Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MESKIPUN ilmu kepandaian Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa tidak lebih tinggi dari kepandaian Siok Hwa Cu atau dua orang gurunya yang lain, tetapi kecerdikannya jauh lebih menang. Wanita ini maklum betapa dahsyatnya serangan Ceng Sui Cin, maka dia tidak sebodoh gurunya ke dua tadi.

Dia tidak berani menghadapi serangan itu secara langsung, akan tetapi cepat melompat jauh ke belakang dan begitu tangan kirinya bergerak, nampak sinar lembut menyambar ke arah penyerangnya. Namun jarum-jarum itu runtuh tertiup hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan Sui Cin.

"Jahanam! Kubunuh kalian semua kalau tidak segera membebaskan semua keluargaku!" Sui Cin membentak dan biar pun dia masih tetap nampak cantik, namun kini empat orang lawannya menjadi gentar juga. Pendekar wanita itu bagai seekor naga betina yang tengah marah.

"Tahan dulu!" Su Bi Hwa membentak nyaring.

“Perempuan rendah, mau bicara apa lagi kau?" Cui Sin memandang marah. “Bebaskan mereka atau kubunuh kalian! Tidak ada urusan lain!"

"Lihiap, harap tenang dahulu. Kami bukan bermaksud buruk, juga tidak ingin bermusuhan denganmu. Sekali lagi, kami hendak mengundangmu secara baik-baik sebagai tamu kami dan kami berjanji tidak akan mengganggu keluargamu. Akan tetapi kalau engkau hendak menggunakan kekerasan, terpaksa kami akan lebih dulu membunuh Kakek Cia, suamimu dan puteramu!"

"Bedebah! Engkau hendak mengancam dan memerasku?"

"Bukan mengancam kosong atau memeras, namun memberikan pilihan bagimu. Engkau menyerah dengan baik-baik dan keluargamu akan selamat, atau engkau memusuhi kami dan keluargamu akan kami bunuh lebih dahulu."

Akan tetapi sekali ini mereka berhadapan dengan Ceng Sui Cin, puteri dan anak tunggal dari Pendekar Sadis! Wanita ini tidak mungkin dapat diancam dan digertak!

"Siluman betina dan kalian tosu-tosu palsu, bukalah telinga kalian dan dengar baik-baik. Nyawa keluargaku berada di tangan Tuhan, bukan di tangan-tangan kotor kalian. Aku lebih senang melihat mereka tewas sebagai orang-orang gagah dari pada hidup dan menyerah kepada kalian iblis-iblis busuk! Nah, sekarang segera bebaskan mereka, baru kami akan mempertimbangkan apakah kami akan dapat mengampuni kalian atau tidak!"

Bukan main kerasnya ucapan ini! Maka tahulah Bi Hwa bahwa dia dan tiga orang gurunya tidak mungkin dapat membujuk wanita ini, tidak mungkin menundukkannya dengan sikap halus atau dengan ancaman. Wanita seperti ini hanya dapat ditundukkan dengan jalan kekerasan!

Akan tetapi, biar pun mereka mengeroyoknya berempat dan pasti akan dapat merobohkan wanita itu, namun mereka masih terancam bahaya bahwa mungkin saja seorang di antara mereka akan tewas atau terluka parah menghadapi amukan pendekar wanita yang nekat ini!

"Kalau begitu sekarang juga kami akan membunuh puteramu dan suamimu!" seru Bi Hwa yang merasa jengkel.

"Iblis betina, engkaulah yang akan kubunuh lebih dahulu!" Sui Cin membentak kemudian menyerang dengan dahsyat.

Bi Hwa sudah mengelak cepat, tetapi gerakannya kalah cepat dan hawa pukulan dahsyat dari Hok-liong Sin-ciang membuat dia terhuyung. Tiga orang gurunya segera menyerang Sui Cin dengan senjata mereka. Terutama sekali Siok Hwa Cu yang tadi sudah terpukul dan terluka dalam, kini dengan marah menyerang dengan golok besarnya yang berat. Kim Hwa Cu menyerang dengan siang-kiam (sepasang pedang). Lan Hwa Cu menggunakan sehelai sabuk yang kedua ujungnya berupa bola dan bintang baja. Sedangkan Su Bi Hwa juga sudah mencabut sebatang pedang.

Meski dia sendiri bertangan kosong dan dikeroyok empat orang yang memegang senjata tajam, sedangkan tingkat empat orang lawannya itu tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaiannya, Sui Cin sama sekali tak menjadi gentar. Wanita ini memang terlatih, dan selain dia telah mewarisi ilmu-ilmu pilihan, juga semangatnya besar bukan main, pantang mundur, apa lagi sekarang dia berusaha untuk menyelamatkan ayah suaminya, puteranya dan suaminya, tentu saja dia mengamuk mati-matian.

Untuk menghindarkan diri dari sambaran empat senjata lawannya, dia telah mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dipelajarinya dari ibunya, seorang ahli ginkang yang sukar dicari tandingannya, juga dia memainkan gerakan kaki yang berdasarkan ilmu Bu-eng Hui-teng (Ilmu Terbang Tanpa Bayangan) yang dipelajarinya dari mendiang Wu Yi Lojin, seorang di antara Delapan Dewa.

Maka tubuhnya lalu berkelebatan sehingga kadang-kadang lenyap dari pandangan mata empat orang pengeroyoknya! Walau pun dia sendiri tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas, namun Sui Cin membuat empat orang pengeroyok itu amat terkejut dan merasa gentar sekali.

Tiba-tiba Bi Hwa yang biar pun menjadi murid tetapi selalu merupakan pimpinan mereka, berseru, “Pergi...!”

Ini merupakan isyarat untuk tiga orang gurunya. Mereka berloncatan pergi dan pada saat Ceng Sui Cin hendak mengejar, Lan Hwa Cu melemparkan sebuah benda ke atas tanah. Terdengar bunyi ledakan disusul asap hitam yang membuat tempat itu menjadi gelap.

Sui Cin kaget sekali. Karena khawatir kalau asap itu beracun, terpaksa dia melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri dari pengaruh asap. Akan tetapi ternyata asap itu tidak beracun, dan ketika dia mencari-cari, empat orang itu sudah lenyap, tak nampak lagi bayangan mereka.

Sui Cin membanting-banting kakinya dengan marah sekali. Ia menyumpah-nyumpah dan memaki mereka sambil mencari ke sana-sini. Dia memasuki hutan yang gelap itu, namun dia menjadi bingung karena tidak tahu ke mana arah yang ditempuh empat orang tadi.

Dia menyusup-nyusup di dalam kegelapan malam di hutan lebat itu, di mana sinar bulan sama sekali tidak dapat memberi penerangan, meraba-raba dan tidak tahu arah ke mana dia bergerak. Akhirnya Sui Cin terpaksa berhenti di bawah sebatang pohon besar.

Hanya kecerdikannya saja yang mencegah dia melanjutkan pencariannya. Di dalam hutan yang gelap itu sungguh berbahaya melakukan pencarian kepada empat orang yang lihai dan curang itu. Dia akan mudah terjebak, mudah diserang dari kegelapan. Walau pun dia mengenal benar tempat ini karena ketika masih muda sering bermain-main di bukit-bukit sekitar Cin-ling-san, namun dalam kegelapan malam ini dia tak akan mampu membela diri dengan baik kalau diserang dari kegelapan.

Dia pun duduk bersila, mengatur pernapasan kemudian mengumpulkan hawa murni. Dia harus mengumpulkan tenaganya dan besok pagi dia harus sudah segar kembali sebab dia membutuhkan kekuatan untuk mencari keluarganya sampai dapat, untuk melawan pihak musuh yang kuat.

Akan tetapi belum sampai dua jam dia bersemedhi dan waktu kurang lebih baru jam tiga pagi, ketika keadaan masih gelap karena sinar matahari masih belum nampak, mendadak dia dikejutkan oleh suara orang.

"Supek-bo (uwa guru)...!"

Sui Cin membuka mata, lantas menoleh ke arah datangnya suara. Dia melihat sinar obor dipegang oleh seseorang yang menuju ke tempat itu. Dia tidak mengenal suara itu, maka dia cepat meloncat dan menyusup di balik semak-semak untuk mendekati pembawa obor. Setelah dekat barulah dia melihat bahwa pemegang obor itu bukan lain adalah Ciok Gun!

Ciok Gun terhitung pembantu sekaligus murid Gouw Kian Sun, maka menyebut suaminya supek (uwa guru) dan menyebut dia supek-bo. Dengan sekali menggerakkan kaki dia pun meloncat dan tiba di hadapan Ciok Gun yang nampak kaget karena munculnya Ceng Sui Cin begitu tiba-tiba.

"Supek-bo..."

"Ciok Gun, dari mana saja engkau? Dan di mana..."

"Ssttt…, supek-bo, jangan berbicara terlampau keras. Teecu (murid) tahu di mana mereka menawan sukong (kakek guru), supek, dan sute (adik seperguruan)," dia berbisik.

"Bagus...!" Sui Cin berseru girang akan tetapi dengan berbisik. "Di mana mereka? Apakah mereka semua selamat?"

"Mereka selamat. Mari, supek-bo, kita harus cepat membebaskan mereka."

Tentu saja Sui Cin tidak mau banyak cakap lagi dan dengan hati tegang namun gembira, dia mengikuti Ciok Gun yang menyusup-nyusup melalui hutan itu dan mendaki ke puncak bukit. Akan tetapi sebelum sampai ke puncak, Ciok Gun berhenti di tengah hutan. Tidak jauh dari sana, di depan mereka, nampak sebuah bangunan besar tersembunyi di antara pohon-pohon. Ada beberapa buah lampu tergantung di sudut bangunan.

Sui Cin merasa heran sekali. Seingatnya, di bukit ini tidak terdapat rumah orang, apa lagi sebuah bangunan yang cukup besar itu! Akan tetapi dia tidak banyak bertanya karena dia melihat Ciok Gun malah memadamkan obornya kemudian murid keponakan suaminya ini memberi isyarat dengan telunjuk di depan bibir supaya dia tidak berbicara. Dengan isyarat tangan, Ciok Gun mengajak supek-bo itu itu menghampiri bangunan dari samping dan dia membisikkan ucapan lirih sekali.

"Supek-bo, teecu tahu di mana mereka ditawan. Harap supek-bo mengikuti teecu saja."

Sui Cin mengangguk. Tentu saja sedikit pun dia tidak mencurigai murid Cin-ling-pai yang sudah dipercayai oleh ayah mertuanya sehingga diangkat menjadi pembantu dari Gouw Kian Sun ini. Dia hanya waspada terhadap ancaman yang mungkin datang dari luar, dan dengan berindap-indap dia mengikuti murid keponakan itu yang meloncati pagar halaman rumah gedung itu, kemudian mereka menuju ke belakang bangunan.

Sebuah pintu kecil terbuat dari kayu bukan merupakan halangan berat bagi Ciok Gun. Dia menggunakan tenaganya mendorong dan daun pintu itu pun terbuka. Mereka masuk dan Ciok Gun memberi isyarat kepada supek-bo-nya agar mengikutinya.

Kini sinar subuh sudah mulai mengusir kegelapan malam. Akan tetapi lampu penerangan di bagian belakang rumah itu masih bernyala terang. Agaknya penghuni rumah itu masih tidur, itu pun kalau ada penghuninya. Namun Sui Cin tetap waspada sehingga andai kata saat itu dia diserang senjata rahasia sekali pun, tentu dia akan dapat menghindarkan diri.

Karena hatinya terasa tegang bercampur girang akan bertemu kembali dengan suaminya, puteranya dan ayah mertuanya dalam keadaan selamat, kepercayaaan Sui Cin terhadap Ciok Gun menjadi agak berlebihan. Dalam keadaan tegang dan gembira itu dia kehilangan kewaspadaan.

Dalam keadaan biasa, wanita yang biasanya amat cerdik ini tentu merasa curiga melihat betapa Ciok Gun dapat memasuki bangunan itu dengan begitu leluasa, bahkan sekarang membawanya melalui lorong yang panjang dan berliku-liku. Penawan keluarganya adalah orang-orang pandai, jadi bagaimana mungkin seorang dengan tingkat kepandaian seperti Ciok Gun bisa menemukan keluarganya yang ditawan oleh para penjahat lihai itu? Tetapi pada saat itu dia sama sekali tidak menaruh curiga terhadap Ciok Gun.

Ciok Gun berhenti di depan sebuah pintu beruji besi yang terbuka. Ruangan itu kosong, ukurannya kurang lebih delapan kali sepuluh meter dan terdapat sebuah lampu gantung di tengah-tengah. Di seberang sana terdapat sebuah pintu jeruji besi yang juga terbuka.

"Supek-bo, di belakang kamar inilah ruangan tahanan. Kita harus menyeberang ke sana. Supek-bo dulu karena teecu takut..."

Masih juga Sui Cin belum curiga. Dia mengangguk, lantas dengan hati-hati dia melangkah masuk lewat pintu yang terbuka itu. Dia bersiap siaga menghadapi jebakan, kalau-kalau lantai itu mendadak terbuka atau ada senjata rahasia menyerang dari kanan kiri, atau atas bawah. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu sehingga dia pun melangkah terus dan Ciok Gun pun melangkah di belakangnya. Ketika mereka tiba di tengah ruangan itu, tiba-tiba Ciok Gun menunjuk ke atas.

Sui Cin melihat ke atas, akan tetapi tidak terjadi sesuatu di sana. Terdengar suara keras beradunya besi dengan besi dan kedua pintu besi di depan dan belakangnya itu kini telah tertutup! Mereka terjebak, terkurung di dalam kamar itu.

"Ciok Gun, mari kita jebol pintu itu!" teriaknya kepada Ciok Gun.

Akan tetapi tiba-tiba nampak sebuah benda yang dilempar dari luar dan sebuah pula dari belakang. Terdengar dua kali ledakan lalu kamar itu pun penuh asap putih!

"Awas, Ciok Gun. Tahan napas, jebol pintu...!" teriak Sui Cin, akan tetapi terlambat.

Dia melihat Ciok Gun terhuyung-huyung lalu terbatuk-batuk dan roboh. Dia sendiri cepat mengerahkan tenaga dan menubruk pintu belakang untuk membobol pintu yang tertutup, akan tetapi terpaksa dia menarik diri lagi karena ada senjata-senjata golok dan pedang yang menyambutnya melalui jeruji besi!

Dia membalik dan hendak menjebol pintu depan, akan tetapi kembali dia terpaksa mundur karena dari pintu itu pun nampak senjata ditodongkan dan siap menyambutnya. Dia cepat membuka jubah luarnya, memutar-mutar jubah itu untuk mengusir asap keluar dari kamar melalui jeruji besi. Akan tetapi kembali ada ledakan-ledakan dan asap semakin menebal.

Bagaimana pun gigihnya Sui Cin mempertahankan diri, tentu saja tidak mungkin dia dapat menahan napas terlalu lama. Akhirnya terpaksa dia terengah sehingga asap terhisap dan dia terbatuk-batuk, kepalanya pening, pandang matanya gelap dan pendekar wanita yang gigih ini pun akhirnya roboh pingsan di dekat Ciok Gun.

********************

Setelah siuman dari pingsannya, Sui Cin mendapatkan dirinya telah rebah di atas sebuah pembaringan, di dalam sebuah kamar yang berpintu baja tebal dengan jeruji baja sangat kuat. Dia merasa lega bahwa tubuhnya tidak terluka dan dia pun tidak dibelenggu. Ketika dia bangkit duduk, dia mendengar suara lirih.

“Sui Cin...!”

Ia menoleh dan cepat meloncat ke dekat jendela beruji baja itu. Kiranya suaminya berada di sana, di dalam ruangan lain yang hanya terpisah beberapa meter dari jendela itu. Juga suaminya berdiri di balik jendela beruji baja.

"Mana ayah dan Kui Bu?" Sui Cin bertanya. Keadaan suaminya tidak perlu dia tanya lagi. Suaminya jelas selamat dan sehat, hanya tertawan seperti dirinya.

"Mereka di kamar sebelah, di dalam sebuah kamar. Kami dapat saling melihat dan bicara. Mereka selamat," kata Hui Song. "Bagaimana mereka dapat menawanmu?"

"Aku terjebak di dalam sebuah ruangan dan pingsan karena asap pembius. Aku bersama Ciok Gun yang juga roboh pingsan."

"Hemm, kiranya mereka mempergunakan dia pula. Ciok Gun itu kaki tangan mereka."

"Ehhh?! Apa maksudmu?" Tentu saja Sui Cin merasa heran dan terkejut pula mendengar ini.

"Mereka menawan Ciok Gun terlebih dulu dan membuat dia menjadi seperti mayat hidup yang mentaati semua perintah mereka. Ingatannya sudah mereka kuasai melalui sihir dan racun."

"Ahhh...! Tetapi siapa mereka dan mengapa mereka menawan kita?"

"Iblis betina itu adalah Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu adalah guru-gurunya."

"Hemm, melihat alat peledak itu sudah kuduga kalau mereka orang-orang Pek-lian-kauw. Tapi mereka mau apa...?”

"Mereka tidak mengaku, akan tetapi aku dapat menduga bahwa mereka agaknya hendak menguasai Cin-ling-pai dan akan menggunakan nama Cin-ling-pai untuk maksud-maksud buruk."

"Hemmm, sungguh berbahaya sekali kalau begitu! Akan tetapi bagaimana mereka dapat menawanmu? Apakah juga dengan jebakan dan asap pembius?" Sui Cin merasa sangat penasaran. Suaminya adalah seorang pendekar sakti, bagaimana sekarang dapat begitu mudahnya tertawan?

Hui Song menarik napas panjang. Dia tahu bahwa isterinya tentu tidak setuju, akan tetapi dia pun tidak dapat berbohong. "Mereka itu hendak membunuh ayah dan Kui Bu di depan mataku, maka terpaksa aku menyerah."

"Hemm...!" Sui Cin menahan hatinya yang hendak menegur.

Diam-diam dia tidak bisa terlalu menyalahkan suaminya. Suaminya adalah seorang anak yang berbakti, juga seorang ayah yang sangat mencinta puteranya. Bagaimana mungkin dia tega membiarkan ayahnya dan puteranya dibunuh?

"Mereka berjanji tidak akan mengganggu ayah dan Kui Bu. Jika mereka berani melanggar maka aku pasti akan mengamuk dan mengadu nyawa dengan mereka!"

"Kita berdua akan mengadu nyawa dengan mereka!" Sui Cin berkata penuh semangat.

"Hi-hi-hik, benar-benar mengagumkan sekali. Sepasang pendekar sakti Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin sungguh gagah perkasa!" Terdengar suara ketawa.

Baik Hui Song mau pun Sui Cin dapat melihat wanita yang berada di luar kamar tahanan itu melalui jeruji baja pintu kamar mereka. Jika Hui Song hanya memandang dengan sikap tenang dan sinar mata dingin, sebaliknya Sui Cin memandang dengan sinar mata seperti berapi-api.

"Perempuan hina yang tidak tahu malu. Kalian menggunakan cara yang amat curang dan pengecut! Kalau memang kalian orang-orang Pek-lian-kauw mempunyai kegagahan, mari kita bertanding sampai seribu jurus!"

Su Bi Hwa menghadapi makian itu dengan senyum simpul. "Nyonya yang gagah, simpan saja kemarahanmu. Tidak baik untuk kesehatanmu dan kesehatan keluargamu."

"Huh! Jangan harap engkau dapat menggertakku. Jika engkau sampai melanggar janjimu kepada suamiku, maka aku pasti akan merobek-robek kulitmu, mencabuti semua uratmu dan mematahkan semua tulangmu!"

Meski pun mulutnya masih tersenyum, namun wajah Bi Hwa berubah agak pucat dan dia merasa ngeri mendengar ancaman wanita itu. Dia teringat bahwa wanita ini adalah puteri tunggal Pendekar Sadis, dan kenyataan ini saja sudah membuat bulu tengkuknya berdiri, apa lagi mendengar ancaman yang luar biasa sadisnya tadi.

Dia telah mendengar tentang Pendekar Sadis di waktu mudanya. Berdiri bulu tengkuknya kalau mendengarkan cerita para tokoh kang-ouw yang tua tentang kekejaman Pendekar Sadis ketika menyiksa dan membunuh musuh-musuhnya. Dan orang yang mengeluarkan ancaman sekarang ini adalah puteri Pendekar Sadis, anak tunggalnya!

Tentu saja dia tidak tahu bahwa sejak kecil, ayah ibunya melarang Sui Cin untuk bersikap kejam, bahkan tidak boleh membunuh apa bila tidak sangat terpaksa. Sui Cin sama sekali tidak memiliki watak kejam seperti ayahnya dahulu, tidak pula aneh seperti ibunya dahulu. Akan tetapi, begitu melihat seluruh keluarganya terancam bahaya, Sui Cin dapat berubah menjadi seorang yang amat ganas dan mungkin saja dapat melakukan kekejaman seperti yang diancamkannya tadi.

"Engkau tenanglah, Lihiap," kata Bi Hwa sambil tetap tersenyum untuk menyembunyikan perasaan ngerinya. "Kami tidak berniat buruk terhadap keluargamu. Kalau kami memang bermaksud buruk, tentu mereka tidak kami tawan melainkan kami bunuh. Engkau boleh bertanya kepada mereka. Kami tidak pernah bersikap kasar dan kami selalu menghormati mereka. Kalian menjadi tamu kami hanya untuk sementara waktu saja. Kalau urusan kami telah selesai, tentu kami akan membebaskan kalian disertai maaf kami yang sebesarnya." Setelah berkata demikian, Bi Hwa cepat menghilang tanpa memberi kesempatan kepada Sui Cin untuk memaki lagi.

"Sui Cin, tenanglah. Mereka adalah orang-orang yang jahat, keji dan curang. Kita harus berhati-hati, terutama untuk keselamatan ayah dan Kui Bu."

"Hemmm, kita tidak boleh terlalu mengalah dalam menghadapi anjing-anjing busuk seperti orang-orang Pek-lian-kauw. Jika mereka memang tidak mengganggu keluarga kita, maka boleh kita pertimbangkan untuk melepaskan mereka. Akan tetapi jika sedikit saja mereka mengganggu keluarga kita, aku bersumpah akan membuat perhitungan hingga tuntas dan akan mengejar mereka sampai ke neraka sekali pun!"

Hui Song maklum bahwa isterinya marah bukan main karena terdorong kekhawatirannya terhadap keselamatan keluarga, karena itu dia hanya mengangguk-angguk. Memang ada baiknya isterinya memperlilihatkan sikap keras supaya orang-orang Pek-lian-kauw itu tak berani bertindak sembarangan terhadap keluarga mereka.

Akan tetapi diam-diam Hui Song sangat mengkhawatirkan keadaan Cin-ling-pai yang kini ditinggalkan para pimpinan. Yang berada di sana tinggal Gouw Kian Sun! Dan dia tambah khawatir bila puterinya, Cia Kui Hong pulang, tentu akan terjadi geger! Puterinya itu malah lebih galak dan lebih berani dibandingkan ibunya!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

"Aduh, sungguh berbahaya sekali...!" Berkali-kali gadis itu berseru khawatir.

Tetapi pemuda yang mengemudikan perahu itu bersikap tenang saja, bahkan tersenyum-senyum menyaksikan kekhawatiran gadis itu. Mereka hanya berdua saja di dalam sebuah perahu kecil.

"Jangan takut, manis. Aku sudah biasa di tempat ini. Orang lain yang tidak pernah tinggal di sini pasti akan mengalami bahaya apa bila mengemudikan perahu di antara batu-batu karang tajam meruncing ini, terlebih lagi bila ombaknya sedang pasang sehingga banyak batu yang tidak nampak di permukaan air.” Pemuda itu dengan mahir dan cekatan sekali menggerakkan dayungnya sehingga moncong perahu terhindar dari tubrukan dengan batu karang hitam yang menonjol di permukaan air.

Memang daerah itu amat berbahaya. Di permukaan air laut itu banyak terdapat batu-batu karang bagaikan barisan yang dipasang rapi, seakan sengaja hendak menghalang perahu yang berani mendekat ke pulau itu. Dan pulau itu pun amat sulit didekati. Sebagian besar merupakan tebing yang tinggi sehingga perahu tidak mungkin dapat mendekat dan para penumpangnya mendarat.

Satu-satunya bagian yang landai hanyalah yang penuh batu karang itu! Namun bagian ini berbahaya sekali. Karena hanya bagian ini yang landai, maka ombak dengan bebasnya menyerbu ke darat lantas menghantam batu-batu karang. Kadang-kadang di antara batu-batu karang itu nampak pula seperti batu karang kecil meruncing yang meluncur ke sana sini. Ada belasan buah banyaknya! Yang itu bukan batu karang, melainkan sirip ikan-ikan hiu yang amat ganas dan haus darah. Maka, kalau sampai ada perahu membentur karang hingga pecah dan penumpangnya terjatuh ke dalam air, dapatlah dibayangkan apa yang akan terjadi.

Gadis yang berada di perahu itu tidak nampak seperti seorang gadis pemalu dan bodoh, sebaliknya dia kelihatan pemberani dan cerdik. Usianya sekitar dua puluh tahun dan dia mempunyai kecantikan yang khas Tibet. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir menjadi dua. Sepasang matanya sipit, hidungnya agak besar namun mulutnya amat kecil mungil. Wajah itu nampak manis sekali. Kulit tubuhnya putih kemerahan dan yang lebih menarik lagi adalah bentuk tubuhnya. Tinggi ramping dengan pinggul besar bulat dan dada yang montok menonjol.

Memang dia peranakan Tibet. Ibunya adalah seorang wanita Tibet yang cantik bernama Souli, sedangkan ayahnya adalah seorang lelaki bangsa Han, seorang tokoh besar dunia hitam yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Ayahnya yang sekarang sudah tidak ada lagi itu berjuluk Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) dan bernama Tang Bun An.

Gadis ini bernama Mayang dan dia bukan seorang gadis sembarangan. Dia adalah murid terkasih dari Kim Mo Sian-kouw, seorang datuk persilatan yang lihai pula dan bertempat tinggal di Puncak Awan Kelabu di pegunungan Ning-jing-san. Mayang memiliki ilmu-ilmu silat tinggi, di antaranya yang paling hebat adalah ilmu silat tangan kosong yang disebut Hek-coa Tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) dan ilmu memainkan senjata pecut yang sukar ditandingi!

Ada pun pemuda yang sekarang bersama dia naik perahu dan yang demikian pandainya mengemudikan perahu di antara batu-batu karang itu pun seorang pemuda yang sangat menarik perhatian. Usianya sekitar dua puluh empat tahun, tubuhnya sedang tetapi tegap, sikap dan bicaranya halus dan sopan.

Wajah pemuda ini kelihatan menarik, namun di dalam sinar matanya yang kadang dingin redup itu terkadung sesuatu yang mengerikan. Dia memiliki ilmu kepandaian yang bahkan lebih tinggi dari pada Mayang, karena pemuda ini adalah orang yang telah mewarisi atau mempelajari ilmu-ilmu yang dahsyat dari Pendekar Sadis, majikan pulau Teratai Merah.

Ia bernama Sim Ki Liong dan tumbuh dewasa di pulau itu, menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya. Akan tetapi dua tahun lebih yang lalu dia melarikan diri, minggat dari pulau Teratai Merah sambil membawa pusaka yaitu pedang Gin-hwa-kiam. Kemudian, di dalam petualangannya selama dua tahun lebih itu, berkali-kali dia berkumpul dengan tokoh-tokoh sesat sehingga dia melakukan berbagai kejahatan termasuk pemberontakan.

Dalam bentrokan dengan para pendekar akhirnya dia bertemu dengan Mayang, kemudian saling jatuh cinta dan agaknya perasaan cinta kasihnya terhadap Mayang gadis pendekar keturunan Ang-hong-cu ini, telah mengubah wataknya sehingga dia ingin kembali ke jalan kebenaran. Pedang pusaka Gim-hwa-kiam yang telah dirampas dari tangannya sehingga kembali ke tangan Cia Kui Hong, cucu Pendekar Sadis, oleh Kui Hong sudah diserahkan lagi kepadanya untuk dia bawa kembali ke pulau Teratai Merah!

Dia hendak menghadap suhu dan subo-nya, mengembalikan pusaka dan mohon ampun, ditemani oleh kekasihnya, Mayang. Melihat kesungguhan hati pemuda ini, juga karena bujukan Mayang, akhirnya Cia Kui Hong menyerahkan pusaka itu dan dua orang kekasih itu segera menuju ke Laut Selatan untuk berkunjung ke pulau Teratai Merah.

Demikianlah riwayat singkat kedua orang muda mudi yang sekarang sedang naik perahu hendak mendarat di pulau Teratai Merah. Ki Liong pernah tinggal bertahun-tahun di pulau ini, tentu saja dia masih hafal dengan keadaan di sana dan tahu benar bagaimana harus mengemudikan perahu untuk menghindarkan tabrakan dengan batu-batu karang.

"Di musim air laut surut seperti ini, ikan-ikan hiu itu kelaparan dan menjadi ganas, selalu berkeliaran di sekitar batu-batu karang ini. Di sini kita harus berhenti, lantas melanjutkan perjalanan ke darat dengan berlompatan dari batu ke batu. Mari...!"

Beberapa kali Mayang menggerakkan pundaknya karena dia merasa ngeri melihat betapa dekatnya sirip-sirip ikan hiu itu meluncur pada permukaan air dekat batu-batu karang yang diinjaknya. Sekali meleset dan terjatuh ke air, maka moncong-moncong ikan hiu itu tentu akan menyergapnya dan tubuhnya akan dicabik-cabik!

"Mayang, sekarang pergunakan cambukmu untuk melindungi kita selagi kita berjalan dari batu ke batu menuju daratan. Setiap kali ada hiu mendekat, pergunakan cambukmu untuk melecutnya. Jika sudah terlalu kelaparan, ada saja hiu yang berani menyerang kaki yang menginjak batu karang dengan lompatan," kata Ki Liong yang juga sudah berdiri di atas batu karang dan kedua tangannya memanggul perahu kecil yang tadi mereka pergunakan untuk menyeberang ke pulau itu.

Mayang mengangguk kemudian cambuk itu telah berada di tangan kanannya. Benar saja ucapan Ki Liong. Begitu mereka bergerak melangkah dari batu ke batu, sirip-sirip hiu itu berluncuran dari kanan kiri. Mayang segera menggerakkan cambuknya dan terdengarlah ledakan-ledakan kecil disusul meluncurnya ujung cambuk ke air, ke arah depan sirip-sirip itu.

Memang hebat sekali permainan cambuk gadis ini. Biar pun kekuatan cambuk itu sudah terhalang air, tapi tetap saja masih mampu menembus air dan mengenai kepala hiu. Ikan-ikan itu merasa kesakitan lantas melarikan diri, membuat air di sekitar situ menjadi keruh dan suaranya berdeburan. Mayang terus menggerakkan cambuknya sambil mengikuti Ki Liong yang memanggul perahu dan yang mengenal jalan. Akhirnya mereka melalui batu-batu karang yang lebih tinggi sehingga tidak dapat dicapai ikan hiu, dan sirip-sirip itu pun kembali ke tengah.

"Ihhh mengerikan sekali ikan-ikan itu!" kata Mayang setelah akhirnya mereka tiba di tanah daratan. Ki Liong tersenyum lalu menyimpan perahunya di bawah semak-semak.

"Sekarang kita berjalan ke tengah pulau untuk menghadap suhu dan subo. Ah, kita harus merapikan pakaian kita agar nampak pantas." kata Ki Liong yang membereskan pakaian dan rambutnya yang kini awut-awutan akibat tertiup angin lautan tadi. Mayang mencontoh kekasihnya, membereskan pakaian serta rambutnya.

"Aihh, hatiku menjadi tegang rasanya, Liong-ko," kata Mayang melihat betapa kekasihnya nampak begitu tegang dan gugup.

Ki Liong mencoba tersenyum untuk menutupi ketegangan hatinya. Hati siapa yang tidak akan tegang? Dia kembali ke pulau itu, kepada suhu dan subo-nya sesudah minggat dari situ dua tahun yang lampau sambil melarikan atau mencuri pusaka kedua orang gurunya, yaitu pedang Gin-hwa-kiam! Padahal dia tahu siapa gurunya.

Suhu-nya adalah Pendekar Sadis yang namanya saja sudah membuat semua tokoh sesat di dunia persilatan gemetar ketakutan. Sedangkan subo-nya adalah seorang wanita yang lebih galak lagi dan dulu pernah menjadi seorang datuk besar! Kalau saja tidak ditemani Mayang, agaknya sampai bagaimana pun dia tidak akan berani mendarat di pulau ini, apa lagi menghadap suhu dan subo-nya!

"Tentu saja aku juga sangat tegang, Mayang. Masih ingatkah engkau tentang suhu dan subo seperti yang kuceritakan kepadamu?"

Mayang mengangguk dan bergidik. "Mereka itu tentu sangat menyeramkan, aku agak... takut, Liong-ko."

"Jangan takut, Mayang. Engkau masih ingat pula apa yang harus kau lakukan di hadapan mereka?"

"Tentu saja aku ingat, koko. Aku akan membela dan melindungimu, kalau perlu dengan taruhan nyawaku."

"Mayang, engkau sungguh baik sekali. Aku makin cinta padamu, Mayang." kata Ki Liong lalu dia memegang tangan gadis itu, hendak menariknya mendekat. Akan tetapi Mayang menahan tangannya dan memberi isyarat ke tengah pulau.

"Liong-koko, kalau benar suhu dan subo-mu itu sehebat yang kau ceritakan, bukan tidak mungkin saat ini mereka sedang mengamati kita."

Mendengar peringatan ini, Ki Liong melepaskan pegangan tangannya seperti orang yang sedang memegang ular. Dia mengangguk, "Mari kita ke sana, Mayang."

Apa yang diucapkan Mayang tadi segera ternyata kebenarannya. Sekarang mereka tiba di pohon-pohon pertama yang merupakan hutan di pulau itu, dan di antara pohon-pohon itu nampak banyak sekali kolam ikan yang dipenuhi dengan teratai merah yang sedang berbunga.

"Aduh, alangkah indahnya...!" Seperti tadi ketika menyatakan kengeriannya terhadap batu karang dan ikan hiu, kini berulang kali Mayang berseru kagum akan keindahan tempat itu. Dia menghampiri tepi kolam dan menjulurkan tangannya untuk memetik setangkai bunga teratai merah.

"Jangan...!”Ki Long sudah menangkap pergelangan tangan kekasihnya.

Tentu saja Mayang terkejut sekali "Ehh? Kenapa, Liong-ko?"

“Engkau tahu bahwa nama pulau ini adalah pulau Teratai Merah. Karena adanya bunga-bunga itulah maka pulau ini dinamakan begitu. Keindahan bunga-bunga ini dijadikan nama pulau, dikeramatkan dan tak seorang pun boleh merusak keindahannya. Memetik sebuah bunganya saja dapat dianggap merusak keindahan. Jika engkau dihukum potong tangan, bagaimana aku akan dapat melindungi tanganmu?"

"Ihh!" Mayang bergidik dan memandang ke arah tangan kirinya yang tadi hampir memetik setangkai bunga teratai merah. "Betapa kejamnya peraturan itu.”

Ki Liong tersenyum. "Lupakah engkau akan julukan suhu?"

"Pendekar Sadis! Kalau begitu, dia benar-benar sadis dan kejam, sungguh jahat sekali!”

"Hushhh, jangan berkata begitu, Mayang. Suhu hanya bertindak keras terhadap penjahat dan kalau engkau memetik bunga, dapat saja dituduh mencuri." Ki Liong memberi isyarat kepada Mayang untuk mengikutinya melanjutkan perjalanan. "Kita sudah dekat. Di balik hutan kecil itulah tempat tinggal suhu! Ehgkau jangan berbuat sesuatu. Ikuti saja aku."

Akan tetapi baru saja mereka memasuki hutan itu, tiba-tiba terdengar bentakan.

"Berhenti!" dan tiga bayangan orang berkelebat dari kanan kiri.

Di depan mereka telah berdiri tiga orang laki-laki yang usianya antara empat puluh hingga lima puluh tahun, berwajah dingin dan mengenakan pakaian seperti petani. Salah seorang di antara mereka, yang tertua dan berjenggot panjang, segera menudingkan telunjuknya ke arah muka Ki Liong dan suaranya terdengar ketus.

"Kiranya engkau pengkhianat murtad! Berani engkau mengotori pulau ini?"

"Maaf, Paman bertiga apakah lupa kepadaku? Aku Ki Liong..."

"Engkau pengkhianat, murid murtad dan jahat! Hajar dia!"

Tiga orang itu telah menerjang dan menyerang Ki Liong dengan pukulan-pukulan mereka. Gerakan mereka amat gesit dan pukulan mereka mengandung tenaga yang kuat. Namun mereka itu hanyalah pelayan-pelayan setia dari majikan pulau Teratai Merah yang pernah menerima latihan beberapa macam ilmu silat saja dari majikan mereka. Maka tentu saja mereka kalah jauh dibandingkan Ki Liong, murid dari suami isteri majikan pulau itu.

Untung bagi mereka bahwa Ki Liong yang datang untuk minta ampun dari kedua gurunya, tidak berani mencelakai mereka. Pemuda ini hanya mengelak dan menangkis saja, akan tetapi setiap kali pukulan mereka tertangkis, tiga orang itu tentu terhuyung dan terdorong ke belakang. Mereka menyerang terus dengan hati penuh kebencian.

Dahulu mereka juga merasa sayang dan hormat kepada murid majikan mereka ini. Akan tetapi semenjak Ki Liong minggat dari pulau sambil melarikan pusaka, mereka turut marah dan membencinya, menganggap dia sebagai musuh majikan mereka.

Melihat betapa kekasihnya dikeroyok dan jelas bahwa pemuda itu sama sekali tidak mau membalas serangan para pengeroyok melainkan mengelak dan menangkis saja, Mayang menjadi marah. Dia tak berarti lancang turun tangan, akan tetapi karena mendongkol, dia pun tidak dapat menahan dirinya dan berserulah dia dengan suara nyaring.

"Bagus, bagus! Beginikah caranya Majikan Pulau Teratai Merah yang bernama besar itu menyambut tamu? Sungguh tidak sesuai dengan nama besar dan kehormatannya!"

"Mayang, jangan bicara sembarangan!" Ki Liong menegur sambil tetap menghindarkan diri dari pengeroyokan tiga orang itu dengan elakan dan tangkisan.

Mendadak ada angin besar yang menyambar lalu tiga orang pelayan pulau Teratai Merah itu terjengkang dan bergulingan di atas tanah, ada pun Ki Liong sendiri terhuyung-huyung akibat sambaran angin dahsyat itu. Dia pun langsung menjatuhkan diri berlutut karena dia tahu bahwa suhu dan subo-nya yang datang melerai perkelahlan tadi.

Mayang memandang penuh perhatian. Seperti pandai menghilang saja, entah dari mana datangnya tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang kakek dan seorang nenek yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun akan tetapi mereka masih nampak sehat dan bertubuh ramping tegak. Rambut mereka sudah putih semua, wajah sudah keriputan, namun masih jelas membayangkan ketampanan dan kecantikan pada waktu mereka masih muda. Yang amat mengagumkan adalah mata mereka. Mata mereka masih jeli dan tajam seperti mata orang muda saja.

Mereka itu bukan lain adalah majikan pulau Teratai Merah, yaitu si Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong yang dahulu pernah berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Ceng Thian Sin memandang kepada tiga orang pengeroyok tadi yang kini sudah bangkit dan segera berlutut menghadap mereka. Terdengar suaranya yang lembut namun mengandung wibawa.

"Siapa menyuruh kalian lancang tangan menyerang orang?"

Tiga orang itu menyembah-nyembah dengan sikap ketakutan sekali, kemudian si jenggot panjang berkata dengan suara gemetar, "Harap maafkan kami, Taihiap, akan tetapi dia... dia...!"

"Sudahlah, pergilah kalian melanjutkan pekerjaan kalian!"

Tiga orang itu memberi hormat, bangkit dan pergi dari tempat itu. Kini kakek dan nenek itu menatap kepada Ki Liong yang masih berlutut dan kepada Mayang. Gadis ini tetap berdiri dan balas menatap mereka dengan berani.

Diam-diam Toan Kim Hong merasa tertarik dan kagum sekali kepada gadis yang nampak asing itu, yang mempunyai kecantikan khas Tibet. "Nona, engkau tadi mengatakan bahwa kami menyambut tamu tidak sebagaimana mestinya. Tapi kami tidak pernah mengundang tamu ke pulau kami! Engkau bukan tamu kami, melainkan pelanggar wilayah dan tempat tinggal pribadi kami!"

"Subo...!" Ki Liong berkata dengan suara lemah.

"Diam kau! Aku tidak mempunyai seorang murid macam engkau!" Nenek itu menghardik. Mayang merasa sangat penasaran. Nenek ini terlalu galak, pikirnya. Akan tetapi dia pun tidak berani bersikap tidak sopan karena nenek itu adalah guru Ki Liong.

"Locianpwe, teguran locianpwe tadi sungguh tidak dapat kuterima begitu saja. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak melanggar wilayah yang bukan miliknya. Apakah ji-wi locianpwe (kedua orang tua gagah) selama hidup, sejak lahir sampai sekarang, berdiam terus di sini? Apa bila ji-wi keluar dari pulau ini, berarti ji-wi sudah melanggar wilayah yang bukan milik ji-wi, apa lagi kalau mendarat di seberang sana, menjelajah gunung-gunung, kota dan dusun, entah berapa banyak wilayah bukan milik ji-wi yang dilanggar! Pulau ini hanya merupakan sebagian kecil dari bumi, tentu sewaktu-waktu akan didatangi orang. Dan kami datang ke sini bukan bermaksud melanggar wilayah ji-wi, melainkan karena ada keperluan, maka sudah sepantasnya kalau disambut sebagai tamu!”

Kakek dan nenek itu saling pandang. Dari sinar mata mereka dapat terlihat bahwa secara diam-diam mereka merasa kagum dan tertawa. Kalau saja di situ tidak ada Ki Liong yang kemunculannya membuat mereka terkejut dan marah, tentu mereka telah tertawa gembira mendengar ucapan gadis peranakan Tibet yang lincah itu. Gadis itu mengingatkan mereka kepada cucu mereka, Cia Kui Hong.

"Hemm, bocahlancang mulut!" Nenek Toan Kim Hong menghardik. "Engkau bilang datang ke sini karena ada keperluan? Keperluan apa? Hayo katakan supaya kami pertimbangkan apakah pantas engkau kami layani ataukah tidak!”

"Aku pun tidak minta ji-wi layani karena keperluanku hanyalah menemani Liong-koko ini untuk menghadap ji-wi. Dialah yang mempunyai keperluan dengan ji-wi locianpwe, bukan aku."

Tentu saja kakek dan nenek ini segera memandang kepada Ki Liong yang semenjak tadi hanya terus menundukkan mukanya. Di dalam hatinya pemuda ini memaki Mayang sebab menganggap sikap gadis itu terlalu berani sehingga tentu akan membuat suhu dan subo-nya semakin marah kepadanya.

"Hemm, orang sesat dan murtad! Mau apa kau datang ke sini? Betapa beraninya engkau mengantarkan nyawa kepada kami!" kata Ceng Thian Sin dengan suara yang kereng.

“Suhu dan Subo, harap ampunkanlah teecu. Teecu memang telah melakukan dosa besar terhadap Suhu dan Subo. Teecu telah sadar dan menyesali kesalahan teecu, dan hari ini teecu datang menghadap Suhu dan Subo untuk mengembalikan Gin-hwa-kiam dan teecu siap menerima hukuman apa pun yang hendak ji-wi jatuhkan kepada diri teecu!” Sesudah berkata demikian Ki Liong lalu mengambil pedang Gim-hwa-kiam dengan sarungnya, dan dengan kedua tangan dia memegang pedang dan sarungnya itu di atas kepala dan dia pun menyerahkannya kepada kedua orang gurunya sambil berlutut.

Tiba-tiba nenek itu menggerakkan kepalanya dan sinar putih menyambar ke arah pedang itu. Mayang terbelalak kagum. Dia melihat betapa rambut nenek yang penuh dengan uban itu ternyata panjang sekali dan kini rambut itu telah menotok kedua pergelangan tangan Ki Liong sehingga kedua tangan itu menjadi lumpuh dan pedang yang dipegangnya terlepas. Namun pedang itu sudah digulung oleh ujung rambut yang kini membawa pedang itu ke arah si nenek yang menangkapnya dengan tangan kanan. Setelah memandangi sejenak, nenek itu lalu menyerahkan pedang kepada suaminya, kemudian dia menggelung kembali rambutnya yang terlepas dari sanggulnya.

Dengan tenang Ceng Thian Sin mencabut pedang itu. Nampak sinar perak berkilauan dan dia pun mengangguk-angguk, lalu menyimpan kembali pedang ke dalam sarung pedang.

"Manusia laknat! Apakah setelah mengembalikan pedang ini dosamu akan menjadi bersih begitu saja? Engkau tidak layak lagi untuk hidup di dunia ini, hanya akan mendatangkan kejahatan saja!" kata nenek Toam Kim Hong dan kini dia bergerak ke depan, melangkah mendekati Ki Liong dan siap untuk membunuh bekas murid itu dengan sekali pukul. Akan tetapi tiba-tiba Mayang meloncat ke depan Ki Liong, menghadang dan gadis ini kelihatan marah seperti seekor harimau betina melindungi anaknya yang akan diganggu.

"Ini sungguh tidak adil!" terlak Mayang penasaran.

Nenek itu mengerutkan alis, menatap tajam pada wajah gadis itu. “Apa kau bilang? Kami tidak adil? Anak lancang mulut, berani engkau mengatakan kami tidak adil? Bedebah ini telah kami didik selama bertahun-tahun, dan apa yang dia lakukan untuk membalas budi kami? Dia minggat dari pulau ini dengan membawa harta dan pusaka kami! Dan sekarang engkau berani mengatakan bahwa kami tidak adil? Apa engkau sudah bosan hidup?"

"Aku tahu, locianpwe. Aku tahu bahwa dahulu Liong-ko pernah menjadi murid ji-wi di sini kemudian melakukan penyelewengan, minggat dan melarikan pusaka. Kalau pada waktu itu ji-wi mengejar dan membunuhnya, hal itu memang sudah sepantasnya. Tapi sekarang persoalannya menjadi lain. Kini dia telah menyadari kesalahannya, merasa menyesal dan bertobat. Dia menghadap ji-wi untuk mengakui kesalahan sambil mengembalikan pedang pusaka, malah menyatakan siap untuk menerima hukuman. Ia datang dengan itikad baik, akan tetapi ji-wi bahkan hendak membunuhnya. Mana bisa ini dikatakan adil? Beginikah sikap tokoh-tokoh besar yang bijaksana? Ataukah hanya ulah orang yang berhati kejam sekali?”

"Mayang! Jangan kurang ajar engkau!" Ki Liong berseru, khawatir sekali karena kini dia merasa pasti bahwa suhu dan subo-nya akan membunuh mereka berdua tanpa ampun lagi.

Akan tetapi kembali kakek dan nenek itu saling bertukar pandang, dan anehnya, nenek itu melangkah mundur lagi lantas berdiri di samping suaminya seperti tadi, sikapnya hendak turun tangan membunuh Ki Liong sudah lenyap sama sekali.

"Hemmm, anak berani mati. Siapakah engkau dan mengapa pula engkau membela orang murtad ini mati-matian?" tanya Ceng Thian Sin dengan suaranya yang lembut.

Kini Mayang memberi hormat dengan membungkuk sambil merangkapkan kedua tangan ke depan dadanya. "Namaku Mayang. Liong-ko adalah sahabatku yang beberapa waktu yang lalu pernah menyelamatkan aku dari tangan orang jahat. Melihat dia sudah bertobat maka aku bersedia menemaninya menghadap ji-wi di sini dan mohon pengampunan. Aku percaya bahwa sebagai dua orang tokoh besar tentu ji-wi akan suka mengampuninya.”

"Ahh, kau kira kami yang telah dikhianatinya ini akan suka menerimanya kembali sebagai murid kami?" Ceng Thian Sin berkata sambil tersenyum dingin. “Dia terlalu jahat!”

"Kami harus menghukum keparat ini dan engkau tidak berhak mencampuri urusan kami, Mayang." kata pula Toan Kim Hong. "Siapa sih gurumu yang tidak mampu mengajarimu untuk bersikap sopan dan tidak mencampuri urusan orang lain."

"Guruku bernama Kim Mo Sian-kouw. Ia tinggal di Puncak Awan Kelabu di Ning-jing-san," jawab Mayang.

Kembali suami isteri itu bertukar pandang. Mereka sudah mengenal nama itu dan maklum bahwa guru gadis itu merupakan orang yang setingkat dengan mereka, berwatak aneh namun tidak pernah digolongkan sebagai tokoh sesat. Tidak mengherankan kalau tokoh itu mempunyai seorang murid wanita yang begini ugal-ugalan dan berani mati.

Akan tetapi Toan Kim Hong adalah seorang nenek yang keras hati dan tidak pernah mau mengalah, apa lagi terhadap Kim Mo Sian-kouw yang dianggap sebagai saingannya di dunia persilatan. "Tak peduli siapa gururnu, engkau tetap tidak boleh mencampuri urusan kami. Aku harus membunuh si laknat yang durhaka dan murtad ini!"

"Locianpwe, jangan...!” Mayang kembali menghadapi nenek itu dan melindungi Ki Liong.

"Bocah yang lancang! Berani engkau menghalangi aku bertindak terhadap bekas muridku sendiri dan di pulauku sendiri?" bentak Toan Kim Hong yang marah sekali karena merasa ditantang seorang bocah.

Biar pun Ceng Thian Sin tidak ingin membunuh bekas murid itu, akan tetapi dia juga tidak mencegah isterinya karena dia berangagapan bahwa kalau isterinya membunuh Ki Liong, maka hal itu tidak dapat disalahkan.

"Locianpwe, aku tidak berani menghalangi tindakan locianpwe. Hanya aku sudah berjanji akan membela Liong-ko dengan taruhan nyawa untuk membalas budinya. Juga aku hanya ingin memperingatkan locianpwe agar locianpwe bertindak adil seadil-adilnya, juga kalau locianpwe membunuh Liong-ko, hal itu berarti bahwa enci Cia Kui Hong adalah seorang penipu besar!"

Nenek itu sudah mengepal tangannya. Mendengar kalimat terakhir tentang Cia Kui Hong, kepalan tangannya terbuka lagi dan matanya terbelalak memandang kepada Mayang.

"Mayang, apa maksudmu? Apa hubungannya Kui Hong dengan urusan ini?” tanya nenek Toan Kim Hong.

“Enci Kui Hong telah memaafkan Liong-ko, bahkan menganjurkan agar Liong-ko pergi ke sini menghadap ji-wi. Kalau sekarang Liong-ko dibunuh di sini, bukankah itu berarti bahwa enci Kui Hong sengaja menipu Liong-ko agar dibunuh?"

Ceng Thian Sin mengerutkan alisnya. "Bagaimana kami dapat percaya bahwa kalian telah bertemu dengan Kui Hong? Jika dia benar-benar bertemu dengan cucuku, tentu Kui Hong telah merampas Gin-hwa-kiam ini dari tangannya dan bukan dia yang mengembalikannya ke sini."

Ki Liong mengangkat mukanya hendak menjawab, tetapi begitu bertemu pandang dengan suhu-nya, dia menunduk kembali dan tidak berani bicara. Sinar mata suhu-nya demikian tajam dan marah, membuat dia menjadi gentar.

Akan tetapi Mayang sama sekali tidak takut. "Terserah locianpwe mau percaya kepadaku ataukah tidak! Akan tetapi yang jelas pedang itu sudah lama sekali terampas dari tangan Liong-ko, dan yang merampasnya bukan enci Kui Hong. melainkan adalah kakakku yang membantu enci Hong dan kemudian mengembalikan pedang itu kepada enci Kui Hong.”

"Hemm, siapakah kakakmu itu?”

Mayang mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah besar itu. "Kakakku adalah seorang pendekar sakti bernama Tang Hay. Locianpwe hendak mengetahui siapa guru kakakku? Bukan subo-ku, akan tetapi gurunya banyak dan menurut cerita kakakku di antaranya adalah See Thian Lama, Ciu-sian Sin-kai Pek Mau San-jin, Song Lojin dan lain-lain. Kakakku sakti dan hebat sekali!"

Kembali kakek dan nenek itu saling pandang. Diam-diam mereka sangat terkejut karena nama-nama yang disebut gadis itu adalah nama orang-orang yang tinggi sekali tingkatnya di dalam dunia persilatan.

"Kalau Kui Hong sudah menerima kembali pedang ini, kenapa sekarang bukan dia yang membawanya pulang ke sini?” Ceng Thian Sin mengejar karena dia tidak dapat percaya begitu saja.

"Sudah kukatakan tadi bahwa enci Kui Hong telah memaafkan Liong-ko. Bahkan enci Kui Hong juga menyetujui bila Liong-ko kembali ke sini menghadap ji-wi, mengembalikan Gin-hwa-kiam dan mohon ampun. Karena itu dengan senang hati enci Kui Hong memberikan pedang pusaka itu kepada Liong-ko."

"Aku tidak percaya!" Nenak Toan Kim Hong membentak.

Mayang bersungut-sungut. "Percaya atau tidak terserah, akan tetapi memang begitulah kenyataannya. Apa bila ji-wi tetap hendak membunuh Liong-ko, bunuhlah aku juga, akan tetapi ji-wi akan menjadi orang-orang yang paling tidak adil di dunia ini dan enci Kui Hong menjadi pembohong terbesar di dunia! Nah, locianpwe boleh membunuh kami!" Gadis itu berdiri menghadang antara kakek dan nenek itu dengan Ki Liong, mengembangkan kedua lengannya seolah siap untuk menerima pukulan maut.

Ia berada dalam bahaya maut. Tidak pernah ada orang yang menantang nenek Toan Kim Hong dapat keluar dengan selamat! Muka nenek itu sudah menjadi merah dan sepasang matanya memancarkan sinar berapi.

Ceng Thian Sin melihat keadaan isterinya ini dan segera maklum bahwa sekali isterinya menggerakkan tangan, maka pemuda dan gadis itu tentu akan tewas seketika. Karena itu dia pun cepat mendahului melangkah maju sehingga isterinya menahan gerakannya.

"Ki Liong, benarkah semua yang dikatakan oleh gadis ini?" Baru sekarang kakek itu bicara langsung ditujukan kepada Ki Liong. Semenjak tadi kakek dan nenek itu tidak sudi bicara dengan dia, hanya bicara kepada Mayang.

Ki Liong yang masih berlutut itu cepat merangkap kedua tangan dan mengangguk dengan sikap merendah sekali. "Suhu yang mulia, semua yang diceritakan Mayang tadi memang benar, akan tetapi mohon Suhu dan Subo sudi memaafkan kelancangan Mayang. Dia tak bersalah dan biarlah teecu yang menanggung semua hukuman."

"Huhh, gadis yang kasar ini jauh lebih berharga dari pada kamu!” nenek Toan Kim Hong berseru. "Dia jujur dan terus terang, tidak seperti kamu yang licik dan curang!”

Meski pun dia masih marah sekali, namun kini nenek Toan Kim Hong merasa ragu untuk membunuh Ki Liong. Jika benar seperti dugaannya bahwa Mayang terlampau jujur untuk berbohong, maka Kui Hong memang sudah memaafkan Ki Liong. Padahal minggatnya Ki Liong dari pulau itu dan membawa pergi pusaka Gin-hwa-kiam, adalah karena gara-gara Kui Hong.

Ki Liong tergila-gila kepada Kui Hong dan berani menggodanya, bahkan berniat cabul. Kui Hong menolak. Karena dia ditegur sehingga merasa malu maka Ki Liong lantas melarikan diri. Kesalahannya yang terbesar adalah karena peristiwa Kui Hong. Kalau kini Kui Hong sendiri sudah dapat memaafkan Ki Liong, bagaimana mereka yang pernah menjadi guru pemuda itu berkeras hendak membunuhnya? Maka dia menyerahkan kepada suaminya yang dia tahu amat bijaksana dan dapat mengambil keputusan tepat.

"Ki Liong, kami belum bisa menerima keterangan itu begitu saja. Kami belum tahu apakah benar engkau telah bertobat, dan apakah benar Kui Hong telah memaafkanmu. Kami baru akan percaya dan mempertimbangkan apakah kami dapat mengampunimu kalau engkau dapat membawa bukti dari Kui Hong. Syukur bila Kui Hong dapat datang sendiri memberi keterangan kepada kami. Kalau tidak, sedikitnya harus ada surat tulisan dari cucu kami itu. Nah, kami sudah cukup lama bicara. Pergilah kalian berdua sebelum kami mengubah keputusan kami!”

Mayang hendak membantah, akan tetapi Ki Liong cepat-cepat memegang tangannya dan menarik gadis itu untuk berlutut. Mayang terpaksa berlutut pula di samping Ki Liong.

"Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kecintaan Suhu dan Subo yang telah mengampuni kami. Karena perintah Suhu sudah jelas, sekarang teecu mohon diri untuk melaksanakan perintah itu. Teecu hendak mencari nona Cia Kui Hong dan mendapatkan bukti darinya.”

Kakek dan nenek itu hanya membuat gerakan seperti mengibaskan tangan, namun tubuh kedua orang muda itu seperti disambar angin yang amat kuat, membuat mereka terguling-guling sampai jauh. Ketika mereka berdua akhirnya dapat bangkit, dua orang kakek dan nenek itu telah lenyap dari situ!

"Ahh, betapa kejamnya...!” Mayang berseru lirih, akan tetapi Ki Liong sudah menyambar lengan gadis itu dan ditariknya, diajak lari meninggalkan hutan itu menuruni bukit menuju ke pantai di mana dia menyimpan perahunya tadi.

"Ssttt, diamlah, Mayang dan jangan berbicara lagi. Masih untung kita dapat meninggalkan pulau ini dalam keadaan hidup dan sehat. Suhu dan subo telah mengampuniku, memberi kesempatan kepadaku. Kita patut bersyukur."

"Hemm, ke mana kita akan pergi sekarang?" tanya Mayang.

Ki Liong memanggul perahunya. "Persiapkan cambukmu untuk menghalau ikan-ikan hiu itu. Kita berlayar lagi menuju ke darat, kemudian kita mencari nona Cia Kui Hong.”

Mayang lalu mengikuti pemuda itu melangkah dari batu ke batu sambil bersungut-sungut. "Kita harus bersusah payah lagi mencari enci Kui Hong dulu! Padahal dari sini kita dapat langsung ke barat menemui ibuku dan subo-ku untuk membicarakan urusan kita."

"Kita lewati tempat berbahaya ini dulu, nanti kita bicara lagi tentang itu, Mayang."

Seperti ketika mendarat, mereka melewati bagian yang lebih dalam di mana ikan-ikan hiu hilir mudik, siap menyambar kaki mereka di antara batu-batu karang. Karena kini hatinya tengah mendongkol, Mayang pun mengamuk dengan cambuknya. Ia menyerang sepenuh tenaga sehingga sirip hiu yang terkena cambuknya menjadi patah dan lecet-lecet.

Karena ada ikan yang berdarah terkena cambuknya itu maka terjadilah perkelahian antara mereka sendiri. Hiu yang terluka menjadi sasaran serangan ikan-ikan ganas itu sehingga air laut di sekitar batu-batu itu pun menjadi merah! Mayang bergidik sendiri karena merasa ngeri ketika mereka sudah menurunkan perahu dan mulai mendayung perahu ke tengah.

Setelah Ki Liong memasang layar kecil dan perahu meluncur cepat, barulah mereka dapat duduk santai dan bercakap-cakap. “Mayang, hatiku belum merasa tenteram sebelum kita menemukan nona Kui Hong dan mendapat bukti darinya. Bagaimana hatiku bisa tenteram sebelum aku diterima kembali oleh suhu dan subo, setidaknya aku tidak akan dimusuhi? Mengenai urusan kita dengan ibumu dan subo-mu, perlu apa kau khawatirkan? Bukankah kita memang telah menjadi calon jodoh masing-masing? Kita berdua saling mencinta dan itu sudah lebih dari cukup, Mayang. Kita dapat segera menjadi suami isteri kalau engkau menghendaki. Kita dapat minta seorang pendeta di kuil untuk menikahkan kita.”

Mayang cemberut. “Tidak! Sampai mati pun aku takkan sudi menikah sebelum mendapat restu dari ibu dan subo! Aku adalah puteri ibu, dan aku adalah murid subo. Sebagai anak dan murid aku harus berbakti kepada ibu dan subo. Tanpa restu mereka, bagaimana aku dapat menjadi isteri orang? Ayahku yang sudah tewas itu boleh saja menjadi jai-hwa-cat (penjahat cabul), akan tetapi aku tidak sudi menjadi seorang wanita yang melanggar tata susila! Kita harus menikah dengan restu ibu dan subo-ku, baru aku suka menjadi isterimu, Liong-ko.”

“Akan tetapi kita saling mencinta, Mayang! Tidak ada halangan apa pun lagi yang...”

“Liong-ko! Kita ini manusia, bukan binatang. Kita mengenal hukum, peraturan, kebiasaan umum, tata susila. Dan perjodohan belum kuat benar kalau hanya didasari cinta semata! Kita pun belum tahu apakah cinta itu, apakah abadi atau tidak. Harus disertai pula dengan ikatan hukum dan peraturan, terutama tidak meninggalkan kebaktian terhadap orang tua kita. Engkau sendiri bagaimana, Liong-ko? Engkau belum pernah menceritakan mengenai orang tuamu.”

"Ayah ibuku telah tiada, Mayang."

"Ahh, kasihan engkau, Liong-ko. Baiklah, kita mencari enci Kui Hong lebih dulu. Sesudah itu baru kita pergi ke Ning-jing-san.”

Mereka melanjutkan pelayaran dan gadis itu melihat betapa kini terjadi perubahan dalam sikap Ki Liong. Pemuda itu tampak banyak melamun dan seperti orang yang berduka. Dia hanya menduga bahwa tentu pemuda itu teringat akan orang tuanya, dan juga menyesali semua kesesatannya yang lalu. Maka dia pun mendiamkannya saja.

********************

“Ciok Gun...!” Gouw Kian Sun berseru dengan mata terbelalak. Ketika itu hatinya diliputi oleh kekagetan, keheranan dan juga kekhawatiran, walau pun ada juga perasaan girang melihat munculnya murid kepercayaan itu.

Ciok Gun bukan saja merupakan murid Cin-ling-pai di bawah pimpinannya sendiri, namun juga telah dia tarik sebagai pembantu utamanya dalam mengurus Cin-ling-pai selama dia mewakili ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Kui Hong yang sedang pergi merantau.

Tentu saja dia terkejut sekali karena murid inilah yang pertama kali menghilang bersama dua orang murid Cin-ling-pai lainnya pada saat pergi berburu. Dan sebelum mereka dapat ditemukan, kakek Cia Kong Liang dan cucunya yang masih kecil, yaitu Cia Kui Bu, telah menghilang pula. Bahkan peristiwa aneh itu disusul dengan lenyapnya Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin ketika suami isteri itu berturut-turut pergi mencari putera dan ayah mereka.

Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 03

MESKIPUN ilmu kepandaian Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa tidak lebih tinggi dari kepandaian Siok Hwa Cu atau dua orang gurunya yang lain, tetapi kecerdikannya jauh lebih menang. Wanita ini maklum betapa dahsyatnya serangan Ceng Sui Cin, maka dia tidak sebodoh gurunya ke dua tadi.

Dia tidak berani menghadapi serangan itu secara langsung, akan tetapi cepat melompat jauh ke belakang dan begitu tangan kirinya bergerak, nampak sinar lembut menyambar ke arah penyerangnya. Namun jarum-jarum itu runtuh tertiup hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan Sui Cin.

"Jahanam! Kubunuh kalian semua kalau tidak segera membebaskan semua keluargaku!" Sui Cin membentak dan biar pun dia masih tetap nampak cantik, namun kini empat orang lawannya menjadi gentar juga. Pendekar wanita itu bagai seekor naga betina yang tengah marah.

"Tahan dulu!" Su Bi Hwa membentak nyaring.

“Perempuan rendah, mau bicara apa lagi kau?" Cui Sin memandang marah. “Bebaskan mereka atau kubunuh kalian! Tidak ada urusan lain!"

"Lihiap, harap tenang dahulu. Kami bukan bermaksud buruk, juga tidak ingin bermusuhan denganmu. Sekali lagi, kami hendak mengundangmu secara baik-baik sebagai tamu kami dan kami berjanji tidak akan mengganggu keluargamu. Akan tetapi kalau engkau hendak menggunakan kekerasan, terpaksa kami akan lebih dulu membunuh Kakek Cia, suamimu dan puteramu!"

"Bedebah! Engkau hendak mengancam dan memerasku?"

"Bukan mengancam kosong atau memeras, namun memberikan pilihan bagimu. Engkau menyerah dengan baik-baik dan keluargamu akan selamat, atau engkau memusuhi kami dan keluargamu akan kami bunuh lebih dahulu."

Akan tetapi sekali ini mereka berhadapan dengan Ceng Sui Cin, puteri dan anak tunggal dari Pendekar Sadis! Wanita ini tidak mungkin dapat diancam dan digertak!

"Siluman betina dan kalian tosu-tosu palsu, bukalah telinga kalian dan dengar baik-baik. Nyawa keluargaku berada di tangan Tuhan, bukan di tangan-tangan kotor kalian. Aku lebih senang melihat mereka tewas sebagai orang-orang gagah dari pada hidup dan menyerah kepada kalian iblis-iblis busuk! Nah, sekarang segera bebaskan mereka, baru kami akan mempertimbangkan apakah kami akan dapat mengampuni kalian atau tidak!"

Bukan main kerasnya ucapan ini! Maka tahulah Bi Hwa bahwa dia dan tiga orang gurunya tidak mungkin dapat membujuk wanita ini, tidak mungkin menundukkannya dengan sikap halus atau dengan ancaman. Wanita seperti ini hanya dapat ditundukkan dengan jalan kekerasan!

Akan tetapi, biar pun mereka mengeroyoknya berempat dan pasti akan dapat merobohkan wanita itu, namun mereka masih terancam bahaya bahwa mungkin saja seorang di antara mereka akan tewas atau terluka parah menghadapi amukan pendekar wanita yang nekat ini!

"Kalau begitu sekarang juga kami akan membunuh puteramu dan suamimu!" seru Bi Hwa yang merasa jengkel.

"Iblis betina, engkaulah yang akan kubunuh lebih dahulu!" Sui Cin membentak kemudian menyerang dengan dahsyat.

Bi Hwa sudah mengelak cepat, tetapi gerakannya kalah cepat dan hawa pukulan dahsyat dari Hok-liong Sin-ciang membuat dia terhuyung. Tiga orang gurunya segera menyerang Sui Cin dengan senjata mereka. Terutama sekali Siok Hwa Cu yang tadi sudah terpukul dan terluka dalam, kini dengan marah menyerang dengan golok besarnya yang berat. Kim Hwa Cu menyerang dengan siang-kiam (sepasang pedang). Lan Hwa Cu menggunakan sehelai sabuk yang kedua ujungnya berupa bola dan bintang baja. Sedangkan Su Bi Hwa juga sudah mencabut sebatang pedang.

Meski dia sendiri bertangan kosong dan dikeroyok empat orang yang memegang senjata tajam, sedangkan tingkat empat orang lawannya itu tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaiannya, Sui Cin sama sekali tak menjadi gentar. Wanita ini memang terlatih, dan selain dia telah mewarisi ilmu-ilmu pilihan, juga semangatnya besar bukan main, pantang mundur, apa lagi sekarang dia berusaha untuk menyelamatkan ayah suaminya, puteranya dan suaminya, tentu saja dia mengamuk mati-matian.

Untuk menghindarkan diri dari sambaran empat senjata lawannya, dia telah mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dipelajarinya dari ibunya, seorang ahli ginkang yang sukar dicari tandingannya, juga dia memainkan gerakan kaki yang berdasarkan ilmu Bu-eng Hui-teng (Ilmu Terbang Tanpa Bayangan) yang dipelajarinya dari mendiang Wu Yi Lojin, seorang di antara Delapan Dewa.

Maka tubuhnya lalu berkelebatan sehingga kadang-kadang lenyap dari pandangan mata empat orang pengeroyoknya! Walau pun dia sendiri tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas, namun Sui Cin membuat empat orang pengeroyok itu amat terkejut dan merasa gentar sekali.

Tiba-tiba Bi Hwa yang biar pun menjadi murid tetapi selalu merupakan pimpinan mereka, berseru, “Pergi...!”

Ini merupakan isyarat untuk tiga orang gurunya. Mereka berloncatan pergi dan pada saat Ceng Sui Cin hendak mengejar, Lan Hwa Cu melemparkan sebuah benda ke atas tanah. Terdengar bunyi ledakan disusul asap hitam yang membuat tempat itu menjadi gelap.

Sui Cin kaget sekali. Karena khawatir kalau asap itu beracun, terpaksa dia melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri dari pengaruh asap. Akan tetapi ternyata asap itu tidak beracun, dan ketika dia mencari-cari, empat orang itu sudah lenyap, tak nampak lagi bayangan mereka.

Sui Cin membanting-banting kakinya dengan marah sekali. Ia menyumpah-nyumpah dan memaki mereka sambil mencari ke sana-sini. Dia memasuki hutan yang gelap itu, namun dia menjadi bingung karena tidak tahu ke mana arah yang ditempuh empat orang tadi.

Dia menyusup-nyusup di dalam kegelapan malam di hutan lebat itu, di mana sinar bulan sama sekali tidak dapat memberi penerangan, meraba-raba dan tidak tahu arah ke mana dia bergerak. Akhirnya Sui Cin terpaksa berhenti di bawah sebatang pohon besar.

Hanya kecerdikannya saja yang mencegah dia melanjutkan pencariannya. Di dalam hutan yang gelap itu sungguh berbahaya melakukan pencarian kepada empat orang yang lihai dan curang itu. Dia akan mudah terjebak, mudah diserang dari kegelapan. Walau pun dia mengenal benar tempat ini karena ketika masih muda sering bermain-main di bukit-bukit sekitar Cin-ling-san, namun dalam kegelapan malam ini dia tak akan mampu membela diri dengan baik kalau diserang dari kegelapan.

Dia pun duduk bersila, mengatur pernapasan kemudian mengumpulkan hawa murni. Dia harus mengumpulkan tenaganya dan besok pagi dia harus sudah segar kembali sebab dia membutuhkan kekuatan untuk mencari keluarganya sampai dapat, untuk melawan pihak musuh yang kuat.

Akan tetapi belum sampai dua jam dia bersemedhi dan waktu kurang lebih baru jam tiga pagi, ketika keadaan masih gelap karena sinar matahari masih belum nampak, mendadak dia dikejutkan oleh suara orang.

"Supek-bo (uwa guru)...!"

Sui Cin membuka mata, lantas menoleh ke arah datangnya suara. Dia melihat sinar obor dipegang oleh seseorang yang menuju ke tempat itu. Dia tidak mengenal suara itu, maka dia cepat meloncat dan menyusup di balik semak-semak untuk mendekati pembawa obor. Setelah dekat barulah dia melihat bahwa pemegang obor itu bukan lain adalah Ciok Gun!

Ciok Gun terhitung pembantu sekaligus murid Gouw Kian Sun, maka menyebut suaminya supek (uwa guru) dan menyebut dia supek-bo. Dengan sekali menggerakkan kaki dia pun meloncat dan tiba di hadapan Ciok Gun yang nampak kaget karena munculnya Ceng Sui Cin begitu tiba-tiba.

"Supek-bo..."

"Ciok Gun, dari mana saja engkau? Dan di mana..."

"Ssttt…, supek-bo, jangan berbicara terlampau keras. Teecu (murid) tahu di mana mereka menawan sukong (kakek guru), supek, dan sute (adik seperguruan)," dia berbisik.

"Bagus...!" Sui Cin berseru girang akan tetapi dengan berbisik. "Di mana mereka? Apakah mereka semua selamat?"

"Mereka selamat. Mari, supek-bo, kita harus cepat membebaskan mereka."

Tentu saja Sui Cin tidak mau banyak cakap lagi dan dengan hati tegang namun gembira, dia mengikuti Ciok Gun yang menyusup-nyusup melalui hutan itu dan mendaki ke puncak bukit. Akan tetapi sebelum sampai ke puncak, Ciok Gun berhenti di tengah hutan. Tidak jauh dari sana, di depan mereka, nampak sebuah bangunan besar tersembunyi di antara pohon-pohon. Ada beberapa buah lampu tergantung di sudut bangunan.

Sui Cin merasa heran sekali. Seingatnya, di bukit ini tidak terdapat rumah orang, apa lagi sebuah bangunan yang cukup besar itu! Akan tetapi dia tidak banyak bertanya karena dia melihat Ciok Gun malah memadamkan obornya kemudian murid keponakan suaminya ini memberi isyarat dengan telunjuk di depan bibir supaya dia tidak berbicara. Dengan isyarat tangan, Ciok Gun mengajak supek-bo itu itu menghampiri bangunan dari samping dan dia membisikkan ucapan lirih sekali.

"Supek-bo, teecu tahu di mana mereka ditawan. Harap supek-bo mengikuti teecu saja."

Sui Cin mengangguk. Tentu saja sedikit pun dia tidak mencurigai murid Cin-ling-pai yang sudah dipercayai oleh ayah mertuanya sehingga diangkat menjadi pembantu dari Gouw Kian Sun ini. Dia hanya waspada terhadap ancaman yang mungkin datang dari luar, dan dengan berindap-indap dia mengikuti murid keponakan itu yang meloncati pagar halaman rumah gedung itu, kemudian mereka menuju ke belakang bangunan.

Sebuah pintu kecil terbuat dari kayu bukan merupakan halangan berat bagi Ciok Gun. Dia menggunakan tenaganya mendorong dan daun pintu itu pun terbuka. Mereka masuk dan Ciok Gun memberi isyarat kepada supek-bo-nya agar mengikutinya.

Kini sinar subuh sudah mulai mengusir kegelapan malam. Akan tetapi lampu penerangan di bagian belakang rumah itu masih bernyala terang. Agaknya penghuni rumah itu masih tidur, itu pun kalau ada penghuninya. Namun Sui Cin tetap waspada sehingga andai kata saat itu dia diserang senjata rahasia sekali pun, tentu dia akan dapat menghindarkan diri.

Karena hatinya terasa tegang bercampur girang akan bertemu kembali dengan suaminya, puteranya dan ayah mertuanya dalam keadaan selamat, kepercayaaan Sui Cin terhadap Ciok Gun menjadi agak berlebihan. Dalam keadaan tegang dan gembira itu dia kehilangan kewaspadaan.

Dalam keadaan biasa, wanita yang biasanya amat cerdik ini tentu merasa curiga melihat betapa Ciok Gun dapat memasuki bangunan itu dengan begitu leluasa, bahkan sekarang membawanya melalui lorong yang panjang dan berliku-liku. Penawan keluarganya adalah orang-orang pandai, jadi bagaimana mungkin seorang dengan tingkat kepandaian seperti Ciok Gun bisa menemukan keluarganya yang ditawan oleh para penjahat lihai itu? Tetapi pada saat itu dia sama sekali tidak menaruh curiga terhadap Ciok Gun.

Ciok Gun berhenti di depan sebuah pintu beruji besi yang terbuka. Ruangan itu kosong, ukurannya kurang lebih delapan kali sepuluh meter dan terdapat sebuah lampu gantung di tengah-tengah. Di seberang sana terdapat sebuah pintu jeruji besi yang juga terbuka.

"Supek-bo, di belakang kamar inilah ruangan tahanan. Kita harus menyeberang ke sana. Supek-bo dulu karena teecu takut..."

Masih juga Sui Cin belum curiga. Dia mengangguk, lantas dengan hati-hati dia melangkah masuk lewat pintu yang terbuka itu. Dia bersiap siaga menghadapi jebakan, kalau-kalau lantai itu mendadak terbuka atau ada senjata rahasia menyerang dari kanan kiri, atau atas bawah. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu sehingga dia pun melangkah terus dan Ciok Gun pun melangkah di belakangnya. Ketika mereka tiba di tengah ruangan itu, tiba-tiba Ciok Gun menunjuk ke atas.

Sui Cin melihat ke atas, akan tetapi tidak terjadi sesuatu di sana. Terdengar suara keras beradunya besi dengan besi dan kedua pintu besi di depan dan belakangnya itu kini telah tertutup! Mereka terjebak, terkurung di dalam kamar itu.

"Ciok Gun, mari kita jebol pintu itu!" teriaknya kepada Ciok Gun.

Akan tetapi tiba-tiba nampak sebuah benda yang dilempar dari luar dan sebuah pula dari belakang. Terdengar dua kali ledakan lalu kamar itu pun penuh asap putih!

"Awas, Ciok Gun. Tahan napas, jebol pintu...!" teriak Sui Cin, akan tetapi terlambat.

Dia melihat Ciok Gun terhuyung-huyung lalu terbatuk-batuk dan roboh. Dia sendiri cepat mengerahkan tenaga dan menubruk pintu belakang untuk membobol pintu yang tertutup, akan tetapi terpaksa dia menarik diri lagi karena ada senjata-senjata golok dan pedang yang menyambutnya melalui jeruji besi!

Dia membalik dan hendak menjebol pintu depan, akan tetapi kembali dia terpaksa mundur karena dari pintu itu pun nampak senjata ditodongkan dan siap menyambutnya. Dia cepat membuka jubah luarnya, memutar-mutar jubah itu untuk mengusir asap keluar dari kamar melalui jeruji besi. Akan tetapi kembali ada ledakan-ledakan dan asap semakin menebal.

Bagaimana pun gigihnya Sui Cin mempertahankan diri, tentu saja tidak mungkin dia dapat menahan napas terlalu lama. Akhirnya terpaksa dia terengah sehingga asap terhisap dan dia terbatuk-batuk, kepalanya pening, pandang matanya gelap dan pendekar wanita yang gigih ini pun akhirnya roboh pingsan di dekat Ciok Gun.

********************

Setelah siuman dari pingsannya, Sui Cin mendapatkan dirinya telah rebah di atas sebuah pembaringan, di dalam sebuah kamar yang berpintu baja tebal dengan jeruji baja sangat kuat. Dia merasa lega bahwa tubuhnya tidak terluka dan dia pun tidak dibelenggu. Ketika dia bangkit duduk, dia mendengar suara lirih.

“Sui Cin...!”

Ia menoleh dan cepat meloncat ke dekat jendela beruji baja itu. Kiranya suaminya berada di sana, di dalam ruangan lain yang hanya terpisah beberapa meter dari jendela itu. Juga suaminya berdiri di balik jendela beruji baja.

"Mana ayah dan Kui Bu?" Sui Cin bertanya. Keadaan suaminya tidak perlu dia tanya lagi. Suaminya jelas selamat dan sehat, hanya tertawan seperti dirinya.

"Mereka di kamar sebelah, di dalam sebuah kamar. Kami dapat saling melihat dan bicara. Mereka selamat," kata Hui Song. "Bagaimana mereka dapat menawanmu?"

"Aku terjebak di dalam sebuah ruangan dan pingsan karena asap pembius. Aku bersama Ciok Gun yang juga roboh pingsan."

"Hemm, kiranya mereka mempergunakan dia pula. Ciok Gun itu kaki tangan mereka."

"Ehhh?! Apa maksudmu?" Tentu saja Sui Cin merasa heran dan terkejut pula mendengar ini.

"Mereka menawan Ciok Gun terlebih dulu dan membuat dia menjadi seperti mayat hidup yang mentaati semua perintah mereka. Ingatannya sudah mereka kuasai melalui sihir dan racun."

"Ahhh...! Tetapi siapa mereka dan mengapa mereka menawan kita?"

"Iblis betina itu adalah Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu adalah guru-gurunya."

"Hemm, melihat alat peledak itu sudah kuduga kalau mereka orang-orang Pek-lian-kauw. Tapi mereka mau apa...?”

"Mereka tidak mengaku, akan tetapi aku dapat menduga bahwa mereka agaknya hendak menguasai Cin-ling-pai dan akan menggunakan nama Cin-ling-pai untuk maksud-maksud buruk."

"Hemmm, sungguh berbahaya sekali kalau begitu! Akan tetapi bagaimana mereka dapat menawanmu? Apakah juga dengan jebakan dan asap pembius?" Sui Cin merasa sangat penasaran. Suaminya adalah seorang pendekar sakti, bagaimana sekarang dapat begitu mudahnya tertawan?

Hui Song menarik napas panjang. Dia tahu bahwa isterinya tentu tidak setuju, akan tetapi dia pun tidak dapat berbohong. "Mereka itu hendak membunuh ayah dan Kui Bu di depan mataku, maka terpaksa aku menyerah."

"Hemm...!" Sui Cin menahan hatinya yang hendak menegur.

Diam-diam dia tidak bisa terlalu menyalahkan suaminya. Suaminya adalah seorang anak yang berbakti, juga seorang ayah yang sangat mencinta puteranya. Bagaimana mungkin dia tega membiarkan ayahnya dan puteranya dibunuh?

"Mereka berjanji tidak akan mengganggu ayah dan Kui Bu. Jika mereka berani melanggar maka aku pasti akan mengamuk dan mengadu nyawa dengan mereka!"

"Kita berdua akan mengadu nyawa dengan mereka!" Sui Cin berkata penuh semangat.

"Hi-hi-hik, benar-benar mengagumkan sekali. Sepasang pendekar sakti Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin sungguh gagah perkasa!" Terdengar suara ketawa.

Baik Hui Song mau pun Sui Cin dapat melihat wanita yang berada di luar kamar tahanan itu melalui jeruji baja pintu kamar mereka. Jika Hui Song hanya memandang dengan sikap tenang dan sinar mata dingin, sebaliknya Sui Cin memandang dengan sinar mata seperti berapi-api.

"Perempuan hina yang tidak tahu malu. Kalian menggunakan cara yang amat curang dan pengecut! Kalau memang kalian orang-orang Pek-lian-kauw mempunyai kegagahan, mari kita bertanding sampai seribu jurus!"

Su Bi Hwa menghadapi makian itu dengan senyum simpul. "Nyonya yang gagah, simpan saja kemarahanmu. Tidak baik untuk kesehatanmu dan kesehatan keluargamu."

"Huh! Jangan harap engkau dapat menggertakku. Jika engkau sampai melanggar janjimu kepada suamiku, maka aku pasti akan merobek-robek kulitmu, mencabuti semua uratmu dan mematahkan semua tulangmu!"

Meski pun mulutnya masih tersenyum, namun wajah Bi Hwa berubah agak pucat dan dia merasa ngeri mendengar ancaman wanita itu. Dia teringat bahwa wanita ini adalah puteri tunggal Pendekar Sadis, dan kenyataan ini saja sudah membuat bulu tengkuknya berdiri, apa lagi mendengar ancaman yang luar biasa sadisnya tadi.

Dia telah mendengar tentang Pendekar Sadis di waktu mudanya. Berdiri bulu tengkuknya kalau mendengarkan cerita para tokoh kang-ouw yang tua tentang kekejaman Pendekar Sadis ketika menyiksa dan membunuh musuh-musuhnya. Dan orang yang mengeluarkan ancaman sekarang ini adalah puteri Pendekar Sadis, anak tunggalnya!

Tentu saja dia tidak tahu bahwa sejak kecil, ayah ibunya melarang Sui Cin untuk bersikap kejam, bahkan tidak boleh membunuh apa bila tidak sangat terpaksa. Sui Cin sama sekali tidak memiliki watak kejam seperti ayahnya dahulu, tidak pula aneh seperti ibunya dahulu. Akan tetapi, begitu melihat seluruh keluarganya terancam bahaya, Sui Cin dapat berubah menjadi seorang yang amat ganas dan mungkin saja dapat melakukan kekejaman seperti yang diancamkannya tadi.

"Engkau tenanglah, Lihiap," kata Bi Hwa sambil tetap tersenyum untuk menyembunyikan perasaan ngerinya. "Kami tidak berniat buruk terhadap keluargamu. Kalau kami memang bermaksud buruk, tentu mereka tidak kami tawan melainkan kami bunuh. Engkau boleh bertanya kepada mereka. Kami tidak pernah bersikap kasar dan kami selalu menghormati mereka. Kalian menjadi tamu kami hanya untuk sementara waktu saja. Kalau urusan kami telah selesai, tentu kami akan membebaskan kalian disertai maaf kami yang sebesarnya." Setelah berkata demikian, Bi Hwa cepat menghilang tanpa memberi kesempatan kepada Sui Cin untuk memaki lagi.

"Sui Cin, tenanglah. Mereka adalah orang-orang yang jahat, keji dan curang. Kita harus berhati-hati, terutama untuk keselamatan ayah dan Kui Bu."

"Hemmm, kita tidak boleh terlalu mengalah dalam menghadapi anjing-anjing busuk seperti orang-orang Pek-lian-kauw. Jika mereka memang tidak mengganggu keluarga kita, maka boleh kita pertimbangkan untuk melepaskan mereka. Akan tetapi jika sedikit saja mereka mengganggu keluarga kita, aku bersumpah akan membuat perhitungan hingga tuntas dan akan mengejar mereka sampai ke neraka sekali pun!"

Hui Song maklum bahwa isterinya marah bukan main karena terdorong kekhawatirannya terhadap keselamatan keluarga, karena itu dia hanya mengangguk-angguk. Memang ada baiknya isterinya memperlilihatkan sikap keras supaya orang-orang Pek-lian-kauw itu tak berani bertindak sembarangan terhadap keluarga mereka.

Akan tetapi diam-diam Hui Song sangat mengkhawatirkan keadaan Cin-ling-pai yang kini ditinggalkan para pimpinan. Yang berada di sana tinggal Gouw Kian Sun! Dan dia tambah khawatir bila puterinya, Cia Kui Hong pulang, tentu akan terjadi geger! Puterinya itu malah lebih galak dan lebih berani dibandingkan ibunya!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

"Aduh, sungguh berbahaya sekali...!" Berkali-kali gadis itu berseru khawatir.

Tetapi pemuda yang mengemudikan perahu itu bersikap tenang saja, bahkan tersenyum-senyum menyaksikan kekhawatiran gadis itu. Mereka hanya berdua saja di dalam sebuah perahu kecil.

"Jangan takut, manis. Aku sudah biasa di tempat ini. Orang lain yang tidak pernah tinggal di sini pasti akan mengalami bahaya apa bila mengemudikan perahu di antara batu-batu karang tajam meruncing ini, terlebih lagi bila ombaknya sedang pasang sehingga banyak batu yang tidak nampak di permukaan air.” Pemuda itu dengan mahir dan cekatan sekali menggerakkan dayungnya sehingga moncong perahu terhindar dari tubrukan dengan batu karang hitam yang menonjol di permukaan air.

Memang daerah itu amat berbahaya. Di permukaan air laut itu banyak terdapat batu-batu karang bagaikan barisan yang dipasang rapi, seakan sengaja hendak menghalang perahu yang berani mendekat ke pulau itu. Dan pulau itu pun amat sulit didekati. Sebagian besar merupakan tebing yang tinggi sehingga perahu tidak mungkin dapat mendekat dan para penumpangnya mendarat.

Satu-satunya bagian yang landai hanyalah yang penuh batu karang itu! Namun bagian ini berbahaya sekali. Karena hanya bagian ini yang landai, maka ombak dengan bebasnya menyerbu ke darat lantas menghantam batu-batu karang. Kadang-kadang di antara batu-batu karang itu nampak pula seperti batu karang kecil meruncing yang meluncur ke sana sini. Ada belasan buah banyaknya! Yang itu bukan batu karang, melainkan sirip ikan-ikan hiu yang amat ganas dan haus darah. Maka, kalau sampai ada perahu membentur karang hingga pecah dan penumpangnya terjatuh ke dalam air, dapatlah dibayangkan apa yang akan terjadi.

Gadis yang berada di perahu itu tidak nampak seperti seorang gadis pemalu dan bodoh, sebaliknya dia kelihatan pemberani dan cerdik. Usianya sekitar dua puluh tahun dan dia mempunyai kecantikan yang khas Tibet. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir menjadi dua. Sepasang matanya sipit, hidungnya agak besar namun mulutnya amat kecil mungil. Wajah itu nampak manis sekali. Kulit tubuhnya putih kemerahan dan yang lebih menarik lagi adalah bentuk tubuhnya. Tinggi ramping dengan pinggul besar bulat dan dada yang montok menonjol.

Memang dia peranakan Tibet. Ibunya adalah seorang wanita Tibet yang cantik bernama Souli, sedangkan ayahnya adalah seorang lelaki bangsa Han, seorang tokoh besar dunia hitam yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Ayahnya yang sekarang sudah tidak ada lagi itu berjuluk Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) dan bernama Tang Bun An.

Gadis ini bernama Mayang dan dia bukan seorang gadis sembarangan. Dia adalah murid terkasih dari Kim Mo Sian-kouw, seorang datuk persilatan yang lihai pula dan bertempat tinggal di Puncak Awan Kelabu di pegunungan Ning-jing-san. Mayang memiliki ilmu-ilmu silat tinggi, di antaranya yang paling hebat adalah ilmu silat tangan kosong yang disebut Hek-coa Tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) dan ilmu memainkan senjata pecut yang sukar ditandingi!

Ada pun pemuda yang sekarang bersama dia naik perahu dan yang demikian pandainya mengemudikan perahu di antara batu-batu karang itu pun seorang pemuda yang sangat menarik perhatian. Usianya sekitar dua puluh empat tahun, tubuhnya sedang tetapi tegap, sikap dan bicaranya halus dan sopan.

Wajah pemuda ini kelihatan menarik, namun di dalam sinar matanya yang kadang dingin redup itu terkadung sesuatu yang mengerikan. Dia memiliki ilmu kepandaian yang bahkan lebih tinggi dari pada Mayang, karena pemuda ini adalah orang yang telah mewarisi atau mempelajari ilmu-ilmu yang dahsyat dari Pendekar Sadis, majikan pulau Teratai Merah.

Ia bernama Sim Ki Liong dan tumbuh dewasa di pulau itu, menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya. Akan tetapi dua tahun lebih yang lalu dia melarikan diri, minggat dari pulau Teratai Merah sambil membawa pusaka yaitu pedang Gin-hwa-kiam. Kemudian, di dalam petualangannya selama dua tahun lebih itu, berkali-kali dia berkumpul dengan tokoh-tokoh sesat sehingga dia melakukan berbagai kejahatan termasuk pemberontakan.

Dalam bentrokan dengan para pendekar akhirnya dia bertemu dengan Mayang, kemudian saling jatuh cinta dan agaknya perasaan cinta kasihnya terhadap Mayang gadis pendekar keturunan Ang-hong-cu ini, telah mengubah wataknya sehingga dia ingin kembali ke jalan kebenaran. Pedang pusaka Gim-hwa-kiam yang telah dirampas dari tangannya sehingga kembali ke tangan Cia Kui Hong, cucu Pendekar Sadis, oleh Kui Hong sudah diserahkan lagi kepadanya untuk dia bawa kembali ke pulau Teratai Merah!

Dia hendak menghadap suhu dan subo-nya, mengembalikan pusaka dan mohon ampun, ditemani oleh kekasihnya, Mayang. Melihat kesungguhan hati pemuda ini, juga karena bujukan Mayang, akhirnya Cia Kui Hong menyerahkan pusaka itu dan dua orang kekasih itu segera menuju ke Laut Selatan untuk berkunjung ke pulau Teratai Merah.

Demikianlah riwayat singkat kedua orang muda mudi yang sekarang sedang naik perahu hendak mendarat di pulau Teratai Merah. Ki Liong pernah tinggal bertahun-tahun di pulau ini, tentu saja dia masih hafal dengan keadaan di sana dan tahu benar bagaimana harus mengemudikan perahu untuk menghindarkan tabrakan dengan batu-batu karang.

"Di musim air laut surut seperti ini, ikan-ikan hiu itu kelaparan dan menjadi ganas, selalu berkeliaran di sekitar batu-batu karang ini. Di sini kita harus berhenti, lantas melanjutkan perjalanan ke darat dengan berlompatan dari batu ke batu. Mari...!"

Beberapa kali Mayang menggerakkan pundaknya karena dia merasa ngeri melihat betapa dekatnya sirip-sirip ikan hiu itu meluncur pada permukaan air dekat batu-batu karang yang diinjaknya. Sekali meleset dan terjatuh ke air, maka moncong-moncong ikan hiu itu tentu akan menyergapnya dan tubuhnya akan dicabik-cabik!

"Mayang, sekarang pergunakan cambukmu untuk melindungi kita selagi kita berjalan dari batu ke batu menuju daratan. Setiap kali ada hiu mendekat, pergunakan cambukmu untuk melecutnya. Jika sudah terlalu kelaparan, ada saja hiu yang berani menyerang kaki yang menginjak batu karang dengan lompatan," kata Ki Liong yang juga sudah berdiri di atas batu karang dan kedua tangannya memanggul perahu kecil yang tadi mereka pergunakan untuk menyeberang ke pulau itu.

Mayang mengangguk kemudian cambuk itu telah berada di tangan kanannya. Benar saja ucapan Ki Liong. Begitu mereka bergerak melangkah dari batu ke batu, sirip-sirip hiu itu berluncuran dari kanan kiri. Mayang segera menggerakkan cambuknya dan terdengarlah ledakan-ledakan kecil disusul meluncurnya ujung cambuk ke air, ke arah depan sirip-sirip itu.

Memang hebat sekali permainan cambuk gadis ini. Biar pun kekuatan cambuk itu sudah terhalang air, tapi tetap saja masih mampu menembus air dan mengenai kepala hiu. Ikan-ikan itu merasa kesakitan lantas melarikan diri, membuat air di sekitar situ menjadi keruh dan suaranya berdeburan. Mayang terus menggerakkan cambuknya sambil mengikuti Ki Liong yang memanggul perahu dan yang mengenal jalan. Akhirnya mereka melalui batu-batu karang yang lebih tinggi sehingga tidak dapat dicapai ikan hiu, dan sirip-sirip itu pun kembali ke tengah.

"Ihhh mengerikan sekali ikan-ikan itu!" kata Mayang setelah akhirnya mereka tiba di tanah daratan. Ki Liong tersenyum lalu menyimpan perahunya di bawah semak-semak.

"Sekarang kita berjalan ke tengah pulau untuk menghadap suhu dan subo. Ah, kita harus merapikan pakaian kita agar nampak pantas." kata Ki Liong yang membereskan pakaian dan rambutnya yang kini awut-awutan akibat tertiup angin lautan tadi. Mayang mencontoh kekasihnya, membereskan pakaian serta rambutnya.

"Aihh, hatiku menjadi tegang rasanya, Liong-ko," kata Mayang melihat betapa kekasihnya nampak begitu tegang dan gugup.

Ki Liong mencoba tersenyum untuk menutupi ketegangan hatinya. Hati siapa yang tidak akan tegang? Dia kembali ke pulau itu, kepada suhu dan subo-nya sesudah minggat dari situ dua tahun yang lampau sambil melarikan atau mencuri pusaka kedua orang gurunya, yaitu pedang Gin-hwa-kiam! Padahal dia tahu siapa gurunya.

Suhu-nya adalah Pendekar Sadis yang namanya saja sudah membuat semua tokoh sesat di dunia persilatan gemetar ketakutan. Sedangkan subo-nya adalah seorang wanita yang lebih galak lagi dan dulu pernah menjadi seorang datuk besar! Kalau saja tidak ditemani Mayang, agaknya sampai bagaimana pun dia tidak akan berani mendarat di pulau ini, apa lagi menghadap suhu dan subo-nya!

"Tentu saja aku juga sangat tegang, Mayang. Masih ingatkah engkau tentang suhu dan subo seperti yang kuceritakan kepadamu?"

Mayang mengangguk dan bergidik. "Mereka itu tentu sangat menyeramkan, aku agak... takut, Liong-ko."

"Jangan takut, Mayang. Engkau masih ingat pula apa yang harus kau lakukan di hadapan mereka?"

"Tentu saja aku ingat, koko. Aku akan membela dan melindungimu, kalau perlu dengan taruhan nyawaku."

"Mayang, engkau sungguh baik sekali. Aku makin cinta padamu, Mayang." kata Ki Liong lalu dia memegang tangan gadis itu, hendak menariknya mendekat. Akan tetapi Mayang menahan tangannya dan memberi isyarat ke tengah pulau.

"Liong-koko, kalau benar suhu dan subo-mu itu sehebat yang kau ceritakan, bukan tidak mungkin saat ini mereka sedang mengamati kita."

Mendengar peringatan ini, Ki Liong melepaskan pegangan tangannya seperti orang yang sedang memegang ular. Dia mengangguk, "Mari kita ke sana, Mayang."

Apa yang diucapkan Mayang tadi segera ternyata kebenarannya. Sekarang mereka tiba di pohon-pohon pertama yang merupakan hutan di pulau itu, dan di antara pohon-pohon itu nampak banyak sekali kolam ikan yang dipenuhi dengan teratai merah yang sedang berbunga.

"Aduh, alangkah indahnya...!" Seperti tadi ketika menyatakan kengeriannya terhadap batu karang dan ikan hiu, kini berulang kali Mayang berseru kagum akan keindahan tempat itu. Dia menghampiri tepi kolam dan menjulurkan tangannya untuk memetik setangkai bunga teratai merah.

"Jangan...!”Ki Long sudah menangkap pergelangan tangan kekasihnya.

Tentu saja Mayang terkejut sekali "Ehh? Kenapa, Liong-ko?"

“Engkau tahu bahwa nama pulau ini adalah pulau Teratai Merah. Karena adanya bunga-bunga itulah maka pulau ini dinamakan begitu. Keindahan bunga-bunga ini dijadikan nama pulau, dikeramatkan dan tak seorang pun boleh merusak keindahannya. Memetik sebuah bunganya saja dapat dianggap merusak keindahan. Jika engkau dihukum potong tangan, bagaimana aku akan dapat melindungi tanganmu?"

"Ihh!" Mayang bergidik dan memandang ke arah tangan kirinya yang tadi hampir memetik setangkai bunga teratai merah. "Betapa kejamnya peraturan itu.”

Ki Liong tersenyum. "Lupakah engkau akan julukan suhu?"

"Pendekar Sadis! Kalau begitu, dia benar-benar sadis dan kejam, sungguh jahat sekali!”

"Hushhh, jangan berkata begitu, Mayang. Suhu hanya bertindak keras terhadap penjahat dan kalau engkau memetik bunga, dapat saja dituduh mencuri." Ki Liong memberi isyarat kepada Mayang untuk mengikutinya melanjutkan perjalanan. "Kita sudah dekat. Di balik hutan kecil itulah tempat tinggal suhu! Ehgkau jangan berbuat sesuatu. Ikuti saja aku."

Akan tetapi baru saja mereka memasuki hutan itu, tiba-tiba terdengar bentakan.

"Berhenti!" dan tiga bayangan orang berkelebat dari kanan kiri.

Di depan mereka telah berdiri tiga orang laki-laki yang usianya antara empat puluh hingga lima puluh tahun, berwajah dingin dan mengenakan pakaian seperti petani. Salah seorang di antara mereka, yang tertua dan berjenggot panjang, segera menudingkan telunjuknya ke arah muka Ki Liong dan suaranya terdengar ketus.

"Kiranya engkau pengkhianat murtad! Berani engkau mengotori pulau ini?"

"Maaf, Paman bertiga apakah lupa kepadaku? Aku Ki Liong..."

"Engkau pengkhianat, murid murtad dan jahat! Hajar dia!"

Tiga orang itu telah menerjang dan menyerang Ki Liong dengan pukulan-pukulan mereka. Gerakan mereka amat gesit dan pukulan mereka mengandung tenaga yang kuat. Namun mereka itu hanyalah pelayan-pelayan setia dari majikan pulau Teratai Merah yang pernah menerima latihan beberapa macam ilmu silat saja dari majikan mereka. Maka tentu saja mereka kalah jauh dibandingkan Ki Liong, murid dari suami isteri majikan pulau itu.

Untung bagi mereka bahwa Ki Liong yang datang untuk minta ampun dari kedua gurunya, tidak berani mencelakai mereka. Pemuda ini hanya mengelak dan menangkis saja, akan tetapi setiap kali pukulan mereka tertangkis, tiga orang itu tentu terhuyung dan terdorong ke belakang. Mereka menyerang terus dengan hati penuh kebencian.

Dahulu mereka juga merasa sayang dan hormat kepada murid majikan mereka ini. Akan tetapi semenjak Ki Liong minggat dari pulau sambil melarikan pusaka, mereka turut marah dan membencinya, menganggap dia sebagai musuh majikan mereka.

Melihat betapa kekasihnya dikeroyok dan jelas bahwa pemuda itu sama sekali tidak mau membalas serangan para pengeroyok melainkan mengelak dan menangkis saja, Mayang menjadi marah. Dia tak berarti lancang turun tangan, akan tetapi karena mendongkol, dia pun tidak dapat menahan dirinya dan berserulah dia dengan suara nyaring.

"Bagus, bagus! Beginikah caranya Majikan Pulau Teratai Merah yang bernama besar itu menyambut tamu? Sungguh tidak sesuai dengan nama besar dan kehormatannya!"

"Mayang, jangan bicara sembarangan!" Ki Liong menegur sambil tetap menghindarkan diri dari pengeroyokan tiga orang itu dengan elakan dan tangkisan.

Mendadak ada angin besar yang menyambar lalu tiga orang pelayan pulau Teratai Merah itu terjengkang dan bergulingan di atas tanah, ada pun Ki Liong sendiri terhuyung-huyung akibat sambaran angin dahsyat itu. Dia pun langsung menjatuhkan diri berlutut karena dia tahu bahwa suhu dan subo-nya yang datang melerai perkelahlan tadi.

Mayang memandang penuh perhatian. Seperti pandai menghilang saja, entah dari mana datangnya tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang kakek dan seorang nenek yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun akan tetapi mereka masih nampak sehat dan bertubuh ramping tegak. Rambut mereka sudah putih semua, wajah sudah keriputan, namun masih jelas membayangkan ketampanan dan kecantikan pada waktu mereka masih muda. Yang amat mengagumkan adalah mata mereka. Mata mereka masih jeli dan tajam seperti mata orang muda saja.

Mereka itu bukan lain adalah majikan pulau Teratai Merah, yaitu si Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong yang dahulu pernah berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Ceng Thian Sin memandang kepada tiga orang pengeroyok tadi yang kini sudah bangkit dan segera berlutut menghadap mereka. Terdengar suaranya yang lembut namun mengandung wibawa.

"Siapa menyuruh kalian lancang tangan menyerang orang?"

Tiga orang itu menyembah-nyembah dengan sikap ketakutan sekali, kemudian si jenggot panjang berkata dengan suara gemetar, "Harap maafkan kami, Taihiap, akan tetapi dia... dia...!"

"Sudahlah, pergilah kalian melanjutkan pekerjaan kalian!"

Tiga orang itu memberi hormat, bangkit dan pergi dari tempat itu. Kini kakek dan nenek itu menatap kepada Ki Liong yang masih berlutut dan kepada Mayang. Gadis ini tetap berdiri dan balas menatap mereka dengan berani.

Diam-diam Toan Kim Hong merasa tertarik dan kagum sekali kepada gadis yang nampak asing itu, yang mempunyai kecantikan khas Tibet. "Nona, engkau tadi mengatakan bahwa kami menyambut tamu tidak sebagaimana mestinya. Tapi kami tidak pernah mengundang tamu ke pulau kami! Engkau bukan tamu kami, melainkan pelanggar wilayah dan tempat tinggal pribadi kami!"

"Subo...!" Ki Liong berkata dengan suara lemah.

"Diam kau! Aku tidak mempunyai seorang murid macam engkau!" Nenek itu menghardik. Mayang merasa sangat penasaran. Nenek ini terlalu galak, pikirnya. Akan tetapi dia pun tidak berani bersikap tidak sopan karena nenek itu adalah guru Ki Liong.

"Locianpwe, teguran locianpwe tadi sungguh tidak dapat kuterima begitu saja. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak melanggar wilayah yang bukan miliknya. Apakah ji-wi locianpwe (kedua orang tua gagah) selama hidup, sejak lahir sampai sekarang, berdiam terus di sini? Apa bila ji-wi keluar dari pulau ini, berarti ji-wi sudah melanggar wilayah yang bukan milik ji-wi, apa lagi kalau mendarat di seberang sana, menjelajah gunung-gunung, kota dan dusun, entah berapa banyak wilayah bukan milik ji-wi yang dilanggar! Pulau ini hanya merupakan sebagian kecil dari bumi, tentu sewaktu-waktu akan didatangi orang. Dan kami datang ke sini bukan bermaksud melanggar wilayah ji-wi, melainkan karena ada keperluan, maka sudah sepantasnya kalau disambut sebagai tamu!”

Kakek dan nenek itu saling pandang. Dari sinar mata mereka dapat terlihat bahwa secara diam-diam mereka merasa kagum dan tertawa. Kalau saja di situ tidak ada Ki Liong yang kemunculannya membuat mereka terkejut dan marah, tentu mereka telah tertawa gembira mendengar ucapan gadis peranakan Tibet yang lincah itu. Gadis itu mengingatkan mereka kepada cucu mereka, Cia Kui Hong.

"Hemm, bocahlancang mulut!" Nenek Toan Kim Hong menghardik. "Engkau bilang datang ke sini karena ada keperluan? Keperluan apa? Hayo katakan supaya kami pertimbangkan apakah pantas engkau kami layani ataukah tidak!”

"Aku pun tidak minta ji-wi layani karena keperluanku hanyalah menemani Liong-koko ini untuk menghadap ji-wi. Dialah yang mempunyai keperluan dengan ji-wi locianpwe, bukan aku."

Tentu saja kakek dan nenek ini segera memandang kepada Ki Liong yang semenjak tadi hanya terus menundukkan mukanya. Di dalam hatinya pemuda ini memaki Mayang sebab menganggap sikap gadis itu terlalu berani sehingga tentu akan membuat suhu dan subo-nya semakin marah kepadanya.

"Hemm, orang sesat dan murtad! Mau apa kau datang ke sini? Betapa beraninya engkau mengantarkan nyawa kepada kami!" kata Ceng Thian Sin dengan suara yang kereng.

“Suhu dan Subo, harap ampunkanlah teecu. Teecu memang telah melakukan dosa besar terhadap Suhu dan Subo. Teecu telah sadar dan menyesali kesalahan teecu, dan hari ini teecu datang menghadap Suhu dan Subo untuk mengembalikan Gin-hwa-kiam dan teecu siap menerima hukuman apa pun yang hendak ji-wi jatuhkan kepada diri teecu!” Sesudah berkata demikian Ki Liong lalu mengambil pedang Gim-hwa-kiam dengan sarungnya, dan dengan kedua tangan dia memegang pedang dan sarungnya itu di atas kepala dan dia pun menyerahkannya kepada kedua orang gurunya sambil berlutut.

Tiba-tiba nenek itu menggerakkan kepalanya dan sinar putih menyambar ke arah pedang itu. Mayang terbelalak kagum. Dia melihat betapa rambut nenek yang penuh dengan uban itu ternyata panjang sekali dan kini rambut itu telah menotok kedua pergelangan tangan Ki Liong sehingga kedua tangan itu menjadi lumpuh dan pedang yang dipegangnya terlepas. Namun pedang itu sudah digulung oleh ujung rambut yang kini membawa pedang itu ke arah si nenek yang menangkapnya dengan tangan kanan. Setelah memandangi sejenak, nenek itu lalu menyerahkan pedang kepada suaminya, kemudian dia menggelung kembali rambutnya yang terlepas dari sanggulnya.

Dengan tenang Ceng Thian Sin mencabut pedang itu. Nampak sinar perak berkilauan dan dia pun mengangguk-angguk, lalu menyimpan kembali pedang ke dalam sarung pedang.

"Manusia laknat! Apakah setelah mengembalikan pedang ini dosamu akan menjadi bersih begitu saja? Engkau tidak layak lagi untuk hidup di dunia ini, hanya akan mendatangkan kejahatan saja!" kata nenek Toam Kim Hong dan kini dia bergerak ke depan, melangkah mendekati Ki Liong dan siap untuk membunuh bekas murid itu dengan sekali pukul. Akan tetapi tiba-tiba Mayang meloncat ke depan Ki Liong, menghadang dan gadis ini kelihatan marah seperti seekor harimau betina melindungi anaknya yang akan diganggu.

"Ini sungguh tidak adil!" terlak Mayang penasaran.

Nenek itu mengerutkan alis, menatap tajam pada wajah gadis itu. “Apa kau bilang? Kami tidak adil? Anak lancang mulut, berani engkau mengatakan kami tidak adil? Bedebah ini telah kami didik selama bertahun-tahun, dan apa yang dia lakukan untuk membalas budi kami? Dia minggat dari pulau ini dengan membawa harta dan pusaka kami! Dan sekarang engkau berani mengatakan bahwa kami tidak adil? Apa engkau sudah bosan hidup?"

"Aku tahu, locianpwe. Aku tahu bahwa dahulu Liong-ko pernah menjadi murid ji-wi di sini kemudian melakukan penyelewengan, minggat dan melarikan pusaka. Kalau pada waktu itu ji-wi mengejar dan membunuhnya, hal itu memang sudah sepantasnya. Tapi sekarang persoalannya menjadi lain. Kini dia telah menyadari kesalahannya, merasa menyesal dan bertobat. Dia menghadap ji-wi untuk mengakui kesalahan sambil mengembalikan pedang pusaka, malah menyatakan siap untuk menerima hukuman. Ia datang dengan itikad baik, akan tetapi ji-wi bahkan hendak membunuhnya. Mana bisa ini dikatakan adil? Beginikah sikap tokoh-tokoh besar yang bijaksana? Ataukah hanya ulah orang yang berhati kejam sekali?”

"Mayang! Jangan kurang ajar engkau!" Ki Liong berseru, khawatir sekali karena kini dia merasa pasti bahwa suhu dan subo-nya akan membunuh mereka berdua tanpa ampun lagi.

Akan tetapi kembali kakek dan nenek itu saling bertukar pandang, dan anehnya, nenek itu melangkah mundur lagi lantas berdiri di samping suaminya seperti tadi, sikapnya hendak turun tangan membunuh Ki Liong sudah lenyap sama sekali.

"Hemmm, anak berani mati. Siapakah engkau dan mengapa pula engkau membela orang murtad ini mati-matian?" tanya Ceng Thian Sin dengan suaranya yang lembut.

Kini Mayang memberi hormat dengan membungkuk sambil merangkapkan kedua tangan ke depan dadanya. "Namaku Mayang. Liong-ko adalah sahabatku yang beberapa waktu yang lalu pernah menyelamatkan aku dari tangan orang jahat. Melihat dia sudah bertobat maka aku bersedia menemaninya menghadap ji-wi di sini dan mohon pengampunan. Aku percaya bahwa sebagai dua orang tokoh besar tentu ji-wi akan suka mengampuninya.”

"Ahh, kau kira kami yang telah dikhianatinya ini akan suka menerimanya kembali sebagai murid kami?" Ceng Thian Sin berkata sambil tersenyum dingin. “Dia terlalu jahat!”

"Kami harus menghukum keparat ini dan engkau tidak berhak mencampuri urusan kami, Mayang." kata pula Toan Kim Hong. "Siapa sih gurumu yang tidak mampu mengajarimu untuk bersikap sopan dan tidak mencampuri urusan orang lain."

"Guruku bernama Kim Mo Sian-kouw. Ia tinggal di Puncak Awan Kelabu di Ning-jing-san," jawab Mayang.

Kembali suami isteri itu bertukar pandang. Mereka sudah mengenal nama itu dan maklum bahwa guru gadis itu merupakan orang yang setingkat dengan mereka, berwatak aneh namun tidak pernah digolongkan sebagai tokoh sesat. Tidak mengherankan kalau tokoh itu mempunyai seorang murid wanita yang begini ugal-ugalan dan berani mati.

Akan tetapi Toan Kim Hong adalah seorang nenek yang keras hati dan tidak pernah mau mengalah, apa lagi terhadap Kim Mo Sian-kouw yang dianggap sebagai saingannya di dunia persilatan. "Tak peduli siapa gururnu, engkau tetap tidak boleh mencampuri urusan kami. Aku harus membunuh si laknat yang durhaka dan murtad ini!"

"Locianpwe, jangan...!” Mayang kembali menghadapi nenek itu dan melindungi Ki Liong.

"Bocah yang lancang! Berani engkau menghalangi aku bertindak terhadap bekas muridku sendiri dan di pulauku sendiri?" bentak Toan Kim Hong yang marah sekali karena merasa ditantang seorang bocah.

Biar pun Ceng Thian Sin tidak ingin membunuh bekas murid itu, akan tetapi dia juga tidak mencegah isterinya karena dia berangagapan bahwa kalau isterinya membunuh Ki Liong, maka hal itu tidak dapat disalahkan.

"Locianpwe, aku tidak berani menghalangi tindakan locianpwe. Hanya aku sudah berjanji akan membela Liong-ko dengan taruhan nyawa untuk membalas budinya. Juga aku hanya ingin memperingatkan locianpwe agar locianpwe bertindak adil seadil-adilnya, juga kalau locianpwe membunuh Liong-ko, hal itu berarti bahwa enci Cia Kui Hong adalah seorang penipu besar!"

Nenek itu sudah mengepal tangannya. Mendengar kalimat terakhir tentang Cia Kui Hong, kepalan tangannya terbuka lagi dan matanya terbelalak memandang kepada Mayang.

"Mayang, apa maksudmu? Apa hubungannya Kui Hong dengan urusan ini?” tanya nenek Toan Kim Hong.

“Enci Kui Hong telah memaafkan Liong-ko, bahkan menganjurkan agar Liong-ko pergi ke sini menghadap ji-wi. Kalau sekarang Liong-ko dibunuh di sini, bukankah itu berarti bahwa enci Kui Hong sengaja menipu Liong-ko agar dibunuh?"

Ceng Thian Sin mengerutkan alisnya. "Bagaimana kami dapat percaya bahwa kalian telah bertemu dengan Kui Hong? Jika dia benar-benar bertemu dengan cucuku, tentu Kui Hong telah merampas Gin-hwa-kiam ini dari tangannya dan bukan dia yang mengembalikannya ke sini."

Ki Liong mengangkat mukanya hendak menjawab, tetapi begitu bertemu pandang dengan suhu-nya, dia menunduk kembali dan tidak berani bicara. Sinar mata suhu-nya demikian tajam dan marah, membuat dia menjadi gentar.

Akan tetapi Mayang sama sekali tidak takut. "Terserah locianpwe mau percaya kepadaku ataukah tidak! Akan tetapi yang jelas pedang itu sudah lama sekali terampas dari tangan Liong-ko, dan yang merampasnya bukan enci Kui Hong. melainkan adalah kakakku yang membantu enci Hong dan kemudian mengembalikan pedang itu kepada enci Kui Hong.”

"Hemm, siapakah kakakmu itu?”

Mayang mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah besar itu. "Kakakku adalah seorang pendekar sakti bernama Tang Hay. Locianpwe hendak mengetahui siapa guru kakakku? Bukan subo-ku, akan tetapi gurunya banyak dan menurut cerita kakakku di antaranya adalah See Thian Lama, Ciu-sian Sin-kai Pek Mau San-jin, Song Lojin dan lain-lain. Kakakku sakti dan hebat sekali!"

Kembali kakek dan nenek itu saling pandang. Diam-diam mereka sangat terkejut karena nama-nama yang disebut gadis itu adalah nama orang-orang yang tinggi sekali tingkatnya di dalam dunia persilatan.

"Kalau Kui Hong sudah menerima kembali pedang ini, kenapa sekarang bukan dia yang membawanya pulang ke sini?” Ceng Thian Sin mengejar karena dia tidak dapat percaya begitu saja.

"Sudah kukatakan tadi bahwa enci Kui Hong telah memaafkan Liong-ko. Bahkan enci Kui Hong juga menyetujui bila Liong-ko kembali ke sini menghadap ji-wi, mengembalikan Gin-hwa-kiam dan mohon ampun. Karena itu dengan senang hati enci Kui Hong memberikan pedang pusaka itu kepada Liong-ko."

"Aku tidak percaya!" Nenak Toan Kim Hong membentak.

Mayang bersungut-sungut. "Percaya atau tidak terserah, akan tetapi memang begitulah kenyataannya. Apa bila ji-wi tetap hendak membunuh Liong-ko, bunuhlah aku juga, akan tetapi ji-wi akan menjadi orang-orang yang paling tidak adil di dunia ini dan enci Kui Hong menjadi pembohong terbesar di dunia! Nah, locianpwe boleh membunuh kami!" Gadis itu berdiri menghadang antara kakek dan nenek itu dengan Ki Liong, mengembangkan kedua lengannya seolah siap untuk menerima pukulan maut.

Ia berada dalam bahaya maut. Tidak pernah ada orang yang menantang nenek Toan Kim Hong dapat keluar dengan selamat! Muka nenek itu sudah menjadi merah dan sepasang matanya memancarkan sinar berapi.

Ceng Thian Sin melihat keadaan isterinya ini dan segera maklum bahwa sekali isterinya menggerakkan tangan, maka pemuda dan gadis itu tentu akan tewas seketika. Karena itu dia pun cepat mendahului melangkah maju sehingga isterinya menahan gerakannya.

"Ki Liong, benarkah semua yang dikatakan oleh gadis ini?" Baru sekarang kakek itu bicara langsung ditujukan kepada Ki Liong. Semenjak tadi kakek dan nenek itu tidak sudi bicara dengan dia, hanya bicara kepada Mayang.

Ki Liong yang masih berlutut itu cepat merangkap kedua tangan dan mengangguk dengan sikap merendah sekali. "Suhu yang mulia, semua yang diceritakan Mayang tadi memang benar, akan tetapi mohon Suhu dan Subo sudi memaafkan kelancangan Mayang. Dia tak bersalah dan biarlah teecu yang menanggung semua hukuman."

"Huhh, gadis yang kasar ini jauh lebih berharga dari pada kamu!” nenek Toan Kim Hong berseru. "Dia jujur dan terus terang, tidak seperti kamu yang licik dan curang!”

Meski pun dia masih marah sekali, namun kini nenek Toan Kim Hong merasa ragu untuk membunuh Ki Liong. Jika benar seperti dugaannya bahwa Mayang terlampau jujur untuk berbohong, maka Kui Hong memang sudah memaafkan Ki Liong. Padahal minggatnya Ki Liong dari pulau itu dan membawa pergi pusaka Gin-hwa-kiam, adalah karena gara-gara Kui Hong.

Ki Liong tergila-gila kepada Kui Hong dan berani menggodanya, bahkan berniat cabul. Kui Hong menolak. Karena dia ditegur sehingga merasa malu maka Ki Liong lantas melarikan diri. Kesalahannya yang terbesar adalah karena peristiwa Kui Hong. Kalau kini Kui Hong sendiri sudah dapat memaafkan Ki Liong, bagaimana mereka yang pernah menjadi guru pemuda itu berkeras hendak membunuhnya? Maka dia menyerahkan kepada suaminya yang dia tahu amat bijaksana dan dapat mengambil keputusan tepat.

"Ki Liong, kami belum bisa menerima keterangan itu begitu saja. Kami belum tahu apakah benar engkau telah bertobat, dan apakah benar Kui Hong telah memaafkanmu. Kami baru akan percaya dan mempertimbangkan apakah kami dapat mengampunimu kalau engkau dapat membawa bukti dari Kui Hong. Syukur bila Kui Hong dapat datang sendiri memberi keterangan kepada kami. Kalau tidak, sedikitnya harus ada surat tulisan dari cucu kami itu. Nah, kami sudah cukup lama bicara. Pergilah kalian berdua sebelum kami mengubah keputusan kami!”

Mayang hendak membantah, akan tetapi Ki Liong cepat-cepat memegang tangannya dan menarik gadis itu untuk berlutut. Mayang terpaksa berlutut pula di samping Ki Liong.

"Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kecintaan Suhu dan Subo yang telah mengampuni kami. Karena perintah Suhu sudah jelas, sekarang teecu mohon diri untuk melaksanakan perintah itu. Teecu hendak mencari nona Cia Kui Hong dan mendapatkan bukti darinya.”

Kakek dan nenek itu hanya membuat gerakan seperti mengibaskan tangan, namun tubuh kedua orang muda itu seperti disambar angin yang amat kuat, membuat mereka terguling-guling sampai jauh. Ketika mereka berdua akhirnya dapat bangkit, dua orang kakek dan nenek itu telah lenyap dari situ!

"Ahh, betapa kejamnya...!” Mayang berseru lirih, akan tetapi Ki Liong sudah menyambar lengan gadis itu dan ditariknya, diajak lari meninggalkan hutan itu menuruni bukit menuju ke pantai di mana dia menyimpan perahunya tadi.

"Ssttt, diamlah, Mayang dan jangan berbicara lagi. Masih untung kita dapat meninggalkan pulau ini dalam keadaan hidup dan sehat. Suhu dan subo telah mengampuniku, memberi kesempatan kepadaku. Kita patut bersyukur."

"Hemm, ke mana kita akan pergi sekarang?" tanya Mayang.

Ki Liong memanggul perahunya. "Persiapkan cambukmu untuk menghalau ikan-ikan hiu itu. Kita berlayar lagi menuju ke darat, kemudian kita mencari nona Cia Kui Hong.”

Mayang lalu mengikuti pemuda itu melangkah dari batu ke batu sambil bersungut-sungut. "Kita harus bersusah payah lagi mencari enci Kui Hong dulu! Padahal dari sini kita dapat langsung ke barat menemui ibuku dan subo-ku untuk membicarakan urusan kita."

"Kita lewati tempat berbahaya ini dulu, nanti kita bicara lagi tentang itu, Mayang."

Seperti ketika mendarat, mereka melewati bagian yang lebih dalam di mana ikan-ikan hiu hilir mudik, siap menyambar kaki mereka di antara batu-batu karang. Karena kini hatinya tengah mendongkol, Mayang pun mengamuk dengan cambuknya. Ia menyerang sepenuh tenaga sehingga sirip hiu yang terkena cambuknya menjadi patah dan lecet-lecet.

Karena ada ikan yang berdarah terkena cambuknya itu maka terjadilah perkelahian antara mereka sendiri. Hiu yang terluka menjadi sasaran serangan ikan-ikan ganas itu sehingga air laut di sekitar batu-batu itu pun menjadi merah! Mayang bergidik sendiri karena merasa ngeri ketika mereka sudah menurunkan perahu dan mulai mendayung perahu ke tengah.

Setelah Ki Liong memasang layar kecil dan perahu meluncur cepat, barulah mereka dapat duduk santai dan bercakap-cakap. “Mayang, hatiku belum merasa tenteram sebelum kita menemukan nona Kui Hong dan mendapat bukti darinya. Bagaimana hatiku bisa tenteram sebelum aku diterima kembali oleh suhu dan subo, setidaknya aku tidak akan dimusuhi? Mengenai urusan kita dengan ibumu dan subo-mu, perlu apa kau khawatirkan? Bukankah kita memang telah menjadi calon jodoh masing-masing? Kita berdua saling mencinta dan itu sudah lebih dari cukup, Mayang. Kita dapat segera menjadi suami isteri kalau engkau menghendaki. Kita dapat minta seorang pendeta di kuil untuk menikahkan kita.”

Mayang cemberut. “Tidak! Sampai mati pun aku takkan sudi menikah sebelum mendapat restu dari ibu dan subo! Aku adalah puteri ibu, dan aku adalah murid subo. Sebagai anak dan murid aku harus berbakti kepada ibu dan subo. Tanpa restu mereka, bagaimana aku dapat menjadi isteri orang? Ayahku yang sudah tewas itu boleh saja menjadi jai-hwa-cat (penjahat cabul), akan tetapi aku tidak sudi menjadi seorang wanita yang melanggar tata susila! Kita harus menikah dengan restu ibu dan subo-ku, baru aku suka menjadi isterimu, Liong-ko.”

“Akan tetapi kita saling mencinta, Mayang! Tidak ada halangan apa pun lagi yang...”

“Liong-ko! Kita ini manusia, bukan binatang. Kita mengenal hukum, peraturan, kebiasaan umum, tata susila. Dan perjodohan belum kuat benar kalau hanya didasari cinta semata! Kita pun belum tahu apakah cinta itu, apakah abadi atau tidak. Harus disertai pula dengan ikatan hukum dan peraturan, terutama tidak meninggalkan kebaktian terhadap orang tua kita. Engkau sendiri bagaimana, Liong-ko? Engkau belum pernah menceritakan mengenai orang tuamu.”

"Ayah ibuku telah tiada, Mayang."

"Ahh, kasihan engkau, Liong-ko. Baiklah, kita mencari enci Kui Hong lebih dulu. Sesudah itu baru kita pergi ke Ning-jing-san.”

Mereka melanjutkan pelayaran dan gadis itu melihat betapa kini terjadi perubahan dalam sikap Ki Liong. Pemuda itu tampak banyak melamun dan seperti orang yang berduka. Dia hanya menduga bahwa tentu pemuda itu teringat akan orang tuanya, dan juga menyesali semua kesesatannya yang lalu. Maka dia pun mendiamkannya saja.

********************

“Ciok Gun...!” Gouw Kian Sun berseru dengan mata terbelalak. Ketika itu hatinya diliputi oleh kekagetan, keheranan dan juga kekhawatiran, walau pun ada juga perasaan girang melihat munculnya murid kepercayaan itu.

Ciok Gun bukan saja merupakan murid Cin-ling-pai di bawah pimpinannya sendiri, namun juga telah dia tarik sebagai pembantu utamanya dalam mengurus Cin-ling-pai selama dia mewakili ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Kui Hong yang sedang pergi merantau.

Tentu saja dia terkejut sekali karena murid inilah yang pertama kali menghilang bersama dua orang murid Cin-ling-pai lainnya pada saat pergi berburu. Dan sebelum mereka dapat ditemukan, kakek Cia Kong Liang dan cucunya yang masih kecil, yaitu Cia Kui Bu, telah menghilang pula. Bahkan peristiwa aneh itu disusul dengan lenyapnya Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin ketika suami isteri itu berturut-turut pergi mencari putera dan ayah mereka.