Si Kumbang Merah Pengisap Kembang Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

INILAH pemuda yang semalam melindungi Gui Lok, mengalahkan dua orang pengawalnya dan membikin malu padanya di depan umum! Dan kini pemuda ini berani muncul, bahkan menurut laporan Siok Bi tadi, pemuda ini mengalahkan semua jagoannya dan tentu akan merobohkan puluhan orang pengawal kalau tidak segera diundang masuk.

Siok Bi mengatakan bahwa pemuda itu datang bukan hendak membikin kacau, melainkan untuk menyerahkan uang sebanyak lima puluh tail emas! Dan dia pun sudah mendengar bahwa pemuda ini pula yang sudah mengeduk lima puluh tail emas dari rumah judinya, mengalahkan semua bandar judi yang tangguh.

Meski hatinya diliputi keraguan dan perasaan takut, terpaksa dia menyetujui ketika Siok Bi menyatakan hendak mengundang saja pemuda itu masuk supaya dapat bicara baik-baik. Menghadapi seorang pemuda yang selihai itu memang lebih baik dilakukan dengan cara damai. Bahkan, akan sangat menguntungkan kalau pemuda selihai itu mau menjadi kaki tangannya!

"Duduklah, orang muda yang gagah perkasaa," kata Hartawan Coa.

Para pelayan wanita segera mengundurkan diri sehingga di dalam kamar itu hanya tinggal Hartawan Coa, Hay Hay dan Siok Bi bertiga saja. Para pengawal kini bergerombol di luar kamar itu, siap melindungi majikan mereka kalau diperlukan.

"Terima kasih, Coa Wan-gwe,” kata Hay Hay sederhana dan dia pun lantas menurunkan buntalannya dari atas punggung, meletakkannya di atas meja dan dia sendiri lalu duduk di atas bangku dekat meja.

Siok Bi juga turut duduk di antara mereka, dengan wajah berseri dan kedua pipi merah. Matanya yang indah itu bersinar-sinar karena dia tahu bahwa pemuda itu menepati janji, membawa lima puluh tail emas itu untuk membeli kebebasannya! Tadi malam dia sudah memberi kabar kepada pemuda yang mencintainya itu supaya pagi ini siap menantinya di depan gedung, siap pergi bersamanya untuk menjadi suami isteri dan memulai hidup baru yang cerah!

"Anak muda, semalam engkau berkata kepadaku akan datang berkunjung. Dan sekarang, pagi-pagi engkau benar-benar datang berkunjung dan mengatakan kepada para pengawal bahwa engkau datang sambil membawa lima puluh tail emas untuk diberikan kepadaku. Benarkah itu dan apakah maksudmu? Apakah engkau hendak mengembalikan lima puluh tail emas yang kau bawa dari rumah judi itu?"

Melihat sikap hartawan jtu, Hay Hay tersenyum. Tentu saja hartawan ini bersikap angkuh karena pada saat itu dia menjadi tuan rumah dan selain itu, juga di luar kamar ini terdapat puluhan orang pengawal dan di dekatnya ada Siok Bi yang tentu dianggapnya sebagai seorang pengawal yang setia. Dan memang sebenarnya Siok Bi seorang pengawal yang setia, kalau saja dia tidak merasa begitu sengsara menjadi kekasih hartawan yang tidak dicintanya itu.

"Coa Wan-gwe, rumah judi itu milikmu, bukan? Pernahkah engkau mengembalikan uang kekalahan dari para penjudi selama ini? Beberapa ratus ribu tail saja yang dimenangkan rumah judi itu dari para penjudi?"

Hartawan itu tersenyum. "Dalam perjudian, menang dan kalah merupakan hal yang biasa, bukan?"

"Benar begitu. Karena itu, kemenanganku di rumah judimu juga bukan hal aneh, mengapa sekarang kau berharap aku mengembalikan uang kemenanganku dari rumah judi itu?"

Hartawan yang tinggi besar dengan muka hitam bopeng itu tertawa. "Ha-ha-ha, aku pun tidak mengharapkan, hanya aku tadi mendengar bahwa engkau hendak memberikan lima puluh tail emas kepadaku. Benarkah itu, dan apa maksudmu dengan itu?"

"Aku hendak menebus kebebasan nona Siok Bi!"

Wajah yang tadinya tertawa itu tiba-tiba menjadi kaku, dan matanya terbelalak ketika dia menoleh dan memandang pada Siok Bi. Gadis ini menundukkan mukanya yang berubah merah, akan tetapi lalu diangkatnya mukanya itu dan dia menentang pandang mata Coa Wan-gwe dengan berani.

"Dulu tai-ya membeliku dari mendiang ayah, jika sekarang ada yang hendak menebusku kembali, anehkah itu?" Siok Bi berkata dengan suara yang tegas.

"Tapi... tapi... uang tebusan itu banyak sekali sekarang!" kata Coa Wan-gwe yang merasa sayang kepada Siok Bi untuk dua hal.

Pertama, sebagai seorang di antara selirnya, Siok Bi tetap merupakan seorang kekasih yang istimewa, tidak genit seperti para wanita lain sehingga kadang terasa menjemukan, dan ke dua gadis ini memiliki ilmu silat yang cukup lihai sehingga dapat menjadi pengawal pribadi yang boleh diandalkan. Rumah judi miliknya itu maju pesat setelah Siok Bi menjadi pengurusnya.

"Aku tahu, tai-ya. Pernah tai-ya mengatakan bahwa harga diriku kini telah mencapai lima puluh tail emas, bukan?" kata Siok Bi.

"Nah, untuk urusan itulah aku datang, Coa Wan-gwe. Ini adalah lima puluh tail emas itu, untuk menebus kebebasan diri nona Siok Bi!" kata Hay Hay sambil mendorong buntalan emas itu ke arah tuan rumah.

Sepasang alis yang tebal itu berkerut, kemudian Hartawan Coa menoleh kepada Siok Bi. Teringatlah dia betapa sudah selama hampir satu bulan ini Siok Bi selalu menjauhkan diri darinya, dengan dalih tidak enak badan dan sebagainya!

"Ahh, kiranya engkau jatuh cinta kepada pemuda ini dan hendak menikah dengan dia?" tanyanya.

"Jangan salah mengerti, Wan-gwe," kata Hay Hay cepat, sedangkan Siok Bi menggeleng kepalanya. "Aku hanya ingin menolongnya supaya dia bebas dari sini dan dapat memilih jodohnya sendiri. Engkau tidak perlu tahu siapa yang dipilihnya, tetapi yang jelas bukan aku. Nah, bagaimana jawabanmu, Coa Wan-gwe?”

Hartawan itu merasa serba salah. Uang lima puluh tail emas memang sangat banyak bagi kebanyakan orang, tapi bagi dia tak ada artinya. Dia tidak ingin uang sebanyak itu karena uangnya sudah jauh lebih banyak lagi. Dia juga sayang kepada Siok Bi. Terutama sekali, dia tidak rela harus mengalah terhadap pemuda yang pernah membuat dia malu ini. Akan tetapi menentang kehendak pemuda lihai ini? Dia pun ragu-ragu!

Tiba-tiba saja dia tersenyum karena mendapat pikiran yang dianggapnya baik dan sangat menguntungkan. Di dunia ini terdapat banyak wanita, bahkan yang lebih cantik menarik dari pada Siok Bi dan yang mudah dia dapatkan kalau dia menghendaki.

"Aku tidak berkeberatan jika Siok Bi hendak menikah dengan seorang pria pilihan hatinya. Akan tetapi aku tidak rela kalau harus kehilangan seorang pembantu yang cakap. Begini saja, orang muda. Bagaimana kalau engkau menggantikan kedudukannya? Bukan hanya kedudukannya sebagai pemimpin rumah judi, bahkan akan kuserahkan kepadamu semua pimpinan para pasukan keamanan serta pengawal! Kuangkat engkau menjadi pembantu utama dan berapa saja gaji yang kau kehendaki, akan kupenuhi! Bagaimana?"

Wajah pemuda itu berubah menjadi merah. Kurang ajar, pikirnya. Dia hendak dijadikan antek hartawan ini! "Coa Wan-gwe, urusan itu adalah urusan antara kita berdua dan boleh kita bicarakan nanti. Sekarang, beri dulu keputusan mengenai kebebasan nona Siok Bi!"

Tidak ada pilihan lain bagi Hartawan Coa untuk mempertimbangkannya lagi kecuali harus menyetujui. Dia tahu betapa bahayanya menentang pemuda ini, apa lagi setelah kini Siok Bi berpihak kepadanya! Apa bila terjadi keributan, maka dapat dipastikan bahwa Siok Bi yang akan dibebaskan oleh pemuda itu tentu akan membantunya.

Dia menarik napas panjang dan menyentuh buntalan uang emas. "Baiklah, aku menerima lima puluh tail emas ini sebagai penebus kebebasan Siok Bi. Mulai saat ini engkau bebas, Siok Bi."

Mendengar ini, Siok Bi mengeluarkan seruan lirih dan dia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Hay Hay lantas merangkul kaki pemuda itu. "Ahhh, taihiap, terima kasih... terima kasih atas budimu ini yang takkan kulupakan selama hidupku....” Suaranya mengandung isak.

Hay Hay tersenyum dan sekali tarik dia telah memaksa gadis itu bangkit berdiri kemudian merangkulnya. Dengan lembut sekali diciumnya dahi gadis itu, lalu dua pipinya sehingga ada air mata yang memasuki mulut melalui hisapan bibirnya.

"Siok Bi, engkau memang pantas mendapatkan kebahagiaan. Nah, semoga engkau hidup berbahagia bersama suamimu dan ini, aku tidak dapat memberi apa-apa kecuali bekal ini, agar engkau dan suamimu dapat memulai hidup baru dan memiliki modal."

Hay Hay mengambil sebuah guci arak, menaruhnya di atas meja di depan Coa Wan-gwe dekat buntalan emas, lalu dia meraih buntalan emas lima puluh tail itu dan menyerahkan emas itu kepada Siok Bi.

Gadis itu terbelalak. "Tapi... tapi...”

Dia memandang ke arah Hartawan Coa yang agaknya sudah berubah menjadi arca atau tidak melihat atau tak peduli bahwa buntalan emas itu diambil oleh Hay Hay dan sebagai gantinya, di depannya kini berdiri sebuah guci arak itu, yang telah kosong pula.

"Bawalah, Siok Bi, disertai doaku. Ini milikmu! Ingat, bukankah engkau yang telah berhasil menyelidiki tentang Ang-hong-cu itu? Nah, bawalah dan cepat kau pergi dari sini!"

Gadis itu menahan isak, lalu merangkul Hay Hay dan tanpa mempedulikan Coa Wan-gwe yang berada di sana dan duduk seperti patung, Siok Bi mencium bibir pemuda itu dengan sepenuh perasaan hatinya, penuh kemesraan, kehangatan, keharuan, disertai rasa syukur yang tidak terukur dalamnya. Kemudian, sambil menahan isak dia pun menerima buntalan emas itu dari tangan Hay Hay dan berbisik, "Selamat tinggal, sampai jumpa pula, taihiap." Dia lalu keluar dari kamar dengan langkah yang cepat.

"Selamat jalan, sampai jumpa kembali, Siok Bi," Hay Hay berkata lirih sambil tersenyum. Masih terasa kehangatan dan kelembutan bibir gadis itu akan tetapi dia segera mengusir lenyap kenangan indah itu.

"Coa Wan-gwe, lebih baik kita bungkus dulu emas ini dan suruh orangmu menyimpannya, baru kita bicara," katanya kepada hartawan yang tadi duduk seperti patung itu. Sekarang dia seperti baru sadar dari tidur.

"Ahh, engkau benar sekali, sebaiknya kusuruh simpan dulu," katanya, sementara itu Hay Hay mengambil kain tilam meja yang lebar dan membungkus guci itu.

Coa Wan-gwe bertepuk tangan dan muncullah dua orang gadis pelayan yang cantik genit. Tepukan tangan tadi adalah tepukan khas untuk memanggil dua orang selir terkasih ini.

"Simpan dahulu buntalan emas ini di dalam almari dan jangan bilang kepada siapa pun bahwa di situ disimpan emas lima puluh tail," katanya.

Dua orang gadis itu lalu mengambil buntalan guci dari atas meja, membawanya ke almari di sudut dan menyimpannya. Mereka lalu meninggalkan kamar lagi saat mendapat isyarat dari majikan mereka. Walau pun mereka adalah selir, akan tetapi kedudukan mereka tidak lebih sebagai pelayan yang melayani majikan mereka, bukan sebagai isteri.

"Nah, sekarang kita berada berdua saja di dalam kamar ini, Coa Wan-gwe. Terus terang saja, bila aku menjadi pembantumu maka dalam waktu beberapa bulan saja tentu engkau akan jatuh bangkrut dan seluruh harta bendamu akan habis!"

"Mengapa begitu?" tanya hartawan itu terkejut.

"Pertama, karena aku tidak suka melihat orang menjadi korban perjudian. Ke dua, karena aku selalu menentang perbuatan jahat dan kejam yang dilakukan oleh anak buahmu atas perintahmu. Ke tiga, karena aku tidak suka melihat orang bersikap sewenang-wenang dan memaksa wanita muda untuk menjadi miliknya. Dan ke empat, aku tak dapat tinggal diam saja melihat orang-orang hidup melarat dan tidak dapat makan, dan hartamu tentu akan kubagi-bagikan kepada mereka!"

Sepasang mata hartawan itu terbelalak. "Wah, wah, kalau begitu, tidak jadi saja! Aku tak mau mempunyai pembantu seperti itu!" Hartawan Coa menjadi marah, lalu bangkit berdiri. "Orang muda, segera kau pergi tinggalkan rumahku ini dan jangan lagi menggangguku!"

"Kalau aku tetap mengganggumu, kau mau apa?"

Hartawan itu masih belum mau menyerah dan tiba-tiba dia menyambar sebuah tali yang tersembunyi di antara kain-kain sutera yang menghias kamar itu. Segera terdengar suara kelenengan di luar, lantas daun pintu kamar itu terbuka.

Muncullah tiga orang gadis pelayan cantik yang bertubuh kuat, bersama tiga orang jagoan yang tadi sudah dirobohkannya! Tiga orang jagoan itu nampak gentar sekali sungguh pun mereka cepat-cepat datang ketika mendengar kelenengan yang berarti tanda bahaya bagi majikan mereka itu. Di luar pintu masih berdiri puluhan orang pengawal yang siap dengan senjata di tangan.

"Nah, engkau masih berani menggangguku?" bentak hartawan itu.

Hay Hay tersenyum lebar. Hartawan Coa ini harus diberi hajaran yang cukup keras untuk melunakkan hatinya yang keras.

"Hemmm, kau mengandalkan para pengawalmu? Engkau tidak tahu bahwa setiap waktu para tukang pukul dan pengawalmu itu bisa saja berbalik memusuhimu, bahkan mungkin pula engkau akan dibunuh oleh mereka."

"Tidak mungkin! Mereka adalah para pembantuku yang setia!"

"Setia? Karena terpaksa dan karena uang, seperti halnya nona Siok Bi tadi. Heiiii, kau....!” Hay Hay menggapai salah seorang di antara ketiga gadis itu. "Kau ke sinilah dan beri satu kali tamparan pada pipi Hartawan Coa!"

Semua orang terkejut, juga Hartawan Coa. Akan tetapi sungguh aneh. Gadis yang tadinya terbelalak kaget mendengar perintah itu, sekarang melangkah maju mendekati Hartawan Coa.

"Plakkk!"

Tangannya menampar dan pipi hartawan itu sudah ditamparnya! Tidak begitu nyeri, akan tetapi Hartawan Coa menjadi terkejut dan marah bukan main. Wajahnya sebentar pucat dan sebentar merah.

"Tangkap perempuan kurang ajar ini!"

Hay Hay melangkah maju. "Siapa yang berani menangkapnya?! Kalau aku tidak memberi perintah, maka tak seorang pun boleh mengganggu dia!" Dan aneh, mendengar teriakan Hay Hay ini, tak seorang pun berani maju, walau pun Hartawan Coa berkali-kali memberi perintah.

"Kau! Majulah dan tampar pipi hartawan ini supaya dia tidak berteriak-teriak lagi!" kata Hay Hay pada gadis ke dua. Gadis itu pun tadinya terbelalak, akan tetapi dia melangkah maju dan tangannya menampar. Hartawan itu hendak menangkis, namun kalah cepat.

"Plakkk!" Dan untuk kedua kalinya pipinya kena ditampar oleh gadis kesayangannya yang biasanya amat patuh kepadanya.

"Tiat-ci Thio Kang, jarimu sudah patah, karena itu pergunakan kakimu menendang pantat Hartawan Coa! Hayo cepat, jangan keras-keras, biar dia tahu rasa saja!"

Mendengar ucapan ini, tentu saja Tiat-ci Thio Kang mempertahankan diri sekuatnya untuk menentang perintah yang berlawanan dengan kemauan hatinya itu. Akan tetapi, entah apa yang mendorongnya untuk melangkah maju dan kakinya lantas terayun.

"Bukkk!”

Hartawan Coa jatuh tersungkur, lalu bangkit sambil meringis dan menggosok pinggulnya yang ditendang. Sekarang mukanya pucat dan matanya terbelalak ketakutan memandang kepada Hay Hay.

"Bagaimana? Haruskah aku lanjutkan? Bila aku memerintahkan mereka menyembelihmu, maka sekarang juga akan mereka laksanakan, Wan-gwe!"

"Tidak.... Tidak...! Hentikan permainan setan ini !" katanya meratap ketakutan.

“Kalau begitu, perintahkan mereka itu mundur."

"Mundur! Kalian semua mundur, terkutuk kalian!" Hartawan Coa membentak dan mereka semua segera keluar dari dalam kamar, menutupkan daun pintu kamar dengan khawatir ketika melihat betapa majikan mereka marah-marah.

"Nah, Wan-gwe. Begjtulah kalau engkau memelihara harimau-harimau liar. Sekali waktu mereka akan membalik dan mencelakai dirimu sendiri. Sekarang aku minta agar engkau tak lagi mempergunakan kekayaan dan kekuasaanmu untuk berbuat sewenang-wenang. Apabila aku mendengar engkau masih melanjutkan perbuatanmu yang jahat, maka aku akan segera kembali ke kota ini lantas akan kuperintahkan anak buahmu membunuhmu, atau mungkin juga keluargamu sendiri akan kuperintahkan membunuh dan menyiksamu lebih dulu!"

"Aku... aku tidak berani lagi...”

"Engkau juga tidak akan mengganggu lagi Gui Lok dan puterinya, Gui Ai Ling yang kau inginkan itu?"

"Tidak, tidak... tidak lagi."

"Dan engkau tidak akan menyuruh orang-orangmu mencari Siok Bi untuk kau ganggu?"

"Tidak, aku tidak berani."

"Bagus, akan tetapi jangan mencoba-coba untuk membohongi dan menipuku. Bila perlu, aku dapat menyuruh siapa saja atau apa saja untuk menghukum dan membunuhmu. Kau lihat tombak dan pedang di sudut kamar itu? Aku dapat memerintahkan mereka itu untuk membunuhmu!"

Sekali ini, di dalam pandang mata hartawan yang tadinya ketakutan itu, kini berkilat sinar tidak percaya, walau pun mulutnya tidak berani mengatakan hal itu.

"Engkau tidak percaya, Coa Wan-gwe? Nah, lihat baik-baik! Pedang dan tombak milikmu sendiri itu akan menyerangmu!"

Tiba-tiba mata hartawan itu terbelalak, lantas mukanya yang hitam itu menjadi berkurang hitamnya karena pucat sekali. Dia melihat betapa pedang yang berada dalam sarungnya dan tergantung di tembok, sekarang meninggalkan sarung lalu melayang-layang bersama dengan tombak yang juga meninggalkan rak senjata. Kedua senjata itu melayang-layang ke atas lalu keduanya meluncur ke arah dirinya!

Dia terkejut, ketakutan dan melompat menjauhi, akan tetapi ke mana pun dia mundur, dua batang senjata itu terus mengejar. Tombak itu bagaikan hendak menusuk-nusuk perutnya dan pedang yang tajam itu mengancam untuk membacok lehernya! Tentu saja dia mandi keringat dingin.

"Tidak...! Tidak...! Jangan... ahh, ampunkan aku... ampunkan...” dia jatuh berlutut dan tak berani mengangkat lagi mukanya, tidak berani melihat dua senjata yang seperti hidup dan mengancamnya itu.

"Mereka sudah kuperintahkan kembali ke tempat masing-masing, Wan-gwe."

Hartawan Coa mengangkat mukanya dan benar saja. Dua buah senjata itu sudah berada pada tempatnya masing-masing, tidak bergerak dan mati seperti biasanya. Dia mengeluh dan menghapus keringat dengan ujung lengan bajunya.

"Nah, kau lihat sendiri, Wan-gwe. Sedangkan benda mati saja dapat berkhianat padamu, apa lagi manusia hidup. Sekali waktu, mungkin saja pelayanmu sendiri meracunimu atau membunuhmu selagi engkau tidur. Sebab itu bertobatlah dan tinggalkan semua perbuatan jahat, baru Tuhan akan mengampunimu."

Hartawan itu masih berlutut dan dia mengangguk-angguk. "Baik, baik... aku minta ampun, aku bertobat... tidak berani lagi...”

Ketika dia mengangkat muka, ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ! Pada saat para pelayan dan pengawal memasuki kamar, mereka menemukan hartawan itu masih berlutut dalam keadaan seperti tidak bersemangat lagi!

Hay Hay sama sekali tidak tahu bahwa sepeninggalnya, dia tak hanya membuat hartawan itu menjadi bertobat, bahkan lebih dari itu dan amat menyedihkan. Hartawan Coa menjadi seperti orang gila yang selalu ketakutan, takut terhadap isterinya, anak-anaknya, pelayan, bahkan takut kepada benda-benda di dalam kamarnya. Dia selalu berteriak-teriak bahwa mereka semua hendak membunuhnya.

Akhirnya, karena dia selalu marah-marah dan minta agar semua benda disingkirkan dari kamarnya, maka kamar itu menjadi gundul dan kosong. Bahkan dia tidur begitu saja di atas lantai karena takut kalau segala macam ranjang, kelambu, meja kursi, bantal guling, akan membunuhnya di tengah malam!

Hartawan Coa menjadi seperti orang gila. Akan tetapi kota itu menjadi tenang dan para penduduknya bernapas lega karena setidaknya, seorang yang tadinya amat ditakuti dan mengganggu ketenangan hidup mereka kini telah mati kutu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Malam yang gelap karena malam itu gelap bulan. Langit hanya dihiasi laksaan bintang, atau jutaan atau bahkan lebih. Tak terhitung! Biar pun tidak ada bulan, namun sinar lemah dari bintang-bintang itu bergabung dan mampu pula mengurangi kepekatan malam, bukan menjadi gelap gulita lagi melainkan remang-remang.

Akan tetapi, kompleks bangunan dalam lingkungan istana sama sekali tidak pernah gelap! Banyak sekali lampu-lampu gantung besar kecil, beraneka warna dan bentuk, menerangi bagian dalam dan luar istana. Bahkan di taman-taman bunga yang teratur indah terdapat lampu penerangan.

Malam itu sunyi sekali karena hawa malam itu amat dingin. Musim semi telah mulai, akan tetapi sisa musim salju masih meninggalkan hawa dingin yang menyengat tulang. Karena dinginnya, maka malam itu amat sunyi meski di lingkungan istana sendiri. Para penghuni istana, yaitu kaisar serta semua keluarganya, juga para dayang, para selir, para pelayan dan bahkan para pengawal, lebih suka berada di dalam bangunan dari pada di luar!

Di udara terbuka hawa dingin sungguh tak tertahankan. Para pengawal luar yang sedang melakukan penjagaan di luar kompleks bangunan lebih suka berkelompok di dalam gardu-gardu penjagaan di mana mereka dapat menghangatkan tubuh di dekat arang membara, atau perapian yang sengaja dibuat untuk sekedar menghangatkan badan melawan hawa dingin. Para penjaga menjadi malas untuk meronda sebab meronda berarti meninggalkan gardu dan memasuki tempat terbuka di mana mereka akan disambut oleh dekapan hawa yang amat dingin.

Lagi pula, siapakah yang akan berani mengganggu ketentraman istana? Berarti mencari mati konyol! Maling? Sebelum memperoleh sesuatu dia sudah akan mati kedinginan lebih dulu! Malam itu, malam yang dingin sunyi sehingga para penjaga menjadi lengah.

Akan tetapi, bagi seseorang yang sedang dimabok cinta dan dendam birahi, yang sedang menderita rindu, berkencan dengan kekasih yang dirindukan merupakan kewajiban yang harus dilakukan dengan sepenuh hati, dengan nekat dan kalau perlu mengorbankan diri! Jangankan hanya hawa dingin di malam sunyi itu, biar harus menghadapi rintangan yang lebih berat sekali pun, seorang yang sedang merindukan pertemuan dengan kekasihnya tidak akan mundur selangkahpun!

Demikian pula bagi pria yang kini sedang menunggu di dalam taman bunga sebelah barat istana itu. Dia bersembunyi di balik rumpun-rumpun bunga yang tumbuh lebat di sebelah kiri depan pondok indah itu. Pondok yang bercat merah dan diberi nama 'Sarang Madu' di depannya, nama itu tertulis indah di papan yang tergantung di depan pondok.

Nama ini diberikan kaisar karena dia merasa seolah-olah berada di sarang madu ketika sedang bersenang-senang dengan para selir dan dayang yang muda-muda dan cantik jelita di pondok merah itu. Nama Sarang Madu itu ada riwayatnya.

Ketika itu, pondok merah ini baru saja selesai dibangun dan belum ada namanya. Ketika kaisar bersama para selir tercinta tengah bersenang-senang di situ, kaisar melihat sebuah sarang lebah tergantung pada dahan pohon dekat pondok. Sarang lebah itu sudah penuh madu, nampak ada madu menetes-netes turun. Kaisar segera menyuruh pengawal untuk mengusir lebah-lebahnya dan menurunkan sarang lebah itu. Ternyata sarang itu memang penuh dengan madu! Tentu saja kaisar menjadi girang sekali, lalu bersama para selir dan dayang minum madu yang manis.

Karena peristiwa itulah maka pondok ini diberi nama Sarang Madu. Bukan hanya karena madu itu memang manis. Akan tetapi berpesta pora dengan para dayang dan selir yang cantik-cantik itu memang amatlah manisnya!

Dan bagi pria yang kini bersembunyi di dekat pohon Sarang Madu itu, memang pondok itu merupakan sarang madu yang sangat manis baginya. Semua kenangan manis, indah dan menggembirakan berada di dalam pondok itu sejak dia bertemu dan berhubungan dengan Hwee Lan!

Sekarang laki-laki itu menyelinap dekat tembok pondok yang lebih melindungi dirinya dari hembusan angin lembut sehingga sinar lampu gantung yang halus dapat menyentuhnya. Dia seorang laki-laki muda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, berpakaian sebagai seorang perwira dan dia nampak gagah sekali dalam pakaian yang cemerlang ini.

Sebuah pedang tergantung pada pinggangnya, dan topi bulunya nampak bersih. Bulu itu kelihatan putih sekali di atas rambutnya yang hitam panjang. Wajahnya tampan menarik dan jantan. Wajah yang disuka oleh kaum wanita. Tubuhnya jangkung dengan pinggang ramping, tubuh yang juga menjadi idaman wanita. Pendeknya, pemuda berusia dua puluh lima tahun ini amat menarik bagi wanita.

Seorang yang tampan, gagah dan memiliki kedudukan baik. Seorang perwira pengawal! Dari pangkatnya ini saja, yakni perwira pengawal dalam istana, mudah diduga bahwa dia bukanlah seorang pemuda lemah, melainkan seorang pemuda gemblengan yang memiliki kegagahan dan ilmu silat tinggi.

Perwira muda ini bernama Tang Gun. Baru dua tahun dia menjadi perwira di dalam istana dan dipilih oleh kaisar sendiri karena dia telah berjasa saat membantu pasukan pengawal membasmi perampok yang berani memberontak dan mengusik ketenangan kaisar ketika kaisar berburu binatang di hutan. Pemuda yang gagah perkasa dan yang pekerjaannya sebagai seorang pemburu itu lalu membantu para pengawal, bahkan dialah yang berhasil membunuh kepala perampok.

Mendengar tentang kegagahan pemuda ini, kaisar memanggilnya dan karena gembiranya kaisar lantas menganugerahkan pangkat perwira pengawal kepadanya. Bukan pengawal luar, akan tetapi pengawal dalam istana, sebuah pangkat yang hanya diberikan kepada orang-orang yang benar-benar dipercaya oleh kaisar!

Tadinya Tang Gun hidup berdua saja dengan ibunya yang telah berusia empat puluh tiga tahun. Mereka hidup berdua dalam keadaan miskin karena ibunya adalah seorang janda dan kehidupan mereka hanya mengandalkan hasil buruannya. Bila dia berhasil membunuh seekor dua ekor kijang atau beberapa ekor kelinci, dagingnya lantas dibuat daging kering oleh ibunya, kemudian kulit dan daging kering itu dijual dan di tukar dengan beras, terigu dan bumbu-bumbu masak, juga untuk membeli pakaian. Mereka hidup di tempat terpencil, di dekat hutan.

Sejak kecil Tang Gun memang suka mempelajari ilmu silat. Dari kawan-kawannya, para pemburu, dia belajar silat dan mencari guru-guru silat yang pandai. Karena tekunnya dan tidak mengenal lelah, juga rajin mencari guru yang pandai, akhirnya dia menjadi seorang pemuda gemblengan yang pandai silat dan menjadi jago di antara para pemburu.

Ibunya selalu mengatakan bahwa ayah kandungnya telah meninggalkan mereka sejak dia masih kecil sekali. Menurut ibunya, ayah kandungnya adalah seorang pria she Tang dan ibunya menyerahkan sebuah benda berbentuk ukiran seekor kumbang yang terbuat dari emas dan batu permata. Si Kumbang Merah atau Ang-hong-cu, demikianlah julukan ayah kandungnya. Demikian menurut ibunya.

Dia tidak pernah mengenal ayahnya, hanya tahu bahwa ayahnya she Tang dan berjuluk Ang-hong-cu. Menurut ibunya, ayahnya adalah seorang yang sangat sakti dan kalau dia kelak melihat seorang pria yang mempunyai tanda mainan seperti yang dimilikinya, maka itulah ayahnya!

Tang Gun telah mencari keterangan di dunia kang-ouw tentang Ang-hong-cu. Akan tetapi, dengan kecewa dia mendengar bahwa sudah bertahun-tahun dunia kang-ouw tidak lagi mendengar nama Ang-hong-cu. Si Kumbang Merah itu seakan telah lenyap atau mungkin juga sudah mati! Maka Tang Gun menjadi putus asa dan tidak mencari lagi.

Pada saat dia masih menjadi seorang pemburu biasa, kenyataan bahwa dia tidak berayah lagi, bahkan dia tidak tahu di mana ayahnya, sudah mati atau belum, tidak merupakan hal yang perlu dirisaukannya benar. Dia hanyalah seorang pemburu miskin. Siapa yang akan memperhatikan dirinya dan siapa yang ingin mengetahui siapa ayahnya?

Akan tetapi, setelah dia menjadi seorang perwira pengawal di istana, hal itu menjadi amat penting! Ia kini seorang yang berkedudukan, dihormati dan disegani, bahkan cukup dekat dengan keluarga kaisar! Untuk mengangkat harga dirinya, terutama di kalangan pasukan dan juga di dunia persilatan, maka mulailah dia mengaku bahwa dia adalah putera Ang-hong-cu yang dikabarkan memiliki kesaktian hebat itu! Berita yang dibangga-banggakan inilah yang akhirnya sampai ke telinga Hay Hay lewat Siok Bi.

Karena dia memiliki wajah tampan menarik, tubuh yang kokoh kuat sehingga dia nampak gagah dan jantan, sejak remaja Tang Gun disukai oleh banyak wanita. Dan dia pun sadar akan ketampanannya, sadar bahwa banyak wanita menyukainya. Oleh karena itu, walau pun ibunya yang menjanda itu sering mendesaknya supaya segera menikah, Tang Gun selalu menolak. Dia merasa rugi kalau harus menikah.

Pertama, untuk menikah dia harus memiliki uang namun dia seorang yang miskin. Setelah menikah, berarti tanggungannya bertambah, tadinya hanya dua orang menjadi tiga orang, belum lagi kalau isterinya melahirkan anak. Ke dua, sesudah dia beristeri tentu rasa suka para wanita terhadap dirinya akan berkurang. Jauh lebih senang kalau dia masih bebas, dia dapat berpacaran dengan wanita mana pun yang suka kepadanya dan disukainya.

Maka mulailah Tang Gun dikenal sebagai seorang pemuda yang mata keranjang, selalu diburu wanita dan selalu berganti-ganti pacar! Betapa pun juga dia tak pernah melakukan pelanggaran. Tidak pernah dia memperkosa wanita, tak pernah pula dia mempermainkan isteri orang. Dia hanya menyambut uluran cinta seorang gadis atau seorang janda muda.

Sesudah dia berusia dua puluh tiga tahun dan diangkat menjadi perwira pengawal dalam istana, nafsu birahi yang selama ini memperhamba batin dan tubuhnya menjadi terkekang dan tak mudah dapat disalurkan. Dia kini telah menjadi seorang perwira pengawal dalam istana. Tentu saja dia tidak boleh sembarangan mengumbar nafsu seperti ketika dia masih tinggal di dusun. Dia harus menjaga namanya dan kini dia tinggal di kompleks perumahan para perwira yang berada di lingkungan istana, meski pun di bagian luar akan tetapi masih berada di belakang tembok yang mengelilingi istana.

Dia tinggal bersama ibunya di dalam sebuah rumah yang cukup indah walau pun sedang saja. Ada pula dua orang lainnya, lelaki dan wanita, yang menjadi pelayan rumah mereka. Dia hanya bisa mencari hiburan dan bersenang-senang apa bila dia sedang memperoleh giliran cuti. Dia sering pergi ke rumah pelesir yang jauh berada di sudut kota, menyamar sebagai seorang pemuda biasa.

Akan tetapi dia tidak dapat berkutik apa bila dia sedang bertugas atau berada di rumah,. Sebagai seorang perwira pengawal, apa lagi pengawal di dalam istana, dia harus selalu sopan dan menjaga kesusilaan. Sebagian besar para perwira pengawal, juga para prajurit pengawal yang mengawal bagian dalam istana, apa lagi yang mengawal bagian keluarga puteri kaisar, adalah para thai-kam (laki-laki kebiri). Dia sendiri tidak diharuskan menjadi thai-kam karena kaisar percaya kepadanya.

Karena tugasnya sebagai komandan pengawal dalam istana, maka sering kali Tang Gun memimpin rombongan pengawal melakukan perondaan di waktu malam. Bahkan sering pula dia mendapat giliran berjaga di dalam taman yang berhubungan dengan tempat para puteri. Karena itu sering pula dia melihat kaisar kalau Sribaginda ini sedang berjalan-jalan di dalam taman atau sedang bersenang-senang dengan para selir dan dayang di pondok-pondok indah. Tentu saja dia selalu bersikap hormat, berlutut sambil menundukkan muka, tidak berani mengangkat muka memandang Sribaginda dan para wanita cantik itu.

Biar pun matanya tidak dapat melihat, namun hidungnya masih bisa mencium keharuman yang keluar dari pakaian para wanita, juga telinganya bisa menangkap suara tawa merdu sekali, sepatah dua patah kata yang keluar dengan halus lembut seperti nyanyian merdu. Karena dia berwatak mata keranjang, maka jantungnya langsung terguncang hebat.

Lambat laun, setelah hampir dua tahun dia terbiasa dengan kesempatan seperti itu, maka mulailah dia berani bermain mata. Biar pun kepalanya ditundukkan, akan tetapi matanya mengerling ke atas. Makin kagumlah dia ketika melihat wanita-wanita cantik jelita dalam pakaian yang serba indah itu.

Tadinya dia hanya mampu melihat bagian bawah tubuh saja, dari kaki-kaki mungil sampai lutut yang tertutup sutera beraneka warna. Tapi kini dia dapat melihat wajah para pemilik kaki mungil itu. Ternyata dia tidak menemukan wanita yang angkuh dan tinggi hati seperti di dalam dongeng tentang puteri-puteri dan keluarga kaisar, melainkan wajah-wajah cantik jelita dan manis yang memandang kepadanya dengan penuh gairah! Mata yang jeli itu, mulut yang segar kemerahan itu, dengan jelas sekali menunjukkan betapa mereka sangat kehausan!

Tang Gun yang telah banyak bergaul dengan para wanita dapat melihat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa kebanyakan dari para wanita muda itu, para selir serta dayang dari Kaisar, memandang kepadanya dengan penuh birahi!

Memang demikianlah keadaan para wanita muda dan cantik itu. Mereka melihat seorang perwira pengawal yang muda, tampan, ganteng, gagah dan jantan. Apa lagi mereka juga mendengar dari para thai-kam yang selalu bermuka-muka terhadap mereka bahwa Tang-ciangkun (Perwira Tang) ini, yang pernah menyelamatkan kaisar, adalah seorang perwira yang benar-benar jantan dan laki-laki tulen, bukan thai-kam! Tentu saja hal ini membuat mereka tertarik dan mereka selalu timbul birahi dan gairah setiap kali melihat perwira itu.

Memang seperti itulah keadaan para wanita muda yang menjadi penghuni istana raja di mana pun juga. Seorang kaisar sudah lajim mempunyai banyak sekali selir dan dayang, bisa sampai puluhan orang banyaknya. Hal ini tentu saja merupakan keadaan yang tidak seimbang.

Puluhan orang selir dan dayang itu adalah wanita-wanita yang masih muda, bagai bunga-bunga di taman yang sedang segar-segarnya, sedang mekar indah dan membutuhkan banyak sekali siraman dan curahan kasih sayang dan kemanjaan pria. Sebaliknya, kaisar yang sudah setengah tua itu tentu saja tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan badan dan batin mereka. Kaisar hanya mampu memberikan kedudukan dan kemewahan saja.

Para wanita itu mendambakan perhatian, pencurahan kasih sayang yang lebih sering dan lebih banyak. Mereka rata-rata merasa kesepian, seperti burung-burung dalam kurungan. Maka tidaklah mengherankan dan bukan semata karena watak mereka yang genit kalau mereka itu segera tertarik kepada Tang Gun yang muda, tampan, gagah dan mempunyai kerling mata tajam serta senyuman menggairahkan hati mereka itu. Akan tetapi bagi Tang Gun, yang paling membuat dirinya tergila-gila adalah seorang selir kaisar yang bernama Hwee Lan.

Mula-mula pertemuannya dengan Hwee Lan merupakan hal yang kebetulan saja dan tidak disengaja. Pada suatu malam, beberapa bulan yang lalu, malam terang bulan yang amat indah. Tang Gun yang kebetulan dinas jaga, memimpin para pengawal dalam istana dan membagi-bagi tugas jaga, merasa iseng sehingga dia pun memasuki taman istana bagian barat yang indah. Sambil meronda dia pun sekalian menikmati malam yang sangat indah itu. Malam yang hawanya tidak begitu dingin, terang bulan pula dan karena pada saat itu bunga-bunga di taman sedang mekar, maka keadaan taman itu benar-benar amat indah, romantis dan penuh dengan keharuman bunga.

Tiba-tiba dia dikejutkan oleh gerakan dan suara orang di belakang pondok Sarang Madu yang merah itu. Menduga terjadi sesuatu yang mencurigakan, ia pun cepat menyelinap di antara semak-semak dalam taman dan mengintai dari balik batang pohon. Kiranya yang berada di antara bunga mawar yang ditanam di bagian belakang pondok itu adalah salah seorang di antara para selir yang paling jellta!

Selir itu memang sangat menarik dan mempesona hati Tang Gun setiap kali melihatnya, dengan kulit muka yang bukan hanya putih mulus seperti para selir lain, melainkan putih bercampur warna merah segar, seperti kulit bayi yang montok. Selir yang usianya paling banyak delapan belas tahun itu ditemani oleh seorang dayang pelayan yang juga usianya masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun dan cantik pula. Namun, dibandingkan dengan selir itu, kecantikan dayang ini tidak ada artinya lagi.

“A Sui, malam begini indah, taman penuh bunga, udara demikian sejuk dan harum. Aihh, alangkah indahnya malam ini..." Tang Gun yang mengintai, merasa jantungnya berdebar penuh kagum. Suara itu demikian merdu, dan kata-kata itu demikian halus dan indah.

Dayang itu tersenyum. "Aduh, kata-kata nona Hwee Lan selalu indah sekali, mirip seperti nyanyian, seperti sajak...,” dayang itu memuji.

"Memang aku suka bersajak, A Sui, apa lagi di dalam suasana yang begini indah...” Selir cantik itu mengangkat muka memandang ke arah bulan purnama.

Wajah itu sepenuhnya tertimpa cahaya bulan, nampak putih kemerahan laksana disepuh emas sehingga Tang Gun yang sedang mengintai menjadi terpesona. Selama hidupnya belum pernah dia melihat wanita secantik selir itu. Dan namanya Hwee Lan!

Dayang itu bertepuk tangan memuji. "Kalau begitu, mengapa Nona tidak membuat sajak tentang malam yang indah ini? Saya akan berbahagia sekali mendengarkannya, Nona."

Sikap dayang itu amat bersahabat, karena biar pun kedudukannya hanya sebagai dayang yang melayani selir itu, sebagai pelayan pribadi, namun dayang ini pun termasuk seorang di antara para dayang cantik yang menerima ‘kehormatan’ dari kaisar, yaitu pernah dan sewaktu-waktu menemani dan melayani kaisar di kamar tidurnya. Oleh karena itu, walau pun kedudukan mereka berbeda tapi keduanya merasa senasib dan seperti madu saja.

Hwee Lan kembali merenung memandang bulan, lalu beberapa kali dia menghela napas panjang. "A Sui, pada malam terang bulan seperti ini selalu mengingatkan aku akan masa remaja ketika aku belum dibawa ke dalam istana, bergembira ria bersama teman-teman di kampung. Dan malam sepertl ini selalu mengingatkan aku akan keadaanku sekarang. Aku akan mencoba bersajak, akan tetapi hanya untuk telinga kita berdua saja, A Sui."

Suasana menjadi hening. A Sui dan Tang Gun yang bersembunyi, menanti dengan penuh pesona. Bahkan kembang-kembang di taman itu seperti sedang menanti pula, dan semilir angin lembut tiba-tiba saja berhenti berhembus, seperti memberi kesempatan kepada si jelita untuk mengalunkan suaranya yang merdu.

Hwee Lan masih berdiri, demikian lembut gemulai seperti sebatang pohon yang-liu muda. Dia memandang bulan, kemudian terdengarlah suaranya lirih dan lembut seperti desahan bayu di antara daun pohon cemara.

"Malam syahdu penuh pesona Mencipta sajak memuja asmara Bulan gemilang bayu berdendang Taman mengharum mengapa hati bimbang? Mawar merah cantik jelita, Tiada belaian, sepi menderita Siapa peduli mawar sengsara Apa guna segala ratap hampa Mawar indah menangis sendiri Akhirnya layu... kering... mati...!"

Sajak itu diakhiri dengan isak tangis tertahan. A Sui segera bangkit berdiri, lalu merangkul Hwee Lan dan ikut pula menangis, akan tetapi disertai kata-kata menghibur.

"Sudahlah, nona, Tidak perlu membiarkan duka berlarut-larut menggerogoti hati. Memang beginilah nasib wanita-wanita seperti kita...”

"Wahai mawar merah nan suci ada taman sepotong hati dengan pupuk kesetiaan sejati dan siraman air cinta murni bersedia menampung jika sudi!"

Dua orang wanita itu terkejut dan menengok ke arah pohon besar di belakang pondok. Pada waktu melihat munculnya Tang Gun, Hwee Lan tidak menjadi ketakutan. Wajahnya berubah kemerahan dan kedua kakinya gemetar ketika perwira yang tampan itu berjalan menghampiri.

Mereka berdiri dan saling pandang, sedangkan A Sui sambil menahan senyumnya cepat mundur ke belakang nonanya. Kedua wanita ini sudah sering kali membicarakan tentang ketampanan dan kegagahan Tang Gun.

"Kiranya Tang-ciangkun...!" kata Hwee Lan, suaranya merdu dan lirih, tetapi agak gemetar karena jantungnya berdebar penuh ketegangan.

“Selamat malam, Tuan Puteri, dan maafkan jika hamba mengganggu. Hamba tadi sedang meronda lalu mendengar...”

"Sudahlah, ciangkun. Engkaukah yang menjawab sajakku tadi?"

Betapa beraninya wanita ini, pikir Tang Gun, betapa hausnya!

"Benar, Tuan Puteri, dan ampunkan hamba....”

"Benarkah apa yang kau katakan dalam sajak tadi? Engkau bersedia menampung mawar layu, bersedia menyirami dan menyegarkannya kembali?"

"Hamba bersedia dengan sungguh hati dan dengan segala kebahagiaan dan kehormatan, Tuan Puteri...”

Kini seluruh tubuh Hwee Lan gemetar dan dia pun menoleh ke sekelilihg. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain di situ, dia melangkah maju, memegang tangan perwira itu lalu berkata lirih, "Mari kita bicara di dalam pondok, ciangkun. Tidak baik bila diketahui orang. A Sui, engkau menjaga di luar."

A Sui tersenyum gembira dan mengangguk, membayangkan bahwa kelak dia pun sudah pasti akan mendapat bagian karena bukankah rahasia mereka berdua berada di telapak tangannya? Tang Gun menjadi berani dan dia pun menggenggam tangan yang kecil lunak dan hangat itu, kemudian mereka bergandeng tangan memasuki pondok Sarang Madu.

Mudah dibayangkan apa yang terjadi malam itu di pondok Sarang Madu. Dua orang muda yang tengah dilanda dan dicengkeram nafsu birahi itu sepenuhnya menyerah dan menjadi permainan nafsu mereka sendiri yang tak pernah mengenal puas. Dan keduanya terkulai dan menyerah.

Bagi Hwee Lan yang sejak perawan dibawa ke dalam istana, selama ini hanya mengenal kaisar yang setengah tua sebagai satu-satunya pria yang menggaulinya. Dan kini, begitu bertemu dengan Tang Gun yang masih muda, gagah, tampan dan jantan, maka tidaklah mengherankan kalau dia menjadi tergila-gila.

Sebaliknya, biar pun Tang Gun sudah banyak bergaul aengan wanita, namun selama ini dia pun belum pernah bertemu dengan wanita secantik dan sepanas Hwee Lan, maka dia pun tergila-gila. Keduanya lantas saling melekat dan merasa bahwa mereka tak mungkin dapat saling kehilangan atau saling berpisah!

Tang Gun yang cerdik maklum bahwa keselamatan dia dan kekasihnya berada di tangan A Sui. Apa bila hal itu dibiarkan lewat begitu saja, tentu dia dan kekasihnya akan menjadi permainan dayang itu dan dapat diperas habis-habisan. Oleh karena itu, atas persetujuan Hwee Lan yang juga melihat ancaman bahaya ini, Tang Gun kemudian mempergunakan ketampanannya untuk merayu A Sui.

Dayang ini pun hanya seorang gadis yang tidak jauh bedanya dengan Hwee Lan, haus akan belaian dan kasih sayang pria, apa lagi kalau prianya setampan dan segagah Tang Gun. Dia pun kemudian menyerah dalam dekapan Tang Gun. Maka amanlah hubungan mereka karena semuanya terlibat.

Nafsu tidak pernah merasa puas. Bahkan semakin dituruti, nafsu menjadi semakin ganas, semakin kelaparan dan selalu menghendaki lebih! Karena itu pertemuan antara Tang Gun dan Hwee Lan yang ditemani A Sui dan kemudian berakhir dengan permainan cinta gelap sepanjang malam itu tidak berhenti sampai di situ saja. Pertemuan demi pertemuan diatur dan diadakan antara mereka, makin lama semakin sering seperti orang kecanduan!

Dua bulan telah lewat dan pada malam yang amat dingin itu, Tang Gun tidak undur oleh dinginnya hawa udara dan dia sudah menanti kekasihnya di dekat pondok Sarang Madu. Malam itu adalah malam yang penting sekali bagi mereka bertiga, karena pada malam itu mereka sudah mengambil keputusan hendak melarikan diri dari dalam istana! Atau lebih tepat, Hwee Lan akan dibantu kekasihnya melarikan diri keluar istana.

Tang Gun yang menjadi komandan pengawal sejak sore tadi sudah mengatur sedemikian rupa sehingga ada jalan terbuka yang tidak dijaga. Dan agaknya hawa udara yang dingin ikut pula membantu mereka sebab para pengawal lebih suka bersembunyi di dalam gardu penjagaan menghangatkan diri. Karena dia sendiri juga terlibat, maka tentu saja A Sui ikut pula melarikan diri.

Tang Gun bukan seorang bodoh. Dia tidak berani melarikan dua orang wanita yang sudah menjadi kekasihnya itu ke rumahnya yang masih berada dalam lingkungan istana. Tidak, dia tidak setolol itu. Atas bantuan keuangan dari Hwee Lan yang menjual barang-barang perhiasan mahal, Tang Gun telah membeli sebuah rumah di kota Yu-sian, jauh di sebelah barat kota raja.

Menurut rencana mereka, jika dua orang wanita itu sudah dilarikan ke Yu-sian, kemudian keributan karena pelarian mereka itu sudah mereda, maka Tang Gun akan melepaskan jabatannya lalu menyusul ke Yu-sian di mana mereka akan hidup baru dengan berdagang menggunakan modal yang sudah mereka kumpulkan.

Tidak lama kemudian muncullah dua orang wanita muda itu sambil membawa buntalan. Tang Gun segera menyambut mereka dengan rangkulan dan mereka berciuman mesra, lalu ketiganya menyelinap di antara pohon-pohon dan rumpun bunga di taman, melarikan diri melalui jalan yang sudah di atur oleh Tang Gun. Sesuai rencana, mereka dapat keluar dari lingkungan istana tanpa diketahui orang.

Seorang paman, sanak dari ibunya, sudah menanti di luar tembok istana dengan sebuah kereta. Dua orang wanita itu segera naik ke dalam kereta. Sesudah mereka berangkulan sejenak dengan Tang Gun di dalam kereta untuk mengambil selamat berpisah, kereta lalu dilarikan dan Tang Gun menyelinap kembali ke dalam tembok istana, kembali ke gardu penjagaan seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

Pada keesokan harinya barulah para selir dan dayang menjadi ribut karena mereka tidak melihat adanya Hwee Lan dan A Sui di sana. Setelah melapor kepada Tang-ciangkun dan komandan ini mengerahkan semua anak buahnya mencari-cari di dalam kompleks istana tanpa hasil, barulah laporan disampaikan kepada kaisar tentang menghilangnya selir dan dayang itu.

Bagi kaisar, kehilangan seorang selir dan seorang dayang tidak ada artinya karena dalam sehari saja dia mampu mendapatkan sepuluh orang penggantinya yang lebih muda dan cantik. Namun yang membuat kaisar marah sekali adalah karena peristiwa itu merupakan tamparan dan merupakan hal yang memalukan. Larinya mereka itu seolah-olah memberi kesan bahwa para selir dan dayang merasa tidak beruntung hidup di dalam istana. Sebab itu kaisar memanggil Tang Gun dan mernarahinya.

"Tang Gun! Engkaulah yang menjadi komandan jaga, komandan pengawal bagian dalam istana. Bagaimana sampai engkau dan pasukanmu kebobolan dan tidak tahu adanya dua orang wanita yang meloloskan diri dari istana?"

Tang Gun berlutut dan memberi hormat sampai dahinya menyentuh lantai. "Mohon beribu ampun, Sribaginda. Semalam hamba telah mengerahkan seluruh pasukan untuk berjaga-jaga, bahkan hamba sendiri ikut melakukan ronda. Akan tetapi tadi malam hawa demikian dinginnya sehingga para pengawal banyak yang berlindung di dalam gardu, Bahkan para pengawal di bagian luar istana pun banyak yang berada di dalam gardu sehingga tak ada seorang pun yang melihat dua orang wanita itu keluar dari dalam istana. Hamba menerima salah, dan hamba siap menerima hukuman dari paduka, bahkan hamba akan menerima andai kata hamba dihukum mati, buang atau dihentikan dari jabatan hamba sekali pun."

Ucapan terakhir itu bukan hanya untuk pemanis bibir atau untuk pengakuan salah belaka. Tang Gun akan bersyukur sekali kalau memang dia dihentikan dari jabatannya karena dia akan dapat segera menyusul kekasihnya ke kota Yu-sian.

Akan tetapi kaisar lantas mengampuninya karena kaisar masih teringat akan jasa perwira muda itu. Kaisar kemudian memerintahkan Tang Gun agar menghubungi para komandan pasukan pengawal di dalam dan di luar istana untuk melakukan penyelidikan dan mencari dua orang wanita yang lolos dari istana itu.

Untuk merangsang kerja mereka, kaisar menjanjikan kenaikan pangkat dan hadiah besar kepada siapa saja yang dapat berhasil membawa kembali dua orang wanita itu ke istana. Semua ini dilakukan kaisar bukan karena dia merasa sayang kepada dua orang wanita itu, melainkan karena dia ingin menghapus kesan buruk dan akan menghukum mereka.

Tentu saja usaha ini sia-sia belaka. Memang tidak mudah mencari dua orang wanita yang sudah pergi jauh itu, apa lagi ada Tang Gun yang selalu mengelabui dan menyesatkan arah penyelidikan dan pengejaran.

********************

Malam itu kembali Tang Gun berdinas jaga. Dia duduk termenung di dalam gardu jaga. Sudah lewat sebulan semenjak kekasihnya pergi melarikan diri. Selama itu baru satu kali dia sempat menengok ke kota Yu-sian dengan dalih mencari jejak mereka yang melarikan diri, sekalian cuti.

Hatinya lega bahwa Hwee Lan dan A Sui sudah sampai di tempat tujuan dengan selamat. Dengan pamannya sebagai tuan rumah, kedatangan mereka sebagai penduduk baru tidak menimbulkan kecurigaan. Akan tetapi hanya sehari semalam saja dia dapat melepaskan rindunya kepada Hwee Lan dan A Sui.

Dia harus cepat mengundurkan diri dari jabatannya, pikirnya. Akan tetapi tidak sekarang, karena akibat pelarian itu sekarang masih menjadi buah bibir, juga kaisar masih belum melupakan peristiwa itu dan sering kali menanyakan berita pencarian dua orang wanita itu.

Tang Gun merasa gelisah. Dua orang kekasihnya di Yu-sian itu terlampau cantik. Mereka masih muda, juga mereka sampai nekat melarikan diri dari istana adalah karena merasa kesepian dan ingin menikmati hidup bersama dia. Sekarang, kembali mereka kesepian di Yu-sian dan hal itu amat berbahaya jika dibiarkan berlarut-larut. Siapa tahu akan muncul penggoda di sana, seorang pemuda yang ganteng! Hatinya dipenuhi rasa cemburu dan dia semakin gelisah.

Dia bangkit dan memesan kepada anak buah yang berada di pintu supaya waspada. Dia sendiri lalu meninggalkan gardu dan memasuki taman. Dia ingin mencari angin dan hawa sejuk untuk menenangkan hatinya yang gelisah.

Tanpa disengaja langkah-langkah kakinya membawanya menuju taman barat, kemudian tibalah dia di depan pondok Sarang Madu. Ia berhenti sejenak dan membayangkan semua pengalaman yang amat menyenangkan di pondok itu bersama Hwee Lan dan A Sui. Maka terkenanglah dia kepada mereka dan timbul perasaan rindu.

"Tang-ciangkun....”

Suara merdu seorang wanita yang memanggilnya itu membuat Tang Gun tersentak kaget. Hampir saja dia berseru memanggil nama A Sui ketika melihat munculnya seorang gadis berpakaian dayang dari balik semak-semak. Teringat bahwa A Sui sudah pergi bersama Hwee Lan, dia cepat menahan suaranya dan memandang penuh perhatian.

Ternyata wanita itu adalah A Cui, seorang dayang lain, pelayan dari selir ke lima kaisar. Karena banyaknya dayang di istana, tentu saja Tang Gun tidak mengenal mereka semua dan meski pun dia tahu bahwa wanita yang manis ini pun seorang dayang, tetapi dia tidak tahu siapa namanya.

"Ada apakah? Siapakah engkau dan mengapa memanggilku di sini?" tanyanya, pura-pura alim. Kalau saja tidak pernah terjadi peristiwa larinya Hwee Lan dan A Sui, tentu sikapnya berbeda dan dia akan lebih ramah dan manis terhadap dayang ini.

"Ssttt, Ciangkun, aku A Cui dan aku akan membicarakan urusan penting denganmu. Mari kita masuk ke dalam pondok dan bicara di dalam," kata wanita itu sambil melepas kerling tajam disertai senyum manis menantang.

Ketika itu Tang Gun sedang berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan setiap kecurigaan tentang menghilangnya selir kaisar dan dayangnya itu dari dirinya. Maka, biar pun dengan hati menyesal, terpaksa dia tidak berani melayani tantangan yang menggairahkan itu.

"Aihh, nona A Cui. Jangan main-main. Mana aku berani?" katanya menolak.

"Tang-ciangkun, tidak usah berpura-pura. Aku mau bicara tentang rahasia pondok Sarang Madu. Hayolah!" Dia lalu melangkah menuju ke pintu depan pondok.

Tang Gun mengerutkan alisnya. "Rahasia pondok Sarang Madu'?" jantungnya berdebar tegang. "Apa maksudmu?"

"Maksudku... hemmm, apa lagi kalau tidak mengenai Hwee Lan dan A Sui? Nah, maukah engkau ikut masuk? Atau engkau lebih suka kalau aku membicarakan urusan itu dengan orang lain?"

Mendengar ucapan itu, seketika pucat wajah Tang Gun. Tak perlu di jelaskan lagi, sudah cukup jelas, bahkan sudah terlampau jelas bahwa dayang ini mengetahui semua rahasia pelarian Hwee Lan dan A Sui! Maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengiringi wanita itu melangkah masuk ke dalam pondok Sarang Madu.

Setelah mereka tiba di dalam pondok, Tang Gun segera bertanya lirih, ”A Cui, sebetulnya apakah yang kau inginkan?”

A Cui membalik kemudian mendekati Tang Gun, matanya mengerling tajam dan mulutnya tersenyum. “Masih perlukah engkau bertanya lagi, orang muda yang tampan? Aku tidak membutuhkan apa-apa kecuali apa yang dibutuhkan Hwee Lan dan A Sui dan aku tidak menginginkan apa-apa darimu kecuali apa yang telah kau berikan kepada mereka.”

Wanita itu kemudian melingkarkan kedua lengannya ke leher Tang Gun. Dua buah lengan itu melingkari leher sekuat dua ekor ular dan yang terdengar kemudian hanya dengus dan rintih, disusul napas tersendat-sendat dalam kegelapan di pondok Sarang Madu itu.

Baik A Cui mau pun Tang Gun tidak tahu betapa semenjak tadi ada sepasang mata tajam mencorong yang mengintai perbuatan mereka, sejak mereka saling jumpa di luar pondok. Pemilik mata ini adalah seorang lelaki setengah tua, berusia sekitar lima puluh lima tahun, bertubuh sedang masih tegap, pakaiannya amat rapi. Tentu saja Tang Gun tak mengenal Tang Bun An, atau yang berjuluk Ang-hong-cu Si Kurnbang Merah!

Seperti yang telah kita ketahui, Tang Bun An pergi ke kota raja untuk memulai hidup baru sebab dia merasa telah tua dan mulai bosan dengan kehidupan petualangan seperti yang selama ini dialaminya. Musuhnya terlampau banyak, malah akhir-akhir ini dia dikejar-kejar orang-orang pandai sekali, termasuk puteranya sendiri yang bernama Tang Hay.

Dia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja dan mencari kedudukan, untuk dapat mengembalikan kedudukan dan kemuliaan yang dahulu pernah dimiliki ayah kandungnya, yaitu mendiang Tang Siok yang menjadi pejabat tinggi di kota raja. Dia harus bisa meraih suatu kedudukan yang lebih tinggi dari pada yang pernah dimiliki ayahnya.

Satu-satunya jalan untuk dapat memperoleh kedudukan tinggi itu hanyalah membuat jasa, kalau mungkin langsung terhadap Kaisar! Biar pun dia pandai ilmu silat dan mengerti juga ilmu sastera, tetapi tanpa memiliki hubungan yang baik dengan para pejabat tinggi, maka akan sukarlah untuk memperoleh kedudukan. Apa lagi bagi seorang setua dia.

Setelah berada di kota raja, Tang Bun An segera mendengar berita yang sangat menarik hatinya, yaitu tentang adanya seorang perwira pengawal muda yang menyebarkan berita bahwa perwira itu adalah putera dari Ang-hong-cu! Hal ini dirasakannya amat aneh.

Bukankah selama ini namanya dianggap jahat dan buruk, dibenci oleh para pendekar dan ditakuti di dunia kang-ouw? Bahkan andai kata dia memiliki anak kandung, seperti halnya Tang Hay, maka anak itu tentu akan malu mengaku sebagai putera Ang-hong-cu. Namun kenapa orang ini, seorang perwira pengawal pula, menyebarkan berita bahwa dia adalah putera Ang-hong-cu. Seolah-olah hal itu membanggakan hatinya?

Tadinya dia hanya tersenyum saja mendengar berita itu dan dia menganggap perwira itu adalah seorang pemuda tolol yang suka membanggakan diri meminjam ketenaran orang lain. Akan tetapi setelah dia mendengar bahwa perwira muda itu bernama Tang Gun, dia terkejut! She Tang? Dunia kang-ouw sudah sangat mengenal nama julukan Ang-hong-cu, namun tidak ada atau amat jarang sekali orang mengetahui bahwa Ang-hong-cu memiliki she (nama keturunan) Tang!

Berita itu amat menarik hati Tang Bun An. Apa lagi ketika dia mendengar bahwa perwira bernama Tang Gun itu kini bekerja sebagai seorang komandan pengawal dalam istana, sebuah kedudukan yang diterimanya sebagai hadiah dari kaisar karena Tang Gun pernah menolong rombongan kaisar dari gangguan pemberontak dua tiga tahun yang lalu!

Ahh, siapa tahu, dari orang yang mengaku puteranya inilah datang kesempatan baginya untuk meraih kedudukan! Dan memang dia harus dapat mendekati istana, tempat tinggal kaisar kalau dia ingin memperoleh pangkat yang tinggi.

Demikianlah, sesudah melakukan penyelidikan tentang keadaan istana, Tang Bun An lalu menggunakan ilmu kepandaiannya dan dengan tidak betapa sukar dia berhasil melewati pagar tembok lalu masuk ke dalam taman bunga di bagian barat, dan kebetulan sekali dia dapat melihat dan mendengar pertemuan antara perwira Tang Gun dan seorang dayang.

Ia belum sempat menyelidiki perwira yang mengaku puteranya itu, maka tadinya dia tidak tahu siapa perwira yang mengadakan pertemuan dengan seorang dayang istana itu. Akan tetapi dia menjadi terkejut dan juga merasa gembira sekali setelah mendengar dayang itu menyebut ‘Tang-ciangkun’. Tak salah lagi, pikirnya. Inilah perwira yang mengaku sebagai putera Ang-hong-cu itu!

Dari penerangan yang tidak begitu cerah, cukup baginya untuk bernapas lega. Setidaknya orang muda itu tidak mengecewakan untuk menjadi puteranya. Jangkung, tegap, tampan dan gagah. Apa lagi setelah dia mendengar percakapan antara mereka, hatinya merasa bangga sekali.

Pemuda yang mengaku sebagai puteranya ini ternyata seorang pria yang disukai wanita! Buktinya, dayang itu juga memikat cintanya, dan menggunakan semacam rahasia pondok Sarang Madu sebagai alat untuk memeras agar perwira muda itu suka memuaskan nafsu birahinya! Diam-diam Tang Bun An tersenyum bangga, dan melihat pemuda itu mengikuti si dayang memasuki pondok, dia pun cepat meloncat ke atas genteng untuk melakukan pengintaian. Di dalam kamar pondok itu hanya diterangi dua buah lilin, namun cukup bagi mata Tang Bun An yang tajam dan terlatih baik.

Mula-mula dia hendak melihat apakah orang yang mengaku sebagai puteranya itu cukup jantan melayani wanita dalam bercinta. Namun dia segera terbelalak ketika mengintai dari atas. Mula-mula hanya terdengar suara dengus napas dan rintihan, lantas disusul napas yang tersendat-sendat! Ia melihat perwira muda yang mengaku puteranya itu sama sekali tidak mencumbu rayu, tidak membelai mesra, tapi mencekik leher gadis itu menggunakan ikat pinggang dayang itu sendiri!

Betapa gilanya! Sayang kalau gadis muda semanis itu dibunuh begitu saja! Kalau perwira muda itu sudah menikmatinya, mau dibunuh atau tidak dia tidak akan peduli. Akan tetapi jelas bahwa mereka itu baru saja saling bertemu, lalu mengapa perwira itu membunuhnya tanpa membelai atau mencumbu sedikit pun?

Namun dia menahan diri, tidak mau mencampuri karena ingin sekali tahu perkembangan selanjutnya. Baginya, keadaan perwira muda yang mengaku puteranya itu tentu saja jauh lebih menarik dan lebih penting dari pada nyawa seorang gadis dayang istana!

Melihat cara perwira itu membunuh dayang, yang memakan waktu cepat sekali, Tang Bun An dapat menduga bahwa perwira muda itu sedikit banyak memiliki tenaga yang lumayan juga.

Sekarang Tang Gun melepaskan ikat pinggang dayang itu, mengikat ujung ikat pinggang ke atas tiang dan menggantung mayat dayang itu pada lehernya, mengatur sedemikian rupa sehingga sekali lihat saja orang akan menduga bahwa dayang itu mati akibat bunuh diri dengan cara menggantung. Dia juga membalikkan sebuah bangku di bawah mayat.

Dengan cermat dia mengukur dan memperhitungkan. Jika gadis itu membunuh diri, tentu menggunakan bangku itu untuk berdiri, kemudian mengikat ujung ikat pinggang ke tiang, mengikatkan ujung yang lain di lehernya dan menendang bangku itu sehingga tubuhnya tergantung dan mati tercekik. Tepat sekali. Sesudah merasa puas, dia pun meniup padam api lilin dan keluar dari dalam pondok, lalu menutupkan daun pintu pondok itu. Kemudian, dengan tenang dia pun kembali ke pos penjagaan seperti tidak pernah terjadi sesuatu.

Pada keesokan harinya, istana kaisar kembali menjadi gempar pada waktu mayat A Cui ditemukan dalam keadaan menyedihkan. Ia mati tergantung dalam Pondok Sarang Madu, lidahnya terjulur panjang, kedua matanya melotot dan tubuhnya kaku! Akan tetapi karena keadaannya jelas menunjukkan bahwa dia telah menggantung diri sampai mati, maka tak ada persoalan lain kecuali mengurus mayatnya dan selanjutnya tidak ada apa-apa lagi.

Meski pun Tang Gun sudah berhasil membunuh A Cui yang mengetahui rahasianya tanpa meninggalkan jejak, tetap saja hatinya merasa tidak tenteram. Dia dapat menduga bahwa kalau sampai A Cui mengetahui rahasia itu, berarti A Sui, dayang yang menjadi pelayan Hwee Lan itulah yang bermulut panjang dan membocorkan rahasia. Mungkin hanya untuk pamer dan membanggakan diri bahwa dia sudah berhasil menjadi kekasih perwira Tang yang banyak dikagumi para puteri itu!

Yang membuat dia gelisah, siapa saja yang sudah mengetahui akan rahasia itu? Apakah A Sui hanya bercerita kepada A Cui saja? Ataukah celotehnya didengar oleh lebih banyak dayang lagi? Celakalah kalau begitu!

Dia harus cepat-cepat pergi ke kota Yu-sian untuk minta keterangan A Sui, dan dayang yang panjang mulut itu perlu ditegur, atau bahkan dihajar supaya lain kali tidak berani lagi berlancang mulut menyebarkan rahasia yang seharusnya dipegang teguh karena sangat berbahaya kalau sampai terdengar oleh istana.

Pada keesokan harinya, Tang Gun mohon diri dari kaisar untuk keluar dari istana dalam usahanya menyelidiki sendiri kehilangan selir Hwee Lan dan pelayannya, A Sui. Untuk itu, dia minta cuti selama sebulan. Tentu saja permohonannya dikabulkan karena kaisar juga masih merasa amat penasaran dengan menghilangnya selir dan dayangnya itu, dan hal ini memang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Tang Gun sebagai perwira pengawal dalam istana untuk dapat menangkap selir yang melarikan diri itu.

********************

Si Kumbang Merah Pengisap Kembang Jilid 09

INILAH pemuda yang semalam melindungi Gui Lok, mengalahkan dua orang pengawalnya dan membikin malu padanya di depan umum! Dan kini pemuda ini berani muncul, bahkan menurut laporan Siok Bi tadi, pemuda ini mengalahkan semua jagoannya dan tentu akan merobohkan puluhan orang pengawal kalau tidak segera diundang masuk.

Siok Bi mengatakan bahwa pemuda itu datang bukan hendak membikin kacau, melainkan untuk menyerahkan uang sebanyak lima puluh tail emas! Dan dia pun sudah mendengar bahwa pemuda ini pula yang sudah mengeduk lima puluh tail emas dari rumah judinya, mengalahkan semua bandar judi yang tangguh.

Meski hatinya diliputi keraguan dan perasaan takut, terpaksa dia menyetujui ketika Siok Bi menyatakan hendak mengundang saja pemuda itu masuk supaya dapat bicara baik-baik. Menghadapi seorang pemuda yang selihai itu memang lebih baik dilakukan dengan cara damai. Bahkan, akan sangat menguntungkan kalau pemuda selihai itu mau menjadi kaki tangannya!

"Duduklah, orang muda yang gagah perkasaa," kata Hartawan Coa.

Para pelayan wanita segera mengundurkan diri sehingga di dalam kamar itu hanya tinggal Hartawan Coa, Hay Hay dan Siok Bi bertiga saja. Para pengawal kini bergerombol di luar kamar itu, siap melindungi majikan mereka kalau diperlukan.

"Terima kasih, Coa Wan-gwe,” kata Hay Hay sederhana dan dia pun lantas menurunkan buntalannya dari atas punggung, meletakkannya di atas meja dan dia sendiri lalu duduk di atas bangku dekat meja.

Siok Bi juga turut duduk di antara mereka, dengan wajah berseri dan kedua pipi merah. Matanya yang indah itu bersinar-sinar karena dia tahu bahwa pemuda itu menepati janji, membawa lima puluh tail emas itu untuk membeli kebebasannya! Tadi malam dia sudah memberi kabar kepada pemuda yang mencintainya itu supaya pagi ini siap menantinya di depan gedung, siap pergi bersamanya untuk menjadi suami isteri dan memulai hidup baru yang cerah!

"Anak muda, semalam engkau berkata kepadaku akan datang berkunjung. Dan sekarang, pagi-pagi engkau benar-benar datang berkunjung dan mengatakan kepada para pengawal bahwa engkau datang sambil membawa lima puluh tail emas untuk diberikan kepadaku. Benarkah itu dan apakah maksudmu? Apakah engkau hendak mengembalikan lima puluh tail emas yang kau bawa dari rumah judi itu?"

Melihat sikap hartawan jtu, Hay Hay tersenyum. Tentu saja hartawan ini bersikap angkuh karena pada saat itu dia menjadi tuan rumah dan selain itu, juga di luar kamar ini terdapat puluhan orang pengawal dan di dekatnya ada Siok Bi yang tentu dianggapnya sebagai seorang pengawal yang setia. Dan memang sebenarnya Siok Bi seorang pengawal yang setia, kalau saja dia tidak merasa begitu sengsara menjadi kekasih hartawan yang tidak dicintanya itu.

"Coa Wan-gwe, rumah judi itu milikmu, bukan? Pernahkah engkau mengembalikan uang kekalahan dari para penjudi selama ini? Beberapa ratus ribu tail saja yang dimenangkan rumah judi itu dari para penjudi?"

Hartawan itu tersenyum. "Dalam perjudian, menang dan kalah merupakan hal yang biasa, bukan?"

"Benar begitu. Karena itu, kemenanganku di rumah judimu juga bukan hal aneh, mengapa sekarang kau berharap aku mengembalikan uang kemenanganku dari rumah judi itu?"

Hartawan yang tinggi besar dengan muka hitam bopeng itu tertawa. "Ha-ha-ha, aku pun tidak mengharapkan, hanya aku tadi mendengar bahwa engkau hendak memberikan lima puluh tail emas kepadaku. Benarkah itu, dan apa maksudmu dengan itu?"

"Aku hendak menebus kebebasan nona Siok Bi!"

Wajah yang tadinya tertawa itu tiba-tiba menjadi kaku, dan matanya terbelalak ketika dia menoleh dan memandang pada Siok Bi. Gadis ini menundukkan mukanya yang berubah merah, akan tetapi lalu diangkatnya mukanya itu dan dia menentang pandang mata Coa Wan-gwe dengan berani.

"Dulu tai-ya membeliku dari mendiang ayah, jika sekarang ada yang hendak menebusku kembali, anehkah itu?" Siok Bi berkata dengan suara yang tegas.

"Tapi... tapi... uang tebusan itu banyak sekali sekarang!" kata Coa Wan-gwe yang merasa sayang kepada Siok Bi untuk dua hal.

Pertama, sebagai seorang di antara selirnya, Siok Bi tetap merupakan seorang kekasih yang istimewa, tidak genit seperti para wanita lain sehingga kadang terasa menjemukan, dan ke dua gadis ini memiliki ilmu silat yang cukup lihai sehingga dapat menjadi pengawal pribadi yang boleh diandalkan. Rumah judi miliknya itu maju pesat setelah Siok Bi menjadi pengurusnya.

"Aku tahu, tai-ya. Pernah tai-ya mengatakan bahwa harga diriku kini telah mencapai lima puluh tail emas, bukan?" kata Siok Bi.

"Nah, untuk urusan itulah aku datang, Coa Wan-gwe. Ini adalah lima puluh tail emas itu, untuk menebus kebebasan diri nona Siok Bi!" kata Hay Hay sambil mendorong buntalan emas itu ke arah tuan rumah.

Sepasang alis yang tebal itu berkerut, kemudian Hartawan Coa menoleh kepada Siok Bi. Teringatlah dia betapa sudah selama hampir satu bulan ini Siok Bi selalu menjauhkan diri darinya, dengan dalih tidak enak badan dan sebagainya!

"Ahh, kiranya engkau jatuh cinta kepada pemuda ini dan hendak menikah dengan dia?" tanyanya.

"Jangan salah mengerti, Wan-gwe," kata Hay Hay cepat, sedangkan Siok Bi menggeleng kepalanya. "Aku hanya ingin menolongnya supaya dia bebas dari sini dan dapat memilih jodohnya sendiri. Engkau tidak perlu tahu siapa yang dipilihnya, tetapi yang jelas bukan aku. Nah, bagaimana jawabanmu, Coa Wan-gwe?”

Hartawan itu merasa serba salah. Uang lima puluh tail emas memang sangat banyak bagi kebanyakan orang, tapi bagi dia tak ada artinya. Dia tidak ingin uang sebanyak itu karena uangnya sudah jauh lebih banyak lagi. Dia juga sayang kepada Siok Bi. Terutama sekali, dia tidak rela harus mengalah terhadap pemuda yang pernah membuat dia malu ini. Akan tetapi menentang kehendak pemuda lihai ini? Dia pun ragu-ragu!

Tiba-tiba saja dia tersenyum karena mendapat pikiran yang dianggapnya baik dan sangat menguntungkan. Di dunia ini terdapat banyak wanita, bahkan yang lebih cantik menarik dari pada Siok Bi dan yang mudah dia dapatkan kalau dia menghendaki.

"Aku tidak berkeberatan jika Siok Bi hendak menikah dengan seorang pria pilihan hatinya. Akan tetapi aku tidak rela kalau harus kehilangan seorang pembantu yang cakap. Begini saja, orang muda. Bagaimana kalau engkau menggantikan kedudukannya? Bukan hanya kedudukannya sebagai pemimpin rumah judi, bahkan akan kuserahkan kepadamu semua pimpinan para pasukan keamanan serta pengawal! Kuangkat engkau menjadi pembantu utama dan berapa saja gaji yang kau kehendaki, akan kupenuhi! Bagaimana?"

Wajah pemuda itu berubah menjadi merah. Kurang ajar, pikirnya. Dia hendak dijadikan antek hartawan ini! "Coa Wan-gwe, urusan itu adalah urusan antara kita berdua dan boleh kita bicarakan nanti. Sekarang, beri dulu keputusan mengenai kebebasan nona Siok Bi!"

Tidak ada pilihan lain bagi Hartawan Coa untuk mempertimbangkannya lagi kecuali harus menyetujui. Dia tahu betapa bahayanya menentang pemuda ini, apa lagi setelah kini Siok Bi berpihak kepadanya! Apa bila terjadi keributan, maka dapat dipastikan bahwa Siok Bi yang akan dibebaskan oleh pemuda itu tentu akan membantunya.

Dia menarik napas panjang dan menyentuh buntalan uang emas. "Baiklah, aku menerima lima puluh tail emas ini sebagai penebus kebebasan Siok Bi. Mulai saat ini engkau bebas, Siok Bi."

Mendengar ini, Siok Bi mengeluarkan seruan lirih dan dia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Hay Hay lantas merangkul kaki pemuda itu. "Ahhh, taihiap, terima kasih... terima kasih atas budimu ini yang takkan kulupakan selama hidupku....” Suaranya mengandung isak.

Hay Hay tersenyum dan sekali tarik dia telah memaksa gadis itu bangkit berdiri kemudian merangkulnya. Dengan lembut sekali diciumnya dahi gadis itu, lalu dua pipinya sehingga ada air mata yang memasuki mulut melalui hisapan bibirnya.

"Siok Bi, engkau memang pantas mendapatkan kebahagiaan. Nah, semoga engkau hidup berbahagia bersama suamimu dan ini, aku tidak dapat memberi apa-apa kecuali bekal ini, agar engkau dan suamimu dapat memulai hidup baru dan memiliki modal."

Hay Hay mengambil sebuah guci arak, menaruhnya di atas meja di depan Coa Wan-gwe dekat buntalan emas, lalu dia meraih buntalan emas lima puluh tail itu dan menyerahkan emas itu kepada Siok Bi.

Gadis itu terbelalak. "Tapi... tapi...”

Dia memandang ke arah Hartawan Coa yang agaknya sudah berubah menjadi arca atau tidak melihat atau tak peduli bahwa buntalan emas itu diambil oleh Hay Hay dan sebagai gantinya, di depannya kini berdiri sebuah guci arak itu, yang telah kosong pula.

"Bawalah, Siok Bi, disertai doaku. Ini milikmu! Ingat, bukankah engkau yang telah berhasil menyelidiki tentang Ang-hong-cu itu? Nah, bawalah dan cepat kau pergi dari sini!"

Gadis itu menahan isak, lalu merangkul Hay Hay dan tanpa mempedulikan Coa Wan-gwe yang berada di sana dan duduk seperti patung, Siok Bi mencium bibir pemuda itu dengan sepenuh perasaan hatinya, penuh kemesraan, kehangatan, keharuan, disertai rasa syukur yang tidak terukur dalamnya. Kemudian, sambil menahan isak dia pun menerima buntalan emas itu dari tangan Hay Hay dan berbisik, "Selamat tinggal, sampai jumpa pula, taihiap." Dia lalu keluar dari kamar dengan langkah yang cepat.

"Selamat jalan, sampai jumpa kembali, Siok Bi," Hay Hay berkata lirih sambil tersenyum. Masih terasa kehangatan dan kelembutan bibir gadis itu akan tetapi dia segera mengusir lenyap kenangan indah itu.

"Coa Wan-gwe, lebih baik kita bungkus dulu emas ini dan suruh orangmu menyimpannya, baru kita bicara," katanya kepada hartawan yang tadi duduk seperti patung itu. Sekarang dia seperti baru sadar dari tidur.

"Ahh, engkau benar sekali, sebaiknya kusuruh simpan dulu," katanya, sementara itu Hay Hay mengambil kain tilam meja yang lebar dan membungkus guci itu.

Coa Wan-gwe bertepuk tangan dan muncullah dua orang gadis pelayan yang cantik genit. Tepukan tangan tadi adalah tepukan khas untuk memanggil dua orang selir terkasih ini.

"Simpan dahulu buntalan emas ini di dalam almari dan jangan bilang kepada siapa pun bahwa di situ disimpan emas lima puluh tail," katanya.

Dua orang gadis itu lalu mengambil buntalan guci dari atas meja, membawanya ke almari di sudut dan menyimpannya. Mereka lalu meninggalkan kamar lagi saat mendapat isyarat dari majikan mereka. Walau pun mereka adalah selir, akan tetapi kedudukan mereka tidak lebih sebagai pelayan yang melayani majikan mereka, bukan sebagai isteri.

"Nah, sekarang kita berada berdua saja di dalam kamar ini, Coa Wan-gwe. Terus terang saja, bila aku menjadi pembantumu maka dalam waktu beberapa bulan saja tentu engkau akan jatuh bangkrut dan seluruh harta bendamu akan habis!"

"Mengapa begitu?" tanya hartawan itu terkejut.

"Pertama, karena aku tidak suka melihat orang menjadi korban perjudian. Ke dua, karena aku selalu menentang perbuatan jahat dan kejam yang dilakukan oleh anak buahmu atas perintahmu. Ke tiga, karena aku tidak suka melihat orang bersikap sewenang-wenang dan memaksa wanita muda untuk menjadi miliknya. Dan ke empat, aku tak dapat tinggal diam saja melihat orang-orang hidup melarat dan tidak dapat makan, dan hartamu tentu akan kubagi-bagikan kepada mereka!"

Sepasang mata hartawan itu terbelalak. "Wah, wah, kalau begitu, tidak jadi saja! Aku tak mau mempunyai pembantu seperti itu!" Hartawan Coa menjadi marah, lalu bangkit berdiri. "Orang muda, segera kau pergi tinggalkan rumahku ini dan jangan lagi menggangguku!"

"Kalau aku tetap mengganggumu, kau mau apa?"

Hartawan itu masih belum mau menyerah dan tiba-tiba dia menyambar sebuah tali yang tersembunyi di antara kain-kain sutera yang menghias kamar itu. Segera terdengar suara kelenengan di luar, lantas daun pintu kamar itu terbuka.

Muncullah tiga orang gadis pelayan cantik yang bertubuh kuat, bersama tiga orang jagoan yang tadi sudah dirobohkannya! Tiga orang jagoan itu nampak gentar sekali sungguh pun mereka cepat-cepat datang ketika mendengar kelenengan yang berarti tanda bahaya bagi majikan mereka itu. Di luar pintu masih berdiri puluhan orang pengawal yang siap dengan senjata di tangan.

"Nah, engkau masih berani menggangguku?" bentak hartawan itu.

Hay Hay tersenyum lebar. Hartawan Coa ini harus diberi hajaran yang cukup keras untuk melunakkan hatinya yang keras.

"Hemmm, kau mengandalkan para pengawalmu? Engkau tidak tahu bahwa setiap waktu para tukang pukul dan pengawalmu itu bisa saja berbalik memusuhimu, bahkan mungkin pula engkau akan dibunuh oleh mereka."

"Tidak mungkin! Mereka adalah para pembantuku yang setia!"

"Setia? Karena terpaksa dan karena uang, seperti halnya nona Siok Bi tadi. Heiiii, kau....!” Hay Hay menggapai salah seorang di antara ketiga gadis itu. "Kau ke sinilah dan beri satu kali tamparan pada pipi Hartawan Coa!"

Semua orang terkejut, juga Hartawan Coa. Akan tetapi sungguh aneh. Gadis yang tadinya terbelalak kaget mendengar perintah itu, sekarang melangkah maju mendekati Hartawan Coa.

"Plakkk!"

Tangannya menampar dan pipi hartawan itu sudah ditamparnya! Tidak begitu nyeri, akan tetapi Hartawan Coa menjadi terkejut dan marah bukan main. Wajahnya sebentar pucat dan sebentar merah.

"Tangkap perempuan kurang ajar ini!"

Hay Hay melangkah maju. "Siapa yang berani menangkapnya?! Kalau aku tidak memberi perintah, maka tak seorang pun boleh mengganggu dia!" Dan aneh, mendengar teriakan Hay Hay ini, tak seorang pun berani maju, walau pun Hartawan Coa berkali-kali memberi perintah.

"Kau! Majulah dan tampar pipi hartawan ini supaya dia tidak berteriak-teriak lagi!" kata Hay Hay pada gadis ke dua. Gadis itu pun tadinya terbelalak, akan tetapi dia melangkah maju dan tangannya menampar. Hartawan itu hendak menangkis, namun kalah cepat.

"Plakkk!" Dan untuk kedua kalinya pipinya kena ditampar oleh gadis kesayangannya yang biasanya amat patuh kepadanya.

"Tiat-ci Thio Kang, jarimu sudah patah, karena itu pergunakan kakimu menendang pantat Hartawan Coa! Hayo cepat, jangan keras-keras, biar dia tahu rasa saja!"

Mendengar ucapan ini, tentu saja Tiat-ci Thio Kang mempertahankan diri sekuatnya untuk menentang perintah yang berlawanan dengan kemauan hatinya itu. Akan tetapi, entah apa yang mendorongnya untuk melangkah maju dan kakinya lantas terayun.

"Bukkk!”

Hartawan Coa jatuh tersungkur, lalu bangkit sambil meringis dan menggosok pinggulnya yang ditendang. Sekarang mukanya pucat dan matanya terbelalak ketakutan memandang kepada Hay Hay.

"Bagaimana? Haruskah aku lanjutkan? Bila aku memerintahkan mereka menyembelihmu, maka sekarang juga akan mereka laksanakan, Wan-gwe!"

"Tidak.... Tidak...! Hentikan permainan setan ini !" katanya meratap ketakutan.

“Kalau begitu, perintahkan mereka itu mundur."

"Mundur! Kalian semua mundur, terkutuk kalian!" Hartawan Coa membentak dan mereka semua segera keluar dari dalam kamar, menutupkan daun pintu kamar dengan khawatir ketika melihat betapa majikan mereka marah-marah.

"Nah, Wan-gwe. Begjtulah kalau engkau memelihara harimau-harimau liar. Sekali waktu mereka akan membalik dan mencelakai dirimu sendiri. Sekarang aku minta agar engkau tak lagi mempergunakan kekayaan dan kekuasaanmu untuk berbuat sewenang-wenang. Apabila aku mendengar engkau masih melanjutkan perbuatanmu yang jahat, maka aku akan segera kembali ke kota ini lantas akan kuperintahkan anak buahmu membunuhmu, atau mungkin juga keluargamu sendiri akan kuperintahkan membunuh dan menyiksamu lebih dulu!"

"Aku... aku tidak berani lagi...”

"Engkau juga tidak akan mengganggu lagi Gui Lok dan puterinya, Gui Ai Ling yang kau inginkan itu?"

"Tidak, tidak... tidak lagi."

"Dan engkau tidak akan menyuruh orang-orangmu mencari Siok Bi untuk kau ganggu?"

"Tidak, aku tidak berani."

"Bagus, akan tetapi jangan mencoba-coba untuk membohongi dan menipuku. Bila perlu, aku dapat menyuruh siapa saja atau apa saja untuk menghukum dan membunuhmu. Kau lihat tombak dan pedang di sudut kamar itu? Aku dapat memerintahkan mereka itu untuk membunuhmu!"

Sekali ini, di dalam pandang mata hartawan yang tadinya ketakutan itu, kini berkilat sinar tidak percaya, walau pun mulutnya tidak berani mengatakan hal itu.

"Engkau tidak percaya, Coa Wan-gwe? Nah, lihat baik-baik! Pedang dan tombak milikmu sendiri itu akan menyerangmu!"

Tiba-tiba mata hartawan itu terbelalak, lantas mukanya yang hitam itu menjadi berkurang hitamnya karena pucat sekali. Dia melihat betapa pedang yang berada dalam sarungnya dan tergantung di tembok, sekarang meninggalkan sarung lalu melayang-layang bersama dengan tombak yang juga meninggalkan rak senjata. Kedua senjata itu melayang-layang ke atas lalu keduanya meluncur ke arah dirinya!

Dia terkejut, ketakutan dan melompat menjauhi, akan tetapi ke mana pun dia mundur, dua batang senjata itu terus mengejar. Tombak itu bagaikan hendak menusuk-nusuk perutnya dan pedang yang tajam itu mengancam untuk membacok lehernya! Tentu saja dia mandi keringat dingin.

"Tidak...! Tidak...! Jangan... ahh, ampunkan aku... ampunkan...” dia jatuh berlutut dan tak berani mengangkat lagi mukanya, tidak berani melihat dua senjata yang seperti hidup dan mengancamnya itu.

"Mereka sudah kuperintahkan kembali ke tempat masing-masing, Wan-gwe."

Hartawan Coa mengangkat mukanya dan benar saja. Dua buah senjata itu sudah berada pada tempatnya masing-masing, tidak bergerak dan mati seperti biasanya. Dia mengeluh dan menghapus keringat dengan ujung lengan bajunya.

"Nah, kau lihat sendiri, Wan-gwe. Sedangkan benda mati saja dapat berkhianat padamu, apa lagi manusia hidup. Sekali waktu, mungkin saja pelayanmu sendiri meracunimu atau membunuhmu selagi engkau tidur. Sebab itu bertobatlah dan tinggalkan semua perbuatan jahat, baru Tuhan akan mengampunimu."

Hartawan itu masih berlutut dan dia mengangguk-angguk. "Baik, baik... aku minta ampun, aku bertobat... tidak berani lagi...”

Ketika dia mengangkat muka, ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ! Pada saat para pelayan dan pengawal memasuki kamar, mereka menemukan hartawan itu masih berlutut dalam keadaan seperti tidak bersemangat lagi!

Hay Hay sama sekali tidak tahu bahwa sepeninggalnya, dia tak hanya membuat hartawan itu menjadi bertobat, bahkan lebih dari itu dan amat menyedihkan. Hartawan Coa menjadi seperti orang gila yang selalu ketakutan, takut terhadap isterinya, anak-anaknya, pelayan, bahkan takut kepada benda-benda di dalam kamarnya. Dia selalu berteriak-teriak bahwa mereka semua hendak membunuhnya.

Akhirnya, karena dia selalu marah-marah dan minta agar semua benda disingkirkan dari kamarnya, maka kamar itu menjadi gundul dan kosong. Bahkan dia tidur begitu saja di atas lantai karena takut kalau segala macam ranjang, kelambu, meja kursi, bantal guling, akan membunuhnya di tengah malam!

Hartawan Coa menjadi seperti orang gila. Akan tetapi kota itu menjadi tenang dan para penduduknya bernapas lega karena setidaknya, seorang yang tadinya amat ditakuti dan mengganggu ketenangan hidup mereka kini telah mati kutu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Malam yang gelap karena malam itu gelap bulan. Langit hanya dihiasi laksaan bintang, atau jutaan atau bahkan lebih. Tak terhitung! Biar pun tidak ada bulan, namun sinar lemah dari bintang-bintang itu bergabung dan mampu pula mengurangi kepekatan malam, bukan menjadi gelap gulita lagi melainkan remang-remang.

Akan tetapi, kompleks bangunan dalam lingkungan istana sama sekali tidak pernah gelap! Banyak sekali lampu-lampu gantung besar kecil, beraneka warna dan bentuk, menerangi bagian dalam dan luar istana. Bahkan di taman-taman bunga yang teratur indah terdapat lampu penerangan.

Malam itu sunyi sekali karena hawa malam itu amat dingin. Musim semi telah mulai, akan tetapi sisa musim salju masih meninggalkan hawa dingin yang menyengat tulang. Karena dinginnya, maka malam itu amat sunyi meski di lingkungan istana sendiri. Para penghuni istana, yaitu kaisar serta semua keluarganya, juga para dayang, para selir, para pelayan dan bahkan para pengawal, lebih suka berada di dalam bangunan dari pada di luar!

Di udara terbuka hawa dingin sungguh tak tertahankan. Para pengawal luar yang sedang melakukan penjagaan di luar kompleks bangunan lebih suka berkelompok di dalam gardu-gardu penjagaan di mana mereka dapat menghangatkan tubuh di dekat arang membara, atau perapian yang sengaja dibuat untuk sekedar menghangatkan badan melawan hawa dingin. Para penjaga menjadi malas untuk meronda sebab meronda berarti meninggalkan gardu dan memasuki tempat terbuka di mana mereka akan disambut oleh dekapan hawa yang amat dingin.

Lagi pula, siapakah yang akan berani mengganggu ketentraman istana? Berarti mencari mati konyol! Maling? Sebelum memperoleh sesuatu dia sudah akan mati kedinginan lebih dulu! Malam itu, malam yang dingin sunyi sehingga para penjaga menjadi lengah.

Akan tetapi, bagi seseorang yang sedang dimabok cinta dan dendam birahi, yang sedang menderita rindu, berkencan dengan kekasih yang dirindukan merupakan kewajiban yang harus dilakukan dengan sepenuh hati, dengan nekat dan kalau perlu mengorbankan diri! Jangankan hanya hawa dingin di malam sunyi itu, biar harus menghadapi rintangan yang lebih berat sekali pun, seorang yang sedang merindukan pertemuan dengan kekasihnya tidak akan mundur selangkahpun!

Demikian pula bagi pria yang kini sedang menunggu di dalam taman bunga sebelah barat istana itu. Dia bersembunyi di balik rumpun-rumpun bunga yang tumbuh lebat di sebelah kiri depan pondok indah itu. Pondok yang bercat merah dan diberi nama 'Sarang Madu' di depannya, nama itu tertulis indah di papan yang tergantung di depan pondok.

Nama ini diberikan kaisar karena dia merasa seolah-olah berada di sarang madu ketika sedang bersenang-senang dengan para selir dan dayang yang muda-muda dan cantik jelita di pondok merah itu. Nama Sarang Madu itu ada riwayatnya.

Ketika itu, pondok merah ini baru saja selesai dibangun dan belum ada namanya. Ketika kaisar bersama para selir tercinta tengah bersenang-senang di situ, kaisar melihat sebuah sarang lebah tergantung pada dahan pohon dekat pondok. Sarang lebah itu sudah penuh madu, nampak ada madu menetes-netes turun. Kaisar segera menyuruh pengawal untuk mengusir lebah-lebahnya dan menurunkan sarang lebah itu. Ternyata sarang itu memang penuh dengan madu! Tentu saja kaisar menjadi girang sekali, lalu bersama para selir dan dayang minum madu yang manis.

Karena peristiwa itulah maka pondok ini diberi nama Sarang Madu. Bukan hanya karena madu itu memang manis. Akan tetapi berpesta pora dengan para dayang dan selir yang cantik-cantik itu memang amatlah manisnya!

Dan bagi pria yang kini bersembunyi di dekat pohon Sarang Madu itu, memang pondok itu merupakan sarang madu yang sangat manis baginya. Semua kenangan manis, indah dan menggembirakan berada di dalam pondok itu sejak dia bertemu dan berhubungan dengan Hwee Lan!

Sekarang laki-laki itu menyelinap dekat tembok pondok yang lebih melindungi dirinya dari hembusan angin lembut sehingga sinar lampu gantung yang halus dapat menyentuhnya. Dia seorang laki-laki muda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, berpakaian sebagai seorang perwira dan dia nampak gagah sekali dalam pakaian yang cemerlang ini.

Sebuah pedang tergantung pada pinggangnya, dan topi bulunya nampak bersih. Bulu itu kelihatan putih sekali di atas rambutnya yang hitam panjang. Wajahnya tampan menarik dan jantan. Wajah yang disuka oleh kaum wanita. Tubuhnya jangkung dengan pinggang ramping, tubuh yang juga menjadi idaman wanita. Pendeknya, pemuda berusia dua puluh lima tahun ini amat menarik bagi wanita.

Seorang yang tampan, gagah dan memiliki kedudukan baik. Seorang perwira pengawal! Dari pangkatnya ini saja, yakni perwira pengawal dalam istana, mudah diduga bahwa dia bukanlah seorang pemuda lemah, melainkan seorang pemuda gemblengan yang memiliki kegagahan dan ilmu silat tinggi.

Perwira muda ini bernama Tang Gun. Baru dua tahun dia menjadi perwira di dalam istana dan dipilih oleh kaisar sendiri karena dia telah berjasa saat membantu pasukan pengawal membasmi perampok yang berani memberontak dan mengusik ketenangan kaisar ketika kaisar berburu binatang di hutan. Pemuda yang gagah perkasa dan yang pekerjaannya sebagai seorang pemburu itu lalu membantu para pengawal, bahkan dialah yang berhasil membunuh kepala perampok.

Mendengar tentang kegagahan pemuda ini, kaisar memanggilnya dan karena gembiranya kaisar lantas menganugerahkan pangkat perwira pengawal kepadanya. Bukan pengawal luar, akan tetapi pengawal dalam istana, sebuah pangkat yang hanya diberikan kepada orang-orang yang benar-benar dipercaya oleh kaisar!

Tadinya Tang Gun hidup berdua saja dengan ibunya yang telah berusia empat puluh tiga tahun. Mereka hidup berdua dalam keadaan miskin karena ibunya adalah seorang janda dan kehidupan mereka hanya mengandalkan hasil buruannya. Bila dia berhasil membunuh seekor dua ekor kijang atau beberapa ekor kelinci, dagingnya lantas dibuat daging kering oleh ibunya, kemudian kulit dan daging kering itu dijual dan di tukar dengan beras, terigu dan bumbu-bumbu masak, juga untuk membeli pakaian. Mereka hidup di tempat terpencil, di dekat hutan.

Sejak kecil Tang Gun memang suka mempelajari ilmu silat. Dari kawan-kawannya, para pemburu, dia belajar silat dan mencari guru-guru silat yang pandai. Karena tekunnya dan tidak mengenal lelah, juga rajin mencari guru yang pandai, akhirnya dia menjadi seorang pemuda gemblengan yang pandai silat dan menjadi jago di antara para pemburu.

Ibunya selalu mengatakan bahwa ayah kandungnya telah meninggalkan mereka sejak dia masih kecil sekali. Menurut ibunya, ayah kandungnya adalah seorang pria she Tang dan ibunya menyerahkan sebuah benda berbentuk ukiran seekor kumbang yang terbuat dari emas dan batu permata. Si Kumbang Merah atau Ang-hong-cu, demikianlah julukan ayah kandungnya. Demikian menurut ibunya.

Dia tidak pernah mengenal ayahnya, hanya tahu bahwa ayahnya she Tang dan berjuluk Ang-hong-cu. Menurut ibunya, ayahnya adalah seorang yang sangat sakti dan kalau dia kelak melihat seorang pria yang mempunyai tanda mainan seperti yang dimilikinya, maka itulah ayahnya!

Tang Gun telah mencari keterangan di dunia kang-ouw tentang Ang-hong-cu. Akan tetapi, dengan kecewa dia mendengar bahwa sudah bertahun-tahun dunia kang-ouw tidak lagi mendengar nama Ang-hong-cu. Si Kumbang Merah itu seakan telah lenyap atau mungkin juga sudah mati! Maka Tang Gun menjadi putus asa dan tidak mencari lagi.

Pada saat dia masih menjadi seorang pemburu biasa, kenyataan bahwa dia tidak berayah lagi, bahkan dia tidak tahu di mana ayahnya, sudah mati atau belum, tidak merupakan hal yang perlu dirisaukannya benar. Dia hanyalah seorang pemburu miskin. Siapa yang akan memperhatikan dirinya dan siapa yang ingin mengetahui siapa ayahnya?

Akan tetapi, setelah dia menjadi seorang perwira pengawal di istana, hal itu menjadi amat penting! Ia kini seorang yang berkedudukan, dihormati dan disegani, bahkan cukup dekat dengan keluarga kaisar! Untuk mengangkat harga dirinya, terutama di kalangan pasukan dan juga di dunia persilatan, maka mulailah dia mengaku bahwa dia adalah putera Ang-hong-cu yang dikabarkan memiliki kesaktian hebat itu! Berita yang dibangga-banggakan inilah yang akhirnya sampai ke telinga Hay Hay lewat Siok Bi.

Karena dia memiliki wajah tampan menarik, tubuh yang kokoh kuat sehingga dia nampak gagah dan jantan, sejak remaja Tang Gun disukai oleh banyak wanita. Dan dia pun sadar akan ketampanannya, sadar bahwa banyak wanita menyukainya. Oleh karena itu, walau pun ibunya yang menjanda itu sering mendesaknya supaya segera menikah, Tang Gun selalu menolak. Dia merasa rugi kalau harus menikah.

Pertama, untuk menikah dia harus memiliki uang namun dia seorang yang miskin. Setelah menikah, berarti tanggungannya bertambah, tadinya hanya dua orang menjadi tiga orang, belum lagi kalau isterinya melahirkan anak. Ke dua, sesudah dia beristeri tentu rasa suka para wanita terhadap dirinya akan berkurang. Jauh lebih senang kalau dia masih bebas, dia dapat berpacaran dengan wanita mana pun yang suka kepadanya dan disukainya.

Maka mulailah Tang Gun dikenal sebagai seorang pemuda yang mata keranjang, selalu diburu wanita dan selalu berganti-ganti pacar! Betapa pun juga dia tak pernah melakukan pelanggaran. Tidak pernah dia memperkosa wanita, tak pernah pula dia mempermainkan isteri orang. Dia hanya menyambut uluran cinta seorang gadis atau seorang janda muda.

Sesudah dia berusia dua puluh tiga tahun dan diangkat menjadi perwira pengawal dalam istana, nafsu birahi yang selama ini memperhamba batin dan tubuhnya menjadi terkekang dan tak mudah dapat disalurkan. Dia kini telah menjadi seorang perwira pengawal dalam istana. Tentu saja dia tidak boleh sembarangan mengumbar nafsu seperti ketika dia masih tinggal di dusun. Dia harus menjaga namanya dan kini dia tinggal di kompleks perumahan para perwira yang berada di lingkungan istana, meski pun di bagian luar akan tetapi masih berada di belakang tembok yang mengelilingi istana.

Dia tinggal bersama ibunya di dalam sebuah rumah yang cukup indah walau pun sedang saja. Ada pula dua orang lainnya, lelaki dan wanita, yang menjadi pelayan rumah mereka. Dia hanya bisa mencari hiburan dan bersenang-senang apa bila dia sedang memperoleh giliran cuti. Dia sering pergi ke rumah pelesir yang jauh berada di sudut kota, menyamar sebagai seorang pemuda biasa.

Akan tetapi dia tidak dapat berkutik apa bila dia sedang bertugas atau berada di rumah,. Sebagai seorang perwira pengawal, apa lagi pengawal di dalam istana, dia harus selalu sopan dan menjaga kesusilaan. Sebagian besar para perwira pengawal, juga para prajurit pengawal yang mengawal bagian dalam istana, apa lagi yang mengawal bagian keluarga puteri kaisar, adalah para thai-kam (laki-laki kebiri). Dia sendiri tidak diharuskan menjadi thai-kam karena kaisar percaya kepadanya.

Karena tugasnya sebagai komandan pengawal dalam istana, maka sering kali Tang Gun memimpin rombongan pengawal melakukan perondaan di waktu malam. Bahkan sering pula dia mendapat giliran berjaga di dalam taman yang berhubungan dengan tempat para puteri. Karena itu sering pula dia melihat kaisar kalau Sribaginda ini sedang berjalan-jalan di dalam taman atau sedang bersenang-senang dengan para selir dan dayang di pondok-pondok indah. Tentu saja dia selalu bersikap hormat, berlutut sambil menundukkan muka, tidak berani mengangkat muka memandang Sribaginda dan para wanita cantik itu.

Biar pun matanya tidak dapat melihat, namun hidungnya masih bisa mencium keharuman yang keluar dari pakaian para wanita, juga telinganya bisa menangkap suara tawa merdu sekali, sepatah dua patah kata yang keluar dengan halus lembut seperti nyanyian merdu. Karena dia berwatak mata keranjang, maka jantungnya langsung terguncang hebat.

Lambat laun, setelah hampir dua tahun dia terbiasa dengan kesempatan seperti itu, maka mulailah dia berani bermain mata. Biar pun kepalanya ditundukkan, akan tetapi matanya mengerling ke atas. Makin kagumlah dia ketika melihat wanita-wanita cantik jelita dalam pakaian yang serba indah itu.

Tadinya dia hanya mampu melihat bagian bawah tubuh saja, dari kaki-kaki mungil sampai lutut yang tertutup sutera beraneka warna. Tapi kini dia dapat melihat wajah para pemilik kaki mungil itu. Ternyata dia tidak menemukan wanita yang angkuh dan tinggi hati seperti di dalam dongeng tentang puteri-puteri dan keluarga kaisar, melainkan wajah-wajah cantik jelita dan manis yang memandang kepadanya dengan penuh gairah! Mata yang jeli itu, mulut yang segar kemerahan itu, dengan jelas sekali menunjukkan betapa mereka sangat kehausan!

Tang Gun yang telah banyak bergaul dengan para wanita dapat melihat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa kebanyakan dari para wanita muda itu, para selir serta dayang dari Kaisar, memandang kepadanya dengan penuh birahi!

Memang demikianlah keadaan para wanita muda dan cantik itu. Mereka melihat seorang perwira pengawal yang muda, tampan, ganteng, gagah dan jantan. Apa lagi mereka juga mendengar dari para thai-kam yang selalu bermuka-muka terhadap mereka bahwa Tang-ciangkun (Perwira Tang) ini, yang pernah menyelamatkan kaisar, adalah seorang perwira yang benar-benar jantan dan laki-laki tulen, bukan thai-kam! Tentu saja hal ini membuat mereka tertarik dan mereka selalu timbul birahi dan gairah setiap kali melihat perwira itu.

Memang seperti itulah keadaan para wanita muda yang menjadi penghuni istana raja di mana pun juga. Seorang kaisar sudah lajim mempunyai banyak sekali selir dan dayang, bisa sampai puluhan orang banyaknya. Hal ini tentu saja merupakan keadaan yang tidak seimbang.

Puluhan orang selir dan dayang itu adalah wanita-wanita yang masih muda, bagai bunga-bunga di taman yang sedang segar-segarnya, sedang mekar indah dan membutuhkan banyak sekali siraman dan curahan kasih sayang dan kemanjaan pria. Sebaliknya, kaisar yang sudah setengah tua itu tentu saja tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan badan dan batin mereka. Kaisar hanya mampu memberikan kedudukan dan kemewahan saja.

Para wanita itu mendambakan perhatian, pencurahan kasih sayang yang lebih sering dan lebih banyak. Mereka rata-rata merasa kesepian, seperti burung-burung dalam kurungan. Maka tidaklah mengherankan dan bukan semata karena watak mereka yang genit kalau mereka itu segera tertarik kepada Tang Gun yang muda, tampan, gagah dan mempunyai kerling mata tajam serta senyuman menggairahkan hati mereka itu. Akan tetapi bagi Tang Gun, yang paling membuat dirinya tergila-gila adalah seorang selir kaisar yang bernama Hwee Lan.

Mula-mula pertemuannya dengan Hwee Lan merupakan hal yang kebetulan saja dan tidak disengaja. Pada suatu malam, beberapa bulan yang lalu, malam terang bulan yang amat indah. Tang Gun yang kebetulan dinas jaga, memimpin para pengawal dalam istana dan membagi-bagi tugas jaga, merasa iseng sehingga dia pun memasuki taman istana bagian barat yang indah. Sambil meronda dia pun sekalian menikmati malam yang sangat indah itu. Malam yang hawanya tidak begitu dingin, terang bulan pula dan karena pada saat itu bunga-bunga di taman sedang mekar, maka keadaan taman itu benar-benar amat indah, romantis dan penuh dengan keharuman bunga.

Tiba-tiba dia dikejutkan oleh gerakan dan suara orang di belakang pondok Sarang Madu yang merah itu. Menduga terjadi sesuatu yang mencurigakan, ia pun cepat menyelinap di antara semak-semak dalam taman dan mengintai dari balik batang pohon. Kiranya yang berada di antara bunga mawar yang ditanam di bagian belakang pondok itu adalah salah seorang di antara para selir yang paling jellta!

Selir itu memang sangat menarik dan mempesona hati Tang Gun setiap kali melihatnya, dengan kulit muka yang bukan hanya putih mulus seperti para selir lain, melainkan putih bercampur warna merah segar, seperti kulit bayi yang montok. Selir yang usianya paling banyak delapan belas tahun itu ditemani oleh seorang dayang pelayan yang juga usianya masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun dan cantik pula. Namun, dibandingkan dengan selir itu, kecantikan dayang ini tidak ada artinya lagi.

“A Sui, malam begini indah, taman penuh bunga, udara demikian sejuk dan harum. Aihh, alangkah indahnya malam ini..." Tang Gun yang mengintai, merasa jantungnya berdebar penuh kagum. Suara itu demikian merdu, dan kata-kata itu demikian halus dan indah.

Dayang itu tersenyum. "Aduh, kata-kata nona Hwee Lan selalu indah sekali, mirip seperti nyanyian, seperti sajak...,” dayang itu memuji.

"Memang aku suka bersajak, A Sui, apa lagi di dalam suasana yang begini indah...” Selir cantik itu mengangkat muka memandang ke arah bulan purnama.

Wajah itu sepenuhnya tertimpa cahaya bulan, nampak putih kemerahan laksana disepuh emas sehingga Tang Gun yang sedang mengintai menjadi terpesona. Selama hidupnya belum pernah dia melihat wanita secantik selir itu. Dan namanya Hwee Lan!

Dayang itu bertepuk tangan memuji. "Kalau begitu, mengapa Nona tidak membuat sajak tentang malam yang indah ini? Saya akan berbahagia sekali mendengarkannya, Nona."

Sikap dayang itu amat bersahabat, karena biar pun kedudukannya hanya sebagai dayang yang melayani selir itu, sebagai pelayan pribadi, namun dayang ini pun termasuk seorang di antara para dayang cantik yang menerima ‘kehormatan’ dari kaisar, yaitu pernah dan sewaktu-waktu menemani dan melayani kaisar di kamar tidurnya. Oleh karena itu, walau pun kedudukan mereka berbeda tapi keduanya merasa senasib dan seperti madu saja.

Hwee Lan kembali merenung memandang bulan, lalu beberapa kali dia menghela napas panjang. "A Sui, pada malam terang bulan seperti ini selalu mengingatkan aku akan masa remaja ketika aku belum dibawa ke dalam istana, bergembira ria bersama teman-teman di kampung. Dan malam sepertl ini selalu mengingatkan aku akan keadaanku sekarang. Aku akan mencoba bersajak, akan tetapi hanya untuk telinga kita berdua saja, A Sui."

Suasana menjadi hening. A Sui dan Tang Gun yang bersembunyi, menanti dengan penuh pesona. Bahkan kembang-kembang di taman itu seperti sedang menanti pula, dan semilir angin lembut tiba-tiba saja berhenti berhembus, seperti memberi kesempatan kepada si jelita untuk mengalunkan suaranya yang merdu.

Hwee Lan masih berdiri, demikian lembut gemulai seperti sebatang pohon yang-liu muda. Dia memandang bulan, kemudian terdengarlah suaranya lirih dan lembut seperti desahan bayu di antara daun pohon cemara.

"Malam syahdu penuh pesona Mencipta sajak memuja asmara Bulan gemilang bayu berdendang Taman mengharum mengapa hati bimbang? Mawar merah cantik jelita, Tiada belaian, sepi menderita Siapa peduli mawar sengsara Apa guna segala ratap hampa Mawar indah menangis sendiri Akhirnya layu... kering... mati...!"

Sajak itu diakhiri dengan isak tangis tertahan. A Sui segera bangkit berdiri, lalu merangkul Hwee Lan dan ikut pula menangis, akan tetapi disertai kata-kata menghibur.

"Sudahlah, nona, Tidak perlu membiarkan duka berlarut-larut menggerogoti hati. Memang beginilah nasib wanita-wanita seperti kita...”

"Wahai mawar merah nan suci ada taman sepotong hati dengan pupuk kesetiaan sejati dan siraman air cinta murni bersedia menampung jika sudi!"

Dua orang wanita itu terkejut dan menengok ke arah pohon besar di belakang pondok. Pada waktu melihat munculnya Tang Gun, Hwee Lan tidak menjadi ketakutan. Wajahnya berubah kemerahan dan kedua kakinya gemetar ketika perwira yang tampan itu berjalan menghampiri.

Mereka berdiri dan saling pandang, sedangkan A Sui sambil menahan senyumnya cepat mundur ke belakang nonanya. Kedua wanita ini sudah sering kali membicarakan tentang ketampanan dan kegagahan Tang Gun.

"Kiranya Tang-ciangkun...!" kata Hwee Lan, suaranya merdu dan lirih, tetapi agak gemetar karena jantungnya berdebar penuh ketegangan.

“Selamat malam, Tuan Puteri, dan maafkan jika hamba mengganggu. Hamba tadi sedang meronda lalu mendengar...”

"Sudahlah, ciangkun. Engkaukah yang menjawab sajakku tadi?"

Betapa beraninya wanita ini, pikir Tang Gun, betapa hausnya!

"Benar, Tuan Puteri, dan ampunkan hamba....”

"Benarkah apa yang kau katakan dalam sajak tadi? Engkau bersedia menampung mawar layu, bersedia menyirami dan menyegarkannya kembali?"

"Hamba bersedia dengan sungguh hati dan dengan segala kebahagiaan dan kehormatan, Tuan Puteri...”

Kini seluruh tubuh Hwee Lan gemetar dan dia pun menoleh ke sekelilihg. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain di situ, dia melangkah maju, memegang tangan perwira itu lalu berkata lirih, "Mari kita bicara di dalam pondok, ciangkun. Tidak baik bila diketahui orang. A Sui, engkau menjaga di luar."

A Sui tersenyum gembira dan mengangguk, membayangkan bahwa kelak dia pun sudah pasti akan mendapat bagian karena bukankah rahasia mereka berdua berada di telapak tangannya? Tang Gun menjadi berani dan dia pun menggenggam tangan yang kecil lunak dan hangat itu, kemudian mereka bergandeng tangan memasuki pondok Sarang Madu.

Mudah dibayangkan apa yang terjadi malam itu di pondok Sarang Madu. Dua orang muda yang tengah dilanda dan dicengkeram nafsu birahi itu sepenuhnya menyerah dan menjadi permainan nafsu mereka sendiri yang tak pernah mengenal puas. Dan keduanya terkulai dan menyerah.

Bagi Hwee Lan yang sejak perawan dibawa ke dalam istana, selama ini hanya mengenal kaisar yang setengah tua sebagai satu-satunya pria yang menggaulinya. Dan kini, begitu bertemu dengan Tang Gun yang masih muda, gagah, tampan dan jantan, maka tidaklah mengherankan kalau dia menjadi tergila-gila.

Sebaliknya, biar pun Tang Gun sudah banyak bergaul aengan wanita, namun selama ini dia pun belum pernah bertemu dengan wanita secantik dan sepanas Hwee Lan, maka dia pun tergila-gila. Keduanya lantas saling melekat dan merasa bahwa mereka tak mungkin dapat saling kehilangan atau saling berpisah!

Tang Gun yang cerdik maklum bahwa keselamatan dia dan kekasihnya berada di tangan A Sui. Apa bila hal itu dibiarkan lewat begitu saja, tentu dia dan kekasihnya akan menjadi permainan dayang itu dan dapat diperas habis-habisan. Oleh karena itu, atas persetujuan Hwee Lan yang juga melihat ancaman bahaya ini, Tang Gun kemudian mempergunakan ketampanannya untuk merayu A Sui.

Dayang ini pun hanya seorang gadis yang tidak jauh bedanya dengan Hwee Lan, haus akan belaian dan kasih sayang pria, apa lagi kalau prianya setampan dan segagah Tang Gun. Dia pun kemudian menyerah dalam dekapan Tang Gun. Maka amanlah hubungan mereka karena semuanya terlibat.

Nafsu tidak pernah merasa puas. Bahkan semakin dituruti, nafsu menjadi semakin ganas, semakin kelaparan dan selalu menghendaki lebih! Karena itu pertemuan antara Tang Gun dan Hwee Lan yang ditemani A Sui dan kemudian berakhir dengan permainan cinta gelap sepanjang malam itu tidak berhenti sampai di situ saja. Pertemuan demi pertemuan diatur dan diadakan antara mereka, makin lama semakin sering seperti orang kecanduan!

Dua bulan telah lewat dan pada malam yang amat dingin itu, Tang Gun tidak undur oleh dinginnya hawa udara dan dia sudah menanti kekasihnya di dekat pondok Sarang Madu. Malam itu adalah malam yang penting sekali bagi mereka bertiga, karena pada malam itu mereka sudah mengambil keputusan hendak melarikan diri dari dalam istana! Atau lebih tepat, Hwee Lan akan dibantu kekasihnya melarikan diri keluar istana.

Tang Gun yang menjadi komandan pengawal sejak sore tadi sudah mengatur sedemikian rupa sehingga ada jalan terbuka yang tidak dijaga. Dan agaknya hawa udara yang dingin ikut pula membantu mereka sebab para pengawal lebih suka bersembunyi di dalam gardu penjagaan menghangatkan diri. Karena dia sendiri juga terlibat, maka tentu saja A Sui ikut pula melarikan diri.

Tang Gun bukan seorang bodoh. Dia tidak berani melarikan dua orang wanita yang sudah menjadi kekasihnya itu ke rumahnya yang masih berada dalam lingkungan istana. Tidak, dia tidak setolol itu. Atas bantuan keuangan dari Hwee Lan yang menjual barang-barang perhiasan mahal, Tang Gun telah membeli sebuah rumah di kota Yu-sian, jauh di sebelah barat kota raja.

Menurut rencana mereka, jika dua orang wanita itu sudah dilarikan ke Yu-sian, kemudian keributan karena pelarian mereka itu sudah mereda, maka Tang Gun akan melepaskan jabatannya lalu menyusul ke Yu-sian di mana mereka akan hidup baru dengan berdagang menggunakan modal yang sudah mereka kumpulkan.

Tidak lama kemudian muncullah dua orang wanita muda itu sambil membawa buntalan. Tang Gun segera menyambut mereka dengan rangkulan dan mereka berciuman mesra, lalu ketiganya menyelinap di antara pohon-pohon dan rumpun bunga di taman, melarikan diri melalui jalan yang sudah di atur oleh Tang Gun. Sesuai rencana, mereka dapat keluar dari lingkungan istana tanpa diketahui orang.

Seorang paman, sanak dari ibunya, sudah menanti di luar tembok istana dengan sebuah kereta. Dua orang wanita itu segera naik ke dalam kereta. Sesudah mereka berangkulan sejenak dengan Tang Gun di dalam kereta untuk mengambil selamat berpisah, kereta lalu dilarikan dan Tang Gun menyelinap kembali ke dalam tembok istana, kembali ke gardu penjagaan seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

Pada keesokan harinya barulah para selir dan dayang menjadi ribut karena mereka tidak melihat adanya Hwee Lan dan A Sui di sana. Setelah melapor kepada Tang-ciangkun dan komandan ini mengerahkan semua anak buahnya mencari-cari di dalam kompleks istana tanpa hasil, barulah laporan disampaikan kepada kaisar tentang menghilangnya selir dan dayang itu.

Bagi kaisar, kehilangan seorang selir dan seorang dayang tidak ada artinya karena dalam sehari saja dia mampu mendapatkan sepuluh orang penggantinya yang lebih muda dan cantik. Namun yang membuat kaisar marah sekali adalah karena peristiwa itu merupakan tamparan dan merupakan hal yang memalukan. Larinya mereka itu seolah-olah memberi kesan bahwa para selir dan dayang merasa tidak beruntung hidup di dalam istana. Sebab itu kaisar memanggil Tang Gun dan mernarahinya.

"Tang Gun! Engkaulah yang menjadi komandan jaga, komandan pengawal bagian dalam istana. Bagaimana sampai engkau dan pasukanmu kebobolan dan tidak tahu adanya dua orang wanita yang meloloskan diri dari istana?"

Tang Gun berlutut dan memberi hormat sampai dahinya menyentuh lantai. "Mohon beribu ampun, Sribaginda. Semalam hamba telah mengerahkan seluruh pasukan untuk berjaga-jaga, bahkan hamba sendiri ikut melakukan ronda. Akan tetapi tadi malam hawa demikian dinginnya sehingga para pengawal banyak yang berlindung di dalam gardu, Bahkan para pengawal di bagian luar istana pun banyak yang berada di dalam gardu sehingga tak ada seorang pun yang melihat dua orang wanita itu keluar dari dalam istana. Hamba menerima salah, dan hamba siap menerima hukuman dari paduka, bahkan hamba akan menerima andai kata hamba dihukum mati, buang atau dihentikan dari jabatan hamba sekali pun."

Ucapan terakhir itu bukan hanya untuk pemanis bibir atau untuk pengakuan salah belaka. Tang Gun akan bersyukur sekali kalau memang dia dihentikan dari jabatannya karena dia akan dapat segera menyusul kekasihnya ke kota Yu-sian.

Akan tetapi kaisar lantas mengampuninya karena kaisar masih teringat akan jasa perwira muda itu. Kaisar kemudian memerintahkan Tang Gun agar menghubungi para komandan pasukan pengawal di dalam dan di luar istana untuk melakukan penyelidikan dan mencari dua orang wanita yang lolos dari istana itu.

Untuk merangsang kerja mereka, kaisar menjanjikan kenaikan pangkat dan hadiah besar kepada siapa saja yang dapat berhasil membawa kembali dua orang wanita itu ke istana. Semua ini dilakukan kaisar bukan karena dia merasa sayang kepada dua orang wanita itu, melainkan karena dia ingin menghapus kesan buruk dan akan menghukum mereka.

Tentu saja usaha ini sia-sia belaka. Memang tidak mudah mencari dua orang wanita yang sudah pergi jauh itu, apa lagi ada Tang Gun yang selalu mengelabui dan menyesatkan arah penyelidikan dan pengejaran.

********************

Malam itu kembali Tang Gun berdinas jaga. Dia duduk termenung di dalam gardu jaga. Sudah lewat sebulan semenjak kekasihnya pergi melarikan diri. Selama itu baru satu kali dia sempat menengok ke kota Yu-sian dengan dalih mencari jejak mereka yang melarikan diri, sekalian cuti.

Hatinya lega bahwa Hwee Lan dan A Sui sudah sampai di tempat tujuan dengan selamat. Dengan pamannya sebagai tuan rumah, kedatangan mereka sebagai penduduk baru tidak menimbulkan kecurigaan. Akan tetapi hanya sehari semalam saja dia dapat melepaskan rindunya kepada Hwee Lan dan A Sui.

Dia harus cepat mengundurkan diri dari jabatannya, pikirnya. Akan tetapi tidak sekarang, karena akibat pelarian itu sekarang masih menjadi buah bibir, juga kaisar masih belum melupakan peristiwa itu dan sering kali menanyakan berita pencarian dua orang wanita itu.

Tang Gun merasa gelisah. Dua orang kekasihnya di Yu-sian itu terlampau cantik. Mereka masih muda, juga mereka sampai nekat melarikan diri dari istana adalah karena merasa kesepian dan ingin menikmati hidup bersama dia. Sekarang, kembali mereka kesepian di Yu-sian dan hal itu amat berbahaya jika dibiarkan berlarut-larut. Siapa tahu akan muncul penggoda di sana, seorang pemuda yang ganteng! Hatinya dipenuhi rasa cemburu dan dia semakin gelisah.

Dia bangkit dan memesan kepada anak buah yang berada di pintu supaya waspada. Dia sendiri lalu meninggalkan gardu dan memasuki taman. Dia ingin mencari angin dan hawa sejuk untuk menenangkan hatinya yang gelisah.

Tanpa disengaja langkah-langkah kakinya membawanya menuju taman barat, kemudian tibalah dia di depan pondok Sarang Madu. Ia berhenti sejenak dan membayangkan semua pengalaman yang amat menyenangkan di pondok itu bersama Hwee Lan dan A Sui. Maka terkenanglah dia kepada mereka dan timbul perasaan rindu.

"Tang-ciangkun....”

Suara merdu seorang wanita yang memanggilnya itu membuat Tang Gun tersentak kaget. Hampir saja dia berseru memanggil nama A Sui ketika melihat munculnya seorang gadis berpakaian dayang dari balik semak-semak. Teringat bahwa A Sui sudah pergi bersama Hwee Lan, dia cepat menahan suaranya dan memandang penuh perhatian.

Ternyata wanita itu adalah A Cui, seorang dayang lain, pelayan dari selir ke lima kaisar. Karena banyaknya dayang di istana, tentu saja Tang Gun tidak mengenal mereka semua dan meski pun dia tahu bahwa wanita yang manis ini pun seorang dayang, tetapi dia tidak tahu siapa namanya.

"Ada apakah? Siapakah engkau dan mengapa memanggilku di sini?" tanyanya, pura-pura alim. Kalau saja tidak pernah terjadi peristiwa larinya Hwee Lan dan A Sui, tentu sikapnya berbeda dan dia akan lebih ramah dan manis terhadap dayang ini.

"Ssttt, Ciangkun, aku A Cui dan aku akan membicarakan urusan penting denganmu. Mari kita masuk ke dalam pondok dan bicara di dalam," kata wanita itu sambil melepas kerling tajam disertai senyum manis menantang.

Ketika itu Tang Gun sedang berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan setiap kecurigaan tentang menghilangnya selir kaisar dan dayangnya itu dari dirinya. Maka, biar pun dengan hati menyesal, terpaksa dia tidak berani melayani tantangan yang menggairahkan itu.

"Aihh, nona A Cui. Jangan main-main. Mana aku berani?" katanya menolak.

"Tang-ciangkun, tidak usah berpura-pura. Aku mau bicara tentang rahasia pondok Sarang Madu. Hayolah!" Dia lalu melangkah menuju ke pintu depan pondok.

Tang Gun mengerutkan alisnya. "Rahasia pondok Sarang Madu'?" jantungnya berdebar tegang. "Apa maksudmu?"

"Maksudku... hemmm, apa lagi kalau tidak mengenai Hwee Lan dan A Sui? Nah, maukah engkau ikut masuk? Atau engkau lebih suka kalau aku membicarakan urusan itu dengan orang lain?"

Mendengar ucapan itu, seketika pucat wajah Tang Gun. Tak perlu di jelaskan lagi, sudah cukup jelas, bahkan sudah terlampau jelas bahwa dayang ini mengetahui semua rahasia pelarian Hwee Lan dan A Sui! Maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengiringi wanita itu melangkah masuk ke dalam pondok Sarang Madu.

Setelah mereka tiba di dalam pondok, Tang Gun segera bertanya lirih, ”A Cui, sebetulnya apakah yang kau inginkan?”

A Cui membalik kemudian mendekati Tang Gun, matanya mengerling tajam dan mulutnya tersenyum. “Masih perlukah engkau bertanya lagi, orang muda yang tampan? Aku tidak membutuhkan apa-apa kecuali apa yang dibutuhkan Hwee Lan dan A Sui dan aku tidak menginginkan apa-apa darimu kecuali apa yang telah kau berikan kepada mereka.”

Wanita itu kemudian melingkarkan kedua lengannya ke leher Tang Gun. Dua buah lengan itu melingkari leher sekuat dua ekor ular dan yang terdengar kemudian hanya dengus dan rintih, disusul napas tersendat-sendat dalam kegelapan di pondok Sarang Madu itu.

Baik A Cui mau pun Tang Gun tidak tahu betapa semenjak tadi ada sepasang mata tajam mencorong yang mengintai perbuatan mereka, sejak mereka saling jumpa di luar pondok. Pemilik mata ini adalah seorang lelaki setengah tua, berusia sekitar lima puluh lima tahun, bertubuh sedang masih tegap, pakaiannya amat rapi. Tentu saja Tang Gun tak mengenal Tang Bun An, atau yang berjuluk Ang-hong-cu Si Kurnbang Merah!

Seperti yang telah kita ketahui, Tang Bun An pergi ke kota raja untuk memulai hidup baru sebab dia merasa telah tua dan mulai bosan dengan kehidupan petualangan seperti yang selama ini dialaminya. Musuhnya terlampau banyak, malah akhir-akhir ini dia dikejar-kejar orang-orang pandai sekali, termasuk puteranya sendiri yang bernama Tang Hay.

Dia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja dan mencari kedudukan, untuk dapat mengembalikan kedudukan dan kemuliaan yang dahulu pernah dimiliki ayah kandungnya, yaitu mendiang Tang Siok yang menjadi pejabat tinggi di kota raja. Dia harus bisa meraih suatu kedudukan yang lebih tinggi dari pada yang pernah dimiliki ayahnya.

Satu-satunya jalan untuk dapat memperoleh kedudukan tinggi itu hanyalah membuat jasa, kalau mungkin langsung terhadap Kaisar! Biar pun dia pandai ilmu silat dan mengerti juga ilmu sastera, tetapi tanpa memiliki hubungan yang baik dengan para pejabat tinggi, maka akan sukarlah untuk memperoleh kedudukan. Apa lagi bagi seorang setua dia.

Setelah berada di kota raja, Tang Bun An segera mendengar berita yang sangat menarik hatinya, yaitu tentang adanya seorang perwira pengawal muda yang menyebarkan berita bahwa perwira itu adalah putera dari Ang-hong-cu! Hal ini dirasakannya amat aneh.

Bukankah selama ini namanya dianggap jahat dan buruk, dibenci oleh para pendekar dan ditakuti di dunia kang-ouw? Bahkan andai kata dia memiliki anak kandung, seperti halnya Tang Hay, maka anak itu tentu akan malu mengaku sebagai putera Ang-hong-cu. Namun kenapa orang ini, seorang perwira pengawal pula, menyebarkan berita bahwa dia adalah putera Ang-hong-cu. Seolah-olah hal itu membanggakan hatinya?

Tadinya dia hanya tersenyum saja mendengar berita itu dan dia menganggap perwira itu adalah seorang pemuda tolol yang suka membanggakan diri meminjam ketenaran orang lain. Akan tetapi setelah dia mendengar bahwa perwira muda itu bernama Tang Gun, dia terkejut! She Tang? Dunia kang-ouw sudah sangat mengenal nama julukan Ang-hong-cu, namun tidak ada atau amat jarang sekali orang mengetahui bahwa Ang-hong-cu memiliki she (nama keturunan) Tang!

Berita itu amat menarik hati Tang Bun An. Apa lagi ketika dia mendengar bahwa perwira bernama Tang Gun itu kini bekerja sebagai seorang komandan pengawal dalam istana, sebuah kedudukan yang diterimanya sebagai hadiah dari kaisar karena Tang Gun pernah menolong rombongan kaisar dari gangguan pemberontak dua tiga tahun yang lalu!

Ahh, siapa tahu, dari orang yang mengaku puteranya inilah datang kesempatan baginya untuk meraih kedudukan! Dan memang dia harus dapat mendekati istana, tempat tinggal kaisar kalau dia ingin memperoleh pangkat yang tinggi.

Demikianlah, sesudah melakukan penyelidikan tentang keadaan istana, Tang Bun An lalu menggunakan ilmu kepandaiannya dan dengan tidak betapa sukar dia berhasil melewati pagar tembok lalu masuk ke dalam taman bunga di bagian barat, dan kebetulan sekali dia dapat melihat dan mendengar pertemuan antara perwira Tang Gun dan seorang dayang.

Ia belum sempat menyelidiki perwira yang mengaku puteranya itu, maka tadinya dia tidak tahu siapa perwira yang mengadakan pertemuan dengan seorang dayang istana itu. Akan tetapi dia menjadi terkejut dan juga merasa gembira sekali setelah mendengar dayang itu menyebut ‘Tang-ciangkun’. Tak salah lagi, pikirnya. Inilah perwira yang mengaku sebagai putera Ang-hong-cu itu!

Dari penerangan yang tidak begitu cerah, cukup baginya untuk bernapas lega. Setidaknya orang muda itu tidak mengecewakan untuk menjadi puteranya. Jangkung, tegap, tampan dan gagah. Apa lagi setelah dia mendengar percakapan antara mereka, hatinya merasa bangga sekali.

Pemuda yang mengaku sebagai puteranya ini ternyata seorang pria yang disukai wanita! Buktinya, dayang itu juga memikat cintanya, dan menggunakan semacam rahasia pondok Sarang Madu sebagai alat untuk memeras agar perwira muda itu suka memuaskan nafsu birahinya! Diam-diam Tang Bun An tersenyum bangga, dan melihat pemuda itu mengikuti si dayang memasuki pondok, dia pun cepat meloncat ke atas genteng untuk melakukan pengintaian. Di dalam kamar pondok itu hanya diterangi dua buah lilin, namun cukup bagi mata Tang Bun An yang tajam dan terlatih baik.

Mula-mula dia hendak melihat apakah orang yang mengaku sebagai puteranya itu cukup jantan melayani wanita dalam bercinta. Namun dia segera terbelalak ketika mengintai dari atas. Mula-mula hanya terdengar suara dengus napas dan rintihan, lantas disusul napas yang tersendat-sendat! Ia melihat perwira muda yang mengaku puteranya itu sama sekali tidak mencumbu rayu, tidak membelai mesra, tapi mencekik leher gadis itu menggunakan ikat pinggang dayang itu sendiri!

Betapa gilanya! Sayang kalau gadis muda semanis itu dibunuh begitu saja! Kalau perwira muda itu sudah menikmatinya, mau dibunuh atau tidak dia tidak akan peduli. Akan tetapi jelas bahwa mereka itu baru saja saling bertemu, lalu mengapa perwira itu membunuhnya tanpa membelai atau mencumbu sedikit pun?

Namun dia menahan diri, tidak mau mencampuri karena ingin sekali tahu perkembangan selanjutnya. Baginya, keadaan perwira muda yang mengaku puteranya itu tentu saja jauh lebih menarik dan lebih penting dari pada nyawa seorang gadis dayang istana!

Melihat cara perwira itu membunuh dayang, yang memakan waktu cepat sekali, Tang Bun An dapat menduga bahwa perwira muda itu sedikit banyak memiliki tenaga yang lumayan juga.

Sekarang Tang Gun melepaskan ikat pinggang dayang itu, mengikat ujung ikat pinggang ke atas tiang dan menggantung mayat dayang itu pada lehernya, mengatur sedemikian rupa sehingga sekali lihat saja orang akan menduga bahwa dayang itu mati akibat bunuh diri dengan cara menggantung. Dia juga membalikkan sebuah bangku di bawah mayat.

Dengan cermat dia mengukur dan memperhitungkan. Jika gadis itu membunuh diri, tentu menggunakan bangku itu untuk berdiri, kemudian mengikat ujung ikat pinggang ke tiang, mengikatkan ujung yang lain di lehernya dan menendang bangku itu sehingga tubuhnya tergantung dan mati tercekik. Tepat sekali. Sesudah merasa puas, dia pun meniup padam api lilin dan keluar dari dalam pondok, lalu menutupkan daun pintu pondok itu. Kemudian, dengan tenang dia pun kembali ke pos penjagaan seperti tidak pernah terjadi sesuatu.

Pada keesokan harinya, istana kaisar kembali menjadi gempar pada waktu mayat A Cui ditemukan dalam keadaan menyedihkan. Ia mati tergantung dalam Pondok Sarang Madu, lidahnya terjulur panjang, kedua matanya melotot dan tubuhnya kaku! Akan tetapi karena keadaannya jelas menunjukkan bahwa dia telah menggantung diri sampai mati, maka tak ada persoalan lain kecuali mengurus mayatnya dan selanjutnya tidak ada apa-apa lagi.

Meski pun Tang Gun sudah berhasil membunuh A Cui yang mengetahui rahasianya tanpa meninggalkan jejak, tetap saja hatinya merasa tidak tenteram. Dia dapat menduga bahwa kalau sampai A Cui mengetahui rahasia itu, berarti A Sui, dayang yang menjadi pelayan Hwee Lan itulah yang bermulut panjang dan membocorkan rahasia. Mungkin hanya untuk pamer dan membanggakan diri bahwa dia sudah berhasil menjadi kekasih perwira Tang yang banyak dikagumi para puteri itu!

Yang membuat dia gelisah, siapa saja yang sudah mengetahui akan rahasia itu? Apakah A Sui hanya bercerita kepada A Cui saja? Ataukah celotehnya didengar oleh lebih banyak dayang lagi? Celakalah kalau begitu!

Dia harus cepat-cepat pergi ke kota Yu-sian untuk minta keterangan A Sui, dan dayang yang panjang mulut itu perlu ditegur, atau bahkan dihajar supaya lain kali tidak berani lagi berlancang mulut menyebarkan rahasia yang seharusnya dipegang teguh karena sangat berbahaya kalau sampai terdengar oleh istana.

Pada keesokan harinya, Tang Gun mohon diri dari kaisar untuk keluar dari istana dalam usahanya menyelidiki sendiri kehilangan selir Hwee Lan dan pelayannya, A Sui. Untuk itu, dia minta cuti selama sebulan. Tentu saja permohonannya dikabulkan karena kaisar juga masih merasa amat penasaran dengan menghilangnya selir dan dayangnya itu, dan hal ini memang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Tang Gun sebagai perwira pengawal dalam istana untuk dapat menangkap selir yang melarikan diri itu.

********************