Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SAMPAI lima jurus Bi Hwa terdesak oleh ilmu yang tangguh itu. Dia terus mengandalkan kegesitan gerakan tubuhnya untuk menghindar dengan loncatan-loncatan.

“Lihatlah, Suhu. Bukankah ini yang dinamakan Im-yang Sin-kun?” Bi Hwa berseru sambil meloncat untuk menghindarkan tonjokan ke arah dada,.

“Benar, Bi Hwa, itulah Im-yang Sin-kun, dimainkan cukup baik, sayang sudah kekurangan tenaga,” kata Kim Hwa Cu.

Mendengar ini Cia Kong Liang terkejut. Kalau gadis ini hanya murid, maka guru-gurunya itu tentu lebih lihai lagi. Dan agaknya mereka sudah mengenal Im-yang Sin-kun! Orang-orang macam apakah mereka ini? Dia cepat mengubah gerakan kaki tangannya dan dia memainkan Thian-te Sin-ciang yang telah dikuasainya dengan baik.

“Wah, Thian-te Sin-ciang agaknya!” Kembali Bi Hwa berseru sambil mengelak terus.

Dia bukannya mengalah, melainkan benar-benar terdesak oleh ilmu silat Cin-ling-pai yang memang amat hebat itu. Andai kata Cia Kong Liang tidak setua itu, masih memiliki tenaga kuat dan gerakan cepat, tentu Bi Hwa takkan mampu menandinginya. Kini tenaga kakek itu sudah banyak berkurang dan gerakannya pun tidak secepat dulu lagi, maka biar pun Bi Hwa terdesak, namun tetap saja wanita itu mampu menghindarkan diri dengan gerakan cepat dan lincah.

Untuk memainkan Thian-te Sin-ciang memerlukan pengerahan banyak tenaga. Karena itu, setelah beberapa jurus tidak berhasil, Cia Kong Liang mengubah lagi gerakannya. Kini dia memainkan San-in Kun-hwat.

“Hemm, ini San-in Kun-hwat yang dimainkan oleh seorang ahli!” Siok Hwa memuji.

Diam-diam mereka mengagumi ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Di dalam tugas mereka seperti yang telah direncanakan oleh gagasan Bi Hwa yang cerdik, selain menguasai Cin-ling-pai dan ilmu-ilmunya, memang mereka ingin sekali mendapatkan dua buah pusaka Cin-ling-pai.

Yang pertama adalah pedang pusaka berupa pedang kayu yang puluhan tahun yang lalu pernah menggemparkan dunia persilatan, yaitu pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) milik pendekar sakti Cia Keng Hong. Ada pun yang kedua adalah pusaka berupa ilmu yang pernah membuat seluruh tokoh dunia persilatan gempar. Ilmu itu disebut ilmu Thi-khi I-beng (Mencuri Tenaga Pindahkan Semangat), semacam ilmu tenaga dalam yang mukjijat karena pemilik ilmu ini dapat menyedot habis tenaga sinkang lawan, betapa pun kuat tenaga sinkang lawan itu!

Karena itulah, setelah sekarang berhadapan dengan kakek yang merupakan tokoh tertua dari Cin-ling-pai, maka mereka hendak menguras ilmu kakek itu agar diperlihatkan kepada mereka.

Diam-diam Cia Kong Liang terkejut dan bingung sekali setelah melihat betapa semua ilmu tangan kosong yang dikuasainya tak dapat merobohkan lawan, hanya mampu mendesak saja. Dia merasa menyesal mengapa tadi dia tidak membawa pedang. Dia bingung bukan mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan bingung dan gelisah memikirkan nasib cucunya.

Ketika perkelahian membawa mereka ke bawah sebatang pohon, tiba-tiba Cia Kong Liang meloncat ke atas dan ketika dia turun kembali, tangannya sudah mematahkan sebatang dahan sebesar lengannya. Dahan itu panjang, lalu dia patahkan menjadi dua bagian dan begitu dia memutar dua batang kayu itu, segera terdengar angin menyambar-nyambar dan nampak dua gelombang gulungan sinar hijau!

Melihat ini Bi Hwa cepat meloncat menjauhi sambil berkata kepada tiga orang gurunya, “Suhu, ini tentu Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga). Cepat Suhu hadapi dia, aku sudah lelah dan tongkatnya itu berbahaya sekali!”

Kim Hwa Cu segera melompat ke depan dan begitu kedua tangannya bergerak, dia telah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya. Dia langsung menggerakkan sepasang pedang itu dan nampaklah gulungan sinar terang seperti dua gulungan api.

“Tahan…!” Tiba-tiba Cia Kong Liang berseru nyaring kemudian dia meloncat ke belakang, menahan dua tongkat dahan pohon itu, dan matanya mencorong penuh kemarahan. Kim Hwa Cu menahan pedangnya dan berdiri menghadapinya dengan senyum simpul.

“Cia Kong Liang, sebaiknya engkau menyerah saja dengan baik-baik. Kami hanya ingin bertanya kepadamu dan mengharapkan engkau suka menjawab dengan terus terang.”

“Hemm, jika melihat pakaianmu, agaknya engkau adalah seorang pendeta, seorang tosu. Kalau benar demikian, apa artinya semua ini, totiang? Kalau kalian datang ke Cin-ling-pai hanya untuk minta keterangan sesuatu kepadaku, mengapa kalian menguasai Ciok Gun dan menangkap cucuku?”

Kim Hwa Cu tertawa lantas menyilangkan sepasang pedangnya. “Orang tua, engkau tidak perlu mengetahui urusan kami. Jika engkau dapat memenuhi dua permintaan kami, kami berjanji akan membebaskan Ciok Gun dan cucumu, dan kami tak akan mengganggumu.”

Biar pun dia marah sekali dan tidak percaya dengan omongan orang itu, namun Cia Kong Liang menahan kemarahannya karena maklum bahwa dia menghadapi lawan-lawan yang amat tangguh.

“Katakan, apa permintaanmu itu?”

“Hanya ada dua macam milik yang berharga di Cin-ling-pai. Pertama adalah Pedang Kayu Harum, dan yang kedua adalah ilmu Thi-khi I-beng. Nah, kami minta pedang pusaka itu dan rahasia ilmu Thi-khi I-beng!” jawab Kim Hwa Cu.

Wajah kakek itu sampai menjadi pucat saking kaget dan marahnya. “Yang kau sebut tadi adalah benda pusaka dan ilmu rahasia Cin-ling-pai. Lebih baik aku mati dari pada harus membuka rahasia perkumpulan kami!”

Tiba-tiba saja Bi Hwa mendengus marah. “Huhh, orang-orang Cin-ling-pai memang keras kepala semua. Sam Suhu, tidak perlu banyak cakap lagi dengan dia. Tangkap dia, akan tetapi jangan bunuh!” katanya dengan nada suara mengkal.

Kim Hwa Cu tertawa. “Ha-ha-ha, engkau sudah mendengar permintaan murid kami? Cia Kong Liang, engkau majulah dan perlihatkan kepadaku sampai di mana kehebatan ilmu Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!”

Kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia pun sudah menggerakkan dua batang kayu dahan dan memainkan ilmu tongkat Siang-liong-pang dengan sekuat tenaga. Meski pun tenaganya sudah berkurang karena usia tua dan perkelahian tadi membuatnya merasa lelah sekali, akan tetapi kemarahan yang hebat membuat tenaga serta semangat kakek ini seperti bertambah. Sepasang dahan pohon itu bergerak laksana sepasang naga bermain di angkasa, dan setiap sambarannya sungguh amat berbahaya bagi lawan.

Akan tetapi yang dilawannya adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sakti. Sepasang pedang di tangan Kim Hwa Cu itu sanggup membendung gelombang serangan sepasang tongkat. Kim Hwa Cu tidak membalas dengan serangan maut, melainkan hanya mengelak dan menangkis saja karena dia ingin memperhatikan permainan ilmu tongkat itu.

“Bagus! Memang hebat Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!” beberapa kali dia memuji.

“Sudahlah, Sam Suhu. Cepat robohkan dia dan jangan main-main lagi. Pancing agar dia mengeluarkan Thi-khi I-beng!” terdengar Bi Hwa berseru.

Kim Hwa Cu teringat akan kewajibannya. Ketika dua kali pedang pasangan di tangannya bergerak, terdengar suara keras dan sepasang tongkat dahan pohon yang masih basah itu terbabat buntung! Sambil tertawa dia pun menyimpan sepasang pedangnya, kemudian menyerang Cia Kong Liang dengan tangan kosong.

Tokoh tua Cin-ling-pai itu terkejut. Dia membuang sisa dahan di tangannya dengan penuh kenekatan. Akan tetapi tadi pun saat melawan Bi Hwa dia sudah tak mampu menandingi gadis itu, apa lagi kini gurunya yang maju. Dari pertemuan tenaga pun dia maklum bahwa dia kalah kuat, dan kini nafasnya mulai terengah-engah.

"Dukkk!"

Pundak kiri Cia Kong Liang kena ditampar oleh Kim Hwa Cu dan kakek itu pun terhuyung ke belakang, pundaknya terasa nyeri sekali. Akan tetapi dia tidak mengeluarkan keluhan, lalu menyerang lagi dengan nekat laksana singa terluka. Mereka saling pukul dan tangkis sampai belasan jurus, akan tetapi makin lama kakek Cin-ling-pai itu semakin terdesak.

"Plakkk…!"

Kembali Cia Kong Liang terkena pukulan tamparan di punggungnya, cukup keras hingga tubuhnya terpelanting! Akan tetapi dia bangkit kembali. Sebuah tendangan membuat dia terjengkang kembali sebelum dapat bangkit berdiri, akan tetapi tanpa mengeluh kakek itu mengusap darah dari bibirnya dan pandang matanya mencorong penuh kemarahan.

Mendadak dua buah tangan yang halus namun kuat sekali sudah mencengkeram kedua pundaknya dari belakang. Kedua pundak itu terasa nyeri bukan main, membuat sepasang lengannya lumpuh dan rasa nyeri menusuk-nusuk sampai ke jantung. Akan tetapi kakek itu tetap bertahan, tidak pernah mengeluh sampai akhirnya rasa nyeri membuat dia roboh terkulai dan pingsan.

Su Bi Hwa menyumpah-nyumpah. "Sialan! Sampai detik terakhir dia tidak mengeluarkan ilmu Tihi-khi-i-beng!"

"Hemm, aku yakin sekali bahwa dia tidak menguasai ilmu itu," kata Lan Hwa Cu sambil memandang tubuh kakek yang tidak bergerak itu. “Kalau dia mampu menguasainya, tentu saja sudah sejak tadi dia mempergunakannya untuk membela diri. Tidak ada seorang pun ahli silat yang membiarkan dirinya terancam maut tanpa menggunakan ilmu simpanannya yang paling ampuh. Jelas bahwa dia tidak menguasai Thi-khi I-beng."

"Jika begitu kita harus menawan dia dan cucunya. Rencana ke dua kita lanjutkan. Dengan Cin-ling-pai yang kita kuasai melalui sandera ini serta bantuan Ciok Gun yang kita jadikan mayat hidup, kita akan mengadu domba kekuatan para pendekar!"

Pada saat kakek Cia Kong Liang siuman dari pingsannya, dia mendapatkan dirinya rebah di atas lantai bertilamkan tikar tebal. Dia mencoba untuk menggerakkan kaki tangannya, namun tidak dapat. Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat bahwa tiga orang kakek seperti pendeta itu duduk bersila di sudut ruangan yang luas itu.

Kakek itu mengerutkan sepasang alisnya ketika melihat kaki tangan cucunya terbelenggu dan menggeletak miring di atas lantai. Ada pula Ciok Gun yang berdiri seperti patung dan wanita cantik itu yang duduk di atas bangku dan tangannya memegang sebatang cambuk hitam. Dia tahu bahwa dia tertotok sehingga tidak mampu menggerakkan kedua kaki dan tangannya, maka dia pun tidak berusaha untuk meronta.

"Ahh, kiranya engkau sudah siuman, kakek Cia?" Bi Hwa menghampiri sambil membawa bangku yang didudukinya tadi lalu dia pun duduk di atas bangku dekat dengan Cia Kong Liang dan memandang kepadanya dengan mata bersinar marah.

"Iblis betina jahat!" Cia Kong Liang memaki. "Aku sudah kalah, kalau kini kalian memang hendak membunuhku, bunuhlah. Akan tetapi cucuku itu tidak mempunyai kesalahan apa pun. Dia masih kecil dan tidak tahu urusan. Bebaskan dia!"

"Kakek Cia Kong Liang, tidak ada gunanya lagi engkau bersikap angkuh dan berkepala besar. Engkau sudah kami tawan, cucumu juga kami tawan, dan lihat, Ciok Gun pun telah menjadi pembantu kami yang setia. Karena itu kuharap engkau suka menyerahkan Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) dan ilmu Thi-khi I-beng kepada kami. Dan kami berjanji akan membebaskan kalian bertiga apa bila kami sudah menerima dua pusaka Cin-ling-pai itu."

"Aku Cia Kong Liang bukan orang yang takut mati! Kau boleh siksa, kau boleh bunuh aku, tapi jangan harap kalian akan dapat memaksaku bicara tentang pusaka dan ilmu rahasia Cin-ling-pai!" kata Cia Kong Liang lalu dia membuang muka, tidak sudi lagi memandang wajah wanita itu.

"Hemm, kita sama lihat saja, kakek berkepala batu!" teriak Bi Hwa, akan tetapi kakek itu sama sekali tak mau memandang kepadanya, bahkan kini memejamkan kedua matanya seolah hendak menyatakan bahwa dia tidak lagi sudi bicara dengannya.

"Tarrr-tarrrr...!" Terdengar suara cambuk meledak-ledak disusul jerit kesakitan dari mulut anak kecil.

Cia Kong Liang terkejut dan menoleh. Matanya terbelalak ketika melihat betapa cucunya telah dicambuki oleh wanita itu dalam keadaan kaki tangannya dibelenggu. Ujung cambuk panjang yang kecil itu melecut baju anak itu robek dan segera nampak darah membasahi baju Kui Bu. Baru terkena lecutan dua kali saja, kulit tubuh Kui Bu telah pecah-pecah dan darah mengalir. Anak itu menjerit-jerit kesakitan dan menangis.

"Tahan...!” teriak Cia Kong Liang.

Bi Hwa menoleh kepadanya dan tersenyum penuh kemenangan, lantas menghampiri dan duduk kembali di atas bangku yang tadi. Ada pun tiga orang pendeta Pek-lian-kauw yang menjadi gurunya masih duduk bersila seperti orang-orang yang acuh saja, padahal diam-diam mereka memperhatikan. Mereka merasa yakin bahwa murid mereka yang cerdik itu akan dapat memaksa tokoh Cin-ling-pai itu membuat pengakuan.

"Hemm, agaknya engkau mulai dapat melihat kenyataan, kakek Cia. Pedang Kayu Harum itu hanya sebuah benda, Thi-khi I-beng hanya sebuah ilmu. Tidak pantas ditukar dengan nyawa cucumu, bukan? Nah, kami siap mendengarkan keteranganmu!"

Mata Cia Kong Liang masih memandang cucunya yang merintih-rintih. "Rawat dia dahulu, baru aku mau bicara. Dan berjanjilah bahwa kalian tidak akan megganggunya lagi," kata kakek itu lirih.

Dengan senyumnya yang genit Su Bi Hwa berkata kepada Ciok Gun yang masih berdiri tanpa bergerak seperti arca itu. "Ciok Gun, kau rawat dan obati luka cambukan anak itu, lalu ganti pakaiannya dan beri dia makan dan minum. Bawa keluar dari ruangan ini!"

Sambil menghadap ke arah wanita itu, Ciok Gun memberi hormat dengan membungkuk dan berkata, suaranya datar dan kosong. "Baik Su-siocia!" dan dia lalu menghampiri Kui Bu dan memondong anak yang masih merintih itu, membawanya keluar.

Secara diam-diam Cia Kong Liang merasa cemas bukan main melihat keadaan Ciok Gun. Sebagai seorang pendekar yang memiliki banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa murid Cin-ling-pai itu bersikap tidak wajar dan ada suatu kekuatan aneh yang menguasai dan mencengkeram batinnya. Dia menarik napas panjang.

Cin-ling-pai dalam bahaya, pikirnya. Akan tetapi hatinya menjadi tenang ketika mengingat bahwa puteranya, Cia Hui Song, dan mantunya, Ceng Sui Cin, sudah berada di Cin-ling-pai. Puteranya dan mantunya yang memiliki kepandaian tinggi tentu takkan tinggal diam, tentu mereka akan mencari putera mereka dan menemukannya di sini. Empat orang jahat ini tentu akan dapat dibasmi oleh Cin-ling-pai di bawah pimpinan putera dan mantunya.

“Aku mau bicara, akan tetapi ada dua syarat,” katanya. "Kalau kalian tidak memenuhi syarat itu maka aku tidak mau bicara."

Bi Hwa tersenyum mengejek. Dia tahu bahwa ucapan itu hanya gertakan kosong belaka. Jika dia menyiksa Cia Kui Bu di depan mata kakek itu, apa pun yang dia minta tentu akan dipenuhi olehnya!

"Hemmm, apakah kedua syarat itu?" tanyanya untuk mempermudah pengakuan Cia Kong Liang.

"Pertama, engkau harus berjanji untuk membebaskan Cia Kui Bu."

"Baik, aku berjanji akan membebaskan cucumu itu kalau kami sudah memperoleh Siang-bhok-Kiam dan Thi-khi I-beng!"

"Dan syarat ke dua, sebelum aku memberi keterangan, kalian harus memperkenalkan diri dan menerangkan mengapa kalian memusuhi Cin-ling-pai!"

Bi Hwa tertawa kemudian menoleh ke arah ketiga orang suhunya. Matanya yang genit itu berkijap-kijap bermain mata dengan mereka, lalu dia pun menjawab. "Sudah sepatutnya engkau mengenal siapa kami. Lihat, tiga orang itu adalah guru-guruku, yang pertama Lam Hwa Cu, ke dua Siok Hwa Cu, dan ke tiga Kim Hwa Cu."

"Aku tidak mengenal nama-nama itu...," kata Cia Kong Liang sambil mengingat-ingat.

"Di dunia kang-ouw mereka bertiga dikenal sebagai Pek-lian Sam-kwi."

"Ahhh...…! Kiranya orang-orang Pek-lian-kauw!" Cia Kong Liang terkejut bukan main dan sekarang mengertilah dia kenapa mereka mengganggu Cin-ling-pai. Pek-lian-kauw akan mengganggu siapa saja tanpa pandang bulu, demi kepentingan perkumpulan sesat itu.

"Bagus kalau engkau sudah tahu. Dan aku sendiri seorang anggota Pek-lian-kauw pula, murid mereka, namaku Su Bi Hwa dan lebih dikenal dengan julukan Tok-ciang Bi Mo-li."

"Hemmm..." Cia Kong Liang menarik napas panjang.

Dia maklum bahwa Cin-ling-pai kini benar-benar berada di dalam bahaya. Akan tetapi dia dibuat tak berdaya dengan ditawannya cucunya. Lagi pula, dia tidak akan merugikan Cin-ling-pai walau pun dia memberi keterangan tentang pedang pusaka Siang-bhok-kiam dan ilmu Thi-khi I-beng kepada mereka, akan tetapi terutama sekali dia ingin menyelamatkan cucunya.

“Nah, sekarang katakan di mana adanya Siang-bhok-kiam?” tanya Bi Hwa dan kini ketiga orang pendeta Pek-lian-kauw itu pun membuka mata yang tadi mereka pejamkan. Mereka memandang ke arah kakek itu dengan pandang mata penuh harap.

"Aku tidak tahu...” Cia Kong Liang menggelengkan kepala.

Bi Hwa melompat berdiri dari bangkunya. Mukanya berubah merah sekali, kedua matanya mendelik dan sepasang tangannya terkepal.

"Tua bangka busuk! Engkau hendak menipuku dan melanggar janji? Apa kau mau melihat cucumu itu kusembelih perlahan-lahan di depan matamu, kemudian daging dan darahnya akan kumasak dan kuahnya akan kupaksa masuk ke dalam perutmu?"

Cia Kong Liang bergidik. Dia cukup mengenal kekejaman orang-orang Pek-lian-kauw dan dia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya gertakan belaka. Kalau perlu, wanita itu tentu akan dapat melaksanakan ancamannya itu dengan darah dingin!

"Anak perempuan calon penghuni neraka! Aku bukanlah seorang yang suka menipu, juga tidak pernah melanggar janji! Kalau kukatakan bahwa aku tidak tahu di mana Siang-bhok-kiam berada, hal itu bukanlah bohong! Aku memang benar tidak tahu, bahkan aku belum pernah melihat pedang pusaka nenek moyangku itu!"

"Bohong! Itu tidak mungkin! Engkau adalah keturunan keluarga Cia, pimpinan Cin-ling-pai. Betapa mungkin engkau tidak tahu tentang Siang-bhok-kiam? Hayo ceritakan semuanya dengan jelas. Awas kalau engkau membohong, aku tidak mau mengancam untuk ke dua kalinya!"

Cia Kong Liang menghela napas panjang. "Pedang pusaka Siang-bhok-kiam milik nenek moyang keluarga Cia memang benar-benar tidak ada lagi. Bahkan mendiang ayahku, Cia Bun Houw, tidak tahu di mana pusaka itu kini berada. Dahulu pernah kutanyakan kepada ayahku, namun dia hanya mengatakan bahwa yang terakhir kalinya pedang itu berada di tangan kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang pertama. Kemudian mendiang ayah tidak pernah tahu lagi di mana pedang pusaka itu disimpan. Pernah ayahku mengatakan bahwa kakek Cia Keng Hong sengaja menyembunyikah pedang itu dan melarang pusaka itu untuk dijadikan senjata. Pedang itu hanya dikenal namanya saja sebagai pusaka Cin-ling-pai. Aku sendiri melihat pun belum, apa lagi memilikinya.”

Su Bi Hwa mengerutkan alisnya. "Karena Cia Keng Hong adalah ketua Cin-ling-pai, tentu pedang pusaka itu disembunyikan di perkampungan Cin-ling-pai! Tidakkah begitu?"

"Mungkin saja, tetapi sejak mendiang ayahku berada di Cin-ling-pai sampai aku menjadi ketua kemudian dilanjutkan puteraku dan sekarang dipegang oleh cucuku, keluarga kami belum pernah mencarinya."

"Kenapa?"

"Mengingat pesan ayah dulu bahwa kakek tidak menghendaki pedang pusaka itu muncul sebagai senjata. Hanya namanya saja yang kami ingat sebagai pusaka Cin-ling-pai, dan nama itu diabadikan dalam bentuk ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut."

Su Bi Hwa mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada tiga orang gurunya dan dia berkata lirih, "Kita bisa mencarinya nanti….” Tiga orang pendeta Pek-lian-kauw itu mengangguk.

"Sekarang mengenai ilmu Thi-khi I-beng. Hayo ceritakan yang sebenarnya mengenai ilmu ini. Kami ingin memilikinya!” kata pula Bi Hwa dengan suara galak karena kekecewaannya mendengar tentang Siang-bhok-kiam tadi.

"Seperti juga pedang pusaha Siang-bhok-kiam, ilmu Thi-khi I-beng telah lama menghilang dari keluarga kami, bahkan dari Cin-ling-pai. Aku sendiri tidak menguasai ilmu itu."

“Aku tahu!” bentak Bi Hwa galak. "Kalau engkau menguasai ilmu itu, tentu takkan mudah tertawan oleh kami! Yang kutanyakan adalah kitabnya, kitab pelajaran ilmu Thi-khi I-beng itu! Di mana kitab itu?”

Cia Kong Liang memandang wajah wanita muda itu. Dalam hatinya diam-diam dia merasa senang. Yang dicari orang-orang jahat ini tidak ada sehingga tidak mungkin dapat mereka miliki.

"Ketahuilah, Moli (Iblis Betina), sejak dulu tidak pernah ada kitab pelajaran Thi-khi I-beng,” katanya dengan suara hampir ramah karena hatinya merasa senang.

"Bohong! Semua ilmu yang hebat tentu ada kitabnya!"

"Sudah kukatakan bahwa aku tidak pernah bohong. Semua ilmu silat dari Cin-ling-pai tak pernah ada kitabnya. Kami sudah melihat pengalaman perkumpulan silat yang lain. Kitab mereka selalu diperebutkan orang, dicuri atau dirampas. Karena itu, sejak pendiri Cin-ling-pai pertama, kami tidak pernah mencatat ilmu-ilmu kami dalam kitab. Kami mengajarkan ilmu-ilmu kami secara langsung, dari guru ke murid."

"Dan Thi-khi I-beng?"

"Tidak ada lagi orang Cin-ling-pai yang menguasainya. Ilmu itu bukan ilmu sembarangan yang dapat dipelajari oleh sembarang orang!" Ucapan ini mengandung kebanggaan.

"Hemm, jadi engkau tidak dapat mempelajarinya karena engkau tidak berbakat?" Bi Hwa mengejek.

"Pertama, karena bakatku memang tidak cukup besar, dan kedua karena tidak ada orang yang mengajarkannya kepadaku. Bahkan ayahku sendiri juga tidak menguasai ilmu Thi-khi I-beng itu. Hanya kakek yang menguasainya."

Bi Hwa saling pandang dengan tiga orang gurunya. Mereka benar-benar merasa kecewa bukan main. Siang-bhok-kiam lenyap. Thi-khi I-beng juga lenyap!

"Jadi di dunia ini sudah tidak ada lagi orang yang menguasai Thi-khi I-beng dan kitabnya pun tidak ada?"

Mendadak Cia Kong Liang merasa jantungnya berdebar. Mengapa tidak? Bukan sekedar membuka rahasia, akan tetapi jika dia boleh mengharapkan pertolongan bagi Cin-ling-pai, maka yang diharapkan adalah dari pulau Teratai Merah!

"Kurasa sekarang di dunia ini hanya ada satu orang saja yang masih menguasainya, yaitu besanku, Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah."

"Pendekar Sadis.....?!” Empat orang itu serempak berseru kaget.

Cia Kong Liang tersenyum senang. "Benar, hanya dialah yang menguasai ilmu itu. Nah, sekarang aku telah membuka semua rahasia tentang Siang-bhok-kiam dan Thi-khi I-beng, aku harap engkau suka segera membebaskan cucuku Cia Kui Bu."

"Heh-heh-heh, jangan harap! Dia dan engkau masih akan menjadi tawanan kami, sebagai sandera!" kata Bi Hwa.

"Kau... kau.... melanggar janji! Engkau jahat, curang, pengecut hina...!"

"Plakkk!" Tangan Bi Hwa bergerak dan kakek itu terkulai pingsan.

"Suhu bertiga telah mendengar sendiri. Kini kita harus mengganti siasat," kata Bi Hwa dan kembali dia bersama tiga orang gurunya berunding, mengatur siasat selanjutnya sesudah langkah pertama itu mengecewakan hati mereka.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Suami isteri itu berdiri di pekarangan depan rumah induk perkampungan Cin-ling-pai. Alis mereka berkerut ketika mereka memandang ke luar dalam cuaca yang telah redup karena senja mulai tiba.

Laki-laki itu adalah Cia Hui Song, berusia empat puluh empat tahun. Tubuhnya tegap dan wajahnya yang tampan itu selalu cerah, sepasang matanya mencorong dan lincah sedang mulutnya selalu mengandung senyum. Dia putera Cia Kong Liang, bekas ketua Cin-ling-pai yang sudah mengundurkan diri walau usianya belum tua benar karena dia lebih suka bebas merantau bersama isterinya.

Wanita itu adalah isterinya, Ceng Sui Cin, berusia tiga puluh sembilan tahun. Dalam usia menjelang tua itu, dia masih nampak manis, matanya tajam bersinar-sinar. Dalam hal ilmu silat, dia tidak berselisih jauh dari suaminya karena wanita ini adalah puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah.

Selain keturunan orang-orang pandai, suami isteri ini juga pernah menerima gemblengan dari tokoh-tokoh sakti. Cia Hui Song pernah menjadi murid mendiang Siangkiang Lojin, salah seorang di antara Delapan Dewa. Sedangkan Ceng Sui Cin, di samping mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya, juga pernah digembleng oleh mendiang Wu Yi Lojin, seorang di antara Delapan Dewa pula. Maka dapat dibayangkan betapa lihainya mereka.

Baru kemarin suami isteri ini kembali ke Cin-ling-pai bersama putera mereka, Cia Kui Bu yang berusia lima tahun. Selama berbulan-bulan mereka tinggal di pulau Teratai Merah. Dan sore itu mereka berada di pekarangan itu dengan hati agak khawatir. Putera mereka, Cia Kui Bu, sejak pagi pergi berjalan-jalan dengan kakeknya, yaitu kakek Cia Kong Liang dan sampai matahari hampir tenggelam, kakek dan cucu itu belum juga pulang.

"Sungguh aneh, ke manakah ayah mengajak Kui Bu pergi? Kalau hanya jalan-jalan saja, kenapa sampai seharian dan belum juga pulang?" untuk ke sekian kalinya Cia Hui Song mengomel.

"Apakah malam tadi beliau tidak berpesan sesuatu kepadamu?" tanya isterinya.

“Tidak, dia hanya mengatakan bahwa pagi hari ini dia ingin berjalan-jalan dengan Kui Bu. Apakah pagi tadi engkau bertemu dengan ayah?"

"Tadi pagi-pagi sekali Kui Bu sudah bangun dan setelah mandi dia lantas berpamit untuk mengunjungi kakeknya yang sudah berjanji bahwa pagi ini akan berjalan-jalan. Aku hanya mendengar suara ketawanya bersama kongkong-nya ketika mereka berangkat pagi tadi."

Dari bangunan tempat tinggal Gouw Kian Sun, di sebelah kiri bangunan induk itu, muncul Kian Sun bersama seorang wanita. Agaknya mereka berdua memang bermaksud hendak mengunjungi bangunan induk. Ketika melihat Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin berdiri di pekarangan, Gouw Kian Sun segera menghampiri mereka dan memberi hormat.

Wanita itu pun ikut memberi hormat dan ternyata dia seorang wanita yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun dan wajahnya nampak gelisah, bahkan dia terlihat seperti baru saja menangis. Hui Song dan isterinya mengenalnya sebagai isteri Koo Ham yang tinggal di bagian belakang.

"Kebetulan sekali, Suheng dan Toaso berada di sini. Kami memang ingin menghadap ji-wi (kalian berdua)," kata Kian Sun setelah memberi hormat.

"Hemm, ada urusan apakah, sute?" tanya Hui Song sambil memandang kepada wanita itu karena dia menduga bahwa tentu urusan itu mengenai wanita ini. Kalau tidak begitu, tidak mungkin isteri Koo Ham datang bersama Kian Sun, dan suaminya tidak nampak bersama mereka.

"Seheng, isteri Koo Ham ini sangat mengkhawatirkan suaminya, juga saya sendiri merasa heran mengapa dia, Ciok Gun dan Teng Sin belum juga pulang sejak kemarin pagi."

"Hemm, ke manakah mereka bertiga pergi?"

"Mereka bertiga pergi berburu. Biasanya mereka tidak pernah bermalam kalau berburu. Kalau pun terpaksa bermalam, maka pada keesokan paginya pasti pulang. Tetapi sampai sekarang mereka belum juga pulang. Hal ini memang aneh dan isteri Koo Ham ini merasa gelisah sekali karena malam tadi dia bermimpi buruk."

Hui Song dan isterinya saling pandang dan mereka tersenyum. Agaknya isteri Koo Ham ini percaya akan mimpi yang biasanya hanya merupakan bunga dari tidur saja.

"Engkau mimpi apakah?" Ceng Sui Cin bertanya kepada wanita itu.

"Saya... saya melihat suami saya mandi dengan... darah..."

Walau pun mereka bukan orang yang percaya tahyul dan mimpi, akan tetapi suami isteri pendekar ini saling pandang dan merasa ngeri.

“Kian Sun sute, apakah engkau tadi melihat ayah?" tiba-tiba Hui Song bertanya.

"Tidak, Suheng. Bukankah pagi tadi suhu pergi berjalari-jalan dengan puteramu? Apakah belum pulang?"

Hui Song menahan kegelisahan hatinya agar jangan sampai nampak pada wajahnya. Dia memandang isterinya. "Aku akan pergi mencari mereka! Juga sekalian mencari Ciok Gun dan dua orang sute-nya."

Sui Cin mengangguk. la percaya bahwa seperti juga tiga orang murid Cin-ling-pai itu yang tentu sanggup melindungi diri sendiri, juga ayah mertuanya pasti akan menjaga anaknya dengan baik. Apa lagi selama ini di daerah Cin-ling-san tidak pernah terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Keadaan di tempat itu selalu aman dan tenteram. Sesudah suaminya pergi dia pun menghibur isteri Koo Ham, lalu menyuruhnya pulang dan menanti suaminya di rumah.

Sesudah keluar dari perkampungan Cin-ling-pai, Hui Song menggunakan kepandaiannya berlari cepat mencari-cari ayahnya dan anaknya. Dia berlari mendaki sebuah puncak bukit terdekat, lalu berteriak memanggil nama puteranya dengan pengerahan khikang supaya suaranya terdengar sampai jauh. Sesudah menunggu jawaban yang tak kunjung ada, dia lalu menuruni bukit itu dan berlari mendaki bukit lain.

Pendekar ini tidak tahu bahwa semenjak tadi ada beberapa pasang mata yang mengikuti gerak-geriknya dan beberapa pasang telinga mendengarkan teriakannya yang melengking nyaring ketika dia memanggil puteranya itu. Pemilik mata dan telinga ini saling pandang dengan kaget dan penuh kagum, juga agak gentar. Mereka adalah Pek-lian Sam-kwi dan murid mereka, Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa yang semenjak tadi mengintai dari puncak bukit tempat mereka bersembunyi.

Selagi Hui Song hendak mendaki bukit berikutnya, tiba-tiba ada bayangan orang muncul dari dalam hutan di lereng bukit itu dan orang ini berlari turun memapakinya.

"Suhu...!” Orang itu bukan lain adalah Ciok Gun yang cepat membungkuk dengan sikap hormat kepada Cia Hui Song.

"Ciok Gun, engkau? Ke mana saja engkau dan di mana pula kedua orang sute-mu? Dan apakah engkau melihat ayah dan puteraku?”

"Suhu, panjang ceritanya. Akan tetapi, marilah Suhu ikut saya. Teecu (murid) mengetahui di mana adanya sukong (kakek guru) dan sute Kui Bu. Mari...!” Dan Ciok Gun langsung membalikkan tubuhnya berlari mendaki bukit itu.

Tentu saja Hui Song cepat-cepat mengikutinya. Senja telah mendatang dan akan semakin sukarlah mencari ayah dan puteranya kalau malam tiba. Dia merasa gembira mendengar bahwa Ciok Gun mengetahui di mana adanya mereka, akan tetapi juga timbul keheranan dan kekhawatiran melihat sikap murid Cin-ling-pai yang tidak wajar ini.

Seperti yang dialami oleh kakek Cia Kong Liang, Hui Song juga merasa terkejut dan heran ketika dia diajak Ciok Gun menuju ke sebuah pondok yang berada di hutan dekat puncak bukit itu. Seingatnya, tidak pernah ada pondok di situ!

"Pondok milik siapakah ini?" tanyanya ketika Ciok Gun berhenti. Akan tetapi Ciok Gun memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut.

"Ssttt... teecu melihat ayah dan putera Suhu di sebuah ruangan. Mari...!" bisiknya dan dia pun langsung menyelinap masuk ke dalam rumah itu melalui sebuah pintu samping kecil yang terbuka.

Hui Song juga menyelinap masuk dengan sikap hati-hati. Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, dia sudah dapat merasakan adanya sesuatu yang tidak beres, maka dia pun siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang mengancam dirinya.

Mereka tiba di ruangan belakang dan Ciok Gun memberi isyarat kepada Hui Song untuk mendekat. Hui Song lantas mengintai dari jendela. Kamar di dalam itu diberi penerangan lampu gantung sehingga cukup terang. Begitu mengintai ke dalam, dia terkejut akan tetapi sekaligus juga girang. Ayahnya dan puteranya berada dalam kamar itu. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah karena keduanya terbelenggu kaki tangannya.

"Ayah! Kui Bu...!” Dia berseru lantas sekali tubuhnya bergerak, terdengar suara keras dan daun jendela itu telah jebol dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan yang luas itu.

Akan tetapi dari kanan kiri tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan kini di depannya telah berdiri empat orang. Tiga orang laki-laki berjubah pendeta yang usianya antara lima puluh sampai enam puluh tahun serta seorang wanita muda berusia dua puluh lima tahun yang cantik dan pesolek, bersikap genit dengan senyum dan pandang matanya.

Hui Song melihat betapa Ciok Gun juga sudah memasuki ruangan itu, bahkan mendekati ayahnya dan puteranya. Akan tetapi yang sangat mengejutkan hatinya, murid Cin-ling-pai itu sama sekali tidak bersikap melindungi atau ingin menolong mereka. Bahkan dia duduk di atas bangku di sudut ruangan dengan tenang dan dingin, seperti sebuah patung saja!

“Selamat datang, pendekar besar Cia Hui Song!" kata wamta itu sambil tersenyum manis dengan gaya yang memikat. "Kiranya tidak bohong berita yang kudengar bahwa pendekar Cia Hui Song adalah seorang pria yang gagah dan ganteng!"

Hui Song mengerutkan kedua alisnya. Tahulah dia bahwa dia tengah berhadapan dengan seorang wanita yang amat jahat dan cabul. Ketika dia melirik ke arah ayahnya, dia melihat betapa orang tua itu tak mampu bergerak, bahkan tidak mampu bersuara, hanya matanya saja yang menatap kepadanya dengan pandangan khawatir. Juga puteranya rebah miring dalam keadaan terbelenggu tanpa bersuara. Tentu saja dia merasa gelisah bukan main ketika melihat keadaan mereka.

"Siapakah kalian?” Suaranya terdengar tegas, juga mengandung getaran kuat karena dia sedang marah. “Apakah kalian yang menawan ayahku dan puteraku?”

Bi Hwa tersenyum. "Mereka menjadi tamu kami, seperti juga engkau, Cia Hui Song. Kami ingin bicara denganmu, maka kami mengutus Ciok Gun untuk mengundangmu ke sini.”

“Ciok Gun...? Dia... dia... hemm, bebaskan dulu ayahku dan puteraku!”

"Nanti setelah kita bicara, pendekar yang tampan!”

"Keparat! Mereka akan kubebaskan sendiri!" Hui Song langsung bergerak ke depan untuk menghampiri ayahnya dan puteranya. Melihat ini, Su Bi Hwa yang memang ingin menguji kepandaian orang yang paling terkenal di Cin-ling-pai itu, maju menghalang.

"Minggir kau, perempuan iblis!" bentak Hui Song dan dia pun mendorong ke arah Bi Hwa. Wanita itu sengaja menyambut dengan tangannya sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukkk...!”

“Aihhhh...!" Bi Hwa terdorong dan terjengkang sampai terguling-guling.

Diam-diam Hui Song terkejut juga merasakan betapa kuatnya tenaga wanita itu. Ketika dia hendak maju terus, tiga orang tosu itu telah berdiri menghadang di depannya. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi pengeroyokan mereka dulu sebelum dapat membebaskan ayahnya dan puteranya. Tempat itu cukup luas untuk berkelahi secara keroyokan. Yang membuat dia khawatir hanyalah keadaan ayahnya dan puteranya.

"Ciok Gun, bebaskan sukong-mu dan sute-mu!" bentaknya kepada Ciok Gun. Akan tetapi sekali ini Ciok Gun tetap duduk diam laksana patung, tidak bergerak sama sekali seolah tidak mendengar perintah itu.

“Hemm, kalian iblis-iblis jahat. Berani kalian mengacau Cin-ling-pai?!" bentaknya dan dia pun segera menyerang orang terdekat, yaitu Siok Hwa Cu yang bertubuh gendut pendek dan bermuka hitam. Dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, tangan kanannya menampar ke arah kepala lawan yang pendek gendut itu. Siok Hwa Cu cepat mengerahkan tenaganya dan mengangkat kedua lengannya menangkis.

"Dukkk...!"

Hui Song merasa betapa tubuhnya tergetar oleh tangkisan itu. Akan tetapi Siok Hwa Cu terhuyung dan dia pun cepat menjatuhkan dirinya lantas bergulingan. Melihat ini Kim Hwa Cu sudah menyerang dari samping, menghantam ke arah lambung Hui Song. Pendekar ini mengelak dengan loncatan ke belakang, namun pada saat itu Lan Hwa Cu yang tinggi besar sudah mengirim pukulan pula ke arah kepalanya. Maka dia pun menangkis sambil mengerahkah tenaga sepenuhnya.

"Dukkk…!"

Kembali dia tergetar hebat walau pun lawannya juga terpental ke belakang. Secara diam-diam Hui Song terkejut. Ternyata empat orang lawan ini memiliki kepandaian yang tinggi dan dalam hal tenaga sinkang, tidak kalah jauh olehnya! Dia sama sekali tidak gentar dan pasti akan menang kalau melawan mereka satu per satu. Akan tetapi kalau mereka maju bersama, berat juga baginya. Padahal dia harus menyelamatkan ayahnya dan puteranya.

Yang lebih kaget adalah ketiga orang tosu Pek-lian-kauw itu. Sungguh pun mereka sudah menduga bahwa Cia Hui Song tentu lihai sekali, lebih lihai dari pada ayahnya yang sudah tua, namun tidak mereka sangka pria itu akan mampu membuat mereka terpental. Hal ini adalah karena mereka bertiga ini sudah terbiasa memandang diri sendiri terlalu tinggi.

“Hyaatttt...!” Hui Song mengeluarkan suara melengking nyaring kemudian tubuhnya telah menyambar-nyambar dengan kuatnya.

Tiga orang tosu itu mengepung ketat, namun mereka tidak berani mendesak terlalu dekat karena dua tangan pendekar itu mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat. Hui Song mengerahkan seluruh tenaganya karena maklum bahwa perkelahian itu akan menentukan tertolong atau tidaknya ayah dan puteranya.

Tiba-tiba terdengar suara wanita itu. "Tahan, hentikan perkelahian. Suhu semua mundur!"

Tiga orang tosu itu berlompatan mundur karena yakin akan kecerdikan Bi Hwa. Juga Hui Song segera menahan gerakannya karena khawatir terjebak. Dia melihat tiga orang tosu itu kini berdiri di dekat wanita itu, menghalangi dia menghampiri ayahnya dan puteranya. Sedangkan wanita itu telah menodongkan pedangnya pada leher Cia Kong Liang dan Cia Kui Bu yang rebah berdampingan!

"Cia Hui Song, lihatlah baik-baik. Jika engkau masih hendak mempergunakan kekerasan maka terpaksa aku akan menggorok leher ayahmu dan puteramu!"

Sebelumnya Bi Hwa yang cerdik itu telah memulihkan totokan di leher kedua orang kakek dan cucu itu sehingga kini keduanya dapat mengeluarkan suara.

"Ayah...! Ayah...!” Kui Bu memanggil sambil menangis sesenggukan. Anak itu betul-betul menderita, tubuhnya sakit-sakit karena dicambuki dan juga ketakutan.

Akan tetapi ayahnya membentak nyaring. "Hui Song, serang mereka! Bunuh mereka yang amat jahat itu! Cin-ling-pai berada dalam bahaya. Bunuh mereka, jangan pedulikan aku!"

"Ayah..., Kui Bu juga dalam bahaya..." Hui Song menjadi lemas karena dia tahu bahwa ancaman seorang yang berwatak kejam seperti wanita itu bukan hanya gertakan kosong belaka. Wanita itu tentu akan tega menggorok leher Kui Bu dan ayahnya seperti yang tadi diancamkannya.

"Lawan mereka! Kalau engkau menyerah pun hanya percuma saja, akhirnya mereka akan membunuhmu, membunuh aku dan Kui Bu juga. Lawan dan bunuh mereka, Hui Song!" kembali Cia Kong Liang berteriak-teriak.

"Tukkk!"

Kim Hwa Cu menotok hingga kakek itu pun terkulai pingsan. Melihat ini Hui Song marah bukan main, akan tetapi dia tidak berani bergerak karena leher puteranya masih ditodong pedang wanita itu.

"Bagairnana, Cia Hui Song, engkau mau berdamai dan menyerah ataukah kubunuh dulu ayahmu dan puteramu, kemudian baru kami keroyok engkau?" Bi Hwa bertanya dan nada suaranya penuh kemenangan.

Lemas seluruh tubuh Hui Song. Mungkin hatinya masih dapat tega melihat ayahnya yang sudah tua terbunuh, karena ayahnya akan tewas sebagai orang gagah. Tetapi bagaimana mungkin dia tega kalau melihat puteranya yang baru berusia lima tahun itu disembelih di hadapannya?

"Katakan lebih dulu, apa kehendakmu jika aku tidak melawan?" katanya, suaranya masih berwibawa, namun sudah tidak lantang dan tegas lagi seperti tadi.

"Kami hanya akan menjadikan engkau sebagai tawanan kami... eh, maksudku tamu kami seperti ayahmu dan puteramu. Kami tidak akan membunuh kalian asal engkau mentaati permintaan-permintaan kami."

"Hemmm, harus dilihat dulu apa permintaan itu. Dan sebetulnya siapakah kalian dan apa maksud kalian melakukan semua ini?"

"Cia Hui Song, engkau tawanan kami, tak perlu banyak menuntut. Kami tidak membunuh ayahmu dan anakmu, dan engkau menjadi tawanan kami. Nah, engkau berjanji tidak akan melawan? Kami pun berjanji tidak akan membunuh kalian bertiga."

Hui Song memandang ayahnya yang masih pingsan, lantas kepada anaknya yang masih menangis lirih, dan akhirnya kepada tiga orang pendeta itu.

"Aku mau berjanji, akan tetapi kalian berempat juga harus mengucapkan janji kalian untuk tidak mengganggu ayahku dan puteraku. Apa bila hanya engkau saja yang berjanji, Nona, terus terang aku tidak percaya."

"Baik, kami berjanji. Suhu, berjanjilah kalian!" kata Bi Hwa.

Dengan heran Hui Song melihat betapa tiga orang tosu yang disebut suhu oleh gadis itu begitu taat. Mereka mengangguk kemudian serentak mereka berkata sambil memandang kepadanya.

"Cia Hui Song, kami berjanji tidak akan membunuh ayahmu dan puteramu kalau engkau menyerah dan tidak melawan."

Hui Song tak habis mengerti bagaimana tiga orang guru demikian taat kepada muridnya, padahal murid itu seorang wanita muda. Melihat kekuatan mereka, dia tahu bahwa murid itu tidak lebih kuat dari pada mereka bertiga! Akan tetapi dia tidak peduli.

Dia tidak tahu bahwa karena kecerdikannya, Tok-Ciang Bi Moli Su Bi Hwa sudah diangkat oleh pimpinan Pek-lian-kauw menjadi pemimpin rombongan pelaksana tugas itu sehingga di dalam tugas itu, tiga orang gurunya menjadi orang-orang bawahannya atau pembantu-pembantunya. Di samping itu, memang biasanya mereka itu kalah pengaruh oleh Bi Hwa, apa lagi Kim Hwa Cu dan Siok Hwa Cu yang juga menganggap gadis itu sebagai kekasih mereka.

"Aku pun berjanji tidak akan melawan lagi dan akan memenuhi permintaan kalian, asalkan permintaan itu tidak berlawanan dengan hatiku dan tidak melakukan kejahatan!”

“Tentu saja!” kata Bi Hwa. "Ciok Gun, kau bawa kakek dan cucunya itu ke kamar tahanan hijau!"

"Baik, Su-siocia!" kata Ciok Gun dan bagaikan patung yang baru saja dapat bergerak, dia pun bangkit dan berjalan menghampiri kakek Cia Kong Liang. Dipanggulnya tubuh kakek itu, kemudian mengempit tubuh Kui Bu yang masih menangis itu dibawa keluar dari situ.

"Ayah...!”

"Kui Bu, diamlah dan jangan cengeng! Kau jaga kongkong-mu baik-baik," kata Hui Song sambil menabahkan hatinya yang rasanya seperti diremas-remas.

"Awas kalian berempat. Bila sampai ayahku atau anakku diganggu, aku bersumpah akan membunuh kalian!" katanya setelah Ciok Gun membawa kedua orang itu pergi.

"Hi-hik-hik, kami tidak akan begitu bodoh Cia-taihiap (pendekar besar Cia)!" kata Bi Hwa sambil tersenyum manis.

Kini ia menyebut taihiap kepada Hui Song, sebutan yang amat menyakitkan hati pendekar itu karena pada saat itu dia sama sekali tidak merasa sebagai seorang pendekar, apa lagi pendekar yang besar. Dia merasa dirinya seperti seorang pengecut yang sudi menyerah begitu saja kepada orang-orang jahat! Akan tetapi, apa daya? Puteranya dalam bahaya. Kalau dia tidak menyerah, tentu iblis-iblis itu akan membunuh anaknya dan ayahnya.

"Kami tidak bermaksud membunuh siapa-siapa, bahkan kami juga tidak ingin memusuhi Cin-ling-pai. Sekarang engkau menjadi tamu kami, dan marilah kami antarkan engkau ke kamarmu,” kata pula wanita itu dengan sikap genit sekali.

Tanpa berbicara apa-apa lagi Hui Song mengikuti Bi Hwa yang berjalan di depannya, ada pun tiga orang tosu itu berjalan di belakangnya. Kalau dia mau, dengan sekali serang saja dia tentu akan dapat membunuh wanita yang berada di depannya itu, kemudian dia pun akan mampu melawan mati-matian kalau dikeroyok tiga orang tosu di belakangnya. Akan tetapi, andai kata tindakannya itu dapat membunuh mereka berempat, tetap saja anaknya dan ayahnya terancam bahaya maut. Dia tidak tahu berapa banyak anak buah mereka, dan di sini ada pula Ciok Gun yang agaknya telah berada dalam cengkeraman kekuasaan mereka.

Maka dia cepat menahan gejolak hatinya dan mengikuti dengan patuh ketika dia dibawa memasuki sebuah pintu rahasia yang membuka sebuah lorong bawah tanah! Orang-orang ini ternyata sudah membuat persiapan, pikirnya. Mereka bahkan sudah membuat lorong rahasia di bawah pondok itu.

Lorong itu cukup panjang, lebih dari seratus meter panjangnya. Dia lalu disuruh masuk ke dalam sebuah kamar bawah tanah. Dari kamar yang mempunyai jendela beruji besi yang kokoh kuat itu dia dapat melihat betapa kurang lebih lima puluh meter dari situ, anaknya dan ayahnya rebah di atas pembaringan, di sebuah kamar lain.

"Nah, ini kamarnya, Cia-taihiap, lengkap dengan tempat mandi dan kakus. Dan yang lebih baik lagi, lihat di sana itu. Engkau dapat melihat keadaan ayahmu dan anakmu, karena itu tenangkan hatimu dan jangan sekali-kali mencoba untuk memberontak kalau engkau tidak ingin ayah dan anakmu tewas." Sesudah berkata demikian, wanita itu bersama tiga orang tosu meninggalkan kamar tahanan dan menutupkan pintunya yang juga terbuat dari besi.

“Nanti dulu!" Mendadak Hui Song berkata melalui jeruji besi di atas daun pintu. “Siapakah kalian sesungguhnya dan apa yang kalian kehendaki dari Cin-ling-pai?"

Wanita muda itu tersenyum. "Namaku Tok-ciang Bi Mo-li Su Bi Hwa, dan mereka bertiga adalah guru-guruku bernama Kim Hwa Cu, Siok Hwa Cu, dan Lan Hwa Cu...”

Hui Song memandang terbelalak. Tosu-tosu yang memakai nama bunga itu mengingatkan dia akan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw. "Kiranya kalian bertiga adalah Pek-lian Sam-kwi?”

Tiga orang tosu itu diam saja, akan tetapi Bi Hwa yang tertawa. "Hi-hi-hik, engkau cerdik, Taihiap. Engkau gagah, ganteng dan cerdik. Dugaanmu memang benar. Aihh, kalau saja engkau tidak begitu berbahaya, tentu aku akan suka sekali menemanimu dalam kamarmu ini, hi-hik!"

Hui Song tidak menjawab dan tak mau bicara lagi, bahkan lantas membalikkan tubuhnya dari pintu. Dia mendengar mereka pergi sambil tertawa-tawa, dan tak lama kemudian dia melihat belasan orang di luar pintu kamar-kamar tahanan bawah tanah itu. Hemm, kiranya mereka mempunyai belasan orang anak buah, pikirnya. Dan mungkin ada lebih banyak lagi yang masih berada di luar.

Dugaan Hui Song ini memang benar. Ada tiga puluh orang anak buah Pek-lian-kauw yang dipersiapkan empat orang itu. Mereka telah merencanakan semuanya dengan baik sekali. Mereka melarang semua anggota Pek-lian-kauw untuk bergerak atau memperlihatkan diri dan mereka sendiri yang turun tangan menjebak para pimpinan Cin-ling-pai, melalui Ciok Gun yang sudah berada dalam cengkeraman mereka.

Ciok Gun telah dibius dan disihir sehingga dia kehilangan semangat, kehilangan kemauan sendiri dan patuh sekali kepada Bi Hwa, seperti mayat hidup saja. Perintah apa pun yang diberikan Bi Hwa akan dia lakukan dengan patuh dan dengan taruhan nyawa. Biar pun dia masih mengenal tokoh-tokoh Cin-ling-pai, namun pengenalannya itu seperti hafalan saja, ditekankan oleh Bi Hwa. Segala sikapnya diatur oleh Bi Hwa karena sebetulnya Ciok Gun sudah tidak ingat apa-apa lagi kecuali taat kepada wanita muda yang dianggapnya sangat baik, sangat menyenangkan dan sangat mencintanya itu!

Akan tetapi belasan orang penjaga di luar itu hanya bersikap acuh dan seolah-olah tidak mempedulikan dia atau ayah dan anaknya yang berada di kamar seberang. Bahkan yang berada di depan kamar tahanan mereka hanya lima orang saja, namun yang menjaga di depan kamar tahanannya lebih banyak.

Kamar tahanan itu kokoh kuat, dindingnya tak mungkin ditembus karena berada di bawah tanah, jendela dan pintunya juga kokoh dan kuat terbuat dari pada besi. Dan andai kata dia mampu menjebol pintu atau jendela dan membunuh para penjaga, tidak berarti bahwa dia sudah bebas. Di masih berada di lorong bawah tanah yang jalan satu-satunya hanya melalui pintu rahasia dalam pondok itu. Dan di atas masih ada empat orang musuh yang lihai itu. Tidak, dia tidak akan menggunakan kekerasan sebelum merasa yakin akan dapat membebaskan ayahnya dan puteranya.

"Hui Song...!”

Pendekar itu menengok. Ayahnya sudah siuman, bahkan sudah berdiri di depan jendela beruji menghadap ke arah kamarnya. Ayahnya tidak terbelenggu lagi dan agaknya dalam keadaan sehat saja.

"Ayah...!" Kui Bu juga telah berdiri di atas bangku sehingga dapat menjenguk keluar jeruji jendela dan memandang kepadanya. Anaknya sudah tidak menangis lagi dan nampaknya sehat saja, maka hatinya merasa lega.

"Ayah dan Kui Bu, kalian baik-baik saja, bukan?" tanyanya dengan suara lega.

"Hui Song, lihat apa akibatnya. Engkau menyerah dan kini ditawan! Sekarang siapa yang akan membasmi mereka?"

"Ayah, yang penting kita masih hidup dan sehat. Kalau sudah mati tak akan dapat berbuat sesuatu," jawab Hui Song.

Jawaban ini agaknya menyadarkan kakek itu bahwa puteranya terpaksa menyerah untuk menyelamatkan dia dan cucunya dari maut. Meski pun hatinya merasa penasaran namun dia dapat memaklumi sikap puteranya ketika teringat akan cucunya yang masih kecil.

"Engkau benar. Kita harus menjaga kesehatan dan kekuatan, tidak boleh putus asa." Dan dia pun merangkul cucunya. "Jangan khawatir, Kui Bu berada di sini bersamaku."

"Ayah, aku akan menjaga kakek!" kata Kui Bu, kini suaranya mengandung ketabahan.

Agaknya semangat anak itu timbul karena melihat ayahnya berada di situ dan tadi ditegur agar tidak cengeng dan agar dia menjaga kakeknya, dan memang pada dasarnya Kui Bu bukan seorang anak yang lemah atau cengeng.

Demikianlah, dengan sabar dan tenang Hui Song, ayahnya, dan anaknya tidak membuat ulah di dalam kamar tahanan mereka, tapi diam-diam tentu saja mereka mempersiapkan diri dan menunggu terbukanya kesempatan untuk membebaskan diri. Ketika ada penjaga menyodorkan hidangan dan minuman melalui jeruji besi di atas pintu, mereka langsung menerimanya dan makan tanpa banyak ribut lagi.

********************

"Ayah...!” Suara itu melengking nyaring menembus kesunyian malam.

"Kui Buuuu...!” Kembali suara yang sama melengking nyaring menuruni bukit, seolah-olah suara itu datang dari bulan tiga perempat yang memberi penerangan yang cukup. Namun, seperti juga tadi, tidak ada suara jawaban terdengar.

"Song-ko (kanda Song)...!" kembali suara itu melengking dengan sia-sia, karena tidak ada jawaban. Suara jengkerik serta belalang malam yang tadinya meramaikan malam bahkan segera terhenti sejenak karena kaget oleh suara melengking itu. Beberapa saat kemudian barulah kerik jengkerik dan belalang terdengar lagi.

Ceng Sui Cin menuruni bukit itu. Hatinya cemas bukan main. Di Cin-ling-pai terjadi hal-hal yang aneh sejak mereka pulang ke situ dari pulau Teratai Merah kemarin. Mula-mula Ciok Gun, Teng Sin dari Koo Ham, tiga murid Cin-ling-pai yang pergi berburu tetapi sampai dua hari satu malam belum pulang. Kemudian, sejak pagi tadi Kui Bu bersama kakeknya pergi berjalan-jalan juga sampai malam ini belum pulang. Dan yang terakhir, sore tadi suaminya pergi mencari mereka namun sampai sekarang, menjelang tengah malam, suaminya pun belum kembali pula!

Maka, sesudah memesan agar Gouw Kian Sun, sute dari suaminya menyuruh anak buah membuat penjagaan yang lebih ketat, dia sendiri lalu keluar dari perkampungan Cin-ling-pai untuk mencari mereka.

Sudah sejak tadi dia mencari-cari, secara bergantian memanggil-manggil ayah mertuanya, suaminya dan anaknya, tetapi tidak ada yang menjawab. Padahal dia telah mengerahkan khikang ketika berteriak memanggil sehingga suaranya tentu akan terdengar sampai jauh. Setidaknya suaminya tentu mendengarnya. Namun kalau begitu mengapa suaminya tidak menjawab?

Hati wanita perkasa ini mulai merasa gelisah. Untung bulan cukup terang dan di angkasa tidak ada mendung sehingga dia dapat mempergunakan ilmunya berlari cepat yang amat hebat untuk berlari-lari mencari.

Ilmu ginkang (meringankan tubuh) nyonya ini memang hebat. Ia mempunyai ilmu Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) yang membuat dia mampu bergerak sedemikian cepatnya sehingga bayangannya saja berkelebat dan sukar ditangkap pandangan mata!

Hatinya menjadi makin gelisah setelah tiga bukit didaki dan dituruni namun belum juga dia berhasil menemukan orang-orang yang dicarinya. Ketika dia mendaki sebuah bukit, tiba di luar hutan, tiba-tiba dari dalam hutan itu muncul empat orang yang menghadang di tengah jalan. Tiga orang tosu dan seorang wanita muda yang cantik.

"Selamat malam, Ceng Sui Cin Lihiap!" Gadis itu menyalaminya dengan senyum simpul.

Sui Cin terkejut dan merasa heran. Dia memandang penuh perhatian akan tetapi merasa tidak pernah mengenal mereka. Namun mereka sudah mengetahui namanya! Jantungnya berdebar tegang karena ada firasat yang tidak enak terasa di hatinya. Seperti ada bisikan bahwa kemunculan empat orang asing ini tentunya ada hubungannya dengan lenyapnya mertuanya, anaknya, suaminya dan tiga orang murid Cin-ling-pai itu.

"Siapakah kalian?" tanyanya.

"Lihiap (pendekar wanita), kami adalah tuan dan nyonya rumah, dan engkau adalah tamu kami. Mari silakan ikut dengan kami!" kata Bi Hwa.

Sui Cin mengerutkan alisnya. "Apa maksudmu? Aku tidak mengenal kalian dan tidak akan menjadi tamu kalian." Kecurigaannya semakin menebal.

"Aihhh, Nyonya Cia Hui Song, bukankah engkau sedang mencari suamimu, anakmu dan ayah mertuamu?"

Sui Cin terkejut. Apa yang dikhawatirkannya tadi ternyata benar. Mereka ini tahu tentang keluarganya yang hilang!

"Di mana mereka? Siapa kalian?!" bentaknya.

Bi Hwa tersenyum lagi. "Siapa adanya kami tidaklah terlalu penting bagimu, Lihiap. Yang penting kami mengundangmu untuk menjadi tamu kami, dan kami berjanji bahwa engkau pasti akan dapat berjumpa dengan Kakek Cia, suamimu, serta puteramu dalam keadaan selamat."

Seketika wajah Sui Cin berubah menjadi merah saking marahnya. "Aku tidak sudi menjadi tamu kalian! Jadi kalian telah menawan keluargaku? Katakan, benarkah itu?"

Kembali Bi Hwa tersenyum, merasa menang. “Bukan menawan. Mereka sedang menjadi tamu-tamu kami, tamu terhormat."

"Hayo bebaskan mereka sekarang juga!" bentak Sui Cin sambil mengepal sepasang tinju tangannya.

"Hemmm, engkau galak benar, Lihiap. Bagaimana kalau kami tidak mau membebaskan mereka?"

"Keparat, berarti kalian sudah bosan hidup! Akan kusiksa kalian, akan kubunuh kalian jika tidak segera membebaskan Kakek Cia, suamiku, dan puteraku!"

“Ho-ho-ha-ha, alangkah sombongnya perempuan ini!" Siok Hwa Cu sudah melangkah ke depan dan memandang Sui Cin dengan sikap mengejek, akan tetapi dengan diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan tiba-tiba saja suaranya yang menggetar penuh kekuatan sihir itu membentak, matanya menatap tajam wajah Sui Cin.

"Ceng Sui Cin, engkau berhadapan dengan orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi. Hayo engkau cepat berlutut dan memberi hormat kepada kami!" Diam-diam Kim Hwa Cu dan Lan Hwa Cu juga mengerahkan kekuatan sihir mereka melalui pandang mata untuk membantu usaha Siok Hwa Cu menundukkan nyonya lihai itu dengan sihir.

Tiba-tiba saja Ceng Sui Cin merasa betapa tubuhnya tergetar, jantungnya terguncang dan semangatnya melayang. Hampir saja kedua kakinya berlutut. Akan tetapi dia segera tahu bahwa lawan mempergunakan kekuatan sihir. Tidak percuma dia menjadi puteri Pendekar Sadis, dan ibunya Toan Kim Hong pernah menjadi seorang datuk besar berjuluk Lam Sin. Maka selain ilmu silat, tentu saja dari ayah ibunya dia telah dibekali kekuatan batin untuk menghadapi serangan sihir.

Dia mengerahkan tenaga itu untuk menolak dan getaran pada tubuhnya menghilang, juga dorongan untuk bertekuk lutut menjadi lenyap. Sebaliknya dengan marah sekali dia lantas menyerang tosu muka hitam yang gendut pendek itu. Karena sudah marah sekali, maka begitu menyerang, Ceng Sui Cin langsung menggunakan sebuah jurus dari Hek-liong Sin-ciang!

Ilmu silat sakti ini hanya terdiri dari delapan jurus saja, namun karena ilmu yang menjadi andalan ayahnya ini adalah ciptaan dari Bu-beng Hud-couw, maka hebatnya bukan main. Dahsyat sekali! Setelah merendahkan tubuhnya, wanita cantik ini menerjang ke depan dan kedua tangannya melakukan gerakan mendorong.

Siok Hwa Cu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi, maka dia agak memandang rendah kepada wanita ini. Sebenarnya dia juga sudah mendengar akan kelihaian pendekar wanita Ceng Sui Cin, tetapi sudah menjadi ciri orang yang menjadi budak nafsu, yang selalu mengejar kesenangan melalui cara kekerasan, dia memandang diri sendiri terlalu tinggi sehingga memandang rendah orang lain.

Melihat wanita itu tidak terpengaruh oleh ilmu sihirnya saja, sebetulnya sudah merupakan peringatan yang cukup baginya. Akan tetapi dia menganggap gerakan serangan Ceng Sui Cin itu sebagai gerakan serangan yang tidak ada artinya, maka dengan sombongnya dia menghadapi dengan dua tangan menyambar, maksudnya untuk menangkap pergelangan kedua tangan lawannya itu

"Desssssss...!”

Pertemuan antara kedua pasang lengan itu hebat sekali. Kim Hwa Cu dan Lan Hwa Cu hendak memperingatkan saudara mereka, akan tetapi sudah terlambat. Tubuh Siok Hwa Cu terjengkang dan terbanting keras. Ketika dia dibantu kedua orang saudaranya bangkit dia muntah darah!

Namun Sui Cin tidak berhenti sampai di situ saja. Sekarang dia sudah mengetahui bahwa tentu keluarganya ditawan oleh orang-orang jahat ini, maka sesudah tosu gendut pendek itu roboh, dia pun kembali menyerang lagi, dan kini dia menyerang wanita cantik yang tadi menjadi juru bicara.

Kembali Sui Cin mempergunakan jurus dari Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga), dan kini kedua tangannya tidak mendorong seperti tadi, melainkan menyerang dari atas dan bawah, tangan kiri mencengkeram ke arah kepala, tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Bukan hanya cengkeraman itu yang berbahaya, akan tetapi terutama sekali tenaga yang terkandung dalam serangan inilah yang amat kuat sehingga tadi ketika Siok Hwa Cu menangkis, seketika dia terjengkang dan muntah darah!

Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 02

SAMPAI lima jurus Bi Hwa terdesak oleh ilmu yang tangguh itu. Dia terus mengandalkan kegesitan gerakan tubuhnya untuk menghindar dengan loncatan-loncatan.

“Lihatlah, Suhu. Bukankah ini yang dinamakan Im-yang Sin-kun?” Bi Hwa berseru sambil meloncat untuk menghindarkan tonjokan ke arah dada,.

“Benar, Bi Hwa, itulah Im-yang Sin-kun, dimainkan cukup baik, sayang sudah kekurangan tenaga,” kata Kim Hwa Cu.

Mendengar ini Cia Kong Liang terkejut. Kalau gadis ini hanya murid, maka guru-gurunya itu tentu lebih lihai lagi. Dan agaknya mereka sudah mengenal Im-yang Sin-kun! Orang-orang macam apakah mereka ini? Dia cepat mengubah gerakan kaki tangannya dan dia memainkan Thian-te Sin-ciang yang telah dikuasainya dengan baik.

“Wah, Thian-te Sin-ciang agaknya!” Kembali Bi Hwa berseru sambil mengelak terus.

Dia bukannya mengalah, melainkan benar-benar terdesak oleh ilmu silat Cin-ling-pai yang memang amat hebat itu. Andai kata Cia Kong Liang tidak setua itu, masih memiliki tenaga kuat dan gerakan cepat, tentu Bi Hwa takkan mampu menandinginya. Kini tenaga kakek itu sudah banyak berkurang dan gerakannya pun tidak secepat dulu lagi, maka biar pun Bi Hwa terdesak, namun tetap saja wanita itu mampu menghindarkan diri dengan gerakan cepat dan lincah.

Untuk memainkan Thian-te Sin-ciang memerlukan pengerahan banyak tenaga. Karena itu, setelah beberapa jurus tidak berhasil, Cia Kong Liang mengubah lagi gerakannya. Kini dia memainkan San-in Kun-hwat.

“Hemm, ini San-in Kun-hwat yang dimainkan oleh seorang ahli!” Siok Hwa memuji.

Diam-diam mereka mengagumi ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Di dalam tugas mereka seperti yang telah direncanakan oleh gagasan Bi Hwa yang cerdik, selain menguasai Cin-ling-pai dan ilmu-ilmunya, memang mereka ingin sekali mendapatkan dua buah pusaka Cin-ling-pai.

Yang pertama adalah pedang pusaka berupa pedang kayu yang puluhan tahun yang lalu pernah menggemparkan dunia persilatan, yaitu pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) milik pendekar sakti Cia Keng Hong. Ada pun yang kedua adalah pusaka berupa ilmu yang pernah membuat seluruh tokoh dunia persilatan gempar. Ilmu itu disebut ilmu Thi-khi I-beng (Mencuri Tenaga Pindahkan Semangat), semacam ilmu tenaga dalam yang mukjijat karena pemilik ilmu ini dapat menyedot habis tenaga sinkang lawan, betapa pun kuat tenaga sinkang lawan itu!

Karena itulah, setelah sekarang berhadapan dengan kakek yang merupakan tokoh tertua dari Cin-ling-pai, maka mereka hendak menguras ilmu kakek itu agar diperlihatkan kepada mereka.

Diam-diam Cia Kong Liang terkejut dan bingung sekali setelah melihat betapa semua ilmu tangan kosong yang dikuasainya tak dapat merobohkan lawan, hanya mampu mendesak saja. Dia merasa menyesal mengapa tadi dia tidak membawa pedang. Dia bingung bukan mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan bingung dan gelisah memikirkan nasib cucunya.

Ketika perkelahian membawa mereka ke bawah sebatang pohon, tiba-tiba Cia Kong Liang meloncat ke atas dan ketika dia turun kembali, tangannya sudah mematahkan sebatang dahan sebesar lengannya. Dahan itu panjang, lalu dia patahkan menjadi dua bagian dan begitu dia memutar dua batang kayu itu, segera terdengar angin menyambar-nyambar dan nampak dua gelombang gulungan sinar hijau!

Melihat ini Bi Hwa cepat meloncat menjauhi sambil berkata kepada tiga orang gurunya, “Suhu, ini tentu Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga). Cepat Suhu hadapi dia, aku sudah lelah dan tongkatnya itu berbahaya sekali!”

Kim Hwa Cu segera melompat ke depan dan begitu kedua tangannya bergerak, dia telah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya. Dia langsung menggerakkan sepasang pedang itu dan nampaklah gulungan sinar terang seperti dua gulungan api.

“Tahan…!” Tiba-tiba Cia Kong Liang berseru nyaring kemudian dia meloncat ke belakang, menahan dua tongkat dahan pohon itu, dan matanya mencorong penuh kemarahan. Kim Hwa Cu menahan pedangnya dan berdiri menghadapinya dengan senyum simpul.

“Cia Kong Liang, sebaiknya engkau menyerah saja dengan baik-baik. Kami hanya ingin bertanya kepadamu dan mengharapkan engkau suka menjawab dengan terus terang.”

“Hemm, jika melihat pakaianmu, agaknya engkau adalah seorang pendeta, seorang tosu. Kalau benar demikian, apa artinya semua ini, totiang? Kalau kalian datang ke Cin-ling-pai hanya untuk minta keterangan sesuatu kepadaku, mengapa kalian menguasai Ciok Gun dan menangkap cucuku?”

Kim Hwa Cu tertawa lantas menyilangkan sepasang pedangnya. “Orang tua, engkau tidak perlu mengetahui urusan kami. Jika engkau dapat memenuhi dua permintaan kami, kami berjanji akan membebaskan Ciok Gun dan cucumu, dan kami tak akan mengganggumu.”

Biar pun dia marah sekali dan tidak percaya dengan omongan orang itu, namun Cia Kong Liang menahan kemarahannya karena maklum bahwa dia menghadapi lawan-lawan yang amat tangguh.

“Katakan, apa permintaanmu itu?”

“Hanya ada dua macam milik yang berharga di Cin-ling-pai. Pertama adalah Pedang Kayu Harum, dan yang kedua adalah ilmu Thi-khi I-beng. Nah, kami minta pedang pusaka itu dan rahasia ilmu Thi-khi I-beng!” jawab Kim Hwa Cu.

Wajah kakek itu sampai menjadi pucat saking kaget dan marahnya. “Yang kau sebut tadi adalah benda pusaka dan ilmu rahasia Cin-ling-pai. Lebih baik aku mati dari pada harus membuka rahasia perkumpulan kami!”

Tiba-tiba saja Bi Hwa mendengus marah. “Huhh, orang-orang Cin-ling-pai memang keras kepala semua. Sam Suhu, tidak perlu banyak cakap lagi dengan dia. Tangkap dia, akan tetapi jangan bunuh!” katanya dengan nada suara mengkal.

Kim Hwa Cu tertawa. “Ha-ha-ha, engkau sudah mendengar permintaan murid kami? Cia Kong Liang, engkau majulah dan perlihatkan kepadaku sampai di mana kehebatan ilmu Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!”

Kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia pun sudah menggerakkan dua batang kayu dahan dan memainkan ilmu tongkat Siang-liong-pang dengan sekuat tenaga. Meski pun tenaganya sudah berkurang karena usia tua dan perkelahian tadi membuatnya merasa lelah sekali, akan tetapi kemarahan yang hebat membuat tenaga serta semangat kakek ini seperti bertambah. Sepasang dahan pohon itu bergerak laksana sepasang naga bermain di angkasa, dan setiap sambarannya sungguh amat berbahaya bagi lawan.

Akan tetapi yang dilawannya adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sakti. Sepasang pedang di tangan Kim Hwa Cu itu sanggup membendung gelombang serangan sepasang tongkat. Kim Hwa Cu tidak membalas dengan serangan maut, melainkan hanya mengelak dan menangkis saja karena dia ingin memperhatikan permainan ilmu tongkat itu.

“Bagus! Memang hebat Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!” beberapa kali dia memuji.

“Sudahlah, Sam Suhu. Cepat robohkan dia dan jangan main-main lagi. Pancing agar dia mengeluarkan Thi-khi I-beng!” terdengar Bi Hwa berseru.

Kim Hwa Cu teringat akan kewajibannya. Ketika dua kali pedang pasangan di tangannya bergerak, terdengar suara keras dan sepasang tongkat dahan pohon yang masih basah itu terbabat buntung! Sambil tertawa dia pun menyimpan sepasang pedangnya, kemudian menyerang Cia Kong Liang dengan tangan kosong.

Tokoh tua Cin-ling-pai itu terkejut. Dia membuang sisa dahan di tangannya dengan penuh kenekatan. Akan tetapi tadi pun saat melawan Bi Hwa dia sudah tak mampu menandingi gadis itu, apa lagi kini gurunya yang maju. Dari pertemuan tenaga pun dia maklum bahwa dia kalah kuat, dan kini nafasnya mulai terengah-engah.

"Dukkk!"

Pundak kiri Cia Kong Liang kena ditampar oleh Kim Hwa Cu dan kakek itu pun terhuyung ke belakang, pundaknya terasa nyeri sekali. Akan tetapi dia tidak mengeluarkan keluhan, lalu menyerang lagi dengan nekat laksana singa terluka. Mereka saling pukul dan tangkis sampai belasan jurus, akan tetapi makin lama kakek Cin-ling-pai itu semakin terdesak.

"Plakkk…!"

Kembali Cia Kong Liang terkena pukulan tamparan di punggungnya, cukup keras hingga tubuhnya terpelanting! Akan tetapi dia bangkit kembali. Sebuah tendangan membuat dia terjengkang kembali sebelum dapat bangkit berdiri, akan tetapi tanpa mengeluh kakek itu mengusap darah dari bibirnya dan pandang matanya mencorong penuh kemarahan.

Mendadak dua buah tangan yang halus namun kuat sekali sudah mencengkeram kedua pundaknya dari belakang. Kedua pundak itu terasa nyeri bukan main, membuat sepasang lengannya lumpuh dan rasa nyeri menusuk-nusuk sampai ke jantung. Akan tetapi kakek itu tetap bertahan, tidak pernah mengeluh sampai akhirnya rasa nyeri membuat dia roboh terkulai dan pingsan.

Su Bi Hwa menyumpah-nyumpah. "Sialan! Sampai detik terakhir dia tidak mengeluarkan ilmu Tihi-khi-i-beng!"

"Hemm, aku yakin sekali bahwa dia tidak menguasai ilmu itu," kata Lan Hwa Cu sambil memandang tubuh kakek yang tidak bergerak itu. “Kalau dia mampu menguasainya, tentu saja sudah sejak tadi dia mempergunakannya untuk membela diri. Tidak ada seorang pun ahli silat yang membiarkan dirinya terancam maut tanpa menggunakan ilmu simpanannya yang paling ampuh. Jelas bahwa dia tidak menguasai Thi-khi I-beng."

"Jika begitu kita harus menawan dia dan cucunya. Rencana ke dua kita lanjutkan. Dengan Cin-ling-pai yang kita kuasai melalui sandera ini serta bantuan Ciok Gun yang kita jadikan mayat hidup, kita akan mengadu domba kekuatan para pendekar!"

Pada saat kakek Cia Kong Liang siuman dari pingsannya, dia mendapatkan dirinya rebah di atas lantai bertilamkan tikar tebal. Dia mencoba untuk menggerakkan kaki tangannya, namun tidak dapat. Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat bahwa tiga orang kakek seperti pendeta itu duduk bersila di sudut ruangan yang luas itu.

Kakek itu mengerutkan sepasang alisnya ketika melihat kaki tangan cucunya terbelenggu dan menggeletak miring di atas lantai. Ada pula Ciok Gun yang berdiri seperti patung dan wanita cantik itu yang duduk di atas bangku dan tangannya memegang sebatang cambuk hitam. Dia tahu bahwa dia tertotok sehingga tidak mampu menggerakkan kedua kaki dan tangannya, maka dia pun tidak berusaha untuk meronta.

"Ahh, kiranya engkau sudah siuman, kakek Cia?" Bi Hwa menghampiri sambil membawa bangku yang didudukinya tadi lalu dia pun duduk di atas bangku dekat dengan Cia Kong Liang dan memandang kepadanya dengan mata bersinar marah.

"Iblis betina jahat!" Cia Kong Liang memaki. "Aku sudah kalah, kalau kini kalian memang hendak membunuhku, bunuhlah. Akan tetapi cucuku itu tidak mempunyai kesalahan apa pun. Dia masih kecil dan tidak tahu urusan. Bebaskan dia!"

"Kakek Cia Kong Liang, tidak ada gunanya lagi engkau bersikap angkuh dan berkepala besar. Engkau sudah kami tawan, cucumu juga kami tawan, dan lihat, Ciok Gun pun telah menjadi pembantu kami yang setia. Karena itu kuharap engkau suka menyerahkan Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) dan ilmu Thi-khi I-beng kepada kami. Dan kami berjanji akan membebaskan kalian bertiga apa bila kami sudah menerima dua pusaka Cin-ling-pai itu."

"Aku Cia Kong Liang bukan orang yang takut mati! Kau boleh siksa, kau boleh bunuh aku, tapi jangan harap kalian akan dapat memaksaku bicara tentang pusaka dan ilmu rahasia Cin-ling-pai!" kata Cia Kong Liang lalu dia membuang muka, tidak sudi lagi memandang wajah wanita itu.

"Hemm, kita sama lihat saja, kakek berkepala batu!" teriak Bi Hwa, akan tetapi kakek itu sama sekali tak mau memandang kepadanya, bahkan kini memejamkan kedua matanya seolah hendak menyatakan bahwa dia tidak lagi sudi bicara dengannya.

"Tarrr-tarrrr...!" Terdengar suara cambuk meledak-ledak disusul jerit kesakitan dari mulut anak kecil.

Cia Kong Liang terkejut dan menoleh. Matanya terbelalak ketika melihat betapa cucunya telah dicambuki oleh wanita itu dalam keadaan kaki tangannya dibelenggu. Ujung cambuk panjang yang kecil itu melecut baju anak itu robek dan segera nampak darah membasahi baju Kui Bu. Baru terkena lecutan dua kali saja, kulit tubuh Kui Bu telah pecah-pecah dan darah mengalir. Anak itu menjerit-jerit kesakitan dan menangis.

"Tahan...!” teriak Cia Kong Liang.

Bi Hwa menoleh kepadanya dan tersenyum penuh kemenangan, lantas menghampiri dan duduk kembali di atas bangku yang tadi. Ada pun tiga orang pendeta Pek-lian-kauw yang menjadi gurunya masih duduk bersila seperti orang-orang yang acuh saja, padahal diam-diam mereka memperhatikan. Mereka merasa yakin bahwa murid mereka yang cerdik itu akan dapat memaksa tokoh Cin-ling-pai itu membuat pengakuan.

"Hemm, agaknya engkau mulai dapat melihat kenyataan, kakek Cia. Pedang Kayu Harum itu hanya sebuah benda, Thi-khi I-beng hanya sebuah ilmu. Tidak pantas ditukar dengan nyawa cucumu, bukan? Nah, kami siap mendengarkan keteranganmu!"

Mata Cia Kong Liang masih memandang cucunya yang merintih-rintih. "Rawat dia dahulu, baru aku mau bicara. Dan berjanjilah bahwa kalian tidak akan megganggunya lagi," kata kakek itu lirih.

Dengan senyumnya yang genit Su Bi Hwa berkata kepada Ciok Gun yang masih berdiri tanpa bergerak seperti arca itu. "Ciok Gun, kau rawat dan obati luka cambukan anak itu, lalu ganti pakaiannya dan beri dia makan dan minum. Bawa keluar dari ruangan ini!"

Sambil menghadap ke arah wanita itu, Ciok Gun memberi hormat dengan membungkuk dan berkata, suaranya datar dan kosong. "Baik Su-siocia!" dan dia lalu menghampiri Kui Bu dan memondong anak yang masih merintih itu, membawanya keluar.

Secara diam-diam Cia Kong Liang merasa cemas bukan main melihat keadaan Ciok Gun. Sebagai seorang pendekar yang memiliki banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa murid Cin-ling-pai itu bersikap tidak wajar dan ada suatu kekuatan aneh yang menguasai dan mencengkeram batinnya. Dia menarik napas panjang.

Cin-ling-pai dalam bahaya, pikirnya. Akan tetapi hatinya menjadi tenang ketika mengingat bahwa puteranya, Cia Hui Song, dan mantunya, Ceng Sui Cin, sudah berada di Cin-ling-pai. Puteranya dan mantunya yang memiliki kepandaian tinggi tentu takkan tinggal diam, tentu mereka akan mencari putera mereka dan menemukannya di sini. Empat orang jahat ini tentu akan dapat dibasmi oleh Cin-ling-pai di bawah pimpinan putera dan mantunya.

“Aku mau bicara, akan tetapi ada dua syarat,” katanya. "Kalau kalian tidak memenuhi syarat itu maka aku tidak mau bicara."

Bi Hwa tersenyum mengejek. Dia tahu bahwa ucapan itu hanya gertakan kosong belaka. Jika dia menyiksa Cia Kui Bu di depan mata kakek itu, apa pun yang dia minta tentu akan dipenuhi olehnya!

"Hemmm, apakah kedua syarat itu?" tanyanya untuk mempermudah pengakuan Cia Kong Liang.

"Pertama, engkau harus berjanji untuk membebaskan Cia Kui Bu."

"Baik, aku berjanji akan membebaskan cucumu itu kalau kami sudah memperoleh Siang-bhok-Kiam dan Thi-khi I-beng!"

"Dan syarat ke dua, sebelum aku memberi keterangan, kalian harus memperkenalkan diri dan menerangkan mengapa kalian memusuhi Cin-ling-pai!"

Bi Hwa tertawa kemudian menoleh ke arah ketiga orang suhunya. Matanya yang genit itu berkijap-kijap bermain mata dengan mereka, lalu dia pun menjawab. "Sudah sepatutnya engkau mengenal siapa kami. Lihat, tiga orang itu adalah guru-guruku, yang pertama Lam Hwa Cu, ke dua Siok Hwa Cu, dan ke tiga Kim Hwa Cu."

"Aku tidak mengenal nama-nama itu...," kata Cia Kong Liang sambil mengingat-ingat.

"Di dunia kang-ouw mereka bertiga dikenal sebagai Pek-lian Sam-kwi."

"Ahhh...…! Kiranya orang-orang Pek-lian-kauw!" Cia Kong Liang terkejut bukan main dan sekarang mengertilah dia kenapa mereka mengganggu Cin-ling-pai. Pek-lian-kauw akan mengganggu siapa saja tanpa pandang bulu, demi kepentingan perkumpulan sesat itu.

"Bagus kalau engkau sudah tahu. Dan aku sendiri seorang anggota Pek-lian-kauw pula, murid mereka, namaku Su Bi Hwa dan lebih dikenal dengan julukan Tok-ciang Bi Mo-li."

"Hemmm..." Cia Kong Liang menarik napas panjang.

Dia maklum bahwa Cin-ling-pai kini benar-benar berada di dalam bahaya. Akan tetapi dia dibuat tak berdaya dengan ditawannya cucunya. Lagi pula, dia tidak akan merugikan Cin-ling-pai walau pun dia memberi keterangan tentang pedang pusaka Siang-bhok-kiam dan ilmu Thi-khi I-beng kepada mereka, akan tetapi terutama sekali dia ingin menyelamatkan cucunya.

“Nah, sekarang katakan di mana adanya Siang-bhok-kiam?” tanya Bi Hwa dan kini ketiga orang pendeta Pek-lian-kauw itu pun membuka mata yang tadi mereka pejamkan. Mereka memandang ke arah kakek itu dengan pandang mata penuh harap.

"Aku tidak tahu...” Cia Kong Liang menggelengkan kepala.

Bi Hwa melompat berdiri dari bangkunya. Mukanya berubah merah sekali, kedua matanya mendelik dan sepasang tangannya terkepal.

"Tua bangka busuk! Engkau hendak menipuku dan melanggar janji? Apa kau mau melihat cucumu itu kusembelih perlahan-lahan di depan matamu, kemudian daging dan darahnya akan kumasak dan kuahnya akan kupaksa masuk ke dalam perutmu?"

Cia Kong Liang bergidik. Dia cukup mengenal kekejaman orang-orang Pek-lian-kauw dan dia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya gertakan belaka. Kalau perlu, wanita itu tentu akan dapat melaksanakan ancamannya itu dengan darah dingin!

"Anak perempuan calon penghuni neraka! Aku bukanlah seorang yang suka menipu, juga tidak pernah melanggar janji! Kalau kukatakan bahwa aku tidak tahu di mana Siang-bhok-kiam berada, hal itu bukanlah bohong! Aku memang benar tidak tahu, bahkan aku belum pernah melihat pedang pusaka nenek moyangku itu!"

"Bohong! Itu tidak mungkin! Engkau adalah keturunan keluarga Cia, pimpinan Cin-ling-pai. Betapa mungkin engkau tidak tahu tentang Siang-bhok-kiam? Hayo ceritakan semuanya dengan jelas. Awas kalau engkau membohong, aku tidak mau mengancam untuk ke dua kalinya!"

Cia Kong Liang menghela napas panjang. "Pedang pusaka Siang-bhok-kiam milik nenek moyang keluarga Cia memang benar-benar tidak ada lagi. Bahkan mendiang ayahku, Cia Bun Houw, tidak tahu di mana pusaka itu kini berada. Dahulu pernah kutanyakan kepada ayahku, namun dia hanya mengatakan bahwa yang terakhir kalinya pedang itu berada di tangan kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang pertama. Kemudian mendiang ayah tidak pernah tahu lagi di mana pedang pusaka itu disimpan. Pernah ayahku mengatakan bahwa kakek Cia Keng Hong sengaja menyembunyikah pedang itu dan melarang pusaka itu untuk dijadikan senjata. Pedang itu hanya dikenal namanya saja sebagai pusaka Cin-ling-pai. Aku sendiri melihat pun belum, apa lagi memilikinya.”

Su Bi Hwa mengerutkan alisnya. "Karena Cia Keng Hong adalah ketua Cin-ling-pai, tentu pedang pusaka itu disembunyikan di perkampungan Cin-ling-pai! Tidakkah begitu?"

"Mungkin saja, tetapi sejak mendiang ayahku berada di Cin-ling-pai sampai aku menjadi ketua kemudian dilanjutkan puteraku dan sekarang dipegang oleh cucuku, keluarga kami belum pernah mencarinya."

"Kenapa?"

"Mengingat pesan ayah dulu bahwa kakek tidak menghendaki pedang pusaka itu muncul sebagai senjata. Hanya namanya saja yang kami ingat sebagai pusaka Cin-ling-pai, dan nama itu diabadikan dalam bentuk ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut."

Su Bi Hwa mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada tiga orang gurunya dan dia berkata lirih, "Kita bisa mencarinya nanti….” Tiga orang pendeta Pek-lian-kauw itu mengangguk.

"Sekarang mengenai ilmu Thi-khi I-beng. Hayo ceritakan yang sebenarnya mengenai ilmu ini. Kami ingin memilikinya!” kata pula Bi Hwa dengan suara galak karena kekecewaannya mendengar tentang Siang-bhok-kiam tadi.

"Seperti juga pedang pusaha Siang-bhok-kiam, ilmu Thi-khi I-beng telah lama menghilang dari keluarga kami, bahkan dari Cin-ling-pai. Aku sendiri tidak menguasai ilmu itu."

“Aku tahu!” bentak Bi Hwa galak. "Kalau engkau menguasai ilmu itu, tentu takkan mudah tertawan oleh kami! Yang kutanyakan adalah kitabnya, kitab pelajaran ilmu Thi-khi I-beng itu! Di mana kitab itu?”

Cia Kong Liang memandang wajah wanita muda itu. Dalam hatinya diam-diam dia merasa senang. Yang dicari orang-orang jahat ini tidak ada sehingga tidak mungkin dapat mereka miliki.

"Ketahuilah, Moli (Iblis Betina), sejak dulu tidak pernah ada kitab pelajaran Thi-khi I-beng,” katanya dengan suara hampir ramah karena hatinya merasa senang.

"Bohong! Semua ilmu yang hebat tentu ada kitabnya!"

"Sudah kukatakan bahwa aku tidak pernah bohong. Semua ilmu silat dari Cin-ling-pai tak pernah ada kitabnya. Kami sudah melihat pengalaman perkumpulan silat yang lain. Kitab mereka selalu diperebutkan orang, dicuri atau dirampas. Karena itu, sejak pendiri Cin-ling-pai pertama, kami tidak pernah mencatat ilmu-ilmu kami dalam kitab. Kami mengajarkan ilmu-ilmu kami secara langsung, dari guru ke murid."

"Dan Thi-khi I-beng?"

"Tidak ada lagi orang Cin-ling-pai yang menguasainya. Ilmu itu bukan ilmu sembarangan yang dapat dipelajari oleh sembarang orang!" Ucapan ini mengandung kebanggaan.

"Hemm, jadi engkau tidak dapat mempelajarinya karena engkau tidak berbakat?" Bi Hwa mengejek.

"Pertama, karena bakatku memang tidak cukup besar, dan kedua karena tidak ada orang yang mengajarkannya kepadaku. Bahkan ayahku sendiri juga tidak menguasai ilmu Thi-khi I-beng itu. Hanya kakek yang menguasainya."

Bi Hwa saling pandang dengan tiga orang gurunya. Mereka benar-benar merasa kecewa bukan main. Siang-bhok-kiam lenyap. Thi-khi I-beng juga lenyap!

"Jadi di dunia ini sudah tidak ada lagi orang yang menguasai Thi-khi I-beng dan kitabnya pun tidak ada?"

Mendadak Cia Kong Liang merasa jantungnya berdebar. Mengapa tidak? Bukan sekedar membuka rahasia, akan tetapi jika dia boleh mengharapkan pertolongan bagi Cin-ling-pai, maka yang diharapkan adalah dari pulau Teratai Merah!

"Kurasa sekarang di dunia ini hanya ada satu orang saja yang masih menguasainya, yaitu besanku, Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah."

"Pendekar Sadis.....?!” Empat orang itu serempak berseru kaget.

Cia Kong Liang tersenyum senang. "Benar, hanya dialah yang menguasai ilmu itu. Nah, sekarang aku telah membuka semua rahasia tentang Siang-bhok-kiam dan Thi-khi I-beng, aku harap engkau suka segera membebaskan cucuku Cia Kui Bu."

"Heh-heh-heh, jangan harap! Dia dan engkau masih akan menjadi tawanan kami, sebagai sandera!" kata Bi Hwa.

"Kau... kau.... melanggar janji! Engkau jahat, curang, pengecut hina...!"

"Plakkk!" Tangan Bi Hwa bergerak dan kakek itu terkulai pingsan.

"Suhu bertiga telah mendengar sendiri. Kini kita harus mengganti siasat," kata Bi Hwa dan kembali dia bersama tiga orang gurunya berunding, mengatur siasat selanjutnya sesudah langkah pertama itu mengecewakan hati mereka.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Suami isteri itu berdiri di pekarangan depan rumah induk perkampungan Cin-ling-pai. Alis mereka berkerut ketika mereka memandang ke luar dalam cuaca yang telah redup karena senja mulai tiba.

Laki-laki itu adalah Cia Hui Song, berusia empat puluh empat tahun. Tubuhnya tegap dan wajahnya yang tampan itu selalu cerah, sepasang matanya mencorong dan lincah sedang mulutnya selalu mengandung senyum. Dia putera Cia Kong Liang, bekas ketua Cin-ling-pai yang sudah mengundurkan diri walau usianya belum tua benar karena dia lebih suka bebas merantau bersama isterinya.

Wanita itu adalah isterinya, Ceng Sui Cin, berusia tiga puluh sembilan tahun. Dalam usia menjelang tua itu, dia masih nampak manis, matanya tajam bersinar-sinar. Dalam hal ilmu silat, dia tidak berselisih jauh dari suaminya karena wanita ini adalah puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah.

Selain keturunan orang-orang pandai, suami isteri ini juga pernah menerima gemblengan dari tokoh-tokoh sakti. Cia Hui Song pernah menjadi murid mendiang Siangkiang Lojin, salah seorang di antara Delapan Dewa. Sedangkan Ceng Sui Cin, di samping mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya, juga pernah digembleng oleh mendiang Wu Yi Lojin, seorang di antara Delapan Dewa pula. Maka dapat dibayangkan betapa lihainya mereka.

Baru kemarin suami isteri ini kembali ke Cin-ling-pai bersama putera mereka, Cia Kui Bu yang berusia lima tahun. Selama berbulan-bulan mereka tinggal di pulau Teratai Merah. Dan sore itu mereka berada di pekarangan itu dengan hati agak khawatir. Putera mereka, Cia Kui Bu, sejak pagi pergi berjalan-jalan dengan kakeknya, yaitu kakek Cia Kong Liang dan sampai matahari hampir tenggelam, kakek dan cucu itu belum juga pulang.

"Sungguh aneh, ke manakah ayah mengajak Kui Bu pergi? Kalau hanya jalan-jalan saja, kenapa sampai seharian dan belum juga pulang?" untuk ke sekian kalinya Cia Hui Song mengomel.

"Apakah malam tadi beliau tidak berpesan sesuatu kepadamu?" tanya isterinya.

“Tidak, dia hanya mengatakan bahwa pagi hari ini dia ingin berjalan-jalan dengan Kui Bu. Apakah pagi tadi engkau bertemu dengan ayah?"

"Tadi pagi-pagi sekali Kui Bu sudah bangun dan setelah mandi dia lantas berpamit untuk mengunjungi kakeknya yang sudah berjanji bahwa pagi ini akan berjalan-jalan. Aku hanya mendengar suara ketawanya bersama kongkong-nya ketika mereka berangkat pagi tadi."

Dari bangunan tempat tinggal Gouw Kian Sun, di sebelah kiri bangunan induk itu, muncul Kian Sun bersama seorang wanita. Agaknya mereka berdua memang bermaksud hendak mengunjungi bangunan induk. Ketika melihat Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin berdiri di pekarangan, Gouw Kian Sun segera menghampiri mereka dan memberi hormat.

Wanita itu pun ikut memberi hormat dan ternyata dia seorang wanita yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun dan wajahnya nampak gelisah, bahkan dia terlihat seperti baru saja menangis. Hui Song dan isterinya mengenalnya sebagai isteri Koo Ham yang tinggal di bagian belakang.

"Kebetulan sekali, Suheng dan Toaso berada di sini. Kami memang ingin menghadap ji-wi (kalian berdua)," kata Kian Sun setelah memberi hormat.

"Hemm, ada urusan apakah, sute?" tanya Hui Song sambil memandang kepada wanita itu karena dia menduga bahwa tentu urusan itu mengenai wanita ini. Kalau tidak begitu, tidak mungkin isteri Koo Ham datang bersama Kian Sun, dan suaminya tidak nampak bersama mereka.

"Seheng, isteri Koo Ham ini sangat mengkhawatirkan suaminya, juga saya sendiri merasa heran mengapa dia, Ciok Gun dan Teng Sin belum juga pulang sejak kemarin pagi."

"Hemm, ke manakah mereka bertiga pergi?"

"Mereka bertiga pergi berburu. Biasanya mereka tidak pernah bermalam kalau berburu. Kalau pun terpaksa bermalam, maka pada keesokan paginya pasti pulang. Tetapi sampai sekarang mereka belum juga pulang. Hal ini memang aneh dan isteri Koo Ham ini merasa gelisah sekali karena malam tadi dia bermimpi buruk."

Hui Song dan isterinya saling pandang dan mereka tersenyum. Agaknya isteri Koo Ham ini percaya akan mimpi yang biasanya hanya merupakan bunga dari tidur saja.

"Engkau mimpi apakah?" Ceng Sui Cin bertanya kepada wanita itu.

"Saya... saya melihat suami saya mandi dengan... darah..."

Walau pun mereka bukan orang yang percaya tahyul dan mimpi, akan tetapi suami isteri pendekar ini saling pandang dan merasa ngeri.

“Kian Sun sute, apakah engkau tadi melihat ayah?" tiba-tiba Hui Song bertanya.

"Tidak, Suheng. Bukankah pagi tadi suhu pergi berjalari-jalan dengan puteramu? Apakah belum pulang?"

Hui Song menahan kegelisahan hatinya agar jangan sampai nampak pada wajahnya. Dia memandang isterinya. "Aku akan pergi mencari mereka! Juga sekalian mencari Ciok Gun dan dua orang sute-nya."

Sui Cin mengangguk. la percaya bahwa seperti juga tiga orang murid Cin-ling-pai itu yang tentu sanggup melindungi diri sendiri, juga ayah mertuanya pasti akan menjaga anaknya dengan baik. Apa lagi selama ini di daerah Cin-ling-san tidak pernah terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Keadaan di tempat itu selalu aman dan tenteram. Sesudah suaminya pergi dia pun menghibur isteri Koo Ham, lalu menyuruhnya pulang dan menanti suaminya di rumah.

Sesudah keluar dari perkampungan Cin-ling-pai, Hui Song menggunakan kepandaiannya berlari cepat mencari-cari ayahnya dan anaknya. Dia berlari mendaki sebuah puncak bukit terdekat, lalu berteriak memanggil nama puteranya dengan pengerahan khikang supaya suaranya terdengar sampai jauh. Sesudah menunggu jawaban yang tak kunjung ada, dia lalu menuruni bukit itu dan berlari mendaki bukit lain.

Pendekar ini tidak tahu bahwa semenjak tadi ada beberapa pasang mata yang mengikuti gerak-geriknya dan beberapa pasang telinga mendengarkan teriakannya yang melengking nyaring ketika dia memanggil puteranya itu. Pemilik mata dan telinga ini saling pandang dengan kaget dan penuh kagum, juga agak gentar. Mereka adalah Pek-lian Sam-kwi dan murid mereka, Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa yang semenjak tadi mengintai dari puncak bukit tempat mereka bersembunyi.

Selagi Hui Song hendak mendaki bukit berikutnya, tiba-tiba ada bayangan orang muncul dari dalam hutan di lereng bukit itu dan orang ini berlari turun memapakinya.

"Suhu...!” Orang itu bukan lain adalah Ciok Gun yang cepat membungkuk dengan sikap hormat kepada Cia Hui Song.

"Ciok Gun, engkau? Ke mana saja engkau dan di mana pula kedua orang sute-mu? Dan apakah engkau melihat ayah dan puteraku?”

"Suhu, panjang ceritanya. Akan tetapi, marilah Suhu ikut saya. Teecu (murid) mengetahui di mana adanya sukong (kakek guru) dan sute Kui Bu. Mari...!” Dan Ciok Gun langsung membalikkan tubuhnya berlari mendaki bukit itu.

Tentu saja Hui Song cepat-cepat mengikutinya. Senja telah mendatang dan akan semakin sukarlah mencari ayah dan puteranya kalau malam tiba. Dia merasa gembira mendengar bahwa Ciok Gun mengetahui di mana adanya mereka, akan tetapi juga timbul keheranan dan kekhawatiran melihat sikap murid Cin-ling-pai yang tidak wajar ini.

Seperti yang dialami oleh kakek Cia Kong Liang, Hui Song juga merasa terkejut dan heran ketika dia diajak Ciok Gun menuju ke sebuah pondok yang berada di hutan dekat puncak bukit itu. Seingatnya, tidak pernah ada pondok di situ!

"Pondok milik siapakah ini?" tanyanya ketika Ciok Gun berhenti. Akan tetapi Ciok Gun memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut.

"Ssttt... teecu melihat ayah dan putera Suhu di sebuah ruangan. Mari...!" bisiknya dan dia pun langsung menyelinap masuk ke dalam rumah itu melalui sebuah pintu samping kecil yang terbuka.

Hui Song juga menyelinap masuk dengan sikap hati-hati. Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, dia sudah dapat merasakan adanya sesuatu yang tidak beres, maka dia pun siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang mengancam dirinya.

Mereka tiba di ruangan belakang dan Ciok Gun memberi isyarat kepada Hui Song untuk mendekat. Hui Song lantas mengintai dari jendela. Kamar di dalam itu diberi penerangan lampu gantung sehingga cukup terang. Begitu mengintai ke dalam, dia terkejut akan tetapi sekaligus juga girang. Ayahnya dan puteranya berada dalam kamar itu. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah karena keduanya terbelenggu kaki tangannya.

"Ayah! Kui Bu...!” Dia berseru lantas sekali tubuhnya bergerak, terdengar suara keras dan daun jendela itu telah jebol dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan yang luas itu.

Akan tetapi dari kanan kiri tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan kini di depannya telah berdiri empat orang. Tiga orang laki-laki berjubah pendeta yang usianya antara lima puluh sampai enam puluh tahun serta seorang wanita muda berusia dua puluh lima tahun yang cantik dan pesolek, bersikap genit dengan senyum dan pandang matanya.

Hui Song melihat betapa Ciok Gun juga sudah memasuki ruangan itu, bahkan mendekati ayahnya dan puteranya. Akan tetapi yang sangat mengejutkan hatinya, murid Cin-ling-pai itu sama sekali tidak bersikap melindungi atau ingin menolong mereka. Bahkan dia duduk di atas bangku di sudut ruangan dengan tenang dan dingin, seperti sebuah patung saja!

“Selamat datang, pendekar besar Cia Hui Song!" kata wamta itu sambil tersenyum manis dengan gaya yang memikat. "Kiranya tidak bohong berita yang kudengar bahwa pendekar Cia Hui Song adalah seorang pria yang gagah dan ganteng!"

Hui Song mengerutkan kedua alisnya. Tahulah dia bahwa dia tengah berhadapan dengan seorang wanita yang amat jahat dan cabul. Ketika dia melirik ke arah ayahnya, dia melihat betapa orang tua itu tak mampu bergerak, bahkan tidak mampu bersuara, hanya matanya saja yang menatap kepadanya dengan pandangan khawatir. Juga puteranya rebah miring dalam keadaan terbelenggu tanpa bersuara. Tentu saja dia merasa gelisah bukan main ketika melihat keadaan mereka.

"Siapakah kalian?” Suaranya terdengar tegas, juga mengandung getaran kuat karena dia sedang marah. “Apakah kalian yang menawan ayahku dan puteraku?”

Bi Hwa tersenyum. "Mereka menjadi tamu kami, seperti juga engkau, Cia Hui Song. Kami ingin bicara denganmu, maka kami mengutus Ciok Gun untuk mengundangmu ke sini.”

“Ciok Gun...? Dia... dia... hemm, bebaskan dulu ayahku dan puteraku!”

"Nanti setelah kita bicara, pendekar yang tampan!”

"Keparat! Mereka akan kubebaskan sendiri!" Hui Song langsung bergerak ke depan untuk menghampiri ayahnya dan puteranya. Melihat ini, Su Bi Hwa yang memang ingin menguji kepandaian orang yang paling terkenal di Cin-ling-pai itu, maju menghalang.

"Minggir kau, perempuan iblis!" bentak Hui Song dan dia pun mendorong ke arah Bi Hwa. Wanita itu sengaja menyambut dengan tangannya sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukkk...!”

“Aihhhh...!" Bi Hwa terdorong dan terjengkang sampai terguling-guling.

Diam-diam Hui Song terkejut juga merasakan betapa kuatnya tenaga wanita itu. Ketika dia hendak maju terus, tiga orang tosu itu telah berdiri menghadang di depannya. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi pengeroyokan mereka dulu sebelum dapat membebaskan ayahnya dan puteranya. Tempat itu cukup luas untuk berkelahi secara keroyokan. Yang membuat dia khawatir hanyalah keadaan ayahnya dan puteranya.

"Ciok Gun, bebaskan sukong-mu dan sute-mu!" bentaknya kepada Ciok Gun. Akan tetapi sekali ini Ciok Gun tetap duduk diam laksana patung, tidak bergerak sama sekali seolah tidak mendengar perintah itu.

“Hemm, kalian iblis-iblis jahat. Berani kalian mengacau Cin-ling-pai?!" bentaknya dan dia pun segera menyerang orang terdekat, yaitu Siok Hwa Cu yang bertubuh gendut pendek dan bermuka hitam. Dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, tangan kanannya menampar ke arah kepala lawan yang pendek gendut itu. Siok Hwa Cu cepat mengerahkan tenaganya dan mengangkat kedua lengannya menangkis.

"Dukkk...!"

Hui Song merasa betapa tubuhnya tergetar oleh tangkisan itu. Akan tetapi Siok Hwa Cu terhuyung dan dia pun cepat menjatuhkan dirinya lantas bergulingan. Melihat ini Kim Hwa Cu sudah menyerang dari samping, menghantam ke arah lambung Hui Song. Pendekar ini mengelak dengan loncatan ke belakang, namun pada saat itu Lan Hwa Cu yang tinggi besar sudah mengirim pukulan pula ke arah kepalanya. Maka dia pun menangkis sambil mengerahkah tenaga sepenuhnya.

"Dukkk…!"

Kembali dia tergetar hebat walau pun lawannya juga terpental ke belakang. Secara diam-diam Hui Song terkejut. Ternyata empat orang lawan ini memiliki kepandaian yang tinggi dan dalam hal tenaga sinkang, tidak kalah jauh olehnya! Dia sama sekali tidak gentar dan pasti akan menang kalau melawan mereka satu per satu. Akan tetapi kalau mereka maju bersama, berat juga baginya. Padahal dia harus menyelamatkan ayahnya dan puteranya.

Yang lebih kaget adalah ketiga orang tosu Pek-lian-kauw itu. Sungguh pun mereka sudah menduga bahwa Cia Hui Song tentu lihai sekali, lebih lihai dari pada ayahnya yang sudah tua, namun tidak mereka sangka pria itu akan mampu membuat mereka terpental. Hal ini adalah karena mereka bertiga ini sudah terbiasa memandang diri sendiri terlalu tinggi.

“Hyaatttt...!” Hui Song mengeluarkan suara melengking nyaring kemudian tubuhnya telah menyambar-nyambar dengan kuatnya.

Tiga orang tosu itu mengepung ketat, namun mereka tidak berani mendesak terlalu dekat karena dua tangan pendekar itu mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat. Hui Song mengerahkan seluruh tenaganya karena maklum bahwa perkelahian itu akan menentukan tertolong atau tidaknya ayah dan puteranya.

Tiba-tiba terdengar suara wanita itu. "Tahan, hentikan perkelahian. Suhu semua mundur!"

Tiga orang tosu itu berlompatan mundur karena yakin akan kecerdikan Bi Hwa. Juga Hui Song segera menahan gerakannya karena khawatir terjebak. Dia melihat tiga orang tosu itu kini berdiri di dekat wanita itu, menghalangi dia menghampiri ayahnya dan puteranya. Sedangkan wanita itu telah menodongkan pedangnya pada leher Cia Kong Liang dan Cia Kui Bu yang rebah berdampingan!

"Cia Hui Song, lihatlah baik-baik. Jika engkau masih hendak mempergunakan kekerasan maka terpaksa aku akan menggorok leher ayahmu dan puteramu!"

Sebelumnya Bi Hwa yang cerdik itu telah memulihkan totokan di leher kedua orang kakek dan cucu itu sehingga kini keduanya dapat mengeluarkan suara.

"Ayah...! Ayah...!” Kui Bu memanggil sambil menangis sesenggukan. Anak itu betul-betul menderita, tubuhnya sakit-sakit karena dicambuki dan juga ketakutan.

Akan tetapi ayahnya membentak nyaring. "Hui Song, serang mereka! Bunuh mereka yang amat jahat itu! Cin-ling-pai berada dalam bahaya. Bunuh mereka, jangan pedulikan aku!"

"Ayah..., Kui Bu juga dalam bahaya..." Hui Song menjadi lemas karena dia tahu bahwa ancaman seorang yang berwatak kejam seperti wanita itu bukan hanya gertakan kosong belaka. Wanita itu tentu akan tega menggorok leher Kui Bu dan ayahnya seperti yang tadi diancamkannya.

"Lawan mereka! Kalau engkau menyerah pun hanya percuma saja, akhirnya mereka akan membunuhmu, membunuh aku dan Kui Bu juga. Lawan dan bunuh mereka, Hui Song!" kembali Cia Kong Liang berteriak-teriak.

"Tukkk!"

Kim Hwa Cu menotok hingga kakek itu pun terkulai pingsan. Melihat ini Hui Song marah bukan main, akan tetapi dia tidak berani bergerak karena leher puteranya masih ditodong pedang wanita itu.

"Bagairnana, Cia Hui Song, engkau mau berdamai dan menyerah ataukah kubunuh dulu ayahmu dan puteramu, kemudian baru kami keroyok engkau?" Bi Hwa bertanya dan nada suaranya penuh kemenangan.

Lemas seluruh tubuh Hui Song. Mungkin hatinya masih dapat tega melihat ayahnya yang sudah tua terbunuh, karena ayahnya akan tewas sebagai orang gagah. Tetapi bagaimana mungkin dia tega kalau melihat puteranya yang baru berusia lima tahun itu disembelih di hadapannya?

"Katakan lebih dulu, apa kehendakmu jika aku tidak melawan?" katanya, suaranya masih berwibawa, namun sudah tidak lantang dan tegas lagi seperti tadi.

"Kami hanya akan menjadikan engkau sebagai tawanan kami... eh, maksudku tamu kami seperti ayahmu dan puteramu. Kami tidak akan membunuh kalian asal engkau mentaati permintaan-permintaan kami."

"Hemmm, harus dilihat dulu apa permintaan itu. Dan sebetulnya siapakah kalian dan apa maksud kalian melakukan semua ini?"

"Cia Hui Song, engkau tawanan kami, tak perlu banyak menuntut. Kami tidak membunuh ayahmu dan anakmu, dan engkau menjadi tawanan kami. Nah, engkau berjanji tidak akan melawan? Kami pun berjanji tidak akan membunuh kalian bertiga."

Hui Song memandang ayahnya yang masih pingsan, lantas kepada anaknya yang masih menangis lirih, dan akhirnya kepada tiga orang pendeta itu.

"Aku mau berjanji, akan tetapi kalian berempat juga harus mengucapkan janji kalian untuk tidak mengganggu ayahku dan puteraku. Apa bila hanya engkau saja yang berjanji, Nona, terus terang aku tidak percaya."

"Baik, kami berjanji. Suhu, berjanjilah kalian!" kata Bi Hwa.

Dengan heran Hui Song melihat betapa tiga orang tosu yang disebut suhu oleh gadis itu begitu taat. Mereka mengangguk kemudian serentak mereka berkata sambil memandang kepadanya.

"Cia Hui Song, kami berjanji tidak akan membunuh ayahmu dan puteramu kalau engkau menyerah dan tidak melawan."

Hui Song tak habis mengerti bagaimana tiga orang guru demikian taat kepada muridnya, padahal murid itu seorang wanita muda. Melihat kekuatan mereka, dia tahu bahwa murid itu tidak lebih kuat dari pada mereka bertiga! Akan tetapi dia tidak peduli.

Dia tidak tahu bahwa karena kecerdikannya, Tok-Ciang Bi Moli Su Bi Hwa sudah diangkat oleh pimpinan Pek-lian-kauw menjadi pemimpin rombongan pelaksana tugas itu sehingga di dalam tugas itu, tiga orang gurunya menjadi orang-orang bawahannya atau pembantu-pembantunya. Di samping itu, memang biasanya mereka itu kalah pengaruh oleh Bi Hwa, apa lagi Kim Hwa Cu dan Siok Hwa Cu yang juga menganggap gadis itu sebagai kekasih mereka.

"Aku pun berjanji tidak akan melawan lagi dan akan memenuhi permintaan kalian, asalkan permintaan itu tidak berlawanan dengan hatiku dan tidak melakukan kejahatan!”

“Tentu saja!” kata Bi Hwa. "Ciok Gun, kau bawa kakek dan cucunya itu ke kamar tahanan hijau!"

"Baik, Su-siocia!" kata Ciok Gun dan bagaikan patung yang baru saja dapat bergerak, dia pun bangkit dan berjalan menghampiri kakek Cia Kong Liang. Dipanggulnya tubuh kakek itu, kemudian mengempit tubuh Kui Bu yang masih menangis itu dibawa keluar dari situ.

"Ayah...!”

"Kui Bu, diamlah dan jangan cengeng! Kau jaga kongkong-mu baik-baik," kata Hui Song sambil menabahkan hatinya yang rasanya seperti diremas-remas.

"Awas kalian berempat. Bila sampai ayahku atau anakku diganggu, aku bersumpah akan membunuh kalian!" katanya setelah Ciok Gun membawa kedua orang itu pergi.

"Hi-hik-hik, kami tidak akan begitu bodoh Cia-taihiap (pendekar besar Cia)!" kata Bi Hwa sambil tersenyum manis.

Kini ia menyebut taihiap kepada Hui Song, sebutan yang amat menyakitkan hati pendekar itu karena pada saat itu dia sama sekali tidak merasa sebagai seorang pendekar, apa lagi pendekar yang besar. Dia merasa dirinya seperti seorang pengecut yang sudi menyerah begitu saja kepada orang-orang jahat! Akan tetapi, apa daya? Puteranya dalam bahaya. Kalau dia tidak menyerah, tentu iblis-iblis itu akan membunuh anaknya dan ayahnya.

"Kami tidak bermaksud membunuh siapa-siapa, bahkan kami juga tidak ingin memusuhi Cin-ling-pai. Sekarang engkau menjadi tamu kami, dan marilah kami antarkan engkau ke kamarmu,” kata pula wanita itu dengan sikap genit sekali.

Tanpa berbicara apa-apa lagi Hui Song mengikuti Bi Hwa yang berjalan di depannya, ada pun tiga orang tosu itu berjalan di belakangnya. Kalau dia mau, dengan sekali serang saja dia tentu akan dapat membunuh wanita yang berada di depannya itu, kemudian dia pun akan mampu melawan mati-matian kalau dikeroyok tiga orang tosu di belakangnya. Akan tetapi, andai kata tindakannya itu dapat membunuh mereka berempat, tetap saja anaknya dan ayahnya terancam bahaya maut. Dia tidak tahu berapa banyak anak buah mereka, dan di sini ada pula Ciok Gun yang agaknya telah berada dalam cengkeraman kekuasaan mereka.

Maka dia cepat menahan gejolak hatinya dan mengikuti dengan patuh ketika dia dibawa memasuki sebuah pintu rahasia yang membuka sebuah lorong bawah tanah! Orang-orang ini ternyata sudah membuat persiapan, pikirnya. Mereka bahkan sudah membuat lorong rahasia di bawah pondok itu.

Lorong itu cukup panjang, lebih dari seratus meter panjangnya. Dia lalu disuruh masuk ke dalam sebuah kamar bawah tanah. Dari kamar yang mempunyai jendela beruji besi yang kokoh kuat itu dia dapat melihat betapa kurang lebih lima puluh meter dari situ, anaknya dan ayahnya rebah di atas pembaringan, di sebuah kamar lain.

"Nah, ini kamarnya, Cia-taihiap, lengkap dengan tempat mandi dan kakus. Dan yang lebih baik lagi, lihat di sana itu. Engkau dapat melihat keadaan ayahmu dan anakmu, karena itu tenangkan hatimu dan jangan sekali-kali mencoba untuk memberontak kalau engkau tidak ingin ayah dan anakmu tewas." Sesudah berkata demikian, wanita itu bersama tiga orang tosu meninggalkan kamar tahanan dan menutupkan pintunya yang juga terbuat dari besi.

“Nanti dulu!" Mendadak Hui Song berkata melalui jeruji besi di atas daun pintu. “Siapakah kalian sesungguhnya dan apa yang kalian kehendaki dari Cin-ling-pai?"

Wanita muda itu tersenyum. "Namaku Tok-ciang Bi Mo-li Su Bi Hwa, dan mereka bertiga adalah guru-guruku bernama Kim Hwa Cu, Siok Hwa Cu, dan Lan Hwa Cu...”

Hui Song memandang terbelalak. Tosu-tosu yang memakai nama bunga itu mengingatkan dia akan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw. "Kiranya kalian bertiga adalah Pek-lian Sam-kwi?”

Tiga orang tosu itu diam saja, akan tetapi Bi Hwa yang tertawa. "Hi-hi-hik, engkau cerdik, Taihiap. Engkau gagah, ganteng dan cerdik. Dugaanmu memang benar. Aihh, kalau saja engkau tidak begitu berbahaya, tentu aku akan suka sekali menemanimu dalam kamarmu ini, hi-hik!"

Hui Song tidak menjawab dan tak mau bicara lagi, bahkan lantas membalikkan tubuhnya dari pintu. Dia mendengar mereka pergi sambil tertawa-tawa, dan tak lama kemudian dia melihat belasan orang di luar pintu kamar-kamar tahanan bawah tanah itu. Hemm, kiranya mereka mempunyai belasan orang anak buah, pikirnya. Dan mungkin ada lebih banyak lagi yang masih berada di luar.

Dugaan Hui Song ini memang benar. Ada tiga puluh orang anak buah Pek-lian-kauw yang dipersiapkan empat orang itu. Mereka telah merencanakan semuanya dengan baik sekali. Mereka melarang semua anggota Pek-lian-kauw untuk bergerak atau memperlihatkan diri dan mereka sendiri yang turun tangan menjebak para pimpinan Cin-ling-pai, melalui Ciok Gun yang sudah berada dalam cengkeraman mereka.

Ciok Gun telah dibius dan disihir sehingga dia kehilangan semangat, kehilangan kemauan sendiri dan patuh sekali kepada Bi Hwa, seperti mayat hidup saja. Perintah apa pun yang diberikan Bi Hwa akan dia lakukan dengan patuh dan dengan taruhan nyawa. Biar pun dia masih mengenal tokoh-tokoh Cin-ling-pai, namun pengenalannya itu seperti hafalan saja, ditekankan oleh Bi Hwa. Segala sikapnya diatur oleh Bi Hwa karena sebetulnya Ciok Gun sudah tidak ingat apa-apa lagi kecuali taat kepada wanita muda yang dianggapnya sangat baik, sangat menyenangkan dan sangat mencintanya itu!

Akan tetapi belasan orang penjaga di luar itu hanya bersikap acuh dan seolah-olah tidak mempedulikan dia atau ayah dan anaknya yang berada di kamar seberang. Bahkan yang berada di depan kamar tahanan mereka hanya lima orang saja, namun yang menjaga di depan kamar tahanannya lebih banyak.

Kamar tahanan itu kokoh kuat, dindingnya tak mungkin ditembus karena berada di bawah tanah, jendela dan pintunya juga kokoh dan kuat terbuat dari pada besi. Dan andai kata dia mampu menjebol pintu atau jendela dan membunuh para penjaga, tidak berarti bahwa dia sudah bebas. Di masih berada di lorong bawah tanah yang jalan satu-satunya hanya melalui pintu rahasia dalam pondok itu. Dan di atas masih ada empat orang musuh yang lihai itu. Tidak, dia tidak akan menggunakan kekerasan sebelum merasa yakin akan dapat membebaskan ayahnya dan puteranya.

"Hui Song...!”

Pendekar itu menengok. Ayahnya sudah siuman, bahkan sudah berdiri di depan jendela beruji menghadap ke arah kamarnya. Ayahnya tidak terbelenggu lagi dan agaknya dalam keadaan sehat saja.

"Ayah...!" Kui Bu juga telah berdiri di atas bangku sehingga dapat menjenguk keluar jeruji jendela dan memandang kepadanya. Anaknya sudah tidak menangis lagi dan nampaknya sehat saja, maka hatinya merasa lega.

"Ayah dan Kui Bu, kalian baik-baik saja, bukan?" tanyanya dengan suara lega.

"Hui Song, lihat apa akibatnya. Engkau menyerah dan kini ditawan! Sekarang siapa yang akan membasmi mereka?"

"Ayah, yang penting kita masih hidup dan sehat. Kalau sudah mati tak akan dapat berbuat sesuatu," jawab Hui Song.

Jawaban ini agaknya menyadarkan kakek itu bahwa puteranya terpaksa menyerah untuk menyelamatkan dia dan cucunya dari maut. Meski pun hatinya merasa penasaran namun dia dapat memaklumi sikap puteranya ketika teringat akan cucunya yang masih kecil.

"Engkau benar. Kita harus menjaga kesehatan dan kekuatan, tidak boleh putus asa." Dan dia pun merangkul cucunya. "Jangan khawatir, Kui Bu berada di sini bersamaku."

"Ayah, aku akan menjaga kakek!" kata Kui Bu, kini suaranya mengandung ketabahan.

Agaknya semangat anak itu timbul karena melihat ayahnya berada di situ dan tadi ditegur agar tidak cengeng dan agar dia menjaga kakeknya, dan memang pada dasarnya Kui Bu bukan seorang anak yang lemah atau cengeng.

Demikianlah, dengan sabar dan tenang Hui Song, ayahnya, dan anaknya tidak membuat ulah di dalam kamar tahanan mereka, tapi diam-diam tentu saja mereka mempersiapkan diri dan menunggu terbukanya kesempatan untuk membebaskan diri. Ketika ada penjaga menyodorkan hidangan dan minuman melalui jeruji besi di atas pintu, mereka langsung menerimanya dan makan tanpa banyak ribut lagi.

********************

"Ayah...!” Suara itu melengking nyaring menembus kesunyian malam.

"Kui Buuuu...!” Kembali suara yang sama melengking nyaring menuruni bukit, seolah-olah suara itu datang dari bulan tiga perempat yang memberi penerangan yang cukup. Namun, seperti juga tadi, tidak ada suara jawaban terdengar.

"Song-ko (kanda Song)...!" kembali suara itu melengking dengan sia-sia, karena tidak ada jawaban. Suara jengkerik serta belalang malam yang tadinya meramaikan malam bahkan segera terhenti sejenak karena kaget oleh suara melengking itu. Beberapa saat kemudian barulah kerik jengkerik dan belalang terdengar lagi.

Ceng Sui Cin menuruni bukit itu. Hatinya cemas bukan main. Di Cin-ling-pai terjadi hal-hal yang aneh sejak mereka pulang ke situ dari pulau Teratai Merah kemarin. Mula-mula Ciok Gun, Teng Sin dari Koo Ham, tiga murid Cin-ling-pai yang pergi berburu tetapi sampai dua hari satu malam belum pulang. Kemudian, sejak pagi tadi Kui Bu bersama kakeknya pergi berjalan-jalan juga sampai malam ini belum pulang. Dan yang terakhir, sore tadi suaminya pergi mencari mereka namun sampai sekarang, menjelang tengah malam, suaminya pun belum kembali pula!

Maka, sesudah memesan agar Gouw Kian Sun, sute dari suaminya menyuruh anak buah membuat penjagaan yang lebih ketat, dia sendiri lalu keluar dari perkampungan Cin-ling-pai untuk mencari mereka.

Sudah sejak tadi dia mencari-cari, secara bergantian memanggil-manggil ayah mertuanya, suaminya dan anaknya, tetapi tidak ada yang menjawab. Padahal dia telah mengerahkan khikang ketika berteriak memanggil sehingga suaranya tentu akan terdengar sampai jauh. Setidaknya suaminya tentu mendengarnya. Namun kalau begitu mengapa suaminya tidak menjawab?

Hati wanita perkasa ini mulai merasa gelisah. Untung bulan cukup terang dan di angkasa tidak ada mendung sehingga dia dapat mempergunakan ilmunya berlari cepat yang amat hebat untuk berlari-lari mencari.

Ilmu ginkang (meringankan tubuh) nyonya ini memang hebat. Ia mempunyai ilmu Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) yang membuat dia mampu bergerak sedemikian cepatnya sehingga bayangannya saja berkelebat dan sukar ditangkap pandangan mata!

Hatinya menjadi makin gelisah setelah tiga bukit didaki dan dituruni namun belum juga dia berhasil menemukan orang-orang yang dicarinya. Ketika dia mendaki sebuah bukit, tiba di luar hutan, tiba-tiba dari dalam hutan itu muncul empat orang yang menghadang di tengah jalan. Tiga orang tosu dan seorang wanita muda yang cantik.

"Selamat malam, Ceng Sui Cin Lihiap!" Gadis itu menyalaminya dengan senyum simpul.

Sui Cin terkejut dan merasa heran. Dia memandang penuh perhatian akan tetapi merasa tidak pernah mengenal mereka. Namun mereka sudah mengetahui namanya! Jantungnya berdebar tegang karena ada firasat yang tidak enak terasa di hatinya. Seperti ada bisikan bahwa kemunculan empat orang asing ini tentunya ada hubungannya dengan lenyapnya mertuanya, anaknya, suaminya dan tiga orang murid Cin-ling-pai itu.

"Siapakah kalian?" tanyanya.

"Lihiap (pendekar wanita), kami adalah tuan dan nyonya rumah, dan engkau adalah tamu kami. Mari silakan ikut dengan kami!" kata Bi Hwa.

Sui Cin mengerutkan alisnya. "Apa maksudmu? Aku tidak mengenal kalian dan tidak akan menjadi tamu kalian." Kecurigaannya semakin menebal.

"Aihhh, Nyonya Cia Hui Song, bukankah engkau sedang mencari suamimu, anakmu dan ayah mertuamu?"

Sui Cin terkejut. Apa yang dikhawatirkannya tadi ternyata benar. Mereka ini tahu tentang keluarganya yang hilang!

"Di mana mereka? Siapa kalian?!" bentaknya.

Bi Hwa tersenyum lagi. "Siapa adanya kami tidaklah terlalu penting bagimu, Lihiap. Yang penting kami mengundangmu untuk menjadi tamu kami, dan kami berjanji bahwa engkau pasti akan dapat berjumpa dengan Kakek Cia, suamimu, serta puteramu dalam keadaan selamat."

Seketika wajah Sui Cin berubah menjadi merah saking marahnya. "Aku tidak sudi menjadi tamu kalian! Jadi kalian telah menawan keluargaku? Katakan, benarkah itu?"

Kembali Bi Hwa tersenyum, merasa menang. “Bukan menawan. Mereka sedang menjadi tamu-tamu kami, tamu terhormat."

"Hayo bebaskan mereka sekarang juga!" bentak Sui Cin sambil mengepal sepasang tinju tangannya.

"Hemmm, engkau galak benar, Lihiap. Bagaimana kalau kami tidak mau membebaskan mereka?"

"Keparat, berarti kalian sudah bosan hidup! Akan kusiksa kalian, akan kubunuh kalian jika tidak segera membebaskan Kakek Cia, suamiku, dan puteraku!"

“Ho-ho-ha-ha, alangkah sombongnya perempuan ini!" Siok Hwa Cu sudah melangkah ke depan dan memandang Sui Cin dengan sikap mengejek, akan tetapi dengan diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan tiba-tiba saja suaranya yang menggetar penuh kekuatan sihir itu membentak, matanya menatap tajam wajah Sui Cin.

"Ceng Sui Cin, engkau berhadapan dengan orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi. Hayo engkau cepat berlutut dan memberi hormat kepada kami!" Diam-diam Kim Hwa Cu dan Lan Hwa Cu juga mengerahkan kekuatan sihir mereka melalui pandang mata untuk membantu usaha Siok Hwa Cu menundukkan nyonya lihai itu dengan sihir.

Tiba-tiba saja Ceng Sui Cin merasa betapa tubuhnya tergetar, jantungnya terguncang dan semangatnya melayang. Hampir saja kedua kakinya berlutut. Akan tetapi dia segera tahu bahwa lawan mempergunakan kekuatan sihir. Tidak percuma dia menjadi puteri Pendekar Sadis, dan ibunya Toan Kim Hong pernah menjadi seorang datuk besar berjuluk Lam Sin. Maka selain ilmu silat, tentu saja dari ayah ibunya dia telah dibekali kekuatan batin untuk menghadapi serangan sihir.

Dia mengerahkan tenaga itu untuk menolak dan getaran pada tubuhnya menghilang, juga dorongan untuk bertekuk lutut menjadi lenyap. Sebaliknya dengan marah sekali dia lantas menyerang tosu muka hitam yang gendut pendek itu. Karena sudah marah sekali, maka begitu menyerang, Ceng Sui Cin langsung menggunakan sebuah jurus dari Hek-liong Sin-ciang!

Ilmu silat sakti ini hanya terdiri dari delapan jurus saja, namun karena ilmu yang menjadi andalan ayahnya ini adalah ciptaan dari Bu-beng Hud-couw, maka hebatnya bukan main. Dahsyat sekali! Setelah merendahkan tubuhnya, wanita cantik ini menerjang ke depan dan kedua tangannya melakukan gerakan mendorong.

Siok Hwa Cu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi, maka dia agak memandang rendah kepada wanita ini. Sebenarnya dia juga sudah mendengar akan kelihaian pendekar wanita Ceng Sui Cin, tetapi sudah menjadi ciri orang yang menjadi budak nafsu, yang selalu mengejar kesenangan melalui cara kekerasan, dia memandang diri sendiri terlalu tinggi sehingga memandang rendah orang lain.

Melihat wanita itu tidak terpengaruh oleh ilmu sihirnya saja, sebetulnya sudah merupakan peringatan yang cukup baginya. Akan tetapi dia menganggap gerakan serangan Ceng Sui Cin itu sebagai gerakan serangan yang tidak ada artinya, maka dengan sombongnya dia menghadapi dengan dua tangan menyambar, maksudnya untuk menangkap pergelangan kedua tangan lawannya itu

"Desssssss...!”

Pertemuan antara kedua pasang lengan itu hebat sekali. Kim Hwa Cu dan Lan Hwa Cu hendak memperingatkan saudara mereka, akan tetapi sudah terlambat. Tubuh Siok Hwa Cu terjengkang dan terbanting keras. Ketika dia dibantu kedua orang saudaranya bangkit dia muntah darah!

Namun Sui Cin tidak berhenti sampai di situ saja. Sekarang dia sudah mengetahui bahwa tentu keluarganya ditawan oleh orang-orang jahat ini, maka sesudah tosu gendut pendek itu roboh, dia pun kembali menyerang lagi, dan kini dia menyerang wanita cantik yang tadi menjadi juru bicara.

Kembali Sui Cin mempergunakan jurus dari Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga), dan kini kedua tangannya tidak mendorong seperti tadi, melainkan menyerang dari atas dan bawah, tangan kiri mencengkeram ke arah kepala, tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Bukan hanya cengkeraman itu yang berbahaya, akan tetapi terutama sekali tenaga yang terkandung dalam serangan inilah yang amat kuat sehingga tadi ketika Siok Hwa Cu menangkis, seketika dia terjengkang dan muntah darah!