Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SELAMA dua hari itu, Bi Hwa bersikap ramah dan biasa, sama sekali tidak memperlihatkan sikap lain. Hanya Gouw Kian Sun yang terlihat gelisah dan tidak menentu, ada pun wajah Ciok Gun tetap dingin dan acuh. Akan tetapi pada pagi hari itu Ciok Gun tidak nampak di antara para murid Cin-ling-pai.

Sesudah para tamu berkumpul di pekarangan, terdengar suara canang dipukul di sebelah dalam dan daun pintu yang tinggi, lebar dan tebal itu pun dibuka dari dalam. Semua tamu memandang ke arah pintu yang terbuka lebar itu dan dari dalam keluarlah Cia Kui Hong, didampingi oleh Gouw Kian Sun dan Su Bi Hwa.

Kui Hong nampak tenang saja, agung berwibawa. Gouw Kian Sun kelihatan pucat, muram dan gelisah, sedangkan isterinya yang melangkah di sisinya kelihatan tersenyum-senyum manis sekali, dengan sepasang mata yang lincah.

Sesudah tiba di luar Kui Hong memandang ke kanan kiri, ke arah anak buah Cin-ling-pai, lalu dia pun bertanya kepada mereka yang berdiri di beranda dan yang bersikap hormat kepadanya. “Di mana Suheng Ciok Gun? Kenapa aku tidak melihat dia di sini?”

Para anggota Cin-ling-pai saling pandang, namun tidak seorang pun yang tahu. Kui Hong mengerutkan alisnya dan dia pun menoleh kepada Gouw Kian Sun. “Susiok, kenapa aku tidak melihat Ciok-suheng? Di mana dia?”

Kian Sun melirik ke arah isterinya dan dia tampak bingung. Bi Hwa dengan cepat berkata, “Ahh, apa engkau lupa? Pangcu, tadi saya lihat Ciok Gun rebah saja di kamarnya karena dia merasa tidak sehat, sedang demam.”

Kui Hong mengangguk-angguk. “Ah, kiranya dia sakit.”

Dengan tenang dia lalu melangkah terus menuruni beranda dan berhenti di ujung tangga menghadapi para tamu. Dia mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat.

“Kiranya cu-wi locianpwe (para orang tua gagah sekalian) sudah berada di sini. Selamat datang dan selamat pagi kami ucapkan.”

“Pangcu, sudah terlampau lama kami menanti. Kami telah memenuhi permintaan Pangcu untuk menunggu lagi selama tiga hari. Nah, pagi ini kami datang menagih janji. Serahkan pembunuh puteriku itu kepada kami, maka kami tidak akan mengganggu Cin-ling-pai lebih lama lagi,” kata Poa Cin An.

“Kami juga minta diserahkannya pembunuh dari Gu Kay Ek, murid kami!” kata Tiong Gi Cin-jin tokoh Bu-tong-pai dengan suara galak.

“Serahkan para murid curang dari Cin-ling-pai kepada kami!” kata pula Yang Tek Tosu.

Hanya dua orang hwesio Siauw-lim-pai yang tidak mengeluarkan kata-kata, tetapi mereka juga memandang kepada Cia Kui Hong dengan sinar mata menuntut. Tuntutan mereka itu mendatangkan kegaduhan karena semua anggota rombongan mengeluarkan suara yang bernada penasaran.

Cia Kui Hong mengangkat tangan ke atas. “Harap cu-wi tenang dan dengarkan baik-baik keteranganku. Aku jamin bahwa mereka yang berdosa pasti akan kuserahkan kepada cu-wi!”

Mendengar ucapan ini tentu saja semua orang menjadi tertarik sehingga mereka segera diam, hanya memandang kepada gadis itu dengan sinar mata penuh harap.

“Cu-wi,” Kui Hong berkata dengan suara lantang sekali. “Tiga hari yang lalu ketika cu-wi menuntut, aku memang menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Akan tetapi selama tiga hari ini aku melakukan penyelidikan dan semuanya kini menjadi sudah menjadi terang. Para pembunuh itu sudah berada di antara kita!”

Gouw Kian Sun memandang kepada gadis itu dengan sinar mata kaget dan heran, Su Bi Hwa mengerutkan alisnya. Semua tokoh persilatan itu semakin tegang.

“Ketahuilah, cu-wi yang terhormat. Ternyata tidak ada seorang pun di antara murid Cin-ling-pai yang melakukan perbuatan jahat, memperkosa dan membunuh. Pihak Cin-ling-pai sudah kebobolan! Empat orang tokoh Pek-lian-kauw bersama dua puluh orang anak buah mereka sudah menyusup ke Cin-ling-pai kemudian menguasai pimpinan selagi aku pergi. Mereka menawan keluarga Cia, lantas mereka mengancam Gouw Susiok, juga membuat suheng Ciok Gun menjadi boneka hidup dengan bius dan sihir!”

Tentu saja ucapan ini membuat semua orang menjadi terkejut bukan main. Wajah Su Bi Hwa berubah pucat, lalu kemerahan. Kian Sun sendiri terbelalak memandang ketuanya. Wajahnya pucat sekali dan sinar matanya penuh kegelisahan karena dia khawatir bahwa pembongkaran rahasia itu akan membahayakan keselamatan nyawa keluarga Cia.

Semua tamu terbelalak dan memandang tidak percaya, bahkan ada yang mengira bahwa gadis ketua Cin-ling-pai itu hanya mencari alasan kosong untuk menghindarkan Cin-ling-pai dari tuduhan. Para murid Cin-ling-pai juga amat terkejut sehingga saling pandang. Ada pun dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw meraba gagang senjata mereka. Suasana benar-benar tegang dan menggelisahkan sekali.

“Sudah kujanjikan akan menyerahkan mereka yang berdosa. Bukan hanya satu atau dua orang saja, melainkan dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw bersama empat orang pimpinan mereka!”

“Omitohud...! Keterangan Cin-ling Pangcu terlalu aneh untuk dapat diterima begitu saja. Pangcu, tunjukkan mana orang-orang Pek-lian-kauw yang mengacau itu!” kata Thian Hok Hwesio dari Siauw-lim-pai.

“Tiga orang tosu Pek-lian-kauw yang terkenal dengan sebutan Pek-lian Sam-kwi sampai kini masih bersembunyi, akan tetapi Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa telah berada di sini! Dia memaksa susiok Gouw Kian Sun menjadi suaminya supaya dia bisa mengendalikan Cin-ling-pai dari dalam! Inilah dia iblis betina itu!”

Melihat kenyataan betapa ketuanya telah mengetahui segalanya, timbul berbagai macam perasaan di dalam dada Gouw Kian Sun. Dia merasa lega karena ketuanya sudah tahu, akan tetapi berbareng gelisah karena keselamatan keluarga Cia terancam. Di samping itu dia pun merasa malu bahwa dia telah dijadikan alat dan terpaksa membantu iblis-iblis itu, dan merasa menyesal sekali kenapa dia tidak bisa menghindarkan diri dari tekanan yang membuat dia berkhianat terhadap Cin-ling-pai. Saking marahnya, mendadak dia berteriak marah kemudian menyerang ‘isterinya’ yang berdiri di sebelahnya.

“Tok-ciang Bi Moli, aku bersumpah untuk mengadu nyawa denganmu!”

Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa sudah waspada. Semenjak tadi pun dia sudah tahu bahwa permainannya telah diketahui orang. Akan tetapi dia masih tenang-tenang saja karena dia yakin bahwa selama keluarga Cia masih berada di dalam kekuasaannya, maka ketua Cin-ling-pai dan semua anggotanya tidak akan berani melawannya.

Karena sebelumnya dia telah siap siaga, begitu melihat Kian Sun menyerangnya, dengan mudah dia mengelak ke samping dan begitu kakinya menendang, dada Kian Sun tercium ujung sepatunya sehingga tokoh Cin-ling-pai ini hampir terjengkang! Sebenarnya dalam hal ilmu silat tingkat Kian Sun seimbang dibandingkan iblis betiina itu dan dia tidak akan mudah dikalahkan. Akan tetapi selama ini Kian Sun menderita tekanan batin yang sangat hebat dan membuat dia lemah lahir batin sehingga gerakannya lambat dan kepekaannya berkurang.

Ketika dia dapat menguasai keseimbangannya dan hendak menyerang lagi, Tok-ciang Bi Moli sudah turun dari atas beranda itu, ke sebelah kiri dan ternyata dia telah berada dekat tiga orang tosu yang muncul dengan tiba-tiba. Melihat tiga orang gurunya sudah berada di situ, muncul dari tempat persembunyian mereka, Su Bi Hwa lalu tertawa bergelak karena hatinya menjadi besar. Suara tawanya membuat semua orang memandang ngeri karena tawa itu mengandung kekejaman yang luar biasa.

“Ha-ha-ha-ha, kiranya Cin-ling-pai masih ada orang yang cerdik. Engkau memang cerdik sekali, Cia Kui Hong. Akan tetapi kecerdikanmu tidak ada gunanya!”

Kui Hong memang sengaja belum mau turun tangan dan membiarkan saja wanita iblis itu bergabung dengan tiga orang tosu yang sekarang baru dilihatnya. Juga ia melihat betapa dua puluh orang anggota baru Cin-ling-pai yang sesungguhnya adalah orang-orang Pek-lian-kauw kini sudah memisahkan diri dan bergabung pula dengan empat orang pemimpin mereka. Kui Hong tersenyum mengejek.

“Pek-lian Sam-kwi dan Tok-ciang Bi Moli! Kedok kalian telah terbuka dan sekarang semua locianpwe yang berada di sini telah mengetahui siapakah yang sesungguhnya melakukan semua kejahatan itu dan berusaha merusak nama baik Cin-ling-pai. Akan tetapi, kenapa kalian melakukan ini? Kenapa kalian berusaha menghancurkan Cin-ling-pai?”

Kembali Su Bi Hwa tertawa, “Ha-ha-hi-hi-hik, ternyata kecerdikanmu masih picik, Pangcu! Sejak dahulu semua pimpinan Cin-ling-pai selalu memusuhi Pek-lian-kauw. Entah berapa banyak anggota kami yang tewas di tangan orang-orang Cin-ling-pai. Nenek moyangmu adalah musuh-musuh besar kami. Dan sekarang engkau masih bertanya mengapa kami memusuhi Cin-ling-pai?”

“Iblis betina busuk!” Gouw Kian Sun kini membentak lagi. “Engkau dan Pek-lian Sam-kwi harus kubasmi dari permukaan bumi ini!” Dia pun sudah mencabut pedangnya.

“Jangan bergerak!” teriak wanita cantik itu. “Ingat, kalau ada yang berani menyerang kami maka semua keluarga Cia akan mampus! Mereka masih berada di tangan kami, karena itu setiap saat kami dapat memerintahkan Ciok Gun untuk membunuh mereka! Ha-ha-ha, Pangcu. Kunci kemenangan terakhir masih berada di dalam tanganku!”

Kini bukan hanya Su Bi Hwa saja yang tertawa, namun tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu juga turut tertawa karena mereka merasa yakin akan kemenangan mereka. Mereka yakin sekali, dengan adanya kenyataan bahwa keluarga Cia masih mereka tawan maka orang-orang Cin-ling-pai ini tidak akan berani menggunakan kekerasan terhadap mereka.

Mendengar kata-kata ini Kian Sun langsung menahan gerakannya dan wajahnya kembali menjadi pucat. Apakah mereka masih tetap tidak berdaya menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw itu?

Akan tetapi Kui Hong tersenyum lebar. “Iblis-iblis busuk dari Pek-lian-kauw. Hari kematian kalian sudah tiba tetapi kalian masih berani bicara besar?” Kui Hong menoleh ke kiri dan semua menengok, juga empat orang tokoh Pek-lian-kauw dan dua puluh orang anak buah mereka itu. Lantas muncullah Ciok Gun dengan pedang di tangan, bersama empat orang yang bukan lain adalah Cia Kong Liang, Cia Hui Song, Ceng Sui Cin, dan Cia Kui Bu!

Tentu saja semua tamu menjadi terheran-heran dan suasana menjadi berisik. Hanya Kui Hong seorang yang tersenyum-senyum sebab tentu saja dia telah mengetahui segalanya. Dia bersama Hay Hay telah menjalankan siasat dengan tepat, dan dibantu oleh Ciok Gun dengan baik sekali.

Seperti yang sudah direncanakan, Ciok Gun berhasil membujuk empat orang tokoh Pek-lian-kauw untuk menjaga para tawanan dan kalau perlu membunuh mereka! Oleh karena itu, ketika semua orang Pek-lian-kauw hadir dalam pertemuan antara pimpinan Cin-ling-pai dan para wakil perkumpulan besar yang mendendam, hanya Ciok Gun seorang yang tidak hadir karena dia bertugas menjaga para tawanan!

Setelah semua orang Pek-lian-kauw pada pagi hari itu pergi meninggalkan sarang rahasia mereka, meninggalkan Ciok Gun seorang diri saja di ruangan tahanan bawah tanah, Ciok Gun segera membuka pintu tahanan dengan kunci yang dipegangnya. Melihat masuknya Ciok Gun, kakek Cia Kong Liang yang tadinya sedang duduk bersila dalam semedhi lalu membuka matanya dan memandang kepada cucu murid itu dengan marah.

“Ciok Gun, murid murtad! Dosamu bertumpuk-tumpuk, tidak takutkah engkau menghadapi hukumanmu di neraka kelak?”

Kui Bu juga berdiri di depan Ciok Gun dengan kedua tangan terkepal dan mata mendelik. “Ciok Gun, aku tidak mengakuimu sebagai suheng-ku lagi! Engkau adalah musuh besar kami. Kelak kalau sudah besar aku sendiri yang akan membunuhmu untuk membalaskan dendam ini!”

Ciok Gun memandang pada anak itu dengan muka sedih, akan tetapi dia tidak menjawab ucapan mereka, melainkan diam saja dan dengan kuncinya dia membuka tempat tahanan Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin. Tentu saja semua orang itu merasa terkejut dan heran sekali, akan tetapi sebelum mereka sempat berbuat atau berkata sesuatu, Ciok Gun telah menjatuhkan diri dan membentur-benturkan dahinya di lantai.

“Teecu Ciok Gun sudah melakukan dosa besar tanpa teecu sadari, akan tetapi sekarang teecu sudah kembali sadar. Kini teecu membantu sumoi Cia Kui Hong untuk membasmi orang-orang Pek-lian-kauw yang membuat semua kekacauan ini. Harap Sukong, Supek, Supek-bo serta Adik Kui Bu mengikuti saya dan bersikap sebagai tawanan saya, sesuai dengan rencana yang telah diatur oleh sumoi Cia Kui Hong.” Kemudian dia bangkit berdiri dan empat orang itu diam-diam girang bukan main. Kiranya Kui Hong sudah pulang dan menyelamatkan mereka dengan menyadarkan Ciok Gun.

Demikianlah, mereka yang ‘digiring’ oleh Ciok Gun yang memegang pedang sudah tiba di pekarangan markas Cin-ling-pai. Begitu melihat kemunculan Ciok Gun yang menggiring empat orang tawanan itu, Su Bi Hwa dan tiga orang gurunya menjadi terkejut serta heran bukan main. Juga mereka melihat bahaya besar karena kini para tokoh Cin-ling-pai sudah keluar dari tahanan!

“Ciok Gun, kuperintahkan kau! Cepat bunuh empat orang tawanan itu dengan pedangmu!” teriak Su Bi Hwa dan tiga orang gurunya juga mengerahkan kekuatan sihir mereka untuk menguasai Ciok Gun.

Mendengar perintah Su Bi Hwa itu, Ciok Gun tidak memperlihatkan reaksi apa pun, akan tetapi dia justru melangkah menghampiri Su Bi Hwa dengan kepala tetap ditundukkan. Su Bi Hwa menyangka bahwa Ciok Gun kurang dapat menangkap perintahnya, maka setelah Ciok Gun berada di depannya, dia berteriak lagi dengan suara melengking,

“Ciok Gun, pergunakan pedangmu...!”

“Baik, kupergunakan pedangku!” mendadak Ciok Gun menjawab dan memotong perintah itu. Pedangnya digunakan menusuk ke arah dada Su Bi Hwa!

Wanita ini terkejut bukan main! Akan tetapi dia memang lihai sehingga biar pun serangan itu datangnya sangat tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka, dia masih dapat melemparkan tubuh ke belakang, lalu berjungkir balik dan terhindar dari tusukan pedang.

“Jahanam busuk kalian! Mampuslah!” Ciok Gun membentak dan kini menyerang ke arah tiga orang tosu Pek-lian-lauw.

“Suheng, jangan...!” Kui Hong cepat berseru karena dia tahu betapa lihainya orang-orang Pek-lian-kauw itu.

Namun Ciok Gun yang merasa menyesal, sedih dan sakit hati sekali kepada orang-orang Pek-lian-kauw, tidak lagi mempedulikan teriakan itu dan dia menyerang mati-matian. Tiga orang tosu itu pun terkejut melihat kenyataan bahwa murid Cin-ling-pai yang tadinya telah menjadi robot bagi mereka, kini tidak mau mentaati perintah, bahkan menyerang mereka dengan dahsyat!

Tiga orang Pek-lian-kauw itu sekarang mengerti bahwa entah bagaimana pengaruh sihir mereka terhadap Ciok Gun telah lenyap sehingga mereka tidak perlu lagi mencoba untuk menguasainya. Maka, melihat Ciok Gun menyerang dengan pedang, mereka bertiga lalu menggerakkan tangan untuk menyambut. Ada yang menangkis pedang dengan kebutan dan ada pula yang menyerang.

“Tranggg…! Dukkk...!”

Pedang di tangan Ciok Gun terlempar dan tubuh murid Cing-ling-pai itu pun terjengkang. Darah muncrat dari mulutnya, dan dengan sepasang mata mendelik memandang ke arah empat orang Pek-lian-kauw itu, Ciok Gun roboh lantas tewas seketika. Dua pukulan yang diterimanya dari Lan Hwa Cu dan Siok Hwa Cu saat Kim Hwa Cu menangkis pedangnya, terlampau hebat bagi murid Cin-ling-pai itu sehingga nyawanya terenggut seketika.

Melihat ini, marahlah Kui Hong. Dia sendiri tak mengira bahwa Ciok Gun akan senekat itu. Padahal menurut siasat yang telah direncanakannya bersama Hay Hay, Ciok Gun hanya bertugas pura-pura dalam keadaan masih terpengaruh sihir agar dia ditugaskan menjaga tawanan, lalu pada pagi hari itu membawa para tawanan ke Cin-ling-pai untuk membuka kedok orang-orang Pek-lian-kauw. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Ciok Gun yang merasa berdosa dan menyesal, telah mengadu nyawa hingga tewas di tangan tiga orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai itu.

Sebelum dia melakukan sesuatu, tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu telah mengangkat dua tangan ke atas dan Siok Hwa Cu memimpin dua orang saudaranya mengeluarkan suara memerintah yang mengandung getaran kuat sekali.

“Haiii, orang-orang Cin-ling-pai. Di sebelahmu terdapat musuh! Seranglah musuh terdekat sebelum kalian diserang!”

Terjadilah keanehan. Para anggota Cin-ling-pai tiba-tiba bergerak dan saling pukul! Maka terjadilah kekacauan, dan pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara orang yang tertawa bergelombang disusul suara yang nyaring melengking.

“Saudara-saudara Cin-ling-pai, jangan menyerang saudara sendiri!”

Para murid Cin-ling-pai kini terbelalak melihat bahwa mereka sedang berkelahi melawan saudara seperguruan sendiri. Tentu saja mereka semua cepat menghentikan gerakan dan memandang bingung.

Yang tertawa dan berteriak itu adalah Hay Hay. Kini dia menghampiri tiga orang tosu dan Su Bi Hwa sambil tersenyum-senyum. Pek-lian Sam-kwi terkejut sekali ketika mendengar suara tawa itu dan melihat betapa pengaruh sihir mereka membuyar begitu pemuda yang mengenakan pakaian biru dan sebuah caping petani lebar itu muncul. Melihat pemuda itu menghampiri mereka sambil tersenyum-senyum, Siok Hwa Cu yang berperut gendut lalu menyambut dengan bentakan.

“Anjing dari mana yang berani datang menentang kami?” Dia memberi isyarat kepada dua orang saudaranya dan tiga orang Pek-lian-kauw itu mengerahkan kekuatan sihir mereka, memandang wajah Hay Hay dan Siok Hwa Cu menunjuk ke arah muka pemuda itu sambil berseru nyaring. “Engkau anjing yang baik, hayo merangkak dan menggonggong!” Dalam suara ini terkandung getaran yang sangat kuat karena bukan hanya tenaga Siok Hwa Cu seorang yang mendukung suara itu, melainkan tenaga sihir mereka bertiga dipersatukan.

Hay Hay merasa betapa ada kekuatan dahsyat yang memaksanya sehingga dia tak dapat bertahan lagi. Dia pun jatuh berlutut lalu berdiri dengan kaki dan tangannya seperti seekor anjing!

Melihat ini, Ceng Sui Cin marah bukan kepalang. Tahulah pendekar wanita yang galak ini bahwa tiga orang Pek-lian-kauw mempergunakan sihir. Akan tetapi selagi dengan marah dia hendak maju ke depan untuk menyerang, lengannya segera disentuh Kui Hong yang sudah berdiri di dekatnya.

“Ibu, biarkan saja. Hay-koko akan sanggup melayani sihir mereka.”

Ceng Sui Cin dan suaminya, Cia Hui Song, menatap puteri mereka dengan heran. Puteri mereka menyebut Hay-koko dengan suara yang demikian mesra. Dan mereka pun ingin sekali melihat bagaimana pemuda bercaping lebar itu akan mampu menghadapi kekuatan sihir tiga orang Pek-lian-kauw! Padahal kini pemuda itu telah merangkak seperti anjing.

Tang Hay atau biasanya disebut Hay Hay bukanlah pemuda biasa. Bukan saja dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi, akan tetapi juga dia pernah menjadi murid Pek Mau San-jin dan digembleng dengan ilmu sihir yang kuat sekali. Biar pun demikian, andai kata kemudian dia tidak bertemu Song Lojin yang membuat semua ilmunya, baik silat mau pun sihir menjadi semakin matang, kiranya akan sulit baginya untuk dapat melawan kekuatan sihir gabungan dari Pek-lian Sam-kwi.

Dan kini, ketika merasa betapa dia hampir lumpuh dan sudah jatuh berlutut, bahkan ada dorongan kuat agar dia menggonggong seperti anjing, dia pun teringat dengan pelajaran yang diterimanya dari Song Lojin dalam keadaan seperti itu. Dia meraba dan menekan bagian tengah dahinya sambil memusatkan kekuatan batinnya, dan seketika dia pun pulih dan dapat mengatasi pengaruh yang menekannya. Dalam keadaan masih merangkak dia pun tertawa bergelak! Suara ketawanya menggetarkan jantung semua orang.

“Ha-ha-ha-ha! Kalian ini Pek-lian Sam-kwi dan juga Tok-ciang Bi Moli empat orang Pek-lian-kauw mengajak aku bermain menjadi anjing? Ha-ha-ha-ha, memang kalian berempat bersemangat anjing! Marilah kita bermain-main! Kalau aku mengonggong, kalian mulailah saling berlomba memperebutkan anjing betina itu dan saling serang. Hayo, mulailah!”

Semua orang melihat betapa dalam keadaan masih berdiri dengan kaki tangan, Hay Hay kini mulai mengeluarkan suara seperti seekor anjing menggonggong. Suaranya keras dan memang mirip anjing menggonggong!

“Hung-hung-haunggg... huk-huk-hunggg...!”

Semua orang langsung terbelalak. Mereka melihat betapa Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa dan tiga orang Pek-lian Sam-kwi itu tiba-tiba saja berlutut lalu merangkak-rangkak seperti juga yang dilakukan Hay Hay! Kemudian terjadilah hal yang aneh sekali. Tiga orang tosu itu merangkak dan berloncatan hendak menerkam Su Bi Hwa yang menyalak-nyalak dan menyingkir, dan tiga orang tosu itu sekarang saling serang seperti tiga ekor anjing jantan memperebutkan anjing betina!

Dan Hay Hay terus menggonggong. Makin keras gonggongannya, makin hebat pula tiga orang tosu itu saling serang, saling gigit hingga pakaian mereka koyak-koyak! Ada pun Su Bi Hwa merangkak-rangkak sambil menyalak-nyalak! Sungguh merupakan pemandangan luar biasa sekali. Jika ada tosu yang terkena gigitan lawan, dia pun menguik-nguik seperti anjing tulen yang kesakitan! Bila tadi semua orang menonton dengan heran, kini mereka mulai tertawa dan terpingkal-pingkal melihat peristiwa aneh yang lucu itu.

Sesudah merasa cukup mempermainkan empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu, Hay Hay lalu meloncat berdiri dan dia pun tertawa. Begitu dia menghentikan suara menggonggong seperi anjing, otomatis empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu pun menghentikan gerakan mereka.

Su Bi Hwa meloncat berdiri dengan muka pucat memandang ke arah Hay Hay. Tiga orang tosu itu pun berloncatan berdiri. Muka mereka merah sekali dan mereka berusaha untuk membereskan pakaian mereka yang koyak-koyak. Ketiganya saling pandang, kemudian menghadapi Hay Hay dengan marah bukan main. Mereka maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang mempunyai kekuatan sihir yang sangat hebat sehingga mereka bertiga pun tidak mampu melawannya dan dibuat malu di depan banyak orang!

Tanpa banyak cakap lagi, Kim Hwa Cu yang bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning itu telah mencabut senjatanya, yaitu sepasang pedang. Gerakannya diikuti oleh Siok Hwa Cu si perut gendut bertubuh pendek bermuka hitam itu yang mencabut sepasang golok besar. Lan Hwa Cu, orang pertama dari Pek-lian Sam-kwi juga cepat-cepat mengeluarkan senjatanya, yaitu sabuk dan ujungnya dipasangi bola dan bintang baja.

Sementara itu Tok-ciang Bi Moli pun maklum bahwa keadaan pihaknya terancam bahaya. Tidak ada lagi sandera, tidak ada lagi kekuatan sihir yang dapat di andalkan. Sekarang merekalah yang terjepit dan terancam, dan satu-satunya jalan hanyalah membela diri dan mencoba untuk lolos dari tempat itu! Maka dia pun segera mencabut pedangnya, lantas meloncat ke depan Kui Hong sambil membentak nyaring.

“Cia Kui Hong, bagaimana pun juga masih belum terlambat bagiku untuk membunuhmu sebagai ketua Cin-ling-pai!” sambil berkata demikian pedangnya sudah meluncur ke arah dada ketua Cin-ling-pai itu. Kui Hong memang sudah siap siaga, maka sejak tadi dia pun sudah mencabut sepasang pedangnya.

“Tranggg...!” nampak bunga api berpijar dan Su Bi Hwa merasa betapa lengan tangannya bergetar hebat.

“Hemm, iblis betina. Engkaulah yang akan kukirim ke neraka, tempat yang sangat cocok dan tepat untukmu!” kata Kui Hong, lantas dia pun melanjutkan dengan teriakan perintah kepada anak buahnya. “Para murid Cin-ling-pai, cepat basmi gerombolan Pek-lian-kauw yang menyusup menjadi anggota Cin-ling-pai!”

Para murid Cin-ling-pai yang jumlahnya lima puluh orang lebih itu segera berteriak-teriak dan mereka menyerbu dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya mereka kira sebagai anggota-anggota baru pilihan ketua dan isteri ketua! Terjadilah pertempuran yang seru karena orang-orang Pek-lian-kauw yang menjadi anak buah Pek-lian Sam-kwi itu juga merupakan orang-orang yang lihai, dan mereka merasa sudah tersudut sehingga mereka melawan mati-matian.

Ada pun Pek-lian Sam-kwi sendiri segera maju mengepung Hay Hay yang sangat mereka benci karena mereka tadi dipermainkan dengan sihir menjadi tiga ekor anjing yang saling terkam. Akan tetapi tiba-tiba tampak dua bayangan berkelebat dan Cia Hui Song bersama isterinya Ceng Sui Cin, sudah berada di dekat Hay Hay dan masing-masing menyambut seorang lawan. Cia Hui Song menghadapi Lan Hwa Cu, dan Ceng Sui Cin menghadapi Kim Hwa Cu. Suami isteri pendekar ini tidak mempergunakan senjata, akan tetapi mereka sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang memegang senjata. Sementara itu Hay Hay sendiri sudah menyambut serangan Siok Hwa Cu si pendek gendut bermuka hitam.

Melihat betapa ternyata Cin-ling-pai sama sekali tak bersalah dan yang melakukan semua pembunuhan, perkosaan serta semua perbuatan jahat adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang telah menyusup ke dalam Cin-ling-pai, tentu saja para tokoh partai persilatan besar menjadi marah sekali. Maka, begitu melihat para murid Cin-ling-pai menyerbu dua puluh orang gerombolan Pek-lian-kauw, tanpa diminta lagi para tokoh itu segera mengamuk dan membantu orang-orang Cin-ling-pai, menyerang anggota Pek-lian-kauw yang tentu saja menjadi semakin terdesak.

Tok-ciang Bi Moli menjadi gentar. Baru sekarang dia bertemu tanding yang benar-benar membuat dia kewalahan. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis muda yang menjadi lawannya itu memang lihai bukan main dan patut menjadi ketua Cin-ling-pai. Ternyata Cia Kui Hong memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampaui paman gurunya, yaitu Gouw Kian Sun.

Su Bi Hwa sudah melakukan perlawanan secara mati-matian, bahkan dia perkuat dengan kepandaian sihirnya, tetapi semua itu percuma saja. Tidak ada serangannya yang mampu menembus benteng sinar hitam sepasang pedang di tangan ketua Cin-ling-pai itu. Bahkan semakin lama dia semakin terdesak.

Tadinya Su Bi Hwa mengharapkan bantuan dari tiga orang gurunya. Akan tetapi ketika dia dapat melirik ke arah mereka, dia pun mendapat kenyataan yang amat mengejutkan dan mencemaskan. Tiga orang gurunya itu, jagoan-jagoan Pek-lian-kauw tingkat dua, ternyata juga dalam keadaan terdesak seperti keadaannya sendiri. Tidak mungkin mengharapkan bantuan mereka.

Su Bi Hwa adalah seorang gadis yang cerdik bukan main. Dengan sekilas pandang saja dia sudah dapat mengetahui keadaan dan cepat dia sudah dapat mencari jalan keluar.

Kini Su Bi Hwa hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi dirinya, terus main mundur atas desakan Kui Hong yang mengambil keputusan untuk membunuh wanita iblis yang amat berbahaya itu. Ketika Kui Hong mendesak dengan babatan pedang kiri ke arah kaki disusul tusukan pedang kanan ke arah dada, Su Bi Hwa menghindar dengan sebuah loncatan ke atas lalu ke belakang. Akan tetapi kakinya terpeleset sehingga dia pun jatuh terpelanting. Dia bergulingan dan tangan kirinya bergerak. Jarum-jarum beracun meluncur ke arah Kui Hong.

cerita silat online karya kho ping hoo

Ketua Cin-ling-pai ini memutar pedang dan semua jarum itu runtuh. Dia mengira bahwa iblis betina itu sudah tersudut dan dia hendak mendesak terus. Tiba-tiba Kui Hong terkejut karena tahu-tahu Su Bi Hwa telah meloncat ke dekat Kui Bu dan anak itu telah ditangkap dan dipanggulnya dengan tangan kiri! Kiranya iblis betina itu tadi sengaja mundur-mundur mendekati anak itu.

Ayah dan ibu anak itu sedang bertanding melawan dua orang di antara Pek-lian Sam-kwi, dan kakek Cia Kong Liang juga sedang membantu para murid Cin-ling-pai mendesak dan menyerbu orang-orang Pek-lian-kauw. Dalam keributan itu tidak ada orang yang menjaga Cia Kui Bu karena semua orang mengira anak itu dalam keadaan aman. Bukankah pihak musuh terdesak dan hanya tinggal menanti saat terbasmi saja?

“Kalau kau kejar maka anak ini akan kubunuh!” kata Su Bi Hwa sambil meloncat hendak melarikan diri.

Kui Hong tertegun! Dalam keadaan terancam semacam itu, dia tahu bahwa iblis betina itu bukan hanya menggertak kosong. Tentu Kui Bu benar-benar akan dibunuhnya kalau ada yang berani menghalangi larinya.

Baru saja Su Bi Hwa yang memondong tubuh Kui Bu lari sejauh kurang lebih lima puluh meter, tiba-tiba dari balik semak belukar melompat sesosok bayangan yang menubruknya lalu dengan nekat bayangan itu merangkul pinggangnya hingga terseret sampai beberapa meter.

“Lepaskan, keparat!” Su Bi Hwa berseru.

Akan tetapi bayangan yang bukan lain adalah Gouw Kian Sun itu telah menangkap kedua lengannya lantas menarik sekuat tenaga! Karena tarikan ini, maka pondongan Su Bi Hwa terhadap Kui Bu terlepas. Anak itu lalu terjatuh dan anak yang sudah tahu akan bahaya itu telah menggelundung lalu meloncat dan lari.

Dengan kemarahan meluap Bi Hwa dapat melepaskan lengan kanannya, kemudian sekali pedangnya berkelebat, tubuh Kian Sun langsung terkulai bermandikan darah. Sebelum Bi Hwa sempat mengejar Kui Bu, Kui Hong sudah datang menyambar tubuh adiknya itu dan melindunginya. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan Su Bi Hwa untuk melarikan diri.

Kui Hong hendak mengejar, tapi melihat keadaan Kian Sun, dia berhenti dan memeriksa. Akan tetapi dia tahu bahwa Gouw Kian Sun tidak dapat diselamatkan lagi.

“Gouw Susiok...,” katanya sedih.

“Pangcu… aku... aku sudah berdosa... aku girang dapat menyelamatkan adikmu Kui Bu... maafkan aku… lebih baik aku mati…,” katanya dengan sukar lalu lehernya terkulai. Gouw Kian Sun tewas.

Kui Hong merasa kasihan sekali. Paman gurunya ini tak bersalah. Bila Kian Sun terpaksa menuruti semua kehendak orang-orang Pek-lian-kauw, hal ini dilakukannya hanya karena ingin menyelamatkan keluarga Cia yang sudah disandera. Dan memang sebaiknya kalau susiok-nya tewas. Itu merupakan jalan keluar terbaik.

Ia bisa membayangkan betapa kalau terus hidup susiok-nya justru akan selalu menderita batin hebat sekali. Bagaimana pun alasannya, tetap saja di mata orang luar dia dianggap pengkhianat dan pengecut. Bahkan dia telah melangsungkan pernikahannya dengan Tok-ciang Bi Moli dan mengundang semua tokoh kang-ouw menjadi saksi! Tentulah namanya akan tercemar. Dia akan selalu ternoda aib yang memalukan.

Pertempuran itu berlangsung tak terlampau lama. Pek-lian Sam-kwi yang bertemu dengan lawan yang amat tangguh, seorang demi seorang semakin terdesak hebat. Dari dua puluh anggota Pek-lian-kauw, tak seorang pun yang mampu lolos! Semua tewas di tangan para anggota Cin-ling-pai yang dibantu oleh para tokoh perkumpulan besar.

Kim Hwa Cu yang ditandingi Ceng Sui Cin sudah menderita luka-luka oleh tangan lawan. Walau pun tidak memegang senjata, puteri Pendekar Sadis itu selalu menekan lawannya. Karena ia menguasai Bu-eng Hui-teng, yaitu ilmu ginkang yang membuat tubuhnya ringan dan selincah burung walet, maka sepasang pedang Kim Hwa Cu tak bisa berbuat banyak. Tubuh nyonya yang perkasa itu bagaikan bayangan saja, selalu luput disambar pedang.

Sebaliknya, karena cepatnya gerakan wanita itu, telah beberapa kali Kim Hwa Cu terkena tamparan yang sangat kuat sehingga beberapa kali dia terpelanting. Dia sudah mencoba mempergunakan kekuatan sihirnya, tapi selalu gagal karena setiap kali dia menggunakan sihirnya, pemuda bercaping itu segera membuyarkannya dengan teriakan atau tawanya. Bahkan beberapa kali dia menyerang lawan dengan paku beracun, namun ini pun sia-sia karena Ceng Sui Cin selalu dapat mengelak.

Pedang di tangan kiri Kim Hwa Cu sudah terlepas dan terlempar. Karena maklum bahwa dia tidak akan dapat meloloskan diri, Kim Hwa Cu melawan dengan nekat, menggunakan pedang kanannya.

Tosu Pek-lian-kauw yang tinggi kurus ini memang lihai. Selain pandai memainkan pedang pasangan, dia pun memiliki sinkang yang bisa membuat lengannya mulur panjang. Ini pun masih dibantu lagi dengan senjata rahasianya, yaitu paku beracun yang berbahaya, juga ilmu sihirnya yang pada saat itu sama sekali tidak dapat dia pergunakan karena dia kalah pengaruh oleh Hay Hay.

Mukanya yang kekuningan itu kini menjadi semakin kuning pucat karena bagaimana pun juga dia mulai merasa gentar, takut akan ancaman bahaya maut di tangan nyonya yang cantik dan lihai itu. Tadi dengan menggunakan sepasang pedang saja dia terdesak, apa lagi sekarang pedangnya tinggal sebatang. Dia terdesak terus dan main mundur.

Ada pun Lan Hwa Cu, tosu tertua dari Pek-lian sam-kwi yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa akan tetapi yang gerak-gerik serta suaranya seperti wanita itu, juga repot sekali ketika bertanding melawan Cia Hui Song. Dia sudah menggunakan senjatanya yang amat berbahaya, yaitu sehelai sabuk sutera yang ujungnya dipasangi bola baja dan bintang baja. Sabuknya menjadi bayangan bergulung-gulung dan dua ujungnya itu menjadi bola-bola dan bintang-bintang yang banyak, dan terdengar suara bersuitan ketika senjata itu menyambar-nyambar.

Namun lawannya adalah seorang pendekar yang mempunyai ilmu kepandaian yang telah matang. Cia Hui Song bukan hanya murid pewaris ilmu-ilmu yang ampuh dari Cin-ling-pai, akan tetapi juga semua ilmunya telah disempurnakan dan dimatangkan oleh gemblengan mendiang Siang-kiam Lo-jin, salah seorang di antara Delapan Dewa yang menjadi datuk di dunia persilatan puluhan tahun yang lalu.

Hui Song memiliki ginkang yang hebat sehingga tubuhnya bagaikan bayangan saja ketika dihujani serangan. Semua serangan lawan dibuat luput, namun Hui Song maklum bahwa lawannya juga lihai dan senjata lawan itu berbahaya kalau hanya dilawan dengan tangan kosong.

Maka, ketika pada suatu saat bola dan bintang baja di kedua ujung sabuk itu menyambar dari kanan kiri, dia melompat dengan lemparan tubuh ke belakang, ber-poksai (bersalto) hingga lima kali ke belakang dan ketika turun kembali ke atas tanah dia telah menyambar sebatang senjata toya yang berada di atas tanah. Ada banyak senjata berserakan di atas tanah, yaitu senjata-senjata dari mereka yang telah roboh dan tewas atau terluka berat.

Dengan toya di tangan dia menyambut datangnya lawan yang telah mengejar dan kembali menyerang. Begitu dia menggerakkan toya melawan, Lan Hwa Cu menjadi terkejut. Toya itu tidak takut terhadap sabuknya. Bahkan ketika dengan sengaja dia melilitkan sabuknya pada toya lawan, toya yang terlilit itu terus saja meluncur ke depan dan menotok ke arah dadanya! Maka terpaksa dia melepaskan lilitan sabuknya dan meloncat ke belakang.

Namun kini Lan Hwa Cu terus terdesak oleh gerakan toya yang seolah-olah telah berubah menjadi seekor naga sakti itu. Dia terdesak hebat, dan tidak lama kemudian punggungnya kena dihantam toya sehingga dia jatuh bergulingan sambil menjerit seperti wanita. Akan tetapi dia dapat meloncat bangun lantas kembali menyerang mati-matian karena tubuhnya memang kebal.

Tosu Pek-lian-kauw yang melawan Hay Hay adalah Siok Hwa Cu. Tosu bertubuh gendut pendek bermuka hitam ini memang merupakan tosu yang paling lihai di antara Pek-lian Sam-kwi. Biar pun tubuhnya gendut pendek seperti bola, namun dia dapat bergerak cepat dan selain pandai memainkan golok besar, dia juga memiliki sinkang yang amat dahsyat.

Kalau dia telah berjongkok dan mengeluarkan sinkang-nya, tosu ini tiada ubahnya seperti seekor katak buduk yang besar, dan begitu perutnya mengeluarkan bunyi berkokok maka sambaran tangannya mengandung kekuatan yang kuat dan beracun! Selain ini, dia pun sangat kejam. Senjata rahasianya adalah golok-golok kecil yang dinamakan huito (pisau terbang).

Bahkan rambutnya juga merupakan senjata yang istimewa. Rambut yang telah bercampur uban itu, yang biasanya digelung ke atas, dapat dia gunakan sebagai senjata pecut yang berbahaya bagi lawan. Dan seperti dua orang saudaranya, dia pun seorang ahli sihir.

Tetapi lawannya sekali ini adalah Tang Hay atau Hay Hay yang dikenal sebagai Pendekar Mata Keranjang. Pada waktu itu Hay Hay sudah memiliki tingkat kepandaian yang sangat hebat dan tinggi. Bukan hanya ilmu silatnya, akan tetapi juga dia memiliki ilmu sihir yang jauh lebih kuat dibandingkan tiga orang Pek-lian Sam-kwi digabung menjadi satu!

Kini menghadapi Siok Hwa Cu seorang diri, tentu saja Hay Hay dapat mempermainkan sesuka hatinya. Andai kata dia dikeroyok tiga sekali pun, belum tentu dia kalah. Apa lagi satu lawan satu.

Ketika dia melihat keadaan pertempuran menguntungkan pihak Cin-ling-pai, Hay Hay pun tidak cepat-cepat merobohkan lawannya, bahkan mempermainkannya. Apa lagi ketika dia melihat bahwa kawanan Pek-lian-kauw sudah kocar-kacir dan banyak anak buah Cin-ling-pai yang tidak lagi kebagian lawan sehingga hanya menjadi penonton, maka dia semakin mempermainkan lawannya.

“Heii, kodok buduk, kepandaianmu hanya segini saja, dan engkau sudah berani mencoba-coba mengacau Cin-ling-pai? Engkau benar-benar tidak tahu diri. Hayo keluarkan semua kepandaianmu!” berulang kali Hay Hay mengejek sambil mengelak ke kanan kiri. Ketika golok menyambar lewat, kakinya menendang ke arah perut yang gendut itu.

“Blukkk!” Dan Siok Hwa Cu terhuyung ke belakang.

Hay Hay sengaja memegang kaki kanannya yang menendang tadi dan berjingkrak seperti orang kesakitan. “Aduh, perutmu memang keras dan bau! Ihhh!”

Semua murid Cin-ling-pai tertawa-tawa melihat kelucuan ini. Wajah Siok Hwa Cu menjadi merah kehitaman dan matanya yang besar itu semakin melotot menakutkan. Dia maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai dan mempunyai kekuatan sihir yang hebat. Maka kini dia menggigit golok besarnya dan kedua tangannya sudah bergerak cepat. Sinar-sinar kilat meluncur ke arah Hay Hay ketika belasan pisau terbang meluncur dan terbang ke arah tubuhnya, dari leher sampai kaki!

Apa bila dia mau mengelak saja, tentu belasan batang hui-to (pisau terbang) itu tidak ada yang akan mengenai sasaran. Namun dia khawatir kalau pisau-pisau itu akan mengambil korban orang-orang yang berada di belakangnya. Maka Hay Hay cepat mengambil topi capingnya yang lebar dan tergantung di punggung. Dengan caping besar itu dia membuat gerakan seperti sebuah perisai dan semua pisau terbang itu menancap pada capingnya!

“Wah, terima kasih atas sumbangan pisau-pisau ini, kodok buduk! Semua pisau ini dapat kutukarkan sebuah caping yang lebih baik dan lebih baru.”

Kembali semua orang tertawa memuji kelihaian Hay Hay, tapi si gendut pendek semakin marah. Seluruh pisau terbangnya sudah dia pergunakan untuk menyerang dan jarang ada orang yang sanggup menghindarkan diri dari serangan ketiga belas pisau terbangnya itu. Namun kini semua pisau terbangnya hilang dan dilumpuhkan hanya oleh sebuah caping!

Dengan kemarahan meluap dia menggerakkan kepala, dan dengan beberapa goyangan maka rambutnya yang digelung itu terlepas dan terurai. Sekarang dia kembali menyerang dengan golok besarnya dan rambutnya turut menyerang ketika dia menggerak-gerakkan kepalanya. Serangan rambut itu tak kalah bahayanya dengan serangan golok besar pada tangannya. Agaknya Siok Hwa Cu hendak mengamuk habis-habisan untuk memenangkan pertandingan ini.

Terkejut dan kagum juga Hay Hay ketika tiba-tiba nampak segumpal rambut menyambar dengan dahsyatnya ke arah lehernya pada saat dia mengelak dari sambaran golok besar. Rambut yang penuh uban, kaku dan berbau apek! Hay Hay tahu bahwa senjata istimewa itu tak boleh dipandang ringan karena rambut itu agaknya menjadi senjata andalan lawan, dan rambut yang kini menyerangnya itu tiada ubahnya kawat-kawat baja yang berbahaya sekali.

Hay Hay melangkah mundur, namun gumpalan rambut itu mengejar terus secara bertubi-tubi. Pada waktu Hay Hay berusaha menangkap gulungan rambut itu sambil menangkis, rambut itu berubah lemas dan seperti ular saja telah membelit dan mengikat pergelangan tangannya. Pada saat itu golok besar menyambar ke arah lengannya yang sudah terbelit rambut.

“Hemmm...!” Hay Hay menotok ke arah siku lengan yang memegang golok, lalu menarik tangannya yang terlibat. Hampir saja lengannya buntung! Tahulah dia bahwa rambut itu berbahaya sekali.

“Ihhh, kodok tua. Rambutmu apek menjijikkan!” katanya, dan melihat ada banyak senjata berserakan di atas tanah, dia lalu menyambar sebatang pedang.

Golok menyambar lagi dan sengaja dia menyambut dengan pedang sebagai pancingan. Benar saja, begitu pedang bertemu golok, rambut itu telah menyambar kembali. Hay Hay cepat memantulkan pedang yang bertemu golok, lantas memutar pergelangan tangannya yang memegang pedang sambil mencengkeram gumpalan rambut dengan tangan kiri.

“Brettt...!” Sebelum Siok Hwa Cu menyadari kesalahannya, rambutnya yang panjang telah terbabat pedang dan buntung! Hay Hay mengangkat tinggi-tinggi gulungan rambut itu.

“Heiii, siapa mau membeli ekor babi?” Dia menawarkan gumpalan rambut itu kepada para murid Cin-ling-pai yang menjadi penonton. Semua orang menyambut dengan gelak tawa karena mereka merasa senang melihat pengacau yang dibenci itu kini menjadi permainan pemuda yang lihai itu.

Siok Hwa Cu hampir meledak saking marahnya setelah rambutnya dibuntungi lawan. Dia menggerakkan golok besarnya membabat ke arah pinggang Hay Hay dengan kemarahan meluap-luap.

“Haiiii, sayang luput!” kata Hay Hay yang dengan lincahnya sudah melompat ke atas.

Siok Hwa Cu mengejar dan dengan golok besarnya membacok ke atas, akan tetapi Hay Hay menarik kedua kaki ke atas dengan menekuk lutut, kemudian saat golok menyambar lewat di bawah kakinya, dia menurunkan kedua kaki di atas golok laksana seekor burung hinggap di atas ranting saja! Semua orang menahan napas saking kagum sekaligus juga khawatir. Pemuda itu sungguh berani mempermainkan lawannya yang begitu berbahaya.

Melihat pemuda yang menjadi lawannya itu berdiri di atas goloknya, Siok Hwa Cu hampir tidak percaya. Betapa beraninya lawan ini, dan betapa tinggi tingkat ilmunya meringankan tubuh. Dia menggunakan tangan kirinya hendak mencengkeram ke arah kaki, akan tetapi sekarang Hay Hay melompat ke atas kepala si pendek gendut itu! Semua orang merasa semakin kagum dan bertepuk tangan. Mereka seolah-olah melihat pertunjukan akrobatik, bukan pertandingan silat lagi.

Sepasang mata Siok Hwa Cu terbelalak. Jika tidak merasa malu tentu dia sudah menjerit-jerit karena kepalanya terasa nyeri bukan main, bagai ditindih batu yang beratnya ratusan kati! Ketika dia menggerakkan golok besarnya untuk membacok ke arah dua kaki yang berada di atas kepalanya, tiba-tiba ujung sepatu Hay Hay menotok pundaknya dan tahu-tahu lengan kanannya terasa lumpuh.

Hay Hay meloncat turun, lantas berjungkir balik dan begitu tangannya menampar ke arah pergelangan tangan yang memegang golok, maka golok itu pun terlepas dan jatuh ke atas tanah. Kembali semua orang bersorak dan tertawa.

Hay Hay tersenyum dan menengok sekeliling. Dia melihat betapa Kui Hong sudah berdiri menganggur dan menonton di situ sambil tersenyum. Juga para tokoh Cin-ling-pai sedang berdiri menjadi penonton. Kiranya pertempuran itu telah selesai dan agaknya orang-orang Cin-ling-pai telah berhasil merobohkan semua musuh masing-masing. Tinggal dia seorang yang menjadi tontonan!

Memang Hay Hay memiliki watak gembira, jenaka dan nakal. Kalau dia mempermainkan lawannya, Sama sekali bukan karena kesombongan atau untuk mencari pujian melainkan karena dia hendak menghukum orang yang dia tahu amat jahat seperti iblis ini, dan untuk memberi kegembiraan kepada orang-orang Cin-ling-pai yang telah dirugikan besar sekali oleh para tokoh Pek-lian-kauw ini.

Dia sama sekali tidak tahu betapa di antara para penonton, terdapat beberapa penonton yang memandangnya dengan alis berkerut. Mereka adalah Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin. Dalam pandangan mereka, pemuda yang tersenyum-senyum mempermainkan tosu Pek-lian-kauw itu sedang menjual lagak. Tetapi karena jelas bahwa pemuda itu membantu Cin-ling-pai melawan musuh, tentu saja mereka merasa tidak enak untuk menghalanginya, hanya diam-diam mereka bertanya-tanya siapa kiranya pemuda bercaping yang lihai namun sombong itu.

Kui Hong hanya tersenyum saja melihat kenakalan Hay Hay. Dia sudah mengenal watak pemuda itu, dan tahu benar bahwa perbuatan Hay Hay itu bukan untuk menyombongkan diri atau memamerkan kepandaian, melainkan untuk mempermainkan serta menghukum tosu Pek-lian-kauw itu agar hatinya puas dan agar orang-orang Cin-ling-pai yang sakit hati juga mendapat kepuasan. Maka dia pun diam saja dan hanya menonton.

Seluruh anak buah Pek-lian-kauw telah dapat dibasmi, dan satu-satunya orang yang lolos hanya Tok-ciang Bi Moli. Kim Hwa Cu, tosu termuda dari Pek-lian Sam-kwi telah tewas di ibunya. Demikian pula Lan Hwa Cu, tosu tertua yang sudah tewas di tangan ayahnya. Kini di antara tiga orang tokoh sesat Pek-lian-kauw itu tinggal seorang lagi, yaitu Siok Hwa Cu yang masih bertanding dengan Hay Hay. Seluruh anggota Cin-ling-pai yang sudah selesai bertempur kini juga menonton perkelahian yang lucu dan menarik itu. Mereka yang terluka bahkan seperti mendapat hiburan segar.

Siok Hwa Cu maklum bahwa nyawanya sedang terancam bahaya dan bahwa dia sudah dipermainkan pemuda itu. Senjata rahasianya telah habis, rambutnya juga sudah buntung dan sekarang golok besarnya terlepas dari tangan pula. Dia hanya dapat mengandalkan sinkang-nya saja.

Dalam keadaan putus asa dan marah Siok Hwa Cu menjadi nekat. Dia merendahkan diri, berjongkok di depan Hay Hay. Melihat ini, Hay Hay berseru sambil memencet hidungnya dengan jari-jari tangan kanannya.

“Hai, kodok buduk, kalau engkau hendak buang air besar jangan di sini! Kotor dan bau menjijikkan!”

Mendengar itu tentu saja para anggota Cin-ling-pai tertawa mengejek dan muka Siok Hwa yang memang sudah hitam itu menjadi semakin hitam karena marahnya. Apa lagi melihat banyak anak buah Cin-ling-pai ikut-ikutan menutup hidung seperti apa yang dilakukan oleh pemuda lawannya yang lihai itu.

“Jahanam sombong, engkau atau aku yang mati!” bentaknya.

Dia lalu mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya, perutnya yang gendut itu membengkak dan mengeluarkan suara berkokok, kemudian tubuhnya seperti menggelundung maju dan kedua tangannya didorongkan lurus ke depan, ke arah Hay Hay.

“Kok-kok-kokk!” Tosu gendut itu mengeluarkan bunyi dari perutnya melalui kerongkongan.

Hay Hay yang ingin mempermainkan lawan, juga meniru gerakan Siok Hwa Cu. Dia juga berjongkok dengan pantat ditonjolkan kebelakang, bahkan agak digoyang-goyang, kedua tangan didorongkan ke depan dan dia pun mengeluarkan suara seperti lawannya.

“Kok-kok-kokk!”

Diam-diam Siok Hwa Cu terkejut sekali karena menyangka bahwa lawannya juga mampu memainkan ilmu pukulan katak seperti dia. Akan tetapi pemandangan itu terasa amat lucu bagi mereka yang nonton, seolah mereka melihat dua ekor katak raksasa sedang berlaga.

“Dukkk!”

Dua pasang telapak tangan saling beradu dengan kekuatan dahsyat, dan akibatnya tubuh Siok Hwa Cu terguling-guling ke belakang, sedangkan Hay Hay meloncat berdiri. Tentu saja dia tidak pernah belajar ilmu katak seperti lawannya. Tadi dia hanya main-main saja. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sinkang untuk melawan serangan orang itu. Dan karena tenaga sinkang-nya memang jauh lebih kuat, tentu saja tubuh Siok Hwa Cu yang terpental dan terguling-guling.

Apa bila Hay Hay menghendaki, di dalam adu sinkang ini saja dia akan dapat membunuh lawannya. Akan tetapi dia belum merasa puas, masih hendak mempermainkan lawannya sampai lawan ini mengaku kalah atau menyerah.

“Hei, katak buduk. Berlututlah dan minta ampun seratus kali kepada Cin-ling-pai, baru aku akan menyerahkan kamu kepada pimpinan Cin-ling-pai!”

Akan tetapi Siok Hwa Cu sudah nekat. Dia maklum bahwa kalau dia diserahkan kepada pimpinan Cin-ling-pai, maka dia pasti akan dibunuh juga mengingat bahwa kesalahannya terhadap Cin-ling-pai sangat besar. Dari pada mati dihukum oleh para pimpinan Cin-ling-pai, lebih baik mati dalam perkelahian melawan pemuda lihai ini.

“Sampai mati pun aku tak sudi minta ampun!” bentaknya, lalu kembali dia berjongkok dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kini dia hendak mengeluarkan ilmunya yang paling akhir dan paling diandalkan, yaitu mengerahkan seluruh sinkang-nya dan menyalurkannya ke arah kepalanya!

“Heii, mau berak lagi?” Hay Hay mengejek sehingga banyak orang tertawa.

Kini tubuh pendek gendut itu lari menyeruduk ke depan, kepala lebih dulu seperti seekor kerbau yang mengamuk. Hay Hay melihat serangan itu dan dia pun mengerti. Lawannya hendak menggunakan kepala untuk menyerangnya! Dia pun berdiri tegak dan menyambut terjangan lawan itu dengan perutnya!

“Cappp…!” Kepala itu menusuk ke perut Hay Hay dan

Semua orang terbalalak khawatir akan keselamatan pemuda yang berani itu. Meski pun tubuhnya gendut, akan tetapi kepala Siok Hwa Cu termasuk kecil dan kepala itu disedot masuk ke rongga perut Hay Hay. Hay Hay menotok kedua pundak tosu itu hingga kedua tangannya lumpuh dan hanya tinggal kakinya saja yang terlihat bergerak-gerak. Siok Hwa Cu merasa betapa kepalanya seperti masuk ke dalam lumpur yang panas mendidih!

“Pergilah!” Hay Hay mengerahkan sinkang-nya dan menolak kepala itu dengan kekuatan perutnya.

Tubuh Siok Hwa Cu terlempar ke belakang lalu terbanting keras ke atas tanah. Tosu Pek-lian-kauw ini merasa betapa kepalanya nyeri bukan main, hampir meledak rasanya dan tahulah dia bahwa kalau dia lanjutkan perlawanannya, dia hanya akan menjadi permainan yang memalukan saja. Dia mengerahkan sisa tenaganya pada tangan kanannya sehingga tangan kanan itu dapat bergerak kembali dan tiba-tiba dia mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya dengan sisa tenaga terakhir.

“Krekkk!” Jari-jari tangannya masuk ke dalam kepalanya dan dia pun tewas seketika.

Banyak anak buah Cin-ling-pai bersorak memuji, dan Kui Hong menghampiri kekasihnya sambil tersenyum girang. “Hay-ko, mari kuperkenalkan kau kepada keluargaku!” Hay Hay juga tersenyum dan mengangguk.

Mereka lalu menghampiri Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin yang berdiri menanti mereka. Hay Hay sudah banyak mendengar akan kebesaran nama keluarga Cia dari Cin-ling-pai ini, maka begitu berhadapan dia pun cepat mengangkat kedua tangan ke dada dan memberi hormat dengan sikap sopan dan wajah berseri.

“Saya telah banyak mendengar akan nama besar keluarga Cia dari Cin-ling-pai. Sungguh beruntung sekali dan merupakan kehormatan besar hari ini saya bisa berhadapan dengan cu-wi (anda sekalian),” katanya.

“Kongkong, Ayah dan Ibu, dia adalah sahabatku bernama Hay Hay. Hay-ko, perkenalkan ini kongkong Cia Kong Liang, ayah Cia Hui Song dan ibu Ceng Sui Cin. Dan ini adikku Cia Kui Bu.”

Kembali Hay Hay memberi hormat kepada tiga orang tua itu, yang dibalas mereka dengan sikap sederhana. Kesan buruk dari cara Hay Hay mempermainkan lawannya tadi masih membuat mereka enggan untuk beramah tamah dengan pemuda itu. Akan tetapi pandang mata mereka cukup tajam untuk dapat melihat sikap Kui Hong yang amat mesra terhadap pemuda itu. Karena itu mereka pun menahan diri dan tidak mengeluarkan kata-kata yang menyinggung.

Cia Hui Song hanya membalas penghormatan Hay Hay dan berkata tenang, “Orang muda, engkau sungguh lihai dan terima kasih atas bantuanmu kepada kami.”

“Ah, harap Paman tidak bersikap sungkan. Saya adalah sahabat baik adik Cia Kui Hong, dan meski pun andai kata orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak mengacau di sini, di mana pun bertemu dengan saya tentu akan saya tentang karena mereka ini selalu melakukan kejahatan-kejahatan.”

“Ayah, Ibu, aku telah mengundang Hay-koko untuk bertamu di tempat kita untuk beberapa hari lamanya.”

Suami isteri itu saling pandang dan Ceng Sui Cin yang menjawab. “Baiklah, antarkan dia pulang dulu. Kami masih ingin mengatur anak buah untuk membersihkan tempat ini.”

“Benar, Kui Hong. Kau pulanglah dulu bersama sahabatmu ini,” kata pula Hui Song.

Melihat sikap ayah ibunya, juga kakeknya yang nampaknya tidak suka kepada Hay Hay, tentu saja Kui Hong merasa tidak enak hati. Akan tetapi Hay Hay tetap gembira saja dan dua orang muda ini lantas mendahului keluarga Cia pulang ke rumah keluarga Cia yang berada di bagian belakang. Markas Cin-ling-pai itu memang amat luas, dan yang menjadi tempat perkelahian tadi adalah bagian paling depan.

Para wakil dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tadi sudah menjadi saksi dan mereka pun maklum akan apa yang terjadi. Mereka tahu bahwa ternyata Cin-ling-pai sudah dimasuki orang-orang Pek-lian-kauw yang setelah menawan keluarga Cia kemudian menggunakan nama Cin-ling-pai untuk mengadu domba antara Cin-ling-pai dan partai-partai persilatan besar.

Mereka tahu bahwa Cin-ling-pai tak bersalah, maka ketika terjadi keributan tadi tentu saja kemarahan mereka ditujukan kepada orang-orang Pek-lian-kauw sehingga mereka turut pula membasmi anak buah Pek-lian-kauw. Juga mereka ikut pula melihat sepak terjang Hay Hay dan melihat pertemuan antara Hay Hay dan keluarga Cia.

Karena merasa urusan itu bukanlah urusan mereka, maka mereka pun tidak mencampuri berbicara dan diam saja. Padahal di antara mereka banyak yang mengenal Hay Hay. Dua orang hwesio dari Siauw-lim-pai, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, pernah mendengar mengenai pemuda itu. Bahkan Tiong Gi Cinjin, tokoh Bu-tong-pai itu, dahulu pernah bentrok dengan Hay Hay yang mereka kira jai-hoa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu! Biar pun akhirnya mereka tahu bahwa pemuda itu bukan Ang-hong-cu, namun diam-diam mereka merasa heran bagaimana putera penjahat besar itu dapat menjadi sahabat akrab dengan Cia Kui Hong yang menjadi pangcu atau ketua Cin-ling-pai!

Cia Kong Liang, Cia Hui Song, dan Ceng Sui Cin memerintahkan anak buah mereka agar menyingkirkan mayat-mayat musuh, juga mengurus pula mayat kawan-kawan sendiri dan merawat yang luka. Kemudian mereka mengundang para tamu dari empat partai besar untuk minum bersama agar peristiwa tidak enak yang hampir saja membuat Cin-ling-pai bentrok dengan mereka itu dapat dihapuskan.

Karena merasa bahwa mereka pun telah salah sangka dan memusuhi Cin-ling-pai yang sesungguhnya tak bersalah, rombongan empat partai besar itu merasa sungkan. Mereka menolak dengan halus bahkan minta diri untuk pulang ke tempat mereka masing-masing. Keluarga Cia tidak dapat menahan mereka, hanya mohon maaf dan berterima kasih atas pengertian mereka.

Kemudian rombongan Bu-tong-pai yang merupakan rombongan terakhir berpamit. Dalam kesempatan itu, Tiong Gi Cinjin berkata kepada Hui Song.

“Kami mengucapkan selamat kepada Cia-taihaip, bukan saja karena terbebas dari tangan orang-orang Pek-lian-kauw dan Cin-ling-pai telah berhasil membersihkan namanya, akan tetapi terutama sekali karena Cia-taihiap mempunyai seorang puteri yang begitu perkasa seperti Cia-pangcu (ketua Cia). Kalau tidak atas kebijaksanaan puteri taihiap, dan dibantu oleh Pendekar Mata Keranjang, tentu kami semua juga masih salah duga."

“Pendekar Mata Keranjang? Siapakah yang Totiang maksudkan?” Ceng Sui Cin bertanya sambil memandang dengan alis berkerut.

Tiong Gi Cinjin memandang pada nyonya yang gagah perkasa itu. “Apakah Lhiap belum mengetahuinya? Pemuda tadi…”

“Ahhh, kau maksudkan pemuda sahabat Kui Hong yang bernama Hay Hay tadi? Apakah Totiang mengenal dia?” tanya Sui Cin.

“Tentu saja kami mengenal dia, semua orang mengenal dia. Bahkan kami rombongan Bu-tong-pai pernah mengejar-ngejarnya dan menyerangnya karena kami menyangka bahwa orang yang sudah memperkosa seorang murid Bu-tong-pai adalah dia yang tadinya kami kira Ang-hong-cu.”

“Ang-hong-cu?” Cia Hui Song bertanya dengan kaget. “Kenapa menyangka dia Ang-hong-cu?”

“Maklumlah,” Tiong Gi Cinjin berkata sambil menarik napas panjang. “Dia selalu merayu wanita dan dia dikenal sebagai seorang yang mata keranjang sehingga dijuluki Pendekar Mata Keranjang.”

“Dan ternyata bahwa bukan dia jai-hwa-cat yang terkenal jahat itu?” tanya Sui Cin.

“Bukan dia, melainkan ayah kandungnya.”

“Ahhh…?!” Suami isteri tokoh Cin-ling-pai itu terkejut bukan kepalang mendengar ucapan itu. “Dia …. dia adalah putera Ang-hong-cu?”

Tiong Gi Cinjin mengangguk lantas menghela napas panjang. Bukan maksudnya hendak memburukkan nama orang, namun bagaimana pun juga dia menganggap Hay Hay bukan pemuda yang baik dan pantas menjadi sahabat seorang gadis sehebat Cia Kui Hong. Apa lagi kalau diingat bahwa pemuda itu telah membikin malu orang-orang Bu-tong-pai karena tidak sanggup mengalahkannya dengan keroyokan.

“Ang-hong-cu bernama Tang Bun An, dan dia merupakan salah seorang di antara banyak anak-anaknya yang lahir dari para wanita yang diperkosa jai-hoa-cat itu. Namanya Tang Hay dan tadinya dia dikira sebagai Ang-hong-cu. Dia baru dapat membersihkan namanya setelah berhasil menangkap mendiang Ang-hong-cu.”

“Hemm, Ang-hong-cu sudah mati? Anaknya itu pula yang membunuh?”

“Mereka berkelahi dengan seru sekali, ayah dan anak itu. Ang-hong-cu kalah kemudian membunuh diri. Sudahlah, Taihiap dan Lihiap, saya tak enak membicarakan dia, apa lagi karena bagaimana pun dia dianggap sebagai seorang pendekar yang sudah berjasa. Dia pernah membantu pemerintah membasmi gerombolan pemberontak bersama dengan Cia-pangcu puteri Taihiap. Selamat tinggal.” Tiong Gi Cinjin segera mengajak rombongannya meninggalkan tempat itu.

Sampai beberapa lamanya suami isteri itu termenung. Bahkan Cia Kong Liang menjadi semakin tidak suka terhadap pemuda itu.

“Pantas saja dia menjual lagak seperti itu!” gerutunya. “Kiranya dia adalah seorang mata keranjang, putera penjahat besar Ang-hong-cu!”

“Dan dia yang menangkap ayah kandungnya sendiri dan menyebabkan ayahnya sendiri mati,” kata Hui Song. “Tidak baik anak kita bergaul dengan orang seperti itu.”

“Sudahlah, kita tidak perlu pusing-pusing. Nanti Kui Hong tentu dapat memberi penjelasan mengapa pemuda itu ikut datang ke sini bersamanya. Kurasa Kui Hong bukanlah seorang gadis bodoh yang mudah dirayu oleh seorang mata keranjang,” kata Sui Cin.

Setelah selesai mengatur para anggota Cin-ling-pai, mereka pun kembali ke dalam rumah mereka untuk menemui puteri mereka yang telah masuk lebih dahulu dengan Hay Hay.

********************

Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 07

SELAMA dua hari itu, Bi Hwa bersikap ramah dan biasa, sama sekali tidak memperlihatkan sikap lain. Hanya Gouw Kian Sun yang terlihat gelisah dan tidak menentu, ada pun wajah Ciok Gun tetap dingin dan acuh. Akan tetapi pada pagi hari itu Ciok Gun tidak nampak di antara para murid Cin-ling-pai.

Sesudah para tamu berkumpul di pekarangan, terdengar suara canang dipukul di sebelah dalam dan daun pintu yang tinggi, lebar dan tebal itu pun dibuka dari dalam. Semua tamu memandang ke arah pintu yang terbuka lebar itu dan dari dalam keluarlah Cia Kui Hong, didampingi oleh Gouw Kian Sun dan Su Bi Hwa.

Kui Hong nampak tenang saja, agung berwibawa. Gouw Kian Sun kelihatan pucat, muram dan gelisah, sedangkan isterinya yang melangkah di sisinya kelihatan tersenyum-senyum manis sekali, dengan sepasang mata yang lincah.

Sesudah tiba di luar Kui Hong memandang ke kanan kiri, ke arah anak buah Cin-ling-pai, lalu dia pun bertanya kepada mereka yang berdiri di beranda dan yang bersikap hormat kepadanya. “Di mana Suheng Ciok Gun? Kenapa aku tidak melihat dia di sini?”

Para anggota Cin-ling-pai saling pandang, namun tidak seorang pun yang tahu. Kui Hong mengerutkan alisnya dan dia pun menoleh kepada Gouw Kian Sun. “Susiok, kenapa aku tidak melihat Ciok-suheng? Di mana dia?”

Kian Sun melirik ke arah isterinya dan dia tampak bingung. Bi Hwa dengan cepat berkata, “Ahh, apa engkau lupa? Pangcu, tadi saya lihat Ciok Gun rebah saja di kamarnya karena dia merasa tidak sehat, sedang demam.”

Kui Hong mengangguk-angguk. “Ah, kiranya dia sakit.”

Dengan tenang dia lalu melangkah terus menuruni beranda dan berhenti di ujung tangga menghadapi para tamu. Dia mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat.

“Kiranya cu-wi locianpwe (para orang tua gagah sekalian) sudah berada di sini. Selamat datang dan selamat pagi kami ucapkan.”

“Pangcu, sudah terlampau lama kami menanti. Kami telah memenuhi permintaan Pangcu untuk menunggu lagi selama tiga hari. Nah, pagi ini kami datang menagih janji. Serahkan pembunuh puteriku itu kepada kami, maka kami tidak akan mengganggu Cin-ling-pai lebih lama lagi,” kata Poa Cin An.

“Kami juga minta diserahkannya pembunuh dari Gu Kay Ek, murid kami!” kata Tiong Gi Cin-jin tokoh Bu-tong-pai dengan suara galak.

“Serahkan para murid curang dari Cin-ling-pai kepada kami!” kata pula Yang Tek Tosu.

Hanya dua orang hwesio Siauw-lim-pai yang tidak mengeluarkan kata-kata, tetapi mereka juga memandang kepada Cia Kui Hong dengan sinar mata menuntut. Tuntutan mereka itu mendatangkan kegaduhan karena semua anggota rombongan mengeluarkan suara yang bernada penasaran.

Cia Kui Hong mengangkat tangan ke atas. “Harap cu-wi tenang dan dengarkan baik-baik keteranganku. Aku jamin bahwa mereka yang berdosa pasti akan kuserahkan kepada cu-wi!”

Mendengar ucapan ini tentu saja semua orang menjadi tertarik sehingga mereka segera diam, hanya memandang kepada gadis itu dengan sinar mata penuh harap.

“Cu-wi,” Kui Hong berkata dengan suara lantang sekali. “Tiga hari yang lalu ketika cu-wi menuntut, aku memang menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Akan tetapi selama tiga hari ini aku melakukan penyelidikan dan semuanya kini menjadi sudah menjadi terang. Para pembunuh itu sudah berada di antara kita!”

Gouw Kian Sun memandang kepada gadis itu dengan sinar mata kaget dan heran, Su Bi Hwa mengerutkan alisnya. Semua tokoh persilatan itu semakin tegang.

“Ketahuilah, cu-wi yang terhormat. Ternyata tidak ada seorang pun di antara murid Cin-ling-pai yang melakukan perbuatan jahat, memperkosa dan membunuh. Pihak Cin-ling-pai sudah kebobolan! Empat orang tokoh Pek-lian-kauw bersama dua puluh orang anak buah mereka sudah menyusup ke Cin-ling-pai kemudian menguasai pimpinan selagi aku pergi. Mereka menawan keluarga Cia, lantas mereka mengancam Gouw Susiok, juga membuat suheng Ciok Gun menjadi boneka hidup dengan bius dan sihir!”

Tentu saja ucapan ini membuat semua orang menjadi terkejut bukan main. Wajah Su Bi Hwa berubah pucat, lalu kemerahan. Kian Sun sendiri terbelalak memandang ketuanya. Wajahnya pucat sekali dan sinar matanya penuh kegelisahan karena dia khawatir bahwa pembongkaran rahasia itu akan membahayakan keselamatan nyawa keluarga Cia.

Semua tamu terbelalak dan memandang tidak percaya, bahkan ada yang mengira bahwa gadis ketua Cin-ling-pai itu hanya mencari alasan kosong untuk menghindarkan Cin-ling-pai dari tuduhan. Para murid Cin-ling-pai juga amat terkejut sehingga saling pandang. Ada pun dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw meraba gagang senjata mereka. Suasana benar-benar tegang dan menggelisahkan sekali.

“Sudah kujanjikan akan menyerahkan mereka yang berdosa. Bukan hanya satu atau dua orang saja, melainkan dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw bersama empat orang pimpinan mereka!”

“Omitohud...! Keterangan Cin-ling Pangcu terlalu aneh untuk dapat diterima begitu saja. Pangcu, tunjukkan mana orang-orang Pek-lian-kauw yang mengacau itu!” kata Thian Hok Hwesio dari Siauw-lim-pai.

“Tiga orang tosu Pek-lian-kauw yang terkenal dengan sebutan Pek-lian Sam-kwi sampai kini masih bersembunyi, akan tetapi Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa telah berada di sini! Dia memaksa susiok Gouw Kian Sun menjadi suaminya supaya dia bisa mengendalikan Cin-ling-pai dari dalam! Inilah dia iblis betina itu!”

Melihat kenyataan betapa ketuanya telah mengetahui segalanya, timbul berbagai macam perasaan di dalam dada Gouw Kian Sun. Dia merasa lega karena ketuanya sudah tahu, akan tetapi berbareng gelisah karena keselamatan keluarga Cia terancam. Di samping itu dia pun merasa malu bahwa dia telah dijadikan alat dan terpaksa membantu iblis-iblis itu, dan merasa menyesal sekali kenapa dia tidak bisa menghindarkan diri dari tekanan yang membuat dia berkhianat terhadap Cin-ling-pai. Saking marahnya, mendadak dia berteriak marah kemudian menyerang ‘isterinya’ yang berdiri di sebelahnya.

“Tok-ciang Bi Moli, aku bersumpah untuk mengadu nyawa denganmu!”

Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa sudah waspada. Semenjak tadi pun dia sudah tahu bahwa permainannya telah diketahui orang. Akan tetapi dia masih tenang-tenang saja karena dia yakin bahwa selama keluarga Cia masih berada di dalam kekuasaannya, maka ketua Cin-ling-pai dan semua anggotanya tidak akan berani melawannya.

Karena sebelumnya dia telah siap siaga, begitu melihat Kian Sun menyerangnya, dengan mudah dia mengelak ke samping dan begitu kakinya menendang, dada Kian Sun tercium ujung sepatunya sehingga tokoh Cin-ling-pai ini hampir terjengkang! Sebenarnya dalam hal ilmu silat tingkat Kian Sun seimbang dibandingkan iblis betiina itu dan dia tidak akan mudah dikalahkan. Akan tetapi selama ini Kian Sun menderita tekanan batin yang sangat hebat dan membuat dia lemah lahir batin sehingga gerakannya lambat dan kepekaannya berkurang.

Ketika dia dapat menguasai keseimbangannya dan hendak menyerang lagi, Tok-ciang Bi Moli sudah turun dari atas beranda itu, ke sebelah kiri dan ternyata dia telah berada dekat tiga orang tosu yang muncul dengan tiba-tiba. Melihat tiga orang gurunya sudah berada di situ, muncul dari tempat persembunyian mereka, Su Bi Hwa lalu tertawa bergelak karena hatinya menjadi besar. Suara tawanya membuat semua orang memandang ngeri karena tawa itu mengandung kekejaman yang luar biasa.

“Ha-ha-ha-ha, kiranya Cin-ling-pai masih ada orang yang cerdik. Engkau memang cerdik sekali, Cia Kui Hong. Akan tetapi kecerdikanmu tidak ada gunanya!”

Kui Hong memang sengaja belum mau turun tangan dan membiarkan saja wanita iblis itu bergabung dengan tiga orang tosu yang sekarang baru dilihatnya. Juga ia melihat betapa dua puluh orang anggota baru Cin-ling-pai yang sesungguhnya adalah orang-orang Pek-lian-kauw kini sudah memisahkan diri dan bergabung pula dengan empat orang pemimpin mereka. Kui Hong tersenyum mengejek.

“Pek-lian Sam-kwi dan Tok-ciang Bi Moli! Kedok kalian telah terbuka dan sekarang semua locianpwe yang berada di sini telah mengetahui siapakah yang sesungguhnya melakukan semua kejahatan itu dan berusaha merusak nama baik Cin-ling-pai. Akan tetapi, kenapa kalian melakukan ini? Kenapa kalian berusaha menghancurkan Cin-ling-pai?”

Kembali Su Bi Hwa tertawa, “Ha-ha-hi-hi-hik, ternyata kecerdikanmu masih picik, Pangcu! Sejak dahulu semua pimpinan Cin-ling-pai selalu memusuhi Pek-lian-kauw. Entah berapa banyak anggota kami yang tewas di tangan orang-orang Cin-ling-pai. Nenek moyangmu adalah musuh-musuh besar kami. Dan sekarang engkau masih bertanya mengapa kami memusuhi Cin-ling-pai?”

“Iblis betina busuk!” Gouw Kian Sun kini membentak lagi. “Engkau dan Pek-lian Sam-kwi harus kubasmi dari permukaan bumi ini!” Dia pun sudah mencabut pedangnya.

“Jangan bergerak!” teriak wanita cantik itu. “Ingat, kalau ada yang berani menyerang kami maka semua keluarga Cia akan mampus! Mereka masih berada di tangan kami, karena itu setiap saat kami dapat memerintahkan Ciok Gun untuk membunuh mereka! Ha-ha-ha, Pangcu. Kunci kemenangan terakhir masih berada di dalam tanganku!”

Kini bukan hanya Su Bi Hwa saja yang tertawa, namun tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu juga turut tertawa karena mereka merasa yakin akan kemenangan mereka. Mereka yakin sekali, dengan adanya kenyataan bahwa keluarga Cia masih mereka tawan maka orang-orang Cin-ling-pai ini tidak akan berani menggunakan kekerasan terhadap mereka.

Mendengar kata-kata ini Kian Sun langsung menahan gerakannya dan wajahnya kembali menjadi pucat. Apakah mereka masih tetap tidak berdaya menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw itu?

Akan tetapi Kui Hong tersenyum lebar. “Iblis-iblis busuk dari Pek-lian-kauw. Hari kematian kalian sudah tiba tetapi kalian masih berani bicara besar?” Kui Hong menoleh ke kiri dan semua menengok, juga empat orang tokoh Pek-lian-kauw dan dua puluh orang anak buah mereka itu. Lantas muncullah Ciok Gun dengan pedang di tangan, bersama empat orang yang bukan lain adalah Cia Kong Liang, Cia Hui Song, Ceng Sui Cin, dan Cia Kui Bu!

Tentu saja semua tamu menjadi terheran-heran dan suasana menjadi berisik. Hanya Kui Hong seorang yang tersenyum-senyum sebab tentu saja dia telah mengetahui segalanya. Dia bersama Hay Hay telah menjalankan siasat dengan tepat, dan dibantu oleh Ciok Gun dengan baik sekali.

Seperti yang sudah direncanakan, Ciok Gun berhasil membujuk empat orang tokoh Pek-lian-kauw untuk menjaga para tawanan dan kalau perlu membunuh mereka! Oleh karena itu, ketika semua orang Pek-lian-kauw hadir dalam pertemuan antara pimpinan Cin-ling-pai dan para wakil perkumpulan besar yang mendendam, hanya Ciok Gun seorang yang tidak hadir karena dia bertugas menjaga para tawanan!

Setelah semua orang Pek-lian-kauw pada pagi hari itu pergi meninggalkan sarang rahasia mereka, meninggalkan Ciok Gun seorang diri saja di ruangan tahanan bawah tanah, Ciok Gun segera membuka pintu tahanan dengan kunci yang dipegangnya. Melihat masuknya Ciok Gun, kakek Cia Kong Liang yang tadinya sedang duduk bersila dalam semedhi lalu membuka matanya dan memandang kepada cucu murid itu dengan marah.

“Ciok Gun, murid murtad! Dosamu bertumpuk-tumpuk, tidak takutkah engkau menghadapi hukumanmu di neraka kelak?”

Kui Bu juga berdiri di depan Ciok Gun dengan kedua tangan terkepal dan mata mendelik. “Ciok Gun, aku tidak mengakuimu sebagai suheng-ku lagi! Engkau adalah musuh besar kami. Kelak kalau sudah besar aku sendiri yang akan membunuhmu untuk membalaskan dendam ini!”

Ciok Gun memandang pada anak itu dengan muka sedih, akan tetapi dia tidak menjawab ucapan mereka, melainkan diam saja dan dengan kuncinya dia membuka tempat tahanan Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin. Tentu saja semua orang itu merasa terkejut dan heran sekali, akan tetapi sebelum mereka sempat berbuat atau berkata sesuatu, Ciok Gun telah menjatuhkan diri dan membentur-benturkan dahinya di lantai.

“Teecu Ciok Gun sudah melakukan dosa besar tanpa teecu sadari, akan tetapi sekarang teecu sudah kembali sadar. Kini teecu membantu sumoi Cia Kui Hong untuk membasmi orang-orang Pek-lian-kauw yang membuat semua kekacauan ini. Harap Sukong, Supek, Supek-bo serta Adik Kui Bu mengikuti saya dan bersikap sebagai tawanan saya, sesuai dengan rencana yang telah diatur oleh sumoi Cia Kui Hong.” Kemudian dia bangkit berdiri dan empat orang itu diam-diam girang bukan main. Kiranya Kui Hong sudah pulang dan menyelamatkan mereka dengan menyadarkan Ciok Gun.

Demikianlah, mereka yang ‘digiring’ oleh Ciok Gun yang memegang pedang sudah tiba di pekarangan markas Cin-ling-pai. Begitu melihat kemunculan Ciok Gun yang menggiring empat orang tawanan itu, Su Bi Hwa dan tiga orang gurunya menjadi terkejut serta heran bukan main. Juga mereka melihat bahaya besar karena kini para tokoh Cin-ling-pai sudah keluar dari tahanan!

“Ciok Gun, kuperintahkan kau! Cepat bunuh empat orang tawanan itu dengan pedangmu!” teriak Su Bi Hwa dan tiga orang gurunya juga mengerahkan kekuatan sihir mereka untuk menguasai Ciok Gun.

Mendengar perintah Su Bi Hwa itu, Ciok Gun tidak memperlihatkan reaksi apa pun, akan tetapi dia justru melangkah menghampiri Su Bi Hwa dengan kepala tetap ditundukkan. Su Bi Hwa menyangka bahwa Ciok Gun kurang dapat menangkap perintahnya, maka setelah Ciok Gun berada di depannya, dia berteriak lagi dengan suara melengking,

“Ciok Gun, pergunakan pedangmu...!”

“Baik, kupergunakan pedangku!” mendadak Ciok Gun menjawab dan memotong perintah itu. Pedangnya digunakan menusuk ke arah dada Su Bi Hwa!

Wanita ini terkejut bukan main! Akan tetapi dia memang lihai sehingga biar pun serangan itu datangnya sangat tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka, dia masih dapat melemparkan tubuh ke belakang, lalu berjungkir balik dan terhindar dari tusukan pedang.

“Jahanam busuk kalian! Mampuslah!” Ciok Gun membentak dan kini menyerang ke arah tiga orang tosu Pek-lian-lauw.

“Suheng, jangan...!” Kui Hong cepat berseru karena dia tahu betapa lihainya orang-orang Pek-lian-kauw itu.

Namun Ciok Gun yang merasa menyesal, sedih dan sakit hati sekali kepada orang-orang Pek-lian-kauw, tidak lagi mempedulikan teriakan itu dan dia menyerang mati-matian. Tiga orang tosu itu pun terkejut melihat kenyataan bahwa murid Cin-ling-pai yang tadinya telah menjadi robot bagi mereka, kini tidak mau mentaati perintah, bahkan menyerang mereka dengan dahsyat!

Tiga orang Pek-lian-kauw itu sekarang mengerti bahwa entah bagaimana pengaruh sihir mereka terhadap Ciok Gun telah lenyap sehingga mereka tidak perlu lagi mencoba untuk menguasainya. Maka, melihat Ciok Gun menyerang dengan pedang, mereka bertiga lalu menggerakkan tangan untuk menyambut. Ada yang menangkis pedang dengan kebutan dan ada pula yang menyerang.

“Tranggg…! Dukkk...!”

Pedang di tangan Ciok Gun terlempar dan tubuh murid Cing-ling-pai itu pun terjengkang. Darah muncrat dari mulutnya, dan dengan sepasang mata mendelik memandang ke arah empat orang Pek-lian-kauw itu, Ciok Gun roboh lantas tewas seketika. Dua pukulan yang diterimanya dari Lan Hwa Cu dan Siok Hwa Cu saat Kim Hwa Cu menangkis pedangnya, terlampau hebat bagi murid Cin-ling-pai itu sehingga nyawanya terenggut seketika.

Melihat ini, marahlah Kui Hong. Dia sendiri tak mengira bahwa Ciok Gun akan senekat itu. Padahal menurut siasat yang telah direncanakannya bersama Hay Hay, Ciok Gun hanya bertugas pura-pura dalam keadaan masih terpengaruh sihir agar dia ditugaskan menjaga tawanan, lalu pada pagi hari itu membawa para tawanan ke Cin-ling-pai untuk membuka kedok orang-orang Pek-lian-kauw. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Ciok Gun yang merasa berdosa dan menyesal, telah mengadu nyawa hingga tewas di tangan tiga orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai itu.

Sebelum dia melakukan sesuatu, tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu telah mengangkat dua tangan ke atas dan Siok Hwa Cu memimpin dua orang saudaranya mengeluarkan suara memerintah yang mengandung getaran kuat sekali.

“Haiii, orang-orang Cin-ling-pai. Di sebelahmu terdapat musuh! Seranglah musuh terdekat sebelum kalian diserang!”

Terjadilah keanehan. Para anggota Cin-ling-pai tiba-tiba bergerak dan saling pukul! Maka terjadilah kekacauan, dan pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara orang yang tertawa bergelombang disusul suara yang nyaring melengking.

“Saudara-saudara Cin-ling-pai, jangan menyerang saudara sendiri!”

Para murid Cin-ling-pai kini terbelalak melihat bahwa mereka sedang berkelahi melawan saudara seperguruan sendiri. Tentu saja mereka semua cepat menghentikan gerakan dan memandang bingung.

Yang tertawa dan berteriak itu adalah Hay Hay. Kini dia menghampiri tiga orang tosu dan Su Bi Hwa sambil tersenyum-senyum. Pek-lian Sam-kwi terkejut sekali ketika mendengar suara tawa itu dan melihat betapa pengaruh sihir mereka membuyar begitu pemuda yang mengenakan pakaian biru dan sebuah caping petani lebar itu muncul. Melihat pemuda itu menghampiri mereka sambil tersenyum-senyum, Siok Hwa Cu yang berperut gendut lalu menyambut dengan bentakan.

“Anjing dari mana yang berani datang menentang kami?” Dia memberi isyarat kepada dua orang saudaranya dan tiga orang Pek-lian-kauw itu mengerahkan kekuatan sihir mereka, memandang wajah Hay Hay dan Siok Hwa Cu menunjuk ke arah muka pemuda itu sambil berseru nyaring. “Engkau anjing yang baik, hayo merangkak dan menggonggong!” Dalam suara ini terkandung getaran yang sangat kuat karena bukan hanya tenaga Siok Hwa Cu seorang yang mendukung suara itu, melainkan tenaga sihir mereka bertiga dipersatukan.

Hay Hay merasa betapa ada kekuatan dahsyat yang memaksanya sehingga dia tak dapat bertahan lagi. Dia pun jatuh berlutut lalu berdiri dengan kaki dan tangannya seperti seekor anjing!

Melihat ini, Ceng Sui Cin marah bukan kepalang. Tahulah pendekar wanita yang galak ini bahwa tiga orang Pek-lian-kauw mempergunakan sihir. Akan tetapi selagi dengan marah dia hendak maju ke depan untuk menyerang, lengannya segera disentuh Kui Hong yang sudah berdiri di dekatnya.

“Ibu, biarkan saja. Hay-koko akan sanggup melayani sihir mereka.”

Ceng Sui Cin dan suaminya, Cia Hui Song, menatap puteri mereka dengan heran. Puteri mereka menyebut Hay-koko dengan suara yang demikian mesra. Dan mereka pun ingin sekali melihat bagaimana pemuda bercaping lebar itu akan mampu menghadapi kekuatan sihir tiga orang Pek-lian-kauw! Padahal kini pemuda itu telah merangkak seperti anjing.

Tang Hay atau biasanya disebut Hay Hay bukanlah pemuda biasa. Bukan saja dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi, akan tetapi juga dia pernah menjadi murid Pek Mau San-jin dan digembleng dengan ilmu sihir yang kuat sekali. Biar pun demikian, andai kata kemudian dia tidak bertemu Song Lojin yang membuat semua ilmunya, baik silat mau pun sihir menjadi semakin matang, kiranya akan sulit baginya untuk dapat melawan kekuatan sihir gabungan dari Pek-lian Sam-kwi.

Dan kini, ketika merasa betapa dia hampir lumpuh dan sudah jatuh berlutut, bahkan ada dorongan kuat agar dia menggonggong seperti anjing, dia pun teringat dengan pelajaran yang diterimanya dari Song Lojin dalam keadaan seperti itu. Dia meraba dan menekan bagian tengah dahinya sambil memusatkan kekuatan batinnya, dan seketika dia pun pulih dan dapat mengatasi pengaruh yang menekannya. Dalam keadaan masih merangkak dia pun tertawa bergelak! Suara ketawanya menggetarkan jantung semua orang.

“Ha-ha-ha-ha! Kalian ini Pek-lian Sam-kwi dan juga Tok-ciang Bi Moli empat orang Pek-lian-kauw mengajak aku bermain menjadi anjing? Ha-ha-ha-ha, memang kalian berempat bersemangat anjing! Marilah kita bermain-main! Kalau aku mengonggong, kalian mulailah saling berlomba memperebutkan anjing betina itu dan saling serang. Hayo, mulailah!”

Semua orang melihat betapa dalam keadaan masih berdiri dengan kaki tangan, Hay Hay kini mulai mengeluarkan suara seperti seekor anjing menggonggong. Suaranya keras dan memang mirip anjing menggonggong!

“Hung-hung-haunggg... huk-huk-hunggg...!”

Semua orang langsung terbelalak. Mereka melihat betapa Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa dan tiga orang Pek-lian Sam-kwi itu tiba-tiba saja berlutut lalu merangkak-rangkak seperti juga yang dilakukan Hay Hay! Kemudian terjadilah hal yang aneh sekali. Tiga orang tosu itu merangkak dan berloncatan hendak menerkam Su Bi Hwa yang menyalak-nyalak dan menyingkir, dan tiga orang tosu itu sekarang saling serang seperti tiga ekor anjing jantan memperebutkan anjing betina!

Dan Hay Hay terus menggonggong. Makin keras gonggongannya, makin hebat pula tiga orang tosu itu saling serang, saling gigit hingga pakaian mereka koyak-koyak! Ada pun Su Bi Hwa merangkak-rangkak sambil menyalak-nyalak! Sungguh merupakan pemandangan luar biasa sekali. Jika ada tosu yang terkena gigitan lawan, dia pun menguik-nguik seperti anjing tulen yang kesakitan! Bila tadi semua orang menonton dengan heran, kini mereka mulai tertawa dan terpingkal-pingkal melihat peristiwa aneh yang lucu itu.

Sesudah merasa cukup mempermainkan empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu, Hay Hay lalu meloncat berdiri dan dia pun tertawa. Begitu dia menghentikan suara menggonggong seperi anjing, otomatis empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu pun menghentikan gerakan mereka.

Su Bi Hwa meloncat berdiri dengan muka pucat memandang ke arah Hay Hay. Tiga orang tosu itu pun berloncatan berdiri. Muka mereka merah sekali dan mereka berusaha untuk membereskan pakaian mereka yang koyak-koyak. Ketiganya saling pandang, kemudian menghadapi Hay Hay dengan marah bukan main. Mereka maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang mempunyai kekuatan sihir yang sangat hebat sehingga mereka bertiga pun tidak mampu melawannya dan dibuat malu di depan banyak orang!

Tanpa banyak cakap lagi, Kim Hwa Cu yang bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning itu telah mencabut senjatanya, yaitu sepasang pedang. Gerakannya diikuti oleh Siok Hwa Cu si perut gendut bertubuh pendek bermuka hitam itu yang mencabut sepasang golok besar. Lan Hwa Cu, orang pertama dari Pek-lian Sam-kwi juga cepat-cepat mengeluarkan senjatanya, yaitu sabuk dan ujungnya dipasangi bola dan bintang baja.

Sementara itu Tok-ciang Bi Moli pun maklum bahwa keadaan pihaknya terancam bahaya. Tidak ada lagi sandera, tidak ada lagi kekuatan sihir yang dapat di andalkan. Sekarang merekalah yang terjepit dan terancam, dan satu-satunya jalan hanyalah membela diri dan mencoba untuk lolos dari tempat itu! Maka dia pun segera mencabut pedangnya, lantas meloncat ke depan Kui Hong sambil membentak nyaring.

“Cia Kui Hong, bagaimana pun juga masih belum terlambat bagiku untuk membunuhmu sebagai ketua Cin-ling-pai!” sambil berkata demikian pedangnya sudah meluncur ke arah dada ketua Cin-ling-pai itu. Kui Hong memang sudah siap siaga, maka sejak tadi dia pun sudah mencabut sepasang pedangnya.

“Tranggg...!” nampak bunga api berpijar dan Su Bi Hwa merasa betapa lengan tangannya bergetar hebat.

“Hemm, iblis betina. Engkaulah yang akan kukirim ke neraka, tempat yang sangat cocok dan tepat untukmu!” kata Kui Hong, lantas dia pun melanjutkan dengan teriakan perintah kepada anak buahnya. “Para murid Cin-ling-pai, cepat basmi gerombolan Pek-lian-kauw yang menyusup menjadi anggota Cin-ling-pai!”

Para murid Cin-ling-pai yang jumlahnya lima puluh orang lebih itu segera berteriak-teriak dan mereka menyerbu dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya mereka kira sebagai anggota-anggota baru pilihan ketua dan isteri ketua! Terjadilah pertempuran yang seru karena orang-orang Pek-lian-kauw yang menjadi anak buah Pek-lian Sam-kwi itu juga merupakan orang-orang yang lihai, dan mereka merasa sudah tersudut sehingga mereka melawan mati-matian.

Ada pun Pek-lian Sam-kwi sendiri segera maju mengepung Hay Hay yang sangat mereka benci karena mereka tadi dipermainkan dengan sihir menjadi tiga ekor anjing yang saling terkam. Akan tetapi tiba-tiba tampak dua bayangan berkelebat dan Cia Hui Song bersama isterinya Ceng Sui Cin, sudah berada di dekat Hay Hay dan masing-masing menyambut seorang lawan. Cia Hui Song menghadapi Lan Hwa Cu, dan Ceng Sui Cin menghadapi Kim Hwa Cu. Suami isteri pendekar ini tidak mempergunakan senjata, akan tetapi mereka sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang memegang senjata. Sementara itu Hay Hay sendiri sudah menyambut serangan Siok Hwa Cu si pendek gendut bermuka hitam.

Melihat betapa ternyata Cin-ling-pai sama sekali tak bersalah dan yang melakukan semua pembunuhan, perkosaan serta semua perbuatan jahat adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang telah menyusup ke dalam Cin-ling-pai, tentu saja para tokoh partai persilatan besar menjadi marah sekali. Maka, begitu melihat para murid Cin-ling-pai menyerbu dua puluh orang gerombolan Pek-lian-kauw, tanpa diminta lagi para tokoh itu segera mengamuk dan membantu orang-orang Cin-ling-pai, menyerang anggota Pek-lian-kauw yang tentu saja menjadi semakin terdesak.

Tok-ciang Bi Moli menjadi gentar. Baru sekarang dia bertemu tanding yang benar-benar membuat dia kewalahan. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis muda yang menjadi lawannya itu memang lihai bukan main dan patut menjadi ketua Cin-ling-pai. Ternyata Cia Kui Hong memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampaui paman gurunya, yaitu Gouw Kian Sun.

Su Bi Hwa sudah melakukan perlawanan secara mati-matian, bahkan dia perkuat dengan kepandaian sihirnya, tetapi semua itu percuma saja. Tidak ada serangannya yang mampu menembus benteng sinar hitam sepasang pedang di tangan ketua Cin-ling-pai itu. Bahkan semakin lama dia semakin terdesak.

Tadinya Su Bi Hwa mengharapkan bantuan dari tiga orang gurunya. Akan tetapi ketika dia dapat melirik ke arah mereka, dia pun mendapat kenyataan yang amat mengejutkan dan mencemaskan. Tiga orang gurunya itu, jagoan-jagoan Pek-lian-kauw tingkat dua, ternyata juga dalam keadaan terdesak seperti keadaannya sendiri. Tidak mungkin mengharapkan bantuan mereka.

Su Bi Hwa adalah seorang gadis yang cerdik bukan main. Dengan sekilas pandang saja dia sudah dapat mengetahui keadaan dan cepat dia sudah dapat mencari jalan keluar.

Kini Su Bi Hwa hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi dirinya, terus main mundur atas desakan Kui Hong yang mengambil keputusan untuk membunuh wanita iblis yang amat berbahaya itu. Ketika Kui Hong mendesak dengan babatan pedang kiri ke arah kaki disusul tusukan pedang kanan ke arah dada, Su Bi Hwa menghindar dengan sebuah loncatan ke atas lalu ke belakang. Akan tetapi kakinya terpeleset sehingga dia pun jatuh terpelanting. Dia bergulingan dan tangan kirinya bergerak. Jarum-jarum beracun meluncur ke arah Kui Hong.

cerita silat online karya kho ping hoo

Ketua Cin-ling-pai ini memutar pedang dan semua jarum itu runtuh. Dia mengira bahwa iblis betina itu sudah tersudut dan dia hendak mendesak terus. Tiba-tiba Kui Hong terkejut karena tahu-tahu Su Bi Hwa telah meloncat ke dekat Kui Bu dan anak itu telah ditangkap dan dipanggulnya dengan tangan kiri! Kiranya iblis betina itu tadi sengaja mundur-mundur mendekati anak itu.

Ayah dan ibu anak itu sedang bertanding melawan dua orang di antara Pek-lian Sam-kwi, dan kakek Cia Kong Liang juga sedang membantu para murid Cin-ling-pai mendesak dan menyerbu orang-orang Pek-lian-kauw. Dalam keributan itu tidak ada orang yang menjaga Cia Kui Bu karena semua orang mengira anak itu dalam keadaan aman. Bukankah pihak musuh terdesak dan hanya tinggal menanti saat terbasmi saja?

“Kalau kau kejar maka anak ini akan kubunuh!” kata Su Bi Hwa sambil meloncat hendak melarikan diri.

Kui Hong tertegun! Dalam keadaan terancam semacam itu, dia tahu bahwa iblis betina itu bukan hanya menggertak kosong. Tentu Kui Bu benar-benar akan dibunuhnya kalau ada yang berani menghalangi larinya.

Baru saja Su Bi Hwa yang memondong tubuh Kui Bu lari sejauh kurang lebih lima puluh meter, tiba-tiba dari balik semak belukar melompat sesosok bayangan yang menubruknya lalu dengan nekat bayangan itu merangkul pinggangnya hingga terseret sampai beberapa meter.

“Lepaskan, keparat!” Su Bi Hwa berseru.

Akan tetapi bayangan yang bukan lain adalah Gouw Kian Sun itu telah menangkap kedua lengannya lantas menarik sekuat tenaga! Karena tarikan ini, maka pondongan Su Bi Hwa terhadap Kui Bu terlepas. Anak itu lalu terjatuh dan anak yang sudah tahu akan bahaya itu telah menggelundung lalu meloncat dan lari.

Dengan kemarahan meluap Bi Hwa dapat melepaskan lengan kanannya, kemudian sekali pedangnya berkelebat, tubuh Kian Sun langsung terkulai bermandikan darah. Sebelum Bi Hwa sempat mengejar Kui Bu, Kui Hong sudah datang menyambar tubuh adiknya itu dan melindunginya. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan Su Bi Hwa untuk melarikan diri.

Kui Hong hendak mengejar, tapi melihat keadaan Kian Sun, dia berhenti dan memeriksa. Akan tetapi dia tahu bahwa Gouw Kian Sun tidak dapat diselamatkan lagi.

“Gouw Susiok...,” katanya sedih.

“Pangcu… aku... aku sudah berdosa... aku girang dapat menyelamatkan adikmu Kui Bu... maafkan aku… lebih baik aku mati…,” katanya dengan sukar lalu lehernya terkulai. Gouw Kian Sun tewas.

Kui Hong merasa kasihan sekali. Paman gurunya ini tak bersalah. Bila Kian Sun terpaksa menuruti semua kehendak orang-orang Pek-lian-kauw, hal ini dilakukannya hanya karena ingin menyelamatkan keluarga Cia yang sudah disandera. Dan memang sebaiknya kalau susiok-nya tewas. Itu merupakan jalan keluar terbaik.

Ia bisa membayangkan betapa kalau terus hidup susiok-nya justru akan selalu menderita batin hebat sekali. Bagaimana pun alasannya, tetap saja di mata orang luar dia dianggap pengkhianat dan pengecut. Bahkan dia telah melangsungkan pernikahannya dengan Tok-ciang Bi Moli dan mengundang semua tokoh kang-ouw menjadi saksi! Tentulah namanya akan tercemar. Dia akan selalu ternoda aib yang memalukan.

Pertempuran itu berlangsung tak terlampau lama. Pek-lian Sam-kwi yang bertemu dengan lawan yang amat tangguh, seorang demi seorang semakin terdesak hebat. Dari dua puluh anggota Pek-lian-kauw, tak seorang pun yang mampu lolos! Semua tewas di tangan para anggota Cin-ling-pai yang dibantu oleh para tokoh perkumpulan besar.

Kim Hwa Cu yang ditandingi Ceng Sui Cin sudah menderita luka-luka oleh tangan lawan. Walau pun tidak memegang senjata, puteri Pendekar Sadis itu selalu menekan lawannya. Karena ia menguasai Bu-eng Hui-teng, yaitu ilmu ginkang yang membuat tubuhnya ringan dan selincah burung walet, maka sepasang pedang Kim Hwa Cu tak bisa berbuat banyak. Tubuh nyonya yang perkasa itu bagaikan bayangan saja, selalu luput disambar pedang.

Sebaliknya, karena cepatnya gerakan wanita itu, telah beberapa kali Kim Hwa Cu terkena tamparan yang sangat kuat sehingga beberapa kali dia terpelanting. Dia sudah mencoba mempergunakan kekuatan sihirnya, tapi selalu gagal karena setiap kali dia menggunakan sihirnya, pemuda bercaping itu segera membuyarkannya dengan teriakan atau tawanya. Bahkan beberapa kali dia menyerang lawan dengan paku beracun, namun ini pun sia-sia karena Ceng Sui Cin selalu dapat mengelak.

Pedang di tangan kiri Kim Hwa Cu sudah terlepas dan terlempar. Karena maklum bahwa dia tidak akan dapat meloloskan diri, Kim Hwa Cu melawan dengan nekat, menggunakan pedang kanannya.

Tosu Pek-lian-kauw yang tinggi kurus ini memang lihai. Selain pandai memainkan pedang pasangan, dia pun memiliki sinkang yang bisa membuat lengannya mulur panjang. Ini pun masih dibantu lagi dengan senjata rahasianya, yaitu paku beracun yang berbahaya, juga ilmu sihirnya yang pada saat itu sama sekali tidak dapat dia pergunakan karena dia kalah pengaruh oleh Hay Hay.

Mukanya yang kekuningan itu kini menjadi semakin kuning pucat karena bagaimana pun juga dia mulai merasa gentar, takut akan ancaman bahaya maut di tangan nyonya yang cantik dan lihai itu. Tadi dengan menggunakan sepasang pedang saja dia terdesak, apa lagi sekarang pedangnya tinggal sebatang. Dia terdesak terus dan main mundur.

Ada pun Lan Hwa Cu, tosu tertua dari Pek-lian sam-kwi yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa akan tetapi yang gerak-gerik serta suaranya seperti wanita itu, juga repot sekali ketika bertanding melawan Cia Hui Song. Dia sudah menggunakan senjatanya yang amat berbahaya, yaitu sehelai sabuk sutera yang ujungnya dipasangi bola baja dan bintang baja. Sabuknya menjadi bayangan bergulung-gulung dan dua ujungnya itu menjadi bola-bola dan bintang-bintang yang banyak, dan terdengar suara bersuitan ketika senjata itu menyambar-nyambar.

Namun lawannya adalah seorang pendekar yang mempunyai ilmu kepandaian yang telah matang. Cia Hui Song bukan hanya murid pewaris ilmu-ilmu yang ampuh dari Cin-ling-pai, akan tetapi juga semua ilmunya telah disempurnakan dan dimatangkan oleh gemblengan mendiang Siang-kiam Lo-jin, salah seorang di antara Delapan Dewa yang menjadi datuk di dunia persilatan puluhan tahun yang lalu.

Hui Song memiliki ginkang yang hebat sehingga tubuhnya bagaikan bayangan saja ketika dihujani serangan. Semua serangan lawan dibuat luput, namun Hui Song maklum bahwa lawannya juga lihai dan senjata lawan itu berbahaya kalau hanya dilawan dengan tangan kosong.

Maka, ketika pada suatu saat bola dan bintang baja di kedua ujung sabuk itu menyambar dari kanan kiri, dia melompat dengan lemparan tubuh ke belakang, ber-poksai (bersalto) hingga lima kali ke belakang dan ketika turun kembali ke atas tanah dia telah menyambar sebatang senjata toya yang berada di atas tanah. Ada banyak senjata berserakan di atas tanah, yaitu senjata-senjata dari mereka yang telah roboh dan tewas atau terluka berat.

Dengan toya di tangan dia menyambut datangnya lawan yang telah mengejar dan kembali menyerang. Begitu dia menggerakkan toya melawan, Lan Hwa Cu menjadi terkejut. Toya itu tidak takut terhadap sabuknya. Bahkan ketika dengan sengaja dia melilitkan sabuknya pada toya lawan, toya yang terlilit itu terus saja meluncur ke depan dan menotok ke arah dadanya! Maka terpaksa dia melepaskan lilitan sabuknya dan meloncat ke belakang.

Namun kini Lan Hwa Cu terus terdesak oleh gerakan toya yang seolah-olah telah berubah menjadi seekor naga sakti itu. Dia terdesak hebat, dan tidak lama kemudian punggungnya kena dihantam toya sehingga dia jatuh bergulingan sambil menjerit seperti wanita. Akan tetapi dia dapat meloncat bangun lantas kembali menyerang mati-matian karena tubuhnya memang kebal.

Tosu Pek-lian-kauw yang melawan Hay Hay adalah Siok Hwa Cu. Tosu bertubuh gendut pendek bermuka hitam ini memang merupakan tosu yang paling lihai di antara Pek-lian Sam-kwi. Biar pun tubuhnya gendut pendek seperti bola, namun dia dapat bergerak cepat dan selain pandai memainkan golok besar, dia juga memiliki sinkang yang amat dahsyat.

Kalau dia telah berjongkok dan mengeluarkan sinkang-nya, tosu ini tiada ubahnya seperti seekor katak buduk yang besar, dan begitu perutnya mengeluarkan bunyi berkokok maka sambaran tangannya mengandung kekuatan yang kuat dan beracun! Selain ini, dia pun sangat kejam. Senjata rahasianya adalah golok-golok kecil yang dinamakan huito (pisau terbang).

Bahkan rambutnya juga merupakan senjata yang istimewa. Rambut yang telah bercampur uban itu, yang biasanya digelung ke atas, dapat dia gunakan sebagai senjata pecut yang berbahaya bagi lawan. Dan seperti dua orang saudaranya, dia pun seorang ahli sihir.

Tetapi lawannya sekali ini adalah Tang Hay atau Hay Hay yang dikenal sebagai Pendekar Mata Keranjang. Pada waktu itu Hay Hay sudah memiliki tingkat kepandaian yang sangat hebat dan tinggi. Bukan hanya ilmu silatnya, akan tetapi juga dia memiliki ilmu sihir yang jauh lebih kuat dibandingkan tiga orang Pek-lian Sam-kwi digabung menjadi satu!

Kini menghadapi Siok Hwa Cu seorang diri, tentu saja Hay Hay dapat mempermainkan sesuka hatinya. Andai kata dia dikeroyok tiga sekali pun, belum tentu dia kalah. Apa lagi satu lawan satu.

Ketika dia melihat keadaan pertempuran menguntungkan pihak Cin-ling-pai, Hay Hay pun tidak cepat-cepat merobohkan lawannya, bahkan mempermainkannya. Apa lagi ketika dia melihat bahwa kawanan Pek-lian-kauw sudah kocar-kacir dan banyak anak buah Cin-ling-pai yang tidak lagi kebagian lawan sehingga hanya menjadi penonton, maka dia semakin mempermainkan lawannya.

“Heii, kodok buduk, kepandaianmu hanya segini saja, dan engkau sudah berani mencoba-coba mengacau Cin-ling-pai? Engkau benar-benar tidak tahu diri. Hayo keluarkan semua kepandaianmu!” berulang kali Hay Hay mengejek sambil mengelak ke kanan kiri. Ketika golok menyambar lewat, kakinya menendang ke arah perut yang gendut itu.

“Blukkk!” Dan Siok Hwa Cu terhuyung ke belakang.

Hay Hay sengaja memegang kaki kanannya yang menendang tadi dan berjingkrak seperti orang kesakitan. “Aduh, perutmu memang keras dan bau! Ihhh!”

Semua murid Cin-ling-pai tertawa-tawa melihat kelucuan ini. Wajah Siok Hwa Cu menjadi merah kehitaman dan matanya yang besar itu semakin melotot menakutkan. Dia maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai dan mempunyai kekuatan sihir yang hebat. Maka kini dia menggigit golok besarnya dan kedua tangannya sudah bergerak cepat. Sinar-sinar kilat meluncur ke arah Hay Hay ketika belasan pisau terbang meluncur dan terbang ke arah tubuhnya, dari leher sampai kaki!

Apa bila dia mau mengelak saja, tentu belasan batang hui-to (pisau terbang) itu tidak ada yang akan mengenai sasaran. Namun dia khawatir kalau pisau-pisau itu akan mengambil korban orang-orang yang berada di belakangnya. Maka Hay Hay cepat mengambil topi capingnya yang lebar dan tergantung di punggung. Dengan caping besar itu dia membuat gerakan seperti sebuah perisai dan semua pisau terbang itu menancap pada capingnya!

“Wah, terima kasih atas sumbangan pisau-pisau ini, kodok buduk! Semua pisau ini dapat kutukarkan sebuah caping yang lebih baik dan lebih baru.”

Kembali semua orang tertawa memuji kelihaian Hay Hay, tapi si gendut pendek semakin marah. Seluruh pisau terbangnya sudah dia pergunakan untuk menyerang dan jarang ada orang yang sanggup menghindarkan diri dari serangan ketiga belas pisau terbangnya itu. Namun kini semua pisau terbangnya hilang dan dilumpuhkan hanya oleh sebuah caping!

Dengan kemarahan meluap dia menggerakkan kepala, dan dengan beberapa goyangan maka rambutnya yang digelung itu terlepas dan terurai. Sekarang dia kembali menyerang dengan golok besarnya dan rambutnya turut menyerang ketika dia menggerak-gerakkan kepalanya. Serangan rambut itu tak kalah bahayanya dengan serangan golok besar pada tangannya. Agaknya Siok Hwa Cu hendak mengamuk habis-habisan untuk memenangkan pertandingan ini.

Terkejut dan kagum juga Hay Hay ketika tiba-tiba nampak segumpal rambut menyambar dengan dahsyatnya ke arah lehernya pada saat dia mengelak dari sambaran golok besar. Rambut yang penuh uban, kaku dan berbau apek! Hay Hay tahu bahwa senjata istimewa itu tak boleh dipandang ringan karena rambut itu agaknya menjadi senjata andalan lawan, dan rambut yang kini menyerangnya itu tiada ubahnya kawat-kawat baja yang berbahaya sekali.

Hay Hay melangkah mundur, namun gumpalan rambut itu mengejar terus secara bertubi-tubi. Pada waktu Hay Hay berusaha menangkap gulungan rambut itu sambil menangkis, rambut itu berubah lemas dan seperti ular saja telah membelit dan mengikat pergelangan tangannya. Pada saat itu golok besar menyambar ke arah lengannya yang sudah terbelit rambut.

“Hemmm...!” Hay Hay menotok ke arah siku lengan yang memegang golok, lalu menarik tangannya yang terlibat. Hampir saja lengannya buntung! Tahulah dia bahwa rambut itu berbahaya sekali.

“Ihhh, kodok tua. Rambutmu apek menjijikkan!” katanya, dan melihat ada banyak senjata berserakan di atas tanah, dia lalu menyambar sebatang pedang.

Golok menyambar lagi dan sengaja dia menyambut dengan pedang sebagai pancingan. Benar saja, begitu pedang bertemu golok, rambut itu telah menyambar kembali. Hay Hay cepat memantulkan pedang yang bertemu golok, lantas memutar pergelangan tangannya yang memegang pedang sambil mencengkeram gumpalan rambut dengan tangan kiri.

“Brettt...!” Sebelum Siok Hwa Cu menyadari kesalahannya, rambutnya yang panjang telah terbabat pedang dan buntung! Hay Hay mengangkat tinggi-tinggi gulungan rambut itu.

“Heiii, siapa mau membeli ekor babi?” Dia menawarkan gumpalan rambut itu kepada para murid Cin-ling-pai yang menjadi penonton. Semua orang menyambut dengan gelak tawa karena mereka merasa senang melihat pengacau yang dibenci itu kini menjadi permainan pemuda yang lihai itu.

Siok Hwa Cu hampir meledak saking marahnya setelah rambutnya dibuntungi lawan. Dia menggerakkan golok besarnya membabat ke arah pinggang Hay Hay dengan kemarahan meluap-luap.

“Haiiii, sayang luput!” kata Hay Hay yang dengan lincahnya sudah melompat ke atas.

Siok Hwa Cu mengejar dan dengan golok besarnya membacok ke atas, akan tetapi Hay Hay menarik kedua kaki ke atas dengan menekuk lutut, kemudian saat golok menyambar lewat di bawah kakinya, dia menurunkan kedua kaki di atas golok laksana seekor burung hinggap di atas ranting saja! Semua orang menahan napas saking kagum sekaligus juga khawatir. Pemuda itu sungguh berani mempermainkan lawannya yang begitu berbahaya.

Melihat pemuda yang menjadi lawannya itu berdiri di atas goloknya, Siok Hwa Cu hampir tidak percaya. Betapa beraninya lawan ini, dan betapa tinggi tingkat ilmunya meringankan tubuh. Dia menggunakan tangan kirinya hendak mencengkeram ke arah kaki, akan tetapi sekarang Hay Hay melompat ke atas kepala si pendek gendut itu! Semua orang merasa semakin kagum dan bertepuk tangan. Mereka seolah-olah melihat pertunjukan akrobatik, bukan pertandingan silat lagi.

Sepasang mata Siok Hwa Cu terbelalak. Jika tidak merasa malu tentu dia sudah menjerit-jerit karena kepalanya terasa nyeri bukan main, bagai ditindih batu yang beratnya ratusan kati! Ketika dia menggerakkan golok besarnya untuk membacok ke arah dua kaki yang berada di atas kepalanya, tiba-tiba ujung sepatu Hay Hay menotok pundaknya dan tahu-tahu lengan kanannya terasa lumpuh.

Hay Hay meloncat turun, lantas berjungkir balik dan begitu tangannya menampar ke arah pergelangan tangan yang memegang golok, maka golok itu pun terlepas dan jatuh ke atas tanah. Kembali semua orang bersorak dan tertawa.

Hay Hay tersenyum dan menengok sekeliling. Dia melihat betapa Kui Hong sudah berdiri menganggur dan menonton di situ sambil tersenyum. Juga para tokoh Cin-ling-pai sedang berdiri menjadi penonton. Kiranya pertempuran itu telah selesai dan agaknya orang-orang Cin-ling-pai telah berhasil merobohkan semua musuh masing-masing. Tinggal dia seorang yang menjadi tontonan!

Memang Hay Hay memiliki watak gembira, jenaka dan nakal. Kalau dia mempermainkan lawannya, Sama sekali bukan karena kesombongan atau untuk mencari pujian melainkan karena dia hendak menghukum orang yang dia tahu amat jahat seperti iblis ini, dan untuk memberi kegembiraan kepada orang-orang Cin-ling-pai yang telah dirugikan besar sekali oleh para tokoh Pek-lian-kauw ini.

Dia sama sekali tidak tahu betapa di antara para penonton, terdapat beberapa penonton yang memandangnya dengan alis berkerut. Mereka adalah Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin. Dalam pandangan mereka, pemuda yang tersenyum-senyum mempermainkan tosu Pek-lian-kauw itu sedang menjual lagak. Tetapi karena jelas bahwa pemuda itu membantu Cin-ling-pai melawan musuh, tentu saja mereka merasa tidak enak untuk menghalanginya, hanya diam-diam mereka bertanya-tanya siapa kiranya pemuda bercaping yang lihai namun sombong itu.

Kui Hong hanya tersenyum saja melihat kenakalan Hay Hay. Dia sudah mengenal watak pemuda itu, dan tahu benar bahwa perbuatan Hay Hay itu bukan untuk menyombongkan diri atau memamerkan kepandaian, melainkan untuk mempermainkan serta menghukum tosu Pek-lian-kauw itu agar hatinya puas dan agar orang-orang Cin-ling-pai yang sakit hati juga mendapat kepuasan. Maka dia pun diam saja dan hanya menonton.

Seluruh anak buah Pek-lian-kauw telah dapat dibasmi, dan satu-satunya orang yang lolos hanya Tok-ciang Bi Moli. Kim Hwa Cu, tosu termuda dari Pek-lian Sam-kwi telah tewas di ibunya. Demikian pula Lan Hwa Cu, tosu tertua yang sudah tewas di tangan ayahnya. Kini di antara tiga orang tokoh sesat Pek-lian-kauw itu tinggal seorang lagi, yaitu Siok Hwa Cu yang masih bertanding dengan Hay Hay. Seluruh anggota Cin-ling-pai yang sudah selesai bertempur kini juga menonton perkelahian yang lucu dan menarik itu. Mereka yang terluka bahkan seperti mendapat hiburan segar.

Siok Hwa Cu maklum bahwa nyawanya sedang terancam bahaya dan bahwa dia sudah dipermainkan pemuda itu. Senjata rahasianya telah habis, rambutnya juga sudah buntung dan sekarang golok besarnya terlepas dari tangan pula. Dia hanya dapat mengandalkan sinkang-nya saja.

Dalam keadaan putus asa dan marah Siok Hwa Cu menjadi nekat. Dia merendahkan diri, berjongkok di depan Hay Hay. Melihat ini, Hay Hay berseru sambil memencet hidungnya dengan jari-jari tangan kanannya.

“Hai, kodok buduk, kalau engkau hendak buang air besar jangan di sini! Kotor dan bau menjijikkan!”

Mendengar itu tentu saja para anggota Cin-ling-pai tertawa mengejek dan muka Siok Hwa yang memang sudah hitam itu menjadi semakin hitam karena marahnya. Apa lagi melihat banyak anak buah Cin-ling-pai ikut-ikutan menutup hidung seperti apa yang dilakukan oleh pemuda lawannya yang lihai itu.

“Jahanam sombong, engkau atau aku yang mati!” bentaknya.

Dia lalu mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya, perutnya yang gendut itu membengkak dan mengeluarkan suara berkokok, kemudian tubuhnya seperti menggelundung maju dan kedua tangannya didorongkan lurus ke depan, ke arah Hay Hay.

“Kok-kok-kokk!” Tosu gendut itu mengeluarkan bunyi dari perutnya melalui kerongkongan.

Hay Hay yang ingin mempermainkan lawan, juga meniru gerakan Siok Hwa Cu. Dia juga berjongkok dengan pantat ditonjolkan kebelakang, bahkan agak digoyang-goyang, kedua tangan didorongkan ke depan dan dia pun mengeluarkan suara seperti lawannya.

“Kok-kok-kokk!”

Diam-diam Siok Hwa Cu terkejut sekali karena menyangka bahwa lawannya juga mampu memainkan ilmu pukulan katak seperti dia. Akan tetapi pemandangan itu terasa amat lucu bagi mereka yang nonton, seolah mereka melihat dua ekor katak raksasa sedang berlaga.

“Dukkk!”

Dua pasang telapak tangan saling beradu dengan kekuatan dahsyat, dan akibatnya tubuh Siok Hwa Cu terguling-guling ke belakang, sedangkan Hay Hay meloncat berdiri. Tentu saja dia tidak pernah belajar ilmu katak seperti lawannya. Tadi dia hanya main-main saja. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sinkang untuk melawan serangan orang itu. Dan karena tenaga sinkang-nya memang jauh lebih kuat, tentu saja tubuh Siok Hwa Cu yang terpental dan terguling-guling.

Apa bila Hay Hay menghendaki, di dalam adu sinkang ini saja dia akan dapat membunuh lawannya. Akan tetapi dia belum merasa puas, masih hendak mempermainkan lawannya sampai lawan ini mengaku kalah atau menyerah.

“Hei, katak buduk. Berlututlah dan minta ampun seratus kali kepada Cin-ling-pai, baru aku akan menyerahkan kamu kepada pimpinan Cin-ling-pai!”

Akan tetapi Siok Hwa Cu sudah nekat. Dia maklum bahwa kalau dia diserahkan kepada pimpinan Cin-ling-pai, maka dia pasti akan dibunuh juga mengingat bahwa kesalahannya terhadap Cin-ling-pai sangat besar. Dari pada mati dihukum oleh para pimpinan Cin-ling-pai, lebih baik mati dalam perkelahian melawan pemuda lihai ini.

“Sampai mati pun aku tak sudi minta ampun!” bentaknya, lalu kembali dia berjongkok dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kini dia hendak mengeluarkan ilmunya yang paling akhir dan paling diandalkan, yaitu mengerahkan seluruh sinkang-nya dan menyalurkannya ke arah kepalanya!

“Heii, mau berak lagi?” Hay Hay mengejek sehingga banyak orang tertawa.

Kini tubuh pendek gendut itu lari menyeruduk ke depan, kepala lebih dulu seperti seekor kerbau yang mengamuk. Hay Hay melihat serangan itu dan dia pun mengerti. Lawannya hendak menggunakan kepala untuk menyerangnya! Dia pun berdiri tegak dan menyambut terjangan lawan itu dengan perutnya!

“Cappp…!” Kepala itu menusuk ke perut Hay Hay dan

Semua orang terbalalak khawatir akan keselamatan pemuda yang berani itu. Meski pun tubuhnya gendut, akan tetapi kepala Siok Hwa Cu termasuk kecil dan kepala itu disedot masuk ke rongga perut Hay Hay. Hay Hay menotok kedua pundak tosu itu hingga kedua tangannya lumpuh dan hanya tinggal kakinya saja yang terlihat bergerak-gerak. Siok Hwa Cu merasa betapa kepalanya seperti masuk ke dalam lumpur yang panas mendidih!

“Pergilah!” Hay Hay mengerahkan sinkang-nya dan menolak kepala itu dengan kekuatan perutnya.

Tubuh Siok Hwa Cu terlempar ke belakang lalu terbanting keras ke atas tanah. Tosu Pek-lian-kauw ini merasa betapa kepalanya nyeri bukan main, hampir meledak rasanya dan tahulah dia bahwa kalau dia lanjutkan perlawanannya, dia hanya akan menjadi permainan yang memalukan saja. Dia mengerahkan sisa tenaganya pada tangan kanannya sehingga tangan kanan itu dapat bergerak kembali dan tiba-tiba dia mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya dengan sisa tenaga terakhir.

“Krekkk!” Jari-jari tangannya masuk ke dalam kepalanya dan dia pun tewas seketika.

Banyak anak buah Cin-ling-pai bersorak memuji, dan Kui Hong menghampiri kekasihnya sambil tersenyum girang. “Hay-ko, mari kuperkenalkan kau kepada keluargaku!” Hay Hay juga tersenyum dan mengangguk.

Mereka lalu menghampiri Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin yang berdiri menanti mereka. Hay Hay sudah banyak mendengar akan kebesaran nama keluarga Cia dari Cin-ling-pai ini, maka begitu berhadapan dia pun cepat mengangkat kedua tangan ke dada dan memberi hormat dengan sikap sopan dan wajah berseri.

“Saya telah banyak mendengar akan nama besar keluarga Cia dari Cin-ling-pai. Sungguh beruntung sekali dan merupakan kehormatan besar hari ini saya bisa berhadapan dengan cu-wi (anda sekalian),” katanya.

“Kongkong, Ayah dan Ibu, dia adalah sahabatku bernama Hay Hay. Hay-ko, perkenalkan ini kongkong Cia Kong Liang, ayah Cia Hui Song dan ibu Ceng Sui Cin. Dan ini adikku Cia Kui Bu.”

Kembali Hay Hay memberi hormat kepada tiga orang tua itu, yang dibalas mereka dengan sikap sederhana. Kesan buruk dari cara Hay Hay mempermainkan lawannya tadi masih membuat mereka enggan untuk beramah tamah dengan pemuda itu. Akan tetapi pandang mata mereka cukup tajam untuk dapat melihat sikap Kui Hong yang amat mesra terhadap pemuda itu. Karena itu mereka pun menahan diri dan tidak mengeluarkan kata-kata yang menyinggung.

Cia Hui Song hanya membalas penghormatan Hay Hay dan berkata tenang, “Orang muda, engkau sungguh lihai dan terima kasih atas bantuanmu kepada kami.”

“Ah, harap Paman tidak bersikap sungkan. Saya adalah sahabat baik adik Cia Kui Hong, dan meski pun andai kata orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak mengacau di sini, di mana pun bertemu dengan saya tentu akan saya tentang karena mereka ini selalu melakukan kejahatan-kejahatan.”

“Ayah, Ibu, aku telah mengundang Hay-koko untuk bertamu di tempat kita untuk beberapa hari lamanya.”

Suami isteri itu saling pandang dan Ceng Sui Cin yang menjawab. “Baiklah, antarkan dia pulang dulu. Kami masih ingin mengatur anak buah untuk membersihkan tempat ini.”

“Benar, Kui Hong. Kau pulanglah dulu bersama sahabatmu ini,” kata pula Hui Song.

Melihat sikap ayah ibunya, juga kakeknya yang nampaknya tidak suka kepada Hay Hay, tentu saja Kui Hong merasa tidak enak hati. Akan tetapi Hay Hay tetap gembira saja dan dua orang muda ini lantas mendahului keluarga Cia pulang ke rumah keluarga Cia yang berada di bagian belakang. Markas Cin-ling-pai itu memang amat luas, dan yang menjadi tempat perkelahian tadi adalah bagian paling depan.

Para wakil dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tadi sudah menjadi saksi dan mereka pun maklum akan apa yang terjadi. Mereka tahu bahwa ternyata Cin-ling-pai sudah dimasuki orang-orang Pek-lian-kauw yang setelah menawan keluarga Cia kemudian menggunakan nama Cin-ling-pai untuk mengadu domba antara Cin-ling-pai dan partai-partai persilatan besar.

Mereka tahu bahwa Cin-ling-pai tak bersalah, maka ketika terjadi keributan tadi tentu saja kemarahan mereka ditujukan kepada orang-orang Pek-lian-kauw sehingga mereka turut pula membasmi anak buah Pek-lian-kauw. Juga mereka ikut pula melihat sepak terjang Hay Hay dan melihat pertemuan antara Hay Hay dan keluarga Cia.

Karena merasa urusan itu bukanlah urusan mereka, maka mereka pun tidak mencampuri berbicara dan diam saja. Padahal di antara mereka banyak yang mengenal Hay Hay. Dua orang hwesio dari Siauw-lim-pai, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, pernah mendengar mengenai pemuda itu. Bahkan Tiong Gi Cinjin, tokoh Bu-tong-pai itu, dahulu pernah bentrok dengan Hay Hay yang mereka kira jai-hoa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu! Biar pun akhirnya mereka tahu bahwa pemuda itu bukan Ang-hong-cu, namun diam-diam mereka merasa heran bagaimana putera penjahat besar itu dapat menjadi sahabat akrab dengan Cia Kui Hong yang menjadi pangcu atau ketua Cin-ling-pai!

Cia Kong Liang, Cia Hui Song, dan Ceng Sui Cin memerintahkan anak buah mereka agar menyingkirkan mayat-mayat musuh, juga mengurus pula mayat kawan-kawan sendiri dan merawat yang luka. Kemudian mereka mengundang para tamu dari empat partai besar untuk minum bersama agar peristiwa tidak enak yang hampir saja membuat Cin-ling-pai bentrok dengan mereka itu dapat dihapuskan.

Karena merasa bahwa mereka pun telah salah sangka dan memusuhi Cin-ling-pai yang sesungguhnya tak bersalah, rombongan empat partai besar itu merasa sungkan. Mereka menolak dengan halus bahkan minta diri untuk pulang ke tempat mereka masing-masing. Keluarga Cia tidak dapat menahan mereka, hanya mohon maaf dan berterima kasih atas pengertian mereka.

Kemudian rombongan Bu-tong-pai yang merupakan rombongan terakhir berpamit. Dalam kesempatan itu, Tiong Gi Cinjin berkata kepada Hui Song.

“Kami mengucapkan selamat kepada Cia-taihaip, bukan saja karena terbebas dari tangan orang-orang Pek-lian-kauw dan Cin-ling-pai telah berhasil membersihkan namanya, akan tetapi terutama sekali karena Cia-taihiap mempunyai seorang puteri yang begitu perkasa seperti Cia-pangcu (ketua Cia). Kalau tidak atas kebijaksanaan puteri taihiap, dan dibantu oleh Pendekar Mata Keranjang, tentu kami semua juga masih salah duga."

“Pendekar Mata Keranjang? Siapakah yang Totiang maksudkan?” Ceng Sui Cin bertanya sambil memandang dengan alis berkerut.

Tiong Gi Cinjin memandang pada nyonya yang gagah perkasa itu. “Apakah Lhiap belum mengetahuinya? Pemuda tadi…”

“Ahhh, kau maksudkan pemuda sahabat Kui Hong yang bernama Hay Hay tadi? Apakah Totiang mengenal dia?” tanya Sui Cin.

“Tentu saja kami mengenal dia, semua orang mengenal dia. Bahkan kami rombongan Bu-tong-pai pernah mengejar-ngejarnya dan menyerangnya karena kami menyangka bahwa orang yang sudah memperkosa seorang murid Bu-tong-pai adalah dia yang tadinya kami kira Ang-hong-cu.”

“Ang-hong-cu?” Cia Hui Song bertanya dengan kaget. “Kenapa menyangka dia Ang-hong-cu?”

“Maklumlah,” Tiong Gi Cinjin berkata sambil menarik napas panjang. “Dia selalu merayu wanita dan dia dikenal sebagai seorang yang mata keranjang sehingga dijuluki Pendekar Mata Keranjang.”

“Dan ternyata bahwa bukan dia jai-hwa-cat yang terkenal jahat itu?” tanya Sui Cin.

“Bukan dia, melainkan ayah kandungnya.”

“Ahhh…?!” Suami isteri tokoh Cin-ling-pai itu terkejut bukan kepalang mendengar ucapan itu. “Dia …. dia adalah putera Ang-hong-cu?”

Tiong Gi Cinjin mengangguk lantas menghela napas panjang. Bukan maksudnya hendak memburukkan nama orang, namun bagaimana pun juga dia menganggap Hay Hay bukan pemuda yang baik dan pantas menjadi sahabat seorang gadis sehebat Cia Kui Hong. Apa lagi kalau diingat bahwa pemuda itu telah membikin malu orang-orang Bu-tong-pai karena tidak sanggup mengalahkannya dengan keroyokan.

“Ang-hong-cu bernama Tang Bun An, dan dia merupakan salah seorang di antara banyak anak-anaknya yang lahir dari para wanita yang diperkosa jai-hoa-cat itu. Namanya Tang Hay dan tadinya dia dikira sebagai Ang-hong-cu. Dia baru dapat membersihkan namanya setelah berhasil menangkap mendiang Ang-hong-cu.”

“Hemm, Ang-hong-cu sudah mati? Anaknya itu pula yang membunuh?”

“Mereka berkelahi dengan seru sekali, ayah dan anak itu. Ang-hong-cu kalah kemudian membunuh diri. Sudahlah, Taihiap dan Lihiap, saya tak enak membicarakan dia, apa lagi karena bagaimana pun dia dianggap sebagai seorang pendekar yang sudah berjasa. Dia pernah membantu pemerintah membasmi gerombolan pemberontak bersama dengan Cia-pangcu puteri Taihiap. Selamat tinggal.” Tiong Gi Cinjin segera mengajak rombongannya meninggalkan tempat itu.

Sampai beberapa lamanya suami isteri itu termenung. Bahkan Cia Kong Liang menjadi semakin tidak suka terhadap pemuda itu.

“Pantas saja dia menjual lagak seperti itu!” gerutunya. “Kiranya dia adalah seorang mata keranjang, putera penjahat besar Ang-hong-cu!”

“Dan dia yang menangkap ayah kandungnya sendiri dan menyebabkan ayahnya sendiri mati,” kata Hui Song. “Tidak baik anak kita bergaul dengan orang seperti itu.”

“Sudahlah, kita tidak perlu pusing-pusing. Nanti Kui Hong tentu dapat memberi penjelasan mengapa pemuda itu ikut datang ke sini bersamanya. Kurasa Kui Hong bukanlah seorang gadis bodoh yang mudah dirayu oleh seorang mata keranjang,” kata Sui Cin.

Setelah selesai mengatur para anggota Cin-ling-pai, mereka pun kembali ke dalam rumah mereka untuk menemui puteri mereka yang telah masuk lebih dahulu dengan Hay Hay.

********************