga kosong yang tadinya diisi hawa kedukaan. Terasa nyaman dan nikmat sekali, amat melegakan.

Hay Hay membuka matanya, seolah-olah baru bangun dari mimpi buruk. Begitu membuka matanya, teringatlah dia akan segala yang terjadi. Tentang Cin-ling-pai, tentang keluarga Cia, tentang keadaannya selama dua hari dua malam setelah meninggalkan ruang tamu rumah Kui Hong itu. Dia menarik napas panjang, merasa heran kenapa dia sampai dapat bersikap seperti itu. Lantas dia menunduk. Bayangan wajahnya nampak di air danau yang jernih seperti cermin itu. Dia pun terkejut.

“Ehh? Engkaukah itu, Hay Hay?” tanyanya kepada bayangannya.

Pada saat bertanya itu dia melihat bayangannya menggerak-gerakkan bibir yang nampak begitu pucat, kering dan dengan tarikan yang menyedihkan, betapa bayangan itu memiliki pandang mata yang mirip mayat hidup, wajah yang amat kotor dan muram, rambut yang awut-awutan dan pakaian yang lusuh kotor.

“Ihh! Apa-apaan sih kau ini, Hay Hay?” tegurnya kepada bayangannya.

Tiba-tiba dia membungkuk lalu membenamkan kepalanya sendiri ke dalam air sampai ke leher! Air danau yang dingin itu meresap ke seluruh kepalanya seperti menembus ke otak, mengusir semua kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. Yang terasa hanyalah dingin dan dingin, segar dan nyaman.

Dia agak terengah-engah setelah akhirnya mengangkat kembali mukanya dari dalam air. Air menetes-netes dari muka dan rambutnya ketika dia menunduk dan nampak bayangan mukanya yang kacau balau di permukaan air yang pecah.

“Engkau bodoh sekali, Hay Hay! Engkau membiarkan kepalamu terbenam di dalam duka yang hampa. Lebih baik dibenamkan ke dalam air sejuk nyaman, ha-ha-ha!” dan kembali dia membenamkan kepalanya ke dalam air! Hal ini berulang sampai beberapa kali hingga napasnya terengah-engah ketika dia mengangkat kembali kepalanya keluar.

Akan tetapi sekarang dia sudah sadar sepenuhnya. Nampak benar segala sikapnya yang dianggapnya lucu dan bodoh. Ia telah mengambil keputusan untuk mundur dari Kui Hong, karena tahu bahwa hal itu yang sebaiknya bagi Kui Hong, gadis yang dicintanya. Kenapa setelah mengambil keputusan yang dianggapnya sudah tepat itu, dia lalu menyiksa batin dengan penyesalan, kedukaan, kekecewaan dan kehilangan?

Kini dia duduk di tepi danau, melamun akan tetapi tak berduka lagi. Rambutnya telah dia keringkan, masih terurai di pundak. Bahkan dia sudah mandi dan berganti pakaian. Kini dia tinggal menunggu pakaian kotor yang dicucinya menjadi kering, dijemurnya di ranting pohon. Sambil menanti dia memutar otaknya untuk mengatur langkah hidup selanjutnya.

Kini dia dapat mengenang pengalaman pahit itu tanpa mengeluh, tanpa merasa sakit hati lagi. Memang dia telah diremehkan keluarga Cia, namun dengan pikiran jernih dan dingin sekarang dia bisa melihat kenapa keluarga Cia meremehkan dirinya dan tidak menyetujui perjodohan antara dia dan Kui Hong. Dan dia tidak dapat menyalahkan mereka. Semua ini merupakan akibat dari pada sebab yang diperbuat oleh ayah kandungnya, merupakan buah dari pohon yang ditanam oleh Ang-hong-cu.

Kui Hong adalah seorang pangcu yang terhormat dan mempunyai tugas berat, harus bisa menjaga nama baik Cin-ling-pai. Dia juga puteri suami isteri pendekar, tokoh Cin-ling-pai yang amat terkenal. Semua anggota keluarga Cia merupakan pendekar-pendekar besar, pendekar-pendekar gagah perkasa dan budiman yang selalu menentang kejahatan. Lalu bagaimana mungkin gadis seperti Kui Hong dapat berjodoh dengan putera Ang-hong-cu, penjahat cabul yang ditentang, dibenci, bahkan dikutuk oleh semua pendekar? Memang pahit sekali. Namun hal itu merupakan kenyataan yang harus ditelannya!

Dalam segala peristiwa yang terasa pahit dan tidak enak pun terkandung hikmah yang sangat bermanfaat bagi orang yang bersangkutan. Tuhan Maha Kasih. Semua peristiwa yang dikehendaki Tuhan terjadi pada seseorang, pastilah demi kebaikan orang itu sendiri. Tentu saja hati dan pikiran kita yang terbatas ini tak mungkin mampu menjenguk makna atau hikmah yang tersembunyi di dalam setiap peristiwa. Kita hanya melihat kulitnya saja. Bila menguntungkan kita, kita anggap baik. Jika merugikan kita, kita anggap buruk! Kita tidak tahu apa intinya, apa isinya, dan hanya pandai mengeluh kalau terasa tidak enak.

Hay Hay teringat akan dongeng yang diceritakan oleh gurunya yang terakhir, yaitu Song Lojin tentang hikmah yang terkandung pada segala macam peristiwa di dalam kehidupan ini.

Tuhan terus bekerja, tak pernah berhenti sedetik pun. Dan semua pekerjaan Tuhan selalu sempurna, walau pun lika-likunya banyak yang merupakan rahasia bagi kita, atau belum kita mengerti. Kalau ada bagian pekerjaan Tuhan yang sudah kita mengerti benar, maka barulah kita ketahui bahwa hasil pekerjaan Tuhan itu sempurna, sesuai kata-kata Tuhan adalah Maha Sempurna!

Dongeng yang diceritakan Song Lojin kepadanya itu kini kembali teringat olehnya dan dia lantas melamun, mengingat-ingat dongeng yang seperti dongeng kanak-kanak akan tetapi mengandung pelajaran yang bisa membuka mata manusia terhadap kenyataan, terhadap hikmah yang tersembunyi dalam setiap peristiwa.

Ada seorang janda yang hidup berdua saja dengan seorang puteranya yang baru berusia lima tahun. Janda itu beribadat dan saleh, tidak pernah menyimpang dari jalan kebenaran sehingga terkenal sebagai seorang janda yang berbudi baik. Puteranya juga sangat lucu dan mungil sehingga biar pun janda itu hanya hidup berdua, dia cukup bahagia.

Akan tetapi pada suatu hari puteranya jatuh sakit. Segala usaha yang dilakukan janda itu untuk menyembuhkan puteranya selalu gagal sehingga akhirnya anak itu pun meninggal dunia! Hancur luluh perasaan hati janda itu.

Ratap tangisnya terhadap Tuhan untuk minta pertolongan sejak puteranya jatuh sakit, kini berubah menjadi ratap tangis penyesalan. Bahkan demikian hebat kedukaannya sehingga di dalam tangisnya dia berani menegur Tuhan, mengapa Tuhan begitu kejam, mengambil satu-satunya anak, satu-satunya pelipur hatinya yang menjadi teman hidupnya. Mengapa Tuhan membalas semua kebaktiannya dengan siksaan. Dalam tangisnya dia mengatakan bahwa Tuhan tidak adil!

Saking sedihnya, dia lalu jatuh pingsan. Para tetangga mengangkatnya dan merebahkan tubuhnya di atas pembaringan, tidak jauh dari jenazah puteranya. Dan dalam pingsannya itu, semangat janda yang dilanda penasaran itu melayang naik mencari Tuhan! Ia bertekat untuk menghadap Tuhan, untuk memprotes kematian puteranya! Dan semangatnya yang melayang-layang itu bertemu dengan malaikat yang diutus Tuhan menjemputnya.

“Janda saleh, hendak ke manakah engkau?” tanya malaikat.

“Aku ingin mencari Tuhan. Aku ingin menghadap Tuhan!” jawabnya.

“Mengapa?”

“Aku hendak memprotes dan ingin menyatakan penasaran hatiku. Sejak kecil aku selalu beribadat, tak penah lupa sembahyang dan memuji nama Tuhan, tidak pernah melakukan kejahatan karena aku takut kepada Tuhan dan selalu ingin menyenangkan Tuhan dengan perbuatan yang baik. Akan tetapi, ketika masih muda dan memiliki seorang anak, Tuhan mengambil suamiku. Hal itu masih kuterima dengan penuh tawakal. Aku menyerah pada kehendak Tuhan. Aku lantas hidup menjanda bersama puteraku yang kuanggap sebagai anugerah Tuhan. Aku selalu berterima kasih dan juga menjaga diri supaya jangan sampai membikin marah Tuhan dengan perbuatan yang mengandung dosa. Akan tetapi mengapa kini Tuhan mengambil puteraku? Mengapa Tuhan begitu kejam terhadap diriku? Nah, aku akan menghadap Tuhan dan memprotes! Mengapa kehidupan orang-orang yang berdosa malah jauh lebih beruntung dari pada kehidupanku, seorang yang selalu memuja Tuhan?”

Malaikat itu membiarkan sang janda bicara sampai habis untuk mengeluarkan semua isi hatinya yang penuh duka dan penasaran. Kemudian malaikat itu membimbingnya ke atas awan, lalu berkata dengan lembut.

“Janda yang saleh. Sebelum engkau melanjutkan protesmu kepada Tuhan, kami hendak memperlihatkan sesuatu. Nah, kau tengoklah di sana!” Sang malaikat menunujuk ke arah langit biru di barat.

Sang janda melihat ke arah langit yang ditunjuk dari atas gumpalan awan putih itu dan ia pun melihat pemandangan yang luar biasa mengherankan. Ia melihat kehidupan di dunia ramai!

Dia melihat seorang pemuda yang tampan dan gagah sedang melakukan perbuatan yang sangat mengerikan. Dengan bengis dan kejamnya pemuda itu menyerang orang-orang, membunuh dan merampok, bahkan memperkosa. Pemuda itu begitu garang dan begitu jahat, bagaikan iblis sendiri sehingga janda itu tak sanggup lagi menyaksikan kekejaman-kekejaman yang luar biasa itu dan dia memalingkan mukanya, tidak sudi melihat lagi.

“Alangkah kejamnya dan alangkah jahatnya! Mengapa aku yang sudah menderita duka ini diharuskan menyaksikan perbuatan yang demikian kejam dan jahat? Siapakah pemuda yang jahat itu?”

“Ketahuilah olehmu, janda yang baik budi. Pemuda itu adalah puteramu kelak apa bila dia dibiarkan menjadi dewasa.”

Wanita itu terbelalak dan menutup mulut dengan tangan seolah hendak menjaga agar dia jangan menjerit. Dia membalik dan memandang kembali ke arah pemuda itu yang masih mengamuk.

“Ya Allah! Ampunilah hamba, ya Tuhan... jangan... jangan...! Hentikanlah perbuatannya...!” Dan dia pun menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya dengan kedua tangan.

“Lihatlah kenyataan, janda yang baik, lantas sadarilah mengapa kini Tuhan menghendaki anakmu mati dalam usia kecil. Karena engkau, ibunya, adalah seorang wanita yang saleh dan baik budi, maka Tuhan tidak menghendaki kelak engkau tersiksa karena perbuatan anakmu. Nah, sekarang bagaimana? Apakah engkau masih menghendaki agar anakmu dihidupkan kembali dan dibiarkan menjadi dewasa?”

“Tidak… tidak...! Biarlah dia mati sekarang, aku… aku rela..., jangan sampai dia menjadi jahat seperti itu…”


Demikianlah dongeng yang sekarang seolah-olah terbayang di dalam benak Hay Hay. Dia pejamkan mata, tersenyum dan mengangguk-angguk. Kehendak Tuhan jadilah, demikian bisik hatinya.

Semua peristiwa yang terjadi pada diri setiap manusia merupakan suatu kenyataan, suatu kebenaran, suatu keputusan Tuhan yang Maha Adil, Maha Bijaksana, dan Maha Kasih. Manusia wajb berikhtiar dengan cara yang benar untuk mempertahankan hidup, bahkan untuk menikmati hidup. Akan tetapi berhasil atau gagalnya ikhtiar itu hanya Tuhan yang menentukannya. Apa pun yang terjadi adalah kehendak Tuhan!

Kalau kita anggap peristiwa yang menimpa kita menyenangkan, kita patut bersyukur atas kasih sayang Tuhan. Sebaliknya kalau kita anggap menyusahkan maka kita tidak perlu mengeluh, melainkan menerimanya dengan penuh kesadaran bahwa semua yang terjadi sudah kehendak Tuhan dan pasti ada sebabnya, bahkan ada pula hikmahnya. Mungkin merupakan hukuman atau buah dari pohon yang ditanamnya sendiri. Mungkin merupakan cobaan atau ujian. Tidak ada manfaatnya mengeluh, sebaliknya kita harus bersyukur dan menyerah kepada Tuhan Maha Kasih!


Hay Hay tertawa-tawa, mentertawakan kebodohannya sendiri. Pikiran hanya merupakan alat, mengapa kita suka menggunakannya untuk mengenangkan dan membayangkan hal-hal yang lalu dan yang akan datang, hanya untuk menimbulkan rasa duka dan ketakutan? Kenapa kita tidak mempergunakan alat ini untuk hal-hal yang bermanfaat sehingga dapat melahirkan tindakan-tindakan yang bermanfaat pula?

“Ha-ha-ha, dasar otak udang kau, Hay Hay!” katanya sambil tertawa dan sekali lagi dia membenamkan kepalanya ke dalam air sampai ke lehernya!

Ketika dengan terengah-engah dia mengeluarkan lagi kepalanya dari dalam air, dengan rambut basah kuyup menutupi sebagian mukanya, dan air menetes-netes dari hidung dan dagunya, dia mendengar suara tawa di belakangnya. Suara tawa merdu seorang wanita! Kalau saja tadi dia tidak membenamkan kepalanya ke dalam air, tentu dia akan tahu saat wanita itu datang ke situ. Tapi kedua telinganya tadi tertutup air sehingga di belakangnya tahu-tahu ada wanita tanpa dia ketahui. Dia segera menengok dan memandang dengan mata terpentang lebar dan mulut ternganga.

Wanita itu makin geli tertawa, menutupi mulut dengan jari tangan akan tetapi celah-celah jari tangan masih memperlihatkan bibir yang merah, gigi berkilat putih dan rongga mulut yang merah dengan lidah yang jambon. Hidung kecil mancung itu bergerak-gerak ketika dia tertawa. Lucu sekali!

“Hi-hi-hi-hik, lucunya... heh-heh... engkau mirip kura-kura yang baru nongol dari dalam air, hi-hi-hi...!”

Hay Hay turut tertawa lalu menyingkap rambut yang menutupi mukanya. Dengan kepala dan muka basah kuyup seperti itu, memang mungkin sekali dia nampak seperti kura-kura. Setelah dia menyingkap rambutnya maka wanita itu yang ganti ternganga.

“Ihhh…, kiranya kau... kau seorang pemuda yang tampan…,” dia berkata lirih. “Kusangka tadi seorang dari kampungku... maafkan,” akan tetapi kembali wanita itu tersenyum lebar dengan hati yang masih merasa geli.

“Nona, mengapa engkau mentertawaiku?” Hay Hay bertanya.

“Engkau yang aneh. Kenapa engkau membenamkan kepalamu ke dalam air sampai lama benar? Itu namanya mandi bukan, mencuci muka juga bukan. Apa sih yang kau lakukan tadi?”

Hay Hay mengusap mukanya yang basah. Kini wajahnya tidak tertutup air lagi sehingga dia dapat memandang dengan jelas, dapat melihat sepenuhnya pada wanita muda yang berdiri di hadapannya.

Seorang dara yang usianya belum mencapai dua puluh tahun. Pakaiannya memang amat sederhana seperti gadis dusun, akan tetapi wajahnya! Wajah tanpa bedak dan gincu itu bagaikan setangkai bunga hutan yang sangat indah segar seperti selalu mandi air embun. Sejenak dia terpesona.

“Heiii! Kenapa kau diam saja, bengong seperti ikan? Kutanya apa yang kau lakukan tadi!” Gadis itu berkata lagi, hatinya semakin geli. Aduh, selain cantik manis masih lincah genit dan menggemaskan pula!

“Tadi aku mengintai ikan!” jawabnya sambil tersenyum dan timbul kenakalannya melihat sikap yang wajar dan berani dari gadis dusun itu.

“Mengintai ikan?” sepasang mata yang indah itu melebar.

Hay Hay mengangguk, senyumnya semakin cerah dan lupalah sudah betapa sejam yang lalu dia masih tenggelam dalam duka! Pikiran memang seperti ombak lautan, sebentar ke kanan sebentar ke kiri, menjadi permainan suka-duka yang ditimbulkan kenangan masa lalu dan bayangan masa depan.

“Ya, mengintai ikan yang sedang pacaran!”

Sepasang mata indah itu semakin melebar. Jeli dan indahnya!

“Ikan... pacaran? Ikan apa itu?” Gadis itu bertanya, tertarik sekali akan tetapi juga tidak percaya.

“Entah ikan apa, akan tetapi yang betina cantiknya bukan main,” Hay Hay berkata sambil mengamati gadis itu dari kepala sampai ke kaki. “Ikan betina itu bertubuh ramping padat. Wajahnya cantik manis dengan sepasang mata bintang, hidungnya kecil mancung, dan mulutnya... hemmm, bibir kecil merah seperti mencibir, giginya putih mengkilap, dagunya runcing dan ada lesung di sebelah kiri mulutnya. Lehernya panjang seperti tangkai bunga teratai, kulitnya putih halus mulus dan segar, sisiknya berwarna hijau muda, rambutnya dihias ukiran perak berbentuk bunga mawar...”

Gadis itu memandang ke arah bajunya yang hijau muda sambil tangannya meraba rambut di mana terdapat hiasan perak berbentuk mawar.

“Ehh? Seperti aku...?” tanyanya dan tahulah Hay Hay bahwa gadis manis ini agak bodoh. “Bagaimana yang jantan?” tanya pula gadis itu.

Hay Hay tersenyum. Sukar membayangkan gadis manis ini berpacaran dengan orang lain kecuali dengan dia. “Yang jantan? Aihh, buruk sekali...”

“Kalau begitu ikan itu aku!” gadis itu berkata lagi.

Kini Hay Hay yang menjadi heran. Namun sebelum dia berkata sesuatu, nampak seorang laki-laki berlari-larian menuju ke tempat mereka. Dia mengangkat muka memandang dan gadis itu pun menoleh. Ketika melihat laki-laki yang sudah lari mendekat itu, si gadis cepat menyongsongnya lalu mereka pun bertemu dan berpelukan!

“Koko, engkau menyusul...?”

“Ya, akan kubantu engkau mencuci pakaian, Moi-moi!” kata laki-laki itu sambil merangkul leher.

Dan Hay Hay terbelalak. Laki-laki itu seorang pemuda yang sebaya dengan dia, usianya sekitar dua puluh tahun, tubuhnya pendek sehingga kalah tinggi sedikit bila dibandingkan gadis itu, dan mukanya kehitaman, biar pun tidak buruk sekali akan tetapi jauh dari pada tampan. Cukup jelek dengan mata yang sangat sipit, hidung besar mekar, mulutnya juga lebar dengan bibir tebal. Akan tetapi pakaiannya nampak mentereng dan gerak-geriknya kuat namun lembut.

“Moi-moi, dengan siapa engkau bercakap-cakap tadi? Siapakah pemuda ini?” Si pendek itu menatap kepada Hay Hay dengan heran, akan tetapi sedikit pun tidak kelihatan marah.

“Aihh, dia ini?” Wanita itu terkekeh genit. “Dia lucu sekali, Koko. Tadi dia membenamkan kepalanya di air, katanya sedang mengintai ikan, hik-hik! Dan ikan betinanya seperti aku, jantannya seperti engkau, heh-heh!”

Mendengar ucapan gadis itu, mau tidak mau Hay Hay juga tertawa geli. “Ha-ha-ha, benar sekali...!” katanya. Kini dia tahu bahwa biar pun cantik manis sekali, akan tetapi gadis itu juga bodoh!

Pria itu juga tersenyum. “Hemm, kiranya engkau bertemu dengan seorang yang otaknya miring, Moi-moi. Mana ada orang mengintai ikan dan mana ada ikan yang mirip manusia? Tentu kepalanya terlalu panas maka dia membenamkan kepala di dalam air.” Kemudian dia menghampiri Hay Hay dan ketika melihat sebuah batu besar didekatnya, pria itu lalu menggerakkan tangannya ke arah batu.

“Plakkk!”

Ketika tangan itu diangkatnya, di batu tadi nampak bekas telapak tangan yang tertinggal di batu, ada dua sentimeter dalamnya! Kiranya pria itu memiliki tenaga yang cukup hebat, pikir Hay Hay kagum.

“Saudara yang baik,” kata laki-laki itu dengan suara tenang dan sabar. “Aku hanya ingin mengatakan bahwa amat merugikan diri sendiri kalau seorang pria suka mendekati isteri orang lain.”

“Aku tidak mendekati... ohh, kau mau katakan bahwa gadis ini adalah isterimu?” Hay Hay terbelalak.

Pria pendek itu mengangguk. “Dia isteriku, kami pengantin baru, belum ada sebulan kami menikah. Dia cantik manis sekali, bukan? Dia adalah kembangnya kampung kami.”

Hay Hay menutup mulutnya yang tadi ternganga, kemudian menelan ludah. “Isterimu...? Sungguh tak kusangka. Dia memang cantik jelita dan pantas sekali jika menjadi kembang kampung, dan engkau... hemm...” Hay Hay meraba dagunya tanpa bermaksud menghina, “terpaksa kukatakan bahwa engkau tidak terlalu tampan.”

Pria itu tidak marah, bahkan tertawa sehingga tampak giginya yang besar-besar dan tidak rapi. “Ha-ha-ha-ha, katakan saja aku buruk rupa, sobat! Memang aku jelek dan dia cantik. Isteriku merupakan kembang di kampung kami, yang paling cantik. Dan dia telah memilih diriku, memilih yang paling baik!”

“Ehh? Apakah engkau mau bilang bahwa engkau yang paling tampan di dusunmu?” Hay Hay bertanya, tidak percaya.

“Bukan paling tampan, tetapi paling baik! Aku pemuda yang paling kaya, paling terpelajar, paling pandai, paling kuat di dusun kami. Otakku paling terang. Dan isteriku ini gadis yang paling cantik pula di dusun. Keburukan rupaku tidak mengapa karena isteriku amat cantik, ada pun kebodohan isteriku juga tidak mengapa karena aku pandai. Nah, bukankah kami merupakan pasangan yang paling serasi? Kelak kami pasti akan mempunyai anak-anak yang paling hebat!”

“Hemmm, mengapa begitu?” Hay Hay bertanya, menahan perasaan geli hatinya. Agaknya orang ini memang pintar, walau pun terlalu menonjolkan bagian yang baik dari dirinya.

“Kenapa? Wah, engkau seperti isteriku, termasuk orang yang kurang cerdik sehingga tak mampu menangkap inti sari ucapanku tadi. Sobat, tentu saja anak-anak kami yang paling hebat karena mereka akan mewarisi keelokan wajah isteriku dan mewarisi kecerdasan otak dariku, ha-ha-ha-ha!” Dan dengan tangan kirinya si pendek itu menyambar keranjang cucian isterinya, tangan kanan menggandeng isterinya dan berkata, “Mari, isteriku yang tercinta, kita mencuci di tempat lain.”

“Marilah, suamiku tersayang!” kata sang isteri bersikap manja.

Mereka lalu pergi sambil bergandeng tangan mesra, diikuti pandang mata Hay Hay yang masih bengong. Setelah mereka lenyap pada sebuah tikungan, barulah Hay Hay tertawa bergelak, bahkan tertawa sampai mengeluarkan air mata dan memegangi perutnya.

“Aduh, Hay Hay, lihat betapa lucunya dunia ini! Dunia ini seperti panggung sandiwara dan manusia-manusia menjadi pelawaknya! Ha-ha-ha-ha-ha..., pergilah semua duka nestapa, pergilah semua kecewa dan penasaran! Hidup ini masih terlalu indah untuk disusahkan, ha-ha-ha!”

Dan membayangkan kembali suami isteri yang aneh tadi, Hay Hay terus tertawa. Apa lagi ketika dia membayangkan mereka dengan anak-anak mereka, tawanya makin terbahak.

“Ha-ha-ha-heh-heh... anak-anak mereka... ha-ha-ha-ha, aduh, anak-anak mereka ternyata mewarisi wajah ayahnya dan otak ibunya! Ho-ho-ha-ha-ha...!”

Hay Hay terpingkal-pingkal sampai tubuhnya terlipat dan dia memegangi perutnya. Tetapi wajah anak-anak yang mirip si pendek tadi dengan sinar mata kebodohan terus terbayang olehnya sehingga sukar baginya untuk menghentikan tawanya.

********************

Wajah tampan Sim Ki Liong nampak muram dan alisnya berkerut ketika Mayang berkeras minta disediakan dua buah kamar kepada pelayan rumah penginapan di kota Wang-sian di tepi sebelah utara Sungai Yang-ce.

Seperti yang sudah kita ketahui, dua orang muda ini meninggalkan pulau Teratai Merah. Sebelum mereka pergi ke tempat tinggal ibu dan guru Mayang di perbatasan Tibet, lebih dahulu mereka hendak pergi ke Cin-ling-san untuk mencari Cia Kui Hong di Cin-ling-pai. Cin-ling-pai masih cukup jauh di utara. Pegunungan itu terletak di tapal batas Propinsi Se-cuan dan Sen-si, ada pun kota Wang-sian terletak di bagian utara Propinsi Se-cuan.

Sudah berkali-kali Ki Liong merasa amat kecewa karena gadis yang menjadi kekasihnya itu selalu minta disediakan kamar terpisah ketika mereka bermalam di rumah penginapan. Sikap gadis ini mendatangkan dua pukulan baginya. Pertama, keinginannya untuk segera memiliki gadis itu menjadi tidak mungkin apabila dia selalu berpisah kamar. Dan ke dua, sikap gadis itu jelas merupakan bukti bahwa kekasihnya tidak percaya kepadanya!

Tentu saja Ki Liong tidak mau bercekcok dan berbantahan di hadapan pelayan. Sesudah mereka diantarkan dan mendapatkan dua buah kamar yang bersebelahan dan pelayan itu pergi, barulah Ki Liong menegur Mayang.

“Mayang, mengapa sampai sekarang engkau masih belum percaya juga kepadaku? Apa artinya dua kamar terpisah ini? Bukankah kita saling mencinta dan kita merupakan calon suami isteri?” tegurnya marah.

“Baru calon, Liong-ko. Ingat, kita belum menjadi suami isteri, bagaimana mungkin harus tinggal dalam satu kamar?”

“Akan tetapi, apa salahnya bila kita tidak melakukan pelanggaran?” Ki Liong membantah.

“Bukan hanya itu yang harus dijaga, Liong-ko, akan tetapi terutama sekali pandangan dan dugaan orang. Apa yang akan dikata orang kalau mereka tahu bahwa seorang pemuda dan seorang gadis yang bukan suami isteri menginap dalam satu kamar?”

“Peduli amat dengan pandangan dan kata orang, Mayang!”

“Mudah saja engkau berkata demikian karena engkau laki-laki, Liong-ko. Akan tetapi aku perempuan dan aku tidak ingin nama dan kehormatanku tercemar.”

Melihat gadis itu telah merah mukanya dan mulai marah, Ki Liong tersenyum dan menarik napas panjang. “Baiklah, Mayang, mungkin engkau yang benar. Aku pun tidak memiliki niat lain kecuali merasa bahwa lebih aman bagi kita kalau sekamar. Juga tidak bertemu semalam saja denganmu rasanya hati ini merasa kesepian dan rindu. Sudahlah, maafkan aku kalau aku bersalah.”

Melihat sikap Ki Liong yang mengaku salah dan minta maaf, luluh kekerasan hati Mayang dan dia pun tersenyum lalu memegang tangan kekasihnya.

“Kau tahu, Ling-ko. Penolakanku hanya untuk kebaikan kita berdua. Sabarlah, kalau kita telah menghadap ibu dan subo, kalau kita telah menikah, tentu setiap saat kita berkumpul dan takkan berpisah lagi.”

Sejenak Ki Liong menggenggam tangan kekasihnya, kemudian melepaskan dan mereka memasuki kamar masing-masing. Ketika itu ada sepasang mata jeli yang memandang ke arah Ki Liong.